Anda di halaman 1dari 56

LAPORAN AKHIR

PENELITIAN PENELITI MUDA(LITMUD) UNPAD

Perkembangan Pasar Modern Sayuran: Mampukah Petani Meresponnya dan


Bagaimanakah Dampaknya Terhadap Usahatani Mereka?

Oleh :
Elly Rasmikayati
Endah Djuwendah
Tuti Karyani

Dibiayai Oleh Dana DIPA Universitas Padjadjaran


Tahun Anggaran 2010
Berdasarkan SPK No 688a/H.6.26/LPPM/PL/2010
Tanggal 29 Maret 2010

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT


UNIVERSITAS PADJADJARAN

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
NOVEMBER 2010

DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK ......................................................................................

ABSTRACT ..................................................................................

ii

KATA PENGANTAR ..................................................................

iii

DAFTAR ISI ..................................................................................

iv

DAFTAR TABEL ........................................................................

vi

DAFTAR GAMBAR ...................................................................

vii

DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................

viii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.....................................................

1.2. Perumusan Masalah .............................................

1.3. Tujuan Penelitian .................................................

1.4. Manfaat Penelitian ...............................................

BAB II KAJIAN PUSTAKA


2.1. Definisi Pasar dan Perkembangannya .....................

2.2. Pertumbuhan Pasar Modern dan Tradisional............

2.3. Pasar dan Saluran Pemasaran ..................................

14

2.4. Perkembangan Pasar Modern dan


Dampaknya Terhadap Petani..
BAB III

18

METODE PENELITIAN
3.1. Metode dan Tempat Penelitian ................................

25

3.2. Jenis dan Sumber Data..............................................

26

iv

3.3. Data/Informasi yang Diperlukan


(Operasionalisasi Variabel)....

26

BAB IV PEMBAHASAN

BAB V

4.1. Deskripsi Kabupaten Bandung .........................................

29

4.2. Karakteristik Petani Sayuran ...........................................

30

4.2.1. Umur petani ....................................................

30

4.2.2. Pendidikan Petani ..........................................

31

4.2.3. Mata pencaharian petani responden ..............

33

4.2.4. Pengalaman usahatani sayuran .......................

34

4.2.5. hasil produksi dan pemasaran sayuran ..........

34

4.3. Potensi Pengembangan Usahatani Sayuran ......................

38

4.4. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi petani sayuran............

39

4.5. Perkembangan Pasar Modern: Usahatani Petani Sayuran.

41

KESIMPULAN DAN SARAN


5.1. Kesimpulan .....................................................................

47

5.2. Saran ...............................................................................

47

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................

48

LAMPIRAN .................................................................................

50

DAFTAR TABEL

No

Judul

Halaman

1.

Operasionalisasi Variabel ............................................

2.

Komposisi Responden Petani Berdasarkan Kelompok


Umur ...........................................................................

3.

5.

31

Komposisi Responden Petani Sayuran Berdasarkan


Tingkat Pendidikan ....................................................

4.

27

33

Komposisi Responden Berdasarkan Pengalaman


Usahatani Sayuran ......................................................

34

Produktivitas Sayuran Petani Responden ...................

35

vi

DAFTAR GAMBAR

No

Judul

Halaman

1. Model Permintaan dan Penawaran Sayuran .............. 14


2. Pola Saluran Pemasaran............................................. 17
3. Sistem Pemasaran Sayuran ....................................... 37

vii

DAFTAR LAMPIRAN

No

Judul

Halaman

1.

Peta Kabupaten Bandung..................................... 50

2.

Curriculum Vitae Peneliti .................................... 51

viii

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Permintaan terhadap sayuran dalam negeri, masyarakat kelas menengah ke
atas serta ekspor sayuran, volumenya terus mengalami peningkatan. Jenis sayuran
yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam dan luar negeri pun sekarang sangat
beragam. Peningkatan permintaan sayuran tersebut disebabkan oleh semakin
bertambahnya jumlah penduduk di dalam negeri dan sudah pasti membutuhkan
pasokan pangan, termasuk sayuran. Selain itu, masyarakat luar negeri serta
sebagian kecil masyarakat Indonesia dengan daya beli yang relatif tinggi, yang
ditunjang oleh kesadaran akan pentingnya kesehatan melalui asupan makanan,
khususnya sayuran mulai meningkat.
Sayuran yang dibutuhkan oleh segmen tersebut mempunyai ciri dan kualitas
tertentu. Misalnya, mereka lebih menyukai sayuran organik dengan kualitas yang
terstandardisasi atau dengan tingkat pestisida minimum. Misalnya, sekarang
banyak disukai sayuran bernilai ekonomi tinggi, seperti paprika, brokoli, zukini
(labu jepang), edamame (labu jepang) yang organik dan minim pestisida.
Kebutuhan komoditas dengan kualifikasi tertentu tersebut merupakan
peluang yang sangat menjanjikan bagi pasar sayuran. Oleh karena itu, diperlukan
sebuah pasar yang dapat menyediakan komoditas sesuai dengan permintaan yang
ada, tidak hanya menyangkut komoditas yang dijual, tetapi juga faktor pendukung
lainnya, seperti kenyamanan tempat berbelanja serta manajemen pasar.

Meskipun keberadaan pasar tradisional masih mendominasi sebagai pasar


tujuan, baik dari pihak petani sebagai penjual maupun konsumen sebagai pembeli
komoditas, tetapi kondisi pasar tradisional sekarang tidak dapat memenuhi tuntutan
tersebut. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, baik dari dalam maupun luar
pasar itu sendiri, seperti buruknya manajemen pasar, banyaknya retribusi,
menjamurnya pedagang kaki lima (PKL), tidak ada jalinan kerja sama dengan
pemasok besar, buruknya manajemen pengadaan dan lain-lain (SMERU, 2007).
Kelemahan tersebut dapat direspon oleh pasar modern yang menawarkan
beragam komoditas berikut pelayanannya sesuai dengan tuntutan pasar.
Perkembangan pasar modern ini terus mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil
studi A.C. Nielsen (2005), pasar modern di Indonesia tumbuh 31,4 persen per
tahun, sedangkan pasar tradisional menyusut 8 persen per tahun.
Sebagian pengusaha Indonesia telah mampu merespon kebutuhan sayuran
dengan kualitas terjaga ini. Beberapa pengusaha telah menjadi supplier sayuran
untuk berbagai pasar modern dalam negeri, seperti Hipermart, Careffour,
Superindo dan Hero. Selain itu, sebagian pengusaha lainnya telah berhasil
melakukan ekspor sayuran ke berbagai negara. Negara-negara tujuan ekspor
sayuran Indonesia terutama Singapura, Malaysia dan Taiwan. Bahkan, sayuran dari
Indonesia sudah dapat menembus pasar Jepang dan Amerika dengan standar
kualitas yang lebih tinggi.
Beberapa pengusaha dan koperasi petani merespon permintaan sayuran
bernilai tinggi tersebut dalam waktu yang cukup lama. Misalnya, seorang

pengusaha di Parongpong, Bandung telah mampu mengekspor 5-8 ton


paprika dan 2 ton zukini ke Singapura setiap minggunya dalam waktu tiga tahun
terakhir. Dalam Usaha untuk menjaga kuantitas dan kontinuitas pasokan
sayurannya, pengusaha tersebut mengusahakan kebun sendiri serta bekerjasama
dengan petani lain yang mempunyai kemampuan untuk menjaga kualitas dan
kontinuitas pasokan sayuran yang dibutuhkan.
Selain di Jawa, banyak pula pebisnis yang telah melakukan ekspor sayuran,
seperti di Lombok, Riau, Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Walaupun demikian,
masih banyak diantaranya yang belum mampu menjaga kontinuitas dan kualitas
sayuran yang diekspornya. Selain pengusaha lokal, sekarang sudah terdapat
beberapa perusahaan asing (PMA) yang bergerak di bidang ekspor sayuran di
Indonesia. Pengusaha-pengusaha tersebut umumnya berasal dari negara-negara
tujuan ekspor sayuran Indonesia, seperti Singapura, Malaysia dan Taiwan.
Umumnya, mereka membuat gudang ditambah packing house melakukan
pengumpulan sayuran dengan membeli komoditas kepada petani setempat atau
petani binaan. Selain itu, dapat pula memanfaatkan jasa pengepul sayuran serta
melakukan pengemasan sebelum dikirim ke negara masing-masing.
Petani yang mampu merespon pasar sayuran modern, sayuran jumlahnya
masih terbatas. Petani sayuran, khususnya yang luas penguasaan lahannya lebih
sempit, memiliki banyak keterbatasan. Umumnya mereka terkendala dengan
tuntutan kualitas dan kontinuitas pasokan yang cukup ketat yang diminta oleh pasar
modern.

1.2. Perumusan Masalah


Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka terdapat
beberapa rumusan masalah yang akan menjadi fokus kajian dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1.

Bagaimanakah dinamika respon petani terhadap permintaan sayuran oleh


pasar modern dibandingkan dengan pasar tradisional?

2.

Seberapa jauh, dampak permintaan pasar modern pada usahatani petani


sayuran?

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap bagaimana perkembangan
pasar modern sayuran: mampukah petani meresponnya dan bagaimanakah
dampaknya terhadap usahatani meraka. Berdasarkan rumusan masalah pada
penelitian ini, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mendeskripsikan dinamika respon petani terhadap permintaan sayuran oleh
pasar modern dibandingkan dengan pasar tradisional.
2. Menggambarkan

pola

usahatani

petani

sayuran

dalam konteks

perkembangan pasar modern.

3.2. Manfaat Penelitian


Penelitian mengenai keterkaitan antara partisipasi petani dalam pasar modern
dengan dampaknya terhadap usaha tani mereka diharapkan dapat berguna bagi :

Petani sayuran, agar dapat digunakan untuk memperbaiki kemampuan


usahatani dan pemasarannya.

Pembuat kebijakan bidang agribisnis khususnya untuk pengembangan


produktifitas sayuran dan industrinya, serta para pembuat kebijakan yang
berupaya untuk meningkatkan luas penguasaan lahan petani sebagai bahan
masukan atau informasi.

Peneliti atau pihak lain yang tertarik pada pengembangan agribisnis

Pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang pemasaran sayuran dan


pemberdayaan petani kecil.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Pasar dan Perkembangannya


Istilah pasar dapat diterapkan pada berbagai bidang, misalnya dunia usaha,
teori ekonomi, maupun pemasaran pada umumnya dan pemasaran komoditas
pertanian khususnya. Pasar seringkali didefinisikan sebagai tempat bertemunya
pembeli dan penjual di suatu tempat. Oleh karena itu, pasar menyangkut pembeli,
penjual dan fasilitas pasar (Ratya, 2004). Pasar juga dapat diartikan sebagai tempat
terjadinya penawaran dan permintaan, transaksi, tawar-menawar nilai (harga) dan
atau terjadinya pemindahan kepemilikan melalui suatu kesepakatan antara pembeli
dan penjual. Kesepakatan tersebut dapat berupa kesepakatan harga, cara
pembayaran, cara pengiriman, tempat pengambilan atau penerimaan produk, jenis
dan jumlah produk, spesifikasi, mutu produk serta kesepakatan lain yang
berhubungan dengan pemindahan kepemilikan produk (Said dan Harizt, 2004).
Secara umum, pasar dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu pasar
domestik dan ekspor. Pasar yang berorientasi domestik (identik dengan kualitas
produk rendah) dengan tingkat harga yang relatif rendah. Sedangkan, pasar yang
berorientasi ekspor (identik dengan kualitas produk yang tinggi) dengan tingkat
harga relatif lebih mahal. Pasar ekspor yang merupakan jenis pasar modern
meliputi swalayan, hotel dan restoran serta industri.
Ada beberapa perbedaan pasar modern dan tradisional terutama dalam hal
kestrukturan pasar. Kestrukturan pasar disini dapat dilihat dari bangunan, suasana
serta fasilitas penunjang pasar. Anggapan pasar tradisional selama ini yaitu pasar
6

yang tidak terstuktur, seperti bentuk bangunan yang relatif sederhana dengan
suasana relatif kurang menyenangkan (ruang tempat usaha sempit, sarana parkir
yang kurang memadai dan kurang menjaga kebersihan pasar dan penerangan yang
kurang baik). Barang-barang yang diperdagangkannya merupakan barang
kebutuhan sehari-hari dengan mutu yang kurang diperhatikan, harga barang relatif
murah serta cara pembeliannya dengan sistem tawar-menawar. Selain itu, para
pedagangnya sebagian besar adalah golongan ekonomi lemah dengan cara
berdagang yang kurang profesional. Contoh pasar tradisional tersebut adalah pasar
Inpres.
Sebaliknya, pasar modern adalah pasar yang terstruktur, dimana berada
dalam bangunan, dan pelayanannya dilakukan secara mandiri (swalayan) oleh
pembeli. Barang-barang yang dijualnya, selain bahan makanan seperti buah,
sayuran, daging, juga barang-barang yang dapat bertahan lama.1 Menurut Ma'ruf
(2005), gerai/pasar modern mulai beroperasi awal tahun 1960-an di Jakarta. Arti
modern di sini adalah penataan barang menurut keperluan yang sama atau
dikelompokkan di bagian yang sama sehingga dapat dilihat dan diambil langsung
oleh pembeli. Selain itu, terdapat penggunaan alat pendingin udara serta adanya
pramuniaga profesional.
Pada tahun 2004, macam-macam gerai/pasar modern di Indonesia adalah:
Minimarket, dengan pertumbuhan sebanyak 1.800 buah selama 10 tahun hingga
tahun 2002. Luas minimarket antara 50 - 200 m2;

http://id.wikipedia.org/vviki/Pasar

Convenience store, gerai ini mirip minimarket dalam hal produk yang dijual,
tetapi berbeda dalam harga, jam buka, luas ruang dan lokasi. Convenience
store ada yang buka 24 jam, dengan luas ruang antara 200 - 450 m2 dan
berlokasi di tempat yang strategis. Sebagian produknya sedikit lebih mahal
daripada yang dijual minimarket;

Specialty store, sebagian masyarakat lebih menyukai belanja di toko dimana


pilihan produk tersedia lengkap sehingga tidak hams mencari lagi di toko lain.
Keragaman produk disertai harga yang bervariasi dari yang terjangkau hingga
premium membuat specialty store lebih unggul;

Factory outlet;

Distro atau distribution outlet;

Supermarket, pertumbuhannya sebanyak 700 buah dalam kurun 10 tahun


hingga tahun 2003. Supermarket kecil mempunyai luas ruang antara 300
-1.100 m2, sedangkan supermarket besar mempunyai luas 1.100-2.300 m2;

Departement store atau toserba (toko serba ada), gerai jenis ini mempunyai
ukuran luas ruang yang beragam, mulai dari beberapa ratus meter persegi,
hingga 2.000 -3.000 m2;

Superstore, luasnya mulai dari 2.300 - 4.700 m2;

Perkulakan atau gudang rabat;

Hypermarket, dengan luas ruang > 5.000 m2.

2.2. Pertumbuhan Pasar Modern dan Tradisional


Perkembangan pasar di setiap kota/kabupaten di Jawa Barat dalam kurun
waktu 2002-2005 menunjukkan peningkatan, meskipun dengan jumlah dan lokasi
yang tidak merata. Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi
Jawa Barat (2002 dan 2005), pada tahun 2005 jumlah pasar di Jawa Barat mencapai
911, terdiri dari 530 pasar tradisional dan 381 pasar modem, termasuk swalayan.
Hal tersebut menunjukkan kenaikan yang signifikan dibandingkan kan dengan
tahun 2002 mencapai 147 pasar. Pada tahun 2002, pasar di Jawa Barat tercatat
sebanyak 764, terdiri dari 506 pasar tradisional dan 258 pasar modern. Peningkatan
jumlah pasar terbesar terjadi di Kabupaten Majalengka, yakni 33 pasar (17
tradisional dan 16 modem). Daerah lain yang peningkatan jumlah pasarnya cukup
besar adalah Kabupaten Bandung (19 modem), Kota Bekasi (1 8 modem) dan
Kota Bandung (10 modern).
Secara umum, peningkatan jumlah pasar, khususnya modem terjadi di
aicotaan. Hal ini mengakibatkan semakin ketatnya persaingan di kalanganan
pedagang eceran. Meskipun jumlah pasar tradisonal masih lebih besar
dibandingkan pasar modem, tetapi pertumbuhannya sangat pesat. Berdasarkan
hasil studi Nielsen (2005), pasar modern di Indonesia tumbuh 31,4 persen per
tahun, sedangkan pasar tradisional menyusut 8 persen per tahun. Selama tahun
2002-2005, pasar tradisional di Jawa Barat tumbuh sekitar 5 persen, sedangkan
pasar modern tumbuh signifikan mencapai 66 persen. Kondisi tersebut
mengkhawatirkan, terutama bagi pelaku usaha di pasar tradisional karena di
beberapa kabupaten/kota, jumlah pasar modern lebih banyak dibandingkan pasar

tradisional seperti di kabupaten Bandung (42 pasar modern, 29 pasar tradisional),


kota Sukabumi, kota Bogor, kota Depok, dan kota Cimahi.
Akibat dari perkembangan pasar modern tersebut, pasar-pasar tradisional
yang

lokasinya

berdekatan

dengan

mall/supermarket/hypermarket

mulai

kehilangan pembeli sehingga dikhawatirkan dapat mengganggu perkembangan


atau bahkan mematikan usaha pelaku perdagangan eceran di pasar tradisional yang
umumnya merupakan pelaku usaha mikro. Sebagai contoh, semenjak kehadiran
hypermarket di Jakarta, pasar tradisional di kota tersebut disinyalir merasakan
penurunan pendapatan dan keuntungan yang drastis, seperti yang dikemukakan
APPSI, bahwa 151 pasar tradisional di Jakarta terancam oleh keberadaan
supermarket, sembilan diantaranya sudah tutup.
Namun, seharusnya kondisinya tidak demikian mengingat banyak kekhasan
yang dimiliki pasar tradisional bila dibandingkan dengan pasar modern, seperti
jual-beli dengan tawar-menawar harga dan suasana yang memungkinkan penjual
dan pembeli menjalin kedekatan. Selain itu, pasar tradisional mempunyai
keuntungan non ekonomi dari sudut pandang kepentingan ekonomi makro, yaitu
penyediaan pilihan kesempatan usaha, penyediaan lapangan kerja, dimana pada
tahun 2006, di Indonesia terdapat 13.450 pasar tradisional dengan sekitar 12,6 juta
pedagang kecil beserta kontribusi outputnya.
Sulitnya pasar tradisional bersaing menghadapi pasar modern disebabkan
oleh beberapa hal, antara lain :
1. kondisi fisik pasar tradisional secara umum tertinggal dibandingkan pasar
modern yang bersih dan nyaman sehingga konsumen lebih tertarik untuk
berbelanja di pasar modern. Sebagai contoh, di Jakarta berdasarkan catatan PD
10

Pasar Jaya, dari total 151 pasar, hanya 27 pasar yang aspek fisik bangunannya
masih baik. Sisanya, 111 pasar dalam kondisi fisik bangunan rusak sedang atau
berat dan hanya 13 pasar mengalami rusak ringan;
2. pasar modern berlokasi tidak jauh (kurang dari 10 km) dari lokasi pasar
tradisional yang mengakibatkan semakin banyak konsumen yang beralih ke
pasar modern;
3. dengan kekuatan modal, anak perusahaan atau cabang-cabang hypermarket atau
supermarket kini mudah diakses warga hingga tingkat kelurahan atau
permukiman, sedangkan para pedagang di pasar tradisional umumnya adalah
pengusaha mikro. Disamping itu, pendirian cabang-cabang itu berbasis
waralaba atau sistem sewa sehingga orang bebas membeli lisensinya ataupun
menyewa tempat; serta
4. belum adanya perda yang mengatur mengenai pendirian pasar modem.
Selain itu, disebabkan oleh kurangnya daya dukung karakteristik pedagang
tradisional seperti buruknya manajemen pasar, banyaknya retribusi, menjamumya
pedagang kaki lima (PKL) yang dapat mengurangi pelanggan pedagang pasar serta
minimnya bantuan permodalan yang tersedia bagi pedagang tradisional yang
disebabkan jaminan (collateral) yang tidak mencukupi, tidak adanya skala
ekonomi (economies of scale), tidak ada jalinan kerja sama dengan pemasok besar,
buruknya manajemen pengadaan dan ketidakmampuan untuk menyesuaikan
dengan keinginan konsumen (Wiboonpongse dan Songsak, 2006).

11

Meskipun demikian, pedagang yang menjual makanan segar (daging, ayam,


ikan, sayur dan buah-buahan) masih bisa bersaing dengan supermarket dan
hypermarket mengingat banyak pembeli masih memilih untuk membeli
kebutuhannya di pasar tradisional. Sebagai contoh, pada tahun 2007 di Pasar Induk
Caringin, Bandung, berdasarkan pendapat beberapa pedagang sayuran, penyerapan
sayuran oleh Pasar Induk Caringin rata-rata mencapai 500 ton/bulan dengan
penyaluran hampir 100 persen ke pasar eceran tradisional. Sedangkan, penyaluran
ke pasar modern seperti supermarket dan industri relatif jarang dilakukan.
Namun, jika dilihat dari tingkat petani, perkembangan penyerapan komoditas
oleh pasar modern tersebut relatif semakin berkembang, meskipun penyerapan
sayuran oleh pasar tradisional relatif masih mendominasi. Hal tersebut ditunjukkan
oleh penelitian Natawidjaja (2006), bahwa penyerapan sayuran oleh supermarket,
industri pengolahan, perdagangan antarpulau masing-masing mencapai 6, 4 dan 5
persen. Sedangkan, untuk pasar tradisional mencapai 75 persen.
Keunggulan pasar modern atas pasar tradisional adalah dapat menjual produk
yang relatif sama dengan harga yang lebih murah ditambah dengan kenyamanan
tempat berbelanja dan keragaman pilihan. Supermarket dan hypermarket juga
menjalin kerja sama dengan pemasok besar dan biasanya untuk jangka waktu yang
cukup lama. Hal ini yang menyebabkan supermarket dan hypermarket dapat
melakukan efisiensi dengan memanfaatkan skala ekonomi yang besar. Selain itu,
supermarket melakukan beberapa strategi harga dan non

12

harga untuk menarik pembeli. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh SMERU
(2007), pasar modern melakukan berbagai strategi harga seperti strategi limit harga,
strategi pemangsaan lewat pemangkasan harga (predatory pricing) serta
diskriminasi harga antarwaktu (inter-temporal price discrimination), misalnya
memberikan diskon harga pada akhir minggu dan pada waktu tertentu. Sedangkan,
strategi non harga antara lain dalam bentuk iklan, membuka gerai lebih lama,
khususnya pada akhir minggu, bundling/tying (pembelian secara gabungan) dan
parkir gratis.
Keberadaan pasar modern dan perkembangannya menurut Kotler (1997)
dapat menciptakan beberapa keuntungan, yaitu :
1. dari segi tempat, dimana petani dibantu dalam hal penyediaan tempat atau pasar
konsumen dan swalayan berperan sebagai pihak perantara;
2. dari segi waktu, dimana pasar swalayan buka setiap hari sehingga memberi
kemungkinan untuk para konsumen berbelanja setiap saat;
3. dari segi kualitas dan kuantitas, sebagai pengecer yang dapat menyediakan
sayuran dengan kualitas tinggi dan dapat dibeli dalam jumlah yang sesuai
keinginan konsumen;
4. dari

beragamnya

jenis

produk

yang

ditawarkan,

dimana

supermarket/hypermarket dapat mengumpulkan bermacam-macam produk di


satu tempat yang dapat diperoleh konsumen dengan mudah dalam satu
kesempatan berbelanja.
Hal serupa juga dikemukakan oleh para peneliti terdahulu lainnya mengenai
dampak positif dan negatif pasar modern. Menurut Khrisnamurti dan Lusi (2004),

13

supermarket secara umum mempengaruhi petani secara positif. Pertama,


supermarket telah mengubah saluran pemasaran dan rangkaian bisnis petani.
Kemudian, sistem usahatani petani yang menjual ke pasar modern berbeda dengan
petani yang tidak terlibat dengan pasar modern. Selanjutnya, supermarket membuat
petani mengenal sayuran dan buah impor.

2.3. Pasar dan Saluran Pemasaran Sayuran


Indonesia merupakan salah satu negara penghasil sayuran. Beberapa provinsi
penghasil utama sayuran adalah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sumatera Barat.
Pasar sayuran utama di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu pasar sayuran segar
dan olahan. Permintaan sayuran segar sebagian besar diperoleh dari produksi
domestik, sedangkan surplusnya diekspor. Berikut merupakan model permintaan
dan penawaran sayuran.

Harga

Penawaran Domestik

Permintaan Domestik

Qd

Qa

Kuantitas

Qs

Gambar 1. Model Permintaan dan Penawaran Sayuran


Sumber:
Adiyoga, dkk. (2001)
E
kspor

14

Berdasarkan Gambar 1, Pw adalah harga dari biaya pemasaran bersih yang


diterima pasar dunia. Saat Pw lebih besar dari harga domestik tanpa harga pasar
(Pa), sejumlah produksi di ekspor. Penurunan ekspor tersebut dapat disebabkan oleh
: (1) pertumbuhan permintaan domestik; (2) penurunan penawaran domestik (atau
peningkatan biaya unit produksi); dan (3) penurunan harga ekspor sebagai akibat
dari jatuhnya permintaan ekpor, peningkatan kompetisi global, atau penurunan
efisiensi pemasaran.
Dilihat dari segi ekonomi, pemasaran merupakan tindakan atau kegiatan yang
produktif, menghasilkan pembentukan kegunaan, yaitu kegunaan tempat, waktu,
hak milik dan bentuk sehingga mempertinggi nilai guna dari suatu barang yang
diminta oleh konsumen. Sedangkan, nilai ekonomi akan menentukan nilai barang
dan jasa bagi individu-individu. Faktor penting yang membentuk nilai ekonomi
adalah produksi, pemasaran dan konsumsi.
Menurut William J. Stanton dalam Swastha dan Irawan (1990), pemasaran
adalah suatu sistem dari kegiatan-kegiatan bisnis yang ditujukan untuk
merencanakan, menentukan harga, mempromosikan serta mendistribusikan barang
dan jasa dalam memuaskan kebutuhan, baik pembeli yang ada maupun pembeli
potensial. Selian itu, pemasaran dapat pula didefinisikan sebagai suatu proses sosial
dan manajerial dari individu dan kelompok untuk memenuhi kebutuhan dan
keinginannya melalui penciptaan, penawaran dan pertukaran nilai produk dengan
yang lain (Saladin, 2004).
Secara khusus, pemasaran pertanian dapat didefinisikan sebagai jumlah
kegiatan bisnis yang ditujukan untuk memberi kepuasan dari barang atau jasa

15

yang dipertukarkan kepada konsumen atau pemakai dalam bidang pertanian, baik
input maupun produk pertanian (Said dan Harizt, 2004). Kegiatan pemasaran tidak
sekedar menyampaikan barang atau jasa dari produsen kepada konsumen, tetapi
juga memperlancar arus barang atau jasa secara paling efisien dengan maksud
untuk menciptakan permintaan yang efektif.
Berkaitan dengan karakteristik dari produk pertanian umumnya memiliki
sifat mudah rusak (perishable), memiliki ukuran yang besar per tumpukan
(bulky/voluminous), beranekaragam mutunya (quality variation) serta musiman
(Ratya, 2004). Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan suatu perlakuan dan
penanganan khusus yang menjadikan kegiatan pemasaran penting adanya,
diantaranya mengenai saluran pemasaran yang dipilih.
Saluran pemasaran dapat didefinisikan dalam berbagai cara. Umumnya,
didefinisikan sebagai suatu rute atau jalur. Saluran pemasaran dapat berbentuk
sederhana dan dapat pula rum it sekali. Hal tersebut tergantung pada macam
komoditas lembaga pemasaran dan sistem pasar. Sistem pasar yang monopoli
mempunyai saluran pemasaran yang relatif sederhana dibandingkan dengan sistem
pasar yang lain. Komoditas pertanian yang lebih cepat penyalurannya ke tangan
konsumen dan yang tidak mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, biasanya
mempunyai saluran pemasaran yang relatif sederhana (Soetriono, dkk., 2003).
Setiap lembaga pemasaran yang melibatkan diri dalam suatu sistem
pemasaran tertentu, baik komoditas industri atau pertanian, pada dasarnya
mempunyai tujuan imbalan pengorbanan yang telah diberikan oleh lembaga
pemasaran tersebut. Adanya perbedaan kegiatan yang diberikan oleh setiap

16

lembaga pemasaran menyebabkan terjadinya perbedaan harga jual dari satu


lembaga dengan lembaga lainnya hingga tingkat konsumen akhir. Kemudian,
mengingat setiap komoditas mempunyai saluran pemasaran yang berbeda, semakin
banyak lembaga yang terlibat dalam saluran pemasaran, maka akan semakin besar
perbedaan harga yang terjadi pada tingkat produsen dengan tingkat konsumen
akhir.
Selain saluran pemasaran, pola pemasaran komoditas dibedakan menjadi
pola saluran langsung dan tidak langsung. Saluran langsung terjadi apabila
produsen menjual barangnya secara langsung kepada konsumen tanpa melalui
perantara. Sedangkan pada saluran tidak langsung, produsen menjual barangnya
melalui perantara, seperti pedagang besar, pedagang menengah atau pengecer), di
daerah Jawa Barat sebagai sentra sayuran diperkirakan terdapat 1 1 - 1 5 persen
petani sayuran yang mulai berpartisipasi dalam penjualan ke supermarket melalui
bandar besar dan supplier.
Saluran Langsung
Produsen

Konsumen

Saluran Tidak Langsung


Produsen

Pedagang

Konsumen

Produsen

Pedagang

Pedagang

Konsumen

Produsen

Pedagang

Pedagang

Pedagang

Sumber : Saladini 2004)


Gambar 2. Pola Saluran Pemasaran

17

Konsumen

2.4. Perkembangan Pasar Modern dan Dampaknya Terhadap Petani


Pada bagian ini akan dijelaskan hasil-hasil penelitian terdahulu mengenai
perkembangan pasar modern. Kemudian, dibahas juga mengenai perkembangan
penelitian mengenai pengaruh positif dan negatif keberadaan dan perkembangan
pasar modern tersebut terhadap para petani kecil.
Ada beberapa hambatan yang dihadapi para petani pedesaan Equador untuk
terlibat langsung di pasar modern : (1) adanya pengenalan varietas baru sayuran dan
manajemen yang berbeda, membuat tidak setiap petani dapat terlibat dalam value
chain sayuran karena mereka masih terbatas sumberdaya dan waktu yang
diperlukan untuk investasi. (2) pembayaran yang relatif lama yaitu sekitar 8 sampai
dengan 45 hari menyulitkan petani kecil karena mereka memerlukan uang tunai
segera untuk keperluan keluarga maupun untuk kepentingan usahatani selanjutnya.
(3) kapasitas produksi petani kecil, walaupun sedang berkembang, masih sangat
terbatas untuk dapat memenuhi permintaan yang relatif besar dari pasar modern,
kemudian kompetisi antar petani kecil, merupakan hambatan untuk membuat
agreement diantara mereka yang membuat mereka sebenarnya dapat membuat
kelompok untuk dapat memenuhi permintaan pasar modern yang besar volumenya.
(4) petani kecil masih dalam hal proses pembentukan modal yang memadai,
penyediaan tenaga kerja dan peningkatan kemampuan manajemen dari kelompok
ataupun koperasi. (5) ketersediaan dan akses terhadap jasa keuangan dan penyuluh
pertanian masih sangat terbatas. (6) permintaan pasar modern terhadap sayuran
cenderung meningkat, tetapi standar kualitas, kebersihan dan birokrasi yang
diminta pasar modern menurut petani terlalu ketat. (7) untuk petani, keberadaan
pihak yang bersedia untuk investasi di sayuran merupakan hal utama untuk
18

menentukan apakah mereka akan menanam sayuran pada masa selanjutnya atau
tidak
Di Afrika Selatan, rantai pasok informal (tradisional) relatif lebih
menguntungkan bagi petani kecil dibandingkan dengan rantai pasok formal
(modern).
Ditambahkan oleh Natawidjaja, dkk. (2006) dimana hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa yang membuat petani sayuran Jawa Barat agak sulit
terhubung ke pasar modern antara lain (1) petani terikat pinjaman modal dengan
bandar, sehingga mencegah untuk memasarkan produknya ke alternatif pasar
lainnya termasuk supermarket. (2) ketiadaan penanganan pasca panen karena
apabila petani hanya menjual grade yang bagus ( grade A dan super) pada supplier
supermarket tidak ada pihak lain yang mau membeli grade sisanya. (3) rendahnya
kepercayaan dan komitmen pada kontrak, supplier supermarket sering mengeluh
atas seringnya kejadian pelanggaran kontrak yang dilakukan oleh petani. (4)
ketiadaan informasi harga dan transparansi; petani merasa mereka tidak diberikan
informasi yang menyeluruh mengenai kondisi pasar sehingga mereka curiga dan
merasa dicurangi. (5) petani merasa volume pemintaan dari supermarket kecil.
Respon ini kebanyakan berasal dari petani yang tidak bermitra dengan supplier
supermarket dan hanya melakukan perjanjian dengan bandar tradisional. (6)
ketiadaan kemitraan dan tidak berfungsinya koperasi petani; jelas bahwa jumlah
kelompok tani dan koperasi yang melakukan fungsi pemasaran sangat sedikit.
Terdapat gambaran yang buruk terhadap kelompok tani dan koperasi setelah
terjadinya revolusi hijau dimana kelompok tani dan koperasi digunakan sebagai
alat kebijakan untuk menyalurkan input pertanian, kredit, serta persediaan stok
19

beras nasional sehingga untuk merubah gambaran tersebut menjadi sulit. (7)
kurangnya supplier supermarket di area produksi. (8) pembayaran tunda yang
dilakukan oleh supermarket juga menjadi masalah dan faktor pembatas, tidak hanya
pada petani saja tetapi juga pada supplier karena mereka harus mencari modal dari
tempat lain untuk menalanginya.
Selanjutnya, produsen skala kecil di pedesaan Uganda yang menghasilkan
susu, buah, dan sayuran dihadapkan pada permasalahan jumlah pasokan yang tidak
tetap, kualitas produk yang rendah, infrastruktur yang tidak memadai, kurangnya
kemampuan dalam berwirausaha, kurangnya pengalaman dalam pemasaran,
ketidaktersediaan kredit pertanian, dan kurangnya memahami metode pertanian
modem. Namun, potensi produsen skala kecil untuk berkembang tetap ada karena
produksi dari keberagaman produk dengan potensi produksi yang tinggi dan
ketersediaan produk sepanjang tahun juga berpotensi dalam nilai tambah
kebanyakan produk dan beberapa implementasi dari inisiatif pemerintah untuk
mendukung mereka. Untuk mengembangkan produsen skala kecil dari buah,
sayuran, dan produk susu, pelaku yang terlibat dalam sektor ini harus dilatih untuk
meningkatkan kualitas produknya dan pemerintah harus memberikan dukungan
dalam hal infrastruktur seperti fasilitas transportasi (fasilitas pendingin), dan
fasilitas gudang yang memadai untuk meminimalisasi berkurangnya kuantitas
produk pasca panen. Produsen skala kecil juga harus difasilitasi dalam
pembentukan organisasi produsen dan menyediakan fasilitas kredit untuk

20

meningkatkan produksi. Permintaan supermarket terhadap volume yang


besar serta konsisten, kualitas pasokan membuat produsen kecil harus memiliki
manajemen yang baik untuk mencapainya hal penting yang harus diperhatikan
antaralain keberadaan irigasi yang baik, tempat pengemasan yang higienis, serta
rantai pendingin. Petani kecil pun harus melakukan konsolidasi dalam hal
pemasarannya melalui kelompok tani sehingga kuantitasnya menjadi besar dan
dapat mengurangi biaya transaksi sehingga petani akan mendapat harga produknya
yang lebih baik. Kesempatan produsen skala kecil Fresh Fruit and Vegetable untuk
masuk dalam rantai pasok supermarket terbatas pada standar kualitas produk yang
diminta supermarket dan keterlibatan produsen skala kecil dalam rantai pasok
supermarket hanya mungkin apabila terdapat intervensi dari pihak lain.
Tetapi, selain hasil penelitian yang menunjukkan bahwa petani kecil
kesulitan dalam era globalisasi ini dan pasar modem berdampak negatif pada pasar
tradisional, ternyata keberadaan pasar modern juga memberikan peluang-peluang
bagi petani untuk mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik. Beberapa penelitian
mengenai hal tersebut diantaranya :
Di Negara Kenya, (1) value chain sayuran telah memberikan peluang untuk
para pengolah di daerah perkotaan dan peluang juga bagi pertumbuhan pasar hasil
pengolah komoditas pertanian di daerah pedesaan. (2) petani kecil perlu melakukan
beberapa hal agar dapat menangkap peluang-peluang tersebut diantaranya:
membentuk kelompok-kelompok pemasaran, membuat asosiasi dengan para
pengolah atau pedagang-pedagang besar. (3) value chain juga

21

membuka peluang terjadinya transfer pelayanan dari pihak pemerintah ke swasta


atau sebaliknya dan dari agricultural extension ke business development yang
melibatkan petani kecil dan menengah. (4) pemerintah perlu untuk menyediakan
lingkungan yang kondusif untuk mendukung pihak swasta agar dapat melakukan
bisnis komoditas pertanian dan pengolahannya dengan lebih efisien. Hal ini
memerlukan adanya investasi besar-besaran pada infrastruktur pemasaran didaerah
pedesaan dan realokasi sumberdaya dari daerah perkotaan ke daerah pedesaan. (5)
khusus untuk sayuran, pertumbuhan supermarket chains belum memberikan peran
yang berarti di Kenya. Hanya ada 2 persen dari seluruh sayuran, buah dan sayuran
yang berakhir dipasarkan pada outlet-outlet di supermarket. Kemudian, baru sekitar
6% rumah tangga di perkotaan yang membeli sayuran dan buah segar di
supermarket. Sayuran juga harganya lebih mahal di supermarket dibanding dengan
pasar tradisional. (6) walaupun total share dari supermarket cenderung mengalami
pertumbuhan dari waktu ke waktu, tetapi perkembangan perdagangan sayuran dan
buah segar lebih lamban dibandingkan dengan makanan lain.(7) supermarket
menjadi semakin penting untuk barang jadi dan komoditas pertanian yang telah
diolah, tetapi untuk sayuran dan buah segar, pasar tradisional, kios-kios kecil, dan
pasar-pasar terbuka lainnya, tetap merupakan outlet utama.
Selanjutnya terdapat hasil penelitian yang menunjukkan bahwa (1) partisipasi
petani kecil dan menengah pada value chain modern, misalnya supermarket telah
meningkatkan peluang kemampuan akses terhadap kredit mereka sehingga akses
terhadap jasa keuangan membesar. (2) Akses terhadap jasa

22

keuangan yang meningkat membuat mereka semakin besar keinginannya untuk


meningkatkan kapasitas produksi yang masuk ke dalam value chain modern
Di daerah pedesaan Kenya, menyatakan bahwa perbandingan antara petani
yang berada pada saluran pasar modern dengan petani yang berada pada saluran
tradisional antara lain : (1) petani yang berada pada saluran pasar modern rata-rata
luas penguasaan lahannya lebih besar dibandingkan dengan petani yang berada
pada saluran tradisional (23-46 acres dan 4-6 acres). Selain itu, lahan yang dimiliki
oleh petani yang berada pada saluran pasar modern persentase penggunaan
irigasinya jauh lebih besar dibandingkan dengan lahan yang dikuasai oleh petani
yang berada pada saluran tradisional. (2) petani yang berada pada saluran pasar
modern memiliki lebih banyak menggunakan pekerja tetap dibandingkan dengan
petani yang berada pada saluran tradisional, tetapi rata-rata jumlah pekerja per acre
nya lebih banyak di lahan petani saluran tradisional. (3) para petani yang berada di
saluran pasar modern memiliki telepon, alat transportasi, dan sebagian besar
memiliki sistem irigasi, dan tempat pengepakan. Hal yang berbeda dengan kondisi
petani pada saluran tradisional dimana kepemilikan telepon saja kurang lebih hanya
sebanyak 30% dari seluruh petani saluran tradisional.
Kemudian, Minot dan Devesh Roy (2007) menyatakan bahwa (1) usahatani
sayotaTi Tnenyetap tenaga lterja "lebih hanyak dibanding usahatani tanaman
pangan lainnya. (2) di supermarket harga eceran konsumen untuk produk olahan
lebih rendah dibanding harga sayuran dan buah-buahan segar. Penelitian mereka
dilakukan di beberapa negara berkembang di Asia dan Afrika.

23

Selanjutnya, Navas (2004) menunjukkan bahwa keuntungan yang diperoleh


petani kecil Guatemala yang menjual ke pasar modern tiga kali lebih besar
dibanding petani yang menjual ke pasar tradisional. Kemudian, petani kecil dan
menengah yang terlibat di pasar modern kondisi permodalannya sedang dalam
proses menuju modal mandiri (berasal dari rumah tangga petani sendiri). Demikian
juga dengan Huang et al. (2007) yang menyatakan bahwa petani di China yang
menjual hasil usahataninya ke pasar modern, pendapatannya hampir dua kali lipat
dibanding petani yang menjual ke pasar tradisional.

24

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Objek dan Tempat Penelitian


Objek penelitian ini adalah petani sayuran di kabupaten Bandung. Daerah
Bandung diambil sebagai tempat penelitan karena merupakan salah satu daerah
penghasil sayuran terbesar di Jawa barat, dimana pada tahun 2006, persentase
produksi sayuran Jawa Barat mencapai 34,5 persen dari total produksi sayuran
Indonesia. Selain itu, Jawa Barat merupakan salah satu propinsi yang mempunyai
jumlah penduduk yang sangat padat dengan rata-rata kepemilikan serta penguasaan
lahan petani sayurannya cenderung semakin sempit. Berdasarkan hal tersebut,
diperlukan suatu metode untuk melakukan penelitian ini.
Metode penelitian yang digunakan untuk penelitian ini adalah metode
kualitatif yaitu PRA (Partisipatory Rural Appraisal). Metode ini dilakukan untuk
dapat menggali alasan-alasan mengenai fenomena yang terjadi pada usahatani dan
pemasaran sayuran yang dilakukan petani. Sehingga diharapkan nantinya akan
diperoleh deskripsi yang lebih tajam dan mendalam mengenai kemampuan petani
dalam merespon permintaan pasar modern dan tradisional serta dampaknya
terhadap usahatani sayuran mereka.
Petani sayuran yang akan dipilih adalah mereka yang merespon ke pasar
modern dan mereka yang berhubungan dengan pasar tradisional. Masing-masing
akan diambil secara sengaja sebanyak 10 orang dari kedua kelompok tersebut,
sehingga jumlah petani responden seluruhnya adalah 20 orang.

25

3.2. Jenis dan Sumber Data


Data yang digunakan dalam. peneliUau kvi adalah da\a primer dan sekunder.
Data primer diperoleh dari pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner.
Informasi yang diperoleh tersebut, kemudian dianalisis secara deskriptif. Sebagai
penunjang, digunakan data sekunder yang berkaitan dengan kedua konsep tersebut.
Data sekunder tersebut dapat berasal dari BPS, hasil penelitian sebelumnya,
internet, Dinas Pertanian serta Dinas Perdagangan.

3.3, Data/Informasi yang diperlukan (Operasionalisasi Konsep/Variabel)


Tabel 1. Operasionalisasi Variabel
No

Variabel

Sub Variabel
Umur

Respon Kualitatif

Banyaknya
tanggungan
keluarga
Tingkat pendidikan
Non-Capital Asset Partisipasi petani dalam
Petani
kemitraan

Orang
Tahun
Ya/tidak

Pengalaman usahatani
I

Tahun

Partisipasi petani

Ya

dalam organisasi
Akses terhadap

Tidak
Ya

kredit

Tidak

Luas lahan yang beririgasi


Aset Petani

Satuan
Tahun

Hektar

Kepemilikan asset lain

Buah

Luas penguasaan lahan

Hektar

Luas kepemilikan lahan

Hektar

26

Tabel lanjutan Operasionalisasi Variabel


Harga jual

Rp/Kg

Penyuluhan

Ada/tidak

Volume penjualan

Ton

Alasan pemilihan pasar


Cara pembayaran

Tunai/tidak tunai

Pinjaman modal

Rp/Musim

Grading

Ada
Tidak Ada

Keuntungan
Peningkatan
komoditas

Rp/Hektar
kualitas

Meningkat
Tidak meningkat

Persyaratan kualitas

Ada
Tidak ada

Permintaan Pasar
Sayuran

Kontrak

II

Tidak kontrak
Respon
Kualitatif

Satuan
Kg
Liter
Kg

Local/impor
Kontrak pemasaran

Sendiri/fihak lain
Rp/kg
Ya
Tidak
Rp/Musim
Jenis sayuran
Ton
Ton/Hektar
Rp/Hektar
Banyaknya

27

Tabel lanjutan Operasionalisasi Variabel


No.

Variabel

Sub Variabel
Dosis pupuk

Respon Kualitatif

Banyaknya pestisida

Satuan
Kg
Liter

Volume benih

Kg

Jenis bibit

Local/impor

Asal bibit

Sendiri/fihak
lain

III
Harga bibit
Pola Usahatani

Rp/kg

Sistem irigasi

Ya
Tidak

Total modal

Rp/Musim

Pola tanam

Jenis sayuran

Hasil produksi

Ton

Produkti vitas

Ton/Hektar

usahatani
Keuntungan usahatani

Rp/Hektar

Frekuensi tanam

Banyaknya

28

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Kabupaten Bandung


Kabupaten Bandung adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat,
Indonesia. Ibu kotanya adalah Soreang. Kabupaten Bandung lahir melalui Piagam
Sultan Agung Mataram, yaitu pada ping Songo tahun Alif bulan Muharam atau
sama dengan hari sabtu tanggal 20 April tahun 1641 M. Secara geografis letak
Kabupaten Bandung berada pada 6,41' - 7, 19' Lintang Selatan dan diantara
10722' - 1085' Bujur Timur dengan luas wilayah 176.239 ha. Batas wilayah
Kabupaten Bandung adalah sebagai berikut:
Batas Utara: Kabupaten Bandung Barat;
Sebelah Timur: Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut;
Sebelah Selatan: Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur;
Sebelah Barat: Kabupaten Bandung Barat;
Bagian Tengah: Kota Bandung dan Kota Cimahi.
Kabupaten Bandung terdiri atas 31 kecamatan, 266 Desa dan 9 Kelurahan.
Dengan jumlah penduduk sebesar 2.943.283 jiwa (Hasil Analisis 2006) dengan
mata pencaharian yaitu disektor industri, pertanian, pertambangan, perdagangan
dan jasa. Sebagian besar wilayah Bandung adalah pegunungan. Di antara
puncak-puncaknya adalah sebelah utara terdapat Gunung Bukit Tunggul (2.200 m),
Gunung Tangkuban Perahu (2.076 m) di perbatasan dengan Kabupaten Purwakarta.
Sedangkan di selatan terdapat Gunung Patuha (2.334 m), Gunung Malabar (2.321
m), serta Gunung Papandayan (2.262 in) dan Gunung Guntur
29

(2.249 m), keduanya berbatasan dengan Kabupaten Garut. Wilayah Kabupaten


Bandung beriklim tropis dipengaruhi oleh angin muson dengan curah hujan
rata-rata berkisar antara 1500 sampai dengan 4000 mm/tahun, suhu rata-rata
berkisar antara 19C sampai dengan 24C.
Dengan didukung oleh kondisi geografis dan iklim yang ada di Kabupaten
Bandung maka sektor pertanian menjadi salah satu sektor unggulan bagi daerah
tersebut. Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani.
Meskipun demikian kebutuhan akan responden petani yang memasarkan hasil
panennya ke pasar tradisional masih terbatas sehingga hanya 5 responden yang
dapat ditemukan, tidak sesuai dengan rencana awal yang akan diambil sebanyak 10
responden. Akhirnya total responden yang diambil dalam penelitian ini adalah
sebanyak 15 orang dengan komposisi 5 orang responden yang memasarkan hasil
panennya ke pasar modern dan 10 orang responden yang memasarkan hasil
panennya ke pasar trsdisional.

4.2. Karakteristik petani Sayuran


4.2.1. Umur petani
Dari segi usia pada umumnya petani yang menanam sayuran adalah petani
yang usianya diatas 25 tahun, hanya ada satu orang petani yang berusia 70 tahun.
Sebagian besar umur petani responden adalah 34 tahun, dengan komposisi untuk
petani termuda 27 tahun dan tertua 70 tahun. Komposisi responden berdasarkan
umur dapat di lihat pada Tabel 2.

30

Tabel 2. Komposisi Responden Petani Berdasarkan Kelompok Umur


Kelompok
Umur
<30
31-40
41-50
>50

Petani
Jumlah (org)
1
6
4
5

Persentase (%)
0,67
40
26
33,33

Berdasarkan data tersebut berarti bahwa sebagian besar dari petani sayuran
ini masih dapat dikembangkan menjadi usaha yang lebih produktif dan profesional,
karena sebagian besar petani sayuran yang terdapat di Kabupaten Bandung ini
masih berada pada golongan tenaga kerja yang produktif. Umumnya mereka
memiliki keinginan besar untuk memajukan usahataninya, sehingga mereka dapat
meningkatkan kesejahteraan keluarganya.
Dilihat dari sebaran data pada Tabel. 2 menunjukkan bahwa rendahnya minat
golongan muda untuk terjun ke dunia pertanian. Padahal berdasarkan informasi
yang diperoleh dari para petani bahwasannya sektor pertanian ini masih dapat
dikatakan sebagai sektor unggulan atau primadona karena apabila sektor pertanian
ini digeluti dengan baik dan sungguh-sungguh maka akan mendatangkan
keuntungan secara financial yang cukup besar.
4.2.2. Pendidikan petani
Tingkat pendidikan sangat berperan terhadap respon petani dalam
mengadopsi inovasi dan memperkirakan kemungkinan yang akan terjadi dimasa
yang akan datang baik yang menyangkut aspek pelaksanaan usahatani, penguasaan
teknologi dan pemasaran hasil panennya. Pendidikan petani diperoleh dari dua
sumber yaitu pendidikan formal dan non formal. Pendidikan formal

31

diperoleh dari bangku sekolah mulai dari SD sampai perguruan tinggi sedangkan
pendidikan

non

formal

diperoleh

seperti

dari

kursus-kursus

atau

pelatihan-pelatihan. Para petani responden masih jarang menerima pendidikan


nonformal, karena akses mereka terhadap sumber informasi cukup sulit apalagi
untuk mendapat penyuluhan dari instansi pemerintah. Kebanyakan dari responden
mendapatkan pendidikan nonformal dari perusahaan-perusahaan pestisida ataupun
dari lembaga lain nonpemerintah yang terkait dengan sektor pertanian. Selain itu
pengetahuan usahatani para responden dalam penelitian ini mereka peroleh dari
pengalamannya pribadi, baik yang mereka peroleh dari tempat kerja sebelumnya
ataupun dari keluarganya sebagai warisan turun-temurun. Meskipun demikian para
petani sebenernya berharap ada perhatian dari pihak pemerintah untuk dapat
memfasilitasi mereka dalam hal yang terkait dengan usahatani misalnya dengan
menyediakan penyuluh pertanian yang memiliki ilmu praktis terkait pertanian yang
mumpuni.
Kondisi petani yang menjadi responden dalam penelitian ini pada umumnya
memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Kebanyakkan dari petani responden ini
hanya sekolah sampai tingkat sekolah dasar, sedangkan yang sekolah sampai SMP
sebanyak 3 orang, SMA sebanyak 2 orang, tidak tamat perguruan tinggi 3 orang
dan perguruan tinggi sebanyak 3 orang. Tingkat pendidikan petani sayuran dapat di
lihat pada Tabel 3.

32

Tabel 3. Komposisi Responden Petani Sayuran Berdasarkan Tingkat Pendidikan


No
1
2
3
4
5

Pendidikan Formal
Perguruan Tinggi (SI & S2)
Tidak Tamat Perguruan Tinggi
SMA
SMP
SD

Jumlah (orang)
3
3
2
3
4

Persentase (%)
20
20
13,33
20
26,67

Meskipun tingkat pendidikan petani tersebut masih rendah namun mereka


tetap berusaha untuk dapat meningkatkan usahataninya seoptimal mungkin. Hal itu
ditunjukkan dengan adanya keinginan petani untuk terus meningkatkan
pengetahuannya dengan mengakses berbagai pelatihan.
4.2.3. Mata pencaharian petani responden
Pada umumnya mata pencaharian responden adalah sebagai petani. Selain
sebagai petani sayuran, mereka mempunyai pekerjaan tambahan misalnya sebagai
pedagang atau merangkap sebagai supplier. Berdasarkan data yang diperoleh dari
lapangan bahwa jumlah tanggung keluarga yang menjadi tanggungjawab para
petani jumlahnya tidak lebih dari 6 orang anggota keluarga.
Dengan jumlah tanggungan keluarga yang tidak terlalu banyak dan ditunjang
dengan mata pencahariannya diluar bertani, maka secara keseluruhan taraf hidup
para petani sayuran sudah cukup. Hal itu ditandai dengan sudah cukup terpenuhi
kebutuhan primer keluarganya, bahkan untuk beberapa responden kebutuhan
sekunder dan tersier pun sudah terpenuhi. Dengan demikian sesungguh sektor
pertanian masih dapat dijadikan sebagai salah saktu sektor unggulan sehingga para
pelakunya dapat memperoleh taraf hidup sejahtera.

33

4.2.4. Pengalaman usahatani sayuran


Pengalaman usahatani sangat membantu dan menunjang petani untuk terus
lebih maju dan sebagai bekal ilmu untuk melakukan usaha selanjutnya. Dengan
pengalaman ini diharapkan petani dapat mengambil keputusan yang terbaik.
Pengalaman petani dalam berusahatani sayuran diukur berdasarkan lamanya petani
responden melakukan usahatani sayuran, baik dalam mengambil keputusan dalam
penggunaan sarana produksi maupun dalam pemasaran hasil.
Tabel 4. Komposisi Responden Berdasarkan Pengalaman Usahatani Sayuran
Pengalaman
Usahatani Sayuran
<5
5-10
>10

Petani
Jumlah (org)
Persentase (%)
2
13,33
3
20
10
66,67

Sebagian besar dari para petani tersebut memiliki pengalaman dalam


usahataninya adalah lebih dari 10 tahun. Dengan demikian para petani sayuran di
Kabupaten Bandung ini sudah cukup berpengalaman dan tahu jauh mengenai
karakteristik sayuran yang mereka tanam. Namun kondisi sistem usahatani sayuran
yang dijalankan para petani belum optimal, ditandai dengan belum diterapkannya
menajemen usahatani yang tersusun dan teratur dengan baik.
4.2.5. Hasil produksi dan pemasaran sayuran
Produktivitas sayuran antara petani satu dengan yang lainnya menunjukan
variasi yang sangat fluktuatif. Hal tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh berbagai
faktor diantaranya tingkat pendidikan. pengalaman usahatani, umur

34

petani, jumlah tanggungan keluarga dan pelatihan/pembinaan. Dengan melihat


karakteristik petani yang telah diuraikan sebelumnya, maka hasil produksi sayuran
yang diperoleh oleh setiap petani belum optimal. Hal tersebut terjadi karena
keterbatasan pengetahuan petani dalam bercocok tanam sayuran serta ada beberapa
yang diakibatkan oleh keterbatasan modal yang mereka miliki.
Tabel 5. Produktivitas Sayuran Petani Responden

Identitas
Responden
A
B
C
D
E

F
G
H
I
J
K
L
M
N
O

Kangkung

Bayam

5000
1500
* 3000
8000
1000

5000
1500
3000
4000
1000

Pecay

Tomat

20

50
10
10
7
30

Pertanian Organik (Ikat/Bulan)


Daun
Pakcoy
Sawi
Caysin
Ubi
5000
5000
1500
1500
3000
3000
2000
3000
800
1000
1000
Pertanian Anorganik (Ton/Musim)
Bawang
Cabe
Kentang
Kubis
Daun
50
15
25
60
25
40
48
10
20
25
40
10
0.02
5

Jabung

Kay Ian

1000

1000

Sawi

Wortel
15
24
24

30

1.5

Hampir semua petani sayuran anorganik menjual hasil panennya ke bandar,


hanya empat responden petani anorganik yang menjual hasil panennya secara
langsung ke pasar induk. Hal tersebut dilakukan karena apabila mereka menjualnya
melalui bandar maka mereka tidak akan mengeluarkan biaya angkut dan
biaya-biaya yang terkait pemasaran lainnya, semua biaya tersebut ditanggung

35

oleh bandar sehingga dari hasil penjulannya tersebut akan lebih menguntungkan.
Sedangkan petani yang langsung menjualnya ke pasar induk karena mereka
sekaligus merangkap sebagai bandar (pedagang pengumpul). Namun Keempat
petani yang merangkap sebagai bandar pun tidak menutup kemungkinan
menjualnya melalui bandar untuk beberapa komoditas yang bukan menjadi
prioritasnya, karena skala hasilnya pun tidak terlalu banyak. Alasan lainnya yaitu
disebabkan oleh kurang fahamnya ceruk pasar untuk komoditas tersebut. Dalam
penentuan harganya para petani didasarkan pada harga pasar yang sedang
berkembang, dan penentu harga itu adalah bandar. Meskipun demikian tidak terjadi
penindasan akan harga terhadap petani oleh para bandar, karena informasi harga
yang berkembang selalu diperoleh bandar maupun petani setiap saat. Informasi
harga tersebut diperoleh dari para bandar yang senantiasa setiap saat mencek
perkembangan harga ke pasar baik secara langsung ke pasar ataupun melalui
telepon.
Dalam penjualannya hampir untuk setiap jenis komoditas para petani tidak
melakukan sistem grade, tetapi dilakukan dengan sistem abresan. Alasannya adalah
petani tidak melakukan kegiatan pasca panen seperti sortasi dan grading,
dikeranakan apabila dilakukan sistem grade maka jenis komoditas yang berkualitas
rendah tidak akan terjual dan hanya menjadi sampah. Jika terjadi hal tersebut maka
para petani akan mengalami kerugian. Selain itupun para petani harus menambah
biaya untuk upah tenaga kerja untuk tahapan tersebut. Sortasi dan grading
dilakukan oleh para bandar, sehingga pemasaran hasil dari bandar ke

36

pasar induk dilakukan dengan sistem grading. Pembayaran dilakukan secara tunai
baik dari bandar ke petani ataupun dari pedagang di pasar induk ke para bandar.
PETANI

PEDAGANG
PENGEPUL

PENGOLAH

PEDAGANG
PASAR INDUK

SUPLIER

SUPERMARKET

PEDAGANG
PASAR LOKAL

PEDAGANG
KECIL/KELILING
Gambar 3. Sistem Pemasaran Sayuran
Adapun sistem pemasaran yang dilakukan oleh para petani organik di
pasarkan secara langsung oleh setiap petani ke pasar modern. Oleh karena itu
secara otomatis sebelum disalurkan maka hasil sayuran tersebut dilakukan sortasi
dan grading. Komoditas yang tidak masuk kedalam grade yang disyaratkan oleh
pihak pasar maka akan disalurkan ke pasar tradisional dengan harga dasar. Dengan
alasan hanya sekedar untuk kembali modal, tanpa ada keuntungan pun asalkan
tidak mengalami kerugian dan hasil dari sayuran tersebut tidak mubazir menjadi
sampah. Sistem penetapan harga dilakukan dengan cara proses tawar menawar
antara petani dengan pihak manajemen pasar modern yang didasarkan pada biaya
usahatani yang telah dibuat dan diajukan oleh para petaninya. Dengan demikian
para petani tidak mengalami kerugian. Sistem pembayaran yang
37

dilakukan oleh pihak manajemen pasar modern tersebut dilakukan dengan sistem
giro. Giro tersebut ada yang pencairannya per dua minggu ada pula yang
berdasarkan perbandingan misalnya 4 : 1 . Artinya setelah empat kali memasok
barang baru uang pembelian cair satu kali.

4.3. Potensi Pengembangan Usahatani Sayuran


Berdasarkan pada kondisi tofografi maka Kabupaten Bandung mempunyai
potensi yang cukup bagus untuk pengembangan usahatani sayuran. Kondisi lahan
di daerah tersebut memenuhi syarat untuk tumbuhnya sayuran. Selain itu hal yang
menunjukan bahwa daerah Bandung berpotensi untuk pengembangan sayuran
adalah masih banyak terdapat lahan pertanian yang belum digunakan secara
optimal. Selain lahan milik pribadi para petani, petani dapat memperluas lahan
garapannya untuk tanaman sayuran dengan cara menyewa lahan milik orang lain.
Produksi sayuran di Kabupaten Bandung masih berpotensi untuk terus
dikembangkan. Meskipun pada saat ini kondisi pertanian sayuran masih belum
optimal dari segi manajemen, sehingga menyebabkan jumlah produksi yang kurang
optimal dan terkadang permintaan pasar tidak terpenuhi. Semua itu masih dapat
ditanggulangi lagi dengan cara memperbaiki sarana dan prasaran pertanian yang
telah ada.
Pribadi petani dapat diperbaiki dengan cara memberikan tambahan
pengetahuan khususnya mengenai usahatani sayuran baik secara formal maupun
informal. Petani akan sangat tertarik apabila diadakan pelatihan dan pembinaan
tentang usahatani sayuran baik dari pemerintah atau swasta. Para petani sayuran

38

memiliki motivasi yang tinggi untuk memperbaiki kondisi usahataninya didukung


pula oleh usia para petani yang termasuk dalam golongan usia produktif.
Selain dari pribadi petani pengembangan produksi sayuran dapat dilakukan
dengan menambah luas areal tanaman sayuran. Petani dapat saja dengan mudah
memperluas lahan sayuran yang menjadi garapannya, tetapi dalam pelaksanaannya
para petani sayuran masih terbentur dengan keterbatasan modal dan faktor teknis.
Dengan demikian untuk lebih mengoptimalkan keberlangsungan usahatani sayuran
diperlukan adanya bantuan modal dan fasilitas-fasilitas-teknis atau non teknis.
Selain itu dalam pengembangan produksi sayuran ini diperlukan adanya kerjasama
antara petani, pemerintah, masyarakat dan instansi-instansi lainnya yang terkait
dengan usahatani sayuran.

4.4. Kesulitan-kesulitan yang dihadapipetani sayuran


Kondisi petani sayuran di Kabupaten Bandung secara kuantitas memiliki
jumlah yang banyak, namun dari segi kualitas teknik budidaya para petani pada
umumnya masih sederhana. Maksudnya adopsi terhadap inovasi-inovasi akan
teknologi pertanain masih kurang. Meskipun seperti itu kegiatan usaha tani sayuran
ini merupakan mata pencaharian utama. Pada dasarnya para petani di Kabupaten
Bandung dapat lebih meningkatkan taraf hidup mereka dengan cara menggali nilai
tambah yang dimiliki oleh setiap komoditas sayuran tersebut, sehingga mereka
tidak hanya menjualnya dalam bentuk sayuran segar melainkan dapat menjualnya
dalam bentuk hasil olahan dari sayuran tersebut.
Belum mampunya petani dalam memenuhi kebutuhan konsumen disebabkan
oleh beberapa aspek antara lain lemahnya penerapan leknologi tepat guna,
39

penerapan jaminan mutu masih lemah, penguasaan terhadap informasi masih


terbatas, lemahnya sumber daya petani serta sarana dan prasarana usahatani yang
belum memadai. Selain hal-hal tersebut di atas sedikitnya modal yang dimiliki
petani menjadi salah satu kendala yang dihadapi oleh para petani. Dengan
keterbatasan modal yang ada menyebabkan petani sulit untuk memperbaiki pola
usaha taninya. Karena pada saat ini segala sesuatu akan maju apabila ditunjang
dengan permodalan yang cukup.
Dalam upaya penambahan modal usahataninya, para petani mendapatkan
bantuan modal dari beberapa sumber seperti pinjaman dari bandar atau pinjam ke
bank. Bagi responden dalam penelitian ini yang merangkap sebagai petani besar
dan bandar, meraka tidak terlalu merasa kesulitan dalam melakukan perputaran
modal karena pendapatan yang diperoleh dari usahataninya cukup untuk
membiayai kehidupan keluarga dan usahataninya.
Selain kendala yang diuraikan di atas kendala lain yang dihadapi oleh petani
anorganik adalah kenaikan harga pupuk dan pestisida. Kenaikan harga tersebut
tidak diimbangi dengan kenaikan harga jual sayuran. Sedangkan kendala yang
dihadapi oleh para petani sayuran organik adalah dalam hal perluasan lahan
garapan sehingga green house dan media tanam tidak cukup tersedia karena harus
memakan biaya yang sangat besar. Selain itu untuk beberapa orang petani sayuran
organik mereka sulit mendapatkan lesensi resmi atau sertifikasi sebagai sayuran
organik.
Kurangnya penyuluhan baik teknis ataupun nonteknis mengenai usahatani
sayuran yang disampaikan kepada petani berakibat terhadap kurang optimalnya

40

usaha tani sayuran yang dijalankan. Padahal pada kenyataannya di lapangan para
petani sangat mengharapkan adanya penyuluhan mengenai usaha tani sayuran baik
dari pihak pemerintah maupun swasta. Semua hal tersebut terjadi di petani kecil,
sedangkan bagi petani besar dengan pengalaman yang cukup penyuluhan pertanian
tidak terlalu dibutuhkan karena terkadang cara bertani yang disampaikan para
penyuluh kurang tepat perlakuannya dibandingkan dengan metode yang telah
diterapkan oleh para petani.
Masalah lainnya yang dihadapi para petani sayuran adalah fluktuasi harga
sayuran yang tinggi dan cuaca yang tidak menentu sehingga menyebabkan tanaman
mereka rusak. Dengan demikian menyebabkan para petani kesulitan dalam
menaksir harga yang akan terbentuk di pasar, kecuali bagi petani besar dengan
sarana dan prasarana yang menunjang serta pendidikan yang memadia, sedikitnya
mampu untuk dapat memprediksi harga. Dengan harga yang tidak menentu ini
berakibat pada keberhasilan petani dalam usahanya, karena tidak jarang terjadi
harga jual hasil panen sayurannya hanya ditampung dengan harga yang sangat
rendah sehingga menimbulkan kerugian. Jangankan mendapatkan keuntungan atau
minimalnya kembali modal tetapi biaya-biaya yang sudah dikeluarkan untuk usaha
tani mereka tidak tertutupi.

4.5. Perkembangan Pasar Modem: Usahatani Petani Sayuran


Secara makro, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kehadiran pasar
modern telah mengancam eksistensi pasar tradisional. Ritel modern terus
mengalami pertumbuhan yang pesat setiap tahunnya sehingga keberadaannya
memang berpotensi sangat besar untuk menggerus ritel kecil/tradisional
41

terlebih lagi didukung dengan perubahan pola belanja dari masyarakat yang
semakin modern dan semakin membutuhkan hadirnya ritel modern.
Dengan adanya perkembangan pasar modern pada dasarnya membukakan
peluang pasar baru bagi para petani sayuran untuk memasarkan hasil panennya.
Sebagian besar supermarket dan hypermarket telah mengembangkan pangsa pasar
mereka pada sektor eceran dengan membuka cabang-cabang baru di berbagai kota
besar di Indonesia dan memberikan alokasi yang semakin besar kepada pangsa
makanan segar dan bernilai tinggi. Selain itu yang mendorong peluang pasar
sayuran cukup menjanjikan adalah konsumsi makanan segar mengalami kenaikan.
Konsumsi sayuran telah mengalami peningkatan walaupun pada tingkatan yang
lambat dibandingkan dengan produk hortikultura lainnya. Konsumen menjadi
semakin sadar dan peka tentang kesehatan maupun keamanan makanan.
Meskipun peluang pasar sayuran cukup terbuka luas, namun bukan berarti
petani sudah berhasil secara maksimal menembus semua peluang pasar tersebut.
Pada umumnya petani menjual hasil produksi sayurannya kepada pedagang
pengumpul. Pedagang pengumpul datang ke petani, bukan petani yang membawa
hasil produksinya ke pedagang. Petani biasanya berhubungan dengan pedagang
tertentu dan hubungan itu lebih didasarkan atas saling kepercayaan. Tidak semua
petani menjual kepada pedagang, beberapa petani memiliki kontrak dengan pasar
modern seperti Griya dan Superindo. Ada juga petani yang menjual kepada petani
besar (titip jual) yang umumnya sudah memiliki jaringan pemasaran yang baik.
Pedagang pengumpul menjual sayuran kepada pedagang-pedagang besar di
pasar Induk atau pasar-pasar tradisional besar yang umumnya berada di kota-kota

42

besar. Pedagang pengumpul biasanya sudah memiliki langganan tertentu di pasar


induk tersebut. Pedagang besar di pasar induk ini menjual kepada sesama pedagang
di pasar induk atau agen yang nantinya akan memasok ke industri ataupun pasar
modern lainnya seperti supermarket dan hypermarket. Supermarket pun
memperoleh sayuran dari supplier yang telah ditunjuk berdasarkan kontrak
tertentu.
Berdasarkan pada uraian di atas menunjukkan bahwasannya sebagian besar
petani belum mampu untuk menembus pasar modern. Kalaupun sayuran tersebut
sampai masuk ke pasar modem (supermarket dan hypermarket), hal itu terjadi
setelah melalui saluran pemasaran yang panjang. Dengan demikian maka share
penjualan yang diterima oleh para petani nilainya kecil, karena share penjualan
tersebut lebih banyak dinikmati oleh para pedagang perantara. Pasar modern hanya
mampu ditembus oleh para petani organik dan petani besar.
Hasil dari penelitian di lapangan bahwasannya para petani organik mampu
bertahan dalam melakukan pasokan ke pasar modern adalah sikap mental dalam
menghadapi risikonya lebih besar dibandingkan dengan para petani anorganik.
Selain itu didorong oleh alasan awal kenapa mereka memilih segmen pertanian
organik adalah karena adanya pasar modem, karena hasil dari pertanian organik
harga jualnya tidak akan masuk kalau harus dipasarkan ke pasar tradisional. Para
petani organik pun mampu mengadapi tantangan dalam mendobrak alur birokrasi
yang cukup kompleks dalam prosedural kontraknya.
Pasar modern pun dapat ditembus oleh para petani anorganik. Petani
anorganik yang mampu memasok ke pasar modem adalah para petani besar yang

43

umumnya merangkap sebagai bandar. Karena syarat yang diajukan untuk mampu
menembus pasar modern adalah kualitas, kuantitas dan kontinuitas yang stabil,
petani besar mampu menjaga hal tersebut sedangkan kalau petani kecil tidak bisa
menjaga kestabilan dari ketiga syarat tersebut. Ketika memasarkan ke pasar modem
sebenamya lebih memberikan jaminan kepastian harga. Meskipun demikian para
petani tersebut tidak mampu mempertahankan kerjasama dengan pasar modem
dikarenakan tidak kuatnya para petani dalam menjalani prosedur yang cukup rumit
dari pihak pasar modem.
Para petani merasa ribet dengan syarat-syarat yang diajukan oleh pasar
modem. Dari segi tahapan kerja yang harus dilakukan para petani pun lebih
kompleks karena harus melakukan tahapan sortasi dan grading. Oleh karena itu
petani harus menambah jumlah tenaga untuk melakukan proses tersebut, sehingga
berakibat pula pada penambahan biaya yang harus dikeluarkan. Artinya dengan
jaminan harga yang diberikan lebih baik daripada pasar tradisional pun tidak
menjamin keuntungan para petani meningkat karena seiring dengan itu biaya yang
dikeluarkan pun bertambah. Selain itu dengan adanya kerja sama dengan pasar
modem yang hanya menerima barang dengan kualitas tinggi

(grade A)

menyebabkan petani kesulitan untuk memasarkan sayuran sisa (grade B dan C).
Hal itu menyebabkan petani harus melakukan dua kali negosiasi dengan saluran
pemasaran yang berbeda, sehingga waktu mereka tidak efisien dan tidak efektif.
Dengan demikian para petani

lebih

memilih untuk kembali memasarkan

sayurannya ke pasar tradisional.

44

Faktor lain yang menyebabkan para petani anorganik memutuskan hubungan


kerja sama dengan pasar modern adalah sistem pembayaran yang dilakukan pasar
modem dengan sistem giro. Sistem giro itu paling cepat bisa cair dalam jangka
waktu dua minggu, bahkan ada yang menerapkan sistem pembayaran dengan cara
order akan dibayar setelah memasok barang empat kali dan order yang dibayamya
tersebut adalah hanya order yang pertama sedangkan yang tiga sisanya akan
dibayar kemudian sesuai dengan sistem pembayaran sebelumnya. Dengan sistem
pembayaran yang seperti itu membuat petani kesulitan untuk melanjutkan usaha
tani mereka karena modal yang dimilikinya terbatas apabila terjadi penangguhan
pembayaran hasil panen.
Perkembangan pasar modem dapat dikatakan berpengaruh secara langsung
terhadap usaha tani para petani organik karena hanya pasar modem yang mampu
menjangkau harga dari sayuran organik. Sedangkan bagi pertanian anorganik
keberadaan pasar modem berpengaruh secara tidak langsung karena setelah
sayuran tersebut masuk pasar induk maka akan disalurkan kembali ke pasar
tradisional di tingkat kabupaten/kecamatan atau dijual ke pasar modem. Sehingga
dengan semakin berkembangnya pasar modem maka permintaan sayuran dari
petani pun akan meningkat.
Berdasarkan dari hasil penelusuran di lapangan ditemukan bahwa salah satu
dari petani responden dalam penelitian ini pemah mengekspor sayurannya ke
malayasia dan singapura selama 8 tahun (1995-2003). Aktivitas ekspor ini tidak
berlanjut terus sampai sekarang karena produk sayuran dari Indonesia kalah

45

bersaing dengan Negara lain terutama Thailand. Salah satu penyebabnya yaitu
terlalu besarnya residu pestisida yang terkandung dalam sayuran dari Indonesia.

46

BAB V
PENUTUP

5.1.

Kesimpulan
1. Keberadaan pasar modern baru dapat di respon dengan baik oleh para
petani organik, sedangakan para petani anorganik belum dapat
meresponnya secara total. Karena prosedur yang diajukan oleh pasar
madern terlalu rumit untuk dapat ditembus oleh para petani anorganik yang
notabene modalnya tidak terlalu kuat.
2. Adanya permintan sayuran bagi pasar modem berdampak baik secara
langsung ataupun tidak langsung terhadap usaha tani para petani.
Berdampak langsung terhadap permintaan sayuran organik dan tidak
langsung berpengaruh terhadap permintaan sayuran anorganik. Pada
dasamya dengan berkembangnya pasar modem membukakan peluang baru
bagi pangsa pasar sayuran.

5.2.

Saran
1. Pemerintah atau pihak swasta yang berkepentingan dengan usahatani
sayuran hendaknya menyediakan bantuan modal dalam bentuk kredit tanpa
anggunan atupun pinjaman modal dengan tingkat suku bunga yang rendah.
2. Dalam upaya memberikan perlindungan terhadap produk sayuran dalam
negeri seyogyanya pemerintah mampu mengatur dan melakukan
pembatasan dalam penjualan benih sehingga pasokan sayuran akan tersedia
dengan cukup dan harga akan stabil.
47

DAFTAR PUSTAKA

Huang, J., Zhurong Huang.,Huanyong Zhi.,Yunhua Wu dan Xiangfang Niu. 2007.


Production, Marketing and Impact of Market Chain Change on Farmer in
China: Case Study of Cucumber and Tomato in Shandong Province (Micro
study of Component 1 (China) Recoverning Market Program). Center for
Chinese Agricultura Policy. Chinese Academy of Sciences.
Khrisnamurti, B dan Lusi. F. 2004. Final Report Research on Supermarket Supply
Chains in Indonesia. Centre for Development Studies. Bogor Agricultural
University.
Kotler, Philip. 1997. Manajemen Pemasaran. Jakarta : Prehallindo.
Ma'ruf, Hendri. 2005. Pemasaran Ritel. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Minot, Nicholas dan Devesh Roy. 2007. Impact of High-Value Agriculture and
Modern Marketing Channels on Poverty : An Analytical Framework. Draft
submitted for consideration as an IFPRI Food Policy Review. Markets,
Trade and Institutions Division International Food Policy Research
Institute. Washington, D.C.
Natawidjaja, Ronnie S., Trisna Insan Noor, Tomy Perdana, Elly Rasmikayati,
Sjaiful Bachri dan Thomas Reardon. 2006. Component Regoverning
Market Programme : Restructuring of Agrifood Chains in Indonesia,
Indonesia National and local Meso Study (Modules 1 and 2 of C I ) Report.
Center for Agricultural Policy and Agribusiness Studies Padjadjaran
University.
Navas, Luis Geovanny Flores. 2004. Small Lettuce Farmers Access to Dynamic
Markets in Guatemala. Thesis of Department of Agricultural Economics :
Michigan State University.
Nielsen, A.C. 2005. Tren Pembeli dan Ritel Asia Pasifik 2005. Melalui
http://www.acnielsen.de/pubs/documents/RetailandShopperTrendsAsia
2005. pdf (24/12/08).
Ratya. Anindita. 2004. Pemasaran Hasil Pertanian. Surabaya : Papyrus.
48

Said, E. Gumbira dan A. Harizt Intan. 2004. Manajemen Agribisnis. Cetakan


Kedua. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Said, E. Gumbira dan A. Harizt Intan. 2004. Manajemen Agribisnis. Cetakan
Kedua. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Saladin, Djaslim. 2004. Manajemen Pemasaran Analisis, Perencanaan,
Pelaksanaan dan Pengendalian. Bandung : Linda Karya.
Soetriono, Anik Suwandari, dan Rijanto. 2003. Pengantar Ilmu Pertanian Agraris,
Agribisnis, dan Industri. Jember : Bayu Media Publishing.
Swashta, Basu dan Irawan. 1990. Manajemen Pemasaran Modern. Yogyakarta :
Liberty.
Wiboonponse, Aree dan Songsak Sriboonchitta. 2006. Securing Small Producer
Participation in Restructured National and Regional Agri - Food Systems:
The Case of Thailand : Mengamankan Partisipasi Produsen Kecil dalam
Sistem Agro-Makanan Nasional dan Regional Yang Terestrukturisasi :
Kasus
Thailand.
Regoverning
Markets
<http://www.regovemingmarkets.org (27/12/08).
Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia. 2006. Pasar.
Melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Pasar (27/12/08).

49

Anda mungkin juga menyukai