Anda di halaman 1dari 8

Raden roro Dwi Setyani Hanindita

1306381471
Kelas Filsafat Hukum A
TUGAS AKHIR FILSAFAT HUKUM
RANGKUMAN 6 ALIRAN/6 MAHZAB HUKUM
1. NATURAL LAW
Natural law memiliki arti kata sebagai ajaran hukum kodrat/alam/Tuhan yang
memandang hukum positif bersumber dari kekuatan yang lebih tinggi, sebagai contoh yaitu
hal-hal secara teologis dan rasional. Hukum alam memiliki daya berlaku yang universal,
bernilai idealisme/Spiritualisme, bersifat abstrak, dan membicarakan mengenai keadilan.
Hukum alam memiliki hubungan dengan moral dikarenakan hukum bersumber dari moral.
Adapun salah satu tokoh dari mahzab Natural Law ini adalah H.L.A Hart. Hart sendiri
adalah seorang positivis, yang mengemukakan posisi hukum kodrat dari pandangan semi
sosiologis. Hart berpendapat bahwa terdapat aturan-aturan substantif tertenu yang bersifat
esensial, jika manusia secara berkesinambungan hidup secara intim. Fakta yang sederhana
inilah yang menetapkan inti kebenaran yang tidak dapat disangkal dalam ajaran-ajaran
hukum kodrat. Selanjutnya, Hart juga meletakan penekanan pertama disini dengan asumsi
bahwa kelangsungan hidup sebagai keutamaan yang utama . 1 Menurutnya, terdapat
aturan-aturan tertentu yang mengisi setiap organisasi sosial dan merupakan fakta dari sifat
manusia yang memberikan suatu pertimbangan bagi postulasi suatu isi minimum dari hukum
kodrat.
Tetapi Hart tidak menjabarkan aturan-aturan minimal yang bersifat universal, yang
berlaku secara aktual, namun ia hanya mengemukakan fakta-fakta tertentu dari kondisi
manusia yang harus mengarahkan keberadaan aturan-aturan seperti itu. Fakta-fakta dari
kondisi kemanusiaan tersebut adalah sebagai berikut : 2
1. Bersifat rentan.
2. Kurang lebih sama dengan sesamanya
3. Keterbatasan menolong sesamanya
1 Antonius Cahyadi, dan E. Fernando M. Mamullang, Pengantar Ke Filsafat Hukum,
( Jakarta : Kecana Media Group, 2011),hlm 54
2 Ibid, hlm 55
1

4. Keterbatasan sumber daya


5. Keterbatasan pemahaman
6. Berkemauan kuat
Kondisi inipun mendorong kebutuhan alamiah akan bentuk minimal tertentu akan
perlindungan bagi diri pribadi, kekayaan, dan harapan.
2. POSITIVISME
Istilah Positivisme berasal dari kata ponere yang berarti meletakka, kemudianmenjadi
bentuk pasif positus-a-um yang berarti diletakkan. Dengan demikian, positivisme
menunjukkan pada sebuah sikap atau pemikiran yang meletakan pandangan dan
pendekatannya pada suatu , umumnya positivisme bersifat empiris.3 Positivisme memiliki arti
kata sebagai ilmu hukum positif yang memandang hukum positif bersumber dari kekuatan
pikiran atau akal manusia dan merupakan produk penguasa yang sah dan berwenang, baik
merupakan perintah ataupun undang-undang, sebagai contoh yaitu pengaturan melalui
Undang-undang,misalnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,maka hukum positif
tentang Perkawinan yang berlaku adalah UU No.1 Tahun 1974. Hukum alam memiliki daya
berlaku yang relativisme, bernilai rasionalisme, bersifat konkrit, dan membicarakan bentuk
hukum perintah penguasa atau undang-undang. Hukum alam memiliki hubungan yang
terlepas dengan moral.
Adapun tokoh dari aliran Positivisme ini adalah John Austin. Austin adalah pemikir
positivis yang meneruskan pemikiran Bentham walaupun karya Bentham terbit belakangan
dibandingkan dengan Austin. Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis,
tetap dan bersifat tertutup, hukum secara tegas dipisahkan dari keadilan dan tidak didasarkan
pada nilai-nilai yang baik atau buruk.4 Sehingga, Austin membagi hukum yaitu:
a. Hukum ciptaan tuhan
b. Hukum yang dibuat oleh manusia,
c. 1) hukum dalam arti sebenarnya, disebut sebagai hukum positif, yakni: undang-undang,
dll.
2) hukum yang disusun atau dibuat oleh rakyat secara individual, yang dipergunakan
untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum dalam arti yang tidak
sebenarnya merupakan hukum yang tidak memenuhi persayaratan sebagai hukum. Jenis
3 Ibid, hlm 58
4 Lili Rasjidi, Filsafat Hukum (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1988) hal. 42.
2

hukum ini tidak dibuat atau ditetapkan oleh penguasa atau badan berdaulat yang
berwenang.
Menurutnya hukum merupakan suatu perintah atau command dari pihak yang
berkuasa yang memiliki sanksi, dan merupakan bagian yang terpisah dari moral. Ia
bersikukuh pada orang atau lembaga yang menentukan sebagai sumber dari suatu perintah
atau command yang dapat dianggap bahwa command disini merupakan kehendak dari orangorang tertentu. Pihak yang berkuasa atau sovereignty yang dipahami oleh Austin bukan
kesatuan yang metafisik dengan struktur logis yang dapat dihilangkan. Sovereignty yang
dimaksud olehnya adalah bersifat faktual, bisa banyak dan banyak, bertingkat dan bersifat
praktis. Usaha Austin untuk mendasarkan kedaulatan pada kepatuhan telah drikitisi secara
tajam sebagai suatu hal yang membingungkan, karena disini Austin tidak membedakan
sovereignty secara de jure dengan de facto, yaitu antara hukum dengan kedaulatan secara de
facto dan politis. Berdasarkan hal tersebut maka dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa
ajaran positivisme menurut Austin memberikan suatu pemisahan yang sangat mencolok dan
kaku antara hukum dan moral.
3. SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
Mengenai pemikiran hukum yang bercorak sosiologis ini, hampir tidak ada kesepakatan yang
pas mengenai apa itu hukum bercorak sosiologis. Pada umumnya, dapat disimpulkan,
pemikiran hukum yang sosiologis, ditandai dengan karakter-karakter demikian :5
1. Bahwa pandangan hukum sebagai satu metode kontrol sosial
2. Para ahli hukum sosiologis amat skeptis dengan aturan-aturan yang ada dalam buku teks
huku yang terkodifikasi
3. Para ahli hukum sosiologis pada umumnya sepakat pentingnya memanfaatkan ilmu-ilmu
sosial, termasuk sosiologi, terhadap hukum
Pemikiran hukum yang sosiologis secara historis ditandai oleh 3 tonggak besar. Yang
pertama, ketika Auguste Comte tampil menjadi pelopor dari maszhab Ilmu Hukum
Sosiologis. Dan yang kedua, masa ketika generasi penerus pasca Auguste Comte. Kemudian
yang ketiga, masa ketika pasca Roscoe Pund mengutarakan pemikirannya.
Pemikiran Roscoe Pond adalah pemikiran mahzab sosiologis yang paling fenomenal,
Pond yang menganggap bahwa hukum adalah alat rekayasa sosial yang bertujuan mencipta
harmoni dan keserasian guna memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia dalam
5 Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, Op.Cit, hlm.86
3

masyarakat secara optimal. Hal ini dilambangkan dengan keadilan yang tidak memihak
dalam upaya pemenuhan kepentingan tersebut, guna mencapai keadilan ini maka harus ada
kekuatan yang memaksa oleh penguasa negara. Bagi Pond, hukum harus dilihat sebagai suatu
lembaga kemasya-rakatan yang memiliki fungsi pemenuhan kebutuhan sosial, sehingga oleh
Pond ada anjuran guna mempelajari hukum sebagai suatu proses, bukan semata-mata hukum
tertulis saja.
4. HISTORICAL JURISPRUDENCE
Historical Jurisprudence memiliki arti kata sebagai filsafat hukum sejarah yang
memandang hukum positif berkembang sesuai dengan perkembangan budaya
masyarakat/bangsa, seperti berkembangnya suatu bahasa, sebagai contoh yaitu penciptaan
hukum secara modifikasi dan kodifikasi. Hukum alam memiliki daya berlaku yang
relativisme, bernilai tempolisme/romantisme, bersifat konkrit, dan membicarakan bentuk
hukum berkembang seperti perkembangan budaya. Hukum alam memiliki hubungan yang
terlepas dengan moral.
Adapun tokoh dari mahzhab sejarah ini adalah Friederich Karl von Savigny. Menurut
Carl Friedrich von Savigny, hukum adalah pernyataan jiwa bangsa (Volksgeist). Savigny
memaparkan Volksgeist sebagai suatu kenyataan yang (dalam kata-kata asli Savigny) unique,
ultimate and often mystical. Berangkat dari ide ini, Savigny berhipotesis bahwa semua
hukum berasal dari adat istiadat (pola-pola yang terbentuk dalam masyarakat) yang lama
kemudian berubah menjadi hukum setelah dikongkritkan melalui lembaga legislasi. Dalam
proses pelegalisasian hukum, seorang yuris, sebut saja hakim, akademisi, ataupun jaksa, juga
ikut mengambil perannya (juristic activity).
Konsep rakyat oleh Savigny adalah sebagai satu kesatuan individu yang beraneka
ragam yang hidup dalam suatu keteraturan. Rakyat ini memiliki cita-cita (tujuan), kehendak,
dan semangat yang satu. Semuanya membentuk satu kesatuan, sehingga dapat dipandang
menjadi suatu individu tersendiri.
Menurut Savigny, terdapat suatu universalitas juga dalam tata hukum-tata hukum yang
berlaku di dunia. Karenanya perlu membedakan antara politik hukum yang menyangkut
makna dan jiwa sebuah tata hukum, dan teknik hukum yang menyangkut cara membentuk
hukum.6 Savigny juga terkenal dengan gerakan romantismenya, Adanya gerakan
romantisisme juga turut mempengaruhi historical jurispridence. Gerakan romantisisme
6 Dr. Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta : Kanisius, 1995), hal. 116
4

adalah gerakan reaktif yang menentang Zaman Pencerahan yang terlalu mengagungagungkan akal (rasio) dan konsep universal sehingga menyebabkan pandangan yang
dihasilkan bersifat dingin dan kaku.7 Istilah-istilah yang digunakan dalam pemikiran Savigny,
yaitu:8
1. rakyat: sebuah kesatuan individu yang beraneka ragam yang hidup dalam keteraturan.
Kesatuan tersebut bersifat begitu alamiah dan terjadi dalam proses historis yang
evolutif. Kesatuan itu menjadi layaknya individu yang mempunyai cita-cita, kehendak
dan semangat.
2. hukum positif: hukum yang hidup dan muncul dalam masyarakat, dalam kesadaran
umum dari rakyat. Bukti adanya hukum positif adalah adanya pengakuan dari
masyarakat yang bersangkutan secara faktual dan sikap tindak atau perilaku
masyarakat yang telah terjadi lama sekali yang telah menjadi fakta historis.
3. hukum kebiasaan: satu manifestasi dari hukum positif. Hukum kebiasaan ini
merupakan salah satu variabel dalam menemukan hukum positif, tetapi bukan penentu
akan adanya hukum positif.
4. legislasi: legislatif memungkinkan adanya hukum positif yang terartikulasikan dalam
proses legislasi.
5. hukum yang dihasilkan Yuris: para yuris ini membaca dan mengartikulasikan hukum
positif dalam hukum tertulis dan tercatat yang mereka keluarkan.
6. peran legislasi dan ilmu hukum: hukum diharapkan dapat menjadi cerminan
masyarakat yang memiliki semangat, kehendak, dan kesadaran tertentu yang historis.

5. PURE THEORY OF LAW


Pure theory of law memiliki arti kata sebagai teori murni tentang hukum tanpa
dipengaruhi oleh unsur-unsur psikologis maupun sosiologis yang memandang hukum positif
7 Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, Op. Cit hal. 131.
8 Ibid, hal. 132-142.
5

adalah Apabila membuat Teori Hukum haruslah bersih dari pengaruh Ilmu/unsur-unsur lain,
seperti Sosiologi, Ekonomi, Sejarah, Politik, Agama, Etika, Filsafat,dan lain lain. Hans
kelsen memiliki gagasan yang sangat provokatif mengenai penggunaan istilah-istilah yang di
mana penganut hukum Anglo-Saxon, mengundang pengetian yang amat berbeda. Misalnya
istilah Rule of Law. Kelsen mendeskripsikan Rule of Law semata-mata dalam konteks
perumusan suatu kaidah hukum. Deskripsi ini berbeda total dengan pengertan Rule of Law
dalam sistem hukum Anglo Saxon , seperti di Inggris9
Teori Hans Kelsen memisahkan antara hukum dan moralitas serta memisahkan pula
antara hukum dan fakta dimana terdapat penekanan pada pembedaan yang jelas antara
hukum empiris dan keadilan transendental dengan mengeluarkannya dari lingkup kajian
hukum. Bahwa hukum bukan merupakan manifestasi dari otoritas super-human, tetapi
merupakan suatu teknik sosial yang spesifik berdasarkan pengalaman manusia.10
Menurut the pure theory of law, hukum harus dibersihkan dari unsur-unsur yang nonyuridis, seperti unsur sosiologis, politis, historis, bahkan etis.11 Jika selama ini hukum dan
keadilan seringkali dipandang identik, sesungguhnya cara pandang yang seperti itu justru
membenarkan adanya justifikasi moral bahwa suatu hukum hanya dapat berlaku bila telah
dianggap adil. Ihwal mengenai parameter keadilan inilah yang tidak akan pernah dapat
dijawab secara ilmiah dan rasional. Namun bila kemudian keadilan ini dimaknai sebagai
legalitas dimana keadilan merupakan suatu kualitas yang tidak berhubungan dengan isi tata
aturan positif, melainkan pelaksanaannya, maka keadilan dalam konteks legalitas inilah yang
dapat masuk ke dalam ilmu hukum.12 Sehingga, hal yang disebut adil atau tidak adil
kemudian merujuk pada hal legal atau illegal, bahwa yang adil adalah bila dalam suatu kasus
diterapkan aturan-aturan sebagaimana seharusnya diterapkan, bahwa tidak adil jika suatu
aturan ditetapkan pada suatu kasus tertentu sedangkan pada kasus lain serupa tidak.
6. REALISME

9 Antonius Cahyadi, dan E. Fernando M. Manullang, Op.Cit, hlm 69


10 Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safaat, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, (Jakarta: Setjen
& Kepaniteraan MK-RI, 2006), hlm. 11.
11 Prof. Darji Darmodiharjo, S.H., dan DR. Shidarta, S.H., M.Hum., Pokok-pokok Filsafat
Hukum, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 115.
12 Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safaat, op.cit., hlm. 22-23.
6

Pengertian Realisme, secara etimologis berasal dari bahasa Latin, res yang artinya benda atau
sesuatu, Secara umum, Realisme dapat diartikan sebagai upaya melihat segala sesuatu
sebagaimana adanya idealis, spekulasi, atau idolisasi.Ia berupaya untuk menerima fakta-fakta
apa adanya, betatapun tidak menyenangkan. 13 Maka, bila dikaitkan dengan konteks huku,
realisme (hukum) dapat dimaknai sebagai pandangan yang mencoba melihat hukum
sebagaimana adanya tanpa idealisasi dan spekulasi atas hukum yang bekerja dan yang
berlaku. Pandangan ini , yang mengusahakan untuk menerima fakta-fakta apa adanya
mengenai hukum.
Adapun tokoh dari pandangan realisme ini adalah Oliver Wendell Holmes. Pandangan
Holmes terhadap hukum bermula dari ide bahwa hukum sama halnya dengan pengalaman.
Seperti halnya pada logika. Sehingga, menurut Holmes hukum hanyalah sebatas prediksiprediksi atas keputusan apa yang akan dibuat peradilan. Ia menekankan pentingnya aspek
empiris dan pragmatis apda hukum. Pengaruh dari aliran fragmatisme dalam filsafat sangat
terasa dalam aliran realisme hukum. Oliver Wendell Holmes menyatakan yang dimaksud
dengan hukum adalah tindakan dari pengadilan terhahadap fakta hukum yang terjadi,
pandagan hukum sebagai prediksi apa yang akan diputuskan oleh pengadilan ini yang
menekankan realism di Amerika bersifat pragmatis dan empiris. menurut Holmes, sebuah
policy yang telah dibuat bukan didasarkan kepada pembenaran-pembenaran yang ilmiah oleh
ilmu hukum, tetapi lebih karena alasan adanya kepentingan masyarakat (sosial) yang faktual.
Selanjutnya adalah Jerome Frank, dimana menurutnya hukum pada garis besarnya tidak sama
dengan aturan-aturan hukum yang tetap dan yang statis serta yang tidak berubah. Baginya
hukum adalah putusan pengadilan. Putusan pengadilan bukan melulu perpanjangan suara dari
kaidah hukum yang statis tersebut, tetapi juga tergantung dari banyak faktor seperti prasangka
politik, ekonomi dan moral. Selain itu juga ada faktor simpati dan antipasti dari seorang
hakim.

DAFTAR PUSTAKA
Asshidiqie, Jimly dan M. Ali Safaat, 2006 Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta :
Kepaniteraan MK-RI.
13 Antonius Cahyadi, dan E. Fernando M, Manullang, Op.Cit, hlm. 153
7

Cahyadi, Antonius dan Fernando M. Manullang, 2011, Pengantar ke Filsafat Hukum, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, 2008, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama
Huijbers, Theo, 1995, Filsafat Hukum, Yogyakarta : Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai