Anda di halaman 1dari 14

MASTERY LEARNING: TEORI DAN PRAKTIS

Oleh:
RIDHWAN M DAUD1

Abstrak

Model pembelajaran mastery learning (pembelajaran tuntas) pertama sekali dikemukakan oleh
Washburn dan H. C. Marison pada tahun 1930 an. Model pembelajaran ini memungkinkan
semua siswa dapat mencapai hampir seluruh tujuan pembelajaran. Untuk dapat mencapai
tujuan seperti ini, penggunaan daya dukung pembelajaran yang dapat meningkatkan motivasi
siswa dan alokasi waktu yang cukup dalam belajar sangat penting. Central pembelajaran
dalam pembelajaran model mastery learning adalah terletak pada siswa, sedangkan dalam
model pebelajaran konvensional terletak pada guru. Oleh karena materi selanjutnya diberikan
setelah materi sebelumnya tuntas. Hal ini merupakan perbedaan yang sangat tajam antara
kedua model pembelajaran itu. Meskipun demikian guru harus mampu memfungsikan
perannya sebagai fasilitator yang sangat baik dalam mengelola pembelajaran. Jika suatu
pembelajaran tidak tuntas maka kesalahan ditimpakan kepada guru bukan kepada siswa. Hal
ini karena guru tidak mampu memotivasi dan menfasilitasi siswa dalam belajar. Dalam
evaluasi hasil pembelajaran, model pembelajaran ini menganut model Penilaian Acuan
Patokan (PAP). Siswa dituntut untuk mencapai tingkat yang telah ditetapkan oleh lembaganya.

Kata Kunci: Model Pembelajaran, Pembelajan Tuntas

Ridhwan M Daud adalah dosen tetap Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry Banda Aceh

I.

PENDAHULUAN
Jika dilihat dari segi sejarah konsep belajar tuntas atau mastery learning berasal dari

Washburn dan H. C. Marison pada tahun 1930an. Mereka mengembangkan suatu sistem
pembelajaran yang memungkinkan semua siswa dapat mencapai sejumlah tujuan pendidikan. 2
Konsep ini kemudian dikembangkan oleh John B. Carrol tahun 1963 berdasarkan
penemuannya mengenai model belajar Model of Schooling Learning. Model ini
menguraikan faktor-faktor pokok yang mempengaruhi keberhasilan belajar siswa, seperti
bakat dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suatu tingkat pencapaian. 3
Selanjutnya ide ini dikembangkan oleh Benyamin S. Bloom (1968-1971) di
Universitas Chicago secara lebih operasional sehingga ia digelar sebagai tokoh utama konsep
belajar tuntas. Ia mengatakan apabila bakat siswa terdistribusi secara normal dan kepada
mereka diberikan cara penyajian dengan kualitas yang sama dan waktu belajar yang sama,
maka hasil belajar akan terdistribusikan secara normal pula. Korelasi antara bakat dengan hasil
yang dicapai sangat tinggi.4 Kemudian ide ini dikembangkan lagi oleh James H. Block pada
tahun 1971 dengan cara memperpendek waktu belajar tetapi meningkatkan kualitas proses
pembelajaran.5
Pendekatan pembelajaran tuntas (mastery learning) adalah salah satu usaha dalam
pendidikan yang bertujuan untuk memotivasi peserta didik mencapai penguasaan (mastery
level) terhadap kompetensi tertentu. Pembelajaran tuntas merupakan salah satu prinsip utama
dalam mendukung pelaksanaan kurikulum di sekolah. Oleh karena itu pembelajaran tuntas
merupakan suatu alternatif strategi pembelajaran yang harus dipahami dan dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya oleh seluruh lembaga pendidikan.6
Suatu pendekatan pembelajaran adalah suatu cara untuk mempermudah peserta didik
mencapai kompetensi tertentu. Hal ini berlaku baik bagi guru (dalam pemilihan metode
mengajar) maupun bagi peserta didik (dalam memilih strategi belajar). Dengan demikian
makin baik pendekatan, makin efektif pencapaian tujuan belajar.7
2

. B. Suryo Subroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Jakarta, Rineka Cipta, 1997, hal. 96.
. B. Suryo Subroto, Proses Belajar,hal. 96
4
. B. Suryo Subroto, Proses Belajar,hal. 96
5
. B. Suryo Subroto, Proses Belajar,hal. 96
6
. http://sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/belajartuntasbybasuki.pdf. Diakses tgl. 13 November 2012.
7
. Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, Cet. I.
2009, hal. 209.
3

Pembelajaran tuntas dalam proses pembelajaran adalah pendekatan pembelajaran yang


menetapkan peserta didik akan mampu menguasai secara tuntas seluruh standar kompetensi
maupun kompetensi dasar mata pelajaran tertentu jika diajarkan sesuai dengan sistematis dan
terstruktur sesuai dengan kriteria anak itu sendiri maka ia akan dapat menguasai sepenuhnya
bahan yang disajikan kepadanya.8
Dasar pemikiran yang paling sederhana dikemukakan bahwa jika setiap peserta didik
diberikan waktu dan pelayanan (treatment) sesuai dengan yang diperlukan untuk mencapai
suatu tingkat penguasaan, maka peserta didik akan mencapai tingkat penguasaan kompetensi.
Tetapi jika peserta didik tidak diberi pelayanan yang cukup maka tingkat penguasaan
kompetensi peserta didik tersebut tidak dapat optimal. Hal ini karena tingkat penguasaan
kompetensi (degree of learning) ditentukan oleh seberapa banyak waktu yang benar-benar
digunakan (time actually spent) untuk belajar dibagi dengan waktu yang diperlukan (time
needed) untuk menguasai kompetensi tertentu. Oleh karena itu guru harus mempertimbangkan
antara waktu yang diperlukan (berdasarkan karakteristik siswa) dan waktu yang tersedia. 9
Seorang siswa yang memiliki bakat tertentu dan kepadanya diberi kesempatan dan
layanan belajar yang sesuai dengan kebutuhannya maka dapat dipastikan siswa tersebut dapat
mencapai penguasaan yang telah ditetapkan.
Di negara berkembang dewasa ini rendahnya pemahaman atau kemampuan siswa
merupakan hal kerap terjadi dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu sekolah atau guru
berusaha untuk menemukan berbagai macam strategi, pendekatan dan metode yang dapat
memperkecil angka rendahnya pemahaman tersebut. Salah satu penyebab terjadinya hal ini
adalah karena dalam proses pembelajaran masih terlalu didominasi oleh peran guru (teacher
centered). Guru lebih banyak menempatkan peserta didik sebagai objek dan bukan sebagai
subjek didik.

. Yamin, Martinis, Paradigma Pendidikan Konstruktivistik Implementasi KTSP & UUD No. 15 Tahun 2005
Tentang Guru dan Dosen Jakarta, Gaung Persada Press, 2008, hal. 215.
9
. Student Attitudes and Willingness to Spend Time in Unit Mastery Learning. Herbert W. Sanderson, Research
in the Teaching of English Vol. 10, No. 2 (Fall, 1976), pp. 191-198. Published by: National Council of
Teachers of English. Lihat juga Thomas R. Guskey and Sally L. Gates, Synthesis of Research on the Effect of
Mastery Learning in Elementary and Secondary Classrooms. Copyright @ 1986 by the Association for
Supervision and Curriculum Development. All Rights Reserved. Diekses melalui internet tgl. 14 November
2012.

Pendidikan seperti ini kurang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mengembangkan kemampuan berpikir secara holistik, kreatif, objektif, dan logis. Mereka
belum menggunakan quantum teaching dan quantum learning sebagai salah satu pendekatan
dalam pembelajaran, serta kurang memperhatikan ketuntasan belajar secara individual maupun
secara klasikal. Akibatnya, banyak peserta didik yang tidak menguasai materi pembelajaran
meskipun sudah dinyatakan tamat dari sekolah. Oleh karena itu mutu pendidikan secara
nasional masih rendah. Kuantum learning adalah salah satu pendekatan yang sangat
dianjurkan dalam mastery learning.10
Untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan, guru perlu memiliki beberapa prinsip
mengajar dalam merancang strategi dan melaksanakan pembelajaran yang mengacu pada
peningkatan kemampuan internal peserta didik. Peningkatan potensi internal itu misalnya
dengan menerapkan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik mampu
mencapai ketuntasan maksimal dan kontekstual. Dengan demikian inti permasalahan
rendahnya mutu pendidikan adalah pada ketuntasan belajar yaitu pencapaian kriteria
ketuntasan minimal (KKM) yang telah ditetapkan bagi setiap kompetensi secara individual
belum tercapai.

II.

Pengertian Mastery Learning (pembelajaran tuntas)


Belajar tuntas adalah suatu sistem belajar yang menginginkan sebagian besar peserta
didik dapat menguasai tujuan pembelajaran secara tuntas. Pendekatan ini diharapkan dapat
mempertinggi nilai rata-rata siswa dengan memberikan kualitas pembelajaran yang lebih
sesuai dan memberikan perhatian khusus bagi siswa-siswa yang lambat agar menguasai
standar kompetensi dan kompetensi dasar.11
Pembelajaran tuntas adalah pola pembelajaran yang menggunakan prinsip ketuntasan
secara individual agar kegagalan peserta didik dalam belajar dapat dikurangi. Strategi belajar
tuntas menganut pendekatan klasikal tetapi sangat memperhatikan individual. Dalam proses
pembelajaran, meskipun kegiatan belajar ditujukan kepada sekelompok peserta didik
10

. Penjelasan: Ini hanya pemahaman penulis, karena dalam konsep mastery learning, proses pembelajaran
berpihak kepada anak didik. Oleh karena itu guru harus mampu menggunakan segala cara belajar yang sesuai
dengan kriteria anak. Dan quantum teaching dan quantum learning adalah cara pembelajaran yang dipandang
sangat berpihak kepada anak.
11
. Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP,) Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2007, h . 327.

(klasikal), tetapi tetap mengakui dan melayani perbedaan individual peserta didik dengan
sebaik

baiknya.

Dengan

demikian

penerapan

pembelajaran

tuntas

memungkinkan

berkembangnya potensi masing-masing peserta didik secara optimal. Dasar pemikiran dari
belajar tuntas dengan pendekatan individual ialah adanya pengakuan terhadap perbedaan
individual masing-masing peserta didik.12
Untuk merealisasikan pengakuan dan pelayanan terhadap perbedaan individu,
pembelajaran juga dapat menggunakan strategi pembelajaran yang berasaskan maju
berkelanjutan (continuous progress). Untuk itu, pendekatan sistem yang merupakan salah satu
prinsip dasar dalam pembelajaran harus benar-benar dapat diimplementasikan. Salah satu
caranya adalah standar kompetensi dan kompetensi dasar harus dinyatakan secara jelas, dan
pembelajaran dipecah-pecah ke dalam satuan-satuan (unit). Peserta didik belajar selangkah
demi selangkah dan boleh mempelajari kompetensi dasar berikutnya setelah menguasai
sejumlah kompetensi dasar yang ditetapkan menurut kriteria tertentu. 13
Dalam pola ini, seorang peserta didik yang mempelajari unit satuan pembelajaran
tertentu dapat berpindah ke unit satuan pembelajaran berikutnya jika peserta didik (individu)
yang bersangkutan telah menguasai sekurang-kurangnya 75% dari kompetensi dasar yang
ditetapkan atau sesuai dengan KKM yang disepakati. Sedangkan pembelajaran konvensional
dalam kaitan ini diartikan sebagai pembelajaran dalam konteks klasikal yang sudah terbiasa
dilakukan, sifatnya berpusat pada guru, sehingga pelaksanaannya kurang memperhatikan
keseluruhan situasi belajar (tidak tuntas).
1. Prinsip Belajar Tuntas
Pada dasarnya belajar tuntas akan menciptakan siswa memiliki kemampuan dan
mengembangkan potensi yang dimilikinya, mengecilkan perbedaan antara anak cerdas dengan
anak yang tidak cerdas. Belajar tuntas menciptakan siswa dapat mencapai tujuan
pembelajaran, sehingga di dalam kelas tidak terjadi anak cerdas akan mencapai semua tujuan

12

. Thomas R. Guskey and Sally L. Gates, Synthesis of Research on the Effect of Mastery Learning in Elementary
and Secondary Classrooms. Copyright @ 1986 by the Association for Supervision and Curriculum
Development. All Rights Reserved. Diekses melalui internet tgl. 14 November 2012.
13
. B. Suryo Subroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Jakarta, Rineka Cipta, 1997, hal. 123.

pembelajaran, sedangkan anak yang kurang cerdas mencapai sebagian tujuan pembelajaran
atau tidak mencapai sama sekali tujuan pembelajaran.14
Biasanya siswa yang berbakat tinggi memerlukan waktu yang relatif sedikit untuk
mencapai taraf penguasaan bahan dibandingkan dengan siswa yang memiliki bakat rendah.
Siswa dapat mencapai penguasaan penuh terhadap bahan yang disajikan, bila kualitas
pengajaran dan kesempatan waktu belajar disusun sesuai dengan kebutuhan masing-masing
siswa.15
Secara psikologi perilaku atau kemampuan intelektual anak memiliki karakteristik yang
berbeda

dalam

kecepatan

mengingat,

memahami,

mengaplikasikan,

menganalisis,

mengevaluasi dan lain-lain. Oleh karena itu seorang siswa yang tidak mencapai tingkat
keberhasilan yang telah ditetapkan adalah karena tidak disediakan jumlah waktu yang cukup
sesuai dengan kebutuhannya atau karena waktu yang disediakan sebenarnya sudah cukup
tetapi tidak digunakan dengan sungguh-sungguh.16
Dengan demikian, tingkat penguasaan dalam belajar bergantung dengan jumlah waktu
yang disediakan, misalnya bila seseorang hanya belajar dengan sungguh-sungguh selama 2
jam, padahal disediakan jumlah waktu 3 jam, maka tingkat penguasaan atau tingkat
keberhasilan hanya mencapai sekitar 70% dari target yang ditetapkan. Pencapaian target
pembelajaran selain bergantung kepada ketersediaan waktu, kecepatan belajar siswa juga
ditentukan oleh kualitas pengajaran dan kemahiran siswa untuk memahami suatu materi.
Dalam penelitian psikologi pendidikan ditemukan bahwa:
1). Ketekunan belajar erat kaitannya dengan dorongan yang timbul dalam diri siswa untuk
belajar (juga dapat dipengaruhi oleh strategi pembelajaran). 17
2). Kualitas pembelajaran merupakan keadaan yang mendorong siswa untuk aktif belajar dan
mempertahankan kondisinya agar tetap dalam keadaan siap menerima pelajaran. Kualitas
pembelajaran juga ditentukan oleh kualitas penyajian, dan pengaturan kegiatan
pembelajaran (Strategi Pembelajaran).18
14

. Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Cet.
III, 2005, hal. 190.
15
. Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi, hal. 190.
16
. B. Suryo Subroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Jakarta, Rineka Cipta, 1997, hal. 100.
17
. Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, Cet.
I. 2009, hal. 209.
18
.Abuddin Nata, Perspektif Islam, hal. 209.

3). Waktu yang tersedia atau cukup untuk belajar dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran
yang ditetapkan dalam suatu mata pelajaran atau pokok bahasan akan membantu
pemcapaian tujuan yang ditetapkan.19

3. Perbedaan antara pembelajaran tuntas dengan pembelajaran konvensional


Perbedaan antara pembelajaran tuntas dengan pembelajaran konvensional (tidak
tuntas) adalah pembelajaran tuntas dilakukan melalui asas-asas ketuntasan belajar, sedangkan
pembelajaran konvensional pada umumnya kurang memperhatikan ketuntasan belajar
khususnya ketuntasan peserta didik secara individual. Secara kualitatif perbandingan ke dua
pola tersebut dapat dicermati pada Tabel berikut:
Tabel 1: Perbandingan Kualitatif antara Pembelajaran Tuntas dengan Pembelajaran
Konvensional20
A. PERSIAPAN
Pembelajaran Tuntas

Pembelajaran Konvensional
Tingkat ketuntasan

Diukur dari performance peserta didik

Setiap peserta didik harus mencapai nilai

(individu) dalam setiap unit (satuan

75 diukur dari performance peserta didik

kompetensi atau kemampuan dasar) sudah

yang dilakukan secara acak (klasikal).

mencapai 75 %.
Satuan Acara Pembelajaran
Dibuat untuk satu minggu pembelajaran,

Dibuat untuk satu minggu pembelajaran,

dan dipakai sebagai pedoman guru serta

dan hanya dipakai sebagai pedoman guru.

diberikan kepada peserta didik.


Pandangan terhadap kemampuan peserta didik
Kemampuan hampir sama, namun tetap

Kemampuan peserta didik dianggap sama.

ada variasi.
B. Pelaksanaan pembelajaran
1. Bentuk pembelajaran
19
20

. B. Suryo Subroto, Proses Belajar Mengajar hal 100.


. Disadur dari Depdiknas, Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Tuntas (Mastery Learning), Jakarta:
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Direktorat Pembinaan Sekolah, 2008.

Dilaksanakan melalui pendekatan klasikal,

Dilaksanakan sepenuhnya melalui

kelompok dan individual.

pendekatan klasikal.
2. Cara pembelajaran

Pembelajaran dilakukan melalui penjelasan Dilakukan melalui mendengarkan


guru (lecture), membaca secara mandiri

(lecture), tanya jawab, dan membaca

dan terkontrol, berdiskusi, dan belajar

(tidak terkontrol).

secara individual.
3. Orientasi pembelajaran
Pada terminal performance peserta didik

Pada bahan pembelajaran.

(kompetensi atau kemampuan dasar)


secara individual.
4. Peranan guru
Sebagai pengelola pembelajaran untuk

Sebagai pengelola pembelajaran untuk

memenuhi kebutuhan peserta didik secara

memenuhi kebutuhan seluruh peserta

individual.

didik dalam kelas.


5. Fokus kegiatan pembelajaran

Ditujukan kepada masing-masing peserta

Ditujukan kepada peserta didik dengan

didik secara individual.

kemampuan menengah.

6. Penentuan keputusan mengenai satuan pembelajaran


Ditentukan oleh peserta didik dengan

Ditentukan sepenuhnya oleh guru.

bantuan guru.
C. Umpan Balik/
1. Instrumen umpan balik
Menggunakan berbagai jenis serta bentuk

Lebih mengandalkan pada penggunaan

tagihan secara berkelanjutan.

tes objektif untuk penggalan waktu


tertentu.

2. Cara membantu peserta didik


Menggunakan sistem tutor dalam diskusi

Dilakukan oleh guru dalam bentuk tanya

kelompok (small-group learning activities)

jawab secara klasikal.

dan tutor yang dilakukan secara individual.


8

4. Strategi Belajar Tuntas


Belajar tuntas jika dilakukan dalam kondisi yang tepat dan semua siswa mampu belajar
dengan baik akan memperoleh hasil yang maksimal terhadap seluruh materi yang dipelajari.
Agar semua siswa dapat mencapai ketuntasan belajar, maka pembelajaran harus dilaksanakan
dengan sistematis dan berpihak pada kriteria anak. Sistematika ini akan tercermin dari strategi
pembelajaran yang dilaksanakan terutama dalam mengorganisir tujuan dan bahan belajar,
melaksanakan evaluasi dan memberi bimbingan terhadap peserta didik yang gagal mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa penerapan strategi ini berkaitan dengan:21 1).
Bagaimana cara mengenal kemampuan awal siswa (entry behavior) sebelum berlangsungnya
proses pembelajaran; 2). Bagaimana memilih metode yang efektif; 3). Bagaimana memilih
alat pelajaran yang relevan; dan 4). Bagaimana melakukan pengendalian waktu. Agar proses
pembelajarannya terstruktur, menurut Winkel hal yang harus diperhatikan adalah:22
1). Tujuan-tujuan pembelajaran yang harus dicapai harus ditetapkan secara tegas. Semua
tujuan dirangkaikan dan materi pelajaran dibagi-bagi atas unit-unit pelajaran yang
diurutkan, sesuai dengan rangkaian segala tujuan pembelajaran.
2). Sebuah tujuan pembelajaran harus tercapai lebih dahulu sebelum siswa melanjutkan ke
materi yang lain dan seterusnya. Dengan kata lain materi berikutnya tidak dimulai sebelum
materi yang sebelumnya dikuasai. Sistem belajar seperti ini menekankan pada penguasaan
(mastery).
3). Motivasi belajar siswa dan efektivitasnya dapat ditingkatkan dengan memonitor proses
belajar siswa melalui testing berkala dan kontinyu, serta memberikan umpan balik kepada
siswa yang berhasil dan yang gagal.
4). Diberikan bantuan kepada siswa yang masih mengalami kesulitan pada saat-saat yang
tepat, yaitu sesudah dilakukan test formatif dan dengan cara yang efektif untuk siswa
bersangkutan.

21

. Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Cet.
III, hal. 190-192.
22
. Winkel, W S. Psikologi Sosial, Jakarta, Gramedia Widiasarana, 1996, hal. 415.

Strategi pembelajaran tuntas menurut Benyamin S. Bloom:23


1) Mengidentifikasi pra-kondisi,
2) Mengembangkan prosedur operasional dan hasil belajar,
3) Mengimplementasikan dalam pembelajaran klasikal dengan menggunakan
metode yang sesuai dengan kemampuan individual yang meliputi:
a. Program remedial terhadap tujuan yang gagal dicapai oleh siswa, dengan
prosedur dan metode yang berbeda dari sebelumnya,
b. Memberikan tambahan waktu kepada siswa yang membutuhkan (belum
menguasai bahan ajar secara tuntas).
Pendekatan pembelajaran yang sangat ditekankan dalam pembelajaran tuntas adalah
pendekatan pembelajaran individual, pembelajaran dengan teman atau sejawat (Peer
Instruction), dan bekerja dalam kelompok kecil. Berbagai jenis metode (multi metode)
pembelajaran dapat digunakan untuk kelas atau kelompok.
Di sisi lain pembelajaran tuntas sangat mengandalkan pada pendekatan tutorial dengan
kelompok-kelompok kecil, tutorial orang perorang, pembelajaran terprogram, buku-buku
kerja, permainan dan pembelajaran berbasis komputer.

5. Prosedur Pelaksanaan Belajar Tuntas


Jika dipahami uraian-uraian Benyamin S. Bloom tentang prosedur belajar tuntas yakni
tingkat keberhasilan atau penguasaan siswa dapat dicapai kalau proses pembelajaran yang
dilakukan secara klasikal memiliki kualitas yang tinggi dan berbagai tindakan remedial atau
korektif terhadap siswa yang mengalami kesulitan dilakukan dengan tepat. Dengan demikian
kalau sebagian besar siswa di sebuah kelas kurang mencapai taraf penguasaan yang
ditentukan, maka kesalahan dilimpahkan pada tenaga pengajar (guru), bukan pada siswa. Hal
ini karena guru-harus benar-benar dapat membuat langkah-langkah pembelajaran yang sangat
tepat. Kalau ada siswa yang tidak dapat mencapai ketuntasan berarti itu kesalahan guru. 24

23

. Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, Jakarta, PT Renika Cipta, Cet. IV, 2003, hal. 222-223. Lihat juga
Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, Jakarta, Dep. DIKBUD & PT Rineka
Cipta, Cet. I, 1999, hal. 19.
24
. Ini adalah pemahaman penulis setelah memahami konsep pembelajaran tuntas.

10

Untuk mengatasi kesalahan yang dilimpahkan kepada guru secara operasional Bloom
menyajikan langkah langkah sebagai berikut:25
1). Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran yang harus dicapai, baik yang bersifat umum
maupun yang khusus.
2). Menjabarkan materi pelajaran atas sejumlah unit pelajaran yang dirangkaikan, yang
masing-masing dapat diselesaikan dalam waktu yang ditetapkan (umpamanya tiga hari atau
satu Minggu)
3). Memberikan pelajaran secara klasikal harus sesuai dengan unit pelajaran yang sedang
dipelajari.
4). Memberikan tes kepada siswa pada akhir setiap unit pelajaran. Hal ini dilakukan untuk
mengecek kemajuan masing-masing siswa dalam menguasai materi pelajaran. Tes formatif
harus dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa. Dalam tes formatif ini
diterapkan norma yang tetap, misalnya minimal 85% dari jumlah pertanyaan dapat dijawab
atau sesuai dengan KKM yang disepakati.
5). siswa yang belum mencapai tingkat penguasaan diberikan pertolongan khusus, misalnya
bantuan dari seorang teman yang bertindak sebagai tutor, mendapat pengajaran dalam
kelompok kecil, disuruh mempelajari buku pelajaran lain atau mengambil unit pelajaran
yang telah diprogramkan.
6). Setelah semua siswa mencapai tingkat penguasaan pada suatu unit pelajaran, barulah
dimulai pelajaran berikutnya. Menurut Bloom jika sebagian besar (90%) siswa sudah
berhasil, maka itu sudah berhasil. Tingkat penguasaan untuk setiap unit pelajaran, tidak
harus sama dengan tingkat penguasaan untuk seluruh rangkaian unit pelajaran, dan keduaduanya tidak dituntut sempurna atau 100% berhasil, tetapi minimal 85% dari seluruh
pertanyaan.
7). Bagi siswa yang tidak mencapai KKM perlu dibuat program remedial26 dan bagi yang
sangat berhasil dapat diberikan pengayaan (menambah topik baru atau memperdalam topik
yang lama).

25
26

. B. Suryo Subroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Jakarta, Rineka Cipta, 1997, hal. 102-110.
. Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, Jakarta, Dep. DIKBUD & PT Rineka
Cipta, Cet. I, 1999, hal. 19.

11

6. Peran Guru
Dalam proses pembelajaran, pembelajaran tuntas menekankan pada peran atau
tanggung jawab guru dalam mendorong keberhasilan peserta didik secara individual. Guru
memegang peranan sangat penting dalam pelaksanaan proses pembelajaran fungsi guru bukan
penguasa tunggal di kelas tetapi ia hanya berperan sebagai pengelola proses pembelajaran di
kelas.27 Mengingat siswa memiliki perbedaan tertentu, maka pendekatan Contextual Teaching
and Learning (CTL) yang lebih menekankan pada interaksi antara peserta didik dengan materi
atau objek belajar dapat digunakan.28
Guru harus intensif dalam hal-hal berikut:29
a.

Menjabarkan KD (Kompetensi Dasar) ke dalam indikator yang lebih khusus.

b.

Menyajikan materi pembelajaran dengan metode yang bervariasi

c.

Memonitor seluruh pekerjaan siswa

d.

Menilai perkembangan siswa dalam pencapaian kompetensi (kognitif, psikomotor, dan


afektif)

e.

Menggunakan teknik diagnostik kesulitan belajar

f.

Menyediakan sejumlah alternatif strategi pembelajaran bagi peserta didik yang


mengalami kesulitan.

7. Peran Peserta didik


Sebagaimana diklasifikasikan di dalam tabel di atas fokus program pembelajaran
dalam konsep mastery learning bukan pada guru melainkan pada siswa. Oleh karena itu,
pembelajaran tuntas memungkinkan siswa lebih leluasa dalam menentukan jumlah waktu
(jam) belajar yang diperlukan. Siswa diberi kebebasan dalam menetapkan kecepatan
pencapaian kompetensinya. Kemajuan peserta didik sangat bertumpu pada usaha serta
ketekunan siswa secara individual. Oleh karena itu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(School Based Curriculum) yang sangat menjunjung tinggi dan menempatkan peran siswa

27

. B. Suryo Subroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Jakarta, Rineka Cipta, 1997, hal. 121.
. Ini adalah pemahaman penulis, karena mastery learning selalu berupaya agar anak didik tuntas dalam belajar.
Oleh karena itu guru harus membawa suatu objek ke dalam kelas (anak didik) atau membawa anak didik ke
suatu objek.
29
. B. Suryo Subroto, Proses Belajar ,hal. 102-110.
28

12

sebagai subjek didik (child centered) dalam proses pembelajaran sangat tepat digunakan
dalam mastery learning.

8. Evaluasi
Patokan tingkat keberhasilan belajar dalam mastery learning ditentukan oleh guru
(Penilaian Acuan patokan).30 Misalnya siswa harus mencapai nilai 75, 65, 55 atau berapa nilai
yang diperoleh oleh seorang siswa dinyatakan tuntas. Sedangkan teknik, bentuk dan
instrumennya penilaiannya dapat digunakan sebagaimana biasanya.

C. Kesimpulan
Teori belajar tuntas (Mastery Learning Theory) merupakan salah satu usaha dalam
pembaharuan pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan motivasi serta usaha belajar
siswa agar siswa dapat mencapai tingkat ketuntasan (Mastery Level). Belajar tuntas (Mastery
Learning) adalah proses belajar mengajar yang bertujuan agar bahan ajaran dikuasai secara
tuntas, artinya dikuasai sepenuhnya oleh siswa. Dengan sistem belajar tuntas diharapkan
program belajar mengajar dapat dilaksanakan sedemikian rupa agar tujuan instruksional yang
hendak dicapai dapat diperoleh secara optimal sehingga proses belajar mengajar lebih efektif
dan efisien.

30

. http://en.wikipedia.org/wiki/Mastery_learning. Diekses tgl. 14 November 2012.

13

Referensi

Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, Jakarta, Kencana


Prenada Media Group, Cet. I. 2009.
http://en.wikipedia.org/wiki/Mastery_learning. Diekses tgl. 14 November 2012.
http://sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/belajartuntasbybasuki.pdf. Diakses tgl. 13
November 2012.
Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP,) Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, Jakarta, Dep.
DIKBUD & PT Rineka Cipta, Cet. I, 1999.
Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi

Proses Pendidikan, Bandung, PT

Remaja Rosdakarya, Cet. III, 2005.


Student Attitudes and Willingness to Spend Time in Unit Mastery Learning. Herbert W.
Sanderson, Research in the Teaching of English Vol. 10, No. 2 (Fall, 1976), pp. 191-198.
Published by: National Council of Teachers of English.
Suryo Subroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Jakarta, Rineka Cipta, 1997.
Thomas R. Guskey and Sally L. Gates, Synthesis of Research on the Effect of Mastery
Learning in Elementary and Secondary Classrooms. Copyright @ 1986 by the Association for
Supervision and Curriculum Development. All Rights Reserved. Diekses melalui internet tgl.
14 November 2012.
Thomas R. Guskey and Sally L. Gates, Synthesis of Research on the Effect of Mastery
Learning in Elementary and Secondary Classrooms. Copyright @ 1986 by the Association for
Supervision and Curriculum Development. All Rights Reserved. Diekses melalui internet tgl.
14 November 2012.
Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, Jakarta, PT Renika Cipta, Cet. IV, 2003.
Winkel, W S. Psikologi Sosial, Jakarta, Gramedia Widiasarana, 1996.
Yamin, Martinis, Paradigma Pendidikan Konstruktivistik Implementasi KTSP & UUD No.
15 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Jakarta, Gaung Persada Press, 2008.

14

Anda mungkin juga menyukai