PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Definisi gangguan nafas adalah suatu keadaan meningkatnya kerja
pernapasan yang ditandai dengan satu atau lebih dari hal berikut: napas cuping
hidung, retraksi dada, takipnea, dan merintih. Bayi yang memiliki tingkat yang lebih
tinggi dari gangguan pernapasan mungkin menunjukkan tanda-tanda tambahan,
seperti sianosis, terengah-engah, tersedak, apnea, dan stridor. Manajemen dokter
harus mempertimbangkan tanda-tanda tambahan tersebut untuk menjadi "alarm".1
Adapun sindrom gangguan pernapasan (RDS) pada bayi baru lahir, juga
dikenal sebagai penyakit membran hialin, adalah suatu keadaan meningkatnya kerja
pernapasan yang sering merupakan gangguan pernapasan pada bayi prematur. Pada
bayi yang sehat, alveoli yang merupakan kantung udara, bertukar udara dari paruparu yang dilapisi oleh surfaktan. Jika bayi baru lahir prematur belum menghasilkan
cukup surfaktan, mereka tidak mampu untuk membuka paru-paru mereka
sepenuhnya untuk bernapas.1,2,3
Gagal nafas pada neonatus merupakan masalah klinis yang sangat serius,
yang berhubungan dengan tingginya morbiditas, mortalitas dan biaya perawatan.
Faktor resiko utama gagal nafas pada neonatus adalah prematuritas, bayi berat badan
lahir rendah, dan penelitian menunjukkan kejadiannya lebih banyak terjadi pada
golongan sosioekonomi rendah.4
B. EPIDEMIOLOGI
Sindrom gangguan pernapasan (RDS) mempengaruhi sekitar 1 persen dari
bayi yang baru lahir dan merupakan penyebab utama kematian pada bayi yang lahir
2
prematur. Sekitar 12 persen dari bayi yang lahir di Amerika Serikat yang prematur,
yang lebih tinggi daripada di negara-negara maju lainnya. Sekitar 10 persen bayi
prematur di Amerika Serikat mengembangkan RDS setiap tahun. Resiko RDS
meningkat dengan meningkatnya prematuritas. Bayi yang lahir sebelum 29 minggu
kehamilan memiliki peluang 60 persen terkena RDS, tapi bayi yang dilahirkan
prematur penuh jarang mengembangkan kondisi ini. Faktor risiko ibu untuk
melahirkan prematur termasuk kelahiran prematur sebelumnya, penyakit periodontal,
massa tubuh ibu yang rendah, perawatan prenatal yang buruk, kemiskinan, menjadi
tidak diasuransikan, dan menjadi anggota dari kelompok minoritas.2
Di antara bayi prematur, risiko mengembangkan RDS meningkat dengan ras
Kaukasia, seks laki-laki, kakak dengan RDS, sesar, asfiksia perinatal, dan diabetes
ibu.2
Pada tahun 2003, jumlah total kelahiran hidup di Amerika Serikat untuk
semua ras adalah 4.089.950; sekitar 0,6 persen dari bayi yang baru lahir memiliki
RDS (sekitar 24.000 atau 6 per 1.000 kelahiran hidup). Pada tahun 2005, ada
4.138.000 kelahiran hidup di Amerika Serikat, dan sejumlah sedikit lebih besar dari
bayi dipengaruhi dengan RDS karena tingkat kelahiran prematur telah meningkat
dari 11,6 persen menjadi 12,7 persen, terutama disebabkan kenaikan pada akhir
kelahiran prematur (34 36 minggu kehamilan).2
Meskipun jumlah kasus RDS di Amerika Serikat tumbuh, angka kematian
bayi dari RDS telah secara dramatis menurun dari sekitar 25.000 kematian per tahun
pada tahun 1960 untuk 860 kematian pada tahun 2005 karena terapi penggantian
surfaktan. Kematian bayi dari RDS 2,6 kali lebih besar pada bayi Afrika Amerika
dari pada bayi Kaukasia, meskipun bayi Kaukasia berada pada risiko yang lebih
tinggi untuk mengembangkan kondisi tersebut.2
Pada tahun 2001, biaya rumah sakit untuk bayi prematur yang diperkirakan
menjadi $ 75.000. Dengan sekitar 18.000 rawat inap setiap tahun karena RDS, total
biaya pengobatan bayi ini di rumah sakit adalah sekitar $ 2,3 miliar.2
Di Indonesia, sepertiga dari kematian bayi terjadi pada bulan pertama setelah
kelahiran, dan 80% diantaranya terjadi pada minggu pertama dengan penyebab
utama kematian diantaranya adalah infeksi pernafasan akut dan komplikasi perinatal.
Pada suatu studi kematian neonatal di daerah Cirebon tahun 2006 disebutkan pola
penyakit kematian neonatal 50% disebabkan oleh gangguan pernapasan meliputi
asfiksia bayi baru lahir (38%), respiratory distress 4%, dan aspirasi 8%. Meskipun
angka-angka tersebut masih tinggi, Indonesia sebenarnya telah mencapai tujuan
keempat dari MDG, yaitu mengurangi tingkat kematian anak. Dengan pencegahan
dan penatalaksanaan yang tepat, serta sistem rujukan yang baik, kematian neonatus
khususnya akibat gangguan pernafasan diharapkan dapat terus berkurang.4
C. FAKTOR PREDISPOSISI
1. Bayi Kurang Bulan (BKB): Paru bayi secara biokimiawi masih imatur dengan
kekurangan surfaktan yang melapisi rongga alveoli
2. Depresi neonatal (Kegawatan neonatal):
a. Kehilangan darah dalam periode perinatal
b. Aspirasi mekonium
c. Pnemotoraks akibat tindakan resusitasi
d. Hipertensi pulmonal dengan pirau kanan ke kiri yang membawa darah
keluar dari paru
3. Bayi dari Ibu DM: terjadi respirasi distress akibat kelambatan pematangan
paru
4. Bayi lahir dengan operasi sesar: Bayi yang lahir dengan operasi sesar, berapa
pun usia gestasi nya dapat mengakibatkan terlambatnya absorpsi cairan paru
(TTN)
5. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita demam, ketuban pecah dini atau air
ketuban yang berbau busuk dapat terjadi pneumonia bakterialis atau sepsis
6. Bayi dengan kulit herwarna seperti mekonium, mungkin mengalami aspirasi
mekonium.1
D. ETIOLOGI
Penyebab gangguan napas pada Bayi Baru Lahir (BBL) yaitu:1
1. Obstruksi Jalan Napas
a. Nasal atau nasofaringeal: obstruksi koanae, edema nasalis, ensefalokel.
BBL bernapas dengan hidung dan dapat menunjukkan gejala distres
respirasi apabila ada sesuatu yang menyumbat lubang hidung (mukus atau
masker yang menutupi saat dilakukan terapi sinar)
b. Rongga mulut: makroglosi atau mikrognati
c. Leher: struma congenital dan higroma kistik
d. Laring: laryngeal web, stenosis subglotik, hemangioma, paraliisis medulla
spinalis dan laringomalasia
2. Trakhea
Trakheomalasia, fistula trakheoesofagsus, stenosis trakhea dan stenosis
bronkhial.
3. Penyebab Pulmonal
udara:
Pneumotoraks,
pnemomediastinum,
emfisema
pulmonalis interstitialis
e. TTN (Transient tachypnea of the newborn)
f. Pneumonia, Pneumonia hemoragik
g. Kelainan kongenital: hernia diafragmatika, Kista atau tumor intratorakal,
Agenesia atau hipoplasia paru, emfisema lobaris congenital
h. Efusi, silotoraks.
4. Penyebab Non Pulmonal
E. PATOFISIOLOGI
Paru berasal dari pengembangan embryonic foregut dimulai dengan
perkembangan bronchi utama pada usia 3 minggu kehamilan. Pertumbuhan paru
kearah kaudal ke mesenkhim sekitar dan pembuluh darah, otot halus, tulang rawan
dan komponen fibroblast berasal dari jaringan ini. Secara endodermal epithelium
mulai membentuk alveoli dan saluran pernapasan. Di luar periode membrionik ini,
ada 4 stadium perkembangan paru yang telah dikenal. Pada seluruh stadium ini,
perkembangan saluran pernapasan, pembuluh darah dan proses diferensiasi
berlangsung secara bersamaan.1
1. Pseudoglandular (5 17 minggu)
Terjadi perkembangan percabangan bronkhuis dan tubulus asiner
2. Kanalikuler (16 26 minggu)
a. Terjadi proliferasi kapiler dan penipisan mesenkhim
b. Diferensiasi pneumosit alveolar tipe II sekitar 20 minggu
3. Sekuler (24 38 minggu)
a. Terjadi perkembangan dan ekspansi rongga dada
b. Awal pembentukan septum alveolar
4. Alveolar (36 minggu lebih 2 tahun setelah lahir)
Penipisan septum alveolar dan pembentukan kapiler baru
Berdasarkan usia, kematian bayi telah dikaitkan dengan ketidakmampuan
bayi untuk beradaptasi dengan kehidupan di luar rahim. Pada awal abad ke-20,
"membran hialin" yang ditemukan selama otopsi di paru-paru bayi yang meninggal
tak lama setelah lahir. Pada tahun 1920, Dr. Kurt von Neergaard, seorang ahli
fisiologi Swiss, mendalilkan adanya zat dalam paru-paru yang mengurangi tegangan
permukaan, memungkinkan paru-paru untuk membuka. Pada tahun 1950, Dr. John
Clements, seorang ahli fisiologi paru AS, menunjukkan bahwa zat ini adalah
surfaktan. Akhirnya, pada tahun 1959, Drs. Mary Ellen Avery dan Jere Mead, baik
bekerja di Harvard pada waktu itu, menunjukkan bahwa surfaktan kurang dalam
paru-paru bayi prematur, yang merupakan penyebab dasar kegagalan pernapasan
terlihat di beberapa bayi tersebut.2
Penelitian lebih lanjut tentang sindrom gangguan pernapasan bayi (RDS)
menemukan bahwa kekurangan surfaktan merupakan konsekuensi dari baik itu tidak
cukupnya produksi terhadap paru-paru yang belum matang maupun mutasi genetik di
salah satu protein surfaktan, yaitu SP-B. Surfaktan sendiri dibentuk pada pneumosit
alveolar tipe II dan disekresi kedalam rongga udara kecil sekitar usia kehamilan 22
minggu. Komponen utama surfaktan ini adalah fosfolipid, sebagian besar terdiri dari
dipalmitylphosphatidylcholine (DPPC). Surfaktan disekresi oleh eksositosis dari
lamellar bodies pneumosit alveolar tipe II dan myelin tubuler. Pembentukan myelin
tubuler tergantung pada ion kalsium dan protein surfaktan SP-A dan SP-B. Surfaktan
lapisan tunggal berasal dari myelin tubuler dan sebagian besar terdiri dari DPPC.
Bentuk mutasi genetik dari protein surfaktan sebagai penyebab yang jarang ini tidak
terkait dengan kelahiran prematur dan terjadi pada bayi cukup bulan.1,2
Surfaktan diperlukan untuk alveoli paru-paru kecil untuk mengatasi tegangan
permukaan dan tetap terbuka. Tanpa surfaktan yang memadai, tekanan yang
diberikan mencoba untuk membuka alveoli ini baik melalui pernapasan kuat bayi
atau melalui ventilator mekanik meruptutkan alveoli, menghasilkan gambar seperti
emfisema, atau pneumotoraks, jika udara lolos ke luar paru-paru dan terjebak di
dinding dada. Bayi sangat prematur mungkin menderita pendarahan ke otak
(perdarahan intraventrikular), sepsis, dan komplikasi lain dari sistem tubuh yang
belum matang, termasuk neurologis dan kerusakan perkembangan. Pada bayi yang
selamat, displasia bronkopulmonal (penyakit jaringan parut paru-paru kronis yang
ditandai oleh kebutuhan oksigen berkepanjangan) mungkin berkembang karena
keracunan oksigen dan ventilasi mekanis. Komplikasi ini terkait dengan tingkat
keparahan penyakit, berat lahir, dan usia kehamilan bayi. Bayi kecil berada pada
risiko lebih besar terkena displasia bronkopulmonalis.2
F. KLASIFIKASI GANGGUAN NAPAS
Buku Pedoman Manajemen masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Perawat,
dan Bidan di Rumah Sakit, membagi Klasifikasi gangguan napas, menjadi:1
a. Gangguan napas ringan
b. Gangguan napas sedang
c. Gangguan napas berat
10
Klasifikasi lain dapat menggunakan skor Downes seperti pada Tabel di bawah
ini.1
11
Skor Downes merupakan sistem skoring yang lebih komprehensif dan dapat
digunakan pada semua usia kehamilan. Penilaian dengan sistem skoring ini
sebaiknya dilakukan tiap setengah jam untuk menilai progresivitasnya.4
G. GAMBARAN KLINIK
1. Takipnea: frekuensi napas > 60 80 kali/menit
Normalnya, neonatus mengambil 30 sampai 60 napas / menit.
Keadaan bayi bernafas dengan laju yang lebih cepat untuk mempertahankan
ventilasi dalam menghadapi volume tidal yang menurun.
2. Retraksi: cekungan atau tarikan kulit antara iga (interkostal) dan atau di
bawah sternum (sub sternal) selama inspirasi.
Retraksi suprasternal menunjukkan obstruksi jalan napas atas.
Retraksi subkostal, di sisi lain, adalah tanda kurang spesifik yang mungkin
terkait dengan baik penyakit paru atau jantung.
3. Napas cuping hidung: kembang kempis lubang hidung selama inspirasi
Cuping hidung merupakan temuan relatif sering pada bayi mencoba
untuk menurunkan resistensi saluran napas.
4. Merintih atau grunting: terdengar merintih atau menangis saat inspirasi
5. Sianosis: sianosis sentral yaitu warna kebiruan pada bibir (berbeda dengan
biru lebam atau warna membran mukosa.
Sianosis sentral tidak pernah normal, selalu memerlukan perhatian
dan tindakan segera. Mungkin mencerminkan abnormalitas jantung,
hematologik atau pernapasan yang harus dilakukan tindakan segera
6. Apnu atau henti napas (harus selalu di nilai dan dilakukan tindakan segera)
12
7. Dalam jam jam pertama sesudah lahir, empat gejala distres respirasi
(takipnea, retraksi, napas cuping dan grunting) kadang juga dijumpai pada
BBL normal tetapi tidak berlangsung lama. Gejala ini disebabkan karena
perubahan fisiologik akibat reabsorbsi cairan dalam paru bayi dan masa
transisi dari sirkulasi fetal ke sirkulasi neonatal.
8. Bila takipnea, retraksi, cuping hidung dan grunting menetap pada beberapa
jam setelah lahir, ini merupakan indikasi adanya gangguan napas atau distress
respirasi yang harus dilakukan tindakan segera.1
H. DIAGNOSIS
Prioritas dalam evaluasi atau pemeriksaan awal pada bayi dengan gangguan
napas adalah:1
1. Langkah awal untuk mencari penyebab:
a. Anamesis yang teliti
Ananmesis tentang riwayat keluarga, maternal, prenatal dan
intrapartum sangat diperlukan, antara lain tentang hal-hal di bawah ini:
1) Prematuritas, sindrom gangguan napas, sindrom aspirasi mekonium,
infeksi: pneumonia, displasia pulmoner, trauma persalinan sungsang,
kongesti nasal, depresi susunan saraf pusat, perdarahan susunan saraf
pusat, paralisis nervus frenikus, takikardia atau bradikardia pada janin,
depresi neonatal, tali pusat menumbung, Bayi lebih bulan, demam atau
suhu yang tidak stabil (pada pneumonia)
2) Gangguan SSP: tangis melengking, hipertoni, flasiditas, atonic, trauma,
miastenia
3) Kelainan kongenital: arteri umbilikalis tunggal, anomali kongenital lain:
anomali kardiopulmonal, abdomen cekung pada hernia diafragmatika,
paralisis erb (paralisis nerves frenikus, atresia khoanae, kongesti nasal
13
14
c. Menilai tingkat maturitas bayi dengan Ballard atau Dubowitz (bila keadaan
bayi masih labil pemeriksaan ini ditunda dulu)
2. Pemeriksaan Penunjang:
a. Pemeriksaan radiologi dada
b. Analisa gas darah
c. Septic work up dan mencari kemungkinan penyebab karena pneumonia :
Minimal darah kultur dan jumlah sel
d. Status metabolik: dilakukan pemeriksaan Analisa Gas Darah, skrining kadar
glukosa darah
Selain menilai keparahan gangguan tersebut adalah penting untuk
menentukan patologi yang mendasari pengelolaan lebih lanjut. Untuk bayi baru lahir
(dalam beberapa jam lahir) dengan gangguan pernapasan, review singkat tentang
peristiwa antenatal dan peripartum berikut termasuk kondisi saat lahir adalah suatu
keharusan.5
a. Apakah ada faktor risiko pada periode antepartum atau bukti gawat janin
sebelum pengiriman? (Lahir asfiksia atau PPHN)
b. Apakah ibu menerima steroid antenatal jika itu adalah kelahiran prematur?
(Steroid antenatal menurunkan kejadian HMD 50%)
c. Apakah ada riwayat ketuban pecah dini dan demam? (Pneumonia kongenital
atau sepsis)
d. Apakah ada mekonium cairan ketuban berwarna? (Sindrom Aspirasi
Mekonium adalah sebuah kemungkinan)
e. Melihat ultrasonografi antenatal (USG) untuk jumlah cairan ketuban akan
memberitahu kita status paru janin. (Anomali kongenital dari paru-paru)
f. Apakah resusitasi diperlukan saat lahir? (Trauma resusitasi / PPHN / asidosis)
g. Apakah distress muncul segera atau beberapa jam setelah lahir? (HMD
muncul lebih awal dari pneumonia)
h. Apakah itu terkait dengan makan atau berbusa di mulut? (Trakeo-esofagus
fistula atau aspirasi)
i. Apakah gangguan menurun dengan menangis? (Atresia choanal).
15
Diagram. Pendekatan diagnosis untuk gangguan pernapasan pada bayi baru lahir.5
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Analisis Gas Darah
Dilakukan untuk menentukan adanya gagal nafas akut yang
ditandai dengan: PaCO2 > 50 mmHg, PaO2 < 60 mmHg, atau saturasi
oksigen arterial < 90%. Dilakukan pada BBL yang memerlukan
suplementasi oksigen lebih dari 20 menit. Darah arterial lebih dipilih
dianjurkan.1
Diambil berdasarkan indikasi klinis dengan mengambil sampel
darah dari arteri umbilikalis atau pungsi arteri. Menggambarkan
gambaran asidosis metabolik atau asidosis respiratorik dan keadaan
hipoksia. Asidosis respiratorik terjadi karena atelektasis alveolar dan/atau
overdistensi saluran napas bawah. Asidosis metabolik, biasanya
diakibatkan asidosis laktat primer, yang merupakan hasil dari perfusi
jaringan yang buruk dan metabolism anaerobik.1
Hipoksia terjadi akibat pirau dari kanan ke kiri melalui pembuluh
darah pulmonal, PDA dan/atau persisten Foramen Ovale. Pulse oxymeter
16
17
2)
3)
4)
kabur.
Derajat IV: seluruh lapangan paru terlihat putih (opak), Tidak
tampak air bronchogram, jantung tak terlihat, disebut juga white
lung
Keadaan hipoksemia pada PMH dapat menyebabkan terjadinya
pneumomediastinum,
pneumoperitoneum, pneumato-cele.6
b. Sindrom Aspirasi Mekonium
Gambaran
bervariasi
tergantung
pneumopericardium,
banyaknya
aspirasi
18
pemberian
oksigen
dengan
tekanan
postitif
pada
telah
mengalami
PIE
maka
komplikasi
pneumotoraks,
19
pipa
endotrakheal,
adanya
pneumotoraks,
frenikus
h. Malformasi kongenitalef misalnya: fistula trakheoesofageal, hernia
diafragmatika, emfisema lobaris, malformasi kistik adenomatoid)
i. Proses lambat: displasia bronkhopulmoner
2. Sepsis
3. Sistema kardiovaskular: penyakit jantung bawaan, gagal Jantung kongestip,
PDA (Patent ductus arteriosus), syok
4. Metabolik: keadaan yang dapat menyebabkan asidos, hipo/hipertermia,
gangguan keseimbangan elektrolit, hipoglikemia
5. Sistema hemopoetik: Anemia (termasuk anemia akibat kehilangan darah
secara akut, yang dapat mengakibatkan syok hipovolemik atau kehilangan
20
21
3) Episode apnu.
h. Periksa kadar glukose darah sekali sehari sampai setengah kebutuhan
minum dapat dipenuhi secara oral
i. Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotika dihentikan. Jika
bayi tampak kemerahan tanpa terapi O2, selama 3 hari, minum baik dan
tidak ada masalah lain yang memerlukan perawatan di rumah sakit, bayi
dapat dipulangkan.1
2. Gangguan Napas Sedang
a. Lanjutkan pemberian O2, dengan kecepatan aliran sedang.
b. Bayi jangan diberikan minum.
c. Jika ada tanda berikut, ambil sampel darah untuk kultur dan berikan
antibiotika (ampisilin dan gentamisin) untuk terapi Kemungkinan besar
sepsis:
1) Suhu aksiler < 34C atau > 39C;
2) Air ketuban bercampur mekonium;
3) Riwayat infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat atau ketuban
pecah dini (>18jam).
d. Bila suhu aksiler 3436,5C atau 37,539C tangani untuk masalah
suhu abnormal dan nilai ulang setelah 2 jam:
1) Bila suhu masih belum stabil atau gangguan napas belum ada
perbaikan, ambil sampel darah, dan berikan antibiotika untuk terapi
Kemungkinan besar sepsis;
2) Jika suhu normal, teruskan amati bayi. Apabila suhu kembali
abnormal, ulangi tahapan tersebut diatas.
e. Bila tidak ada tanda-tanda kearah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2 jam.
Apabila bayi tidak menunjukkan perbaikan atau tanda-tanda perburukan
setelah 2 jam, terapi untuk Kemungkinan besar sepsis.
f. Bila bayi mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan (frekuensi napas
menurun, tarikan dinding dada berkurang atau suara merintih berkurang):
1) Kurangi terapi O2, secara bertahap.
2) Pasang pipa lambung, berikan ASI peras setiap 2 jam.
22
23
24
25
Asidosis metabolik berat (pH < 7.2) dengan kadar bikarbonat serum (<
15-16 mEq/L) atau defisit basa menunjukkan beratnya penyakit. Penyebab harus
segera ditentukan dan ditangani. Jika sudah dapat ditentukan, asidosis metabolik
diterapi dengan pemberian larutan Bikarbonat natrikus.1
4. Jaga kehangatan suhu bayi sekitar 36.5oC 36.8oC (suhu aksiler) untuk
mencegah vasokontriksi perifer.1
5. Langkah selanjutnya untuk mencari penyebab distress respirasi
6. Terapi pemberian surfaktan
Terapi surfaktan harus segera dimulai segera setelah secara klinis RDS
dapat didiagnosis. Selama bayi membutuhkan dukungan ventilasi dengan O2 >
30%, surfaktan harus segera diberikan.1
7. Bila tidak tersedia fasilitas NICU segera rujuk ke rumah sakit yang tersedia
NICU
L. PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada latar belakang etiologi gangguan napas. Prognosis
baik bila gangguan napas akut dan tidak berhubungan dengan keadaan hipoksemia
yang lama.1
M. PENCEGAHAN
1. Perhatian langsung harus diberikan untuk mengantisipasi dan mengurangi
komplikasi dan juga harus diupayakan strategi pencegahan persalinan kurang
bulan semaksimal mungkin.
2. Pemberian terapi steroid antenatal harus diberikan kepada ibu yang terancam
persalinan kurang bulan
3. Melakukan resusitasi dengan baik dan benar
4. Diagnosis dini dan pengelolaan yang tepat, terutama pemberian surfaktan bila
memungkinkan.1
DAFTAR PUSTAKA
26
1. Kosim, M. Sholeh. Gangguan Napas Pada Bayi Baru Lahir. Buku Ajar
Neonatologi IDAI 2012, Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A
Eds (Editors) 1st Ed. Badan Penerbit IDAI. Jakarta. 2012: 126-45.
2. Respiratory Distresss Syndrome of the Newborn. Neonatologi Disorder. Apr
2012; 19: 197-204.
3. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Hormaniati ED.
Penyakit Membran Hialin. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Badan Penerbit IDAI. 2009: 238-40.
4. Effendi SH, Firdaus A. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Kegagalan Nafas Pada
Neonatus. Bandung. Des 2010: 1-14.
5. Mathai SC, Raju CU, Kanitkar CM. Management of Respiratory Distress in the
Newborn. Emergency Medicine. Jan 2007; 63: 269-72.
6. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Hormaniati ED,
Yuliarti K. Distres Pernapasan Neonatus. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan
Dokter Anak Indonesia Edisi II. Badan Penerbit IDAI. 2011: 66-76.
27