Anda di halaman 1dari 4

IMAMAT 25 : 23 28

Bpk/Ibu/sdr/I yang diberkati Tuhan


Ada sebuah ungkapan yang begitu familiar di telinga kita: Dulu tanah tidak ada harganya,
tetapi sekarang sungguh sangat mahal. Ini tergambar dari realitas yang ada dimana seiring
dengan perkembangan dan tuntutan zaman tanah menjadi sangat mahal dan langka sehingga
manusia menghalalkan segala cara yaitu dengan meratakan gunung-gunung dan menimbun
laut untuk memperoleh lahan yang bisa dibuat bangunan, baik itu, rumah, kantor, tempat
perbelanjaan dan bangunan-bangunan lainnya. Padahal perbuatan tersebut dapat merusak
alam. Selain itu banyak tindakan tidak bijak dari para pemilik tanah dengan menjual tanah
secara sembarangan hanya untuk meraup keuntungan besar.
Bpk/Ibu/sdr/I yang diberkati Tuhan
Kita harus menyadari sebagai manusia, kita hanya singgah di bumi dan tidak selamanya hidup
di bumi. sebanyak apapun harta yang kita miliki di bumi, suatu saat kita harus meninggalkan
semuanya. Namun itu bukan berarti kita boleh merusak bumi. Ada beberapa umat kristen yang
memiliki konsep keliru. Mereka beranggapan bahwa di bumi mereka hanya hidup sementara.
Mereka nanti akan hidup selamanya di Yerusalem yang baru. Jadi bumi yang sekarang, dirusak
pun tidak masalah. Padahal Bumi ini adalah milik Tuhan. Tanah yang kita miliki sekarang adalah
tanah milik Tuhan. Kita hanyalah memliki hak untuk menggunakannya, bukan hak untuk
memilikinya. Tampaknya konsep ini sangat aneh untuk kebanyakan dari kita. Kita pasti merasa
bahwa tanah kita adalah milik kita. Kita punya surat-surat legal yang menyatakan tanah tersebut
adalah tanah kita.
Dalam dunia properti memang ada istilah Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik
(SHM). Jika tanah yang kita tinggali sekarang memiliki SHM, sudah jelas tanah tersebut adalah
hak milik kita, bagaimana mungkin disebut hak guna. Kita berpendapat bahwa jika tanah
tersebut telah resmi menjadi hak milik kita, maka kita bebas mengeksploitasinya. Ini lah yang
secara teologis bertentangan.
Secara teologis, tanah adalah milik Tuhan, kita hanyalah diberi hak guna atas tanah. Dalam
Imamat 25:23 dituliskan, "Tanah jangan dijual mutlak, karena Akulah pemilik tanah itu, sedang
kamu adalah orang asing dan pendatang bagi-Ku. Umat Israel memahami bahwa tanah adalah
milik Tuhan, mereka hanyalah pendatang. Oleh karena itu mereka tidak boleh menjual tanah

mereka secara mutlak. Seandainya dijual, mereka harus menebusnya kembali. Jika mereka
tidak dapat menebusnya, tanah itu tetap harus dikembalikan oleh pembeli kepada penjual tanah
tersebut atau pun keturunannya, yaitu pada saat tahun Sabat (tahun ketujuh) atau tahun Yobel
(tahun ke-50) (Imamat 25: 28). Mengapa harus tahun Yobel? Karena semakin dekat tahun
Yobel, semakin sedikit pula hasil tanah dan makin rendah pula harga tanah itu. Saat mereka
menjauh dari tanah yang diberikan oleh Tuhan, mereka juga merasakan Tuhan menjauh dari
mereka. Itu lahkenapa ketika rakyat Israel utara di buang ke Asyur, mereka memahami,
TUHAN menjauhkan orang Israel dari hadapan-Nya (2 Raja-raja 17:23) dan juga ketika rakyat
Yehuda dibuang keBabel mereka mengatakan hal yang sama, Ia sampai membuang mereka
dari hadapan-Nya.
Jadi, umat Israel memahami tanah secara istimewa karena relasi mereka dengan Tuhan. Itulah
kenapa mereka tidak dapat mengeksploitasi tanah secara tidak bertanggungjawab. Mereka
mengusahakan tanah sedemikian rupa agar hidup mereka sejahtera dan hubungan mereka
dengan Tuhan terus terjalin.
Bpk/Ibu/sdr/I yang diberkati Tuhan
Perikop dalam Imamat 25:23-28 ini menjelaskan secara lebih detail tentang pengembalian
tanah yang tergadaikan karena hutang di tahun Yobel. Tahun Yobel adalah salah satu perayaan
keagamaan dalam tradisi Yahudi. Secara sederhana, tahun ini dikenal sebagai tahun kelimapuluh yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan ungkapan jubilee. Dalam tradisi Yahudi,
tahun

Yobel

dirayakan

bersamaan

dengan Hari

Raya

Pendamaian (Ibrani: yom

kippur).Perayaan ini dibuka dengan meniupkan sangkakala (syofar) yang tidak hanya menjadi
tanda dimulainya perayaan, tetapi juga menjadi seruan pembebasan bagi para budak, termasuk
pembebasan lahan pertanian. Dengan kata lain tahun Yobel ialah tahun yang memberikan
permulaan baru bagi mereka yang miskin ataupun mengalami kesulitan materi. Mereka yang
terpaksa harus menjual ladang-ladang/tanah mereka akan menerima nya kembali dan menjadi
bebas. Alasannya karena tanah semata-mata adalah milik Allah Tanah jangan dijual mutlak
(ay 23). Allah mengatakan kepada orang Israel bahwa mereka bukan pemilik sesungguhnya
dari tanah, karena tanah itu adalah milik-Nya; mereka hanya merupakan pengurusnya saja.
Mereka wajib mengatur dengan baik dan benar bagi Allah, bagi diri sendiri dan bagi sesama,
sehingga mereka tidak dapat menjualnya. Peraturan ini bermaksud supaya milik/kepunyaan
jangan sampai hilang dari keluarga ter tentu. Setidak-tidaknya dalam tahun pelepasan semua
kembali kepada pemiliknya.

Kemiskinan adalah salah satu alasan yang membuat seseorang di Israel menjual tanahnya
(bdg. I Raj. 21:3). Dalam kasus semacam itu seorang kerabat penebus bisa tampil dan membeli
kembali tanah yang telah dijual itu dan mengembalikannya kepada pemilik semula. Jika orang
itu tidak memiliki kerabat untuk menebus tanahnya dan telah berhasil mengumpulkan dana
yang cukup, dia sendiri bisa membeli kembali tanahnya dengan ikut memperhitungkan jumlah
hasil tanah yang tersisa sampai Tahun Yobel dan membayar orang itu dengan harga yang
pantas. Jika orang itu tidak memiliki kerabat penebus maupun dana yang cukup, tanah itu
dengan sendirinya kembali kepadanya pada Tahun Yobel. Pembeli tidak rugi apa-apa melalui
pengaturan ini sebab dia hanya membayar hasil panen hingga Tahun Yobel saja.
Sebagai umat Kristen, kita pun seharusnya memiliki pemahaman demikian. Tanah yang kita
miliki sekarang adalah tanah milik Tuhan. Kita hanyalah diberikan hak guna. Itulah kenapa kita
harus menjaga tanah di mana Tuhan memberikan kita hak untuk menggunakannya, sebagai
bukti tanggungjawab dan ungkapan syukur kita.
yang lain. Ada satu semboyan yang di gagaskan oleh Sam Ratulangi sebagai mottonya yaitu;
Sitou Timou Tumou Tou artinya manusia hidup untuk menghidupkan orang lain. Kata
menghidupkan memiliki makna mendalam, bahwa sebagai sesama manusia harus saling
memberi hidup, saling membantu bukan saling mencari keuntungan untuk memperkaya diri
apalagi dengan cara menindas orang lain.
Kekayaan adalah berkat Tuhan yang harus di syukuri. Tetapi yang menjadi persoalan sekarang
ialah: Bagaimana cara mengatur dan menata berkat Tuhan, agar itu tidak saja dinikmati oleh
diri sendiri tetapi juga dapat dinikmati oleh orang lain (membagi kekayaan kepada mereka yang
membutuhkan) agar terjadi keseimbangan. Sebagai warga gereja kita dipanggil untuk saling
menolong dan menjadi berkat bagi sesama tentu saja dengan hati yang tulus tidak ada
kepentingan-kepentingan terselubung di dalamnya melainkan membuat orang lain merasa
terbantu dengan pertolongan yang kita berikan. Sebab apa yang kita terima dari Tuhan, tidak
semua dapat kita nikmati sendiri tetapi harus membagi sebagai berkat untuk orang lain. Karena
itu kita harus peka dengan keadaan/lingkungan yang ada di sekitar kita dan kepada sesama
kita. Jika kita mampu menolong/mambantu orang yang membutuhkan kemudian tidak dilakukan
sama saja dengan kita mengambil/mencuri hak orang lain.

Anda mungkin juga menyukai