Anda di halaman 1dari 4

Sri Mulyani: 55 Persen BUMN yang Disuntik Modal Punya Utang Jumbo

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, 55 persen Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) penerima suntikan modal tahun 2020 memiliki utang di atas rata-rata
industri.

Fakta tersebut didapat Sri Mulyani ketika menganalisasi keuangan BUMN penerima
Penanaman Modal Negara (PMN).

Beberapa analisa yang dilakukan terkait laba rugi BUMN, debt to equity ratio BUMN VS
industri, Altman Z Score sebagai prediksi kebangkrutan, debt to equity (rule of Tumb max
DER 3x) untuk menganalisa solvabilitas, dan Score Early Warning System (EWS) untuk
mendeteksi secara dini kesehatan BUMN.

Jadi artinya BUMN kita 55 persen, utangnya di atas rata-rata industri, di mana mereka
berada. Ini jadi salah satu buat kita untuk perhatikan, makanya kemudian diminta scale down
atau dilakukan PMN untuk menyehatkan kembali agar tidak over leverage," kata Sri Mulyani
dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, Rabu (15/12/2021).

Sri Mulyani: 9 persen BUMN memiliki ekuitas negatif

Selain 55 persen BUMN yang memiliki utang di atas rata-rata industri, ada 9 persen BUMN
yang memiliki ekuitas negatif atau tergerus. Hanya 2 persen BUMN penerima PMN yang
utangnya sebanding dengan rata-rata industri, dan 34 persen lainnya memiliki utang di bawah
rata-rata industri.

Adapun dari sisi laba, 40 persen badan usaha milik negara penerima suntikan modal dari
pemerintah ini mengalami kerugian. "Sebanyak 60 persen BUMN adalah mereka yang bisa
generate laba, dan 40 persen rugi. Dilihat dari debt equity-nya dibandingkan dari industri, 55
persen memiliki utang di atas industri," beber Sri Mulyani.  

Aneka kesehatan BUMN, dilihat dengan Altman Z Score, DER dan Score AWS Berdasarkan
analisasi dengan Altman Z Score, ada sekitar 68 persen perusahaan pelat merah penerima
suntikan modal yang mengalami distress. Sisanya sekitar 32 persen berada dalam kategori
aman. "Ini dari sisi apakah mereka dalam kondisi distress dan kemungkinan bangkrut, ada 68
persen dari BUMN kita itu yang Altman Z Score dalam posisi distress," ucapnya. Dilihat dari
debt to equity ratio (DER) dengan metode rule of thumb maksimal 3 kali, ada sekitar 25
persen BUMN dengan DER lebih dari 3. Sisanya, 33 persen BUMN antara 1-3 relatif aman,
dan yang memiliki ekuitas negatif sebesar 9 persen. Asal tahu saja, ambang batas aman DER
adalah di bawah 3 kali. Sementara di bawah 1 berarti memiliki banyak aset (under leverage).
"Kalau dari Score EWS yang tidak bagus ada 41 persen BUMN dan yang bagus ada 23
persen," pungkas Sri Mulyani.

Referensi: https://money.kompas.com/read/2021/12/15/185925826/sri-mulyani-55-persen-
bumn-yang-disuntik-modal-punya-utang-jumbo?page=all

Setelah membaca artikel di atas silakan bapak-ibu diskusikan hal-hal sebagai berikut:

Apa yang dimaksud dengan leverage?


Mengapa dalam melakukan analisis prediksi kebangkrutan kita perlu memperhatikan data-data
perusahaan lain pada sektor atau industri yang serupa? Bagaimana Saudara menggunakan rasio-rasio
seperti debt to equity ratio, Altman Z Score, dan Score Early Warning System (EWS) Menilai kinerja
keuangan suatu perusahaan?  Apakah mungkin ketiga alat pengukuran tersebut memiliki kesimpulan
analisis yang saling bertolak belakang atau kontradiktif?

Jawab:

Apa yang dimaksud dengan leverage?

Pemakaian modal dan sumber dana oleh perusahaan yang mempunyai beban tetap. Sumber dana ini
berasal dari utang. Utang ini memiliki bunga yang dimasukkan ke dalam biaya tetap, sehingga laba
potensial dari investor dapat dikembangkan.

Mengapa dalam melakukan analisis prediksi kebangkrutan kita perlu memperhatikan data-data
perusahaan lain pada sektor atau industri yang serupa?

Kebangkrutan adalah suatu kondisi disaat perusahaan mengalami ketidakcukupan dana untuk
menjalankan usahanya. Secara dasarnya kebangkrutan adalah ketidakpastian mengenai kemampuan
atas suatu perusahaan untuk melanjutkan kegiatan operasinya jika kondisi keuangan yang dimiliki
mengalami penurunan. Atau bisa diartikan sebagai berikut, Kebangkrutan (bankcruptcy) merupakan
kondisi dimana perusahaan tidak mampu lagi untuk melunasi kewajibannya. Kondisi ini biasanya
tidak muncul begitu saja di perusahaan, ada indikasi awal dari perusahaan tersebut yang biasanya
dapat dikenali lebih dini kalau laporan keuangan dianalisis secara lebih cermat dengan suatu cara
tertentu. Rasio keuangan dapat digunakan sebagai indikasi adanya kebangkrutan di perusahaan.

Debt to Equity Ratio?

Debt to Equity Ratio adalah sebuah rasio keuangan yang membandingkan jumlah hutang dengan
ekuitas. Ekuitas dan jumlah hutang piutang yang digunakan untuk operasional perusahaan harus
berada dalam jumlah yang proporsional. Debt to Equity Ratio juga sering dikenal sebagai
rasio leverage atau rasio pengungkit. Yang dimaksud dengan rasio pengungkit yaitu rasio yang
digunakan untuk melakukan pengukuran dari suatu investasi yang terdapat di perusahaan.

Secara garis besar, Debt to Equity Ratio atau rasio utang terhadap modal merupakan salah satu
indikator yang penting untuk melihat kondisi kesehatan keuangan suatu perusahaan. Rasio ini dapat
menunjukkan tingkat kemandirian finansial perusahaan berkaitan dengan utang. Para pemberi
hutang atau investor biasanya akan lebih cenderung memilih perusahaan yang Debt to Equity Ratio-
nya lebih kecil. Dengan adanya rasio utang terhadap modal yang kecil, bisa diartikan bahwa
perusahaan tersebut memiliki kewajiban hutang yang kecil juga. Sehingga bisa menguntungkan para
investor yang akan memberikan pinjaman.

Sebaliknya, semakin tinggi rasio utang terhadap modal, maka semakin tinggi pula jumlah hutang atau
kewajiban perusahaan untuk melunasi hutang yang harus dibayar baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang. Artinya perusahaan tersebut mendapat pendanaan dari pemberi hutang, bukan dari
pendapatan perusahaan tersendiri. Hal ini cukup berbahaya dan harus diawasi karena perusahaan
harus membayar hutang tersebut dalam jangka waktu tertentu.

Namun indikator debt to equity ratio bukan merupakan indikator yang bagus untuk perusahaan
keuangan. Seperti yang disebutkan sebelumnya, debt of equity ratio (DER) sangat berkaitan dengan
beban perusahaan dan ekuitas sehingga perhitungan DER sangat bergantung dengan laporan
keuangan.
Altman Z-score?

Altman Z-score merupakan formula multivariabel untuk mengukur potensi kebankrutan sebuah
perusahaan. Itu merupakan fungsi dari dari lima rasio keuangan, yakni rasio profitabilitas, leverage,
likuiditas, solvabilitas, dan aktivitas. Perhitungannya juga mudah. Kita hanya perlu menghitung
masing-masing rasio terlebih dahulu kelima rasio tersebut. Kemudian, kita masukkan dalam
persamaan untuk menghasilkan Z-Score. Skor tersebut berguna untuk memprediksi apakah suatu
perusahaan memiliki tingkat probabilitas yang tinggi untuk pailit. Kemudian, dari hasilnya, kita juga
dapat membandingkannya dengan perusahaan lain.

Namun Di Indonesia, misalnya, akurasi model Altman Z -Score hanya sekitar 27.96% untuk
perusahaan manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Lingkungan bisnis dan persaingan juga
terus berubah. Itu mengekspos kinerja keuangan dan tingkat kebangkrutan perusahaan.
Meningkatnya persaingan global, misalnya, semakin menekan profitabilitas banyak perusahaan.
Sehingga, menggunakan skor batas awal adalah tidak tepat. Dan model tidak memprediksi kapan
perusahaan benar-benar bangkrut secara hukum.

Early Warning System (EWS)?

Early warning system banyak digunakan dalam sektor keuangan untuk mengetahui secara dini kondisi
industri keuangan yang memiliki risiko membahayakan stabilitas perekonomian di masa depan.
Dengan adanya early warning system, maka akan memberikan waktu tunggu untuk meningkatkan
alokasi sumber penilai yang langka, memungkinkan tindakan pengawasan yang tepat waktu dan
dapat mengurangi biaya kegagalan (cost of failure). Dari faktor-faktor tersebut, akan sangat
berpengaruh terhadap penilaian tingkat kesehatan suatu perusahaan. Terdapat perbedaan antara
laporan keuangan perusahaan asuransi dengan laporan keuangan perusahaan lain. Salah satu alat
yang dapat digunakan untuk menganalisis laporan keuangan dan mengolahnya menjadi suatu
informasi yang berguna adalah dengan menggunakan perhitungan Early Warning System.

Early Warning System asuransi menurut Jhongpita et al., (2011) adalah tolak ukur dari The National
Association of Insurance Commisioners (NAIC) atau lembaga pengawas badan usaha asuransi
Amerika Serikat dalam mengukur kinerja keuangan dan menilai tingkat kesehatan perusahaan
asuransi. Disamping itu, sistem ini dapat memberikan pengatan dini terhadap kemungkinan kesulitan
keuangan dan operasi perusahaan asuransi di masa yang akan datang. Negara lain di luar Amerika
Serikat melakukan sedikit modifikasi terrhadap rasio yang digunakan untuk di sesuaikan dengan
kebutuhan negara masing-masing. Rasio-rasio Early Warning System tersebut adalah rasio
solvabilitas, rasio tingkat kecukupan dana, rasio perubahan surplus, underwriting ratio, rasio beban
klaim, rasio komisi, rasio biaya manajemen, penembalian investasi, rasio likuiditas, rasio agent’s
balance to surplus, rasio piutang premi terhadap surplus, rasio pertumbuhan premi, rasio retensi
sendiri, rasio cadangan teknis.

Apakah mungkin debt to equity ratio, Altman Z Score, dan Score Early Warning System (EWS)
pengukuran tersebut memiliki kesimpulan analisis yang saling bertolak belakang atau kontradiktif?

Secara keseluruhan dari ketiga alat pengukuran sebuah kebangkrutan dalam sebuah perusahaan
memiliki kesimpulan analisis yang berbeda dari segi sudut pandang. Namun, maksud dari ketiga
metode pengukuran tersebut memilik aspek maksud dan tujuan yang sama dalam mengidentifikasi
presentasi kebangkrutan daln sebuah perusahaan. Dan ketiga metode tersebut memiliki kelemahan
dan kelebihan masing-masing.
Sumber referensi:

https://www.jurnal.id/id/blog/debt-equity-ratio-pengertian-rumus-dan-perhitungannya/

https://cerdasco.com/altman-z-score/

Anda mungkin juga menyukai