Dalam contoh di atas, kita lihat bahwa dalam kasus laporan keuangan yang diutak-atik,
perusahaan mengurangi jumlah akrual pengurang labanya dari 100 menjadi 25. Ada akrual
diskresioner abnormal senilai 75 di sini. Dengan demikian, angka laba naik dari -50
menjadi 25.
Secara umum, investor dan pihak eksternal lainnya tidak memiliki sumber daya (e.g.
waktu, akses, kemampuan) untuk mengetahui apakah angka laba dimanipulasi atau tidak
ataupun berapa besar jumlah manipulasinya. Oleh karenanya, mereka bergantung pada
auditor untuk mengkonfirmasi angka laba tersebut. Kadang kala, angka laba manipulasian
itu lolos dan tersaji sebagai angka laba laporan keuangan auditan. Angka tersebut
dipercaya oleh investor dan kemudian digunakan untuk melakukan penilaian kinerja.
Contoh:
Bila investor menggunakan laba yang tidak dimanipulasi maka ia akan memutuskan untuk
tidak menambah investasinya ke dalam proyek terkait. Sementara, bila investor
menggunakan laba yang dimanipulasi maka ia justru akan memutuskan untuk menambah
investasinya dalam jumlah besar. Logika yang sama juga berlaku bagi investor pasar
modal. Dengan kriteria yang sama, pemegang saham mungkin sedang mempertimbangkan
untuk menjual, mempertahankan (hold), ataupun membeli lagi saham perusahaan X.
Dalam kasus tersebut, investor akan menjual sahamnya bila ia mengetahui laba
sebenarnya, tanpa manipulasi. Namun, dengan laba manipulasian, ia justru akan membeli
lagi saham perusahaan X.
Angka laba manipulasian menyebabkan investor keliru mengambil keputusan. Angka laba
tersebut tidak berkualitas. Sudah menemukan hubungannnya? Laba yang dimanipulasi
adalah laba yang tidak berkualitas. Laba tersebut tidak dapat digunakan sebagai dasar
pengambilan keputusan. Bicara teknis, akrual diskresioner dapat digunakan baik sebagai
proksi manipulasi laba atapun sebagai proksi kualitas laba, seperti 2 sisi dari koin yang
sama.
Terakhir, apakah penelitianmu termasuk penelitian manipulasi laba atau kualitas laba? Ini
tidak dapat dilihat dari proksi yang kamu gunakan (i.e. akrual diskresioner). Kamu harus
melihatnya dari pertanyaan penelitian yang kamu ajukan dan konteks yang
melatarbelakangi pertanyaan penelitian itu (set-up).
Ferryandi DeLta:
Sy menggunakan model dechow utk ngitung earning management. yg ingin saya
tanyakan:
1.perusahaan yang rugi (tidak laba) diikutsertakan dalam sampel atau tidak?
2.koefisien hasil regresi yg digunakan untuk menghitung Non diskresioner akrual itu yang
standardized atau yang unstandardized mbak?
3. dalam perhitungan Total akrual = laba arus kas operasi, bagaimana jika:
laba (-) , arus kas operasi (-)
laba (+) , arus kas operasi (-)
laba (-) , arus kas operasi (+)
pada ketiga kondisi laba dan arus kas operasi diatas, Total akrual kita hitung brdasarkan
aturan matematis yang sebenarnya, ( vs = +, + vs = -) atau pakai dasar logika
akuntansi (memutlakkan arus kas operasi, atau bagaimana).
arie:
konstan maka gunakan standardized coefficients. Untuk lebih jelasnya, anda bisa lihat pos
saya tentang koefisien Model Jones.
Akrual Diskresioner
Posted on April 8, 2012 by arierahayu 15 Komentar
Supriyono wrote:
Definisi akrual diskresioner yang lebih eksplisit itu apa ya?
Akrual secara teknis merupakan selisih laba dengan kas. Pengertian konseptual agak susah
dicari karena laba sendiri hanya didefinisi secara teknis dalam standar akuntansi, yaitu
sebagai hasil pendapatan dikurangi biaya.
Akrual muncul karena aturan-aturan akuntansi seperti depresiasi, cadangan kerugian, dsb.
Keputusan mengenaik aturan akuntansi tersebut tentu saja dibuat oleh managemen. Kalau
kebijakan akrual diputuskan/dibuat oleh managemen maka mengapa ada istilah
diskresioner-nondiskresioner? Sebagai catatan, diskresioner berarti kebijakan sehingga
akrual diskresioner berarti akrual yang timbul akibat kebijakan managemen.
Secara umum, walaupun diputuskan oleh managemen, akrual terikat dengan fenomena
ekonomik perusahaan. Katakanlah, perusahaan X mempunyai rata-rata cadangan kerugian
piutang sekitar 10%. Bila piutang perusahaan X naik atau turun Rp 20 miliar maka
cadangan kerugian piutang juga akan cenderung naik atau turun secara berkesesuaian
(accordingly).
Namun demikian, ada kalanya managemen membuat keputusan terkait akrual yang tidak
sesuai dengan fenomena ekonomik perusahaan. Contohnya kasus Luscent Technologies
(Sender 2002 dalam Lev 2003). Luscent membuat biaya kerugian piutang sebesar $192
juta pada kuartal pertama 2002. Padahal untuk kuartal yang sama tahun sebelumnya
(2001), biaya kerugian piutang Luscent sebesar $750 juta. Dengan kondisi perekonomian
yang cenderung memburuk, tampak aneh bila (cadangan) kerugian piutang Luscent justru
mengecil secara signifikan dari $750 juta ke $192 juta. Inilah yang disebut akrual
diskresioner, yaitu akrual yang tidak memiliki hubungan dengan fenomena ekonomik
perusahaan dan, tampaknya, muncul dari kebijakan managemen saja.
Secara operasional dalam riset akuntansi, akrual diskresioner merupakan error term yang
muncul dalam persamaan akrual total. Akrual total adalah seluruh akrual yang timbul (i.e.
laba dikurangi kas) dalam satu periode waktu. Total akrual dapat dikategori dalam 2
kelompok: nondiskresioner dan diskresioner.
Akrual nondiskresioner adalah bagian akrual yang variasinya dapat dijelaskan oleh variasi
fenomena ekonomik perusahaan. Ketika aset makin besar maka akrual terkait aset (e.g.
depresiasi) juga akan makin besar. Porsi inilah yang dimaksud dengan akrual diskresioner.
Bila anda menggunakan model Jones (1991), misalnya, maka ada 3 fenomena ekonomik
yang dianggap berpengaruh pada akrual nondiskresioner yaitu aset, perubahan pendapatan,
dan property, plant, and equipment (PPE).
Contoh:
Tahun ini perusahaan X memiliki akrual total sebesar Rp200 juta. Setelah melalui berbagai
perhitungan, kita menemukan bahwa Rp 175 juta-nya terjadi karena fenomena ekonomik
perusahaan (e.g. terkait aset, pendapatan, PPE). Sisanya, Rp 25 juta, merupakan akrual
diskresioner. Akrual diskresioner Rp 25 juta ini adalah bagian yang tidak dapat dijelaskan
oleh fenomena ekonomik perusahaan yang ada dalam model. Mungkin kemudian anda
bertanya, apakah Rp 25 juta tersebut menunjukkan akrual yang tidak terkait fenomena
ekonomik alias diada-adakan oleh managemen alias terkait manipulasi laba?
Sebelum itu, istilah model di sini perlu memperoleh catatan tersendiri. Model adalah
penyederhanaan suatu fenomena dan, oleh karenanya, memiliki peluang cukup besar
untuk tidak sempurna. Bisa jadi, akrual diskresioner yang kita peroleh dari model
sebenarnya masih terkait dengan fenomena ekonomik, namun tidak tertangkap dengan
baik secara statistis. Oleh karenanya, akrual diskresioner, dalam artian operasional, tidak
memiliki arti khusus kecuali bahwa tia merupakan bagian akrual yang tidak dapat
dijelaskan oleh model.
perusahaan X tadi pun menjadi tampak aneh. Dalam-dalam kondisi tersebut, barulah
akrual diskresioner dapat dianggap sebagai indikator manipulasi laba. Akrual diskresioner
dalam kondisi tersebut disebut akrual diskresioner abnormal (abnormal discretionary
accrual).
.
Koefisien Model Jones dan Sampel
Managemen Laba
Posted on Februari 24, 2012 by arierahayu 6 Komentar
Daniel:
Saya mau nanya ni, koefisien a1, b1 dan b2 kalau di output spss nya dilihat di mana ya?
Trus kalau mau memilih perusahaan yang dijadikan estimator gimana? Kan kita belum tau
perusahaan yang tidak melakukan manipulasi laba? Dan maksud periode sebelum
manipulasi laba itu apa ya?
Koefisien persamaan bisa anda lihat di tabel Coefficient. Agar lebih mudah, gunakan
nama variabel yang deskriptif pada data anda seperti 1/ASSETS, PPE/ASSETS, dan
sebagainya. Ini membantu anda untuk cepat mengetahui nilai koefisien untuk suatu
variabel.
Nah yang perlu anda perhatikan, ada 2 jenis koefisien yang berbeda di sana yaitu
Unstandardized Coefficients dan Standardized Coefficients. Perbedaan keduanya
terletak pada ada atau tidak adanya konstan. Untuk itu, anda perlu merujuk pada model
empiris yang anda gunakan. Jika anda mengikuti model Jones (1991) maka ia tidak
menggunakan konstan. Namun, beberapa model adaptasinya mungkin menggunakan
konstan.
Estimat Koefisien
Pertama sekali, ada 2 cara yang umum untuk mengetahui ada-tidaknya manipulasi laba
pada kelompok yang kita uji: (i) membandingkannya dengan nilai absolut (e.g. 0) atau (ii)
membandingkannya dengan kelompok lain yang (semestinya) tidak memanipulasi laba.
Cara mana yang harus digunakan bergantung pada rumusan masalah riset kita dan,
kemudian, pada desain penelitiannya.
Konsepnya cukup mudah. Pada cara pertama, anda menggunakan data perusahaan itu
sendiri sebagai estimator koefisien. Kemudian, dengan koefisien tersebut, anda
memperoleh akrual diskresioner perusahaan. Sesudahnya, akrual diskresioner kelompok
perusahaan diuji apakah berbeda signifikan secara statistis dari 0. Bila berbeda signifikan
secara statistis dari 0 maka kelompok perusahaan tersebut melakukan manipulasi laba,
vice versa. Contoh paper yang menggunakan konsep ini adalah Jones (1991).
Sementara itu, pada cara kedua, anda membandingkan 2 kelompok: suspect dan
nonsuspect. Kelompok suspect berisi observasi (perusahaan, tahun) yang diduga
memanipulasi laba, misalnya perusahaan A tahun 2005. Sementara kelompok nonsuspect
berisi observasi yang tidak diduga memanipulasi laba. Pada cara ini, anda mengestimasi
koefisien berdasar data kelompok nonsuspect. Alasannya, koefisien berlaku sebagai
angka rata-rata kondisi normal, yaitu kondisi tanpa adanya manipulasi laba. Sesudahnya,
anda membandingkan akrual diskresioner kelompok suspect dan nonsuspect. Ini bisa
dicapai dengan berbagai cara, uji t, ANOVA, regresi dengan variabel dummy, dan
sebagainya. Sekali lagi, pemilihannya sangat bergantung pada rumusan masalah dan
desain penelitian anda.
Manajemen Laba
Schipper (1989) mendefinisikan manajemen laba sebagai suatu intervensi dengan
maksud tertentu terhadap proses pelaporan keuangan eksternal dengan sengaja
untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi. Fischer dan Rosenzweig (1995)
mendefinisikan manajemen laba sebagai tindakan seorang manajer dengan
menyajikan laporan yang menaikan (menurunkan) laba periode berjalan dari unit
usaha yang menjadi tanggungjawabnya, tanpa menimbulkan kenaikan (penurunan)
profitabilitas ekonomi unit tersebut dalam jangka panjang. Sedangkan menurut Healy
dan Wahlen (1999), manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan
pertimbangan (judgment) dalam pelaporan keuangan dan penyusunan transaksi
untuk merubah laporan keuangan, dengan tujuan untuk memanipulasi besaran
(magnitude) laba kepada beberapa stakeholders tentang kinerja ekonomi perusahaan
atau untuk mempengaruhi hasil perjanjian (kontrak) yang tergantung pada angkaangka
akuntansi
yang
dilaporkan.
Healy dan Wahlen (1999), menyatakan bahwa definisi manajemen laba mengandung
beberapa aspek. Pertama intervensi manajemen laba terhadap pelaporan keuangan
dapat dilakukan dengan penggunaan judgment, misalnya judgment yang dibutuhkan
dalam mengestimasi sejumlah peristiwa ekonomi di masa depan untuk ditunjukan
dalam laporan keuangan, seperti perkiraan umur ekonomis dan nilai residu aktiva
tetap, tanggungjawab untuk pensiun, pajak yang ditangguhkan, kerugian piutang dan
penurunan nilai asset. Disamping itu manajer memiliki pilihan untuk metode
akuntansi, seperti metode penyusutan dan metode biaya. Kedua, tujuan manajemen
laba untuk menyesatkan stakeholders mengenai kinerja ekonomi perusahaan. Hal ini
muncul ketika manajemen memiliki akses terhadap informasi yang tidak dapat
diakses
oleh
pihak
luar.
Ada berbagai motivasi yang mendorong dilakukannya manajemen laba. Teori
akuntansi positif (Positif Accounting Theory) mengusulkan tiga hipotesis motivasi
manajemen laba, yaitu: (1) hipotesis program bonus (the bonus plan hypotesis), (2)
hipotesis perjanjian hutang (the debt covenant hypotesis), dan (3) hipotesis biaya
politik
(the
political
cost
hypotesis)
(Watts
dan
Zimmerman,
1986).
Motivasi kontrak muncul karena perjanjian antara manajer dan pemilik perusahaan
berbasis pada kompensasi manajerial dan perjanjian hutang (debt covenant). Semakin
tinggi rasio hutang/ekuitas suatu perusahaan, yang ekuivalen dengan semakin
dekatnya (yaitu semakin ketat) perusahaan terhadap kendala-kendala dalam
perjanjian hutang dan semakin besar probabilitas pelanggaran perjanjian, semakin
mungkin manajer untuk menggunakan metode-metode akuntansi yang meningkatkan
income
(Belkaoui,
2000).
Motivasi bonus merupakan dorongan manajer perusahaan dalam melaporkan laba
yang diperolehnya untuk memperoleh bonus yang dihitung atas dasar laba tersebut.
Manajer perusahaan dengan rencana bonus lebih mungkin menggunakan metodemetode akuntansi yang meningkatkan income yang dilaporkan pada periode berjalan.
Alasanya adalah tindakan seperti itu mungkin akan meningkatkan persentase nilai
bonus jika tidak ada penyesuaian untuk metode yang dipilih (Belkaoui, 2000).
Penelitian Healy (1985) menggunakan pendekatan program bonus manajemen, yaitu
bahwa manajer akan memperoleh bonus secara positif ketika laba berada di antara
batas bawah (bogey) dan batas atas (cap). Ketika laba berada di bawah bogey
manajer tidak mendapatkan bonus, dan ketika laba berada diatas cap manajer hanya
mendapatkan
bonus
tetap.
SUMBER : http://nyariduitreceh.blogspot.com/2011/04/manajemen-laba.html