Anda di halaman 1dari 31

Makalah

Penyimpangan Seksual
(Masturbasi,Onani,Lesbian,Homoseksual)
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Asuhan Kebidanan pada Masa Remaja & Pranikah
Yang dibimbing oleh Ibu Rahma Dian, S.ST

Disusun oleh :

Riska Oktaviana

(155070600111016)

Zalfaa Velia Aqqilah

(155070601111012)

Aida Novyanti Khoiriah

(155070601111013)

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah yang berjudul Penyimpangan Seksual : Masturbasi, Onani, Lesbian, dan Gay ini
dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen
PembimbingKebidananFakultasKedokteranUniversitas Brawijaya yang telah memberikan
bimbingan kepada kami. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai salah satu
metode pembelajaran bagi mahasiswi S1 Kebidanan.
Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca serta kami harap untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.

Malang, 20 April 2016

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................... ii
BAB I...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN....................................................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG.............................................................................................. 1
1.2 RUMUSAN MASALAH.......................................................................................... 2
1.3 TUJUAN............................................................................................................. 3
BAB II..................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN......................................................................................................... 4
2.1 MASTURBASI..................................................................................................... 4
2.2 ONANI............................................................................................................... 8
2.3 LESBIAN............................................................................................................ 9
2.4 HOMOSEKSUAL................................................................................................ 13
2. DASAR HUKUM YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYIMPANGAN SEKSUAL.........21
BAB III.................................................................................................................. 23
PENUTUP.............................................................................................................. 23
3.1 KESIMPULAN................................................................................................... 23
3.2

SARAN........................................................................................................ 23

LAMPIRAN............................................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 26

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari satu
tahap ke tahap berikutnya dan mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola
perilaku, dan juga penuh dengan masalah-masalah (Hurlock, 1998).
Masa remaja merupakan suatu masa yang menjadi bagian dari kehidupan manusia
yang di dalamnya penuh dengan dinamika. Dinamika kehidupan remaja ini akan sangat
berpengaruh terhadap pembentukan diri remaja itu sendiri. Masa remaja dapat dicirikan
dengan banyaknya rasa ingin tahu pada diri seseorang. Salah satunya adalah keingin
tahuan mereka mengenai seks.
Pada saat ini remaja mempunyai pemahaman yang keliru mengenai seksualitas
sehingga menjadikan mereka mencoba untuk bereksperimen mengenai masalah seks
tanpa menyadari bahaya yang timbul dari perbuatannya, dan ketika permasalahan yang
ditimbulkan oleh perilaku seksnya mulai bermunculan, remaja takut untuk mengutarakan
permasalahan tersebut kepada orang tua. Remaja lebih senang Universitas Sumatera
Utara menyimpan dan memilih jalannya sendiri tanpa berani mengungkapkan kepada
orang tua. Hal ini disebabkan karena ketertutupan orang tua terhadap anak terutama
masalah seks yang dianggap tabu untuk dibicarakan serta kurang terbukanya anak
terhadap orang tua karena anak merasa takut untuk bertanya (Amrillah, 2008).
Menurut Willis (2008) banyak penyimpangan seks yang dilakukan remaja seperti
onani, homoseksual, dan WPS, hal ini disebabkan karena kemajuan media informasi dan
teknologi yang sangat cepat seperti penggunaan internet yang tidak wajar dan banyaknya
filmfilm dan VCD porno yang beredar di masyarakat umum yang berakibat
menimbulkan krisis moral di kalangan remaja.
Survei dari pelajar Islam Indonesia (PII) wilayah Jawa Barat, setelah melakukan
polling antara bulan September-November 2002 dengan menyebar angket sebanyak 400
lembar, hasilnya sekitar 75% pelajar dan mahasiswa di berbagai kota di Jawa Barat
melakukan penyimpangan kenakalan remaja. Survey menunjukkan 45% pelajar

melakukan perilaku penyimpangan seksual dan diantaranya 25% pelajar pria melakukan
perbuatan homoseksual, PII menggunakan responden berusia antara 12-14 tahun.
Hasil dari penelitian Sarwono 2002 mengemukakan bahwa perilaku remaja Jakarta
dalam berpacaran tidak hanya terbatas pada jalan berdua atau berpegangan tangan tak
jarang sampai ke taraf berciuman bibir, memegang buad dada, memegang alat kelamin
dan bersenggama.
Menurut Irawati Imran dalam Any Muryati (2007: 23) perilaku seksual merupakan
perilaku yang didasari oleh dorongan seksual atau adanya kegiatan mendapatkan
kesenangan organ seksual melalui berbagai perilaku. Contoh berfantasi, berpegangan
tangan, berciuman, berpelukkan, petting, berhubungan intim.
Sudarjo dalam Any Muryati (2007: 23) mengatakan bahwa penyimpangan perilaku
seksual adalah merupakan suatu ketidak wajaran seksual yang dilakukan oleh seseorang
di luar batas aturan norma yang ada sehingga tidak diterima oleh lingkungan.
Berdasarkan pengertian di atas kami ingin mengulas lebih lanjut tentang
penyimpangan seksual dikalangan remaja dengan berbagai dampak yang dapat
ditimbulkan, penyebab dari penyimpangan seksual remaja dan bagaimana cara
penanganan yang efektif.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana definisi, jumlah kejadian, faktor penyebab, dampak, jenis, cara pencegahan
dan penanganan dari masturbasi?
2. Bagaimana definisi, jumlah kejadian, faktor penyebab, dampak, jenis, cara pencegahan
dan penanganan dari onani?
3. Bagaimana definisi, jumlah kejadian, faktor penyebab, dampak, jenis, cara pencegahan
dan penanganan dari lesbian?
4. Bagaimana definisi, jumlah kejadian, faktor penyebab,dampak, jenis, cara pencegahan
dan penanganan dari homoseksual?
5. Bagaimana dasar hukum yang berhubungan dengan penyimpangan seksual?

1.3 TUJUAN
1. Untuk menjelaskan definisi, jumlah kejadian, faktor penyebab, dampak, jenis, cara
pencegahan dan penanganan dari masturbasi.

2. Untuk menjelaskan definisi, jumlah kejadian, faktor penyebab, dampak, jenis, cara
pencegahan dan penanganan dari onani.
3. Untuk menjelaskan definisi, jumlah kejadian, faktor penyebab, dampak, jenis, cara
pencegahan dan penanganan dari lesbian.
4. Untuk menjelaskan definisi, jumlah kejadian, faktor penyebab, dampak, jenis, cara
pencegahan dan penanganan dari homoseksual.
5. Untuk menguraikan dasar hukum yang berhubungan dengan penyimpangan seksual.

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Masturbasi
2.1.1 Definisi Masturbasi
Masturbasi adalah suatu aktivitas seksual yang biasanya dilakukan oleh kaum
remaja. Bisa juga dikatakan kegiatan melakukan rangsangan terhadap kelamin, dapat
dilakukan oleh wanita. Walaupun bisa dilakukan oleh pria maupun wanita tetapi cara
perangsangnya tentu berbeda. Hal ini disebabkan karena bentuk fisik alat kelamin
yang berbeda antara alat kelamin pria dan wanita. Namun, pada dasarnya kegiatan ini
tetap

memiliki

tujuan

yang

sama,

yaitu

memperoleh

kepuasan

seksual.

(Iwan,dkk.2009).
Menurut Surtiretna (2006: 58) Masturbasi, kadang-kadang disebut juga onani
atau rancap, adalah perbuatan merangsang alat kelamin sendiri sehingga tercapai
puncak kenikmatan (orgasme). Pada laki-laki orgasme ini ditandai dengan ejakulasi.
Pada wanita tandanya adalah perasaan nikmat yang amat sangat, biasanya disertai
dengan ketegangan otot-otot anggota tubuh. Maksud utama masturbasi adalah
mencari kepuasan atau melepas keinginan nafsu seksual dengan jalan tidak
bersanggama. Oleh karena itu, setelah 16 melakukan masturbasi, biasanya akan
merasa puas dan rileks, dan untuk sementara khayalan tentang seks dan hasrat seks
mereda.
Menurut Ghozally, dkk (2009), masturbasi merupakan rangsangan yang
sengaja dilakukan pada organ alat kelamin dengan tujuan untuk mendapatkan
kepuasan seksual. Masturbasi dapat dilakukan oleh pria dan wanita. Cara masturbasi
pada wanita biasanya dengan menggunakan jarinya untuk mengelus klitoris dan
kemaluannya. Masturbasi pada laki-laki biasanya dengan menggenggam batang penis.
2.1.2 Jumlah Kejadian Masturbasi
Menurut Sarwono (2008), masturbasi diawali dengan fantasi tentang seks,
untuk menciptakan fantasi tersebut remaja memerlukan media pornografi. Dalam
studi pendahuluan tanggal 20 November 2009 jam 08.30 WIB di SMK Wongsorejo
Gombong Kebumen, dengan jumlah siswa sebanyak 1150 siswa, dari 10 siswa yang
diwawancarai peneliti didapatkan 8 atau 80% siswa sudah pernah terpapar media
pornografi baik media cetak maupun media elektronik. Dari 8 siswa yang pernah
terpapar media pornografi, 6 atau 75% siswa mengaku pernah melakukan masturbasi.
Kejadian masturbasi di suatu populasi adalah sekitar 92%. Di perguruan tinggi

sekitar 96% melakukan masturbasi dan di sekolah menengah sekitar 95% yang
melakukan masturbasi, dan sekitar 85% anak usia sekolah dasar sudah pernah
melakukan masturbasi. Dan banyak pendapat yang menyatakan bahwa hamper
seluruh laki-laki melakukan masturbasi dalam kehidupannya. Adapun beberapa orang
yang melakukan masturbasi hanya karena alasan yang sederhana, dimana mereka
tidak bisa mendapatkan kepuasan seksual (Kinsey, 1997).
2.1.3 Faktor Penyebab Maturbasi
Menurut Fisher (Dalam Apriyani,2009) faktor yang menyebabkan masturbasi, yaitu :
a. Eksplorasi
Banyak orang mulai melakukan masturbasi pada masa remaja, namun ada
pula yang memulai melakukannya pada masa yang lebih dini. Anak bayi mulai
meraba bahkan menggosok bagian-bagian tubuh secara spontan. Anak bayi
belum tahu apa-apa mengenai masturbasi dan hanya ingin tahu bagaimana
keadaan tubuhnya. Misalnya, anak bermain dokter-dokteran dan mulai
memegang alat kelaminnya sendiri. Eksplorasi ini dapat membawa mereka ke
dalam masturbasi. Apabila seorang memulai suatu kebiasaan pada masa kecil,
maka akan sulit melepaskan diri dari kebiasaan tersebut setelah besar.
b. Dorongan seksual
Setelah seseorang mencapai usia pubertas, tubuhnya mulai memproduksi
hormon-hormon seksual. Hormon-hormon tersebut membuat tubuh menjadi
dewasa secara fisik, dan juga menggairahkan daya tarik seksual. Daya tarik
seksual ini dapat mendorong seorang remaja untuk melakukan masturbasi dan
akhirnya akan memberikan pengalaman rasa 25 nikmat tersendiri.
c. Belajar dari orang dewasa
Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan
meniru apa yang dilihat atau didengarnya, khususnya remaja yang pada
umumnya belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap.
d. Sumber informasi
Masturbasi dan seks biasanya terjadi karena seseorang anak telah
menyaksikan gambar maupun film/video porno.
e. Penganiayaan seksual dan perkosaan
Penganiayaan seksual terhadap seorang anak (child abuse) dapat
mengakibatkan luka yang sangat dalam. Seorang anak yang pernah mengalami
penganiayaan seksual sering takut dan bingung. Biasanya anak tersebut akan
mengalami gangguan seksual.

2.1.4.Dampak Masturbasi
BKKBN (2002) menyatakan bahwa masturbasi dapat berdampak positif
maupun negatif. Dampak positifnya antara lain dorongan seksual dapat tersalurkan,
pelaku masturbasi mendapatkan kepuasan seksual, tidak Bidan Prada : Jurnal Ilmiah
Kebidanan, Vol. 1 No. 1 Edisi Desember 2010 94 menimbulkan kehamilan dan aman
dari penyakit menular seksual. Sedangkan dampak negatif dari masturbasi adalah
pelaku masturbasi akan merasa bersalah, pelaku masturbasi merasa berdosa karena
ada sebagian siswa yang menganggap masturbasi bertentangan dengan norma, sulit
konsentrasi, disfungsi ereksi. Menurut BKKBN (2010), jika sering masturbasi (>12
kali dalam satu bulan), dapat terjadi ketidakseimbangan zat dalam tubuh.
Menurut Fisher (Dalam Apriyani,2009) faktor yang menyebabkan masturbasi, yaitu :
a. Dampak Fisik
Dilihat dari segi fisik, masturbasi biasanya menyebabkan kelelahan pada
individu karena masturbasi pada umumnya dilakukan tergesa-gesa untuk

mencapai ejakulasi.
Penggunaan alat bantu secara berlebihan dan tidak tepat dapat menimbulkan

luka atau infeksi pada alat kelamin.


Masturbasi secara tidak tepat dan tidak terkontrol dapat merusak selaput dara
(keperawanan) pada wanita, dan pada pria dapat merusak atau memutuskan
jaringan darah di phallus yang dapat mempengaruhi kekuatan ereksi yang

semakin melemah.
Ejakulasi dini. Apabila seseorang pria melakukan masturbasi dengan tujuan
agar cepat klimaks, kemungkinan pria tersebut akan mengalami ejakulasi 32
(mengeluarkan maninya) terlalu dini setelah menikah, oleh karena kebiasaan
cepat mencapai puncak/klimaks. Apabila seseorang melakukan masturbasi
terlalu sering, atau terlalu banyak pada suatu waktu, maka orang tersebut akan

dapat kehilangan kepekaan pada alat kelaminnya (sexual anesthesia).


b. Dampak Mental atau Psikologis
Masturbasi dapat menimbulkan perasaan bersalah dan malu. Banyak individu
merasa malu menyebutkan masalah masturbasi, biasanya masturbasi dilakukan

sendirian di tempat yang tersembunyi dari orang lain karena rasa malu.
Self-control yang rendah. Masturbasi biasanya dilakukan karena adanya
rangsangan-rangsangan dari luar (stimuli) bukan bersifat instinktif. Artinya,
semakin baik kontrol terhadap diri dan perilakunya maka individu yang
mempunyai self-control yang baik akan menjauhi perbuatan tersebut.

Biasanya pelaku masturbasi, terutama pada pria akan mengalami krisis

kepercayaan diri (self-confidence).


Masturbasi yang terlalu sering dapat menjadi suatu obsesi dalam diri individu.
Rangsangan seksual yang secara terus menerus dan membutuhkan 34
pelampiasan dengan masturbasi, akibatnya menjadi kebiasaan yang buruk.

Biasanya remaja akan mengalami penurunan konsentrasi secara drastis.


Isolasi. Masturbasi sebagai pelarian ke dunia yang penuh dengan khayalan dan
dapat menarik seseorang dari pergaulan biasa. Orang seperti ini semakin lama
akan semakin terisolir, merasa kesepian dan sendirian.

2.1.5.Klasifikasi Masturbasi
Menurut Caprio (1973), menggolongkan kegiatan masturbasi ke dalam 2 kelompok
besar, yaitu :
a. Masturbasi yang normal, meliputi pembebasan psikologik ketegangan seksual
pada masa anak-anak muda yang normal; dilakukan tidak berlebihan; masturbasi
yang dilakukan oleh seseorang yang belum kawin; masturbasi yang dilakukan
antar pasangan-pasangan suami-istri sebgai selingan dari intercourse yang
konvensional
b. Masturbasi yang neurotic, meliputi masturbasi yang dilakukan terlalu banyak dan
bersifat konvulsif; masturbasi antara pasangan-pasangan yang lebih menyukai
cara ini daripada intercourse, masturbasi dengan gejala-gejala kecemasan, rasa
salah/dosa yang amat sangat, masturbasi pemuasan yang berhubungan dengan
penyimpangan seksual dan yang dapat diancam dipersalahkan oleh hukum.
2.1.6 Cara Pencegahan Masturbasi
Apabila seseorang merasa ketagihan dengan bermasturbasi, sebaiknya ia
mengubah pandangannya terhadap masturbasi. Contohnya, jika menurutnya
bermasturbasi adalah sesuatu yang tidak menyenangkan. Setelah itu secepatnya
mengalihkan dan menggunakan pikirannya pada kegiatan-kegiatan lainnya, seperti
berolahraga, menyalurkan hobinya, berkumpul dengan teman-teman, atau membaca
bacaan humor (Ajen, 2006).
2.1.7 Cara Penanganan Masturbasi
Untuk menyembuhkan kebiasaan masturbasi, dengan cara-cara berikut ( Abu,
2007 ), yaitu :

Usaha penyembuhan bagi kebiasaan buruk ini haruslah diniatkan karena Allah
semata karena ingin mematuhi-Nya dan karena takut akan hukuman-Nya.

Penyembuhan tercepat dan permanen bagi kebiasaan masturbasi adalah


pernikahan.

Berusahalah menyibukan diri dengan hal-hal positif bagi kehidupan dunia dan
akhirat, dengan mengalokasikan waktu tersebut pada hal yg lebih
baik/berguna, misalnya dengan olahraga, main musik, atau hobi lainnya.

Menundukan pandangan, menghindari diri dari melihat hal-hal yang


diharamkan.

Gunakan waktu luang untuk beribadah kepada Allah SWT dan untuk
menambah pengetahuan agama.

Jauhkan diri dari khayalan dan ilusi.

Memperkut kekuatan niat dan hindari menghabiskanwaktu sendirian.


Berkumpulah dengan orang-orang yang dapat memberikan manfaat dunia dan
akhirat.

Berpuasa, sebab dengan puasa dapat membendung gejolak seksual seseorang.

Mengikuti sunah Nabi saw. Ketika akan tidur, seperti membaca doa, tidur pada
sisi kanan tubuh, dan menghindari tengkurap.

Berusaha sabar dalam berjuang dengan menjaga kesucian. Minta bantuan ahli
(seperti ustadz dan psikiater).

Yang lebih penting dari itu adalah memperkuat daya kemauan. Usaha itu
hanya mungkin terwujud apabila seseorang secara jujur dan tulus hendak
melepaskan diri dari kebiasaan buruk itu

2.2 Onani
2.2.1 Definisi Onani
Onani adalah aktivitas menyentuh atau meraba bagian tubuh dengan tujuan
untuk merangsang secara seksual dirinya sendiri. 18 Aktivitas ini dilakukan oleh lakilaki maupun perempuan. Menurut pertimbangan medis onani tidak membahayakan
kesehatan selama tidak merusak bagian tubuh. Mitos yang mengatakan bahwa onani

dapat menyebabkan kabutaan, kerusakan syaraf dan kemandulan adalah tidak benar.
Secara psikologis onani banyak menimbulkan dampak antara lain ketagihan, pikiran
terus mengarah pada masalah seks sehingga konsentrasi menurun, dapat mengganggu
aktivitas belajar, membuat orang cepat lelah dan menurunkan produktivitas karena
onani menghabiskan energi (Moeliono, 2003).
Onani adalah perbuatan melepaskan nafsu terhadap diri sendiri. Antara sebab
utama adalah muncul perasaan ghairah apabila melihat perempuan berpakaian seksi
dan terdedah, melihat bahan-bahan lucah(Abdullah Nasih Ulwan, 2000: 92).
Onani/masturbasi adalah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan
menggunakan tangan, yaitu menggesek-gesek bagian alat kelamin hingga mencapai
orgasme atau menggunakan alat bantu lainnya (Yatimin, 2008: 56).
2.2.2 Jumlah Kejadian Onani
Pada dasarnya onani dan masturbasi sama yang membedakan yaitu onani
dilakukan oleh laki-laki semntara masturbasi oleh perempuan.
Kinsey dalam penelitiannya tentang prevalensi masturbasi menemukan bahwa hampir
semua pria (> 90%) dan 70% wanita pernah melakukan masturbasi pada suatu waktu
kehidupannya (Kaplan,1997). Penelitian dari Atmowiloto (2010) dengan responden
siswa SMA kelas 1 dan kelas 2 (16- 18 tahun) sebanyak 72 orang pria dan 54 orang
wanita menujukkan bahwa 59% pria dan 15% wanita telah melakukan masturbasi,
12% pria dan 6% wanita sering melakukan masturbasi (Sarwono, 2004)
2.2.3 Faktor Penyebab Onani
Onani sama dengan masturbasi hanya saja dilakukan oleh laki-laki.Dari hasil
penyebaran angket perilaku masturbasi menjelaskan pula bahwa faktor lain yang
berperan terhadap timbulnya perilaku masturbasi adalah meningkatnya penyebaran
informasi dan rangsangan seksual melalui media massa, yaitu 45 siswa (39,9%)
menggunakan media internet, 32 siswa (28,1%) menggunakan phone sex sebagai
media porno, dan 57,9% bersama teman biasanya siswa menonton media porno.
Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa
yang dilihat atau didengarnya dari media massa, khususnya remaja yang pada
umumnya belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orangtuanya
(Sarwono, 2000, h. 151).

2.2.4 Dampak Onani


Dampak terhadap kesehatan :
a. Melemahkan alat kelamin sebagai saran auntuk berhubungan seksual, serta
sedikit demi sedikit alst tersebut semakin melemah (lemah).
b. Akan membuat urat-urat tubuh semakin lemah, akibat kerja keras dalam
beronani demi untuk mengeluarkan air maninya.
c. Sangat mempengaruhi perkembangan alat vital, dan mungkin tidak akan
tumbuh seperti yang lazimnya
d. Alat vital tersebut akan membengkak, sehingga sang pelaku akan mudah
mengeluarkan air maninya.
e. Meninggalkan rasa sakit pada sendi tulang punggung, dimana air mani
keluar darinya. Dan akibat dari sakitnya itu, punggung akan menjadi
bungkuk.
f. Menyebabkan anggota badan sering merasa gemetaran seperti di bagian
kaki.
g. Onani akan menyebabkan kelenjar otak menjadi lemah, sehingga daya
pikir menjadi semakin berkurang, daya paham menurun dan dya ingat
melemah.
h. Penglihatan semakin kurang ketajamannya. Karena mata tidak lagi normal
seperti semula.
2.2.5 Klasifikasi Onani
Pada dasarnya onani dan masturbasi sama oleh karena itu penggolangan
dianggap sama.Menurut Caprio (1973), menggolongkan kegiatan masturbasi ke
dalam 2 kelompok besar, yaitu :
a. Masturbasi yang normal, meliputi pembebasan psikologik ketegangan
seksual pada masa anak-anak muda yang normal; dilakukan tidak
berlebihan; masturbasi yang dilakukan oleh seseorang yang belum kawin;
masturbasi yang dilakukan antar pasangan-pasangan suami-istri sebgai
selingan dari intercourse yang konvensional
b. Masturbasi yang neurotic, meliputi masturbasi yang dilakukan terlalu
banyak dan bersifat konvulsif; masturbasi antara pasangan-pasangan yang
lebih menyukai cara ini daripada intercourse, masturbasi dengan gejalagejala kecemasan, rasa salah/dosa yang amat sangat, masturbasi pemuasan

yang berhubungan dengan penyimpangan seksual dan yang dapat diancam


dipersalahkan oleh hukum.
2.2.6 Cara Pencegahan Onani
Cara mencegah onani menurut (Tamimi, 1992)
1. Menikah
Dengan menikah laki-laki akan terpenuhi kebutuhan biologisnya, serta
mencapai ketenangan jiwa dan kenikmatan hidup dengan membangun
keharmonisan dalam keluarga, sehingga dengan demikian terlupakan pikiranpikiran kotor yang berkenaan dengan kebiasaan buruk.
2. Puasa
Menjaga diri dari makan dan minum akan sangat membantu untuk
mengendorkan gejolak jiwa, serta menyulitkan geraknafsu untuk merangsang
tubuh melakukan onani.
3. Mendekatkan diri kepada Allah
Jauhnya hati dari pengetahuan tentang Tuhan yang menyebabkan manusia
terjerumus kedalam lembah kehancuran, karena melanggar disiplin yang telah
ditetapkan sang pencipta.
4. Mendidik kemauan
Pengetahuan tentang pentingnya pendidikan kemauan tersebut adalah modal
unttuk mengobati kebiasaan buruk seperti onani. Karena jika dibuarkan
keinginan tanpa memikirkan dampaknya, upaya untuk mencegah onanipun
akan sia-sia.
5. Menghindari pikiran negatif
Pemikiran yang positif menciptakan kehendak dan perbuatan yang positif, dan
sebaliknyapemikiran negatif akan menjelmakan kehendak dan perbuatan yang
negatif pula.
2.3 Lesbian
2.3.1 Definisi Lesbian
Lesbian adalah sebuah hubungan emosional yang melibatkan rasa cinta dan
kasih sayang dua manusia yang memiliki jenis kelamin sama yakni perempuan.
Seorang lesbian tidak memiliki hasrat terhadap gender yang berbeda/ laki-laki, akan
tetapi seorang lesbian hanya tertarik kepada gender yang sama/perempuan. (Agustina

dkk, 2005)
Lesbian adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan pilihan orientasi
seksualnya kepada perempuan atau disebut juga perempuan yang mencintai
perempuan baik secara fisik, seksual, emosional, atau secara spiritual. Lesbian adalah
perempuan yang penuh kasih sayang. (Matlin, 2004).
Lesbian adalah wanita yang mencintai atau merasakan rangsangan seksual
sesama jenisnya; wanita homoseks (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
2.3.2 Jumlah Kejadian Lesbian
Untuk menentukan besarnya angka insidensi dan angka prevalensi
penyimpangan perilaku lesbian secara akurat memang sangat sulit. Penelitian yang
dilakukan oleh banyak pakar dari banyak negara belum mampu menentukan secara
tepat besarnya angka insidensi dan prevalensi lesbian. Namun, secara umum,
diperkirakan jumlah kaum lesbian dan homoseksual di dalam masyarakat adalah 1
persen hingga 10 persen dari jumlah populasi. (Oetomo, 2001:58)
2.3.3 Faktor Penyebab Lesbian
a

Menurut (Tan Poedjiati,2005) faktor penyebab lesbian :


Pengaruh keadaan keluarga dan kondisi hubungan orang tua
Pengaruh kondisi keluarga: hubungan antara ayah dan ibu yang sering cekcok.
Antara borang tua dan dengan anak-anak yang tidak harmonis atau bermasalah.
Juga ibu yang terlalu domain di dalam hubungan keluarga (sehingga meminimalis
peran ayah). Seorang ibu menolak kehadiran anaknya (misalnya penolakan
seorang ibu terhadap anak yang lahir di luar nikah). Absennya hubungan ayah dan
renggangnya hubungan antara anak denagn ayahnya, sering dianggap menjadi
penyebab anak menjadi homoseksual. Tetapi asusmsi tersebut belum terbukti.
Bantahan yang sering dikemukakan adalah, jika satu-satunya kondisi keluarga

tersebut adalah pemicu anak menjadi lesbi atau homoseksual semuanya.


Pengalaman seksual buruk pada masa kanak-kanak
Ada yang mengatakan bahwa pelecehan seksual dan kekerasan yang dialami
seorang perempuan pada masa kanak-kanak akan menyebabkan anak tersebut
menjadi seorang lesbian pada waktu dewasanya. Tetapi hasil penelitian dari
Chicago, yaitu Lauman, memperlihatkan bahwa orang pernah mengalami
kekerasan seksual dan kemudian menjadi gay hanya 7,4% dan 3,1% wanita

menjadi lesbian.
Pengaruh Lingkungan
Anggapan lama yang sering mengatakan karakter seseorang dapat dikenali
dari siapa teman-temannya atau pengaruh lingkungan yang buruk dapat
mempengaruhi seseorang untuk bertingkah laku seperti orang-orang dimana dia
berada.

2.3.4 Dampak Lesbian


Pada dasarnya lesbian dan homoseksual sama, hanya saja lesbian istilah untuk
penyuka sesama perempuan. Adapun dampak lesbian dalam (Gay dan Lebianisme,
2012), yaitu :
1. Dampak terhadap kesehatan medis :
a. Menularkan virus penyakit HIV/AIDS
b. Menimbulkan berbagai penyakit kelamin, diantaranya adalah kencing
nanah dan sifilis
c. Menyebabkan rusaknya

organ-organ

peranakan

(reproduksi)

dan

kemandulan.
2. Pelaku homoseksual menimbulkan dampak psikologis :
a. Tidak menyukai bahkan benci terhadap lawan jenisnya.
b. Bimbang terhadap identitas seksualnya
c. Selalu murung dan merasa bersalah dengan perbuatannya.
3. Pelaku homoseksual akan menimbulkan dampak moral dalam masyarakat.
4. Pelaku homoseksual tidak dapat berinteraksi secara sosial dengan leluasa karena
masyarakat menganggap homoseksual merupakan penyimpangan terhadap sesuatu
yang buruk.
2.3.5 Klasifikasi Lesbian
Kalsifikasi lesbian menurut (Diamond,L.M , 2008)
a

Lesbian Butch: adalah tipe wanita yang mengadopsi peran laki-laki seperti dalam
relasi heteroseksual. Butch lebih digambarkan sebagi sosok yang tomboy, agresif,
aktif, melindungi dan lain- lain. Butch dapat dibagi diklasifikasikan dalam
beberapa tipe antara lain:
Soft Butch
Soft Butch seringkali digambarkan memiliki kesan yang lebih sedikit
feminin dalam cara berpakaian dan potongan rambutnya. Secara
emosional dan fisik tidak mengesankan bahwa mereka adalah pribadi
yang kuat dan tangguh namun dalam konteks yang agak sedikit

lembut.
Stone Butch

Stone Butch sering digambarkan lebih maskulin dalam cara berpakaian


maupun dari potongan rambutnya. Mengenakan pakaian laki-laki,
terkadang membebat dadanya agar terlihat lebih rata. Butch yang
berpakaianmaskulin seringkali lebih berperan sebagai seorang laki-laki
dalam berhubungan dengan kekasihnya. Berupa perhatian, rasa
melindungi dan lain-lain.
b

Lesbian Femme: adalah tipe wanita yang mengambil peran selayaknya wanita
dalam peran heteroseksual, dimana seorang lesbian yang menggunakan segala ciri
kewanitaannya, seksualitas dan sensualitas pada dirinya. Seorang femme tidak
memiliki perbedaan dalam urusan berpenampilan ataupun berperilaku layaknya
seorang wanita pada umumnya hanya perasaannya saja yang tidak memiliki

ketertarikan pada lawan jenis.


Lesbian Andro: yakni sebutan bagi seorang lesbian yang diwaktu-waktu tertentu
bisa berperan sebagai buchi atau femme.

2.3.6 Cara Pencegahan Lesbian


Menurut (King,L.A , 2010) cara mencegah lesbian, yaitu :
1

Berikan sosialisasi intens tentang keagamaan, bagaimanapun tidak ada agama

yang mengajarkan homoseks/lesbiansm .


Ajaklah untuk bergabung dengan orang-orang shaleh/shalehah. dalam artian
lingkungan yang baik. karena lingkungan sosial merupakan hal yang penting

dalam membentuk kepribadian.


Berikan sosialisasi tentang nilai dan norma yang berlaku di masyarakat

2.3.7 Cara Penanganan Lesbian


Martin dan Pear (King, 2010) menciptakan lima langkah untuk menolong individu
berhasil mengontrol diri :
Langkah 1: Perilaku yang ingin diubah lebih spesifik dan kongkret. Beberapa masalah
tertentu lebih sulit dibuat spesifik seperti membuang buang waktu, memiliki sikap
buruk di sekolah, memiliki hubungan yang kurang baik, terlalu khawatir dan
sebagainya. Jenis masalah seperti ini disebut fuzzies atau samar-samar karena bersifat
abstrak. Masalah lebih detail ketika ada tujuan yang diinginkan dan adanya hal-hal
yang dapat memberi bukti bahwa tujuan sudah tercapai.
Langkah 2: Komitmen berubah. komitmen untuk berubah dan pengetahuan terhadap
cara untuk berubah membantu individu untuk menjadi lebih efektif dalam mengatasi
masalah perilaku yang ingin diubah, misalnya; merokok, makan, belajar, dan

hubungan dengan orang lain. Lingkungan dan orang-orang di sekitar tahu akan
komitmen yang telah diambil sehingga mampu mengingatkan untuk tetap berada
dalam proses dan tujuan berubah. Ketika proses pemulihan diri akan mudah
datangnya banyak godaan untuk keluar atau berhenti dari lesbian, maka dari itu perlu
adanya rencana untuk menghadapi godaan tersebut, seperti tidak berhubungan lagi
dengan teman yang masih lesbian atau lebih menjaga sikap tehadap sesama jenis.
Langkah 3: Pengumpulan data tentang perilaku untuk mengurangi perilaku yang
berlebihan serta regulasi diri, misalnya makan berlebihan atau merokok berlebihan.
Salah satu alasan untuk memantau perilaku adalah untuk menyediakan referensi saat
mengevaluasi tingkat kemajuan. Lingkungan secara langsung dapat mempertahankan
masalah perilaku.
Langkah 4: Program kontrol diri meliputi penetapan tujuan jangka pendek, tujuan
jangka panjang, dan membuat rencana untuk mencapai tujuan. Program kontrol diri
yang baik meliputi bicara dengan diri sendiri, menginstruksi diri sendiri, atau
penguatan diri.
Langkah 5: Salah satu strategi pemeliharaan adalah adanya jadwal tanggal
pemeriksaan (postcheck) dan rencana tindakan jika hasil cek ulang tidak sesuai
dengan keinginan. Upaya yang dilakukan memerlukan proses yang cukup sulit dan
membutuhkan waktu yang cukup lama. Selain itu diperlukan juga peran serta
keluarga, teman dan lingkungan dalam upaya-upaya pemulihan tersebut. Pemulihan
adalah suatu proses yang membutuhkan waktu dan usaha berkelanjutan dari pihak
individu yang mengalami lesbian.
2.4 Homoseksual
2.4.1 Definisi Homoseksual
Secara mendasar homoseksual didefinisikan sebagai kelainan orientasi seksual
yang terjadi ketika seseorang memiliki preferensi seksual kepada sesama jenisnya
atau identitas gender yang sama. Laki-laki yang homoseks disebut gay, sedangkan
jika perempuan yang homoseks disebut lesbian. Menurut Savin-Williams (2005).
menurut Deti Riyanti dan Sinly Evan Putra (2008) homoseksual dapat
diartikan sebagai kelainan terhadap orientasi seksual yang ditandai dengan timbulnya
rasa suka terhadap orang lain yang mempunyai kelamin sejenis atau identitas gender
yang sama.

Sedangkan Kaplan (Wayan Westa: 2006) mengemukakan bahwa homoseksual


adalah penyimpangan psikoseksual di mana seseorang dewasa tertarik gairah
seksualnya dengan teman sejenis.
Dali Gulo (Abu Al-Ghifari: 2002: 105) mengatakan bahwa homoseksual
merupakan

kecenderungan untuk memiliki hasrat seksual atau mengadakan

hubungan seksual dengan jenis kelamin yang sama.


Suharko Kasran (2008) berpendapat bahwa homoseksual pada dasarnya
meruapakan interest afektif dan genital terarah kepada sesama seks.
2.4.2 Jumlah Kejadian Homoseksual
Di Indonesia sendiri (Deti Riyanti dan Sinly Evan Putra: 2008) berdasarkan
hasil statistik menunjukan bahwa sekitar 8 sampai 10 juta pria pernah terlibat dalam
hubungan homoseksual.
Sedangkan di Amerika berdasarkan hasil penelitian dari National Center for
Health Research (Kamilia Manaf: 2007) tahun 2002 sekitar 4,4% masyarakat Amerika
pernah melakukan hubungan homoseksual, dengan usia 15-44 tahun.
2.4.3 Faktor Penyebab Homoseksual
Orientasi seksual orang lebih banyak ditentukan oleh kombinasi antara faktor
genetik, hormonal, kognitif, dan lingkungan (McWhirter, Reinisch & Sanders, 1989;
Money, 1987; Savin Williams & Rodriguez, 1993; Whitman, Diamond & Martin,
1993, dalam Santrock, 2002). Sebagian besar ahli dalam hal homoseksualitas percaya
bahwa tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan homoseksualitas dan bobot
masing-masing faktor berbeda-beda dari satu orang ke orang yang lain. Akibatnya,
tidak ada satu orangpun yang mengetahui secara pasti penyebab seseorang menjadi
seorang homoseksual (Santrock, 2002).
Berikut ini jabaran berbagai pendekatan yang memaparkan latar belakang
terbentuknya perilaku homoseksual:
1. Pendekatan Biologis
Teori biologis tentang homoseksual bersifat esensialis yang mengatakan
bahwa perbedaan orientasi seksual disebabkan oleh adanya perbedaan secara
fisiologis. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh genetik, hormon, atau sifat (trait)

fisik

a. Genetik
Franz Kallman (1952, dalam Carroll, 2005) merupakan pelopor penelitian
yang berusaha menunjukkan komponen genetik pada homoseksual dengan
melakukan penelitian terhadap kembar identik dan membandingkannya dengan
kembar fraternal. Ia menemukan komponen genetik yang kuat pada homoseksual.
b. Hormon
Beberapa penelitian menemukan bukti bahwa pria homoseksual memiliki
tingkat hormon androgen yang lebih rendah daripada pria heteroseksual (Dorner,
1988), namun yang lainnya tidak menemukan adanya perbedaan tersebut
(Hendricks et al, 1989). Ellis dkk (1988) berpendapat bahwa stress selama
kehamilan (yang bisa mempengaruhi tingkat hormon) lebih dapat memicu
pembentukan janin homoseksual. Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa anak
laki-laki yang menunjukkan perilaku kewanitaan mengalami kesulitan selama
masa prenatal daripada anak laki-laki lainnya (Zuger, 1989). Telah ditemukan
bahwa tingkat hormon awal mempengaruhi orientasi seksual dan perilaku masa
anak-anak yang berhubungan dengan jenis kelamin (Berenbaum & Snyder, 1995).
2. Pendekatan Psikologis
Pendekatan psikologis yang menggambarkan terjadinya homoseksual
berfokus pada pelatihan dan sejarah seseorang dalam menemukan asal
homoseksual. Pendekatan psikologis melihat perkembangan perilaku homoseksual
lebih sebagai produk dari dorongan sosial daripada bawaan lahir pada orang
tertentu (Carroll, 2005).
a. Freud dan Psikoanalitis
Freud (1951, dalam Carroll, 2005), berasumsi bahwa semua manusia pada
dasarnya adalah mahluk biseksual atau penggabungan homoseksual dan
heteroseksual, ia kemudian mengemukakan bahwa individu menjadi homoseksual
ataupun heteroseksual didapat sebagai hasil dari pengalamannya berhubungan
dengan orang tua dan yang lainnya. menurut Freud pada dasarnya individu sudah
memiliki potensi sejak lahir untuk menjadi homoseksual dan heteroseksual.
Terjadinya orientasi seks homoseksual, heteroseksual, atapun biseksual tersebut
dipengaruhi oleh lingkungan, khususnya lingkungan masa kecilnya bersama
kedua orangtua.

Sandor Rado (1949, dalam Caroll, 2005) meninggalkan asumsi Freud


mengenai pembawaan individu yang biseksual. Ia dan tokoh psikoanlisa lainnya
(Bieber: 1962), berpendapat bahwa homoseksual diakibatkan hanya oleh
pengalaman individu bersama kedua orangtuanya, yang dimulai sejak masa
oedipal period (sejak umur 4-5 tahun).
Sedangkan Charles Socarides: 1968 , mengungkapkan bahwa perkembangan
homoseksual individu dimulai sejak masa pre-oedipal dan sesuadahnya.Seorang
laki-laki dapat menjadi seorang gay bila memiliki hubungan yang terlalu erat
dengan ibunya atau karena kurang dan hilangnya figur kebapakan dalam
keluarga, sehingga bapak yang terlalu disiplin yang pada perkembangan
selanjutnya memunculkan kebencian pada laki-laki secara umum. Hal ini berlaku
terbalik pada kasus perempuan lesbian dimana posisi ibu hilang atau terlalu
disiplin dan ayah yang terlalu dekat dengan anak perempuannya.
b. Ketidaknyamanan Peran Gender
Secara umum ditemukan bahwa pria gay lebih bersifat feminim daripada pria
heteroseksual, sementara lesbian lebih bersifat maskulin (Bailey et al, 1995;
Pillard, 1991). Meskipun temuan ini berhubungan, yang berarti bahwa sifat cross
gender dan kemunculan homoseksualitas di kemudian hari berhubungan, tetapi
tidak memiliki hubungan sebab akibat. Green (1987) menemukan bahwa anak
laki-laki yang feminim atau sissy boy memakai pakaian lawan jenis, tertarik
pada busana wanita, bermain boneka, menghindari permainan kasar, berkeinginan
menjadi perempuan, dan tidak ingin menjadi seperti ayahnya sejak kecil. Tiga per
empat dari mereka tumbuh menjadi homoseksual atau biseksual, sedangkan hanya
satu dari anak laki-laki maskulin yang tumbuh menjadi biseksual. Sissy boy
tersebut juga cenderung dianianya, ditolak, dan diabaikan oleh teman sebayanya,
lebih lemah daripada anak laki-laki lainnya, dan memiliki lebih banyak kasus
psikopatologi (Zucker, 1990). Teori konstuksionis akan mengatakan bahwa anak
perempuan diperbolehkan menunjukkan perilaku maskulin tanpa diejek, dan anak
perempuan yang tidak nyaman dengan jendernya, menjadi tomboy, tidak
berkorelasi dengan kecenderungan menjadi lesbian di kemudian hari. Teori ini
tidak bisa dijadikan pegangan tunggal dalam menjelaskan homoseksual, karena
banyak pria gay yang tidak bersifat keperempuan-perempuanan pada waktu kecil,

dan tidak semua anak laki-laki yang keperempuan-perempuanan tumbuh menjadi


gay.

c. Interaksi Kelompok Teman Sebaya


Berdasarkan catatan bahwa dorongan seksual seseorang mulai berkembang
pada masa remaja, Storm (1981) berpendapat bahwa orang-orang yang tumbuh
lebih cepat mulai tertarik secara seksual sebelum mereka mengalami kontak yang
signifikan dengan lawan jenis. Karena pacaran biasanya dimulai pada usia sekitar
15 tahun, anak laki-laki yang dewasa pada usia 12 tahun masih bermain dan
berinteraksi secara umum dengan kelompok dari jenis kelamin yang sama,
sehingga kemungkinan perasaan erotis yang muncul berfokus pada anak laki-laki
juga. Teori ini didukung oleh fakta bahwa homoseksual cenderung melaporkan
kontak seksual yang lebih cepat dibandingkan heteroseksual. Selain itu, dorongan
seksual pria bisa muncul lebih cepat daripada wanita.
d. Teori Behavioris
Teori

behavioral

tentang

homoseksual

menganggap

bahwa

perilaku

homoseksual adalah perilaku yang dipelajari, diakibatkan perilaku homoseksual


yang mendatangkan hadiah atau penguat yang menyenangkan atau pemberian
hukuman atau penguat negatif terhadapperilaku heteroseksual. Sebagai contoh,
seseorang bisa saja memiliki hubungan dengan sesama jenis menyenangkan, dan
berpasangan dengan lawan jenis adalah hal yang menakutkan, dalam fantasinya,
orang tersebut bisa saja berfokus pada hubungan sesama jenis, menguatkan
kesenangannya dengan masturbasi. Bahkan pada masa dewasa, beberapa pria dan
wanita bergerak menuju perilaku dan hubungan sesama jenis jika mereka
mengalami hubungan heteroseksual yang buruk dan hubungan homoseksual yang
menyenangkan (Masters & Johnson, 1979, dalam Carroll, 2005).
2.4.4 Dampak Homoseksual
Sementara dampak yang timbul dari perilaku seks beresiko itu sendiri dapat
dilihat dari kejadian HIV dan riwayat infeksi menular seksual (IMS) yang cukup

tinggi. Seperti halnya diketahui bahwa adanya IMS dapat mempermudah penularan
HIV (Depkes, 2002).
Dari data regional terbaru menunjukkan bahwa hubungan seks tanpa kondom
pada lelaki yang suka berhubungan seks dengan lelaki (LSL) berkonstribusi penting
dalam pertumbuhan epidemic HIV/AIDS di Asia. STBP 2007 telah mengumpulkan
data perilaku dari LSL di enam kota (Medan, Batam, Jakarta, Bandung, Surabaya dan
Malang) dan data biologis di tiga kota yaitu Jakarta, Bandung dan Surabaya.
Diperkirakan terdapat antara 384.320 dan 1.149.270 LSL (rata-rata 776.800) di
Indonesia pada tahun 2006. Angka IMS sangat tinggi pada LSL di Jakarta, Bandung
dan Surabaya terutama pada yang aktif dalam melakukan tindakan seks komersil.
Diperkirakan antara 29% - 34% LSL. Sementara itu prevalensi IMS rektal dijumpai
cukup tinggi dan merupakan indikasi frekuensi seks anal tanpa kondom. Prevalensi
ureteral dijumpai lebih rendah, berkisar dari 5% - 8%. Untuk angka prevalensi HIV
pada LSL berkisar dari 8,1% dan 2%.
New England Journal of Medicine menemukan hubungan yang kuat antara
kanker dubur dan homoseksual laki-laki. Hubungan melalui dubur ini dapat merusak
anus sehingga membuka pembuluh darah dimana akan menjadi tempat masuknya
virus HIV. Studi lain menemukan 80% dari penderita sifilis adalah homoseksual dan
sepertiga dari homoseksual tersebut terinfeksi dengan herpes simpleks aktif. Klamidia
menginfeksi 15% kaum homoseksual, sejumlah parasit, bakteri, virus dan protozoa
juga menyerang kaum homoseksual. Untuk penyakit parasit sebanyak 32% menimpa
kaum homoseksual sedangkan giardiasis sebanyak 14%. Sementara itu sebanyak 14%
kaum homoseksual terserang gonorheae. Pada tahun 1997 di New York menemukan
50% homoseksual kemungkinan terkena HIV pada usia pertengahan dimana banyak
homoseksual telah meninggal diakibatkan melakukan hubungan seksual tanpa
kondom dan homoseksual yang terkena penyakit gonorheae meningkat menjadi 74%.
Departemen Kesehatan Masyarakat Chicago melaporkan bahwa persentase
AIDS di Chicago pada kalangan homoseksual meningkat dari 37% (2002) menjadi
44% (2003), dan pada pertengahan tahun 2006 kaum homoseksual memiliki
kontribusi kurang lebih 73% (2005) untuk kasus sifilis. Sementara itu Centers for
Disease Control menemukan sebanyak 71% (2005) laki-laki yang berhubungan
seksual dengan laki-laki terinfeksi HIV diantaranya orang dewasa dan remaja.
Sedangkan pada November 2009 sebanyak 63% dari kasus sifilis ditemukan pada

kaum homoseksual. Jadi gaya hidup pada kaum homoseksual ini sejalan dengan
perilaku kaum homoseksual yang menyimpang dimana biasa disebut dengan perilaku
seksual yang penuh dengan resiko tertular penyakit menular seksual.

2.4.5 Klasifikasi Homoseksual


Teori tentang homoseksual yang berkembang saat ini pada dasarnya dapat
dibagi menjadi dua golongan: esensialis dan konstruksionis. Esensialisme
berpendapat bahwa homoseksual berbeda dengan heteroseksual sejak lahir, hasil dari
proses biologi dan perkembangan. Teori ini menyiratkan bahwa homoseksualitas
merupakan abnormalitas perkembangan, yang membawa perdebatan bahwa
homoseksualitas merupakan sebuah penyakit. Sebaliknya, konstruksionis berpendapat
bahwa homoseksualitas adalah sebuah peran sosial yang telah berkembang secara
berbeda dalam budaya dan waktu yang berbeda, dan oleh karenanya tidak ada
perbedaan antara homoseksual dan heteroseksual secara lahiriah (Carroll, 2005).
2.4.6 Cara Pencegahan Homoseksual
1. Menjauhkan remaja dari berbagai rangsangan
hasrat untuk melakukan homoseksual akan muncul bila terdapat rangsanganrangsangan yang mendorong untuk mencoba atau melakukannya. Ada dua rangsangan
yang umumnya merangsang manusia, yaitu pikiran dan realitas yang nampak.
Pemikiran liberali telah mendorong orang untuk mencoba melakukan homoseks.
Menurut paham ini, orang bebas melakukan apa saja termasuk dalam memenuhi
dorongan seksualnya. Tolok ukurnya pun bersifat materialistik. Karenanya, aktivitas
homoseksual ditempatkan sebatas sebagai cara memuaskan hasrat seksual.
2. Menguatkan identitas diri sebagai anak laki-laki atau perempuan
Secara fisik maupun psikis, laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan
yang mendasar. Perbedaan tersebut telah diciptakan sedemikian rupa. Adanya
perbedaan ini bukan untuk saling merendahkan, namun semata-mata karena fungsi
yang kelak akan diperankannya.
3. Membatasi pergaulan sejenis
Laki-laki yang melihat aurat laki-laki ataupun perempuan yang melihat aurat
sesama perempuan akan terangsang. Hal ini dapat menjadi pemicu penyimpangan
seksual.

4. Secara sistemik menghilangkan berbagai hal di tengah masyarakat yang


dapat merangsang orang untuk melakukan homoseksual.
Saat ini banyak beredar VCD terkait dengan homoseksual. Bahkan tayangantayangan di televisi juga seringkali menghadirkan sosok laki-laki yang menyerupai
perempuan. Di dunia maya juga berkeliaran promosi tentang itu. Dalam hal ini
diperlukan kebijakan yang tegas dari Pemerintah agar masyarakat terjaga, dan remaja
tidak terdorong untuk mencoba.
2.4.7 Cara Penanganan Homoseksual
Adapun terapi secara psikologi dan kedokteran maka bisa ditempuh beberapa cara
berikut:
a. Menjauhi segala macam yang berkaitan dengan gay (homoseksual) misalnya
teman, klub, aksesoris, bacaan dan segalanya. Ini adalah salah satu faktor terbesar
yang bisa membantu
b. Merenungi bahwa gay masih belum diterima oleh masyarakat (terutama di
indonesia), masih ada juga yang merasa jijik dengan gay. Terus menanamkan
pikiran bahwa gay adalah penyakit yang harus disembuhkan
c. Terapi sugesti misalnya mengucapkan dengan suara agak keras (di saat sendiri),:
saya bukan gay atau lesby,gay atau lesby menjijikkan,saya suka
perempuan atau laki laki Bisa juga dengan menulis di kertas dengan jumlah
yang banyak dan berulang, misalnya 1000 kali
d. Berusaha melakukan kegiatan dan aktifitas khas laki-laki atau khas perempuan
e. Terapi hormon, Jika diperlukan dengan bimbingan dokter bisa dilakukan terpai
hormon secara berkala untuk lebih bisa menimbulkan sifat laki-laki. Dan yang
terpenting adalah dukungan semua pihak, keterbukaan dan menerima masukan.
Jangan sampai ada yang mencela didepanya atau mengejek perjuangannya dalam
emngobati penyakit ini.

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Masturbasi dan onani merupakan rangsangan yang sengaja dilakukan pada
organ alat kelamin dengan tujuan untuk mendapatkan kepuasan seksual. Masturbasi
untuk perempuan sedangkan onani istilah merangsang alat kelamin untuk laki-laki.
Lesbian dan Homoseksual merupakan penyimpangan psikoseksual di mana seseorang
dewasa tertarik gairah seksualnya dengan teman sejenis. Lesbian istilah untuk
penyuka sesama perempuan. Faktor penyebab Masturbasi dan onani sama yaitu
karena kurangnya pengetahuan tentang seks, dorongan seksual karena sudah usia
pubertas, meniru kedua orang tua, mengakses situs porno dengan teknologi yang
semakin canggih, kurangnya pengawasan dari orang tua. Faktor penyebab lesbian dan
homoseks yaitu faktor pendidikan seks dan lingkungan. Dampak yang ditimbulkan dri
penyimpangan sangat berbahaya untuk remaja karena mempengaruhi fisik dan
psikisnya. Dampak masturbasi dan onani antara lain, luka pada alat kelamin,
enjakulasi dini, self kontrol yang rendah dan kurangnya kepercayaan diri dari pelaku.
Sementara lesbian dan homoseks yaitu, tertular penyakit menular seks seperti HIV,
kemandulan dan sulit berinteraksi dengan lingkungan sosial. Adapun cara pencegahan
dari masturbasi dan onani adlah menikah, puasa.

3.2 SARAN
3.2.1
Diharapkan remaja bias mengurangi bahkan meninggalkan perilaku seksual yang
menyimpang baik masturbasi, onani, lesbian, dan homoseksual
3.2.2
Diharapkan sekolah bias memberikan edukasi terhadap remaja mengenai dampak
negative dari perilaku seksual yang menyimpang
3.2.3
Diharapkan bidan dapat melakukan asuhan kebidana baik prefentif, promotif, kuratif,
dan rehbilitatif terhadap penderita penyimpangan seksual sesuai dengan
kewenangannya.

LAMPIRAN

Faktor Penyebab Lesbian


1) Pengaruh keadaan keluarga dan kondisi hubungan orang tua
Pengaruh kondisi keluarga: hubungan antara ayah dan ibu yang sering cekcok.
Antara orang tua dan dengan anak-anak yang tidak harmonis atau bermasalah.
Juga ibu yang terlalu domain di dalam hubungan keluarga (sehingga meminimalis
peran ayah). Seorang ibu menolak kehadiran anaknya (misalnya penolakan
seorang ibu terhadap anak yang lahir di luar nikah). Absennya hubungan ayah dan
renggangnya hubungan antara anak denagn ayahnya, sering dianggap menjadi
penyebab anak menjadi homoseksual. Tetapi asusmsi tersebut belum terbukti.
Bantahan yang sering dikemukakan adalah, jika satu-satunya kondisi keluarga

tersebut adalah pemicu anak menjadi lesbi atau homoseksual semuanya.

2. Pengalaman seksual buruk pada masa kanak-kanak


Ada yang mengatakan bahwa pelecehan seksual dan kekerasan yang dialami
seorang perempuan pada masa kanak-kanak akan menyebabkan anak tersebut
menjadi seorang lesbian pada waktu dewasanya. Tetapi hasil penelitian dari
Chicago, yaitu Lauman, memperlihatkan bahwa orang pernah mengalami
kekerasan seksual dan kemudian menjadi gay hanya 7,4% dan 3,1% wanita
menjadi lesbian.
3. Pengaruh Lingkungan
Anggapan lama yang sering mengatakan karakter seseorang dapat dikenali
dari siapa teman-temannya atau pengaruh lingkungan yang buruk dapat
mempengaruhi seseorang untuk bertingkah laku seperti orang-orang dimana dia
berada.
Anlisis masalah:
Seharusnya orang tua jingga tidak memberikan fasilitas yang berlebihan
kepada Jingga, karna akan membuat Jingga dapat melakukan banyak hal yang ia sukai
mau itu positive ataupun negative. Remaja yang memiliki material berlebihan
cenderung lebih suka berfoya-foya untuk melakukan hal yang negative terlebih tanpa
pengawasan orang tua, berdasarkan teori diatas pengaruh keadaan keluarga dapat
menjadi faktor lesbian oleh karena itu orang tua Jingga harus dapat memberikan
perhatian lebih kepada anaknya agar dapat memantau aktivitas anaknya. Jingga yang
mengalami penyimpangan seksual akan melakukan suatu hal yang menandakan
perbedaan antara dirinya dengan perempuan kebanyakan, peran orang tualah yang
sangat penting itu mengetahui perilaku anaknya.
Jika sudah terlanjur terjebak dalam lesbianisme, sebaiknya Jingga dan Vina
diberikan penanganan yang tepat agar dapat menjadi normal kembali, sebagai bidan
dapat dimulai dengan memberikan edukasi akibat lesbian dan memberikan
pencerahan untuk dapat kembali kepada kodratnya, karna bagaimanapun akan lebih
baik jika sesuai kodrat. Jika Vina hanya ingin kebahagian dalam bentuk material dapat
membuka dirinya untuk laki-laki yang mendekatinya. Perlahan-lahan untuk tidak

bertemu kepada wanita yang di cintainya agar tidak semakin terjerumus dalam
penyimpangan seks. Serta memperdalam ilmu agama juga dapat menjadi kunci
seseorang terbebas dari perilaku menyimpang seperti lesbian, karena dalam agama
kita dapat mengetahui mana yang boleh dan tidak serta mana yang baik dan buruk
untuk kita lakukan. Untuk seseorang yang susah untuk meninggalkan perilaku
penyimpang ini, sebagai bidan juga dapat membantu untuk merujul ke psikologi.

DAFTAR PUSTAKA
BKKBN.(2002). Perilaku seksual remaja putra.http://www.bkkbn.go.id. Diakses
tanggal 26 April 2016.
Apriyani,Heni. Efektifitas Pelatihan Efikasi Diri terhadap Intensi Masturbasi pada
Remaja. Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro.2009
Sunarsih, Sri,dkk. Hubungan Frekuensi Paparan Media Pornografi dnegan Frekuensi
Perilaku Masturbasi Remaja Putra di SMK Wongsorejo Gombong Kebumen. Jurnal
Ilmiah Kebidanan. 2010;1(1).
Siahaan Jokie. M.S. 2009. Perilaku Menyimpang (Pendekatan Sosiologi) . Jakarta:
PT Indeks.
Mappiare, A. (1992). Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.
Kartono kartini.1989. psikologi abnormal dan abnormal seksualitas. bandung :
mandar maju.248.
Al-Ghifari, Abu. (2002). Gelombang Kejahatan Seks Remaja Modern. Bandung:
MujahidPress.
Psychology.ucdavis.edu (2008). Facts About Homosexuality and Mental Health.
Riyanti, Deti & Evan, Sinly. (2008). Homoseksual, Tinjauan dari Perspektif
Ilmiah.
Ali, Ansori.2014.Psikologi Remaja.Jakarta: PT Bumi Aksara.
Agustina dkk, 2005. Semua Tentang Lesbian. Ardhanary Institute, Jakarta Selatan.
Tan Poedjiati, 2005. Mengenal Perbedaan Orientasi Remaja Putri. Surabaya: Suara
Ernest.
Gusdar. (2011). For a better understanding of sexual orientation and homosexuality.
Washington, DC.
Siahaan, Jokie. M.S. 2009. Perilaku Menyimpang (Pendekatan Sosiologi) . Jakarta:
PT.Indeks.

Anda mungkin juga menyukai