Anda di halaman 1dari 37

BAB 5

STRUKTUR ORGANISASI

1 Struktur Organisasi dan Perbedaan Wewenang

1.1. Pengertian
Pengertian tentang sebuah struktur dapat disederhanakan menjadi suatu cara
dimana bagian-bagian disusun menjadi satu kesatuan. Sebagai contoh, sebuah
sepeda motor atau sebuah mobil pada dasarnya adalah suatu kesatuan dari bagianbagian (spare parts) yang tersusun menurut struktur tertentu. Bangunan dimana
manusia tinggal juga memiliki struktur. Dengan analogi sederhana ini, pengertian
struktur secara mudah dapat dipahami.
Contoh yang lain, sebuah bangunan juga memiliki struktur. Struktur dari
bangunan terlihat mulai dari pondasi bangunan, dinding, sekat antar ruang, tiang,
atap,

dan sebagainya.

Bagaimana struktur

bangunan itu dibentuk

sangat

berpengaruh terhadap aktifitas dan gerak orang yang berada di dalamnya. Untuk
dapat memberikan keleluasaan dalam gerak sehingga aktifitas berjalan lancar maka
struktur itu harus disusun agar memudahkan orang bergerak dan beraktifitas.
Jadi aktifitas dan gerak itu juga berpengaruh terhadap struktur bangunan.
Struktur sebuah kantor memiliki suatu struktur yang berbeda dengan struktur sebuah
pabrik, berbeda pula dengan struktur sebuah gudang. Struktur yang ada pada tiap
bangunan ini berklaitan dengan suatu ukuran, jumlah dan sifat kegiatan yang akan
diwadahi. Pabrik mobil memiliki struktur bangunan yang berbeda dengan struktur
bangunan pabrik komputer. Ini berkaitan dengan masalah teknologi yang dipakai
dalam kedua pabrik itu. semua ini menunjukkan bahwa struktur bukanlah sesuatu
yang berdiri bebas, tetapi selalu berada dalam pengaruh faktor lain.
Meskipun analogi sebuah bangunan dapat dipakai untuk menjelaskan
struktur, tetapi hal ini tidak sepenuhnya berlaku dalam menjelaskan struktur
organisasi. Jika sebuah banguna dirancang oleh arsitek dan dikerjakan oleh pekerja
bangunan, maka sebuah organisasi dibentuk oleh orang-orang yang berada di dalam
organisasi itu. Masalah yang muncul adalah tidak semua orang yang berada dalam
suatu organisasi itu selalu bersepakat mengenai bagaimana organisasi akan disusun.
Sebuah bangunan dapat dibangun dengan meniru bangunan lain yang telah ada. Hal
ini juga berlaku bagi organisasi, organisasi dapat saja mengambil bentuk tertentu
seperi organisasi yang telah ada. Meskipun demikian, masalah yang muncul dalam

Universitas Gadjah Mada

organisasi yang berkaitan dengan hal ini jauh lebih rum it dari pada penggambaran
analogi organisasi dengan sebuah bangunan.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa struktur organisasi merupakan
berkaitan dengan berbagai macam faktor yang berpengaruh secara bersama. Hal ini
pula yang kemudian menjadi dasar munculnya pandangan yang berbeda-beda dalam
menjelaskan struktur organisasi.
Sutarto (1981:37-39) menampilkan beberapa pandangan para ahli mengenai
struktur organisasi sebagai berikut:

(a). Pendapat dari Ralp Currier Davis:


Menurut pendapat dari Ralp Currier Davis, struktur organisasi menunjuk pada
hubungan antara fungsi-fungsi tertentu, faktor-faktor phsisik dan orang.

(b) Pendapat dari John Pfiffner dan Owen Lane:


Menurut pendapat dari John Pfiffner dan Owen Lane, struktur organisasi adalah
hubungan antara para pegawai atau pekerja dan aktifitas-aktifitas mereka satu
sama lain serta terhadap keseluruhan, dimana bagianbagiannya adalah tugastugas, pekerjaan-pekerjaan atau fungsi-fungsi dan masing-masing anggota
kelompok pegawai atau pekerja yang melaksanakannya.

(c). Pendapat dari Robert Y. Durant:


Menurut pendapat dari Robert Y. Durant, struktur organisasi menunjuk bagan
atau skema dari hubungan-hubungan dan tugas-tugas dari orangorang yang
bekerja dalam organisasi.

(d). Pendapat dari Ralp Currier dan Allan C. Filley:


Menurut pendapat dari Ralp Currier dan Allan C. Filley, struktur organisasi
adalah seperangkat formal hubungan-hubungan yang direncanakan antara
pengelompokan fungsi-fungsi yang semacam, dan antara faktor-faktor phisik
dan orang-orang yang diperlukan untuk melakukan fungsi-fungsi ini.

(e). Pendapat dari Dalton E. McFarland:


Menurut pendapat dari Dalton E. McFarland, struktur organisasi diartikan
sebagai pola jaringan hubungan antara bermacama-macam jabatan atau posisi
dan para pemegang jabatan atau orang yang memiliki posisi itu.

Universitas Gadjah Mada

(f). Pendapat dari F.G. Anderson:


Menurut pendapat dari F.G. Anderson, struktur organisasi adalah struktur dari
hubungan-hubungan, pertanggungjawaban-pertanggungjawaban dan otoritasotoritas atau wewenang-wewenang melalui tujuan perusahaan pada pencapaian
sasarannya.

(g). Pendapat dari Richard A. Johnson, Fremont E. Kast dan James E. Rosenzweig
Menurut pendapat dari Richard A. Johnson, Fremont E. Kast dan James E.
Rosenzweig, struktur organisasi adalahhubungan antara bermacam-macam
fungsi atau aktifitas dalam suatu organisasi.

Berbagai macam pandangan dan pendapat mengenai struktur organisasi ini


berasal dari berbagai disiplin ilmu yang menaruh perhatian besar pada fenomena
organisasi dan strukturnya. Oleh sebab itu, penekanan dari masingmasing
pandangan sangat berlainan, meskipun ada juga kesamaankesamaannya.
Blau (Hall, 1991:85) menyatakan bahwa struktur organisasi menunjuk pada
suatu distribusi dari orang-orang dalam berbagai posisi sosial yang berpengaruh
terhadap hubungan peran diantara orang-orang itu dalam organisasi. Pengertian ini
berkaitan dengan dua hal, yaitu adanya pembagian kerja, dimana diantara orangorang di dalam organisasi memiliki tugas atau pekerjaan yang berbeda-beda. Hal
yang lain adalah bahwa dalam organisasi terdapat jenjang atau hirarkhi, dimana
suatu posisi tertentu dalam organisasi diatur secara jelas bagaimana orang yang
berada dalam posisi itu harus berperilaku.
Hampir semua orang tahu bahwa setiap organisasi selalu memiliki tujuan dan
tujuan ini merupakan hasil dari suatu proses tarik menarik, proses belajar dan proses
adaptasi yang terus menerus dalam organisasi. Setiap organisasi senantiasa berada
pada posisi dimana antara berbagai kekuatan, baik antar anggota organisasi maupun
antara kekuatan dalam organisasi dengan kekuatan di luar organisasi, saling
pengaruh mempengaruhi. Hal ini pastilah berpengaruh terhadap arah perkembangan
dari setiap organisasi maupun tujuan dari setiap organisasi. Selain itu, setiap
organisasi selalu berada dalam pengaruh lingkungan sekitarnya sehingga ia tidak
terbebas dari pengaruh itu dan selalu berupaya beradapasi dengan berbagai
perkembangan yang terjadi. Ini juga berpengaruh besar terhadap tujuan organisasi
itu sendiri.

Universitas Gadjah Mada

Meskipun demikian, salah satu kekuatan penting yang berpengaruh terhadap


pencapaian tujuan dari setiap organisasi adalah struktur organisasi yang ada dalam
organisasi itu sendiri. Struktur organisasi merupakan sesuatu yang dipersiapkan
sebagai sarana atau instrumen untuk mewujudkan tujuan yang organisasi
dimaksudkan tersebut. Keberhasilan dan terwujudnya tujuan organisasi yang
dimaksudkan. sangat ditentukan oleh struktur yang dimiliki oleh organisasi itu sendiri.
Hal ini berarti bahwa dalam upaya mencapai tujuan organisasi, maka struktur
organisasi dikembangkan.
Struktur organisasi yang demikian, secara kebetulan saja, muncul dalam
ukuran yang kecil saja pada saat suatu organisasi lahir. Secara bertingkat, sejalan
dengan perkembangan dan perluasan yang terjadi dalam organisasi, hubungan temu
muka menjadi tidak mudah dilakukan dan akibatnya kebutuhan akan pembagian
kerja yang sistematik dan spesialisasi pada organisasi mulai muncul. Pada
umumnya, suatu perencaaan yang baik dan suatu susunan organisasi yang baik baru
terjadi pada tahap dimana kebutuhan akan pembagian kerja dan spesialisasi ini mulai
dirasakan dalam organisasi. Jadi disini terdapat dua macam struktur yang dapat
ditemui dalam organisasi, yaitu struktur yang direncanakan dan disusun (the planned
and desinged structure) dan disisi lain juga dapat ditemui struktur yang sebenarnya
berlaku (the operating structure).
Suatu struktur mengalami modifikasi atau penyesuaian-penyesuaian secara
bersamaan dan merupakan hasil dari suatu modifikasi atau penyesuaian dalam
tujuan organisasi. Ini berarti, perubahan pada tujuan organisasi akan berpengaruh
terhadap struktur organisasi. Dengan demikian antara tujuan organisasi dengan
strukturnya memiliki hubungan saling tergantung dan saling berkaitan.
Meskipun struktur organisasi merupakan sesuatu yang abstrak, tetapi
keberadaannya merupakan sesuatu yang nyata-nyata ada. Setiap orang dapat dapat
merasakan dan mengamati adanya susunan dari berbagai komponen atau bagian
dalam suatu organisasi. Dalam organisasi yang demikian juga dirasakan adanya
perbedaan antara suatu bagian dengan bagian yang lain dalam berbagai hal.
Struktur organisasi dapat dipandang sebagai suatu pola-pola yang mapan dari
hubungan sosial diantara berbagai bagian atau komponen dari suatu organisasi.
Secara umum, suatu struktur formal menunjuk pada beberapa hal, yaitu:

(a) terdapatnya pola yang mapan dari hubungan dan tugas-tugas.


(b) berbagai aktifitas dan kegiatan diberikan kepada bagian-bagian atau orangorang
yang ada dalam organisasi.

Universitas Gadjah Mada

(c) terdapat koordinasi dari berbagai aktifitas dan pekerjaan ini.


(d) terdapat hubungan hirarkis dalam organisasi
(e) semua kebijakan, prosedur, ukuran, sistem evaluasi dan sebagainya memberi
kan pedoman bagi berbagai aktifitas dan hubungan antar orang dalam organisasi.
Dalam pandangan Hall (1991:85), struktur organisasi melaksanakan tiga
fungsi utama yang mendasar bagi setiap organisasi. Tiga fungsi dari struktur
organisasi itu adalah:

(a) Fungsi utama dan terpenting adalah bahwa struktur organisasi dibentuk untuk
menghasilkan keluaran organisasi dan pencapaian tujuan organisasi. setiap
organisasi senantiasa memiliki aktifitas dan memiliki tujuan tertentu. Struktur
organisasi dibentuk untuk mendukung pelaksanaan aktifitas sehingga organisasi
dapat menghasilkan keluaran tertentu. Dengan cara ini berarti struktur organisasi
mendukung proses yang beralngsung dalam organisasi. Namun, struktur
organisasi tidak hanya mendukung suatu proses secara khusus. Struktur
organisasi juga mendukung pencapaian tujuan dari setiap organisasi secara
umum.

(b) Struktur organisasi memiliki fungsi untuk meminimalisasikan berbagai pengaruh


dari perbedaan yang ada pada tingkat individu. Struktur organisasi dibentuk untuk
meminimalkan atau paling tidak mengatur kondisi dalam organisasi yang timbul
sebagai akibat dari pengaruh perbedaan-perbedaan yang berasal dari individuindividu terhadap organisasi. Setiap individu yang memasuki suatu organisasi
memiliki kondisi yang berbeda dari individu yang lain. Untuk mengatasi pengaruh
dari perbedaan ituilah maka struktur organisasi dibentuk. Struktur organisasi
dibentuk untuk memastikan bahwa setiap individu melakukan penyesuaian diri
pada kondisi atau ketentuan yang berlaku pada organisasi, bukan sebaliknya
organisasi menyesuaikan pada individu. Jadi disini individulah yang haruys
melakukan pentesuaian terhadap apa yang ada dalam organisasi, peraturan,
persyaratan, kegiatan dan sebagainya.

(c) Struktur organisasi memiliki fungsi sebagai kerangka dari penggunaan


kekuasaan. Fungsi struktur organisasi ini berkaitan dengan kekuasaan dan
pengunaannya di dalam organisasi. Sebagaimana dipahami, kekuasaan baru
memiliki anti jika kekuasaan itu diterapkan atau ditujukan kepada pihak lain.
Dalam hal ini struktur memberikan kerangka bagi pelaksanaan kekuasaan.
Struktur organisasi menentukan bagaimana posisi-posisi

Universitas Gadjah Mada

kekuasaan dalam organisasi disusun. Dalam hal ini struktur organisasi


menentukan posisi yang yang memiliki kekuasaan dan seberapa besar kekuasaan
itu dimiliki oleh posisi itu. Ini berkaitan erat dengan proses pengambilan keputusan
dan aliran komunikasi dalam organisasi. Sebagai contoh, seorang manajer
pemasaran pada perusahaan akan memiliki posisi yang berbeda dalam struktur
organisasi dengan seorang petugas pemasaran. Ini menunjukkan bahwa manajer
pemasaran memiliki kekuasaan yang lebih besar dari petugas pemasaran di
dalam organisasi perusahaan tersebut. Ini nampak misalnya dalam proses
pengambilan keputusan mengenai segmen pasar yang akan dimasuki, strategi
pemasaran dan sebagainya. Peranan manajer pemasaran lebih besar dari pada
petugas pemasaran dalam pengambilan keputusan mengenai hal itu. Jadi,
struktur organisasi dapat dilihat sebagai arena bagi berbagai kegiatan dalam
organisasi.
1.2. Hirarkhi dan Perintah dalam Struktur Organisasi
Struktur menunjuk pada sejumlah bagian-bagian dari suatu organisasi
berhubungan satu sama lain dalam suatu susunan tertentu. Ini berarti bahwa suatu
struktur memiliki susunan dan susunan ini memiliki arti penting bagi berbagai bagian
dalam organisasi maupun bagi organisasi itu sebagai suatu keseluruhan dalam
mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam memahami struktur organisasi, adalah sangat
sukar untuk memilah suatu bagian dengan bagian lain karena antar bagian ini saling
tergantung dan mempengaruhi. Namun demikian, untuk keperluan analisis hal itu
dapat saja dilakukan sepanjang dipahami bahwa pada kenyataannya, antar bagian
itu tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Beberapa komponen utama dari sebuah struktur adalah sebagai berikut:
(a). Hirarkhi.
Hirarkhi merupakan hal yang penting dalam struktur organisasi. Ketika jumlah
tugas dan volumenya bertambah maka untuk dapat melaksanakan aktifitasnya
dengan baik dan cepat, organisasi harus melibatkan banyak orang di dalam
kegiatannya. Pertambahan jumlah dan volume kegiatan serta pertambahan jumlah
orang dalam organisasi ini mendorong organisasi untuk mengembangkan unit-unit
yang bertambah banyak pula, misalnya dalam bentuk bagian-bagian atau unit-unit
kerja.
Salah satu kesulitan yang muncul sejalan dengan pertambahan volume dan
jumlah kegiatan serta pertambahan orang dan bagian-bagian dalam organisasi

Universitas Gadjah Mada

adalah sukarnya pimpinan melakukan kontrol atau pengawasan terhadap orangorang bawahannya meskipun orang-orang ini telah tergabung dan diorganisir dalam
bagian-bagian atau unit-unit kerja. Untuk itu, sejumlah orang dalam bagian-bagian
atau nit-unit kerja dalam organisasi ditunjuk untuk menduduki posisi tertentu guna
membantu pimpinan dalam melakukan kontrol atau pengawasan terhadap bawahan.
Jadi ketika kegiatan atau aktifitas mulai dibagi-bagi dan dikelompokkan dalam
bagian-bagian atau unit kerja-unit kerja tertentu, maka perluasan sebenarnya sedang
berlangsung. Perluasan itu dapat ke arah atas-bawah secara vertikal maupun ke
arah samping atau horisontal. Pembentukan bagian-bagian atau unit kerja baru
sebagai akibat dari bertambahnya kegiatan dan volumenya serta bertambahnya
pelaksana kegiatan menunjukkan

adanya

perluasan

horisontal.

Ditunjuknya

seseorang untuk membantu pimpinan dalam pengawasan atau kontrol terhadap


bawahan menunjukkan perluasan vertikal.
Pembentukan bagian-bagian atau unit kerja baru sebagai akibat dari
bertambahnya kegiatan dan volumenya serta bertambahnya pelaksana kegiatan
menunjukkan adanya perluasan horisontal. Untuk menunjukkan gambaran terjadinya
perluasan horisontal perhatikan bagan berikut ini
Bagan : Perluasan Horisontal

Dari bagan di atas nampak secara jelas bahwa sebelum suatu perluasan,
suatu organisasi memiliki dua bagian atau unit kerja, yaitu B dan B. Akan tetapi
setelah mengalami perluasan, bagian atau unit kerja yang ada dalam organisasi itu
bertambah menjadi empat bagian atau unit kerja, yaitu B, C, D dan E.
Perluasan ke arah atas-bawah, yang disebabkan karena situnjuknya
seseorang untuk membantu pimpinan dalam pengawasan atau kontrol terhadap
bawahan ditampilkan dalam bagan berikut ini.

Universitas Gadjah Mada

Bagan : Perluasan Vertikal

Dari bagan di atas nampak bahwa sebelum kegiatan perluasan dilakukan,


atasan melakukan kontrol atau pengawasan langsung kepada bagian-bagian atau
unit kerja dibawahnya secara langsung. Setelah mengalami perluasan kegiatan,
perluasan vertikal terjadi, yaitu dengan ditunjuknya B oleh atasan untuk membantu
melakukan kontrol dan pengawasan terhadap bawahan yang ada dalam bagian atau
unit kerja itu, yaitu C dan D bagi B.
Pada umumnya, ketika jumlah kegiatan bertambah dan jumlah pelaksananya
juga bertambah, organisasi mengalami perluasan baik vertikal maupun horisontal.
bagan berikut menggmbarkan bagaimana perluasan vertikal maupun horisontal itu
terjadi.
Bagan : Perluasan Horisontal dan Vertikal

Universitas Gadjah Mada

Dari bagan di atas nampak jelas bahwa sebelum perluasan, organisasi hanya
terdiri dari dua bagian atau unit kerja, sedangkan pengawasan dilakukan oleh atasan
secara langsung. Setelah mengalami perluasan, bagian-bagian atau unit-unit
kerjanya mengalami pertambahana sedangkan pengawasan dilakukan secara tidak
langsung, yaitu melalui orang yang ditunjuk atasan.

(b). Kesatuan dan Rantai Perintah


Dalam suatu organisasi yang di dalamnya terdapat pembagian tugas, semua
aktifitas-aktifitas atau kegiatan-kegiatan yang saling berhubungan dilakukan dalam
bagian-bagian atau unit-unit kerja tertentu. Setiap bagian atau unit kerja yang ada di
dalam organisasi hanya melakukan kegiatan atau aktifitas yang ditugaskan
kepadanya. Jadi di dalam bagian-bagian atau unit-unit kerja itu, terdapat spesialisasi
kegiatan atau aktifitas sesuai dengan yang diperintahkan pada bagian atau unit kerja
itu.
Ini merupakan kondisi dimana kesatuan dalam penugasan dapat dilakukan.
Jadi prinsip utama dari penugasan dalam organisasi adalah satu pemikiran dan satu
perencanaan bagi semua kegiatan yang dilaksanakan dalam bagian-bagian atau
unit-unit kerja yang ada dalam organisasi, untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Hal ini menunjukkan bahwa efisiensi dari administrasi atau organisasi dapat
mengalami peningkatan jika tiap-tiap bagian atau bagian hanya memiliki satu jenis
aktifitas atau kegiatan yang homogen dan direncanakan serta diperintahkan oleh
atasan.
Salah satu segi yang penting dari kesatuan perintah ini adalah mengenai
distribusi atau alokasi dari otoritas pada berbagai tingkatan untuk menyelesaikan
tugas-tugas yang diperintahkan. Setiap orang pada posisi bawahan harus
memberikan pertanggung jawaban kepada pihak atasan dan dalam hal ini bawahan
hanya bertanggung jawab pada satu atasan. Hal ini merupakan prinsip yang penting
untuk melindungi kesatuan antara atasan maupun bawahan. Perintah hanya diberikan
oleh satu atasan dan bawahan hanya bertanggung kawan padasatu atasa. Ini
merupakan prinsip yang penting sebab, jika bawahan mendapat perintah dari banyak
atasan maka akan menimbulkan situasi yang sulit bagi bawahan. Pada satu sisi,
bawahan tidak dapat tunduk pada perintah yang diberikan oleh lebih dari satu atasan
pada suatu waktu tertentu, dan disisi lain, pada saat yang sama, bawahan harus
mempertanggung jawabkan apa yang ditugaskan kepadanya. Ini akan menimbulkan
konflik bagi bawahan.

Universitas Gadjah Mada

Pada saat bawahan menerima perintah atau penugasan dari atasan, maka
bawahan harus mempertanggung jawabkan perintah atau penugasan itu kepada
atasan yang memberi penugasan atau perintah tadi. Apabila bawahan melaporkan
hasil kerja atau tugasnya kepada atasannya, kemudian atasannya ini melaporkannya
kepada atasan yang berada pada jenjang yang lebih tinggi, maka sebenarnya hal itu
memberikan gambaran bahwa ada aliran perintah dari jenjang yang tertinggi ke
jenjang yang lebih bawah, sampai yang terbawah. Ini menunjukkan adanya suatu
rantai perintah yang mengalir dari atas ke bawah, sedangkan laoran atau informasi
berjalan sebaliknya, mengalir dari bawah ke atas.
Adanya mata rantai perintah dan aliran informasi ini menghubungkan setiap
jenjang dalam struktur organisasi, sehingga dapat dilihat apa yang sedang terjadi
dalam organisasi. Ini akan memberikan kepastian baik bagi atasan maupun bawahan,
bahwa tidak ada seorangpun dapat melompat dari satu jenjang ke jenjang lain yang
lebih atas, tanpa melewati jenjang yang langsung ada di atasnya dan sebaliknya.
Segala sesuatu berjalan melalui saluran yang tepat.
Dalam organisasi yang modern, yang struktur organisasinya telah berkembang
menjadi sangat rumit, terdapat hirarkhi dengan banyak jenjang, dan karena setiap hal
harus melalui setiap jenjang, ini akan menghasilkan suatu route aliran infromasi yang
panjang dan seringkali mengakibatkan terjadinya keterlambatan dalam proses
pengambilan keputusan. Oleh karena kenyataan yang demikian, para ahli dan praktisi
organisasi mencoba mengembangkan beberapa alternatif, misalnya mengabaikan
jenjang yang tidak dianggap penting, menciptakan "jembatan" bagi mudahnya
pergerakan aliran komunikasi dari suatu level ke level lain yang penting.
1.3. Wewenang dan Pembagian Wewenang dalam Struktur Organisasi
Wewenang atau otoritas merupakan komponen penting dalam struktur
organisasi. Setiap individu pada suatu posisi melakukan tugas yang diperintahkan
kepadanya di dalam organisasi melalui cara pemberian wewenang atau otoritas dari
organisasi kepada posisi yang ditempati oleh orang itu. Wewenang yang diberikan
kepada seseorang dalam posisi tertentu dalam struktur organisasi merupakan hak
untuk menerapkan suatu kebijaksanaan, hak untuk menciptakan dan memelihara
situasi yang dapat mendukung kenyamanan bagi individu maupun kelompok
sehingga dapat menjalankan fungsinya dalam organisasi.
Pemberian wewenang atau otoritas oleh organisasi ini pada sisi yang lain
juga mengharuskan adanya pertanggung jawaban. Oleh sebab itu, antara pemberian

Universitas Gadjah Mada

wewenang dengan pertangung jawaban merupakan dua hal yang timbal balik dan
setaraf. Pertanggung jawaban merupakan konsekuensi dari pemberian wewenang.
Pemberian otoritas atau wewenang bagi seseorang dalam posisi tertentu
pada struktur organisasi tidak akan menimbulkan persoalan bagi anggota yang lain.
Dalam organisasi dapat saja muncul kekuasaan yang tidak bersumber dari otoritas
atau wewenang yang diberikan oleh organisasi, misalnya otoritas yang bersumber
atau berdasarkan senioritas seseorang, keahlian seseorang, kepribadian seseorang
dan sebagainya.
Setiap orang akan melihat bagaimana posisi seseorang dalam struktur
organisasi, dengan cara ini maka orang tidak melihat siapa yang berada dalam posisi
tersebut, tetapi melihatnya sebagai orang yang mendapatkan kekuasaan yang sah
dari organisasi. Dengan itu pula maka kekuasaan yang saha ini dapat dilaksanakan
dengan tanpa pertimbangan apapun.
Dalam suatu organisasi yang modern, tugas dan aktifitas organisasi telah
dibagi-bagi diantara banyak orang dalam berbagai unit kerja atau bagian, baik secara
vertikal maupun horisontal. lni berarti bahwa dalam organisasi yang modern terjadi
susunan vertikal, yang menunjukkan penentuan jenjang berdasarkan tingkatan
keahlian yang ditentukan bagi tiap jenjang. Sedangkan susunan horisontal menunjuk
pada pengaturan kelompok-kelompok kegiatan berdasarkan spesialisasi atau
keahlian yang ditentukan. Sebagai hasil dari penyusunan vertikal dan horisontal ini
adalah suatu hirarkhi berjenjang.
Setiap jenjang dalam hirarkhi itu menerima otoritas atau wewenang dari
jenjang yang lebih atas, tetapi bersamaan dengan pemberian otoritas itu dituntut pula
pertanggung jawaban. Ini akan menghasilkan suatu kondisi dimana jenjang yang
terbawah menerima tingkat otoritas yang rendah atau paling kecil. Sebaliknya, makin
ke atas, tingkat otoritasnya makin tinggi atau makin besar. Ini tidak terjadi pada
organisasi yang memiliki struktur otoritas yang sentralisasi. Dalam struktur otoritas
yang sentralisasi, jenjang tertinggi tidak memberikan otoritas kepada jenjang yang
lebih bawah.
Dalam bagan berikut, digambarkan bagaimana otoritas bertambah besar jika
dilihat dari jenjang terbawah ke yang lebih atas, atau sebaliknya bertambah kecil jika
dilihat dari jenjang paling atas ke jenjang yang lebih rendah,

Bagan : Distribusi Otoritas

Universitas Gadjah Mada

Penenpatan seseorang dalam suatu posisi dalam struktur organisasi


mensyaratkan pemilikan kemampuan untuk dapat melaksanakan otoritas yang
dimiliki pada posisi itu. Jika seseorang yang mendapatkan posisi tertentu tetapi
mengalami kesiltan dalam pelaksanaannya karena kemampuannya yang kurang
memadai atau seseorang yang mendapatkan suatu posisi kemudian menyalah
gunakan wewenang itu, maka pihak atasan dapat saja menarik otoritas yang
diberikan dan memindahkan atau bahkan memecat orang itu dari posisi yang
diberikan kepadanya. Sebaliknya, seseorang yang mampu mendusuki suatu posisi
dan menggunakan otoritasnya dengan benar dan menunjukkan suatu prestasi yang
nyata maka bukan tidak mungkin ia akan mendapatkan otoritas yang lebih besar,
misalnya dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi, dipindahkan ke posisi yang lebih
stategis dan sebagainya.
Seseorang yang menduduki suatu posisi dalam suatu struktur organisasi
senantiasa berusaha menciptakan situasi dan kondisi yang baik dan mapan dalam
hubungan kerja dengan bawahannya. Atasan memberikan perintah yang jelas bagi
bawahannya serta melakukan pemantauan mengenai apa yang dilakukan bawahan
dan bagaimana perintah itu dilakukan. Pola pengawasan langsung ini hanya dapat
dilakukan dalam suatu organisasi yang terdiri dari sedikit anggota. Dengan
demikian, atasan masih mampu melakukan pengawasan secara langsung terhadap
bawahan yang jumlahnya sedikit itu. Dalam organisasi dengan sedikit anggota ini
hampir tidak ada jenjang yang mengantarai atasan yang memberi perintah dengan
bawahan yang menjalankan perintah.

Universitas Gadjah Mada

ketika organisasi mengalami perkembangan, dimana tugas-tugas bertambah


luas dan banyak, maka pola pengawasan langsung yang demikian tidak dapat lagi
dipertahankan. Tugas dari atasan mengalami peningkatan sejalan dengan
perkembangan organisasi yang demikian. Oleh karena itu, atasan kemudian
menentukan orang yang dapat membantunya melakukan pekerjaan yang tak lagi
dapat dilakukannya sendiri itu. Pada kenyataannya tidak mungkin seorang atasan
memikul sendiri pekerjaan yang makin bertambah dan meluas itu. demikian juga
menjadi bertambah sukar penyelesaian masalah-masalah yang muncul dan
bertambah luas sejalan dengan perkembangan organisasi. Jadi disini atasan
membagi pekerjaan kepada orang yang membantunya.

Universitas Gadjah Mada

Dalam membagi tugas dengan orang yang ditentukan untuk membantunya


itu, atasan juga melakukan pemberian otoritas atau wewenang kepada orang yang
ditentukan untuk membantunya. Ini berarti ketika atasan memberikan perintah
kepada orang

yang ditentukan untuk

membantunya, yang dalam hal ini

berkedudukan sebagai bawahan dari atasan itu, maka pada saat itu otoritas juga
diberikan kepada bawahan atau orang yang ditentukan untuk membantunya. Otoritas
dalam hal ini berkaitan dengan hak dan kekuasaan tertentu untuk melaksanakan
tugas yang diperintahkan kepadanya.
Proses pemberian otoritas dan tanggung jawab kepada bawahan ini dikenal
dengan proses pendelegasian. Jadi delegasi menunjuk pada kemampuan dari
seseorang yang menduduki suatu posisi dalam struktur organisasi dengan otoritas
tertentu, untuk melakukan suatu pekerjaan melalui orang lain. Singkatnya, delegasi
menunjuk pada bagaimana atasan mendapatkan hasil kerja melalui orang lain.
Atasan tidak akan menyerahkan semua pekerjaan untuk dibagi dan dikerjakan oleh
orang lain yang ditunjuk untuk membantunya. Terdapat beberapa yugas yang tidak
didelegasikan, baik karena tugas itu tidak dapat diserahkan pada orang lain karena
sangat penting bagi kehidupan organisasi, atau dapat juga karena bawahan yang
ditunjuk untuk membantunya dipandang tidak akan mampu melakukannya apabila
tugas itu diserahkan kepadanya.
Pada semua tugas atau pekerjaan yang senantiasa rutin terjadi, pekerjaan
yang menjadi bidang keahlian bawahan dalam suatu bagian atau unit kerja, dapat
dengan mudah didelegasikan. Tetapi terdapat juga beberapa pekerjaan yang hanya
bisa dipertimbangkan dan diputuskan oleh atasan, misalnya masalah-masalah yang
berkaitan dengan kehidupan organisasi, masalah pekerjaan yang membutuhkan
dukungan semua bagian atau unit kerja dan masalah lain yang hanya bisa
diputuskan oleh atasan. Ini semua akan menjadi tugas atasan, sedangkan untuk halhal lain akan didelegasikan kepada bawahan.
2. Faktor-faktor yang Berkaitan Dengan Struktur Organisasi

2.1. Kompleksitas
Kompleksitas merupakan faktor yang memiliki pengaruh besar terhadap
struktur organisasi. Kompleksitas juga membawa pengaruh pada perilaku individu di
dalam organisasi, kondisi-kondisi struktural dalam organisasi, proses-proses yang
terjadi di dalam organisasi, serta hubungan antara organisasi dengan lingkungannya.

Universitas Gadjah Mada

Kompleksitas merupakan sesuatu yang pertama-tama dirasakan oleh individu


ketika memasuki suatu organisasi. Kompleksitas ditandai dengan adanya pembagian
kerja dalam organisasi, nama-nama bagian yang ada dalam organisasi, berbagai
pengelompokan bagian atau kegiatan danm suatu jenjang hirarkhi.
Kompleksitas pada umumnya dapat ditemui terutama dalam organisasi besar,
seperti dalam perusahaan besar, negara, Angkatan bersenjata, Universitas dan
sebagainya. Namun sebenarnya, pada organisasi yang sederhanapun kompleksitas
ini dapat ditemukan. Misalnya dalam organisasi tingkat desa seperti PKK
(Pembinaan Kesejahteraan Keluarga), secara sangat jelas menunjukkan adanya
kompleksitas ini, apalagi sebuah organisasi besar seperi misalnya Departemen
Dalam Negeri, akan sangat jelas terlihat adanya kompleksitas ini.
Kompleksitas suatu organisasi disebabkan terutama karena bagianbagian
atau unit-unit kerja yang ada di dalam organisasi itu memiliki berbagai macam variasi
dalam kompleksitasnya. Dalam uraian terdahulu mengenai perluasan vertikal
maupun horisontal telah dikemukakan bahwa bertambahnya kegiatan dan volume
tugas-tugas yang dijalankan organisasi menyebabkan terjadinya perluasan tersebut.
Pada kajian kompleksitas ini hal itu akan disinggung kembali dan akan akan dikaji
lebih mendalam lagi.

Masalah kompleksitas organisasi bukanlah masalah yang sederhana.


Terdapat tiga elemen dari kompleksitas ini, yaitu:

(a). Diferensiasi Horisontal


Mengenai diferensiasi horisontal sebagai elemen kompleksitas ini terdapat
beberapa pengertian. Hall (1991:53-54) menjelaskan mengenai pandanganpandangan itu. Menurut Hage, kompleksitas menunjuh pada spesialisasi dalam
organisasi yang ditandai oleh banyaknya pekerjaan spesialisasi yang terdapat dalam
organisasi dan lamanya pelatihan yang diperoleh pekerja spesivalis yang ada dalam
organisasi. Makin besar jumlah pekerjaan spesialisasi dan makin lama pelatihan bagi
tenaga spesialis yang ada maka makin kompleks pula organisasi itu. Sepaham
dengan Hage, Price menyatakan bahwa kompleksitas dapat dilihat sebagai derajat
persyaratan penngetahuan yang dimiliki dalam menghasilkan keluaran atau output.
Ukuran dari derajat kompleksitas suatu organisasi adalah tingkat pendidikan
anggotanya. Makin tinggi tingkat pendidikan, makin kompleks organisasi itu. Selain
itu, Aiken menyatakan bahwa ada tiga ukuran untuk melihat kompleksitas suatu

Universitas Gadjah Mada

organisasi, yaitu jumlah pekerjaan spesialisasi, banyaknya aktifitas profesional dan


banyaknya pelatihan profesional.
Jadi menurut pandangan di atas, diferensiasi horisontal akan menambah
kompleksitas suatu organisasi terutama karena tingginya spesialisasi yang
membutuhkan koordinasi dari tenaga spesialis. Berbeda dengan pandangan di atas,
Blau menyatakan bahwa kompleksitas menunjuk pada jumlah posisiposisi yang
berbeda dan perbedaan bagian atau unit-unit kerja dalam organisasi. Organisasi
bertambah kompleks jika di dalamnya makin banyak terdapat bagian-bagian atau
unit-unit kerja. Dalam hal ini Blau tidak melihat dari segi kualitas pendidikan dan
ketrampilan, tetapi semata-mata pada pertambahan jumlah bagian.
Secara umum diferensiasi horisontal menunjuk pada pembentukan bagianbagian atau unit-unit kerja dalam suatu organisasi. Pembentukan bagian atau unit
kerja tersebut dapat dilakukan melalui dua cara. Pertama, dengan memberikan
kepada tenaga yang memiliki keahlian tertentu dalam sejumlah kegiatan untuk
membentuk bagian atau unit tersebut. Kedua, melakukan pembentukan secara
cermat dan teliti sehingga tenaga yang bukan ahlipun dapat melakukan
pembentukan bagian atau unit tersebut.
Pada cara pertama, ditandai oleh adanya tenaga ahli atau tenaga terampil
dalam organisasi yang mampu melakukan tugas itu dengan baik. Kepada mereka
diberikan tanggung jawab dan wewenang untuk menyelesaikan tugas itu. Cara ini
tepat untuk menyelesaikan masalah-maslah yang relatif tidak rutin dan memiliki
tingkat keragaman tugas atau kegiatan, dalam arti antar satu dengan lain tugas atau
kegiatan terdapat variasi atau perbedaan yang cukuyp besar. Cara yang kedua
merupakan cara yang nampaknya sangat sederhana, dimana setiap pekerja hanya
menyusun satu atau sedikit tugas atau kegiatan yang dapat diulanginya jika
menghadapi kondisi yang sama. Cara ini tepat untuk menyelesaikan tugas yang
sifatnya rutin dan memiliki kesamaan atau tidak banyak perbedaan antara tugas yang
satu dengan yang lain.

(b). Diferensiasi Vertikal


Diferensiasi vertikal atau diferensiasi hirarkis merupakan masalah yang relatif
tidak serumit diferensiasi horisontal. Hall (1991:54) melihat adanya pandangan para
ahli lain mengenai hal ini. Meyer misalnya menyatakan diferensiasi vertikal ini
sebagai penggandaan jenjang pengawasan, sedangkan Turner melihat diferensiasi
vertikal sebagai jumlah posisi jabatan antara atasan tertinggi sampai dengan

Universitas Gadjah Mada

bawahan terrendah yang menghasilkan keluaran atau output. Sedang Johnson


melihat indikator dari diferensiasi vertikal ini pada jumlah total dari jenjang dalam
sebua bagian dalam organisasi.
Semua pandangan ini secara jelas menunjukkan bahwa dalam diferensiasi
vertikal terdapat distribusi sesuai dengan jenjang hirarkhi yang ada, sehingga makin
tinggi jenjang, makin besar otoritas yang dimiliki. Meskipun distribusi otoritas
merupakan hal yang pasti terjadi, tetapi dalam hal ini yang terpenting adalah adanya
penggandaan jenjang dalam organisasi.
Baik diferensiasi vertikal maupun diferensiasi hprisontal telah menyebabkan
munculnya masalah bagi organisasi terutama dalam hal komunikasi, kontrol atau
pengawasan dan koordinasi. Makin besar diferensiasi vertikal maupun horisontal
makin besar masalah berkaitan dengan koordinasi, kontrol maupun komunikasi.

(c). Sebaran Secara Spasial


Sebaran secara spasial merupakan elemen dari kompleksitas dalam
kaitannya dengan diferensiasi vertikal maupun horisontal. Baik secara horisontal
maupun vertikal, aktivitas dan pendukung aktivitas organisasi dapat tersebar secara
spasial karena adanya sebaran secara spasial pada tugas atau kekuasaan. Sebaran
secara spasial memiliki sumbangan bagi terjadinya kompleksitas jika sebaran secara
spasial itu telah menyebabkan organisasi harus mengembangkan fungsi-fungsi yang
sama dalam pembagian tugas dan susunan hirarkhis dalam berbagai lokasi. Jadi
kompleksitas bertambah besar jika diferensiasi vertikal dan horisontalk terjadi pada
beberapa lokasi sekaligus.
Dalam kenyataannya, diferensiasi vertikal dan horisontal serta sebarasn
secara spasial tidak hanya terjadi secara sendiri-sendiri pada suatu organisasi, tetapi
dapat juga suatu organisasi mengalami perkembangan dalam kompleksitasnya
karena tiga elemen ini secara bersama terjadi dalam organisasi. Satu hal yang
penting untuk dipahami adalah bahwa kompleksitas suatu organisasi memiliki kaitan
erat dengan faktor lingkungan. Jadi dapat dikatakan bahwa terdapat kecenderungan
yang kuat suatu organisasi akan mengalami peningkatan kompleksitasnya jika
aktifitas yang terjadi dalam organisasi itu serta lingkungan yang mengelilinginya juga
bertambah kompleks.

Universitas Gadjah Mada

2.2. Formalisasi
Dalam pandangan banyak ahli, formalisasi bukanlah suatu konsep yang
netral. Menurut pandangan ini, tingkat formalisasi suatu organisasi menunjukkan
perspektif dari para pengambil keputusan dalam organisasi dalam hubungannnya
dengan para anggota organisasi. Jika anggota organisasi dipandang memiliki
kemampuan untuk melaksanakan keputusan dengan baik dan mampu melakukan
pengawasan pada diri sendiri dengan baik, maka formalisasi organisasi cenderung
rendah. Sebaliknya, jika anggota organisasi dipandang tidak mampu melaksanakan
keputusan dengan baik dan membutuhkan banyak aturan yang mengarahkan
perilaku anggota dalam organisasi, maka formalisasi cenderung tinggi. Jadi
formalisasi memiliki kaitan erat dengan kontrol organisasi terhadap anggotanya.
Meskipun demikian, formalisasi memiliki konsekuensi yang penting tidak hanya
tingkat individual, tetapi juga pada tingkat organisasi.
Hall (1991:64-65) melihat bahwa pandangan para ahli mengenai formalisasi
ini berbeda-beda. Hage melihat bahwa organisasi selalu belajar dari pengalaman
masa lalunya dengan menggunakan aturan sebagai sarananya. beberapa organisasi
mengembangkan pola yang cermat mengenai tugas-tugas yang ada secara detail,
tetapi ada pula organisasi yang tidak melakukannya dan tidak ada batasan yang
pasti mengenai tugas-tugas yang ada dalam organisasi. Formalisasi atau
standardisasi diukur dari bagaimana penyusunan pola itu dilakukan dan bagaimana
tugas-tugas itu dirumuskan.
Aiken melihat formalisasi berkaitan dengan penggunaan aturan dalam suatu
organisasi. Sedangkan Turner melihat formalisasi berkaitan dengan makin
banyaknya aturan, prosedur, instruksi dan komunikasi yang dilakukan secara tertulis.
Formalisasi berupakan dasar penting dari struktur organisasi. Jadi pada dua ahli
terakhir ini, penekankannya terlertak pada bagaimana aturan diterapakn dalam
organisasi.
Setiap organisasi dapat melakukan formalisasi, tetapi pada umumnya dapat
dibedakan antara formalisasi maksimal dan formalisasi minimal. Dalam setiap
organisasi terdapat aturan dan tatacara atau prosedur. Aturan maupun prosedur ini
memiliki variasi dari yang paling ketata sampai yang paling longgar. Ini semua
memiliki pengaruh terhadap perilaku anggota dalam organisasi.
Formalisasi maksimal terjadi jika aturan dan prosedur dalam organisasi
berlaku sangat ketat. Misalnya suatu hal harus dikerjakan harus didahului oleh suatu
perintah, dikerjakan dengan cara yang ditentukan oleh aturan dan prosedur yang

Universitas Gadjah Mada

berlaku. Ini menunjukkan bahwa formalisasi yang maksimal. Salah satu akibat dari
formalisasi maksimal adalah kemungkinan besar munculnya rasa frustasi dari
anggota atau pekerja karena ketatnya aturan dan prosedur dalam organisasi.
Formalisasi minimal sebaliknya terdapat aturan dan prosedur tetapi tidak
diperlakukan secara ketat, sehingga anggota organisasi memiliki keleluasaan
mengenai berbagai hal, termasuk apa yang harus dilakukan. Organisasi yang
memiliki formalisasi minimal ini antara lain terjadi pada organisasi yang berhadapan
dengan situasi baru yang sebelumnya belum pernah dihadapi atau berhadapan
dengan masalah-masalah kemanusiaan yang bermacam-macam bentuknya.
Hal lain yang berkaitan dengan formalisasi adalah sentralisasi kekuasaan.
Kekuasaan merupakan hal yang sangat penting dalam setiap organisasi, bahkan ada
yang melihat organisasi sebagai "pemerintah swasta" ketika melihat penggunaan
kekuasaan dalam organisasi. Pernyataan ini hanyalah ingin menekankan bahwa
kekuasaan merupakan elemen penting dalam organisasi sehingga pelaksanaannya
dapat menyerupai kekuasaan pemerintah atas rakyatnya. Distribusi kekuasaan
dalam organisasi memiliki kaitan erat dengan formalisasi.
Dalam suatu organisasi yang memiliki staf yang profesional dan terlatih,
sehingga memiliki kemampuan dan kemauan untuk melakukan pengambilan
keputusan maka pengambilan keputusan tidak berada pada sedikit orang pada
jenjang tertinggi struktur organisasi. Ini berarti keberadaan staf yang profesional dan
terlatih dalam organisasi dapat menumbuhkan kebutuhan untuk mengurangi
perluasan aturan dan prosedur. Sebaliknya jika staf yang profesional dan terlatih
tidak dimiliki, maka kebutuhan akan pengambulan keputusan yang sentralistis
menjadi besar. Artinya, dibutuhkan perluasan aturan dan prosedur agar kinerja
organisasi tetap terjaga. Meskipun terdapat perbedaan, perlu tetap dipahami bahwa
organisasi tetap memiliki kontrol terhadap anggotanya, terlepas anggota itu memiliki
keahlian profesional dan terlatih atau tidak.
Formalisasi juga berkaitan dengan perubahan kegiatan dalam organisasi.
Pada organisasi yang memiliki rutinitas khusus yang tinggi untuk diikuti oleh para
anggotanya, maka dukungan dan perhatian terhadap gagasan baru dan perubahan
kegiatan menjadi kecil. Ini disebabkan karena inisiatif individual dari anggota
mengalami pengurangan sebagai akibat terjadinya formalisasi dalam organisasi.
Dampak formalisasi bagi individu dapat dilihat dari bagaimana individu
mengalami pembatasan oleh aturan dalam organisasi. Secara ekstrim dapat
dikatakan bahwa, aturan-aturan yang sifatnya impersonal telah membatasi semua

Universitas Gadjah Mada

fungsi dari setiap individu dalam organisasi, sehingga individu melakukan tingkah
lakunya mengikuti aturan yang ada, tanpa ada pilihan lain. Tingkat formalisasi yang
ekstrim seperti itu akan menghasilkan "lingkaran setan" karena anggota atau pekerja
mengikuti aturan itu demi aturan itu sendiri, karena ini menjadi ukuran bagi penialain
prestasinya. Aturan menjadi lebih penting dari tujuan organisasi itu sendiri.
Organisasi menjadi sangat kaku dalam menghadapi pihak lain termasuk menghadapi
perubahan lingkungannya. Aturan yang demikian akan menyebabkan proses
pengambilan keputusan cenderung akan menghasilkan aturan baru lagi. aturan
menjadi "penguasa" dan otonomi tidak dapat dijalankan. Kondisi ini jelas tidak
memberi peluang bagi individu untuk mengembangkan inisiatifnya dan akan
menimbulkan frustasi bagi individu.
2.3. Sentralisasi
Sentralisasi berkaitan erat dengan distribusi kekuasaan dalam organisasi,
terutama dalam hubungannya dengan struktur organisasi. Terdapat banyak
pandangan mengenai sentralisasi ini, sebagaimana dikemukakan oleh Hall (1991:7475). Hage menyatakan bahwa sentralisasi merupakan tingkat dan variasi partisipasi
dalam suatu pengambilan keputusan yang strategis oleh suatu kelompok atau
bagain/unit kerja dalam hubungannya dengan kelompok atau bagian/unit kerja lain
dalam organisasi. Makin tinggi tingkat partisipasi dalam pengambilan keputusan oleh
lebih banyak kelompok atau bagian/unit kerja dalam organisasi, maka itu
menunjukan tingkat sentralisasi yang makin rendah. Kekuasaan dalam organisasi
dapat diterapkan dalam berbagai tingkat dan dalam berbagai lokasi dalam organisasi
tersebut.
Ferry menyatakan bahwa sentralisasi menunjuk pada lokasi dari otoritas
pengambilan keputusan dalam organisasi. Jika sebagian besar pengambilan
keputusan dibuat secara hirarkhis di tangan satu unit atau bagian organisasi maka ini
menunjukkan adanya sentralisasi. Sebaliknya desentralisasi terjadi jika dalam proses
pengambilan keputusan terjadi pendelegasian dari atasakn ke bawahan dan semua
unit secara umum menjadi sumber bagi pengambilan keputusan itu.
Elemen lain dari sentralisasi berkaitan dengan bagaimana suatu aktifitas
dievaluasi. Proses evaluasi menunjuk pada suatu proses penentuan apakah suatu
kegiatan atau aktivitas dalam organisasi telah dikerjakan atau dilakukan dengan
sebagaimana mestinya secara benar atau sebaliknya, tidak dikerjakan sebagaimana
mestinya. Apabila evaluasi suatu kegiatan atau aktifitas dilakukan oleh orang-orang

Universitas Gadjah Mada

yang berada pada posisi puncak dalam organisasi tanpa menghiraukan pada
tingkatan mana suatu keputusan diambil, hal itu secara jelas menunjukkan adanya
sentralisasi.
Meskipun konsep sentralisasi secara jelas menunjukkan pada hak untuk
membuat keputusan, yang menggambarkan siapa yang mengambil keputusan apa
dan kapan keputusan itu dibuat. Banyak orang menilai bahwa jika pengambilan
keputusan ada ditangan orang yang berada pada posisi puncak dari organisasi, itu
berarti terjadi sentralisasi. Akan tetapi masalah sebenarnya tidaklah sesederhana itu.
Hal ini terutama jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa setiap organisasi itu selalu
memiliki kebijaksanaan yang mendasari proses pengambilan keputusan.
Secara sederhana, hal itu dapat dijelaskan dengan mengkaitkan antara
tingkat kelonggaran kebijaksanaan organisasi (yang meliputi kebijaksanaan, tatacara
dan aturan yang ada dalam organisasi) dengan tingkatan pengambilan keputusan.
Tingkat kelonggaran terdiri dari dua kemungkinan, yaitu longgar dan ketat,
sedangkan tingkat pengambilan keputusan juga dapat dipilah menjadi dua, yaitu
tingkat atas dan tingkat bawah dari suatu struktur hirarkhis organisasi. Sebagai
hasilnya terdapat antar hubungan yang secara jelas menunjukkan bentuk sentralisasi
dan desentralisasi suatu organisasi.
Terdapat empat kemungkinan dari hubungan antara tingkat kelonggaran
kebijakan dengan tingkat pengambilan keputusan itu, yaitu:

(a). Sangat Sentralisasi


Kondisi ini terjadi jika tingkat kelonggaran kebijaksanaan cukup besar atau
sangat longgar dan dilakukan pada tingkatan atas. Keadaan ini akan
menghasilkan sedikit keputusan yang dapat dibuat oleh pelaksana pada tingkat
bawah dan keputusan yang dibuat oleh tingkat bawah itu mengacu pada
kebijaksanaan yang cukup Ioanggar tersebut. Sebagian besar keputusan harus
mengacu pada apa yang ditentukan oleh tingkatan yang lebih tinggi.

(b). Sentralisasi
Kondisi ini terjadi jika tingkat kelonggaran kebijaksanaan cukup ketat atau
sempit dan dilakukan pada tingkatan atas. Keputusan dibuat oleh para
pelaksana di semua tingkatan dengan mengacu pada kerangkakerja yang
didasari oleh kebijakan, tatacara dan aturan yang ketat. Masalah-masalah yang
muncul harus ditangani dan dikonsultasikan dengan tingkatan yang lebih tinggi
untuk mendapatkan keputusan dan kejelasan penyelesaiannya.

(c). Desentralisasi

Universitas Gadjah Mada

Kondisi ini terjadi jika tingkat kelonggaran kebijaksanaan cukup ketat atau
sempit dan dilakukan pada tingkat bawahan. Keputusan sebagai besar dibuat
pada tingkat bawahan tetapi dengan mengacu pada kerangka kerja
kebijaksanaan yang ada. Para pelaksana pada tingkat bawahan ini memiliki
keleluasaan untuk memecahkan berbagai masalah yang timbul yang tidak
diatur secara jelas oleh kebijaksanaan organisasi.

(d). Sangat Desentralisasi


Kondisi ini terjadi jika tingkat kelonggaran kebijaksanaan organisasi cukup
besar atau sangat longgar dan dilakukan pada tingat bawahan. Sebagian besar
keputusan dibuat pada tingkat bawahan dengan tanpa adanya arahan dan
keharusan untuk mengacu pada kebijaksanaan yang ada pada organisasi,
sedangkan sebagian kecil keputusan yang dibuat dengan mengacu pada
kerangka kerja kebijaksanaan organisasi.
Dari empat kondisi yang ada di atas secara jelas menunjukkan bahwa
konsep sentralisasi tidak sekedar menunjuk pada pembuatan keputusan yang ada
ditangan orang-orang yang berada pada tingkat puncak dari struktur organisasi,
tetapi konsep sentralisasi juga berkaitan dengan bagaimana kebijaksanaan
organisasi mempengaruhi pengambilan keputusan itu. Sebagaimana terlihat dalam
uraian di atas, organisasi menjadi sangat sentralistis manakala kebijaksanaan
organisasi sangat ketat dan pengambilan keputusan dilakukan oleh tingkat atasan
dari struktur organisasi. Sentralisasi itu makin berkurang dalam kondisi dimana
kebijaksanaan organisasi tidak ketat tetapi keputusan tetap berada pada tingkat atas
dari struktur organisasi. Sebaliknya, ketika keputusan itu pada tingkat bawah, dan itu
berarti desentralisasi, memiliki kondisi yang berbeda dalam kaitannya dengan
tingkat kelonggaran kebijaksanaan organisasi.
Faktor lain yang juga mempengaruhi sentralisasi adalah ukuran dari
organisasi. Antara ukuran besarnya organisasi dan sentralisasi menunjukkan
adanya kecenderungan yang berkebalikan. Suatu organisasi yang memiliki ukuran
yang kecil, pengambilan keputusan dan pelaksanaan serta kontrol atas keputusan
itu dapat dilakukan dengan mudah oleh orang-orang yang berada pada posisi
puncak suatu organisasi yang berukuran kecil tersebut. Ini berkaitan dengan
kecilnya urusan dan tidak panjangnya rantai komando yang ada dalam organisasi
yang

berskala

kecil.

Dalam

keadaan

yang

demikian,

keharusan

untuk

mendelegasikan urusan dan wewenang menjadi tidak mendesak sifatnya.

Universitas Gadjah Mada

Sebaliknya, dalam suatu organisasi yang berskala besar, kondisinya sangat


berbeda. Makin besar ukuran suatu organisasi maka makin tidak sentralistis sifatnya.
Hal ini dapat dipahami bahwa dengan makin besarnya ukuran suatu organisasi maka
beban yang dipikul oleh orang-orang yang berada dalam posisi punjak dari suatu
organisasi makin besar. Makin besar ukuran suatu organisasi berarti makin besar
volume tanggung jawab yang ada di posisi puncak pimpinan suatu organisasi dan ini
menjadi sebab mendesaknya keharusan untuk melakukan pendelegasian sebagian
urusan dan tanggung jawab yang ada pada mereka kepada orang-orang yang
berada pada posisi yang lebih rendah posisinya dalam struktur organisasi. Jadi
sebagai akibat dari makin besarnya ukuran organisasi maka konsekuensinya adalah
keharusan dilakukannya pendelegasian sebagian urusan dan wewenang, atau
dengan kata lain, keharusan terjadinya desentralisasi.
Dalam proses pendelegasian beberapa urusan dan wewenang ini, resiko
yang ditimbulkannya dapat dikurangi jika dalam organisasi itu terdapat orangorang
yang secara tepat dapat diserahi sebagian urusan dan wewenang yang
didelegasikan, misalnya orang-orang yang memiliki pengalaman dan ketrampilan
dalam bidang tanggung jawabnya atau orang-orang yang memiliki kualifikasi ahli
dalam bidang yang didelegasikan. Hal ini berarti bahwa kemungkinan terjadinya
kesalahan-kesalahan pelaksanaan tugas atau kegiatan yang ditetapkan dari atas
pada tingkat bawah akan dapat dikurangi seminimal mungkin jika pihak-pihak yang
diserahi tanggung jawab dan wewenang untuk melaksanakan kegiatan atau aktifitas
itu benar-benar terampil atau ahli dalam melaksanakannya. Sebaliknya, jika para
pelaksana pada tingkat bawah itu tidak memiliki kualitas dan kemampuan yang
memadai, kemungkinan terjadinya kesalahan dalam pelaksanaan tugas atau aktifitas
tersebut pada tingkat bawah cukup besar.
Sentralisasi juga memiliki kaitan yang erat dengan kondisi lingkungan
organisasi. Dalam banyak studi diperoleh surau kecenderungan dimana dalam suatu
situasi yang tingkat kompetisi pasar antar organisasinya berlangsung cukup keras,
maka kecenderungan dilakukannya desentralisasi menjadi makin penting dari pada
dalam suatu lingkungan organisasi yang tingkat kompetisi pasarnya cukup lemah. Ini
menunjukkan bahwa tingkat persaingan dalam lingkungan membawa pengaruh pada
tingkat desentralisasi organisasi.
Namun dari studi yang lain juga memberikan hasil yang berlawanan dari
kecenderungan di atas. Berbeda dengan kecenderungan di atas, beberapa hasil
studi yang lain justru menunjukkan bahwa dalam suatu lingkungan yang tingkat

Universitas Gadjah Mada

persaingan antar organisasinya cukup keras, kebutuhan akan adanya koordinasi dan
kontrol menjadi makin besar. Ini berarti bahwa kebutuhan akan sentralisasi menjadi
makin penting dan bukan desentralisasi. Dalam kondisi yang demikian, frekuensi
pelaporan

perkembangan

keadaan

lingkungan

organisasi

menunjukkan

kecenderungan yang tinggi, makin dibutuhkannya komunikasi yang tertulis,


kebutuhan akan prosedur atau tatacara pengambilan keputusan yang makin
terperinci dalam organisasi makin besar. Ini semua secara singkat menunjukkan
adanya tingkat sentralisasi yang makin besar.
Perbedaan kecenderungan dari berbagai hasil studi tersebut di atas
menunjukkan hubungan antara tingkat persaingan antar organisasi dalam lingkungan
dengan kecenderungan terjadinya sentralisasi atau sebaliknya desentralisasi dalam
organisasi. Hal ini sebenarnya berkaitan dengan karakteristik lingkungan organisasi
yang ada. Dalam suatu lingkungan yang memiliki tingkat persaingan dimana semua
organisasi yang saling bersaing itu memiliki kemungkinan memperoleh hasil yang
sama, maka kecenderungan terjadinya desentralisasi akan bertambah kuat.
Sebalinya dalam suatu lingkungan yang relatif memiliki keterbatasan tertentu
sehingga keberhasilan suatu organisasi dalam persaingan antar organisasi akan
mengakibatkan

organisasi

yang

lain

kehilangan

kesempatan

dan

peluang

mendapatkan hasil, maka kecenderungan terjadinya sentralisasi menjadi makin


besar.
Tingkat sentralisasi dalam organisasi secara tidak langsung menggambarkan
kondisi masyarakat dimana organbisasi itu berada. Hal ini berkaitan dengan
kenyataan bahwa sentralisasi berhubungan dengan kekuasaan. Jika organisasi
menjadi

alat

utama

pelaksanaan

kekuasaan

dalam

masyarakat,

maka

kecenderungan kebutuhan akan sentralisasi menjadi makin besar karena masyarakat


sebagai lingkungan organisasi memberikan peluang sentralisasi dapat dilakukan.
Jika sebagian besar organisasi dalam masyarakat menerapkan sentralisasi maka
peluang para pekerja tingkat bawahan untuk membicarakan dan memecahkan
masalah yang mereka hadapi tidak banyak dapat dilakukan.
Tingkat sentralisasi organisasi juga menggambarkan bagaimana organisasi
memperlakukan anggotanya. Ini terlihat dari asumsi bahwa dalam suatu organisasi
yang sangat tersentralisasi, akan memperlakukan pengawasan yang ketat terhadap
anggotanya. Sebaliknya, jika tingkat sentralisasinya rendah, itu berarti bahwa para
anggota organisasi memiliki peluang dan kesempatan yang besar untuk mengambil
keputusan sendiri.

Universitas Gadjah Mada

3. Hubungan Kerja Dan Struktur Organisasi

3.1. Hubungan Kerja dalam Organisasi


Dalam masyarakat yang makin modern, organisasi telah menjadi bagian yang
penting dari kehidupan masyarakat. Setiap anggota masyarakat senantiasa
berhubungan dengan organisasi selama ia menjadi anggota masyarakat tersebut.
Organisasi bahkan telah dapat dinyatakan sebagai salah satu tempat dimana proses
sosialisasi bagi anggota masyarakat dilakukan, selain di dalam keluarga, di sekolah
maupun di tengah-tengah masyarakat. Sebagai contoh, ketika seorang anak belum
memasuki usia sekolah, maka proses sosialisasi hampir sepenuhnya dilakukan di
dalam keluarga. Ketika anak mulai memasuki usia sekolah dan kemudian anak juga
makin luas pergaulannya, maka proses sosialisasi tidak hanya dilakukan oleh
keluarga, tetapi juga oleh sekolah dan juga oleh masyarakat. Ketika anak itu
kemudian aktif dalam organisasi di dalam masyarakat, misalnya anak itu aktif dalam
organisasi kepemudaan di kampungnya, maka sosialisasi juga dilakukan oleh
organisasi kepemudaan itu. Jadi makin dewasa anak, makin luas pergaulannya,
makin banyak organisasi yang dimasukinya, maka akan lebih banyak faktor yang
mempengaruhi proses sosialisasinya.
Organisasi memang tumbuh dan berkembang disekitar upaya manusia dan
masyarakat memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Sebagaimana diketahui bahwa
manusia tidak mampu memenuhi semua kebutuhannya sendiri sehingga ia kemudian
bekerja sama dengan orang lain melalui cara membentuk berbagai organisasi. Jadi,
terdapat banyak organisasi sejalan dengan ragamnya kebutuhan hidup manusia dan
masyarakat. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa dewasa ini, orang lebih banyak
hidup dalam organisasi dan pada saat yang sama, orang menjadi anggota berbagai
organisasi sekaligus. Dengan demikian, makin banyak seseorang menjadi anggota
berbagai organisasi, maka makin banyak pula hubungan sosialnya dengan orangorang yang memiliki latar belakang pengalaman sosial yang beragam, dan semua ini
akan mempengaruhi pula proses sosialisasinya.
Dalam pengkajian tentang pengertian organisasi telah dipahami bahwa
organisasi menunjuk pada suatu tipe kolektifitas yang mapan untuk mencapai suatu
tujuan khusus, yang ditandai oleh adanya suatu struktur aturan yang formal,
hubungan kewenangan, pembagian kerja dan pembatasan keanggotaan. Organisasi
juga menunjuk pada suatu aktifitas sosial yang teratur dengan tujuan tertentu. Dalam
pengertian ini, organisasi memiliki implikasi pada kemampuan untuk mengontrol

Universitas Gadjah Mada

hubungan-hubungan antar manusia untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dari


pengertian diatas napak jelas bahwa organisasi memiliki kaitan dengan kumpulan
orang, yang di dalamnya ada proses pembagian kerja dan terdapat pula suatu sistem
hubungan diantara anggota-anggotanya dalam rangka pencapaian tujuan organisasi.
Oleh karena orang berada dalam organisasi untuk saling bekerja sama dalam
mencapai tujuan tertentu, maka hubungan antar orang merupakan hal yang penting
untuk dipahami. Meskipun sangat disadari bahwa pemahaman tentang hubungan
antar manusia (human relations) merupakan sesuatu yang tidak mudah mengerti,
tetapi karena hubungan antar manusia itu memainkan peranan yang penting,
termasuk dalam organisasi, maka hal ini menjadi sangat penting untuk dipahami.
Pada umumnya perhatian tentang hubungan antar manusia dalam organisasi tertuju
pada bagaimana memahami kekuatankekuatan dan akibat-akibat dari perilaku orang
per orang maupun kelompokkelompok yang ada dalam organisasi. Menyadari akan
hal ini maka tugas-tugas pengorganisasian pada prinsipnya adalah mengatur
bagaimana hubungan antar manusia dalam organisasi dapat diarahkan pada
penvcapaian tujuan yang ditentukan.
Dalam organisasi, hubungan antar anggotanya pada umumnya diarahkan
pada usaha untuk memahami dan menciptakan kondisi yang memungkinkan
terjadinya kerjasama antar anggota tersebut untuk mencapai tujuan yang ditentukan.
Hubungan antar anggota organisasi yang berjalan baik, sangat besar sumbangannya
bagi pencapaian tujuan organisasi tersebut. Oleh karena itu banyak organisasi yang
melakukan pelatihan atau orientasi awal bagi calon anggota atau calon pegawainya.
Adapun tujuan dari pelatihan pada awal keterlibatan anggota baru dalam organisasi
ini pada dasarnya ditujukan agar anggota baru itu dapat mengenal aktifitas, tugas,
kegiatan organisasi dan menerima nilai-nilai yang ada dan hidup dalam organisasi
serta anggota baru itu mampu mengembangkan sikap-sikap yang positip dalam
berhubungan dengan anggota organisasi lainnya.
Hubungan antar anggota dalam organisasi formal memiliki beberapa
perbedaan dengan hubungan antar anggota dalam organisasi informal. Dalam
organisasi formal mempunyai struktur yang dinyatakan dengan jelas dan tegas, yang
dapat menggambarkan hubungan-hubungan wewenang, kekuasaan dan tanggung
jawab. Organisasi formal memiliki perincian pekerjaan yang jelas bagi tiap anggota,
juga tujuan yang jelas dan terdapat pengaturan yang tegas mengenai hak dan
kewajiban

anggota.

Dalam

organisasi

formal,

struktur

organisasi

dibentuk

berdasarkan aktifitas yang harus dikerjakan oleh para pekerja atau anggota

Universitas Gadjah Mada

organisasi kedalam fungsi-fungsi yang logis, yang secara umum dikenal sebagai
departementalisasi. Dengan adanya departementalisasi ini, maka pembagian
kegiatan organisasi dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien.
Di sisi lain, organisasi informal disusun secara bebas, lebih fleksibel, tidak
pasti dan spontan. Keanggotaan dalam organisasi informal dapat diperoleh secara
sadar atau bisa pula tidak secara sadar dan sukar ditentukan kapan menjadi anggota
kapan tidak menjadi anggota. Pada umumnya keanggotaan tumbuh melalui
perjalanan waktu. Oleh karena itu, hubungan antar anggota dalam organisasi
informal ini lebih longgar dan tidak secara jelas dan tegas menentukan hak dan
kewajiban dari anggotanya.
Perbedaan ini sangat penting untuk memahami bagaimana hubungan antar
anggota dalam suatu organisasi formal berlangsung. Dengan adanya struktur
organisasi yang jelas, maka hubungan wewenang, kekuasaan dan tanggung jawab
terrinci dengan jelas, demikian juga penjabaran akan tugas masing-masing menjadi
jelas. Ini semua akan menjadi pedoman tingkah laku bagi semua anggota organisasi.
Oleh karena sedemikian jelas dan formalnya hubungan antar anggota dalam
melakukan aktifitas organisasi, maka hubungan antar anggota dalam suatu
organisasi formal dapat dipandang sebagai suatu bentuk hubungan kerja. Ini juga
didasari oleh kenyataan bahwa dalam setiap organisasi, antara satu anggota dengan
anggota lain senantiasa saling tergantung (interdependent) dan hanya dengan
bekerja sama tujuan organbisasi akan dapat dicapai.
Hubungan kerja yang terjadi dalam organisasi menggambarkan bagaimana
budaya yang berkembang dalam organisasi itu. Ini dapat dipahami karena pada
umumnya

dalam

kurun

waktu

tertentu,

setiap

organisasi

akan

selalu

mengembangkan budayanya sendiri, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai,


norma-norma dan harapan-harapan yang berlaku bagi anggota organisasi. Oleh
karena organisasi itu merupakan lingkungan sosial sekaligus tempat untuk saling
berinteraksi, atau bekerja bagi para anggota organisasi, maka budaya yang berlaku
dalam organisasi itu akan sangat mempengaruhi interaksi sosial dan perkembangan
kepribadian para anggota organisasi itu.
Sebagai contoh, seorang pegawai baru yang diterima bekerja pada suatu
kantor yang terkenal memiliki disiplin yang tinggi serta memiliki penghargaan yang
tinggi atas kerja keras dan prestasi kerja, segera akan melakukan penyesuaian
terhadap budaya yang berlaku di kantor tersebut. Pegawai itu akan menempatkan
disiplin, prestasi kerja dan kerja keras sebagai pedomannya dalam bekerja. Ini

Universitas Gadjah Mada

membuktikan bahwa sebagai lingkungan sosial, organisasi akan mempengaruhi


perkembangan kepribadian dan pola interaksi sosial anggota organisasi itu. Demikian
pula organisasi sebagai tempat bekerja, akan mempengaruhi cara dan kebiasaan
kerja anggota organisasi itu. Meskipun diakui bahwa seseorang bekerja tidak
semata-mata karena motivasi untuk mendapatkan upah atau gaji, tetapi ada juga
motivasi lain yang mendorongnya untuk bekerja. Apalagi jika dikantor tersebut
promosinya ditentukan oleh prestasi kerja yang dimiliki seseorang, maka akan sangat
besar kemungkinannya orang akan bekerja dengan sangat keras untuk tidak sekedar
mendapat uang, tetapi juga posisi jabatan dalam kantor itu.
Selain itu, besar kecilnya ukuran organisasi yang ditandai oleh kompleks
tidaknya

struktur,

aktifitas

dan

jumlah

anggota

suatu

organisasi,

sangat

mempengaruhi hubungan kerja yang terjadi dalam organisasi. Sebagai contoh,


dalam suatu pabrik tekstil, struktur organisasinya hanya terdiri dari tiga jenjang, yaitu
manajer pada posisi atas, para mandor atau pengawas pada jenjang tengah dan
pekerja biasa pada jenjang terbawah. Ditilik dari jumlah, para manajer merupakan
yang paling sedikit, hanya ada empat atau lima orang, para pengawas hanya
berjumlah sepuluh sampai lima belas orang, tetapi setiap pengawas ini membawahi
antara duapuluh sampai tiga puluh orang pekerja yang bekerja secara terus menerus
selama dua puluh empat jam secara bergiliran. Ini menunjukkan bahwa meskipun
jumlah pekerjanya banyak, tetapi tingkat kompleksitas struktur organisasi dan ragam
aktifitasnya sebenarnya sangat rendah. Berbeda dengan contoh ini, contoh lain
misalnya sebuah Rumah Sakit, struktur organisasinya jauh lebih kompleks, selain
pimpinan rumah sakit, para dokter umum, para dokter ahli, paramedis, karyawan
administrasi dan sebagainya, berada dalam suatu struktur organisasi dan aktifitas
yang jauh lebih kompleks, walaupun jumlah keseluruhannya tidak sebanyak pekerja
pada pabrik tekstil di atas.
Sangat disadari bahwa perkembangan masyarakat yang makin modern
membawa perubahan pula pada hubungan kerja yang terjadi dalam organisasiorganisasi yang ada dalam masyarakat itu. Bentuk-bentuk organisasi, struktur dan
kegiatannya telah sangat berbeda dibandingkan dengan organisasi dimasa-masa
lalu. Anggota organisasi atau pekerja yang bekerja dalam organisasi juga sangat
berbeda dengan kondisinya dimasa lampau, Pada masyarakat yang makin modern,
pada umumnya para anggota organisasi memiliki tingkat pendidikan yang berbeda,
penguasaan teknologi yang berbeda dan juga lingkungan yang berbeda pula. Ini

Universitas Gadjah Mada

semua akan mempengaruhi bagaimana hubungan kerja yang ada di dalam


organisasi.
Sebagai contoh, di Indonesia dalam tahun 1990-an, lapangan kerja di sektor
Industri sangat berbeda dengan yang ada pada tahun 1960-an. Pada masa tahun
1960-an itu tingkat pendidikan rata-rata pencari kerja masih rendah, umumnya hanya
sekolah menengah, tingkat teknologi yang masih sederhana, dengan pengaruh
lingkungan yang masih terbatas. Penggunaan teknologi dalam bidang indutri pada
umumnya masih merupakan teknologi yang memadukan antara keahlian dan
ketrampilan manusia dengan kemampuan mesin. Penggunaan computer, masin
otomatis dan sejenisnya masih sangat terbatas pada masa itu. Sementara itu pada
tahun 1990-an, pencari kerja dengan jenjang pendidikan tinggi dan spesialis sudah
sangat banyak, penguasaan teknologi yang makin canggih juga makin banyak
dimiliki para pekerja, demikian kondisi lingkungannya juga berubah. Perekmebangan
teknologi industri mengalami percepatan atau akselerasi yang sangat cepat.
Penggunaan mesin produksi. komputer dan sejenisnya, dapat dikatakan sangat
cepat berubah, perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software)
sedemikian cepat berganti. seakan-akan apa yang hari ini baru besok pagi sudah
ketinggalan jaman karena muncul yang lebih canggih lagi. Hal-hal tersebut tentu
sangat mempengaruhi hubungan kerja. Jadi hubungan kerja yang terjadi pada tahun
1960-an, dan itu jelas-jelas berbeda dengan hubungan kerja dalam berbagai
lapangan kerja di sektor industri pada tahun 1990-an.
Selain itu dapat dinyatakan bahwa hubungan kerja dalam organisasi memiliki
at yang sangat penting bagi pelaksanaan aktifitas dan pencapaian tujuan organisasi.
Meskipun demikian, sangat sukar dikatakan bentuk dan kondisi hubungan kerja yang
bagaimana yang sebenarnya paling efektif dan efisien. Hal ini didasari oleh
kenyataan bahwa walaupun telah disatukan dalam organisasi dan telah ada
seperangkat aturan yang mengatur hubungan kerja dalam organisasi, tetapi tetap
tidak mudah diketahui apa yang dapat membuat hubungan kerja berjalan secara
efektif dalam segala situasi dan kondisi apapun. Jadi, hubungan kerja dalam
organisasi itu senantiasa berubah-ubah, tergantung dari situasi dan kondisi yang
terjadi dalam organisasi itu. Hal ini antara lain disebabkan karena pada
kenyataannya tidak pernah terjadi dua orang yang memiliki interpretasi, pemahaman
dan penafsiran yang tepat sama dan dengan cara yang tepat sama pula terhadap
realitas dan dunia yang ada disekelilingnya. Jadi disni selalu ada perbedaan antara
orang yang satu dengan lainnya.

Universitas Gadjah Mada

Dalam hubungan kerja ini, tidak jarang anggota organisasi atau para pekerja
harus bekerja secara bersama dalam suatu kerja kelompok atau kerja beregu (work
team). Kerja kelompok atau kerja beregu ini sangat banyak manfaatnya, terutama
untuk menyelaraskan perbedaan-perbedaan antar anggota organisasi. Jika anggotaanggota dari suatu unit kerja kelompok ini kemudian menguat menjadi kelompok,
maka ikatan dan solidaritas antara anggota dalam kelompok ini akan bertambah
besar, terutama jika melalui kerja bersama ini banyak manfaat yang dirasakan oleh
anggotanya, khususnya jika dibandingkan jika anggota itu tidak berada dalam
kelompok, tetapi bekerja secara mandiri dan berdiri sendiri-sendiri. Dalam kaitannya
dengan hubungan kerja dalam organisasi, proses-proses yang terjadi dalam
kelompok-kelompok baik formal maupun informal di dalam organisasi merupakan hal
yang penting dan mempengaruhi aktifitas organisasi. Besar kecilnya jumlah
kelompok dan jumlah anggotanya juga mempengaruhi hal tersebut.
3.2. Tata Formal dan Tata Informal dalam Organisasi
Di dalam organisasi terdapat kumpulan orang-orang, yang bekerja sama
untuk mencapai tujuan tertentu. Untuk mengatur bagaimana kerjasama itu dilakukan
dan bagaimana tujuan itu dicapai, di setiap organisasi pada umumnya memiliki
seperangkat aturan, baik yang berbentuk formal karena dibentuk melalui prosedur
tertentu, tertulis dan dapat dirasakan keberadaannya secara jelas dan nyata oleh
setiap anggota organisasi, maupun seperangkat aturan yang berbentuk informal,
tidak tertulis, lebih merupakan kesepakatan-kesepakatan yang sangat longgar, tetapi
keberadaannya sangat dapat dirasakan oleh para anggota organisasi itu.
Dalam organisasi formal, pada umumnya aturan-aturannya bersifat formal,
dalam arti pembuatannya dilakukan melalui cara tertentu yang mengikuti cara-cara
yang ditetapkan dalam organisasi dan berlakunya aturan itu dinyatakan secara
formal, sehingga setiap bentuk pelanggarannya akan dikenai sanksi sebagaimana
diatur dalam aturan itu. jadi di dalam organisasi terdapat aturan atau tata formal yang
secara nyata berlaku dan ditaati oleh anggota organisasi. Sebagai contoh, dalam
organisasi formal seperti sekolah, sangat jelas dapat diketahui adanya aturan-aturan
yang berlaku bagi semua orang yang menjadi bagian dari organisasi sekolah itu.
Dalam aturan itu diatur secara jelas tentang apa larangan, hak, tugas, kewajiban dan
sanksi atas pelanggaran aturan, sehingga baik Kepala Sekolah, Guru, Siswa dan
Karyawan akan mengerti dan menjadikan perangkat aturan-aturan itu sebagai
pedomannya dalam bertingkah laku dan berhubungan satu sama lain. Contoh yang

Universitas Gadjah Mada

lain, sebuah rumah sakit, selain terdapat aturan formal yang mengatur hubungan
kerja di dalam rumah sakit itu, misalnya tentang tugas, kewajiban dan hak dari
pimpinan, para dokter, karyawan, paramedis dan sebagainya, juga terdapat aturan
formal bagi pihak lain yang berhubungan dengan rumah sakit itu, misalnya tentang
jadwal pemeriksaan, tatacara pengobatan, penanganan pasien gawat darurat atau
rawat inap, tarif pengobatan dan sebagainya. Semua ini merupakan aturan formal
yang berlaku di dalam rumah sakit itu.
Sesuai dengan sifat dari aturan formal yang umumnya bersifat tegas dan
jelas, namun kelemahan dari aturan formal itu juga ada, antara lain karena sifatnya
yang formal maka kemudian menjadi kaku dan tidak mudah disesuaikan dengan
kondisi yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Pada kenyataannya, apa yang terjadi
dan berlangsung dalam kehidupan sehati-hati tidak jarang belum atau tidak diatur
dalam aturan formal yang ada. Akibatnya, akan terjadi suatu kondisi dimana
jangkauan aturan formal itu tidak dapat mencapai pengaturan hal-hal yang ada
dalam kehidupan sehari-hari itu. Oleh karena semua itu harus dilakukan, sementara
aturan formal yang ada tidak dapat diberlakukan pada hal itu, maka kemudian
muncul cara-cara dan kebiasaan-kebiasaan yang diterima dalam hubungan kerja
pada organisasi formal itu. Jadi disini selain terdapat aturan atau tata formal, juga
terdapat dan berlaku tata informal.
Sebagai contoh, dalam suatu Kantor Pemerintah, aturan yang ada tidak
mengatur tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap suatu keharusan
pengambilan keputusan yang segera harus diambil jika pimpinan yang berwenang
untuk mengambil keputusan itu sedang tidak ada di tempat, sementara persolannya
harus segera diputuskan. Dalam kasus seperti ini kemudian diambil inisiatip pegawai
dengan pangkat tertinggi atau yang paling senior yang ada pada unit organisasi kerja
itu, yang menjalankan wewenang pengambilan keputusan tersebut. Jika pola ini
kemudian menjadi sesuatu yang selalu dijalankan maka pola ini kemudian menjadi
ketentuan yang tidak tertulis yang berlaku dalam satuan organisasi itu. Sudah barang
tentu munculnya polapola seperti itu akan terjadi jika suatu tindakan yang diambil itu
dinilai benar dan memberikan manfaat bagi pencapaian tujuan organisasi.
Sebaliknya jika ternyata suatu tindakan yang diambil itu dinilai tidak benar atau tidak
sesuai dengan tujuan organisasi, maka pola itu tidak akan muncul karena
pengulangan terhadap tindakan yang salah dan merugikan itu. Tindakan yang salah
dan merugikan itu memiliki konsekuensi adanya hukuman (punishment), sehingga

Universitas Gadjah Mada

cenderung tidak akan diulang. Jadi ada semacam pola kebiasaan yang telah menjadi
suatu pedoman yang menyertai keberadaan aturan formal dalam suatu organisasi.
Adanya seperangkat aturan tidak hanya ditemukan dalam organisasiorganisasi formal semata. Di dalam organisasi informal juga terdapat seperangkat
aturan meskipun memiliki bentuk yang berbeda dengan peraturan yang ada dalam
suatu organisasi formal. Dalam organisasi semacam ini, senantiasa juga terdapat
seperangkat aturan, namun pada umumnya lebih merupakan aturan-aturan yang
berdasar pada kesepakatan-kesepakatan longgar diantara para anggota sehingga
penegakkan aturan tersebut juga tergantung pada bagaimana sikap para anggota
terhadap pelanggaran yang terjadi. Jadi dalam suatu organisasi informal, baik tata
formal maupun tata informalnya sama-sama tidak memiliki bentuk yang tertulis, tetapi
secara nyata berlaku dan ditaati oleh para anggota organisasi itu.
Sebagai contohnya, sekumpulan pengemudi taksi yang biasa mencari
penumpang di depan Terminal Bus atau di sekitar Stasiun Kereta Api, yang dapat
dipandang sebagai suatu organisasi informal, juga memiliki seperangkat aturan yang
berlaku diantara mereka. Sebagai organisasi yang informal sifatnya, para pengemudi
taksi ini secara sukarela dan secara spontan membuat kesepakatan-kesepakatan
tertentu, yang dengan kesepakatan itu dirasakan akan memberikan kepuasan bagi
semua. Meskipun tidak secara formal diakui, salah satu atau beberapa orang
mendapatkan kepercayaan dari para sopir taksi lainnya untuk menjadi "pemimpin"
diantara para sopir taksi itu. Meskipun tidak ada ketentuan yang secara formal dibuat
dan ditentukan, tetapi semua sopir yang merasa bagian dari organisasi informal itu
mentaati aturan main yang berlaku dikalangan mereka. Semua informasi melalui
saluran informal, namun norma, nilai dan kepercayaan yang ada dalam lingkungan
para sopir itu mampu mengatur perilaku semua sopir yang merasa menjadi bagian
dari kelompok itu. Penegakkan aturan juga dilakukan secara informal, tetapi pada
umumnya dapat berjalan efektif karena kepatuhan dan ketaatan yang tinggi dari
anggota organisasi informal itu.
Seperangkat aturan itu juga menentukan bagaimana hubungan antar posisi
dalam organisasi itu dilakukan. Sebagaimana diketahui, pada setiap organisasi selalu
terdapat adanya struktur organisasi. Meskipun demikian terdapat perbedaan antara
organisasi formal dengan organisasi informal, dimana dalam organisasi formal,
struktur ini dibentuk menurut kebutuhan teknis tertentu, sedangkan pada organisasi
informal, tidak terdapat desain tertentu yang mengaturnya. Meskipun demikian, pada
dasarnya setiap struktur organisasi menunjuk pada hubungan antara fungsi-fungsi

Universitas Gadjah Mada

tertentu atau menunjuk bagan atau skema dari hubungan-hubungan dan tugas-tugas
dari orang-orang yang bekerja dalam organisasi.
Pemahaman terhadap aturan yang ditunjukkan oleh perilaku anggota
organisasi ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa setiap saat, banyak orang atau
anggota melakukan berbagai tindakan dalam organisasi, namun tidak menghasilkan
kekacauan maupun kebingungan, sebaliknya justru menghasilkan suatu tindakan
yang teratur. Meskipun demikian, hal ini bukan berarti bahwa dalam organisasi tidak
terdapat persaingan, ketegangan dan konflik diantara para anggota organisasi itu.
Jadi dengan adanya aturan dan pemahaman aturan oleh para anggota organisasi
maka hubungan sosial yang dilakukan diantara orang-orang ini pada umumnya dapat
berjalan dengan baik dan pencapaian tujuan organisasi dapat dilakukan.
Keberadaan seperangkat aturan ini juga berfungsi sebagai penyelaras
berbagai perbedaan yang muncul diantara orang-orang maupun kelompokkelompok
yang ada dalam organisasi. Perbedaan latar belakang sosial, kecenderungan sikap
pribadi secara individual, perbedaan ketrampilan dan keahlian serta pendidikan, serta
perbedaan kepentingan dapat diatasi oleh adanya seperangkat peraturan yang
mengatur bagaimana semua orang yang menjadi anggota organisasi itu harus
berperilaku. Dengan demikian ada keteraturan, keselarasan dan kesamaankesamaan tertentu diantara para anggota organisasi, dan dengan kondisi yang
demikian, pelaksanaan tugas pada umumnya lebih mudah dilakukan.
Sebagai contoh, dalam suatu kantor yang memiliki pegawai mencapi ribuan
orang, sedangkan aktifitas yang ada di kantor itu sangat banyak dan beragam.
Banyaknya pegawai menunjukkan adanya latar belakang yang berbeda, kepribadian
yang berbeda satu sama lain, kepentingan dan kebutuhan yang berbeda, serta
perbedaan keahlian, pendidikan dan ketrampilan. Seharusnya dalam situasi seperti
itu akan terjadi kebingungan dan kekacauan, tetapi kenyataannya tidak demikian.
Orang bekerja menurut bidang dan tugas masing-masing. Antara bagian yang satu
dengan lain dapat bekerja sama dengan baik dan secara umum dapat dikatakan
bahwa pelaksanaan tugastugas di kantor itu dapat berlangsung dengan lancar.
Kondisi yang demikian sebenarnya dapat tercipta karena pengaturan hubungan antar
orang yang berjalan dengan baik.
Keberadaan aturan informal sebenarnya tidak hanya ditemukan dalam
organisasi informal saja. Di dalam organisasi formalpun sebenarnya berkembang
pula aturan informal diantara para anggota organisasi itu, meskipun aturan-aturan ini
berbeda dengan aturan informal yang muncul dalam rangka pelaksanaan hubungan

Universitas Gadjah Mada

kerja sebagaimana telah dikemukakan di atas. Jika aturan formal secara jelas dan
tegas mengatur hubungan kerja dan kemudian hal-hal yang berkaitan dengan
hubungan kerja dalam rangka pelaksanaan aktifitas organisasi tetapi belum ada
aturan formal yang mengaturnya, maka aturan informal yang berupa kebiasaan itu
kemudian dipergunakan sebagai acuan untuk melaksanakan hubungan kerja. Akan
tetapi duluar itu semua, masih ada lagi aturan yang mengatur hubungan sosial
secara umum diantara para anggota, baik dalam kerangka hubungan kerja maupun
hubungan sosial di luar hubungan kerja, yang ditaati oleh para anggota suatu
organisasi.
Hubungan antar anggota dalam suatu organisasi tidak hanya terbatas pada
hubungan kerja formal semata. Selain hubungan kerja, sebagian besar hubungan
yang berlangsung diantara para anggota suatu organisasi merupakan hubungan
yang sifatnya tidak formal atau bukan hubungan kerja. Hubungan-hubungan sosial
yang bukan hubungan kerja, yang berkembang dalam organisasi ini merupakan
dasar dari adanya kelompok informal dan pada umumnya mengikuti aturan-aturan
yang berbeda dari aturan-aturan yang secara formal mengatur hubungan kerja,
meskipun aturan formal juga mempengaruhi hubungan sosial ini.
3.3. Pedoman Hubungan Kerja dalam Organisasi
Dalam pelaksanaan hubungan kerja, terdapat beberapa hal yang menentukan
pola hubungan kerja yang terjadi di dalam suatu organisasi. Struktur organisasi
merupakan salah satu hal yang menentukan pola hubungan kerja dalam organisasi.
Struktur

organisasi

adalah

seperangkat

formal

hubungan-hubungan

yang

direncanakan antara pengelompokan fungsi-fungsi


yang semacam,

dan antara faktor-faktor phisik dan orang-orang yang

diperlukan untuk melakukan fungsi-fungsi ini. Dalam pengertian yang lebih umum,
struktur organisasi dapat dipandang sebagai suatu pola-pola yang mapan dari
hubungan sosial diantara berbagai bagian atau komponen dari suatu organisasi.
Secara umum, suatu struktur formal menunjuk pada beberapa hal, yaitu:

(a) terdapatnya pola yang mapan dari hubungan dan tugas-tugas.


(b) berbagai aktifitas dan kegiatan diberikan kepada bagian-bagian atau orangorang
yang ada dalam organisasi.

(c) terdapat koordinasi dari berbagai aktifitas dan pekerjaan ini.


(d) terdapat hubungan hirarkis dalam organisasi

Universitas Gadjah Mada

(e) semua

kebijakan,

prosedur,

ukuran,

sistem

evaluasi

dan

sebagainya

memberikan pedoman .bagi berbagai aktifitas dan hubungan antar orang dalam
organisasi.
Di dalam organisasi formal yang demikian, dimana struktur organisasinya
secara

nyata

menentukan

posisi-posisi

dari

tiap-tiap

anggota

organisasi,

pelaksanaan aktifitas organisasi itu pada umumnya dilakukan atas dasar adanya
hubungan kerja diantara berbagai posisi dalam struktur organisasi itu. Ini dapat dilihat
dalam berbagai aturan dasar organisasi, pada umumnya hak dan kewajiban serta
fungsi dan tugas masing-masing posisi dalam organisasi formal itu ditentukan secara
jelas. Semua itu akn sangat mempengaruhi pola hubungan kerja di dalam organisasi.
Hal kedua yang mempengaruhi pola hubungan kerja dalam organisasi adalah
koordinasi. Dalam organisasi formal, koordinasi harus ada dalam suatu organisasi
karena dalam organisasi itu terdapat orang-orang atau bagianbagian yang bekerja
sama dalam pencapai tujuan umum yang sama, sehingga koordinasi menjadi sangat
diperlukan untuk menyatukan berbagai bagian atau orang-orang itu dalam bekerja
untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Ini berarti pola hubungan kerja yang
terjadi dalam organisasi juga dipengaruhi oleh
bagaimana

koordinasi

dilakukan.

Koordinasi

menyatukan

atau

mengintegrasikan orang-orang atau bagian-bagian yang satu sama lain memiliki


batas-batas dan aktifitas yang berbeda kedalam satu unit kegiatan dalam rangka
pencapaian tujuan yang ditetapkan.
Pola hubungan kerja dalam organisasi juga dipengaruhi oleh bagaimana
kerjasama antar bagian itu dilakukan. Kerjasama dari bagian-bagian atau orangorang, yang satu dengan lainnya memiliki bidang kerja atau spesialisasi yang tidak
sama, semestinya diarahkan pada satu fungsi tunggal.
Pola hubungan kerja dalam organisasi juga dipengaruhi oleh Kerjasama
diantara bagian-bagian atau orang-orang yang ada dalam organisasi itu. Dalam
organisasi dimana di dalamnya terdapat bagian-bagian atau orang-orang yang
bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan umum yang sama. Oleh sebab itu, sejauh
mungkin kerjasama dari bagian-bagian atau orang-orang, yang satu dengan lainnya
memiliki bidang kerja atau spesialisasi yang tidak sama, semestinya diarahkan pada
satu fungsi tunggal. Jika satu fungsi tunggal ini dapat dijalankan maka hal ini berarti
bahwa hubungan antar bagian-bagian atau orang-orang yang memiliki bidang tugas
berbeda itu dapat dijalankan. Pelaksanaan hubungan antar fungsi hanya dapat
dilakukan oleh adanya suatu koordinasi yang menyatukan berbagai bagian yang

Universitas Gadjah Mada

berlainan itu. Prinsip keseimbangan menunjukkan bahwa bagaian-bagian dalam


organisasi yang efektif memiliki posisi yang seimbang, tidak semestinya suatu fungsi
diberikan kepada suatu banguan dengan memberikan tekanan yang mengorbankan
bagian yang lain.
Pola hubungan kerja juga dipengaruhi oleh adanya kesatuan dalam perintah
(unity in command) dan kesatuan dalam pimpinan. Dalam suatu organisasi yang
efektif akan terdapat satu pimpinan dan satu perencanaan bagi tiap-tiap kelompok
aktifitas dalam mencapai tujuan yang ditentukan. Prinsip ini dibangun untuk
memastikan bekerjanya koordinasi dalam organisasi. Tiap bagian atau orang dalam
organisasi pada yang efektif hanya menerima perintah dari satu orang atasan dan
mempertanggung jawabkan perintah itu kepada atasan yang memberi perintah.
Prinsip ini juga menunjukkan bahwa pada umumnya perintah berasal dari atasan
kepada bawahan. Jika seseorang menerima perintah dari lebih dari satu orang
atasan maka akan terjadi kebingungan mengenai apa yang mesti dilakukan, dan
kepada siapakah harus melaporkan pertanggung jawabannya, apalagi jika beberapa
perintah yang diberikan oleh beberapa orang atasan itu saling tidak sesuai atau
bertentangan. Ini menunjukkan bahwa koordinasi merupakan suatu prinsip yang
penting dalam organisasi. Dalam organisasi, tiap keputusan didelegasikan kepada
bagian yang paling kompeten. Ini berarti bagian yang paling kompeten dalam
organisasi itu tentulah yang paling mengetahui semua hal yang berkaitan dengan
keputusan dan mampu mengawasi semua konsekuensi dari keputusan itu.
Pendelegasian juga menunjukkan adanya tanggung jawab dari atasan terhadap hasil
dari keputusan yang didelegasikan ke bawahan yang kompeten itu. Ini secara jelas
berpengaruh terhadap pola hubungan kerja yang ada dalam organisasi.
Pola hubungan kerja juga dipengaruhi oleh adanya perbedaan wewenangan
dan kekuasaan yang dimiliki oleh orang-orang dalam organisasi. Sebagai
konsekuensi dari adanya struktur organisasi, wewenang dan kekuasaan tidak dimilki
secara merata diantara para anggota suatu organisasi. Wewenang dan tanggung
jawab merupakan dua hal yang setara sifatnya, artinya seseorang dalam organisasi
memiliki tanggung jawab untuk suatu tugas tertentu, kepada orang itu diberikan
wewenangan yang sesuai untuk menjalankan tugas tersebut. Ini berarti, seseorang
dalam organisasi memerlukan wewenang untuk bertindak dan orang itu harus
mempertanggung jawabkan hasilnya kepada pemberi wewenang. Dalam kaitan ini,
koordinasi memungkinkan pemberikan wewenang dan sekaligus kontrol terhadap

Universitas Gadjah Mada

pertanggung jawaban pelaksanaan wewenang itu dapat dilakukan. Dalam organisasi,


atasan tidak hanya membawahi satu bagian yang spesifik, tetapi membawahi
beberapa bagian yang bekerja saling berhubungan. Dengan demikian atasan
memiliki suatu bidang pengawasan atas beberapa bawahan yang menjadi sasaran
pengawasannya.

Universitas Gadjah Mada

Anda mungkin juga menyukai