Anda di halaman 1dari 15

Konsep Akrual Diskresioner dalam Penelitian

Managemen dan Kualitas Laba


Posted on September 12, 2012 by arierahayu 4 Komentar

Mohon pencerahan, saya meneliti tentang kualitas laba yang pengukurannya


menggunakan discretionary accrual. Pendapat Dechow menyatakan DA model Jones
cocok untuk mengukur manajemen laba. Lalu bagaimana hubungan manajemen laba
dengan kualitas laba? *saya ditanya dosen kamu meneliti kualitas laba atau manajemen
laba? Hehe. Terima kasih.
Pertama kali, kamu perlu tau dulu apa makna akrual diskresioner. Secara konsep, akrual
diskresioner adalah akrual yang nilainya ditentukan oleh kebijakan/diskresi managemen.
Akrual diskresioner dianggap memiliki hubungan yang terpola dengan aspek-aspek lain
perusahaan, seperti akrual total, pendapatan, piutang, plant, property, and equipment
(PPE). Kadang, ada sejumlah nilai akrual diskresioner yang tidak cocok dengan pola
hubungannya dengan aspek-aspek tersebut. Nilai ini disebut akrual diskresioner
abnormal,yang sering digunakan sebagai proksi bahwa akrual diskresioner telah diutakatik. Tujuan akhir utak-atik akrual diskresioner tersebut, tentu saja, adalah utak-atik
angka laba atau, dengan kata lain, manipulasi laba.
Contoh:

Dalam contoh di atas, kita lihat bahwa dalam kasus laporan keuangan yang diutak-atik,
perusahaan mengurangi jumlah akrual pengurang labanya dari 100 menjadi 25. Ada akrual
diskresioner abnormal senilai 75 di sini. Dengan demikian, angka laba naik dari -50
menjadi 25.
Secara umum, investor dan pihak eksternal lainnya tidak memiliki sumber daya (e.g.
waktu, akses, kemampuan) untuk mengetahui apakah angka laba dimanipulasi atau tidak
ataupun berapa besar jumlah manipulasinya. Oleh karenanya, mereka bergantung pada
auditor untuk mengkonfirmasi angka laba tersebut. Kadang kala, angka laba manipulasian
itu lolos dan tersaji sebagai angka laba laporan keuangan auditan. Angka tersebut
dipercaya oleh investor dan kemudian digunakan untuk melakukan penilaian kinerja.
Contoh:

Bila investor menggunakan laba yang tidak dimanipulasi maka ia akan memutuskan untuk
tidak menambah investasinya ke dalam proyek terkait. Sementara, bila investor
menggunakan laba yang dimanipulasi maka ia justru akan memutuskan untuk menambah
investasinya dalam jumlah besar. Logika yang sama juga berlaku bagi investor pasar
modal. Dengan kriteria yang sama, pemegang saham mungkin sedang mempertimbangkan
untuk menjual, mempertahankan (hold), ataupun membeli lagi saham perusahaan X.
Dalam kasus tersebut, investor akan menjual sahamnya bila ia mengetahui laba
sebenarnya, tanpa manipulasi. Namun, dengan laba manipulasian, ia justru akan membeli
lagi saham perusahaan X.

Angka laba manipulasian menyebabkan investor keliru mengambil keputusan. Angka laba
tersebut tidak berkualitas. Sudah menemukan hubungannnya? Laba yang dimanipulasi
adalah laba yang tidak berkualitas. Laba tersebut tidak dapat digunakan sebagai dasar
pengambilan keputusan. Bicara teknis, akrual diskresioner dapat digunakan baik sebagai
proksi manipulasi laba atapun sebagai proksi kualitas laba, seperti 2 sisi dari koin yang
sama.
Terakhir, apakah penelitianmu termasuk penelitian manipulasi laba atau kualitas laba? Ini
tidak dapat dilihat dari proksi yang kamu gunakan (i.e. akrual diskresioner). Kamu harus
melihatnya dari pertanyaan penelitian yang kamu ajukan dan konteks yang
melatarbelakangi pertanyaan penelitian itu (set-up).

Signed or Unsigned Total Accrual


Posted on Juni 22, 2012 by arierahayu 4 Komentar

Ferryandi DeLta:
Sy menggunakan model dechow utk ngitung earning management. yg ingin saya
tanyakan:
1.perusahaan yang rugi (tidak laba) diikutsertakan dalam sampel atau tidak?
2.koefisien hasil regresi yg digunakan untuk menghitung Non diskresioner akrual itu yang
standardized atau yang unstandardized mbak?
3. dalam perhitungan Total akrual = laba arus kas operasi, bagaimana jika:
laba (-) , arus kas operasi (-)
laba (+) , arus kas operasi (-)
laba (-) , arus kas operasi (+)
pada ketiga kondisi laba dan arus kas operasi diatas, Total akrual kita hitung brdasarkan
aturan matematis yang sebenarnya, ( vs = +, + vs = -) atau pakai dasar logika
akuntansi (memutlakkan arus kas operasi, atau bagaimana).
arie:

#1 Perusahaan rugi dan sampel


Perusahaan rugi tetap dimasukkan ke dalam sampel. Ini berguna menambah variasi ketika
menentukan kondisi (i.e. koefisien) normal.

#2 Standardized atau unstandardized coefficients


Ini tergantung model yang anda gunakan. Kalau model anda mengandung konstan maka
gunakan unstandardized coefficients. Sementara kalau model anda tidak mengandung

konstan maka gunakan standardized coefficients. Untuk lebih jelasnya, anda bisa lihat pos
saya tentang koefisien Model Jones.

#3 Signed or unsigned total accrual


Umumnya penelitian dengan model Jones menggunakan signed accruals. Ini berarti tanda
positif (+) ataupun negatif (-) digunakan sebagaimana mestinya. Khususnya bila hipotesis
penelitian memprediksi arah tertentu, seperti perusahaan cenderung menginflasi laba.
(Inflasi: peningkatan tidak nyata.) Untuk kasus semacam itu, tentu saja signed
accruals yang digunakan. Anda ingin tahu apakah benar bahwa akrual diskresioner
abnormal anda cenderung bernilai positif (+), sebagai pertanda terjadinya penginflasian.
Namun demikian, beberapa penelitian memiliki konteks umum yang di dalamnya terjadi
manipulasi positif dan sekaligus negatif (i.e. menginflasi dan mendeflasi laba). Katakanlah
saya ingin tahu apakah perusahaan di Indonesia melakukan manipulasi laba untuk tahun
2010. Masalah penelitian ini sangat umum karena manipulasi bisa dilakukan untuk
menginflasi ataupun mendeflasi laba. Untuk itu, agar mencakupi kedua arah manipulasi
laba (inflasi [+] dan deflasi [ - ]) maka penelitian ini menggunakan akrual yang
diabsolutkan, yaitu |laba arus kas operasi|

Akrual Diskresioner
Posted on April 8, 2012 by arierahayu 15 Komentar

Supriyono wrote:
Definisi akrual diskresioner yang lebih eksplisit itu apa ya?

Akrual secara teknis merupakan selisih laba dengan kas. Pengertian konseptual agak susah
dicari karena laba sendiri hanya didefinisi secara teknis dalam standar akuntansi, yaitu
sebagai hasil pendapatan dikurangi biaya.
Akrual muncul karena aturan-aturan akuntansi seperti depresiasi, cadangan kerugian, dsb.
Keputusan mengenaik aturan akuntansi tersebut tentu saja dibuat oleh managemen. Kalau
kebijakan akrual diputuskan/dibuat oleh managemen maka mengapa ada istilah
diskresioner-nondiskresioner? Sebagai catatan, diskresioner berarti kebijakan sehingga
akrual diskresioner berarti akrual yang timbul akibat kebijakan managemen.
Secara umum, walaupun diputuskan oleh managemen, akrual terikat dengan fenomena
ekonomik perusahaan. Katakanlah, perusahaan X mempunyai rata-rata cadangan kerugian
piutang sekitar 10%. Bila piutang perusahaan X naik atau turun Rp 20 miliar maka
cadangan kerugian piutang juga akan cenderung naik atau turun secara berkesesuaian
(accordingly).

Namun demikian, ada kalanya managemen membuat keputusan terkait akrual yang tidak
sesuai dengan fenomena ekonomik perusahaan. Contohnya kasus Luscent Technologies
(Sender 2002 dalam Lev 2003). Luscent membuat biaya kerugian piutang sebesar $192
juta pada kuartal pertama 2002. Padahal untuk kuartal yang sama tahun sebelumnya
(2001), biaya kerugian piutang Luscent sebesar $750 juta. Dengan kondisi perekonomian
yang cenderung memburuk, tampak aneh bila (cadangan) kerugian piutang Luscent justru
mengecil secara signifikan dari $750 juta ke $192 juta. Inilah yang disebut akrual
diskresioner, yaitu akrual yang tidak memiliki hubungan dengan fenomena ekonomik
perusahaan dan, tampaknya, muncul dari kebijakan managemen saja.
Secara operasional dalam riset akuntansi, akrual diskresioner merupakan error term yang
muncul dalam persamaan akrual total. Akrual total adalah seluruh akrual yang timbul (i.e.
laba dikurangi kas) dalam satu periode waktu. Total akrual dapat dikategori dalam 2
kelompok: nondiskresioner dan diskresioner.
Akrual nondiskresioner adalah bagian akrual yang variasinya dapat dijelaskan oleh variasi
fenomena ekonomik perusahaan. Ketika aset makin besar maka akrual terkait aset (e.g.
depresiasi) juga akan makin besar. Porsi inilah yang dimaksud dengan akrual diskresioner.
Bila anda menggunakan model Jones (1991), misalnya, maka ada 3 fenomena ekonomik
yang dianggap berpengaruh pada akrual nondiskresioner yaitu aset, perubahan pendapatan,
dan property, plant, and equipment (PPE).
Contoh:
Tahun ini perusahaan X memiliki akrual total sebesar Rp200 juta. Setelah melalui berbagai
perhitungan, kita menemukan bahwa Rp 175 juta-nya terjadi karena fenomena ekonomik
perusahaan (e.g. terkait aset, pendapatan, PPE). Sisanya, Rp 25 juta, merupakan akrual
diskresioner. Akrual diskresioner Rp 25 juta ini adalah bagian yang tidak dapat dijelaskan
oleh fenomena ekonomik perusahaan yang ada dalam model. Mungkin kemudian anda
bertanya, apakah Rp 25 juta tersebut menunjukkan akrual yang tidak terkait fenomena
ekonomik alias diada-adakan oleh managemen alias terkait manipulasi laba?
Sebelum itu, istilah model di sini perlu memperoleh catatan tersendiri. Model adalah
penyederhanaan suatu fenomena dan, oleh karenanya, memiliki peluang cukup besar
untuk tidak sempurna. Bisa jadi, akrual diskresioner yang kita peroleh dari model
sebenarnya masih terkait dengan fenomena ekonomik, namun tidak tertangkap dengan
baik secara statistis. Oleh karenanya, akrual diskresioner, dalam artian operasional, tidak
memiliki arti khusus kecuali bahwa tia merupakan bagian akrual yang tidak dapat
dijelaskan oleh model.

Bagaimana dengan manipulasi laba?


Dalam bahasa ringan, manipulasi laba baru diduga terjadi bila akrual diskresioner
perusahaan aneh/abnormal. Katakanlah perusahaan X tadi memiliki rata-rata akrual
diskresioner tiap tahun sebesar Rp 23 27 juta. Dengan demikian, akrual diskresioner
sebesar Rp 25 juta di tahun ini tidaklah aneh. Namun, bagaimana bila akrual diskresioner
di tahun ini ternyata Rp 50 juta? Ini tampak aneh kan?
Perbandingan lainnya, bagaimana bila ternyata rata-rata perusahaan dalam industri terkait
hanya memiliki akrual diskresioner sebesar Rp 10 juta? Bila ini terjadi maka akrual

perusahaan X tadi pun menjadi tampak aneh. Dalam-dalam kondisi tersebut, barulah
akrual diskresioner dapat dianggap sebagai indikator manipulasi laba. Akrual diskresioner
dalam kondisi tersebut disebut akrual diskresioner abnormal (abnormal discretionary
accrual).

.
Koefisien Model Jones dan Sampel
Managemen Laba
Posted on Februari 24, 2012 by arierahayu 6 Komentar

Daniel:
Saya mau nanya ni, koefisien a1, b1 dan b2 kalau di output spss nya dilihat di mana ya?
Trus kalau mau memilih perusahaan yang dijadikan estimator gimana? Kan kita belum tau
perusahaan yang tidak melakukan manipulasi laba? Dan maksud periode sebelum
manipulasi laba itu apa ya?

Koefisien a1, b1 dan b2 di output SPSS


Setelah anda run data di SPSS maka akan muncul tampilan berikut:

Koefisien persamaan bisa anda lihat di tabel Coefficient. Agar lebih mudah, gunakan

nama variabel yang deskriptif pada data anda seperti 1/ASSETS, PPE/ASSETS, dan
sebagainya. Ini membantu anda untuk cepat mengetahui nilai koefisien untuk suatu
variabel.
Nah yang perlu anda perhatikan, ada 2 jenis koefisien yang berbeda di sana yaitu
Unstandardized Coefficients dan Standardized Coefficients. Perbedaan keduanya
terletak pada ada atau tidak adanya konstan. Untuk itu, anda perlu merujuk pada model
empiris yang anda gunakan. Jika anda mengikuti model Jones (1991) maka ia tidak
menggunakan konstan. Namun, beberapa model adaptasinya mungkin menggunakan
konstan.

Estimat Koefisien
Pertama sekali, ada 2 cara yang umum untuk mengetahui ada-tidaknya manipulasi laba
pada kelompok yang kita uji: (i) membandingkannya dengan nilai absolut (e.g. 0) atau (ii)
membandingkannya dengan kelompok lain yang (semestinya) tidak memanipulasi laba.
Cara mana yang harus digunakan bergantung pada rumusan masalah riset kita dan,
kemudian, pada desain penelitiannya.
Konsepnya cukup mudah. Pada cara pertama, anda menggunakan data perusahaan itu
sendiri sebagai estimator koefisien. Kemudian, dengan koefisien tersebut, anda
memperoleh akrual diskresioner perusahaan. Sesudahnya, akrual diskresioner kelompok
perusahaan diuji apakah berbeda signifikan secara statistis dari 0. Bila berbeda signifikan
secara statistis dari 0 maka kelompok perusahaan tersebut melakukan manipulasi laba,
vice versa. Contoh paper yang menggunakan konsep ini adalah Jones (1991).
Sementara itu, pada cara kedua, anda membandingkan 2 kelompok: suspect dan
nonsuspect. Kelompok suspect berisi observasi (perusahaan, tahun) yang diduga
memanipulasi laba, misalnya perusahaan A tahun 2005. Sementara kelompok nonsuspect
berisi observasi yang tidak diduga memanipulasi laba. Pada cara ini, anda mengestimasi
koefisien berdasar data kelompok nonsuspect. Alasannya, koefisien berlaku sebagai
angka rata-rata kondisi normal, yaitu kondisi tanpa adanya manipulasi laba. Sesudahnya,
anda membandingkan akrual diskresioner kelompok suspect dan nonsuspect. Ini bisa
dicapai dengan berbagai cara, uji t, ANOVA, regresi dengan variabel dummy, dan
sebagainya. Sekali lagi, pemilihannya sangat bergantung pada rumusan masalah dan
desain penelitian anda.

Kelompok Suspect dan Nonsuspect


Dasar pemikiran utama kelompok suspect dan nonsuspect adalah bahwa orang tidak akan
berbuat kejahatan tanpa ada alasan khusus (Lo 2007). Ini kemudian membuat para peneliti
umumnya mencari apa alasan khusus managemen memanipulasi laba. Alasannya bisa
macam-macam seperti karena tidak ingin kelihatan rugi, ini kelihatan ada pertumbuhan
laba, CEO berada di akhir masa jabatannya dan hendak memberi kesan yang bagus pada
pasar tenaga kerja (headhunter), dan sebagainya.
Ketika anda menggunakan dasar pemikiran ini maka anda menggunakan (i) kelompok
suspect yang dicurigai memanipulasi laba karena memiliki insentif, motif, atau dorongan
tertentu dan (ii) kelompok nonsuspect, yaitu yang dianggap tidak memiliki dorongan
memanipulasi laba. Anda kemudian membandingkan keduanya dan seharusnya, bila
dorongan tersebut cukup kuat, anda menemukan perbedaan signifikan secara statistis dari
akrual diskresioner kedua kelompok tersebut.
Pembagian kelompok suspect dan nonsuspect tidak dilakukan berdasar perusahaan, namun
berdasar perusahaan-tahun alias observasi. Misalnya, perusahaan X diduga melakukan
manipulasi laba tahun 2005, namun tidak sebelumnya. Ini berarti data perusahaan X tahun
2005 masuk ke kelompok suspect. Namun, data perusahaan X tahun 2003 dan 2004 masuk
ke kelompok nonsuspect.

Periode Sebelum Manipulasi Laba


Perusahaan tidak selalu memanipulasi laba. Ini terkait dengan insentif, motif, atau
dorongan yang dijelaskan di atas. Tidak setiap tahun perusahaan memiliki rugi kecil yang
ingin dihapusnya agar tampak untung. Tidak setiap tahun perusahaan ganti CEO

sehingga CEO bersangkutan perlu memoles kinerja perusahaan agar menggambarkan


dirinya secara lebih baik.
Katakanlah pada tahun 2005, perusahaan X diduga memanipulasi laba karena ia memiliki
motif untuk menunjukkan peningkatan kinerja. Itu berarti, bila tidak ada pengecualian
lain, sebelum tahun 2005 mungkin perusahaan tidak memanipulasi laba.

Teori Earning Management : Definisi, Pola dan Faktor


yang Mendorong Manajemen Melakukan Earning
Management
Scott (2003:369) mendefinisikan earning management sebagai the choice by a
manager of accounting policies so as to achieve some specific objective yang kurang
lebih meiliki arti : pilihan yang dilakukan oleh manajer dalam menentukan kebijakan
akuntansi untuk mencapai beberapa tujuan tertentu.
Menurut Sugiri (1998) yang dikutip oleh Widyaningdyah (2001), definisi earning
management dibagi dalam dua definisi, yaitu:
a. Definisi sempit
Earning management dalam hal ini hanya berkaitan dengan pemilihan metode akuntansi.
Earning management dalam arti sempit ini didefinisikan sebagai perilaku manajer untuk
bermain dengan komponen discretionary accruals dalam menentukan besarnya earnings.
b. Definisi luas
Earning management merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan (mengurangi)
laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit dimana manajer bertanggung jawab, tanpa
mengakibatkan peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomis jangka panjang unit
tersebut.
Jika Sugiri (1998) memberikan definisi earning management secara teknis, maka Surifah
(1999) memberikan pendapatnya mengenai dampak earning management terhadap
kredibilitas laporan keuangan. Menurut Surifah (1999) earning management dapat
mengurangi kredibilitas laporan keuangan apabila digunakan untuk pengambilan
keputusan, karena earning management merupakan suatu bentuk manipulasi atas laporan
keuangan yang menjadi sasaran komunikasi antara manajer dan pihak eksternal
perusahaan.
Konsep earning management menurut Salno dan Baridwan (2000:19):
menggunakan pendekatan teori keagenan (agency theory) yang menyatakan bahwa
praktek earning management dipengaruhi oleh konflik antara kepentingan manajemen
(agent) dan pemilik (principal) yang timbul karena setiap pihak berusaha untuk mencapai
atau mempertimbangkan tingkat kemakmuran yang dikehendakinya. Agency theory
memiliki asumsi bahwa masing-masing individu semata-mata termotivasi oleh
kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara principal
dan agent. Pihak principal termotivasi mengadakan kontrak untuk menyejahterakan
dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Agent termotivasi untuk
memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologisnya, antara lain dalam hal
memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi. Konflik kepentingan
semakin meningkat terutama karena principal tidak dapat memonitor aktivitas manajemen
sehari-hari untuk memastikan bahwa manajemen bekerja sesuai dengan keinginan

pemegang saham (pemilik).


Dalam hubungan keagenan, principal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja
agent. Agent mempunyai lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan
kerja, dan perusahaan secara keseluruhan. Hal inilah yang mengakibatkan adanya
ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh principal dan agent. Ketidakseimbangan
informasi inilah yang disebut dengan asimetri informasi. Adanya asumsi bahwa individuindividu bertindak untuk memaksimalkan dirinya sendiri, mengakibatkan agent
memanfaatkan adanya asimetri informasi yang dimilikinya untuk menyembunyikan
beberapa informasi yang tidak diketahui principal. Asimetri informasi dan konflik
kepentingan yang terjadi antara principal dan agent mendorong agent untuk menyajikan
informasi yang tidak sebenarnya kepada principal, terutama jika informasi tersebut
berkaitan dengan pengukuran kinerja agent. Salah satu bentuk tindakan agent tersebut
adalah yang disebut sebagai earning management (Widyaningdyah, 2001).
Menurut Healy dan Wahlen yang dikutip oleh Riduwan (2001)menyatakan bahwa earning
management terjadi ketika para manajer menggunakan keputusannya dalam pelaporan
keuangan dan dalam melakukan penyusunan transaksi untuk mengubah laporan keuangan
baik untuk menimbulkan gambaran yang salah bagi stakeholder tentang kinerja ekonomis
perusahaan, ataupun untuk mempengaruhi hasil kontraktual yang bergantung pada angkaangka akuntansi yang dilaporkan.
Ada dua cara memahami earning management (Sari, 2005), yaitu sebagai berikut:
1. Memandang earning management sebagai perilaku oportunistik manajer untuk
memaksimalkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, utang, dan kos
politik.
2. Memandang earning management dari perspektif kontrak efisien, artinya earning
management memberi fleksibilitas bagi manajer untuk melindungi diri dan perusahaan
dalam mengantisipasi kejadian-kejadian tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang
terlibat dalam kontrak. Dengan demikian, manajer mungkin dapat mempengaruhi nilai
pasar perusahaannya melalui earning management.
Menurut Watt dan Zimmerman (yang dikutip oleh Indarti et. al., 2004) tujuan yang akan
dicapai oleh manajemen melalui earning management meliputi: mendapatkan bonus dan
kompensasi lainnya, mempengaruhi keputusan pelaku pasar modal, menghindari biaya
politik.
Berdasarkan pertimbangan biaya dan manfaat, manajemen diperbolehkan memilih dan
menerapkan metode-metode akuntansi. Hal ini menjadi penyebab utama manajer
melakukan earning management. Menurut Scott (2003:377) beberapa motivasi yang
mendorong manajemen melakukan earning management, antara lain sebagai berikut:
1. Motivasi bonus, yaitu manajer akan berusaha mengatur laba bersih agar dapat
memaksimalkan bonusnya.
2. Motivasi kontrak, berkaitan dengan utang jangka panjang, yaitu manajer menaikkan
laba bersih untuk mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami technical default.
3. Motivasi politik, aspek politis ini tidak dapat dilepaskan dari perusahaan, khususnya
perusahaan besar dan industri strategis karena aktivitasnya melibatkan hajat hidup orang
banyak.
4. Motivasi pajak, pajak merupakan salah satu alasan utama perusahaan mengurangi laba
bersih yang dilaporkan.
5. Pergantian CEO (Chief Executive Officer), banyak motivasi yang timbul berkaitan
dengan CEO, seperti CEO yang mendekati masa pensiun akan meningkatkan bonusnya,
CEO yang kurang berhasil memperbaiki kinerjanya untuk menghindari pemecatannya,

CEO baru untuk menunjukkan kesalahan dari CEO sebelumnya.


6. Penawaran saham perdana (IPO), manajer perusahaan yang going public melakukan
earning management untuk memperoleh harga yang lebih tinggi atas sahamnya dengan
harapan mendapatkan respon pasar yang positif terhadap peramalan laba sebagai sinyal
dari nilai perusahaan.
7. Motivasi pasar modal, misalnya untuk mengungkapkan informasi privat yang dimiliki
perusahaan kepada investor dan kreditor.
Banyak cara yang dapat dilakukan oleh manajer untuk mempengaruhi waktu, jumlah, atau
makna transaksi dalam pelaporan keuangan dengan melakukan pemilihan metode
akuntansi dan accounting judgment (Merchant dan Rockness, 1994), yang dikutip oleh
Sari (2005). Menurut Scott (2003:383) berbagai pola yang sering dilakukan manajer
dalam earning management adalah:
1. Taking a bath
Terjadinya taking a bath pada periode stress atau reorganisasi termasuk pengangkatan
CEO baru. Bila perusahaan harus melaporkan laba yang tinggi, manajer dipaksa untuk
melaporkan laba yang tinggi, konsekuensinya manajer akan menghapus aktiva dengan
harapan laba yang akan datang dapat meningkat. Bentuk ini mengakui adanya biaya pada
periode yang akan datang sebagai kerugian pada periode berjalan, ketika kondisi buruk
yang tidak menguntungkan tidak dapat dihindari pada periode tersebut. Untuk itu
manajemen harus menghapus beberapa aktiva dan membebankan perkiraan biaya yang
akan datang pada saat ini serta melakukan clear the desk, sehingga laba yang dilaporkan di
periode yang akan datang meningkat.
2. Income minimization
Bentuk ini mirip dengan taking a bath, tetapi lebih sedikit ekstrim, yakni dilakukan
sebagai alasan politis pada periode laba yang tinggi dengan mempercepat penghapusan
aktiva tetap dan aktiva tak berwujud dan mengakui pengeluaran-pengeluaran sebagai
biaya. Pada saat profitabilitas perusahaan sangat tinggi dengan maksud agar tidak
mendapat perhatian secara politis, kebijakan yang diambil dapat berupa penghapusan atas
barang modal dan aktiva tak berwujud, biaya iklan dan pengeluaran untuk penelitian dan
pengembangan, hasil akuntansi untuk biaya eksplorasi.
3. Income maximization
Tindakan ini bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang
lebih besar. Perencanaan bonus yang didasarkan pada data akuntansi mendorong manajer
untuk memanipulasi data akuntansi tersebut guna menaikkan laba untuk meningkatkan
pembayaran bonus tahunan. Jadi tindakan ini dilakukan pada saat laba menurun.
Perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian hutang mungkin akan
memaksimalkan pendapatan.
4. Income smoothing
Bentuk ini mungkin yang paling menarik. Hal ini dilakukan dengan meratakan laba yang
dilaporkan untuk tujuan pelaporan eksternal, terutama bagi investor karena pada umumnya
investor lebih menyukai laba yang relatif stabil.
Teknik untuk merekayasa laba dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok (Setiawati
dan Naim, 2000). Pertama yaitu memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi
akuntansi, antara lain: estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu
depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi biaya garansi. Kedua
yaitu mengubah metode akuntansi. Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk
mencatat suatu transaksi, contoh: mengubah metode depresiasi aktiva tetap yaitu dari
metode depresiasi angka tahun ke metode depresiasi garis lurus. Ketiga yaitu menggeser
periode
biaya atau pendapatan, misalnya: mempercepat atau menunda pengeluaran untuk

penelitian dan pengembangan sampai periode akuntansi berikutnya, mempercepat atau


menunda pengeluaran promosi sampai periode akuntansi berikutnya, mempercepat atau
menunda pengiriman produk ke pelanggan, menjual investasi sekuritas untuk
memanipulasi tingkat laba, mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tidak dipakai.
Pendekatan lain yang digunakan dalam mengendalikan net income (Lontoh dan
Lindrawati, 2004): Pertama, dengan mengendalikan transaksi-transaksi akrual, dimana
transaksi akrual memiliki pengaruh terhadap pendapatan dan biaya namun tidak tampil
pada arus kas. Contoh: amortisasi dan depresiasi adalah sepenuhnya dikuasai oleh
perusahaan dalam hal menentukan masa manfaatnya sehingga perusahaan dapat mengatur
besarnya pembebanan pada biaya sesuai keinginan manajemen dalam rangka mencapai
hasil akhir pada net income yang diinginkan. Terdapat dua konsep akrual yaitu:
discretionary accrual dan non discretionary accrual. Discretionary accrual adalah
pengakuan akrual laba atau beban yang bebas tidak diatur dan merupakan pilihan
kebijakan manajemen, sedangkan non discretionary accrual adalah pengakuan akrual laba
yang wajar, yang tunduk pada suatu standar atau prinsip akuntansi yang berlaku umum.
Kedua, dengan mengubah kebijakan akuntansi, manajemen juga dapat menentukan net
income yang diinginkan, namun hasrat manajemen untuk melaksanakan hal ini tidak
sekuat accrual items. Alasannya adalah manajemen harus menjelaskannya dalam
disclosure pada laporan keuangan tahunan. Dan alasan ini adalah bahwa standar akuntansi
tentang konsistensi mencegah terjadinya perubahan kebijakan akuntansi sesering mungkin.
Contohnya adalah merubah metode pencatatan dari LIFO menjadi FIFO.
Earning management merupakan fenomena yang sukar dihindari karena fenomena ini
hanya dampak dari penggunaan dasar akrual dalam penyusunan laporan keuangan. Dasar
akrual disepakati sebagai dasar penyusunan laporan keuangan karena dasar akrual
memang lebih rasional dan adil dibandingkan dasar kas. Sebagai contoh, dengan dasar kas,
pembelian aktiva tetap secara tunai senilai seratus juta rupiah mesti dibebankan sebagai
biaya pada periode saat pembelian aktiva tersebut, meskipun aktiva tersebut akan
bermanfaat bagi perusahaan selama 10 tahun. Jika laporan rugi laba disusun dengan dasar
kas, maka besar kemungkinan dalam periode tersebut perusahaan dinyatakan mengalami
rugi. Jadi pada dasarnya, basis akrual dipilih dengan tujuan untuk menjadikan laporan
keuangan lebih informatif yaitu laporan keuangan yang benar-benar mencerminkan
kondisi yang sebenarnya. Sayangnya, akrual yang ditujukan untuk menjadikan laporan
yang sesuai fakta ini sedikit dapat digerakkan (tuned)sehingga dapat mengubah angka laba
yang dihasilkan.
Labels: Akuntansi
SUMBER : http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/08/teori-earning-managementdefinisi-pola.html

DOWNLOAD LAGU di bawah, BERHADIAH mobil, sepeda motor, iPAD, dsb:

Tuesday, April 19, 2011

Manajemen Laba
Schipper (1989) mendefinisikan manajemen laba sebagai suatu intervensi dengan
maksud tertentu terhadap proses pelaporan keuangan eksternal dengan sengaja
untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi. Fischer dan Rosenzweig (1995)
mendefinisikan manajemen laba sebagai tindakan seorang manajer dengan
menyajikan laporan yang menaikan (menurunkan) laba periode berjalan dari unit
usaha yang menjadi tanggungjawabnya, tanpa menimbulkan kenaikan (penurunan)
profitabilitas ekonomi unit tersebut dalam jangka panjang. Sedangkan menurut Healy
dan Wahlen (1999), manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan
pertimbangan (judgment) dalam pelaporan keuangan dan penyusunan transaksi
untuk merubah laporan keuangan, dengan tujuan untuk memanipulasi besaran
(magnitude) laba kepada beberapa stakeholders tentang kinerja ekonomi perusahaan
atau untuk mempengaruhi hasil perjanjian (kontrak) yang tergantung pada angkaangka
akuntansi
yang
dilaporkan.
Healy dan Wahlen (1999), menyatakan bahwa definisi manajemen laba mengandung
beberapa aspek. Pertama intervensi manajemen laba terhadap pelaporan keuangan
dapat dilakukan dengan penggunaan judgment, misalnya judgment yang dibutuhkan
dalam mengestimasi sejumlah peristiwa ekonomi di masa depan untuk ditunjukan
dalam laporan keuangan, seperti perkiraan umur ekonomis dan nilai residu aktiva
tetap, tanggungjawab untuk pensiun, pajak yang ditangguhkan, kerugian piutang dan
penurunan nilai asset. Disamping itu manajer memiliki pilihan untuk metode
akuntansi, seperti metode penyusutan dan metode biaya. Kedua, tujuan manajemen
laba untuk menyesatkan stakeholders mengenai kinerja ekonomi perusahaan. Hal ini
muncul ketika manajemen memiliki akses terhadap informasi yang tidak dapat
diakses
oleh
pihak
luar.
Ada berbagai motivasi yang mendorong dilakukannya manajemen laba. Teori
akuntansi positif (Positif Accounting Theory) mengusulkan tiga hipotesis motivasi
manajemen laba, yaitu: (1) hipotesis program bonus (the bonus plan hypotesis), (2)
hipotesis perjanjian hutang (the debt covenant hypotesis), dan (3) hipotesis biaya
politik
(the
political
cost
hypotesis)
(Watts
dan
Zimmerman,
1986).
Motivasi kontrak muncul karena perjanjian antara manajer dan pemilik perusahaan
berbasis pada kompensasi manajerial dan perjanjian hutang (debt covenant). Semakin
tinggi rasio hutang/ekuitas suatu perusahaan, yang ekuivalen dengan semakin
dekatnya (yaitu semakin ketat) perusahaan terhadap kendala-kendala dalam
perjanjian hutang dan semakin besar probabilitas pelanggaran perjanjian, semakin
mungkin manajer untuk menggunakan metode-metode akuntansi yang meningkatkan
income
(Belkaoui,
2000).
Motivasi bonus merupakan dorongan manajer perusahaan dalam melaporkan laba
yang diperolehnya untuk memperoleh bonus yang dihitung atas dasar laba tersebut.
Manajer perusahaan dengan rencana bonus lebih mungkin menggunakan metodemetode akuntansi yang meningkatkan income yang dilaporkan pada periode berjalan.
Alasanya adalah tindakan seperti itu mungkin akan meningkatkan persentase nilai
bonus jika tidak ada penyesuaian untuk metode yang dipilih (Belkaoui, 2000).
Penelitian Healy (1985) menggunakan pendekatan program bonus manajemen, yaitu
bahwa manajer akan memperoleh bonus secara positif ketika laba berada di antara
batas bawah (bogey) dan batas atas (cap). Ketika laba berada di bawah bogey
manajer tidak mendapatkan bonus, dan ketika laba berada diatas cap manajer hanya

mendapatkan

bonus

tetap.

Motivasi regulasi politik merupakan motivasi manajemen dalam mensiasati berbagai


regulasi pemerintah. Perusahaan yang terbukti menjalankan praktik pelanggaran
terhadap regulasi anti trust dan anti monopoli, manajernya melakukan manipulasi
laba dengan menurunkan laba yang dilaporkan (Cahan, 1992; Jogiyanto dan Ainun,
1998). Perusahaan juga melakukan manajemen laba untuk menurunkan laba dengan
tujuan untuk mempengaruhi keputusan pengadilan terhadap perusahaan yang
mengalami damage award (Hall dan Stammerjohan, 1997). Selain itu Income taxation
juga merupakan motivasi dalam manajemen laba (Lilis, 2001). Pemilihan metode
akuntansi dalam pelaporan laba akan memberikan hasil yang berbeda terhadap laba
yang dipakai sebagai dasar perhitungan pajak.

SUMBER : http://nyariduitreceh.blogspot.com/2011/04/manajemen-laba.html

ANALISIS PENGARUH MANAJEMEN LABA (EARNING MANAGEMENT)


TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN IPO (STUDI PADA
PERUSAHAAN YANG GO PUBLIC DI BEJ)
Oleh :
Ika Sari Setyaningrum
INTISARI Initial public offering (IPO) merupakan saat yang penting bagi perusahaan.
Penilaian investor terhadap kondisi dan prospek perusahaan akan menentukan besarnya
dana yang dapat diakumulasi oleh perusahaan dari pasar modal. Informasi yang tersedia di
pasar untuk menilai perusahaan yang baru pertama kali go public relatif lebih sedikit
dibandingkan dengan informasi perusahaan yang telah lama go public. Manajemen laba
(earning management) terjadi pada saat manajemen menggunakan suatu kebijakan dalam
pelaporan keuangan dan penyusunan transaksi untuk mengubah laporan keuangan dengan
maksud mempengaruhi persepi stakeholders mengenai kinerja perusahaan atau
mempengaruhi hasil kontraktual yang tergantung pada nilai akuntansi yang dilaporkan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah manajemen laba (earning management)
mengakibatkan perbedaan kinerja pada periode sebelum dan setelah IPO. Tujuan lainnya
untuk mengetahui apakah manajemen laba (earning management) mempengaruhi kinerja
perusahaan yang melakukan IPO. Dalam penelitian ini menggunakan data sekunder.
Sampel yang akan digunakan diambil dari populasi perusahaan yang listed di Bursa Efek
Jakarta (BEJ) dalam kurun waktu 2000-2005. Pengambilan sampel dengan metode
purposive sampling dan diperoleh sebanyak 56 perusahaan. Metode analisis data dalam
penelitian ini menggunakan analisis regresi, statistik deskriptif dan uji asumsi klasik. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa hipotesa pertama menggunakan uji statistik diskriptif
diperoleh nilai rata-rata discretionary accrual setelah IPO adalah 0,0549 dan nilai rata-rata
net profit margin setelah IPO adalah 0,5086 artinya manajemen laba (earning
management) mengakibatkan penurunan kinerja perusahaan setelah IPO. Berdasarkan
hasil pengujian signifikansi parameter individual (uji t) pada hipotesa kedua untuk variabel
discretionary accrual (DACCit) diperoleh nilai thitung= 2,389 dengan tingkat signifikansi
0,020 < 0,05 artinya manajemen laba berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan
yang melakukan IPO. Kata kunci: earning management, IPO, discretionary accrual.
SUMBER : http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=7261

Anda mungkin juga menyukai