yang
bertujuan untuk meningkatkan volume (bulking up) bahan aktif tersebut. Eksipien disebut juga dengan pelarut
(diluent) atau "pengisi" (filler). Dengan meningkatkan volume obat tanpa menambah dosis bahan aktifnya
memungkinkan obat untuk dikonsumsi lebih mudah. Eksipien tertentu juga berfungsi untuk melarutkan bahan aktif
obat yang sukar untuk dilarutkan sehingga mempermudah penyerapan di dalam tubuh.[1] Fungsi lainnya dari eksipien
yaitu mempermudah penanganan obat (terutama jika bahan aktif sukar untuk mengalir atau bersifat lengket terhadap
kemasan atau mesin pembuat obat), meningkatkan ketahanan terhadap perubahan temperatur lingkungan sehingga
mencegah denaturasi, dan memperpanjang usia simpan. Jenis eksipien sangat tergantung dengan jenis bahan
aktifnya dan cara obat dikonsumsi.
Pewarna makanan digunakan untuk mengubah penampilan dari obat dan untuk identifikasi jenis obat.
Eksipien, seperti halnya obat (bahan aktif dalam sediaan farmasi), juga mempunyai aktivitas termodinamika,
sehingga walaupun rendah, tetap memiliki pengaruh pada reaksi degradasi dan interaksi dengan bahan obat.
Pengaruh eksipien ini tentunya sudah dipertimbangkan para formulator di industri farmasi, ketika melakukan studi
praformulasi.
Beberapa contoh interaksi antara eksipien dengan bahan obat adalah lubrikan (pelincir) lipofilik, yang bila
didispersikan secara halus pada bahan obat dapat menurunkan disolusi bahan obat. Kelompok karbonilat, misalnya
polivinilpirolidon, dapat berinteraksi dengan bahan obat yang termasuk dalam golongan donor hidrogen misalnya
famotidine dan atenolol. Formulator tentu tidak akan menggunakan eksipien yang dapat berinteraksi dengan bahan
obat, karena akan berpengaruh pada kualitas sediaan farmasi.
Pemilihan eksipien yang tidak menimbulkan interaksi dengan bahan obat, dilakukan dengan menggunakan uji DSC
(differential scanning calorimetry) dan TLC (thin layer chromatography).
Selain interaksi dengan bahan obat, eksipien juga dapat menimbulkan efek yang tidak dikehendaki, baik efek yang
terjadi secara umum maupun yang mungkin terjadi secara spesifik hanya pada individu tertentu.
Efek yang terjadi secara umum biasanya timbul sebagai akibat penggunaan eksipien yang melebihi batasan yang
ditetapkan. Eksipien seperti halnya obat atau bahan lainnya, mempunyai kemungkinan menimbulkan efek yang tidak
diinginkan apabila digunakan dengan jumlah yang melebihi batasan tertentu.
Berikut adalah contoh eksipien golongan fenol dan efek samping yang dapat terjadi:
- Vaselin: iritan dan dermatitis
- Bakterisidal-fungisidal: iritan
- Pengawet: contact dermatitis
- Paraben: kontak dermatitis
- Butilhidroksi toluene (BHT) dan butilhidroksi anisol (BHA): animal toxicity
- Antioksidan: contact dermatitis
- Antioksidan: pruiritis, sensitisasi
Antioksidan golongan sulfit (Na/K Bisulfit, K Metabisulfit, Na Sulfit dan sebagainya) banyak digunakan pada industri
farmasi dan makanan, dan dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas pada individu yang peka. Hipersensitivitas
dapat ditandai dengan munculnya bronkhokonstriksi, pruritus, urtikaria, nyeri dada atau sesak napas, angioderma
dan hipotensi yang dapat mengakibatkan unconsciousness. Hal ini dapat dialami oleh penderita yang mempunyai
riwayat asma. Walaupun jarang, senyawa golongan sulfit juga dapat menyebabkan terjadinya paradoxical
bronchospasm.
Eksipien golongan alkohol :
- Etanol: interaksi obat, intoksikasi ethanol (25 mg/dl),
- Benzil-alkohol: pada dosis rendah (0,9-2,0%: sebagai preservatif) memberikan efek pada sistem neurologi dan
pada dosis yang lebih tinggi (>5%, sebagai solubilizer) dapat menyebabkan terjadinya sindroma fatal pada bayi
prematur 99-234 mg/kg/hari.
- Pengawet golongan merkuri, misalkan thiomerosal, sebagai pengawet dan desinfektan pada contact lens, ternyata
dijumpai banyak menyebabkan terjadinya hipersensitivitas (10% pada pengguna contact lens).
Eksipien golongan hidrokarbon terhalogenasi, misalkan chlorbutol (antimikroba), dapat berpengaruh pada penurunan
tekanan darah, efek terhadap susunan saraf pusat, seperti somnolence.
Efek samping khusus akibat penggunaan eksipien dapat terjadi walaupun jumlah eksipien yang digunakan tidak
berlebih. Hal ini terkait dengan karakter spesifik dari subyek atau individu yang bersangkutan, seperti keadaan
patologi yang ditransmisikan secara genetik (penyakit metabolisme, intoleransi terhadap terhadap phenylketonurea
dan laktosa), predisposisi genetika (diabet dan alergi).
Beberapa eksipien, diantaranya adalah tartrazin, dapat menyebabkan terjadinya kasus intoleransi pada beberapa
individu, khususnya yang mempunyai riwayat alergi dan juga intoleransi. Pelarut golongan minyak bagai pembawa
sediaan injeksi juga dapat menyebabkan alergi pada beberapa individu, sehingga eksipien tersebut harus
dicantumkan pada brosur atau kemasan obat jadi.
Bahan pewarna, yang berasal dari alam ternyata mempunyai efek samping yang lebih banyak terjadi. Sebagai
contoh sirup antibiotika tertentu, dapat menyebabkan terjadinya abdominal pain dan nausea serta muntah, karena
adanya tingtur of orange sebagai flavour. Penambahan bahan pewarna dan bahan perasa ke dalam formulasi harus
memperhatikan adanya kemungkinan individu yang alergi.
Eksipien yang digunakan dalam sediaan farmasi yang dikonsumsi anak juga harus diperhatikan karena ada
kemungkinan eksipien yang aman bagi pasien dewasa, tetapi tidak diperbolehkan untuk anak. Sebagai contoh:
benzalkonium klorida (pengawet yang banyak digunakan pada sediaan parenteral) dapat menyebabkan terjadinya
spasme pada bronkus, pemanis aspartam menyebabkan terjadinya sakit kepala, pemanis sakarin dapat
menyebabkan terjadinya hipersensitifitas pada penggunaan sulfonamida, laktose seringkali menyebabkan terjadinya
intoleransi karena adanya pengaruh fisiologis dari aktivitas laktase pada orang dewasa dan propilen glikol dapat
menyebabkan terjadinya hiperosmolalitas dan asidosis laktat.
Dikutip dari artikel berjudul Pengaruh Bahan Tambahan atau Eksipien dalam Sediaan Farmasi Bagi Keamanan
Terapi Obat, yang ditulis Sugiyartono, Fakultas Farmasi, Universitas Airlangga, Surabaya, seperti dimuat di majalah
MEDICINUS Vol. 24 (1) | Edition January 2011, hal.39.