Anda di halaman 1dari 40

SISTEM PENGHANTARAN

OBAT
Pertemuan 2-3
“IMMIDIATE RELEASE DRUG DELIVERY SYSTEM”

Apt. Nurfitriyana, M.Farm


Institut Sains & Teknologi Al-Kamal
Genap 2020/2021
Introduction

Sistem penghantaran obat lepas cepat (Immidiate Release Drug Delivery) didesain untuk
memberikan onset cepat dalam aksi obat. Kebanyakan obat beraksi melalui interaksi dengan
reseptor di dalam tubuh. Sebagaimana terjadinya interaksi molekuler, obat-obatan harus
terdispersi secara molekuler dalam larutan. Oleh karena itu, kelarutan obat adalah kunci
utama di dalam formulasi obat.
Sediaan Immediate Release

Keuntungan
Obat sangat mudah hancur dan larut dalam cairan
mulut
 Absorpsi obat sangat cepat
 Tidak memerlukan air
 Mudah dalam penggunaan khusus dalam perjalanan
 Bermanfaat untuk mengobati penyakit khronis yang
akut/akut (penyakit jantung, asma dll)
 dapat digunakan untuk anak-anak dan orang lanjut
usia. www.the
megaller
y.com
Kekurangannya Sediaan Immediate
Release
1. Bila obat tidak cocok (terjadi alergi dll), sukar
untuk menariknya kembali
2.Rasa harus menjadi pertimbangan, obat yang
rasanya sangat pahit tidak coccok untuk
sediaan ini.
3.Pengetahuan tentang bentuk/eksipien yang
digunakan
4. Belum populer dimasyarakat www.the
megaller
y.com
Sediaan Immediate Release

Kelarutan (Solubilitas) merupakan kemampuan zat terlarut larut dalam pelarut.


Solubilitas saturasi adalah kemampuan maksimum kelarutan zat terlarut di dalam pelarut tertentu pada
kondisi kesetimbangan. Solubilitas saturasi tergantung pada suhu dan tekanan. Untuk zat yang dapat
diionkan dapat juga dipengaruhi oleh PH pelarut.
Sementara kelarutan merupakan aspek termodinamika, sedangkan disolusi adalah aspek kinetik. Disolusi
mendeskripsikan mengenai kecepatan obat larut di dalam pelarut. Disolusi tidak hanya dipengaruhi oleh
jenis pelarut dan suhu, tetapi juga faktor lain seperti ukuran dan area permukaan padatan, kondisi
campuran dan jumlah pelarut.
Sediaan Immediate Release

Bioavaibilitas obat tergantung pada kelarutan dan kemampuan membran biologis. Sayangnya,
banyak obat yang memiliki kelarutan air yang rendah. Ketika suatu obat diberikan secara oral,
obat akan larutan di dalam gastrointestinal agar dapat melewati membran mukosa untuk masuk ke
dalam tubuh. Mekanisme ini dapat terjadi secara difusi pasif ataupun aktif. Proses ini akan terjadi
pada tingkat molekuler, dimana obat akan larut. Hal ini berarti obat harus memiliki disolusi yang
tinggi. Sebagai contoh, suatu obat memiliki kelarutan yang tinggi akan tetapi memiliki disolusi
yang rendah, maka konsentrasi obat tidak akan tercapai pada waktu yang diinginkan.
Contoh obat yang dapat dijadikan obat lepas cepat

Analgesik Anthelmintik Antibakteri


Antiinflamasi Antiaritmia
(naproksen,
(mebendazol, (eritromisin,
(Kuinidin sulfat)
fenilbutazon) praziquantel) rifampisin)

Antikoagulan Antidepresan Antidabetik Antiepilepsi


(Dikumarol, (trimipramin (Klorpropamid, (as valproat,
fenindion) maleat) glibenklamid) fenitoin)

Anti-jamur Anti-gout
(Fenitoin, (Alopurinol,
amfoterisin) probenesid)
Cont’
Antimalaria
Antihipertensi Anti-migrain Antimuskarinik
(Klorokuin,
(nifedipin, reserpin) (Ergotamin tartrat) (Atropin, orfenadrin)
meflokuin HCl)

Antineoplastik & Anti-parkinsonian Agen Antiprotozoa


Imunosupresan (Bromokriptin Gastrointestinal (Tinidazol,
(busulfan) mesilat) (simetidin) metronidazol)

Agonis Reseptor Stimulan


Histamin (Amfetamin,
(Akrivastatin) fenfluramin)
FAKTOR YANG MENYEBABKAN
RENDAHNYA KELARUTAN

 Meningkatnya lipofilisitas
 Meningkatnya kristalinitas
IMPROVING THE SOLUBILITY OF
DRUGS ON THE MOLECULAR LEVEL

Plihan untuk memperbaiki tingkat kelarutan, disolusi dan bioavaibilitas pada tingkat
molekular meliputi:
1. Menggunakan co-solvent
2. Menggunakan bentuk garam dari obat
3. Menggunakan desain prodrugs
4. Menggunakan kompleks siklodekstrin
5. Memperbaiki solubilitas pada level koloidal
6. Memperbaiki solubilitas pada level partikulat
Memperbaiki Kelarutan,
Disolusi dan Bioavaibilitas
Menggunakan Co-Solvent
MENGGUNAKAN CO-SOLVENT

Apabila obat memiliki kelarutan yang buruk pada air, mengubah pelarut air-pelarut organik
atau campuran pelarut dengan air adalah salah satu pilihan untuk memperbaiki kelarutan.
Secara umum, pelarut yang digunakan mengandung gugus hidroksil seperti etanol,
propilenglikol, gliserol dan polietilenglikol. Pendekatan ini dapat digunakan untuk formulasi
sediaan oral. Namun, untuk mencapai kelarutan obat yang cukup tinggi dalam campuran
pelarut bersama air, konsentrasi pelarut harus cukup tinggi. oleh karena itu, jika campuran
pelarut cosolvent-air diencerkan, daya larut dari campuran cosolvent-air tersebutdapat dengan
cepat hilang dan pengendapan obat dapat terjadi. Selain itu, konsentrasi pelarut tinggi
mungkin tidak dapat diterima untuk formulasi sediaan parenteral untuk alasan toksikologi.
Memperbaiki Kelarutan, Disolusi dan Bioavaibilitas
Menggunakan Bentuk Garam dari Obat tersebut
MENGGUNAKAN BENTUK GARAM
DARI OBAT

 Formulasi obat menggunakan bentuk garam dari obat tersebut dapat memperbaiki
solubilitas dan disolusi obat.
 Pemilihan bentuk garam tergantung dari nilai pKa obat, rute pemberian dan bentuk
sediaan.
 Ion – ion yang digunakan dalam bentuk garam menurut USP 2006 tentang Monografi
Obat:
Anion : hidrokolida, sulfat, asetat, fosfat, klorida, maleat, mesylate
Kation: natrium, potasium, kalsium, aluminium
Contoh Aplikasi Penggunaan Bentuk Garam
untuk Meningkatkan Solubilitas Obat

 Ibuprofen adalah obat anti inflamasi yang banyak digunakan dengan dosis lazim yang besar (200-
800 mg), baik dalam bentuk kapsul maupun dalam bentuk tablet. Menurut Biopharmaceutics
Classification System (BCS), ibuprofen termasuk obat golongan II yaitu obat yang memiliki
kelarutan rendah dan permeabilitas tinggi. Selain itu ibuprofen memiliki titik leleh yang rendah
(75-77 °C) dan sifat alir yang buruk. Hal ini juga menjadi masalah dalam formulasinya.
 Berdasarkan masalah-masalah yang ada pada ibuprofen, maka pembentukan garam dari ibuprofen
dapat menjadi salah satu solusi dari problem yang ada, tanpa merubah sifat farmakologinya,
karena pembentukan garam tidak mengubah struktur kimia dari senyawa. Garam ibuprofen dapat
meningkatkan disolusi obat dengan meningkatkan kemampuan untuk terbasahi dan meningkatkan
kelarutan dalam air; serta dapat meningkatkan titik leleh dari ibuprofen sehingga masalah pada
saat pengeringan dan pencetakan tablet dalam formulasi dapat teratasi.
Metode pembuatan garam natrium ibuprofen:
NaOH dilarutkan dalam air, di dalam gelas piala, kemudian dipanaskan di atas hot plate magnetic stirrer dengan suhu 60
– 65 ºC. Ibuprofen dengan perbandingan mol terhadap NaOH 1,05 : 1, dilarutkan sedikit-sedikit dalam larutan NaOH
dan diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer pada skala 7 (1320 rpm) hingga seluruh ibuprofen larut. Larutan
ibuprofen dalam NaOH dibiarkan pada suhu kamar sampai terbentuk kristal hasil sintesis. Kristal yang dihasilkan
dimurnikan dengan rekristalisasi menggunakan aseton sebagai anti solvent dan dikeringkan kembali pada suhu kamar.
Hasil:
Natrium ibuprofen hasil sintesis merupakan bentuk dihidrat dengan titik leleh 199,9 °C. Granul natrium ibuprofen hasil
sintesis memiliki sifat alir yang lebih baik dan densitas yang lebih besar dibanding dengan granul ibuprofen. Formula
tablet natrium ibuprofen hasil sintesis memiliki kompaktibilitas yang lebih baik dibanding dengan formula tablet
ibuprofen. Bentuk garam natrium dari ibuprofen menunjukkan kecepatan pelepasan yang lebih tinggi dari pada
ibuprofen sehingga dapat memberikan mula kerja obat yang lebih cepat.
Memperbaiki Kelarutan, Disolusi dan
Bioavaibilitas Menggunakan Desain
Prodrugs
MENGGUNAKAN PRODRUG DESIGN

Pro-drug adalah obat yang diberikan dalam bentuk inaktif yang kemudian dikonversi menjadi
bentuk aktif obat melalui proses metabolisme. Pro-drug dirancang untuk mengubah sifat
fisika – kimia obat.
Tujuan dilakukannya desain Prodrug:
1. Untuk memperbaiki solubilitas obat
2. Untuk meningkatkan stabilitas obat
3. Untuk mencapai sustained drug
release
4. Untuk memperbaiki rasa obat
5. Untuk mencapai spesifik site of drug
delivery
6. Menghindari first pass metabolism
7. Mengurangi toksisitas
Klasifikasi Prodrug

1. Carrier linked prodrug: Produk yang terdiri dari zat aktif yang digabungkan dengan
suatu carrier group yang dapat dihilangkan secara enzimatik. Carrier group harus secara
biologi tidak aktif dan tidak toksik ketika dilepaskan dari obat.
2. Bioprecusor prodrug: Tidak terdiri dari suatu ikatan temporer antara zat aktif dan suatu
carrier(pembawa) tetapi didesain dari modifikasi molekul dari dasar zat aktif tersebut.
Senyawa dikonversi menjadi zat aktif melalui biotransformasi metabolit.Tipe aktivitasi;
oksidasi, reduksi, phosporilasi
3. Mutual prodrug: Tipe prodrug dengan penggabungan zat aktif dengan 2 aktifitas
farmakologi menjadi molekul tunggal. Contoh: Benorylate merupakan mutual
prodrugdari Aspirin dan Paracetamol
Mekanisme Carrier linked Prodrugs
Contoh aplikasi prodrug untuk memperbaiki
rasa obat:
Contoh aplikasi prodrugs untuk mengurangi
iritasi lambung minimal
Contoh Aplikasi Prodrugs untuk
Meningkatkan Solubilitas dan Kecepatan
Disolusi
Garam sodium succinate memiliki stabilitas kimia yang rendah sehingga bentuk ester
phosphat lebih disukai.Prodrug glycoside & ester lysin dari benzodizepines dapat larut dalam
air. Seperti promoieties hidrofilik ketika penggunaan parenteral lebih menguntungkan
dibanding larutan propyleneglycol, dimana toksik dan menyakitkan.
Memperbaiki Kelarutan, Disolusi dan
Bioavaibilitas Menggunakan Siklodektrin
Kompleks Siklodekstrin

Siklodekstrin merupakan molekul yang pertama ditemukan pada tahun 1891 oleh Viller. Keistimewaan siklodekstrin
terletak pada struktur cincinnya dan kemampuan untuk melingkupi molekul guest ke dalam rongga siklodekstrin. Hal
tersebut dapat diaplikasikan dalam beberapa hal di antaranya untuk memodifikasi sifat fisika kimia molekul (misal:
stabilitas, kelarutan, dan bioavailabilitas), preparasi konjugat, dan linking beberapa polimer. Siklodekstrin digunakan di
berbagai industri makanan, kosmetik, farmasi, dan kimia (Duchene, 2011).

Pada larutan berair, siklodekstrin mampu membentuk kompleks dengan beberapa senyawa obat dengan cara memasukkan
molekul obat ke dalam rongga tengah dari molekul siklodekstrin. Tidak ada ikatan kovalen yang rusak maupun yang
terbentuk selama pembentukan kompleks. Beberapa interaksi molekuler yang mungkin terjadi saat pembentukan kompleks
siklodekstrin antara lain interaksi hidrofobik, interaksi van der waals, ikatan hidrogen, pelepasan “high energy water” dari
rongga siklodekstrin selama proses inklusi, dan adanya kekuatan konformasi (Loftsson dkk., 2005; Tong, 2000).
Kemampuan siklodekstrin untuk membentuk kompleks inklusi dengan senyawa guest dipengaruhi oleh dua faktor yaitu:
(1) ukuran relatif rongga siklodekstrin terhadap ukuran molekul guest dan (2) interaksi termodinamika yang terjadi antara
molekul guest, siklodekstrin, dan pelarut (Uekama, 2002).
Mekanisme pembentukan kompleks diawali oleh molekul obat dan molekul siklodekstrin
yang saling mendekat, kemudian terjadi pemecahan struktur air di dalam rongga siklodekstrin
dilanjutkan dengan pengeluaran beberapa molekul dari rongga, juga pemecahan struktur air di
sekitar molekul obat yang akan masuk ke dalam rongga siklodekstrin sehingga memindahkan
molekul air ke dalam larutan. Proses ini dilanjutkan dengan terjadinya interaksi antara gugus
fungsi molekul obat dengan gugus yang terletak dalam rongga siklodekstrin dan terjadi
pembentukan ikatan hidrogen antara molekul obat dan siklodekstrin. Proses kemudian
dilanjutkan dengan rekonstruksi struktur air di sekeliling molekul obat yang tidak tertutup
siklodekstrin (Tong, 2000)
Contoh Aplikasi Pembentukan Kompleks
Siklodekstrin

Glipizide, antidiabetik golongan sulfonilurea, yang dikompleks dengan β-siklodekstrin menggunakan metode kneading juga
meningkat kelarutan dan bioavailabilitasnya bila dibandingkan dengan glipizide murni tanpa kompleksasi. Gliquidone
merupakan obat lain dari golongan sulfonilurea. Berdasarkan sifatnya yang sukar terbasahi, gliquidone mempunyai kelarutan
yang rendah dan bioavailabilitasnya menunjukkan variasi. Gliquidone yang dikompleks dengan hidroksipropil β-siklodekstrin
(turunan siklodekstrin) memberikan nilai area under curve (AUC) yang lebih baik daripada gliquidone tanpa kompleksasi.

Digoxin merupakan obat yang menjadi perhatian tersendiri dalam formulasi dan bioavailabilitasnya karena indeks terapinya
yang sempit. Kelarutan digoxin dalam air meningkat 2000 kali lebih besar melalui pembentukan kompleks dengan
hidroksipropil β-siklodekstrin. Namun, larutan oral yang dipersiapkan dengan kompleks padat digoxin-hidroksipropil β-
siklodekstrin bila dibandingkan dengan tablet komersial ternyata tidak ditemukan perbedaan bioavailabilitas dari keduanya.

Nitrendipin merupakan suatu calcium channel blocker. Pembentukan kompleks nitrendipinhidroksipropil β-siklodekstrin
dengan metode solvent evaporation dapat meningkatkan kecepatan disolusi dibandingkan nitrendipin tanpa kompleksasi
Memperbaiki Kelarutan, Disolusi dan
Bioavaibilitas pada Level Koloidal
Memperbaiki Solubilitas Obat pada Level
Koloidal

Koloid adalah partikel dalam kisaran ukuran nanometer (biasanya dalam kisaran ukuran
antara 10 dan 500 nm). Koloid dapat dibentuk oleh dispersi partikel yang jauh lebih besar
atau terdiri dari perkumpulan molekul yang lebih kecil menjadi partikel koloid yang lebih
besar seperti misel dan liposom.
Cara untuk meningkatkan disolusi obat dan solubilitas obat pada level koloidal dengan cara,
meliputi:
1. Submikro emulsi
2. Mikoemulsi
Klasifikasi Lipid

Kebanyakan sediaan farmasi yang menggunakan formulasi koloidal menggunakan basis lipid. Secara fisikokimia, lipid
terbagi menjadi:
1. Lipid nonpolar: tidak larut air dan tidak membentuk lapisan monolayer pada permukaan air. Ex: parafin,
campuran hidrokarbon alifatik
2. Lipid polar, terbagi 3:
a. Polar golongan I: Lipid tidak larut air seperti non-polar. namun, saat menyebar pada antarmuka udara-air untuk
membentuk lapisan tunggal (monolayer) yang stabil. Contoh: olive oil, coconut oil.
b. Polar golongan II: seperti lipid polar golongan I. Lipid tidak larut air seperti non-polar. namun, saat menyebar
pada antarmuka udara-air untuk membentuk lapisan tunggal (monolayer) yang stabil. Perbedaannya adalah lipid
golongan ini mengembang pada air untuk membentuk lyotropic liquid crystal. Contoh: lesitin
c. Polar golongan III: molekul amfifilik terlarut. Molekul-molekul ini menyebar pada antarmuka udara-air tetapi
membentuk lapisan tunggal yang tidak stabil, juga menunjukkan kelarutan molekul dalam air di bawah
konsentrasi critical micelle-forming.
Emulsi dan Mikroemulsi

Emulsi adalah sistem dua fase yang terdiri dari fase minyak dan fase air. Emulsi dapat dibagi
menjadi emulsi tipe m/a dan a/m. Ukuran partikel yang terdispersi beragam bisa berupa
micrometre ataupun nanometre.

Secara fisik, mikroemulsi adalah sistem satu fase, atau mendekati laruutan micelar
dibandingkan dg emulsi. Secara termodinamika, mikroemulsi larutan stabil koloidal, tidak
seperti emulsi.
Contoh beberapa obat
yang telah diteliti
untuk meningkatkan
solubilitas,
bioavailbilitas dll
dalam bentuk
mikroemulsi
Memperbaiki Kelarutan, Disolusi dan
Bioavaibilitas PADA level Partikulat
Level Partikulat

Berdasarkan persamaan Noyes-Whitney, ketika ukuran partikel dikurangi luas permukaan


efektif total partikel obat meningkat dan dengan demikian laju disolusi ditingkatkan. Carra
untuk memperkecil untuk partikel dapat dilakukan dengan cara proses milling dan
homogenisasi dengan tekanan tinggi. Surfaktan dan polimer dapat digunakan untuk
mengurangi agregasi partikel dalam proses.

Nanosizing adalah pengurangan ukuran partikel hingga kisaran submikron. Kemajuan terbaru
dalam teknologi milling telah menghasilkan produksi partikel yang dapat direproduksi dalam
ukuran 100–500 nm.
Pendekatan Nano untuk Meningkatkan
Disolusi Obat

Ada dua cara umum untuk menghasilkan partikel berukuran nano.


1. Pendekatan top-down: Cara pertama adalah memulai dengan bahan dan kemudian
memecahnya menjadi potongan-potongan kecil menggunakan energi mekanis, kimiawi,
atau bentuk lain
2. Pendekatan bottom-up: lain adalah mensintesis bahan dari atom atau spesies molekuler
melalui reaksi kimia, memungkinkan partikel prekursor tumbuh dalam ukuran nano
yang diinginkan.
Contoh sediaan Nano yang sudah dipasarkan dan diakui oleh FDA
Referensi:

 Yvonne Perri and Thomas Rades. Pharmaceutics-Drug Delivery and Targetting. Pharmaceutical Press: Chicago. 2010.
 Anonim, 1979, Farmakope Indonesia, ed.III, Departemen Kesehatan RI Jakarta, hal. 6-7, 591-592.
 Dong, Z., 2005, Salt Selection and Polymorphism in Pharmaceutical Industry, www.sapa-west.org [2007, Oktober 5].
 Kasim, N.A., Whitehouse, M., Ramachandran, C., Bermejo, M., Lennernas, H., Hussain, A.S., Junginger, H.E., Stavchansky, S.A., Midha, K.K., Shah, V.P., and Amidon, G.L., 2004,
Molecular Properties of WHO Essential Drugs and Provisional Biopharmaceutical Classification, Molecular Pharmaceutics, 1(1), pp. 85-96.
 Lund, W. (ed), 1994, The Pharmaceutical Codex, 12th , Pharmaceutical Press, London, pp. 908-911.
 Lannie Hadisoewignyo, Achmad Fudholidan M. Muchalal. Ibuprofen salt production and its application in tablet dosage form. Majalah Farmasi Indonesia, 20(3), 141 – 150, 2009.
 Park, KM, Kim, CK, “Preparation and evaluation of flurbiprofenloaded microemulsions for parental delivery”, International Journal of Pharmaceutics, 181, 1999, 173-179.
 Peira E, Scolari P, Gasco MR, “Transdermal permeation of apomorphine through hairless mouse skin from microemulsion”, International Journal of Pharmaceutics, 226, 2001, 47-51.
 Rhee YS, Choi JG, Park ES, Chi SC, “Transdermal delivery of ketoprofen using microemulsions”, International Journal of Pharmaceutics, 228, 2001, 161-170.
 Kreilgard M, Peedersen EJ, Jaroszewski JW, “NMR characterization and transdermal drug delivery potential of microemulsion system” Journal of Controlled Release, 69, 2000, 421-
433.
 Peltola S, Saarinen SP, Kiesavaara J, Urttia STM, “Microemulsions for topical delivery of estradiol” International Journal of Pharmaceutics, 254, 2003, 99-107.

Anda mungkin juga menyukai