Anda di halaman 1dari 31

Mata Kuliah: Sistem Penghantaran Obat

Dosen Pengajar: Prof.Dr. rer. nat. Hj. Marianti A. Manggau

Rancangan Formulasi Sediaan Mikroemulsi


Caffeic Acid Phenethyl Ester (CAPE)-coating Polimer PLGA
melalui teknik Salting Out berdasarkan Studi Literatur

DISUSUN OLEH:
WIWIT ZURIATI UNO(P2500215001)
FIHRINA MOHAMAD(P2500215002)

PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016

BAB I
PENDAHULUAN

Pengobatan menggunakan obat-obat moderen yang merupakan


senyawa sintesis kimia, sering berkaitan dengan adanya efek samping
yang negative bagi tubuh.Berdasarkan hal tersebut, dari tahun ke tahun
mulai dikembangkan terapi yang menggunakan obat-obat alami (herbal
medisin) yang masih rendah efek samping yang ditmbulkan jika
dibandingkan dengan senyawa sintesis.Didukung oleh pengembangan
penelitian setiap tahunnya yang menunjukkan adanya aktivitas biologi
yang dimiliki oleh berbagai tanaman.Adapaun aktivitas biologi yang dimiliki
oleh tanaman, berkaitan erat oleh berbagai komponen aktif yang
terkandung didalamnya seperti senyawa polifenol.Polifenol merupakan
senyawa yang terkandung di hampir semua tanaman dengan jumlah yang
cukup banyak disbanding senyawa lainnya [1].
Caffeic acid merupakan senyawa aktif polifenol yang sangat
berpotensi mempengaruhi aktivitas biologi tubuh, khususnya aktivitas
yang dimiliki oleh turunannya yaitu senyawa caffeic acid phenethyl ester
(CAPE). Berbagai studi baik secara in vitro maupun in vivo telah
menunjukkan potensi yang besar dari CAPE sebaai agen terapeutik pada
beberapa kondisi potologi tubuh, seperti inflamasi, kanker, infeksi,
neurodegenerasi [1]. Selain bersumber dari tanaman, CAPE banyak
terkandung dalam ekstrak madu (propolis), dengan aktivitas antioksidan

yang cukup tinggi melalui suatu mekanisme penghambatan produksi


reactive oxygen species (ROS) dan sistem oksidasi xantin serta sebagai
agen inhibitor terhadapa beberap aktivitas enzim, seperti lipoksigenase,
siklooksigenase, glutation s-transferase (GST) [2].
CAPE memiliki bioavailabilitas yang rendah karena mudah
didegradasi oleh enzim esterase di darah.Oleh karena itu, pada tahun
2015 Derman melakukan evaluasi formulasi CAPE yang dicoating PLGA
menggunakan teknik evaporasi pelarut. Dipilih PLGA karena bersifat
biodegradebel, biokampatibel dan non toksik. Dalam jurnal Edel Sah
(2015)

mereview

berbagai

metode

yang

dapat

dilakukan

untuk

emulsifikasi senyawa obat hidrofobik yang dicoating PLGA. Salah satu


metode yang diuraikan selain teknik evaporasi pelarut seperti pada
penelitian Derman (2015) adalah teknik salting out yang dinilai lebih
sederhana, tanpa tekanan tertentu dan dapat digunakan untuk skala
besar.
Berdasarkan uraian diatas, makalah ini mencoba menguraikan
suatu rancangan formulasi sediaan mikroemulsi CAPE dicoating dengan
PLGA melalui teknik Salting Out berdasarkan studi literatur.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Caffeic Acid Phenethyl Ester (CAPE) [2,3,4]
1. Deskripsi tentang CAPE
CAPE (Caffeic Acid Phenetyl Ester) merupakan senyawa
sederhana yang mulai dikenal ketika campuran caffeic ester asam
termasuk phenethyl ester diidentifikasi sebagai prinsip utama dari
anti jamur dan anti bakteri. Selain itu CAPE merupakan salah satu
komponen yang terkandung dalam propolis memiliki efek sebagai
antiinflamasi,

anti

viral,

anti

kanker,

imonomodulator

dan

antioksidan dengan mekanisme tiap menghambat produksi reactive


oxygen species (ROS).
Nama kimia

: Caffeic acid phenethyl ester, phenethyl caffeate,


CAPE,

phenethyl

acrylate, Capeee
Rumus molekul : C7H16O4
Berat molekul

: 284, 30654 g/mol

Rumus struktur

3-(3,4-dihydroxyphenyl)

Kelarutan

: Memiliki kelarutan yang baik tetapi sedikit tidak


stabil di dalam air.

Pemerian

: Serbuk berwarna terang, serbuk dengan sifat


aliran yang kuat.

Penguraian

: Ketika

dipanaskan

sampai

dekomposisi

memancarkan asap beracun dari Nitrogen


oksida.
Metode Manufaktur :
Subtilisin yang dihasilkan dari fermentasi Bacillus licheniformis.
Toksisitas Manusia :
Dalam sebuah survei terhadap 121 pekerja yang terpapar Subtilisin
debu, tes kulit patch menunjukkan bahwa sensitisasi lebih tinggi
diantara

atopik

individu

(hipersensitif)

(16

dari

25,

64%)

dibandingkan pekerja dianggap normal sensitif 32 dari 96, 33 %).


2. Bioavailabilitas CAPE dalam tubuh [2].
CAPE dapat dihidrolisis oleh enzim esterase dalam plasma,
sehingga cepat dibersihkan dalam darah yang menyebabkan waktu
paruhnya singkat sehingga bioavailabilitasnya rendah dan aktivitas
biologisnya juga berkurang. Studi yang telah dilakukan Wang X,
dkk (2009) melaporkan bahwa waktu paruh 25 ug/mL CAPE pada
suhu 370C adalah 0,35 jam. Selain itu, CAPE memiliki kelarutan

dalam air yang rendah karena merupakan senyawa polifenol


hidrofobik dan karaktersitik tersebut dapat mempengaruhi tingkat
efektivitas biologinya.
3. Aktivitas biologi CAPE [3,4,5,6,7,]
a. Anti Inflamasi Aktivitas inflamasi telah dibuktikan oleh beberapa
penelitian pada tikus bahwa efek ekstrak ethanol propolis
sebagai

anti

peradangan

pada

kaki

tikus

menunjukkan

antiinflamasi yang signifikan dan mampu menghambat inflamasi


baik itu kronis maupun akut yang mana dapat menghambat kerja
mieloperoxidase,

NADPH-oxidase

ornithine

decarboxilase,

tirosine-proteinkinase, dan hyaluronidase dari sel mast babi .


Selain itu adanya flavonoids dan cinnamic acid derivatives yang
terdapat pada propolis, termasuk acacetin, quercetin, dan
naringenin caffeic acid phenyl ester (CAPE) dan caffeic acid (CA)
mampu menginhibisi silica yang menginduksi reactive oxygen
species (ROS) dan 8 menilitin sehingga dapat menginduksi
pelepasan asam arachidonat, produksi PGE2 dan pelepasan
histamine.
b. Sebagai anti radang propolis mampu menghalangi lipooksigenase
dan siklooksigenase. Lipooksigenase merupakan enzim utama
neutrofil yang nantinya akan menghasilkan senyawa leukotrin,
sedangkan siklooksigenase menghasilkan prostaglandin yang
akan menjadi mediator dalam reaksi radang.Adanga hambatan
tersebut akan berpengaruh pada produksi leukotrin, penurunan
produksi leukotrin akan mempengaruhi aktifitas fagositosi

neutrofil sehingga akan menekan proses radang. Terhambatnya


jalur lipooksigenase dan siklooksigenase oleh CAPE, akan
mengurangi terjadinya vasodilatasi pembuluh darah dan aliran
darah akan berkurang sehingga migrasi leukosit (PMN) ke
daerah radang juga menurun.
c. Aktivitas antibakterinya telah dibuktikan secara in vitro terhadap
mikroorganisme yang berbeda antara Enterococcus faecalis,
Listeria monocytogenes, Staphylococcus aureus. Secara umum,
kombinasi dari antiinflamasi, antibakteri dan antivirus merupakan
suatu tindakan yang tepat dengan penerapan persiapan propolis
yang mengandung caffeic acid untuk penyembuhan luka dan
untuk mengobati sakit tenggorokan.
d. Aktivitas sebagai anti inflamasinya juga dibuktikan oleh beberapa
penelitian baik secara in vitro dan in vivo. Dimana CAPE akan
menjadi modulator dari asam arakidonat kaskade dan untuk
menghambat aktivitas cyclooxygenase-2 di dalam sel epitel
mulut manusia dengan menekan peradangan akut pada
inflamasi, dan juga dapat mempercepat penyembuhan luka pada
kulit. Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa senyawa
CAPE

memiliki

aktivitas

anti

inflamasi

dimana

efisiensi

administrasi tersebut dapat mencegah kerusakan oksidatif akibat


E.Coli yang diinduksi pielonefritis pada salah satu hewan uji.
CAPE

yang

terdapat

pada

propolis

didapatkan

dengan

menggunakan cara maserasi dengan tujuan memberikan waktu

pelarut dan propolis berinteraksi sehingga pelarut dapat


melarutkan propolis yang akan diekstrak.
4. Penelitian tentang sistem penghantaran CAPE [2, 9, 10]
a. Ceschel, dkk (2002) telah berhasil memformulasi CAPE sebagai
sediaan gel bukal yang ditambahkan senyawa mukoadhesif dan
diuji aktivitas biologinya seperti antimikroba, antiinflamasi,
anastesi dan sitostatik.
b. Lee, H.Y, dkk (2015)

telah

memformulasi

CAPE

yang

dienkapsulasi dengan kopolimer etyl selulosa (EC) dalam


bentuk sediaan nanopartikel dan menguji aktivitas biologinya
sebagai antimetastasis sel tumor.
c. Derman (2015) telah berhasil memformulasi CAPE yang dicoating menggunakan surfaktan kationik PLGA dan dievaluasi
sediaannya meliputi persentasi sediaan yang dibuat (Reaction
Yield), efisiensi enkapsulasi (Encapsulation Efficiency) dan
ukuran partikel.

II.2 Mikroemulsi [4, 12, 13]


Mikroemulsi didefinisikan sebagai sistem air, minyak dan
amphiphile yang merupakan isotropik optik tunggal dan larutan cair
termodinamika

stabil.

Perbedaan

utama

antara

emulsi

dan

mikroemulsi adalah bahwa keduanya menunjukkan stabilitas kinetik


yang sangat baik, secara fundamental termodinamika tidak stabil dan

akan terpisah 2 fase. Hal lain yang penting mengenai perbedaan


meliputi tampilan, emulsi yang agak keruh sementara mikroemulsi
yang jernih. Selain itu, ada perbedaan dalam metode persiapan,
karena

emulsi

membutuhkan

energi

yang

besar

sedangkan

mikroemulsi tidak.
Mikroemulsi terbentuk secara spontan dengan tetesan rata-rata
diameter 10-140 nm. Mikroemulsi mengandung fase minyak, fase air
dan surfaktan. Surfaktan konvensional terdiri dari bagian polar dan
non polar. Mikroemulsi bentuknya asimetris, menyerupai bentuk
ellipsoid yang tersebar luas. Mikroemulsi dapat diterapkan sebagai
pembawa membran cair untuk mengangkut zat lipofilik melalui media
air atau untuk membawa zat hidrofilik di media lipoidal. Ukuran
partikel jauh lebih kecil dari panjang gelombang cahaya tampak,
mikroemulsi yang transparan dan struktur tidak dapat diamati melalui
mikroskop optik.
Formulasi

berdasarkan

mikroemulsi

memiliki

beberapa

karakteristik yaitu, meningkatkan kelarutan obat, stabil termodinamika


yang baik dan mudah pembuatannya. .Mikroemulsi adalah sediaan
yang dapat diberikan pada beberap rute pemberian. Secara struktural,
terbagi dalam minyak dalam air (O/W), air dalam minyak (W/O) dan
mikroemulsi terus menerus. Dalam mikroemulsi W/O, tetesan air
tersebar di fase minyak sedangkan mikroemulsi O/W terbentuk ketika
tetesan minyak tersebar di fasa air terus menerus. Dalam sistem di

mana jumlah air dan minyak sama banya, akan mengakibatkan


terbentuknya mikroemulsi berkesinambungan. Campuran air dan
minyak dan surfaktan mampu membentuk berbagai fase yang luas
tergantung pada proporsi masing masing fase.
Keuntungan dan Kerugian Sediaan Mikroemulsi
Keuntungan Sediaan Mikroemulsi
1 Mikroemulsi

adalah

sistem

termodinamika

stabil

dan

memungkinkan dibandingkan dengan liposom yang kurang stabil.


2 Self-emulsifikasi sistem.
3 Mikroemulsi bertindak sebagai supersolvents untuk obat, dapat
melarutkan baik sedangkan liposom memiliki kelarutan yang
rendah.
4 Obat hidrofilik dan lipofilik termasuk obat yang relative larut dalam
kedua pelarut air dan hidrofobik.
5 Fase terdispersi, lipofilik atau hidrofilik (mikroemulsi minyak dalam
air, O/W, atau air dalam minyak, W/O dapat bertindak sebagai
potensi reservoir obat lipofilik atau hidrofilik. Obat dengan kinetika
orde nol dapat diperoleh, tergantung pada volume fasa terdispersi,
partisi obat dan tingkat transportasi obat.
6 Diameter rata-rata tetesan mikroemulsi di bawah 0,22 mm, area
antar muka yang besar, penyerapan obat terjadi cepat ke fase

eksternal ketika penyerapan (in vitro atau invivo) berlangsung,


menjaga konsentrasi di fase eksternal tidak begitu jauh dengan
dengan tingkat awal.
7 Memiliki kemampuan untuk membawa obat-obatan baik lipofilik dan
hidrofilik.
8 Mikroemulsi mudah untuk dipersiapkan dan tidak memerlukan
kontribusi energi yang signifikan selama persiapan ini karena akan
lebih stabil secarantermodinamika.
9 Mikroemulsi memiliki viskositas rendah dibandingkan dengan
emulsi primer dan beberapa emulsi yang lain.
10 Penggunaan

mikroemulsi

sebagai

sistem

pengiriman

dapat

meningkatkan khasiat obat, sehingga dosis total dikurangi dan


dengan demikian meminimalkan efek samping.
11 Pembentukan mikroemulsi adalah reversibel. Memungkinkan akan
stabil pada suhu rendah atau tinggi tetapi ketika suhu kembali ke
kisaran stabil, mikroemulsi akan bereformasi kembali.

Jika

dibandingkan dengan liposom lebih rumit untuk membentuk dan


menjaga emulsinya dan rentan mengalami kerusakan bilayer.
Kerugian Sediaan Mikroemulsi
1 Membutuhkan

jumlah

menstabilkan tetesan.

besar

surfaktan/kosurfaktan

untuk

2 Kapasitas pelarut yang digunakan dalam cairan terbatas.


3 Surfaktan harus tidak beracun untuk digunakan dalam aplikasi
farmasi.
4 Stabilitas Mikroemulsi dipengaruhi oleh lingkungan parameter
seperti suhu dan pH. Parameter ini berubah saat mikroemulsi
diserahkan kepada pasien.
Komponen SIstem Mikroemulsi
Ketersediaan

minyak

dan

surfaktan

melimpah

tetapi

penggunaannya dibatasi karena pertimbangan toksisitas, potensi


iritasi dan ketidak jelasan mekanisme aksi. Minyak dan surfaktan yang
akan digunakan untuk formulasi mikroemulsi harus biokompatibel,
tidak beracun, dan dapat diterima secara klinis. Penekanannya adalah
pada memilihan komponen yang aman
1. Fase Minyak
Minyak menjadi salah satu eksipien yang paling penting dalam
formulasi tidak hanya karena dapat melarutkan dosis yang
dibutuhkan obat lipofilik, dapat meningkatkan fraksi obat lipofilik
melalui sistem limfatik usus, sehingga meningkatkan penyerapan
dari saluran GI tergantung pada sifat molekul trigliserida.
2. Fase encer

Fase air dapat mengandung bahan aktif hidrofilik dan pengawet.


Larutan buffer digunakan sebagai fasa air oleh beberapa peneliti.
3. Surfaktan
Penggunaan utama surfaktan adalah untuk menurunkan tegangan
antar muka kenilai yang sangat kecil yang akan memfasilitasi
proses dispersi selama persiapan mikroemulsi dan memberikan
sebuah film yang fleksibel yang mudah merusak sekitar tetesan
dan menjadi yang sesuai karakter lipofilik untuk memberikan
kelengkungan

yang

benar

diwilayah

antarmuka.

Surfaktan

digunakan untuk menstabilkan sistem mikroemulsi harus :


a non-ionik,
b zwiterionik,
c

kationik,

d surfaktan anionik.
4. Co-surfaktan
Telah ditemukan bahwa rantai tunggal surfaktan sendiri tidak dapat
mengurangi tegangan antar muka cukup untuk mengaktifkan
mikroemuls adanya co-surfaktan menurunkan tegangan antarmuka,
memiliki fleksibilitas yang cukup untuk mengambil lekukan yang
berbeda dan diperlukan untuk membentuk mikroemulsi atas
berbagai komposisi. Jika lapisan surfaktan tunggal diinginkan,

rantai lipofilik dari surfaktan harus cukup singkat, atau mengandung


kelompok pencairan (obligasi tak jenuhalkohol rantai pendek (C3C8) biasanya ditambahkan sebagai co surfaktan yang selanjutnya
mengurangi tegangan antar muka dan meningkatkan fluiditas
antarmuka. Khas co-surfaktan yang rantai pendek alkohol (etanol
untuk butanol), glikol seperti propilen glikol, alkohol rantai
menengah, amina atau asam. Penggunaan co-surfaktan adalah
untuk menghancurkan kristal cair atau struktur gel yang terbentuk
di tempat fase mikroemulsi dan kosurfaktan di sebagian besar
sistem tidak dapat dibuat kecuali pada suhu tinggi.
5. Co-solvent
Produksi mikroemulsi yang stabil membutuhkan konsentrasi yang
relatif tinggi (umumnya lebih dari 30% b / b) surfaktan. pelarut
organik seperti, etanol, propilen glikol (PG), dan polietilen glikol
(PEG) cocok untuk tambahan

pelarut, dan

memungkinkan

pembubaran jumlah besar baik hidrofilik surfaktan atau obat dalam


basis lipid. pelarut ini bahkan dapat bertindak sebagai co-surfaktan
dalam sistem mikroemulsi.
Emulsifikasi menggunakan Polimer PLGA sebagai surfaktan kationik
Proses emulsifikasi untuk menghasilkan senyaw yang berukuran
nano

ataupun

mikron,

secara

konvensional

dilakukan

dengan

penambahan ko-surfaktan dan pangudukan dengan kecepatan dan waktu

tertentu. Dalam pengembangan berbagai bentuk sediaan mikroemulsi


minyak dalam air ataupun mikroemulsi air dalam minyak, dapat dilakukan
tanpa penambahan ko surfaktan, tetapi dengan penambahan suatu
polimer, dipolimer maupun polipolimer. Hal ini dikarenakan, ada beberapa
ko surfaktan yang menimbulkan toksisitas. Adapaun teknik-teknik yang
dimaksud, antara lain:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Emulsi air dalam minyak fase separasi/koaservasion


Emulsi minyak dalam air evaporasi/ekstraksi pelarut
Emulsi minyak dalam air dalam minyak evaporation/ekstraksi pelarut
Emulsi minyak dalam air teknik Salting out.
Emulsi air dalam minyak dalam air evaporasi/ekstraksi pelarut
Emulsi air dalam minyak dalam minyak evaporasi/ekstraksi pelarut
Emulsifikasi untuk senyawa hidrofobik membentuk sistem minyak

dalam air dapat dilakukan melalui teknik evaporasi/ekstraksi pelarut dan


teknik Salting out.
1) Emulsifikasi PLGA dengan teknik evaporasi
Sistem emulsi minyak dalam air dengan teknik evaporasi
pelarut, dapat dilakukan melalui beberapa tahap:
a. Emulsifikasi dari fase terdispersi (polimer) dalam pengemulsi yang
b.
c.
d.
e.

mengandung fase air.


Difusi pelarut dari tetesan emulsi masuk ke fase air.
Pelarut dihilangkan melalui evaporasi.
Solidfikasi tetsan emulsi ke PLGA dalam bentuk nanopartikel.
Evaporasi pelarut dilakukan dengan pengadukan secara terusmenerus dengan tekanan tertentu, tetapi kecepatannya dapat
disesuaikan serta dapatn menggunakan pompa vakum.
Beberapa surfaktan atau emulsifier yang biasa ditambahkan

yaitu polyvinyl alcohol (PVA), didodecyldimethylammonium bromide,

polyvinyl pyrrolidone, solutol, polysorbate, poloxamer, carbopol,


polyethylene

glycol

(PEG),

sodium

dodecyl

sulfate,

proteins,

carbohydrates, lecithin, and PEG-lipid (e.g., PEG-ceramide, d-tocopheryl polyethylene glycol 1000 succinate (TPGS)).
2) Emulsifikasi PLGA dengan teknik Salting Out
Pada metode ini, polimer dilarutkan dalam pelarut organic jenuh
air yang mengandung obat.Pelarut organic jenuh air yang biasa
digunakan seperti aseton atau tetrohidrofuran.Campuran tersebut
kemudain dituang kedalam fase air PVA yang mengandung garam
(magnesium sulfat atau kalsium sulfat sambil diaduk menggunakan
stirrer sehingga terbentuk single emultion minyak dalam air. Emulsi
yang terbentuk didilusi dengan penambahan sejumlah air sambil
diaduk selama semalam pada suhu ruang dan diperoleh emulsi
dengan ukuran nano (micron).Pengadukan ini menyebabkan pelarut
organiknya hilang dan reduksi komponen garam.Metode ini dinilai
cukup tinggi efisiensi penyerapan obat dan metodenya

lebih

sederhana dan baik digunakan dalam skala besar.


Dibawah ini memberikan gambaran tahapan untuk emulsifikasi
dengan teknik evaporasi dan teknik salting out.

Sumber: Pulmonary Drug Delivery Advanced and Challenges. John Wiley & Sons.Ltd.
India. 2012

BAB III
RANCANGAN FORMULA
III.1 Rencana bahan yang digunakan sediaan
a.
b.
c.
d.
e.

Senyawa obat : CAPE


Polimer surfaktan kationik : PLGA
Pelarut organic yang jenuh air : aseton atau tetrahdrofuran
Stabilizer : polyvinyl alcohol (PVA),
Senyawa garam : Magnesium sulfat

III.2 Rencana prosedur formulasi sediaan


Prosedur preparasi yang digunakan berdasarkan teori dari Teknik
Salting out secara umum, yaitu
1. CAPE dilarutkan dalam pelarut organik (aseton), kemudian
ditambahakan polimer PLGA dan terbentuk campuran larutan.
2. Campuran larutan yang terbentuk kemudian dituang ke dalam
fase cair yaitu larutan PVA yang mengandung senyawa garam
(MgSO4), berlebih sambil diaduk menggunakan strirer dan secara
spontan akan terbentuk single emultion minyak dalam air.
3. Emulsi yang terbentuk kemudian didilusi melalui penambahan
volume air sambil diaduk dengan stirrer semalaman dalam suhu
ruang, sehingga pelarut organiknya dapat dihilangkan, begitupun
dengan kandungan garamnya. Pada tahap ini fase PLGA
akanterdispersi ke fase cair menghasilkan senyawa nanopartikel.
Selanjutnya

senyawa

saringan 0,22 m [14].

nanopartikel

tersebut

disaring

pada

III.3 Rencana Uji formulasi sediaan


1. Karakteristik sediaan
a. Reaction Yield (RY).

b.

Encapsulati
on Efficiency
(EE)

c. Mean Particle Size (Z-Ave), Zeta Potential, and Polydispersity


Index (PDI).
d. Uji
morfologi

sediaan

dengan

metode

ElectronMicroscopy (SEM).
e. uji in vitro pelepasan CAPE dari formulasi s
f. Uji toksisitas bahan-bahan yang digunakan.
g. Analisis statistik
2. Aktivitas Biologi
a. Uji in vitro
b. Uji in vivo

Scanning

BAB IV
PEMBAHASAN
Makalah ini mencoba menguraikan suatu rancangan formula
bentuk sediaan mikroemulsi dengan teknik salting out terhadap senyawa
obat Caffeic Acid Phenethyl Ester(CAPE) dengan aktivitas antioksidan,
yang dipolimerisasi dengan poly(lactide-co-glycolide) (PLGA). CAPE
merupakan komponen bioaktif alami yaitu sebagai polifenol hidrofobik
yang terkandung hampir di semua tanaman, dengan jumlah terbanyak
dapat diperoleh dari cairan yang dihasilkan lebah yaitu propolis.
Berbagai aktivitas biologis CAPE telah banyak diteliti baik secara in
vitro maupun in vivo.Hasil penelitian dari tahun ke tahun menunjukkan
bahwa CAPE merupakan salah satu senyawa alami yang sangat
berpotensi sebagai antimikroba, antioksidan, anti-inflamasi, antitumor dan
antikanker.Selain itu, belum ada laporan tentang adanya efek sitotoksik
terhadap penggunaan CAPE, sehingga masih dianggap senyawa alami
yang aman untuk digunakan (Ghulam Murtaza, 2014). Pemaanfaatan
CAPE alami dalam produksi besar perlu dipertimbangkan, karena isolasi
CAPE dari ekstrak propolis hanya menghasilkan 1-5% rendamen, dan
proses purifikasinya berlangsung lama sehingga dinilai kurang ekonomis.
Oleh karena itu, untuk mengatasi hal tersebut telah disintesis analog
CAPE dengan aktivias biologi yang sama, digunakan serta lebih murah

dan prosesnya lebih singkat. Walaupun demikian, perlu dipertimbangkan


efek toksisitas yang mungkin ditimbulkan dari analog CAPE tersebut.
Pengembangan formulasi bentuk sediaan CAPE terus dilakukan
untuk menghasilkan aktivitas biologi yang lebih efektif, selektif dan
meningkatkan tingkat kepatuhan pasien. Pegembangan ini didasarkan
pada studi farmakokinetik dari CAPE yang menunjukkan bahwa CAPE
dapat dihidrolisis oleh enzim esterase dalam plasma, sehingga cepat
dibersihkan dalam darah yang menyebabkan waktu paruhnya singkat
sehingga bioavailabilitasnya rendah dan aktivitas biologisnya juga
berkurang. Studi yang telah dilakukan Wang X, dkk (2009) melaporkan
bahwa waktu paruh 25 ug/mL CAPE pada suhu 370C adalah 0,35jam.
Selain itu, CAPE memiliki kelarutan dalam air yang rendah karena
merupakan senyawa polifenol hidrofobik, dalam hal ini karaktersitik
tersebut dapat mempengaruhi tingkat efektivitas biologinya [2].
Berbagai strategi pengembangan dalam meningkatkan bioaktivitas
dan bioavailabilitas obat yang kelarutannya rendah dalam air (hidrofobik)
telah dilakukan, antara lain melalui strategi penggunaan liposom, sistem
polimer dan sistem nanopartikel. CAPE yang mudah didegradasi oleh
enzim esterase dalam plasma sehingga perlu dilakukan coating untuk
melindungi CAPE. Salah satu polimer yang telah teruji mampu untuk
mengcoating CAPE adalah PLGA (poly-d, l-laktida-co-glycolide). PLGA
merupkan salah satu polimer yang paling banyak digunakan untuk
enkapsulasi berbagai senyawa obat karena merupakan senyawa yang

biodegradabel, biokompatibel, dan rendah toksisitasnya serta hasil


metabolitnya yaitu asam laktat dan asam glikolat dapat dieliminasi sebagai
CO2 dan air, sehingga aman digunakan [10].
PLGA merupakan polimer berbasis nanopartikel yang dapat
meningkatkan aktivitas biologi, kelarutan dalam air dan bioavailabilitas
senyawa obat sintetis maupun alami karena ukuran partikelnya kecil dan
area permukaannya besar. Seperti yang telah dilaporkan oleh Singh, dkk
(2011) bahwa senyawa polifenol dari teh yang dicoating dengan polimer
nanopartikel PLGA efektivitas biologinya 30x lebih baik dibandingkan
senyawa polifenol teh tanpa coating PLGA. Selain itu, Chaowanachan,
dkk (2013) melaporkan bahwa formulasi efavirenz yang dicoating PLGA
memiliki

kemampuan

50x

lebih

efektiv

dalam

mereduksi

atau

menghambat HIV dibandingkan efavirenz tanpa coating.


Mekanisme PLGA dalam mengcoating suatu senyawa obat yang
melibatkan proses emulsifikasi sehingga yang dihasilkan adalah bentuk
sediaan mikroemulsi. Mikroemulsi yang terbentuk merupakan fokus pada
rancangan formula ini karena prosesnya lebih sederhana (memiliki
kemampuan membentuk secara spontan) dan ekonomis jika dibandingkan
dengan sistem polimer matriks atau liposom.Selain itu, memiliki
karakteristik yang stabil secara termodinamka, viskositasnya lebih rendah
dan membentuk monophase yang jernih dibandingkan dengan emulsi
biasa yang lebih kental dan keruh serta tidak memerlukan kontribusi
energi yang signifikan selama persiapan [12].

Ukuran partikel mikroemulsi <150 nm mengganmbarkan suatu


teknologi

berukuran

nano

(nanoteknologi)

dan

ukuran

tersebut

meyebabkan waktu tersedianya obat dalam darah lebih lama dan ketika
dicoating

dengan

surfaktan

PLGA tidak

cepat

didegradasi

serta

menghasilkan sistem penghantaran obat controlled release. Adapun


tujuan pelepasan obat yang terkontrol yaitu dapat mengurangi frekuensi
pemberian obat sehingga dapat meningkatkan tingkat kepatuhan pasien,
dosis untuk obat-obat yang aksi obatnya cepat dapat diturunkan sehingga
mengurangi efek samping dan efektivitas obat lebih baik [15].
Dasar rancangan formulasi disusun atas studi literature dari
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Derman (2015) yang
berhasil memformulasi CAPE yang dienkapsulasi dengan PLGA melalui
proses emulsifikasi minyak dalam air dengan teknik evaporasi solven
menghasilkan sediaan miroemulsi dan pelepasan obat sustained release.
Pada penelitiannya, jumlah bahan yang digunakan yaitu CAPE 50 mg,
PLGA 100 mg (fase disperse), PVA 6 ml (fase air), dengan konsentrasi
formula 2% w/v hasil uji formulasi terhadap ukuran parikel dan dispersi
molekul dapat diamati pada gambar di bawah ini:

Optimasi nanopartikel dari formulasi ini tercapai hingga 83,08% dan


pelepasan CAPE secara invitro menggambarkan penghantaran obat
sustained releas karena berlangsung selama 16 hari dan dapat diamati
pada gambar di bawah ini:

Berdasarkan teori yang bahwa preparasi PLGA dalam mengcoating


senyawa obat melalui proses emulsifikasi dapat dilakukan dengan
berbagai teknik, khususnya terhadap senyawa obat yang hidrofobik.
Selain teknik evaporasi seperti yang digunakan Derman (2015) pada
penelitiannya, terdapat teknik lainnya yaitu tekniksalting out. Teknik ini
dipilih untuk digunakan dalam membuat suatu rancangan formula CAPE,
karena berdasarkan jurnal yang disusun oleh Edel Sah, dkk (2015) berupa
review artikel tentang teknik preparasi PLGA melalui pancampuran antara
larutan organic polimer dengan antisoven. Dalam jurnalnya, menjelaskan

bahwa metode preparasi PLGA dengan teknik Salting out menghasilkan


senyawa obat dengan ukuran partikel <200 nm dan dapat dioptimasi
dengan menyaringnya melalui filter 0,22 ml serta tidak membutuhukan
energi dan tekanan yang tinggi dalam membntuk mikroemulsi Selain itu,
teori lainnya oleh Martin P. Ali (2015) dalam bukunya bahwa teknik salting
out ini memiliki effisiensi penyerapan yang tinggi terhadap senyawa obat
dan dapat digunakan untuk produksi skala besar sehingga lebih
ekonomis.
Rancangan formula yang disusun, bertujuan untuk membandingkan
efektivitas biologi dan kestabilan fisik CAPE-coating PLGA yang dilakukan
oleh Derman (2015) melalui teknik evaporasi, dan dibandingkan dengan
teknik lainnya yaitu teknik Salting out. Pada rancangan formula ini
menggunakan PLGA sebagai polimernya, kemudian dilarutkan dalam
pelarut organik (aseton atau tetrahidrofuran).Sedangkan fase airnya
menggunakan

larutan

PCA

yang

mengandung

senyawa

garam

(Magnesium sulfatatau kalsium klorida). Bentuk sediaan mikroemulsi


CAPE yang terbentuk, diharapkan menghasilkan sediaan CAPE yang
stabil secara fisiakimia, efektivitasnya lebih baik dan aman, pelepasan
obatnya sustained release atau controlled release sehigga frekuensi
pemberian obat dan dosis obat dapat dikurangi dan tingkat kepatuhan
pasien menjadi lebih baik.

BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
1. CAPE merupakan komponen bioaktif yang terkandung hampr
disemua tanaman dengan jumlah terbanyak dapat diperoleh dari
cairan yang dihasilkan lebah (propolis), memiliki berbagai aktivitas
biologi seperti antiinflamasi, antitumor, anti kanker, antimikroba dan
antioksidan.
2. CAPE memiliki bioavailabilitas yang rendah, karena mudah
didegradasi oleh enzim esterase dalam darah sehingga cepat
dibersihkan di darah dan menyebabkan waktu paruhnya singkat
sehingga ketersediaannya di darah sedikit dan mempengaruhi efek
terapeutiknya. Selain itu, kelarutan CAPE dalam air rendah karena
merupakan senyawa polifenol hidrofobik.
3. CAPE memiliki potensi yang besar sebagai senyawa obat sehingga
perlu dilakukan pengembangan formulasi sediaan yang dapat
memperbaiaki

bioavailabilitasnya

melalui

formulasi

sediaan

mikroemulsi CAPE yang dicoating PLGA melalui teknik salting out.


4. PLGA digunakan sebagai coating untuk melindungi degradasi
CAPE oleh enzim esterase di darah, merupakan polimer yang
biodegradebel,

biokompatibel,

dan

tidak

toksik

dan

dapat

menghantarkan obat baik sustained release maupun controlled


release.
5. Mikroemulsi diharapkan terbentuk dari formulasi sediaan ini, karena
viskositasnya rendah dan jernih dibandingkan dengan emulsi biasa,

proses mikroemulsi lebih sederhana dan ekonomis dibandingkan


dengan sistem nanoteknologi lainnya seperti sistem polimer,
liposom, dendrimer, dan benuk lainnya.
V.2 Saran
Rancangan formula sediaan CAPE, khususnya pada prosedur
pembuatannya perlu kajian pada jurnal lainnya untuk diperoleh waktu dan
suhu optimum untuk mengaduk campuran dalam menghasilkan bentuk
mikroemulsiminyak dalam air.

DAFTAR PUSTAKA

1. X.

Wang,

J.

Pang,

J.

A.

Maffucci

et

al.,

2009.

Pharmacokinetics of caffeic acid phenethyl ester and its


catechol-ring fluorinated derivative following intravenous
administration to rats.Biopharmaceutics & Drug Disposition,
vol. 30, no. 5.
2. H.-Y. Lee, Y.-I. Jeong, E. J. Kimet al., 2015. Preparation of
caffeic acid phenethyl ester-incorporated nanoparticles and
their biological activity.Journal of Pharmaceutical Sciences.

3. Sarsono, Ipop S, Martini, dan Diding HP. 2012. Identifikasi


Caffeic Acid Phenethyl Ester Dalam Ekstrak Etanol Propolis
Isolat Gunung Luwu. Jurnal Bahan Alam Indonesia.

4. Sarsono, Ipop S, Martini, dan Diding HP. 2012. Identifikasi


Caffeic Acid Phenethyl Ester Dalam Ekstrak Etanol Propolis
Isolat Gunung Luwu. Jurnal Bahan Alam Indonesia.

5. Kaihena M. 2013. Propolis Sebagai Imunostimultor Terhadap


Infeksi Micobacterium tubercolusosis. Prosiding FMIPA
Universitas Pattimura.

6. Samet N, Caroline L, Srinivas M, Susarla, Naama S-R. The


Effect of Bee Propolis on Recurrent Aphtohous Stomatitis:
a Pilot Study. Original Article Clin Oral Invest. 2007.
7. Refa Safaruddin, Tri Ayu L. Caffeic accid phenethyl ester
menurunkan ekspresi endoglin pada kultur HUVECs yang di
papar glukosa tinggi. Jurnal ked.Brawijaya. Vol. 27, No. 4

8. Irene Margerethe. 2012. Kajian Senyawa Bioaktif Propolis


Trigona spp. Sebagai Agen Anti Karies Melalui Pendekatan
Analisis Kimia Dipandu Dengan Biossay. Disertasi.

9. G.C. Ceschel, P. Maffei, A. Sforzini, S. Lombardi Borgia,A. Yasin


, C. Ronchi. 2002. In vitro permeation through porcine
buccalmucosa of caffeic acid phenetyl ester (CAPE)from a
topical

mucoadhesive

gel

containingpropolis.

MonteResearch, Via Pisacane, Pero, Milano, Italy.

10. Serap Derman. 2015. Caffeic Acid Phenethyl Ester Loaded


PLGA Nanoparticles: Effect of Various Process Parameters
on Reaction Yield, Encapsulation Efficiency, and Particle
Size. Bioengineering Department, Chemical and Metallurgical
Engineering Faculty, Yildiz Technical University, Istanbul, Turkey.

11. Faizi muzaffar, U. K. Singh, Lalit Chauhan. 2013. Review On


Microemulsion as Futuristic Drug Delivery. International
Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. India.

12. Faizi muzaffar*, u. K. Singh, lalit chauhan. 2013. Review On


Microemulsion As Futuristic Drug Delivery.

International

Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. India.

13. Sah edel, Sah Hongkee. 2015. Recent Trends in Preparation


of

Poly(lactide-co-glycolide)

Nanoparticles

by

Mixing

Polymeric Organic Solution with Antisolvent. Journal of


Nanomaterials. USA.

14. Pathak Yashwant, Thassu Depak .2009. Drug Delivery


Nanoparticles Formulation and Characterization. Informa
Healthcare, USA.

15. Perrie Yvonne, rades Thomas. 2010. Pharmaceutical-Drug


Delivery and Tergeting System. Pharmaceutical Press,
London; Chicago.
16. Ali, Martin P. Gary. 2015. Pulmonary Drug Delivery Advanced
and Challenges. John Wiley & Sons. Ltd. India.

17. A.F.N.

Ramos,Miranda

J.L.

Propolis:

review

of

its

antiinflammatory and healing actions. J.Venom.Anim.Toxins


Incl.Dis. Vol.13, No.4 .

18. Eraslan E, Cansel T, Burak UZ, Arif K, Cemile K, Reyhan B,


Ozlem A. 2010. The Effect of Caffeid Acid Phenethyl Ester
(CAPE) on Acetic Acid Induced Colitis in Rats. The New
Journal of Medicine.

19. Samet N, Caroline L, Srinivas M, Susarla, Naama S-R. 2007.

The Effect of Bee Propolis on Recurrent Aphtohous


Stomatitis : a Pilot Study. Original Article Clin Oral Invest.

Anda mungkin juga menyukai