Anda di halaman 1dari 23

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Maloklusi dan deformitas dentofasial dianggap merupakan variasi dari


perkembangan normal. Evaluasi yang dilakukan untuk mengatasinya memerlukan
sejumlah alat-alat yang tepat sehingga didapatkan hasil perawatan yang maksimal.
Perawatan ortodonti pada maloklusi dan deformitas dentofasial melibatkan alat
ekstraoral maupun intraoral dalam jangka waktu perawatan yang panjang, oleh sebab
itu para peneliti berusaha untuk menemukan alat yang terbaik, aman dan nyaman
bagi pasien. Alat intraoral yang digunakan dalam perawatan ortodonti meliputi
kawat, band dan braket. Material dari alat intraoral ini beragam antara lain plastik,
seramik dan logam. 1,2
Braket merupakan salah satu komponen penting pada perawatan ortodonti
yang berguna menghantarkan gaya tertentu pada gigi. Penggunaan braket logam pada
perawatan ortodonti telah dilakukan sejak awal tahun 1900 dan umumnya logam
yang digunakan adalah logam mulia seperti emas dengan alasan sifatnya yang tahan
lama dan anggapan bahwa pemakaian logam mulia menunjukkan status sosial yang
lebih tinggi. Akan tetapi proses pembentukan emas sebagai alat untuk perawatan
ortodonti tidaklah mudah, sehingga para peneliti mulai mencari material lain yang
lebih mudah dibentuk, tahan lama dan nyaman untuk perawatan ortodonti. Pada
tahun 1929, stainless steel pertama kali digunakan untuk menggantikan emas. 2

Universitas Sumatera Utara

2.1 Logam Stainless Steel dalam bidang Ortodonti


Stainless steel ( SS) pertama sekali ditemukan pada tahun 1913 oleh ahli
metalurgi Inggris bernama

Harry Brearly. Penemuan ini awalnya tidak sengaja

menambahkan kromium pada baja rendah karbon dan menyebabkan baja tersebut
menjadi tahan karat. Penelitian terhadap stainless steel terus berkembang dan tahun
1930-an mulai diproduksi. Stainless steel dalam metalurgi adalah alloy besi dengan
kandungan kromium 10,5 % - 11 %. Penambahan kromium (Cr) bertujuan
meningkatkan ketahanan korosi dengan membentuk lapisan oksida

Cr2O3 di

permukaan logam stainless steel. Unsur lain selain besi, karbon dan kromium yaitu
Nikel, Molybdenum dan Titanium dengan komposisi yang berbeda-beda sehingga
menghasilkan variasi sifat mekanis dari beberapa produk

stainless steel

yang

beredar di pasar. 6,16


Steel didefinisikan sebagai alloy yang terbentuk dari besi dan karbon dengan
konsentrasi antara 0.5 % - 2 %. Stainless steel adalah suatu steel yang mengandung
lebih dari 11 % kromium, biasanya diantara 11,5% - 27%, dan bisa juga mengandung
nikel, vanadium, molybdenum dan niobium dalam jumlah terbatas. 1
Stainless Steel banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang kehidupan,
contohnya industri, peralatan rumah tangga, medis dan alat kedokteran gigi, salah
satunya bidang ortodonti. Sebelum stainless steel ditemukan, bahan dasar kawat,
ligatur dan braket ortodonti terbuat dari emas 14-18 karat. Emas memiliki ketahanan
korosi yang tinggi tetapi harganya sangat mahal. Stainless steel mulai digunakan
dalam bidang ortodonti pada tahun 1933, ketika Archi Brusse menjelaskan mengenai

Universitas Sumatera Utara

sifat stainless steel untuk bidang ortodonti pada pertemuan American Society of
Orthodontis (ASO). Kepopuleran stainless steel semakin meningkat di kalangan
ortodontis karena memiliki kombinasi sifat mekanis yang baik, tahan korosi dan
harga ekonomis. Stainless steel digunakan dalam bidang ortodonti sebagai bahan
dasar braket, kawat. molar tube, band. Pegas dan lain-lain. Komposisi dan
manufaktur stainless steel yang berbeda-beda menghasilkan beberapa jenis stainless
steel dan diklasifikasikan oleh American Iron and Steel Institute (AISI). 17

2.1.1 KLASIFIKASI DAN KOMPOSISI STAINLESS STEEL


Klasifikasi stainless steel didasarkan pada struktur metalurginya, yaitu
Austenitik, Ferritik, Martensitik, Duplek dan Precipitation Hardening.6
1. Austenitik Stainless Steel
Austenitik stainless steel memiliki mikrostruktur face centre cubic. Penambahan
8 % nikel pada alloy ini

mencegah transformasi austenit ke martensit saat

pendinginan, sehingga austenit lebih stabil walaupun pada suhu kamar. Austenit
SS banyak digunakan secara luas dalam bidang kedokteran gigi khususnya
ortodonti karena sifatnya yang tahan korosi.
Tipe AISI 304 L SS dan 303 banyak digunakan sebagai bahan dasar braket
ortodonti dengan komposisi 18- 20 % kromium (Cr), 8-10 % Nikel, sedikit
Mangan, Silikon dan karbon 0,003 %. AISI 303 adalah tipe austenitik stainless
steel pertama yang merupakan campuran 18 % kromium dan 8 % nikel dan
sedikit Selenium. Sedangkan tipe 316L SS memiliki kandungan Nikel lebih

Universitas Sumatera Utara

tinggi 2-3 % Molybdenum dan karbon yang lebih rendah untuk menambah
resistensi terhadap korosi intergranular. Tipe AISI 302 dengan komposisi 17-19
% kromium, 8-10 % Nikel dan 0,08 % karbon biasanya digunakan untuk kawat
ortodonti.
2.

Ferritik Stainless Steel


Alloy ini adalah tipe AISI 400 dengan sifat ketahanan korosi yang cukup baik
walaupun tidak sebaik austenitic SS disebabkan kandungan kromium yang
lebih rendah. Komposisi kromium 11,5 27 %, karbon 0,20 % dan tanpa
nikel.

Pada perubahan temperatur, jenis alloy ini tidak menimbulkan

perubahan fase ke keadaan padat, maka logam ini tidak mengeras dengan
pemanasan. Walaupun banyak digunakan dalam bidang industri, tetapi alloy
ini jarang digunakan dalam bidang kedokteran gigi.
3.

Martensitik Stainless Steel


Sama halnya dengan jenis Ferritik Stainless Steel , jenis Martensitik juga
dikategorikan tipe AISI 400. Akan tetapi sifat Martensitik berbeda dengan tipe
Ferritik, tipe Martensitik dapat dikeraskan dengan cara dipanaskan (heat
treatment) sehingga memiliki sifat kekerasan yang baik tetapi ketahanan korosi
paling rendah dibandingkan dengan tipe Austenitik dan Ferritik SS.
Komposisinya mengandung kromium 12-14 %, Molybdenum 0,2-1 %, Nikel 02 % dan karbon 0,1 1 %.

Universitas Sumatera Utara

4.

Precipitation Hardening Stainless Steel


Precipitation Hardening (PH) stainless steel adalah kombinasi optimal dari
sifat-sifat martensitik dan austenitik yaitu lebih kuat dan ketahanan korosi yang
baik. Kekuatan (tensile strength) yang tinggi disebabkan oleh proses heat
treatment yang menghasilkan presipitat (endapan) salah satu atau lebih Copper,
Aluminium, Titanium, Niobium dan Molybdenum yang memang ditambahkan
ke dalam alloy Stainless Steel. Alloy ini digunakan bila diperlukan kombinasi
kekuatan tinggi dan resistensi korosi. Salah satu pemakaian Precipitation
Hardening Stainless Steel yang paling dikenal adalah untuk kepala pemukul
stik golf.

5.

Duplex Stainless Steel


Duplex Stainless Steel memiliki bentuk mikrostruktur campuran austenitik dan
ferritik. Kombinasi dari kedua tipe tersebut menghasilkan kekuatan dua kali
lipat lebih baik daripada austenitik dan tidak mudah fraktur dibandingkan
dengan ferritik stainless steel. Selain itu, sifat tahan korosi dalam mulut
terutama korosi karena gaya/tekan (stress corrosion cracking) lebih baik
daripada austenitik stainless steel. Komposisinya mengandung kromium yang
tinggi 18-30 %, Molybdenum yang tinggi 0,1-4,5 % dan Nikel lebih rendah
1,3- 6%, tembaga dan besi. Nitrogen ditambahkan untuk menambah kekuatan
dan tahan korosi. Tipe 2304 dan 2205 Duplex stainless steel

digunakan

sebagai bahan dasar braket ortodonti dan indikasi untuk pasien yang alergi
nikel. Penelitian Plat dkk melaporkan bahwa 2205 Duplex stainless steel lebih

Universitas Sumatera Utara

tahan korosi dibandingkan tipe AISI 316 L sebagai bahan dasar braket
ortodonti.

2.1.2 SIFAT FISIS STAINLESS STEEL


Stainless steel 18-8 merupakan tipe stainless steel yang paling resisten
terhadap korosi, ini merupakan efek passivity dari kromium yang membentuk suatu
oxyda layer (oxide film) yang sangat tipis dan transparan tetapi kuat dan kedap air.
Lapisan ini bisa berbentuk Cr 2O3 atau FeCr2O3 yang mencegah terjadinya tarnish
dan korosi. 1.2
Faktor yang mempengaruhi resisten terhadap korosi yaitu :

Adanya sifat passivity dari kromium.

Resistensi makin tinggi dengan makin banyaknya kadar kromium pada


stainless steel tersebut.

Nikel dapat menambah resistensi terhadap korosi.

Molybdeum dapat menambah efek pasivity.

Larutan hipoclorit/ion klorin dapat menyebabkan terjadinya tarnish dan


korosi
.

2.1.3 SIFAT MEKANIS STAINLESS STEEL

Hardness

Modulus elastisity

100-200 BHN
200 GN / m2

Universitas Sumatera Utara

Tensile strength

1700MN/m2

Hal-hal yang dapat mempengaruhi sifat stainless steel :


Pemanasan di atas 9000 cenderung terjadinya prasipitasi kromium dari solid
solution di dekat permukaan. Dengan berkurangnya kromium maka akan
menyebabkan pula berkurangnya resistensi stainless steel terhadap tarnish dan
korosi. Efek pemanasan yang menyebabkan berkurangnya resistensi korosi ini
disebut weld-decay.
Weld-decay dapat dikurangi dengan 2 cara :
1. Mengurangi kadar karbon pada stainless steel.
2. Menambah logam lain, mis : Titanium dan Miobium.

Menurut Philips ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada stainless steel,
yaitu: 1
1. Korosi
Stainless steel 18-8 dapat kehilangan ketahanannya terhadap korosi jika
dipanaskan antara 400 C sampai 9000C, temperatur yang pasti tergantung dari
kandungan karbonnya.
Penyebab utama terjadinya korosi adalah masuknya potongan baja karbon
atau logam serupa pada permukaan. Sebagai contoh, jika stainless steel tidak
dimanipulasi secara hati-hati dengan tang dari besi karbon, maka ada kernungkinan
beberapa baja dari tang akan tertanam dalam stainless steel tersebut. Atau jika
pesawat dari stainless steel digrinding dengan bur baja karbon, beberapa baja dari

Universitas Sumatera Utara

alat akan tertanam pada logam tersebut. Keadaan ini menimbulkan arus listrik yang
menyebabkan korosi.
2.Kompatibiliti
Walaupun berbeda, penelitian menunjukkan biokompatibilitas stainless steel
yang sangat baik pada rongga mulut akan tetapi berdasarkan dari penelitian yang
dilakukan oleh Eliades dkk terjadi pelepasan ion bebas dari stainless steel selama
pemakaian yang bersifat cytotoxitas.

2.2

Saliva dan Saliva Buatan


Kavitas mulut memiliki suatu kondisi lingkungan yang dipengaruhi oleh

temperatur, kualitas dan kuantitas saliva, pH saliva, plak, jumlah protein pada
saliva, sifat fisika dan kimia makanan maupun minuman, kondisi kesehatan umum
maupun mulut, kadar klorida pada saliva dan frekuensi makan. Kondisi di atas
mempengaruhi kestabilan ion logam pada braket yaitu menyebabkan terjadinya
pelepasan logam. Bila pelepasan ion terjadi dengan cepat maka braket akan korosi
yaitu disintegrasi logam yang menyebabkan kerusakan pada braket tersebut

Dalam mulut seorang pasien sering terjadi variasi konsentrasi elektrolit


karena adanya akumulasi makanan pada area interproksimal sedangkan pada area
lain dialiri saliva normal, sehingga posisi braket stainless steel di dalam mulut
pasien turut berperan terhadap terjadinya korosi pada braket tersebut. Secara
natural kondisi intraoral sangat korosif sehingga sangat berpengaruh terhadap

Universitas Sumatera Utara

mikrostruktur braket yang berada dalam mulut pasien secara terus menerus dalam
waktu yang lama. 18
Perawatan ortodonti cekat sudah lama dianggap memiliki potensi
mengganggu jaringan lunak dan keras pada rongga mulut. Pasien yang menjalani
perawatan ortodonti cekat lebih sulit menjaga oral hygiene dengan metode
konvensional, kemampuan self cleansing oleh saliva juga akan berkurang. Hal-hal
ini dapat memacu timbulnya lesi karies, yang dapat terjadi sekitar 1 bulan, tanpa
dihubungkan dengan kontrol plak mekanis. Keasaman saliva dapat berubah yang
disebabkan oleh akumulasi plak dalam mulut dan kecepatan aliran saliva sehingga
pH saliva dapat turun hingga 4,95.7,18
Saliva yang disebut juga cairan mulut adalah suatu cairan yang dikeluarkan
kelenjar ludah di dalam rongga mulut. Saliva merupakan sekresi campuran yang
diproduksi oleh kelenjar parotis sebanyak 90 % submandibula, sublingual dan
kelenjar pada palatum lunak dan pada permukaan dalam bibir dan pipi. Saliva
buatan mengandung komponen yang sama dengan saliva asli, tetapi tidak
mengandung enzim. Saliva buatan dapat dibuat dengan berbagai macam metode
pencampuran komposisi. Salah satu metodenya adalah dengan komposisi
Fusayama, terdiri dari : NaCl (400mg/L), KCl (400mg/L), CaCl 2.H2O(795 mg/L),
NaH2PO4.H2O(90 mg/L), KSCN(300 mg/L), Na2S.9H2O (5mg/L) dan urea(1000
mg/L).

Universitas Sumatera Utara

2.3 Braket dalam saliva


Saliva merupakan elektrolit yang memungkinkan adanya reaksi antara ion-ion
logam pada braket dengan saliva sehingga terjadi kerusakan secara elektrokimia
pada braket.4 Pada daerah yang kurang terpoles dengan baik, yaitu daerah anoda
terjadi reaksi oksidasi, yaitu pelepasan ion elektron ke saliva yang menyebabkan
daerah anoda merupakan daerah yang mudah mengalami korosi. Gambaran
reaksinya sebagai berikut :
Mo

M+ + e-

Sedangkan daerah katoda mengalami reaksi reduksi, dimana permukaan


katoda akan mengambil elektron bebas di saliva yang diproduksi oleh anoda.
Gambaran reaksinya adalah :
M+ + e2H+ + 2e-

M0
H2

2H2O + O2 + 4e-

3(OH)- 6

Korosi dimulai dari terjadinya tarnish pada logam, kemudian berlanjut


dengan lepasnya ion-ion logam, akhirnya terjadilah korosi. Tarnish adalah
berkurangnya pewarnaan permukaan logam atau perubahan pada permukaan logam
yang telah dipoles. Tidak ada tanda yang jelas yang bisa menandai kapan mulai
lepasnya ion-ion logam, tetapi bila proses tarnish tidak dihambat maka akan terjadi
pelepasan ion-ion logam. Sedangkan korosi merupakan suatu kegagalan struktur
logam secara mekanis dan berlangsung secara cepat akibat reaksi logam dengan
linkungannya. Bila penyebab tarnish tidak dihilangkan maka warna logam akan

Universitas Sumatera Utara

semakin kusam, yang berarti proses korosi terus berlanjut. Penyebab tarnish
adalah:
1. Air, oksigen dan ion klorida yang terdapat di saliva
2. Deposit-deposit dalam mulut yang menempel pada permukaan logam
3. Stain yang disebabkan oleh bakteri
4. Pembentukan senyawa-senyawa tertentu seperti oksida, sulfida atau klorida.
Stainless steel bersifat menyalurkan panas dan listrik, sehingga terjadi mobilitas
elektron-elektron dalam logam. Elektron yang terletak di permukaan braket mudah
meninggalkan braket sehingga pada permukaan braket terbentuk ion positif yabg
labil dan bersifat anoda. Elektron yang terlepas akan menghasilkan energi panas
dan listrik, sedangkan ion positif akan bersenyawa dengan ion lain. Kejadian
seperti di atas sering terjadi pada area braket yang rusak atau kasar, karena tidak
terpoles dengan baik. Interaksi ion-ion logam dengan lingkungan merupakan
penyebab korosi yang paling umum, tetapi biasanya korosi tidak disadari oleh
ortodontis sebelum braket mengalami kerusakan yang parah.

2.4

18

Efek Biologis dari nikel


Produk korosi utama dari stainless steel adalah besi, krom dan nikel. Walau

ketiga elemen tersebut semuanya memiliki potensi efek samping, nikel dan krom
memperoleh perhatian terbesar karena laporan atas potensi mereka untuk
menimbulkan efek alergi, toksis atau karsinogenik. Interpretasi atas temuan tersebut
harus dilakukan dengan hati-hati karena toksisitas yang terdokumentasi biasanya

Universitas Sumatera Utara

hanya berlaku pada bentuk terlarut dari elemen tersebut. Pada saat ini hubungan
apapun antara pelepasan suatu logam dan toksisitas metabolik, bakteriologis,
imunologis atau karsinogenik dianggap sebagai dugaan semata, karena hubungan
sebab dan akibat belum dibuktikan pada manusia. Selain itu tidak mungkin bahwa
pola yang sama berlaku pada aplikasi aloi dalam ortodonti dan ortopedi. 13
Pada umumnya larutan nikel (0,05 mol/L) dan kobal (0,01 mol/L)
ditemukan menghambat fagositosis bakteri oleh leukosit polimorfonuklear in vitro.
Ion nikel dapat mempengaruhi kemotaksis leukosit melalui perubahan bentuk, sambil
menstimulasi neutrofil untuk menjadi asferis dan bergerak lebih lambat, serta
menghambat aktifitas kontraktil yang bergantung pada ion kalsium dengan mendepolarisasi membran sel neutrofil. Nikel juga diperlihatkan menghambat kemotaksis
pada konsentrasi 2,5 sampai 50 ppm. Konsentrasi nikel dalam kisaran tersebut
dilepaskan dari aloi dental dan diperlihatkan mengaktifkan monosit dan sel-sel
endotel serta menekan atau mendukung pelepasan molekul adhesi interseluler oleh
sel endotel. Yang terakhir ini bergantung pada konsentrasi nikel. Sebagian besar
literatur menyatakan bahwa keberadaan nikel beresiko menimbulkan respon
inflamasi dalam jaringan lunak. 13
Senyawa nikel dalam bentuk arsenida dan sulfida merupakan karsinogen,
alergen dan mutagen yang telah diakui. Nikel dapat menstimulasi hipoksia melalui
up-regulasi Cap43, suatu gen yang mengatur hipoksia. Rute berbeda yang mengarah
ke kesimpulan yang sama telah dikemukakan dimana stres oksidatif yang disebabkan
oleh pemaparan terhadap logam dan khususnya nikel diperantarai oleh induksi laktat

Universitas Sumatera Utara

dehidrogenase, lipid peroksidase dan induksi reaksi Fenton. Proses reaksi Fenton
melibatkan reaksi O2- dengan logam kelumit oksidatif dan pembentukan O2, yang
selanjutnya bereaksi dengan hidrogen peroksida untuk membentuk hidroksi radikal
dan OH-. Hipotesis tambahan bagi stres oksidatif melibatkan induksi pembentukan
asetaldehid oleh nikel, sementara bukti atas aksi oksidatif diilustrasikan oleh
peningkatan reseptor laktoferin setelah pemaparan populasi sel terhadap nikel.13
Banyak penelitian juga telah menyatakan bahwa nikel dalam konsentrasi
nontoksik merangsang kerusakan basis DNA yang bersifat spesifik-daerah dan single
strand scission. Keterlibatan faktor transkripsi NF-kB dan AP-1 telah ditetapkan
melalui penelitian yang menunjukkan bahwa sel-sel resisten Ni mengurangi level
pengikatan kedua faktor tersebut ke sekuens DNA mereka. Kerusakan DNA akibat
Ni juga dapat timbul secara tidak langsung melalui penghambatan enzim, seperti 8oxo-2-deoxyguanosine dan 5-triphosphate pyrophosphatase, yang mengembalikan
perpecahan DNA. Pada konsentrasi nontoksis, nikel mendorong mutasi mikrosatelit,
menghambat perbaikan eksisi nukleotida dan meningkatkan metilasi genom total.
Pengaruh tersebut ke ketidakstabilan genetik telah disebutkan sebagai dasar aksi
karsinogenik dari nikel.13

2.5 Korosi dan Pelepasan Ion Logam


Korosi merupakan kerusakan yang terjadi pada suatu material akibat reaksi
dengan lingkungan sekitarnya. Proses korosi melibatkan 2 reaksi simultan yakni
oksidasi dan reduksi (redoks). Ketika specimen logam murni (disebut elektroda)

Universitas Sumatera Utara

ditempatkan pada medium cairan (disebut elektrolit) yang tidak mengandung ionion specimen, maka ion logam akan cenderung larut ke dalam medium dan
permukaan logam yang hilang ionnya akan memulai proses redeposisi untuk
mempertahankan sifat logam tersebut, transfer ion logam ke medium cairan disebut
proses oksidasi (hilangnya elektron) dan redeposisi yang menyebabkan reduksi.
Tingkat korosi logam dipengaruhi oleh komposisi material serta reaksi kimia dari
cairan

tempat

logam

tersebut

dicelupkan

atau

lingkungan

sekitarnya.

(Faccioni.dkk,2004;Eliades.dkk,2002)
Meskipun stainless steel dikenal sebagai campuran logam yang tahan
korosi, namun proses pembuatan yang berbeda-beda menghasilkan kualitas yang
berbeda-beda juga, sehingga akan mempengaruhi tingkat ketahanan korosi. (Lin
dkk, 2006).
Terdapat beberapa jenis proses korosi yang dapat terjadi pada braket logam
terkait dengan waktu pemakaian dan lingkungan rongga mulut yang antara lain :
1. Korosi merata ( uniform attack )
Pada kondisi normal, braket logam stainless steel diselubungi lapisan oksida
kromium yang mencegah terjadinya penetrasi agen korosi.
Akan tetapi, pada beberapa kasus lapisan tersebut rusak akibat ekspos braket
terhadap klorida. Umumnya korosi ini terjadi hampir di semua tingkat logam tetapi
dalam tingkat yang berbeda dan dapat tidak terdeteksi hingga mengenai sebagian
besar logam (Oh KT dkk, 2005; House dkk, 2008, Eliades dkk.2003)

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1 Korosi merata (www.corrosionclinic)

2. Korosi sumuran (pitting corrosion )


Pada tingkat mikroskopis, braket ortodonti dapat memiliki banyak pit dan celah.
Keadaan tersebut diperkirakan meningkatkan kerentanannya terhadap korosi karena
mampu

menampung

mikroorganisme

pembentuk

plak.

Mikroorganisme

menyebabkan penurunan pH lokal dan pengurangan oksigen yang kemudian


mempengaruhi proses pasifasi. (House dkk,2003).

Gambar 2.2 Korosi sumuran (www.corrosionclinic)

3. Korosi celah ( crevice corrosion)


Korosi ini dapat terjadi pada pesawat lepasan bila kawat atau komponen sekrup
ekspansi memasuki akrilik. Diskolorasi kecoklatan dapat timbul di bawah

Universitas Sumatera Utara

permukaan akrilik yang berkontak dengan logam. Hal ini diperkirakan disebabkan
oleh bakteri dan biofilm permukaan antara kawat dan akrilik, sehingga
mengakibatkan korosi celah dari logam (House dkk,2003).

Gambar 2.3 Korosi celah (www.substech)

4. Korosi galvanik ( galvanic corrosion)


Dalam ortodonti, korosi galvanik dapat timbul bila dua logam yang berbeda
disatukan dalam pembuatan braket atau posted archwire. Dalam kasus pesawat lepas,
kedua logam juga dapat berperan dalam korosi galvanik, namun situasi tersebut
diperparah oleh adanya bagian sambungan yang disolder. Hal ini karena bagian
sambungan solder aktif secara mekanis sehingga menyebabkannya lebih rentan
terhadap korosi (Grimsdottir, Gjerdet, Hensten, 1992).

Gambar 2.4 Korosi galvanik (www.aluminumsurface)

Universitas Sumatera Utara

5. Korosi fretting (Fretting corrosion)


Korosi fretting terjadi di area

kontak logam yang mengalami beban

berkelanjutan. Misalnya pada pertemuan archwire/slot braket. Selama aplikasi


beban, kedua logam mengalami proses cold welding dari tekanan pada pertemuan
antara keduanya. Aplikasi kontinu tekanan demikian pada pertemuan tersebut akan
menyebabkan bagian persambungan mengalami keausan, merusak lapisan oksida
permukaan pelindung dan menyebabkan logam menjadi rentan terhadap korosi.
(House dkk, 2008).

Gambar 2.5 Korosi fretting (www.corrosion-doctors)

2.6

Alat Uji

2.6.1 Uji Komposisi Unsur (XRF)


Uji ini dilakukan dengan menggunakan alat X-Ray Fluoresence (XRF) tipe
EDX-1300. Uji XRF bertujuan menentukan jenis dan presentase komponen unsurunsur penyusun braket sebelum direndam dalam saliva buatan.
XRF merupakan teknik analisa non-destruktif yang digunakan untuk identifikasi
serta penentuan konsentrasi elemen yang ada pada sampel padat, bubuk ataupun cair.
Secara umum, XRF spektrometer, mengukur panjang gelombang komponen material

Universitas Sumatera Utara

secara individu, dari emisi fluorosensi yang dihasilkan sampel saat diradiasi dengan
sinar-x.31
Metode XRF secara luas digunakan untuk menentukan komposisi unsur suatu
material. Karena metode ini cepat dan tidak merusak sampel, metode ini dipilih
untuk aplikasi di lapangan dan industri untuk kontrol material. Tergantung pada
penggunaannya, XRF dapat dihasilkan tidak hanya oleh sinar-X tetapi juga sumber
eksitasi primer yang lain seperti partikel alfa, proton atau sumber elektron dengan
energi yang tinggi.32

Gambar 2.6 Mesin X-Ray Fluorescence


(XRF) tipe EDX-1300.

Kelebihan dan Kekurangan Metode XRF


Keunggulan dari metode ini adalah sampel yang dianalisis tidak perlu
dirusak, memiliki akurasi yang tinggi, dapat menentukan unsur dalam material tanpa
adanya standar, serta dapat menentukan kandungan mineral dalam bahan biologik
maupun dalam tubuh secara langsung.

Universitas Sumatera Utara

Kekurangan dari metode XRF adalah tidak dapat menganalisis unsur di bawah
nomor atom 10.33

2.6.2. Uji Inductively Coupled Plasma (ICP)


Inductively Coupled Plasma (ICP) yang termasuk ke dalam Spektroskopi
Atomik adalah sebuah teknik analisis yang digunakan untuk mendeteksi jejak logam
dalam sampel dan untuk mendapatkan karakteristik unsur-unsur yang memancarkan
gelombang tertentu. ICP merupakan instrumen yang digunakan untuk menganalisis
kadar unsur-unsur logam dari suatu sampel dengan menggunakan metode
spektrofotometer emisi. Spektrofotometer emisi adalah metode analisis yang
didasarkan pada pengukuran intensitas emisi pada panjang gelombang yang khas
untuk setiap unsur. Bahan yang akan dianalisis untuk alat ICP ini harus berwujud
larutan yang homogen.

Prinsip kerja ICP


Langkah kerja ICP:
- Preparasi Sampel
Beberapa sampel memerlukan langkah preparasi khusus seperti penambahan asam,
pemanasan, dan desktruksi dengan mikrowave.
-

Nebulisasi

Cairan diubah menjadi aerosol.


-

Desolvasi/ Volatisasi

Universitas Sumatera Utara

Pelarut dihilangkan sehingga terbentuk aerosol kering.


-

Atomisasi

Ikatan gas putus, dan hanya ada atom.


-

Eksitasi/ Emisi

Atom memperoleh energi dari tumbukan dan memancarkan cahaya dari panjang
gelombang yang khas.
-

Deteksi/ Pemisahan

Grating mendispersikan cahaya yang dapat diukur secara kuantitatif.

Gambar 2.7 Inductively Coupled Plasma( ICP)

2.7

Landasan Teori
Braket ortodonti dapat terbuat dari bahan logam maupun non logam. Salah

satu logam yang dipakai untuk pembuatan braket adalah stainless steel. Braket
dengan bahan stainless steel merupakan braket yang terbanyak digunakan di klinik

Universitas Sumatera Utara

karena braket stainless steel merupakan braket yang paling ekonomis dan
mempunyai kekuatan tinggi. Stainless steel merupakan logam campuran dari besi
(komponen utama), kromium 18 %-20%, nikel 8%-10% dengan sejumlah kecil
mangan, silikon dan karbon yang kadarnya kurang dari 0,1

Nikel berfungsi

membantu ketahanan logam terhadap korosi serta memperkuat logam.


Konsentrasi nikel pada braket stainless steel telah banyak menimbulkan
perdebatan, karena di satu sisi nikel diketahui memberikan reaksi alergi yang lebih
banyak selama perawatan ortodonti dibandingkan dengan ion logam lainnya dan di
sisi lain nikel merupakan salah satu elemen pembentuk austenitik.
Selama perawatan ortodonti cekat, braket selalu berada dalam rongga mulut
sehingga terjadi interaksi braket dengan lingkungannya. Salah satu kriteria yang
harus dipenuhi oleh braket ortodonti adalah memiliki biokompabilitas yang baik dan
daya tahan yang tinggi terhadap korosi. Produk utama hasil proses korosi yang paling
merugikan bagi tubuh adalah ion nikel. Pelepasan ion nikel pada braket dipengaruhi
oleh komposisi kandungan logam, metode pembuatan serta lingkungan dalam mulut.

Perawatan ortodonti cekat sudah lama dianggap memiliki potensi


mengganggu jaringan lunak dan keras pada rongga mulut. Pasien yang menjalani
perawatan ortodonti cekat lebih sulit menjaga oral hygiene dengan metode
konvensional, kemampuan self cleansing oleh saliva juga akan berkurang. Hal-hal
ini dapat memacu timbulnya lesi karies, yang dapat terjadi sekitar 1 bulan, tanpa
dihubungkan dengan kontrol plak mekanis. Keasaman saliva dapat berubah yang

Universitas Sumatera Utara

disebabkan oleh akumulasi plak dalam mulut dan kecepatan aliran saliva sehingga
pH saliva dapat turun hingga 4,95.

2.8. Kerangka Konsep Penelitian


Braket stainless steel

Perendaman dalam saliva buatan selama 7 hari

Inductively Coupled Plasma (ICP)

Ion nikel yang terlepas

2.9

Hipotesis Penelitian
1. Ada pelepasan nikel dari braket standar Edgewise stainless steel SD

Orthodontic USA, Protect dan American Orthodontics pada perendaman dalam


saliva buatan.
2. Terdapat perbedaan lepasnya ion nikel antara braket standar Edgewise
stainless steel SD Orthodontic USA, Protect dan American Orthodontics

Universitas Sumatera Utara

3. Terdapat perbedaan lepasnya ion nikel antara braket standar Edgewise


stainless steel SD Orthodontic USA, Protect dan American Orthodontics dengan
pH 5 dan pH 6,8.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai