Anda di halaman 1dari 4

Macam-Macam Najis dan Cara Mensucikannya

Tiga Macam Najis dan Cara Menyucikannya


Secara bahasa najis berarti segala sesuatu yang dianggap kotor meskipun suci. Bila
berdasarkan arti harfiah ini maka apa pun yang dianggap kotor masuk dalam kategori
barang najis, seperti ingus, air ludah, air sperma dan lain sebagainya. Sedangkan secara
istilah ilmu fiqh najis adalah segala sesuatu yang dianggap kotor yang menjadikan tidak
sahnya ibadah shalat (M. Nawawi Al-Jawi, Kaasyifatus Sajaa [Jakarta: Darul Kutub
Islamiyah: 2008], hal. 72).
Di dalam fiqih najis dikelompokkan dalam 3 kategori, yakni najis mukhaffafah, najis
mutawassithah, dan najis mughalladhah. Sebagaimana ditulis di salah satu kitab, seperti
oleh Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami dalam kitabnya Safiinatun Najaa:
‫ مغلظة ومخففة ومتوسطةالمغلظة نجاسة الكلب والخنزير وفرع احدهما والمخففة بول الصبي الذي لم يطعم غير اللبن‬:‫فصل النجاسات ثالث‬
‫ولم يبلغ الحولين والمتوسطة سائر النجاسات‬
“Fashal, najis ada tiga macam: mughalladhah, mukhaffafah, dan mutawassithah. Najis
mughalladhah adalah najisnya anjing dan babi beserta anakan salah satu dari keduanya.
Najis mukhaffafah adalah najis air kencingnya bayi laki-laki yang belum makan selain air
susu ibu dan belum sampai usia dua tahun. Sedangkan najis mutawassithah adalah najis-
najis lainnya.”
Ketiga kategori najis tersebut masing-masing memiliki cara tersendiri untuk
menyucikannya. Namun sebelum membahas lebih jauh tentang bagaimana cara
menyucikan ketiga najis tersebut perlu diketahui istilah “najis ‘ainiyah” dan “najis
hukmiyah” terlebih dahulu. Najis ‘ainiyah adalah najis yang memiliki warna, bau dan rasa.
Sedangkan najis hukmiyah tidak ada lagi adalah najis yang tidak memiliki warna, bau, dan
rasa.
Adapun tata cara menyucikan najis sebagai berikut: 1. Najis mughalladhah dapat
disucikan dengan cara membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali basuhan di mana
salah satunya dicampur debu. Namun sebelum dibasuh dengan air mesti dihilangkan
terlebih dulu ‘ainiyah atau wujud najisnya. Dengan hilangnya wujud najis tersebut maka
secara kasat mata tidak ada lagi warna, bau dan rasa najis. Namun secara hukum
(hukmiyah) najisnya masih ada di tempat yang terkena najis tersebut karena belum
dibasuh dengan air. Untuk benar-benar menghilangkannya dan menyucikan tempatnya
barulah dibasuh dengan air sebanyak tujuh kali basuhan dimana salah satunya dicampur
dengan debu.
Pencampuran air dengan debu ini bisa dilakukan dengan tiga cara:
Pertama, mencampur air dan debu secara berbarengan baru kemudian diletakkan pada
tempat yang terkena najis. Cara ini adalah cara yang lebih utama dibanding cara lainnya.
Kedua, meletakkan debu di tempat yang terkena najis, lalu memberinya air dan
mencampur keduanya, baru kemudian dibasuh.
Ketiga, memberi air terlebih dahulu di tempat yang terkena najis, lalu memberinya debu
dan mencampur keduanya, baru kemudian dibasuh.

2. Najis mukhaffafah yang merupakan air kencingnya bayi laki-laki yang belum makan dan
minum selain ASI dan belum berumur dua tahun, dapat disucikan dengan cara
memercikkan air ke tempat yang terkena najis. Cara memercikkann air ini harus dengan
percikan yang kuat dan air mengenai seluruh tempat yang terkena najis. Air yang
dipercikkan juga mesti lebih banyak dari air kencing yang mengenai tempat tersebut.
Setelah itu barulah diperas atau dikeringkan. Dalam hal ini tidak disyaratkan air yang
dipakai untuk menyucikan harus mengalir.

3. Najis mutawassithah dapat disucikan dengan cara menghilangkan lebih dahulu najis
‘ainiyah-nya. Setelah tidak ada lagi warna, bau, dan rasan najis tersebut baru kemudian
menyiram tempatnya dengan air yang suci dan menyucikan. Sebagai contoh kasus, bila
seorang anak buang air besar di lantai ruang tamu, umpamanya, maka langkah pertama
untuk menyucikannya adalah dengan membuang lebih dahulu kotoran yang ada di lantai.
Ini berarti najis ‘ainiyahnya sudah tidak ada dan yang tersisa adalah najis hukmiyah.
Setelah yakin bahwa wujud kotoran itu sudah tidak ada (dengan tidak adanya warna, bau
dan rasa dan lantai juga terlihat kering) baru kemudian menyiramkan air ke lantai yang
terkena najis tersebut. Tindakan menyiramkan air ini bisa juga diganti dengan
mengelapnya dengan menggunakan kain yang bersih dan basah dengan air yang cukup.
(Yazid Muttaqin) Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/82513/tiga-macam-najis-dan-
cara-menyucikannya
Mengenal Barang-barang Najis Menurut Fiqh
Sebagaimana telah jamak diketahui bahwa dalam fiqih Islam najis terbagi dalam 3 (tiga)
bagian; mukhaffafah (ringan), mutawassithah (sedang), dan mughalladhah (berat).
Klasifikasi ini berdasarkan tingkat kesulitan cara menyucikannya, yang bakal diulas secara
rinci dalam pembahasan selanjutnya. Barang yang masuk pada kategori najis
mughalladhah jelas, yakni anjing dan babi berikut anakan yang dihasil dari keduanya. Tak
ada yang lainnya. Yang termasuk dalam kategori najis mukhaffafah juga telah jelas, yakni
air kencing seorang bayi laki-laki yang belum berumur dua tahun dan belum makan selain
air susu ibu. Selainnya tidak ada (lihat Salim bin Sumair Al-Hadlrami, Safiinatun Najaa,
[Jedah: Darul Minhaj, 2009], hal. 27 – 28.).

Seperti dituturkan Salim bin Sumair Al-Hadlrami dalam kitabnya Safinatun Naja:
‫المغلظة نجاسة الكلب والخنزير وفرع احدهما والمخففة بول الصبي الذي لم يطعم غير اللبن ولم يبلغ الحولين‬
Lalu apa saja barang yang masuk pada kategori najis mutawassithah? Air hujan yang
menggenang di halaman depan rumah, air keringat, air ludah dan ingus, air bekas cucian
piring kotor, lempung basah yang ada di sawah, kotoran yang ada di dalam hidung dan
telinga, apakah itu semua termasuk kategori barang najis?

Syekh Muhammad Nawawi Banten dalam kitab Kayifatus Saja menyebutkan ada 20 barang
yang termasuk najis mutawassithah dan juga mughalladhah yaitu: 1. Air kencing.
Termasuk dalam air kencing adalah batu yang keluar dari saluran kencing bila diyakini
bahwa batu itu terbentuk dari air kencing yang mengkristal. Bila batu itu tidak terbentuk
dari air kencing maka statusnya bukan najis tapi mutanajis; barang suci yang terkena
najis. 2. Air madzi. Yakni air yang berwarna kekuningan dan kental yang keluar pada saat
bergeraknya syahwat tanpa adanya rasa nikmat, meskipun tanpa syahwat yang kuat atau
keluar setelah melemahnya syahwat. Ini hanya terjadi pada orang yang sudah baligh. Pada
seorang perempuan lebih sering terjadi pada saat dirangsang dan bangkit syahwatnya.
Terkadang juga madzi keluar tanpa dirasakan oleh orang yang bersangkutan. 3. Air wadzi.
Yakni air putih, keruh dan kental yang keluar setelah guang air kecil atau ketika membawa
barang yang berat. Keluarnya air wadi tidak hanya terjadi pada orang yang sudah baligh
saja. 4. Kotoran (tahi). Termasuk najis juga kotorannya ikan atau belalang. Namun
diperbolehkan menggoreng atau menelan ikan kecil yang masih hidup dan dimaafkan
kotoran yang masih ada di perutnya.

5. Anjing. Segala macam jenis anjing adalah najis mughalladhah, baik anjing yang dilatih
untuk memburu ataupun anjing yang difungsikan untuk menjaga rumah. 6. Babi. Babi
juga termasuk binatang yang najis mughalladhah sebagaimana anjing. 7. Anakan silangan
anjing atau babi dengan selainnya. 8. Sperma dari anjing, babi dan anakan silangan anjing
dan ababi dengan selainnya. 9. Air luka atau air bisul yang telah berubah rasa, warna atau
baunya. Air ini najis karena merupakan darah yang telah berubah. Bila tidak ada
perubahan pada air ini maka statusnya tetap suci. 10. Nanah yang bercampur dengan
darah. 11. Nanah. Nanah najis karena merupakan darah yang telah berubah. 12. Air
empedu. Sedangkan kantong atau kulit empedunya berstatus mutanajis yang bisa
disucikan dan boleh dimakan bila berasal dari hewan yang halal dimakan. Termasuk najis
juga bisa atau racunnya ular, kalajengking dan hewan melata lainnya. 13. Barang cair yang
memabukkan seperti khamr, arak dan lainnya. Barang-barang yang memabukkan namun
tidak berbentuk cair, seperti daun ganja, meskipun haram mengkonsumsinya namun tidak
najis barangnya. 14. Apapun yang keluar dari lambung,seperti muntahan meskipun belum
berubah. Adapun yang keluar dari dada seperti riyak atau turun dari otak seperti ingus
tidaklah najis, demikian juga air ludah. 15. Air susu binatang yang tidak boleh dimakan
seperti air susu harimau, kucing, anjing dan lainnya. Sedangkan air susu binatang yang
boleh dimakan berstatus suci. 16. Bangkai selain manusia, ikan dan belalang. Termasuk
dalam kategori ikan di sini adalah segala binatang air yang tidak bisa hidup di darat
meskipun tidak dinamai “ikan”. Termasuk dalam kategori bangkai yang najis adalah bagian
anggota badan yang terpotong dari hewan yang masih hidup. Kecuali bulu binatang yang
boleh dimakan bila terpotong dari badannya tidak berstatus najis (lihat Abdullah Al-
Hadlrami, Muqaddimah Hadlramiyah [Jedah: Darul Minhaj, 2011], hal. 64 –65).
Berdasarkan hadis Nabi:
ٌ‫َما قُ ِط َع ِمنَ ْالبَ ِهي َم ِة َو ِه َي َحيَّةٌ فَ ِه َي َم ْيتَة‬
“Apapun yang dipotong dari binatang yang masih hidup maka potongan itu adalah
bangkai.” (HR. Abu Dawud) 17. Darah selain hati dan limpa. Hati dan limpa meskipun
termasuk kategori darah namun statusnya suci tidak najis. 18. Air yang keluar dari mulut
binatang seperti kerbau, kambing dan selainnya pada saat memamahbiak makanan.
Sedangkan air yang keluar dari pinggiran mulutnya pada saat kehausan tidak najis karena
itu berasal dari mulut. 19. Air kulit yang melepuh atau menggelembung yang berbau. Bila
tidak berbau maka tidak najis. 20. Asap dan uap dari barang najis yang dibakar, seperti
asap dari kayu yang dikencingi dan kotoran kerbau yang dibakar (Muhammad Nawawi Al-
Jawi, Kaasyifatus Sajaa, [Jakarta: Darul Kutub Islamiyah, 2008] hal. 72 – 75). (Yazid
Muttaqin).

Cara Mudah Menyucikan Najis di Kasur tanpa Mesti Mencucinya


Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/86036/cara-mudah-menyucikan-najis-di-
kasur-tanpa-mesti-mencucinya
Kita mungkin pernah mendapati ada kotoran binatang, air kencing, atau barang najis lain
melekat di tengah-tengah karpet atau kasur. Untuk menyucikannya, sebagian orang
mengangkat karpet atau kasur tersebut, lalu mencucinya: menyiram langsung air ke area
najis atau keseluruhan permukaan kasur atau karpet hingga barang najis itu benar-benar
hilang. Meski sah dalam menyucikan, cara tersebut tergolong merepotkan, apalagi untuk
jenis karpet berbulu atau kasur berbusa, dan berukuran besar, karena akan memperlukan
tenaga ekstra dan waktu pengeringan yang lebih lama. Sebenarnya ada cara yang lebih
efisien dan efektif dari sekadar mencuci karpet atau kasur itu dengan cara-cara yang
melelahkan.
Dalam fiqih, hal pokok yang menjadi perhatian dalam persoalan najis adalah warna, bau,
dan rasa. Karena itu, fiqih Syafi’iyah membedakan antara najis ‘ainiyah dan najis
hukmiyah. Yang pertama adalah najis berwujud (terdapat warna, bau, atau rasa);
sedangkan yang kedua adalah najis tak berwujud (tak ada warna, bau, atau rasa) tapi tetap
secara hukum berstatus najis. Air kencing yang merupakan najis ‘ainiyah dianggap
berubah menjadi najis hukmiyah ketika air kencing tersebut mengering hingga tak tampak
lagi warna, bau, bahkan rasanya.
Cara menyucikan kedua najis itu juga berbeda. Syekh Ahmad Zainuddin al-Malibari dalam
Fathul Mu’în bi Syarhi Qurratil ‘Ain bi Muhimmâtid Dîn menjelaskan bahwa najis 'ainiyah
disucikan dengan cara membasuhnya hingga hilang warna, bau, dan rasanya. Sementara
najis hukmiyah disucikan dengan cara cukup menuangkan air sekali di area najis.
Kembali pada kasus karpet atau kasur terkena najis di atas, cara mudah dalam
menyucikannya: Pertama, membuat najis ‘ainiyah di karpet atau kasur berubah menjadi
najis hukmiyah. Secara teknis, seorang harus membuang/membersihkan najis itu hingga
tak tampak warna, bau, dan rasanya (cukup dengan perkiraan, bukan menjilatnya). Di
tahap ini mungkin ia perlu menggunakan sedikit air, menggosok, mengelap, atau cara lain
yang lebih mudah. Selanjutnya, biarkan mengering, dan tandai area bekas najis itu karena
secara hukum tetap berstatus najis. Kedua, tuangkan air suci-menyucikan cukup di area
najis yang ditandai itu, maka sucilah kasur atau karpet tersebut, meskipun air dalam
kondisi menggenang di atasnya atau meresap ke dalamnya. Cara yang sama juga bisa kita
lakukan pada najis yang mengenai lantai ubin, sofa, bantal, permukaan tanah, dan lain-
lain.

Syekh Ahmad Zainuddin al-Malibari menerangkan:


ً‫ سواء كانت األرضُ صُلبةً أم َر ْخ َوة‬،ُ‫ ي ُغور‬:‫ أي‬، ْ‫ض ِع ِه َما ٌء فغَمره طهُ َر ولو ل ْم يَ ْنصُب‬
ِ ْ‫ فَصُبَّ عَلى َمو‬،‫ف‬ َ ْ‫اب األَر‬
َّ ‫ض نَحْ ُو بَوْ ٍل َو َج‬ َ ‫ص‬َ َ‫لَوْ أ‬
“Seandainya ada tanah yang terkena najis semisal air kencing lalu mengering, lalu air
dituangkan di atasnya hingga menggenang, maka sucilah tanah tersebut walaupun tak
terserap ke dalamnya, baik tanah itu keras ataupun gembur.” (Syekh Ahmad Zainuddin al-
Malibari, Fathul Mu’în bi Syarhi Qurratil ‘Ain bi Muhimmâtid Dîn [Beirut: Dar Ibnu Hazam,
2004], halaman 78)
Keterangan tersebut berlaku untuk najis level sedang (mutawasithah) seperti ompol bayi
usia lebih dari dua tahun, kotoran binatang, darah, muntahan, air liur dari perut,
feses, atau sejenisnya. 
Sementara air kencing bayi laki-laki kurang dua tahun yang belum mengonsumsi apa pun
kecuali ASI (masuk kategori najis level ringan atau mukhaffafah) dapat disucikan dengan
hanya memercikkan air ke tempat yang terkena najis. Tidak disyaratkan air harus
mengalir, hanya saja percikan mesti kuat dan volume air harus lebih banyak dari air
kencing bayi tersebut. Namun, bila air kecing itu mengering, kucuran sekali air sudah
cukup menyucikannya.  Dengan demikian, bila najis itu memang didapati cuma sedikit,
kita tak perlu repot-repot mencuci seluruh permukaan kasur/karpet, mengepel semua
permukaan lantai, atau mengguyur seluruh permukaan bantal, dan seterusnya. Cukup
dua langkah saja: menghilangkan sifat-sifat najis itu lalu menuangkan air suci-menyucikan
di atas area bekas najis. (Mahbib) Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/86036/cara-
mudah-menyucikan-najis-di-kasur-tanpa-mesti-mencucinya
Penjelasan tentang Najis yang Dimaafkan dan yang Tak Dimaafkan
Dalam kehidupan sehari-hari sering kali seorang Muslim bersinggungan dengan barang-
barang yang dianggap oleh fiqih sebagai barang najis, yang apabila barang najis ini
mengenai sesuatu yang dikenakannya akan berakibat hukum yang tidak sepele. Batalnya
shalat dan menjadi najisnya air yang sebelumnya suci adalah sebagian dari akibat
terkenanya barang najis. Sejatinya tidak setiap apa yang terkena najis secara otomatis
menjadi najis yang tak termaafkan. Di dalam fiqih madzhab Syafi’i ada beberapa barang
najis yang masih bisa dimaafkan dan ada juga yang sama sekali tidak bisa dimaafkan.
Dalam fiqih, najis yang bisa dimaafkan dikenal dengan istilah “ma’fu”. Syekh Nawawi
Banten di dalam kitabnya Kâsyifatus Sajâ memaparkan empat kategori najis dilihat dari
segi bisa dan tidaknya najis tersebut dimaafkan. Beliau menuturkan sebagai berikut:
Pertama: ‫ قسم ال يعفى عنه في الثوب والماء‬Termasuk najis kategori ini adalah umumnya najis yang
dikenal warga. Seperti air kencing, tahi, darah, bangkai. Apabila najis-najis ini mengenai
pakaian atau air maka tidak dimaafkan. Pakaiannya menjadi najis dan harus disucikan
Airnya juga najis yang tidak dapat digunakan bersuci atau keperluan lain.
Kedua: ‫ قسم يعفى عنه فيهما‬Contohnya najis yang sangat kecil sehingga tidak terlihat oleh mata
yang normal. Misalnya saat seseorang buang air kencing dengan tanpa benar-benar
melepas pakaiannya bisa jadi ada cipratan air kencingnya yang sangat lembut yang tidak
terlihat mata. Bila pakaian ini digunakan maka shalatnya sah karena najis yang mengenai
pakaiannya masuk pada kategori najis yang dimaafkan.
Ketiga: ‫ قسم يعفى عنه في الثوب دون الماء‬Termasuk kategori ini adalah darah yang sedikit. Darah
yang sedikit volumenya bila mengenai pakaian maka dimaafkan. Bila dipakai untuk shalat
maka shalatnya sah. Sebaliknya bila darah ini mengenai air maka tidak dimaafkan meski
volumenya sedikit.
Air yang terkena darah ini bila volumenya kurang dari dua qullah dihukumi najis meski
tidak ada sifat yang berubah, sedangkan bila volumenya memenuhi dua qullah atau lebih
maka dihukumi najis bila ada sifatnya yang berubah. Dengan demikian air yang menjadi
najis karena terkena darah yang sedikit ini tidak bisa digunakan untuk bersuci atau
keperluan lain yang memerlukan air yang suci. Lalu bagaimana ukuran darah bisa
dianggap sedikit atau banyak? Syekh Syihab Ar-Romli seagaimana dikutip oleh Syekh
Nawawi Banten menuturkan bahwa ukuran sedikit dan banyak itu berdasarkan adat
kebiasaan. Noda yang mengenai sesuatu dan sulit untuk menghindarinya maka disebut
sedikit. Yang lebih dari itu disebut banyak. Namun ada juga yang berpendapat bahwa yang
disebut banyak itu seukuran genggaman tangan, seukuran lebih dari genggaman tangan,
atau seukuran lebih dari satu kuku (lihat Muhammad Nawawi Al-Jawi, Kâsyifatus
Sajâ [Jakarta: Darul Kutub Islamiyah, 2008], hal. 84).
Keempat: ‫قسم يعفى عنه في الماء دون الثوب‬
Termasuk kategori ini adalah bangkai binatang yang tidak memiliki darah pada saat
hidupnya, seperti nyamuk, kecoak, semut, kutu rambut dan lain sebagainya. Bangkai
binatang-binatang ini bila mengenai air dimaafkan najisnya, namun tidak bila
mengenai pakaian. Sebagai contoh bila kita shalat dan melihat di pakaian kita ada semut
mati maka shalatnya batal bila tak segera membuang bangkai semut tersebut. Ini karena
bangkai binatang yang tak berdarah tidak bisa dimaafkan bila mengenai pakaian. (Yazid
Muttaqin). Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/83024/penjelasan-tentang-najis-
yang-dimaafkan-dan-yang-tak-dimaafkan

Anda mungkin juga menyukai