Anda di halaman 1dari 6

Pada awal pecahnya perang di tahun 1992, etnis Bosnia dan etnis Kroasia di Bosnia

(Kroasia-Bosnia) bekerja sama menghadapi invasi serangan tentara-tentara Serbia. Namun


ketika kondisi pihak Bosnia mencapai titik kritis, dimana sekitar 70% wilayah Bosnia berhasil
direbut oleh Serbia, etnis Kroasia di Bosnia dengan didukung negara Kroasia berbalik
berkhianat dan berupaya merebut 30% sisa wilayah Bosnia. Akibatnya, pihak Bosnia hanya
tinggal menguasai 10% sisa wilayahnya karena sebanyak 20%-nya kemudian diambil
Kroasia.

Memasuki tahun 1993, wilayah Balkan pun menjadi target tujuan utama bagi para Mujahidin
veteran Perang Afghanistan asal negara-negara Arab yang tanpa dikomando berbondongbondong mulai berdatangan, mengalir dari berbagai penjuru wilayah. Salah seorang dari
mereka adalah Mujahidin kawakan, Sheikh Abu Abdul Aziz Barbaros.

Sheikh Abu Abdul Aziz Barbaros komandan pasukan Mujahidin asing di Bosnia.

Sheikh Abu Abdul Aziz atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama panggilan Ameer
Barbaros alias Si Janggut Merah, karena beliau memiliki janggut yang panjang berwarna
merah pirang, adalah veteran Perang Afghanistan asal Arab. Nama asli Abu Abdul Aziz
sebenarnya adalah Abdulrahman al-Dosari. Beliau lahir di Saudi Arabia pada tahun 1942.
Pertama kali mulai pergi berjihad pada tahun 1984 saat ia tergugah oleh seruan jihad Dr.
Sheikh Abdullah Azzam untuk melawan invasi tentara Soviet di Afghanistan. Tak lama
setelah itu, Abu Abdul Aziz pun telah bergabung bersama saudara-saudaranya di

Afghanistan. Selama berlangsungnya pertempuran di Afghanistan, Abu Abdul Aziz dijuluki


Hown karena keahliannya dalam mengoperasikan peluncur roket artileri Hound buatan
Soviet. Abu Abdul Aziz termasuk lulusan angkatan pertama Akademi JihadMaktab alKhidamat yang didirikan oleh Sheikh Abdullah Azzam bersama Osama bin Laden.

Usai jihad di Afghanistan yang ditandai oleh jatuhnya kota Kabul ke tangan kaum Mujahidin,
Abu Abdul Aziz yang selalu mengingat sabda Rasulullah SAW bahwa Puncak tertinggi dari
Islam adalah Jihad, sempat pergi berjihad ke Kashmir. Namun ketika pecah perang di
Yugoslavia dan tersiar kabar tentang pembantaian kaum muslimin Bosnia, Abu Abdul Aziz
bersama empat orang rekan Mujahidin segera pergi ke Bosnia untuk mengecek sendiri
situasi dan kondisi yang sebenarnya. Temuan para utusan tersebut di lapangan
membenarkan bahwa memang telah terjadi pembantaian terhadap kaum muslimin Bosnia
dan sebagian lainnya dipaksa untuk mengungsi meninggalkan rumah dan tanah air mereka.
Abu Abdul Aziz juga melihat bahwa kaum muslim Bosnia tanpa pertahanan, perlindungan,
dan juga persenjataan. Situasi di sana benar-benar membuat kaum muslim Bosnia putus
asa dan seolah tanpa harapan.

Sebagai respon permohonan bantuan dari kaum muslimin Bosnia, secara bertahap mulai
berdatangan dan berkumpul sekitar 300 500 sukarelawan jihad yang datang dari berbagai
penjuru untuk membela kehormatan saudara-saudara mereka di Bosnia dari kekejaman dan
kebiadaban kaum Serbia. Sebagian besar dari mereka adalah para veteran Perang
Afghanistan yang dipersenjatai dan telah sangat terlatih. Mereka benar-benar telah siap
bertempur hidup dan mati bersama-sama dengan kaum muslim Bosnia untuk melawan
serangan dan ancaman kaum Kristen Ortodok Serbia maupun kaum Katolik Roma Kroasia.
Jumlah sukarelawan jihad dari berbagai wilayah yang datang ke Bosnia akhirnya lebih dari
cukup untuk membentuk kekuatan satu batalyon pasukan yang terdiri dari orang-orang nonBosnia. Meskipun orang-orang Arab terbilang minoritas di dalam batalyon tersebut bila
dibandingkan dengan para Mujahidin lainnya yang diantaranya ada yang berasal dari Turki,
Pakistan, Iran, Afrika Utara, bahkan Eropa dan Amerika, namun sebagai veteran Perang
Afghanistan yang telah banyak makan asam garam medan pertempuran, Abu Abdul Aziz
alias Ameer Barbaros kemudian dipercaya sebagai komandan batalyon pasukan Mujahidin
yang dikelompokkan tersendiri sebagai sebuah detasemen khusus pada tanggal 13 Agustus
1993 dengan namaKateebat al-Mujahideen (Batalyon Mujahidin) atau orang-orang Bosnia
menyebutnya El-Mudzahidin. Batalyon pasukan khusus ini tergabung dan berada di bawah
komando langsung AD Bosnia (Bosnian Armed Forces) dengan nama Batalyon Ke-7
Tentara Bosnia (SEDMI KORPUS, ARMIJA REPUBLIKE BH).

Tentara Mujahidin Bosnia dalam sebuah parade kemenangan di kota Zenica tahun 1995.

Sebagai pasukan yang sebagian besar anggotanya terdiri dari para veteran Perang
Afghanistan, personil anggota Batalyon Ke-7 rata-rata sangat terlatih dalam menggunakan
berbagai macam jenis senjata otomatis, terutama buatan Rusia, seperti granat berpeluncur
roket (rocket-propelled grenades) RPG dan sejumlah jenis mortir. Batalyon Mujahidin di
medan pertempuran Bosnia ini merupakan batalyon pasukan infantri yang memiliki mobilitas
yang sangat tinggi. Batalyon ini bertindak sebagai unit pasukan pemukul atau pendobrak
yang ditempatkan sebagai ujung tombak ofensif militer Bosnia, terutama oleh Korps Ke-3
pimpinan Enver Hadzihasanovic. Para sukarelawan Islam yang tergabung dalam batalyon
ini memainkan peranan kunci dalam setiap operasi militer kaum muslim Bosnia dalam
merebut kembali wilayah-wilayah mereka yang semula diduduki oleh pihak Serbia dan
Kroasia. Mereka bahkan merupakan pemain utama dalam merebut kembali kota Santici
pada tahun 1994.

Seorang reporter Newsweek yang pernah mengunjungi markas para pejuang Islam ini
mendapat banyak informasi positif dari warga Bosnia perihal keberadaan mereka. Mereka
adalah para pejuang yang sangat hebat, ujar Osman Sekic, seorang tukang kayu berumur
46 tahun asal Visenjevo. Mereka sama sekali tidak takut mati. Tentara lokal Bosnia yang
pernah ikut bertempur bersama para Mujahidin ini sangat terkesan dengan keberanian
mereka, juga dengan kemampuan mereka dalam menebarkan teror ke dalam hati tentaratentara Serbia yang akan langsung gemetar ketakutan begitu mendengar teriakan Allahu
Akbar! di medan pertempuran. Mereka datang kemari untuk mencari syahid, ujar Elis
Bektas, seorang komandan peleton Tentara Bosnia berumur 22 tahun. Demi meraihnya,
mereka tidak pernah mundur sejengkal pun.
Kesaktian para Mujahidin juga tergambar dari komentar seorang pejuang Bosnia bernama
Ridzik Safet, Tentara Islam itu memang hebat, ujar Safet sambil mengacungkan
jempolnya. Jika semua pejuang Bosnia bertempur seperti mereka, perang ini akan berakhir
hanya dalam waktu 20 hari. Lebih lanjut menurut keterangan Safet, Tentara Islam itu
sangat mobil, menggunakan taktik perang gerilya. Mereka tak cuma bertempur, tapi juga
membantu pengungsian. Berapa jumlah mereka? Saya tak tahu persis. Dalam unit pasukan

saya saja ada sekitar 180 tentara Islam. Mereka dari Sudan, Saudi, Turki, Kuwait, dan
Yordania.
Para Mujahidin yang dikirim ke medan pertempuran sebagian besar adalah mereka yang
memang sudah kenyang makan asam garam medan perang Afghanistan. Namun yang
belum punya pengalaman tempur, akan dilatih lebih dulu di sejumlah kamp pelatihan, salah
satunya adalah yang didirikan oleh Sheikh Abu Abdul Aziz yang memiliki markas besar dan
kamp pelatihan militer di Mehurici, sebuah desa kecil di luar Travnik, wilayah tengah Bosnia.
Keberadaan Sheikh Abu Abdul Aziz di desa kecil ini merupakan berkah dan kebanggan
tersendiri bagi para warganya. Tidak ada seorang Serbia atau Kroasia pun yang berani
menyerang desa ini. Sebagai komandan Mujahidin, ketika Sheikh Abu Abdul Aziz masuk ke
desa ini, seluruh warga desa akan keluar dari rumah mereka untuk menyambut
kedatangannya. Tidak peduli anak-anak, tua-muda, semuanya turun ke jalan. Bahkan
mereka datang dari sejumlah desa tetangga. Dengan senyuman, mereka bersorak sorai,
mengelu-elukan Sheikh Abu Abdul Aziz.
Para Mujahidin kemudian secara aktif mulai merekrut para pemuda lokal Bosnia untuk
mengikuti pelatihan militer, mendapatkan seragam dan persenjataan. Kamp pelatihan juga
tidak hanya didirikan di Poljanice, dekat Mehurici, tetapi juga di kota Zenica dan desa
Orasac. Sehingga Batalyon Mujahidin ini akhirnya tak hanya berisi orang-orang Arab atau
dari etnis non-Bosnia, tetapi juga dari etnis Bosnia sendiri. Dalam kehidupan sosial, mereka
juga mulai membaur dengan warga etnis Bosnia. Menikahi para wanita Bosnia, terutama
para korban pemerkosaan, sebagai salah satu bentuk tanggung jawab moril mereka
terhadap saudara sesama muslim.

Selain memberikan pelatihan dan pendidikan militer, para Mujahidin juga mengajarkan
agama Islam kepada warga masyarakat Bosnia yang sempat lupa akan agamanya. Menurut
keterangan Sheikh Abu Abdul Aziz dalam sebuah wawancara dengan Al-Sirat Al-Mustaqeen,
warga muslim Bosnia menjadikan musibah tragedi kemanusiaan yang menimpa mereka
sebagai hikmah pelajaran, dan menganggap kehadiran kaum Mujahidin sebagai berkah
tersendiri:
Jika tidak karena semua ini, kami mungkin tidak akan pernah mengenal Allah. Kami juga
mungkin tidak pernah pergi ke masjid. Kaum laki-laki, wanita, dan anak-anak kami mungkin
akan kehilangan moral dan perilaku Islami dalam penampilan mereka, sehingga tidak dapat
lagi dibedakan antara seorang Muslim dengan Kristen. Selama ini muslimah Bosnia
berpakaian yang menampakkan auratnya, tapi kini, alhamdulillah, masjid-masjid di Bosnia
selalu penuh, para wanitanya memakai jilbab, dan mereka bangga mengenakannya.

Semua itu secara tidak langsung berkat kehadiran kaum Mujahidin di tengah-tengah
mereka. Secara umum, komitmen untuk kembali ke jalan Allah mulai marak terjadi di Bosnia
setelah pecahnya perang. Padahal sebelumnya, masyarakat Bosnia mengenal Islam hanya

sekedar namanya saja, dimana Al-Quran dan pengajian dilarang oleh pemerintah komunis
Yugoslavia sejak rezim Tito.

Di medan pertempuran, dengan pertolongan Allah melalui tangan pasukan Mujahidin yang
didukung oleh seluruh kaum muslimin Bosnia, keadaan pun mulai berbalik 180 derajat.
Tentara Serbia dan Kroasia yang semula ganas dan brutal terhadap warga sipil Bosnia mulai
lari terbirit-birit ketakutan menghadapi serangan kaum Mujahidin. Kepada tentara muslim
Bosnia, kaum Mujahidin berbagi taktik dan strategi tempur untuk mengalahkan pasukan
musuh yang jauh lebih kuat dan lengkap persenjataannya. Tentara Muslim Bosnia pun mulai
percaya diri, bersama kaum Mujahidin, mereka tidak lagi bertahan tapi mulai secara agresif
melancarkan ofensif, dan dengan kegigihan dalam bertempur, mereka pun berhasil merebut
kembali satu-persatu wilayah strategis yang semula dikuasai musuh.

Dengan kemampuan dan pengalaman tempur di medan perang Afghanistan yang terkenal
berat, para Mujahidin mampu menjadikan pasukan Serbia sebagai ajang bulan-bulanan
mereka. Harian Novi Vjesnik, melaporkan bagaimana para Mujahidin itu bertempur dengan
memakai taktik Mongol, yang tak bisa diduga datangnya, tiba-tiba menyerang di malam
gulita. Gran Visnar, wartawan harian tersebut, melaporkan dari Bosnia. Mereka tak kenal
ampun, dan tahan berjalan kaki 50 kilometer dalam 10-12 jam sehari, tulisnya. Menurut
laporannya pula, para Mujahidin tersebut tidak bertempur dalam jumlah pasukan yang
besar. Melainkan berkelompok, paling banyak hanya sekitar 30 orang. Dalam satu kelompok
terdiri dari berbagai bangsa, seperti Turki, Afghanistan, Iran, Pakistan, dan lain-lain. Grupgrup tempur ini beroperasi tak ubahnya bak unit pasukan khusus.

Salah satu operasi militer pasukan Mujahidin Bosnia yang paling sukses adalah ketika
mereka melancarkan serangan mendadak terhadap kota Krevine pada tanggal 21 Juli
1995 yang dikenal dengan nama sandiOperation Miracle. Serangan yang dipimpin oleh Abu
Mu'adh al-Kuwaiti ini bertujuan untuk merebut kembali kota Krevine, Malovan, dan Malije
Gaj. Operation Miracle dilancarkan pada sore hari sekitar pukul 15.30 dan berhasil
menewaskan sedikitnya 22 personil tentara Serbia (VRS) dan menawan 14 orang lainnya.
Meskipun tidak turut langsung dalam operasi penyerbuan ke dalam kota, namun Abu
Mu'adh al-Kuwaiti yang merupakan veteran perang Afghanistan, syahid tertembak saat
tengah mengobservasi jalannya operasi penyerbuan dari atas bukit.

Salah seorang komandan Mujahidin lainnya, yaitu Abu Omar al-Harbi dari Madinah juga
syahid saat memimpin timnya yang terdiri dari enam orang Mujahidin untuk merebut 3
bunker Serbia. Bunker pertama berada tepat di depan medan terbuka sehingga menyulitkan
pasukan Mujahidin untuk menembakkan granat peluncur roket (RPG) saat tentara-tentara
Serbia yang ada di dalamnya mulai melepaskan tembakan gencar. Tapi al-Harbi dengan
penuh keberanian memutuskan untuk berlari menerobos medan terbuka menuju ke arah
bunker tersebut, dan menembak mati 2 tentara Serbia yang berada di dalamnya. Anggota

timnya yang lain berusaha memperingatkannya bahwa al-Harbi bisa memasuki medan
ranjau, tapi jawaban al-Harbi hanya teriakan Allahu Akbar! dan terus maju. Ia kembali
berhasil menewaskan seorang tentara Serbia dari jarak sekitar 2 meter saja dari mulut
bunker sebelum akhirnya syahid oleh sebuah tembakan musuh yang mengenai tepat di
keningnya.

Dalam operasi militer tersebut, pasukan Mujahidin Bosnia juga berhasil merebut sebuah
tank Serbia. Namun tentara Bosnia tidak dapat mengoperasikannya, sehingga mereka
memberitahukan lewat radio kepada al-Battar al-Yemeni, seorang Mujahidin asal Yaman
yang pernah menjadi komandan pasukan tank Angkatan Darat Yaman. Mendengar kabar
tersebut, al-Battar al-Yemeni yang tengah berada di garis belakang karena tangannya
terluka, segera kembali ke medan pertempuran. Tentara-tentara Serbia pun berupaya keras
untuk menghancurkan tank yang berhasil direbut pihak Mujahidin, dan saat al-Yemeni
sampai, ia bersama seorang Mujahidin yang tak dikenal segera berlari menuju ke arah tank
tersebut, namun sayangnya ia berhasil dipukul mundur dan akhirnya syahid oleh ledakan
sebuah peluru mortir ketika tengah berupaya mengevakuasi seorang pejuang yang terluka
dari dalam sebuah banker yang berhasil direbut.

Meskipun sejumlah besar Mujahidin syahid, namun operasi militer tersebut berlangsung
sukses. Unit-unit tentara Serbia yang berlindung di dalam parit-parit pertahanan, keluar dan
berlarian ke dalam hutan untuk menghindari serangan pasukan Mujahidin. Sebagian yang
lainnya terpaksa menyerah setelah dikepung dan dikurung. Dengan hadiah bogem mentah
dan tendangan, Tentara Bosnia dan para Mujahidin segera meringkus dan menggiring
tentara-tentara Serbia itu untuk berbaris menuju ke desa Livade. Sesampainya di desa
Livade mereka pun diidentifikasi dan diinterogasi untuk mengetahui siapa-siapa saja unitunit tentara Serbia (VRS) yang terlibat dan bertanggung jawab dalam penghancuran masjid
di Prijedor, Banja Luka, dan Bosanska Krupa, juga siapa saja yang telah memperkosa
wanita muslim Bosnia.

Selain bertempur, para Mujahidin juga memang menegakkan hukum, dimana konsekuensi
atas kebiadaban dan kebrutalan tentara Serbia di awal perang harus dibayar. Tidak hanya
dalamOperation Miracle, setiap keberhasilan operasi ofensif merebut dan menguasai
kembali kota-kota dan desa-desa kaum muslim Bosnia, unit-unit tempur pasukan Mujahidin
bersama dengan warga muslim Bosnia secara aktif mengidentifikasi para tawanan yang
terdiri dari para tentara atau warga sipil Serbia (milisi bersenjata) yang terlibat dalam
kegiatan pembantaian dan pemerkosaan masal wanita muslim Bosnia. Mereka yang
teridentifikasi akan segera diproses secara hukum Islam (qishas). Para tawanan Serbia
yang diketahui terlibat dalam kegiatan pembantaian dan pemerkosaan masal kemudian
segera dipisahkan dari tawanan yang lain, disuruh berbaris, dan dipenggal kepalanya satupersatu tanpa ampun.

Anda mungkin juga menyukai