Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH SEMINAR BIOETHIC HUMANIORA PROGRAM

BLOK CVS
DO NOT RESUSCITATE (DNR)

TUTORIAL A3
Azka Nadhilah
Dionissa Shabira

101.0211.005
101.0211.029

Karlina Dahlia Ningrum

101.0211.029

Restu Kaharseno

101.0211.121

Gustiandari Fidhya

101.0211.127

Levi Aulia Rachman

101.0211.054

Oki Fahmi Abri Nurlianto

101.0211.006

Ambar Indriyanti

101.0211.007

Chaerunisa Utami

101.0211.146

Novianto Adi Prasetyo

101.0211.065

FAKULTAS KEDOKTERAN UPN VETERAN JAKARTA


TAHUN AJARAN 2011/2012

DAFTAR ISI
1. Kata Pengantar................................................................................................................i
2. Daftar Isi..........................................................................................................................ii
3. Definisi ...........................................................................................................................1
4. Sejarah.............................................................................................................................2
5. Latar Belakang.................................................................................................................3
6. Argument Kelompok Pro vs Kontra DNR/AND..............................................................4
7. Guide/Petunjuk bagi Dokter .............................................................................................5
8. Contoh Kasus.....................................................................................................................6
9. Pandangan Agama, Etika Kedokteran dan Hukum Indonesia..........................................7
10. Kesimpulan.......................................................................................................................8
11. Daftar Pustaka...................................................................................................................9.

DEFINISI

Do Not Resuscitate

(DNR) merupakan sebuah perintah

(cardiopulmonary resusitation) atau Resusitasi Jantung

jangan dilakukannya resusitasi CPR

Paru (RJP) bagi tenaga kesehatan ataupun

masyarakat umum jika terjadi permasalahan darurat pada jantung pasien atau berhentinya pernapasan.
Cardiopulmonary resuscitation (CPR) memiliki kemampuan untuk membalikkan kematian dini. Hal ini
juga dapat memperpanjang pasien pada penyakit terminal, dan meningkatkan ketidaknyamanan.
Meskipun keinginan untuk menghormati otonomi pasien, ada banyak alasan mengapa prosedur CPR
dapat rumit dalam pengaturan perioperatif.

LATAR BELAKANG

Belakangan ini kita sebagai tim kesehatan ataupun tim medis masih sering mengalami dilema dalam kode
etik kedokteran maupun masalah moral. Dimana kita dihadapkan oleh suatu pilihan yang sulit, apakah
kita harus melakukan atau tidak melakukan dan apakah itu beresiko atau tidak terhadap keselamatan
pasien kita. Salah satu kasus yang sering ditemukan adalah Do Not Resuscitate (DNR) . Hal ini akan
berhadapan dengan masalah moral atau pun etik, apakah akan mengikuti sebuah perintah 'jangan
dilakukan resusitasi' ataupun tidak? Bagaimana tidak , jika tiba-tiba pasien henti jantung dan sebagai
tenaga medis yang sudah handal dalam melakukan RJP membiarkan pasien mati dengan begitu saja tapi
masalahnya jika kita memiliki hati dan melakukan RJP pada pasien tersebut, kita bisa dituntut oleh pasien
dan keluarga pasien tersebut. Ini adalah sebuah dilema.. Dan hal ini terjadi pada pasien pada penyakit
kronis dan terminal, pasien dengan

kontra indikasi CPR ataupun pasien yang di cap euthanasia

( dibiarkan mati ataupun suntik mati karena karena kehidupan yang sudah tidak terjamin).
Pasien DNR biasanya sudah diberikan tanda untuk tidak dilakukannya resusitasi yang biasanya terdapat
pada baju, di ruang perawatan ataupun di pintu masuk, sudah ada tandan tulisan DNR. Pasien DNR
tidak benar-benar mengubah perawatan medis yang diterima. Pasien masih diperlakukan dengan cara
yang sama. Semua ini berarti bahwa jika tubuh pasien meninggal (berhenti bernapas, atau jantung
berhenti berdetak) tim medis tidak akan melakukan CPR/RJP. Menjadi pasien DNR tidak berarti obat
berhenti untuk diberikan. Ketika dokter dan perawat berhenti berfokus pada pengobatan dan mulai fokus
pada tindakan penghiburan adalah sesuatu yang disebut Perawatan Paliatif.
Salah satu alasan utama orang mentandatangani perintah DNR adalah karena apa yang terjadi ketika staf
rumah sakit mencoba untuk melakukan RJP. Situasi ini umumnya disebut sebagai "kode." Hal ini kadangkadang diberikan nama samaran yang berbeda di rumah sakit yang berbeda. Pada pasien biasa ketika kode
staf pasien suatu kawanan seluruh tim resusitasi ruangan. Dada akan dikompresi dengan tangan untuk
mensimulasikan detak jantung dan sirkulasi darah. Sebuah tabung dimasukkan ke dalam mulut dan
tenggorokan dan Pasien diletakkan pada ventilator untuk bernafas untuk Pasien. Jika hati Pasien dalam
irama mematikan Pasien terkejut dengan jumlah besar listrik untuk tersentak kembali ke irama. Obat yang
diberikan dan secara manual dipompa melalui sistem dengan penekanan dada. Jika semua ini berhasil,
hati Pasien mulai untuk mengalahkan sendiri lagi dan pasien berakhir di ventilator untuk membuatnya /
napasnya. Ini tidak biasanya datang tanpa konsekuensi.

Konsekuensi Menjadi diresustasi

Salah satu konsekuensi potensial utama dilakukan RJP adalah kekurangan oksigen ke organ-organ tubuh.
Meskipun penekanan dada sedang dilakukan untuk mengedarkan darah melalui tubuh, masih belum
seefektif detak jantung biasa. Meskipun oksigen dipompa ke paru-paru mekanik, penyakit itu sendiri
dapat mencegah beberapa oksigen dari mencapai aliran darah. Semakin lama RJP berlangsung, semakin
besar kemungkinan kerusakan pada organ-organ. Tapi jika tidak dilakukan RJP akan berdampak dari
kerusakan otak, kerusakan ginjal, hati, atau kerusakan paru-paru. Apa pun bisa rusak berhubungan dengan
kurangnya oksigenasi.
Obat-obatan yang dipompa ke dalam tubuh juga dapat berkontribusi untuk kerusakan organ. Obat ini
dirancang dengan satu organ itu adalah hati sebagai pusat meetabolisme dan penetral racun. Obat ini
mencoba untuk me-restart jantung dan mendapatkannya kembali pada ritme dan meningkatkan tekanan
darah. Kadang-kadang organ-organ lain dapat mengambil kerusakan dari obat ini juga.
Ada juga kemungkinan trauma tubuh dari penekanan dada. Hal ini sangat normal untuk mendengar retak
tulang rusuk dan tulang. Dibutuhkan banyak kekuatan untuk kompres jantung dengan sternum dan tulang
rusuk duduk di sampingnya. Terutama orang tua biasanya mengalami kerusakan dari ini. Kejutan listrik
juga dapat traumatis dalam dan dari dirinya sendiri.
Jadi bahkan jika Pasien bangkit kembali, kemungkinan Pasien pemulihan dan kelangsungan hidup dapat
berpotensi jauh lebih rendah daripada mereka sebelum resusitasi tersebut. Biasanya Pasien berakhir pada
ventilator setelah RJP. Jika Pasien memiliki organ yang rusak, kerusakan terutama otak, ada kemungkinan
Pasien mungkin bukan karena ventilator tapi karena terlambatnya oksigen masuk ke otak.

SEJARAH
Perintah Do-Not_Resuscitate (DNR) telah digunakan selama kurang lebih dua dekade. Argumen untuk
penggunaan DNR meliputi peningkatan otonomi pasien, menghindari intervensi medis yang sia-sia, dan
biaya rawat inap. ICU adalah pengaturan di mana pasien dapat dikenakan intervensi medis yang mahal,
menyakitkan, dan tidak manusiawi, terutama pada praktik yang terkait dengan jantung-paru.
Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa dalam situasi klinis tertentu CPR hampir selalu sia-sia.
Tugas dokter adalah untuk mengkomunikasikan pengetahuannya tentang kedua kemungkinan yang akan
terjadi dan hasil yang bisa dicapai dari RJP (Resusitasi Jantung Paru) kepada pasien dan keluarga pasien
dan kemudian untuk membantu pasien (dan / atau keluarga pasien) dalam membuat keputusan tentang
resusitasi. Kunci untuk proses ini adalah tindakan di awal, komunikasi efektif antara dokter, pasien, dan
keluarga pasien.
Awalnya digambarkan pada tahun 1960, massage pada dada di dekat jantung diterapkan pada pasien yang
mengalai cardiopulmonal arrest. Singkat kata, pasien yg dilakukan usaha CPR banyak yang sekarat .
Statistik pada orang miskin tercermin pelayanan yang sembarangan. Literatur menunjukkan bahwa
resusitasi mana diyakini menjadi sia-sia atau nonbeneficial, staf rumah sakit melakukan upaya resusitasi
palsu ('kode lambat') atau tidak mengaktifkan 'tim kode' sama sekali. Beberapa lembaga bahkan
mengembangkan cara rahasia untuk mengidentifikasi orang-orang yang tidak akan memenuhi syarat
untuk upaya resusitasi penuh. Kekhawatiran yang timbul mengenai dokumentasi yang tidak memadai,
akuntabilitas dokter, dan fakta bahwa pasien dan keluarga mereka sering dikecualikan dari proses
pengambilan keputusan. Tuduhan paternalisme dan pengambilan keputusan rahasia yang dibuat, dan
kekhawatiran yang timbul mengenai erosi kepercayaan antara petugas kesehatan dan masyarakat .
Itu tidak sampai pertengahan 1970-an bahwa keputusan untuk tidak resusitasi pertama kali disahkan. Di
Amerika Serikat American Medical Association pertama direkomendasikan bahwa keputusan untuk
mengorbankan resusitasi secara resmi didokumentasikan dan dikomunikasikan . Selain itu, ditekankan
bahwa CPR dimaksudkan untuk pencegahan kematian, tiba-tiba tak terduga - bukan pengobatan penyakit,
terminal ireversibel. Eksplisit DNR kebijakan segera diikuti, dan hak pasien untuk menentukan nasib
sendiri dipromosikan. Pada akar dari perdebatan, itu kategoris diasumsikan bahwa pasien akan selalu
memilih resusitasi, dan bahwa segala sesuatu yang bertentangan dengan itu diperlukan persetujuan
eksplisit mereka. Kritikus mempertanyakan pendekatan semacam itu dan berpendapat bahwa CPR tidak
pernah dimaksudkan (juga tidak berkhasiat) dalam segala situasi. Oleh karena itu, CPR seharusnya hanya
ditawarkan kepada mereka yang secara medis diindikasikan. Namun, laporan tahun 1983 Komisi Presiden

untuk Studi Masalah Etis di Kedokteran tidak setuju, upaya resusitasi yang dilakukan di hampir semua
kasus, dan pasien dianggap telah memberikan persetujuan implisit untuk CPR. Dengan demikian, CPR
menjadi standar perawatan, dan semua pasien 'kode penuh' kecuali jelas didokumentasikan sebaliknya.
CPR menjadi satu-satunya terapi medis yang diperlukan agar dokter agar bisa ditahan, maka perintah
DNR. Perintah DNR kemudian diambil beberapa waktu untuk mendapatkan penerimaan luas di semua
lingkungan rumah sakit.
Sebelum tahun 1990-an, kebijakan formal untuk mengakomodasi pasien peri-operatif dengan perintah
DNR jarang. Akibatnya, keputusan yang biasanya diserahkan kepada ahli bedah dan / atau
anaesthesiologist, dan DNR secara rutin ditangguhkan selama periode intraoperatif dan pasca operasi
segera. Pada tahun 1991, beberapa artikel mengkritik praktek ini meluas. Akibatnya, muncul keprihatinan
bahwa pasien dipaksa untuk berkompromi otonomi mereka dan hak untuk menentukan nasib sendiri agar
memenuhi syarat untuk operasi. Hal ini menyebabkan kebijakan 'peninjauan kembali yang diperlukan',
dan tiga kursus yang berbeda dari tindakan yang telah diidentifikasi. The American Society of
Anesthesiologists formalized membuat kebijakan ini dalam seperangkat pedoman yang disetujui pada
tahun 1993 dan diperbarui pada tahun 1998.

ARGUMEN KELOMPOK PRO vs KONTRA DNR


Konsep mati dan berhentinya darah mengalir seperti dianut selama ini dan yang juga diatur dalam PP 18
tahun 1981 menyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-paru, tidak bisa
dipergunakan lagi karena teknologi resusitasi telah memungkinkan jantungdan paru-paru yang semua
terhenti kini dapat dipacu untuk berdenyut kembali dan paru-parudapat dipompa untuk berkembang
kempis kembali.Konsep mati dari terlepasnya dari tubuh sering menimbulkan keraguan karena
misalnya pad atindakan resusitasi yan gberhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan seakanakannyawa dapat ditarik kembali.
Mengenai konsep mati dari hilangnya kembali kemampuan tubuh secara permanen untuk menjalankan
fungsinya secar terpadu juga dipertanyakan karena organ-organ berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali
karenaotak telah mati. Untuk kepentingan transplantasi konsep inimenguntungkan tetapi secar moral tidak
dapat diterima karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun tidak terpadu lagi.Bila
dibandingkan dengan manusia sebagi mahluk social yaitu individu yang mempunyaikepribadian,
menyadari kehidupannyam kekhususannya, kemampuannya mengingat,menentukan sikap dan mengambil
keputusan, mengajukan alasan yang masuk akal, mampu berbuat, mampu menikmati, mengalami
kecemasan dan sebagainya, maka penggerak dari otak baiksecara fisik amupun social makin banyak
dipergunakan.Pusat pengendali ini terdapat dalam batang otak. Oleh Karen aitu jika batang otak telahmati
(brain system death) dapat diyakini bahwa manusia itu secara fisik dan social telah mati.Dalam keadaan
demikian, kalangan medis sering menempuh pilihan tidak meneruskanresusitasi (DNR, do
not resuscitation)Penentuan saat mati ini juga dibahas dan ditetapkan dalam world
Medical Assemblytahun 1968 yang dikenal dengan Deklarasi Sydney. Disini dinyatakan penentuan saat
kematian di kebanyakan negara merupakan tanggung jawab sah dokter. Dokter dapat menentukan
sesorangsudah mati dengan menggunakan criteria yang lazim tanpa bantuan alat khusus yang
telahdiketahui oleh semua dokter.Yang penting dalam penentuan saat mati disini adalah proses kematian
tersebut sudahtidak dapat dikemabalikan lagi (irreversible) meski menggunakan teknik penghidupan
kembaliapapun. Walaupun sampai sekarang tidak ada alat yang sungguh-sungguh memuaskan dapat
digunakan untuk penentuan saat mati ini, alat elektroensefalograf dapat diandalkan untuk maksud
tersebut.

Di beberapa negara namun ada di beberapa negara yang tidak menerapkan kondisi DNR. Di negaranegara di mana tidak tersedia DNR keputusan untuk mengakhiri resusitasi dibuat semata-mata oleh
dokter. Namun sebagian besar negara menganut DNR.
Timur Tengah
DNRs tidak diakui oleh

Jordan. Dokter berusaha

untuk menyadarkan semua pasien terlepas dari

keinginan individu atau keluarga. Di Israel, memungkin penandatanganan formulir DNR asalkan pasien
sekarat dan menyadari tindakan mereka.. [Rujukan?]
Inggris
Di Inggris, untuk DNR seperti untuk perawatan medis, pasien hanya dapat diberikan informed consent,
jika mereka memiliki kapasitas sebagaimana didefinisikan dalam Undang-Undang Kapasitas Mental
2005; jika mereka tidak memiliki kapasitas kerabat akan sering diminta pendapat mereka keluar dari rasa
hormat namun tidak memiliki kekuatan hukum keras pada keputusan dokter. Dalam situasi ini, itu tugas
dokter untuk bertindak dalam 'kepentingan terbaik' mereka, apakah itu berarti meneruskan atau
menghentikan pengobatan, dengan menggunakan penilaian klinis mereka. Atau, pasien dapat menentukan
keinginan mereka dan / atau mengalihkan mereka pengambilan keputusan yang diwakili menggunakan
arahan yang advance, yang sering disebut sebagai 'Living Wills'.
Amerika Serikat
Di Amerika Serikat dokumentasi tersebut cukup rumit, dimana di setiap negara menerima bentuk yang
berbeda, dan petunjuk advance serta living wills tidak diterima oleh EMS sebagai bentuk sah secara
hukum. Jika pasien memiliki hidup yang menyatakan akan pasien ingin menjadi DNR tetapi tidak
memiliki resusitasi tepat mengisi formulir yang disponsori negara yang ikut ditandatangani oleh dokter,
EMS akan mencoba. Ini adalah fakta yang diketahui sedikit banyak pasien dan dokter perawatan primer
yang dapat menyebabkan pasien untuk menerima perawatan yang mereka tidak inginkan, dan hukum ini
saat ini sedang dievaluasi untuk tantangan konstitusional.
Keputusan DNR oleh pasien pertama kali pada tahun 1976 diligitasi Di re Quinlan. The New Jersey
Mahkamah Agung menguatkan hak orang tua Karen Ann Quinlan untuk memesan penghapusan dia dari
ventilasi buatan. Pada tahun 1991 Kongres meloloskan ke dalam hukum Actthat Penentuan Nasib Sendiri
Pasien diamanatkan rumah sakit menghormati keputusan individu dalam perawatan kesehatan mereka.
Empat puluh sembilan negara saat ini memungkinkan keluarga terdekat untuk membuat keputusan medis,

kecuali Missouri. Missouri memiliki Living Will Statute yang membutuhkan dua orang saksi untuk setiap
perintah sebelumnya ditandatangani yang menghasilkan kode status DNR / DNI di rumah sakit.
Di AS, resusitasi cardiopulmonary (CPR) dan maju mendukung kehidupan jantung (ACLS) tidak akan
dilakukan jika ditulis valid "DNR" agar hadir. Banyak negara bagian di Amerika tidak mengenali
kehendak hidup atau proxy kesehatan dalam pengaturan pra-rumah sakit dan personil pra-rumah sakit di
daerah tersebut mungkin diperlukan untuk memulai tindakan resusitasi kecuali bentuk keadaan tertentu
yang disponsori tepat diisi dan cosigned oleh dokter.

PEDOMAN BAGI DOKTER


Pedoman yang dikeluarkan oleh British Medical Association dan Royal College of Nursing mengatakan
bahwa perintah DNR hanya boleh dikeluarkan setelah diskusi dengan pasien atau keluarga mereka.
Meskipun mungkin sulit untuk berdiskusi dengan pasien dan keluarga mereka tentang apakah untuk
pasien dapat hidup kembali atau tidak, tapi bagaimanapun juga diskusi terhadap keluarga pasien
diperlukan untuk mengambil keputusan dilakukan atau tidaknya CPR.
Kasus-kasus yang paling sulit untuk diskusi biasanya pasien melibatkan yang tahu mereka akan mati,
menderita banyak rasa sakit, tapi kemungkinan bisa hidup selama beberapa bulan.
Dr Robin Loveday, konsultan mengatakan, "DNR adalah situasi di mana Anda benar-benar membutuhkan
banyak diskusi dengan pasien dan keluarga mereka untuk membantu mereka membuat keputusan
mengenai apakah, jika mereka menderita serangan jantung, apakah tepat untuk memberi harapan mereka
hidup beberapa bulan lagi. "
Profesi kedokteran Inggris memiliki pedoman untuk keadaan di mana DNR mungkin dikeluarkan:

Jika kondisi pasien adalah sedemikian rupa sehingga resusitasi tidak mungkin berhasil
Jika pasien dengan mental yang baik secara konsisten menyatakan atau menandatangani bahwa

dia tidak ingin diresusitasi


Jika ada pemberitahuan lanjutan atau kemauan hidup yang mengatakan pasien tidak ingin

diresusitasi
Jika resusitasi berhasil tidak akan berada dalam kepentingan terbaik pasien karena akan
menyebabkan kualitas hidup yang buruk.

Di Inggris, NHS Trust harus memastikan:

Kebijakan resusitasi sepakat bahwa menghormati hak-hak pasien adalah di tempat

seorang direktur non-eksekutif diidentifikasi untuk mengawasi pelaksanaan kebijakan

Kebijakan ini tersedia untuk pasien, keluarga dan perawat


Kebijakan tersebut diletakkan di bawah audit dan dipantau dengan teratur

CONTOH KASUS

Contoh 1:
Pasien laki-laki berusia 42 tahun mengalami HIV positif mengakui adanya hematuria yang diperkirakan
berasal dari kanker ginjal. Dia tidak dilakukan resusitasi (DNR). Sudah dikonsultasikan masalah
urologinya dan mereka mengira bahwa dengan biopsi ginjal mungkin sebaik dilakukannya nephrectomy.
Bagaimanapun juga, mereka tidak melakukan salah satupun dari keduanya, karena pasien ini golongan
DNR dalam keadaan preterminal.

Contoh 2:
Pasien laki-laki berusia 42 tahun dengan AIDS dibawa ke ruang operasi untuk di nephrectomy. Residen
bedah mengangkat bahunya dan berkata, Baiklah, setidaknya kita bisa bergerak dengan cepat. DNR
disini berarti tidak begitu berpengaruh jika operasinya berhasil, sehingga pasien DBR sedikit merasa lega.

PANDANGAN AGAMA, ETIKA KEDOKTERAN DAN HUKUM INDONESIA

Agama

Etika Kedokteran

Prinsip Etik
Pada awal dan akhir resusitasi, perbedaan etik dan norma- norma budaya harus dipertimbangkan.
Meskipun prinsip- prinsip etik tentang beneficence, non maleficence, autonomy dan justice dapat diterima
di seluruh budaya, tetapi prioritas

prinsip-prinsip tersebut dapat bervariasi antara kebudayaan yang berbeda. Di Amerika Serikat sebagian
besar penekanan pada otonomi individual. Di Eropa lebih menekankan pada penyedia layanan kesehatan
otonomi yang menjadi tugas mereka dalam mengambil keputusan bila timbul masalah. Sedangkan di Asia
keputusan kelompok masyarakat men- dominasi keputusan yang diambil. Dikatakan bahwa resu- sitasi
adalah paduan usaha antara data ilmiah dan nilai-nilai sosial sedangkan pada saat yang sama juga terdapat
upaya mempertahankan otonomi budaya, sehingga dokter harus memainkan peranan penting dalam
mengambil keputusan berdasarkan data ilmiah dan keinginan (preferensi) pasien.
Prinsip Beneficence
Prinsip beneficence pada RJP adalah pemulihan kesehatan dan fungsi-fungsinya serta meringankan
rasa sakit dan penderitaan. Resusitasi elektif yang dilakukan pada tahun 1940an dan awal 1950 seperti
perawatan pernafasan intensif meningkatkan harapan hidup pasien poliomyelitis bulbar dari 15%
menjadi lebih dari 50%. Satu dekade kemudian, 14 dari 20 pasien (70%) yang ditangani dengan
pemijatan jantung paru tertutup dapat bertahan hidup. Kouwenhoven et al melaporkan bahwa tingkat
pemulangan pasien di RS John Hopkins berkisar 14% pada tahun 1985, dan di bawah 10% pada tahun
1994. Tingkat kesuksesan sekitar 70% tidak pernah dipublikasikan.

Keuntungan terbesar dari

tindakan RJP, dengan kemungkinan hidup lebih dari 20%, telah dilaporkan pada henti jantung selama
tindakan anestesi, overdosis obat, dan penyakit jantung koroner atau aritmia ventriculer primer. Pada
tahun 1995 tingkat pemulangan pasien hanya sekitar 17%, yang diikuti oleh pelaksanaan tindakan
RJP pada pasien di ruang unit jantung koroner terpadu dan dimonitor oleh pegawai yang terlatih.
Jarang sekali pasien bertahan hidup setelah dilakukan RJP ketika henti jantung yang timbul
disebabkan oleh penyakit selain jantung atau disfungsi organ. Harapan hidup pasien setelah dilakukan
tindakan RJP sangat buruk (<5%) bila henti jantung terjadi pada pasien dengan gagal ginjal, kanker
(kecuali dengan penyakit yang minimal), atau AIDS; dan dengan tidak adanya penyakit penyebab yang
irrevers- ible, diikuti dengan trauma, perdarahan, hipotensi yang berkepanjangan atau pneumonia.
Dibatasinya pelaksanaan RJP telah meningkatkan derajat harapan hidup pasien sebesar
10,5% setelah tindakan RJP, meskipun 7-10% lainnya ditunda untuk dilakukan RJP.
RJP yang dimulai dengan cepat di Seattle menghasilkan tingkat harapan hidup sebesar 36%, itu
merupakan angka tertinggi yang dicapai dibandingkan dengan data yang terdapat di literatur saat ini.
Pada daerah lalu lintas yang mempunyai sistem yang lebih buruk angka keberhasilan RJP lebih rendah.
Secara spesifik di kota New York dan Chicago tingkat harapan hidup setelah tindakan RJP kurang dari
2%, hal itu terjadi karena RJP yang terlambat terkait dengan padatnya arus lalu lintas.
Usia bukan merupakan salah satu kontraindikasi dilakukannya tindakan RJP. Walaupun dikatakan
proses penuaan berkaitan dengan akumulasi berbagai kelemahan dan penyakit, dengan terdapatnya
perawatan jangka panjang dan penurunan fungsi tubuh, masih menjadi salah satu perkiraan hasil RJP

yang buruk.
Prinsip Non Maleficence (Do No Harm)
Tingkat kerusakan otak berkaitan dengan tindakan RJP
bervariasi antara 10-83%. Pada salah satu penelitian, 55 dari
60 anak meninggal karena pemberian RJP yang berke- panjangan; lima lainnya bertahan hidup pada
kondisi coma persistent atau status vegetative di rumah sakit. Banyak pasien dengan disabilitas berat
yang diikuti dengan kerusakan otak berada dalam kondisi yang sama dengan kematian. RJP menjadi
berbahaya dan bersifat merusak ketika risiko kerusakan otak relatif tinggi. Oleh karena gangguan aliran
darah ke otak atau ke jantung dapat menyebabkan kerusakan berat, RJP dapat dikatakan berhasil hanya
jika dilakukan tepat waktu. Seorang investigator dari Swedia melaporkan bahwa harapan hidup
melebihi 80% pada pemberian RJP oleh orang di sekitar korban dan ambulan datang kurang dari 2
menit, akan tetapi angka ini menjadi lebih buruk bahkan kurang dari 6% ketika ambulan datang lebih dari
6 menit atau tidak ada orang di sekitar korban yang melakukan RJP. Pada beberapa negara di Amerika
Serikat, walaupun petugas gawat darurat sudah membatasi dilakukannya tindakan RJP di
lapangan, masih dapat ditemukan bukti RJP yang tidak dikehendaki. Bahkan didapatkan 7% pasien
yang dipulangkan dari rumah sakit tidak menghendaki dilakukannya RJP.

Tindakan

RJP

dikatakan tidak merusak jika keuntungan yang didapatkan lebih besar.


Prinsip Otonomi
Otonomi pasien harus dihormati secara etik dan di sebagian besar negara dihormati secara legal.
Akan tetapi hal itu membutuhkan kemampuan komunikasi seorang pasien untuk dapat menyetujui atau
menolak tindakan medis termasuk RJP. Di Amerika Serikat, pasien dewasa dianggap memiliki kapasitas
dalam mengambil keputusan kecuali jika pengadilan telah menyatakan bahwa mereka tidak kompeten
untuk membuat keputusan tindakan medis sedangkan di negara lain keputusan pengadilan tidak
diperlukan untuk penderita-penderita dengan incompetency seperti pada penderita penyakit jiwa.1,4,5
Informed consent mensyaratkan bahwa pasien dapat menerima dan memahami informasi yang
akurat tentang kondisi mereka dan prognosis, jenis tindakan medik yang diusulkan, tindakan alternatif
lainnya, risiko dan manfaat dari tindakan medis tersebut. Pasien juga harus dinilai kapa- sitasnya dalam
mengambil keputusan. Bila pasien ragu-ragu maka dia harus dianggap mempunyai kapasitas, dan bila
kapasitas dalam mengambil keputusan tersebut terganggu

oleh karena obat-obatan, penyakit-penyakit penyerta, maka kapasitas pasien harus dikembalikan terlebih
dahulu. Dalam keadaan darurat, dan preferensi pasien belum jelas, dengan waktu yang terbatas untuk

mengambil keputusan maka adalah bijaksana untuk memberikan perawatan medis yang stan- dard.
Pasien biasanya tidak mempunyai rencana tentang apa yang terjadi pada akhir kehidupannya (end of
life), banyak yang tidak ingin menyiapkan advanced directives, living wills (surat wasiat) atau
mendiskusikan RJP. Dokter juga jarang mendiskusikan hal-hal tersebut dengan pasien- pasiennya,
bahkan jika pasien tersebut menderita sakit yang parah. Banyak pasien memiliki pemahaman yang samarsamar tentang RJP dan konsekuensi-konsekuensinya. Masyarakat umumnya berharap banyak tentang
kemungkinan untuk bertahan hidup dari serangan jantung. Beberapa penderita mungkin akan menolak
dilakukan RJP karena mereka mengetahui adanya defisit sensorik berat yang timbul setelah serangan
tersebut. Akan tetapi banyak penelitian tentang kualitas hidup penderita yang selamat dari serangan
jantung menyatakan bahwa risiko tersebut dapat diterima.
Baik dokter dan penderita mungkin mempunyai persepsi yang berbeda tentang kualitas hidup. Dokter
mempunyai kewajiban untuk menerangkan kepada pasien tentang RJP dan hasilnya. Pengambilan
keputusan yang tepat dapat terjadi bila penderita mempunyai pemahaman yang baik tentang persepsi
dan hasil resusitasi. Masalah kemudian dapat timbul karena banyak dokter tidak dapat memprediksi
secara akurat tentang kemungkinan hidup dari serangan jantung, sehingga penderita tidak dapat
dipaksa untuk mengambil persetujuan tentang tindakan RJP.

Baik Kant maupun Rawls mengatakan

sebuah keputusan moral otonom harus rasional dan tidak memihak salah satu pembuat keputusan.
Rawls mengatakan dengan jelas bahwa pembuat keputusan, para pemilih, tidak mengetahui masa depan
mereka dalam suatu komunitas. Dari prinsip tersebut para ahli menyimpulkan bahwa pasien harus
dapat menentukan pengobatannya sendiri. Prinsip tersebut mengharuskan kita mengkaji ulang dan
menyelesaikan dua masalah. Pertama, pasien selalu memikirkan hasil dari keputusan tindakan medis
tersebut oleh karena itu tidak harus selalu berdasarkan prinsip otonomi bahkan ketika keputusan tentang
tindakan medis tersebut tidak dapat meeredakan rasa nyeri, atau penderitaan. Kedua, merupakan prinsip
keadilan yang menghasilkan kemampuan untuk menerima sesuatu, bukan otonomi. Dalam formulasi
terbarunya Beuchamp dan Childress lebih akurat mengatakan prinsip ini sebagai penghormatan
terhadap otonomi.
Ada beberapa bukti bahwa wali pengganti yang bertindak atas nama pasien pada saat pasien telah
kehi- langan kapasitas pengambilan keputusan, ternyata pasien tidak secara tepat dapat mengatakan
keinginan yang sebenarnya. Sekitar sepertiga penderita ginjal kronik mene- rima keputusan yang
diambil oleh wali pengganti, ternyata
keputusan itu bertentangan dengan keinginannya.
Prinsip Keadilan (Justice)
Pemikiran tentang prinsip keadilan meliputi dibuatnya hak-hak untuk menerima sesuatu,
persaingan untuk mendapatkan kepentingan pribadi dan menyeimbangkan tujuan sosial. Masalahnya
adalah seharusnya diperlukan nilai moral keadilan untuk menyediakan perawatan medis kepada yang

memerlukannya dengan efek yang bermanfaat, karena keadilan diperlukan untuk mengurangi
ketidaksamaan dalam perlakuan yang sering timbul dalam masyarakat. Dokter harus menyesuaikan diri
dengan sumber penghasilan masyarakat untuk merawat mereka berdasarkan sumber penghasilan yang
secara umum disediakan seperti dari asuransi pribadi, atau pemerintah atau dukungan institusi secara
langsung. Akan tetapi, untuk menentukan apakah diperlukan nilai keadilan moral untuk kelayakan
minimal dalam memberikan pelayanan medis harus dinilai seberapa penting masalah yang dihadapi,5 oleh
karena itu diusulkan pelayanan kesehatan dasar sebaiknya: (1) mencegah, mengobati, dan
mengusahakan one- year survival lebih dari 75 persen (2) menghasilkan lebih sedikit toksisitas atau
disabilitas jangka panjang (3) dapat memberikan manfaat dan (4) secara nyata lebih mengun- tungkan
daripada memberatkan.
Prinsip Kesia-siaan (Principle of Futility)
Futility adalah kata yang berarti tidak adanya ke- untungan. Kata sia-sia berasal dari bahasa
Latin futilis, yang berarti mudah meleleh atau mengalir. Penggunaan kata ini berasal dari legenda
Yunani ketika Raja Argos dibunuh atas kejahatan yang dilakukannya, kemudian istri dan anak- anaknya
dikutuk selama-lamanya untuk mengumpulkan air dengan menggunakan ember yang bocor ke suatu
tempat sehingga saat sampai di tempat tujuan ember tersebut kosong. Definisi sia-sia, tidak
berguna atau futility digunakan untuk menggambarkan ketidakbergunaan atau tidak adanya efek,
khususnya tidak adanya efek yang diinginkan dan jika diasumsikan bahwa efek yang diinginkan
intervensi medis adalah untuk sesuatu yang bermanfaat bagi pasien maka sia-sia menggambarkan
ketiadaan manfaat tersebut. Dalam Rogets Link Thesaurus sia-sia digunakan dengan konsep umum
inutility, sama dengan kata-kata seperti tidak berguna, inefficacy, kebodohan,

ketidakmampuan,

unfruitfulness,suatu pekerjaan yang sia-sia bahkan tidak berharga dan hanya lelucon dan dengan
konsep umum absurditas seperti kedunguan,
keledai, omong kosong, non- sen.

omong kosong, kesa- lahan, kekacauan,

Dikatakan juga kesia-siaan menggambarkan ketiadaan

manfaat tanpa pertimbangan biaya.


Bagaimana jika tindakan intervensi medis yang dilakukan memberikan sedikit

manfaat?

Siapakah yang harusnya memutuskan untuk dilakukannya tindakan tersebut? Ketika kehidupan
seseorang digambarkan dengan penyakit lanjut, ketergantungan penuh dengan orang lain,

demensia, sedangkan keuntungan yang didapat dari tindakan RJP ternyata tidak adekuat dan
tidak sesuai yang diharapkan? Memberikan hak sepenuhnya kepada pasien untuk memutuskan
tindakan yang akan dilakukan tidak akan menyelesaikan masalah. Ketika permasalahan yang
terkait dengan kematian dan koma menjadi sangat sulit maka perlu ketegasan tentang tujuan
sebenarnya yang akan dicapai.5
Jika resusitasi adalah sia-sia maka setiap kerugian yang terjadi akan membawa sesuatu yang
tidak menguntungkan/ membahayakan keseimbangan, 7

sehingga melakukan tindakan

tanpa tujuan yang berguna adalah suatu hal yang tidak efektif.5

Tomlinson dan Brody

mengakui bahwa untuk menyatakan suatu tindakan atau intervensi medik harus melibatkan
keseimbangan yang kompleks antara ketidak- pastian dan kewajiban akan tanggung jawab.
Schneiderman dan Jacker telah mempelajari tentang makna kesia-siaan dan membuat definisi
kuantitatif dari sia-sia yang membutuhkan kepastian bahwa intervensi tersebut minimal 100 kali
gagal digunakan. Hal itu menunjukkan bahwa tindakan tersebut tidak memiliki suatu kejelasan
tertentu,5 sehingga diperlukan diskusi yang mendalam dengan pasien atau keluarga untuk
mengevaluasi keuntungan dan beban atau tanggung jawab yang masih tersisa.5
Di Unit Perawatan Intensif (ICU) pasien yang meninggal sebagai akibat dari keputusan
dipertahankannya (withhold) atau ditariknya (withdraw) alat-alat pendukung kehidupan (life
support) adalah sekitar 70-90%. Persentase tersebut meningkat secara signifikan dari waktu ke
waktu, dan alasan yang paling umum untuk dilakukannya tindakan medis untuk
mempertahankan (withhold) atau menarik kembali (with- draw) alat-alat penunjang
kehidupan tersebut adalah persepsi bahwa pasien mempunyai prognosis yang buruk.79 RJP adalah tindakan medis yang paling sering dipertahankan dan ventilasi mekanis adalah
tindakan medis yang paling sering ditarik kembali,7 kebanyakan unit perawatan intensif dokter
menganjurkan withhold dan withdraw berdasarkan persepsi futility.7,8
Upaya untuk mengukur kesia-siaan adalah berdasarkan pada penilaian RJP fisiologis atau
fitur prognosis lainnya yang ternyata memberikan hasil yang tidak banyak ber- manfaat.
Berbagai definisi kesia-siaan termasuk di sini adalah gagal untuk memperpanjang hidup, gagal
untuk mencapai efek fisiologis pada tubuh dan gagal untuk mencapai manfaat terapetik bagi

pasien.7-9 Waisel dan Troug menyim- pulkan tiga perbedaan yang konseptual dari definisi
kesia- siaan. Kesia-siaan fisiologis terjadi apabila gagal atau tidak dapat memberikan tujuan
fisiologis. Sebagai contoh ketika RJP tidak menghasilkan denyut nadi atau ketika transfusi
tidak menghasilkan tekanan darah, maka intervensi tersebut adalah sia-sia dari perspektif
definisi sebuah kesia-siaan fisiologis. Schneiderman et al, berpendapat bahwa konsep kesiasiaan fisiologis bukan merupakan nilai bebas, penilaian terapi tersebut adalah sebuah
pilihan nilai dan bahwa pilihan yang dibuat adalah nilai pengukuran fungsi
organ daripada nilai hasil untuk pasien. Definisi kesia-siaan lainnya adalah kesia-siaan yang
berpusat pada asas manfaat (benefit centered), yang didefinisikan sebagai kesia-siaan yang
terdiri dari pertimbangan kuantitatif dan kualitatif. Perkiraan kuantitatif kesia-siaan adalah saat
intervensi medis dianggap sia-sia jika gagal dalam jumlah yang ditentukan terakhir kali
mencoba, dan disarankan usaha tersebut berhasil apabila dilakukan 100 kali sebagai ambang batas
minimal yang dianggap oleh penilaian profesional pada umumnya. Komponen kualitatif
menggambarkan kesia-siaan yang terjadi saat kualitas hidup pasien jatuh di bawah ambang batas
mini- mal yang dianggap oleh penilaian professional pada umumnya. Murphy dan Finucane
mengusulkan definisi kesia- siaan operasional sebagai perlakuan yang sangat tidak mungkin
untuk berhasil dan banyak orang awam maupun kalangan profesional menganggap bahwa hal
tersebut tidak sepadan dengan biaya.7-9
The American Thoracic Society mengadopsi makna kesia-siaan dengan lebih konservatif,
namun definisinya lebih samar-samar, dimana dikatakan bahwa intervensi medis tersebut
dikatakan sia-sia jika sudah sangat tidak mungkin untuk menghasilkan makna kehidupan. Oleh
karena itu The American Thoracic Society memberikan definisi kesia-siaan berasal dari
campuran antara kuantitatif (sangat tidak mungkin) dan kualitatif (bermakna untuk bertahan
hidup).7
American Heart Association mengambil definisi kualitatif kesia-siaan secara ekstrem,
dikatakan bahwa RJP adalah sia-sia ketika tidak ada yang selamat seperti yang dilaporkan pada
sebuah penelitian yang didesain dengan baik, dan dibuat untuk mempertimbangkan bahwa
tindakan RJP adalah tidak sia-sia. Definisi yang dikemukakan oleh American Heart
Association tersebut tampaknya untuk mendukung tidak dilakukan RJP pada situasi-situasi
yang akan membawa lebih banyak kerugiannya daripada keuntungannya, dan definisi kesia-

siaan tersebut konsisten dengan definisi kesia-siaan yang ada yaitu tidak ada man- faatnya.7

Hukum di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1751011/
http://www.bbc.co.uk/ethics/euthanasia/overview/dnr.shtml
http://books.google.co.id/books?
id=EfqiF5B4IgEC&printsec=frontcover&dq=kaplan+ethic+book&source
Basbeth, Ferrial.PDF: Analisis Etik Terkait Resusitasi Jantung Paru. Departemen Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas YARSI dan Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
www.scribd.com/doc/42628892

Anda mungkin juga menyukai