Anda di halaman 1dari 2

Aspek Hukum dan Medikolegal pelepasan Ventilator pada Mati Batang Otak.

Di Indonesia belum banyak dokter yang berani melakukan end-of-life decision. Ada
beberapa pilihan yang bisa dilakukan dokter terhadap pasien tanpa harapan hidup, yakni
with-holding atau with drawing life supports, yakni penundaan atau penghentian alat bantuan
hidup. Sehingga apabila dilakukan dokter tidak menyalahi prosedur meski di hukum pidana
tidak diperbolehkan. Kode etik kedokteran Indonesia Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan
bahwa: Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan
standar profesi tertinggi. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan
kedokterannya sebagai seorang profesi dokter harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir,
hukum dan agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa: Setiap dokter harus
senantiasa mengingatakan kewajiban melindungi hidup insani. Artinya dalam setiap
tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaan manusia.1
Masalah dari tindakan pelepasan ventilator adalah jika alat bantu pernafasan pasien
dilepas, secara hukum itu menjadi tergolongkan dalam euthanasia, yang terkandung dalam
pasal 338, 340 dan 359 KUHP. Adapun isi dari pasal-pasal tersebut adalah:
KUHP Pasal 338: Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum
karena makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
KUHP Pasal 340: Barang siapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan, dengan
hukuman
mati
atau
penjara
selama-lamanya
dua
puluh
tahun.
KUHP Pasal 359: Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum
penjara seama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.2
Akan tetapi, pasien dalam keadaan telah mati batang otak, relatif sedikit kemungkinannya
untuk sembuh karena bersifat irreversible. Alat bantu pernafasan disini hanyalah media
sementara untuk memanjangakan umur pasien. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada tahun
1990 mengeluarkan pernyataan bahwa manusia dinyatakan mati jika batang otaknya tidak
berfungsi lagi.Konsep ini dijadikan pernyataan resmi dari Ikatan Dokter Indonesia. Kriteria
yang dianut oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tersebut berlandaskan pada alasan bahwa
batang otaklah terletak pusat penggerak napas dan jantung. Sehingga apabila batang otak
telah mati maka jantung dan paru-paru hanya bisa bergerak dengan bantuan alat-alat
penopang . Dengan demikian inform consent sangat berperan aktif dalam kasus ini. Apa
proses selanjutnya yang diinginkan oleh pihak keluarga. Agar informed consent dapat
berjalan dengan baik, maka diperlukan dialog antara pasien dan penyedia layanan kesehatan .
2
Dalam hal ini, dokter menjelaskan diagnosa keadaan pasien secara spesifik serta resiko dan
komplikasi potensial yang dihubungkan dengan alat ventilator tersebut. Pihak keluarga akan
mengambil keputusan tindakan yang akan dilakukan dokter selanjutnya.
Setelah itulah dokter akan melakukan sesuai prosedur yang telah diijinkan pihak keluarga.
Pihak dokter juga akan berkonsultasi kepada sumber-sumber kewenangan seperti kode etik
dan kebijakan ikatan dokter serta kolega lain untuk mengetahui bagaimana dokter biasanya
berhadapan dengan masalah tersebut.2

Daftar pustaka
1. KODEKI dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia. 2012. MKEK
2. M. Yusup & Amri Amir. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan .2008. Edisi 4.
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai