Anda di halaman 1dari 8

BAB IV

PATOGENESIS DAN RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI BAKTERI


Tujuan Pembelajaran
1. Bagaimana respon imun terhadap infeksi bakteri?
2. Apa saja komponen darah yang berperan dalam sistem imun?
3. Jelaskan yang dimaksud dengan vaksinasi dan macamnya!
A. RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI BAKTERI
1. Respon Innate Immunity
Innate immunity adalah imunitas alami sebagai pelindung yang selalu ada dan aktif
pada setiap spesies hewan untuk melindungi dari aksi agen infeksi. Innate immunity terdiri
dari barier fisik dan barier mikrobiologis (flora normal), komponen fase cair, dan konstituen
seluler (Hirsch & Zee, 1999).
a. Barier Fisik: Terdiri dari kulit dan permukaan mukosa.
b. Flora Normal
Dalam rangka memproduksi suatu penyakit pada permukaan mukosa,
mikroorganisme patogen harus berinteraksi dengan sel permukaan. Jika sel tersebut
telah ditempati oleh flora normal, maka tidak akan terjadi interaksi antara
mikroorganisme patogen dengan sel permukaan, sehingga tidak terjadi penyakit.
Dari mekanisme tersebut, flora normal digolongkan sebagai bagian dari innate
immunity.
Flora normal terdiri dari bakteri dan fungi (umumnya yeast). Bakteri dan
fungi ini memiliki hubungan yang unik dengan organisme yang ditempatinya (host),
hubungan ini dimulai saat fetus yang steril mulai memasuki birth canal. Bakteri dan
fungi mulai berkoloni di seluruh permukaan yang terbuka, termasuk permukaan
mukosa pencernaan, saluran pernapasan, dan saluran urogenital distal.
c. Konstituen Fase Cair (Fluid Phase Constituents)
Ada banyak molekul cair yang penting untuk pertahanan alami melawan
mikroorganisme patogenik. Diantaranya protein komplemen, lisozim, protein fase
akut, interferon, dan iron-binding protein.

Lisozim adalah enzim yang terdapat pada sekret berbagai sel tubuh. Enzim
ini memotong lapisan peptidoglikan dinding sel bakteri. Bakteri Gram-positif
mudah diserang.
Protein fase akut secara normal terdapat dalam jumlah yang sangat kecil
dalam plasma. Selama infeksi, mereka bertambah banyak. Contohnya protein Creaktif, mengenali dan mengikat Ca2+ ke permukaan berbagai spesies bakteri dan
fungi. C-reaktif berperan sebagai opsonin yang memfasilitasi fagositosis. Protein ini
juga mengaktivasi sistem komplemen.
Interferon penting untuk imunitas terhadap virus. Terdiri dari interferon alfa
dan beta, sedangkan interferon gamma termasuk imunitas yang diperoleh (acquired
immunity).
Iron-binding protein (laktoferin, transferin) ditemukan dalam fase cair
sebatas keberadaan zat besi (iron). Karena besi merupakan kebutuhan utama untuk
pertumbuhan bakteri dan fungi, protein ini sangat berperan dalam innate
immunity (Hirsch & Zee, 1999).
d. Sel-Sel Imunitas Alami
1) Sel-sel fagosit
Infeksi bakteri di dalam tubuh menyebabkan mobilisasi neutrofil
yang cepat dari tempat penyimpanannya ke area infeksi, sehingga terjadi
akumulasi neutrofil. Pergerakan neutrofil dipengaruhi oleh faktor
kemotaktis. Proses akumulasi neutrofil diawali dengan adherence neutrofil
di sistem sirkulasi ke endotelium vaskuler (margination), extravasation ke
dalam ruang antarjaringan, dan chemotaxis sel menuju ke daerah luka.
Mikroorganisme penginfeksi dicerna oleh neutrofil melalui proses
fagositosis.
Fagositosis bakteri oleh neutrofil terjadi dalam beberapa tahap.
Pertama terjadi pengenalan dan pengikatan awal. Proses ini dibantu oleh
opsonin dan/atau imunoglobulin dan komponen komplemen. Lalu
pseudopodia terbentuk mengelilingi organisme dan fusi membentuk vakuola
fagositik yang berisi organisme. Beberapa organisme dapat
mengantisipasinya, misalnya keberadaan kapsul polisakarida menyebabkan
organisme resisten terhadap fagositosis. Kapsul tersebut memiliki muatan

negatif (sama dengan muatan di permukaan sel fagosit) dan relatif hidrofilik
(membran sel fagosit relatif hidrofobik). Setelah ditelan, granula lisosom
fusi dengan membran fagosom membentuk fagolisosom.
2) Makrofag
Makrofag, selain penting dalam acquired immunity, juga penting dalam
imunitas alami. Makrofag merupakan sel mononuklear yang dibentuk di
sumsum tulang. Untuk beberapa hari setelah dilepaskan dari sumsum tulang,
ia dilepaskan ke aliran darah dalam bentuk monosit sebelum menuju ke
jaringan di mana ia akan menjadi makrofag yang fungsional. Makrofag dan
neutrofil memiliki persamaan dan perbedaan. Perbedaannya, makrofag
memiliki waktu hidup yang lebih panjang di jaringan. Makrofag distimulasi
oleh sitokin (misalnya interferon) atau produk mikrobial (misalnya
lipopolisakarida) untuk mengaktivasi nitric oxide synthase yang mengkatalis
produksi nitro oksida (NO) dari L-arginin. NO sangat toksik bagi
kebanyakan bakteri. Makrofag mirip dengan neutrofil dalam hal enzim
hidrolitik dan peptida kationik (defensins) yang dihasilkan oleh lisosom.
Neutrofil merespon stimulus dengan cepat, makrofag tidak ada sampai
terjadi proses infeksi, setelah 8-12 jam. Kadangkala neutrofil dapat
mengeliminasi organisme sebelum makrofag datang dalam jumlah besar.
3) Sel Natural Killer (NK)
Sel natural killer merupakan sel limfoid dengan karakteristik bukan sebagai
limfosit T ataupun limfosit B. Sel ini tidak memiliki reseptor sel T, CD4,
CD8, atau CD2 dan tidak memiliki imunoglobulin. Sel NK memiliki
membran reseptor CD16, suatu reseptor IgG afinitas rendah. Sel NK
berfungsi membunuh sel tumor, sel yang terinfeksi virus, dan beberapa
bakteri.
e. Inflamasi
Inflamasi adalah istilah untuk respon tubuh terhadap kelukaan. Secara patologis ada
empat tanda-tanda inflamasi: calor (panas), dolor (sakit), tumor (bengkak), dan
rubor (kemerahan). Proses ini memiliki 3 komponen: 1)meningkatnya sirkulasi ke
area, 2) meningkatnya permeabilitas kapiler, 3) kemotaksis neutrofil dan makrofag
ke area (Hirsch & Zee, 1999).

Gambar 1. Proses fagositosis: A) Bakteri diopsonisasi oleh antibodi. Antibodi mengikat


reseptor Fc pada fagosit; B) Fagosit mulai melingkupi bakteri yang menempel; C) Fagosom
berisi bakteri, fusi dengan lisosom pada sitoplasma fagosit membentuk fagolisosom; D)
Bakteri mati dan dicerna; E) Produk pembongkaran bakteri dieliminasi dari sel. Beberapa
bagian bakteri masih terdapat pada membran makrofag untuk digunakan dalam presentasi
ke sel T (Hirsch, 1999).
2. Respon Acquired Immunity
Respon ini digerakkan oleh adanya presentasi antigen terhadap sel T dan B
oleh antigen-presenting cell (APC). Antigen ditangkap oleh makrofag dari lingkungan
eksternal, misalnya bakteri yang difagosit dan didigesti di dalam vakuola fagositik, akan
diproses di fagosom dan bagian dari antigen yang tercerna akan dibawa ke permukaan.
a. Respon Antibodi
Respon acquired immunity dimulai dengan penelanan agen infeksi oleh
APC. Terjadi transportasi agen ke nodus limfatikus lokal. Pada nodus limfatikus,
antigen diproses dan dipresentasikan ke limfosit. Respon imun kemudian terjadi
secara lokal dan sistemik karena antigen dapat dibawa ke aliran darah kemudian ke
limpa.
Pengenalan awal antigen kepada host diikuti dengan pemrosesan yang tepat
dan stimulasi sel T sehingga menghasilkan pembentukkan klon-klon sel B spesifik
terhadap epitop yang berbeda pada antigen. Dibawah pengaruh sel T sitokin, sel B
akan berdiferensiasi menjadi sel plasma penghasil antibodi. Antibodi pertama yang
diproduksi adalah isotipe IgM dan akan terdapat dalam sirkulasi saat 7-10 hari
setelah inisiasi respon imun. Lalu IgG akan muncul tetapi tidak meningkat tinggi

pada respon imun primer ini. Pertemuan berikutnya dengan antigen, respon
anamnestik sekunder akan terjadi. Isotipe yang predominan adalah IgG.
Respon antibodi untuk pertahanan terhadap penyakit bakterial, tergantung
mekanisme patogenik yang terlibat, area proses infeksi, dan isotipe antibodi yang
dikeluarkan. Jika penyakitnya disebabkan oleh toksin ekstraseluler, misalnya
tetanus, maka antibodi antitoksin penting untuk menetralkan dan mengikat toksin
sebelum toksin itu mengikat area seluler lain dan menginisiasi gejala klinis.
IgG dan IgM berfungsi sebagai opsonin dan bekerja bersama sel fagosit
untuk meningkatkan proses menelan dan membunuh. IgG dan IgM juga
mengaktivasi urutan komplemen sehingga mengakibatkan lisisnya bakteri (jika
Gram negatif). Untuk bakteri yang hidup secara intraseluler fakultatif,
misalnyaListeria dan Mycobacterium, antibodi relatif inefektif untuk membunuh
dan membuang agen tersebut. Tipe infeksi ini membutuhkan respon TH1 untuk
memproduksi gamma interferon. Gamma interferon dikenal sebagai macrophage
activating factor, meningkatkan regulasi proses metabolik pada makrofag,
memungkinkan makrofag untuk membunuh mikroorganisme yang mampu
menghindari antibodi. Gamma interferon juga merupakan aktivator sel NK,
meningkatkan kemampuan sel NK untuk membunuh targetnya (Hirsch & Zee,
1999).
b. Imunitas Yang Dimediasi Sel (Cell-Mediated Immunity)
Respon ini terdiri dari dua mekanisme yang berbeda: aktivasi makrofag
(hipersensitifitas) dan sel T sitotoksik. Makrofag teraktivasi berguna untuk
menghancurkan agen infeksi intraseluler (misalnyaBrucella, Salmonella,
Mycobacterium, Rickettsia). Sel T sitotoksik melisiskan sel host dimana agen
infeksi berada (Hirsch & Zee, 1999).
B. KOMPONEN DARAH YANG BERPERAN DALAM SISTEM IMUN
Terdapat tiga tipe sel darah, eritrosit (sel darah merah) leukosit (sel darah putih) dan
platelet (trombosit). Terdapat beberapa subtipe leukosit, dilihat dari perbedaan
morofologinya dan kemampuannya.

Leukosit darah termasuk dalam pertahanan tubuh melawan infeksi mikroorganisme.


Ketika kulit dan membran mukosa secara fisik membatasi masuknya agen infeksius, tetapi
mikroba masih dapat menembus pembatas ini dan berlanjut hingga bisa terjadi infeksi
internal. Leukosit bekerja berhubungan dengan protein plasma, berkelanjutan mencari
mikroba patogen di jaringan dan darah.
Dari total leukosit, 40-75% adalah neutrofil yang bersifat neutrofilik dan
polimorfonuklear. Sel fagosit ini aktif mencerna dan menghancurkan mikroorganisme
penginvasi. Eosinofil dan basofil adalah sel polimorfonuklear yang terdapat dalam jumlah
sedikit (1-6% dari total leukosit) dan ikut serta dalam reaksi alergi hipersensitif. Sel
mononuklear, termasuk monosit dan limfosit menyusun 20-50% dari total leukosit. Sel ini
membentuk antibodi dan menjaga reaksi imun seluler melawan agen penginvasi.
Jumlah dan proporsi relatif subtipe leukosit dapat sangat bervariasi pada keadaan
penyakit yang berbeda. Misalnya jumlah neutrofil absolut seringkali meningkat selama
infeksi. Eosinofil meningkat ketika individu terekspos alergen. Limfosit menurun ketika
terkena AIDS dan selama infeksi beberapa virus lain (Rhoades, 2003).
Berbagai peranan tipe-tipe leukosit:
1. Neutrofil: memakan, menghancurkan, dan mencerna bakteri.
2. Eosinofil: menghancurkan, mencerna, dan mengontrol parasit metazoa; mencerna
kompleks antigen-antibodi; berperan dalam pengaturan respon inflamatori alergik
dan akut.
3. Basofil: mendatangkan reaksi hipersensitif lewat sekresi mediator vasoaktif dengan
degranulasi; mediasi respon inflamatori.
4. Monosit: prekursor makrofag, memakan dan mempresentasikan antigen.
5. Limfosit: respon imun yang dimediasi sel (sel T); respon imun yang dimediasi
secara humoral (sel B).

Gambar 2. Tipe-tipe leukosit dalam darah dan jaringan. Semua sel tersebut ditemukan
dalam sirkulasi kecuali makrofag, yang berdiferensiasi dari monosit teraktivasi dalam
jaringan (Rhoades, 2003).
C. VAKSINASI
Vaksinasi adalah metode untuk menghasilkan imunitas aktif melawan infeksi
spesifik melalui pemberian vaksin. Sedangkan imunisasi merupakan proses buatan untuk
menghasilkan perlawanan terhadap infeksi, biasanya menggunakan vaksin, kadang-kadang
menggunakan antisera atau antitoksin (Boden, 2005).
1.

Imunisasi Aktif
Pada metode ini, antigen (virus) diintroduksi ke dalam tubuh, baik dalam bentuk
inaktif atau dengan patogenitas yang dilemahkan tetapi masih dapat berreplikasi,
untuk memungkinkan tubuh menyusun imunitasnya sendiri.
a. Vaksin Inaktif. Menggunakan antigen dari virus yang dimatikan.
Vaksinasi booster perlu diberikan secara berulang. Beberapa vaksin inaktif yang
masih digunakan sampai sekarang antara lain influenza, rabies, dan vaksin
hepatitis A dan B. Beberapa vaksin berisi protein imunogenik utama dari virus
dan membuat perlindungan yang lebih efektif.
b. Vaksin hidup yang dilemahkan (Live attenuated vaccines). Vaksin ini lebih
efektif dan dapat bertahan lama setelah pemberian dosis tunggal, karena virus
yang terdapat dalam vaksin masih mampu berreplikasi, mampu menginduksi
respon humoral dan kadang juga seluler. Vaksin hidup lebih disukai bila

tersedia. Namun vaksin hidup memiliki kekurangan dan resiko, tidak stabil,
potensi kontaminasi dengan virus lain, dan kemungkinan mutasi balik yang
dapat menghasilkan strain patogenik.
c. Vaksin Rekombinan. Karena hanya dibutuhkan sebagian kecil dari protein viral
yang akan menginduksi imunisasi, vektor digunakan untuk mengeskpresikan
gen virus tersebut pada vaksin. Vektor yang baik memiliki virulensi rendah,
misalnya strain picornavirus, alphavirus, dan poxvirus. Beberapa vaksin
rekombinan belum disetujui penggunaannya pada manusia. Vaksin rabies berisi
vaksin rekombinan merupakan satu-satunya yang sering dipakai.
d. Vaksin DNA. Sejak DNA murni dapat dimasukkan ke dalam sel eukariotik
(transfeksi) dan informasi yang dibawanya dapat diekspresikan, DNA yang
2.

mengkode protein viral dapat digunakan sebagai material vaksin (Kayser, 2005).
Imunisasi Pasif
Tipe vaksin ini melibatkan injeksi antibodi yang hanya menggunakan
imunoglobulin manusia. Proteksi yang didapat bersifat jangka pendek dan hanya
efektif melawan virus yang menyebabkan viremia. Imunisasi pasif biasanya
dilakukan setelah terjadi penyebaran (epidemi) dan didesain untuk mencegah
penyebaran patogen yang melibatkan infeksi berisiko tinggi, misalnya untuk
melawan hepatitis B dan rabies (Kayser, 2005).

Anda mungkin juga menyukai