Anda di halaman 1dari 37

ANALISIS KUALITATIF DAN

KUANTITATIF VITAMIN A, D dan C

DISUSUN OLEH :
1.

MIKE TOBING

(J2C006034)

2.

YULIANA MANIK

(J2C007055)

3.

RIZKA SURYA PERMATA(J2C009011)

4.

MERY GULTOM

(J2C009027)

5.

PALUPI DYAH ARUMSARI

(J2C009040)

6.

PUSPITA RINI

(J2C009057)

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2011

BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Vitamin merupakan suatu molekul organik yang sangat diperlukan tubuh
untuk proses metabolisme,pertumbuhan yang normal,transportasi oksigen dan
anti oksidan. Vitamin membantu tubuh menggunakan karbohidrat, protein, dan
lemak. Vitamin-vitamin tidak dapat dibuat oleh tubuh manusia dalam jumlah
yang cukup,oleh karena itu harus diperoleh

dari bahan pangan yang

dikonsumsi. Vitamin pada umumnya dapat dikelompokkan ke dalam 2


kelompok yaitu vitamin yang larut dalm lemak seperti, vitamin A,D,E,dan
vitamin K ; serta vitamin yang larut dalam air seperti, vitamin B dan vitamin C.
Sejak vitamin pertama kali diteliti pada tahun 1897 karena adanya penyakit
beri-beri,sekarang ini semakin banyak dilakukan analisa terhadap vitamin,baik
analisa kualitatif maupun analisa kuantitatif pada vitamin.
II. Rumusan Masalah
Pentingnya vitamin dalam melangsungkan pertumbuhan normal serta
memelihara kesehatan pada tubuh makhluk hidup, namun kebanyakan vitamin
tidak dapat disintesis oleh tubuh maka banyak dilakukan analisa terhadap
vitamin, sehingga dari uraian tersebut timbul masalah sebagai berikut,
2.1.Bagaimana analisa kualitatif pada vitamin ?
2.2 Bagaimana analisa kuantitatif pada vitamin?
III. Pembatasan Masalah
Dari rumusan masalah yang telah disebutkan diatas,dapat dibatasi suatu
masalah dalam pembahasan,Bagaimana analisa kualitatif dan kuantitatif pada
vitamin khususnya viatamin A,B,dan vitamin C?

IV. Tujuan Penulisan


Tujuan dari penulisan tulisan ilmiah ini adalah :
4.1. Mengetahui metode analisa kualitatif vitamin A,B,dan vitamin C.
4.2. Mengetahui metode analisa kuantitatif vitamin A,B,dan vitamin C.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Vitamin
Vitamin dikenal sebagai suatu kelompok senyawa organic yang tidak
termasuk dalam golongan protein, karbohidrat, maupun lemak, dan terdapat
dalam jumlah yang kecil dalam bahan makanan tetapi sangat penting
peranannya bagi beberapa fungsi tertentu tubuh untuk menjaga kelangsungan
kehidupan serta pertumbuhan. Vitamin merupakan suatu molekul organik yang
sangat diperlukan tubuh untuk proses metabolisme,pertumbuhan yang normal,
transportasi oksigen dan anti oksidan.
II. Klasifikasi Vitamin
Vitamin pada umumnya dapat dikelompokkan menjadi 2 golongan utama,
yaitu vitamin yang larut dalam lemak dan vitamin yang larut dalam air. Vitamin
yang larut dalam lemak yaitu vitamin A,D,E dan K, sedangkan vitamin yang
larut dalam air yaitu vitamin B dan C. Vitamin yang larut dalam lemak akan
disimpan oleh tubuh dalam hati, atau jaringan-jaringan lemak, karena bersifat
tidak larut dalam air maka vitamin ini tidak dikeluarkan dari dalam tubuh,
sehingga akan menumpuk daalm tubuh bila dikonsumsi dalam jumlah banyak.
Vitamin yang larut dalam air bergerak bebas dalam badan, darah, dan limpa,
karena bersifat larut dalam air maka vitamin ini mudah rusak oleh pengolahan
dan mudah hilang karena tercuci atau terlarut oleh air dan akhirnya keluar dari
bahannya.
III. Vitamin A
Vitamin A merupakan vitamin yang larut dalam lemak. Merupakan jenis
vitamin yang aktif dan terdapat dal beberapa bentuk :
1.

Vitamin A alkohol (retinol)

2.

Vitamin A aldehida (retinal)

3.

Vitamin A asam (asam retinoat)

4.

Vitamin A ester (ester retinil)

Vitamin A pada umumnya stabil terhadap panas, asam, dan alkali, namun
mudah teroksidasi oleh udara dan akan rusak bila dipanaskan pada suhu tinggi
bersama udara, sinar, dan lemak yang sudah tengik. Vitamin A terdapat dalam
bentuk provitamin yaitu karoten dalam tumbuhan. Vitamin A berfungsi dalam
proses melihat, yaitu pada proses fotokimia pada retina, ekspresi gen,
reproduksi, dan respon imun tubuh. Sayuran dan buah-buahan yang berwarna
hijau atau kuning biasanya banyak mengandung karoten seperti wortel, ubu
jalar, dan labu kuning. Kekurangan vitamin akan menyebabkan seseorang tidak
dapat melihat dengan jelas dalam cahaya redup (rabun senja).
IV. Vitamin B
Vitamin B termasuk dalam kelompok vitamin yang disebut vitamin B
kompleks yang meliputi tiamin (vitamin B1), riboflavin (vitamin B2), niasin
(asam nikotinat,niasinamida), piridoksin (vitamin B6), asam pantotenat, biotin,
folasin (asam folat dan turunan aktifnya), serta vitamin B12(sianokobalmin).
Tiamin (vitamin B1) merupakan vitamin yang larut dalam air yang
merupakan kofaktor enzim yang berperan dalam metabolisme karbohidrat dan
asam amino. Riboflavin (vitamin B2) yang berperan dalam membantu
metabolisme tubuh. Niasin berperan untuk metabolisme energi. Asam
pantotenat yang berperan dalam metabolisme asam lemak. Biotin berpartisipasi
dalam proses karboksilasi, dekarboksilasi, dan reaksi deaminasi, sintesis asam
lemak,dan dalam reaksi fiksasi CO2 pada proses perubahan perurat menjadi
oksaloasetat, serta berperan pada siklus Krebs. Folasin berperan dalam
biosintesis dan pemindahan satu satuan karbon seperti gugus metal, sehingga
dapat terjadi sintesis metionin, kolina, dan penambahan gugus metil pada
pirimidina sehingga terbentuk timin, selain itu juga berperan dalam proses
oksidasi fenilanin menjadi tirosin. Vitamin B6 (piridoksin) berperan dalam
metabolisme protein dan glikogen. Vitamin B12 (sianokobalamin) yang
berperan dalam metabolisme protein dan sel-sel darah.

V. Vitamin C
Vitamin C dapat berbentuk sebagai asm L-askorbat dan asam Ldehidroaskorbat. Asam askorbat sangat mudah teroksidasi secara reversible
menjadi asam L-dehidroaskorbat yang dapat mengalami perubahan lebih lanjut
menjadi asam L-diketogulonat yang tidak memiliki keaktifan vitamin C lagi.
Dari semua vitamin yang ada, vitamin C merupakan vitamin yang paling
mudah rusak. Vitamin C mudah larut dalam air namun mudah teroksidasi dan
proses tersebut dipercepat dengan adanya panas, sinar, alkali, enzim, oksidator,
serta oleh katalis tembaga dan besi. Oksidasi akan terhambat bila vitamin C
dibiarkan dalam keadaan asam, atau pada suhu rendah. Peranan vitamin C
adalah dalam pembentukan kolagen interseluler, proses hidroksilasi dua asam
amino prolin dan lisin menjadi hidroksi prolin dan hidroksilin, serta pada
respirasi sel.

BAB III
PEMBAHASAN
I.

Analisis vitamin A
I.1 Analisis kualitatif

Dalam uji kulaitatif sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian


ditambahkan tetes demi tetes kloroform hingga larut. Kemudian
ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrid (untuk menghilangkan air) dan 1
mL larutan SbCl3 (kondisi fresh). Apabila dianalisis menggunakan
spektrometri panjang gelombang maksimum 325 sampai 328 nm
I.2 Analisis kuantitatif
I.2.1 Metode spektrofotometri
Spektrum absorbsi ultraviolet vitamin A dan vitamin A
secara asetat mempunyai absorbansi maksimal pada panjang
gelombang antara 325 sampai 328 nm dalam berbagai pelarut.
Larutan vitamin a dalam isopropanol absorbansinya diukur pada
maks dan pada dua titik, yakni satu disebelah kanan maks dan
satunya lagi pada sebelah kiri maks. Absorbansi pada maks dikoreksi
terhadap senyawa penggangu dengan menggunakan formula
koreksi karena senyawa-senyawa ini akan ikut menyerap pada
daerah UV. Beberapa penggangu, terutama pada minyak ikan
adalah vitamin A2, kitol, anhidro vitamin A, dan asma polien. Pada
vitamin A sintetik senyawa penganggu adalah senyawa-senyawa
antar ( intermediet). Dengan demikian senyawa penganggu ada
vitamin A sintetik dengan minyak ikan yang berbeda.
Prosedur penetapan vitamin A secara spektrofotometri:
Penetapan dilakukan secepat mugkin, terlindung dari
cahaya, dan terlindung dari senyawa oksidator. Sebelum dilakukan
penetapan kadar, skala spektrofotometer diperiksa terlebih dahulu.
Sebagai pedoman dapat digunakan garis raksa pada 313,16 nm dan
334,5 nm serta garis hidrogen pada 379,7 nm dan 486,1 nm.
Ketepatan absorbansi yang telah dikoreksi lebih rendah jika
dibandingkan dengan absorbanasi yang diamati langsung dan
digunakan dalma perhitungan. Karena itu pengukuran absorbansi
membutuhkan perhatian khusus dan sekurang-kurangnya harus
dilakukan dua kali penetapan.
a. Akseroftol dalam bentuk ester

Zat yang tidak larut dalam sikloheksan dimurnikan dengan


cara penyaringan atau cara lain yang tidak menggunakan cara
penyabunan. Jika cara pemurnian tersebut tidak dilakukan, maka
penetapan dilakukan menurut cara yang tertera dalam akseforol
lain.
Cara penetapan akseroftol murni adalah sebagai berikut:
Sejumlah sampel atau sampel yang sudah dimurnikan
ditimbang secara saksama lalu dilarutkan dalam sikloheksan
secukupnya hingga diperoleh larutan yang mengandung antara 9
SI sampai 15 SI tiap mL dan ditetapkan panjang gelombang
maksimalnya.

Absorbansi

larutan

diukur

pada

panjang

gelombang yang tertera dalam daftar berikut dan dihitung


sebagai absorbansi relatif terhadap absorbansi pada 328 nm.
Panjang gelombang

Absorbansi relatif

300 nm

0,550

316nm

0,907

328nm

1,000

340nm

0,811

360nm

0,299

Jika panjang gelombang absorbansi maksimal terletak antara


326 nm dan 329 nm, tetapai absorbansi relatif yang terbaca lebih
besar dari 0,002 dari harga yang tertera dalam daftar, maka
dihitung absorbansi pada 328 nm yang dikoreksi dengan rumus:
A328 nm (kor) = 3,52( 2A 328 nm A316 nm A340 nm)

Jika harga absorbansi yang telah dikoreksi, [A 328

nm

(kor)]

terletak dalam batas 3 % dan harga absorbansi yang belum

dikoreksi maka perhitungan dilakukan dengan menggunakan

harga absorbansi yang belum dikoreksi.


Jika harga absorbansi yang telah dikoreksi terletak antara 85%
sampai 97% dari harga yang belum dikoreksi, maka perhitungan
dilakukan dengan menggunakan harga absorbansi yang belum

dikoreksi.
Jika harga absorbansi yang telah dikoreksi terletak lebih kecil
dari 85% dan lebih besar daari 103% dari harga yang belum
dikoreksi atu jika panjang gelombang absorbansi maksimal tidak
terletak antara 326 nm sampai 329 nm, maka penetapan kadar
dilakukan menurut cara yang tertera pada akseroftol lain.
b. Akseroftol lain
Cara penentuan afseroftol lain: sejumlah zat yang ditimbang
secara saksama (mengandung tidak kurang dari 500 SI
akseroftol dan tidak lebih dari 1 gram lemak), dicampur dengan
30 ml etanol mutlak dan m mL kalium hidroksida 50 %.
Absorbansi larutan diukur pada 300 nm, 310 nm, 325 nm dan
334 nm. Selanjutnya dil;akukan penentuan panjang gelombang

maksimal. Perhitungan potensi dilakukan sebagai berikut:


Jika panjang gelombang maksimal terletak antar 323 nm dan

327 nm dan perbandingan absorbansi pada 300 nm terhadap absorbansi


pada 327 nm tidak lebih dari 0,73, maka absorbanasi yang telah dikoreksi
[A325 nm(kor)] dihitung dengan rumus:
A325 nm (kor) = 6, 815 A325 nm - 2,555 A310 nm 4,26 A334 nm
Potensi dalam SI tiap zat yang diperiksa dihitung dengan rumus:
A325 nm (kor) x 18.000

Jika absorbansi yang telah dikoreksi terletak dalam batas 3 %

dari harga absorbansi yang belum dikoreksi, perhitungan dilakukan dengan


menggunakan harga absorbansi yang belum dikoreksi.

Jika panjang gelombang absorbansi maksimal tidak terletak


antara 325 nm dan 327 nm atau jika perbandinganabsorbansi pada 300 nm

terhadap absorbansi pada 327 nm lebih dari 0,73, maka yang tidak
tersabunkan dari zat yang diperiksa harus dimurnukan dengan cara
kromatorafi.
1.2.2 Metode Kolorimetri
a. Metode Carr-price
Metode ini berdasarkan atas reaksi akseroftol dengan antimon
triklorida anhidrat dalam kloroform yang menghasilkan warna
biru. Reaksi ini terjadi antar antimon triklorid dengan rantai tidak
jenuh dari akseroftol. Karoten, asam poliena dan beberapa
senyawa dalam minyak ikan mengahasilkan warna biru juga.
Warna yang terjadi intensitasnya cepat maksimun tetapi juga
cepat pucat.
b. Pengubahan akseroftol menjadi anhidroakseroftol
Akseroftol mudah diubah menjadi anhidroakseroftol dengan
bantuan sejumlah kecil asam mineral atau asam organik kuat.
Pada metode Budowski dan bondi, akseroftol diubah menjadi
anhidroakseroftol dalam pelarut benzen dengan katalisator asam
toluen p-sulfonat pada temperatur kamar. Kenaikan absorbansi
pada 399nm merupakan hasil dehidrasi yang berbanding langsung
dengan

jumlah

akseroftol

yang

terkandung.pengukuran

absorbansi pada 358 nm, 377 nm, dan 399 nm dalam benzen
merupakan cara yang baik untuk mengetahui kemurnian
akseroftol yakni dengan melihat bahwa A

/ A377

399 nm

nm

sebesar

0,868 dan A 358 nm / A 377 nm sebesar 0,692.


1.2.3

Metode Kromatografi
Aktivis isomer vitamin A cukup berbeda sehingga untuk
pemisahannya dikembangkan dengan kolom mikrobore. Sampel
( 1,0- 10,0 gram) dihomogenkan. Sebanayk 30 mL air ditambahkan
ke dalam sampel (jika sampelnya padat). Saponifikasi dilakukan
dengan mencampur 40 mL sampel yang telah dihomogenkan
dengan 12 mL larutan KOH 60%; 80 mL etanol mutlak; 0,5 mL

terbutilhidroksi toluen- etanolik 1%; dan 0,5 gram asam askorbat


untuk menghindari terjadinya oksidasi. Sampel diaduk pada suhu
kamar selama 16 jam. Setelah selesai saponifikasi, solut diencerkan
samapi 250 mL dengan air etanol untuk memperoleh suatu rasio
etanol:air(1:1 v/v). Sebanyak 20 mL aliquot ditambahkan ke dalam
cartidge Kiselguhr dan setelah 20 menit diekstraksi dengan 50 mL
petroleumeter ringan. Eluat selanjutnya diuapkan dan dilarutkan
kembali dengan 2-50 mL isooktana (tergantung pada konsentrasi
Vitamin A

dalam sampel mula-mula).isomer gometri retinol

(vitamin A)dipisahkan dengan kolom pengaman ( 7 x 2 mm i.d)


dan kolom analisis (100x 2mm i.d) yang keduanya berisi silika
ggel dengan ukuran partikel 3 mikron. Sebagai eluen adalah heksan
yang mengandung 1-oktanol dalam konsentrasi rendah. Karena
panjang gelombang absorbsi maksimun isomer-isomer ini berbeda
maka digunakan detektor photodiode array(PAD). Metode ini telah
sukses memisahkan 7 isomer vitamin A yakni: 11- cis; 11,13-di-cis:
13-cis;9,13-di-cis; 9-cis ;7-cis; dan semua trans-retinol dengan
waktu retensi relatif terhadap trans-retinol masing-masing sebesar
0,510; 0,568; 0,672; 0,740; 0,877;0,924; dan 1,000.
II. Analisis Vitamin B
Vitamin B komplek merupakan thiamin, riboflafin, pereduksi (vitamin B 6),
asam pantofenat, broflasin serta vitamin B12. Struktur dari vitamin B kompleks
adalah sebagai berikut:

Vitamin B2

Vitamin B1

Vitamin B5

Vitamin B6
II.1

Analisis Vitamin B1
Dalam makanan, vitamin B1 (Tiamin HCl) dapat ditemukan dalam
bentuk bebas atau dalam bentuk kompleks dengan protein atau kompleks
protein-fosfat.
Tiamin hidroklorid dalam keadaan kering cukup stabil dan pada
pemanasan 100oC selama 1 jam tidak berkurang potensinya. Larutan
tiamin hidroklorid dalam air dan suasana basa dapat disterilisasi pada
110oC, akan tetapi jika pH larutannya diatas 5,5 maka akan cepat
terhidrolisis. Satu gram tiamin hidroklorida kristal setara dengan 333,000
SI. Tiamin mononitrat padat lebih stabil daripada tiamin hidroklorida.
II.1.1 Uji kuantitatif Vitamin B1 :
Metode ini dilakukan dengan cara memasukkan sedikit
serbuk (sampel) ke dalam tabung reaksi. Kemudian tambhkan 3
tetes NaOH 30%, 3 tetes K3Fe(CN)6 0,6% dan 1 mL isobutanol.
Kemudian dikocok hingga bercampur rata. Kemudian perhatikan
larutan campuran tersebut di bawah lampu ultraviolet. Apabila hasil
campuran tersebut menjadi berwarna biru maka uji positif pada
sampel.
2.1.2 Uji Kualitatif Vitamin B1 :
1. Metode Spektrofluorometri

Tiamin dalam makanan dan dalam sediaan farmasi harus disari


lebih dahulu secara kuantitatif yang biasanya dengan mendidihkannya
dalam asam encer kemudian tiamin dibebaskan dari persenyawaan
kompleks dengan enzim fosfatase. Untuk sampel yang mengandung
protein diperlukan enzim proteolitik seperti pepsin. Tiamin bebas perlu
dimurnikan dari senyawa pengganggu dengan mengalirkannya melalui
zeolit (suatu penukar ion anorganik) sehingga tiamin akan tertinggal
dalam zeolit sedangkan senyawa lain seperti reduktor, asam, dan
senyawa netral akan keluar dari kolom. Kemudian tiamin dielusi dari
zeolit dengan kalium klorida yang diasamkan.
Kandungan vitamin B1 dalam susu dilakukan dengan metode ini.
Vitamin B1 dioksida dengan kalium ferisianida dalam suasana basa
membentuk tiokrom, dan diukur fluoreseneinya. Intensitas fluoresensi
sebanding dengan kadar vitamin B1.
Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis vitamin B1 dalam susu

adalah sebagai berikut:


Resin untuk kromatografi, disiapkan dengan menambah 50 gram BioRex dengan 300mL HCl 2 N, diaduk selama 15 menit, disaring, dan
diulangi lagi dengan menambahkan 300 mL H 2O, diaduk selama 1
menit, disaring, dan diulangi lagi sampai diperoleh pH H2O antara 4,5
7,0. Akuades (H2O) harus bebas dari suspensi resin ketika didiamkan
selama 15 detik. Jika terbentuk suspensi resin, pencucian diulang

hingga diperoleh H2O sampai jernih.


Larutan natrium asetat 2 N, disiapkan dengan melarutkan 272 gram

natrium asetat trihidrat dalam air secukupnya hingga 1 L.


Indikator pH brom kresol hijau dibuat dengan melarutkan 100 mg
indikator dalam 2,8 mL NaOH 0,05 N dengan penghangatan. Larutan
indikator diencerkan dengan H2O sampai 200 mL. Kisaran warna

indikator: hijau (4,0) biru (5,8).


Indikator pH bromofenol biru dibuat dengan melarutkan 100 mg
indikator dalam 3,0 mL NaOH 0,05 N dengan penghangatan. Larutan
indikator diencerkan dengan H2O sampai 250 mL. Kisaran warna
indikator: kuning (3,0) biru (4,6).

Larutan enzim 10% (b/v) dibuat dengan melarutkan 10 gram enzim


diastase dalam akuades dan mengencerkannya sampai 100,0 mL.

Larutan ini dibuat baru setiap hari.


Larutan kalium klorida netral 25% (b/v), dibuat dengan melarutkan 250

gram KCl dalam air secukupnya hingga 1 L.


Larutan kalium klorida-asam, dibuat dengan menambahkan 8,5 mL HCl

pada 1 L larutan kalium klorida di atas.


Larutan kalium ferisianida 1%, dibuat dengan melarutkan 1 gram
K3Fe(CN)6 dalam air secukupnya lalu mengencerkannya sampai 100

mL. Larutan ini dibuat baru tiap hari.


Pereaksi pengoksidasi disiapkan dengan mencampur 4,0 mL larutan
kalium ferisianida 1% dengan NaOH 15% secukupnya hingga 100 mL.

Pereaksi ini digunakan dalam waktu 4 jam setelah pembuatan.


Isobutil alkohol.
Larutan stok kinin sulfat, dibuat dengan melarutkan 10 mg kinin sulfat
dalam asam sulfat 0,1 N secukupnya hingga 1 L. Larutan stok ini

disimpan dalam labu berwarna merah atau kuning.


Larutan baku kinin sulfat dibuat dengan mengencerkan 5,0 mL larutan
stok kinin sulfat di atas dengan H 2SO4 0,1 N sampai 200 mL. Larutan

baku ini disimpan dalam labu berwarna merah atau kuning.


Alkohol yang diasamkan dibuat dengan mengencerkan 250 mL alkohol
dengan H2O sampai 1 L. Larutan ini ditambah HCl tetes demi tetes

untuk mengatur pH-nya antara 3,54,3.


Larutan asam asetat 3%, dibuat dengan mengencerkan 3 mL asam asetat
glasial dengan H2O sampai 100 mL.

Prosedur penetapan kadar vitamin B1 secara spektrofluorometri:


a. Penyiapan kolom Kromatografi
Kolom kromatografi disiapkan dengan cara memasukkan glass wool
dari atas kolom sampai ujung kolom. Dengan hati-hati, suspensi resin
dimasukkan dalam H2O sampai ketinggian 10 cm. Cairan dijaga untuk
tidak berada di bawah permukaan resin selama proses adsorbsi.
b. Penyiapan larutan baku Tiamin HCl

i.

Larutan baku stok (induk)- 100 g/mL, dibuat dengan menimbang


secara seksama 50,0 mg baku tiamin HCl yang telah dikeringkan
dalam desikator (Tiamin HCl bersifat higroskopik, oleh karena itu
berhati-hatilah selama menimbang untuk menghindari penyerapan
lembab) lalu memindahkannya dalam labu takar 500 mL. Tiamin
HCl dilarutkan dalam larutan alkohol 20% yang telah diasamkan
dengan

HCl

untuk

mengatur

pH

larutan

3,54,3

lalu

mengencerkannya sampai batas tanda dengan alkohol yang telah


diasamkan. Larutan disimpan dalam botol berwarna kuning atau
ii.

merah dalam refigerator (Larutan ini stabil dalam beberapa bulan).


Larutan antara 10 g/mL, dibuat dengan mengencerkan 100,0 mL
larutan stok (induk) 100 g/mL diatas sampai 1 L dengan alkohol
20% yang telah diasamkan dengan HCl untuk mengatur pH antara
3,54,3. Larutan disimpan dalam botol tertutup yang kedap

iii.

terhadap cahaya pada suhu 10oC.


Larutan baku kerja- 1 g/mL, dibuat dengan mengambil 10,0 mL
larutan baku antara lalu ditambah 50 mL HCl 0,1 N. Larutan
selanjutnya didigesti selama 30 menit pada penangas uap pada suhu
95100oC atau dalam penangas air mendidih selama 30 menit
dengan sesekali diaduk. Larutan didinginkan dan diencerkan
sampai 100 mL dengan HCl 0,1 N. Larutan ini dibuat baru setiap

iv.

kali pengujian.
Larutan baku kerja untuk sampel-sampel yang mengandung tiamin
bebas, dibuat dengan mengencerkan 20,0 mL larutan kerja (iii)
sampai 100 mL dengan HCl 0,1 N. Larutan ini ditandai sebagai
larutan baku uji dan dilanjutkan secara langsung dengan proses

v.

oksidasi.
Larutan baku kerja untuk sampel-sampel yang mengandung tiamin
pirofosfat, dibuat dengan cara: mengambil 20,0 mL larutan baku
kerja lalu dilanjutkan dengan proses hidrolisis enzim dimulai
dengan larutan diencerkan dengan 65 mL. Setelah selesai
dilanjutkan dengan pemurnian hingga diperoleh larutan 25,0 mL.

Larutan ini ditandai sebagai larutan baku uji (mengandung tiamin


HCl 5 g) dan dilanjutkan dengan proses oksidasi.
c. Penyiapan sampel (ekstraksi)
i.
Untuk sampel-sampel yang mengandung tiamin bebas (tidak

digunakan untuk sampel yang mengandung tiamin pirofosfat).


Untuk sampel kering atau setengah kering yang mengandung
senyawa basa dalam jumlah kecil, penyiapan sampelnya: ditimbang
sejumlah sampel secara seksama yang setara dengan 15 g tiamin
HCl lalu dimasukkan dalam labu yang berukuran sesuai dan
ditambah sejumlah mL HCl 0,1 N sebanyak 10 kali berat sampel
kering dalam gram. Campuran diaduk hingga sampel terdispersi
dalam cairan. Jika terjadi gumpalan, larutan digojog kuat hingga
semua partikel padat bersentuhan dengan cairan. Tepi labu dicuci
dengan HCl 0,1 N. Larutan selanjutnya didigesti selama 30 menit
pada penangas uap pada suhu 95100oC dengan seringkali diaduk
lalu didinginkan. Jika gumpalan masih terjadi, campuran digojog
hingga partikel terdispersi. Larutan selanjutnya diencerkan dalam
labu takar dengan HCl 0,1 N hingga mengandung 0,2 g/mL.

Larutan ini ditandai sebagai larutan sampel uji.


Untuk sampel kering atau setengah kering yang mengandung
senyawa basa dalam jumlah cukup tinggi, penyiapan sampel
dilakukan dengan cara: ditimbang sejumlah sampel secara seksama
yang setara dengan 15 g tiamin HCl, dimasukkan dalam labu yang
berukuran sesuai, ditambah HCl encer dalam sampel hingga pHnya 4, ditambah sejumlah volume H 2O hingga volumenya 10 kali
berat sampel kering dalam gram. Campuran ditambah 1 mL HCl 10
N tiap 100 mL cairan. Jika terjadi gumpalan, larutan digojog kuat
hingga semua partikel padat bersentuhan dengan cairan. Tepi labu
dicuci dengan HCl 0,1 N. Larutan selanjutnya didigesti selama 30
menit pada penangas uap pada suhu 95100oC dengan seringkali
diaduk lalu didinginkan. Jika gumpalan masih terjadi, campuran
digojog hingga semua partikel terdispersi. Larutan selanjutnya

diencerkan dalam labu takar dengan HCl 0,1 N hingga


mengandung 0,2 g/mL. Larutan ini ditandai sebagai larutan

sampel uji.
Untuk sampel cair, penyiapan sampel dilakukan dengan cara:
diambil sejumlah tertentu sampel secara seksama yang setara
dengan 15 g tiamin HCl, dimasukkan dalam labu yang berukuran
sesuai. pH larutan diatur dengan penambahan HCl atau NaOH
hingga pH 4. Larutan selanjutnya ditambah sejumlah volume
H2O hingga volumenya 10 kali berat sampel dalam gram. Larutan
ditambah 1 mL HCl 10 N tiap 100 mL cairan lalu diaduk hingga
sampel terdispersi dalam cairan. Jika terjadi gumpalan, larutan
digojog kuat. Tepi labu dicuci dengan HCl 0,1 N. Larutan
selanjutnya didigesti selama 30 menit pada penangas uap pada suhu
95100oC dengan seringkali diaduk lalu didinginkan, dan jika
gumpalan masih terjadi campuran digojog. Larutan diencerkan
dalam labu takar hingga mengandung 0,2 g/mL. Larutan ini

ii.

ditandai sebagai larutan sampel uji.


Untuk sampel-sampel yang mengandung tiamin pirofosfat,
penyiapan sampelnya dilakukan dengan cara: ditimbang sejumlah
sampel secara seksama yang setara dengan 15 g tiamin HCl,
dimasukkan ke dalam labu yang berukuran sesuai lalu ditambah
sejumlah mL HCl 0,1 N sebanyak 10 kali berat sampel kering
dalam gram. Larutan diaduk hingga sampel terdispersi dalam
cairan. Jika terjadi gumpalan, larutan digojog kuat hingga semua
partikel padat bersentuhan dengan cairan. Tepi labu dicuci dengan
HCl 0,1 N. Larutan didigesti selama 30 menit pada penangas uap
pada suhu 95100oC dengan seringkali diaduk lalu didinginkan.
Jika gumpalan masih terjadi, campuran digojog hingga partikel
terdipersi. Larutan diencerkan dalam labu takar dengan HCl 0,1 N
hingga mengandung 0,20,5 g/mL. Larutan ini ditandai sebagai

larutan sampel uji. Proses selanjutnya adalah dengan hidrolisis


enzim dan dengan pemurnian.
d. Hidrolisis dengan Enzim
Sejumlah tertentu aliquot yang mengandung 1025 g tiamin
diambil dan diencerkan dengan 65 mL HCl 0,1 N. pH masing-masing
larutan diatur 4,0-4,5 dengan penambahan larutan natrium asetat 2 N
menggunakan indikator bromkresol hijau. Titik akhir ditandai dengan
perubahan warna biru yang tetap. Larutan selanjutnya ditambah 5 mL
larutan enzim, dicampur, diinkubasikan pada suhu 4550 oC selama 3
jam, lalu didinginkan, dan pH-nya diatur 3,5 menggunakan indikator
bromofenol biru. Larutan diencerkan dengan HCl 0,1 N sampai 100 mL
dan disaring melalui kertas saring yang tidak menyerap tiamin.
e. Pemurnian
Sejumlah aliquot larutan sampel yang telah disaring yang
mengandung 5 g tiamin dilewatkan pada kolom kromatografi yang
telah dipersiapkan. Kolom kromatografi dicuci 3 kali masing-masing
dengan 5 mL H2O yag hampir mendidih. Permukaan cairan jangan
dibiarkan berada di bawah permukaan resin. Tiamin dielusi dari resin
dengan melewatkan 5 kali masing-masing 4,04,5 mL larutan KClasam yang hampir mendidih (>60oC) melalui kolom. Permukaan cairan
jangan dibiarkan berada di bawah permukaan resin. Eluat yang
diperoleh dari hasil hidrolisis dan pemurnian larutan baku dikumpulkan
dalam labu takar 25 mL, didinginkan, dan diencerkan dengan larutan
KCl-asam sampai batas volume. Larutan ini ditandai sebagai larutan
sampel uji.
f. Oksidasi Tiamin menjadi Tiokrom
i.
Untuk larutan baku uji, oksidasi tiamin menjadi tiokrom dilakukan

dengan cara:
Pada masing-masing 2 tabung 40 ml, ditambah 1,5 gram NaCl dan
5 mL larutan baku uji (larutan dijaga dari cahaya karena akan

merusak tiokrom).
Larutan digoyangkan ringan hingga terbentuk gerakan memutar
dalam cairan dan segera ditambah 3 mL pereaksi pengoksidasi

dengan pipet (gunakan pipet yang mampu mengeluarkan 3 mL

pereaksi pengoksidasi dalam waktu 1-2 detik).


Pipet dipindahkan dan tabung sekali lagi digoyangkan supaya

bercampur.
Dengan segera, larutan ditambah 13 mL isobutanol lalu ditutup

tabungnya.
Larutan selanjutnya digojog dengan kuat selama 2 menit.
Pada salah satu tabung, dilakukan juga baku blanko dengan
mengganti 3 mL pereaksi pengoksidasi dengan 3 mL larutan NaOH
15%. Tabung disentrifugasi dengan kecepatan rendah sampai

ii.

diperoleh supernatan yang jernih dari masing-masing tabung.


Sebanyak 10,0 mL ekstrak isobutanol (lapisan atas) dipipet untuk

selanjutnya diukur fluoresensinya.


Untuk larutan sampel uji
Pada masing-masing 2 tabung 40 mL, ditambah 1,5 gram NaCl dan
5 mL larutan sampel uji (larutan dijaga dari cahaya karena cahaya

akan merusak tiokrom).


Tabung digoyangkan ringan hingga terbentuk gerakan memutar
dalam cairan dan dengan segera, larutan ditambah 3 mL pereaksi
pengoksidasi dengan pipet (digunakan pipet yang mampu

mengeluarkan 3 mL pereaksi pengoksidasi dalam waktu 1-2 detik).


Pipet dipindahkan dan tabung digoyangkan sekali lagi supaya

bercampur.
Dengan segera, larutan ditambah 13 mL isobutanol lalu ditutup

tabungnya dan digojog kuat selama 2 menit.


Pada salah satu tabung, dilakukan juga sampel blanko dengan
mengganti 3 mL pereaksi pengoksidasi dengan 3 mL larutan NaOH

15%.
Tabung disentrifugasi dengan kecepatan rendah sampai diperoleh

supernatan yang jernih dari masing-masing tabung.


Sebanyak 10,0 mL ekstrak isobutanol (lapisan atas) dipipet untuk
selanjutnya diukur fluoresensinya.

g. Pengukuran fluoresensi tiokrom


Fluoresensi tiokrom diukur pada eksitasi 365 nm dan emisi 435
nm. Reprodusibilitas fluorometer diatur dengan menggunakan larutan
baku kinin sulfat.
Fluoresensi ekstrak isobutanol yang berasal dari larutan sampel uji
yang ditambah pereaksi pengoksidasi (I) diukur, selanjutnya diukur
juga fluoresensi ekstrak isobutanol yang berasal dari larutan sampel

uji yang ditambah 3 mL larutan NaOH 15 % (b).


Fluoresensi ekstrak isobutanol yang berasal dari larutan baku uji
yang ditambah pereaksi pengoksidasi (S) diukur, selanjutnya diukur
juga fluoresensi ekstrak isobutanol yang berasal dari larutan baku

uji yang ditambah 3 mL larutan NaOH 15 %


h. Perhitungan
( I b )
g Tiamin HCl tiap 5mL larutan uji =
Sd
2. Metode Kolorimetri
Dasar metode ini adalah reaksi antara tiamin dengan 6-aminotimol
yang telah didiazotasi. Hasil peruraian tiamin tidak menghasilkan warna
dengan pereaksi ini. Dekstrosa, laktosa, maltosa, sukrosa, tepung,
kasein, gelatin, pepton, urea, gliserofosfat dan logam berat, dengan
kadar 100 kali lebih besar dari kadar tiamin tetap tidak mengganggu.
Riboflavin, asam nikotinat, nikotinamid, piridoksin, asam pantotenat,
guanin, adenin, triptopan, tirosin dan histidin yang terdapat dengan
kadar 20 kali lebih besar daripada kadar tiamin juga tidak mengganggu.
Pereaksi 6-aminotimol dibuat dengan melarutkan 50 mg 6aminotimol dalam 50 mL asam klorida 0,35% dan mengencerkannya
dengan air secukupnya hingga 200 mL.

Prosedur penetapan kadar tiamin murni dengan pereaksi 6aminotimol:


Sejumlah 5,0 pereaksi 6-aminotimol didinginkan dengan es, ditambah
2,0 mL natrium nitrit 0,1%, lalu dicampur dan didiamkan selama 1

menit. Larutan selanjutnya ditambah 5,0 mL natrium hidroksida 20%


dan diencerkan dengan air secukupnya sampai 20,9 mL. Sejumlah 1,0
pereaksi ini ditambah 1,0 larutan sampel. Setelah 5 menit larutan
diencerkan dengan air untuk mendapatkan absorbansi yang sesuai.
Digunakan larutan blanko.
Jika larutan sampel telah berwarna atau keruh, dilakukan penetapan
seperti diatas kemudian warna yang terjadi disari dengan campuran
pelarut yang terdiri atas 90 mL toluen yang telah didestilasi ulang
(redestilasi) dan 10 mL n-butanol. Lapisan pelarut organik dipisahkan
dan ditambah 1 gram natrium sulfat anhidrat untuk mengeringkan
pelarut lalu diukur absorbansinya.
3. Metode Alkalimetri
Adanya hidroklorida pada tiamin hidroklorida dapat dititrasi
dengan natrium hidroksida 0,1 N menggunakan indikator brom timol
biru.
Prosedur penetapan kadar tiamin hidroklorida dengan metode
alkalimetri:
Lebih kurang 500 mg tiamin hidroklorida yang ditimbang seksama,
dilarutkan dalam 75 mL air bebas CO2 lalu dititrasi dengan NaOH 0,1 N
menggunakan indikator brom timol biru. Tiap mL NaOH 0,1 N setara
dengan 33,70 gram tiamin hidroklorida.
Berat ekivalen (BE) tiamin hidroklorida pada penetapan secara
alkalimetri adalah sama dengan berat molekulnya (BM). Hali ini
disebabkan karena tiap 1 mol tiamin hidroklorida bereaksi dengan 1
mol NaOH.
Kadar Tiamin HCl =

V NaOH x N NaOH x BE
x 100
mg sampel

4. Metode Titrasi Bebas Air (TBA)

Tiamin hidroklorida dalam asam asetat glasial dapat dititrasi


dengan asam perklorat dengan sebelumnya ditambah raksa (II) asetat
berlebihan. Kedua atom nitrogen dalam tiamin hidroklorida tertitrasi
sehingga berat ekivalennya setengah dari berat molekulnya. Sebagai
indikator dapat digunakan p-naftol benzen, merah kuinaldin, atau
dengan kristal violet.
Prosedur penetapan kadar tiamin dengan metode TBA:
Lebih kurang 250 mg tiamin hidroklorida yang ditimbang seksama
ditambah 10 mL asam asetat glasial, 10 mL raksa (II) asetat 5% dalam
asam asetat glasial, dan ditambah 20 mL dioksan. Selanjutnya larutan
dititrasi dengan asam perklorat 0,1 N menggunakan indikator 3 tetes
kristal violet sampai warna biru. Tiap mL asam perklorat 0,1 N setara
dengan 16,86 mg tiamin hidroklorida.
Berat ekivalen (BE) tiamin hidroklorida pada penetapan secara titrasi
bebas air adalah setengah dari berat molekulnya (BM/2). Hali ini
disebabkan karena tiap 1 mol tiamin hidroklorida bereaksi dengan 2
mol HClO4.
Kadar Tiamin HCl =

V HClO x N HClO x BE
x 100
mg sampel
4

5. Metode Argentometri
Adanya klorida dalam tiamin hidroklorida dapat ditetapkan secara
argentometri dengan menggunakan metode Volhard. Pada penetapan
dengan metode Volhard suasananya harus asam sebab jika suasananya
basa maka akan terjadi reaksi antara perak nitrat dengan basa
membentuk Ag(OH) yang pada tahap selanjutnya akan membentuk
endapan putih Ag2O, akibatnya perak nitrat tidak hanya bereaksi dengan
sampel tetapi juga bereaksi dengan basa.
Prosedur penetapan kadar vitamin B1 secara argentometri:

Lebih kurang 100 mg tiamin hidroklorida yang ditimbang secara


seksama dilarutkan dalam 20 mL air. Larutan diasamkan dengan asam
nitrat encer dan ditambah 10 mL perak nitrat 0,1 N. Endapan yang
terjadi disaring dan dicuci dengan air sampai tidak

mengandung

klorida. Filtrat selanjutnya dititrasi dengan larutan baku ammonium


tiosianat 0,1 N menggunakan indikator besi (III) amonium sulfat. Tiap
mL perak nitra 0,1 N setara dengan 16,86 mg tiamin hidorklorida.
Berat ekivalen (BE) tiamin hidroklorida pada penetapan secara
argentometri adalah setengah dari berat molekulnya (BM/2). Hal ini
disebabkan karena tiap 1 mol tiamin hidroklorida (yang mengandung 2
Cl-) bereaksi dengan 2 mol AgNO3.
6. Metode Gravimetri
Tiamin dalam tablet vitamin B1 dan dalam injeksi dapat ditetapkan
secara

gravimetri

dengan

cara

mengendapkan

larutan

tiamin

menggunakn asam silikowolframat.


Prosedur penetapan kadar tiamin dengan metode gravimetri:
Sejumlah tertentu tablet yang telah ditimbang secara seksama dan setara
dengan lebih kurang 50 mg tiamin hidroksida, diencerkan dengan air
secukupnya hingga 50 mL lalu ditambah 2 mL asam klorida pekat dan
dipanaskan hingga mendidih. Pada larutan yang telah mendidih ini
selanjutnya ditambah dengan cepat tetes demi tetes 4 mL asam
silikowolframat yang baru disaring lalu dididihkan selama 4 menit.
Larutan disaring melalui penyaring kaca masir lalu dicuci dengan 50
mL campuran mendidih yang terdiri atas 1 bagian volume asam klorida
pekat dan 19 bagian air yang mengandung asam silikowolframat 0,2%
(b/v), kemudian dicuci 2 kali tiap kali dengan 5 mL aseton. Sisa
dikeringkan pada suhu 105oC selama satu jam lalu didinginkan selama
10 menit dan dibiarkan dalam eksikator di atas larutan asam sulfat 38%

dan ditimbang. Tiap gram sisa setara dengan 192,9 mg tiamin


hidroklorida.
II.2Analisis Vitamin B2
2.3.1 Analisis kualitatif Ribofavin (Vitamin B2)
Vitamin B2 disebut juga riboflavin karena strukturnya mirip
dengan gula ribose dan juga karena ada hubungan dengan kelompok
flavin. Riboflavin larut dalam air dan member warna fluorosen
kuning-kehijauan. Riboflavin sangat mudah rusak oleh cahaya dan
sinar ultraviolet, akan tetapi tahan terhadap panas, oksidator, dan
asam.
Kelarutan Riboflavin dalam air bervariasi dari 1 bagian
riboflavin dalam 3000 bagian air sampai 1 bagian riboflavin dalam
15.000 bagian air. Variasi ini disebabkan oleh variasi bentuk
kristalnya.
Berdasarkan pada sifat-sifat di atas pada waktu penetapan kadar,
riboflavin harus terhindar cahaya. Penyinaran dengan sinar
ultraviolet atau cahaya tampak terhadap larutan riboflavin dalam
basa menghasilkan lumiflavin sedangkan larutan riboflavin dalam
suasana netral atau asam menghasilkan lumikrom yang berfluorsensi
2.3.2

biru.
Analisis kuantitatif Ribofavin (Vitamin B2)
A. Metode spektrofluorometri
Cara penetapan langsung dapat digunakan terhadap
campuran yang bebas dari senyawa berwarna yang mengganggu
atau senyawa pengganggu lain yang mengandung riboflavin
lebih besar dari 0,1 %.
Cara penetapan langsung dapat digunakan terhadap
campuran yang tidak mengandung senyawa berfluorosensi atau
senyawa berwarna yang larut dalam air atau dalam asam encer.
Pengukuran harus dilakukan secepat mungkin karena riboflavin
terurai oleh sinar ultraviolet.
Larutan sampel :
Sejumlah serbuk yang ditimbang seksama dan setara
dengan lebih kurang 2,5 mg riboflavin dimasukkan ke dalam labu

250 mL lalu ditambah 1 mL asam asetat 32,5% dan air


secukupnya hingga 200 mL. Lalu dipanaskan di atas penangas air
sambil sering dikocok hingga riboflavin larut lalu didinginkan
hingga suhu 20C. Larutan ditambah air secukupnya hingga 250
mL dan dicampur baik-baik.
Larutan riboflavin baku persediaan I, dibuat dengan
melarutkan 50 mg riboflavin yang telah dikeringkan pada suhu
105 C selama 2 jam dalam asetat 0,02 N secukupnya hingga 500
mL.
Larutan riboflavin baku persediaan II, dibuat dengan cara
menambah 10,0 mL larutan riboflavin baku persediaan I dengan
asam asetat 0,02 N secukupnya hingga 100 mL.
Larutan riboflavin baku, dibuat dengan mengencerkan 10,0
mL larutan riboflavin baku persediaan II dengan air secukupnya
hingga 100 mL.
Kadar dalam mg riboflavin dihitung dengan menggunakan rumus:
BC
2,5 x
AB
B. Metode spektrometri
Larutan riboflavin dalam pH 4,0 menunjukkan absorbs
maksimum ( maks) pada 444 nm. Cara ini digunakan untuk
menetapkan

kemurnian

riboflavin

atau

untuk

penetapan

riboflavin dilakukan dengan cara terlindung dari cahaya.


Prosedur penetapan kadar riboflavin tunggal

secara

spektrofotometri:
Sekitar 100 mg riboflavin yang ditimbang seksama dilarutkan
dengan pemanasan dalam campuran 2 mL asam asetat glacial dan
150 mL air. Larutan selanjutnya diencerkan dengan air,
didinginkan, ditambah air secukupnya hingga 1000 mL. pada
10,0 mL larutan ditambah 3,5 mL natrium asetat 0,1 M kemudian
ditambah air secukupnya hingga 100 mL. kadarnya dihitung
dengan menggunakan riboflavin baku sebagai pembanding.
2.4 Analisis Vitamin B6
2.4.1 Metode spektrofotometri

Pada

daerah

ultraviolet,

piridoksin,

piridokamin

dan

piridoksal menunjukkan daerah penyerapan yang karakteristik


walaupun tidak ada maksimum untukketiganya. Kadar vitamin B 6
jumlah dalam larutan buffer ph 6,75 dapat diterapkan pada panjang
gelombag 325 nm. Pada panjang gelombang ini, piridoksin dan
piridoksamin menunjukkan absorbansi maksimum.
Prosedur penetapan dalam tablet tunggal secara spektrofotometri:
Sebanyak 20 tablet ditimbang dan diserbuk. Pada sejumlah serbuk
yang ditimbang seksama yang setara dengan lebih kurang 25 mg
piridoksin hidroklorida ditambah 50 mL asam klorida 0,1 N sambil
diaduk. Larutan diencerkan dengan asam klorida secukupnya hingga
100 mL. larutan diukur absorbansinya menggunakan kuvet dengan
2.4.2

ketebalan 1 cm pada panjang gelombang maksimum (291 nm)


Metode kolorimetri
Metode ini didasarkan pada reaksi fenol dengan 2,6-diklorop-benzokuin-4-kloromina dengan menghasilkan warna biru yang
dapat disari dengan pelarut organik. Reaksi ini merupakan reaksi
umum untuk senyawa fenol berkedudukan para terhadap gugus

2.4.3

hidroksil fenol tidak tersubsitusi.


Metode titrasi bebas air
Lebih kurang 300 mg piridoksin hidroklorida yang ditimbang
seksama, dilarutkan dalam 40 mL asam asetat glacial lalu dititrasi
dengan asam perklorat 0,1 N menggunakan indicator 3 tetes Kristal
violet samapai biru hijau. Tiam mL asam perklorat 0,1 N setara

2.4.4

dengan 20,56 mg piridoksin hidroklorida.


Metode kromatografi
Kromatofrafi cair kinerja tinggi (KCKT) dengan detector
fluorometri telah digunakan secara luas untuk analisis kuantitatif
vitamin B6 dalam ayam dan bahan makanan lainnya.

2.5 Analisis Vitamin B12 (sianokobalamin)


Sianokobalamin, C63H88O14N14Pco, merupakan senyawa kompleks
dengan kordinat kobalt berberat molekul 1355,4. Kristal vitamin B12 cepat
menyerab lembab udara. Sianokobalamin bersifat netral dan mengandung
gugus sian. Gugus ini dapat diganti dengan berbagai ion untuk

menghasilkan senyawa baru seperti klorokobalamin dan hidroksokobalamin.


Bila sianokobalamin dihidrolisis dengan asam maka akan menghasilkan 5,6dimetilbenzimdazol. Metode penetapan kadar vitamin (sianokobalamin)
2.5.1 Metode spektrofotometri B12
Sianokobalamin dalam air menunjukkan absorbansi maksimun (
maks) pada 278 1nm, 361 nm dan 550 2 nm. Metode
spektrofotometri tidak spesifik untuk sianokobalamina karena
senyawa bewarna merah dan pseudosiokobalamin menunjukkan
spektra absorbansi yang serupa. Metode yang paling sederhana adalah
dengan menetapkan pada 550 nm, tetapi metode ini hanya dapat
digunakan terhadap sianokobalamin yang bebas senyawa pengganggu.
Metode yang lebih peka ialah dengan melakukan penetapan pada
panjang gelombang 361 nm.
Prosedur penetapan kadar sianokobalamin secara spekrofotometri:
Lebih kurang 2 mg sianokobalamin yang ditimbang saksama,
dilarutkan dalam akuades secukupnya dan diencerkan hingga 50,0
mL. Larutan diukur absorbansinya dengan kuvet 1 cm pada panjang
gelombang 361 nm. Harga E1cm1% pada 361 nm adalah 207
2.5.2 Metode kromatografi
Metode KCKT telah sukses digunakan untuk pemisahan dan
analisis kuantitatif vitamin B1, B2, dan campuran-campurannya dalam
bebagai macam bahan makanan. Berbagai macam isomer vitamin B 12
(sianokobalamin) yang ada dalam berbagai macam susu juga telah
dipisahkan dengan menggunakan metode KCKT fase terbalik.
Sianokobalamin diekstraksi dari sampel dengan mencampur 25 mL
susu dengan 2-4 mL HCL 0,1 M pH 4,6. Campuran dipanaskan pada
suhu 1200C selama 10 menit dan selanjtnya disaring. pH filtrat diatur
5,5 dengan natrium hidroksida 0,1 M dan diencerkan dengan akuades
sampai 50mL. Sianokobalamin selanjutnya dipekatkan pada cartridge
oktadesil silan yang telah dikondisikan dengan 2 mL asetonitril dan
dicuci dengan 6 mL akuades. Filtrat selanjutnya dilewatkan melalui
cartridge dan selanjutnya cartridge dicuci dengan 12 mL air.

Sianokobalamain dengan asetonitril: iar(1:1 v/v) dan dipisahkan


dengan kolom oktil silika. Elusi gradien dimulai dengan asetonitril:
larutan amonium fosfat pH 3,0 (5:95) lalu konsentrasi asetonitril
ditingkatkan samapi 30% selama 16 menit. Konsentrasi vitamin B12
selanjutnya dengan metode radioassay.
III.

Analisis Vitamin C
III.1
Analisis kualitatif Vitamin C
Langkah awal yang dilakukan adalah dengan memasukkan sampel
ke dalam tabung reaksi sebanyak 2 mL, kemudian ditambahkan 2 tetes
NaOH 10% dan 2 mL larutan FeSO4 5%. Kemudian dicampurkan hingga
rata kemudian mengamati perubahan yang terjadi. Uji positif timbul
warna kuning.
III.2
Analisis kuantitatif vitamin C
III.2.1 Metode iodimetri
Dasar dari metode ini adalah sifat mereduksi asam
askorbat. Metode iodometri (titrasi langsung dengan larutan baku
0,1 N) dapat digunakan terhadap asam askorbat murni atau
larutannya.
Prosedur penetapan kadar vitamin C secara iodometri:
Sekitar 400 mg asam askorbat yang ditimbang seksama dilarutkan
dalam campuran yang terdiri atas 100 mL air bebas oksigen dan
25 mL asam sulfat encer. Larutan dititrasi dengan iodium 0,1 N
menggunakan indikator kanji sampai terbentuk warna biru.
III.2.2 Metode 2,6-diklorofenolindofenol (DCIP)
Metode
2,6-diklorofenolindofenol
(DCIP)

ini

berdasarkan atas sifat mereduksi asam askorbat terhadap zat


warna 2,6-diklorofenolindofenol membentuk larutan yang tidak
berwarna. Pada titik akhir titrasi, kelebihab zat warna yang tidak
tereduksi akan berwarna merah muda dalam larutan asam.
Metode ini tidak spesifik karena beberapa senyawa
mereduksi lainnya dapat mengganggu penetapan. Senyawa
pengganggu
riboflavin dll.

tersebut

adalah

senyawa

sulfhidril,

tiosulfat,

Cara

untuk

menghilangkan

pengaruh

senyawa

pengganggu adalah:
1. Asam askorbat diubah menjadi asam dehidroaskorbat
2. Jumlah senyawa mereduksi yang masih ada ditetapkan
Bahan yang digunakan untuk metode ini adalah:
a. Larutan pengekstraksi
Larutan asam metafosfta-asam asetat dibuat dengan
melarutkan 15 g asam metafosfat dalam 40 mL asam asetat
dan 200 mL aquades dengan penggojogan lalu diencerkan
sampai 500 mL.
b. Larutan baku asam askorbat
Dibuat dengan menimbang seksama 50 mg asam askorbat
baku yang telah disimpan dalam desikator dan dihindarkan
dari pengaruh cahaya lalu memindahkannya ke labu takar 50
mL, melarutkannya dan mengencerkannya sampai batas tanda
dengan larutan asam metafosfat-asam asetat.
c. Larutan baku diklorofenol-indofenol (DCIP)
Dibuat dengan melarutkan 50 mg garam

Na

2,6-

diklorofenolindofenol (DCIP) yang telah disimpan dalam


desikator dalam 50 mL air yang telah ditambah 42 mg natrium
bikarbonat, lalu digojog kuat.
d. Indikator pH timol biru 0,04% dibuat dengan menggunakan
100 mg biru timol dengan 10,75 mL NaOH 0,02 N dengan
penghangatan.
Prosedur penetapan

kadar

vitamin

dalam

minuman

menggunakan metode ini:


a. Pembakuan larutan baku DCIP dengan larutan baku vitamin C
b. Uji pendahuluan adanya senyawa basa dalam jumlah cukup
besar
c. Penyiapan larutan sampel
d. Penetapan kadar
e. Perhitungan

F
x
E
X = volume rata-rata DCIP untuk titrasi sampel
B = volume rata-rata DCIP untuk titrasi blanko
F = kesetaraan mg asam askorbat/mL DCIP
E : jumlah g sampel
V : volume larutan uji awal yang diambil
Mg asam askorbat/g,tablet,mL= (X-B) x

V
Y

Y : volume aliquot
III.2.3 Metode kolorimetri 4-metoksi-2-nitroanilin
Sebanyak 2 mL pereaksi 4-metoksi-2-nitroanilin
ditambah 2 mL natrium nitrit 0,2% diaduk hingga warna jingga
hilang lalu ditambah 75 mL n-butil alcohol dan dicampur. Larutan
ini selanjutnya ditambah 0,5-2mg asam askorbat 0,5% dan
dipindahkan ke dalam corong pemisah. Selanjutnya larutan
ditambah 25 mL natrium hidroksida 10% dan 150 mL dietil eter.
Lapisan organic dicuci tiga kali dengan 15 mL natrium hidroksida
10%. Lapisan air dan cairan hasil cucian dengan air diencerkan
dengan air hingga 200 mL. absorbansi larutan diukur terhadap
blangko pada 570 nm.
III.2.4 Metode spektrofotometri
Asam askorbat dalam larutan air netral menunjukkan
absorbansi maksimum pada 264 nm. Panjang gelombang
maksimum ini akan bergeser oleh adanya asam mineral. Asam
askorbat dalam asam sulfat 0,01 N memiliki panjang gelombang
maksimal 245 nm.
III.2.5 Metode spektrofluorometri
Metode ini digunakan untuk analisis kuantitatif vitamin
C yang linier pada kisaran konsentrasi asam askorbat 9,0 x 10 -8
sampai 3,6 x 10-8. Suatu hubungan linier diperoleh antara
penurunan intensitas fluoroensi MB dan konsentrasi AA pada
kisaran 3,0 x 10-7 sampai 6,0 x 10-6 . batas deteksi metode ini 2,5 x
10-7 m. metode ini telah sukses digunakan untuk menetapkan
kadar vitamin C dalam tablet suplemen vitamin.
III.2.6 Metode kromatografi
Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) telah
dikembangkan untuk penentuan asam askorbat dalam minimum
ringan dan jus apel menggunakan tris 2,2-bipiridin ruthenium II.
Sampel disaring dan diencerkan sebelum dilakukan analisis
dengan KCKT dan tidak ada pra-perlakuan lain yang dilakukan.

Pemisajhan asam askorbat menggunakan kolom oktadesil silan


(ODS, C18) menggunakan fase gerak larutan buffer NaH2PO4K2HPO4 (pH 6,5). Aliran fase gerak 0,3 mL/menit. Asam askorbat
yang terelusi dicampur dengan (Ru(bpy)32+ 0,5 mM dan diosidasi
pada 1,5 V (dengan elektroda Ag/AgCl).
Dari sini dapat diketahui bahwa metode ini relative
sederhana dengan batas deteksi asam askorbat 10pmol dan kurva
kalibrasinya linier pada kisaran 0,06 80 nmol. Karena metode
ini sensitive dan selektif maka metode ini diusulkan untuk
digunakan dalam analisis kuantitatif asam askorbat dalam
minuman ringan dan jus apel.
IV. Analisa Folat
4.1 Uji kuantitatif folat
Uji kuantitatif pada folat dapat dilakukan dengan menggunakan
metode KCKT, berikut hal yang dilakukan untuk melakukan analisa
kuantitatif folat :

Sampel disiapkan kemudian ditambahkan natrium askorbat 1%, lalu


memanaskannya

pada

air

mendidih

selama

15

menit

dan

mendinginkannya

Sebanyak 3 mL supernatant dicampur dengan konjugase yang berasal


dari plasma manusia dan buffer fosfat 0,1 M pH 6,0 yang mengandung
natrium askorbat 0,5%

Kemudian diinkubasi pada suhu 37

selama 1 jam di tempat

gelap

Sampel disentrifuse, lalu dilewatkan dalam kolom penukar ion yang


kuat yang telah dikondisikan dengan 1 volume yang terdiri atas
methanol dan air

Kolom selanjutnya dicuci dengan 2 volume kolom yang terdiri atas


air, kemudian folat dipindahkan dengan 1 mL larutan natrium klorida
10% yang mengandung natrium askorbat 1%

Folat dipisahkan dengan kolom pengaman 30 x 4,0 mm i.d dan


dilanjutkan dengan kolom analitik (keduanya berisi oktadesil silan,
ukuran partikel 5 mikron)

Kolom dijaga suhunya pada 27 , denagn eluennya asetonitril 8%


dalam asam aseta pH 2,3

Folat dideteksi berdasaarkan flourensinya menggunakan panjang


gelombang eksitasi 310 nm dan emisi 352 nm

V. Analisa Niasinamid
5.1 Uji kuantitatif niasinamid
Uji

kuantitatif

pada

niasinamid

dilakukan

dengan

metode

spektrofotometri. Prosedur penetapan kadar niasinamid dengan metode


spektrofotometri :
1. Penyiapan sampel

Gerus sampai halus 5 tablet atau sejumlah volume tertentu sampel

Sampel ditimbang, lalu dimasukkan dalam erlenmeyer, ditambah larutan


KH2PO4 0,3% sejumlah 2 x mg niasinamid yang diperkirakan

(jika

sampel tidak mudah larut, maka digojog supaya terdispersi dan dipanaskan
selama 15 menit di penangas air mendidih)

Dilakukan pengenceran hingga diperoleh kadar kuran lebih


dengan KH2PO4 0,3%. Larutan disaring bila diperlukan.

2. Cara penetapan

5g/mL

Disiapkan secara terpisah sampel blanko untuk tiap sampel dengan

mengganti CNBr dengan aquades


Sebanyak 1,0 mL larutan uji dimasukkan dalam tabung, ditambah 0,5

mLlarutan CNBr, lalu dicampur dan dibiarkan selama 25 30 menit.


Kemudian larutan ditambah 10 mL larutan asam barbiturate dan

dicampur
Dibuat juga pereaksi blanko dengan mengganti CNBr dengan aquades,

dan absorbansinya dibaca pada gelombang 550 nm.


3. Perhitungan
Kadar niasinamid dalam sampel (mg) :
A x5
x faktor pengenceran
'
A x 1000
A = Absorbansi larutan sampel
A = Absorbansi larutan baku kerja
5 = g niasinamid/mL larutan baku uji
Kadar niasinamid dilaporkan dalam mg niasinamid/ tablet, kapsul atau
mL cairan.
Metode KCKT juga digunakan untuk melakukan uji kuantitatif
terhadap niasinamid. Sampel diperlakukan dengan SPE (solid phase
extraction) untuk menghilangkan adanya gangguan dalam sampel yang
mungkin akan mengganggu dalam analisis, berikut langkah kerja yang
dilakukan melalui metode KCKT :

Sebanyak 5 gram sampel ditambah dengan 20 gram air deionisasi.


Campuran kemudian dihomogenkan dengan homogenizer pada

kecepatan sedang selama 1 menit


Sampel kemudian disentrifuse selama 10 menit dengan kecepatan
14.000 xg. Cartridge SPE dikondisiksn dengan mengalirinya
menggunakan 10 mL methanol dan 10 mL air yang diatur pH nya 4,2

untuk mengaktifkan fasa diamnya.


Sebanyak 10 ml sampel dielusi dengan 5 mL air (pH 4,2) lalu dengan

10 mL etanol dengan kecepatan alir 1 mL/menit,


Eluen dikumpulkan dalam botol, lalu diuapkan hingga kering,
kemudian asampel disaring dengan penyaring 0,45 mikron, dan
sebanyak 20 L sampel diinjeksikan dalam kolom KCKT. Kolom yang

digunakan adalah kolom fase terbalik C18 (150 mm x 4,6 mm dengan

ukuran partikel 5 mikron).


Detector yang digunakan adalah UV-Vis diode array
Fase gerak disaring melalui membrane 0,45 mikron dan gas pada fase
gerak dihilangkan dengan sonifikasi. Fase gerak terdiri atas, larutan
KH2PO4 0,1 M (pH 7) methanol (90 10) dengan kecepatan alir fase

gerak 0,7 mL/menit. Kolom dioperasikan pada suhu 25


Identifikasi sampel dengan membandingkan waktu retensi dan spectra
UV dengan senyawa baku.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan

Analisa kualitatif dan kuantitatif pada vitamin A,B dan C menggunakan


berbagai metode yang disesuaikan dengan tujuan analisis.

4.2

Saran
Perlu dilakukan penelaahan lanjut mengenai analisis vitamin lain dengan
berbagai metode berbeda

DAFTAR PUSTAKA
Darmajana, Doddy A. 2004. Kajian Analisa Kandungan Vitamin Dan Mineral
Daintih.J, 1999, Kamus Kimia, Erlangga, Jakarta
Poedjiadi, 1994, Dasar-dasar Biokimia, Universitas Indonesia, Jakarta
Rohman, Abdul, Sumantri, 2007, Analisis Makanan, Gajah Mada University
Press, Yogyakarta

Winarno.F.G, 1982, Analisa Bahan Pangan, UI Press, Jakarta

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah mencurahkan
rahmat, taufik, dan hidayahnya sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan

karya tulis imiah dengan judul Analisis Kualitatif dan Kuantitatif Vitamin A,B
dan C dengan lancar.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu penulis dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini, karena tanpa adanya
bantuan dari pihak-pihak tersebut penulis tidak akan dapat menyelesaikan karya
tulis ilmiah ini lebih baik. Adapun pihak-pihak tersebut antara lain :
1. Bapak Khabibi selaku dosen mata kuliah Analisa Pangan di Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Diponegoro
Semarang yang telah membimbing dengan sepenuh hati demi keberhasilan
penulis menyelesaikan makalah ini.
2. Teman-teman yang telah bersedia memberikan masukan penuh manfaat
yang dapat dijadikan acuan dalam menyempurnakan karya tulis ilmiah.
3. Para pembaca yang budiman.
Penulis memohon maaf jika terdapat kesalahan, baik dalam penulisan
maupun penyampaian kalimat dalam makalah ini. Penulis berharap agar makalah
ini dapat memberikan manfaat berupa tambahan wawasan bagi para pembaca.
Selain itu penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca untuk penyempurnaan karya makalah.
Terima kasih.

Anda mungkin juga menyukai