Oleh :
Elly Rasmikayati
Endah Djuwendah
Tuti Karyani
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
NOVEMBER 2010
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ......................................................................................
ABSTRACT ..................................................................................
ii
iii
iv
vi
vii
viii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.....................................................
14
18
METODE PENELITIAN
3.1. Metode dan Tempat Penelitian ................................
25
26
iv
26
BAB IV PEMBAHASAN
BAB V
29
30
30
31
33
34
34
38
39
41
47
47
48
LAMPIRAN .................................................................................
50
DAFTAR TABEL
No
Judul
Halaman
1.
2.
3.
5.
31
4.
27
33
34
35
vi
DAFTAR GAMBAR
No
Judul
Halaman
vii
DAFTAR LAMPIRAN
No
Judul
Halaman
1.
2.
viii
BAB I
PENDAHULUAN
2.
pola
usahatani
petani
sayuran
dalam konteks
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
yang tidak terstuktur, seperti bentuk bangunan yang relatif sederhana dengan
suasana relatif kurang menyenangkan (ruang tempat usaha sempit, sarana parkir
yang kurang memadai dan kurang menjaga kebersihan pasar dan penerangan yang
kurang baik). Barang-barang yang diperdagangkannya merupakan barang
kebutuhan sehari-hari dengan mutu yang kurang diperhatikan, harga barang relatif
murah serta cara pembeliannya dengan sistem tawar-menawar. Selain itu, para
pedagangnya sebagian besar adalah golongan ekonomi lemah dengan cara
berdagang yang kurang profesional. Contoh pasar tradisional tersebut adalah pasar
Inpres.
Sebaliknya, pasar modern adalah pasar yang terstruktur, dimana berada
dalam bangunan, dan pelayanannya dilakukan secara mandiri (swalayan) oleh
pembeli. Barang-barang yang dijualnya, selain bahan makanan seperti buah,
sayuran, daging, juga barang-barang yang dapat bertahan lama.1 Menurut Ma'ruf
(2005), gerai/pasar modern mulai beroperasi awal tahun 1960-an di Jakarta. Arti
modern di sini adalah penataan barang menurut keperluan yang sama atau
dikelompokkan di bagian yang sama sehingga dapat dilihat dan diambil langsung
oleh pembeli. Selain itu, terdapat penggunaan alat pendingin udara serta adanya
pramuniaga profesional.
Pada tahun 2004, macam-macam gerai/pasar modern di Indonesia adalah:
Minimarket, dengan pertumbuhan sebanyak 1.800 buah selama 10 tahun hingga
tahun 2002. Luas minimarket antara 50 - 200 m2;
http://id.wikipedia.org/vviki/Pasar
Convenience store, gerai ini mirip minimarket dalam hal produk yang dijual,
tetapi berbeda dalam harga, jam buka, luas ruang dan lokasi. Convenience
store ada yang buka 24 jam, dengan luas ruang antara 200 - 450 m2 dan
berlokasi di tempat yang strategis. Sebagian produknya sedikit lebih mahal
daripada yang dijual minimarket;
Factory outlet;
Departement store atau toserba (toko serba ada), gerai jenis ini mempunyai
ukuran luas ruang yang beragam, mulai dari beberapa ratus meter persegi,
hingga 2.000 -3.000 m2;
lokasinya
berdekatan
dengan
mall/supermarket/hypermarket
mulai
Pasar Jaya, dari total 151 pasar, hanya 27 pasar yang aspek fisik bangunannya
masih baik. Sisanya, 111 pasar dalam kondisi fisik bangunan rusak sedang atau
berat dan hanya 13 pasar mengalami rusak ringan;
2. pasar modern berlokasi tidak jauh (kurang dari 10 km) dari lokasi pasar
tradisional yang mengakibatkan semakin banyak konsumen yang beralih ke
pasar modern;
3. dengan kekuatan modal, anak perusahaan atau cabang-cabang hypermarket atau
supermarket kini mudah diakses warga hingga tingkat kelurahan atau
permukiman, sedangkan para pedagang di pasar tradisional umumnya adalah
pengusaha mikro. Disamping itu, pendirian cabang-cabang itu berbasis
waralaba atau sistem sewa sehingga orang bebas membeli lisensinya ataupun
menyewa tempat; serta
4. belum adanya perda yang mengatur mengenai pendirian pasar modem.
Selain itu, disebabkan oleh kurangnya daya dukung karakteristik pedagang
tradisional seperti buruknya manajemen pasar, banyaknya retribusi, menjamumya
pedagang kaki lima (PKL) yang dapat mengurangi pelanggan pedagang pasar serta
minimnya bantuan permodalan yang tersedia bagi pedagang tradisional yang
disebabkan jaminan (collateral) yang tidak mencukupi, tidak adanya skala
ekonomi (economies of scale), tidak ada jalinan kerja sama dengan pemasok besar,
buruknya manajemen pengadaan dan ketidakmampuan untuk menyesuaikan
dengan keinginan konsumen (Wiboonpongse dan Songsak, 2006).
11
12
harga untuk menarik pembeli. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh SMERU
(2007), pasar modern melakukan berbagai strategi harga seperti strategi limit harga,
strategi pemangsaan lewat pemangkasan harga (predatory pricing) serta
diskriminasi harga antarwaktu (inter-temporal price discrimination), misalnya
memberikan diskon harga pada akhir minggu dan pada waktu tertentu. Sedangkan,
strategi non harga antara lain dalam bentuk iklan, membuka gerai lebih lama,
khususnya pada akhir minggu, bundling/tying (pembelian secara gabungan) dan
parkir gratis.
Keberadaan pasar modern dan perkembangannya menurut Kotler (1997)
dapat menciptakan beberapa keuntungan, yaitu :
1. dari segi tempat, dimana petani dibantu dalam hal penyediaan tempat atau pasar
konsumen dan swalayan berperan sebagai pihak perantara;
2. dari segi waktu, dimana pasar swalayan buka setiap hari sehingga memberi
kemungkinan untuk para konsumen berbelanja setiap saat;
3. dari segi kualitas dan kuantitas, sebagai pengecer yang dapat menyediakan
sayuran dengan kualitas tinggi dan dapat dibeli dalam jumlah yang sesuai
keinginan konsumen;
4. dari
beragamnya
jenis
produk
yang
ditawarkan,
dimana
13
Harga
Penawaran Domestik
Permintaan Domestik
Qd
Qa
Kuantitas
Qs
14
15
yang dipertukarkan kepada konsumen atau pemakai dalam bidang pertanian, baik
input maupun produk pertanian (Said dan Harizt, 2004). Kegiatan pemasaran tidak
sekedar menyampaikan barang atau jasa dari produsen kepada konsumen, tetapi
juga memperlancar arus barang atau jasa secara paling efisien dengan maksud
untuk menciptakan permintaan yang efektif.
Berkaitan dengan karakteristik dari produk pertanian umumnya memiliki
sifat mudah rusak (perishable), memiliki ukuran yang besar per tumpukan
(bulky/voluminous), beranekaragam mutunya (quality variation) serta musiman
(Ratya, 2004). Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan suatu perlakuan dan
penanganan khusus yang menjadikan kegiatan pemasaran penting adanya,
diantaranya mengenai saluran pemasaran yang dipilih.
Saluran pemasaran dapat didefinisikan dalam berbagai cara. Umumnya,
didefinisikan sebagai suatu rute atau jalur. Saluran pemasaran dapat berbentuk
sederhana dan dapat pula rum it sekali. Hal tersebut tergantung pada macam
komoditas lembaga pemasaran dan sistem pasar. Sistem pasar yang monopoli
mempunyai saluran pemasaran yang relatif sederhana dibandingkan dengan sistem
pasar yang lain. Komoditas pertanian yang lebih cepat penyalurannya ke tangan
konsumen dan yang tidak mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, biasanya
mempunyai saluran pemasaran yang relatif sederhana (Soetriono, dkk., 2003).
Setiap lembaga pemasaran yang melibatkan diri dalam suatu sistem
pemasaran tertentu, baik komoditas industri atau pertanian, pada dasarnya
mempunyai tujuan imbalan pengorbanan yang telah diberikan oleh lembaga
pemasaran tersebut. Adanya perbedaan kegiatan yang diberikan oleh setiap
16
Konsumen
Pedagang
Konsumen
Produsen
Pedagang
Pedagang
Konsumen
Produsen
Pedagang
Pedagang
Pedagang
17
Konsumen
menentukan apakah mereka akan menanam sayuran pada masa selanjutnya atau
tidak
Di Afrika Selatan, rantai pasok informal (tradisional) relatif lebih
menguntungkan bagi petani kecil dibandingkan dengan rantai pasok formal
(modern).
Ditambahkan oleh Natawidjaja, dkk. (2006) dimana hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa yang membuat petani sayuran Jawa Barat agak sulit
terhubung ke pasar modern antara lain (1) petani terikat pinjaman modal dengan
bandar, sehingga mencegah untuk memasarkan produknya ke alternatif pasar
lainnya termasuk supermarket. (2) ketiadaan penanganan pasca panen karena
apabila petani hanya menjual grade yang bagus ( grade A dan super) pada supplier
supermarket tidak ada pihak lain yang mau membeli grade sisanya. (3) rendahnya
kepercayaan dan komitmen pada kontrak, supplier supermarket sering mengeluh
atas seringnya kejadian pelanggaran kontrak yang dilakukan oleh petani. (4)
ketiadaan informasi harga dan transparansi; petani merasa mereka tidak diberikan
informasi yang menyeluruh mengenai kondisi pasar sehingga mereka curiga dan
merasa dicurangi. (5) petani merasa volume pemintaan dari supermarket kecil.
Respon ini kebanyakan berasal dari petani yang tidak bermitra dengan supplier
supermarket dan hanya melakukan perjanjian dengan bandar tradisional. (6)
ketiadaan kemitraan dan tidak berfungsinya koperasi petani; jelas bahwa jumlah
kelompok tani dan koperasi yang melakukan fungsi pemasaran sangat sedikit.
Terdapat gambaran yang buruk terhadap kelompok tani dan koperasi setelah
terjadinya revolusi hijau dimana kelompok tani dan koperasi digunakan sebagai
alat kebijakan untuk menyalurkan input pertanian, kredit, serta persediaan stok
19
beras nasional sehingga untuk merubah gambaran tersebut menjadi sulit. (7)
kurangnya supplier supermarket di area produksi. (8) pembayaran tunda yang
dilakukan oleh supermarket juga menjadi masalah dan faktor pembatas, tidak hanya
pada petani saja tetapi juga pada supplier karena mereka harus mencari modal dari
tempat lain untuk menalanginya.
Selanjutnya, produsen skala kecil di pedesaan Uganda yang menghasilkan
susu, buah, dan sayuran dihadapkan pada permasalahan jumlah pasokan yang tidak
tetap, kualitas produk yang rendah, infrastruktur yang tidak memadai, kurangnya
kemampuan dalam berwirausaha, kurangnya pengalaman dalam pemasaran,
ketidaktersediaan kredit pertanian, dan kurangnya memahami metode pertanian
modem. Namun, potensi produsen skala kecil untuk berkembang tetap ada karena
produksi dari keberagaman produk dengan potensi produksi yang tinggi dan
ketersediaan produk sepanjang tahun juga berpotensi dalam nilai tambah
kebanyakan produk dan beberapa implementasi dari inisiatif pemerintah untuk
mendukung mereka. Untuk mengembangkan produsen skala kecil dari buah,
sayuran, dan produk susu, pelaku yang terlibat dalam sektor ini harus dilatih untuk
meningkatkan kualitas produknya dan pemerintah harus memberikan dukungan
dalam hal infrastruktur seperti fasilitas transportasi (fasilitas pendingin), dan
fasilitas gudang yang memadai untuk meminimalisasi berkurangnya kuantitas
produk pasca panen. Produsen skala kecil juga harus difasilitasi dalam
pembentukan organisasi produsen dan menyediakan fasilitas kredit untuk
20
21
22
23
24
BAB III
METODE PENELITIAN
25
Variabel
Sub Variabel
Umur
Respon Kualitatif
Banyaknya
tanggungan
keluarga
Tingkat pendidikan
Non-Capital Asset Partisipasi petani dalam
Petani
kemitraan
Orang
Tahun
Ya/tidak
Pengalaman usahatani
I
Tahun
Partisipasi petani
Ya
dalam organisasi
Akses terhadap
Tidak
Ya
kredit
Tidak
Satuan
Tahun
Hektar
Buah
Hektar
Hektar
26
Rp/Kg
Penyuluhan
Ada/tidak
Volume penjualan
Ton
Tunai/tidak tunai
Pinjaman modal
Rp/Musim
Grading
Ada
Tidak Ada
Keuntungan
Peningkatan
komoditas
Rp/Hektar
kualitas
Meningkat
Tidak meningkat
Persyaratan kualitas
Ada
Tidak ada
Permintaan Pasar
Sayuran
Kontrak
II
Tidak kontrak
Respon
Kualitatif
Satuan
Kg
Liter
Kg
Local/impor
Kontrak pemasaran
Sendiri/fihak lain
Rp/kg
Ya
Tidak
Rp/Musim
Jenis sayuran
Ton
Ton/Hektar
Rp/Hektar
Banyaknya
27
Variabel
Sub Variabel
Dosis pupuk
Respon Kualitatif
Banyaknya pestisida
Satuan
Kg
Liter
Volume benih
Kg
Jenis bibit
Local/impor
Asal bibit
Sendiri/fihak
lain
III
Harga bibit
Pola Usahatani
Rp/kg
Sistem irigasi
Ya
Tidak
Total modal
Rp/Musim
Pola tanam
Jenis sayuran
Hasil produksi
Ton
Produkti vitas
Ton/Hektar
usahatani
Keuntungan usahatani
Rp/Hektar
Frekuensi tanam
Banyaknya
28
BAB IV
PEMBAHASAN
30
Petani
Jumlah (org)
1
6
4
5
Persentase (%)
0,67
40
26
33,33
Berdasarkan data tersebut berarti bahwa sebagian besar dari petani sayuran
ini masih dapat dikembangkan menjadi usaha yang lebih produktif dan profesional,
karena sebagian besar petani sayuran yang terdapat di Kabupaten Bandung ini
masih berada pada golongan tenaga kerja yang produktif. Umumnya mereka
memiliki keinginan besar untuk memajukan usahataninya, sehingga mereka dapat
meningkatkan kesejahteraan keluarganya.
Dilihat dari sebaran data pada Tabel. 2 menunjukkan bahwa rendahnya minat
golongan muda untuk terjun ke dunia pertanian. Padahal berdasarkan informasi
yang diperoleh dari para petani bahwasannya sektor pertanian ini masih dapat
dikatakan sebagai sektor unggulan atau primadona karena apabila sektor pertanian
ini digeluti dengan baik dan sungguh-sungguh maka akan mendatangkan
keuntungan secara financial yang cukup besar.
4.2.2. Pendidikan petani
Tingkat pendidikan sangat berperan terhadap respon petani dalam
mengadopsi inovasi dan memperkirakan kemungkinan yang akan terjadi dimasa
yang akan datang baik yang menyangkut aspek pelaksanaan usahatani, penguasaan
teknologi dan pemasaran hasil panennya. Pendidikan petani diperoleh dari dua
sumber yaitu pendidikan formal dan non formal. Pendidikan formal
31
diperoleh dari bangku sekolah mulai dari SD sampai perguruan tinggi sedangkan
pendidikan
non
formal
diperoleh
seperti
dari
kursus-kursus
atau
32
Pendidikan Formal
Perguruan Tinggi (SI & S2)
Tidak Tamat Perguruan Tinggi
SMA
SMP
SD
Jumlah (orang)
3
3
2
3
4
Persentase (%)
20
20
13,33
20
26,67
33
Petani
Jumlah (org)
Persentase (%)
2
13,33
3
20
10
66,67
34
Identitas
Responden
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
O
Kangkung
Bayam
5000
1500
* 3000
8000
1000
5000
1500
3000
4000
1000
Pecay
Tomat
20
50
10
10
7
30
Jabung
Kay Ian
1000
1000
Sawi
Wortel
15
24
24
30
1.5
35
oleh bandar sehingga dari hasil penjulannya tersebut akan lebih menguntungkan.
Sedangkan petani yang langsung menjualnya ke pasar induk karena mereka
sekaligus merangkap sebagai bandar (pedagang pengumpul). Namun Keempat
petani yang merangkap sebagai bandar pun tidak menutup kemungkinan
menjualnya melalui bandar untuk beberapa komoditas yang bukan menjadi
prioritasnya, karena skala hasilnya pun tidak terlalu banyak. Alasan lainnya yaitu
disebabkan oleh kurang fahamnya ceruk pasar untuk komoditas tersebut. Dalam
penentuan harganya para petani didasarkan pada harga pasar yang sedang
berkembang, dan penentu harga itu adalah bandar. Meskipun demikian tidak terjadi
penindasan akan harga terhadap petani oleh para bandar, karena informasi harga
yang berkembang selalu diperoleh bandar maupun petani setiap saat. Informasi
harga tersebut diperoleh dari para bandar yang senantiasa setiap saat mencek
perkembangan harga ke pasar baik secara langsung ke pasar ataupun melalui
telepon.
Dalam penjualannya hampir untuk setiap jenis komoditas para petani tidak
melakukan sistem grade, tetapi dilakukan dengan sistem abresan. Alasannya adalah
petani tidak melakukan kegiatan pasca panen seperti sortasi dan grading,
dikeranakan apabila dilakukan sistem grade maka jenis komoditas yang berkualitas
rendah tidak akan terjual dan hanya menjadi sampah. Jika terjadi hal tersebut maka
para petani akan mengalami kerugian. Selain itupun para petani harus menambah
biaya untuk upah tenaga kerja untuk tahapan tersebut. Sortasi dan grading
dilakukan oleh para bandar, sehingga pemasaran hasil dari bandar ke
36
pasar induk dilakukan dengan sistem grading. Pembayaran dilakukan secara tunai
baik dari bandar ke petani ataupun dari pedagang di pasar induk ke para bandar.
PETANI
PEDAGANG
PENGEPUL
PENGOLAH
PEDAGANG
PASAR INDUK
SUPLIER
SUPERMARKET
PEDAGANG
PASAR LOKAL
PEDAGANG
KECIL/KELILING
Gambar 3. Sistem Pemasaran Sayuran
Adapun sistem pemasaran yang dilakukan oleh para petani organik di
pasarkan secara langsung oleh setiap petani ke pasar modern. Oleh karena itu
secara otomatis sebelum disalurkan maka hasil sayuran tersebut dilakukan sortasi
dan grading. Komoditas yang tidak masuk kedalam grade yang disyaratkan oleh
pihak pasar maka akan disalurkan ke pasar tradisional dengan harga dasar. Dengan
alasan hanya sekedar untuk kembali modal, tanpa ada keuntungan pun asalkan
tidak mengalami kerugian dan hasil dari sayuran tersebut tidak mubazir menjadi
sampah. Sistem penetapan harga dilakukan dengan cara proses tawar menawar
antara petani dengan pihak manajemen pasar modern yang didasarkan pada biaya
usahatani yang telah dibuat dan diajukan oleh para petaninya. Dengan demikian
para petani tidak mengalami kerugian. Sistem pembayaran yang
37
dilakukan oleh pihak manajemen pasar modern tersebut dilakukan dengan sistem
giro. Giro tersebut ada yang pencairannya per dua minggu ada pula yang
berdasarkan perbandingan misalnya 4 : 1 . Artinya setelah empat kali memasok
barang baru uang pembelian cair satu kali.
38
40
usaha tani sayuran yang dijalankan. Padahal pada kenyataannya di lapangan para
petani sangat mengharapkan adanya penyuluhan mengenai usaha tani sayuran baik
dari pihak pemerintah maupun swasta. Semua hal tersebut terjadi di petani kecil,
sedangkan bagi petani besar dengan pengalaman yang cukup penyuluhan pertanian
tidak terlalu dibutuhkan karena terkadang cara bertani yang disampaikan para
penyuluh kurang tepat perlakuannya dibandingkan dengan metode yang telah
diterapkan oleh para petani.
Masalah lainnya yang dihadapi para petani sayuran adalah fluktuasi harga
sayuran yang tinggi dan cuaca yang tidak menentu sehingga menyebabkan tanaman
mereka rusak. Dengan demikian menyebabkan para petani kesulitan dalam
menaksir harga yang akan terbentuk di pasar, kecuali bagi petani besar dengan
sarana dan prasarana yang menunjang serta pendidikan yang memadia, sedikitnya
mampu untuk dapat memprediksi harga. Dengan harga yang tidak menentu ini
berakibat pada keberhasilan petani dalam usahanya, karena tidak jarang terjadi
harga jual hasil panen sayurannya hanya ditampung dengan harga yang sangat
rendah sehingga menimbulkan kerugian. Jangankan mendapatkan keuntungan atau
minimalnya kembali modal tetapi biaya-biaya yang sudah dikeluarkan untuk usaha
tani mereka tidak tertutupi.
terlebih lagi didukung dengan perubahan pola belanja dari masyarakat yang
semakin modern dan semakin membutuhkan hadirnya ritel modern.
Dengan adanya perkembangan pasar modern pada dasarnya membukakan
peluang pasar baru bagi para petani sayuran untuk memasarkan hasil panennya.
Sebagian besar supermarket dan hypermarket telah mengembangkan pangsa pasar
mereka pada sektor eceran dengan membuka cabang-cabang baru di berbagai kota
besar di Indonesia dan memberikan alokasi yang semakin besar kepada pangsa
makanan segar dan bernilai tinggi. Selain itu yang mendorong peluang pasar
sayuran cukup menjanjikan adalah konsumsi makanan segar mengalami kenaikan.
Konsumsi sayuran telah mengalami peningkatan walaupun pada tingkatan yang
lambat dibandingkan dengan produk hortikultura lainnya. Konsumen menjadi
semakin sadar dan peka tentang kesehatan maupun keamanan makanan.
Meskipun peluang pasar sayuran cukup terbuka luas, namun bukan berarti
petani sudah berhasil secara maksimal menembus semua peluang pasar tersebut.
Pada umumnya petani menjual hasil produksi sayurannya kepada pedagang
pengumpul. Pedagang pengumpul datang ke petani, bukan petani yang membawa
hasil produksinya ke pedagang. Petani biasanya berhubungan dengan pedagang
tertentu dan hubungan itu lebih didasarkan atas saling kepercayaan. Tidak semua
petani menjual kepada pedagang, beberapa petani memiliki kontrak dengan pasar
modern seperti Griya dan Superindo. Ada juga petani yang menjual kepada petani
besar (titip jual) yang umumnya sudah memiliki jaringan pemasaran yang baik.
Pedagang pengumpul menjual sayuran kepada pedagang-pedagang besar di
pasar Induk atau pasar-pasar tradisional besar yang umumnya berada di kota-kota
42
43
umumnya merangkap sebagai bandar. Karena syarat yang diajukan untuk mampu
menembus pasar modern adalah kualitas, kuantitas dan kontinuitas yang stabil,
petani besar mampu menjaga hal tersebut sedangkan kalau petani kecil tidak bisa
menjaga kestabilan dari ketiga syarat tersebut. Ketika memasarkan ke pasar modem
sebenamya lebih memberikan jaminan kepastian harga. Meskipun demikian para
petani tersebut tidak mampu mempertahankan kerjasama dengan pasar modem
dikarenakan tidak kuatnya para petani dalam menjalani prosedur yang cukup rumit
dari pihak pasar modem.
Para petani merasa ribet dengan syarat-syarat yang diajukan oleh pasar
modem. Dari segi tahapan kerja yang harus dilakukan para petani pun lebih
kompleks karena harus melakukan tahapan sortasi dan grading. Oleh karena itu
petani harus menambah jumlah tenaga untuk melakukan proses tersebut, sehingga
berakibat pula pada penambahan biaya yang harus dikeluarkan. Artinya dengan
jaminan harga yang diberikan lebih baik daripada pasar tradisional pun tidak
menjamin keuntungan para petani meningkat karena seiring dengan itu biaya yang
dikeluarkan pun bertambah. Selain itu dengan adanya kerja sama dengan pasar
modem yang hanya menerima barang dengan kualitas tinggi
(grade A)
menyebabkan petani kesulitan untuk memasarkan sayuran sisa (grade B dan C).
Hal itu menyebabkan petani harus melakukan dua kali negosiasi dengan saluran
pemasaran yang berbeda, sehingga waktu mereka tidak efisien dan tidak efektif.
Dengan demikian para petani
lebih
44
45
bersaing dengan Negara lain terutama Thailand. Salah satu penyebabnya yaitu
terlalu besarnya residu pestisida yang terkandung dalam sayuran dari Indonesia.
46
BAB V
PENUTUP
5.1.
Kesimpulan
1. Keberadaan pasar modern baru dapat di respon dengan baik oleh para
petani organik, sedangakan para petani anorganik belum dapat
meresponnya secara total. Karena prosedur yang diajukan oleh pasar
madern terlalu rumit untuk dapat ditembus oleh para petani anorganik yang
notabene modalnya tidak terlalu kuat.
2. Adanya permintan sayuran bagi pasar modem berdampak baik secara
langsung ataupun tidak langsung terhadap usaha tani para petani.
Berdampak langsung terhadap permintaan sayuran organik dan tidak
langsung berpengaruh terhadap permintaan sayuran anorganik. Pada
dasamya dengan berkembangnya pasar modem membukakan peluang baru
bagi pangsa pasar sayuran.
5.2.
Saran
1. Pemerintah atau pihak swasta yang berkepentingan dengan usahatani
sayuran hendaknya menyediakan bantuan modal dalam bentuk kredit tanpa
anggunan atupun pinjaman modal dengan tingkat suku bunga yang rendah.
2. Dalam upaya memberikan perlindungan terhadap produk sayuran dalam
negeri seyogyanya pemerintah mampu mengatur dan melakukan
pembatasan dalam penjualan benih sehingga pasokan sayuran akan tersedia
dengan cukup dan harga akan stabil.
47
DAFTAR PUSTAKA
49