Anda di halaman 1dari 33

PERBEDAAN KADAR SEDIAAN SIRUP KERING SEFADROKSIL

YANG TELAH DI REKONSTITUSI PADA SUHU DINGIN


DAN SUHU RUANG DENGAN METODE
SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL

PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan


Pendidikan Diploma III Kesehatan

OLEH:
WIWID ARYANI
NIM: PO.71.39.0.16.039

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
JURUSAN FARMASI
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Antibiotika β-laktam merupakan kelompok antibiotika yang paling sering

digunakan untuk pengobatan anti-infeksi. Antibiotika ini mempunyai cincin β-

laktam yang bertanggung jawab pada aktivitas anti bakterinya, serta berbagai jenis

rantai samping yang bertanggung jawab pada perbedaan sifat fisika-kimia dan

farmakologisnya. Termasuk dalam kelompok antibiotik beta-laktam adalah

antibotik golongan penisilin dan sefalosforin (Perez-Fernandez, 2012).

Antibiotika golongan sefalosforin telah digunakan sejak tahun 1948.

Antibiotik yang cukup banyak dipakai oleh masyarakat Indonesia antara lain

adalah cefadroxil. Cefadroxil merupakan generasi pertama antibiotik golongan

sefalosforin ,yang cara kerjanya hampir sama dengan amoxicillin. Penggunaannya

juga sama luas, mulai untuk mengobati dari infeksi kulit hingga saluran kemih.

Sediaan cefadroxil yang beredar di pasaran berupa tablet, kapsul dan suspensi atau

sirup kering, dimana sediaan dibuat menjadi suspensi ketika akan digunakan

(Ansel, 2011).

Sirup kering adalah suatu campuran padat dari bahan obat dan gula ,

sediaan tersebut dibuat pada umumnya untuk bahan obat yang tidak stabil dan

tidak larut dalam pembawa air. Keuntungan sirup kering dari sirup cairan,

biasanya sirup dapat tahan disimpan lebih lama. Hal ini bertujuan untuk menjaga

stabilitas zat aktif pada masa penyimpanan dan penggunaan (Ansel, 2011).
Stabilitas obat adalah kemampuan suatu produk untuk mempertahankan

sifat dan karakteristiknya agar sama dengan yang dimilikinya saat dibuat

(identitas, kekuatan, kualitas, dan kemurnian) dalam batasan yang ditetapkan

sepanjang periode penyimpanan dan penggunaan (Joshita, 2008). Pemeriksaan

mutu obat mutlak diperlukan agar obat dapat sampai pada titik tangkapnya dengan

kadar yang tepat, sehingga dapat memberikan efek terapi yang dikehendaki.

Cefadroksil seperti juga halnya antibiotika yang lain tidak stabil dalam

larutan karena adanya penguraian reaksi kimia selama masa penyimpanan yaitu

reaksi hidrolisis. Hidrolisis yang terjadi memungkinkan terganggunya reaksi

kesetimbangan karena cincin β-laktam menjadi terbuka. Cincin beta-laktam dapat

mengalami kerusakan karena rantai siklik amida atau laktam mengalami

pembukaan cincin cepat karena hidrolisis (Yoshioka, 2002) .

Menurut Carstensen, bahwa penambahan air pada sediaan suspensi

cefadroksil dapat mempercepat terjadinya hidrolisis. Setelah bereaksi dengan

cefadroksil, air akan mengikat gugus H+ dan OH- dari gugus amida yang

terkandung didalamnya dengan membentuk H2O (Carstensen, 2000).

Kestabilan suatu zat merupakan faktor yang harus diperhatikan terutama

obat golongan antibiotika, hal ini disebabkan karena pemakaian antibiotika

dengan kadar atau dosis yang tidak tepat dapat menyebabkan bakteri atau mikroba

menjadi resisten terhadap antibiotika tersebut. Selain pengaruh air, suhu

penyimpanan juga merupakan salah satu faktor luar yang dapat menyebabkan

ketidakstabilan obat terutama antibiotik.


Oleh karena itu perusahaan farmasi sering menuliskan aturan

penyimpanan didalam kemasan, misalnya harus disimpan didalam lemari es pada

suhu 2-8° C jika sudah dilarutkan. Tetapi tidak semua pasien patuh dalam

mengikuti petunjuk yang tertera pada kemasan obat, sehingga hal itu bisa saja

mengakibatkan terjadinya penurunan kadar sirup kering sefadroksil yang telah

direkonstitusi selama masa penyimpanan.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah sediaan sirup kering sefadroksil mengalami penurunan kadar

setelah di rekonstitusi selama beberapa hari ?

2. Adakah perbedaan kadar sediaan sirup kering sefadroksil yang sudah di

rekonstitusi yang disimpan di suhu dingin dan dibiarkan pada suhu ruang ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

1. Untuk menetapkan kadar sediaan sirup kering sefadroksil yang telah di

rekonstitusi selama beberapa hari dengan metode Spektrofotometri visibel.

Tujuan Khusus

1. Untuk menilai perbedaan kadar sediaan sirup kering sefadroksil yang telah

di rekonstitusi yang disimpan di suhu dingin dan dibiarkan pada suhu ruang.
D. Manfaat Penelitian

1. Untuk masyarakat, sebagai pedoman dalam menyimpan sediaan sirup kering

sefadroksil yang telah di rekonstitusi agar stabilitasnya selalu terjaga.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi, khususnya

untuk instansi kesehatan demi meningkatkan mutu kesehatan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Antibiotik β-laktam

Menurut Nugroho (2015), antibiotika merupakan senyawa yang dihasilkan

dari mikroba, terutama fungsi yang dapat digunakan untuk membunuh atau

menekan pertumbuhan bakteri. Penggolongan antibiotika yaitu sebagai berikut :

1. Penghambat sintesis dinding sel bakteri

a. Golongan β-laktam (azetreonam, sefalosporin, imipenem, penisilin)

b. Golongan peptide (basitrasin, vancomisin)

2. Penghambat sintesis protein (DNA)

(aminoglikosida, kloramfenikol, klindamisin, eritromisin, tetrasiklin) 10

3. Antagonis folat

(sulfonamide, trimetropim)

4. Quinolon dan golongan lainnya

(quinolon, antiseptik saluran urin)

Antibiotik golongan β-laktam mempunyai struktur kimia yang

mengandung cincin β-laktam. Obat ini bersifat bakterisidal. Bakterisidal adalah

bersifat dekstruktif (membunuh) bakteri tertentu. Cincin β-laktam tersebut yang

bertanggung jawab terhadap aktivitas antimikrobial. Terjadinya resistensi bakteri

diakibatkan terjadinya transfer plasmid kode genetik bagi enzim β-laktamase.

5
Upaya antisipasi terhadap resistensi tersebut adalah :

1) pemberian penghambat enzim β-laktamase, contohnya asam klavulanat,

sulbactam;

2) modifikasi gugus sehingga resistensi terhadap enzim β-laktamase,

contohnya amoksisislin, oksasilin.

Mekanisme kerja antibiotik – antibiotik beta-laktam merupakan analog

struktural dari substrat D-Ala-D-Ala alami yang secara kovalen ikat oleh

Penicillin binding protein (PBP) pada situs aktif. Setelah suatu antibiotik bet-

laktam terhubung pada PBP, reaksi transpeptidasi dihambat, sintesis

peptidoglycan disakat, dan sel akan mati (Nugroho,2015).

B. Cefadroxil

Gambar 2.1 Struktur molekul Cefadroxil


Sumber : United State Pharmacopeia,2015

Nama Senyawa : Sefadroksil

Nama IUPAC : Asam (6R,7R)-7 [(R)-2-amino-2-(p-hidroksi fenil)

asetamido] -3-metil) -8-okso-5-tia-1-azabisiklo [4.2.0]ok-

2en-2-karboksilat mono-hidrat [66592-87-8]

6
Berat Molekul : 363,40 g/mol.

Pemerian : Serbuk hablur ; putih atau hampir putih

Kelarutan : Sukar larut dalam air; praktis tidk larut dalam etanol,

dalam kloroform dan dalam eter.

Baku pembanding : Sefadroksil BFFI; merupakan bentuk monohidrat. Tidak

boleh dikeringkan sebelum digunakan. Simpan dalam

wadah tertutup rapat dan di tempat dingin.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat (Farmakope Indonesia Edisi

V, 2015. Hal : 1124)

1. Pengertian Umum

Cefadroxil adalah sebuah antibiotik spektrum luas jenis cephalosporin

generasi pertama digunakan untuk penanganan infeksi ringan hingga sedang

seperti bakteri Streptococcus pyogenes, yang menyebabkan radang tenggorokan

atau Streptococcal tonsillitis, infeksi saluran kemih, infeksi saluran reproduksi

dan infeksi kulit.

Cara kerjanya dengan cara merintangi atau menghambat pembentukan

dinding sel bakteri sehingga bila sel bakteri tumbuh dengan dinding sel yang tidak

sempurna maka bertambahnya plasma yang terserap dengan jalan osmosis akan

menyebabkan dinding sel pecah sehingga bakteri menjadi musnah sehingga

cefadroxil adalah obat antibiotik pilihan utama yang sering digunakan karena

memiliki daya kerja yang luas dan harga yang relatif murah (Marthindale, 2009)

7
C. Asetilaseton

Gambar 2.2 Struktur Asetilaaseton

Asetil Aseton ; CH3COCH2COCH3; pentan-2,4 dione ; Pentanedione

merupakan cairan jernih tidak berwarna atau berwarna kuning lemah, mudah

terbakar dan berbau harum. Asetilaseton larut dalam air; dapat bercampur dengan

etanol 95% P kloroform P, aseton, eter P,dan asam glasial. Asetilaseton memiliki

bobot molekul 100,211 dab mengandung tidak kurang dari 98% C5H8O2

(Anonim,1995)

D. Formalin

Gambar 2.3 Struktur Formaldehid

Formalin mengandung formaldehid dan metanol sebagai stabilisator, dengan

kadar formaldehid tidak kurang dari 34% dan tidak lebih dari 38 % (Moffat,

1986). Formalin merupakan cairan jernih tidak berwarna atau hampir berwarna,
bau menusuk, uap merangsang selaput lendir hidung dan tenggorokan. Formalin

larut dalam air atau etanol 95% (Ditjen POM, 1979).

Formalin (HCOH) merupakan suatu bahan kimia dengan berat molekul

30,03 yang pada suhu kamar dan tekanan atmosfer berbentuk gas tidak berwarna,

berbau pedas (menusuk) dan sangat reaktif (mudah terbakar). Bahan ini larut

dalam air dan sangat mudah larut dalam etanol dan eter (Moffat, 1986). Larutan

formalin pada pendinginan membentuk kristal trimer siklik sebagai trioksimetilen

(1,3,5-trioxan) yang larut dalam air (Schunack, 1990). Penyimpanan dilakukan

pada wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya dan sebaiknya pada suhu diatas

20˚C (Ditjen POM, 1979).

E. Sediaan Sirup

1. Dry Sirup

a. Definisi Dry sirup

Dry sirup atau sirup kering adalah suatu campuran padat yang ditambahkan

air pada saat digunakan, sediaan tersebut dibuat pada umumnya untuk bahan obat

yang tidak stabil dan tidak larut dalam pembawa air, seperti ampisilin,

amoksisilin,dan lain-lainnya. Agar campuran setelah ditambah air membentuk

disperse yang homogen, maka dalam formulanya digunakan bahan pensuspensi.

Komposisi suspensi sirup kering biasanya terdiri dari bahan pensuspensi,

pembasah, pemanis, pengawet, penambah rasa/aroma buffer dan zat warna.

Sediaan dalam bentuk suspensi untuk oral biasanya lebih efektif dibandingkan
dengan bentuk tablet atau kapsul, karena lebih mudah diterima terutama untuk

anak-anak atau bayi (Ofner, et al., 1989).

2. Suspensi

a. Definisi suspensi

Suspensi adalah sediaan cair yang mengandung partikel padat tidak larut yang

terdispersi dalam fase cair. Sediaan yang digolongkan sebagai suspensi adalah

sediaan seperti diatas, dan tidak termasuk kelompok suspeni yang lebih spesifik,

seperti suspense oral, suspense topical, dan lain-lain (Farmakope Indonesia IV,

1995)

Suspensi merupakan sistem heterogen yang terdiri dari dua fase, fase kontinu

atau fase luar umumnya merupakan cairan atau semipadat, dan fase terdispersi

atau fase dalam terbuat dari partikel-partikel kecil yang pada dasarnya tidak larut,

tapi terdispersi seluruhnya dalam fase kontinu; zat yang tidak larut bisa

dimasukkan untuk absorpsi fisiologis atau untuk fungsi pelapisan dalam dan luar

(Lachman dkk, 2012).

Dalam preparat ini bahan yang didistribusikan disebut sebagai dispers atau

fase terdispersi dan pembawanya disebut fase pendispersi atau medium dispersi.

Preparat oral dengan tipe ini, paling banyak medium dispersinya adalah air.

Partikel dari fase terdispersi ukurannya sangat berbeda-beda, dari partakel besar

yang dapat dilhat dengan mata telanjang sampai ke partikel dari ukuran koloid;

jatuh antara 1 milimikron dan kira – kira 500 milimikron atau 0,5 mikron.

Dispersi yang berisi partikel-partikel kasar, biasanya dengan ukuran 1 sampai 100

mikron, disebut sebagai dispersi kasar dan mencakup suspense serta emulsi.
Suspensi dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu suspensi yang siap digunakan

atau yang dinonstitusikan dengan sejumlah air untuk injeksi atau pelarut lain yang

sesuai sebelum digunakan. Suspensi tidak boleh diinjeksikan secara intavena dan

intratekal. Sesuai sifatnya, partikel yang terdapat dalam suspensi dapat

mengendap pada dasar wadah bila didiamkan. Pengendapan seperti ini dapat

mempermudah pengerasan dan pemadatan sehingga sulit terdispersi kembali,

walaupun dengan pengocokan. Untuk mengatasi masalah tersebut, dapat

ditambahkan zat yang sesuai untuk meningkatkan kekentalan dan bentuk gel

suspensi seperti tanah liat, surfaktan, poliol, polimer atau gula. Yang sangat

penting adalah bahwa suspensi harus dikocok baik sebelum digunakan untuk

menjamin distribusi bahan padat yang merata dalam pembawa, hingga menjamin

keseragaman dan dosis yang tepat. Suspensi harus disimpan dalam wadah tertutup

rapat (Farmakope Indonesia IV, 1995).

b. Suspensi Oral Antibiotik

Kebanyakan bahan-bahan antibiotika tidak stabil bila berada dalam larutan, untuk

waktu lama yang diinginkan dan oleh sebab itu dilihat dari stabilitas, bahan obat

dengan bentuk tidak larut dalam suspensi barair atau sebagai serbuk kering untuk

dioplos sangat menarik bagi pabrik obat. Suspensi oral antibiotik juga

memberikan cara yang memuaskan dari pemberian sediaan kepada bayi dan anak-

anak, sebagaimana juga pada orang dewasa yang lebih senang memilih sediaan

cair dari pada bentuk sediaan padat (Ansel, 2008).


F. Stabilitas Obat

Stabilitas obat adalah kemampuan suatu produk untuk mempertahankan sifat

dan karakteristiknya agar sama dengan yang dimilikinya saat dibuat (identitas,

kekuatan, kualitas, dan kemurnian) dalam batasan yang ditetapkan sepanjang

periode penyimpanan dan penggunaan (Joshita, 2008). Pemeriksaan kestabilan

obat mutlak diperlukan agar obat dapat sampai pada titik tangkapnya dengan

kadar yang tepat, sehingga dapat memberikan efek terapi yang dikehendaki,

penetapan kadar obat dilakukan untuk menjaga mutu obat sesuai dengan ketetapan

dalam Farmakope Indonesia. Stabilitas obat dapat dipengaruhi oleh Faktor luar

yang mempengaruhi antara lain suhu, kelembapan, udara dan cahaya. Suhu

merupakan salah satu faktor luar yang menyebabkan ketidakstabilan obat.

Kestabilan dari suatu zat merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam

formulai suatu sediaan farmasi. Hal itu penting mengingat sediaannya biasanya

diproduksi dalam jumlah yang besar dan juga memerlukan waktu yang lama

sampai ke tangan pasien yang membutuhkannya. Obat yang disimpan dalam

jangka waktu yang lama dapat mengalami penguraian dan mengakibatkan hasil

urai dari zat tersebut bersifat toksik sehingga dapat membahayakan jiwa pasien.

(Anonim,2010).

Beberapa efek tidak diinginkan yang potensial dari ketidakstabilan produk

farmasi, yaitu: (Carstensen and Rhodes, 2000)

1. Hilangnya zat aktif

2. Konsentrasi zat aktif meningkat

3. Bioavailability berubah
4. Hilangnya keseragaman kandungan

5. Menurunnya status mikrobiologis

6. Hilangnya elegansi produk dan “patient acceptability”

7. Pembentukan hasil urai yang toksik

8. Hilangnya kekedapan kemasan

9. Menurunnya kualitas label

10. Modifikasi faktor hubungan fungsional

Dalam Farmakope Indonesia Edisi V dijelaskan bahwa sefadroksil untuk

suspensi oral mengandung tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 120,0%

𝐶16𝐻17𝑁3𝑂5𝑆 dari jumlah yang tertera pada etiket. Stabilitas obat perlu

diperhatikan untuk mengurangi terjadinya penguraian pada zat yang terkandung

dalam obat, sehingga tidak mencapai efek terapi atau memberikan efek lainnya.

Terdapat beberapa jenis degradasi, yaitu degradasi kimia, fiska, biologi, dan

kombinasi.

1. Degradasi Kimia

Degradasi kimia adalah suatu reaksi perubahan kimia atau peruraian

komponen suatu polimer karena reaksi dengan polimer sekitarnya berupa

tindakan atau proses penyederhanaan atau meruntuhkan sebuah molekul

menjadi lebih sederhana (kecil) baik secara alami maupun buatan. Degradasi

atau penguraian kimia kerangka polimer-polimer vinil yang tersusun dari

rantai-rantai karbon yang tidak mengandung gugus-gugus fungsional selain

ikatan rangkap dua polimer-polimer diena pada prinsipnya terbatas pada

reaksi oksidasi.
Zat aktif yang digunakan sebagai obat-obatan memiliki struktur molekul

yang beragam, oleh karena itu rentan terhadap banyak variabel dan jalur degradasi

meliputi hidrolisis, dehidrasi, isomerisasi, eliminasi, oksidasi, fotodegradasi, dan

interaksi yang kompleks dengan eksipien dan obat-obatan lainnya. Hal ini akan

sangat berguna jika dapat memprediksi ketidakstabilan kimia obat berdasarkan

struktur molekul (Yoshioka dan Valentino, 2002).

Suhu penyimpanan sangat mempengaruhi stabilitas kimiawi dan fisik.

Degradasi kimia, seperti oksidasi atau hidrolisis dapat terjadi dengan

meningkatnya temperatur. Keterangan pada kemasan agar sediaan disimpan dalam

lemari es atau suhu kamar pada etiket menunjukkan bahwa temperatur

penyimpanan sediaan juga mempengaruhi stabilitas zat aktif (Talogo, 2014).

G. Hidrolisis

Hidrolisis adalah pemecahan ikatan kimia akibat reaksi air. Ini berlawanan

dengan hidrasi, yang merupakan penambahan elemen-elemen air pada ikatan

ganda, tetapi tidak terkait dengan fragmentasi molekul. Sejumlah besar gugus

fungsi yang ditemukan di dalam obat-obatan mudah mengalami hidrolisis pada

penyimpanannya, tetapi yang paling umum di temui adalah ester dan amida.

(Cairns, Donald. 2008. Hal. 189).


H. Spektrofotometri

1. Definisi

Spektrofotometri merupakan salah satu metode dalam kimia analisis yang

digunakan untuk menentukan komposisi suatu sampel baik secara kuantitatif dan

kualitatif yang didasarkan pada interaksi antara materi dengan cahaya. Sedangkan

peralatan yang digunakan dalam spektrofotometri disebut spektrofotometer.

Cahaya yang dimaksud dapat berupa cahaya visibel, UV dan inframerah,

sedangkan materi dapat berupa atom dan molekul namun yang lebih berperan

adalah elektron valensi.

Pengukuran serapan dapat dilakukan pada daerah :

a. Ultraviolet (UV) pada panjang gelombang 190-380 nm.

b. Cahaya tampak atau visible pada panjang gelombang 380-780 nm.

c. Inframerah pada panjang gelombang 780-3000 nm.

d. Spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang 200-800 nm.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam analisis spektrofotometri UV :

a. Pemilihan Panjang Gelombang Maksimum

Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah panjang

gelombang dimana terjadi serapan maksimum. Untuk memperoleh panjang

gelombang serapan maksimum, dilakukan dengan membuat kurva hubungan

antara absorpsi dengan panjang gelombang dari larutan baku pada keadaan

tertentu.
b. Pembuatan Kurva Kalibrasi

Dibuat seri larutan dari zat yang akan dianalisis dengan berbagai konsentrasi.

Masing-masing absorbansi larutan dengan berbagai konsentrasi diukur, kemudian

dibuat kurva yang merupakan hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi.

Bila hukum Lambert-Beer terpenuhi maka kurva kalibrasi berupa garis lurus.

c. Pembacaan Absorbansi Sampel

Absorbansi yang terbaca pada spektrofotometri hendaknya antara 0,2 sampai 0,8.

Anjuran ini berdasarkan anggapan bahwa pada kisaran ini nilai absorbansi

tersebut kesalahan fotometrik yang terjadi adalah paling minimal (Gandjar, 2007).

2. Penggunaan Spektrofotometer UV

Menurut Dachriyanus (2004) pada umumnya spektrofotometri UV dalam

analisis senyawa organik digunakan untuk:

a. Menentukan jenis khromofor, ikatan rangkap yang terkonyugasi dan

auksokhrom dari suatu senyawa oraganik

b. Menjelaskan informasi dari struktur berdasarkan panjang gelombang serapan

maksimum suatu senyawa

c. Mampu menganalisis senyawa organik secara kuntitatif dengan menggunakan

hukum Lambert-Beer

3. Warna-Warna Komplementer

Apabila radiasi atau cahaya putih dilewatkan melalui larutan yang berwarna

maka radiasi dengan panjang gelombang tertentu akan diserap secara selektif dan
radiasi sinar lainnya akan diteruskan. Absorbansi maksimum dari larutan

berwarna terjadi pada daerah warna yang berlawanan dengan warna yang diamati,

misalnya larutan berwarna merah akan menyerap radiasi maksimum pada daerah

warna hijau. Dengan kata lain warna yang diserap adalah warna komplementer

dari warna yang diamati (Suharta, 2005). Warna yang dapat dilihat oleh manusia

disebut sinar tampak (visible) yang merupakan campuran dari sinar-sinar yang

mempunyai bermacam-macam panjang gelombang dari 400-750nm seperti kita

lihat pada pelangi. Warna-warna komplementer adalah salah satu pasangan dari

setiap dua warna dari spektrum yang menghasilkan warna putih.

Tabel 2 Spektrum Cahaya Tampak dan Warna-warna Komplementer

Panjang Gelombang (nm) Warna Warna Komplementer

400-435 Violet Kuning-Hijau

435-480 Biru Kuning

480-490 Hijau-Biru Oranye

490-500 Biru-Hijau Merah

500-560 Hijau Ungu

560-580 Kuning-Hijau Violet

580-595 Kuning Biru

595-610 Oranye Hijau-Biru

610-750 Merah Biru-Hijau

Sumber: Day and Underwood (2002)


4. Analisa Spektrofotometri

Pada Farmakope Indonesia Edisi III (1979), dijelaskan bahwa analisa

spektrofotometri terbagi atas:

a. Analisa Kualitatif

Analisa kualitatif spektrofotometri adalah analisa yang bertujuan untuk

mengidentifikasi suatu zat.Umumnya dilakukan dengan menggambarkan

spectrum serapan larutan dalam pelarut dan dengan kadar tertentu untuk

menetapkan letak serapan maksimum dan minimum. Dalam daerah ultraviolet

identifikasi dapat dilakukan dengan menghitung perbandingan dan serapan

maksimum. Sehingga kesalahan yang disebabkan untuk alat dapat dihindari dan

larutan pembanding tidak diperlukan.

b. Analisa Kuantitatif

Analisa kuantitatif spektrofotometri adalah penetapan kuantitatif yang

dilakukan dengan mengukur serapan larutan zat dalam pelarut pada panjang

gelombang tertentu. Pengukuran serapan biasa dilakukan pada panjang

gelombang maksimum masing-masing zat. Penetapan kadar juga dapat dilakukan

dengan membandingkan serapan larutan zat terhadap larutan zat pembanding

klinis. Mula-mula pengukuran serapan dilakukan terhadap larutan pembanding

kemudian terhadap larutan zat yang diperiksa. Sebagai pengganti zat pembanding

kimia, dapat digunakan kurva baku yang dibuat dari zat pembanding kurva.
Berdasarkan metode analisa yang digunakan dalam pengukur densitas

warna, dapat dibagi menjadi:

a. Analisa kolorimetri, yaitu berdasarkan pada perbandingan densitas warna

atau pengukuran secara spektrofotometri yang dilakukan pada daerah

visible (cahaya tampak)

b. Analisa spektrofotometri, yaitu dengan membandingkan absorban yang

dihasilkan untuk larutan zat yang dibuat sesuai prosedur (Farmakope)

dengan absorban dan larutan standar yang diketahui konsentrasinya. (FI

IV, 1995)

Penggunaan untuk analisa kualitatif didasarkan pada hukum Lambert-

Beers yang menyatakan hubungan empiric antara intensitas cahaya yang

ditransmisi kandengan tebalnya larutan (Hukum Lambert/Bouguer), dan

hubunganan tara intensitas tadi dengan konsentrasi zat (Hukum Beers)

Hukum Lambert-Beers :

Jumlah radiasi cahaya tampak (ultraviolet, inframerah dan sebagainya)


yang diserap atau ditransmisikan oleh suatu larutan merupakan suatu
fungsi eksponen dari konsentrasi zat dan tebal larutan

A = log Io/It.ℇ. b . c = a . b . c

Atau

A = 2 - log%T
Dengan

A : serapan

Io : Intensitas sinar yang datang

It : Intensitas sinar yang diteruskan (ditransmisikan)


ℇ : absorbtivitas molekuler/konstanta ekstingsi (L.mol-1.cm-1)

a : dayaserap (L.g-1.cm-1)

b : teballarutan/kuvet (cm)

c : konsentrasi (g.L-1,mg.mL-1)

T : transmisi

Panjang gelombang yang digunakan utuk melakukan analisa kuantitatif

suatu zat biasanya merupakan panjang gelombang dimana zat yang bersangkutan

memberikan serapan yang maksimum (ℷ maks ), sebab kekuratan pengukurannya

akan lebih besar. Hal tersebut dapat terjadi karena pada panjang gelombang

maksimum ( ℷ maks ) bentuk serapan umumnya landai sehingga perubahan yang

tidak terlalu besar pada kurva serapan tidak akan menyebabkan kesalahan

pembacaan yang terlalu besar pula (dapat diabaikan). Serapan yang optimum

untuk pengukuran dengan spektrofotometri UV-Vis ini berkisar antara 0,2-0,8.

Namun menurut literature lain, serapan sebesar 2-3 relatif masih meberikan hasil

perhitungan yang cukup baik, walaupun disarankan agar serapan berada di bawah

2 untuk hasil yang lebih baik, dengan cara mengencerkan larutan zat yang akan

diukur. ( Henry et al, 2002)


I. Kerangka Teori

Dry Sirup
Sefadroksil

Suhu Suspensi Suhu Dingin (2-8°C)


Penyimpanan Sefadroksil
Suhu Ruang (15-30°C)

Menurut, Farmakope Kadar Memenuhi Syarat


Indonesia Edisi V, kadar Sefadroksil
sefadroksil pada suspensi
oral tidak kurang dari 90%
dan tidak lebih dari 120% Tidak Memenuhi Syarat
dari jumlah yang tertera
pada pada etiket.
(Farmakope Indonesia Metode
Edisi V, 2015). Spektrofotometri
Visibel

Keuntungannya memiliki tingkat


kesulitan rendah, cepat, selektif,
dan murah.

J. Hipotesis

Ho : Tidak ada perbedan antara suhu penyimpanan terhadap kadar furosemide

yang ada di beberapa puskesmas Kota Palembang.

H1 : Ada hubungan antara suhu penyimpanan terhadap kadar furosemide yang

ada di beberapa puskesmas Kota Palembang.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen karena adanya perlakuan

terhadap sediaan antibiotik sefadroksil yang disimpan pada suhu dingin dan suhu

ruang.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret – Mei 2019 di Balai Besar

Laboratorium Kesehatan Palembang.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah sediaan dry sirup yang mengandung

antibiotik sefadroksil yang dijual dalam satu apotek di kota Palembang.

2. Sampel

Sampel pada penelitian ini dipilih secara purposive sampling yaitu

penentuan sample secara sengaja dengan mempertimbangkan kriteria – kriteria

tertentu yang telah dibuat oleh penulis terhadap objek yang sesuai dengan tujuan

penelitian.
Mula – mula peneliti mengadakan studi pendahuluan dengan

mengumpulkan dan mengidentifikasi karakteristik seluruh sample. Selanjutnya

peneliti menetapkan sample berdasarkan beberapa pertimbangan.

Adapun kriteria yang menjadi pertimbangan untuk menentukan sampel dalam

penelitian ini adalah :

Kriteria Inklusi

a. Sediaan antibiotik dry sirup generik yang telah di registrasi BPOM.

b. Sediaan dry sirup yang dijual di apotek kota Palembang.

c. Sediaan dry sirup yang mengandung sefadroksil.

D. Alat dan Bahan

1. Alat

Alat-alat yang digunakan, yaitu :

a. Spektrofotometer Visibel g. Beker glass

b. pH meter N h. Lemari pendingin

c. Neraca analitik i. Gelas ukur

d. Penangas air j. Penjepit

e. Termometer k. Erlenmeyer

f. Kertas saring

2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan, yaitu:

a. Baku standar sefadroksil


b. Sirup kering sefadroksil generik

c. Etil asetoasetat

d. Formaldehid

e. Asam asetat glasial

f. Natrium asetat

g. Akuades

E. Cara Pengumpulan Data.

1. Perlakuan sediaan antibiotik dry sirup

a. Sediaan dry sirup yang mengandung antibiotik sefadroksil digunakan

sebagai sampel.

b. Sediaan dry sirup generik dibeli dalam satu apotek.

c. Kemudian dry sirup di suspensikan terlebih dahulu dengan aquadest sesuai

dengan cara pembuatan suspensi yang terdapat pada brosur obat masing-

masing.

d. Kemudian suspensi tersebut disimpan menjadi dua kelompok suhu yaitu

suhu dingin (2-8˚C) dan suhu kamar (15-30˚C).

e. Setelah itu dilakukan penyimpanan selama empat hari.


2. Persiapan Sampel

Sampel yang telah dibeli kemudian di suspensikan dengan aquadest sesuai

cara pembuatan suspensi yang terdapat pada brosur obat. Setelah sampel

disuspensikan, sampel dibagi menjadi dua cara perlakuan yaitu disimpan pada

suhu dingin (2-8˚C) dan suhu kamar (15-30˚C) selama 4 hari penyimpanan.

Selanjutnya akan diukur kadar sampel hari ke 1,2,3 dan 4 dengan metode

spektrofotometri visibel di Balai Besar Laboratorium Kesehatan Kota

Palembang.

3. Prosedur Kerja

Pembuatan larutan baku sefadroksil dan larutan pereaksi

a. Pembuatan larutan baku sefadroksil

Larutan baku sefadroksil 0,0052 M dan 0,0105 M berturut-turut dibuat

dengan melarutkan 100,0 dan 200 mg sefadroksil dalam akuades hingga

volume 50,0 mL.

b. Pembuatan larutan pereaksi berbagai pH

Sejumlah 4,0 mL larutan natrium asetat 0,2 M ditambah dengan 8,5 mL

larutan asam asetat 0,2 M. Larutan ini kemudian ditambahkan pada larutan

2,0 mL (2 mol) etil asetoasetat dan 3,8 mL (1 mol) formaldehid yang dibuat

baru. Larutan terakhir (disebut larutan pereaksi) ditambah asam asetat 0,2 M

bila larutan terlalu basa atau NaOH 0,2 M bila larutan terlalu asam hingga

pH larutan menjadi 2,0; 2,5; 3,0 dan 3,5, kemudian diencerkan dengan

akuades sampai 100,0 mL.


Pencarian kondisi untuk penetapan kadar sefadroksil dengan metode

spektrofotometri visibel

1. Penentuan panjang gelombang maksimum

Sebanyak 1,0 mL larutan baku sefadroksil 0,0052 M dimasukkan ke dalam

labu takar 25,0 mL, kemudian ditambah 4,0 mL larutan pereaksi dengan pH

3,0. Larutan didiamkan selama 20 menit pada suhu 45°C, didinginkan dan

diencerkan dengan akuades sampai tanda. Larutan menjadi berwarna kuning

dan di-scanning pada panjang gelombang 200-500 nm. Panjang gelombang

maksimum yang terpilih adalah panjang gelombang yang memberikan

serapan sefadroksil yang paling tinggi di daerah visibel.

2. Penentuan pH optimum larutan pereaksi.

Sejumlah 1,0 mL larutan baku sefadroksil 0,0052 M dimasukkan ke dalam

labu takar 25,0 mL, kemudian ditambah 4,0 mL larutan pereaksi (pH = 2,0;

2,5; 3,0 dan 3,5). Larutan didiamkan selama 20 menit pada suhu 45°C,

didinginkan dan diencerkan dengan akuades sampai tanda. Masing-masing

larutan diukur serapannya pada λmaks yang yang diperoleh pada butir B1.

Nilai pH optimum adalah pH larutan pereaksi yang memberikan serapan

paling tinggi.

3. Penentuan volume larutan pereaksi optimum

Sejumlah 1,0 mL larutan baku sefadroksil 0,0105 M dimasukkan ke dalam

labu takar 25,0 mL, kemudian ditambah larutan pereaksi pH optimum (1,0;

2,0; 3,0; 4,0; 5,0; 10,0 dan 15,0 mL). Larutan didiamkan selama 20 menit

pada suhu 45°C, didinginkan dan diencerkan dengan akuades sampai tanda.
Masing-masing larutan diukur serapannya pada λmaks. Volume larutan

pereaksi optimum adalah volume larutan pereaksi yang memberikan serapan

paling tinggi pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh.

4. Penentuan waktu reaksi optimum

Sebanyak 1,0 mL larutan baku sefadroksil 0,0105.M dimasukkan ke dalam

labu takar 25,0 mL, kemudian ditambah larutan pereaksi (volume dan pH

optimum). Larutan didiamkan selama selang waktu yang berbeda (5, 10, 15,

20 dan 30 menit) pada suhu 45oC, didinginkan dan diencerkan dengan

akuades sampai tanda. Masing-masing larutan diukur serapannya pada

λmaks. Waktu reaksi optimum adalah waktu reaksi yang memberikan

serapan paling tinggi.

Penentuan persamaan regresi linier dan koefisien korelasi kurva baku

sefradroksil.

Sejumlah 1,0; 2,0; 3,0; 4,0 dan 5,0 mL larutan baku sefadroksil 0,0052 M

masing-masing dimasukan ke dalam labu takar 25,0 mL, kemudian

ditambah 4,0 mL larutan pereaksi pH optimum, didiamkan selama waktu

inkubasi optimum pada suhu 45°C. Larutan reaksi kemudian didinginkan

dan diencerkan dengan akuades sampai tanda. Larutan berwarna kuning

yang terjadi kemudian diukur serapannya pada λmaks. Kurva hubungan

antara kadar versus serapan dibuat kemudian ditentukan persamaan regresi

linier serta koefisien korelasinya.


Penetapan kadar sefadroksil dalam suspensi

1) Pengujian presisi

Sampel sefadroksil dilarutkan dalam akuades hingga volumenya 50,0 mL

lalu disaring. Sejumlah 3,0 mL filtrat diencerkan dengan akuades hingga

volumenya 10,0 mL. Sejumlah 5,0 mL larutan diambil dan dimasukkan

dalam labu takar 10,0 mL, kemudian ditambah 4,0 mL larutan pereaksi pH

optimum, didiamkan selama waktu inkubasi optimum pada suhu 45°C,

didinginkan dan diencerkan dengan akuades sampai tanda. Larutan

berwarna kuning yang terjadi diukur serapannya pada λmaks. Kadar

sefadroksil dihitung dengan memasukkan nilai serapan yang diperoleh ke

dalam persamaan regresi linear kurva baku sefadroksil.

2) Penentuan recovery

Sampel sefadroksil dan 10,0 mg baku sefadroksil dilarutkan dengan akuades

dan diencerkan secara kuantitatif dalam labu ukur 50,0 mL, disaring

kemudian dipipet 3,0 mL diencerkan dengan akuades dalam labu takar 10,0

mL. Dari larutan ini dipipet 5,0 mL dan dimasukkan ke dalam labu takar

10,0 mL, ditambah 4,0 mL larutan pereaksi dengan pH optimum, didiamkan

selama 20 menit pada suhu 45°C, didinginkan dan diencerkan dengan

akuades sampai tanda. Larutan ini menjadi berwarna kuning, yang

kemudian diukur serapannya pada λmaks. Kadar sefadroksil dihitung

dengan memasukkan nilai serapan yang diperoleh ke persamaan regresi

linear kurva baku sefadroksil.


F. Variabel Penelitian

1. Variabel dependen:

Kadar sefadroksil

2. Variabel independen:

Suhu penyimpanan

G. Definisi Operasional

1. Kadar Sefadroksil

Definisi : Kadar sefadroksil pada sebuah suspensi oral tidak kurang

dari 90% dan tidak lebih dari 120% dari jumlah yang tertera

pada etiket. (Farmakope Indonesia Edisi V, 2015).

Alat Ukur : Spektrofotometer Visibel

Cara Ukur : Spektrofotometri

Hasil ukur : Memenuhi syarat jika ≥ 90% dan ≤ 110%

Tidak memenuhi syarat jika ˂ 90% atau ˃ 110%

2. Suhu Penyimpanan

Definisi : Suhu terbagi menjadi suhu dingin (2-8˚C) dan suhu kamar

(15- 30˚C) yang akan diperlakukan pada sediaan antibiotik

sefadroksil yang telah disuspensikan.

Alat : Termometer

Cara Ukur : Mengontrol suhu

Hasil ukur : Derajat celcius


3. Lama Penyimpan

Definisi : Penyimpaan dibedakan pada hari ke 1, hari ke 2, hari ke 3,

dan hari ke 4 yang akan diperlakukan pada sediaan antibiotik

sefadroksil yang telah disuspensikan.

Alat : Kalender 2019

Cara ukur : Mengontrol waktu

Hasil ukur : Hari

H. Cara pengolahan dan Analisis Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan pengukuran terhadap

hasil penetapan kadar sefadroksil. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk

tabel dan grafik berdasarkan pengaruh suhu penyimpanan terhadap kadar

sefadroksil. Pengukuran kadar sefadroksil ditentukan berdasarkan penentuan

absorbansi sampel dengan menggunakan nilai sefadroksil murni yang didapatkan

dari persamaan linier kurva baku pembanding. Kemudian dilakukan perhitungan

untuk mendapatkan kadar sefadroksil pada masing-masing sampel. Analisis data

yang akan dilakukan yaitu uji beda menggunakan independent sample t-test untuk

menguji adakah perbedaan kadar sediaan sirup kering sefadroksil yang telah di

rekonstitusi yang disimpan di suhu dingin (2-8°C) dan dibiarkan pada suhu ruang

(15-30°C)
I. Kerangka Operasional

Dry sirup Sefadroksil

Suspensi Sefadroksil

Di simpan pada Di simpan pada


Suhu 2-8˚C Suhu 15-30˚C

Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari


ke-1 ke-2 ke-3 ke-4 ke-1 ke-2 ke-3 ke-4

Sampel uji

Penghitungan Kadar

Metode
Spektrofotometri Visibel

Independent t-test

Tidak Ada Ada


Perbedaan Perbedaan
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C., 2008. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Ke-4. UI Press.
Jakarta.hal. 353 dan 373.
Ansel, Howard C.2011. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi . Edisi ke-4 Farida;
Ibrahim, penterjemah. Jakarta :Universitas Indonesia Press.
Cairns, D., 2008. Intisari Kimia Farmasi (edisi ke-2). Terjemahan Oleh: Rini, M.
P., Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta, Indonesia, Hal. 175-190.
Carstensen, J.T, dan Rhodes, C.T.2000. Drug Stability Principles and Practies,
Third Edition. New York.
Departemen Kesehatan, 2015. Farmakope Indonesia Edisi V. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.

Joshita, D.M.S., 2008, Kestabilan Obat, Departemen Farmasi FMIPA, Universitas


Indonesia
Lachman, L., H.A. Lieberman, dan J.L. Kanig, 2012. Teori dan Praktek Farmasi
Industri Edisi Ketiga diterjemahkan oleh : Siti Suyatmi. Universitas
Indonesia Press, Jakarta,Indonesia, hal. 986.
Ofner, C.M. III., Roger, L.S., dan Joseph, B.S. 1989. Reconstitutable Suspensions.
In Lieberman. Pharmaceutical Dosage From : Disperse System (volume 2).
New York : Marcel Dekker.
Talogo, 2014. Pengaruh Suhu dan Temperatur Penyimpanan Terhadap Tingkat
Degradasi Kadar Amoksisilin dalam Sediaan Suspensi Amoksisilin-Asam
Klavulanat. Skripsi, Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta (dipublikasikan), hal. 2.
Yoshioka, Sumie dan Valentino J. Stella. 2002. Stability of Drug and Dosage
Forms. Kluwer Academic Publishers. Hal.4-12.

Anda mungkin juga menyukai