STRUKTUR ORGANISASI
1.1. Pengertian
Pengertian tentang sebuah struktur dapat disederhanakan menjadi suatu cara
dimana bagian-bagian disusun menjadi satu kesatuan. Sebagai contoh, sebuah
sepeda motor atau sebuah mobil pada dasarnya adalah suatu kesatuan dari bagianbagian (spare parts) yang tersusun menurut struktur tertentu. Bangunan dimana
manusia tinggal juga memiliki struktur. Dengan analogi sederhana ini, pengertian
struktur secara mudah dapat dipahami.
Contoh yang lain, sebuah bangunan juga memiliki struktur. Struktur dari
bangunan terlihat mulai dari pondasi bangunan, dinding, sekat antar ruang, tiang,
atap,
dan sebagainya.
Bagaimana struktur
sangat
berpengaruh terhadap aktifitas dan gerak orang yang berada di dalamnya. Untuk
dapat memberikan keleluasaan dalam gerak sehingga aktifitas berjalan lancar maka
struktur itu harus disusun agar memudahkan orang bergerak dan beraktifitas.
Jadi aktifitas dan gerak itu juga berpengaruh terhadap struktur bangunan.
Struktur sebuah kantor memiliki suatu struktur yang berbeda dengan struktur sebuah
pabrik, berbeda pula dengan struktur sebuah gudang. Struktur yang ada pada tiap
bangunan ini berklaitan dengan suatu ukuran, jumlah dan sifat kegiatan yang akan
diwadahi. Pabrik mobil memiliki struktur bangunan yang berbeda dengan struktur
bangunan pabrik komputer. Ini berkaitan dengan masalah teknologi yang dipakai
dalam kedua pabrik itu. semua ini menunjukkan bahwa struktur bukanlah sesuatu
yang berdiri bebas, tetapi selalu berada dalam pengaruh faktor lain.
Meskipun analogi sebuah bangunan dapat dipakai untuk menjelaskan
struktur, tetapi hal ini tidak sepenuhnya berlaku dalam menjelaskan struktur
organisasi. Jika sebuah banguna dirancang oleh arsitek dan dikerjakan oleh pekerja
bangunan, maka sebuah organisasi dibentuk oleh orang-orang yang berada di dalam
organisasi itu. Masalah yang muncul adalah tidak semua orang yang berada dalam
suatu organisasi itu selalu bersepakat mengenai bagaimana organisasi akan disusun.
Sebuah bangunan dapat dibangun dengan meniru bangunan lain yang telah ada. Hal
ini juga berlaku bagi organisasi, organisasi dapat saja mengambil bentuk tertentu
seperi organisasi yang telah ada. Meskipun demikian, masalah yang muncul dalam
organisasi yang berkaitan dengan hal ini jauh lebih rum it dari pada penggambaran
analogi organisasi dengan sebuah bangunan.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa struktur organisasi merupakan
berkaitan dengan berbagai macam faktor yang berpengaruh secara bersama. Hal ini
pula yang kemudian menjadi dasar munculnya pandangan yang berbeda-beda dalam
menjelaskan struktur organisasi.
Sutarto (1981:37-39) menampilkan beberapa pandangan para ahli mengenai
struktur organisasi sebagai berikut:
(g). Pendapat dari Richard A. Johnson, Fremont E. Kast dan James E. Rosenzweig
Menurut pendapat dari Richard A. Johnson, Fremont E. Kast dan James E.
Rosenzweig, struktur organisasi adalahhubungan antara bermacam-macam
fungsi atau aktifitas dalam suatu organisasi.
(a) Fungsi utama dan terpenting adalah bahwa struktur organisasi dibentuk untuk
menghasilkan keluaran organisasi dan pencapaian tujuan organisasi. setiap
organisasi senantiasa memiliki aktifitas dan memiliki tujuan tertentu. Struktur
organisasi dibentuk untuk mendukung pelaksanaan aktifitas sehingga organisasi
dapat menghasilkan keluaran tertentu. Dengan cara ini berarti struktur organisasi
mendukung proses yang beralngsung dalam organisasi. Namun, struktur
organisasi tidak hanya mendukung suatu proses secara khusus. Struktur
organisasi juga mendukung pencapaian tujuan dari setiap organisasi secara
umum.
adalah sukarnya pimpinan melakukan kontrol atau pengawasan terhadap orangorang bawahannya meskipun orang-orang ini telah tergabung dan diorganisir dalam
bagian-bagian atau unit-unit kerja. Untuk itu, sejumlah orang dalam bagian-bagian
atau nit-unit kerja dalam organisasi ditunjuk untuk menduduki posisi tertentu guna
membantu pimpinan dalam melakukan kontrol atau pengawasan terhadap bawahan.
Jadi ketika kegiatan atau aktifitas mulai dibagi-bagi dan dikelompokkan dalam
bagian-bagian atau unit kerja-unit kerja tertentu, maka perluasan sebenarnya sedang
berlangsung. Perluasan itu dapat ke arah atas-bawah secara vertikal maupun ke
arah samping atau horisontal. Pembentukan bagian-bagian atau unit kerja baru
sebagai akibat dari bertambahnya kegiatan dan volumenya serta bertambahnya
pelaksana kegiatan menunjukkan
adanya
perluasan
horisontal.
Ditunjuknya
Dari bagan di atas nampak secara jelas bahwa sebelum suatu perluasan,
suatu organisasi memiliki dua bagian atau unit kerja, yaitu B dan B. Akan tetapi
setelah mengalami perluasan, bagian atau unit kerja yang ada dalam organisasi itu
bertambah menjadi empat bagian atau unit kerja, yaitu B, C, D dan E.
Perluasan ke arah atas-bawah, yang disebabkan karena situnjuknya
seseorang untuk membantu pimpinan dalam pengawasan atau kontrol terhadap
bawahan ditampilkan dalam bagan berikut ini.
Dari bagan di atas nampak jelas bahwa sebelum perluasan, organisasi hanya
terdiri dari dua bagian atau unit kerja, sedangkan pengawasan dilakukan oleh atasan
secara langsung. Setelah mengalami perluasan, bagian-bagian atau unit-unit
kerjanya mengalami pertambahana sedangkan pengawasan dilakukan secara tidak
langsung, yaitu melalui orang yang ditunjuk atasan.
Pada saat bawahan menerima perintah atau penugasan dari atasan, maka
bawahan harus mempertanggung jawabkan perintah atau penugasan itu kepada
atasan yang memberi penugasan atau perintah tadi. Apabila bawahan melaporkan
hasil kerja atau tugasnya kepada atasannya, kemudian atasannya ini melaporkannya
kepada atasan yang berada pada jenjang yang lebih tinggi, maka sebenarnya hal itu
memberikan gambaran bahwa ada aliran perintah dari jenjang yang tertinggi ke
jenjang yang lebih bawah, sampai yang terbawah. Ini menunjukkan adanya suatu
rantai perintah yang mengalir dari atas ke bawah, sedangkan laoran atau informasi
berjalan sebaliknya, mengalir dari bawah ke atas.
Adanya mata rantai perintah dan aliran informasi ini menghubungkan setiap
jenjang dalam struktur organisasi, sehingga dapat dilihat apa yang sedang terjadi
dalam organisasi. Ini akan memberikan kepastian baik bagi atasan maupun bawahan,
bahwa tidak ada seorangpun dapat melompat dari satu jenjang ke jenjang lain yang
lebih atas, tanpa melewati jenjang yang langsung ada di atasnya dan sebaliknya.
Segala sesuatu berjalan melalui saluran yang tepat.
Dalam organisasi yang modern, yang struktur organisasinya telah berkembang
menjadi sangat rumit, terdapat hirarkhi dengan banyak jenjang, dan karena setiap hal
harus melalui setiap jenjang, ini akan menghasilkan suatu route aliran infromasi yang
panjang dan seringkali mengakibatkan terjadinya keterlambatan dalam proses
pengambilan keputusan. Oleh karena kenyataan yang demikian, para ahli dan praktisi
organisasi mencoba mengembangkan beberapa alternatif, misalnya mengabaikan
jenjang yang tidak dianggap penting, menciptakan "jembatan" bagi mudahnya
pergerakan aliran komunikasi dari suatu level ke level lain yang penting.
1.3. Wewenang dan Pembagian Wewenang dalam Struktur Organisasi
Wewenang atau otoritas merupakan komponen penting dalam struktur
organisasi. Setiap individu pada suatu posisi melakukan tugas yang diperintahkan
kepadanya di dalam organisasi melalui cara pemberian wewenang atau otoritas dari
organisasi kepada posisi yang ditempati oleh orang itu. Wewenang yang diberikan
kepada seseorang dalam posisi tertentu dalam struktur organisasi merupakan hak
untuk menerapkan suatu kebijaksanaan, hak untuk menciptakan dan memelihara
situasi yang dapat mendukung kenyamanan bagi individu maupun kelompok
sehingga dapat menjalankan fungsinya dalam organisasi.
Pemberian wewenang atau otoritas oleh organisasi ini pada sisi yang lain
juga mengharuskan adanya pertanggung jawaban. Oleh sebab itu, antara pemberian
wewenang dengan pertangung jawaban merupakan dua hal yang timbal balik dan
setaraf. Pertanggung jawaban merupakan konsekuensi dari pemberian wewenang.
Pemberian otoritas atau wewenang bagi seseorang dalam posisi tertentu
pada struktur organisasi tidak akan menimbulkan persoalan bagi anggota yang lain.
Dalam organisasi dapat saja muncul kekuasaan yang tidak bersumber dari otoritas
atau wewenang yang diberikan oleh organisasi, misalnya otoritas yang bersumber
atau berdasarkan senioritas seseorang, keahlian seseorang, kepribadian seseorang
dan sebagainya.
Setiap orang akan melihat bagaimana posisi seseorang dalam struktur
organisasi, dengan cara ini maka orang tidak melihat siapa yang berada dalam posisi
tersebut, tetapi melihatnya sebagai orang yang mendapatkan kekuasaan yang sah
dari organisasi. Dengan itu pula maka kekuasaan yang saha ini dapat dilaksanakan
dengan tanpa pertimbangan apapun.
Dalam suatu organisasi yang modern, tugas dan aktifitas organisasi telah
dibagi-bagi diantara banyak orang dalam berbagai unit kerja atau bagian, baik secara
vertikal maupun horisontal. lni berarti bahwa dalam organisasi yang modern terjadi
susunan vertikal, yang menunjukkan penentuan jenjang berdasarkan tingkatan
keahlian yang ditentukan bagi tiap jenjang. Sedangkan susunan horisontal menunjuk
pada pengaturan kelompok-kelompok kegiatan berdasarkan spesialisasi atau
keahlian yang ditentukan. Sebagai hasil dari penyusunan vertikal dan horisontal ini
adalah suatu hirarkhi berjenjang.
Setiap jenjang dalam hirarkhi itu menerima otoritas atau wewenang dari
jenjang yang lebih atas, tetapi bersamaan dengan pemberian otoritas itu dituntut pula
pertanggung jawaban. Ini akan menghasilkan suatu kondisi dimana jenjang yang
terbawah menerima tingkat otoritas yang rendah atau paling kecil. Sebaliknya, makin
ke atas, tingkat otoritasnya makin tinggi atau makin besar. Ini tidak terjadi pada
organisasi yang memiliki struktur otoritas yang sentralisasi. Dalam struktur otoritas
yang sentralisasi, jenjang tertinggi tidak memberikan otoritas kepada jenjang yang
lebih bawah.
Dalam bagan berikut, digambarkan bagaimana otoritas bertambah besar jika
dilihat dari jenjang terbawah ke yang lebih atas, atau sebaliknya bertambah kecil jika
dilihat dari jenjang paling atas ke jenjang yang lebih rendah,
berkedudukan sebagai bawahan dari atasan itu, maka pada saat itu otoritas juga
diberikan kepada bawahan atau orang yang ditentukan untuk membantunya. Otoritas
dalam hal ini berkaitan dengan hak dan kekuasaan tertentu untuk melaksanakan
tugas yang diperintahkan kepadanya.
Proses pemberian otoritas dan tanggung jawab kepada bawahan ini dikenal
dengan proses pendelegasian. Jadi delegasi menunjuk pada kemampuan dari
seseorang yang menduduki suatu posisi dalam struktur organisasi dengan otoritas
tertentu, untuk melakukan suatu pekerjaan melalui orang lain. Singkatnya, delegasi
menunjuk pada bagaimana atasan mendapatkan hasil kerja melalui orang lain.
Atasan tidak akan menyerahkan semua pekerjaan untuk dibagi dan dikerjakan oleh
orang lain yang ditunjuk untuk membantunya. Terdapat beberapa yugas yang tidak
didelegasikan, baik karena tugas itu tidak dapat diserahkan pada orang lain karena
sangat penting bagi kehidupan organisasi, atau dapat juga karena bawahan yang
ditunjuk untuk membantunya dipandang tidak akan mampu melakukannya apabila
tugas itu diserahkan kepadanya.
Pada semua tugas atau pekerjaan yang senantiasa rutin terjadi, pekerjaan
yang menjadi bidang keahlian bawahan dalam suatu bagian atau unit kerja, dapat
dengan mudah didelegasikan. Tetapi terdapat juga beberapa pekerjaan yang hanya
bisa dipertimbangkan dan diputuskan oleh atasan, misalnya masalah-masalah yang
berkaitan dengan kehidupan organisasi, masalah pekerjaan yang membutuhkan
dukungan semua bagian atau unit kerja dan masalah lain yang hanya bisa
diputuskan oleh atasan. Ini semua akan menjadi tugas atasan, sedangkan untuk halhal lain akan didelegasikan kepada bawahan.
2. Faktor-faktor yang Berkaitan Dengan Struktur Organisasi
2.1. Kompleksitas
Kompleksitas merupakan faktor yang memiliki pengaruh besar terhadap
struktur organisasi. Kompleksitas juga membawa pengaruh pada perilaku individu di
dalam organisasi, kondisi-kondisi struktural dalam organisasi, proses-proses yang
terjadi di dalam organisasi, serta hubungan antara organisasi dengan lingkungannya.
2.2. Formalisasi
Dalam pandangan banyak ahli, formalisasi bukanlah suatu konsep yang
netral. Menurut pandangan ini, tingkat formalisasi suatu organisasi menunjukkan
perspektif dari para pengambil keputusan dalam organisasi dalam hubungannnya
dengan para anggota organisasi. Jika anggota organisasi dipandang memiliki
kemampuan untuk melaksanakan keputusan dengan baik dan mampu melakukan
pengawasan pada diri sendiri dengan baik, maka formalisasi organisasi cenderung
rendah. Sebaliknya, jika anggota organisasi dipandang tidak mampu melaksanakan
keputusan dengan baik dan membutuhkan banyak aturan yang mengarahkan
perilaku anggota dalam organisasi, maka formalisasi cenderung tinggi. Jadi
formalisasi memiliki kaitan erat dengan kontrol organisasi terhadap anggotanya.
Meskipun demikian, formalisasi memiliki konsekuensi yang penting tidak hanya
tingkat individual, tetapi juga pada tingkat organisasi.
Hall (1991:64-65) melihat bahwa pandangan para ahli mengenai formalisasi
ini berbeda-beda. Hage melihat bahwa organisasi selalu belajar dari pengalaman
masa lalunya dengan menggunakan aturan sebagai sarananya. beberapa organisasi
mengembangkan pola yang cermat mengenai tugas-tugas yang ada secara detail,
tetapi ada pula organisasi yang tidak melakukannya dan tidak ada batasan yang
pasti mengenai tugas-tugas yang ada dalam organisasi. Formalisasi atau
standardisasi diukur dari bagaimana penyusunan pola itu dilakukan dan bagaimana
tugas-tugas itu dirumuskan.
Aiken melihat formalisasi berkaitan dengan penggunaan aturan dalam suatu
organisasi. Sedangkan Turner melihat formalisasi berkaitan dengan makin
banyaknya aturan, prosedur, instruksi dan komunikasi yang dilakukan secara tertulis.
Formalisasi berupakan dasar penting dari struktur organisasi. Jadi pada dua ahli
terakhir ini, penekankannya terlertak pada bagaimana aturan diterapakn dalam
organisasi.
Setiap organisasi dapat melakukan formalisasi, tetapi pada umumnya dapat
dibedakan antara formalisasi maksimal dan formalisasi minimal. Dalam setiap
organisasi terdapat aturan dan tatacara atau prosedur. Aturan maupun prosedur ini
memiliki variasi dari yang paling ketata sampai yang paling longgar. Ini semua
memiliki pengaruh terhadap perilaku anggota dalam organisasi.
Formalisasi maksimal terjadi jika aturan dan prosedur dalam organisasi
berlaku sangat ketat. Misalnya suatu hal harus dikerjakan harus didahului oleh suatu
perintah, dikerjakan dengan cara yang ditentukan oleh aturan dan prosedur yang
berlaku. Ini menunjukkan bahwa formalisasi yang maksimal. Salah satu akibat dari
formalisasi maksimal adalah kemungkinan besar munculnya rasa frustasi dari
anggota atau pekerja karena ketatnya aturan dan prosedur dalam organisasi.
Formalisasi minimal sebaliknya terdapat aturan dan prosedur tetapi tidak
diperlakukan secara ketat, sehingga anggota organisasi memiliki keleluasaan
mengenai berbagai hal, termasuk apa yang harus dilakukan. Organisasi yang
memiliki formalisasi minimal ini antara lain terjadi pada organisasi yang berhadapan
dengan situasi baru yang sebelumnya belum pernah dihadapi atau berhadapan
dengan masalah-masalah kemanusiaan yang bermacam-macam bentuknya.
Hal lain yang berkaitan dengan formalisasi adalah sentralisasi kekuasaan.
Kekuasaan merupakan hal yang sangat penting dalam setiap organisasi, bahkan ada
yang melihat organisasi sebagai "pemerintah swasta" ketika melihat penggunaan
kekuasaan dalam organisasi. Pernyataan ini hanyalah ingin menekankan bahwa
kekuasaan merupakan elemen penting dalam organisasi sehingga pelaksanaannya
dapat menyerupai kekuasaan pemerintah atas rakyatnya. Distribusi kekuasaan
dalam organisasi memiliki kaitan erat dengan formalisasi.
Dalam suatu organisasi yang memiliki staf yang profesional dan terlatih,
sehingga memiliki kemampuan dan kemauan untuk melakukan pengambilan
keputusan maka pengambilan keputusan tidak berada pada sedikit orang pada
jenjang tertinggi struktur organisasi. Ini berarti keberadaan staf yang profesional dan
terlatih dalam organisasi dapat menumbuhkan kebutuhan untuk mengurangi
perluasan aturan dan prosedur. Sebaliknya jika staf yang profesional dan terlatih
tidak dimiliki, maka kebutuhan akan pengambulan keputusan yang sentralistis
menjadi besar. Artinya, dibutuhkan perluasan aturan dan prosedur agar kinerja
organisasi tetap terjaga. Meskipun terdapat perbedaan, perlu tetap dipahami bahwa
organisasi tetap memiliki kontrol terhadap anggotanya, terlepas anggota itu memiliki
keahlian profesional dan terlatih atau tidak.
Formalisasi juga berkaitan dengan perubahan kegiatan dalam organisasi.
Pada organisasi yang memiliki rutinitas khusus yang tinggi untuk diikuti oleh para
anggotanya, maka dukungan dan perhatian terhadap gagasan baru dan perubahan
kegiatan menjadi kecil. Ini disebabkan karena inisiatif individual dari anggota
mengalami pengurangan sebagai akibat terjadinya formalisasi dalam organisasi.
Dampak formalisasi bagi individu dapat dilihat dari bagaimana individu
mengalami pembatasan oleh aturan dalam organisasi. Secara ekstrim dapat
dikatakan bahwa, aturan-aturan yang sifatnya impersonal telah membatasi semua
fungsi dari setiap individu dalam organisasi, sehingga individu melakukan tingkah
lakunya mengikuti aturan yang ada, tanpa ada pilihan lain. Tingkat formalisasi yang
ekstrim seperti itu akan menghasilkan "lingkaran setan" karena anggota atau pekerja
mengikuti aturan itu demi aturan itu sendiri, karena ini menjadi ukuran bagi penialain
prestasinya. Aturan menjadi lebih penting dari tujuan organisasi itu sendiri.
Organisasi menjadi sangat kaku dalam menghadapi pihak lain termasuk menghadapi
perubahan lingkungannya. Aturan yang demikian akan menyebabkan proses
pengambilan keputusan cenderung akan menghasilkan aturan baru lagi. aturan
menjadi "penguasa" dan otonomi tidak dapat dijalankan. Kondisi ini jelas tidak
memberi peluang bagi individu untuk mengembangkan inisiatifnya dan akan
menimbulkan frustasi bagi individu.
2.3. Sentralisasi
Sentralisasi berkaitan erat dengan distribusi kekuasaan dalam organisasi,
terutama dalam hubungannya dengan struktur organisasi. Terdapat banyak
pandangan mengenai sentralisasi ini, sebagaimana dikemukakan oleh Hall (1991:7475). Hage menyatakan bahwa sentralisasi merupakan tingkat dan variasi partisipasi
dalam suatu pengambilan keputusan yang strategis oleh suatu kelompok atau
bagain/unit kerja dalam hubungannya dengan kelompok atau bagian/unit kerja lain
dalam organisasi. Makin tinggi tingkat partisipasi dalam pengambilan keputusan oleh
lebih banyak kelompok atau bagian/unit kerja dalam organisasi, maka itu
menunjukan tingkat sentralisasi yang makin rendah. Kekuasaan dalam organisasi
dapat diterapkan dalam berbagai tingkat dan dalam berbagai lokasi dalam organisasi
tersebut.
Ferry menyatakan bahwa sentralisasi menunjuk pada lokasi dari otoritas
pengambilan keputusan dalam organisasi. Jika sebagian besar pengambilan
keputusan dibuat secara hirarkhis di tangan satu unit atau bagian organisasi maka ini
menunjukkan adanya sentralisasi. Sebaliknya desentralisasi terjadi jika dalam proses
pengambilan keputusan terjadi pendelegasian dari atasakn ke bawahan dan semua
unit secara umum menjadi sumber bagi pengambilan keputusan itu.
Elemen lain dari sentralisasi berkaitan dengan bagaimana suatu aktifitas
dievaluasi. Proses evaluasi menunjuk pada suatu proses penentuan apakah suatu
kegiatan atau aktivitas dalam organisasi telah dikerjakan atau dilakukan dengan
sebagaimana mestinya secara benar atau sebaliknya, tidak dikerjakan sebagaimana
mestinya. Apabila evaluasi suatu kegiatan atau aktifitas dilakukan oleh orang-orang
yang berada pada posisi puncak dalam organisasi tanpa menghiraukan pada
tingkatan mana suatu keputusan diambil, hal itu secara jelas menunjukkan adanya
sentralisasi.
Meskipun konsep sentralisasi secara jelas menunjukkan pada hak untuk
membuat keputusan, yang menggambarkan siapa yang mengambil keputusan apa
dan kapan keputusan itu dibuat. Banyak orang menilai bahwa jika pengambilan
keputusan ada ditangan orang yang berada pada posisi puncak dari organisasi, itu
berarti terjadi sentralisasi. Akan tetapi masalah sebenarnya tidaklah sesederhana itu.
Hal ini terutama jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa setiap organisasi itu selalu
memiliki kebijaksanaan yang mendasari proses pengambilan keputusan.
Secara sederhana, hal itu dapat dijelaskan dengan mengkaitkan antara
tingkat kelonggaran kebijaksanaan organisasi (yang meliputi kebijaksanaan, tatacara
dan aturan yang ada dalam organisasi) dengan tingkatan pengambilan keputusan.
Tingkat kelonggaran terdiri dari dua kemungkinan, yaitu longgar dan ketat,
sedangkan tingkat pengambilan keputusan juga dapat dipilah menjadi dua, yaitu
tingkat atas dan tingkat bawah dari suatu struktur hirarkhis organisasi. Sebagai
hasilnya terdapat antar hubungan yang secara jelas menunjukkan bentuk sentralisasi
dan desentralisasi suatu organisasi.
Terdapat empat kemungkinan dari hubungan antara tingkat kelonggaran
kebijakan dengan tingkat pengambilan keputusan itu, yaitu:
(b). Sentralisasi
Kondisi ini terjadi jika tingkat kelonggaran kebijaksanaan cukup ketat atau
sempit dan dilakukan pada tingkatan atas. Keputusan dibuat oleh para
pelaksana di semua tingkatan dengan mengacu pada kerangkakerja yang
didasari oleh kebijakan, tatacara dan aturan yang ketat. Masalah-masalah yang
muncul harus ditangani dan dikonsultasikan dengan tingkatan yang lebih tinggi
untuk mendapatkan keputusan dan kejelasan penyelesaiannya.
(c). Desentralisasi
Kondisi ini terjadi jika tingkat kelonggaran kebijaksanaan cukup ketat atau
sempit dan dilakukan pada tingkat bawahan. Keputusan sebagai besar dibuat
pada tingkat bawahan tetapi dengan mengacu pada kerangka kerja
kebijaksanaan yang ada. Para pelaksana pada tingkat bawahan ini memiliki
keleluasaan untuk memecahkan berbagai masalah yang timbul yang tidak
diatur secara jelas oleh kebijaksanaan organisasi.
berskala
kecil.
Dalam
keadaan
yang
demikian,
keharusan
untuk
persaingan antar organisasinya cukup keras, kebutuhan akan adanya koordinasi dan
kontrol menjadi makin besar. Ini berarti bahwa kebutuhan akan sentralisasi menjadi
makin penting dan bukan desentralisasi. Dalam kondisi yang demikian, frekuensi
pelaporan
perkembangan
keadaan
lingkungan
organisasi
menunjukkan
organisasi
yang
lain
kehilangan
kesempatan
dan
peluang
alat
utama
pelaksanaan
kekuasaan
dalam
masyarakat,
maka
anggota.
Dalam
organisasi
formal,
struktur
organisasi
dibentuk
berdasarkan aktifitas yang harus dikerjakan oleh para pekerja atau anggota
organisasi kedalam fungsi-fungsi yang logis, yang secara umum dikenal sebagai
departementalisasi. Dengan adanya departementalisasi ini, maka pembagian
kegiatan organisasi dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien.
Di sisi lain, organisasi informal disusun secara bebas, lebih fleksibel, tidak
pasti dan spontan. Keanggotaan dalam organisasi informal dapat diperoleh secara
sadar atau bisa pula tidak secara sadar dan sukar ditentukan kapan menjadi anggota
kapan tidak menjadi anggota. Pada umumnya keanggotaan tumbuh melalui
perjalanan waktu. Oleh karena itu, hubungan antar anggota dalam organisasi
informal ini lebih longgar dan tidak secara jelas dan tegas menentukan hak dan
kewajiban dari anggotanya.
Perbedaan ini sangat penting untuk memahami bagaimana hubungan antar
anggota dalam suatu organisasi formal berlangsung. Dengan adanya struktur
organisasi yang jelas, maka hubungan wewenang, kekuasaan dan tanggung jawab
terrinci dengan jelas, demikian juga penjabaran akan tugas masing-masing menjadi
jelas. Ini semua akan menjadi pedoman tingkah laku bagi semua anggota organisasi.
Oleh karena sedemikian jelas dan formalnya hubungan antar anggota dalam
melakukan aktifitas organisasi, maka hubungan antar anggota dalam suatu
organisasi formal dapat dipandang sebagai suatu bentuk hubungan kerja. Ini juga
didasari oleh kenyataan bahwa dalam setiap organisasi, antara satu anggota dengan
anggota lain senantiasa saling tergantung (interdependent) dan hanya dengan
bekerja sama tujuan organbisasi akan dapat dicapai.
Hubungan kerja yang terjadi dalam organisasi menggambarkan bagaimana
budaya yang berkembang dalam organisasi itu. Ini dapat dipahami karena pada
umumnya
dalam
kurun
waktu
tertentu,
setiap
organisasi
akan
selalu
struktur,
aktifitas
dan
jumlah
anggota
suatu
organisasi,
sangat
Dalam hubungan kerja ini, tidak jarang anggota organisasi atau para pekerja
harus bekerja secara bersama dalam suatu kerja kelompok atau kerja beregu (work
team). Kerja kelompok atau kerja beregu ini sangat banyak manfaatnya, terutama
untuk menyelaraskan perbedaan-perbedaan antar anggota organisasi. Jika anggotaanggota dari suatu unit kerja kelompok ini kemudian menguat menjadi kelompok,
maka ikatan dan solidaritas antara anggota dalam kelompok ini akan bertambah
besar, terutama jika melalui kerja bersama ini banyak manfaat yang dirasakan oleh
anggotanya, khususnya jika dibandingkan jika anggota itu tidak berada dalam
kelompok, tetapi bekerja secara mandiri dan berdiri sendiri-sendiri. Dalam kaitannya
dengan hubungan kerja dalam organisasi, proses-proses yang terjadi dalam
kelompok-kelompok baik formal maupun informal di dalam organisasi merupakan hal
yang penting dan mempengaruhi aktifitas organisasi. Besar kecilnya jumlah
kelompok dan jumlah anggotanya juga mempengaruhi hal tersebut.
3.2. Tata Formal dan Tata Informal dalam Organisasi
Di dalam organisasi terdapat kumpulan orang-orang, yang bekerja sama
untuk mencapai tujuan tertentu. Untuk mengatur bagaimana kerjasama itu dilakukan
dan bagaimana tujuan itu dicapai, di setiap organisasi pada umumnya memiliki
seperangkat aturan, baik yang berbentuk formal karena dibentuk melalui prosedur
tertentu, tertulis dan dapat dirasakan keberadaannya secara jelas dan nyata oleh
setiap anggota organisasi, maupun seperangkat aturan yang berbentuk informal,
tidak tertulis, lebih merupakan kesepakatan-kesepakatan yang sangat longgar, tetapi
keberadaannya sangat dapat dirasakan oleh para anggota organisasi itu.
Dalam organisasi formal, pada umumnya aturan-aturannya bersifat formal,
dalam arti pembuatannya dilakukan melalui cara tertentu yang mengikuti cara-cara
yang ditetapkan dalam organisasi dan berlakunya aturan itu dinyatakan secara
formal, sehingga setiap bentuk pelanggarannya akan dikenai sanksi sebagaimana
diatur dalam aturan itu. jadi di dalam organisasi terdapat aturan atau tata formal yang
secara nyata berlaku dan ditaati oleh anggota organisasi. Sebagai contoh, dalam
organisasi formal seperti sekolah, sangat jelas dapat diketahui adanya aturan-aturan
yang berlaku bagi semua orang yang menjadi bagian dari organisasi sekolah itu.
Dalam aturan itu diatur secara jelas tentang apa larangan, hak, tugas, kewajiban dan
sanksi atas pelanggaran aturan, sehingga baik Kepala Sekolah, Guru, Siswa dan
Karyawan akan mengerti dan menjadikan perangkat aturan-aturan itu sebagai
pedomannya dalam bertingkah laku dan berhubungan satu sama lain. Contoh yang
lain, sebuah rumah sakit, selain terdapat aturan formal yang mengatur hubungan
kerja di dalam rumah sakit itu, misalnya tentang tugas, kewajiban dan hak dari
pimpinan, para dokter, karyawan, paramedis dan sebagainya, juga terdapat aturan
formal bagi pihak lain yang berhubungan dengan rumah sakit itu, misalnya tentang
jadwal pemeriksaan, tatacara pengobatan, penanganan pasien gawat darurat atau
rawat inap, tarif pengobatan dan sebagainya. Semua ini merupakan aturan formal
yang berlaku di dalam rumah sakit itu.
Sesuai dengan sifat dari aturan formal yang umumnya bersifat tegas dan
jelas, namun kelemahan dari aturan formal itu juga ada, antara lain karena sifatnya
yang formal maka kemudian menjadi kaku dan tidak mudah disesuaikan dengan
kondisi yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Pada kenyataannya, apa yang terjadi
dan berlangsung dalam kehidupan sehati-hati tidak jarang belum atau tidak diatur
dalam aturan formal yang ada. Akibatnya, akan terjadi suatu kondisi dimana
jangkauan aturan formal itu tidak dapat mencapai pengaturan hal-hal yang ada
dalam kehidupan sehari-hari itu. Oleh karena semua itu harus dilakukan, sementara
aturan formal yang ada tidak dapat diberlakukan pada hal itu, maka kemudian
muncul cara-cara dan kebiasaan-kebiasaan yang diterima dalam hubungan kerja
pada organisasi formal itu. Jadi disini selain terdapat aturan atau tata formal, juga
terdapat dan berlaku tata informal.
Sebagai contoh, dalam suatu Kantor Pemerintah, aturan yang ada tidak
mengatur tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap suatu keharusan
pengambilan keputusan yang segera harus diambil jika pimpinan yang berwenang
untuk mengambil keputusan itu sedang tidak ada di tempat, sementara persolannya
harus segera diputuskan. Dalam kasus seperti ini kemudian diambil inisiatip pegawai
dengan pangkat tertinggi atau yang paling senior yang ada pada unit organisasi kerja
itu, yang menjalankan wewenang pengambilan keputusan tersebut. Jika pola ini
kemudian menjadi sesuatu yang selalu dijalankan maka pola ini kemudian menjadi
ketentuan yang tidak tertulis yang berlaku dalam satuan organisasi itu. Sudah barang
tentu munculnya polapola seperti itu akan terjadi jika suatu tindakan yang diambil itu
dinilai benar dan memberikan manfaat bagi pencapaian tujuan organisasi.
Sebaliknya jika ternyata suatu tindakan yang diambil itu dinilai tidak benar atau tidak
sesuai dengan tujuan organisasi, maka pola itu tidak akan muncul karena
pengulangan terhadap tindakan yang salah dan merugikan itu. Tindakan yang salah
dan merugikan itu memiliki konsekuensi adanya hukuman (punishment), sehingga
cenderung tidak akan diulang. Jadi ada semacam pola kebiasaan yang telah menjadi
suatu pedoman yang menyertai keberadaan aturan formal dalam suatu organisasi.
Adanya seperangkat aturan tidak hanya ditemukan dalam organisasiorganisasi formal semata. Di dalam organisasi informal juga terdapat seperangkat
aturan meskipun memiliki bentuk yang berbeda dengan peraturan yang ada dalam
suatu organisasi formal. Dalam organisasi semacam ini, senantiasa juga terdapat
seperangkat aturan, namun pada umumnya lebih merupakan aturan-aturan yang
berdasar pada kesepakatan-kesepakatan longgar diantara para anggota sehingga
penegakkan aturan tersebut juga tergantung pada bagaimana sikap para anggota
terhadap pelanggaran yang terjadi. Jadi dalam suatu organisasi informal, baik tata
formal maupun tata informalnya sama-sama tidak memiliki bentuk yang tertulis, tetapi
secara nyata berlaku dan ditaati oleh para anggota organisasi itu.
Sebagai contohnya, sekumpulan pengemudi taksi yang biasa mencari
penumpang di depan Terminal Bus atau di sekitar Stasiun Kereta Api, yang dapat
dipandang sebagai suatu organisasi informal, juga memiliki seperangkat aturan yang
berlaku diantara mereka. Sebagai organisasi yang informal sifatnya, para pengemudi
taksi ini secara sukarela dan secara spontan membuat kesepakatan-kesepakatan
tertentu, yang dengan kesepakatan itu dirasakan akan memberikan kepuasan bagi
semua. Meskipun tidak secara formal diakui, salah satu atau beberapa orang
mendapatkan kepercayaan dari para sopir taksi lainnya untuk menjadi "pemimpin"
diantara para sopir taksi itu. Meskipun tidak ada ketentuan yang secara formal dibuat
dan ditentukan, tetapi semua sopir yang merasa bagian dari organisasi informal itu
mentaati aturan main yang berlaku dikalangan mereka. Semua informasi melalui
saluran informal, namun norma, nilai dan kepercayaan yang ada dalam lingkungan
para sopir itu mampu mengatur perilaku semua sopir yang merasa menjadi bagian
dari kelompok itu. Penegakkan aturan juga dilakukan secara informal, tetapi pada
umumnya dapat berjalan efektif karena kepatuhan dan ketaatan yang tinggi dari
anggota organisasi informal itu.
Seperangkat aturan itu juga menentukan bagaimana hubungan antar posisi
dalam organisasi itu dilakukan. Sebagaimana diketahui, pada setiap organisasi selalu
terdapat adanya struktur organisasi. Meskipun demikian terdapat perbedaan antara
organisasi formal dengan organisasi informal, dimana dalam organisasi formal,
struktur ini dibentuk menurut kebutuhan teknis tertentu, sedangkan pada organisasi
informal, tidak terdapat desain tertentu yang mengaturnya. Meskipun demikian, pada
dasarnya setiap struktur organisasi menunjuk pada hubungan antara fungsi-fungsi
tertentu atau menunjuk bagan atau skema dari hubungan-hubungan dan tugas-tugas
dari orang-orang yang bekerja dalam organisasi.
Pemahaman terhadap aturan yang ditunjukkan oleh perilaku anggota
organisasi ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa setiap saat, banyak orang atau
anggota melakukan berbagai tindakan dalam organisasi, namun tidak menghasilkan
kekacauan maupun kebingungan, sebaliknya justru menghasilkan suatu tindakan
yang teratur. Meskipun demikian, hal ini bukan berarti bahwa dalam organisasi tidak
terdapat persaingan, ketegangan dan konflik diantara para anggota organisasi itu.
Jadi dengan adanya aturan dan pemahaman aturan oleh para anggota organisasi
maka hubungan sosial yang dilakukan diantara orang-orang ini pada umumnya dapat
berjalan dengan baik dan pencapaian tujuan organisasi dapat dilakukan.
Keberadaan seperangkat aturan ini juga berfungsi sebagai penyelaras
berbagai perbedaan yang muncul diantara orang-orang maupun kelompokkelompok
yang ada dalam organisasi. Perbedaan latar belakang sosial, kecenderungan sikap
pribadi secara individual, perbedaan ketrampilan dan keahlian serta pendidikan, serta
perbedaan kepentingan dapat diatasi oleh adanya seperangkat peraturan yang
mengatur bagaimana semua orang yang menjadi anggota organisasi itu harus
berperilaku. Dengan demikian ada keteraturan, keselarasan dan kesamaankesamaan tertentu diantara para anggota organisasi, dan dengan kondisi yang
demikian, pelaksanaan tugas pada umumnya lebih mudah dilakukan.
Sebagai contoh, dalam suatu kantor yang memiliki pegawai mencapi ribuan
orang, sedangkan aktifitas yang ada di kantor itu sangat banyak dan beragam.
Banyaknya pegawai menunjukkan adanya latar belakang yang berbeda, kepribadian
yang berbeda satu sama lain, kepentingan dan kebutuhan yang berbeda, serta
perbedaan keahlian, pendidikan dan ketrampilan. Seharusnya dalam situasi seperti
itu akan terjadi kebingungan dan kekacauan, tetapi kenyataannya tidak demikian.
Orang bekerja menurut bidang dan tugas masing-masing. Antara bagian yang satu
dengan lain dapat bekerja sama dengan baik dan secara umum dapat dikatakan
bahwa pelaksanaan tugastugas di kantor itu dapat berlangsung dengan lancar.
Kondisi yang demikian sebenarnya dapat tercipta karena pengaturan hubungan antar
orang yang berjalan dengan baik.
Keberadaan aturan informal sebenarnya tidak hanya ditemukan dalam
organisasi informal saja. Di dalam organisasi formalpun sebenarnya berkembang
pula aturan informal diantara para anggota organisasi itu, meskipun aturan-aturan ini
berbeda dengan aturan informal yang muncul dalam rangka pelaksanaan hubungan
kerja sebagaimana telah dikemukakan di atas. Jika aturan formal secara jelas dan
tegas mengatur hubungan kerja dan kemudian hal-hal yang berkaitan dengan
hubungan kerja dalam rangka pelaksanaan aktifitas organisasi tetapi belum ada
aturan formal yang mengaturnya, maka aturan informal yang berupa kebiasaan itu
kemudian dipergunakan sebagai acuan untuk melaksanakan hubungan kerja. Akan
tetapi duluar itu semua, masih ada lagi aturan yang mengatur hubungan sosial
secara umum diantara para anggota, baik dalam kerangka hubungan kerja maupun
hubungan sosial di luar hubungan kerja, yang ditaati oleh para anggota suatu
organisasi.
Hubungan antar anggota dalam suatu organisasi tidak hanya terbatas pada
hubungan kerja formal semata. Selain hubungan kerja, sebagian besar hubungan
yang berlangsung diantara para anggota suatu organisasi merupakan hubungan
yang sifatnya tidak formal atau bukan hubungan kerja. Hubungan-hubungan sosial
yang bukan hubungan kerja, yang berkembang dalam organisasi ini merupakan
dasar dari adanya kelompok informal dan pada umumnya mengikuti aturan-aturan
yang berbeda dari aturan-aturan yang secara formal mengatur hubungan kerja,
meskipun aturan formal juga mempengaruhi hubungan sosial ini.
3.3. Pedoman Hubungan Kerja dalam Organisasi
Dalam pelaksanaan hubungan kerja, terdapat beberapa hal yang menentukan
pola hubungan kerja yang terjadi di dalam suatu organisasi. Struktur organisasi
merupakan salah satu hal yang menentukan pola hubungan kerja dalam organisasi.
Struktur
organisasi
adalah
seperangkat
formal
hubungan-hubungan
yang
diperlukan untuk melakukan fungsi-fungsi ini. Dalam pengertian yang lebih umum,
struktur organisasi dapat dipandang sebagai suatu pola-pola yang mapan dari
hubungan sosial diantara berbagai bagian atau komponen dari suatu organisasi.
Secara umum, suatu struktur formal menunjuk pada beberapa hal, yaitu:
(e) semua
kebijakan,
prosedur,
ukuran,
sistem
evaluasi
dan
sebagainya
memberikan pedoman .bagi berbagai aktifitas dan hubungan antar orang dalam
organisasi.
Di dalam organisasi formal yang demikian, dimana struktur organisasinya
secara
nyata
menentukan
posisi-posisi
dari
tiap-tiap
anggota
organisasi,
pelaksanaan aktifitas organisasi itu pada umumnya dilakukan atas dasar adanya
hubungan kerja diantara berbagai posisi dalam struktur organisasi itu. Ini dapat dilihat
dalam berbagai aturan dasar organisasi, pada umumnya hak dan kewajiban serta
fungsi dan tugas masing-masing posisi dalam organisasi formal itu ditentukan secara
jelas. Semua itu akn sangat mempengaruhi pola hubungan kerja di dalam organisasi.
Hal kedua yang mempengaruhi pola hubungan kerja dalam organisasi adalah
koordinasi. Dalam organisasi formal, koordinasi harus ada dalam suatu organisasi
karena dalam organisasi itu terdapat orang-orang atau bagianbagian yang bekerja
sama dalam pencapai tujuan umum yang sama, sehingga koordinasi menjadi sangat
diperlukan untuk menyatukan berbagai bagian atau orang-orang itu dalam bekerja
untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Ini berarti pola hubungan kerja yang
terjadi dalam organisasi juga dipengaruhi oleh
bagaimana
koordinasi
dilakukan.
Koordinasi
menyatukan
atau