Drug Related Problem
Drug Related Problem
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
DRP (Drug Related Problem) merupakan keadaan yang tidak diinginkan
pasien terkait dengan terapi obat serta hal-hal yang mengganggu tercapainya hasil
akhir yang sesuai dan dikehendaki untuk pasien. Tujuh penggolongan DRp
menurut Cipolle adalah penggunaan obat yang tidak diperlukan, kebutuhan akan
terapi obat tambahan, obat yang tidak efektif, dosis terapi yang digunakan terlalu
rendah, adverse drug reactoin, dosis terapi yang trlalu tinggi, dan ketidakpatuhan.
Hal-hal yang terkait dengan DRP seharusnya dapat dicegah dan dikurangi
keberadaannya melalui pengenalan secara awal terhadap adanya DRP oleh
seorang farmasis.
Pemberian informasi obat memiliki peranan penting dalam rangka
memperbaiki kualitas hidup pasien dan menyediakan pelayanan bermutu bagi
pasien. Kualitas hidup dan pelayanan bermutu dapat menurun akibat adanya
ketidakpatuhan terhadap program pengobatan. Penyebab ketidakpatuhan tersebut
salah satunya disebabkan kurangnya informasi tentang obat. Selain itu, regimen
pengoatan yang kompleks dan kesulitan mengikuti regimen pengobatan yang
diresepkan merupakan masalah yang mengakibatkan ketidakpatuhan terhadap
pengobatan. Selain maslah kepatuhan, pasien juga dapat mengalami efek yang
tidak diinginkan dari penggunaan obat. Dengan diberikannya informasi obat
kepada pasien maka maslah terkait obat seperti penggunaan obat tanpa indikasi,
indikasi yang tidak terobati, dosis obat terlalu tinggi, dosis subterapi, serta
interaksi obat dapat dihindari.
Jenis informasi yang diberikan apoteker pada pasien yang mendapat resep
baru meliputi nama dan gambaran obat, tujuan pengobatan, cara dan waktu
penggunaan, saran ketaatan dan pemantauan sendiri, efek sam[ing dan efek
merugikan, tindakan pencegahan, kontraindikasi, dan interaksi, petunjuk
penyimpanan, informasi pengulangan resep dan rencanapemantauan lanjutan.
Selain itu, diskusi penutup juga diperlukan untuk mengulang kembali dan
menekankan hal-hal terpenting terkait pemberian informasi mengenai obat.
BAB II
ISI
2.1 Pengertian Drug Related Problem (DRP)
Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian yang tidak diharapkan,
berupa pengalaman pasien yang melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat
dan pada kenyataannya atau potensial mengganggu keberhasilan penyembuhan
yang diharapkan. Drug Related Problem merupakan maslah yang terkait obat
dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas kualitas hidup pasien serta
berdampak juga terhadap ekonomi dan sosial pasien. Pharmaceuticaal care
Network Europe mendefinisikan masalah terkait obat (DPRs) adalah kejadian
suatu kondisi terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau potensial
mengganggu hasil klinik kesehatan yang diinginkan.
2.1.1 Komponen primer dari Drug Related Problems:
a. Pasien mengalami keadaan yang tidak dikehendaki.
Pasien mengalami keluhan medis, gejala, diagnose penyakit kerusakan,
cacat atau sindrom dan dapat mengakibatkan gangguan psikologis, fisiologis,
sosial, bahkan kondisi ekonomi.
b. Ada hubungan antara keadaan yang tidak dikehendaki dengan terapi obat.
Sifat hubungan ini tergantung akan kekhususan Drug Related Problems
(DRPs). Hubungan yang biasanya terjadi antara keadaan yang tidak dikehendaki
dengan terapi obat adalah kejadiaan itu akibat dari terapi obat atau kejadian itu
membutuhkan terapi obat( Cipolle et al., 1998). Drug Related Problems (DRPs)
terdiri dari DRPs actual dan DRPs potensial. DRPs actual adalah problem yang
sedang terjadi berkaitan dengan terapi obat yang sedang diberikan pada pasien.
DRPs potensial adalah problem yang diperkirakan akan terjadi yang berkaitan
dengan terapi obat yang sedang digunakan oleh pasien (Yunita et al., 2004).
padahal hanya satu terapi obat yang diindikasikan atau minum obat untuk
mengobati efek samping.
c. Menerima obat yang salah.
Kasus yang mungkin terjadi adalah: obat tidak efektif, ketidaktepatan
pemilihan obat, alergi, adanya resiko kontraindikasi, resisten terhadap obat yang
diberikan, kombinasi obat yang tidak perlu dan atau obat bukan yang paling aman.
d. Dosis terlalu besar.
Beberapa penyebabnya adalah dosis salah, frekuensi tidak tepat, dan jangka
waktu tidak tepat.
e. Dosis terlalu kecil.
Penyebabnya antara lain: dosis terlalu kecil untuk menghasilkan respon
yang diinginkan, jangka waktu terlalu pendek, pemilihan obat, dosis, rute
pemberian, dan sediaan yang tidak tepat.
f. Pasien mengalami adverse drug reactions.
Penyebab umum untuk kategori ini: pasien menerima obat yang tidak aman,
pemakaian obat tidak tepat, interaksi dengan oba tlain, dosis dinaikkan atau
diturunkan terlalu cepat sehingga menyebabkan adverse drug reaction dan atau
pasien mengalami efek yang tak dikehendaki yang tidak diprediksi.
g. Pasien mengalami kondisi keadaan yang tidak diinginkan akibat tidak
minum obat secara benar (non compliance).
Beberapa penyebabnya adalah: obat yang dibutuhkan tidak ada, pasien
tidak mampu membeli, pasien tidak memahami instruksi, pasien memilih untuk
tidak mau minum obat karena alas an pribadi dan atau pasien lupa minum obat
(Cipolle et al., 1998).
Identifikasi dan pemecahan masalah pada Drug Related Problems (DRPs)
tergantung pada beberapa faktor. Faktor pertama adalah adanya semua data
esensial dan farmasis bertugas menentukan data apa yang dibutuhkan (Cipolle et
al., 1998).
2.1.3 Data yang penting mengenai pasien dapat digolongkan dalam tiga
kategori :
a. Karakter klinis dari penyakit atau kondisi pasien, meliputi: umur, seks, etnis,
ras, sejarah sosial, status kehamilan, status kekebalan, fungsi ginjal, hati dan
jantung, status nutrisi, serta harapan pasien.
b. Obat lain yang dikonsumsi pasien, berkaitan dengan terapi obat pada saat ini
dan masa lalu, alergi obat, profil toksisitas, adverse drug reaction, rute dan cara
pemberian obat, dan persepsi mengenai pengobatannya.
c. Penyakit, keluhan, gejala pasien meliputi masalah sakitnya pasien,
keseriusan, prognosa, kerusakan, cacat, persepsi pasien mengenai proses
penyakitnya.
Data dapat diperoleh dari beberapa sumber misalnya pasien sendiri, orang yang
merawat pasien, keluarga pasien, medical record, profil pasien dari farmasis, data
laboratorium, dokter, perawat dan profesi kesehatan lainnya (Cipolle et al., 1998).
Secara umum perhatian farmasis terhadap Drug Related Problems sebaiknya
diprioritaskan pada pasien geriatri,pasien pediatri, ibu hamil dan menyusui, serta
pasien yang mendapatkan obat dengan indeks terapi sempit(Yunita et al., 2004).
Farmasis mempunyai tanggung jawab untuk mengidentifikasi, mencegah dan
memecahkan Drug Related Problems (DRPs), walaupun hal tersebut tidak selalu
mudah dicapai. Faktor kepatuhan pasien ikut bertanggung jawab atas
kesembuhannya. Sebab itu farmasis juga harus dapat melakukan konseling,
edukasi dan informasi kepada pasien (Cipolle et al., 1998).
Masalah terkait obat dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas kualitas
hidup pasien serta berdampak juga terhadap ekonomi dan social pasien.
Pharmaceutical Care Network Europe mendefinisikan masalah terkait obat
(DRPs) adalah kejadian suatu kondisi terkait dengan terapi obat yang secara nyata
atau
potensial
mengganggu
hasil
klinis
kesehatan
yang
diinginkan
pemberian/penggunaan
obat
berarti
tidak
memberikan/tidak
batuk dan analgesik-antipiretik terpisah padahal dalam obat batuk tersebut sudah
mengandung paracetamol.
2. Efektivitas
a. Pasien menerima regimen terapi yang salah
penulisan obat berlebihan oleh dokter dimana pasien menerima rata-rata 8-10
jenis obat sekaligus sekali kunjungan dokter atau pemberian lebih dari satu obat
untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat. Jumlah
obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk pengobatan penyakit dapat
menimbulkan efek yang tidak diinginkan, seperti pemberian puyer pada anak
dengan batuk pilek yang berisi :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Amoksisillin
Parasetamol
Gliseril Guaiakolat
Deksametason
CTM
Luminal
Frekuensi pemberian
Banyak obat harus diberikan pada jangka waktu yang sering untuk memelihara
konsentrasi darah dan jaringan. Namun, beberapa obat yang dikonsumsi 3 atau 4
kali sehari biasanya benar-benar manjur apabila dikonsumsi sekali dalam sehari.
Contohnya: frekwensi pemberian amoksisilin 4 kali sehari yang seharusnya 3
kali sehari.
cara pemberian yang tidak tepat misalnya pemberian asetosal atau aspirin
sebelum makan, yang seharusnya diberikan sesudah makan karena dapat
mengiritasi lambung.
kurum pengobatan, meskipun gejala klinik sudah mereda atau menghilang sama
sekali. Interval waktu minum obat juga harus tepat, bila 4 kali sehari berarti tiap
enam jam, untuk antibiotik hal ini sangat penting agar kadar obat dalam darah
berada diatas kadar minimal yang dapat membunuh bakteri penyebab penyakit.
b. Pasien menerima obat yang benar tetapi dosisnya terlalu rendah
Pasien menerima obat dalam jumlah lebih kecil dibandingkan dosis
terapinya. Hal ini dapat menjadi masalah karena menyebabkan tidak efektifnya
terapi sehingga pasien tidak sembuh, atau bahkan dapat memperburuk kondisi
kesehatannya. Hal-hal yang menyebabkan pasien menerima obat dalam jumlah
yang terlalu sedikit antara lain ialah kesalahan dosis pada peresepan obat,
frekuensi dan durasi obat yang tidak tepat dapat menyebabkan jumlah obat yang
diterima lebih sedikit dari yang seharusnya, penyimpanan juga berpengaruh
terhadap beberapa jenis sediaan obat, selain itu cara pemberian yang tidak benar
juga dapat mengurangi jumlah obat yang masuk ke dalam tubuh pasien.
Ada beberapa faktor pendukung yang menyebabkan kejadian tersebut yaitu
antara lain obat diresepkan dengan metode fixed model (hanya merujuk pada
dosis lazim) tanpa mempertimbangkan lebih lanjut usia, berat badan, jenis
kelamin dan kondisi penyakit pasien sehingga terjadi kesalahan dosis pada
peresepan. Adanya asumsi dari tenaga kesehatan yang lebih menekankan
keamanan obat dan meminimalisir efek toksik terkadang sampai mengorbankan
sisi efektivitas terapi. Ketidakpatuhan pasien yang menyebabkan konsumsi obat
tidak tepat jumlah, antara lain disebabkan karena faktor ekonomi pasien tidak
mampu menebus semua obat yang diresepkan, dan pasien tidak paham cara
menggunakan obat yang tepat. Misalnya pemberian antibiotik selama tiga hari
pada penyakit ISFA Pneumonia.
3. Keamanan
a. Pasien menerima obat dalam dosis terlalu tinggi
Pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi dibandingkan dosis
terapinya. Hal ini tentu berbahaya karena dapat terjadi peningkatan resiko efek
toksik dan bisa jadi membahayakan Hal-hal yang menyebabkan pasien menerima
obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi antara lain ialah kesalahan dosis pada
peresepan obat, frekuensi dan durasi minum obat yang tidak tepat. Misalnya,
penggunaan fenitoin dengan kloramfenikol secara bersamaan, menyebabkan
interaksi farmakokinetik yaitu inhibisi metabolisme fenitoin oleh kloramfenikol
sehingga kadar fenitoin dalam darah meningkat.
b. Pasien mengalami efek obat yang tidak diinginkan (Adverse drug reaction)
Dalam terapinya pasien mungkin menderita ADR yang dapat disebabkan
karena obat tidak sesuai dengan kondisi pasien, cara pemberian obat yang tidak
benar baik dari frekuensi pemberian maupun durasi terapi, adanya interaksi obat,
dan perubahan dosis yang terlalu cepat pada pemberian obat-obat tertentu.
ADR merupakan respon terhadap suatu obat yang berbahaya dan tidak
diharapkan serta terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia untuk tujuan
profilaksis, diagnosis maupun terapi.
Pada umumnya ADR dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :
1. Reaksi tipe A
Reaksi tipe A mencakup kerja farmakologis primer atau sekunder yang
berlebihan atau perluasan yang tidak diharapkan dari kerja obat seperti diuretik
mengimbas hipokalemia atau propanolol mengimbas pemblok jantung. Reaksi ini
seringkali bergantung dosis dan mungkin disebabkan oleh suatu penyakit
10
tipe
adalah
reaksi
tertunda,
misalnya
teratogenesis
dan
karsinogenesis.
5. Reaksi Tipe E
Reaksi tipe E, penghentian penggunaan misalnya timbul kembali karena
ketidakcukupan adrenokortikal.
4. Kepatuhan
Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat
medis atau kesehatan. Kepatuhan pasien untuk minum obat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain :
11
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
12
Pemberian obat dalam jangka panjang misalnya pada penderita TBC, DM,
arthritis, hipertensi dapat mempengaruhi kepatuhan pasien, dimana pasien merasa
bosan dalam penggunaan obat tersebut yang menyebabkan efek terapi tidak
tercapai.
e. Hilangnya gejala
Pasien dapat merasa lebih baik setelah menggunaan obat dan merasa bahwa
ia tidak perlu lebih lama menggunakan obatnya setelah reda. Misalnya, ketika
seorang pasien tidak menghabiskan obatnya selama terapi antibiotik setelah ia
merasa bahwa infeksi telah terkendali. Hal ini meningkatkan kemungkinan
terjadinya kembali infeksi, sehingga pasien wajib diberi nasehat untuk
menggunakan seluruh obat selama terapi antibiotik.
f. Takut akan efek samping,
Timbulnya efek samping setelah meminum obat, seperti : ruam kulit dan
nyeri lambung atau timbulnya efek ikutan seperti urin menjadi merah karena
minum obat rimpafisin dapat menyebabkan pasien tidak mau menggunakan obat.
g. Rasa obat yang tidak enak
Masalah rasa obat-obatan paling umum dihadapi dengan penggunaan cairan
oral oleh anak-anak, misalnya dalam formulasi obat cair oral bagi anak-anak
penambahan penawar rasa dan zat warna dilakukan untuk daya tarik, sehingga
mempermudah pemberian obat dan meningkatkan kepatuhan.
h. Tidak mampu membeli obat
Ketidakpatuhan sering terjadi dengan penggunaan obat yang relatif mahal,
pasien akan lebih enggan mematuhi instruksi penggunaan obat yang lebih mahal.
i. Pasien lupa dalam pengobatan.
j. Kurangnya pengetahuan terhadap kondisi penyakit, pentingnya terapi dan
petunjuk penggunaan obat.
13
14
Interaksi
obat-makanan
perlu
mendapat
perhatian
dalam
kegiatan
15
menyebabkan kerugian atau bahaya pada pasien. Interaksi antar obat dapat
berakibat merugikan atau menguntungkan. Interaksi obat dianggap penting secara
klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan/atau mengurangi efektivitas obat
yang berinteraksi, terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang
sempit.
16
2.3.1 Kasus
CONTOH ANALISA KASUS DRP
Resep
20-7-2011
R/
Metformin 500
XLV
S 3 dd 1
R/
Glibenklamide 5
XV
S 1 dd 1
R/
Captopril 50
XLV
S 3 dd 1
R/
furosemid
S -0-0
R/
BC
XLV
S 3 dd 1
R/
Amlodipin 5
XV
S 1 dd 1
R/
Na-diklofenak 50
XXX
S 0-0-1
R/
Simvastatin 10
XV
17
S 0-0-1
Pro
ANALISA
a. Anamnesa/ diagnose
Pasien dinyatakan mengalami diabetes mellitus, hipertensi, hiperkolesterolemia,
ostheoartritis, dan sindrom dispepsia.
b. Analisa resep
Dalam kasus ini pasien menerima 8 item obat, sebagai berikut :
angiotensin (ACEI
Furosemid, antihipertensi golongan loop diuretic
BC/ vitamin B kompleks, suplemen kekurangan vitamin B
Amlodipin, antihipertensi golongan pemblok kanal kalsium (CCB)
Na-diklofenak, antiinflamasi nonsteroid
Simvastatin, antihiperlipidemia golongan statin
pengkonversi
18
mg/hari, dalam dosis terbagi 3. Sedangkan amlodipin yang diberikan adalah dosis
menengah, yaitu 5 mg/hari, lazimnya 2,5-10 mg/hari. Perlu diperhatikan pasien
telah cukup lanjut usianya (66 tahun), captopril diberikan pada dosis maksimum
dikombinasi dengan furosemid, dan amlodipin, akan berpotensi menimbulkan
efek hipotensi. Dengan pemberian furosemid, pasien akan mengalami diuresis,
yang berarti volume darah menurun dan menurun pula tekanan darahnya,
sedangkan pemberian ACE inhibitor dapat menyebabkan penurunan tekanan
darah melalui berbagai mekanisme yang terlibat dalam pengaturan sistem renninangiotensin-aldosteron
(RAAS),
sehingga
resiko
hipotensinya
semakin
meningkat, terlebih pada pasien yang telah lanjut usia, ditambah dengan
kombinasi dengan amlodipin. Tekanan darah harus senantiasa dipantau. (Dipiro:
233-234)
Meski ada kemungkinan lain, bahwa maksud penggunaan furosemid
dalam dosis rendah adalah untuk mengatasi resiko efek samping amlodipin,
berupa udema perifer. Amlodipin dapat menyebabkan terjadinya udema perifer,
dengan pemberian furosemid, maka aktivitas urinary meningkat, sehingga tidak
terjadi udema perifer.
Natrium diklofenak digunakan untuk mengobati gejala nyeri akibat
osteoarthritis. Diklofenak merupakan antiinflamasi nonsteroid (AINS) nonselektif.
Dosis yang diberikan adalah dosis tunggal pada malam hari sebesar 50 mg.
Sebagaimana AINS nonselektif lainnya, diklofenak dapat menginduksi
terjadinya ulkus peptikum, sedangkan dalam diagnosanya dokter telah
menyatakan bahwa pasien mengalami sindrom dispepsia. Meskipun efek buruk
yang disebabkan diklofenak pada saluran cerna tidak sekuat aspirin, namun
pemilihan obat lain yang lebih aman, perlu dipertimbangkan, mengingat pasien
telah dinyatakan mengalami sindrom dispepsia. (Dipiro; 1131)
Dalam kasus ini, pasien telah didiagnose sindrome dispepsia, dan
mendapat terapi AINS yang dapat memperparah sindrom tersebut, namun pasien
tidak mendapat obat untuk indikasi ini. Tak ada obat yang diberikan untuk
mengobati sindrom dispepsianya.
19
garam.
Pasien juga harus menghindari konsumsi rokok dan atau alcohol
Olah raga ringan secara teratur sangat dianjurkan
20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian yang tidak diharapkan, berupa
pengalaman pasien yang melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat dan pada
kenyataannya atau potensial mengganggu keberhasilan penyembuhan yang
diharapkan. Kategori umum Drug Related Problems (DRPs) :
a. Membutuhkan obat tambahan.
b. Menerima obat tanpa indikasi yang sesuai atau tidak perlu obat.
c. Menerima obat yang salah.
d. Dosis terlalu besar.
e. Dosis terlalu kecil.
f. Pasien mengalami adverse drug reactions.
g. Pasien mengalami kondisi keadaan yang tidak diinginkan akibat tidak
minum obat secara benar (non compliance).
Klasifikasi DRP (Drug Related Problem)
1. Reaksi obat yang tidak dikehendaki/ROTD (Adverse Drug Reaction/ADR)
2. Masalah pemilihan obat (Drug choice problem)
3. Masalah pemberian dosis obat (Drug dosing problem)
4. Masalah pemberian/penggunaan obat (Drug use/administration problem)
21
22
DAFTAR PUSTAKA
23