Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi yang dibedakan atas status gizi buruk, gizi kurang, gizi
baik, dan gizi lebih. Status gizi merupakan faktor yang terdapat dalam level
individu (level yang paling mikro). Faktor yang mempengaruhi secara langsung
adalah asupan makanan dan infeksi. Pengaruh tidak langsung dari status gizi ada
tiga faktor yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, dan
lingkungan kesehatan yang tepat, termasuk akses terhadap pelayanan kesehatan
(Almatsier,2001).
Moore, 1997 menyebutkan bahwa penilaian status gizi adalah proses yang
digunakan untuk mengevaluasi status gizi, mengidentifikasi malnutrisi dan
menentukan individu mana yang sangat membutuhkan bantuan gizi. Penentuan
status gizi adalah suatu interpretasi status gizi melalui informasi yang didapatkan
dari penilaian secara langsung maupun tidak langsung atau keduanya. Penilaian
secara langsung meliputi pemeriksaan diit / konsumsi makanan, pemeriksaan
biokimia / laboratorium, pemeriksaan antropometri, pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan biofisik sedangkan penentuan status gizi secara tidak langsung
meliputi survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi (Supariasa et
al., 2001).
Salah satu metode penentuan status gizi adalah dengan pemeriksaan
biofisik. Penilaian status gizi secara biofisik dilakukan dengan melihat
kemampuan fungsi jaringan dan perubahan struktur. Tes kemampuan fungsi
jaringan meliputi kemampuan kerja dan energi ekspenture serta adaptasi sikap.
Tes perubahan struktur ada yang dapat dilihat secara klinis seperti pengerasan
kuku, pertumbuhan rambut tidak normal dan menurunnya elastisitas kartilago, dan
ada yang tidak dapat dilihat secara klinis yang biasanya dilakukan dengan
pemeriksaan radiologi (Ningtyias, 2010). Penilaian status gizi secara biofisik
merupakan metode yang paling mahal jika dibandingkan dengan metode penilaian
status gizi yang lain seperti penilaian status gizi secara antropomentri dan klinis.
Penilaian status gizi secara biofisik memerlukan tenaga profesional dan dapat

diterapkan dalam keadaan tertentu saja karena hanya orang dengan keahlian
tertentu saja yang dapat membaca hasil dari penilaian status gizi secara biofisik
(Supariasa, dkk, 2001).
Setiap metode penentuan atau penilaian status gizi memiliki kelebihan dan
kelemahan masing-masing. Oleh sebab itu, maka dalam menentukan diagnosis
suatu penyakit diperlukan penggunaan beberapa metode. Sebab jika hanya
menggunakan satu metode akan memberikan hasil yang kurang komprehensif
tentang suatu keadaan. Gibson (2005) menyatakan bahwa diperlukan beberapa
faktor yang perlu diperhatikan pada pemilihan metode penentuan status gizi
anatara lain: harus tahu tujuan identifikasinya, protokol pemilihan sampel,
validitas, tingkat reliabilitas dan akurasi yang dibutuhkan, ketepatan dalam
pengukirah, jenis informasi yang dibutuhkan, sensitivitas dan spesifisitas,
prevalensi, tersedianya fasilitas dan peralatan, tenaga, waktu serta dana.
Berdasarkan hal tersebut, penulis mencoba menganalisis ketepatan
penggunaan metode biofisik dalam mendiagnosis status gizi seseorang, khususnya
kekurangan vitamin A, pada jurnal yang berjudul Prevalence of Vitamin A
Deficiency in Pregnant and Lactating Women in the Republic of Congo.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk menganalisis pengunaan metode biofisik pada jurnal yang berjudul
Prevalence of Vitamin A Deficiency in Pregnant and Lactating Women in the
Republic of Congo.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui penentuan status gizi dengan metode biofisik.
2. Untuk mengetahui kesesuaian penggunaan metode biofisik terhadap
pelaksanaan survei gizi dalam menentukan status vitamin A pada jurnal
yang berjudul Prevalence of Vitamin A Deficiency in Pregnant and
Lactating Women in the Republic of Congo.

3. BAB II
4. TINJAUAN PUSTAKA
5.
2.1 Pengertian Penentuan Status Gizi
6.
Penilaian status gizi adalah proses yang digunakan untuk
mengevaluasi status gizi, mengidentifikasi malnutrisi dan menentukan individu
mana yang sangat membutuhkan bantuan gizi (Moore, 1997). Penentuan status
gizi adalah suatu interpretasi status gizi melalui informasi yang didapatkan dari
penilaian secara langsung maupun tidak langsung atau keduanya. Penilaian secara
langsung meliputi pemeriksaan diit / konsumsi makanan, pemeriksaan biokimia /
laboratorium, pemeriksaan antropometri, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
biofisik sedangkan penentuan status gizi secara tidak langsung meliputi survei
konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi (Supariasa et al., 2001).
7.
2.2 Faktor yang Dipertimbangkan dalam Memilih Metode Penentuan Status
Gizi
8.

Setiap metode penentuan status gizi mempunyai kelebihan dan

kelemahan masing-masing. Dengan menyadari kelebihan dan kelebihan tiap


metode, maka dalam menentukan diagnosis suatu penyakit perlu digunakan
beberapa metode. Penggunaan satu metode akan memberikan gambaran yang
kurang komprehensif tentang suatu keadaan.
9.
Menurut Gibson (2005), faktor-faktor yang harus diperhatikan
pada pemilihan metode penentuan status gizi antara lain :
1. Harus tahu tujuan identifikasinya (study objective)
10. Tujuan sangat perlu diperhatikan dalam memilih metode, seperti
tujuan ingin melihat fisik seseorang, maka metode yang digunakan adalah
antropometri. Apabila ingin melihat status vitamin dan mineral dalam tubuh
sebaiknya menggunakan metode biokimia.
2. Protokol Pemilihan Sampel
11. Protokol pemilihan sampel didesain untuk mencegah bias
sistematik pada pemilihan sampel, dan memastikan sampel terpilih secara
random dan mewakili populasi. Apabila unit sampel yang akan diukur adalah
kelompok atau masyarakat yang rawan gizi secara keseluruhan maka
sebaiknya menggunakan metode antropometri, karena metode ini murah dan
dari segi ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
3. Validitas

12. Validitas diperlukan untuk menggambarkan adequacy dengan


pengukuran yang lain atau indeks yang merefleksikan parameter status gizi
yang dibutuhkan. Contohnya, indeks biokimia dinilai valid mengukur total
nutrien dalam tubuh atau jumlah cadangan nutrien dalam tubuh yang sangat
sensitif mengukur defisiensi tapi tidak merefleksikan asupan makanan saat
ini.
4. Tingkat reliabilitas dan akurasi yang dibutuhkan
13. Penggunaan metode klinis tepat untuk

menilai

tingkatan

pembesaran kelenjar gondok. Apabila tersedia biaya, tenaga dan saranasarana lain yang mendukung, maka dianurkan untuk menggunakan metode
biokimia yang mempunyai reliabilitas dan akurasi yang sangat tinggi.
5. Ketepatan dalam pengukuran
14. Ketepatan dalam pengukuran dihitung dengan pengukuran yang
dilakukan berulang menghasilkan hasil yang sama. Contohnya, penghitungan
rata-rata asupan konsumsi individu dalam beberapa hari dengan variasi yang
berbeda dapat menggambarkan estimasi kebiasaan konsumsi individu
tersebut.
6. Jenis informasi yang dibutuhkan
15. Apabila ingin mendapatkan informasi tentang asupan makanan,
maka metode yang digunakan adalah survei konsumsi. Apabila ingin
mengetahui kadar hemoglobin dalam darah maka metode yang digunakan
adalah biokimia.
7. Sensitivitas dan spesifisitas
16. Sensitivitas dari indeks dipilih untuk merefleksikan status gizi atau
memprediksikan perubahan nutriture. Spesifisitas dari indeks adalah
kemampuan dari indeks untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan orang
dengan status gizi baik.
8. Prevalensi
17. Prevalensi adalah proporsi individu yang benar-benar malnutrisi
atau terinfeksi penyakit. Prevalensi lebih mempengaruhi nilai prediktif dari
indeks gizi daripada faktor yang lain.
9. Tersedianya fasilitas dan peralatan
18. Pada umumya, fasilitas dan peralatan yang dibutuhkan dalam
penentuan status gizi secara antropometri relatif lebih mudah didapat
dibandingkan dengan metode biokimia.
10. Tenaga

19. Penilaian status gizi secara biokimia memerlukan tenaga ahli kimia
atau analis kimia, karena menyangkut berbagai jenis bahan dan reaksi kimia
yang harus dikuasai. Penentuan status gizi secara antropometri tidak
membutuhkan tenaga ahli namun tenaga yang telah dilatih. Penilaian status
gizi secara klinis membutuhkan tenaga medis (dokter).
11. Waktu
20. Apabila kita ingin menilai status gizi di suatu masyarakat dan
waktu yang tersedia reatif singkat, sebaiknya menggunakan metode
antropometri. Penilaian status gizi dengan metode biokimia memerlukan
waktu yang lebih lama dan harus ditunjang dengan tenaga, biaya serta
peralatan yang memadai.
12. Dana
21. Pada umumnya, penggunaan metode biokimia menghabiskan biaya
yang relatif mahal dibandingkan dengan metode lainnya.
22.
2.3 Penentuan Status Gizi dengan Metode Biofisik
23.

Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode

penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya


jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan. Untuk tes
kemampuan fungsi jaringan meliputi kemampuan kerja dan energy
ekspenture serta adaptasi sikap. Tes perubahan struktur dapat dilihat secara
klinis maupun tidak dapat dilihat secara klinis. Perubahan yang dapat
dilihat secara klinis seperti pengerasan kuku, pertumbuhan rambut tidak
normal dan menurunnya elastisitas kartilago. Pemeriksaan yang tidak
dapat dilihat secara klinis biasanya dilakukan dengan pemeriksaan
radiologi (Supariasa, dkk, 2002).
24.
Ada tiga cara penilaian status gizi dengan metode biofisik,
yaitu:
1. Pemeriksaan Radiologi
25. Metode ini dilakukan dengan melihat tanda tanda fisik dan
keadaan keadaan tertentu seperti riketsia, osteomalasia, fluorosis dan beri
beri. Penggunaan metode ini adalah pada survei yang sifatnya retrospektif
dari pengukuran kurang gizi seperti riketsia dan KEP dini.
26. Pada penderita KEP dengan menurunnya daya tahan tubuh
merupakan faktor lain yang mempengaruhi timbulnya Bronchopnemonia.

Bronchopnemonia merupakan infeksi sekunder yang biasanya disebabkan


oleh virus penyebab Bronchopnemonia yang masuk ke saluran pernafasan
sehingga terjadi peradangan broncus dan alveolus. Inflamasi bonkus ditandai
adanya penumpukan sekret, sehingga terjadi demam, batuk produktif, bronchi
positif dan mual. Bila penyebaran kuman sudah mencapai alveolus maka
komplikasi yang terjadi adalah kolaps alveoli, fibrosis, emfisema dan
atelektasis (Dahlan,2006).
27. Pemeriksaan biokimia atau laboraturium dilakukan dengan
memeriksa leukocyt, ditemukan leukositosis biasa 15.000 - 40.000/mm3
dengan pergeseran LED meninggi.
28. Pemeriksaan penunjang lain adalah pemeriksaan radiologi dalam
melakukan foto thorax bronkopeumoni terdapat bercak-bercak infiltrat pada
satu atau beberapa lobus, jika pada pneumonia lobaris terlihat adanya
konsolidasi pada satu atau beberapa lobus (Dahlan, 2006).
2. Tes Fungsi Fisik
29. Tes fungsi fisik adalah tes uji kemampuan untuk melakukan
kegiatan sehari hari. Tujuan utama dari tes fungsi fisik adalah untuk
mengukur perubahan fungsi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan gizi.
Macam-macam tes fungsi fisik adalah :
a. Ketajaman penglihatan
30.

Pemeriksaan rutin pada mata sebaiknya dimulai pada usia

dini. Pada anak 2,5-5 tahun, skrining mata perlu dilakukan untuk
mendeteksi apakah menderita gangguan tajam penglihatan yang nantinya
akan mengganggu aktivitas di sekolahnya. Kejernihan penglihatan
disebut ketajaman visus, yang berkisar dari penglihatan penuh sampai
tanpa penglihatan. Jika ketajaman menurun, penglihatan menjadi kabur.
Ketajaman

penglihatan

biasanya

diukur

dengan

skala

yang

membandingkan penglihatan seseorang pada jarak 6 meter dengan


seseorang yang memiliki ketajaman penuh. Visus 6/6 artinya seseorang
melihat benda pada jarak 6 meter dengan ketajaman penuh.
b. Adaptasi pada suasana gelap
31.
Tes adaptasi terang gelap merupakan tes fungsional/ fungsi
fisik yang menggunakan respon spontan in vivo selain kerapuhan kapiler.
Kemampuan adaptasi gelap yang berakibat pada rabun senja, pertama

kali dihubungkan dengan kekurangan vitamin A dan selanjutnya


dihubungkan dengan kekurangan zinc. Tes ini bertujuan untuk mengukur
kelainan buta senja yang diakibatkan oleh kekurangan vitamin A.
32.
Seseorang dikatakan menderita rabun senja apabila
mengalami kesulitan melihat pada ruangan dengan sedikit cahaya atau
pada sore hari/ saat senja (namun tidak mengalami kesulitan melihat pada
siang hari). Buta senja terjadi karena kekurangan vitamin A, namun
berbeda dengan manifestasi kekurangan vitamin A lainnya mata orang
yang mengalami buta senja keadaannya sama dengan mata normal.
Namun pewawancara terlatih, bisa mengidentifikasi orang buta senja
dengan memberikaan pertanyaan baku tentang buta senja dan melakukan
observasi.
c. Penampilan fisik
d. Koordinasi otot
33.

Tes ini menggunakan respon spontan fisik in vivo.

Penurunan cadangan protein dan katabolisme otot akan terjadi pada


kurang energi-protein yang akan mengubah kemampuan kontraksi otot,
rata rata relaksasi dan daya tahan otot juga dapat dilihat dari nilai status
protein.
3. Tes Sitologi
34. Tes sitologi merupakan salah satu dari metode biofisik, tes ini
digunakan untuk menilai keadaan KEP berat. Seperti yang disarankan oleh
Squires (1965), pemeriksaan ini dilakukan dengan melihat noda pada epitel
dari mukosa oral, dimana hasil penelitian pada binatang anak KEP
menunjukkan bahwa presentase perubahan sel meningkat pada tingakatan
KEP dini.
35. Teknik Sitologi impresi (CIC) adalah suatu teknik histologis untuk
mengetahui adanya metaplasia keratinisasi pada conjunctiva, suatu bentuk
metaplasia yang mikroskopis dan lebih lazim yang berperan, pada tingkat
mikroskopis, pada pembentuk bercak bitot (XIB). Selain itu sitologi impresi
juga dapat memberikan bukti bukti yang menguatkan dan independen untuk
menegakkan diagnosis klinis xeropthalmia. Spesimen umumnya dikumpulkan
dengan alat khusus yang menempelkan sebuah kertas saring dan
mengangkatnya dengan menghisapnya dalam satu langkah cepat. Teknik ini

harus dilakukan oleh tenaga ahli dengan suatu pendekatan standarisasi


terhadap kendali mutu (Sommer, 2003).
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.

44. BAB III


45. PEMBAHASAN
46.
3.1 Ringkasan Jurnal
47.
Jurnal yang berjudul Prevalence of Vitamin A Deficiency in
Pregnant and Lactating Women in the Republic of Congo ini disusun oleh Claude
Samba, Felicite Tchibindat, Bernard Gourmel, Patrick Houze, dan Denis Malvy.
Jurnal ini dipublikasikan oleh Journal of Health Population Nutrition dengan
nomor ISSN 1606-0997.
48.
Penelitian pada jurnal tersebut dilatarbelakangi oleh adanya fakta
bahwa defisiensi vitamin A merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius
di beberapa negara dengan sumber daya yang sedikit, seperti pada negara bagian
sub-Sahara Afrika. Upaya untuk memerangi masalah defisiensi vitamin A di
negara-negara tersebut telah menjadi prioritas WHO (World Health Organization).
Berdasarkan hal tersebut peneliti melakukan survei untuk mengetahui status
vitamin A pada ibu hamil dan menyusui di beberapa daerah perwakilan di
Republik Kongo, yaitu Kouilou, Lekoumou, Likouala, dan wilayah Plateau pada
bulan Agustus hingga September 2004. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan desain cross sectional. Peneliti menentukan sampel penelitian
dengan metode randomized two-stage cluster-sampling dan didapatkan sampel
sebanyak 1054 wanita yang hamil dan menyusui yang tersebar di 90 cluster.
Untuk mengetahui atau menilai status vitamin A dari sampel, peneliti melakukan
beberapa tes yaitu Impression Cytology with Transfer (ICT), Modified Relative
Dose Response Test (MRDR test), dan pemeriksaan klinis untuk mendeteksi
tanda-tanda xeropthalmia.
49.
Salah satu jenis pengujian yang dilakukan peneliti adalah
Impression Cytology with Transfer (ICT) yang termasuk dalam metode penentuan
status gizi secara biofisik. Tes ini didasarkan pada diferensiasi sel yang
disebabkan oleh vitamin A dan dilakukan dengan menggunakan kertas penyaring
selulosa asetat untuk pengambilan sampel sel pada konjungtiva mata. Peneliti
mendefinisikan terdapat empat tingkatan kriteria sitologi berdasarkan ada atau
tidak adanya goblet cells dan morfologi sel epitel. Hasil tes ICT menunjukkan
bahwa terdapat 27% sampel yang mengalami defisiensi vitamin A dan sebanyak

2,4% sampel dengan status vitamin A berada pada tingkatan menengah ke bawah.
2,4% sampel tersebut memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami defisiensi
vitamin A. Status defisiensi vitamin A pada ibu hamil dan menyusui lebih banyak
terdapat pada wilayah Brazzaville urban (33%) daripada wilayah Kouilou (23%)
dan wilayah pedesaan bagian utara (23,6%).
50.
3.2 Analisis Jurnal
51.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat beberapa faktor

yang harus diperhatikan dalam memilih metode yang akan digunakan untuk
menentukan status gizi seseorang atau masyarakat, yaitu study objective, protokol
pemilihan sampel, validitas, tingkat reliabilitas dan akurasi yang dibutuhkan,
ketepatan dalam pengukuran, jenis informasi yang dibutuhkan, sensitivitas dan
spesifisitas, prevalensi, tersedianya fasilitas dan peralatan, waktu, tenaga, serta
dana yang tersedia.
52.

Dalam memilih metode penentuan status gizi harus memperhatikan

tujuan dari pelaksanaan pemeriksaan status gizi tersebut. Jika pemeriksaan status
gizi dilakukan untuk mengetahui prevalensi malnutrisi secara nasional, maka
pelaksanaan survei gizi seperti yang dilakukan oleh peneliti sudah tepat. Untuk
mendapatkan hasil yang maksimal, peneliti mengkombinasikan beberapa metode
dalam menilai status gizi sampel, yang salah satunya adalah metode biofisik, yaitu
dengan melakukan tes ICT (Impression Cytology with Transfer) serta pelaksanaan
tes fungsi fisik untuk mendeteksi adanya bercak bitot dan buta senja yang
diakibatkan oleh kekurangan vitamin A. Menurut Ningtyias (2010), tes sitologi
digunakan untuk menilai keadaan KEP berat, sedangkan tes fungsi fisik akan lebih
berguna apabila dilakukan di daerah epidemis kekurangan vitamin A. Jadi,
penggunaan metode biofisik pada jurnal tersebut sudah sesuai karena digunakan
untuk menilai status vitamin A pada wilayah yang memiliki banyak kasus
defisiensi vitamin A, yaitu Republik Kongo.
53.

Validitas penting pada desain penentuan status gizi untuk

menggambarkan adequacy dengan pengukuran yang lain atau indeks yang


merefleksikan parameter status gizi yang dibutuhkan. Penelitian yang dilakukan
pada jurnal mengkombinasikan beberapa metode sehingga hasil yang didapatkan
lebih valid.

54.

Pemilihan metode penentuan status gizi sangat tergantung pula

pada jenis informasi yang dibutuhkan. Status vitamin A seseorang dapat diketahui
lebih awal dengan pemeriksaan histopatologis, biologis dan biokimia. Secara
biologis, fungsi dan histologi, status vitamin A dapat diperiksa melalui tandatanda xeropthalmia, buta senja,

Conjuctival Impression Cytology (CIC) dan

penyesuaian di kamar gelap (Permaesih, 2008). Jadi, pelaksanaan metode biofisik


yang dikombinasikan dengan metode-metode lain seperti yang dijelaskan pada
jurnal sudah sesuai dengan jenis informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.
55.

Tingkat reliabilitas dan akurasi sangat perlu diperhatikan dalam

pemilihan metode penentuan status gizi. Penilaian status gizi dengan metode
biofisik membutuhkan tenaga medis dan paramedis yang sangat terlatih dan
mempunyai pengalaman yang cukup sehingga reliabilitas dan akurasi hasil
pengukuran dapat terpenuhi. Ketersediaan tenaga, baik jumlah maupun mutunya
sangat mempengaruhi penggunaan metode penentuan status gizi. Penilaian status
gizi secara biofisik membutuhkan tenaga medis, yaitu dokter, terkait dengan
pemeriksaan untuk melihat kemampuan fungsi jaringan dan perubahan struktur
baik yang dapat dilihat secara klinis maupun yang tidak dapat dilihat secara klinis.
56.

Untuk mendapatkan hasil yang akurat juga dipengaruhi oleh

fasilitas dan peralatan pengukuran yang tersedia. Fasilitas tersebut ada yang
mudah didapat dan ada yang sangat sulit diperoleh. Metode biofisik pada umunya
menggunakan peralatan yang sulit didapatkan sehingga harganya relatif mahal.
Jadi, semua hal tersebut berkaitan dengan masalah ketersediaan dana dalam
pelaksanaannya.

Pelaksanaan

survei

gizi

dengan

skala

nasional

pasti

membutuhkan dana yang besar, terlebih lagi survei gizi yang dilakukan oleh
peneliti menggabungkan beberapa metode sekaligus. Jadi, dengan adanya dana
yang cukup untuk memenuhi proses pelaksanaan pengukuran status vitamin A
baik dalam hal ketersediaan peralatan maupun tenaga medis yang kompeten,
metode biofisik adalah metode yang tepat untuk digunakan karena hasil yang
didapatkan

memiliki

tingkat

akurasi

yang

tinggi

dan

dapat

dipertanggungjawabkan.
57.

Dalam menentukan status gizi diperlukan indeks yang sensitif.

Indeks yang sensitif dapat menunjukkan hasil walaupun perubahan pada status

gizi hanya sedikit sehingga mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi dan


mengklasifikasikan seseorang yang menderita malnutrisi. Sensitivitas dan
spesifisitas uji ICT dihitung ketika MRDR digunakan sebagai standard utama.
Peneliti telah membandingkan hasil tes ICT dengan MRDR pada teknik dried
blood spots (DBS) untuk mengetahui tingkat retinol terkait dengan risiko
defisiensi vitamin A pada ibu hamil dan menyusui. Hasil yang didapatkan adalah
ambng MRDR 0,06. Nilai ini menunjukkan bahwa adanya risiko defisiensi
dengan cadangan hati yang rendah. Sehubungan dengan MRDR yang abnormal,
nilai sensitivitas, spesifisitas, dan positive predictive value (PPV) masing-masing
adalah 90%, 16%, dan 48% pada semua wanita (sampel). Sensitivitas 90%
menunjukkan bahwa indikator yang digunakan tidak mampu mengidentifikasi
semua individu yang malnutrisi dan masih terdapat false negatif (orang sehat yang
teridentifikasi sakit). Spesifisitas 16% menunjukkan bahwa tidak semua orang
dengan gizi baik akan terdeteksi dan masih terdapat false positif (orang sakit
teridentifikasi sehat).
58.

59. BAB IV
60. PENUTUP
61.
4.1 Kesimpulan
62.
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan
status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat
perubahan struktur dari jaringan. Penggunaan metode biofisik dalam menentukan
status vitamin A pada ibu hamil dan menyusui di Republik Kongo, seperti yang
tertuang dalam jurnal yang berjudul Prevalence of Vitamin A Deficiency in
Pregnant and Lactating Women in the Republic of Congo sudah tepat, karena
sudah memenuhi beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam penggunaan
metode biofisik. Faktor-faktor tersebut antara lain tujuan pelaksanaan, validitas,
jenis informasi yang dibutuhkan, tingkat reliabilitas dan akurasi, fasilitas dan
peralatan, tenaga, dana, sensitivitas serta spesifisitas.
63.
4.2 Saran
64.

Anda mungkin juga menyukai