Anda di halaman 1dari 15

ASUHAN KEPERAWATAN LINTAS BUDAYA DENGAN

KASUS DENGUE HEMORAGIK FEVER ( DHF )


Oleh
Nomor Kelompok
: 3 (Tiga)
Ketua Kelompok
: Budi Mulyana
(201233022)
Seketaris
: Abdul Somad
(201233034)
Anggota Kelompok
: 1. Bernadeta Gobai (201133051)
2. Diana Aprilia
(201233031)
3. Marieta Saraswati (201233039)
4. Nor Anila Sari
(201233029)
Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Ilmu Ilmu Kesehatan
Universitas Esa Unggul
Jakarta
2013
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat membutuhkan pelayanan kesehatan termasuk kualitas asuhan
keperawatan yang baik di Jaman globalisasi ini. Dengan adanya globalisasi ini perpindahan
penduduk semakin besar mengakibatkan adanya pergeseran dalam asuhan keperawatan.
Keperawatan sebagai profesi mempunyai landasan body of knowledge yang kuat yang dapat
dikembangkan serta diaplikasikan dalam praktek keperawatan.
Penduduk dari kelompok sosiokultural yang berbeda akan mempunyai perbedaan
budaya, kepercayaan, tata nilai dan gaya hidup. Beberapa faktor tersebut secara bermakna
akan mempengaruhi cara individu merespon terhadap masalah keperawatan, terhadap
pemberi pelayanan keperawatan dan terhadap keperawatan itu sendiri. Jika faktor tersebut
tidak dipahami dan dihargai oleh pemberi pelayanan kesehatan, maka pelayanan keperawatan
yang diberikan mungkin menjadi tidak efektif.keragaman budaya akan menjadi jelas, bahwa
pebedaan budaya harus dipertimbangkan, dipahami dan dihargai. dan pelayanan keperawatan
yang diberikan harus sesuai dengan budaya yang dimiliki. Hal ini merupakan tantangan bagi
perawat dalam memberikan asuhan keperawatan transkultural atau lintas budaya dengan
perspektif global, yang didasari oleh teori Transcultural Nursing.
Transkultural nursing atau keperawatan lintas budaya adalah suatu area formal
keilmuan dan praktik yang memfokuskan adanya perbedaan dan kesamaan dari budaya,
kepercayaan, nilai-nilai dan cara hidup, untuk memberikan asuhan keperawatan yang
kongruen secara budaya pada semua orang dengan latar belakang budaya berbeda, sehingga
menjadi berarti dan bermanfaat bagi pelayanan kesehatan begitu juga dalam pemberian
asuhan keperawatan (Leininger,2002). Proses keperawatan merupakan satu pendekatan untuk
pemecahan masalah yang memungkinkan perawat dapat mengatur dan memberikan asuhan
keperawatan (Potter & Perry, 2005). Proses keperawatan terdiri dari lima tahap, yakni:
Pengkajian, Diagnosis Keperawatan, Perencanaan, Pelaksanaan.
1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum


Tujuannya untuk mengembangkan sains dan pohon keilmuan yang humanis sehingga
tercipta praktik keperawatan pada kultur yang spesifik dan universal (Leningger, 1978) dan
dapat memahami tentang perspektif transkultural dalam keperawatan berkenaan dengan
globalisasi dan pelayanan kesehatan dalam memberikan asuhan keperawatan bagi pasien
menjelang dan saat kematian.
1.2.2 Tujuan Khusus
1.2.2.1 Mahasiswa mampu memaparkan perspektif keperawatan transkultural dalam perawatan
Pasien DHF
1.2.2.2 Mahasiswa mampu memaparkan asuhan keperawatan transkulturaldalam masalah DHF
1.2.2.3 Mahasiswa mampu memaparkan penyelesaian kasus mengenai peran perawat bila
dihadapkan pada situasi tersebut dan hal yang sebaiknya dilakukan perawat untuk
membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan
BAB 2 TINJAUAN TEORI
2.1 Teori Menurut Medeline Leningger
2.1.1 Pengertian
Keperawatan transkultural adalah ilmu dengan kiat yang humanis yang difokuskan
pada perilaku individu/kelompok serta proses untuk mempertahankan atau meningkatkan
perilaku sehat atau sakit secara fisik dan psikokultural sesuai latar belakang budaya.
Sedangkan menurut Leinenger (1978), keperawatan transkultural adalah suatu pelayanan
keperawatan yang berfokus pada analisa dan studi perbandingan tentang perbedaan
budaya. Keperawatan sebagai profesi memiliki landasan body of knowledge yang dapat
dikembangkan dan diaplikasikan dalam praktek keperawatan.
Teori transkultural dari keperawatan berasal dari disiplin ilmu antropologi
dan dikembangkan dalam konteks keperawatan. Teori ini menjabarkan konteks atau konsep
keperawatan yang didasari oleh pemahaman tentang adanya perbedaan nilai-nilai cultural
yang melekat dalam masyarakat. Menurut Leinenger, sangat penting memperhatikan
keragaman budaya dan nilai-nilai dalam penerapan asuhan keperawatan kepada klien. Bila
hal tersebut diabaikan oleh perawat, akan mengakibatkan terjadinya cultural shock. Cultural
shock akan dialami oleh klien pada suatu kondisi dimana perawat tidak mampu beradaptasi
dengan perbedaan nilai budaya
2.1.2 Konsep Keperawatan Lintas Budaya
2.1.2.1 Budaya
Budaya adalah keseluruhan komplek yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni,
moral, hukum, adat, dan setiap kemampuan lain dari kebiasaan yang diperolah manusia
sebagai anggota masyarakat (Taylor, 1871)
2.1.2.2 Nilai budaya
Nilai adalah persepsi dari apa yang baik atau berguna. Nilai budaya adalah setiap
manusia mempunyai persepsi budaya mana yang baik dan berguna untuk dirinya dan orang
lain. Keinginan individu untuk tindakan yang lebih diinginkan atau suatu tindakan yang
dipertahankan pada suatu waktu tertentu untuk melandasi tindakan dan keputusan
2.1.2.3 Etnosentris
Budaya yang dimiliki oleh orang lain dan menganggap budayanya yang terbaik.
2.1.2.4 Etnis

Etnis adalah seperangkat kondisi spesifik yang dimiliki oleh kelompok tertentu.
Sekelompok etnis adalah sekumpulan individu yang mempunyai budaya dan sosial yang unik
serta menurunkannya kepada generasi berikutnya (Handersen dan Primeaux, 1981)
2.1.2.5 Ras
Ras adalah sistem pengklasifikasian manusia berdasarkan karakteristik fisik,
pigmentasi, dan bentuk tubuh. Ada 3 ras yang umumnya dikenal, yaitu kuakasoid, negroid,
dan mongoloid.
2.1.2.6 Etnografi
Etnografi adalah kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau
etnik, misalnya tentang adat istiadat, kebiasan, hukum, seni, religi, dan bahasa. Pendekatan
metodologi pada penelitian etnografi memungkinkan perawat untuk mengembangkan
kesadaran yang tinggi pada pemberdayaan budaya setiap individu.
2.1.2.7 Care
Fenomena yang berhubungan dengan bimbingan bantuan, dukungan perilaku pada
individu, keluarga dan kelompok dengan adanya kejadian untuk memenuhi kebutuhan baik
aktual maupun potensial untuk meningkatkan kondisi dan kualitas kehidupan manusia
2.1.2.8 Caring
Tindakan langsung yang diarahkan untuk membimbing, mendukung dan mengarahkan
individu, keluarga atau kelompok pada keadaan yang nyata atau antisipasi kebutuhan untuk
meningkatkan kondisi kehidupan manusia
2.1.2.9 Culture care
Kemampuan kognitif untuk mengetahui nilai, kepercayaan dan pola ekspresi
digunakan untuk membimbing, mendukung atau memberikesempatan individu, keluarga atau
kelompok untuk mempertahankan kesehatan, sehat dan berkembang bertahan hidup dalam
keterbatasan dan mencapai kematian dengan damai
2.1.2.11 Cultural imposition
Kecenderungan tenaga kesehatan untuk memaksakan kepercayaan, praktek dan nilai
karena percaya bahwa ide yang dimiliki oleh perawat lebih tinggi dari kelompok lain.
2.1.3 Model Sunrise Keperawatan Lintas Budaya

Add caption

The Sunrise Model ( Model matahari terbit)


Sunrise Model dari teori Leininger dapat dilihat pada gambar di atas. Matahari terbit
sebagai lambang / symbol perawatan. Suatu kekuatan untuk memulai pada puncak dari model
ini dengan pandangan dunia dan keistimewaan struktur sosial untuk mempertimbangkan arah
yang membuka pikiran yang mana ini dapat mempengaruhi kesehatan dan perawatan atau
menjadi dasar untuk menyelidiki berfokus pada keperawatan profesional dan sistem
perawatan kesehatan secara umum. Anak panah berarti mempengaruhi tetapi tidak menjadi
penyebab atau garis hubungan. Garis putus-putus pada model ini mengindikasikan sistem
terbuka. Model ini menggambarkan bahwa tubuh manusia tidak terpisahkan / tidak dapat
dipisahkan dari budaya mereka.
Suatu hal yang perlu diketahui bahwa masalah dan intervensi keperawatan tidak
tampak pada teori dan model ini. Tujuan yang hendak dikemukakan oleh Leininger adalah
agar seluruh terminologi tersebut dapat diasosiasikan oleh perawatan profesional lainya.
Intervensi keperawatan ini dipilih tanpa menilai cara hidup klien atau nilai-nilai yang akan
dipersepsikan sebagai suatu gangguan, demikian juga masalah keperawatan tidak selalu
sesuai dengan apa yang menjadi pandangan klien. Model ini merupakan suatu alat yang
produktif untuk memberikan panduan dalam pengkajian dan perawatan yang sejalan dengan
kebudayan serta penelitian ilmiah.
2.1.4 Paradigma Keperawatan Lintas Budaya
Paradigma transcultural nursing (Leininger 1985) , adalah cara pandang, keyakinan,
nilai-nilai, konsep-konsep dalam asuhan keperawatan yang sesuai latar belakang budaya,
terhadap 4 konsep sentral keperawatan yaitu :
2.1.4.1 Manusia
Manusia adalah individu, keluarga atau kelompok yang memiliki nilai-nilai dan
norma-norma yang diyakini dan berguna untuk menetapkan pilihan dan melakukan pilihan.
Menurut Leininger (1984) manusia memilikikecenderungan untuk mempertahankan
budayanya pada setiap saat dimanapundia berada (Geiger and Davidhizar, 1995).
2.1.4.2 Sehat
Kesehatan adalah keseluruhan aktifitas yang dimiliki klien dalam
mengisi kehidupannya, terletak pada rentang sehat sakit. Kesehatan merupakan
suatu keyakinan, nilai, pola kegiatan dalam konteks budaya yang digunakan untuk menjaga
dan memelihara keadaan seimbang/sehat yang dapat diobservasidalam aktivitas sehari-hari.
Klien dan perawat mempunyai tujuan yang samayaitu ingin mempertahankan keadaan sehat
dalam rentang sehat-sakit yangadaptif (Andrew and Boyle, 1995).
2.1.4.3 Lingkungan
Lingkungan didefinisikan sebagai keseluruhan fenomena yang mempengaruhi
perkembangan, kepercayaan dan perilaku klien. Lingkungan dipandang sebagai suatu
totalitas kehidupan dimana klien dengan budayanya saling berinteraksi. Terdapat tiga bentuk
lingkungan yaitu : fisik, sosial dan simbolik. Lingkungan fisik adalah lingkungan alam atau
diciptakan oleh manusia seperti daerah katulistiwa, pegunungan, pemukiman padat dan iklim
seperti rumah di daerah Eskimo yang hampir tertutup rapat karena tidak pernah ada matahari
sepanjang tahun. Lingkungan sosial adalah keseluruhan struktur sosial yang berhubungan
dengan sosialisasi individu, keluarga atau kelompok ke dalam masyarakat yang lebih luas. Di
dalam lingkungan sosial individu harus mengikuti struktur dan aturan-aturan yang berlaku di

lingkungan tersebut. Lingkungan simbolik adalah keseluruhan bentuk dan simbol yang
menyebabkan individu atau kelompok merasa bersatu seperti musik, seni, riwayat hidup,
bahasa dan atribut yang digunakan.
2.1.4.4 Keperawatan
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada
praktik keperawatan yang diberikan kepada klien sesuai dengan latar belakang budayanya.
Asuhan keperawatan ditujukan memandirikan individu sesuai dengan budaya klien. Strategi
yang digunakan dalam asuhan keperawatan adalah perlindungan / mempertahankan budaya,
mengakomodasi/negoasiasi budaya dan mengubah/mengganti budaya klien (Leininger,
1991).
2.2 Proses Keperawatan Lintas Budaya
2.2.1 Pengkajian Keperawatan Lintas Budaya
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi masalah
kesehatan klien sesuai dengan latar belakang budaya klien ( Giger and Davidhizar,
1995). Perawat harus memberikan perawatan yang sensitif dan kompeten secara kultural
kepada individu, keluarga, kelompok, dan komunitas. Satu cara di mana berkembang
sensitivitas dan penghargaan terhadap individu, keluarga, kelompok, komunitas tertentu
adalah ketika perawat keluar dan menyaksikan kehidupan sehari hari dari individu,
keluarga, kelompok, dan masyarakat tersebut Peran perawat dalam transkultural nursing yaitu
menjembatani antara sistem perawatan yang dilakukan masyarakat awam dengan sistem
perawatan melalui asuhan keperawatan.
Tujuan dari pengkajian keperawatan lintas budaya adalah menetapkan data dasar
tentang kebutuhan, masalah kesehatan, pengalaman yang berkaitan, praktek kesehatan, nilai
dan gaya hidup yang dilakukan klien.
Prinsip prinsip pengkajian yaitu Jangan menggunakan asumsi, Jangan membuat
streotif bisa menjadi konflik (misalnya: orang Padang pelit,orang Jawa halus), Menerima dan
memahami metode komunikasi, Menghargai perbedaan individual, Tidak boleh membedabedakan keyakinan klien, Menyediakan privacy terkait kebutuhan pribadi.
2.2.1.1 Faktor teknologi (technological factors)
Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih atau mendapat
penawaran menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan. Perawat perlu mengkaji:
Persepsi sehat sakit, kebiasaan berobat atau mengatasi masalah kesehatan, alasan mencari
bantuan kesehatan, alasan klien memilih pengobatan alternative dan persepsi klien tentang
penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi permasalahan kesehatan ini.
2.2.1.2 Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors )
Agama adalah suatu symbol yang mengakibatkan pandangan yang amat realistis bagi
para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat kuat untuk mendapatkan
kebenaran diatas segalanya, bahkan diatas kehidupannya sendiri. Faktor agama yang harus
dikaji oleh perawat adalah: agama yang dianut, status pernikahan, cara pandang klien
terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama yang berdampak positif
terhadap kesehatan.
2.2.1.3 Faktos sosial dan keterikatan keluarga ( kinshop and Social factors )
Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor: nama lengkap, nama panggilan,
umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga, pengambilan keputusan
dalam keluarga dan hubungan klien dengan kepala keluarga.
2.2.1.4 Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways )

Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut
budaya yang di anggap baik atau buruk. Norma norma budaya adalah suatu kaidah yang
mempunyai sifat penerapan terbatas pada penganut budaya terkait. Yang perlu di kaji pada
factor ini adalah posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang
digunakan, kebiasaan makan, makanan yang dipantang dalam kondisi sakit, persepsi sakit
berkaitan dengan aktivitas sehari- hari dan kebiasaan membersihkan diri.
2.2.1.5 Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors )
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu yang
mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas budaya (Andrew and
Boyle, 1995 ). Yang perlu dikaji pada tahap ini adalah: peraturan dan kebijakan yang
berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu, cara
pembayaran untuk klien yang dirawat.
2.2.1.6 Faktor ekonomi (economical factors)
Klien yang dirawat dirumah sakit memanfaatkan sumber-sumber material yang
dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh. Faktor ekonomi yang harus dikaji
oleh perawat diantaranya: pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan, tabungan yang dimiliki
oleh keluarga, biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian biaya dari kantor atau
patungan antar anggota keluarga.
2.2.1.7 Faktor pendidikan ( educational factors )
Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam menempuh jalur
formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya
didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat belajar
beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya. Hal yang perlu dikaji
pada tahap ini adalah: tingkat pendidikan klien, jenis pendidikan serta kemampuannya untuk
belajar secara aktif mandiri tentang pengalaman sedikitnya sehingga tidak terulang kembali
2.2.2 Diagnosa Keperawatan Lintas Budaya
Pengkajian memberdayakan perawat untuk mengelompokan data yang relavan dan
mengembangkan diagnosa keperawatan potensial dan aktual yang berhubungan dengan
kebutuhan kultural dan etnik klien. Selain itu diagnosa keperawatan harus menyatakan
penyebab yang mungkin. Identifikasi terhadap penyebab masalah lebih jauh
mengindividualisasikan rencana asuhan keperawatan dan mendorong pemilihan intervensi
yang sesuai. Diagnosa keperawatan adalah respon klien sesuai latar belakang budayanya yang
dapat dicegah, diubah atau dikurangi melalui intervensikeperawatan. (Giger and Davidhizar,
1995). Terdapat tiga diagnosa keperawatan yang sering ditegakkan dalam asuhan
keperawatan transkultural yaitu : gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan
perbedaan kultur, gangguan interaksi sosial berhubungan disorientasi sosiokultural
dan ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan dengan sistem nilai yang diyakini.
2.2.3 Intervensi Keperawatan Lintas Budaya
Perencanaan dan pelaksanaan dalam keperawatan trnaskultural adalah kategori dari
perilaku keperawatan dimana tujuan yang berpusat pada klien dan hasil yang diperkirakan
ditetapkan dan intervensi keperawatan dipilih untuk mencapai tujuan tersebut. suatu proses
keperawatan yang tidak dapat dipisahkan. Perencanaan adalahsuatu proses memilih strategi
yang tepat. Ada 3 komponen dalam perencanaan keperawatan cara pertama Cultural care
preservation/maintenance adalahMempertahankan budaya bila budaya pasien tidak
bertentangan dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan sesuai
dengan nilai-nilai yang relevan yang telah dimiliki klien sehingga klien dapat meningkatkan

atau mempertahankan status kesehatannya, misalnya budaya berolahraga setiap pagi yaitu
dengan cara 1) Identifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat, 2) Bersikap tenang
dan tidak terburu-buru saat berinterkasi dengan klien, 3) Mendiskusikan kesenjangan budaya
yang
dimiliki
klien
dan
perawat. Cara
kedua Cultural
careaccommodation / negotiation adalah Intervensi dan implementasi keperawatan pada
tahap ini dilakukan untuk membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih
menguntungkan kesehatan. Perawat membantu klien agar dapat memilih dan menentukan
budaya lain yang lebih mendukung peningkatan kesehatan, misalnya klien sedang hamil
mempunyai pantang makan yang berbau amis, maka ikan dapat diganti dengan sumber
protein hewani yang lain dengan cara 1) Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh
klien, 2) Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan, 3) Apabila konflik tidak
terselesaikan, lakukan negosiasi dimana kesepakatan berdasarkan pengetahuan biomedis,
pandangan
klien
dan
standar
etik. Cara
ketiga Cultual
care
repartening/reconstruction adalah Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang
dimiliki merugikan status kesehatan. Perawat berupaya merestrukturisasi gaya hidup klien
yang biasanya merokok menjadi tidak merokok. Pola rencana hidup yang dipilih biasanya
yang lebih menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan yang dianut dengan cara 1) Beri
kesempatan pada klien untuk memahami informasi yang diberikan dan
melaksanakannya, 2) Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budaya
kelompok, 3) Gunakan pihak ketiga bila perlu, 4) Terjemahkan terminologi gejala pasien ke
dalam bahasa kesehatan yang dapat dipahami oleh klien dan orang tua, 5) Berikan informasi
pada klien tentang sistem pelayanan kesehatan.
2.2.4 Implementasi Keperawatan Lintas Budaya
pelaksanaan adalah melaksanakan tindakan yang sesuai dengan latar belakang budaya
klien (Giger and Davidhizar, 1995). Ketika menetapkan tujuan dan hasil yang diharapkan
perawatan dan merencanakan intervensi spesifik, perawat sekali lagi mempertimbangkan
variabel kultural karena variabel ini berkaitan dengan klien. Keluarga besar harus dilibatkan
dalam perawatan, misalnya jika keluarga merupakan kelompok pendukung terkuat klien.
Praktik dan keyakinan kultural, seperti penggunaan doa khusus dan jimat, dapat diterapkan
kedalam terapi (berg & berg, 1989). Warisan budaya kultural klien, tingkat pendidikan, dan
keterampilan berbahasa harus dipertimbangkan ketika merencanakan aktivitas penyuluhan.
Untuk menghindari kebingunan, kesalahpahaman, atau konflik kultural, penjelasan aspek
asuhan yang biasanya tidak dinyatakan oleh klien yang menyesuaikan diri mungkin perlu
bagi klien yang tidak berbicara dalam bahasa perawat atau bagi mereka yang dapat
menyesuaikan diri (DeSantis, Thomas, 1990). Perawat mungkin harus merubah cara
berinteraksi untuk menghindari perlawanan klien dengan sikap berbeda yang ditunjukan
dengan etiket dan interaksi sosial. Misalnya, klien yang ramah dan sadar mengenai tubuhnya
mungkin membutuhkan persiapan psokologis sebelum suatu prosedur atau pemeriksaan yang
biasanya dipandang rutin (misalnya melakukan ronsen dada atau EKG)
2.2.5 Evaluasi Keperawatan Lintas Budaya
Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap keberhasilan klien
tentang mempertahankan budaya yang sesuai dengan kesehatan, mengurangi budaya klien
yang tidak sesuai dengan kesehatan atau beradaptasi dengan budaya baru yang mungkin
sangat bertentangan dengan budaya yang dimiliki klien. Melalui evaluasi dapat diketahui
asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya klien.

BAB 3 PEMBAHASAN
3.1 Kasus
Ny. H seorang ibu rumah tangga yang berusia 24 tahun datang dari UGD ke ruang
perawatan penyakit dalam bersama perawat, suami, dan anaknya. dengan keluhan Ny. H
adalah badannya terasa panas sudah 3 hari, kepala terasa sakit, mual, muntah, tidak nafsu
makan dan lemas. Pendidikan terakhir Ny. H adalah SMP (MTS). Ny. H beragama Islam, iya
berpandangan bahwa sakitnya karena ujian dari Allah SWT. Setelah dilakukan pemeriksaan
oleh perawat didapatkan TTV TD 100/ 70 mmHg, suhu 38o C, Nadi 60 x/mnt, pernafasan 17
x/ mnt, bercak merah pada kulit, uji bendung positif, terdapat hematomegali dan hasil
pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan Ht > 20 %, penurunan trombosit < 50
Rb/ul, dan penurunan leokosit sampai 4 rb/ul . dan dokter mendiagnoasa Ny. H DHF. Dokter
menyarankan Ny. H harus dirawat kurang lebih 5 hari dan harus melakukan transfusi
trombosit sampai pada keadaan normal karena penurunan trombosit yang rendah. Ny. H
langsung menolak setelah mendengar bahwa dirinya harus melakukan tranfusi trombosit
dengan alasan dalam kepercayaan dan budayanya yaitu suku kalimantan tidak boleh
menerima tranfusi dari orang lain. Ny. H jarang memeriksakan dirinya ke rumah sakit Akan
tetapi Ny. H pernah jatuh sakit dan hanya berobat keklinik dokter saja. Sesekali dokter pernah
menyarankan pemeriksaan berlanjut ke laboratorium namun Ny. H mengabaikannya dengan
alasan kedokterpun sudah bisa sembuh. Dalam biaya pengobatan Ny. H dan suaminya tidak
ada masalah karena Ny. H dan suaminya sudah mempunyai tabungan. Ny. H dan keluarga
mempunyai kebiasaan makan sehari hari adalah makanan hewani jarang memakan
makanan nabati. Makanan yang dipantang adalah daging baby.
3.2 Anatomi dan Fisiologi

Gambar 2 : Sistem Pencernaan


3.1.1 Anatomi
3.1.1.1 Mulut
3.1.1.2 Faring (Tekak)
3.1.1.3 Esofagus ( kerongkongan)

3.1.1.4 Stomach ( Lambung )


3.1.1.5 Intestinum Minor ( Usus Halus )
3.2.1.5.1 Duodenum ( Usus 12 Jari )
3.2.1.5.2 Jejenum
3.2.1.5.3 Ileum
3.2.1.6 Pankreas
3.2.1.7 Kandung dan saluran empedu
3.2.1.8 Cekum
3.2.1.9 Apendik ( Usus Buntu )
3.2.1.10 Intestinum Mayor ( Usus Besar )
3.2.1.10.1 Asendens ( Usus Naik )
3.2.1.10.2 Transversal ( Usus Mendatar )
3.2.1.10.3 Desenden ( Usus Turun )
3.2.1.11 Rectum
3.2.1.12 Anus
3.2.2 Fisiologi
Pertama-tama, pencernaan dilakukan oleh mulut. Disini dilakukan pencernaan
mekanik yaitu proses mengunyah makanan menggunakan gigi dan pencernaan kimiawi
menggunakan enzim ptialin (amilase). Enzim ptialin berfungsi mengubah makanan dalam
mulut yang mengandung zat karbohidrat (amilum) menjadi gula sederhana (maltosa).
Maltosa mudah dicerna oleh organ pencernaan selanjutnya. Enzim ptialin bekerja dengan
baik pada pH antara 6,8 7 dan suhu 37 oC. Makanan selanjutnya dibawa menuju lambung
dan melewati kerongkongan. Makanan bisa turun ke lambung karena adanya kontraksi otototot di kerongkongan. Di lambung, makanan akan melalui proses pencernaan kimiawi
menggunakan zat/enzim sebagai berikut:
Renin, berfungsi mengendapkan protein pada susu (kasein) dari air susu (ASI). Hanya
dimiliki oleh bayi.
Pepsin, berfungsi untuk memecah protein menjadi pepton.
HCl (asam klorida), berfungsi untuk mengaktifkan pepsinogen menjadi pepsin. Sebagai
disinfektan, serta merangsang pengeluaran hormon sekretin dan kolesistokinin pada usus
halus.
Lipase, berfungsi untuk memecah lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Namun lipase
yang dihasilkan sangat sedikit. Setelah makanan diproses di lambung yang membutuhkan
waktu sekitar 3 4 jam, makanan akan dibawa menuju usus dua belas jari. Pada usus dua
belas jari terdapat enzim-enzim berikut yang berasal dari pankreas:
Amilase. Yaitu enzim yang mengubah zat tepung (amilum) menjadi gula lebih sederhana
(maltosa).
Lipase. Yaitu enzim yang mengubah lemak menjadi asam lemak dan gliserol.
Tripsinogen. Jika belum aktif, maka akan diaktifkan menjadi tripsin, yaitu enzim yang
mengubah protein dan pepton menjadi dipeptida dan asam amino yang siap diserap oleh usus
halus.
Selain itu, terdapat juga empedu. Empedu dihasilkan oleh hati dan ditampung di dalam kantung
empedu. Selanjutnya, empedu dialirkan melalui saluran empedu ke usus dua belas jari. Empedu mengandung
garam-garam empedu dan zat warna empedu (bilirubin). Garam empedu berfungsi mengemulsikan lemak. Zat
warna empedu berwarna kecoklatan, dan dihasilkan dengan cara merombak sel darah merah yang telah tua di

hati. Empedu merupakan hasil ekskresi di dalam hati. Zat warna empedu memberikan ciri warna cokelat pada
feses.
Selanjutnya makanan dibawa menuju usus halus. Di dalam usus halus terjadi proses pencernaan
kimiawi dengan melibatkan berbagai enzim pencernaan. Karbohidrat dicerna menjadi glukosa. Lemak dicerna
menjadi asam lemak dan gliserol, serta protein dicerna menjadi asam amino. Jadi, pada usus dua belas jari,
seluruh proses pencernaan karbohidrat, lemak, dan protein diselesaikan. Selanjutnya, proses penyerapan
(absorbsi) akan berlangsung di usus kosong dan sebagian besar di usus penyerap. Karbohidrat diserap dalam
bentuk glukosa, lemak diserap dalam bentuk asam lemak dan gliserol, dan protein diserap dalam bentuk asam
amino. Vitamin dan mineral tidak mengalami pencernaan dan dapat langsung diserap oleh usus halus.
Makanan yang tidak dicerna di usus halus, misalnya selulosa, bersama dengan lendir akan menuju ke
usus besar menjadi feses. Di dalam usus besar terdapat bakteri Escherichia coli. Bakteri ini membantu dalam
proses pembusukan sisa makanan menjadi feses. Selain membusukkan sisa makanan, bakteri E. coli juga
menghasilkan vitamin K. Vitamin K berperan penting dalam proses pembekuan darah. Sisa makanan dalam usus
besar masuk banyak mengandung air. Karena tubuh memerlukan air, maka sebagian besar air diserap kembali ke
usus besar. Penyerapan kembali air merupakan fungsi penting dari usus besar. Selanjutnya sisa-sisa makanan
akan dibuang melalui anus berupa feses. Proses ini dinamakan defekasi dan dilakukan dengan sadar.

Gambar 3 : Sistem Peredaran darah


3.2.3 Anatomi
3.2.3.1 Jantung
3.2.3.1.1 Atrium Dekstra ( serambi Kanan )
3.2.3.1.2 Ventrikel Dekstra ( Bilik Kanan )
3.2.3.1.3 Atrium Sinistra ( Serambi Kiri )
3.2.3.1.4 Ventrikel Sinistra ( Bilik Kiri )
3.2.3.2 Paru Paru
3.2.3.3 Arteri
3.2.3.4 Vena
3.2.4 Fisiologi
Darah kaya Co2 masuk ke serambi kanan dari vena cava superior dan vena cava
inferior melalui katup trikuspid masuk ke bilik kiri masuk ke arteri pulmonalis melalui katup
semilunar pulmonal masuk ke paru paru untuk bertukar dengan O2, darah yang kaya O2

masuk ke serambi kiri masuk ke bilik kiri melalui katup bikuspid keluar kejantung melalui
katup semilunar aortik keseluruh tubuh dan kembali kejantung lagi.
3.2.5 Patofisiologi DHF ( Dengue Hemoragik Fever )

Gambar 4 : Patofisiologi DHF


Fenomena patologis yang utama pada penderita DHF adalah meningkatnya
permeabilitas dinding kapiler yang mengakibatkan terjadinya perembesan plasma ke ruang
ekstra seluler. Hal pertama yang terjadi stelah virus masuk ke dalam tubuh adalah viremia
yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal
diseluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hyperemia tenggorokan
dan hal lain yang mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran hati
(Hepatomegali) dan pembesaran limpa (Splenomegali). Peningkatan permeabilitas dinding
kapiler mengakibatkan berkurangnya volume plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, dan
hipoproteinemia serta efusi dan renjatan (syok).Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit >
20 %) menunjukkan atau menggambarkan adanya kebocoran (perembesan) plasma sehingga
nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena. Adanya
kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler dibuktikan dengan ditemukannya cairan yang
tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan pericard yang pada
otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus. Setelah pemberian cairan
intravena, peningkatan jumlah trombosit menunjukkan kebocoran plasma telah teratasi,
sehingga pemberian cairan intravena harus dikurangi kecepatan dan jumlahnya untuk
mencegah terjadinya edema paru dan gagal jantung, sebaliknya jika tidak mendapatkan cairan
yang cukup, penderita akan mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan kondisi
yang buruk bahkan bisa mengalami renjatan. Jika renjatan atau hipovolemik berlangsung
lama akan timbul anoksia jaringan, metabolik asidosis dan kematian apabila tidak segera
diatasi dengan baik. Gangguan hemostasis pada DHF menyangkut 3 faktor yaitu : perubahan
vaskuler, trombositopenia dan gangguan koagulasi. Pada otopsi penderita DHF, ditemukan
tanda-tanda perdarahan hampir di seluruh tubuh, seperti di kulit, paru, saluran pencernaan
dan jaringan adrenal.
3.3 Pengkajian Keperawatan Lintas Budaya
3.3.1 Faktor teknologi (tecnological factors)
3.3.1.1 Persepsi Sehat Sakit : Dalam Kasus tidak dijelaskan sehingga perawat harus mengkaji kepada
pasien.
3.3.1.2 Kebiasaan berobat atau mengatasi masalah kesehatan : Ny. H pernah jatuh sakit dan hanya
berobat keklinik dokter saja
3.3.1.3 Alasan mencari bantuan kesehatan : klien mengatakan dengan berobat kedokterpun sudah
sembuh.
3.3.1.4 Persepsi klien tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi permasalahan
kesehatan saat ini : Ny. H jarang memeriksakan dirinya ke rumah sakit Akan tetapi Ny. H
pernah jatuh sakit dan hanya berobat keklinik dokter saja. Sesekali dokter pernah

menyarankan pemeriksaan berlanjut ke laboratorium namun Ny. H mengabaikannya dengan


alasan kedokterpun sudah bisa sembuh
3.3.2 Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors)
3.3.2.1 Agama yang dianut : Islam
3.3.2.2 Status pernikahan : Sudah menikah
3.3.2.3 Cara pandang klien terhadap penyebab penyakit : iya berpandangan bahwa sakitnya karena
ujian dari Allah SWT
3.3.2.4 Cara pengobatan dan kebiasaan agama yang berdampak positif terhadap kesehatan : Dalam
Kasus tidak dijelaskan sehingga perawat harus mengkaji kepada pasien.
3.3.3 Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors)
3.3.3.1 Nama lengkap : Ny. H
3.3.3.2 Nama panggilan : Ny. H
3.3.3.3 Umur : 24 tahun
3.3.3.4 Jenis kelamin : Perempuan
3.3.3.5 Status : sudah menikah
3.3.3.6 Tipe keluarga : keluarga tradisional
3.3.3.7 Pengambilan keputusan dalam keluarga : Ny. H langsung menolak setelah mendengar bahwa
dirinya harus melakukan tranfusi trombosit dengan alasan dalam kepercayaan tidak boleh
menerima tranfusi dari orang lain.
3.3.3.8 Hubungan klien dengan kepala keluarga : Istri
3.3.4 Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways)
3.3.4.1 Posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga : Seorang suami dan karyawan swasta
3.3.4.2 Bahasa yang digunakan : Istri dan suaminya menggunakan bahasa Indonesia.
3.3.4.3 Kebiasaan makan dan makanan yang dipantang dalam kondisi sakit : Ny. H dan keluarga
mempunyai kebiasaan makan sehari har makanan hewani jarang memakan makanan nabati.
Makanan yang dipantang adalah daging baby.
3.3.4.4 Persepsi sakit yang berkaitan dengan aktivitas sehari hari : Dalam Kasus tidak dijelaskan
sehingga perawat harus mengkaji kepada pasien.
3.3.5 Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors)
3.3.5.1 Peraturan
dan
kebijakan
yang
berkaitan
dengan
jam berkunjung : didalam kasus tidak tercamtum akan tetapi berdasarkan kebijakan beberapa
rumah sakait jam berkunjung Pertama, di pagi hari yang di mulai pukul 10.00 sampai 12.00.
Serta sore hari yang dimulai pukul 16.00 sampai 18.00. Untuk mengefektifkan jam
kunjungan tersebut, kini rumah sakit menertibkannya dengan menempatkan petugas di
seluruh pintu masuk.
3.3.5.2 Jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu : berdasarkan kebijakan beberapa rumah
sakit jumlah keluarga yang boleh menunggu tidak lebih dari 2 orang.
3.3.5.3 Cara pembayaran untuk perawatan : Dalam Kasus tidak dijelaskan sehingga perawat harus
mengkaji kepada pasien.
3.3.6 Faktor ekonomi (economical factors)
3.3.6.1 Pekerjaan klien : ibu rumah tangga
3.3.6.2 Sumber biaya pengobatan : tabungan kelurga
3.3.6.3 Tabungan ynag dimiliki oleh keluarga : Dalam Kasus tidak dijelaskan sehingga perawat harus
mengkaji kepada pasien.
3.3.7 Faktor pendidikan (educational factors)
3.3.7.1 Tingkat pendidikan klien : SMP

3.3.7.2 Jenis pendidikan : MTS

3.4 Diagnosa Keperawatan Lintas Budaya


4.1 Rumusan Diagnosa Keperawatan Lintas Budaya
3.4.1.1 Resiko tinggi : Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
nutrisi yang tidak ade kuat.
3.4.1.2 Ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan dengan sistem nilai budaya yang diyakini.
4.2 Data Subyektif dan Data Obyektif
3.4.2.1 Resiko tinggi : Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
nutrisi yang tidak ade kuat.
DS : Pasein mengatakan perutnya terasa mual, muntah, tidak nafsu makan dan lemas
DO : Perawat melakukan pemeriksaan fisik dan didapatkan hepatomegali.
3.4.2.2 Ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan sistem nilai budaya yang diyakini.
DS : Pasien mengatakan dirinya tidak ingin dilakukan trasnfusi trombosit dari orang lain.
DO : Ny. H langsung menolak setelah mendengar bahwa dirinya harus melakukan tranfusi
trombosit dengan alasan dalam kepercayaan dan budayanya yaitu suku kalimantan tidak
boleh transfusi dari orang lain.
3.5 Intervensi dan Implementasi Keperawatan Lintas Budaya
Diagnosa Keperawatan No. 1
Resiko tinggi : Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
nutrisi yang tidak ade kuat.
Tujuan jangka panjang : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 x 24 jam,
keluhan pasien dapat diatasi.
Tujuan jangka pendek : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam, klien
mampu memenuhi kebutuhan nutrisi dengan makan dihabiskan 3 x 1 porsi.
Kriteria Hasil : setelah melakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien dapat
menghabiskan makanan yang disediakan rumah sakit, menunjukan penigkatan berat badan
yang progresif, dan tidak mengalami tanda malnutrisi lebih lanjut.
Intervensi :
a. lakukan pemeriksaan TTV setiap 6 jam sekali pada pukul 06.00, 12.00, 18.00, dan 24.00
WIB
b. kaji faktor penyebab mual dan muntah yang menimbulkan tidak nafsu makan. Hal yang
dikaji adalah kebiasaan sebelum makan pasien, dan makanan yang biasa dimakan pasien.
c. Lakukan pengukuran berat badan pasien dan menghitung berat badan ideal pasien dengan
rumus BB ideal = (TB 100 ) 10 %
d. Anjurkan makan sedikit tapi sering seperti makan roti setiap setengah jam.
e. Anjurkan makanan yang halus seperti makan biskuit, bubur, dan roti,
f. Anjurkan banyak minum air mineral minimal 8 10 gelas / hari
g. Kolaborasikan dengan ahli gizi dalam pemberian nutrisi Tinggi kalori dan tinggi protein
(TKTP) atau sesuai kebutuhan pasien.
h. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian suplemen tambahan dan obat antiemetik
R/ Curcuma Syr 125 ml/5 cc No. II
S3ddc.orig 1 P.C
R/ Inj Metoclopramide 5mg/ml No. IV
S pro Inj

Diagnosa Keperawatan No. 2


Ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan dengan sistem nilai budaya yangdiyakini.
Tujuan jangka panjang : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 x 24 jam klien
mengalami peningkatan jumlah trombosit samapai 150 450 rb/ul.
Tujuan jangka pendek : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4 jam klien mampu
menunjukan keinginannya untuk dilakukan transfusi trombosit sampai nilai 50 100 rb/ul.
Kriteria hasil : setelah melakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien dapat menyetujui
transfusi, dan komplikasi dapat diminimalkan dan dicegah.
Intervensi :
Tanggal 20 mei 2013 pukul 09.00 WIB
a. Lakukan identifikasi alasan menolak transfusi trombosit. Menanyakan kepada pasien
mengapa tidak setuju dilakukan transfusi trombosit
b. Bersikap tenang dan tidak terburu - buru saat berinteraksi dengan klien.
c. Lakukan negosiasi untuk menjelaskan dan meyakinkan kepada pasien tentang kemanfaatan
pengobatan yang diberikan. Berikan penjelasan bahwa keadaan trombosit saat ini sangat
rendah yang tidak dapat dilakukan dengan bantuan makanan, obat oral dan transfusi dari
anggota keluarga karena harus mencari trombosit yang cocok untuk diri yang akan memakan
waktu lama sehingga harus malalui transfusi trombosit yang sudah ada dirumah sakit.
Apabila tidak dilakukan akan berdampak negatif bagi pasien
d. Gunakan bahasa dan terminologi yang mudah dipahami oleh pasien.
e. Menggunkan pihak ketiga yaitu suami atau anaknya untuk membantu meyakini transfusi
trombosit.
f. Lakukan Informed Consent apabila pasien tetap tidak ingin transfusi trombosit.
3.6 Evaluasi
Diagnosa II
Tanggal 20 mei 2013 pukul 13.00 WIB
S : Pasien mengatakan dirinya setuju dilakukan transfusi trombosit agar suami dan istrinya
dapat bahagia.
O
: wajah pasien menunjukan kesetujuannya, pasien tidak menolak ketika perawat mulai
melakukan tindakan, adanya peningkatan trombosit sampai 5 rb/ul.
A : Masalah meyakinkan klien untuk melakukan transfusi teratasi namun belum mengalami
peningkatan trombosit yang cukup.
P
: Lanjutkan Intervensi Keperawatan untuk pemberian kembali transfusi trombosit 400 cc/
jam.
I
: pukul 15.00 WIB Transfusi trombosit 400 cc/jam dilakukan
E : Pasien tampak tenang dan tidak ada penolakan untuk dilakukan transfusi trombosit kembali.
R : kaji ulang
Diagnosa I
Tanggal 24 mei 2013 pukul 08.00 WIB
S : Pasien mengatakan dirinya sudah tidak merasakan mual, nafsu makan meningkat
O : pasien menghabiskan makanan yang disediakan dirumah sakit dan pasien tampak tenang.
A : pemenuhan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi sehingga masalah teratasi.
P : lanjutkan intervensi keperawatan untuk perawatan dirumah
anjurkan banyak makan sayur
anjurkan berorahraga
mengenakan pakainya panjang

mengenakan obat penangkal ketika tidur


membersihan kamar mandi dan bak mandi
Tetap Menjaga kesehatan
I : 08.30 WIB Melaksanakan intervensi Keperawatan
E : pasien menerima informasi yang disampaikan dan menunjukan pemahamannya.
R : Kaji Ulang
BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Keperawatan transkultural adalah suatu proses pemberian asuhan keperawatan yang
difokuskan kepada individu dan kelompok untuk mempertahankan, meningkatkan perilaku
sehat sesuai dengan latar belakang budaya. Dan Peran perawat dalam keperawatan lintas
budaya adalah menjembatini antara budaya klien dengan budaya dalam asuhan keperawatan.

Gambar 5 : Rentang Sehat - Sakit


Sehat dan sakit adalah terdapat dalam rentang sehat sakit dimana sehat berada dalam kutub
barat dan sakit berada dikutub timur. Ketika seseorang berhasil beradaptasi dengan
lingkungan maka seseorag akan sehat dan sebaliknya ketika seseorang tidak berhasil
beradaptasi dengan lingkungan maka seseorang akan sakit. Lingkungan disini berdasarkan
faktor budayanya. Sehingga sehat sakit adalah hasil dari adaptasi manusia terhadap
lingkungan budayanya.
4.2 Saran
Praktik keperawatan peka budaya harus menjadi bagian dari program atau kurikulum
pendidikan mulai dari jenjang diploma, sarjana dan magister keperawatan. Sehingga
aplikasinya nanti perawat dapat melaksanakan asuhan keperawatan peka terhadap budaya
klien atau pasien, dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaannya inilah perawat harus
bisa menganalisis atau mengkategorikan bahwa budaya klien tersebut sesuai tidak dangan
asuhan keperawatan yang diberikan. jika sesuai budaya yang seperti ini
dapat dipertahankan (preservation/maintenance) untuk membantu proses penyembuhan,
namun kalau budaya tersebut tidak sesuai atau bertentangan dengan proses penyembuhan
maka harus diperbaiki(restructuring/repatterning). Begitu juga jika budaya yang dibawa
klien ini ada pengaruh yang positif dan ada juga yang berdampak negatif terhadap proses
penyembuhan maka hal yang seperti ini harus dipilah antara yang diakomodasi dan
negosiasi.

Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai