Oleh:
RIDHWAN M DAUD1
Abstrak
Model pembelajaran mastery learning (pembelajaran tuntas) pertama sekali dikemukakan oleh
Washburn dan H. C. Marison pada tahun 1930 an. Model pembelajaran ini memungkinkan
semua siswa dapat mencapai hampir seluruh tujuan pembelajaran. Untuk dapat mencapai
tujuan seperti ini, penggunaan daya dukung pembelajaran yang dapat meningkatkan motivasi
siswa dan alokasi waktu yang cukup dalam belajar sangat penting. Central pembelajaran
dalam pembelajaran model mastery learning adalah terletak pada siswa, sedangkan dalam
model pebelajaran konvensional terletak pada guru. Oleh karena materi selanjutnya diberikan
setelah materi sebelumnya tuntas. Hal ini merupakan perbedaan yang sangat tajam antara
kedua model pembelajaran itu. Meskipun demikian guru harus mampu memfungsikan
perannya sebagai fasilitator yang sangat baik dalam mengelola pembelajaran. Jika suatu
pembelajaran tidak tuntas maka kesalahan ditimpakan kepada guru bukan kepada siswa. Hal
ini karena guru tidak mampu memotivasi dan menfasilitasi siswa dalam belajar. Dalam
evaluasi hasil pembelajaran, model pembelajaran ini menganut model Penilaian Acuan
Patokan (PAP). Siswa dituntut untuk mencapai tingkat yang telah ditetapkan oleh lembaganya.
Ridhwan M Daud adalah dosen tetap Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry Banda Aceh
I.
PENDAHULUAN
Jika dilihat dari segi sejarah konsep belajar tuntas atau mastery learning berasal dari
Washburn dan H. C. Marison pada tahun 1930an. Mereka mengembangkan suatu sistem
pembelajaran yang memungkinkan semua siswa dapat mencapai sejumlah tujuan pendidikan. 2
Konsep ini kemudian dikembangkan oleh John B. Carrol tahun 1963 berdasarkan
penemuannya mengenai model belajar Model of Schooling Learning. Model ini
menguraikan faktor-faktor pokok yang mempengaruhi keberhasilan belajar siswa, seperti
bakat dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suatu tingkat pencapaian. 3
Selanjutnya ide ini dikembangkan oleh Benyamin S. Bloom (1968-1971) di
Universitas Chicago secara lebih operasional sehingga ia digelar sebagai tokoh utama konsep
belajar tuntas. Ia mengatakan apabila bakat siswa terdistribusi secara normal dan kepada
mereka diberikan cara penyajian dengan kualitas yang sama dan waktu belajar yang sama,
maka hasil belajar akan terdistribusikan secara normal pula. Korelasi antara bakat dengan hasil
yang dicapai sangat tinggi.4 Kemudian ide ini dikembangkan lagi oleh James H. Block pada
tahun 1971 dengan cara memperpendek waktu belajar tetapi meningkatkan kualitas proses
pembelajaran.5
Pendekatan pembelajaran tuntas (mastery learning) adalah salah satu usaha dalam
pendidikan yang bertujuan untuk memotivasi peserta didik mencapai penguasaan (mastery
level) terhadap kompetensi tertentu. Pembelajaran tuntas merupakan salah satu prinsip utama
dalam mendukung pelaksanaan kurikulum di sekolah. Oleh karena itu pembelajaran tuntas
merupakan suatu alternatif strategi pembelajaran yang harus dipahami dan dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya oleh seluruh lembaga pendidikan.6
Suatu pendekatan pembelajaran adalah suatu cara untuk mempermudah peserta didik
mencapai kompetensi tertentu. Hal ini berlaku baik bagi guru (dalam pemilihan metode
mengajar) maupun bagi peserta didik (dalam memilih strategi belajar). Dengan demikian
makin baik pendekatan, makin efektif pencapaian tujuan belajar.7
2
. B. Suryo Subroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Jakarta, Rineka Cipta, 1997, hal. 96.
. B. Suryo Subroto, Proses Belajar,hal. 96
4
. B. Suryo Subroto, Proses Belajar,hal. 96
5
. B. Suryo Subroto, Proses Belajar,hal. 96
6
. http://sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/belajartuntasbybasuki.pdf. Diakses tgl. 13 November 2012.
7
. Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, Cet. I.
2009, hal. 209.
3
. Yamin, Martinis, Paradigma Pendidikan Konstruktivistik Implementasi KTSP & UUD No. 15 Tahun 2005
Tentang Guru dan Dosen Jakarta, Gaung Persada Press, 2008, hal. 215.
9
. Student Attitudes and Willingness to Spend Time in Unit Mastery Learning. Herbert W. Sanderson, Research
in the Teaching of English Vol. 10, No. 2 (Fall, 1976), pp. 191-198. Published by: National Council of
Teachers of English. Lihat juga Thomas R. Guskey and Sally L. Gates, Synthesis of Research on the Effect of
Mastery Learning in Elementary and Secondary Classrooms. Copyright @ 1986 by the Association for
Supervision and Curriculum Development. All Rights Reserved. Diekses melalui internet tgl. 14 November
2012.
Pendidikan seperti ini kurang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mengembangkan kemampuan berpikir secara holistik, kreatif, objektif, dan logis. Mereka
belum menggunakan quantum teaching dan quantum learning sebagai salah satu pendekatan
dalam pembelajaran, serta kurang memperhatikan ketuntasan belajar secara individual maupun
secara klasikal. Akibatnya, banyak peserta didik yang tidak menguasai materi pembelajaran
meskipun sudah dinyatakan tamat dari sekolah. Oleh karena itu mutu pendidikan secara
nasional masih rendah. Kuantum learning adalah salah satu pendekatan yang sangat
dianjurkan dalam mastery learning.10
Untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan, guru perlu memiliki beberapa prinsip
mengajar dalam merancang strategi dan melaksanakan pembelajaran yang mengacu pada
peningkatan kemampuan internal peserta didik. Peningkatan potensi internal itu misalnya
dengan menerapkan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik mampu
mencapai ketuntasan maksimal dan kontekstual. Dengan demikian inti permasalahan
rendahnya mutu pendidikan adalah pada ketuntasan belajar yaitu pencapaian kriteria
ketuntasan minimal (KKM) yang telah ditetapkan bagi setiap kompetensi secara individual
belum tercapai.
II.
. Penjelasan: Ini hanya pemahaman penulis, karena dalam konsep mastery learning, proses pembelajaran
berpihak kepada anak didik. Oleh karena itu guru harus mampu menggunakan segala cara belajar yang sesuai
dengan kriteria anak. Dan quantum teaching dan quantum learning adalah cara pembelajaran yang dipandang
sangat berpihak kepada anak.
11
. Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP,) Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2007, h . 327.
(klasikal), tetapi tetap mengakui dan melayani perbedaan individual peserta didik dengan
sebaik
baiknya.
Dengan
demikian
penerapan
pembelajaran
tuntas
memungkinkan
berkembangnya potensi masing-masing peserta didik secara optimal. Dasar pemikiran dari
belajar tuntas dengan pendekatan individual ialah adanya pengakuan terhadap perbedaan
individual masing-masing peserta didik.12
Untuk merealisasikan pengakuan dan pelayanan terhadap perbedaan individu,
pembelajaran juga dapat menggunakan strategi pembelajaran yang berasaskan maju
berkelanjutan (continuous progress). Untuk itu, pendekatan sistem yang merupakan salah satu
prinsip dasar dalam pembelajaran harus benar-benar dapat diimplementasikan. Salah satu
caranya adalah standar kompetensi dan kompetensi dasar harus dinyatakan secara jelas, dan
pembelajaran dipecah-pecah ke dalam satuan-satuan (unit). Peserta didik belajar selangkah
demi selangkah dan boleh mempelajari kompetensi dasar berikutnya setelah menguasai
sejumlah kompetensi dasar yang ditetapkan menurut kriteria tertentu. 13
Dalam pola ini, seorang peserta didik yang mempelajari unit satuan pembelajaran
tertentu dapat berpindah ke unit satuan pembelajaran berikutnya jika peserta didik (individu)
yang bersangkutan telah menguasai sekurang-kurangnya 75% dari kompetensi dasar yang
ditetapkan atau sesuai dengan KKM yang disepakati. Sedangkan pembelajaran konvensional
dalam kaitan ini diartikan sebagai pembelajaran dalam konteks klasikal yang sudah terbiasa
dilakukan, sifatnya berpusat pada guru, sehingga pelaksanaannya kurang memperhatikan
keseluruhan situasi belajar (tidak tuntas).
1. Prinsip Belajar Tuntas
Pada dasarnya belajar tuntas akan menciptakan siswa memiliki kemampuan dan
mengembangkan potensi yang dimilikinya, mengecilkan perbedaan antara anak cerdas dengan
anak yang tidak cerdas. Belajar tuntas menciptakan siswa dapat mencapai tujuan
pembelajaran, sehingga di dalam kelas tidak terjadi anak cerdas akan mencapai semua tujuan
12
. Thomas R. Guskey and Sally L. Gates, Synthesis of Research on the Effect of Mastery Learning in Elementary
and Secondary Classrooms. Copyright @ 1986 by the Association for Supervision and Curriculum
Development. All Rights Reserved. Diekses melalui internet tgl. 14 November 2012.
13
. B. Suryo Subroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Jakarta, Rineka Cipta, 1997, hal. 123.
pembelajaran, sedangkan anak yang kurang cerdas mencapai sebagian tujuan pembelajaran
atau tidak mencapai sama sekali tujuan pembelajaran.14
Biasanya siswa yang berbakat tinggi memerlukan waktu yang relatif sedikit untuk
mencapai taraf penguasaan bahan dibandingkan dengan siswa yang memiliki bakat rendah.
Siswa dapat mencapai penguasaan penuh terhadap bahan yang disajikan, bila kualitas
pengajaran dan kesempatan waktu belajar disusun sesuai dengan kebutuhan masing-masing
siswa.15
Secara psikologi perilaku atau kemampuan intelektual anak memiliki karakteristik yang
berbeda
dalam
kecepatan
mengingat,
memahami,
mengaplikasikan,
menganalisis,
mengevaluasi dan lain-lain. Oleh karena itu seorang siswa yang tidak mencapai tingkat
keberhasilan yang telah ditetapkan adalah karena tidak disediakan jumlah waktu yang cukup
sesuai dengan kebutuhannya atau karena waktu yang disediakan sebenarnya sudah cukup
tetapi tidak digunakan dengan sungguh-sungguh.16
Dengan demikian, tingkat penguasaan dalam belajar bergantung dengan jumlah waktu
yang disediakan, misalnya bila seseorang hanya belajar dengan sungguh-sungguh selama 2
jam, padahal disediakan jumlah waktu 3 jam, maka tingkat penguasaan atau tingkat
keberhasilan hanya mencapai sekitar 70% dari target yang ditetapkan. Pencapaian target
pembelajaran selain bergantung kepada ketersediaan waktu, kecepatan belajar siswa juga
ditentukan oleh kualitas pengajaran dan kemahiran siswa untuk memahami suatu materi.
Dalam penelitian psikologi pendidikan ditemukan bahwa:
1). Ketekunan belajar erat kaitannya dengan dorongan yang timbul dalam diri siswa untuk
belajar (juga dapat dipengaruhi oleh strategi pembelajaran). 17
2). Kualitas pembelajaran merupakan keadaan yang mendorong siswa untuk aktif belajar dan
mempertahankan kondisinya agar tetap dalam keadaan siap menerima pelajaran. Kualitas
pembelajaran juga ditentukan oleh kualitas penyajian, dan pengaturan kegiatan
pembelajaran (Strategi Pembelajaran).18
14
. Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Cet.
III, 2005, hal. 190.
15
. Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi, hal. 190.
16
. B. Suryo Subroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Jakarta, Rineka Cipta, 1997, hal. 100.
17
. Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, Cet.
I. 2009, hal. 209.
18
.Abuddin Nata, Perspektif Islam, hal. 209.
3). Waktu yang tersedia atau cukup untuk belajar dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran
yang ditetapkan dalam suatu mata pelajaran atau pokok bahasan akan membantu
pemcapaian tujuan yang ditetapkan.19
Pembelajaran Konvensional
Tingkat ketuntasan
mencapai 75 %.
Satuan Acara Pembelajaran
Dibuat untuk satu minggu pembelajaran,
ada variasi.
B. Pelaksanaan pembelajaran
1. Bentuk pembelajaran
19
20
pendekatan klasikal.
2. Cara pembelajaran
(tidak terkontrol).
secara individual.
3. Orientasi pembelajaran
Pada terminal performance peserta didik
individual.
kemampuan menengah.
bantuan guru.
C. Umpan Balik/
1. Instrumen umpan balik
Menggunakan berbagai jenis serta bentuk
21
. Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Cet.
III, hal. 190-192.
22
. Winkel, W S. Psikologi Sosial, Jakarta, Gramedia Widiasarana, 1996, hal. 415.
23
. Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, Jakarta, PT Renika Cipta, Cet. IV, 2003, hal. 222-223. Lihat juga
Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, Jakarta, Dep. DIKBUD & PT Rineka
Cipta, Cet. I, 1999, hal. 19.
24
. Ini adalah pemahaman penulis setelah memahami konsep pembelajaran tuntas.
10
Untuk mengatasi kesalahan yang dilimpahkan kepada guru secara operasional Bloom
menyajikan langkah langkah sebagai berikut:25
1). Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran yang harus dicapai, baik yang bersifat umum
maupun yang khusus.
2). Menjabarkan materi pelajaran atas sejumlah unit pelajaran yang dirangkaikan, yang
masing-masing dapat diselesaikan dalam waktu yang ditetapkan (umpamanya tiga hari atau
satu Minggu)
3). Memberikan pelajaran secara klasikal harus sesuai dengan unit pelajaran yang sedang
dipelajari.
4). Memberikan tes kepada siswa pada akhir setiap unit pelajaran. Hal ini dilakukan untuk
mengecek kemajuan masing-masing siswa dalam menguasai materi pelajaran. Tes formatif
harus dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa. Dalam tes formatif ini
diterapkan norma yang tetap, misalnya minimal 85% dari jumlah pertanyaan dapat dijawab
atau sesuai dengan KKM yang disepakati.
5). siswa yang belum mencapai tingkat penguasaan diberikan pertolongan khusus, misalnya
bantuan dari seorang teman yang bertindak sebagai tutor, mendapat pengajaran dalam
kelompok kecil, disuruh mempelajari buku pelajaran lain atau mengambil unit pelajaran
yang telah diprogramkan.
6). Setelah semua siswa mencapai tingkat penguasaan pada suatu unit pelajaran, barulah
dimulai pelajaran berikutnya. Menurut Bloom jika sebagian besar (90%) siswa sudah
berhasil, maka itu sudah berhasil. Tingkat penguasaan untuk setiap unit pelajaran, tidak
harus sama dengan tingkat penguasaan untuk seluruh rangkaian unit pelajaran, dan keduaduanya tidak dituntut sempurna atau 100% berhasil, tetapi minimal 85% dari seluruh
pertanyaan.
7). Bagi siswa yang tidak mencapai KKM perlu dibuat program remedial26 dan bagi yang
sangat berhasil dapat diberikan pengayaan (menambah topik baru atau memperdalam topik
yang lama).
25
26
. B. Suryo Subroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Jakarta, Rineka Cipta, 1997, hal. 102-110.
. Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, Jakarta, Dep. DIKBUD & PT Rineka
Cipta, Cet. I, 1999, hal. 19.
11
6. Peran Guru
Dalam proses pembelajaran, pembelajaran tuntas menekankan pada peran atau
tanggung jawab guru dalam mendorong keberhasilan peserta didik secara individual. Guru
memegang peranan sangat penting dalam pelaksanaan proses pembelajaran fungsi guru bukan
penguasa tunggal di kelas tetapi ia hanya berperan sebagai pengelola proses pembelajaran di
kelas.27 Mengingat siswa memiliki perbedaan tertentu, maka pendekatan Contextual Teaching
and Learning (CTL) yang lebih menekankan pada interaksi antara peserta didik dengan materi
atau objek belajar dapat digunakan.28
Guru harus intensif dalam hal-hal berikut:29
a.
b.
c.
d.
e.
f.
27
. B. Suryo Subroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Jakarta, Rineka Cipta, 1997, hal. 121.
. Ini adalah pemahaman penulis, karena mastery learning selalu berupaya agar anak didik tuntas dalam belajar.
Oleh karena itu guru harus membawa suatu objek ke dalam kelas (anak didik) atau membawa anak didik ke
suatu objek.
29
. B. Suryo Subroto, Proses Belajar ,hal. 102-110.
28
12
sebagai subjek didik (child centered) dalam proses pembelajaran sangat tepat digunakan
dalam mastery learning.
8. Evaluasi
Patokan tingkat keberhasilan belajar dalam mastery learning ditentukan oleh guru
(Penilaian Acuan patokan).30 Misalnya siswa harus mencapai nilai 75, 65, 55 atau berapa nilai
yang diperoleh oleh seorang siswa dinyatakan tuntas. Sedangkan teknik, bentuk dan
instrumennya penilaiannya dapat digunakan sebagaimana biasanya.
C. Kesimpulan
Teori belajar tuntas (Mastery Learning Theory) merupakan salah satu usaha dalam
pembaharuan pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan motivasi serta usaha belajar
siswa agar siswa dapat mencapai tingkat ketuntasan (Mastery Level). Belajar tuntas (Mastery
Learning) adalah proses belajar mengajar yang bertujuan agar bahan ajaran dikuasai secara
tuntas, artinya dikuasai sepenuhnya oleh siswa. Dengan sistem belajar tuntas diharapkan
program belajar mengajar dapat dilaksanakan sedemikian rupa agar tujuan instruksional yang
hendak dicapai dapat diperoleh secara optimal sehingga proses belajar mengajar lebih efektif
dan efisien.
30
13
Referensi
14