Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Distres respirasi atau gangguan napas merupakan masalah yang sering


dijumpai pada hari-hari pertama kehidupan BBL. Gangguan napas yang paling sering
ialah TTN (Transient Tachypnea of the Newborn), RDS (Respiratory Distress
Syndrome) atau PMH (Penyakit Membran Hialin) dan Displasia bronkopulmonar.1
Respiratory distress syndrome (RDS) atau Sindrom Gangguan Napas (SGN)
dikenal juga sebagai Penyakit Membran Hialin, hampir terjadi sebagian besar pada
BKB. Insidens dan derajat penyakit ini berhubungan erat dengan umur kehamilan.
Keluaran SGN ini beberapa tahun terakhir membaik dengan penggunaan steroid
antenatal untuk meningkatkan kematangan paru. Meskipun sudah menurun, insidens
dan derajat beratnya komplikasi masih menunjukkan morbiditas yang signifikan.1
Gangguan pernapasan sering dijumpai pada bayi baru lahir dan merupakan
indikasi yang paling sering untuk evaluasi ulang dari bayi tersebut. Karena gangguan
pernapasan pada bayi baru lahir mungkin kondisinya berpotensi mengancam nyawa
akibat gagal napas akut, dokter diharapkan untuk segera menilai dan mengelola bayi
yang terkena. Kunci keberhasilan pengelolaan bayi yang telah gangguan pernapasan
didasarkan pada kemampuan untuk mendapatkan riwayat ibu dan bayi baru lahir
secara lengkap, melakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh, mengenali
gangguan pernapasan umum, membedakan antara berbagai entitas diagnostik, dan
mengidentifikasi orang - orang yang hidup disekitarnya.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Definisi gangguan nafas adalah suatu keadaan meningkatnya kerja
pernapasan yang ditandai dengan satu atau lebih dari hal berikut: napas cuping
hidung, retraksi dada, takipnea, dan merintih. Bayi yang memiliki tingkat yang lebih
tinggi dari gangguan pernapasan mungkin menunjukkan tanda-tanda tambahan,
seperti sianosis, terengah-engah, tersedak, apnea, dan stridor. Manajemen dokter
harus mempertimbangkan tanda-tanda tambahan tersebut untuk menjadi "alarm".1
Adapun sindrom gangguan pernapasan (RDS) pada bayi baru lahir, juga
dikenal sebagai penyakit membran hialin, adalah suatu keadaan meningkatnya kerja
pernapasan yang sering merupakan gangguan pernapasan pada bayi prematur. Pada
bayi yang sehat, alveoli yang merupakan kantung udara, bertukar udara dari paruparu yang dilapisi oleh surfaktan. Jika bayi baru lahir prematur belum menghasilkan
cukup surfaktan, mereka tidak mampu untuk membuka paru-paru mereka
sepenuhnya untuk bernapas.1,2,3
Gagal nafas pada neonatus merupakan masalah klinis yang sangat serius,
yang berhubungan dengan tingginya morbiditas, mortalitas dan biaya perawatan.
Faktor resiko utama gagal nafas pada neonatus adalah prematuritas, bayi berat badan
lahir rendah, dan penelitian menunjukkan kejadiannya lebih banyak terjadi pada
golongan sosioekonomi rendah.4
B. EPIDEMIOLOGI
Sindrom gangguan pernapasan (RDS) mempengaruhi sekitar 1 persen dari
bayi yang baru lahir dan merupakan penyebab utama kematian pada bayi yang lahir
2

prematur. Sekitar 12 persen dari bayi yang lahir di Amerika Serikat yang prematur,
yang lebih tinggi daripada di negara-negara maju lainnya. Sekitar 10 persen bayi
prematur di Amerika Serikat mengembangkan RDS setiap tahun. Resiko RDS
meningkat dengan meningkatnya prematuritas. Bayi yang lahir sebelum 29 minggu
kehamilan memiliki peluang 60 persen terkena RDS, tapi bayi yang dilahirkan
prematur penuh jarang mengembangkan kondisi ini. Faktor risiko ibu untuk
melahirkan prematur termasuk kelahiran prematur sebelumnya, penyakit periodontal,
massa tubuh ibu yang rendah, perawatan prenatal yang buruk, kemiskinan, menjadi
tidak diasuransikan, dan menjadi anggota dari kelompok minoritas.2
Di antara bayi prematur, risiko mengembangkan RDS meningkat dengan ras
Kaukasia, seks laki-laki, kakak dengan RDS, sesar, asfiksia perinatal, dan diabetes
ibu.2
Pada tahun 2003, jumlah total kelahiran hidup di Amerika Serikat untuk
semua ras adalah 4.089.950; sekitar 0,6 persen dari bayi yang baru lahir memiliki
RDS (sekitar 24.000 atau 6 per 1.000 kelahiran hidup). Pada tahun 2005, ada
4.138.000 kelahiran hidup di Amerika Serikat, dan sejumlah sedikit lebih besar dari
bayi dipengaruhi dengan RDS karena tingkat kelahiran prematur telah meningkat
dari 11,6 persen menjadi 12,7 persen, terutama disebabkan kenaikan pada akhir
kelahiran prematur (34 36 minggu kehamilan).2
Meskipun jumlah kasus RDS di Amerika Serikat tumbuh, angka kematian
bayi dari RDS telah secara dramatis menurun dari sekitar 25.000 kematian per tahun
pada tahun 1960 untuk 860 kematian pada tahun 2005 karena terapi penggantian
surfaktan. Kematian bayi dari RDS 2,6 kali lebih besar pada bayi Afrika Amerika
dari pada bayi Kaukasia, meskipun bayi Kaukasia berada pada risiko yang lebih
tinggi untuk mengembangkan kondisi tersebut.2

Pada tahun 2001, biaya rumah sakit untuk bayi prematur yang diperkirakan
menjadi $ 75.000. Dengan sekitar 18.000 rawat inap setiap tahun karena RDS, total
biaya pengobatan bayi ini di rumah sakit adalah sekitar $ 2,3 miliar.2
Di Indonesia, sepertiga dari kematian bayi terjadi pada bulan pertama setelah
kelahiran, dan 80% diantaranya terjadi pada minggu pertama dengan penyebab
utama kematian diantaranya adalah infeksi pernafasan akut dan komplikasi perinatal.
Pada suatu studi kematian neonatal di daerah Cirebon tahun 2006 disebutkan pola
penyakit kematian neonatal 50% disebabkan oleh gangguan pernapasan meliputi
asfiksia bayi baru lahir (38%), respiratory distress 4%, dan aspirasi 8%. Meskipun
angka-angka tersebut masih tinggi, Indonesia sebenarnya telah mencapai tujuan
keempat dari MDG, yaitu mengurangi tingkat kematian anak. Dengan pencegahan
dan penatalaksanaan yang tepat, serta sistem rujukan yang baik, kematian neonatus
khususnya akibat gangguan pernafasan diharapkan dapat terus berkurang.4
C. FAKTOR PREDISPOSISI
1. Bayi Kurang Bulan (BKB): Paru bayi secara biokimiawi masih imatur dengan
kekurangan surfaktan yang melapisi rongga alveoli
2. Depresi neonatal (Kegawatan neonatal):
a. Kehilangan darah dalam periode perinatal
b. Aspirasi mekonium
c. Pnemotoraks akibat tindakan resusitasi
d. Hipertensi pulmonal dengan pirau kanan ke kiri yang membawa darah
keluar dari paru
3. Bayi dari Ibu DM: terjadi respirasi distress akibat kelambatan pematangan
paru

4. Bayi lahir dengan operasi sesar: Bayi yang lahir dengan operasi sesar, berapa
pun usia gestasi nya dapat mengakibatkan terlambatnya absorpsi cairan paru
(TTN)
5. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita demam, ketuban pecah dini atau air
ketuban yang berbau busuk dapat terjadi pneumonia bakterialis atau sepsis
6. Bayi dengan kulit herwarna seperti mekonium, mungkin mengalami aspirasi
mekonium.1
D. ETIOLOGI
Penyebab gangguan napas pada Bayi Baru Lahir (BBL) yaitu:1
1. Obstruksi Jalan Napas
a. Nasal atau nasofaringeal: obstruksi koanae, edema nasalis, ensefalokel.
BBL bernapas dengan hidung dan dapat menunjukkan gejala distres
respirasi apabila ada sesuatu yang menyumbat lubang hidung (mukus atau
masker yang menutupi saat dilakukan terapi sinar)
b. Rongga mulut: makroglosi atau mikrognati
c. Leher: struma congenital dan higroma kistik
d. Laring: laryngeal web, stenosis subglotik, hemangioma, paraliisis medulla
spinalis dan laringomalasia
2. Trakhea
Trakheomalasia, fistula trakheoesofagsus, stenosis trakhea dan stenosis
bronkhial.
3. Penyebab Pulmonal

Etiologi yang paling umum dari gangguan pernapasan neonatal adalah


akibat gangguan pulmonal itu sendiri. TTN (Transient tachypnea of the
newborn) ini dipicu oleh cairan paru yang berlebihan, dan gejala biasanya
sembuh secara spontan. Sindrom gangguan pernapasan dapat terjadi pada
bayi prematur akibat defisiensi surfaktan dan anatomi paru-paru yang belum
matang. Sindrom aspirasi mekonium diperkirakan terjadi dalam rahim
sebagai akibat dari gawat janin dengan hipoksia. Insiden ini tidak berkurang
dengan menggunakan Amnioinfusi sebelum pembebasan atau oleh suction
pada bayi selama kelahiran. Amnioinfusi untuk mekonium tidak menurunkan
kejadian sindrom aspirasi mekonium atau kematian perinatal.
Adapun secara lengkap penyebab gangguan nafas pada bayi baru lahir
oleh gangguan pulmonal adalah:1
a. Aspirasi mekonium, darah atau susu formula
b. Respiarory distress syndrome (RDS) atau Penyakit membrana hialin
c. Atelektasis
d. Kebocoran

udara:

Pneumotoraks,

pnemomediastinum,

emfisema

pulmonalis interstitialis
e. TTN (Transient tachypnea of the newborn)
f. Pneumonia, Pneumonia hemoragik
g. Kelainan kongenital: hernia diafragmatika, Kista atau tumor intratorakal,
Agenesia atau hipoplasia paru, emfisema lobaris congenital
h. Efusi, silotoraks.
4. Penyebab Non Pulmonal

Setiap keadaan yang menyebabkan aliran darah ke paru meningkat


atau menurun, menyebabkan kenaikan kebutuhan oksigen meningkat dan
penurunan jumlah sel darah merah yang menyebabkan distres respirasi.
a. Gagal jantung kongestif (congestive heart failure)
b. Penyebab metabolik: asidosis, hipoglikemia, hipokalsemia
c. Hipertensi pulmonal menetap: persistance pulmonary hypertension
d. Depresi neonatal
e. Syok
f. Polisitemia: jumlah sel darah merah yang berlebihan yang menyebabkan
meningkatnya viskositas darah dan mencegah sel darah merah dengan
mudah masuk ke dalam kapiler paru
g. Hipotermia
h. Bayi dari ibu dengan DM
i. Perdarahan susunan saraf pusat.

E. PATOFISIOLOGI
Paru berasal dari pengembangan embryonic foregut dimulai dengan
perkembangan bronchi utama pada usia 3 minggu kehamilan. Pertumbuhan paru
kearah kaudal ke mesenkhim sekitar dan pembuluh darah, otot halus, tulang rawan
dan komponen fibroblast berasal dari jaringan ini. Secara endodermal epithelium
mulai membentuk alveoli dan saluran pernapasan. Di luar periode membrionik ini,
ada 4 stadium perkembangan paru yang telah dikenal. Pada seluruh stadium ini,
perkembangan saluran pernapasan, pembuluh darah dan proses diferensiasi
berlangsung secara bersamaan.1

1. Pseudoglandular (5 17 minggu)
Terjadi perkembangan percabangan bronkhuis dan tubulus asiner
2. Kanalikuler (16 26 minggu)
a. Terjadi proliferasi kapiler dan penipisan mesenkhim
b. Diferensiasi pneumosit alveolar tipe II sekitar 20 minggu
3. Sekuler (24 38 minggu)
a. Terjadi perkembangan dan ekspansi rongga dada
b. Awal pembentukan septum alveolar
4. Alveolar (36 minggu lebih 2 tahun setelah lahir)
Penipisan septum alveolar dan pembentukan kapiler baru
Berdasarkan usia, kematian bayi telah dikaitkan dengan ketidakmampuan
bayi untuk beradaptasi dengan kehidupan di luar rahim. Pada awal abad ke-20,
"membran hialin" yang ditemukan selama otopsi di paru-paru bayi yang meninggal
tak lama setelah lahir. Pada tahun 1920, Dr. Kurt von Neergaard, seorang ahli
fisiologi Swiss, mendalilkan adanya zat dalam paru-paru yang mengurangi tegangan
permukaan, memungkinkan paru-paru untuk membuka. Pada tahun 1950, Dr. John
Clements, seorang ahli fisiologi paru AS, menunjukkan bahwa zat ini adalah
surfaktan. Akhirnya, pada tahun 1959, Drs. Mary Ellen Avery dan Jere Mead, baik
bekerja di Harvard pada waktu itu, menunjukkan bahwa surfaktan kurang dalam
paru-paru bayi prematur, yang merupakan penyebab dasar kegagalan pernapasan
terlihat di beberapa bayi tersebut.2
Penelitian lebih lanjut tentang sindrom gangguan pernapasan bayi (RDS)
menemukan bahwa kekurangan surfaktan merupakan konsekuensi dari baik itu tidak
cukupnya produksi terhadap paru-paru yang belum matang maupun mutasi genetik di
salah satu protein surfaktan, yaitu SP-B. Surfaktan sendiri dibentuk pada pneumosit
alveolar tipe II dan disekresi kedalam rongga udara kecil sekitar usia kehamilan 22
minggu. Komponen utama surfaktan ini adalah fosfolipid, sebagian besar terdiri dari
dipalmitylphosphatidylcholine (DPPC). Surfaktan disekresi oleh eksositosis dari
lamellar bodies pneumosit alveolar tipe II dan myelin tubuler. Pembentukan myelin

tubuler tergantung pada ion kalsium dan protein surfaktan SP-A dan SP-B. Surfaktan
lapisan tunggal berasal dari myelin tubuler dan sebagian besar terdiri dari DPPC.
Bentuk mutasi genetik dari protein surfaktan sebagai penyebab yang jarang ini tidak
terkait dengan kelahiran prematur dan terjadi pada bayi cukup bulan.1,2
Surfaktan diperlukan untuk alveoli paru-paru kecil untuk mengatasi tegangan
permukaan dan tetap terbuka. Tanpa surfaktan yang memadai, tekanan yang
diberikan mencoba untuk membuka alveoli ini baik melalui pernapasan kuat bayi
atau melalui ventilator mekanik meruptutkan alveoli, menghasilkan gambar seperti
emfisema, atau pneumotoraks, jika udara lolos ke luar paru-paru dan terjebak di
dinding dada. Bayi sangat prematur mungkin menderita pendarahan ke otak
(perdarahan intraventrikular), sepsis, dan komplikasi lain dari sistem tubuh yang
belum matang, termasuk neurologis dan kerusakan perkembangan. Pada bayi yang
selamat, displasia bronkopulmonal (penyakit jaringan parut paru-paru kronis yang
ditandai oleh kebutuhan oksigen berkepanjangan) mungkin berkembang karena
keracunan oksigen dan ventilasi mekanis. Komplikasi ini terkait dengan tingkat
keparahan penyakit, berat lahir, dan usia kehamilan bayi. Bayi kecil berada pada
risiko lebih besar terkena displasia bronkopulmonalis.2
F. KLASIFIKASI GANGGUAN NAPAS
Buku Pedoman Manajemen masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Perawat,
dan Bidan di Rumah Sakit, membagi Klasifikasi gangguan napas, menjadi:1
a. Gangguan napas ringan
b. Gangguan napas sedang
c. Gangguan napas berat

Secara rinci dapat dilihat pada tabel dibawah. 1

Tingkat keparahan gangguan pernapasan dinilai oleh Silverman-Anderson


Score dan Downes Score. Sementara penggunaan Skor Silverman-Anderson lebih
cocok untuk preterms dengan HMD, sedangkan Downes Score lebih komprehensif
dan dapat diterapkan untuk setiap umur dan kondisi kehamilan. Semakin
meningkatnya kebutuhan FiO2 untuk mempertahankan saturasi 90-92% pada
prematur dan 94- 96% pada bayi juga merupakan indikator yang sensitif dari tingkat
keparahan dan perkembangan penyakit.5

10

Berikut Skor Silverman-Anderson seperti tabel dibawah ini.5

Klasifikasi lain dapat menggunakan skor Downes seperti pada Tabel di bawah
ini.1

11

Skor Downes merupakan sistem skoring yang lebih komprehensif dan dapat
digunakan pada semua usia kehamilan. Penilaian dengan sistem skoring ini
sebaiknya dilakukan tiap setengah jam untuk menilai progresivitasnya.4
G. GAMBARAN KLINIK
1. Takipnea: frekuensi napas > 60 80 kali/menit
Normalnya, neonatus mengambil 30 sampai 60 napas / menit.
Keadaan bayi bernafas dengan laju yang lebih cepat untuk mempertahankan
ventilasi dalam menghadapi volume tidal yang menurun.
2. Retraksi: cekungan atau tarikan kulit antara iga (interkostal) dan atau di
bawah sternum (sub sternal) selama inspirasi.
Retraksi suprasternal menunjukkan obstruksi jalan napas atas.
Retraksi subkostal, di sisi lain, adalah tanda kurang spesifik yang mungkin
terkait dengan baik penyakit paru atau jantung.
3. Napas cuping hidung: kembang kempis lubang hidung selama inspirasi
Cuping hidung merupakan temuan relatif sering pada bayi mencoba
untuk menurunkan resistensi saluran napas.
4. Merintih atau grunting: terdengar merintih atau menangis saat inspirasi
5. Sianosis: sianosis sentral yaitu warna kebiruan pada bibir (berbeda dengan
biru lebam atau warna membran mukosa.
Sianosis sentral tidak pernah normal, selalu memerlukan perhatian
dan tindakan segera. Mungkin mencerminkan abnormalitas jantung,
hematologik atau pernapasan yang harus dilakukan tindakan segera
6. Apnu atau henti napas (harus selalu di nilai dan dilakukan tindakan segera)

12

7. Dalam jam jam pertama sesudah lahir, empat gejala distres respirasi
(takipnea, retraksi, napas cuping dan grunting) kadang juga dijumpai pada
BBL normal tetapi tidak berlangsung lama. Gejala ini disebabkan karena
perubahan fisiologik akibat reabsorbsi cairan dalam paru bayi dan masa
transisi dari sirkulasi fetal ke sirkulasi neonatal.
8. Bila takipnea, retraksi, cuping hidung dan grunting menetap pada beberapa
jam setelah lahir, ini merupakan indikasi adanya gangguan napas atau distress
respirasi yang harus dilakukan tindakan segera.1

H. DIAGNOSIS
Prioritas dalam evaluasi atau pemeriksaan awal pada bayi dengan gangguan
napas adalah:1
1. Langkah awal untuk mencari penyebab:
a. Anamesis yang teliti
Ananmesis tentang riwayat keluarga, maternal, prenatal dan
intrapartum sangat diperlukan, antara lain tentang hal-hal di bawah ini:
1) Prematuritas, sindrom gangguan napas, sindrom aspirasi mekonium,
infeksi: pneumonia, displasia pulmoner, trauma persalinan sungsang,
kongesti nasal, depresi susunan saraf pusat, perdarahan susunan saraf
pusat, paralisis nervus frenikus, takikardia atau bradikardia pada janin,
depresi neonatal, tali pusat menumbung, Bayi lebih bulan, demam atau
suhu yang tidak stabil (pada pneumonia)
2) Gangguan SSP: tangis melengking, hipertoni, flasiditas, atonic, trauma,
miastenia
3) Kelainan kongenital: arteri umbilikalis tunggal, anomali kongenital lain:
anomali kardiopulmonal, abdomen cekung pada hernia diafragmatika,
paralisis erb (paralisis nerves frenikus, atresia khoanae, kongesti nasal

13

obstruktip, meningkatnya diameter anterior posterior paru, hippoplasi


paru, trakheoesofageal fistula)
4) Diabetes pada ibu, perdarahan antepartum pada persalinan kurang bulan,
partus lama, kulit ketuban pecah dini, oligohidramnion, penggunaan obat
yang berlebihan.
b. Pemeriksaan fisik yang tepat
Pada pemeriksaan fisik, beberapa hasil pemeriksaan yang ditemukan
juga dapat membantu memperkirakan etiologi distress nafas. Bayi prematur
dengan berat badan lahir < 1500 gram dan mengalami retraksi kemungkinan
menderita HMD, bayi aterm yang lahir dengan mekoneum dalam caian
ketuban dan diameter antero-posterior rongga dada yang membesar beresiko
mengalami MAS, bayi yang letargis dan keadaan sirkulasinya buruk
kemungkinan menderita sepsis dengan atau tanpa pneumonia, bayi yang
hampir aterm tanpa faktor resiko tetapi mengalami distress nafas ringan
kemungkinan mengalami transient tachypnea of the newborn (TTN), dan
hasil pemeriksaan fisik lainnya yang dapat membantu memperikirakan
etiologi distress nafas.4
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai gejala klinik gannguan napas,
berupa beberapa tanda di bawah ini
1) Merintih atau grunting tetapi warna kulit masih kemerahan, merupakan
gejala yang menonjol
2) Sianosis
3) Retraksi
4) Tanda obstruksi saluran napas mulai dari hidung: atresis koanae, ditandai
dengan kesulitan memasukkan pipa nasogastrik melalui hidung
5) Air ketuban bercampur mekonium atau pewarnaan hijaukekuningan
pada tali pusat
6) Abdomen mengempis (scaphoid abdomen)

14

c. Menilai tingkat maturitas bayi dengan Ballard atau Dubowitz (bila keadaan
bayi masih labil pemeriksaan ini ditunda dulu)
2. Pemeriksaan Penunjang:
a. Pemeriksaan radiologi dada
b. Analisa gas darah
c. Septic work up dan mencari kemungkinan penyebab karena pneumonia :
Minimal darah kultur dan jumlah sel
d. Status metabolik: dilakukan pemeriksaan Analisa Gas Darah, skrining kadar
glukosa darah
Selain menilai keparahan gangguan tersebut adalah penting untuk
menentukan patologi yang mendasari pengelolaan lebih lanjut. Untuk bayi baru lahir
(dalam beberapa jam lahir) dengan gangguan pernapasan, review singkat tentang
peristiwa antenatal dan peripartum berikut termasuk kondisi saat lahir adalah suatu
keharusan.5
a. Apakah ada faktor risiko pada periode antepartum atau bukti gawat janin
sebelum pengiriman? (Lahir asfiksia atau PPHN)
b. Apakah ibu menerima steroid antenatal jika itu adalah kelahiran prematur?
(Steroid antenatal menurunkan kejadian HMD 50%)
c. Apakah ada riwayat ketuban pecah dini dan demam? (Pneumonia kongenital
atau sepsis)
d. Apakah ada mekonium cairan ketuban berwarna? (Sindrom Aspirasi
Mekonium adalah sebuah kemungkinan)
e. Melihat ultrasonografi antenatal (USG) untuk jumlah cairan ketuban akan
memberitahu kita status paru janin. (Anomali kongenital dari paru-paru)
f. Apakah resusitasi diperlukan saat lahir? (Trauma resusitasi / PPHN / asidosis)
g. Apakah distress muncul segera atau beberapa jam setelah lahir? (HMD
muncul lebih awal dari pneumonia)
h. Apakah itu terkait dengan makan atau berbusa di mulut? (Trakeo-esofagus
fistula atau aspirasi)
i. Apakah gangguan menurun dengan menangis? (Atresia choanal).

15

Diagram. Pendekatan diagnosis untuk gangguan pernapasan pada bayi baru lahir.5
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Analisis Gas Darah
Dilakukan untuk menentukan adanya gagal nafas akut yang
ditandai dengan: PaCO2 > 50 mmHg, PaO2 < 60 mmHg, atau saturasi
oksigen arterial < 90%. Dilakukan pada BBL yang memerlukan
suplementasi oksigen lebih dari 20 menit. Darah arterial lebih dipilih
dianjurkan.1
Diambil berdasarkan indikasi klinis dengan mengambil sampel
darah dari arteri umbilikalis atau pungsi arteri. Menggambarkan
gambaran asidosis metabolik atau asidosis respiratorik dan keadaan
hipoksia. Asidosis respiratorik terjadi karena atelektasis alveolar dan/atau
overdistensi saluran napas bawah. Asidosis metabolik, biasanya
diakibatkan asidosis laktat primer, yang merupakan hasil dari perfusi
jaringan yang buruk dan metabolism anaerobik.1
Hipoksia terjadi akibat pirau dari kanan ke kiri melalui pembuluh
darah pulmonal, PDA dan/atau persisten Foramen Ovale. Pulse oxymeter
16

digunakan sebagai cara non invasip untuk memantau saturasi oksigen


yang dipertahankan pada 90-95%.1
b. Elektrolit
Kenaikan kadar serum bikarbonat mungkin karena kompensasi
metabolik untuk hiperkapnea kronik. Kadar glukosa darah untuk
menentukan adanya keadaan hipoglikemia. Kelainan elektrolit ini dapat
juga diakibatkan oleh karena kondisi kelemahan tubuh, seperti
hipokalemia, hipokalsemia dan hipofosfatemia dapat mengakibatkan
gangguan kontraksi otot.1
c. Pemeriksaan Jumlah Sel Darah
Polisitemia mungkin karena hipoksemia kronik.1
2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada bayi baru lahir yang mengalami distress
respiratory berbeda berdasarkan penyebabnya baik itu yang pulmonal
maupun yang non pulmonal.
a. Respiratory Distress Syndrome (Penyakit Membran Hialin)
Terdapat gambaran retikulo granular yang difus bilateral atau
gambaran udara bronkus dan paru yang tidak berkembang. Bentuk toraks
yang sempit disebabkan hipoaerasi dan volume paru berkurang.
Gambaran ground-glass, retikulogranuler menyeluruh serta perluasan ke
perifer. Gambaran granularitas, yaitu distensi duktus dan bronkiolus yang
terisi udara dengan alveoli yang mengalami atelektasis.1,6
Tata laksana PMH yang semakin baik, seperti penggunaan
surfaktan dan pemberian CPAP segera setelah bayi lahir menyebabkan
gambaran tidak klasik pada foto toraks.6
Klasifikasi beratnya PMH pada dibagi atas 4 derajat (Gambar 7),
yaitu:1,6
1)
Derajat I: bercak retikulogranuler dengan air brochogram

17

2)

3)

Derajat II: bercak retikulogranular menyeluruh dengan air


bronchogram
Derajat III: opasitas lebih jelas, dengan air bronchogram lebih
jelas meluas ke cabang di perifer; gambaran jantung menjadi

4)

kabur.
Derajat IV: seluruh lapangan paru terlihat putih (opak), Tidak
tampak air bronchogram, jantung tak terlihat, disebut juga white
lung
Keadaan hipoksemia pada PMH dapat menyebabkan terjadinya

perdarahan intrakranial, perdarahan paru, dan gagal jantung kongestif


akibat left to right shunt melalui PDA. Sedangkan komplikasi penggunaan
bantuan ventilasi dapat terjadi pulmonary interstitial emphysema,
pneumotoraks.

pneumomediastinum,

pneumoperitoneum, pneumato-cele.6
b. Sindrom Aspirasi Mekonium
Gambaran
bervariasi
tergantung

pneumopericardium,

banyaknya

aspirasi

mekonium/cairan ketuban. Aspirasi cairan ketuban yang jernih biasanya


cepat menghilang, namun bila bercampur dengan mekonium memerlukan
waktu lebih lama. Densitas ropey, kasar, patchy luas menyeluruh pada
kedua lapangan paru. Hiperaerasi paru pada daerah yang mengalami airtrapping. Efusi pleura minimal (20%). Dapat terjadi pneumotoraks atau
pneumomediastinum spontan. Bila mekonium terhisap dalam jumlah yang
banyak, dapat terjadi atelektasis paru atau emfisema obstruktif.
Komplikasi jangka panjang adalah bronkospasme atau penyakit paru
reaktif.6
c. Transient Tachypnea of the Newborn (TTN)

18

Biasanya pada bayi cukup bulan atau sedikit prematur, lahir


dengan operasi kaisar, precipitous labour. Gambaran berupa hiperinflasi
paru atau normal, fisura interlobaris terlihat opak karena terdapat cairan,
efusi pleura, fuzzy vessel atau densitas bergaris.6
d. Pneumonia Neonatal
Pneumonia neonatal disebabkan infeksi intrauterin atau selama
persalinan. umumnya infeksi bakterialis. Pada bayi prematur, infeksi E.
coli merupakan penyebab yang biasa ditemukan.6
Pneumonia neonatal merupakan kelainan pada alveoli yang
tersebar. Gambaran dapat berupa garis-garis opak perihilar menyerupai
TTN atau infiltrate luas hampir homogen menyerupai HMD. Pada
neonatus cukup bulan dengan gambaran ground glass yang menyerupai
HMD, pikirkan terlebih dahulu pneumonia yang biasanya disebabkan
streptokokus. Terkadang dapat dijumpai efusi pleura (tidak seperti
HMD).6
e. Pulmonary Interstitial Emphysema
Pulmonary intersitial emphysema (PIE) dapat merupakan
komplikasi

pemberian

oksigen

dengan

tekanan

postitif

pada

penatalaksanaan HMD. Bila terjadi ruptur alveolus atau saluran napas


terminal, udara akan masuk ke ruang interstitial paru menyebabkan PIE.
Kemudian udara masuk bronchovascular sheat menyebar ke perifer. Bila
paru

telah

mengalami

PIE

maka

komplikasi

pneumotoraks,

pneumomediastinum, pneumoperikardium, penumoperitoneum, serta


emboli udara sangat mungkin terjadi. Gambaran lusen udara berberbetuk
gelembung kecil atau bergaris. Merupakan prekursor terjadinya
pneumotoraks.6

19

f. Di samping itu pemeriksaan radiologi thoraks juga berguna untuk:1


1) Evaluasi adanya kelainan yang memerlukan tindakan segera misalnya:
malposisi

pipa

endotrakheal,

adanya

pneumotoraks,

pneumomediastinum, pneumoperikardium, pneumoperitonium.


2) Mengetahui adanya penyakit fokal atau difus (misalnya pneumonia,
ARDS, hiperinflasi bilateral, pengembangan paru yang asimetris,
efusi pleura, kardiomegali)
3) Bila terjadi hipoksemia tetapi pemeriksaan thoraks normal, maka
harus dipikirkan kemungkinan Penyakit Jantung Bawaan tipe sianotik,
hipertensi pulmonal atau emboli paru.
J. DIAGNOSIS BANDING
1. Kelainan Sistem Respirasi
a. Obstruksi saluran napas atas: atresia koanae, web laringeal, higroma,
b.
c.
d.
e.
f.
g.

gondok, laringo/trakheomalasia, Sindroma Piere Robin


Respiratory distress syndrome = Penyakit membarana hialin
Transient tachynea of the newborn
Pneumonia
Sindroma aspirasi mekonium
PPHN = Persistent pulmonary hypertension in newborn
Pneumotoraks, atelektasis, perdarahan paru, efusi pleura, palsi nervus

frenikus
h. Malformasi kongenitalef misalnya: fistula trakheoesofageal, hernia
diafragmatika, emfisema lobaris, malformasi kistik adenomatoid)
i. Proses lambat: displasia bronkhopulmoner
2. Sepsis
3. Sistema kardiovaskular: penyakit jantung bawaan, gagal Jantung kongestip,
PDA (Patent ductus arteriosus), syok
4. Metabolik: keadaan yang dapat menyebabkan asidos, hipo/hipertermia,
gangguan keseimbangan elektrolit, hipoglikemia
5. Sistema hemopoetik: Anemia (termasuk anemia akibat kehilangan darah
secara akut, yang dapat mengakibatkan syok hipovolemik atau kehilangan

20

darah kronik yang dapat menyebabkan gagal jantung kongestip dan


polisitemia)
6. SSP = Sistem Susunan Syaraf Pusat: perdarahan, depresi farmakologik, "drug
withdrawal" malformasi, asfiksia saat lahir/depresi pernapasan.1
K. MANAJEMEN
1. Gangguan Napas Berat
Pada bayi kecil (berat lahir < 2500 gram atau umur kehamilan kurang
37 minggu) gangguan napas sering memburuk dalam waktu 36 hingga 48 jam
pertama, dan tidak banyak terjadi perubahan dalam satu dua hari berikutnya
dan kemudian akan membaik pada hari ke 4-7.1
a. Teruskan pemberian O2, dengan kecepatan aliran sedang (antara rendah
dan tinggi).
b. Tangani sebagai Kemungkinan besar sepsis.
c. Bila bayi menunjukkan tanda perburukan atau terdapat sianosis sentral,
naikkan pemberian O2, pada kecepatan aliran tinggi. Jika gangguan napas
bayi semakin berat dan sianosis sentral menetap walaupun diberikan O2
100%, bila memungkinkan segera rujuk bayi ke rumah Sakit rujukan atau
yang ada fasilitas dan mampu memakai ventilator mekanik.
d. Jika gangguan napas masih menetap setelah 2 jam, pasang pipa lambung
untuk mengosongkan cairan lambung dan udara.
e. Nilai kondisi bayi 4 kali setiap hari apakah ada tanda perbaikan.
f. Jika bayi mulai menunjukkan tanda perbaikan (frekuensi napas menurun,
tarikan dinding dada berkurang, warna kulit membaik):
1) Kurangi pemberian O2, secara bertahap;
2) Mulailah pemberian ASI peras melalui pipa lambung:
Bila pemberian O2 tak diperlukan lagi, bayi mulai dilatih menyusu.
Jika bayi tak bisa menyusu, berikan ASI peras dengan menggunakan
salah satu altematif cara pemberian minum.
g. Pantau dan catat setiap 3 jam mengenai:
1) Frekuensi napas;
2) Adanya tarikan dinding dada atau suara merintih saat ekspirasi;

21

3) Episode apnu.
h. Periksa kadar glukose darah sekali sehari sampai setengah kebutuhan
minum dapat dipenuhi secara oral
i. Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotika dihentikan. Jika
bayi tampak kemerahan tanpa terapi O2, selama 3 hari, minum baik dan
tidak ada masalah lain yang memerlukan perawatan di rumah sakit, bayi
dapat dipulangkan.1
2. Gangguan Napas Sedang
a. Lanjutkan pemberian O2, dengan kecepatan aliran sedang.
b. Bayi jangan diberikan minum.
c. Jika ada tanda berikut, ambil sampel darah untuk kultur dan berikan
antibiotika (ampisilin dan gentamisin) untuk terapi Kemungkinan besar
sepsis:
1) Suhu aksiler < 34C atau > 39C;
2) Air ketuban bercampur mekonium;
3) Riwayat infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat atau ketuban
pecah dini (>18jam).
d. Bila suhu aksiler 3436,5C atau 37,539C tangani untuk masalah
suhu abnormal dan nilai ulang setelah 2 jam:
1) Bila suhu masih belum stabil atau gangguan napas belum ada
perbaikan, ambil sampel darah, dan berikan antibiotika untuk terapi
Kemungkinan besar sepsis;
2) Jika suhu normal, teruskan amati bayi. Apabila suhu kembali
abnormal, ulangi tahapan tersebut diatas.
e. Bila tidak ada tanda-tanda kearah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2 jam.
Apabila bayi tidak menunjukkan perbaikan atau tanda-tanda perburukan
setelah 2 jam, terapi untuk Kemungkinan besar sepsis.
f. Bila bayi mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan (frekuensi napas
menurun, tarikan dinding dada berkurang atau suara merintih berkurang):
1) Kurangi terapi O2, secara bertahap.
2) Pasang pipa lambung, berikan ASI peras setiap 2 jam.

22

3) Apabila tak diperlukan lagi pemberian 02, mulailah melatih bayi


menyusu. Bila bayi tak dapat menyusu, berikan ASI peras dengan
memakai salah satu cara altematif pemberian minum.
4) Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan.
Bila bayi kembali tampak kemerahan tanpa pemberian 02, selama 3
hari, minum baik dan tak ada alasan bayi tetap tinggal di rumah sakit,
bayi dapat dipulangkan.1
3. Gangguan Napas Ringan
Beberapa BCB yang mengalami gangguan napas ringan pada waktu
lahir tanpa gejala-gejala lain disebut Transient Tachypnea of the Newborn
(TTN), terutama terjadi setelah bedah sesar. Biasanya kondisi tersebut akan
membaik dan sembuh sendiri tanpa pengobatan. Meskipun demikian, pada
beberapa kasus, gangguan napas ringan merupakan tanda awal dari infeksi
sistemik.1
a. Amati pernapasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya.
b. Bila dalam pengamatan gangguan napas memburuk atau timbul gejala
sepsis lainnya, terapi untuk Kemungkinan besar sepsis dan tangani
gangguan napas sedang atau berat seperti tersebut di atas.
c. Berikan ASI bila bayi mampu mengisap. Bila tidak, berikan ASI peras
dengan menggunakan salah satu cara altematif pemberian minum.
d. Kurangi pemberian O2, secara bertahap bila ada perbaikan gangguan
napas. Hentikan pemberian O2, jika frekuensi napas antara 3060
kali/menit.
e. Amati bayi selama 24 jam berikutnya, jika frekuensi napas menetap
antara 30-60 kali/menit, tidak ada tanda-tanda sepsis, dan tidak ada
masalah lain yang memerlukan perawatan, bayi dapat dipulangkan.1
4. Kelainan Jantung Kongenital

23

Bayi dengan kelainan jantung kongenital sering mengalami sianosis


sentral walaupun telah mendapat O2 100%. Bayi mungkin tidak mempunyai
tanda gangguan napas selain napas cepat. Suara bising dapat terdengar, tetapi
diagnosis biasanya ditegakkan dengan menyingkirkan diagnosis lain.
a. Berikan O2, pada kecepatan aliran maksimal.
b. Berikan ASI eksklusif. Bila tidak dapat, berikan ASI peras dengan
memakai salah satu cara alternatif pemberian minum.
c. Bila memungkinkan, rujuk ke rumah sakit rujukan atau Pusat Pelayanan
Spesialis untuk terapi definitif.1
5. Apnu
Apnu merupakan masalah umum pada bayi sangat kecil (berat lahir <
1500 gram atau umur kehamilan < 32 minggu) tetapi dapat juga merupakan
salah satu gejala sepsis.1
a. Amati bayi secara ketat terhadap periode apnu berikutnya dan bila perlu
rangsang pernapasan bayi dengan mengusap dada atau punggung. Bila
gagal, lakukan resusitasi dengan balon dan sungkup.
b. Bila bayi mengalami episode apnu lebih dari sekali, sampai membutuhkan
resusitasi tiap jam:
1) Jangan memberi minum. Pasang jalur IV dan berikan cairan IV
kebutuhan rumatan per hari;
2) Bila bayi tidak mengalami episode apnu dan tidak memerlukan
resusitasi selama 6 jam, bayi diperbolehkan menyusu. Bila tidak dapat
menyusu, berikan ASI peras dengan salah satu cara alternatif
pemberian minum.
c. Lakukan perawatan lekat atau kontak kulit bayi dan ibu bila
memungkinkan. Dengan cara ini serangan apnu bayi berkurang dan ibu
dapat mengamati bayinya secara ketat.
d. Ambil sampel darah untuk pemeriksaan kultur dan sensitivitas dan
berikan antibiotika untuk penanganan Kemungkinan besar sepsis.

24

e. Nilai kondisi bayi 4 kali setiap hari.


f. Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Jika
tak ada serangan apnu selama 7 hari, bayi minum dengan baik dan tak ada
masalah lain yang memerlukan perawatan di rumah sakit, bayi dapat
dipulangkan.
g. Untuk bayi sangat kecil (berat lahir < 1500 gram atau umur kehamilan <
32 minggu), serangan apnu bisa menetap meskipun cara-cara tersebut
diatas telah dilakukan dan infeksi berat telah teratasi, berikan Teofilin
dosis awal 5 mg/kg per oral dilanjutkan 2 mg/kg tiap 8 jam selama 7 hari.
h. Jika teofilin tak tersedia atau pemberian per oral belum memungkinkan,
berikan Aminofilin dosis awal 6 mg/kg IV diteruskan 2 mg/kg IV tiap 8
jam selama 7 hari.1
Pada bayi dengan gangguan nafas perlu dilakukan prioritas manajemen dan
evaluasi bayi dengan gangguan nafas.1
1. Ventilasi
Dapat menggunakan balon resusitasi dan sungkup atau melalui pipa
endotrakheal bilan pernapasan tidak adekuat. Pemberian oksigen bila ada indikasi
seperti sianosis sentral atau hipoksemia. Oksigen dan continuous positive airway
pressure (CPAP) merupakan terapi utama RDS, tetapi pemberian terapi oksigen
merupakan terapi utama RDS sebelum pengenalan CPAP.1
Terapi tambahan dapat dilakukan posisi tengkurap karena akan
mengurangi komplains paru dari tabung. Dapat juga diberikan terapi inhalasi
(NO).1
2. Sirkulasi
Auskultasi suara jantung, ukur tekanan darah, palpasi denyut nadi dan
periksa hematokrit. Pertahankan sirkulasi dan volume darah agar tetap adekuat.1
3. Koreksi Asidosis Metabolik

25

Asidosis metabolik berat (pH < 7.2) dengan kadar bikarbonat serum (<
15-16 mEq/L) atau defisit basa menunjukkan beratnya penyakit. Penyebab harus
segera ditentukan dan ditangani. Jika sudah dapat ditentukan, asidosis metabolik
diterapi dengan pemberian larutan Bikarbonat natrikus.1
4. Jaga kehangatan suhu bayi sekitar 36.5oC 36.8oC (suhu aksiler) untuk
mencegah vasokontriksi perifer.1
5. Langkah selanjutnya untuk mencari penyebab distress respirasi
6. Terapi pemberian surfaktan
Terapi surfaktan harus segera dimulai segera setelah secara klinis RDS
dapat didiagnosis. Selama bayi membutuhkan dukungan ventilasi dengan O2 >
30%, surfaktan harus segera diberikan.1
7. Bila tidak tersedia fasilitas NICU segera rujuk ke rumah sakit yang tersedia
NICU
L. PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada latar belakang etiologi gangguan napas. Prognosis
baik bila gangguan napas akut dan tidak berhubungan dengan keadaan hipoksemia
yang lama.1
M. PENCEGAHAN
1. Perhatian langsung harus diberikan untuk mengantisipasi dan mengurangi
komplikasi dan juga harus diupayakan strategi pencegahan persalinan kurang
bulan semaksimal mungkin.
2. Pemberian terapi steroid antenatal harus diberikan kepada ibu yang terancam
persalinan kurang bulan
3. Melakukan resusitasi dengan baik dan benar
4. Diagnosis dini dan pengelolaan yang tepat, terutama pemberian surfaktan bila
memungkinkan.1

DAFTAR PUSTAKA

26

1. Kosim, M. Sholeh. Gangguan Napas Pada Bayi Baru Lahir. Buku Ajar
Neonatologi IDAI 2012, Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A
Eds (Editors) 1st Ed. Badan Penerbit IDAI. Jakarta. 2012: 126-45.
2. Respiratory Distresss Syndrome of the Newborn. Neonatologi Disorder. Apr
2012; 19: 197-204.
3. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Hormaniati ED.
Penyakit Membran Hialin. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Badan Penerbit IDAI. 2009: 238-40.
4. Effendi SH, Firdaus A. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Kegagalan Nafas Pada
Neonatus. Bandung. Des 2010: 1-14.
5. Mathai SC, Raju CU, Kanitkar CM. Management of Respiratory Distress in the
Newborn. Emergency Medicine. Jan 2007; 63: 269-72.
6. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Hormaniati ED,
Yuliarti K. Distres Pernapasan Neonatus. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan
Dokter Anak Indonesia Edisi II. Badan Penerbit IDAI. 2011: 66-76.

27

Anda mungkin juga menyukai