Anda di halaman 1dari 4

IMAMAT 25:23-28

Kita memiliki kesamaan dengan burung migratory, misalnya Burung Dunlin. Apa itu burung
migratory? Burung migratory adalah burung yang beristirahat sebentar di suatu tempat sebelum
dia melanjutkan lagi perjalanannya ke tempat yang dituju untuk hidup dan berkembang biak
pada musim dingin. Pada saat beristirahat di suatu tempat, burung migratory mengisi nutrisi
tubuhnya dengan memakan makanan yang ada di sekitarnya. Seindah apapun tempat yang dia
singgahi dan seenak apapun makanan yang ada di sana, mereka tidak bisa selamanya di sana,
mereka harus segera pergi karena mereka hanya singgah.
Begitu juga dengan manusia. Manusia hanya singgah di bumi. Kita tidak selamanya hidup di
bumi. Seindah apapun bumi ini, dan sebanyak apapun harta yang kita miliki di bumi, suatu saat
kita harus meninggalkan semuanya. Namun itu bukan berarti kita boleh merusak bumi. Ada
beberapa umat kristen yang memiliki konsep keliru. Mereka beranggapan bahwa di bumi mereka
hanya hidup sementara. Mereka nanti akan hidup selamanya di Yerusalem yang baru. Jadi bumi
yang sekarang, dirusak pun tidak masalah.
Kita memang hidup sementara di bumi, tapi itu bukan berarti kita berhak merusaknya, karena
bumi ini adalah milik Tuhan. Tanah yang kita miliki sekarang adalah tanah milik Tuhan. Kita
hanyalah memliki hak untuk menggunakannya, bukan hak untuk memilikinya. Tampaknya
konsep ini sangat aneh untuk kebanyakan dari kita. Kita pasti merasa bahwa tanah kita adalah
milik kita. Kita punya surat-surat legal yang menyatakan tanah tersebut adalah tanah kita.
Dalam dunia properti memang ada istilah Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik
(SHM). Jika tanah yang kita tinggali sekarang memiliki SHM, sudah jelas tanah tersebut adalah
hak milik kita, bagaimana mungkin disebut hak guna. Kita berpendapat bahwa jika tanah
tersebut telah resmi menjadi hak milik kita, maka kita bebas mengeksploitasinya. Ini lah yang
secara teologis bertentangan.
Secara teologis, tanah adalah milik Tuhan, kita hanyalah diberi hak guna atas tanah. Dalam
Imamat 25:23 dituliskan, "Tanah jangan dijual mutlak, karena Akulah pemilik tanah itu, sedang
kamu adalah orang asing dan pendatang bagi-Ku. Umat Israel memahami bahwa tanah adalah
milik Tuhan, mereka hanyalah pendatang. Oleh karena itu mereka tidak boleh menjual tanah
mereka secara mutlak. Seandainya dijual, mereka harus menebusnya kembali. Jika mereka tidak
dapat menebusnya, tanah itu tetap harus dikembalikan oleh pembeli kepada penjual tanah
tersebut atau pun keturunannya, yaitu pada saat tahun Sabat (tahun ketujuh) atau tahun Yobel
(tahun ke-50) (Imamat 25: 28). Mengapa harus tahun Yobel? Karena semakin dekat tahun Yobel,
semakin sedikit pula hasil tanah dan makin rendah pula harga tanah itu. Jadi sebenarnya yang
adalah hasil tanahnya, bukan tanahnya

Umat Israel juga memahami bahwa tanah diberikan agar umat Israel memiliki relasi yang
permanen dengan Tuhan. Saat mereka menjauh dari tanah yang diberikan oleh Tuhan, mereka
juga merasakan Tuhan menjauh dari mereka. Itu lah kenapa ketika rakyat Israel utara di buang ke
Asyur, mereka memahami, TUHAN menjauhkan orang Israel dari hadapan-Nya (2 Raja-raja
17:23) dan juga ketika rakyat Yehuda dibuang keBabel mereka mengatakan hal yang sama, Ia
sampai membuang mereka dari hadapan-Nya.
Jadi, umat Israel memahami tanah secara istimewa karena relasi mereka dengan Tuhan. Itulah
kenapa mereka tidak dapat mengeksploitasi tanah secara tidak bertanggungjawab. Mereka
mengusahakan tanah sedemikian rupa agar hidup mereka sejahtera dan hubungan mereka dengan
Tuhan terus terjalin.
Sebagai umat Kristen, kita pun seharusnya memiliki pemahaman demikian. Tanah yang kita
miliki sekarang adalah tanah milik Tuhan. Kita hanyalah diberikan hak guna. Itulah kenapa kita
harus menjaga tanah di mana Tuhan memberikan kita hak untuk menggunakannya, sebagai bukti
tanggungjawab dan ungkapan syukur kita.
Pertama-tama yang ingin dituju dari aturan ini adalah mereka harus menghayati hidup dengan
kekudusan dengan mengaku Tuhan sebagai pemilik asli, Sumber kehidupan. Prinsip ini cocok
dengan situasi saat itu di mana tanah dimiliki oleh kaum keluarga yang besar. Sedangkan kata
mutlak berarti tanpa hak membeli kembali (menebus). Setiap orang Israel harus mempunyai hak
menebus tanah dengan maksud supaya tiap suku Israel bisa mempertahankan tanah yang
diberikan kepada mereka ketika pertama kali memasuki tanah Kanaan. Konsep menebus ini
dikenal sebagai konsep go-el, di mana ditunjukkan rasa solidaritas antar kerabat keluarga.
Misalnya untuk membalaskan terbunuhnya seorang kerabat (Bil 35:19-27), untuk mengawini
istri saudara laki-lakinya yang telah meninggal sehingga dapat mempertahankan nama garis
keturunan keluarga (Rut 3:8-12), untuk menebus anggota keluarga yang dijual sebagai budak
karena terlibat hutang (Im 25:48-49), kemudian untuk menebus harta benda yang telah terjual
dari saudaranya agar harta benda itu tetap sebagai milik keluarga. Prinsip inilah yang digunakan
untuk menebus tanah yang telah dijual oleh salah seorang saudara dari suatu keluarga atau
kerabat.
Ketika sesorang menjual tanahnya sebelum bulan ketujuh, maka kelebihan atau nilai panen yang
ada di tanahnya haruslah diberikan kepada si pembeli, karena tanah perhitungan tahun ke tahun
Yobel dimulai pada bulan ketujuh. Kelebihan dari tanahnya atau hasil panennya itu diberikan
kepada si pembeli agar si penjual bisa mendapatkan yang sama pada tahun Yobel, yaitu tahun
kelima puluh adalah tahun pembebasan bagi bangsa Israel. Ini dilakukan ketika seseorang tidak
dapat menebus tanah miliknya.
da ungkapan orang: Dulu tanah tidak ada harga, tetapi sekarang sungguh sangat mahal. Inilah
realitas yang ada, seiring dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Gunung-gunung di ratakan,
lembah dan lautan ditimbun, untuk mendapatkan lahan yang bisa di buat bangunan, entah rumah,
kantor, tempat perbelanjaan dan bangunan-bangunan lainnya. Hal ini mau menunjukkan bahwa

ketersediaan tanah sangat diperlukan, apalagi dengan meningkatnya populasi penduduk di negeri ini,
menjadikan tanah sebagai satu kebutuhan untuk dibangun rumah sebagai tempat tinggal.
Kenyataan ini membuat banyak orang yang menjadikan tanah sebagai ladang bisnis. Tanah bisa dijual
tetapi juga bisa digadaikan. Dengan jangka waktu yang sudah ditentukan atau disepakati bersama
tanah itu bisa ditebus dan dimiliki kembali oleh pemiliknya. Di satu sisi bisnis ini dilakukan untuk
meraih keuntungan besar (meraup kekayaan) bagi si pebisnis, dan juga bisa membantu orang yang
membutuhkan uang (Menyelamatkan orang dalam kesulitan ekonomi) bagi si penjual/penggadai.
Tetapi di sisi yang lain sebenarnya si penjual/penggadai sudah dirugikan karena pebisnis sudah
mengambil lebih dari yang seharusnya.
Dengan diangkatnya tema Ekonomi Yang Menyelamat kan, maka sebagai warga gereja kita
diajak untuk melihat bagaimana seharusnya bertindak dalam menyelamatkan sesama yang
membutuhkan.

PEMBAHASAN TEMATIS
Pembahasan Teks Alkitab (Exegese)
Perikop dalam Imamat 25:23-28 ini menjelaskan secara lebih detail tentang pengembalian tanah yang
tergadaikan karena hutang di tahun Yobel. Tahun Yobel adalah salah satu perayaan keagamaan
dalam tradisi Yahudi. Secara sederhana, tahun ini dikenal sebagai tahun ke-limapuluh yang dalam
bahasa Inggris dikenal dengan ungkapan jubilee. Dalam tradisi Yahudi, tahun Yobel dirayakan
bersamaan dengan Hari Raya Pendamaian (Ibrani: yom kippur).Perayaan ini dibuka dengan
meniupkan sangkakala (syofar) yang tidak hanya menjadi tanda dimulainya perayaan, tetapi juga
menjadi seruan pembebasan bagi para budak, termasuk pembebasan lahan pertanian. Dengan kata
lain tahun Yobel ialah tahun yang memberikan permulaan baru bagi mereka yang miskin ataupun
mengalami kesulitan materi. Mereka yang terpaksa harus menjual ladang-ladang/tanah mereka akan
menerima nya kembali dan menjadi bebas. Alasannya karena tanah semata-mata adalah milik Allah
Tanah jangan dijual mutlak (ay 23). Allah mengatakan kepada orang Israel bahwa mereka bukan
pemilik sesungguhnya dari tanah, karena tanah itu adalah milik-Nya; mereka hanya merupakan
pengurusnya saja. Mereka wajib mengatur dengan baik dan benar bagi Allah, bagi diri sendiri dan bagi
sesama, sehingga mereka tidak dapat menjualnya. Peraturan ini bermaksud supaya milik/kepunyaan
jangan sampai hilang dari keluarga ter tentu. Setidak-tidaknya dalam tahun pelepasan semua
kembali kepada pemiliknya.
Kemiskinan adalah salah satu alasan yang membuat seseorang di Israel menjual tanahnya (bdg. I
Raj. 21:3). Dalam kasus semacam itu seorang kerabat penebus bisa tampil dan membeli kembali
tanah yang telah dijual itu dan mengembalikannya kepada pemilik semula. Jika orang itu tidak
memiliki kerabat untuk menebus tanahnya dan telah berhasil mengumpulkan dana yang cukup, dia
sendiri bisa membeli kembali tanahnya dengan ikut memperhitungkan jumlah hasil tanah yang tersisa
sampai Tahun Yobel dan membayar orang itu dengan harga yang pantas. Jika orang itu tidak memiliki
kerabat penebus maupun dana yang cukup, tanah itu dengan sendirinya kembali kepadanya pada
Tahun Yobel. Pembeli tidak rugi apa-apa melalui pengaturan ini sebab dia hanya membayar hasil
panen hingga Tahun Yobel saja.
Hal yang sama juga dalam Lukas 19:1-10, tentang seorang Yahudi bernama Zakheus yang memberi
kelegaan kepada banyak orang melalui kelimpahannya sebagai buah dari pertobatannya. Awalnya
Zakheus adalah seorang kepala pemungut cukai (penagih pajak), seorang yang kaya, yang telah
mengumpulkan harta banyak untuk dirinya sendiri. Ia di pandang rendah oleh masyarakat karena
mencari nafkah dengan mengumpulkan pajak lebih banyak daripada yang seharusnya ia peroleh.
Tetapi ketika ia berjumpa dengan Yesus, membawa perubahan dalam diri Zakheus sehingga ia dari
seorang yang hanya berpikir bagaimana mengumpulkan menjadi seorang yang mau membagi berkat.
Oleh karena peristiwa itu, ia bersukacita apalagi ketika Yesus hendak menumpang di rumahnya, itu
merupakan satu kehormatan yang besar bagi Zakheus. Dan akhirnya ia menyesali segala dosanya.
Wujud dari pertobatan itu melahirkan tekad Zakheus yang memberikan setengah dari seluruh

hartanya kepada orang miskin serta mengembalikan empat kali lipat kepada mereka yang telah di
peras.

Makna dan Implikasi Firman


Manusia adalah makhluk sosial yang hidup berdampingan antara satu dengan yang lain. Ada satu
semboyan yang di gagaskan oleh Sam Ratulangi sebagai mottonya yaitu; Sitou Timou Tumou Tou
artinya manusia hidup untuk menghidupkan orang lain. Kata menghidupkan memiliki makna
mendalam, bahwa sebagai sesama manusia harus saling memberi hidup, saling membantu bukan
saling mencari keuntungan untuk memperkaya diri apalagi dengan cara menindas orang lain.
Kekayaan adalah berkat Tuhan yang harus di syukuri. Tetapi yang menjadi persoalan sekarang ialah:
Bagaimana cara mengatur dan menata berkat Tuhan, agar itu tidak saja dinikmati oleh diri sendiri
tetapi juga dapat dinikmati oleh orang lain (membagi kekayaan kepada mereka yang membutuhkan)
agar terjadi keseimbangan. Sebagai warga gereja kita dipanggil untuk saling menolong dan menjadi
berkat bagi sesama tentu saja dengan hati yang tulus tidak ada kepentingan-kepentingan terselubung
di dalamnya melainkan membuat orang lain merasa terbantu dengan pertolongan yang kita berikan.
Sebab apa yang kita terima dari Tuhan, tidak semua dapat kita nikmati sendiri tetapi harus membagi
sebagai berkat untuk orang lain. Karena itu kita harus peka dengan keadaan/lingkungan yang ada di
sekitar kita dan kepada sesama kita. Jika kita mampu menolong/mambantu orang yang membutuhkan
kemudian tidak dilakukan sama saja dengan kita mengambil/mencuri hak orang lain.

Anda mungkin juga menyukai