Anda di halaman 1dari 71

Modul 8

Proses Organisasi: Struktur dan Kultur


Drs. Achmad Sobirin, M.B.A., Ph.D.
PE N DA H UL U AN

S alah satu tujuan mempelajari perilaku organisasi, seperti telah dijelaskan


pada KB 2 Bab I adalah untuk mengendalikan perilaku karyawan.
Meskipun sebagian orang menganggap bahwa mengendalikan perilaku
karyawan merupakan tindakan manajer yang tidak seharusnya – tidak etis
karena bisa merusak otonomi dan jati diri seseorang, namun mengendalikan
perilaku manusia didalam organisasi agaknya tidak bisa dihindari, kalau tidak
dikatakan sebuah keharusan, terutama pada organisasi yang sangat kompleks.
Bisa dibayangkan bagaimana keos dan semrawutnya organisasi besar jika
setiap orang, tanpa ada mekanisme pengendalian, berperilaku sesuai dengan
kehendak masing-masing. Pada situasi yang keos seperti ini jangankan
organisasi bisa mencapai tujuan yang diharapkan, bisa bertahan hidup saja
masih menjadi tanda tanya besar.
Perbedaan antara organisasi yang ditata dan diorganisir dengan baik di
mana orang-orangnya mempunyai pola perilaku tertentu dengan organisasi
yang tidak ditata dengan baik bisa diumpamakan seperti sebuah orkestra yang
begitu indah memainkan simfoni versus kebisingan yang dibuat para musisi
ketika mereka melakukan pemanasan di mana setiap musisi mencoba peralatan
musik masing-masing tanpa koordinasi. Perumpamaan ini memberi gambaran
bahwa ketidakberaturan perilaku manusia didalam organisasi akan membuat
kehidupan organisasi menjadi tidak terarah, semrawut, dan tidak nyaman. Oleh
karena itu, situasi seperti ini harus dikurangi secara maksimal agar mereka
berperilaku sesuai dengan pola tertentu yang terarah. Meski masing-masing
organisasi memiliki cara dan tingkat keketatan dalam mengendalikan perilaku
manusia berbeda, hampir bisa dipastikan tidak ada organisasi yang tidak
mengendalikan karyawannya karena setiap organisasi merasa perlu untuk
melakukan itu dan secara inheren organisasi juga memiliki mekanisme untuk
melakukan hal itu.
Mengendalikan perilaku manusia berarti sekaligus mengendalikan
aktivitas yang mereka lakukan baik aktivitas yang dilakukan secara individu
maupun secara kelompok. Mengendalikan perilaku manusia dan aktivitas yang
8.2 Perilaku Organisasi ⚫

dilakukannya menjadi semakin penting karena dalam kehidupan organisasi


hampir sebagian besar, kalau tidak dikatakan semua, aktivitas organisasi selalu
berhubungan. Aktivitas yang dilakukan seseorang akan berhubungan dengan
aktivitas yang dilakukan orang lain. Demikian juga aktivitas yang dilakukan
satu bagian berhubungan dengan bagian lain. Pada dasarnya mengendalikan
perilaku manusia bisa dilakukan dengan dua pendekatan berbeda, yaitu
pendekatan formal dan informal. Dua pendekatan ini sesungguhnya sejalan
dengan metafora gunung es yang telah dijelaskan pada Modul 1, yakni
organisasi terdiri dari komponen utama yang tidak terpisahkan – formal dan
informal. Komponen formal secara umum direpresentasikan oleh struktur
organisasi dan komponen informal direpresentasikan oleh budaya organisasi.
Artinya, struktur dan kultur organisasi bisa digunakan mengendalikan perilaku
manusia.
Struktur dan kultur yang menjadi pokok bahasan modul ini sesungguhnya
tidak dimaksudkan hanya untuk mengendalikan perilaku karyawan. Lebih dari
itu, kedua pokok bahasan ini ditujukan untuk memahami sejauh mana
koordinasi antarkaryawan perlu dilakukan, siapa yang seharusnya mengambil
keputusan dan bagaimana informasi mengalir dari bagian ke bagian lainnya.
Semua bahasan tersebut akan berujung pada satu titik, yaitu bagaimana
implikasinya terhadap perilaku manusia didalam organisasi. Dengan demikian,
dengan selesainya modul ini mahasiswa diharapkan bukan hanya mengenal
bentuk-bentuk struktur dan kultur organisasi, tetapi juga memahami
bagaimana implikasi kedua pokok bahasan tersebut terhadap perilaku manusia.
Dengan selesainya Modul 8 mahasiswa diharapkan mampu:
1. menjelaskan landasan filosofis dan taksonomi,
2. menjelaskan bentuk-bentuk struktur organisasi,
3. menjelaskan desain struktur organisasi,
4. menjelaskan konfigurasi organisasi,
5. menjelaskan implikasi struktur organisasi terhadap perilaku manusia,
6. menjelaskan definisi dan elemen budaya organisasi,
7. menjelaskan tipologi budaya organisasi.
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.3

kegiatan belajar 1

Struktur Organisasi

P ada saat organisasi masih relatif kecil dan aktivitas-aktivitasnya relatif


masih sederhana, manajemen organisasi juga tampak sederhana. Akan
tetapi, ketika organisasi semakin besar dan kompleks, manajemen organisasi
menjadi tidak sesederhana seperti pada kondisi sebelumnya. Meskipun
demikian, satu hal yang harus selalu dijaga adalah organisasi harus tetap
tampak sederhana (simple) sehingga semua aktivitas berjalan teratur dan tidak
tumpang tindih, arus informasi dan komunikasi berjalan lancar, dan semua
sumber daya bisa dimanfaatkan secara optimal. Menata organisasi agar tampak
sederhana dengan demikian dianggap perlu dan merupakan keharusan. Jika
kondisi-kondisi di atas tidak terpenuhi maka tanggung jawab seorang manajer
adalah menata ulang organisasi agar kembali tampak sederhana. Menata
organisasi mempunyai dua tujuan, yaitu untuk mengendalikan perilaku
manusia didalam organisasi dan kedua agar aktivitas organisasi yang
dijalankan oleh individu atau kelompok memiliki pola tertentu sehingga
mudah diprediksi dan dimonitor, dan ujung-ujungnya bisa mengantar
organisasi mencapai tujuannya. Penataan organisasi untuk menciptakan pola
hubungan kerja yang relatif tetap inilah yang secara umum disebut struktur
organisasi dan proses menciptakan struktur dengan memilih berbagai pola
hubungan yang tepat disebut desain organisasi.
Pada KB 1 ini meski struktur dan desain organisasi akan dibahas agak
lebih detail, namun bahasan yang lebih detail ini dimaksudkan agar bisa
diketahui implikasinya terhadap perilaku manusia didalam organisasi.
Utamanya karena setiap desain dan struktur yang berbeda akan membawa
implikasi perilaku manusia yang berbeda pula. Misalnya, struktur organisasi
fungsional akan menuntut prasyarat yang berbeda dibandingkan struktur
organisasi divisional perilaku manusia pada masing-masing struktur juga
berbeda. Struktur organisasi fungsional lebih menuntut karyawan memiliki
kemampuan yang lebih generalis dibandingkan mereka yang bekerja dengan
struktur organisasi divisional. Artinya, mahasiswa yang mempelajari KB 1 ini
diharapkan tidak hanya memahami berbagai macam desain dan struktur
organisasi, tetapi lebih penting dari itu bisa memahami dan mengaitkannya
dengan topik-topik sebelumnya yang berkaitan dengan perilaku individual dan
perilaku kelompok.
8.4 Perilaku Organisasi ⚫

Pada KB 1 ini meski struktur dan desain organisasi akan dibahas agak
lebih detail, namun bahasan yang lebih detail ini dimaksudkan agar bisa
diketahui implikasinya terhadap perilaku manusia didalam organisasi.
Utamanya karena setiap desain dan struktur yang berbeda akan membawa
implikasi perilaku manusia yang berbeda pula. Misalnya, struktur organisasi
fungsional akan menuntut prasyarat yang berbeda dibandingkan struktur
organisasi divisional perilaku manusia pada masing-masing struktur juga
berbeda. Struktur organisasi fungsional lebih menuntut karyawan memiliki
kemampuan yang lebih generalis dibandingkan mereka yang bekerja dengan
struktur organisasi divisional. Artinya, mahasiswa yang mempelajari KB 1 ini
diharapkan tidak hanya memahami berbagai macam desain dan struktur
organisasi, tetapi lebih penting dari itu bisa memahami dan mengaitkannya
dengan topik-topik sebelumnya yang berkaitan dengan perilaku individual dan
perilaku kelompok.

A. LANDASAN FILOSOFI STRUKTUR ORGANISASI

Secara filosofis, struktur organisasi merupakan kebutuhan pokok bagi


semua organisasi baik organisasi kecil maupun organisasi besar. Bagi
organisasi kecil, meski kegiatannya belum begitu kompleks, tetap
membutuhkan struktur organisasi walaupun bentuknya masih informal.
Sedangkan bagi organisasi besar yang cenderung memiliki tingkat
kompleksitas yang tinggi baik dari sisi aktivitas maupun jumlah orang yang
terlibat didalamnya memiliki struktur organisasi formal menjadi sebuah
keharusan karena dinamika dan kompleksnya persoalan organisasi akan bisa
diatasi jika dilakukan pembagian kerja (division of work). Yang menjadi
paradoks adalah ketika division of work tidak terhindarkan, koordinasi kerja
juga menjadi keharusan – mandatory. Koordinasi kerja berarti memberi
wewenang (power) dan tanggung jawab (responsibility) kepada seseorang
untuk mengatur dan mengkoordinasi pekerjaan. Pada saat koordinasi kerja
telah dilaksanakan berarti ada seseorang menjadi lebih berkuasa dan
bertanggung jawab dibandingkan orang lain. Pada saat itulah didalam
organisasi terjadi pembagian kekuasaan/kewenangan (division of authority).
Secara ringkas, dalam setiap pekerjaan akan muncul pembagian kerja.
Setiap pembagian kerja akan muncul koordinasi kerja dan setiap koordinasi
kerja akan timbul pembagian kekuasaan. Dengan demikian, secara filosofis
struktur organisasi tidak lain adalah ‘cetak biru’ atau ‘rerangka bangunan’
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.5

formal tentang pembagian kerja (division of work) dan pembagian kekuasaan


(division of authority) serta koordinasi kerja yang memungkinkan terjadinya
aliran informasi dan komunikasi yang efisien dan proses pengambilan
keputusan yang cepat. Selain itu, struktur organisasi menggambarkan pula pola
hubungan antarpihak internal (eksekutif, manajer, dan pekerja) dan pola
hubungan antara pihak internal dengan pihak eksternal (para konstituen
organisasi). Di dalam pola hubungan antarpihak internal selalu disertai dengan
munculnya hierarki organisasi (Andersen, 2000). Oleh karena itu, hierarki
organisasi seperti halnya pembagian kerja, merupakan bagian dari struktur
organisasi yang tidak bisa dihindarkan. Yang barangkali harus disadari adalah
hierarki harus dibedakan dengan birokrasi karena keduanya memiliki
pengertian yang berbeda. Tidak selamanya yang hierarkis selalu birokratis.

B. TAKSONOMI STRUKTUR ORGANISASI

Struktur organisasi biasanya direfleksikan ke dalam peta organisasi


(organization chart) yang secara visual digambarkan dalam bentuk kotak dan
garis. Meski terkesan sangat sederhana – hanya kotak dan garis, Richard Daft
(1992, p.179) mengatakan bahwa organization chart merupakan representasi
kasat mata yang menggambarkan semua kegiatan organisasi dan proses
aktivitas yang terjadi didalam sebuah organisasi. Dari penjelasan ini secara
umum dapat dikatakan bahwa struktur organisasi terdiri dari tiga komponen
utama, yaitu:
1. Struktur organisasi merupakan bentuk hubungan pelaporan secara formal,
termasuk didalamnya jumlah tingkatan dalam hierarki organisasi dan
rentang kendali yang dilakukan oleh para manajer dan supervisor.
2. Struktur organisasi mengelompokkan individu-individu kedalam
kelompok atau departemen dan mengelompokkan departemen kedalam
organisasi keseluruhan.
3. Termasuk dalam struktur organisasi adalah desain sistem untuk
memastikan terciptanya komunikasi yang efektif, koordinasi, dan
interaksi lintas departemen.

Ketiga komponen kunci di atas berlaku baik bagi penataan organisasi


secara vertikal maupun horizontal. Sebagai contoh, dua komponen pertama
merupakan kerangka struktural, yakni sebuah hierarki vertikal yang tampak
pada peta organisasi. Sedangkan komponen ketiga merupakan pola interaksi
8.6 Perilaku Organisasi ⚫

antarkaryawan organisasi. Struktur organisasi yang ideal dengan demikian


harus bisa mendorong karyawan untuk saling bertukar informasi dan
melakukan koordinasi saat keduanya betul-betul diperlukan. Tipikal peta
organisasi yang menggambarkan semua itu dapat dilihat pada Gambar 8.1
berikut ini.

Komisaris Komisaris Komisaris Komisaris


1 2 3 4

CEO/ Pres Dir

Wkl Pres Wkl Pres Wkl Pres Wkl Pres


Marketing SDM Produksi R&D

Gambar 8.1
Tipikal Peta Organisasi

Seperti tampak pada gambar di atas, tipikal peta organisasi yang terdiri
dari kotak dan garis menggambarkan pembagian kerja (division of work) yang
ditunjukkan oleh pengelompokkan individu kedalam departemen, seperti
Departemen Marketing, SDM, Produksi, dan R&D. Di sisi lain pembagian
kerja juga membutuhkan koordinasi yang pada gambar ditunjukkan oleh
kotak-kotak yang berada di atas kotak-kotak lain yang dihubungkan dengan
sebuah garis vertikal. Dalam hal ini CEO/Presiden Direktur menjadi
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.7

koordinator bagi para Wakil Presiden dan selanjutnya para Wakil Presiden
menjadi koordinator unit-unit organisasi yang ada di bawahnya. Konsekuensi
logisnya adalah CEO/Presiden Direktur memiliki kekuasaan lebih
dibandingkan para Presiden dan Wakil Presiden memiliki kekuasaan lebih
dibandingkan unit organisasi di bawahnya. Selain itu, kotak dan garis dalam
peta organisasi juga menggambarkan pula aliran informasi sebagai sumber
pengambilan keputusan dan rantai komando (chain of command) yang
menunjukkan siapa harus melapor kepada siapa.
Secara keseluruhan bisa dikatakan bahwa secara taksonomis peta
organisasi menggambarkan 3 hal pokok:
1. tingkat spesialisasi atau kompleksitas organisasi,
2. tingkat formalisasi organisasi, dan
3. tingkat sentralisasi/desentralisasi organisasi.

Berdasarkan penjelasan ini, secara ringkas, taksonomi organisasi dapat dilihat


pada Tabel 8.1 di bawah ini.
Tabel 8.1
Taksonomi Organisasi

Horizontal • Banyaknya pekerjaan


differentiation • Kebutuhan profesi dan spesialisasi
pekerjaan
• Training dan pendidikan
• Departementaslisasi
Spesialisasi
Vertical • Jumlah level organisasi
differentiation • Rentang kendali

• Banyaknya lokasi kegiatan yang terpisah


Spatial
differentiation
• Banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan
berdasarkan regulasi, aturan, dan prosedur
Formalisasi Standarisasi kerja
pekerjaan • Banyaknya pekerjaan yang dikerjakan
secara rutin
• Siapa yang berhak mengambil keputusan
Sentralisasi/ Level pengambilan • Pada level mana keputusan dibuat
desentralisasi keputusan
8.8 Perilaku Organisasi ⚫

C. SPESIALISASI ATAU KOMPLEKSITAS ORGANISASI

Peta organisasi seperti digambarkan di atas secara jelas menggambarkan


banyaknya tugas atau pekerjaan didalam organisasi yang harus dibagi-bagi
kedalam pekerjaan-pekerjaan khusus. Proses ini disebut sebagai pembagian
kerja (division of labor). Semakin aktivitas organisasi dibagi kedalam
pekerjaan-pekerjaan terpisah atau semakin banyak pembagian kerja semakin
tinggi tingkat spesialisasi organisasi. Sebaliknya, semakin sedikit aktivitas
organisasi dibagi-bagi kedalam kelompok kerja, organisasi menjadi semakin
generik. Secara teoritik semakin sedikit tugas yang dikerjakan seseorang, dia
akan semakin baik dalam mengerjakan tugas tersebut karena dengan semakin
sedikit tugas yang dikerjakan berarti dia semakin ahli dibidangnya. Spesialisasi
dengan demikian memberi kesempatan orang lain untuk mengerjakan tugasnya
yang terbaik.
Spesialisasi organisasi dibedakan lebih lanjut menjadi tiga bagian, yakni:
horizontal differentiation, vertical differentiation, dan spatial differentiation.
Horizontal differentiation menjelaskan seberapa banyak pekerjaan harus
dilakukan oleh karyawan, tingkat kebutuhan akan profesi, dan spesialisasi
karyawan, kebutuhan akan pelatihan dan pendidikan karyawan dalam
kaitannya dengan tugas dan pekerjaan yang harus dilaksanakannya dan tingkat
departementalisasi organisasi. Semakin banyak pekerjaan, profesi dan
spesialisasi, semakin banyak kebutuhan akan training khusus dan semakin
banyak departementalisasi maka akan semakin kompleks organisasi tersebut.
Vertikal differentiation berkaitan dengan banyaknya level/tingkatan
didalam organisasi. Semakin sedikit level organisasi maka semakin lebar
rentang kendali yang harus dijalankan seorang manajer. Sebaliknya, semakin
banyak level organisasi semakin sempit rentang kendalinya. Sedangkan spatial
differentiation berkaitan dengan lokasi organisasi. Semakin jauh jarak
antarunit organisasi, departemen, dan orang-orang yang bekerja didalamnya,
organisasi tersebut menjadi semakin kompleks.

D. FORMALISASI ORGANISASI

Formalisasi organisasi berkaitan dengan tingkat standarisasi pekerjaan,


yakni sejauh mana aktivitas organisasi dikerjakan berdasarkan regulasi, aturan,
dan prosedur kerja. Demikian juga formalisasi menjelaskan sejauh mana
rutinitas sebuah pekerjaan. Sederhananya, formalisasi organisasi menjelaskan
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.9

apakah sebagian besar pekerjaan harus distandarisasi atau tidak. Semakin


pekerjaan distandarisasi berarti prasyarat untuk mengerjakan tugas tersebut
semakin ketat, memerlukan keahlian khusus, dan kadang-kadang pendidikan
khusus pula. Pekerjaan dokter adalah salah satu contoh yang bersifat formal
dan memerlukan keahlian dan pendidikan khusus. Untuk menjadi dokter
misalnya seseorang menempuh pendidikan yang cukup panjang. Seseorang
tidak bisa sembarangan memberi resep untuk suatu penyakit tertentu kalau
dirinya bukan dokter karena profesi dokter termasuk pekerjaan yang sangat
diatur bahkan dengan berbagai lapisan aturan termasuk kode etik dokter.
Sebaliknya, ada beberapa pekerjaan lain yang proses pengerjaannya sama
sekali tidak memerlukan pendidikan formal, seperti bagian linting rokok. Yang
diperlukan hanyalah pengalaman kerja. Semakin lama pengalamannya
semakin dia menguasai pekerjaan tersebut. Alhasil, ide dasar formalisasi
organisasi adalah sejauh mana sebuah pekerjaan bisa dikelola dan
dikendalikan aturan-aturan baku atau tidak.

E. SENTRALISASI/DESENTRALISASI

Sentralisasi menjelaskan kepada kita pada level mana keputusan


organisasi akan diambil, siapa yang memiliki otorisasi pengambilan
keputusan, siapa yang memiliki kekuasaan dan pada posisi mana keputusan
akan dibuat. Pada 50 tahun pertama abad 20 ketika perusahaan menjadi
semakin besar dan semakin besar, pengambilan keputusan justru semakin
tersentralisasi. Kekuasaan dan otoritas bergeser ke eselon atas dengan sedikit
orang, tetapi keputusan-keputusannya mempengaruhi kehidupan perusahaan
secara keseluruhan. Model pengambilan keputusan yang tersentralisasi ini
tidak lepas dari ide Alfred P. Sloan – Presiden General Motors yang
memperkenal “Kantor Pusat” sebagai tempat yang dihuni sedikit orang, tetapi
merupakan tempat strategis karena semua kebijakan perusahaan digodog dan
diputuskan di tempat ini.
Meskipun demikian, akhir-akhir ini terjadi tren sebaliknya. Keputusan
lebih banyak dilakukan pada level organisasi lebih bawah. Kondisi seperti ini
disebut sebagai desentralisasi pengambilan keputusan. Perubahan ini
dimaksudkan agar terjadi efisiensi manajerial dan meningkatkan kepuasan
para karyawan. Dengan desentralisasi memberi kesempatan karyawan level
bawah ikut bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukannya. Hanya
saja tidak selamanya desentralisasi pengambilan keputusan itu dikehendaki
8.10 Perilaku Organisasi ⚫

semua karyawan. Ada sebagian unit organisasi dan karyawan yang bekerja
didalamnya merasa puas dengan desentralisasi karena mereka bisa berinovasi
tanpa adanya hambatan dari level organisasi atas. Situasi ini misalnya cocok
untuk unit organisasi R&D. Tetapi sebagian karyawan yang lain justru tidak
tertarik untuk terlibat dalam pengambilan keputusan karena rutinitas pekerjaan
sehari-hari, seperti karyawan yang melakukan pekerjaan produksi. Penjelasan
ini menegaskan bahwa desentralisasi tidak selalu cocok untuk semua unit
organisasi. Kapan desentralisasi dianggap lebih menguntungkan dan kapan
dianggap merugikan dapat diringkas seperti tampak pada Tabel 8.2 berikut ini.

Tabel 8.2
Keuntungan Desentralisasi

Desentralisasi Rendah Desentralisasi Tinggi


(Sentralisasi Tinggi) (Sentralisasi Rendah)

• Mengeliminasi tambahan tanggung • Dapat mengurangi level manajemen


jawab yang tidak dikehendaki oleh dan membuat organisasi menjadi
orang yang melakukan pekerjaan rutin. semakin ramping.
• Memungkinkan keputusan yang krusial • Memberi kesempatan kepada
dibuat oleh mereka yang mempunyai karyawan yang berhadapan langsung
pandangan luas (big picture). dengan masalah membuat keputusan
sendiri.

F. DEPARTEMENTALISASI

Uraian-uraian yang berkaitan dengan struktur organisasi yang


direpresentasikan oleh peta organisasi seperti telah disebutkan di atas
menjelaskan pengelompokan individu kedalam kelompok dan kelompok
kedalam departemen dan selanjutnya departemen kedalam organisasi.
Pengelompokan-pengelompokan ini disebut departementalisasi. Karyawan
bisa dikelompokkan dengan berbagai cara, yaitu berdasarkan aktivitas, output,
pengguna atau konsumen, dan beberapa kombinasi diantaranya.
Pengelompokan berdasar aktivitas menempatkan karyawan dalam satu
kelompok bagi mereka yang melakukan fungsi atau proses kerja yang sama
atau memiliki pengetahuan dan keterampilan yang sama. Sebagai contoh,
karyawan yang mengerjakan tugas pemasaran dengan segala variasinya
dikelompokkan kedalam departemen pemasaran di bawah supervisor yang
sama, yaitu manajer pemasaran. Hal yang sama juga berlaku bagi karyawan
bagian produksi.
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.11

Sedangkan yang dimaksud dengan pengelompokan berdasarkan output


adalah pengelompokan karyawan berdasarkan apa yang dihasilkan organisasi.
Sebagai contoh, semua karyawan yang menghasilkan sabun mandi termasuk
mereka yang bekerja untuk bagian pemasaran, produksi, dan penjualan,
dikelompokkan kedalam satu unit departemen di bawah kendali seorang
eksekutif. Cara lain mengelompokkan karyawan adalah berdasarkan
pengguna/ konsumen. Dalam hal ini karyawan dikelompokkan berdasarkan
sumber daya yang digunakan untuk melayani konsumen atau pengguna akhir
atau klien. Konsumen itu sendiri bisa dibedakan berdasarkan wilayah
geografis, segmen pasar atau berdasarkan karakteristik konsumen lainnya yang
relevan. Terakhir, karyawan bisa dikelompokkan berdasarkan kombinasi
antara dua cara pengelompokkan sebelumnya yang disebut pengelompokan
multifokus. Dengan pengelompokkan ini berarti organisasi menjalankan dua
cara pengelompokan secara simultan. Bentuk pengelompokan ini sering
disebut matriks atau hybrid.
Bentuk-bentuk organisasi berdasarkan pengelompokkan karyawan seperti
tersebut di atas dapat dilihat pada Gambar 8.2 sebagai berikut.
8.12 Perilaku Organisasi ⚫

Gambar 8.2
Alternatif Pengelompokan Karyawan

G. BENTUK-BENTUK STRUKTUR ORGANISASI

Berdasarkan berbagai macam cara mengelompokkan karyawan beserta


aktivitas yang dilakukannya dan sumber daya yang tersedia didalam organisasi
maka struktur organisasi bisa dikategorikan kedalam berbagai bentuk, yaitu
struktur organisasi fungsional, divisional, hybrid, dan matriks.
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.13

H. STRUKTUR ORGANISASI FUNGSIONAL

Pada struktur organisasi fungsional semua aktivitas mulai dari level bawah
sampai level atas dikelompokkan kedalam fungsi yang sama. Semua orang
yang menjalankan aktivitas pemasaran misalnya dikelompokkan kedalam
departemen pemasaran. Disini Wakil Presiden Pemasaran bertanggung jawab
terhadap semua aktivitas pemasaran. Hal yang sama juga berlaku bagi R&D,
Produksi, SDM, Engineering. Masing-masing secara spesifik bertanggung
jawab terhadap unit aktivitas yang berada di bawahnya. Karakteristik umum
struktur organisasi fungsional dapat dilihat pada Tabel 8.3 berikut ini.
Tabel 8.3
Karakteristik Umum Struktur Organisasi Fungsional
Konteks
Struktur : fungsional.
Lingkungan : stabil; ketidakpastian rendah.
Teknologi : rutin, tidak saling tergantung.
Ukuran organisasi : kecil menengah.
Tujuan : efisiensi internal; kualitas teknis.
Sistem Internal
Tujuan operasional : penekanan pada tujuan fungsional.
Perancanaan dan pengangaran : cost basis – anggaran, laporan statistik.
Otoritas formal : manajer fungsional.
Kekuatan
1. memungkinkan terciptanya skala ekonomi didalam departemen fungsional.
2. memungkinkan pengembangan keterampilan secara mendalam.
3. memungkinkan organisasi mencapai tujuan fungsional.
4. sangat cocok untuk organisasi kecil menengah.
5. sangat cocok untuk organisasi yang menghasilkan satu macam produk atau
variasi produk sangat sedikit.
Kelemahan
1. jika terjadi perubahan lingkungan responnya sangat lamban.
2. menyebabkan pengambilan keputusan menumpuk di atas, dan terjadi overload
hierarki.
3. koordinasi horizontal antardepartemen sangat lemah.
4. menghasilkan sedikit inovasi.
5. tujuan organisasi dipahami secara terbatas.

I. STRUKTUR ORGANISASI DIVISIONAL

Struktur organisasi divisional seringkali disebut pula sebagai product


structure atau self-contained structure. Disebut demikian karena cara
pengelompokan aktivitas dan orang-orangnya tidak didasarkan pada kesamaan
fungsi melainkan berdasarkan kesamaan output yang dihasilkan organisasi.
8.14 Perilaku Organisasi ⚫

Divisi bisa berupa produk tunggal, layanan, kelompok produk, proyek atau
program, bisnis atau pusat laba. Sebagai gambaran, perbedaan antara struktur
organisasi fungsional dengan struktur organisasi divisional dapat dilihat pada
Gambar 8.3 berikut ini.

Catatan:
Gambar atas adalah tipikal struktur organisasi fungsional dan gambar bawah
adalah tipikal struktur organisasi divisional.

Gambar 8.3
Perbedaan antara Struktur Organisasi Fungsional dengan Divisional
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.15

Tabel 8.4
Karakteristik Struktur Organisasi Divisional

Konteks
Struktur : produk
Lingkungan : ketidakpastian moderat – tinggi, lingkungan berubah
Teknologi : nonrutin, tingkat kebergantungan antardepartemen
sangat tinggi
Ukuran organisasi : besar
Tujuan : efektivitas eksternal, adaptasi dan kepuasan konsumen
Sistem Internal
Tujuan operasional : penekanan pada lini produk.
Perencanaan dan penganggaran : berbasis pusat laba – pendapatan dan biaya.
Otoritas formal : manajer lini produk.
Kekuatan
1. cocok untuk lingkungan yang tidak stabil dan mudah berubah.
2. memungkinkan terciptanya kepuasan konsumen sebab penanggung jawab produk
sangat jelas –manajer lini produk.
3. melibatkan koordinasi lintas fungsi yang sangat tinggi.
4. memungkinkan setiap unit untuk beradaptasi sesuai dengan kepentingan produk,
wilayah, dan klien.
5. cocok untuk perusahaan besar yang menghasilkan bermacam-macam produk.
6. pengambilan keputusan yang terdesentralisasi.
Kelemahan
1. tidak menciptakan skala ekonomi pada masing-masing fungsi organisasi.
2. koordinasi lintas produk lini relatif jelek.
3. tidak menciptakan kompetensi yang mendalam dan spesialisasi teknis.
4. sulit melakukan integrasi dan standarisasi lintas produk lini.

J. STRUKTUR ORGANISASI BERBASIS WILAYAH GEOGRAFIS

Cara lain untuk mengelompokkan aktivitas dan orang-orang yang bekerja


didalamnya adalah berbasis wilayah geografis. Dasar pemikirannya adalah
masing-masing wilayah dalam satu negara misalnya biasanya memliki
kebutuhan, citarasa atau budaya berbeda sehingga masing-masing wilayah
perlu manajer tersendiri. Bentuk lain dari struktur organisasi berbasis wilayah
geografis adalah pengelompokan aktivitas berdasarkan kepentingan pengguna
atau customer. Kedua bentuk ini – struktur berbasis wilayah geografis dan
struktur berbasis pengguna sesungguhnya merupakan variasi dari struktur
organisasi divisional. Oleh karena itu, desain dan karakteristik kedua bentuk
struktur ini tidak berbeda dengan desain dan karakteristik organisasi divisional.
8.16 Perilaku Organisasi ⚫

K. STRUKTUR ORGANISASI HYBRID

Dalam realitas sesungguhnya hampir bisa dikatakan bahwa tidak ada


organisasi yang murni menerapkan struktur organisasi fungsional atau
divisional. Pada waktu bersamaan, organisasi kadang-kadang harus memberi
perhatian yang seimbang misalnya antara produk dan fungsi organisasi atau
antara produk dan wilayah geografis. Struktur organisasi yang didesain dengan
memperhatikan kedua kondisi di atas disebut struktur organisasi multifokus.
Salah satu tipe struktur organisasi multifokus adalah struktur organisasi hybrid
yang bentuknya dapat dilihat pada Gambar 8.4.

Gambar 8.4
Struktur Organisasi Hybrid

Struktur organisasi hybrid biasanya didesain untuk mengatasi kelemahan


struktur fungsional dan divisional. Fungsi-fungsi yang sangat penting bagi
produk berada di bawah masing-masing lini produk, sedangkan fungsi-fungsi
lain yang mempengaruhi seluruh kehidupan organisasi ditempatkan di Kantor
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.17

Pusat. Dengan kombinasi seperti ini diharapkan organisasi memperoleh


keuntungan dari masing-masing kekuatan bentuk struktur. Karakteristik umum
struktur organisasi hybrid dapat dilihat pada Tabel 8.5.

Tabel 8.5
Karakteristik Struktur Organisasi Hybrid

Konteks
Struktur : hybrid.
Lingkungan : ketidakpastian moderat – tinggi, perubahan permintaan konsumen.
Teknologi : rutin dan nonrutin, beberapa bagian memiliki kebergantungan lintas
fungsi.
Ukuran organisasi : besar.
Tujuan : efektivitas eksternal, adaptasi dan kepuasan konsumen disamping
menekankan pentingnya efisiensi internal.
Sistem Internal
Tujuan operasional : penekanan pada lini produk dan fungsi organisasi.
Perencanaan dan pengangaran : untuk divisi berbasis pusat laba, untuk fungsi berbasis
pusat biaya.
Otoritas formal : manajer lini produk; tanggungjawab koordinasi berada
pada manajer fungsional.
Kekuatan
1. memungkinkan organisasi bisa beradaptasi dan melakukan koordinasi pada divisi
produk dan melakukan efisiensi pada departemen fungsional.
2. menciptakan hubungan yang harmoni antara level corporate dengan level divisi
3. memungkinkan dilakukan koordinasi baik didalam maupun antar lini produk
Kelemahan
1. biaya overhead boleh jadi membengkak
2. bisa memunculkan konflik antara divisi dengan departemen.

L. STRUKTUR ORGANISASI MATRIKS

Dalam upayanya untuk mendapatkan cara terbaik dan tercepat untuk


mengembangkan produk dan merespon kebutuhan konsumen, mendorong
organisasi untuk mengadopsi struktur organisasi matriks. Struktur organisasi
matriks mengelompokkan karyawan dan sumber daya secara simultan. Peta
organisasi yang menggambarkan struktur organisasi matriks dapat dilihat pada
Gambar 8.5 berikut ini.
8.18 Perilaku Organisasi ⚫

CEO

Wkl Wkl Wkl Wkl Wkl


Pres Pres Pres Pres Pres
Mark Pemb Keua R& Engine
Manajer
Produk A

Anggota tim Produk B


Manajer
Produk
B
Manajer
Produk
C
Manajer
Produk D

Gambar 8.5
Struktur Organisasi Matriks

Seperti tampak pada gambar di atas, struktur organisasi matriks


merupakan bentuk segi empat di mana garis vertikal menunjukkan tanggung
jawab fungsional dan garis horizontal menunjukkan tanggung jawab produk.
Gambar di atas juga menunjukkan sederet kotak yang membujur kesamping –
berada pada bagian atas gambar, merepresentasikan pengelompokan tugas
berdasarkan fungsi. Sedangkan sederet kotak yang berjejer secara vertikal –
berada pada bagian samping gambar merepresentasikan pengelompokan tugas
berdasarkan produk. Berdasarkan gambar ini, karyawan fungsional
melaporkan kegiatannya kepada kepala bagian masing-masing. Misalnya,
karyawan bagian pemasaran melaporkan kegiatannya kepada kepala bagian
pemasaran. Meskipun demikian, pekerjaan sehari-hari karyawan bagian
pemasaran tidak disupervisi oleh kepala bagian pemasaran melainkan oleh
seorang manajer produk, misalnya manajer produk B. Dengan struktur
organisasi matriks dengan demikian seorang karyawan–dalam contoh ini
karyawan pemasaran memiliki dua orang atasan/bos – kepala bagian
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.19

pemasaran dan manajer produk B. Meski seseorang harus melaporkan


kegiatannya kepada dua orang atasan berbeda – sesuatu yang tidak biasa dalam
kaidah sistem pelaporan, struktur organisasi matriks dianggap tepat jika
kondisi-kondisi berikut terpenuhi:
1. Kondisi 1. Terdapat tekanan yang sangat kuat untuk berbagi sumber daya
langka untuk dimanfaatkan pada lintas produk. Tekanan ini biasanya
muncul karena ukuran organisasi tidak terlalu besar, namun menghasilkan
beberapa macam produk. Akibatnya, organisasi sering kekurangan
sumber daya. Sebagai contoh, sebuah perusahaan hanya memiliki seorang
akuntan sehingga dia tidak bisa berkonsentrasi menangani satu macam
produk melainkan harus berbagi waktu untuk menangani produk-produk
lainnya yang juga membutuhkan perhatian yang sama.
2. Kondisi 2. Terdapat tekanan dari lingkungan yang menuntut
diperhatikannya dua atau lebih output yang dihasilkan organisasi. Sebagai
contoh, lingkungan menghendaki agar organisasi terus-menerus
memperbaiki kualitas teknis dan pada saat bersamaan juga dituntut untuk
selalu menghasilkan produk baru. Tekanan ganda ini bisa diartikan bahwa
organisasi harus bisa menyeimbangkan kekuasaannya untuk memberi
perhatian pada sisi fungsi organisasi dan sisi produk.
3. Kondisi 3. Ada semacam postulat bahwa lingkungan organisasi bukan
hanya kompleks, tetapi juga penuh ketidakpastian. Di satu sisi, seringnya
terjadi perubahan lingkungan dan tingginya saling kebergantungan
antardepartemen di sisi lain menuntut tingginya koordinasi dan
pemrosesan informasi baik secara vertikal maupun horizontal.

Secara umum, ketiga kondisi di atas menuntut adanya otoritas yang bisa
menyeimbangkan kekuasaan berbagai pihak yang berbeda kepentingan, baik
otoritas secara vertikal maupun horizontal. Karena alasan itulah struktur
organisasi matriks menjadi kebutuhan. Karakteristik struktur organisasi dapat
dilihat pada Tabel 8.6 sebagai berikut.
8.20 Perilaku Organisasi ⚫

Tabel 8.6. Karakteristik Organisasi Matriks

Konteks
Struktur : matriks
Lingkungan : ketidakpastian tinggi
Teknologi : nonrutin, memiliki banyak kebergantungan
Ukuran organisasi : medium, banyak lini produk
Tujuan : ganda – inovasi produk dan spesialisasi teknis
Sistem Internal
Tujuan operasional : penekanan keseimbangan pada lini produk dan fungsi organisasi
Perencanaan dan penganggaran : sistem ganda – berbasis fungsi dan lini produk
Otoritas formal : kerja sama antara manajer lini produk dengan manajer fungsional
Kekuatan
1. bisa memenuhi kebutuhan koordinasi yang diperlukan dalam rangka memenuhi
permintaan ganda dari lingkungan.
2. bisa berbagi SDM lintas produk secara fleksibel.
3. cocok untuk pengambilan keputusan yang sangat kompleks dan sering terjadi
perubahan lingkungan.
4. memberikan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan baik fungsional
maupun produk.
5. cocok untuk organisasi dengan ukuran medium yang memiliki banyak produk.
Kelemahan
1. adanya otoritas ganda sering menyebabkan karyawan merasa kebingungan dan
frustasi.
2. mengharuskan karyawan memiliki interpersonal skill yang baik dan banyak mengikuti
pelatihan.
3. banyak waktu terbuang hanya untuk rapat dan mengatasi konflik.
4. struktur organisasi ini tidak bisa berjalan dengan baik jika orang-orang yang terlibat
didalamnya tidak memahami konsepnya dengan baik. Mereka juga dituntut untuk
menerapkan hubungan kolegial bukan hubungan vertikal.
5. harus ada tekanan ganda dari lingkungan agar terjadi keseimbangan kekuasaan.

M. DESAIN STRUKTUR ORGANISASI

Karena struktur organisasi merupakan sebuah keharusan, yang perlu


menjadi pertanyaan adalah bagaimana struktur organisasi harus didesain agar
tujuan didirikannya organisasi, yaitu efisiensi, efektivitas, dan meningkatnya
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.21

moral para pegawai bisa tercapai. Yang dimasudkan dengan desain organisasi
adalah proses mengkoordinasi elemen-elemen struktur organisasi dalam
rangka untuk mendapatkan struktur organisasi yang paling tepat. Meskipun
structure of five-nya Mintzberg bisa disebut sebagai konsep umum desain
struktur, namun dalam realitas tidak ada satu desain pun yang cocok untuk
semua organisasi. Penyebabnya tidak lain karena desain struktur dipengaruhi
oleh beberapa faktor yang bersifat kontekstual. Akibatnya, setiap organisasi
memiliki konfigurasi struktur yang berbeda. Bahkan dua organisasi yang
bergerak pada bidang bisnis yang sama belum tentu konfigurasinya sama
sehingga cara pembagian kerja, distribusi kewenangan, dan cara koordinasinya
juga berbeda.
Dalam kaitannya dengan desain struktur organisasi, berikut ini akan
diuraikan faktor-faktor yang mempengaruhi struktur, konsep umum struktur
organisasi mulai dari pandangan klasik sampai pada pandangan paling kini.

N. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DESAIN


STRUKTUR

Ada 5 (lima) faktor penting yang perlu dipertimbangkan ketika hendak


memilih desain struktur organisasi (Richard Daft, 1992):
1. Tujuan dan strategi organisasi. Tujuan didirikannya organisasi tidak lain
agar organisasi tersebut bisa mencapai tujuannya yang sangat bervariasi
yang semuanya itu bisa dicapai lebih mudah jika dimulai dengan
formulasi strategi yang tepat. Hal ini bisa diartikan bahwa strategi
merupakan kunci utama dalam mencapai tujuan organisasi sehingga
elemen-elemen organisasi yang lain, termasuk struktur organisasi harus
menyesuaikan diri dengan strategi dan tujuan organisasi.
2. Human Processes. Desain struktur organisasi juga dipengaruhi oleh tata
nilai dan budaya organisasi serta gaya kepemimpinan para top executive
yang biasa disebut human process. Jika pimpinan organisasi ditempati
oleh orang-orang yang formalistic dan birokratik hampir pasti struktur
organisasi juga didesain dengan format yang kurang lebih sama.
3. Lingkungan organisasi. Dalam batas-batas tertentu lingkungan eksternal
organisasi merupakan variabel yang susah dikendalikan pihak
manajemen. Oleh karena itu, desain dan struktur organisasi juga harus
menyesuaikan variabel tersebut.
8.22 Perilaku Organisasi ⚫

4. Teknologi yang digunakan. Teknologi merupakan alat bantu yang bisa


menggantikan peran manusia meski tidak semua kegiatan manusia bisa
digantikan oleh teknologi. Oleh karenanya semakin canggih teknologi
semakin banyak pekerjaan manual yang bisa dikurangi. Dalam kaitannya
dengan struktur organisasi, penggunaan teknologi dengan demikian
memungkinkan semakin lebarnya span of control dan keputusan-
keputusan organisasi bisa dilakukan secara sentralistik. Namun demikian,
penggunaan teknologi terkadang menyebabkan organisasi menjadi
semakin birokratik dan mekanik.
5. Ukuran/besaran organisasi. Ukuran organisasi merupakan salah satu
faktor penting yang mempengaruhi struktur. Secara umum, bisa dikatakan
bahwa semakin besar sebuah organisasi cenderung semakin kompleks.
Oleh karena itu, organisasi besar cenderung semakin birokratik karena
dalam operasionalisasinya bertumpu pada mekanisme formal organisasi.
Meskipun demikian, bukan berarti organisasi besar secara otomatis
menggunakan pola pengambilan keputusan yang sentralistik. Justru
sebaliknya, organisasi besar semestinya lebih desentralistik karena adanya
hambatan aliran informasi.

O. PANDANGAN KLASIK DAN NEOKLASIK

Para teoritisi yang hidup pada awal-awal sampai dengan pertengahan abad
20 termasuk didalamnya Max Weber, Frederick Taylor, dan Heri Fayol
berkeyakinan bahwa organisasi yang efektif adalah organisasi yang memiliki
hierarki formal, memiliki aturan yang jelas, karyawan memiliki spesialisasi,
tugas bersifat rutin, dan lingkungan organisasi yang impersonal. Weber
menyebut organisasi seperti ini sebagai “birokrasi”. Berdasarkan keyakinan ini
mereka memilih desain organisasi yang paling ideal meskipun yang ideal
tersebut belum tentu realistik. Asumsinya, hanya dengan cara ini organisasi
bisa mencapai tujuannya karena perilaku manusia didalam organisasi bisa
dikendalikan dan diarahkan sesuai dengan kehendak mereka. Sederhananya,
pandangan awal tentang desain organisasi adalah hanya ada satu cara terbaik
– one best way dalam mendesain organisasi, yakni desain yang bersifat
universal dengan ciri-ciri seperti tersebut di atas. Pandangan inilah yang
dikenal sebagai pandangan klasik.
Beberapa peneliti lain, terinspirasi oleh penelitian Elton Mayo yang
dikenal dengan Hawthrone studies, mulai mendesain organisasi yang lebih
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.23

berorientasi pada manusia. Diantara peneliti ini adalah Douglas McGregor,


Chris Argyris, dan Rensis Likert. Mereka tidak meninggalkan pendekatan
klasik, tetapi mengembangkannya sehingga mereka disebut teoritisi neoklasik.
Pandangannya adalah efektivitas organisasi tidak hanya ditentukan oleh
efektivitas ekonomi seperti pandangan klasik, tetapi ditentukan juga oleh
kepuasan karyawan. McGregor menolak teori klasik dengan alasan para
teoritisi klasik memandang manusia dari sisi negatifnya sehingga perlu diberi
ancaman. Sementara itu, argumentasi Argyris adalah dominasi manajer
terhadap karyawan membelenggu kebutuhan dasar manusia untuk
mengekspresikan dirinya dan menyelesaikan tugas dengan baik. Hal yang
sama juga disampaikan oleh Likert. Menurut Likert, kinerja organisasi tidak
dicapai dengan mengendalikan tindakan karyawan secara ketat, tetapi dengan
memberi sentuhan terhadap perasaan agar karyawan merasa sebagai orang
yang berguna dan menjadi bagian penting bagi organisasi. Likert lebih lanjut
mengatakan bahwa efektivitas organisasi akan tercapai jika karyawan ikut
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Pandangan Likert dikenal
dengan “organisasi sistem 4 – system 4 organization”. Implikasi pandangan
neoklasik terhadap desain organisasi adalah organisasi harus didesain dengan
hierarki yang pendek dan memberi kesempatan kepada karyawan bawah untuk
ikut ambil bagian dalam pengambilan keputusan – desentralisasi organisasi.

P. PENDEKATAN KONTINGENSI

Jika pendekatan klasik dan neoklasik berpedoman bahwa desain


organisasi harus yang paling ideal, universal dan “the one best approach”,
pendekatan kontingensi lebih realistik karena faktor-faktor yang
dipertimbangkan dalam mendesain organisasi tidak hanya faktor internal
organisasi, tetapi juga faktor eksternal. Dengan mempertimbangkan kedua
faktor ini berarti tidak ada satu desain pun yang cocok untuk semua situasi.
Semuanya tergantung kecocokan antara faktor internal, misalnya tingkat
kompleksitas pekerjaan, ketersediaan karyawan terlatih, dengan tekanan dari
lingkungan eksternal. Mendesain organisasi dengan mempertimbangkan
faktor-faktor ini disebut pendekatan kontingensi.
Pada pendekatan kontingensi dengan demikian faktor lingkungan
khususnya lingkungan eksternal merupakan faktor penentu desain struktur
organisasi. Secara umum, lingkungan eksternal dapat dikategorikan menjadi
dua, yaitu lingkungan yang stabil dan lingkungan yang berubah dan
8.24 Perilaku Organisasi ⚫

bergejolak. Lingkungan yang stabil bisa diartikan bahwa tekanan dari


lingkungan arahnya mudah diprediksi sehingga karyawan sebuah organisasi
bisa menjalankan tugas dengan cara yang sama dalam waktu lama dan pihak
manajemen sendiri pada akhirnya bisa memiliki jalur otoritas yang jelas untuk
membantu karyawan mengerjakan tugasnya. Sebaliknya, lingkungan yang
berubah dan bergejolak adalah perubahan lingkungan terjadi hampir setiap
periodik dan bahkan setiap hari dan perubahannya kadang-kadang tidak bisa
diprediksi dengan tepat. Akibatnya, pihak manajemen seringkali kesulitan
bagaimana harus mendefinisikan pekerjaan karena setiap kali cara
mengerjakan tugas harus selalu berubah dan struktur organisasi yang baku juga
sulit ditetapkan.
Berdasarkan pertimbangan tingkat stabilitas lingkungan tersebut, desain
organisasi bisa dibedakan menjadi dua, yaitu organisasi mekanik dan
organisasi organik. Yang dimaksud dengan organisasi mekanik adalah desain
struktur organisasi di mana lingkungan eksternal diasumsikan stabil sehingga
tidak banyak mengakibatkan perubahan pada produk, permintaan pasar, dan
penggunaan teknologi. Karena lingkungan tidak banyak berubah, implikasi
kedalam adalah karyawan bisa mengerjakan tugas dengan tingkat spesialisasi
yang tinggi. Untuk itu manajemen juga bisa membuat aturan-aturan yang jelas,
dan kadang jumlahnya banyak, untuk mengatur perilaku karyawan. Atau
dengan kata lain, organisasi cenderung sentralistik karena otoritas dan
kekuasaan berada pada segelintir orang yang berada pada level atas organisasi.
Kondisi sebaliknya berlaku pada lingkungan eksternal yang serba berubah
dan bergejolak. Pada kondisi lingkungan seperti ini desain organisasi yang
cocok adalah desain yang bersifat organik. Dengan desain organisasi organik
karyawan tidak lagi bisa memiliki spesialisasi kerja. Sebaliknya, karyawan
dituntut untuk selalu belajar agar bisa menyesuaikan diri dengan cara-cara
kerja baru yang dituntut lingkungan. Demikian juga aturan harus dibuat
fleksibel agar sewaktu-waktu terjadi perubahan lingkungan, aturan tersebut
bisa dengan mudah menyesuaikan diri. Implikasinya adalah pada lingkungan
yang serba berubah pengambilan keputusan bisa tersentral hanya pada orang-
orang tertentu di level atas organisasi, tetapi harus didistribusi merata pada
level organisasi di bawahnya.
Secara umum, perbedaan antara struktur organisasi mekanik dan
organisasi dapat dilihat pada Tabel 8.7. Sedangkan Gambar 8.6 membedakan
dimensi struktur organisasi mekanik dan struktur organisasi organik.
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.25

Tabel 8.7 Karakteristik Struktur Organisasi Mekanik V.S. Organik

Mekanik Organik
1. spesialisasi pekerjaan. 1. generalisasi pekerjaan.
2. tugas-tugas didefinisikan secara 2. tugas-tugas tidak didefinisikan secara
jelas dan kaku. khsusus – tugas mungkin disesuaikan
3. hierarki otoritas ditetapkan secara melalui interaksi karyawan.
tegas dan didukung oleh banyak 3. hierarki dilakukan secara informal dengan
aturan. sedikit aturan.
4. pengetahuan dan pengendalian 4. pengetahuan dan pengendalian tidak
terhadap tugas dilakukan di pusat terpusat, tetapi terdistribusi kepada
kekuasaan (sentralisasi) dan semua semua orang.
tugas diatur dari atas. 5. komunikasi berjalan secara horizontal.
5. komunikasi dilakukan secara vertikal Karyawan bisa berkomunikasi kepada
melalui jalur formal. siapa saja yang dianggap perlu.

spesialisasi

Pembagian kerja Tinggi Rendah

Kesamaan pekerjaan
Organik
Mekanik Departementalisasi Informal
Formal Homogen Heterogen
Tidak
Terstruktur
Jumlah terstruktur
Birokrasi Rentang kendali System 4
Sedikit Banyak
Delegasi
Otoritas
Sentralisasi Desentralisasi
Diskresi personal

Mekanisme Supervisi saling


koordinasi langsung menyesuaikan
dan aturan diri

Gambar 8.6
Dimensi Struktur Organisasi Mekanik V.S. Struktur Organisasi Organik

1. Operating core. Operating core terdiri dari para karyawan yang


mengerjakan pekerjaan inti, yaitu orang-orang menghasilkan produk dan
jasa. Secara umum, karyawan pada bagian ini melakukan empat fungsi
kegiatan, yaitu mendapatkan input, mentransformasi input menjadi
8.26 Perilaku Organisasi ⚫

output, mendistribusikan output dan membantu kelancaran proses input,


transformasi dan output.
2. Strategic Apex. Bagian ini ditempati orang-orang yang bertanggung jawab
terhadap keseluruhan jalannya organisasi. Orang-orang yang menempati
posisi ini biasanya disebut sebagai manajer, Presiden Direktur atau CEO.
Tugas utama mereka adalah menegaskan bahwa visi dan misi organisasi
berjalan secara efektif dan merekrut orang-orang untuk melakukan
pengendalian organisasi. Secara umum, Presiden Direktur melakukan tiga
tugas pokok, yaitu tugas kedalam – tugas pengendalian, tugas keluar –
berkomunikasi dengan pihak eksternal organisasi dan ketiga, tugas
pengembangan organisasi melalui perencanaan strategik.
3. Middle Line. Bagian ini ditempati orang-orang yang berfungsi sebagai
intermediary antara strategic apex dan operating core. Bagi organisasi
yang cukup besar, middle line manager (manajer menengah) biasanya
sangat diperlukan karena tindakan pengawasan biasanya memerlukan
kontak personal. Secara umum, peran dari manajer menengah adalah
menjalankan pekerjaan pimpinan puncak organisasi untuk masing-masing
unit yang menjadi tanggung jawabnya.
4. Technostructure. Bagian ini ditempati para analis yang pekerjaannya
bukan untuk kepentingan unit yang dikelolanya melainkan untuk unit-unit
lain, yakni agar unit-unit tersebut bisa bekerja lebih efektif. Salah satu
contoh pekerjaan para analis adalah mendesain proses belajar mengajar
yang spesifik untuk mata kuliah tertentu.
5. Support Staff. Hampir sama seperti technostructure, bagian ini ditempati
para pekerja yang tugas pokoknya adalah mendukung kelancaran unit lain
dalam organisasi. Bagi perguruan tinggi, penyediaan fasilitas toko buku,
penerbitan, kelompok dosen pengajar, bagian kebersihan kampus
(janitorial) adalah sebagian dari contoh support staff. Fasilitas-fasilitas ini
biasanya bisa dengan mudah diperoleh dari pihak ketiga (outsourcing)
namun dengan alasan-alasan tertentu organisasi menyediakan sendiri
fasilitas-fasilitas tersebut secara mandiri.
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.27

Strategic
Apex

Middle
Line
Technostructure
Support Staff

Operating Core

Gambar 8.7
Bagian-bagian Struktur Organisasi

Q. KONFIGURASI ORGANISASI

Bagi organisasi besar, kelima bagian struktur organisasi seperti tampak


pada Gambar 8.3 di atas tampaknya merupakan sebuah keharusan. Meskipun
demikian, konfigurasinya bisa berbeda untuk organisasi yang berbeda.
Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan lingkungan organisasi, ukuran
organisasi, strategi, tata nilai organisasi, dan teknologi yang digunakan. Secara
umum, Mintzberg membedakan konfigurasi struktur organisasi menjadi 5
macam, yakni simple structure, machine bureaucracy, professional
bureaucracy, divisional form, dan adhocracy. Masing-masing konfigurasi dan
implikasinya terhadap mekanisme koordinasi, bagian kunci organisasi dan
bentuk sentralisasi/desentralisasi organisasi diringkas seperti tampak pada
Tabel 8.8. berikut ini.
8.28 Perilaku Organisasi ⚫

Tabel 8.8 Konfigurasi Struktur Organisasi

Konfigurasi Mekanisme Bagian Organisasi Bentuk Desentralisasi


Struktur Koordinasi Utama Kunci
Sentralisasi Vertikal
Simple Structure Supervisi Langsung Strategic Apex
dan Horizontal
Machine Standarisasi Desentralisasi
Technostructure
Bureaucracy Proses Horizontal Terbatas
Professional Desentralisasi Vertikal
Standarisasi Skill Operating Core
Bureaucracy dan Horizontal
Desentralisasi Vertikal
Divisional Form Standarisasi Output Middle Line
Terbatas
Adhocracy Mutual Adjustment Support Staff Desentralisasi Selektif

Gambar tersebut menunjukkan bahwa perbedaan konfigurasi struktur


organisasi akan mempengaruhi pola manajemen sebuah organisasi. Sebagai
contoh, jika sebuah organisasi menetapkan bentuk strukturnya adalah struktur
organisasi sederhana (simple structure), maka mekanisme utama untuk
melakukan koordinasi organisasi adalah dengan supervisi langsung. Oleh
karena itu, peranan strategic apex menjadi sangat penting sebagai pusat
kegiatan (center of activity) dan pusat otoritas (center of authority). Atau
dengan kata lain, simple structure akan menjadikan organisasi cenderung lebih
sentralistik baik vertikal maupun horizontal. Bagian organisasi kunci akan
bergeser dari strategic apex ke operating core jika sebuah organisasi memilih
struktur organisasi professional bureaucracy. Bentuk struktur organisasi ini
menuntut desentralisasi baik vertikal maupun horizontal dengan standardisasi
skill sebagai alat koordinasinya. Demikian juga jika sebuah organisasi memilih
bentuk struktur organisasi yang lain maka kecenderungan aktivitas
manajerialnya juga berbeda.

R. STRUKTUR ORGANISASI JEJARING (NETWORK


STRUCTURE)

Dewasa ini bentuk desain organisasi baru yang mulai marak digunakan
oleh perusahaan-perusahaan besar adalah struktur organisasi berbasis jejaring
(network structure). Yang dimaksud dengan network structure adalah
sekelompok organisasi berbeda yang tindakan-tindakannya dikoordinasikan
melalui mekanisme kontrak dan kesepakatan bukan melalui otoritas hierarkis
yang bersifat formal. Biasanya salah satu dari kelompok organisasi tersebut
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.29

yang sedang berupaya meningkatkan efektivitas organisasi bertindak sebagai


pemimpin yang menginisiasi terbentuknya jejaring. Sebagai contoh, PT
Krakatau Steel dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas
perusahaan, dan di sisi lain harus melayani angkutan karyawan pada saat
berangkat dan pulang kerja, mestinya harus menyediakan armada bus yang
jumlahnya bisa mencapai puluhan. Namun, jika semuanya dilakukan sendiri
yang terjadi justru inefisiensi karena dengan membeli bus dan
mengoperasikannya sendiri berarti perusahaan harus merekrut sejumlah
karyawan sebagai sopir, karyawan bagian pemeliharaan dan harus
menyediakan pula lahan untuk pool. Oleh karena itu, daripada melakukan
semua itu, PT. Krakatau Steel lebih memilih melakukan kerja sama dengan
perusahaan lain dalam rangka penyediaan armada bus. Sederhananya, PT.
Krakatau Steel melakukan outsourcing.
Pada kasus PT. Krakatau Steel, jejaring masih relatif sederhana hanya
melibatkan satu aspek dalam kegiatan perusahaan. Namun, tidak jarang
jejaring struktur jauh lebih kompleks dibandingkan dengan apa yang dilakukan
PT. Krakatau Steel. Hal ini terjadi jika sebagian besar aktivitas organisasi
dilakukan secara outsourcing. Contoh perusahaan yang melakukan hal ini
adalah Perusahaan Sepatu Nike. Nike yang berkantor pusat di Beaverton,
Oregon Amerika Serikat, pada mulanya menjalankan aktivitasnya secara
mandiri mulai dari mendesain, memproduksi, dan memasarkan hasil
produksinya. Namun, demi efisiensi dan efektivitas perusahaan, Nike
menyerahkan produksi dan pemasarannya ke perusahaan lain di seluruh dunia
termasuk perusahaan di Indonesia sebagai mitra kerja. Nike sendiri sekarang
hanya melakukan desain dan riset untuk mendapatkan model sepatu yang
terbaik.
Tentu saja struktur organisasi jejaring seperti yang diterapkan Nike
memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Kelebihannya pertama, jika
perusahaan bisa menemukan partner yang bisa diandalkan untuk mengerjakan
aktivitas-aktivitas fungsional dan dengan biaya yang lebih murah maka secara
keseluruhan biaya produksi akan semakin berkurang. Semua pekerjaan
pembuatan sepatu Nike misalnya dilakukan di Asia khususnya Asia Tenggara
yang biaya tenaga kerjanya jauh lebih murah. Kedua, dengan menyerahkan
sebagian atau sebagian besar pekerjaan kepada pihak lain, memungkinkan
perusahaan menghindari terjadinya birokrasi yang menyebabkan naiknya
biaya. Ketiga, dengan struktur organisasi jejaring memungkinkan organisasi
bertindak secara organik bukan mekanik sehingga jika lingkungan eksternal
8.30 Perilaku Organisasi ⚫

mengalami perubahan, organisasi bisa dengan cepat melakukan tindakan


alternatif. Sebagai contoh, jika teknologi tiba-tiba berubah dan perusahaan
mitra tidak memiliki kapabilitas untuk mengadopsi teknologi baru maka
perusahaan bisa dengan mudah mencari mitra baru yang memiliki kapasitas
tersebut. Keempat, jika partner gagal memenuhi kualifikasi produk seperti
yang diharapkan maka perusahaan akan mencari mitra baru. Terakhir kelima,
alasan terpenting dibentuk struktur jejaring adalah perusahaan bisa
mendapatkan akses untuk mendapatkan input yang lebih murah dari sumber
luar negeri dan para ekspertis yang sangat dibutuhkan pada lingkungan yang
serba berubah seperti sekarang ini.
Disamping kelebihan-kelebihan seperti tersebut di atas, beberapa
kelemahan struktur organisasi jejaring juga terdeteksi. Pertama, persoalan
yang dihadapi oleh struktur organisasi jejaring adalah masalah kompatibilitas
produk yang dihasilkan kedua organisasi. Produk akhir yang memiliki presisi
tinggi yang bagian-bagiannya dikerjakan perusahaan berbeda biasanya
mengalami masalah kompatibilitas meski untuk mengerjakan produk tersebut
telah disertai instruksi dan manual secara detail. Untuk mengatasi hal ini
interaksi dan saling menyesuaikan diri antara pihak-pihak terkait harus
dilakukan agar keduanya bisa saling belajar untuk memperbaiki hasil produk
akhir terbaik. Disamping itu, kehadiran masing-masing manajer juga sangat
diperlukan dengan tujuan untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan
aktivitas-aktivitas terkait. Saling percaya juga menjadi prasyarat bisa
bekerjanya network structure.
Masalah kedua adalah kemampuan perusahaan pemimpin mengendalikan
perusahaan partner karena masing-masing perusahaan memiliki otoritas
tersendiri yang tidak bisa dengan mudah diintervensi perusahaan lain. Hal ini
menjadi semakin bermasalah jika perusahaan partner merupakan perusahaan
yang tidak tergantikan. Pada contoh di atas, Nike misalnya bisa dengan mudah
mencari partner baru jika partner lama tidak berkinerja dengan baik, tetapi
tidak demikian dengan perusahaan berbasis teknologi. Secara umum, bisa
dikatakan bahwa semakin kompleks relasi antarpartner semakin sulit untuk
menerapkan network structure.
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.31

S. STRUKTUR ORGANISASI TANPA BATAS (BOUNDARYLESS


ORGANIZATION)

Sejalan dengan perkembangan network structure, berkembang pula


bentuk struktur organisasi yang lebih virtual, yakni organisasi tanpa batas
(boundaryless organization). Seperti tersirat dari namanya, organisasi tanpa
batas melibatkan beberapa orang untuk bekerja sama, tetapi tidak pernah
bertatap muka secara langsung. Untuk melakukan koordinasi dan kerja sama,
mereka dihubungkan dengan perangkat teknologi informasi, seperti komputer,
telepon, faksimili, computer-aided design system, internet, video
teleconferencing, dan semua teknologi informasi lainnya. Itulah sebabnya
tidak jarang mereka bekerja dari rumah masing-masing karena sesungguhnya
mereka bukan anggota formal sebuah organisasi. Mereka hanya datang dan
pergi sesuai kebutuhan. Setelah satu pekerjaan selesai mereka boleh jadi
bekerja untuk perusahaan lain dengan cara yang sama. Perusahaan film
animasi misalnya banyak melakukan kegiatannya dengan cara seperti ini.

T. IMPLIKASI STRUKTUR TERHADAP PERILAKU MANUSIA

Seperti dijelaskan pada awal KB 1, tujuan membahas struktur dan desain


organisasi bukan sekedar untuk mengetahui bagaimana bentuk struktur sebuah
organisasi. Lebih dari itu, tujuan membahas struktur organisasi, khususnya
dalam konteks bidang studi perilaku organisasi adalah agar kita bisa
memahami bagaimana keterkaitan antara struktur organisasi dengan perilaku
manusia. Pandangan konvensional mengatakan bahwa struktur organisasi
memiliki peran sentral terhadap pembentukan perilaku manusia. Struktur
organisasi seolah-olah menjadi variabel eksternal yang membatasi ruang gerak
karyawan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Sebagai contoh,
karyawan hanya boleh mengerjakan pekerjaan-pekerjaan sesuai dengan tugas
yang diembannya. Demikian juga karyawan dituntut berperilaku sesuai
perannya dalam lingkup organisasi yang telah ditata mengikuti hierarki
struktur organisasi. Jika misalnya organisasi menerapkan struktur organisasi
fungsional, karyawan menjadi seorang spesialis dan mempunyai pengetahuan
mendalam di bidangnya, tetapi lemah di bidang yang lain. Akibatnya, secara
behavioral boleh jadi karyawan tersebut menjadi orang yang egosentrik karena
pengetahuannya terbatas dan tidak banyak berhubungan dengan unit aktivitas
lain yang tidak sejenis. Pola perilaku seperti ini akan terus dipertahankan
8.32 Perilaku Organisasi ⚫

sampai suatu ketika organisasi mengubah struktur organisasinya. Alhasil


pandangan konvensional tentang hubungan antara struktur dengan perilaku
manusia menegaskan bahwa terbentuknya pola perilaku manusia didalam
organisasi akibat tatanan struktur organisasi, tidak lebih dari itu. Atau dengan
kata lain, pola perilaku manusia di dalam organisasi merupakan bentuk respon
kepatuhan karyawan terhadap struktur organisasi.
Pandangan lain, misalnya dikemukakan David Wicks, mengatakan bahwa
hubungan antara struktur organisasi dan perilaku manusia bukan hanya
hubungan linier satu arah (struktur mempengaruhi perilaku), tetapi juga
hubungan yang bersifat timbal balik (resiprokal) di mana struktur bisa
mempengaruhi perilaku manusia atau sebaliknya perilaku manusia juga bisa
mempengaruhi pembentukan struktur. Wicks mengakui bahwa struktur
organisasi menjadikan karyawan patuh dan berperilaku sesuai dengan mandat
struktur organisasi. Atau sederhananya, struktur menjadi kerangka bagaimana
seseorang seharusnya berperilaku. Meskipun demikian, harus diakui pula
bahwa seringkali muncul perilaku-perilaku yang tidak diduga, yakni perilaku
yang tidak sejalan dengan desain struktur organisasi. Munculnya perilaku
seperti ini karena sebagai individu karyawan sesungguhnya memiliki berbagai
macam pilihan untuk berperilaku. Oleh karena itu, tidak jarang karyawan bisa
juga menunjukkan keengganannya untuk berperilaku sesuai dengan perilaku
standar yang digariskan struktur organisasi yang ada. Artinya, karyawan bisa
saja menyikapi struktur organisasi dengan kepatuhan dan sekaligus resistensi.
Jika karyawan patuh berarti dia merespon struktur organisasi sebagaimana
seharusnya. Tetapi jika resisten berarti karyawan menunjukkan penolakannya
terhadap kehadiran struktur organisasi yang bisa diartikan pula bahwa pada
saatnya nanti struktur organisasi boleh jadi harus ditata ulang. Penjelasan ini
secara tidak langsung menegaskan bahwa perilaku karyawan bukan hanya
bentuk respon dari struktur, tetapi perilaku karyawan itu sendiri bisa menjadi
bagian dalam pembentukan struktur. Berkaitan dengan hal ini, Wicks lebih
lanjut mengatakan bahwa perilaku manusia yang terkait dengan struktur
organisasi dikelompokkan kedalam dua pola, yaitu perilaku responsif dan
perilaku formatif. Kedua pola perilaku ini selanjutnya menghasilkan empat
tipologi perilaku seperti tampak pada Tabel 8.9 berikut ini.
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.33

Tabel 8.9
Tipologi Prilaku Manusia Terkait dengan Struktur Organisasi

Konsekuensi
Perilaku Responsif Perilaku Formatif
Organisasi
Keuntungan Altruism Ketidaksepakatan
Perilaku kewargaan organisasional
organisasi Whistle blowing
Subversi terselubung
Hambatan Malas-malasan Sabotase
Upaya bersyarat Gosip dan perlawanan
Cara berpikir sesuai aturan

Perilaku responsif yang menguntungkan. Perilaku responsif adalah


perilaku yang bisa diterima karena sejalan dengan koridor struktur. Perilaku
pada kategori ini ditandai dengan kepatuhan karyawan terhadap struktur
organisasi dan kemauan mereka berperilaku yang menguntungkan organisasi
secara keseluruhan. Perilaku ini kemudian diurai lebih lanjut menjadi dua
macam, yaitu perilaku yang seharusnya yang sejalan dengan tatanan struktur
(compliance behavior) dan perilaku yang tidak disarankan, tetapi masih dalam
koridor kepatuhan dan bahkan melebihi apa yang diharapkan struktur
organisasi. Perilaku kepatuhan adalah perilaku yang diatur oleh struktur
organisasi, sedangkan perilaku jenis kedua tidak diatur, tetapi lebih disebabkan
kesadaran karyawan untuk berbuat lebih. Contoh dari perilaku jenis kedua
adalah perilaku pro-sosial yang bersifat altruistik – mendahulukan kepentingan
orang lain demi kebaikan keseluruhan organisasi. Perilaku altruistik inilah
yang belakangan diketahui menjadi sumber terbentuknya perilaku kewargaan
organisasi (organizational citizenship behavior).
Perilaku responsif yang merugikan. Tidak seperti perilaku responsif
yang menguntungkan, perilaku responsif yang merugikan merupakan bentuk
perilaku yang masih berada pada koridor yang dimandatkan struktur
organisasi, tetapi dampaknya sangat tidak diharapkan. Contoh dari perilaku
responsif yang merugikan dapat dilihat pada beberapa aktivitas yang dilakukan
para karyawan, seperti bermalas-malasan. Perilaku seperti ini menunjukkan
bahwa karyawan mengikuti semua ketentuan organisasi kecuali satu, yaitu dia
tidak melakukan usaha sungguh-sungguh. Salah satu penyebabnya karena
karyawan telah memperoleh kepastian mendapatkan insentif dan insentif
tersebut sama sekali tidak dikaitkan dengan kinerja mereka. Contoh lain dari
perilaku responsif yang merugikan misalnya perilaku karyawan yang sekedar
8.34 Perilaku Organisasi ⚫

mengikuti aturan yang ada tanpa mempedulikan apakah peraturan tersebut


masih logis atau tidak. Akibat dari kedua perilaku ini, secara tidak langsung,
organisasi merugi.
Perilaku formatif yang menguntungkan. Yang dimaksud dengan
perilaku formatif yang menguntungkan adalah keinginan karyawan untuk
memberi keuntungan organisasi secara menyeluruh. Meskipun demikian,
untuk melakukan hal tersebut karyawan lebih memilih caranya sendiri dengan
mengabaikan cara, kebijakan, atau prosedur yang telah diatur oleh struktur
organisasi. Dalam hal ini karyawan bahkan mengkritisi cara-cara tersebut.
Kritik karyawan terhadap kebijakan dan prosedur berjalan, jika terjadi terus-
menerus, boleh jadi menjadi awal dari proses pembentukan struktur baru.
Karena perilaku ini dilakukan karyawan sebagai upaya untuk memperbaiki
kinerja organisasi maka perilaku ini diberi label “formatif yang
menguntungkan”. Salah satu bentuk perilaku ini adalah karyawan melakukan
protes dan/atau upaya untuk mengubah status quo yang semuanya dilakukan
demi perbaikan kinerja organisasi. Contoh lain yang lebih terbuka adalah
membeberkan kepada publik atau press aktivitas-aktivitas organisasi yang
dianggap immoral, illegal, dan/atau tidak sah. Cara ini disebut whistle blowing.
Dengan cara ini diharapkan ada tekanan dari pihak eksternal untuk
memperbaiki praktik yang dianggap tidak patut tersebut.
Perilaku formatif yang merugikan. Perilaku jenis terakhir ini ditandai
dengan resistensi dan bahkan perlawanan terhadap struktur berjalan yang bisa
menyebabkan terganggunya organisasi mencapai tujuan, khususnya tujuan
jangka pendek. Karyawan yang berperilaku seperti ini sadar bahwa
tindakannya bisa mengakibatkan terganggunya produktivitas kerja, hubungan
kerja, dan kinerja organisasi. Bahkan karyawan lain pun bisa terganggu pula.
Karena perilaku ini sangat merugikan dan mempunyai potensi untuk
mengubah struktur berjalan maka disebut “formatif yang merugikan”. Contoh
perilaku yang masuk dalam kategori ini misalnya tindakan sabotase dalam
berbagai bentuk, seperti merusak mesin, merusak jaringan informasi, merusak
reputasi organisasi atau membuat kegiatan kerja menjadi tidak nyaman.
Tindakan sabotase ini biasanya muncul sebagai respon sebagai akibat
ketidakpuasan karyawan terhadap struktur organisasi yang dianggap
membatasi karyawan menunjukkan identitas dirinya atau menyebabkan
karyawan merasa terpinggirkan. Gosip dan perlawanan terhadap organisasi
juga mengakibatkan situasi yang kurang lebih sama dengan sabotase meski
penyebabnya dan cara yang dilakukannya berbeda.
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.35

LAT IH A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!
1) Ada yang berpendapat bahwa pada setiap organisasi, para eksekutif yang
menjalankan kegiatan organisasi, baik eksekutif level atas maupun level
bawah, sebagian harus ada yang bertindak sebagai manajer dan
sebagiannya lagi sebagai pemimpin. Apakah Saudara setuju dengan
pendapat ini? Jelaskan!
2) Jelaskan secara umum perbedaan antara pendekatan universal dan
pendekatan kontingensi dalam kepemimpinan!
3) Meski model kepemimpinan kharismatik dalam batas-batas tertentu jauh
lebih baik daripada teori klasik, namun bukan berarti teori ini tanpa
kelemahan. Jelaskan kelemahan-kelemahan model pendekatan
kepemimpinan kharismatik!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Sederhananya, taksonomi dalam kaitannya dengan struktur organisasi


adalah mengelompokkan bagian-bagian organisasi yang memungkinkan
terjadinya pembagian kerja (division of work), koordinasi kerja, dan
pembagian wewenang (power) dan tanggung jawab (responsibility). Hasil
dari pengelompokan tersebut adalah peta organisasi menggambarkan 3 hal
pokok, (1) tingkat spesialisasi atau kompleksitas organisasi, (2) tingkat
formalisasi organisasi, dan (3) tingkat sentralisasi/desentralisasi
organisasi.
2) Struktur organisasi matrik adalah pengelompokan karyawan dan sumber
daya secara simultan. Dengan demikian, bentuk struktur organisasi matrik
merupakan gabungan struktur organisasi fungsional dengan divisional.
Penggabungan ini bertujuan untuk mendapatkan cara terbaik dan tercepat
untuk mengembangkan produk dan merespon kebutuhan konsumen.
Meskipun demikian, tidak setiap organisasi bisa mengadopsi struktur
organisasi matrik. Hanya organisasi yang memenuhi kondisi tertentu yang
sebaiknya mengadopsi struktur organisasi matrik. Kondisi tersebut adalah
tekanan yang sangat kuat untuk berbagi sumber daya langka untuk
dimanfaatkan pada lintas produk; tekanan dari lingkungan yang menuntut
8.36 Perilaku Organisasi ⚫

diperhatikannya dua atau lebih output yang dihasilkan organisasi; dan


adanya tuntutan yang tinggi untuk melakukan koordinasi dan pemrosesan
informasi baik secara vertikal maupun horizontal.
3) Mendesain struktur organisasi berarti mengkoordinasikan elemen-elemen
struktur organisasi dalam rangka untuk mendapatkan struktur organisasi
yang paling tepat. Berdasarkan penjelasan ini maka faktor-faktor yang
perlu dipertimbangkan dalam mendesain organisasi adalah tujuan dan
strategi organisasi; tata nilai dan budaya organisasi serta gaya
kepemimpinan para top executive; lingkungan organisasi; teknologi yang
digunakan dan ukuran/besaran organisasi.

R A NG KU M AN

KB 1 menguraikan komponen utama organisasi yang bersifat formal,


yaitu struktur organisasi. Uraian ini dimaksudkan agar kita bisa
mengetahui implikasi struktur terhadap perilaku manusia didalam
organisasi. Oleh karena itu, topik-topik yang dibahas dalam KB 1 meliputi
filosofi struktur organisasi, taksonomi struktur organisasi,
departementalisasi, dan bentuk-bentuk struktur organisasi, desain struktur
organisasi, dan terakhir dampak struktur terhadap perilaku manusia
didalam organisasi. Semua pokok bahasan tersebut kemudian
disederhanakan dalam bentuk ringkasan sebagai berikut:
1. Secara filosofis struktur organisasi adalah ‘cetak biru’ atau ‘rerangka
bangunan’ formal tentang pembagian kerja (division of work) dan
pembagian kekuasaan (division of authority) serta koordinasi kerja
yang memungkinkan terjadinya aliran informasi dan komunikasi
yang efisien dan proses pengambilan keputusan yang cepat.
2. Struktur organisasi biasanya direfleksikan ke dalam peta organisasi
(organization chart) yang menggambarkan semua kegiatan
organisasi dan proses aktivitas yang terjadi didalam sebuah
organisasi. Peta organisasi tersebut menggambarkan 3 hal pokok, (1)
tingkat spesialisasi atau kompleksitas organisasi, (2) tingkat
formalisasi organisasi dan (3) tingkat sentralisasi/desentralisasi
organisasi.
3. Karyawan bisa dikelompokkan dengan berbagai cara, yaitu
berdasarkan aktivitas, output, pengguna atau konsumen dan beberapa
kombinasi diantaranya. Berdasarkan pengelompokkan ini, struktur
organisasi bisa dibedakan menjadi: struktur organisasi fungsional,
divisional, hybrid dan matriks.
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.37

4. Desain organisasi adalah proses mengkoordinasi elemen-elemen


struktur organisasi dalam rangka untuk mendapatkan struktur
organisasi yang paling tepat.
5. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mendesain struktur
organisasi adalah tujuan dan strategi organisasi, human process,
lingkungan organisasi, teknologi yang digunakan dan ukuran/besaran
organisasi.
6. Ada tiga pandangan dalam mendesain struktur organisasi, yaitu
pandangan klasik, neoklasik, dan kontingensi. Pandangan klasik
menegaskan bahwa struktur harus yang paling ideal. Pandangan
neoklasik mengatakan bahwa struktur organisasi disamping harus
ideal juga harus mempertimbangkan faktor manusia. Pandangan
kontingensi mengatakan bahwa mendesain struktur harus
mempertimbangkan faktor internal sekaligus faktor eksternal.
7. Berdasarkan pertimbangan kontingensi, desain struktur dibedakan
menjadi dua, yaitu mekanik dan organik.
8. Menurut Minzberg, desain organisasi terdiri dari lima komponen
utama: strategic apex, operating core, middle line, technostructure
dan support staff.
9. Network structure adalah sekelompok organisasi berbeda yang
tindakan-tindakannya dikoordinasikan melalui mekanisme kontrak
dan kesepakatan bukan melalui otoritas hierarkis yang bersifat
formal.
10. Organisasi tanpa batas (boundaryless organization) adalah organisasi
yang melibatkan beberapa orang untuk bekerja sama, tetapi tidak
pernah bertatap muka secara langsung.
11. Pandangan konvensional mengatakan bahwa struktur organisasi
mempengaruhi perilaku manusia didalam organisasi. Sementara itu,
pandangan kontemporer mengatakan bahwa hubungan antara struktur
organisasi dan perilaku manusia adalah hubungan resiprokal.

TES F OR M AT IF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!


1) Tingkap formalisasi sebuah organisasi dapat dilihat pada ....
A. kebutuhan profesi dan spesialisasi pekerjaan
B. di mana keputusan biasanya diambil
C. banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan berdasarkan regulasi,
aturan, dan prosedur kerja
D. jumlah level organisasi
8.38 Perilaku Organisasi ⚫

2) Berikut ini adalah kelebihan struktur organisasi fungsional, kecuali ....


A. memungkinkan terciptanya skala ekonomi didalam departemen
fungsional
B. memungkinkan terciptanya kepuasan konsumen sebab penanggung
jawab produk sangat jelas – manajer lini produk
C. memungkinkan organisasi mencapai tujuan fungsional
D. memungkinkan pengembangan keterampilan secara mendalam

3) Menurut pandangan kontingensi, desain struktur organisasi organik


biasanya ditandai dengan ....
A. karyawan bisa mengerjakan tugas dengan tingkat spesialisasi yang
tinggi
B. lingkungan eksternal yang sangat bergejolak
C. manajemen bisa membuat aturan-aturan yang jelas
D. organisasi cenderung sentralistik

4) Struktur organisasi yang menerapkan konfigurasi birokrasi mesin


biasanya ditandai dengan ....
A. tingkat standarisasi berdasarkan skill (keterampilan karyawan)
B. tingkat stnadarisasi berdasarkan output (hasil keluaran)
C. tingkat standarisasi berdasarkan supervisi langsung
D. tingkat standarisasi berdasarkan proses kegiatan

5) Membeberkan keburukan praktik organisasi kepada pihak luar sering


disebut sebagai ….
A. perilaku responsif yang menguntungkan
B. perilaku responsif yang merugikan
C. perilaku formatif yang menguntungkan
D. perilaku formatif yang merugikan

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian,
gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap
materi Kegiatan Belajar 1.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan = ×100%
Jumlah Soal
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.39

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang
belum dikuasai.
8.40 Perilaku Organisasi ⚫

Kegiatan Belajar 2

Budaya Organisasi

B udaya yang pada mulanya hanya menjadi kajian bidang studi antropologi
belakangan juga menjadi kajian bidang-bidang studi lain, seperti
psikologi, sosiologi, komunikasi, organisasi, dan manajemen. Kajian budaya
dalam bidang studi organisasi bermula ketika terjadi perubahan paradigma
(sekitar tahun 1970-an) dalam cara memandang organisasi. Organisasi tidak
lagi dipandang semata-mata sebagai instrumen yang bersifat formal dan
rasional yang sengaja dibentuk sekedar untuk membantu manusia memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya, tetapi organisasi dipandang seolah-olah sebagai
makhluk hidup (living systems) dan sebagai sebuah masyarakat di mana aspek
kehidupan organisasi dan lingkungannya lebih mendapat perhatian daripada
menempatkan organisasi sekedar sebagai alat.
Memahami organisasi sebagai living systems dan sebagai masyarakat
membawa konsekuensi tersendiri, diantaranya organisasi mampu
menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan; organisasi tidak bebas nilai
(value bound); dan seperti halnya masyarakat organisasi memiliki budaya.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa sejak awal, organisasi tidak terhindarkan
untuk tidak melakukan interaksi dengan lingkungan eksternal. Akibat dari
interaksi tersebut kehidupan internal organisasi dalam batas-batas tertentu juga
dipengaruhi oleh lingkungan eksternal. Sebagai contoh, organisasi yang
notabenenya adalah sebuah masyarakat dengan sendirinya memiliki budaya.
Namun, terbentuknya budaya didalam organisasi tidak terjadi seketika
melainkan melalui proses panjang yang salah satu sumber pembentuknya
adalah budaya masyarakat (baik budaya etnik, budaya nasional, dan budaya-
budaya lainnya). Budaya-budaya ini secara gradual dibawa masuk baik oleh
para pendiri organisasi, para pengelola maupun anggota organisasi lainnya.
Selanjutnya, setelah terjadi proses kristalisasi dan internalisasi di dalam
organisasi, budaya masyarakat yang pada mulanya di luar jangkauan
organisasi (bersifat tidak terkendali) pada akhirnya menjadi bagian formal
organisasi.
Pemahaman tentang organisasi seperti penjelasan di atas mulai marak
sejak pertengahan tahun 1970-an. Sejak itulah para teoritisi organisasi mulai
secara intensif mengkaji aspek kehidupan internal organisasi. Salah satu aspek
yang banyak didiskusikan adalah aspek “budaya didalam organisasi”, atau
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.41

secara umum disebut “budaya organisasi” yang konsepnya akan menjadi


pokok bahasan pada KB 2 ini. Pembahasan tentang konsep budaya organisasi
akan diawali dengan penjelasan tentang pengertian budaya organisasi,
dilanjutkan dengan bahasan mengenai perdebatan antara multikultur v.s.
monokultur, perbedaan antara konsep budaya dan iklim organisasi dan diakhiri
dengan penjelasan tentang dimensi dan tipe budaya organisasi.

A. PENGERTIAN BUDAYA ORGANISASI

Konsep budaya organisasi bisa dikatakan masih relatif baru, yakni baru
berkembang sekitar awal tahun 1980-an. Konsep ini, seperti diakui para
teoritisi organisasi, diadopsi dari konsep budaya yang terlebih dahulu
berkembang pada disiplin antropologi. Oleh karena itu, keragaman pengertian
budaya pada disiplin antropologi juga akan berpengaruh terhadap keragaman
pengertian budaya pada disiplin organisasi. Hal ini misalnya ditegaskan oleh
Linda Smircich yang mengingatkan agar kita tidak kaget jika mendapatkan
aneka pengertian budaya organisasi. Dari beragam pengertian budaya, berikut
ini akan dipaparkan beberapa pengertian budaya yang sering menjadi rujukan
utama dalam memahami konsep budaya organisasi.
Edgar Schein mendefinisikan budaya organisasi sebagai berikut:

“Culture is a pattern of shared basic assumptions that the group learned


as it solved its problems of external adaptation and internal integration,
that has work well enough to be considered valid and, therefore, to be
taught to new members as the correct way to perceive, think and feel in
relation to these problems”

“Budaya adalah pola asumsi dasar yang di-shared oleh sekelompok orang
setelah sebelumnya mereka mempelajari dan meyakini kebenaran pola
asumsi tersebut sebagai cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan
yang berkaitan dengan adaptasi eksternal dan integrasi internal sehingga
pola asumsi dasar tersebut perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru
sebagai cara yang benar untuk berpersepsi, berpikir, dan mengungkapkan
perasaannya dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan organisasi.

Harus diakui bahwa definisi di atas susah dipahami karena menggunakan


kalimat yang cukup panjang. Oleh karena itu, perlu dielaborasi lebih lanjut
agar pesan yang ingin disampaikan definisi tersebut bisa ditangkap dengan
jelas. Pertama, asumsi dasar. Schien menegaskan bahwa inti dari budaya tidak
lain adalah asumsi dasar yang di-shared oleh sekelompok orang. Asumsi dasar
8.42 Perilaku Organisasi ⚫

sering disebut sebagai the core of culture atau the true culture – budaya yang
sesungguhnya yang menjadi sumber inspirasi, panutan, dan alasan pembenar
untuk mempersepsikan, mengemukakan pikiran dan melakukan tindakan.
Asumsi dasar cenderung tidak banyak diperdebatkan dan diterima apa adanya
oleh sekelompok orang.
Kedua, proses pembelajaran. Sebagai sumber inspirasi dan alasan
pembenar, asumsi dasar tidak datang tiba-tiba melainkan terjadi melalui proses
panjang yang memerlukan waktu cukup lama bukan dalam ukuran hari atau
bulan, tetapi bisa dalam ukuran tahun dan bahkan bisa terjadi bertahun-tahun.
Proses ini bermula ketika sekelompok orang mencoba mengatasi persoalan-
persoalan yang berkaitan dengan masalah integrasi internal dan adaptasi
eksternal. Ketika cara, resep atau metode yang mereka gunakan berhasil
mengatasi persoalan-persoalan tersebut maka pola yang sama juga akan
digunakan untuk mengatasi persoalan-persoalan sejenis berikutnya. Lambat
laun pola yang sama menjadi pedoman untuk mengatasi setiap persoalan
kelompok/organisasi dan akhirnya tanpa disadari, pola tersebut menjadi
postulat atau asumsi dasar dan diajarkan kepada semua pendatang baru sebagai
cara yang benar.
Ketiga, perilaku sehari-hari. Ketika asumsi dasar telah menjadi bagian
hidup para anggota kelompok/organisasi sebagai landasan untuk berpikir,
bertindak atau mengemukakan pendapat, secara perlahan-lahan para anggota
organisasi sesungguhnya mulai membentuk nilai-nilai baru atau collective
mental programming baru yang perwujudannya tampak pada perilaku sehari-
hari para anggota kelompok. Jadi, perilaku sehari-hari anggota kelompok
merupakan bagian tidak terpisahkan dari budaya yang sesungguhnya telah
mereka bangun sebelumnya. Demikian juga, nilai-nilai baru akan berpengaruh
terhadap cara mereka mendesain organisasi, mendesain tata ruang, cara
berkomunikasi, dan cara berpakaian yang semuanya itu merupakan ujud riil
budaya yang bisa dengan mudah diobservasi orang diluar
kelompok/organisasi.
Sementara itu, Ogbonna and Harris mendefinisikan budaya organisasi
sebagai “the collective sum of beliefs, values, meanings and assumptions that
are shared by a social group and that help to shape the ways in which they
respond to each other and to their external environment – budaya adalah
keyakinan, tata nilai, makna dan asumsi-asumsi yang secara kolektif dishared
oleh sebuah kelompok sosial guna membantu mempertegas cara mereka saling
berinteraksi dan mempertegas mereka dalam merespon lingkungan.
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.43

Kedua definisi di atas menegaskan bahwa budaya organisasi dalam


pandangan Edgar Schein dan Ogbonna and Harris merupakan satu kesatuan
yang tidak bisa dipisahkan antara elemen yang bersifat idealistik dan
behavioral. Artinya budaya tidak bisa semata-mata dipahami dari aspek yang
paling dalam – asumsi dasar, demikian juga sangat keliru jika memahami
budaya hanya dari perilaku manusia. Secara bersama-sama kedua elemen
tersebut harus dipahami sebagai unsur pembentuk budaya.

B. ELEMEN BUDAYA ORGANISASI

Definisi budaya organisasi seperti telah dijelaskan di atas membawa kita


pada satu kesimpulan bahwa budaya organisasi terdiri dari beberapa elemen
berbeda. Masing-masing elemen memerlukan pengetahuan tersendiri agar kita
bisa memahami budaya secara utuh. Secara sederhana ada yang menyebut
bahwa budaya organisasi terdiri dari dua elemen. Yang lain menyebutkan
bahwa budaya organisasi terdiri dari tiga elemen dan bahkan ada yang
menyebut lima elemen. Terlepas dari adanya ketidaksepakatan terhadap
seberapa banyak elemen budaya organisasi, secara umum dapat disimpulkan
bahwa elemen budaya organisasi terdiri dari dua elemen pokok, yaitu elemen
yang bersifat idealistik dan elemen yang bersifat behavioral. Masing-masing
elemen kemudian bisa diuraikan kedalam elemen-elemen yang lebih spesifik
seperti tampak pada Tabel 8.10 sebagai berikut.
8.44 Perilaku Organisasi ⚫

Tabel 8.10 Elemen Budaya Organisasi Menurut Berbagai Sumber

SUMBER ELEMEN BUDAYA ORGANISASI

F. Landa
Jocano Idealistik Behavioral
(1988, 1990)
Stanley
Guiding belief Daily belief
Davis (1984)
Geert
Praktik-praktik
Hofstede Nilai-nilai organisasi
manajemen
(1980, 1997)
Edgar
Asumsi Nilai-nilai
Schein Artefak
Dasar Organisasi
(1985, 1997)
Denise
Asumsi Nilai-nilai Norma Perilaku
Rousseau Artefak
Dasar Organisasi Perilaku Organisasi
(1990)
Bath
Consulting Motivational Emotional Perilaku
Mindset Artefak
Group roots ground Organisasi
(1996)

C. ELEMEN YANG IDEALISTIK

F. Landa Jocano seperti tampak pada tabel di atas menyatakan bahwa


budaya organisasi terdiri dari dua elemen utama, yaitu elemen yang bersifat
idealistik dan elemen yang bersifat behavioral. Dikatakan idealistik karena
elemen ini menjadi ideologi organisasi yang tidak mudah berubah walaupun
disisi lain organisasi secara natural harus selalu berubah dan beradaptasi
dengan lingkungannya. Elemen ini juga bersifat terselubung (elusive), tidak
tampak ke permukaan (hidden), dan hanya orang-orang tertentu saja (biasanya
elit organisasi) yang tahu apa sesungguhnya ideologi mereka dan mengapa
organisasi tersebut didirikan.
Disadari atau tidak sesungguhnya setiap organisasi pasti memiliki
ideologi. Hanya saja tidak setiap organisasi mau menyatakan ideologi tersebut
secara terbuka. Bagi organisasi yang baru berdiri dan masih relatif kecil di
mana seorang pemilik biasanya menjadi penguasa tunggal dan sekaligus juga
merangkap menjadi manajer dan pegawai, elemen yang idealistik ini umumnya
tidak tertulis. Sebaliknya, elemen tersebut melekat pada diri pemilik dalam
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.45

bentuk doktrin, falsafah hidup, atau nilai-nilai individual para pendiri atau
pemilik organisasi. Bagi organisasi semacam ini, doktrin, falsafah hidup, atau
nilai-nilai individual tersebut menjadi pedoman untuk menentukan arah tujuan
dan menjalankan kehidupan sehari-hari organisasi. Itulah sebabnya, bagi
organisasi yang masih kecil, figur seorang pendiri atau pemilik organisasi
sangat sentral dan menentukan. Hidup matinya organisasi dan keberhasilan
organisasi di masa datang bergantung pada karakter, inisiatif, dan semangat
para pemiliknya. Para karyawan sepertinya hanya sekedar menjadi pengikut
yang menjalankan aktivitas sesuai dengan jalan pikiran pemilik organisasi.
Berbeda dengan organisasi yang relatif masih kecil, bagi organisasi yang
sudah cukup lama berdiri dan sudah cukup besar, para pendiri organisasi
biasanya tidak lagi terlibat secara langsung dalam kegiatan sehari-hari
organisasi. Namun bukan berarti ketidakterlibatan para pendiri bisa secara
otomatis menyebabkan organisasi kehilangan ideologinya. Ideologi organisasi
berupa doktrin, falsafah, dan nilai-nilai organisasi yang dibangun jauh
sebelumnya oleh para pendiri, dalam batas-batas tertentu akan tetap
dipertahankan generasi penerus, baik generasi penerus tersebut adalah
keturunan langsung para pendiri/pemilik atau manajer profesional yang diberi
kepercayaan untuk mengelola organisasi. Bahkan karena organisasi yang telah
lama berdiri umumnya telah memiliki perangkat-perangkat formal organisasi
maka elemen yang idealistik ini biasanya dinyatakan secara formal dalam
bentuk pernyataan visi atau misi organisasi. Tujuannya tidak lain agar ideologi
organisasi tetap lestari. Memang tidak ada jaminan kalau generasi penerus
akan sepenuhnya mempertahankan ideologi lama. Tidak jarang generasi
penerus memodifikasi atau paling tidak menginterpretasi ulang ideologi lama
dengan bahasa yang lebih cocok dengan situasi lingkungan berjalan. Meski
demikian “ruh” ideologi lama biasanya masih tetap dipertahankan. Collins and
Porras misalnya menggambarkan pernyataan formal ideologi
organisasi/perusahaan – yang tidak lain adalah elemen idealistik budaya
organisasi, menggunakan filosofi Cina “Yin Yang” seperti tampak pada
Gambar 8.8 berikut ini.
8.46 Perilaku Organisasi ⚫

Core ideology:

- Core value Envision future


- Core purpose

Sumber: Collins and Porras, 1994: 73

Gambar 8.8
Ideologi Organisasi Dianalogikan dalam Falsafah Yin Yang

Dalam terminologi masyarakat Cina, Yin menggambarkan karakter


seorang wanita yang memiliki sifat-sifat: lembut, mengayomi, pasif, tenang,
lemah, dan lebih berorientasi ke dalam. Sedangkan Yang sebaliknya,
menggambarkan karakter seorang laki-laki yang memiliki sifat-sifat: keras,
kompetitif, aktif, agresif, kuat, dan lebih berorientasi ke luar. Dalam kaitannya
dengan budaya organisasi, Yin menggambarkan elemen organisasi yang
bersifat idealistik yang tidak mudah berubah. Collins and Porras menyebutnya
sebagai ideologi inti organisasi yang terdiri dari dua komponen, yaitu nilai-
nilai inti (core values) dan tujuan inti (core purpose) organisasi. Dalam bahasa
Collins and Porras, nilai-nilai inti (core values) adalah company’s essential
tenets – keyakinan dasar atau doktrin perusahaan yang menjadi pedoman bagi
seluruh orang yang terlibat dalam kehidupan perusahaan. Bahkan orang luar
sekalipun diharapkan menghormati doktrin tersebut. Hal ini misalnya
ditegaskan oleh Robert Hass yang menyatakan bahwa Levi Strauss & Co.,
melalui visinya “aspirations statement”, tidak akan bertransaksi dengan mitra
usaha yang tidak menjunjung etika bisnis. Sedangkan tujuan inti (core
purpose) organisasi adalah company’s reason for being – alasan mengapa
perusahaan tersebut didirikan. Setiap organisasi atau perusahaan pasti
mempunyai alasan mengapa organisasi atau perusahaan tersebut didirikan.
Sebagai contoh, 3M menyatakan alasan mengapa didirikan 3M adalah untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan yang tidak bisa diselesaikan perusahaan
lain dengan cara penyelesaian yang inovatif.
Stanley Davis dalam bahasa yang agak berbeda menyebut elemen yang
idealistik ini sebagai “guiding belief“ – keyakinan yang menjadi penuntun
kehidupan sehari-hari sebuah organisasi dan Hofstede menyebutnya sebagai
nilai-nilai organisasi (organizational values). Sementara itu, Schein dan
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.47

Rousseau mengatakan bahwa elemen yang idealistik tidak hanya terdiri dari
nilai-nilai organisasi, tetapi masih ada komponen yang lebih esensial, yakni
asumsi dasar (basic assumption) yang bersifat taken for granted (diterima apa
adanya) dan unconscious (dilakukan di luar kesadaran). Oleh karena itu,
asumsi dasar tidak pernah dipersoalkan atau diperdebatkan keabsahannya.
Bisa dikatakan bahwa asumsi dasar ini merupakan “postulate” bagi sebuah
organisasi sehingga ketika seorang atau beberapa orang anggota organisasi
melakukan suatu aktivitas dan kemudian ditanya mengapa cara melakukannya
demikian belum tentu mereka bisa memberikan jawaban secara pasti karena
apa yang mereka lakukan seakan-akan sudah di luar kesadarannya. Itulah
sebabnya Schein dan Rousseau menganggap bahwa akar dari budaya
organisasi bukan terletak pada nilai-nilai organisasi, tetapi pada asumsi
dasarnya.
Hal senada namun dengan bahasa berbeda diungkapkan oleh Bath
Consulting Group. Diwakili oleh salah seorang konsultannya – Peter Hawkins,
Bath Consulting Group, dengan merujuk dan mengembangkan konsep budaya
organisasi yang dibangun oleh Edgar Schein, mengatakan bahwa komponen
budaya organisasi yang ideal terdiri dari tiga unsur, yakni mindset, emotional
ground, dan motivational roots. Mindset yang identik dengan nilai-nilai
organisasi adalah organizational “world view” yakni cara pandang organisasi
terhadap lingkungan yang menentukan apa yang dianggap benar dan apa yang
dianggap keliru. Cara pandang ini pada akhirnya mempengaruhi “ways of
thinking” orang-orang yang bekerja pada organisasi tersebut dan sekaligus
membatasi perilaku mereka. Menurut Bath Consulting Group, organizational
world view berakar pada dua landasan, yaitu emotional ground dan
motivational roots. Emotional ground diartikan sebagai alam bawah sadar
yang berkaitan dengan emosi dan kebutuhan organisasi (unconscious
emotional states and needs). Alam bawah sadar ini menjadi landasan bagi
organisasi dalam mempersepsi setiap kejadian. Sedangkan motivational roots
adalah akar yang menghubungkan tujuan dan motivasi masing-masing
individu didalam organisasi dengan organisasi secara keseluruhan.
Meski masing-masing teoritisi organisasi mempunyai pendapat yang
berbeda tentang komponen idealistik budaya organisasi, mereka pada dasarnya
sepakat bahwa elemen yang bersifat idealistik ini merupakan ruhnya organisasi
(the soul of the organization) karena karakteristik sebuah organisasi sangat
bergantung pada elemen ini. Itulah sebabnya elemen ini sering disebut pula
8.48 Perilaku Organisasi ⚫

sebagai inti dari budaya organisasi (core of culture) dan karena ini pulalah
budaya organisasi sering juga disebut sebagai ruhnya organisasi.

D. ELEMEN BEHAVIORAL

Elemen yang bersifat behavioral adalah elemen yang kasat mata, muncul
ke permukaan dalam bentuk perilaku sehari-hari para anggotanya dan bentuk-
bentuk lain seperti desain dan arsitektur organisasi. Bagi orang luar organisasi,
elemen ini sering dianggap sebagai representasi dari budaya sebuah organisasi
sebab elemen ini mudah diamati, dipahami dan diinterpretasikan meski
interpretasinya kadang-kadang tidak sama dengan interpretasi orang-orang
yang terlibat langsung dalam organisasi. Itu sebabnya ketika orang luar
organisasi mencoba mengidentifikasi dan memahami budaya sebuah
organisasi, cara yang paling mudah yang bisa mereka lakukan adalah dengan
mengamati bagaimana para anggota organisasi berperilaku dan kebiasaan-
kebiasaan lain yang mereka lakukan. Davis menyebutnya sebagai daily belief
– praktik sehari-hari sebuah organisasi. Dalam bahasa Hofstede, kebiasaan
tersebut muncul dalam bentuk praktik-praktik manajemen – apakah sebuah
organisasi lebih berorientasi pada proses atau hasil; lebih peduli pada
kepentingan karyawan atau pekerjaan; lebih parochial atau profesional; lebih
terbuka atau tertutup dan lebih pragmatis atau normatif. Sedangkan Collins and
Porras, seperti tampak pada Gambar 8.12 menyebutnya sebagai orientasi
organisasi ke depan (envision future) atau yang dalam terminologi masyarakat
Cina. Sementara itu, dua sumber terakhir (Schein dan Rousseau) mengatakan
bahwa kebiasaan sehari-hari muncul dalam bentuk artefak termasuk
didalamnya adalah perilaku para anggota organisasi. Artefak bisa berupa
bentuk/arsitektur bangunan, logo atau jargon, cara berkomunikasi, cara
berpakaian, atau cara bertindak yang bisa dipahami oleh orang luar organisasi.

E. KETERKAITAN ANTARA ELEMEN IDEALISTIK DAN


BEHAVIORAL

Secara umum bisa dikatakan bahwa kedua elemen budaya organisasi


tersebut (elemen yang idealistik dan behavioral) bukan elemen yang terpisah
satu sama lain, sama seperti halnya Yin dan Yang. Seperti dikatakan oleh
Jocano keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sebab
keterkaitan kedua elemen itulah yang membentuk budaya. Hanya saja elemen
kedua (yang bersifat behavioral), lebih rentan terhadap perubahan dibanding
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.49

elemen pertama. Penyebabnya tidak lain karena elemen kedua bersinggungan


langsung dengan lingkungan eksternal organisasi sehingga ketika budaya
sebuah organisasi terpaksa harus berubah, misalnya karena desakan
lingkungan, maka biasanya yang pertama kali berubah adalah elemen kedua,
sedangkan elemen pertama jarang mengalami perubahan disamping karena
menjadi falsafah hidup organisasi juga karena letaknya yang terselubung.
Gambaran tentang tingkat sensitivitas masing-masing elemen budaya
organisasi terhadap kemungkinan terjadinya perubahan diberikan oleh
Rousseau seperti tampak pada Gambar 8.9 sebagai berikut.

Sumber: Rousseau
Gambar 8.9
Lapisan Budaya Organisasi

Rousseau menggambarkan elemen budaya organisasi layaknya sebuah


bawang. Sebagaimana kita ketahui bawang mempunyai kulit yang berlapis-
lapis. Kulit paling luar sangat mudah mengelupas, semakin ke dalam semakin
tidak mudah mengelupas dan isinya hampir tidak pernah mengelupas. Pada
gambar di atas, lingkaran paling luar – tidak diarsir menggambarkan kulit luar
sebuah bawang yang mudah mengelupas. Dalam hal budaya organisasi, kulit
luar sebuah bawang menggambarkan elemen budaya yang bersifat behavioral
yang mudah berubah. Semakin ke dalam dengan arsiran semakin menebal
(semakin hitam) seperti tampak pada gambar di atas menggambarkan kulit
8.50 Perilaku Organisasi ⚫

bawang yang tidak mudah mengelupas. Sedangkan lingkaran di tengah dengan


warna hitam menggambarkan inti budaya (core of culture) yang hampir tidak
mengalami perubahan. Hal ini bisa diartikan bahwa artefak sebagai komponen
budaya paling luar merupakan komponen yang paling mudah berubah
sedangkan asumsi dasar merupakan komponen yang paling tidak mudah
berubah.
Meski kulit luarnya mudah mengelupas, sedangkan isinya tidak mudah
berubah, keduanya merupakan komponen yang saling terkait. Keterkaitan
antara elemen yang idealistik dan elemen yang behavioral ini digambarkan
oleh Schein seperti tampak pada Gambar 8.10. Schein menegaskan bahwa
asumsi dasar merupakan elemen budaya organisasi yang diterima apa adanya
oleh para anggota organisasi, tidak kasat mata dan bersifat preconscious.
Keberadaan elemen ini, seperti dilukiskan pada garis vertikal dua arah pada
gambar sebelah kiri (lihat Gambar 8.10) secara berturut-turut akan
mempengaruhi nilai-nilai organisasi yang lebih bisa diterima baik oleh
lingkungan internal maupun lingkungan eksternal organisasi. Selanjutnya,
nilai-nilai organisasi akan mempengaruhi artefak dan kreasi manusia dalam
lingkungan internal organisasi. Demikian sebaliknya, artefak dan kreasi
manusia juga akan mempengaruhi nilai-nilai organisasi yang secara tidak
langsung akan mempengaruhi asumsi dasarnya.
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.51

Artefak dan Kreasi Manusia


Kasat mata tetapi sering kali
- Teknologi
orang luar tidak bisa
- Seni
memahami arti yang
- Pola Perilaku Manusia sesungguhnya

Values (Nilai-nilai)

Memperoleh perhatian
yang lebih besar

Asumsi Dasar
- Hubungan Manusia dengan
alam
- Hubungan Manusia dengan
Realitas, Waktu dan Ruang
- Hubungan Manusia dengan
Sifat Dasarnya
- Hubungan Manusia dengan Diterima apa adanya, Tidak kasat mata
Aktivitasnya dan Preconscious
- Hubungan antar Manusia

Sumber: Schein
Gambar 8.10
Keterkaitan Antarelemen Budaya

Keterkaitan antar elemen budaya organisasi, seperti digambarkan oleh


Schein, oleh penulis lain – Mary Jo Hatch dianggap sebagai keterkaitan antar
elemen budaya yang bersifat statis. Mary Jo Hatch selanjutnya
mengembangkan konsep keterkaitan elemen budaya yang lebih dinamis seperti
tampak pada Gambar 8.11 sebagai berikut:
8.52 Perilaku Organisasi ⚫

Legend: 1 = manifestasi 2 = realisasi 3 = simbolisasi 4 = interpretasi

Sumber: Mary Jo Hatch, (1993: 660)

Gambar 8.11
Hubungan Dinamis Antarelemen Budaya

Mary Jo Hatch menegaskan bahwa hubungan antarelemen budaya


organisasi bersifat dinamis melalui sebuah proses yang bersifat timbal balik
mulai dari proses manifestasi, realisasi, simbolisasi, dan interpretasi.
Berdasarkan Gambar 8.11 bisa dijelaskan bahwa nilai-nilai organisasi
merupakan manifestasi dari asumsi dasar dan sebaliknya bisa dikatakan pula
bahwa asumsi dasar merupakan manifestasi dari nilai-nilai organisasi.
Demikian seterusnya proses ini terus berjalan menuju ke titik keseimbangan
antara stabilitas dan perubahan elemen budaya organisasi. Mary Jo Hatch
mengakui bahwa konsep yang dinamis ini tidak mengecilkan arti konsepnya
Schein. Hanya saja Hatch menegaskan bahwa konsepnya ini lebih didasarkan
pada pemahaman bahwa konsep budaya organisasi semakin kompleks
sehingga harus dipahami secara berbeda, yakni budaya organisasi terdiri dari
empat komponen yang saling terkait dan keterkaitan tersebut merupakan
sebuah proses yang terus berjalan.
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.53

F. TIPOLOGI BUDAYA ORGANISASI

Dalam konteks kehidupan organisasi atau perusahaan, para manajer dan


orang-orang yang bekerja didalamnya biasanya ingin mengetahui tipologi
budaya pada organisasi atau perusahaan tempat mereka berkiprah didalamnya.
Pertanyaan kecil berikut ini biasanya muncul: “sesungguhnya budaya
organisasi kita itu seperti apa toh”? atau pertanyaan lain: “perusahaan kita itu
punya budaya atau tidak”? Pertanyaan kedua sebetulnya tidak begitu releven
karena setiap organisasi atau perusahaan pasti memiliki budaya. Terlepas
apakah budaya sebuah organisasi sangat lemah sehingga tidak menjadikan
karyawan memiliki semangat kerja dan berkinerja tetap saja itulah budayanya.
Nah sekarang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, berikut ini
akan dipaparkan pendekatan pragmatis dalam memetakan budaya sebuah
organisasi. Berdasarkan pendekatan ini maka budaya sebuah organisasi dapat
dipahami berdasarkan tipologi budaya.
Perlu diketahui bahwa penentuan tipologi budaya pada umumnya tidak
didasarkan pada studi empiris tetapi lebih didasarkan pada kehendak subjektif
para penentunya yang bersifat arbriter. Hawkins misalnya merangkum
berbagai tipe budaya organisasi yang dikemukakan oleh berbagai sumber
seperti tampak pada Tabel 8.10 berikut ini:

Tabel 8.10 Berbagai Macam Tipe Budaya Organisasi


O’Toole Quinn & Hirsh 1985 Schneider Deal & Horrison Bennis &
1985 Mcgrath 1994 Kennedy 1972 (Handy Nanus 1985
1985 1982 1976)

Meritocracy Rational Intuition Competence Tough-Guy Task Collegial


Thinking Macho
(NT)
Egalitarian Consensual Sensation Collaboration Work Hard Collegial
Feeling (SF) Play Hard
Humanism Ideological Intuition Cultivation Person Personalistic
Feeling (IF) (Dionysus)
Behaviourism Hierarchical Sensation Control Bet Your Role (Apollo) Formalistic
Thinking company
(ST)
Process Power
(Zeus)
Sumber : Hawkins, 1997: 423
8.54 Perilaku Organisasi ⚫

Seperti tampak pada Tabel 8.10, para peneliti sesuai dengan latar belakang
dan preferensi masing-masing menentukan tipe budaya organisasi yang
berbeda-beda. Hirsh misalnya dengan menggunakan konsepnya Meyer and
Biggs tentang tipologi kepribadian, membedakan tipe budaya menjadi:
Intituition Thinking (NT), Sensation Feeling (SF), Intituition Feeling (IF) dan
Sensation Thinking (ST). Berikut secara selektif akan diuraikan masing-
masing tipe budaya organisasi dengan kemungkinan implikasinya terhadap
kehidupan organisasi.

G. TIPOLOGI BUDAYA MENURUT ROGER HARRISON

Bisa dikatakan bahwa Harrison adalah orang pertama yang


mempromosikan penggunaan tipe budaya meski pada waktu itu istilah tipe
budaya belum banyak dikenal. Tipologi budaya organisasi seperti
dikemukakan oleh Horrison pada awalnya digunakan untuk menjelaskan
karakter dan ideology sebuah organisasi. Horrison baru menggunakan istilah
tipe budaya setelah popularitas budaya organisasi mencuat ke permukaan. Ia
kemudian bersama Herb Stokes menyusun instrumen untuk mendiagnosis
budaya organisasi. Menurut Horrison karakter dan ideologi sebuah organisasi
dapat dilihat dari orientasi organisasi tersebut yang dibedakan menjadi empat
(4) macam orientasi, yaitu orientasi kepada kekuasaan (power orientation),
orientasi kepada peran masing-masing pejabat (role orientation), orientasi
kepada tugas (task orientation) dan orientasi kepada orang (people
orientation). Keempat orientasi ini ditentukan dengan terlebih dahulu
memperhatikan perbedaan kepentingan pihak-pihak yang terkait dengan
organisasi, khususnya antara kepentingan individu (anggota organisasi) dan
kepentingan organisasi itu sendiri. Cara membedakan kepentingan seperti ini
sebelumnya pernah dilakukan oleh Blake and Mouton yang menghasilkan
konsep yang sangat terkenal dalam literature manajemen, yaitu “managerial
grid”.
Horrison membedakan kepentingan individu menjadi tiga, yaitu:
1. Memperoleh keamanan terhadap aspek ekonomi, politik, dan psikologis.
2. Memperoleh kesempatan untuk secara sukarela berkomitmen terhadap
pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan, dan
3. Memperoleh kesempatan agar dirinya bisa tumbuh dan berkembang.
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.55

Sedangkan kepentingan organisasi dibedakan juga menjadi tiga yaitu:


1. Efektivitas respon terhadap ancaman dan bahaya yang datang dari
lingkungan organisasi.
2. Mengatasi secara cepat dan efektif terhadap komlpeksitas dan perubahan
lingkungan, dan
3. Mengintegrasikan dan menggordinasikan upaya-upaya internal organisasi
yang, jika dianggap perlu, dengan mengorbankan kepentingan individu.

Pengaruh keempat tipologi budaya di atas terhadap kepentingan masing-


masing–kepentingan individu dan organisasi, digambarkan oleh Harrison pada
Tabel 8.11 sebagai berikut.

Tabel 8.11. Pengaruh Tipe Budaya terhadap Individu dan Organisasi

1. Kepentingan Individu

Keamanan Kesempatan untuk Kesempatan agar dirinya


terhadap aspek berkomitmen bisa tumbuh dan
ekonomi, politik dan terhadap berkembang
psikologis pencapaian tujuan
organisasi
Power Rendah: Rendah: Rendah:
orientation
Karena kuatnya Kecuali seseorang Kecuali seseorang
peran autokrasi memiliki jabatan memiliki jabatan tinggi
tinggi sehingga bisa sehingga bisa menentukan
menentukan tujuan tujuan organisasi
organisasi
Role Tinggi: Rendah: Rendah:
orientation
Karena diamankan Meski seseorang Karena tujuan
oleh berlakunya memiliki jabatan organisasicenderung kaku
ketentuan hukum, tinggi dan setiap kegiatan sudah
aturan dan ditetapkan ketentuannya
prosedur berjalan
Task Moderat: Tinggi: Rendah:
orientation
Persoalan Karena menjadi Seseorang tidak layak
psikologis bisa jika dasar bagi berada didalam organisasi
kontribusi individual seseorang untuk jika ia tidak menyesuikan
redanden berinteraksi dengan tujuannya dengan
organisasi organisasi
8.56 Perilaku Organisasi ⚫

Person Tinggi: Tinggi: Tinggi:


orientation
Karena perhatian Khususnya jika Karena tujuan organisasi
utamanya adalah seseorang mampu disesuaikan dengan tujuan
kesejahteraan menciptkan individu
individual tujuannya

2. Kepentingan Organisasi

Efektivitas respon Mengatasi secara Mengintegrasikan dan


terhadap ancaman cepat dan efektif menggordinasikan
dan bahaya dari terhadap kompleksitas upaya-upaya internal
lingkungan dan perubahan organisasi
organisasi lingkungan
Power Tinggi: Moderat ke rendah: Tinggi:
orientation
Organisasi Bergantung pada Kontrol cukup efektif
cenderung siap ukuran organisasi, karena dukungan dari
untuk bersaing namun model atas
komunikasi yang
piramidal sangat
mudah overload
Role Moderat ke rendah: Rendah: Tinggi:
orientation
Organisasi Lambat dalam Menggambarkan sistem
cenderung lambat merubah prosedur kerja yang rasional yang
dalam merespon yang ada; dan model dirancang dengan
ancaman yang terus komunikasi yang sangat hati-hati
meningkat piramidal sangat
mudah overload
Task Moderat ke tinggi: Tinggi: Moderat:
orientation
Boleh jadi organisasi Fleksibilitas dalam Terintegrasi melalui
lambat dalam penugasan dan tujuan bersama, namun
mengambil komunikasi yang adanya fleksibilitas, dan
keputusan tetapi pendek sangat pergeseran struktur
menghasilkan respon memudahkan untuk memungkinkan sulitnya
yang kompeten beradaptasi untuk koordinasi
Person Rendah: Tinggi: Rendah:
orientation
Organisasi lambat Respon sangat tidak Tujuan bersama sulit
menyadari adanya menentu; penempatan dicapai dan berbagai
ancaman dan lambat sumberdaya untuk aktivitas bisa saja
pula dalam mengatasi masalah bergeser bergantung
mengatasinya sangat bergantung
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.57

pada kebutuhan dan interest masing-masing


ketertarikan masing- individu
masing individu

H. TIPOLOGI BUDAYA MENURUT PARA PENGIKUT HARRISON

Model tipologi budaya yang dikemukakan oleh Harrison seperti tersebut


di atas menjadi dasar bagi penulis lain seperti Diana Pheysey, Charles Handy
dan Kim Cameron & Robert Quinn untuk mengklasifikasikan tipologi budaya
sebuah organisasi yang sejenis dengan tipologinya Harrison namun dengan
bahasa berbeda. Seperti tampak pada Tabel 8.12, misalnya power culture
identik dengan Zeus dan adhocracy; task culture identik dengan achievement
culture, Athena dan market culture. Apollo dan Hierarchy identik dengan role
culture. Demikian juga person culture dengan support culture, Dionysus dan
clan culture.
Tabel 8.12
Perbandingan Tipe Budaya:
Horrison, Pheysey, Handy dan Cameron & Quinn

Tipe Budaya

Roger Power Role Task culture Person culture


Harrison culture culture

Diana Power Role Achievement Support culture


Pheysey culture culture culture

Charles Handy Zeus Apollo Athena Dionysus

Kim Cameron Adhocracy Hierarchy Market Clan


& Robert
Quinn

Diana Pheysey dengan menggunakan 4-dimensional modelnya Hofstede


menyebutkan adanya empat tipe budaya organisasi, yaitu power culture, role
culture, achievement culture, dan support culture. Yang dimaksud dengan
power culture adalah budaya organisasi dimana kekuasan mempunyai peranan
penting dalam mewarnai kehidupan organisasi. Organisasi mafia adalah salah
satu contoh klasik dari power culture. Role culture adalah tipikal organisasi
8.58 Perilaku Organisasi ⚫

yang menuntut individu-individu yang ada didalam organisasi, sesuai dengan


posisi masing-masing, berperan dalam pencapaian tujuan organisasi. Disini
organisasi dipandang sebagai “bounded rational instrument for the
achievement of specified goals - instrumen yang rasional untuk mencapai
tujuan organisasi”. Perusahaan besar atau lembaga-lembaga pemerintah
umumnya masuk dalam kategori ini. Sedangkan Achievement culture
digunakan untuk mengelompokkan organisasi yang lebih menekankan atau
berorientasi pada hasil yang harus dicapai. Perusahaan-perusahaan yang
masuk ke dalam kelompok budaya ini menuntut karyawannya memiliki energi
dan waktu yang cukup yang didedikasikan untuk menyelesaikan persoalan-
persoalan perusahaan. Contoh perusahaan yang masuk dalam kelompok ini
adalah perusahaan R & D dan perusahaan yang tingkat persaingannya sangat
tajam. Terakhir support culture adalah budaya organisasi dimana hubungan
antar individu didalam organisasi dan partisipasi mereka dalam pengambilan
keputusan dianggap penting. Asumsi yang melatar-belakangi tipe budaya ini
adalah setiap orang mau terlibat di dalam organisasi jika mereka benar-benar
merasa menjadi anggota organisasi, dan mendapat perhatian dari organisasi.
Organisasi Kibbutz di Israel atau koperasi bisa dijadikan contoh sebagai
organiasi yang mempunyai support culture.

I. PROSES PEMBENTUKAN BUDAYA ORGANISASI

Bisa dikatakan bahwa budaya sebuah organisasi akan segera terbentuk


segera setelah organisasi tersebut didirikan. Hal ini misalnya ditegaskan oleh
Schein yang mengatakan bahwa pembentukkan budaya organisasi tidak bisa
dipisahkan dari peran para pendiri organisasi. Prosesnya mengikuti alur
sebagai berikut:
1. Para pendiri dan pimpinan lainnya membawa serta satu set asumsi dasar,
nilai-nilai, perspektif, artefak ke dalam organisasi dan menanamkannya
kepada para karyawan.
2. Budaya muncul ketika para anggota organisasi berinteraksi satu sama lain
untuk memecahkan masalah-masalah pokok organisasi yakni masalah
integrasi internal dan adaptasi eksternal.
3. Secara perorangan, masing-masing anggota organisasi boleh jadi menjadi
seorang pencipta budaya baru (culture creator) dengan mengembangkan
berbagai cara untuk menyelesaikan persoalan-persoalan individual seperti
persoalan identitas diri, control, dan pemenuhan kebutuhan serta
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.59

bagaimana agar bisa diterima oleh lingkungan organisasi yang diajarkan


kepada generasi penerus.

Alur di atas menegaskan bahwa para pendiri disamping menuangkan ide


untuk membentuk organisasi, menyediakan dana dan semua sarana dan
prasarana yang dibutuhkan, juga bertindak sebagai peletak dasar ideologi
organisasi. Para pendiri, ketika mendirikan organisasi, tidak sekedar
menginginkan agar organiasasi tersebut berdiri kokoh melainkan agar cita-
citanya bisa dicapai melalui organisasi tersebut. Itulah yang disebut alasan
mengapa organisasi didirikan (biasa disebut core purpose). Di samping
memiliki cita-cita, pada saat yang sama para pendiri juga meletakkan landasan
filosofi sebagai pedoman moral dan pedoman bertindak dalam menjalankan
semua aktivitas dalam rangka meraih cita-cita. Pedoman inilah yang biasa
disebut core values.
Pada awalnya, dalam banyak kasus, ideologi organisasi seperti disebutkan
di atas tidak dinyatakan secara eksplisit dalam bentuk pernyataan tertulis,
bahkan hanya orang-orang tertentu khususnya para pendiri itu sendiri yang
memahami ideologi tersebut. Di luar mereka, meski masih berada di dalam
lingkungan internal organisasi, tidak banyak yang mengetahuinya. Ketidak-
tahuan mereka boleh jadi karena para pendiri yang biasanya sekaligus
bertindak sebagai manajer dan pekerja tidak secara eksplisit
mengkomunikasikan ideologi tersebut kepada anggota-anggota baru
organisasi. Bentuk komunikasi yang digunakan para pendiri diantaranya
dengan memberi contoh dalam bentuk perilaku sehari-hari bagaimana
seharusnya melakukan segala aktivitas organisasi. Kalaulah para pendiri
menyampaikannya secara verbal, yang mereka sampaikan paling-paling
norma perilaku sebagai dasar untuk bertindak, untuk mengemukakan
pendapat, untuk berinteraksi dengan orang lain dan sebagainya. Itupun
biasanya disampaikan secara samar-samar, seperti misalnya: saya paling tidak
suka jika ada orang yang tidak jujur….., di sini karyawan tidak boleh malu
bertanya bahkan kepada saya sekalipun…., karyawan harus bisa ini itu….,
tidak boleh ini itu….., tabu untuk melakukan itu….., seharusnya begini
begitu……. dan seterusnya.
Ungkapan yang samar-samar tersebut oleh para karyawan ditangkap dan
diinterpretasikan sebagai pesan moral yang harus diikuti tanpa harus
mengetahui alasan-alasan yang melatarbelakangi pesan moral tersebut. Pesan-
pesan moral inilah yang disebut sebagai nilai-nilai organisasi (organization
values). Itulah sebabnya para karyawan jauh lebih memahami dan menyadari
8.60 Perilaku Organisasi ⚫

arti penting nilai-nilai organisasi ketimbang asumsi dasar atau ideologi


organisasi karena sekali lagi nilai-nilai organisasi inilah yang hampir setiap
hari, setiap minggu, setiap bulan dan sepanjang tahun ditunjukkan oleh para
pendiri sebagai pedoman untuk menyelesaikan berbagai masalah organisasi
baik masalah adaptasi eksternal maupun integrasi internal. Meski pada
awalnya tidak tertulis, sekedar sebagai konvensi, pada akhirnya pesan moral
ini menjadi tuntunan bagi para anggota organisasi sebagai cara untuk
menyikapi dan menyelesaikan masalah yang dihadapi organisasi, cara
berprilaku, dan cara bertindak. Alhasil, pesan moral tersebut secara gradual
akhirnya menjadi tuntunan mereka dalam perilaku sehari-hari.
Setelah tuntunan tersebut terinternalisasi dan terkristalisasi ke dalam diri
masing-masing anggota organisasi dan secara keseluruhan tersistem ke dalam
organisasi, dipahami, dijiwai dan dipraktikkan bersama oleh sebagian besar
anggota organisasi maka akhirnya terbentuklah budaya organisasi. Jadi, seperti
dikatakan oleh Schein, peran para pendiri dalam proses pembentukan budaya,
khususnya bagi organisasi yang baru pertama kali berdiri, sangat besar. Bisa
dikatakan bahwa para pendiri menjadi satu-satunya sumber pembentukan
budaya dalam sebuah organisasi, sementara para anggota organisasi hanya
menerima apa adanya yang disampaikan para pendiri. Karena pembentukan
budaya berasal dari satu sumber – para pendiri maka tidak terhindarkan jika
budaya yang terbentuk lebih bersifat monolitik. Untuk memberikan ilustrasi
bagaimana proses terbentuknya budaya, digambarkan oleh Sathe sebagai
berikut :
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.61

Sumber: Sathe, p. 17

Gambar 8.12
Proses Terbentuknya Budaya

Gambar di atas secara jelas menunjukkan bahwa proses terbentuknya


budaya berasal dari asumsi-asumsi dasar yang dianggap penting. Dalam hal
organisasi masih relatif kecil asumsi-asumsi dasar tersebut biasanya bersumber
atau melekat pada diri para pendirinya. Asumsi-asumsi dasar dikomunikasikan
dan dishared oleh sebagian besar anggota organisasi dalam berbagai bentuk –
shared feelings (emosi atau perasaan yang sama), shared doings (perilaku yang
sama), shared sayings (bahasa yang sama) dan shared things (memahami
objek dengan cara pandang yang sama). Sebagai contoh, jika setiap kali terjadi
krisis lantas para pejabat teras kemudian terjun langsung menangani krisis
tersebut, bisa diartikan bahwa para pimpinan dan anggota organisasi memiliki
emosi dan perasaan yang sama – krisis tersebut harus segera diselesaikan dan
bukan semata-mata tanggung jawab anggota organisasi. Para anggota
organisasi dengan demikian merasa aman dan tidak perlu khawatir jika
sewaktu-waktu terjadi krisis pasti akan segera ditangani oleh para pejabat
terasnya. Itulah anggapan mereka. Anggapan ini akan terus bergulir. Pada
awalnya sekedar sebagai kenyataan, namun lama-kelamaan setelah diamati,
dipelajari, dirasakan, dan diterjemahkan oleh sebagian besar anggota
organisasi selanjutnya apa yang awalnya hanya sekedar kenyataan akhirnya
8.62 Perilaku Organisasi ⚫

menjadi pola perilaku yang harus dijalani dan akhirnya menjadi kebiasaan dan
dari sinilah tercipta budaya.
Uraian di depan menjelaskan proses terbentuknya budaya khususnya pada
organisasi yang masih kecil (start up organization). Namun ketika organisasi
berkembang menjadi semakin besar, kegiatannya menjadi semakin kompleks
dan mulai terjadi proses pembelajaran bagi orang-orang yang selama ini hanya
menjadi pengikut, proses pembentukan budaya tidak lagi berada di tangan para
pendiri karena secara bertahap para pendiri biasanya mulai melepaskan
sebagian kekuasaannya kepada orang-orang yang dipercaya yang dianggap
memiliki mind set yang sama. Estafet kepemimpinan pada umumnya
diserahkan kepada salah seorang anggota keluarga yang memang sudah lama
dipersiapkan untuk itu. Bagi etnik Cina pemindahan kekuasaan ini biasanya
diserahkan kepada generasi kedua yang diangkat sebagai putra mahkota.
Sementara itu, para pendiri tidak lagi terlibat secara langsung dalam kehidupan
organisasi. Mereka lebih menempatkan diri sebagai tetua (Godfather) yang
menyediakan seluruh waktunya untuk dijadikan rujukan dan mentor bagi
penerusnya. Semua ini bertujuan agar budaya yang telah dibangun dengan
susah payah tidak punah begitu saja. Kondisi seperti ini banyak dijumpai di
Indonesia, seperti yang terjadi pada PT. HM Sampoerna, PT. Gudang Garam,
Bakri Brothers, dan sebagainya. Meski praktik semacam ini dianggap sebagai
sebuah kewajaran khususnya bagi masyarakat yang lebih kolektif (collectism
society) di mana fungsi seorang anak adalah sebagai penerus generasi, namun
bukan tidak mungkin para pendiri menyerahkan estafet kepemimpinan kepada
manajer profesional, sementara para pendiri itu sendiri secara formal bertindak
sebagai komisaris/pengawas yang diantara tugasnya tetap sama, yakni
menjaga keutuhan nilai-nilai yang telah dibangunnya.
Dengan beralihnya estafet kepemimpinan, berarti kendali organisasi,
termasuk proses pembentukan dan mempertahankan budaya organisasi,
bergeser dari para pendiri ke putra mahkota atau para manajer profesional.
Meski pergantian kepemimpinan ini mungkin tidak berdampak terhadap
perubahan asumsi dasar dan landasan filosofis organisasi, bukan tidak
mungkin pimpinan yang baru (baik putra mahkota maupun manajer
profesional) melakukan interpretasi ulang terhadap asumsi dasar dan filosofi
organisasi. Hal ini bisa saja terjadi utamanya jika terjadi perubahan lingkungan
eksternal yang memaksa organisasi harus menyesuaikan diri dengan
lingkungan tersebut. Interpretasi ulang terhadap filosofi organisasi juga bisa
terjadi karena perubahan gaya kepemimpinan para penerusnya. Hal ini sering
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.63

terjadi utamanya jika penerusnya adalah seorang manajer profesional. Jika


para penerus atau manajer profesional berhasil menginterpretasi ulang filosofi
organisasi dan menjadikan organisasi sukses, selanjutnya nilai-nilai baru ini
dikomunikasikan kepada seluruh anggota organisasi, dishared dan
dipertahankan untuk menjadi nilai-nilai bersama.

J. MELESTARIKAN BUDAYA ORGANISASI

Karena budaya organisasi merupakan fenomena kolektif maka eksistensi


dan kelestarian budaya tidak bergantung semata-mata pada individu per
individu, misalnya hanya bergantung pada pendiri atau pimpinan organisasi,
melainkan pada keseluruhan anggota organisasi. Oleh karena itu, untuk
menghindari terjadinya deviasi budaya, sangat diperlukan sharing dan
kesadaran sosial (social conscience) anggota organisasi akan pentingnya
memelihara dan mempertahankan budaya. Upaya ini bisa dilakukan melalui
pemahaman yang baik terhadap elemen-elemen pembentuk budaya, seperti
keyakinan, tata nilai, atau adat kebiasaan. Semakin anggota organisasi
memahami, mengakui, menjiwai dan mempraktikkan keyakinan, tata nilai,
atau adat kebiasaan tersebut dan semakin tinggi tingkat kesadaran mereka,
budaya organisasi akan semakin eksis dan lestari, demikian sebaliknya. Itulah
sebabnya jika ada seorang pendatang baru yang hendak bergabung dan
menjadi anggota organisasi maka ia dituntut untuk melakukan proses
pembudayaan (akulturasi). Dalam realita proses ini kadang-kadang harus
dilakukan secara paksa, dengan ancaman atau yang lebih halus dengan
persuasi bukan semata-mata bersifat sukarela atas kesadaran individual
pendatang baru tersebut.
Upaya untuk melestarikan budaya organisasi dimulai pada saat
perusahaan akan merekrut karyawan baru. Para pimpinan organisasi atau para
manajernya tentu tidak mau mengambil risiko dan berspekulasi untuk
merekrut karyawan yang tidak mereka ketahui asal usul dan latar belakangnya.
Demikian juga mereka tidak mau merekrut karyawan yang dianggap tidak
cocok dengan kondisi dan budaya perusahaan. Rekrutmen dengan demikian
bukan sekedar memasukkan orang baru ke dalam perusahaan melainkan juga
mengawinkan latar belakang nilai-nilai individual dan kepribadian orang
tersebut dengan nilai-nilai dan budaya sebuah organisasi (person – culture fit).
Semua ini dilakukan dalam rangka mempermudah organisasi mengelola para
karyawan dan menjaga kelestarian budaya yang telah dibangun dengan susah
8.64 Perilaku Organisasi ⚫

payah. Itulah sebabnya saling mengerti diantara kedua belah pihak – antara
calon karyawan dan calon majikan sangat diperlukan. Dengan pemahaman
sejak awal diantara kedua belah pihak memungkinkan pencari kerja dan calon
pemberi kerja melakukan kontrak psikologis (psychological contract).
Secara sederhana yang dimaksudkan dengan kontrak psikologis adalah
satu set kewajiban bersama dan janji tidak tertulis antara pencari kerja
(employees) dan pemberi kerja (employer) yang dipersepsi oleh pencari kerja.
Kontrak psikologis dengan demikian merupakan harapan masing-masing
pihak yang sedapat mungkin bisa terpenuhi saat kedua belah menjalin kontrak
kerja secara formal. Meski kontrak tersebut tidak tertulis dampaknya terhadap
proses akulturasi sangat besar karena pengingkaran atau tidak dipenuhinya
janji akan menyebabkan salah satu pihak, khususnya karyawan baru, hanya
akan berupaya memenuhi kepentingan dirinya bukan organisasi secara
keseluruhan.
Pada perusahaan yang relatif lebih besar dan secara organisasional lebih
mapan karena telah memiliki perangkat-perangkat organisasi, pola rekruitmen
pada umumnya sudah lebih terbuka dalam pengertian tidak diperlukan lagi
prasyarat bahwa orang yang direkrut harus sudah dikenal sebelumnya. Hal ini
bisa diartikan pula bahwa karyawan baru tidak harus berasal dari keluarga
dekat para petinggi organisasi atau keluarga dekat, tetangga atau teman dekat
karyawan yang telah lebih dahulu bekerja. Calon karyawan yang tidak dikenal
sebelumnya dengan demikian bisa saja direkrut selama orang tersebut
memenuhi kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan perusahaan. Kriteria-
kriteria ini tidak hanya didasarkan pada aspek perilaku seperti pada perusahaan
keluarga akan tetapi juga pada aspek-aspek lain, seperti aspek keterampilan,
kompetensi, pengalaman dan pengetahuan calon karyawan.
Karena model rekrutmen lebih terbuka dan calon karyawan belum dikenal
sebelumnya maka proses rekrutmen pada umumnya dilakukan melalui
beberapa tahap mulai dari tahap seleksi awal sampai pada tahap sosialisasi dan
pelatihan. Sederhananya merekrut calon karyawan layaknya seseorang
melamar calon istri. Pada saat meminang kita tidak boleh hanya mengandalkan
pada kesan pertama bahwa calon karyawan tersebut adalah orang baik dan bisa
diajak kerja sama, tetapi harus lebih seksama mengetahui latar belakang
mereka melalui bukti-bukti tertulis tentang latar belakang keluarga,
pendidikan, asal sekolah, dan pengalaman kerja jika ada. Semua ini dilakukan
agar pihak perusahaan bisa meyakini bahwa calon karyawan adalah orang yang
cocok untuk direkrut dan layak untuk bergabung dengan perusahaan. Meski
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.65

demikian, mengetahui calon karyawan hanya melalui bukti tertulis dianggap


tidak cukup karena masih ada beberapa aspek yang belum terungkap, misalnya
prilaku dan kepribadian calon karyawan. Kedua aspek ini, karena sifatnya yang
tidak serta merta tampak ke permukaan melainkan cenderung tersembunyi,
tidak bisa diketahui kecuali kita mengenalnya lebih dekat. Oleh karena itu,
dalam rekrutmen karyawan perlu dilakukan interview untuk mengungkap
aspek-aspek tersebut. Disamping itu tes kesehatan dalam batas-batas tertentu
juga dianggap perlu.
Setelah tahap rekrutmen selesai, tahap berikutnya adalah
mensosialisasikan karyawan baru ke dalam kehidupan riil perusahaan.
Sosialiasi ini dimaksudkan agar karyawan baru “learn the ropes“ – memahami
tata aturan dan budaya yang berkembang di perusahaan tersebut: apa yang
boleh dan apa yang tidak boleh, apa yang dianjurkan dan apa yang perlu
dihindarkan, dan apa yang sakral dan apa yang tabu. Upaya ini bagi
perusahaan, sekali lagi, merupakan langkah yang perlu ditempuh dengan
tujuan untuk melestarikan budaya berjalan. Berdasarkan uraian di atas proses
sosialisasi bisa dilakukan melalui tahapan-tahapan seperti tampak pada
Gambar 8.13 berikut ini.
8.66 Perilaku Organisasi ⚫

START

Sumber: Pascale, p. 38

Gambar 8.13
Proses Sosialisasi Karyawan

K. BUDAYA DAN PERILAKU INDIVIDUAL

Edgar Schein mengatakan bahwa dalam kedudukannya sebagai bagian


dari sebuah masyarakat, manusia secara individual pada dasarnya memiliki
tiga kebutuhan pokok. Pertama, manusia ingin menjadi bagian dari sebuah
kelompok (masyarakat) dan ingin mengetahui perannya dalam kelompok
tersebut. Kedua, manusia ingin tampak berpengaruh dalam sebuah kelompok
dan tidak ingin tampak bergantung pada kelompoknya meski pada saat yang
sama ingin tetap menjadi bagian dari kelompok dan ketiga, secara individu
manusia ingin bisa diterima dan intim dengan anggota kelompok yang lain
yang sifat penerimaannya bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan dasar
manusia. Secara natural, manusia akan berusaha secara maksimal untuk
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.67

memenuhi ketiga kebutuhan dasar tersebut. Namun, karena manusia juga sadar
bahwa kebutuhan tersebut hanya bisa dipenuhi jika melibatkan orang lain
maka salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan melibatkan diri di
tempat kerja karena tempat kerja bukan sekedar tempat untuk mencari nafkah,
tetapi juga memiliki potensi untuk memenuhi sebagian atau seluruh kebutuhan
dasar di atas.
Pertanyaannya adalah dalam upayanya untuk memenuhi kebutuhan
tersebut, bagaimana seseorang memilih tempat kerja yang jumlahnya jutaan?
Jung seperti dikutip oleh Rod Gray mengatakan bahwa untuk mengambil
keputusan dalam menentukan pilihan tempat kerja atau pilihan-pilhan lainnya
biasanya seseorang berpedoman pada nilai-nilai personal (personal values)
orang tersebut. Artinya, setiap orang hampir pasti akan memilih pekerjaan dan
tempat kerja yang cocok dengan kompetensi dan nilai-nilai personalnya.
Dalam bahasa perilaku organisasi, kesesuaian antara kompetensi dan nilai-
nilai personal dengan pekerjaan dan tempat kerja disebut sebagai kesesuaian
antara seseorang dengan pekerjaan (person-job fit). Seperti dikatakan oleh
Daniel Cable dkk, seseorang bukan sekedar aktif mencari informasi tentang
tempat kerja yang cocok untuk dirinya, tetapi juga aktif mencari informasi
tentang budaya yang berkembang pada organisasi tersebut.
Di sisi lain, organisasi tempat kerja juga tidak sembarangan mau
menerima seseorang menjadi bagiannya jika diyakini bahwa orang tersebut
tidak memberi kontribusi terhadap keinginan dan tujuan organisasi. Oleh
karena itu, dalam memilih dan menentukan seseorang untuk menjadi karyawan
atau bagiannya, organisasi menggunakan berbagai macam ketentuan dan
pertimbangan sebagai dasar untuk menentukan pilihannya. Salah satunya,
dengan mempertimbangkan kecocokan antara nilai-nilai individu (personal
value) calon karyawan dengan nilai-nilai organisasi (organizational value)
atau antara perilaku calon karyawan dengan budaya organisasi. Bagi
organisasi, kecocokan ini dianggap penting karena akan mempermudah
organisasi mengelola dan mengarahkan orang-orang tersebut untuk mencapai
tujuan organisasi. Sedangkan bagi calon karyawan itu sendiri, kecocokan ini
diharapkan bisa mempermudah proses sosialisasi dengan lingkungan yang
baru dan mempercepat pengakuan organisasi terhadap dirinya sebagai bagian
dari organisasi. Secara konseptual kesesuaian antara seseorang dengan
organisasi (person-organization fit) terjadi jika (a) paling tidak salah satu pihak
menawarkan sesuatu yang dibutuhkan pihak lain, atau (b) kedua belah pihak
8.68 Perilaku Organisasi ⚫

memiliki karakteristik yang hampir sama atau (c) gabungan antara poin a dan
poin b.
Beberapa artikel dan penelitian yang berkaitan dengan keterkaitan antara
budaya organisasi dan perilaku individual telah banyak dibahas oleh para ahli
psikologi maupun organisasi. Sebagai contoh, tidak lama setelah istilah budaya
organisasi menjadi pembicaraan banyak ahli organisasi, Ellen Wallach,
seorang konsultan pengembangan karir, menyuarakan pentingnya motivasi
seseorang dikaitkan dengan budaya organisasi tempat kerja. Menurutnya
pekerjaan seorang karyawan akan jauh lebih efektif jika terdapat kecocokan
antara motivasi karyawan dan budaya organisasi berjalan. Demikian juga
karyawan tersebut akan lebih diakui keberadaannya dan akan memperoleh
kesempatan lebih baik untuk dipromosikan perusahaan. Sementara itu,
O’Really, Chatman and Cadwell, dengan menggunakan metode “Q-sort”,
menyatakan bahwa kecocokan antara seseorang dengan tempat kerja akan
meningkatkan kepuasan kerja dan setahun kemudian komitmen seseorang
dalam pekerjaan juga meningkat. Temuan ini membuktikan pentingnya
memahami kecocokan antara seseorang dengan nilai-nilai/budaya organisasi
tempat kerja.
Berdasarkan temuan di atas, penelitian-penelitian lanjutan yang mengikuti
pola pikir O’Relly, dkk mulai bermunculan. Barry Posner yang menggunakan
tiga dimensi kecocokan – clarity, consensus, dan intensity misalnya
menegaskan bahwa kecocokan nilai-nilai personal seseorang dengan nilai-nilai
organisasi akan mengahasilkan sikap positif karyawan. Jika salah satu dari
dimensi tersebut cocok maka dua dimensi yang lain juga mengalami hal yang
sama. Sedangkan faktor demografik yang oleh Posner dijadikan sebagai
moderating variable ternyata tidak berpengaruh terhadap kecocokan tersebut.
Sementara itu, Vandenberghe yang melakukan replikasi penelitian O’Relly,
dkk pada industri kesehatan di Belgia menemukan bahwa karyawan (para
perawat) yang nilai-nilai individualnya selaras dengan nilai-nilai rumah sakit
tempat kerja cenderung tidak akan pindah kerja dan tetap bekerja di rumah
sakit lebih lama. Penelitian ini dianggap cukup penting karena bagi organisasi
rumah sakit yang kebanyakan karyawannya adalah tenaga profesional,
karyawan pindah kerja (employee turnover) biasanya cenderung lebih tinggi
dibandingkan dengan organisasi lain, seperti perusahaan manufaktur.
Penelitian tentang kecocokan antara perilaku seseorang dengan budaya
organisasi terus berkembang. Annelies Van Vianen misalnya mengatakan
bahwa preferensi yang sama antara recruiter dan calon karyawan terhadap
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.69

budaya organisasi merupakan pintu masuk yang penting sebelum seseorang


yakin bahwa dirinya cocok dengan organisasi tempat kerja. Sementara itu,
Werbel and Johnson yang menyatakan bahwa disamping kecocokan antara
seseorang dengan organisasi tempat kerja, kecocokan antara seseorang dengan
kelompok kerjanya juga harus menjadi perhatian para manajer sumber daya
manusia dalam merekrut seseorang. Alasannya karena sebelum terlibat secara
umum dengan kegiatan organisasi, orang tersebut dalam kesehariannya akan
terlibat intens dengan tim atau kelompok kerjanya.

LAT IH A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!

1) Seorang karyawan mengeluh “Wah tempat kerja kami tidak memiliki


budaya maka kinerjanya tidak pernah baik”. Cobalah Anda tanggapi
keluhan karyawan tersebut!
2) Jika Anda adalah seorang pimpinan puncak sebuah organisasi, bagaimana
cara Anda melestarikan budaya yang sudah terbentuk didalam organisasi?
3) Jelaskan pengaruh budaya terhadap perilaku manusia didalam organisasi!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Memang sering terjadi salah pengertian tentang budaya organisasi


khususnya ketika kinerja organisasi memburuk. Banyak orang mengklaim
bahwa buruknya kinerja organisasi karena ketiadaan budaya dalam
organisasi tersebut. Klaim seperti ini tentunya tidak tepat karena
sesungguhnya setiap organisasi pasti memiliki budaya. Hal ini misalnya
dipertegas oleh pengertian organisasi yang salah satu elemen pentingnya
adalah budaya organisasi. Sekumpulan orang akan disebut sebagai
organisasi hanya jika kumpulan orang tersebut memiliki budaya tidak
peduli apakah budayanya bisa membantu organisasi memperbaiki kinerja
atau sebaliknya menghambat kinerja. Sekumpulan orang hanya akan
disebut sebagai kumpulan individu jika mereka tidak memiliki. Jadi,
buruknya kinerja dalam kasus ini bukan tidak adanya budaya, tetapi lebih
8.70 Perilaku Organisasi ⚫

tepat dikatakan jika budaya yang ada menghambat atau tidak mendukung
penciptaan kinerja yang baik.
2) Melestarikan budaya berarti menjaga agar budaya berjalan bisa tetap eksis
dan lestari. Memang budaya organisasi sulit berubah, namun bukan berarti
tidak bisa mengalami perubahan. Yang menjadi masalah adalah
perubahan budaya biasanya berjalan sangat lambat, sangat tidak kentara.
Oleh karena itu, setiap manajer harus berusaha melakukan pencegahan
secara dini agar budaya yang sudah terbentuk dan membantu organisasi
mencapai kinerjanya tidak tergerogoti. Salah satu upaya paling awal yang
bisa dilakukan seorang manajer adalah pada saat merekrut orang baru
sebagai bagian dari anggota organisasi harus memilih orang-orang yang
nilai-nilai individualnya cocok dengan nilai-nilai organisasi. Langkah
selanjutnya adalah melakukan sosialisasi agar anggota baru tersebut betul-
betul memahami, menjiwai, dan mempraktikkan budaya berjalan.
3) Meski budaya organisasi merupakan komponen yang tidak kasat mata
(intangible) dan informal namun pengaruhnya terhadap perilaku manusia
didalam organisasi tidak perlu disanksikan. Sebagai contoh, ketika sebuah
seorang manajer mengadopsi role culture – budaya organisasi yang
berorientasi birokrasi sebagai nilai-nilai dominan organisasi, hampir pasti
seluruh karyawan atau paling tidak sebagian besar karyawan akan
menggunakan aturan sebagai pedoman berperilaku. Artinya karyawan
yang tidak taat aturan dianggap bukan kelompok mereka dan bukan tidak
mungkin akan dikucilkan.

R A NG KU M AN

Budaya organisasi yang menjadi fokus bahasan KB 2 merupakan


bagian integral dari komponen organisasi yang bersifat informal dan tidak
kasat mata. Meskipun demikian, kehadirannya tidak bisa dihindarkan dan
pengaruhnya terhadap perilaku manusia didalam organisasi tidak pernah
disanksikan. Secara umum, topik-topik yang dibahas pada KB 2 adalah
pengertian budaya organisasi; elemen-elemen pembentuk budaya
termasuk elemen idealistik dan behavioral; tipologi budaya organisasi;
proses terbentuknya budaya dan upaya-upaya untuk melestarikannya.
Terakhir adalah keterkaitan budaya dengan perilaku manusia didalam
organisasi. Kesemua topik penting tersebut selanjutnya akan dirangkum
dalam bentuk ringkasan berikut ini.
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.71

1. Sesungguhnya tidak ada definisi baku yang bisa digunakan untuk


menjelaskan apa itu budaya organisasi. Meskipun demikian, definisi
yang diberikan Edgar Schein pada umumnya bisa diterima sebagai
pengertian umum tentang budaya organisasi. Schein mengatakan
bahwa budaya organisasi adalah pola asumsi dasar yang dishared
oleh sekelompok orang setelah sebelumnya mereka mempelajari dan
meyakini kebenaran pola asumsi tersebut sebagai cara untuk
menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan adapatasi
eksternal dan integrasi internal, sehingga pola asumsi dasar tersebut
perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar
untuk berpersepsi, berpikir dan mengungkapkan perasaannya dalam
kaitannya dengan persoalan-persoalan organisasi.
2. Budaya organisasi terdiri dari dua elemen utama, yaitu elemen yang
bersifat ideal dan elemen yang bersifat behavioral. Kedua, elemen
tersebut tidak berdiri sendiri melainkan saling terkait. Dari kedua
elemen tersebut, Schein selanjutnya membedakan elemen budaya
organisasi menjadi tiga, yaitu asumsi dasar, nilai-nilai organisasi, dan
artefak.
3. Cara pragmatis untuk memahami tipe budaya sebuah organisasi
adalah dengan membuat tipologi budaya. Cara ini banyak dilakukan
para akademisi yang terlibat dalam kajian budaya budaya organisasi.
Salah satu tipologi misalnya budaya organisasi dibedakan menjadi 4
tipe, yaitu power culture, role culture, task culture, dan person
culture.
4. Menurut pengertian organisasi, setiap organisasi pasti memiliki
budaya. Artinya segera setelah organisasi terbentuk saat itu pula
terbentuk budaya organisasi. Pendiri organisasi adalah sumber dan
orang pertama yang membentuk budaya organisasi. Selanjutnya,
secara estafet budaya tersebut ditransmisikan melalui pimpinan
organisasi kepada semua pihak yang terlibat dalam kehidupan
organisasi termasuk orang-orang di luar organisasi.
5. Budaya yang sudah terbentuk, jika dianggap fungsional, perlu
dilestarikan untuk menghindari deviasi budaya. Berbagai cara bisa
dilakukan termasuk pada saat melakukan rekruitmen pendatang baru
sebagai titik awal pelestarian budaya.
6. Bisa dikatakan bahwa budaya dan perilaku organisasi memiliki
hubungan timbal balik. Di satu sisi budaya mempengaruhi perilaku
dan di sisi lain perilaku memperkuat eksistensi budaya. Oleh karena
itu, kecocokan antara nilai-nilai individu dengan nilai-nilai organisasi
menjadi variabel yang sangat penting untuk diperhatikan.

Anda mungkin juga menyukai