Anda di halaman 1dari 21

Najis dan Cara Mensucikan

Tingkatan Najis ada tiga: najis ringan (kencing bayi


laki-laki yang masih minum ASI eksklusif), najis
menengah, najis berat (anjing dan babi). Jenis najis
ada dua: najis ainiyah dan najis hukmiyah. Cara
menuyucikan najis ainiyah harus dihilangkan benda
najisnya lalu dibasuh dengan air. Sedangkan najis
hukmiyah cukup disiram sekali dengan air. Adapun
najis anjing dan babi harus disiram dengan air tujuh
kali salah satunya dicampur dengan debu atau tanah.
Najis adalah sesuatu yang harus dijauhi saat seorang
muslim melakukan ritual ibadah tertentu seperti
shalat baik shalat wajib 5 waktu atau shalat sunnah,
thawaf saat haji dan umrah, dan lain-lain. Tuntunan
berikut berkaitan dengan perkara najis menurut
madzhab Syafi'i. Panduan ini khusus mengambil
perspektif madzhab Syafi'i agar tidak
membingungkan masyarakat Indonesia yang
mayoritas bermadzhab Syafi'i sejak lahir.
DAFTAR ISI
Definisi Najis
Perkara/Benda Najis
Tingkatan Najis
Najis Mukhoffafah (Ringan)
Najis Mutawassithah (Sedang)
Najis Mughalladzoh (Berat)
Jenis Najis
Najis Hukmiyah ()
Najis Ainiyah ()
Cara Menghilangkan Najis
Cara Menghilangkan Najis Ringan (Mukhoffafah)
Cara Menghilangkan Najis Sedang (Mutawassitoh)
Cara Menghilangkan Najis Anjing (Mugholadzoh)
Cara Membasuh Dengan Debu
Apakah Sabun Sama Dengan Debu?
Status Air Bekas Membasuh Najis Anjing Babi Pada
Basuhan Pertama Sampai Keenam
Cara Menghilangkan Najis Hukmiyah (Tidak
Kelihatan)
Kaedah Fiqih Terkait Najis
Najis Anjing Menurut 4 (Empat) Madzhab
Hukum Memelihara Anjing
Najis Babi Menurut 4 (Empat) Madzhab
Cara Menghilangkan Najis Menurut Empat Madzhab
Menghilangkan Najis Dengan Alat Modern
Menghilangkan Najis Dengan Digaruk Dan Digosok
Menghilangkan Najis Dengan Api Dan Matahari
Menghilangkan Najis Dengan Sinar Matahari
Menghilangkan Najis Dengan Samak
CARA KONSULTASI SYARIAH ISLAM
DEFINISI NAJIS
Najis (Arab, )berasal dari bahasa Arab dari akar
kata masdar (verbal noun) najasah yang secara
etimologis bermakna kotor (qadzarah - ).
Sedangkan dalam terminologi fiqh (syariah), najis
adalah sesuatu yang kotor yang diperhntahkan oleh
syariah untuk suci darinya dan menghilangkannya
dari baju dan badan dan dari segala sesuatu yang
disyaratkan sucinya saat memakai. Seperti sucinya
baju dan badan pada saat melaksanakan shalat dan
tawaf umarah dan haji.
Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj fi
Syarhil Minhaj ( ) menyatakan
bahwa najis dalam definisi syariah adalah perkara
kotor yang mencegah sahnya shalat.
PERKARA NAJIS
Perkaran atau sesuatu yang dianggap najis menurut
syariah Islam sebagai berikut:
1. Kencing baik kencing bayi atau kencing orang
dewasa.
2. Tinja (kotoran manusia) atau kotoran hewan
3. Khamr (mimunam beralkohol).
2. Bangkai hewan yang mati tanpa disembelih secara
syariah dan seluruh anggota badannya seperti
daging, tulang, tanduk, kuku, dll kecuali,
(a) belalang, hewan laut dan hewan sangat kecil yang
darahnya tidak mengalir seperti lalat dan sejenisnya.
Khusus untuk lalat dan sejenisnya apabila masuk ke
air yang sedikit (kurang 2 qullah) dalam keadaan
hidup kemudian mati dalam air, maka airnya tetap
suci.
(b) bangkai manusia, hukumnya suci baik muslim
atau nonmuslim (kafir).
3. Darah.
4. Nanah.
5. Muntah.
6. Anjing dan Babi
7. Madzi yaitu cairan putih encer yang keluar bukan
karena syahwat. .
8. Wadi yaitu cairan pekat kental yang keluar setelah
kencing atau setelah membawa beban berat.
9. Mani (sperma) anjing dan babi.
10. Susu hewan yang tidak halal dagingnya kecuali
susu manusia.
Catatan:
1. Tulang bangkai suci menurut madzhab Hanafi.
Rambut dan bulu bangkai suci menurut madzhab
Maliki.
2. Kotoran dan kencing hewan yang halal dimakan
hukumnya suci menurut madzhab Hanbali.
3. Harus dibedakan antara najis dan mutanajjis. Najis
adalah perkara najis. Sedang mutanajjis adalah
benda yang terkena atau tersentuh perkara najis.
Najis tidak bisa suci. Sedang mutanajjis dapat suci
kalau dihilangkan najisnya.
TINGKATAN NAJIS
Menurut madzhab Syafi'i, tingkatan najis terbagi
menjadi 3 (tiga) macam. Yaitu, najis ringan
(mukhaffafah), najis sedang/pertangahan
(mutasswithah) dan najis berat (mughalladzah).
NAJIS MUKHOFFAFAH (RINGAN)
Najis mukhaffafah adalah najis ringan yang cara
menghilangkannya cukup dengan menyiramkan air
pada najis tersebut. Najis mukhaffafah terdapat pada
kencingnya anak kecil laki-laki yang belum berusia 2
tahun dan tidak makan apa-apa kecuali ASI (air susu
ibu).
NAJIS MUTAWASSITAH (SEDANG / MENENGAH)
Najis mutawasithah adalah najis yang umum seperti
darah, bangkai, kotoran manusia atau hewan,
muntah, kencing, dll yang cara mensucikannya
adalah dengan menghilangkan benda najis tersebut
dan setelah hilang baru disiram dengan air. Kalau
benda najisnya sudah hilang, maka penyiraman air
cukup dilakukan sekali saja.
NAJIS MUGHOLLADZAH (BERAT)
yaitu najis anjing dan babi. Yang cara mensucikannya
adalah dengan (a) menghilangkan benda najisnya; (b)
menyiramkan air sebanyak 7 (tujuh) kali salah
satunya dicampur dengan debu atau tanah.
JENIS NAJIS
Ada dua jenis najis yaitu najis hukmiyah ( )
dan najis ainiyah () .
NAJIS HUKMIYAH ()
Najis hukmiyah adalah najis yang tidak kelihatan
warnanya, baunya dan rasanya. Kalau suatu najis
sudah dibuang dan sudah tidak kelihatan, maka
tempat najis tersebut statusnya menjadi najis
hukmiyah. Cara menyucikannya adalah dengan
menyiramkan air satu kali. Adapun bekas siraman air
dari najis hukmiyah adalah mutakmal atau suci tapi
tidak bisa untuk menyucikan barang najis atau untuk
berwudhu.
NAJIS AINIYAH ()
Najis ainiyah adalah sebaliknya najis hukmiyah yaitu
najis yang kelihatan warnanya, baunya dan rasanya.
Dengan kata lain, najis ainiyah adalah najis itu
sendiri. Misalnya, anda melihat air kencing di lantai,
maka air kencing itu namanya najis ainiyah. Kalau air
kencing itu dibuang dengan kain atau tisu sampai
tidak tampak lagi, maka status tempat yang terkena
najis kencing tadi disebut najis hukmiyah. Jadi,
tempat bekas najis itu belum suci kecuali setelah
disiram dengan air.
CARA MENGHILANGKAN NAJIS
Adapun cara menghilangkan najis adalah tergantung
dari tingkatan (ringan, sedang, berat) dan jenis
najisnya (ainiyah atau hukmiyah).
CARA MENGHILANGKAN/MENYUCIKAN NAJIS
RINGAN (MUKHAFFAFAH)
Najis mukhaffafah adalah terdapat pada kencing
anak laki-laki usia di bawah 2 tahun dan belum
memakan makanan apapun kecuali ASI (Air Susu
Ibu). Adapun kencing bayi perempuan status najisnya
sama dengan kencing orang dewasa.
Cara menghilangkan atau mensucikan najis tersebut
adalah dengan menyiramkan air suci pada kencing
anak tersebut sampai merata walaupun air itu tidak
mengalir. Siraman cukup dilakukan satu kali.
CARA MENGHILANGKAN/MENYUCIKAN NAJIS
SEDANG (MUTAWASSITAH)
Najis mutawassitah (sedang) adalah seluruh najis
selain najis anjing babi dan najis bayi laki-laki.
Cara menyucikan najis mutawassitah ainiyah adalah
dengan menghilangkan perkara yang najis yakni
rasa, warna dan baunya dengan air yang suci dan
mensucikan. Apabila sulit menghilangkan warna atau
baunya, maka tidak apa-apa () .
Apabila air untuk menyucikan kurang dari 2 (dua)
qullah maka harus dengan mengalirkan/menyiramkan
air tersebut ke benda yang najis. Apabila air sampai
2 qullah atau lebih, maka tidak disyaratkan
mengalirkan air ke benda najis tersebut bahkan
boleh memasukkan benda najis tersebut ke air yang
sampai 2 qullah atau lebih. Kecuali apabila berubah
salah satu dari 3 sifatnya (warna, bau dan rasa)
maka air tersebut tetap suci.
CARA MENGHILANGKAN/MENYUCIKAN NAJIS
BERAT (MUGHALLADZAH)
Najis mughalladzah (mugholadhoh) adalah najis
anjing dan babi. Cara menghilangkannya adalah
dengan membasuh najis sebanyak 7 (tujuh) kali dan
salah satu dari tujuh itu dicampur dengan debu atau
tanah yang suci.
CARA MEMBASUH DENGAN DEBU
Adapun cara membasuh najis dengan debu bisa
dilakukan dengan tiga metode, yaitu:
1. Membasuh dengan air lalu kita letakkan debu di
atasnya untuk membersihkan.
2. Meletakkan debu / tanah di tempat yang terkena
najis lalu dibasuh dengan air.
3. Mencampur debu dengan air lalu dipakai untuk
membasuh tempat najis. (Lihat dalam Al-Wasit,
1/407).
APAKAH SABUN SAMA DENGAN DEBU?
Ulama berbeda pendapat dalam soal ini:
1. Pendapat pertama, bahwa selain debu itu tidak
bisa dipakai sebagai pengganti debu secara mutlak:
baik ada debu atau tidak ada. Ini pendapat paling
kuat dalam mazhab Syafi'i dan Hanbali.
2. Pendapat kedua, bahwa selain debu itu bisa jadi
pengganti debu secara mutlak baik karena tidak ada
debu atau ada. Ini suatu pendapat dalam mazhab
Syafi'i yang dipilih Imam Muzani. Ini pendapat
masyhur dalam mazhab Hanbali.
3. Pendapat ketiga, bahwa selain debu itu bisa jadi
pengganti debu apabila tidak ada debu atau apabila
debu dapat merusak tempat yang yang najis itu. Ini
satu pendapat dalam mazhab Syafi'i dan Hanbali.
Kesimpulan: Yang utama adalah memakai debu
dalam menghilangkan najis anjing. Akan tetapi selain
debu, seperti sabun, itu juga berfungsi
membersihkan dan menjadi pengganti debu terutama
apabila sulit memakai debu baik karena tidak adanya
atau karena dapat merusak tempat yang akan
disucikan seperti adanya najis pada pakaian. (Lihat
dalam Al-Wasit, 1/407).
STATUS AIR BEKAS MEMBASUH NAJIS ANJING BABI
PADA BASUHAN PERTAMA SAMPAI KEENAM
Al-Mawardi dalam Alhawi Al-Kabir 1/310 membagi
pendapat ulama madzhab Syafi'i dalam tiga kategori
yaitu najis, suci, najis untuk bekas basuhan pertama
s/d keenam, sedang bekas basuhan ketujuh suci.
Bagi yang berpendapat najis, apakah najisnya
mugholadzah atau mutawassithoh dan berapa kali
harus dibasuh supaya suci ada dua pendapat. Berikut
keterangan Al-Mawardi dalam Alhawi Al-Kabir 1/310:
:

:
:
.
: :
.
:
: ]
[ 310 :
:
: :
.
:
:




:
: : .
:
:
: .
Artinya: Bab air sisa membasuh wadah yang dijilat
anjing
Adapun air yang dipakai dalam basuhan yang tujuh
apabila disendirikan dari tiap-tiap basuhan, maka
ulama madzhab Syafi'i terbagi dalam 3 pendapat.
Pertama, masing-masing air bekas basuhan itu najis
berdasarkan pada hukum asal air bekas
menghilangkan najis adalah najis.
Kedua, masing-masing bekas basuhan yang tujuh itu
suci. Karena ia air mustakmal. Dan masing-masing
basuhan itu memiliki bagian dalam menyucikan
wadah.
Ketiga, air basuhan yang ketujuh hukumnya suci.
Sedangkan basuhan sebelumnya dari pertama
sampai keenam hukumnya najis karena terpisah dari
tempat sedang najisnya masih ada.
Apabila mengikuti pendapat ini, maka wajib
membasuh benda atau badan yang terkena bekas air
basuhan ini. Adapun jumlah basuhan yang harus
dilakukan ada dua pendapat: Pertama, cukup
dibasuh satu kali saja. Kedua, harus dibasuh
menurut jumlah yang tersisa dari tujuh pada basuhan
yang terkena. (Misalnya, apabila cipratan air itu pada
basuhan yang pertama, maka membasuhnya enam
kali, dst.)
CARA MENGHILANGKAN NAJIS HUKMIYAH (
)
Adapun menghilangkan atau menyucikan najis
hukmiyah adalah sama dengan menyucikan najis
ringan (mukhaffafah) yaitu dengan menyiramkan air
suci pada najis hukmiyah tersebut sampai merata
walaupun air itu tidak mengalir.
NAJIS ANJING MENURUT EMPAT MADZHAB
Madzhab yang empat yaitu Syafi'i, Hanafi, Maliki,
Hanbali memiliki perbedaan pendapat tentang
najisnya anjing sebagai berikut:
- Madzhab Syafi'i: menghukumi bahwa seluruh bagian
anjing adalah najis baik badan, bulu, lendir, keringat
dan air liurnya.
Adapun cara menyucikannya adalah dengan
menyiramkan 7 kali air salah satunya dicampur
dengan tanah. Namun ada pendapat dalam madzhab
Syafi'i yang menyatakan yang wajib dibasuh 7 kali itu
adalah yang terkena air ludah anjing sedangkan yang
selain itu cukup dibasuh satu kali ini berdasar
pendapat Imam Nawawi dalam kitab Raudhah dan Al-
Majmuk seperti dikutip dari kitab Kifayatul Akhyar
1/63.
:
:

Artinya: Imam Nawawi berkata dalam kitab Raudah:
Menurut pendapat yang langka (syadz), cukup
membasuh satu kali pada najis anjing selain bekas
jilatan sebagaimana membasuh najis yang lain.
Pendapat ini dikatakan Nawawi dalam Al-Majmuk
Syarah Muhadzab: Pendapat ini diunggulkan dan kuat
dari sisi dalil karena perintah membasuh tujuh kali
itu untuk membersihkan dari bekas makan anjing.
Adapun sabun dapat berfungsi sebagai pengganti
tanah untuk menyucikan najis anjing menurut salah
satu pendapat seperti dikutip dalam kitab Kifayatul
Akhyar 1/63 sbb:
:


. ( )
.
: . :
.
Artinya: Apakah sabun dan lumut bisa berfungsi
sama dengan debu? Ada beberapa pendapat.
Pertama, iya. Sebagaimana berfungsinya selain batu
sama dengan batu dalam istinjak (Jawa, cewok)... Ini
adalah pendapat yang disahihkan Nawawi dalam
kitabnya Ru'us al-Masa'il. Yang paling dhahir dalma
pendapat Rofi'i, Raudah dan Al-Majmuk adalah tidak
karena kesuciannya berkaitan dengan debu maka
yang lain tidak bisa disamakan. Pendapat ketiga,
apabila ada debu maka yang lain tidak dianggap.
Kalau tidak ada debu, maka sabun bisa dijadikan
pengganti. Menurut satu pendapat: sabun bisa
berfungsi seperti debu pada benda yang bisa rusak
dengan debu seperti baju, bukan wadah.
- Madzhab Maliki: berpendapat bahwa anjing yang
hidup adalah suci baik badannya, bulunya maupun air
liurnya. Adapun mencuci wadah yang bekas dijilat
anjing maka hukumnya ta'abhudi (sunnah).
- Madzhab Hanafi: berpandangan bahwa badan dan
bulu anjing itu suci. Sedang air liur anjing adalah
najis. Cara menyucikannya cukup 3 (tiga) kali.
- Madzhab Hanbali: ada dua pendapat di antara
ulama madzhab Hanbali yaitu (a) anjing itu najis baik
badannya, bulunya maupun air liurnya; (b) Badan dan
bulu anjing itu suci. Hanya air liurnya yang najis.
Abdurrahman Al-Jaziri dalam Al-Fiqh alal Madzahibil
Arba'ah menyatakan
. : .



(
"


Artinya: Anjing dan babi. Madzhab Maliki
berpendapat setiap sesuatu yang hidup itu suci
walaupun anjing atau babi. Madzhab Hanafi sepakat
atas kesucian anjing selagi hidup menurut pendapat
yang rajih (unggul) kecuali bahwa Hanafi
berpendapat atas najisnya air liur anjing saat hidup
karena mengikuti pada najisnya daging anjing
setelah matinya. Apabila ada anjing jatuh ke dalam
sumur lalu keluar dalam keadaan hidup sedang
mulutnya tidak mengenai air sumur,maka airnya
tidak najis. Begitu juga basahnya anjing tidak najis
apabila menimpa sesuatu. Hewan yang dilahirkan
dari kedua anjing dan babi atau dari salah satunya
walaupun dengan hewan lain. Adapun dalil najisnya
anjing adalah hadits riwayat Muslim dari Nabi:
"Apalagi anjing menjilat wadah kaliah, maka alirkan
air dan basuhlah wadah itu tujuh kali." Adapun
najisnya babi maka itu berdasarkan pada analogi
(qiyas) pada najis anjing karena babi lebih buruk
perilakunya dibanding anjing dan karena ada teks
Quran atas keharamannya dan haramnya
memilikinya.
HUKUM MEMELIHARA ANJING
Hukum memelihara anjing sebagai binatang
peliharaan (pet) adalah haram kecuali untuk
keperluan menjaga atau berburu yang terakhir ini
boleh karena darurat. Ini kesepakatan ulama
termasuk mereka yang menganggap anjing tidak
najis berdasarkan pendapat ulama yang dikutip Al-
Jaziri di atas dan juga pandangan Imam Nawawi
dalam Syarah Sahih Muslim 3/186 sebagai berikut:



Artinya: Nabi memberi dispensasi atau keringanan
(rukhsoh) pada anjing pemburu, anjing penggembala
kambing, dan dalam riwayat hadits yang lain anjing
penjaga tanaman. Nabi melarang memelihara
lainnya. Ulama madzhab Syafi'i dan lainnya sepakat
bahwa haram memelihara anjing tanpa ada
keperluan seperti memiliki anjing karena takjub pada
bentuknya atau untuk kebanggaan. Ini semua haram
tanpa perbedaan ulama.
NAJIS BABI MENURUT EMPAT MADZHAB
Hukum babi sama statusnya dengan anjing.
Mayoritas madzhab menganggapnya najis kecuali
madzhab Maliki. Lihat detailnya di Hukum Najis
Anjing Menurut Empat Madzhab. Namun, ada juga
pendapat yang menyatakan bahwa najis babi
hanyalah najis biasa seperti hewan yang lain
sebagaimana pendapat berikut ini:
APA NAJIS BABI SAMA DENGAN NAJIS ANJING?
Babi adalah najis. Allah berfirman dalam QS Al-An'am
145. Rijs dalam ayat tersebut bermakna najis
menurut mayoritas ulama. Namun apakah najis babi
sama dengan najis anjing? Ulama berbeda pendapat.
Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, 1/448
menyatakan:


Artinya: Kebanyakan ulama berpendapat bahwa najis
babi tidak perlu dibasuh 7 kali. Ini pendapat Imam
Syafi'i dan pendapat ini cukup kuat dalilnya.
KAEDAH FIQIH TERKAIT NAJIS
( )


Artinya: Baju apabila hilang najisnya dan tidak ada
bekasnya (rasa, bau, warna), maka hukumnya suci.
Apabila tampak warna (najis)-nya saja, atau baunya
saja yang sulit dihilangkan, maka suci. Apabila masih
ada rasa dan sulit hilang; atau warna dan bau secara
bersamaan, maka hukumnya mutanajjis (terkena
najis)
CARA MENGHILANGKAN ATAU MENYUCIKAN NAJIS
MENURUT EMPAT MADZHAB
MENGHILANGKAN NAJIS DENGAN BENDA CAIR
SELAIN AIR
Ada dua pendapat ulama dalam soal ini. Pendapat
pertama, najis dapat hilang atau suci dengan alat
apapun yang suci yang dapat menghilangkan najis.
Jadi tidak tertentu pada air saja. Ini pendapat
madzhab Hanafi dan pilihan Ibnu Taimiyah (dari
madzhab Hanbali). Pendapat kedua, najis tidak bisa
dihilangkan kecuali dengan air. Ini pendapat
madzhab Maliki, Syafi'i, Hanbali, dan Muhammad dan
Zafar dari madzhab Hanafi. (l
MENGHILANGKAN NAJIS DENGAN ALAT MODERN
Dalam mazhab Syafi'i, air adalah satu-satunya cara
untuk menghilangkan najis dan menyucikan sesuatu
yang terkena najis. Namun ada ulama dalam mazhab
lain menyatakan bahwa najis bisa dhilangkan dengan
selain air.
MENGHILANGKAN NAJIS DENGAN UAP
Menurut pendapat Ibnu Taimiyah dari madzhab
Hanbali, apabila najis bisa hilang dengan sinar
matahari, maka itu dapat menyucikan tempat yang
terkena najis. Apabila demikian, maka penghilangan
najis dengan uap selagi dapat menghilangkan rasa
atau warna atau bau maka itu dapat menghilangkan
najis. Pendapat ini tidak disepakati oleh kalangan
madzhab yang mengharuskan memakai air untuk
menghilangkan najis.
MENGHILANGKAN NAJIS DENGAN DIGARUK DAN
DIGOSOK
Ada tiga pendapat ulama dalam soal in:.
Pendapat pertama: Madzhab Hanafi berpendapat
bahwa menggosok najis dapat menyucikan pada
sandal dan khuf saja (khuf adalah muza atau kaus
kaki khusus musim dingin). Maka menggosok tidak
dapat menyucikan baju kecuali mani (sperma) saja.
Mereka mensyaratkan najis tersebut harus berupa
benda padat (jazm). Apabila berupa kencing maka
tidak dapat disucikan dengan digosok atau dikerik
dan harus dibasuh. Madzhab Hanafi membagi dua
tentang apakah disyaratkan dalam benda padat itu
kering atau tidak. Imam Abu Hanifah sendiri
mensyaratkan harus kering. Kalau basah maka harus
dibasuh dengan air. Sedangkan Abu Yusuf tidak
mensyaratkan harus kering. Artinya, benda padat
yang basah juga bisa disucikan dengan digosok atau
dikerik.
Pendapat kedua, madzhab Maliki membedakan
antara kaki wanita dan sandalnya. Apabila kaki
terkena najis, maka harus disucikan dengan air.
Adapun sandal dan muza (khuf), maka menggosok
hanya dapat menyucikan sandal dari kotoran hewan
dan kencingnya baik kering atau basah. Apabila
najisnya itu selain dari kotoran hewan dan
kencingnya, maka harus dibasuh dengan air.
Pendapat ketiga, wajib membasuh kaki perempuan
dan muka secara mutlak. Ini pendapat Qaul Jadid
dari madzhab Syafi'i. Adapun pendapat Qaul Qadim
dari madzhab Syafi'i adalah membedakan antara kaki
wanita dan sandalnya. Maka, kaki wanita harus
dibasuh dengan air apabila terkena najis. Dan tidak
perlu membasuh najis yang mengenai bagian bawah
sandal setelah digosok apabila dalam keadaan
kering.
MENGHILANGKAN NAJIS DENGAN API DAN
MATAHARI
MENGHILANGKAN NAJIS DENGAN DIBAKAR API
Pendapat ulama dalam soal ini terbagi dua:
Pendapat pertama, madzhab Maliki dan sebagian
madzhab Hanbali berpendapat bahwa pembakaran
apabila merubah benda yang najis dari segi sifatnya
sampai menjadi benda lain seperti bangkai apabila
dibakar menjadi abu, maka ia suci. Apalagi apabila
benda ini asalnya suci lalu terkena najis seperti baju
apabila terkena najis, maka ia menjadi suci dengan
dibakar dengan syarat berubah sifat-sifatnya.
Pendapat kedua, madzhab Syafi'i, sebagian Maliki,
sebagian Hanafi, dan pendapat masyhur dari
madzhab Hanbali berpendapat bahwa pembakaran
tidak menjadikan suatu benda menjadi benda lain. Ia
tetap najis baik benda itu asalnya najis atau terkena
najis. Karena yang tersisa dari pembakaran itu
merupakan bagian dari benda najis.
MENGHILANGKAN NAJIS DENGAN SINAR MATAHARI
Ada dua pendapat ulama dalam soal ini.
Pendapat pertama, madzhab Hanafi berpendapat
bahwa bumi apabila terkena najis lalu kering oleh
sinar matahari maka ia menjadi suci dengan
kesucian yang bersifat dugaan (dzanni) yakni boleh
melakukan shalat di tempat itu tapi tidak boleh
bertayammum dengannya karena salah satu syarat
tayammum harus dengan tanah yang pasti sucinya
(QS An-Nisa 4:43).
Pendapat kedua, madzhab Maliki, Syafi'i, Hanbali,
dan Zafar dari madzhab Hanafi berpendapat bahwa
bumi/tanah tidak bisa suci sebab menjadi kering.
Maka tidak boleh melaksanakan shalat di tempat itu
juga tanahnya tidak boleh dibuat tayammum.
MENGHILANGKAN NAJIS DENGAN SAMAK
Ada empat perbedaan pendapat ulama dalam hal ini.
Perbedaan ini timbul dari perbedaan mereka dalam
menyikapi soal najis atau sucinya hewan yang hidup.
Yang berpendapat hewan hidup itu najis, maka
samak tidak menyucikan dan tidak halal mengambil
manfaat darinya. Bagi yang berpendapat bahwa
hewan hidup itu suci, maka samak itu menyucikan
dan boleh mengambil manfaat darinya.
Pendapat pertama, samak itu menyucikan seluruh
kulit bangkai kecuali kulit babi. Ini pendapat
madzhab Hanafi.
Pendapat kedua, samak itu tidak menyucikan kulit.
Ini pendapat madzhab Maliki dan sebagian pendapat
dalam madzhab Hanbali.
Pendapat ketiga, samak itu menyucikan kulit
bangkai kecuali anjing dan babi dan yang lahir dari
salah satunya. Ini pendapat madzhab Syafi'i.
Pendapat keempat, samak menyucikan kulit bangkai
hewan yang dapat dimakan dagingnya dan tidak
dapat menyucikan yang lain. Ini pendapat lain dari
madzhab Hanbali.
=========================
DAFTAR PUSTAKA
1. dalam kitab
2. dalam kitab

3.
dalam
kitab )
4. dalam kitab
5. dalam kitab
6. dalam kitab
7.
8. Abdurrahman Al-Jaziri dalam Al-Fiqh alal
Madzahibil Arba'ah
9. Kifayatul Akhyar
10. Imam Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim
12. Kitab-kitab yang dipakai rujukan dalam soal
menghilangkan najis menurut madzhab empat antara
lain:

Anda mungkin juga menyukai