Analisis terhadap peluang kebangkrutan suatu perusahaan dipandang penting bagi suatu
perusahaan. Analisis ini tidak hanya diperuntukkan bagi perusahaan yang sehat saja melainkan
untuk perusahaan-perusahaan yang dianggap sehat. Analisis ini dilakukan sebagai tindak
preventif bagi perusahaan yang sehat dan merupakan tindakan kuratif bagi perusahaan yang tidak
sehat. Analisis ini mencakup penggunaan model-model prediksi kebangkrutan yang meliputi:
Model Univariat dan Model Multivariat. Materi ini sangat bermanfaat bagi mahasiswa dalam
melakukan penilaian terhadap kinerja suatu perusahaan.
Perusahaan memungkinkan mengalami risiko kebangkrutan ketika mempunyai
ketidakcukupan kas untuk memenuhi klaim dari kreditor yang segera jatuh tempo. Untuk
memprediksi peluang kebangkrutan suatu perusahaan yang ditinjau dari aspek keuangan dapat
digunakan model univariat dan model multivariat.
Pengukuran atas kinerja perusahaan dapat dilakukan melalui berbagai cara. Salah satunya
dengan mengukur kinerja keuangan perusahaan yang dapat dilakukan dengan menganalisis
laporan keuangan yang dilaporkan perusahaan setiap periodenya. Dengan berbagai metode yang
telah ditemukan, analisa terhadap laporan keuangan dapat memberikan informasi yang
bermanfaat untuk mengetahui kondisi keuangan perusahaan dan kinerja keuangan suatu
perusahaan yang sedang berjalan, juga sebagai alat untuk memprediksi kondisi perusahaan di
masa yang akan datang. Hal ini tentu dapat digunakan untuk memprediksi kebangkrutan
perusahaan.
Informasi kebangkrutan bisa bermanfaat bagi beberapa pihak seperti berikut ini :
Pemberi Pinjaman (seperti pihak Bank), Informasi kebangkrutan bisa bermanfaat untuk
mengambil keputusan siapa yang akan diberi pinjaman, dan kemudian bermanfaat untuk
Investor, Investor saham atau obligasi yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan tentunya akan
sangat berkepentingan melihat adanya kemungkinan bangkrut atau tidaknya perusahaan yang
Pihak Pemerintah. Pada beberapa sector usaha, lembaga pemerintah mempunyai tanggungjawab
Akuntan. Akuntan mempunyai kepentingan terhadap informasi kelangsungan suatu usaha karena
dan biaya ini cukup besar. Suatu penelitian menunjukkan biaya kebangkrutan bisa mencapai 11-
1. Model Univariat
Model univariat dalam prediksi kebangkrutan suatu perusahaan digunakan untuk mengkaji
hubungan antara rasio keuangan tertentu dengan kebangkrutan suatu perusahaan. Atau dengan
kata lain model univariat mengkaji rasio keuangan secara parsial.
Menurut Hanafi (2004:655), analisis univariate dilakukan dengan melihat variabel keuangan
yang diperkirakan mempengaruhi atau berkaitan dengan kebangkrutan dengan menganalisis
terpisah. Sedangkan menurut Bappepam (2005), analisis rasio merupakan salah satu bentuk
analisis univariate, cara ini yang pada umumnya digunakan investor untuk menghitung dan
menganalisis berbagai macam rasio keuangan seperti modal kerja, rasio-rasio profitabilitas,
tingkat hutang atau leverage, dan likuiditas untuk mendeteksi tanda-tanda kebangkrutan suatu
perusahaan, tetapi timbul suatu permasalahan yaitu masing-masing rasio mempunyai kegunaan
dan memberikan indikasi yang berbeda mengenai kesehatan keuangan perusahaan.
Kadang-kadang rasio-rasio tersebut juga terlihat berlawanan satu sama lain. Oleh karena itu,
jika hanya bergantung pada perhitungan rasio secara individual maka para investor akan
mendapat kesulitan dan kebingungan untuk memutuskan apakah perusahaan dalam kondisi sehat
atau sebaliknya.
Pendekatan tunggal (univariate) bisa dipakai untuk memprediksi kesulitan keuangan dengan
asumsi bahwa distribusi variable keuangan untuk perusahaan yang mengalami kesulitan
keuangan berbeda dengan distribusi variable keuangan untuk perusahaan yang tidak mengalami
kebangkrutan.
Penggunaan metode tersebut akan dijelaskan dengan menggunakan contoh berikut pada
tahun 1970, beberapa perusahaan kereta api AS yang cukup besar mengalami kebangkrutan.
Apakah rasio–rasio keuangan pada tahun – tahun sebelumnya bisa memperkirakan kebangkrutan
tersebut? Berikut ini dua rasio keuangan yang dipilih untuk melihat apakah kebangkrutan
perusahaan kereta api tersebut bisa dilihat melalui rasio–rasio keuangan pada tahun–tahun
sebelumnya.
(1) Rasio biaya transportasi terhadap pendapatan operasional (BT/ PO). Biaya
transportasi merupakan komponen biaya yang terbesar yang terjadi pada perusahaan kereta api ,
yang meliputi biaya operasional angkutan kerta, biaya gaji pegawai kereta dan biaya bahan
baker. Pendapatan operasional terutama berasal dari karcis kereta yang terjual dan juga
pendapatan dari beberapa sumber yang lain seperti pendapatan angkutan barang dan surat pos.
(2) Rasio timed interst earned (TIE) yang merupakan rasio EBIT (Earning Before
Taxes)/Interst. Bunga atau interest disini adalah bunga dari kewajiban obligasi. Apabila
diperoleh angka negatif, berarti perusahaan mempunyai earning atau pendapatan yang negatif.
Teknik penelitian titik cut off mengandung bahaya bahwa karakteristik spesifik perusahaan–
perusahaan dalam sample akan sanagat mempengaruhi nilai cut off, dan dengan demikian titik
cut off tersebut tidak representaif untuk perusahaan–perusahan lainnya. Untuk menghindari
kemungkinan semacam tersebut, akuirisititik cut off bisa menggunakan perusahaan – perusahaan
diluar sampel. Empat variable yang menunjukkan perbedaaan antara perusahaan yang bangkrut
dengan yang tidak bangkrut secara konsisten adalah:
tinggi.
Fluktuasi retun saham, perusahaan yang bangkrut mempunyai rata–rata return yang
lebih rendah dan mempinyai fluktuasi return saham yang lebih tinggi.
Salah satu kelemahan model univariate adalah kemungkinan terjadinya konflik antara
variabel–variabel yang dijadikan prediksi. Untuk mengatasi masalah tersebut model multivariate
dikembangkan. Variable bebas dalam model ini adalah rasio–rasio keuangan yang diperkirakan
sampai 1, inklusif).
Dengan menggunakan kasus kebangkrutan perusahaan kereta api, kita akan menggunakan
dua variable untuk persamaan deskriminasi, yaitu variable rasio BT/PO (variable bebas X1) dan
variable TIE (sebagai variable X2). Diasumsikan bahwa rasio–rasio yang dipakai berasal dari
populasi dengan distribusi normal dan matriks varians kovarians kedua kelompok tersebut sama.
Zi = a X1 + b X2
Skor Z yang rendah berarti semakin besar kemungkinan untuk bangkrut. Koefisien negative
variable X1 menandakan hubungan negative antara variable tersebut dengan skor Zi. Semakin
tinggi nilai X1, semakin rendah nilai Zi dan semakin tinnggi kemungkina kebangkrutan. Nilai
koefisien yang positif pada variable X2 menandakan bahwa semakin tinngi rasio TIE, semakin
Banyak bukti yang cukup kuat mengatakan bahwa kebangkrutan tidak hanya dipengaryhi
oleh variabel–variabel intern saja (dari perusahaan), tetapi juga oleh variabel–variabel eksternal
seperti perubahan tingkat bunga, turunnya kondisi perekonomian, atau perubahan tingkat
Model ini dikembangkan oleh William Beaver yang mulanya meneliti 29 rasio keuangan
perusahaan selama lima tahun dengan menggunakan sample perusahaan bangkrut dan tidak
bangkrut. Dari hasil penelitian tersebut, Beaver menemukan enam rasio keuangan yang dianggap
mempunyai daya pembeda (discriminating power) yang sangat baik yang dapat membedakan
perusahaan yang sehat dan tidak sehat. Keenam rasio keuangan tersebut adalah:
1. Laba bersih sebelum depresiasi, deplesi, dan amortisasi terhadap total kewajiban (net income
before depreciation, depletion, & amortization to total liabilities)
Rasio ini menunjukkan risiko solvabilitas jangka panjang, dimana hasil pengukurannya
menunjukkan besarnya arus kas dari kegiatan operasi yang tersedia untuk dapat memenuhi
seluruh kewajiban perusahaan. Semakin besar rasio ini maka semakin kecil risiko bagi
perusahaan. Sebaliknya, semakin kecil rasio ini maka semakin besar risiko bagi perusahaan.
Sebagai ilustrasi digunakan data keuangan PT Timah Tbk sebagaimana ditunjukkan pada
Tabel 9.1.
Tabel 9.1. Penghitungan Rasio Laba bersih sebelum depresiasi, deplesi, dan
Rasio tersebut menunjukkan bahwa dari seluruh kewajiban dapat dipenuhi dari arus kas
operasi sebesar 14,9%. Semakin besar rasio ini maka semakin kecil risiko jangka panjang
perusahaan.
2. Laba bersih terhadap total aktiva (net income to total assets)
Rasio ini menunjukkan tingkat profitabilitas perusahaan, dimana hasil pengukurannya
menunjukkan tingkat produktivitas aktiva yang diinvestasikan perusahaan dalam menghasilkan
laba bersih.
Sebagai ilustrasi digunakan data keuangan PT Timah Tbk sebagaimana ditunjukkan pada
Tabel 9.2.
Rasio tersebut menunjukkan bahwa dari seluruh aktiva yang diinvestasikan dapat
menghasilkan laba bersih sebesar 7% pada Tahun 2004 sedangkan pada Tahun 2005, dapat
menghasilkan laba bersih sebesar 4%. Hal ini menunjukkan terjadi penurunan profitabilitas pada
Tahun 2005 sebesar 3%. Semakin kecil rasio ini maka semakin kecil profitabilitas perusahaan.
3. Total utang terhadap total aktiva (total debt to total assets)
Rasio ini menunjukkan risiko solvabilitas jangka panjang perusahaan, dimana hasil
pengukurannya menunjukkan besarnya pendanaan utang yang digunakan untuk membiayai
seluruh aktiva perusahaan. Semakin besar rasio ini maka semakin besar risiko bagi perusahaan.
Sebaliknya, semakin kecil rasio ini maka semakin kecil risiko bagi perusahaan.
Sebagai ilustrasi digunakan data keuangan PT Timah Tbk sebagaimana ditunjukkan pada
Tabel 9.3.
Rasio tersebut menunjukkan bahwa dari seluruh aktiva yang dimiliki perusahaan dibiayai
dari utang sebesar 37,5% pada Tahun 2004 sedangkan pada Tahun 2005, dibiayai dari utang
sebesar 44,2%. Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan risiko jangka panjang pada Tahun 2005
sebesar 6,7%.
4. Modal kerja bersih terhadap total aktiva (net working capital to total assets)
Rasio ini menunjukkan risiko likuiditas jangka pendek perusahaan, dimana hasil
pengukurannya menunjukkan struktur aktiva perusahaan. Semakin besar rasio ini maka semakin
kecil risiko bagi perusahaan. Sebaliknya, semakin kecil rasio ini maka semakin besar risiko bagi
perusahaan.
Sebagai ilustrasi digunakan data keuangan PT Timah Tbk sebagaimana ditunjukkan pada
Tabel 9.4.
Tabel 9.4. Penghitungan Rasio Modal kerja bersih terhadap total aktiva
Rasio tersebut menunjukkan bahwa dari seluruh aktiva yang dimiliki perusahaan terdapat
modal kerja bersih sebesar 35,1% pada Tahun 2004 sedangkan pada Tahun 2005, terdapat modal
kerja bersih sebesar 27%. Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan risiko jangka pendek pada
Tahun 2005 sebesar 8,1%.
5. Aktiva lancar terhadap kewajiban lancar (current assets to current liabilities)
Rasio ini menunjukkan risiko likuiditas jangka pendek perusahaan, dimana hasil
pengukurannya menunjukkan besarnya aktiva lancar yang tersedia untuk dapat memenuhi
kewajiban lancar perusahaan. Semakin besar rasio ini maka semakin kecil risiko bagi
perusahaan. Sebaliknya, semakin kecil rasio ini maka semakin besar risiko bagi perusahaan.
Sebagai ilustrasi digunakan data keuangan PT Timah Tbk sebagaimana ditunjukkan pada
Tabel 9.5.
Rasio tersebut menunjukkan bahwa untuk setiap aktiva lancar yang dimiliki perusahaan
dapat digunakan untuk menutupi kewajiban lancar sebesar 257% pada Tahun 2004 sedangkan
pada Tahun 2005, tersedia aktiva lancar sebesar 183%. Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan
risiko jangka pendek pada Tahun 2005 sebesar 74%.
6. Kas, surat-surat berharga, piutang usaha terhadap beban-beban operasi tidak termasuk depresiasi,
deplesi, dan amortisasi (cash, marketable securities, account receivable to operating expenses
excluding depreciation, depletion, & amortization)
Rasio ini menunjukkan risiko likuiditas jangka pendek perusahaan, dimana hasil
pengukurannya menunjukkan tersedianya alat likuiditas untuk dapat memenuhi beban-beban
operasi tunai perusahaan. Semakin besar rasio ini maka semakin kecil risiko bagi perusahaan.
Sebaliknya, semakin kecil rasio ini maka semakin besar risiko bagi perusahaan.
Sebagai ilustrasi digunakan data keuangan PT Timah Tbk sebagaimana ditunjukkan pada
Tabel 9.6.
Tabel 9.6. Penghitungan Rasio Kas, surat-surat berharga (SSB), piutang usaha terhadap beban-beban operasi
Depresiasi,
Kas + SSB + Beban-beban
Deplesi &
Tahun Piutang Usaha Operasi Rasio
Amortisasi
(Rp 000) (Rp 000)
(Rp 000)
2004 1.390.720.000 541.781.000 **** ****
2005 1.638.683.000 896.153.000 73.404.000 1,99
Catatan: ****) Tidak dihitung karena data tidak tersedia
Rasio tersebut menunjukkan bahwa untuk setiap beban operasi tunai perusahaan tersedia alat
likuiditas sebesar 199% pada Tahun 2005 sedangkan pada Tahun 2004, tidak dapat dihitung
karena tidak tersedia data.
2. Model Multivariate: Model Z-Score/ALTMAN/Multiple Discriminate Analysis
Model multivariat merupakan suatu model yang mengkombinasikan beberapa rasio keuangan
secara bersama-sama (simultan) memprediksi kebangkrutan suatu perusahaan. Model Z-Score
merupakan salah satu model multivariat telah dikembangkan oleh Edward Altman. Model ini
dikembangkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Altman. Pada penelitian ini,
Altman memilih sampel beberapa perusahaan yang bangkrut dan perusahaan yang sehat pada
ukuran dan industri yang sama. Kemudian menghitung sejumlah besar rasio keuangan yang
diperkirakan secara apriori menjelaskan kebangkrutan. Dengan menggunakan rasio keuangan
sebagai input, kemudian Model Multiple Discriminant Analysis (MDA) memilih serangkaian
rasio keuangan yang paling baik membedakan antara perusahaan yang bangkrut dan tidak
bangkrut.
Hasil Model MDA meliputi serangkaian koefisien yang kemudian dikalikan dengan rasio
keuangan sebagai variabel prediktor kemudian dijumlahlkan dan menghasilkan multivariate
score (Z-Score). Ketentuan hasil temuan sebagai berikut:
1. Skor di bawah cut off point menunjukkan peluang bangkrut besar
2. Skor di atas cut off point menunjukkan peluang bangkrut kecil
Analisis multivariate menggunakan dua variabel atau lebih secara bersama-sama dalam satu
persamaan (Hanafi 2004:656). Di bagian lain Bappepam (2005: 19) mengatakan analisis ini
dapat mempermudah analisis atas kondisi keuangan perusahaan daripada menghitung sekian
banyak rasio keuangan secara individual lalu menginterpretasi masing-masing rasio satu per satu.
Salah satu contoh analisis multivariate yang cukup terkenal adalah model kebangkrutan yang
dikembangkan oleh Edward Altman seorang professor of finance dari New York University
School of Business pada akhir 1960-an yang dikenal dengan Altman Z-score. Model ini
menggunakan analisis keuangan yang dibuat dengan mengkombinasikan lima rasio keuangan
yang berbeda-beda, yaitu (Rasio Modal Kerja/Total Aktiva, Laba Ditahan/Total Aktiva, Earning
Before Income and Tax/Total Aktiva, Nilai Pasar Modal/Nilai Buku Hutang, Penjualan/Total
Aktiva) untuk menentukan potensi atau kemungkinan bangkrutnya sebuah perusahaan. Dari nilai
Z-nya, berdasarkan titik cut-off yang dilaporkan Altman.
Multiple Discriminant Analysis Altman atau yang biasa disebut Z-score Model Altman
menggunakan rasio keuangan yang mencakup rasio likuiditas perusahaan seperti rasio lancar,
rasio leverage perusahaan seperti rasio hutang terhadap modalnya, rasio profitabilitas seperti
rasio laba bersih terhadap modal atau akumulasi laba ditahan. Dengan mendasarkan rasio kepada
rasio keuangan tersebut, Z-score Model Altman berhasil dipergunakan untuk mengklasifikasikan
perusahaan kedalam kelompok yang mempunyai kemungkinan yang tinggi untuk bangkrut atau
kelompok perusahaan yang kemungkinan mengalami bangkrut rendah. Z-score Model Altman
memungkinkan untuk memperkirakan kebangkrutan sampai dua tahun sebelum tiba saatnya.
Dari hasil penelitian Altman menemukan lima rasio keuangan yang dianggap paling baik
membedakan perusahaan yang sehat dan bangkrut. Kelima rasio keuangan tersebut adalah:
1. Modal kerja bersih terhadap total aktiva (net working capital to total assets = X1)
Rasio ini menunjukkan risiko likuiditas jangka pendek perusahaan, dimana hasil
pengukurannya menunjukkan struktur aktiva perusahaan. Semakin besar rasio ini maka semakin
kecil risiko bagi perusahaan. Sebaliknya, semakin kecil rasio ini maka semakin besar risiko bagi
perusahaan.
Sebagai ilustrasi digunakan data keuangan PT Timah Tbk sebagaimana ditunjukkan pada
Tabel 9.7.
Tabel 9.7. Penghitungan Rasio Modal kerja bersih terhadap total aktiva (X1)
Rasio tersebut menunjukkan bahwa dari seluruh aktiva yang dimiliki perusahaan terdapat
modal kerja bersih sebesar 35,1% pada Tahun 2004 sedangkan pada Tahun 2005, terdapat modal
kerja bersih sebesar 27%. Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan risiko jangka pendek pada
Tahun 2005 sebesar 8,1%.
2. Laba ditahan terhadap total aktiva (retained earnings to total assets = X2)
Rasio ini menunjukkan profitabilitas perusahaan, dimana hasil pengukurannya menunjukkan
tingkat penggunaan laba ditahan untuk membiayai aktiva perusahaan. Sebagai ilustrasi
digunakan data keuangan PT Timah Tbk sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 9.8.
Tabel 9.8. Penghitungan Rasio Laba Ditahan terhadap Total aktiva (X2)
Rasio tersebut menunjukkan bahwa dari seluruh aktiva yang dimiliki perusahaan dapat
dibiayai dari laba ditahan (saldo laba) sebesar 46,4% pada Tahun 2004 sedangkan pada Tahun
2005, dapat dibiayai dari laba ditahan sebesar 41,7%. Hal ini menunjukkan terjadi penurunan
profitabilitas pada Tahun 2005 sebesar 4,7%.
3. Laba sebelum bunga dan pajak terhadap total aktiva (earnings before interest and taxes to total
assets = X3)
Rasio ini menunjukkan tingkat profitabilitas perusahaan, dimana hasil pengukurannya
menunjukkan tingkat produktivitas aktiva yang diinvestasikan perusahaan dalam menghasilkan
laba operasi perusahaan.
Sebagai ilustrasi digunakan data keuangan PT Timah Tbk sebagaimana ditunjukkan pada
Tabel 9.9.
Laba sebelum
Total Aktiva
Tahun Bunga & Pajak Rasio X3
(Rp 000)
(Rp 000)
2004 324.058.000 2.415.954.000 0,134
2005 232.086.000 2.748.157.000 0,084
Rasio tersebut menunjukkan bahwa dari seluruh aktiva yang diinvestasikan dapat
menghasilkan laba operasi sebesar 13,4% pada Tahun 2004 sedangkan pada Tahun 2005, dapat
menghasilkan laba operasi sebesar 8,4%. Hal ini menunjukkan terjadi penurunan profitabilitas
pada Tahun 2005 sebesar 5%.
4. Nilai pasar ekuitas terhadap nilai buku kewajiban (market value of equity to book value of
liabilities = X4)
Rasio ini menunjukkan risiko solvabilitas jangka panjang perusahaan serta penilaian terhadap
profitabilitas, dimana hasil pengukurannya menunjukkan struktur pendanaan yang digunakan
untuk membiayai seluruh aktiva perusahaan. Semakin besar rasio ini maka semakin kecil risiko
bagi perusahaan. Sebaliknya, semakin kecil rasio ini maka semakin besar risiko bagi perusahaan.
Sebagai ilustrasi digunakan data keuangan PT Timah Tbk sebagaimana ditunjukkan pada
Tabel 9.10.
Rasio tersebut menunjukkan bahwa struktur pendanaan yang dimiliki perusahaan adalah
untuk setiap Rp 1 utang berbanding Rp 1,1 ekuitas pada Tahun 2004 sedangkan pada Tahun
2005, untuk setiap Rp 1 utang berbanding Rp 0,82 ekuitas. Hal ini menunjukkan terjadi
peningkatan risiko jangka panjang pada Tahun 2005.
Rasio tersebut menunjukkan bahwa untuk setiap Rp 1 aktiva yang diinvestasikan dapat
menghasilkan pendapatan bersih sebesar Rp 1,16 pada Tahun 2004 sedangkan pada Tahun 2005,
dapat menghasilkan pendapatan bersih sebesar Rp 1,24. Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan
produktivitas pada Tahun 2005.
Berdasarkan rasio keuangan tersebut sebagai variabel prediktor ditemukan model prediksi
sebagaimana ditunjukkan pada Persamaan 9.1.
bangkrut kecil sedangkan pada Tahun 2005 berada pada daerah abu-abu yang lebih cenderung
Pada model ini, Ohlson menemukan sembilan rasio keuangan sebagai variabel prediktor
yang dianggap paling baik yaitu:
1. Logaritma alam (ln) total aktiva terhadap Deflator GNP (natural log of total assets to GNP
implicit Price Deflator Index = SIZE)
2. Total kewajiban terhadap total aktiva (total liabilities to total assets = TLTA)
3. Aktiva lancar kurang kewajiban lancar terhadap total aktiva (current assets – current liabilities to
total assets = WCTA)
4. Kewajiban lancar terhadap aktiva lancar (current liabilities to current assets = CLCA)
5. Laba bersih terhadap total aktiva (net income to total assets = NITA)
6. Dana dari operasi terhadap total kewajiban (funds from operations to total liabilities = FUTL)
7. Variabel dummy yaitu bernilai satu jika laba bersih negatif selama dua tahun terakhir dan bernilai
nol jika tidak demikian (one if net income was negative for the last two years and zero otherwise
= INTWO)
8. Variabel dummy yaitu bernilai satu jika total kewajiban melebih total aktiva dan bernilai nol jika
tidak demikian (one if total liabilities exceed total asset and zero otherwise = OENEG)
9. (Laba bersiht – Laba bersiht-1)/(│Laba bersiht│ +│Laba bersiht-1│) = CHIN
Kriteria penilaian:
Cut off point = 3,8%, jadi jika p > 3,8% berarti perusahaan berpeluang bangkrut
Keterangan:
p adalah peluang kebangkrutan
e adalah bilangan logaritma bernilai 2,718282
y adalah fungsi multivariat
Sebagai ilustrasi digunakan data keuangan PT Timah Tbk sebagaimana ditunjukkan pada
Tabel 9.14 s/d Tabel 9.24.
1. Logaritma alam (ln) total aktiva terhadap Deflator GNP (natural log of (total assets to GNP
implicit Price Deflator Index = SIZE)
2. Total kewajiban terhadap total aktiva (total liabilities to total assets = TLTA)
3. Aktiva lancar kurang kewajiban lancar terhadap total aktiva (current assets – current liabilities to
total assets = WCTA)
4. Kewajiban lancar terhadap aktiva lancar (current liabilities to current assets = CLCA)
5. Laba bersih terhadap total aktiva (net income to total assets = NITA)
6. Dana dari operasi terhadap total kewajiban (funds from operations to total liabilities = FUTL)
7. Variabel dummy yaitu bernilai satu jika laba bersih negatif selama dua tahun terakhir dan bernilai
nol jika tidak demikian (one if net income was negative for the last two years and zero otherwise
= INTWO)
Berdasarkan Laporan Laba Rugi PT Timah Tbk menunjukkan bahwa selama Tahun 2004 dan
2005 perusahaan ini memperoleh laba bersih, sehingga nilai variabel INTWO adalah 0.
8. Variabel dummy yaitu bernilai satu jika total kewajiban melebihi total aktiva dan bernilai nol
jika tidak demikian (one if total liabilities exceed total asset and zero otherwise = OENEG)
Berdasarkan Neraca PT Timah Tbk menunjukkan bahwa selama Tahun 2004 dan 2005, total
kewajiban lebih kecil dari total aktiva, sehingga nilai variabel OENEG adalah 0.
Berdasarkan hasil penghitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa PT Timah Tbk pada
Tahun 2005 tidak berpeluang bangkrut karena probabilitasnya lebih kecil dari 3,8% yaitu hanya
0,013%.