Anda di halaman 1dari 26

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hidup dimuka bumi ini pasti selalu melakukan yang namanya kegiatan
ekonomi dalam kehidupan sehari-hari. Bertransaksi sana-sini untuk menjalankan
kehidupan dan tanpa kita sadari pula kita melakukan yang namanya Wakalah, Shulhu,
Ju'alah, 'Ariyah dan Rahn.
Makalah ini membahas tentang beberapa masalah bidang muamalah yaitu
Wakalah, Shulhu, Ju'alah, 'Ariyah dan Rahn.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Wakalah, hukumnya, macam-macamnya dan hikmah Wakalah?
2. Apa pengertian Sulhu dan macam-macamnya?
3. Apa pengertian Kafalah dan macam-macamnya?
4. Apa pengertian jualah dan hukumnya?
5. Apa pengertian Ariyah Rahn, dan apa hikmahnya?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Wakalah, hukumnya, macam-macamnya dan juga
hikmahnya.
2. Mengetahui pengertian Sulhu dan macam-macamnya.
3. Mengetahui pengertian Kafalah dan macam-macamnya.
4. Mengetahui pengertian Jualah dan hikumnya.
5. Mengetahui pengertian Ariyah Rahn dan hikmahnya.

BAB II
PEMBAHASAN
A. WAKALAH
1. Definisi Wakalah
Menurut bahasa, kata al-wakalah adalah menjaga dan menyerahkan.
Sedangkan menurut syara adalah penyerahan perkara oleh seorang terhadap
orang lain dalam melaksanakan suatu perbuatan yang dapat diganti untuk
dikerjakan semasa dia masih hidup.1

2. Dalil dan Pensyariatan Wakalah


Wakalah disyariatkan. Allah SWT berfirman,

Maka suruhlah salah seorang di antara kalian pergi ke kota dengan membawa
uang perak kalian ini. (Al-Kahfi: 19)
Dan Allah SWT berfirman,

Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat. (At-Taubah: 60)

Abdul Aziz Mabruk Al-Ahmadi, Abdul Karim bin Shunaitan Al-Amri, Abdullah bin Fahd
Asy-Syarif, Faihan bin Syali Al Muthairi, Fikih Muyassar, (Jakarta: DARUL HAQ, 2015), cet. 1, hlm.
373

Allah SWT membolehkan bekerja dibidang pengurusan zakat, dan hal


tersebut berdasarkan hukum perwaliannya dari orang-orang yang berhak
menerimanya.2
Dari Jabir r.a, dia berkata,
... :

Aku hendak berangkat ke Khaibar, maka Nabi SAW bersabda, Bila kamu
mendatangi wakilku, maka ambillah darinya lima belas wasaq...3
Dari Urwah bin al-Jaad r.a, dia berkata,
. :

Terlihat oleh Nabi barang-barang impor (yang dibawa oleh suatu kafilah
dagang), maka beliau memberiku satu dinar dan bersabda kepadaku,Wahai
Urwah, datanglah pada barang-barang impor tersebut, lalu belilah untukku
seekor kambing.4
Kaum Muslimin ber ijma atas bolehnya wakalah secara umum, karena
hajat mendorong kepadanya, karna tidak mungkin bagi setiap orang untuk
melakukan sendir segala sesuatu yang dibutuhkannya, dimana kebutuhan
menuntut dibolehkannya akad ini.

Abdul Aziz Mabruk Al-Ahmadi, Abdul Karim bin Shunaitan Al-Amri, Abdullah bin Fahd
Asy-Syarif, Faihan bin Syali Al Muthairi, Ibid, hlm. 373.
3
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no 3632 dan ad-Daraquthni, 4/155.
4
Diriwayatkan oleh al-Bukhori, no. 3642.

3. Rukun dan Syarat Wakalah


Rukun wakalah pada dasarnya adalah ijab dan qabul, namun kalau
dirinci maka rukun ini akan meliputi empat unsur penting, yaitu:5
a. Muwakkil (orang yang mewakilkan).
b. Wakil (orang yang mewakili).
c. Muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan).
d. Shighat (lafadz mewakilkan)
Adapun yang menjadi syarat sahnya wakalah sebagai berikut:6
a. Muwakkil (orang yang mewakilkan).
1) Sebagai pemilik barang atau dibawah kekuasaannya dan dapat
bertindak pada harta tersebut. Jika yang mewakilkan bukun pemilik
maka wakalah tersebut tidak sah.
2) Mumayyiz yaitu sudah bisa membedakan baik dan buruk.
b. Wakil (orang yang mewakilkan)
Orang yang berakal. Orang yang idiot, gila atau belum dewasa maka
perwakilannya batal.
c. Muwakkil fih (seuatu yang diwakilkan)
1) Sesuatu yang boleh menurut syara dilakukan oleh setiap orang.
2) Dimiliki oleh yang berwakil itu, maka batal mewakilkan sesuatu yang
akan dimiliki.
d. Shighat (lafadz mewakilkan)
Shighat diucapkan dari yang berwakil sebagai simbol keridhaannya untuk
mewakilkan dan wakil menerimanya.

Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafii Jilid 2, (Jakarta: Penerbit Almahira, 2010), Cet. 1, hlm.

Wahbah Zuhaili, Ibid,, hlm. 206-207.

206.

4. Macam-Macam Wakalah
Wakalah terbagi menjadi, muthlaq dan muqayyad.7
a. Wakalah muqayyad adalah wakalah dimana muwakil membatasi tindakan
wakil dan menentukan cara melaksanakan tindakan tersebut. Misalnya,
Aku wakilkan padamu untuk menjual rumahku ini dengan harga sekian.
b. Wakalah muthlaq adalah wakalah yang terbebas dari setiap batasan.
Misalnya, Aku wakilkan padamu untuk menjual rumahku. Maka wakil
dapat menjualnya dengan harga layak dan tidak terbatas dengan harga
tertentu.
5. Hikmah Wakalah8
a. Dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan cepat sebab tidak semua
orang mempunyai

kemampuan dapat menyelesaikan pekerjaan tertentu

dengan sebaik-baiknya. Misalnya tidak setiap orang yang qurban hewan


dapat menyembelih hewan qurbannya, tidak semua orang dapat belanja
sendiri dan lain-lain.
b. Saling tolong menolong diantara sesama manusia. Sebab semua manusia
membutuhkan bantuan orang lain.
c. Timbulnya saling percaya mempercayai diantara sesama manusia.
Memberikan kuasa pada orang lain merupakan bukti adanya kepercayaan
pada pihak lain.

7
8

Mei 2016.

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara), hlm. 190.
https://azizpwd.wordpress.com/2010/05/31/wakalah-dan-shulhu/. Di akses pada tanggal 22

B. SHULHU
1. Definisi Shulhu
Secara

bahasa,

ash-shulhu

()

perdamaian,

bermakna,

mengharmoniskan dan menghentikan pertikaian. Secara syariat, ash-shulhu


adalah akad (perjanjian) yang digunakan untuk mengakhiri pertikaian diantara
dua pihak.9
Masing masing pihak yang mengadakan perdamaian dalam syariat
Islam diistilahkan dengan mushalih, sedangkan persoalan yang diperselisihkan
disebut mushalih anhu, dan perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak
terhadap pihak yang lain untuk mengakhiri pertikaian/pertengkaran dinamakan
dengan mushalih alaihi.

2. Dalil Pensyariatan Shulhu


Al-Quran, as-sunah, dan ijma telah menunujukan atas disyariatkannya
perdamaian.
Allah berfirman,

Dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).(An-Nisa:128).
Allah SWT juga berfirman,

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka
damaikanlah keduanya.(Al-Hujrat:9)

Abdul Aziz Mabruk Al-Ahmadi, Abdul Karim bin Shunaitan Al-Amri, Abdullah bin Fahd
Asy-Syarif, Faihan bin Syali Al Muthairi, Op. Cit, hlm. 404.

Rasulullah SAW bersabda,


.

Perdamaikanlah diantara kaum Muslimin itu boleh, kecuali perdamaian yang
menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.10
Sungguh umat Islam telah berijma atas disyariatkannya perdamaian
diantara manusia dengan tujuan mencari ridha Allah, kemudian ridha kedua
belah pihak yang bertikai. Jadi akad perdamaian ini telah disyariatkan oleh AlQuran, as-Sunah dan ijma.

3. Rukun dan Syarat Shulhu


Menurut ulama golongan Hanafiyah, rukun shulhu yaitu ijab dan qabul.
Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun shulhu ada empat, yaitu:11
a. Aqid (dua pihak yang saling berdamai)
b. Shighat (ijab dan qabul)
c. Musthalah anhu (kondisi sengketa)
d. Musthalah alaih (objek perdamaian)
Adapun yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian perdamaian dapat
diklasifikasikan kepada:12
a. Menyangkut subjek, yaitu mushalih (pihak-pihak yang mengadakan perjanjian
perdamaian). Tentang subjek atau orang yang melakukan perdamaian haruslah
orang yang cakap bertindak menurut hukum.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 3594; at-Tirmidzi, no. 1352, beliau berkata, Hasan
Shahih; Ibnu Majah, no. 2352; dishahihkan oleh al-Albani dalam shahih Ibnu Majah, no.1905.
11
Isnawati Rais, Fiqih Muamalah dan Aplikasinya Pada LKS (Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, 2011), hlm. 193.
12
Isnawati Rais, Ibid, hlm. 193-194.
10

b. Menyangkut ojek perdamaian (mushalih bihi). Tentang objek perdamaian


harslah memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1) Objek shulhu berupa harta benda (baik berwujud seperti tanah maupun
tidak berwujud seperti hak intelektual)
2) Dapat diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan kesamaran dan
ketidakjelasan yang akhirnya dapat menimbulkan pertikaian baru.
c. Persoalan yang boleh didamaikan (mushalih anhu). Persoalan yang dapat
didamaikan adalah hanyalah sebatas menyangkut hal-hal sebagai berikut:
1) Pertikaian itu berbentuk harta yang dapat dinilai.
2) Pertikain menyangkut hak manusia yang dapat diganti, dengan kata lain
perjanjian perdamaian hanya sebatas persoalan muamalah (hukum
keperdataan). Sedangkan persoalan yang menyangkut hak Allah SWT tidak
dapat dilakukan perdamaian.

4. Macam-Macam Shulhu
Menurut Idris Ahmad dalam bukunya Fiqh Syafiiyah dijelaskan
bahwa shulu terdapat empat macam, yaitu:13
a. Perdamaian antara kaum muslimin dengan masyarakat nonmuslim, yaitu
membuat perjanjian untuk meletakan senjata dalam masa tertentu (gencatan
senjata), secara bebas atau dengan jalan mengganti kerugian yang diatur
dalam undang-undang yang disepakati oleh dua pihak.
b. Perdamaian antara dua penguasa (imam) dengan pemberontak, yakni
membuat perjanjian atau peraturan mengenai keadaan dalam negara yang
harus ditaati.
c. Perdamaian antara suami dan istri dalam sebuah keluarga, yaitu membuat
perjanjian dan aturan-aturan pembagian nafkah, masalah durhaka, serta

13

Isnawati Rais, Ibid, hlm. 195-196.

dalam masalah menyerahkan haknya kepada suaminya manakala terjadi


perselisihan.
d. Perdamaian antara pihak yang melakukan transaksi (perdamaia dalam
muamalat), yaitu membentuk perdamaian dalam masaah yang ada
kaitannya dengan perselisihan-perselihan yang terjadi dalammasalah
muamalat.

C. KAFALAH
1. Definisi Kafalah

Istilah kafalah mempunyai banyak penamaan, diantaranya yaitu: beban,


jaminan dan tanggungan, secara etimologi kafalah berarti menggabungkan atau
monopoli.14
Sedangkan secara terminologi, beberapa ulama mendefinisikan kafalah,
diantaranya yaitu: Ulama golongan Hanafiyah mendefinisikan kafalah dengan
menggabungkan tanggungan atas tanggungan yang lain dalam hal penagihan,
baik dengan jiwa, utang ataupun zat benda. Sedangkan ulama golongan
Malikiyah mendefinisikan kafalah dengan orang yang mempunyai hak
mengerjakan tanggungan pemberi beban serta bebannya sendiri yang disatukan,
baik menanggung pekerjaan yang sesuai (sama) maupun pekerjaan yang
berbeda.15

2. Dalil dan Persyariatan Kafalah

Akad ini disyariatkan berdasarkan al-Quran, as-Sunah, dan ijma. Dalil


dari al-Quran adalah firman Allah SWT,

14
15

Wahbah Zuhaili, Loc. Cit, hlm. 157.


Wahbah Zuhaili, Ibid, hlm. 157.

10

Mereka menjawab, kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan) seberat beban unta.
Dan aku menjamin terhadapnya. (Yusuf: 72)
Maksudnya, Akulah penjamin dan penanggung jawabnya.
Dan firman Allah SWT,

Tanyalah kepada mereka, Siapakah di antara mereka yang bertanggung jawab
terhadapa (keputusan yang diambil itu)? (Al-Qalam: 40).
Maksudnya, pemberi jaminan.
Dalil dari as-Sunah adalah sabda Rasulullah SAW,


Pinjaman itu (wajib) ditunaikan, penjamin adalah pihak penanggung jawab,
dan hutang itu wajib dibayar.16
Para ulama berijma atas dibolehkannya kafalah karena kebutuhan
masyarkat kepadanya dan untuk menepis mudharat dari pihak yang memikul
hutang (debitur).17

3. Rukun dan Syarat Kafalah

Rukun kafalah menurut Abu Hanifah dan Muhammad ada dua, yaitu:
ijab dari pihak penanggung dan qabul dari pihak yang berhutang. Menurut Abu

Maalim as-Sunan, Karya al-Khaththabi (w. 388 H.), 3/177.


Abdul Aziz Mabruk Al-Ahmadi, Abdul Karim bin Shunaitan Al-Amri, Abdullah bin Fahd
Asy-Syarif, Faihan bin Syali Al Muthairi, Op. Cit, hlm. 377.
16
17

11

Yusuf rukun kafalah hanyalah ijab, sedangkan qabul bukan ternasuk rukun
kafalah. Sedangan menurut jumhur ulama rukun kafalah ada empat, yaitu:18
a. Dhamin (pihak penjamin/penanggung)
b. Madhmun (pihak yang berpiutang)
c. Madhmun anhu (pihak yang berhutang)
d. Sighat (ijab)

Adapun syarat dari kafalah yakni:19


a. Kafil (pihak penjamin), yaitu setiap orang yang sudah baligh, berakal, dan
mempunyai kewenanganpenuh dalam melakukan tindakan hukum dalam
urusan hartanya.
b. Makful anhu/ashil (pihak yang berutang), yaitu yang sanggup
menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin dan dikenal oleh
penjamin.
c. Makful lahu (pihak yang berpiutang), yaitu diketahui identitasnya oleh
orang yang menjamin, dapat hadir pada waktu akad atau memberikan
kuasa, dan berakal sehat.
d. Makhful bih (objek jaminan), yaitu tanggungan pihak yang berhutang, baik
berupa uang, benda, maipun pekerjaan.

4. Jenis Kafalah

Kafalah dapat di golongkan menjadi 2 golongan besar yaitu:20


a. Kafalah dengan jiwa, dikenal dengan kafalah bi al-wajhi, yaitu adanya
keharusan pada pihak penjamin (al-kafil, al-dhamin atau al-zaim) untuk

18

Wahbah Zuhaili, Loc. Cit, hlm. 159.


Wahbah Zuhaili, Ibid, hlm. 159.
20
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Grafindo Persada, 2010), hlm. 191-193.
19

12

menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan


tanggungan.
b. Kafalah dengan harta, yaitu kewajiban yang harus ditunaikan oleh dhamin
atau kafil dengan pembayaran (pemenuhan) berupa harta.
Dari kedua golongan besar di atas pada prakteknya dapat dibagi menjadi
beberapa jenis:21
1) Kafalah bin-Nafs, merupakan akad memberikan jaminan atas diri.
Sebagai contoh, dalam praktik perbankan untuk bentuk kafalah bin-nafs
adalah seorang nasabah yang mendapat pembiayaan dengan jaminan
nama baik dan ketokohan seseorang atau pemuka masyarakat.
2) Kafalah bil-Mal: jaminan pembayaran barang atau pelunasan hutang.
Contohnya kasus hadits Rosul riwayat Bukhari di mana

Qatadah

menjamin hutang seorang sahabat.


3) Kafalah

bit-Taslim:

jaminan

yang

diberikan

dalam

rangka

menjamin penyerahan atas barang yang disewa pada saat berakhirnya


masa sewa
4) Kafalah al-Munjazah: jaminan yang diberikan secara mutlak tanpa
adanya pembatasan waktu tertentu.
5) Kafalah Muqayyadah/muallaqah, yaitu kafalah yang dibatasi waktunya,
sebulan, setahun, dsb.

Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani,
2001), Cet. 1, hlm. 124-125.
21

13

D. JUALAH
1. Definisi Jualah
Secara etimologi, jualah adalah upah, hadiah atau komisi.22 Yang berarti
upah atau hadiah yang diberikan kepada seseorang karena orang tersebut
mengerjakan atau melaksanakan suatu pekerjaan tertentu.
Dalam kitab yang lain, Jualah Menurut bahasa ialah istilah yang
digunakan untuk sesuatu yang diberkan kepada seseorang karena telah
melakukan pekerjaan tertentu.23
Jualah menurut syara berarti kesediaan membayar kompensasi yang
besarannya telah diketahui atas pekerjaan yang telah ditentukan atau belum
ditentukan yang sulit dipenuhi.24 Praktiknya seperti pernyataan orang yang
berkewenangan membelanjakan harta secara mutlak. Siapa yang dapat
menjahit kain ini menjadi sepotong kemeja, dia berhak mendapat uang sekian,
Siapa yang hafal al-Quran, dia berhak mendapat uang sekian, Siapa yang
dapat menciptakan alat yang dapat mencegah kemacetan di jalan raya, atau
menemukan obat kanker, dia berhak mendapat uang sekian.

2. Landasan Syariah Akad Jualah


Jualah termasuk akad yang diperbolehkan (mubah) secara syari, hal
ini ditunjukan oleh firman Allah SWT,25

22

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:


Pustaka Progressif, 1997), Edisi kedua, hlm. 196.
23
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafii Jilid 2, Loc. Cit, hlm. 67.
24
Wahbah Zuhaili, Ibid, hlm. 67.
25
Abdul Aziz Mabruk Al-Ahmadi, Abdul Karim bin Shunaitan Al-Amri, Abdullah bin Fahd
Asy-Syarif, Faihan bin Syali Al Muthairi, Op. Cit, hlm. 412.

14

Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan


(seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya. (Yusuf: 72).
dan hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim, dalam kasus orang yang disengat
serangga yang kemudian diruqyah oleh seorang sahabat dengan imbalan
sekawanan kambing (tiga puluh ekor kambing).
Dari Abu Said al-Khudri r.a,





: :



:

:


.
Bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi SAW melewati sebuah kampung dari
kampung-kamoung Arab, lalu mereka meminta jamuan tamu pada mereka,
namun penduduk kampung itu menolak mereka. Lalu tokoh kampung itu
disengat (hewan berbisa), maka mereka berkata kepada para sahabat, Apakah
di antara kalian ada yang bisa meruqyah? Mereka menjawab, Ya ada, tetapi
kami tidak mau melakukan kecuali kalian menetapkan upah bagi kami. Maka
orang-orang kampung itu menetapkan sekawanan domba sebagai upahnya.
Lalu seorang sahabat meruqyahnya dengan al-Fatihah, maka sembuhlah tokoh
tersebut. Maka mereka menyerahkan domba-domba (yang dijanjikan). Lalu
para sahabat berkata, Kami tidak akan mengambilnya sehingga kami bertanya
kepada Rasulullah. Manakala mereka pulang, maka mereka menanyakannya
kepada beliau, maka beliau bersabda, Ambillah domba-domba tersebut dari
mereka, dan berikanlah satu bagian untukku bersama kalian.26

26

Muttafaq alaihi: diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 2276 dan Muslim, no. 2201.

15

Alasan lain bolehnya jualah ialah adanya kebutuhan yang mendesak


untuk menjalankan akad tersebut dalam upaya mencari barang yang hilang dan
sebagainya, yaitu pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh jail (orang yang
mengadakan sayembara) dan tidak ada orang yang bersedia mencarinya secara
Cuma-Cuma.27

3. Rukun dan Syarat Jualah


Rukun jualah ada lima, yaitu shigat, jail (orang yang menyediakan
kompensasi), dan amil (orang yang melakukan pekerjaan), kompensasi yang
jelas, dan pekerjaan meskipun belum diketahui.28
Shighat akad jualah dapat dilakukan berdasarkan keinginan sepihak.
Syaratnya dalam shigat tersebut berisi keterangan pekerjaan yang mesti
dipenuhi dengan nilai kompensasi yang jelas dan sanggup dipenuhi, atas seizin
jail.29
Jail tidak disyaratkan harus pemilik barang yang menjadi objek
jualah. Sementara itu, sebagaimana telah disinggung, perolehan hak atas
kompensasi atau imbalan harus seizin jail.30
Akad jualah untuk melakukan suatu pekerjaan yang jelas maupun yang
tidak jelas seperti mencari barang yang hilang dan melakukan penemuan
inovatif, hukumnya sah karena itu sangat diperlukan. Ketidakjelasan itu bisa
saja terjadi dalam akad qiradh (mudharabah), dan tentunya sangat mungkin
terjadi dalam mencari barang yang hilang (akad jualah). Karena itu,
ketidakjelasan pekerjaan tersebut masih dapat ditoleransi, tidak demikian
halnya dengan ketidakjelasan kompensasi.31

27

Wahbah Zuhaili, Op. Cit, hlm. 68.


Wahbah Zuhaili, Ibid, hlm. 68.
29
Wahbah Zuhaili, Ibid, hlm. 68.
30
Wahbah Zuhaili, Ibid, hlm. 69.
31
Wahbah Zuhaili, Ibid, hlm. 69.
28

16

Besaran kompensasi syaratnya harus diketahui serta mempunyai nilai


jual menurut syari.32
Amil juga tidak disyaratkan harus ditentukan. Jadi seandainya jail
mengatakan, siapa yang dapat melakukan pekerjaan ini, dia berhak
mendapatkan uang sekian, maka setiap orang yang mendengar langsung
pernyataan itu, atau orang lain yang tidak mendengar langsung, atau orang yang
mendapat kabar tentang itu, dan siap melakukannya, maka dia berhak
memperoleh kompensasi.33

E. ARIYAH
1. Definisi Ariyah
Al-Iarah ( )adalah bolehnya memanfaatkan sesuatu dengan tetap
menjaga wujudnya. Sedangkan al-Ariyah ( )adalah barang pinjaman yang
diambil manfaatnya, misalnya seseorang meminjam mobil dari orang lain untuk
keperluan safar kemudian sesudah itu mengembalikannya kepadanya.34
Peminjaman barang (ariyyah) dengan huruf ya terbaca tasydid- dan
terkadang tanpa tasydid (takhfif), ialah sebutan untuk sesuatu yang
dipinjamkan. Akad peminjaman barang, diambil dari kata dasar taawur yang
artinya adalah bergiliran, atau berulang-ulang antara pergi dan datang.
Pinjaman bermakna bergiliran.35
Hakikat peminjaman menurut syara adalah kewenangan pengambilan
manfaat suatu barang secara halal serta wujud barangnya tetap utuh ketika

32

Wahbah Zuhaili, Ibid, hlm. 69.


Wahbah Zuhaili, Ibid, hlm. 70.
34
Abdul Aziz Mabruk Al-Ahmadi, Abdul Karim bin Shunaitan Al-Amri, Abdullah bin Fahd
Asy-Syarif, Faihan bin Syali Al Muthairi, Loc. Cit, hlm. 411.
35
Wahbah Zuhaili, Op. Cit, hlm. 239.
33

17

hendak dikembalikan. Peminjaman adalah pemberian berbagai kemanfaatan


suatu barang.36
2. Dasar Hukum Ariyah
Pinjaman barang merupakan ibadah sunah. Sesuai dengan firman Allah
SWT,


Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.
(Al-Maidah: 2).
Allah SWT juga berfirman,

Dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (Al-Maun: 7).
Maksudnya, sesuatu yang biasa dipinjam oleh tetangga dari sebagian
tetangga lainnya, seperti: bejana, ember, dan lainnya. Sesungguhnya Allah
SWT telah mencela mereka yang enggan meminjamkan, maka hal ini
meninjukkan bahwa ia dianjurkan dan disunnahkan. Shafwan bin Umayyah r.a
meriwayatkan,



Bahwa Nabi SAW meminjam baju perang darinya (Shafwaan) pada perang
Hunain.37
Dari Anas r.a, dia berkata,

36

Wahbah Zuhaili, Ibid, hlm. 239.


Diriwayatkan oleh Ahmad, 4/222 dan Abu Dawud, no. 3563, dan dishahihkan oleh al-Albani
dan Irwa al-Ghalil, no. 1513.
37

18

Bahwa Nabi SAW meminjam seekor kuda dari Abu Thalhah r.a.38

3. Macam-Macam Peminjaman Barang


Peminjaman barang ada dua macam: pertama, bersifat mutlak seperti
memberi makanan; kedua, bersifat terbatas atau dibatasi oleh waku: untuk
mendirikan bangunan atau menanam tanaman. Hukum keduannya adalah boleh
sehingga pihak yang berwenang berhak menentukan kewenangan yang mutlak
atau kewenagan yang dibatasi oleh waktu.39
4. Rukun dan Syarat Ariyah
Ulama golongan Hanafiyah40, berpendapat bahwa rukun ariyah
hanyalah ijab dari muir (orang yang meminjamkan), sedangkan qabul dari
mustair (orang yang menerima pinjaman) bukan merupakan rukun ariyah.
Ulama golongan Syafiiyyah41, berpendapat bahwa dalam ariyah
disyaratkan adanya lafadz Sighat akad, yakni ucapan ijab dan qabul dari
peminjam dan yang meminjamkan milik barang pada waktu transaksi, sebab
memanfaatkan milik barang bergantung pada keadaan waktu izin.
Secara umum, jumhur ulama fiqih (fuqaha) menyatakan bahwa rukun
ariyah ada empat, yaitu:42
a. Muir (orang yang meminjamkan)
b. Mustair (orang yang menerima pinjaman)
c. Muar (barang yang dipinjam)
38

Muttafaq alaihi: diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 2627 dan Muslim, no. 2307.
Wahbah Zuhaili, Op. Cit, hlm. 241.
40
Jamaluddin Abi Muhammad al-Hanafi, Nashb al-Rayah, (Beirut: Dar Ihya al-Turats alArabi, 1987), Jilid IV, hlm. 116.
41
Wahbah Zuhaily, Op. Cit, Juz V, hlm. 55.
42
Syamsuddin Muhammad ibn al-Khatib al-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj ila Marifah Maani
Alfazh al-Minhaj, (Dar al-Fikr, t.t.), Juz II, hlm. 266.
39

19

d. Sighat, yakni sesuatu yang menunjukan kebolehan untuk mengambil


manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Sedangkan syarat ariyah, ulama fiqih mensyaratkan dalam akad
ariyah beberapa persyaratan sebagai berikut:43
a. Muir harus berakal sehat
b. Barang yang dipinjamkan harus berada di tangan peminjam
c. Mustaar (barang pinjaman) bersifat dapat dimanfaatkan tanpa harus
merusak zatnya.
5. Hikmah Ariyah
Adapun hikmah dari Ariyah yaitu:44
a. Bagi peminjam
1) Dapat memenuhi kebutuhan seseorang terhadap manfaat sesuatu yang
belum dimiliki.
2) Adanya kepercayaan terhadap dirinya untuk dapat memanfaatkan
sesuatu yang ia sendiri tidak memilikinya.
b. Bagi yang memberi pinjaman
1) Sebagai manifestasi rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang telah
dianugrahkan kepadanya.
2) Allah akan menambah nikmat kepada orang yang bersyukur.
3) Membantu orang yang membutuhkan.
4) Meringankan penderitaan orang lain.
5) Disenangi sesama serta di akherat terhindar dari ancaman Allah.

43
44

hlm 552.

Wahbah Zuhaily, op. Cit, hlm. 56-57.


Abu Bakar al-Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Bab 5:Muamalah, (Jakarta: Rajagrafindo, 2004),

20

F. RAHN
1. Definisi Rahn
Ar-Rahn ()
adalah menjadikan harta benda sebagi jaminan

pengokoh untuk hutang, untuk dijadikan pembayaran dari harta benda itu atau
dari harganya, apabila yang berhutang (debitur) tidak mampu melunasinya.45
Dalam pengertian yang lain, menurut bahasa, gadai berarti tetap, kekal
atau penahanan. Sedangkan menurut istilah syara, gadai adalah penyerahan
harta benda sebagai jaminan utang, yang hak kepemilikannya bisa diambil alih
ketika sulit menebusnya.46 Dengan demikian, makna gadai dalam pernyataan
fuqaha madzhab Syafii ialah penggadaian barang kepemilikan.

2. Dasar Hukum Rahn


Dasar dalam pensyariatan rahn (penggadaian) adalah firman Alah
SWT,47

Jika kalian dalam perjalanan jauh (dan bermuamalah tidak secara tunai)
sedang kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
jaminan yang dipegang (oleh pihak yang memberi piutang). (Al-Baqarah:
283).
Pembatasan dengan safar (perjalanan jauh) dalam ayat tersebut keluar dari
kebiasaan umum, sehingga tidak bisa dipahami, karena as-Sunnah
menunjukkan bahwa rahn tetap disyariatkan pada saat tinggal (bukan safar).
Dari Aisyah r.a, dia berkata,

45

Abdul Aziz Mabruk Al-Ahmadi, Abdul Karim bin Shunaitan Al-Amri, Abdullah bin Fahd
Asy-Syarif, Faihan bin Syali Al Muthairi, Loc. Cit, hlm. 367.
46
Wahbah Zuhaili, Loc. Cit, hlm. 73.
47
Abdul Aziz Mabruk Al-Ahmadi, Abdul Karim bin Shunaitan Al-Amri, Abdullah bin Fahd
Asy-Syarif, Faihan bin Syali Al Muthairi, Op. Cit, hlm. 368.

21



Bahwa Nabi SAW membeli bahan makanan dari seorang laki-laki Yahudi
(dengan pembayaran ditangguhkan) sampai waktu yang ditentukan, dan beliau
menggadaikan kepadanya sebuah baju besi.
Ijma ulama ahli fiqih sepakat akan diperbolehkannya akad rahn, baik
dalam keadaan hadir (berada ditempat) maupun safar (dalam perjalanan).48

3. Rukun dan Syarat Rahn


Ulama golongan Hanafiyah49 berpendapat bahwa rukun rahn (gadai)
hanya memiliki satu rukun yaitu shigat (pernyataan ijab dari rahn dan kabul dari
murtahin), karena ia pada hakekatnya adalah akad (transaksi).
Mayoritas ulama membagi rukun rahn menjadi empat bagian, yaitu para
pihak pelaku akad gadai, shigat gadai, barang yang digadaikan, dan pinjaman
dalam akad gadai.50
Para fuqaha telah menentukan berbagai macam persyaratan setiap rukun
yang telah disebutkan.
a. Persyaratan Para Pihak Pelaku Akad Gadai
Syarat para pihak yang mengadakan akad gadai, baik pegadai maupun
penggadai ialah harus orang yang cakap dalam bertindak (baligh dan
berakal), atau paling tidak dia tergolong orang yang gemar beribadah sunah
atas inisiatif sendiri, sebagaimana dalam masalah jual beli dan sejenisnya.51
Oleh karena itu, kuasa hukum (ayah atau orang lain) tidak boleh

Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, 1980), Juz IV, hlm. 327.
Alauddin Al-kasani, Bada al-Sannai fi Tartib al-Syara: Syarh Tuhfah al-Fuqaha li alSamarqandi, (Mesir: Syirkah al-Mathbuah), Juz IV, hlm. 135.
50
Wahbah Zuhaili, Op. Cit, hlm. 74.
51
Wahbah Zuhaili, Ibid, hlm. 74.
48
49

22

menggadaikan aset milik anaknya, orang gila, dan orang yang bodoh. Selain
itu, orang-orang tersebut juga tidak boleh menjadi penggadai atas nama
mereka, atau kuasa hukum tidak diperkenankan menggadaikan aset orang
yang sedang dalam proses pencekalan dari pihak terkait.
b. Persyaratan Shigat Gadai
Akad gadai tidak sah seperti akad lainnya, kecuali disertai ijab dan
qabul, atau paling tidak terdapat sesuatu yang menggantikan posisi
keduanya dalam hal jual beli. Sebab, gadai merupakan perjanjian yang
melibatkan harta sehingga perlu dimanifestasikan dalam bentuk pernyataan
tersebut seperti halnya jual beli.52
c. Persyaratan Barang yang Digadaikan
Menurut pendapat yang ashah, barang yang digadaikan harus berupa
barang yang sah untuk diperjualbelikan. Dengan ungkapan lain, segala
sesuatu yag boleh diperjualbelikan, boleh digadaikan.53
d. Persyaratan Pinjaman dalam Akad Gadai
Syarat pinjaman dalam akad gadai adalah berupa utang yang telah
berkekuatan hukum tetap dan mengikat (wajib ditepati). Jadi, akad gadai
tanpa didasari utang yang bersifat demikian adalah tidak sah.54

4. Hikmah Rahn
Manfaat yang dapat diambil oleh bank dari prinsip rahn adalah sebagai
berikut:55
a. Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan
fasilitas pembiayaan yang diberikan bank.

52

Wahbah Zuhaili, Ibid, hlm. 76.


Wahbah Zuhaili, Ibid, hlm. 76.
54
Wahbah Zuhaili, Ibid, hlm. 80.
55
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani,
2001), Cet. 1, hlm. 130.
53

23

b. Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito


bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar
janji karena ada suatu aset atau barang (marhun) yang dipegang oleh bank.
c. Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, sudah barang tentu akan
sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana, terutama di daerahdaerah

24

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Wakalah adalah penyerahan perkara oleh seorang terhadap orang lain dalam
melaksanakan suatu perbuatan yang dapat diganti untuk dikerjakan semasa dia
masih hidup.
2. Shulhu adalah akad (perjanjian) yang digunakan untuk mengakhiri pertikaian
diantara dua pihak.
3. Kafalah adalah menggabungkan tanggungan atas tanggungan yang lain dalam
hal penagihan, baik dengan jiwa, utang ataupun zat benda.
4. Jualah berarti kesediaan membayar kompensasi yang besarannya telah
diketahui atas pekerjaan yang telah ditentukan atau belum ditentukan yang sulit
dipenuhi.
5. Ariyah adalah kewenangan pengambilan manfaat suatu barang secara halal
serta wujud barangnya tetap utuh ketika hendak dikembalikan. Peminjaman
adalah pemberian berbagai kemanfaatan suatu barang.
6. Rahn adalah menjadikan harta benda sebagi jaminan pengokoh untuk hutang,
untuk dijadikan pembayaran dari harta benda itu atau dari harganya, apabila
yang berhutang (debitur) tidak mampu melunasinya.

B. Kritik dan Saran


Kami sebagai pemakalah meminta maaf apabila dalam peyusunan makalah ini
masih banyak kesalahan dan ketidak jelasan sehingga membuat para pembaca tidak
memahaminya. Maka dari itu kami berharap adanya kritik dan saran yang membangun
untuk dijadikan acuan dan pembelajaran untuk kami dalam penyusunan makalah
selanjutnya.

24

25

Kami berharap pembaca tidak hanya terpaku kepada makalah yang kami buat
ini untuk dijadikan sumber, pembaca dapat mencari sumber lain yang lebih jelas dan
lengkap dalam penjelasan dan pemahamannya. Dengan segala kekurangan yang
terdapat dalam makalah ini mudah-mudahan ada sedikit ilmu dan pengetahuan baru
yang dapat diambil oleh pembaca dari makalah ini.

26

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ahmadi, Abdul Aziz Mabruk. Dkk. 2015. Fikih Muyassar. Cetakan ke-1. Jakarta:
DARUL HAQ.
Al-Hanafi, Amaluddin Abi Muhammad. 1987. Nashb al-Rayah Jilid IV. Beirut: Dar
Ihya al-Turats al-Arabi.
Al-Jazairi, Abu Bakar. 2004. Ensiklopedia Muslim, Bab 5: Muamalah. Jakarta:
Rajagrafindo.
Antonio, Muhammad Syafii. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Cetakan ke1. Jakarta: Gema Insani.
Ibnu Qudamah. 1980. Al-Mughni Juz IV. Beirut: Dar al-Kitab al-Araby.
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap.
Edisi Kedua. Surabaya: Pustaka Progressif.
Rais, Isnawati. 2011. Fiqih Muamalah dan Aplikasinya Pada LKS. Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatulah Jakarta.
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah. Jakarta: Pena Pundi Aksara.
Suhendi, Hendi. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: Grafindo Persada.
Zuhaili, Wahbah. 2010. Fiqih Imam Syafii Jilid 2. Cetakan ke-1. Jakarta: Penerbit
Almahira.
_____________ . 2010. Fiqih Imam Syafii Jilid 5. Cetakan ke-1. Jakarta: Penerbit
Almahira.
Al-kasani, Alauddin. Bada al-Sannai fi Tartib al-Syara: Syarh Tuhfah al-Fuqaha li
al-Samarqandi Juz IV. Mesir: Syirkah al-Mathbuah.

26

Anda mungkin juga menyukai