kegiatan belajar 1
Struktur Organisasi
Pada KB 1 ini meski struktur dan desain organisasi akan dibahas agak
lebih detail, namun bahasan yang lebih detail ini dimaksudkan agar bisa
diketahui implikasinya terhadap perilaku manusia didalam organisasi.
Utamanya karena setiap desain dan struktur yang berbeda akan membawa
implikasi perilaku manusia yang berbeda pula. Misalnya, struktur organisasi
fungsional akan menuntut prasyarat yang berbeda dibandingkan struktur
organisasi divisional perilaku manusia pada masing-masing struktur juga
berbeda. Struktur organisasi fungsional lebih menuntut karyawan memiliki
kemampuan yang lebih generalis dibandingkan mereka yang bekerja dengan
struktur organisasi divisional. Artinya, mahasiswa yang mempelajari KB 1 ini
diharapkan tidak hanya memahami berbagai macam desain dan struktur
organisasi, tetapi lebih penting dari itu bisa memahami dan mengaitkannya
dengan topik-topik sebelumnya yang berkaitan dengan perilaku individual dan
perilaku kelompok.
Gambar 8.1
Tipikal Peta Organisasi
Seperti tampak pada gambar di atas, tipikal peta organisasi yang terdiri
dari kotak dan garis menggambarkan pembagian kerja (division of work) yang
ditunjukkan oleh pengelompokkan individu kedalam departemen, seperti
Departemen Marketing, SDM, Produksi, dan R&D. Di sisi lain pembagian
kerja juga membutuhkan koordinasi yang pada gambar ditunjukkan oleh
kotak-kotak yang berada di atas kotak-kotak lain yang dihubungkan dengan
sebuah garis vertikal. Dalam hal ini CEO/Presiden Direktur menjadi
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.7
koordinator bagi para Wakil Presiden dan selanjutnya para Wakil Presiden
menjadi koordinator unit-unit organisasi yang ada di bawahnya. Konsekuensi
logisnya adalah CEO/Presiden Direktur memiliki kekuasaan lebih
dibandingkan para Presiden dan Wakil Presiden memiliki kekuasaan lebih
dibandingkan unit organisasi di bawahnya. Selain itu, kotak dan garis dalam
peta organisasi juga menggambarkan pula aliran informasi sebagai sumber
pengambilan keputusan dan rantai komando (chain of command) yang
menunjukkan siapa harus melapor kepada siapa.
Secara keseluruhan bisa dikatakan bahwa secara taksonomis peta
organisasi menggambarkan 3 hal pokok:
1. tingkat spesialisasi atau kompleksitas organisasi,
2. tingkat formalisasi organisasi, dan
3. tingkat sentralisasi/desentralisasi organisasi.
D. FORMALISASI ORGANISASI
E. SENTRALISASI/DESENTRALISASI
semua karyawan. Ada sebagian unit organisasi dan karyawan yang bekerja
didalamnya merasa puas dengan desentralisasi karena mereka bisa berinovasi
tanpa adanya hambatan dari level organisasi atas. Situasi ini misalnya cocok
untuk unit organisasi R&D. Tetapi sebagian karyawan yang lain justru tidak
tertarik untuk terlibat dalam pengambilan keputusan karena rutinitas pekerjaan
sehari-hari, seperti karyawan yang melakukan pekerjaan produksi. Penjelasan
ini menegaskan bahwa desentralisasi tidak selalu cocok untuk semua unit
organisasi. Kapan desentralisasi dianggap lebih menguntungkan dan kapan
dianggap merugikan dapat diringkas seperti tampak pada Tabel 8.2 berikut ini.
Tabel 8.2
Keuntungan Desentralisasi
F. DEPARTEMENTALISASI
Gambar 8.2
Alternatif Pengelompokan Karyawan
Pada struktur organisasi fungsional semua aktivitas mulai dari level bawah
sampai level atas dikelompokkan kedalam fungsi yang sama. Semua orang
yang menjalankan aktivitas pemasaran misalnya dikelompokkan kedalam
departemen pemasaran. Disini Wakil Presiden Pemasaran bertanggung jawab
terhadap semua aktivitas pemasaran. Hal yang sama juga berlaku bagi R&D,
Produksi, SDM, Engineering. Masing-masing secara spesifik bertanggung
jawab terhadap unit aktivitas yang berada di bawahnya. Karakteristik umum
struktur organisasi fungsional dapat dilihat pada Tabel 8.3 berikut ini.
Tabel 8.3
Karakteristik Umum Struktur Organisasi Fungsional
Konteks
Struktur : fungsional.
Lingkungan : stabil; ketidakpastian rendah.
Teknologi : rutin, tidak saling tergantung.
Ukuran organisasi : kecil menengah.
Tujuan : efisiensi internal; kualitas teknis.
Sistem Internal
Tujuan operasional : penekanan pada tujuan fungsional.
Perancanaan dan pengangaran : cost basis – anggaran, laporan statistik.
Otoritas formal : manajer fungsional.
Kekuatan
1. memungkinkan terciptanya skala ekonomi didalam departemen fungsional.
2. memungkinkan pengembangan keterampilan secara mendalam.
3. memungkinkan organisasi mencapai tujuan fungsional.
4. sangat cocok untuk organisasi kecil menengah.
5. sangat cocok untuk organisasi yang menghasilkan satu macam produk atau
variasi produk sangat sedikit.
Kelemahan
1. jika terjadi perubahan lingkungan responnya sangat lamban.
2. menyebabkan pengambilan keputusan menumpuk di atas, dan terjadi overload
hierarki.
3. koordinasi horizontal antardepartemen sangat lemah.
4. menghasilkan sedikit inovasi.
5. tujuan organisasi dipahami secara terbatas.
Divisi bisa berupa produk tunggal, layanan, kelompok produk, proyek atau
program, bisnis atau pusat laba. Sebagai gambaran, perbedaan antara struktur
organisasi fungsional dengan struktur organisasi divisional dapat dilihat pada
Gambar 8.3 berikut ini.
Catatan:
Gambar atas adalah tipikal struktur organisasi fungsional dan gambar bawah
adalah tipikal struktur organisasi divisional.
Gambar 8.3
Perbedaan antara Struktur Organisasi Fungsional dengan Divisional
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.15
Tabel 8.4
Karakteristik Struktur Organisasi Divisional
Konteks
Struktur : produk
Lingkungan : ketidakpastian moderat – tinggi, lingkungan berubah
Teknologi : nonrutin, tingkat kebergantungan antardepartemen
sangat tinggi
Ukuran organisasi : besar
Tujuan : efektivitas eksternal, adaptasi dan kepuasan konsumen
Sistem Internal
Tujuan operasional : penekanan pada lini produk.
Perencanaan dan penganggaran : berbasis pusat laba – pendapatan dan biaya.
Otoritas formal : manajer lini produk.
Kekuatan
1. cocok untuk lingkungan yang tidak stabil dan mudah berubah.
2. memungkinkan terciptanya kepuasan konsumen sebab penanggung jawab produk
sangat jelas –manajer lini produk.
3. melibatkan koordinasi lintas fungsi yang sangat tinggi.
4. memungkinkan setiap unit untuk beradaptasi sesuai dengan kepentingan produk,
wilayah, dan klien.
5. cocok untuk perusahaan besar yang menghasilkan bermacam-macam produk.
6. pengambilan keputusan yang terdesentralisasi.
Kelemahan
1. tidak menciptakan skala ekonomi pada masing-masing fungsi organisasi.
2. koordinasi lintas produk lini relatif jelek.
3. tidak menciptakan kompetensi yang mendalam dan spesialisasi teknis.
4. sulit melakukan integrasi dan standarisasi lintas produk lini.
Gambar 8.4
Struktur Organisasi Hybrid
Tabel 8.5
Karakteristik Struktur Organisasi Hybrid
Konteks
Struktur : hybrid.
Lingkungan : ketidakpastian moderat – tinggi, perubahan permintaan konsumen.
Teknologi : rutin dan nonrutin, beberapa bagian memiliki kebergantungan lintas
fungsi.
Ukuran organisasi : besar.
Tujuan : efektivitas eksternal, adaptasi dan kepuasan konsumen disamping
menekankan pentingnya efisiensi internal.
Sistem Internal
Tujuan operasional : penekanan pada lini produk dan fungsi organisasi.
Perencanaan dan pengangaran : untuk divisi berbasis pusat laba, untuk fungsi berbasis
pusat biaya.
Otoritas formal : manajer lini produk; tanggungjawab koordinasi berada
pada manajer fungsional.
Kekuatan
1. memungkinkan organisasi bisa beradaptasi dan melakukan koordinasi pada divisi
produk dan melakukan efisiensi pada departemen fungsional.
2. menciptakan hubungan yang harmoni antara level corporate dengan level divisi
3. memungkinkan dilakukan koordinasi baik didalam maupun antar lini produk
Kelemahan
1. biaya overhead boleh jadi membengkak
2. bisa memunculkan konflik antara divisi dengan departemen.
CEO
Gambar 8.5
Struktur Organisasi Matriks
Secara umum, ketiga kondisi di atas menuntut adanya otoritas yang bisa
menyeimbangkan kekuasaan berbagai pihak yang berbeda kepentingan, baik
otoritas secara vertikal maupun horizontal. Karena alasan itulah struktur
organisasi matriks menjadi kebutuhan. Karakteristik struktur organisasi dapat
dilihat pada Tabel 8.6 sebagai berikut.
8.20 Perilaku Organisasi ⚫
Konteks
Struktur : matriks
Lingkungan : ketidakpastian tinggi
Teknologi : nonrutin, memiliki banyak kebergantungan
Ukuran organisasi : medium, banyak lini produk
Tujuan : ganda – inovasi produk dan spesialisasi teknis
Sistem Internal
Tujuan operasional : penekanan keseimbangan pada lini produk dan fungsi organisasi
Perencanaan dan penganggaran : sistem ganda – berbasis fungsi dan lini produk
Otoritas formal : kerja sama antara manajer lini produk dengan manajer fungsional
Kekuatan
1. bisa memenuhi kebutuhan koordinasi yang diperlukan dalam rangka memenuhi
permintaan ganda dari lingkungan.
2. bisa berbagi SDM lintas produk secara fleksibel.
3. cocok untuk pengambilan keputusan yang sangat kompleks dan sering terjadi
perubahan lingkungan.
4. memberikan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan baik fungsional
maupun produk.
5. cocok untuk organisasi dengan ukuran medium yang memiliki banyak produk.
Kelemahan
1. adanya otoritas ganda sering menyebabkan karyawan merasa kebingungan dan
frustasi.
2. mengharuskan karyawan memiliki interpersonal skill yang baik dan banyak mengikuti
pelatihan.
3. banyak waktu terbuang hanya untuk rapat dan mengatasi konflik.
4. struktur organisasi ini tidak bisa berjalan dengan baik jika orang-orang yang terlibat
didalamnya tidak memahami konsepnya dengan baik. Mereka juga dituntut untuk
menerapkan hubungan kolegial bukan hubungan vertikal.
5. harus ada tekanan ganda dari lingkungan agar terjadi keseimbangan kekuasaan.
moral para pegawai bisa tercapai. Yang dimasudkan dengan desain organisasi
adalah proses mengkoordinasi elemen-elemen struktur organisasi dalam
rangka untuk mendapatkan struktur organisasi yang paling tepat. Meskipun
structure of five-nya Mintzberg bisa disebut sebagai konsep umum desain
struktur, namun dalam realitas tidak ada satu desain pun yang cocok untuk
semua organisasi. Penyebabnya tidak lain karena desain struktur dipengaruhi
oleh beberapa faktor yang bersifat kontekstual. Akibatnya, setiap organisasi
memiliki konfigurasi struktur yang berbeda. Bahkan dua organisasi yang
bergerak pada bidang bisnis yang sama belum tentu konfigurasinya sama
sehingga cara pembagian kerja, distribusi kewenangan, dan cara koordinasinya
juga berbeda.
Dalam kaitannya dengan desain struktur organisasi, berikut ini akan
diuraikan faktor-faktor yang mempengaruhi struktur, konsep umum struktur
organisasi mulai dari pandangan klasik sampai pada pandangan paling kini.
Para teoritisi yang hidup pada awal-awal sampai dengan pertengahan abad
20 termasuk didalamnya Max Weber, Frederick Taylor, dan Heri Fayol
berkeyakinan bahwa organisasi yang efektif adalah organisasi yang memiliki
hierarki formal, memiliki aturan yang jelas, karyawan memiliki spesialisasi,
tugas bersifat rutin, dan lingkungan organisasi yang impersonal. Weber
menyebut organisasi seperti ini sebagai “birokrasi”. Berdasarkan keyakinan ini
mereka memilih desain organisasi yang paling ideal meskipun yang ideal
tersebut belum tentu realistik. Asumsinya, hanya dengan cara ini organisasi
bisa mencapai tujuannya karena perilaku manusia didalam organisasi bisa
dikendalikan dan diarahkan sesuai dengan kehendak mereka. Sederhananya,
pandangan awal tentang desain organisasi adalah hanya ada satu cara terbaik
– one best way dalam mendesain organisasi, yakni desain yang bersifat
universal dengan ciri-ciri seperti tersebut di atas. Pandangan inilah yang
dikenal sebagai pandangan klasik.
Beberapa peneliti lain, terinspirasi oleh penelitian Elton Mayo yang
dikenal dengan Hawthrone studies, mulai mendesain organisasi yang lebih
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.23
P. PENDEKATAN KONTINGENSI
Mekanik Organik
1. spesialisasi pekerjaan. 1. generalisasi pekerjaan.
2. tugas-tugas didefinisikan secara 2. tugas-tugas tidak didefinisikan secara
jelas dan kaku. khsusus – tugas mungkin disesuaikan
3. hierarki otoritas ditetapkan secara melalui interaksi karyawan.
tegas dan didukung oleh banyak 3. hierarki dilakukan secara informal dengan
aturan. sedikit aturan.
4. pengetahuan dan pengendalian 4. pengetahuan dan pengendalian tidak
terhadap tugas dilakukan di pusat terpusat, tetapi terdistribusi kepada
kekuasaan (sentralisasi) dan semua semua orang.
tugas diatur dari atas. 5. komunikasi berjalan secara horizontal.
5. komunikasi dilakukan secara vertikal Karyawan bisa berkomunikasi kepada
melalui jalur formal. siapa saja yang dianggap perlu.
spesialisasi
Kesamaan pekerjaan
Organik
Mekanik Departementalisasi Informal
Formal Homogen Heterogen
Tidak
Terstruktur
Jumlah terstruktur
Birokrasi Rentang kendali System 4
Sedikit Banyak
Delegasi
Otoritas
Sentralisasi Desentralisasi
Diskresi personal
Gambar 8.6
Dimensi Struktur Organisasi Mekanik V.S. Struktur Organisasi Organik
Strategic
Apex
Middle
Line
Technostructure
Support Staff
Operating Core
Gambar 8.7
Bagian-bagian Struktur Organisasi
Q. KONFIGURASI ORGANISASI
Dewasa ini bentuk desain organisasi baru yang mulai marak digunakan
oleh perusahaan-perusahaan besar adalah struktur organisasi berbasis jejaring
(network structure). Yang dimaksud dengan network structure adalah
sekelompok organisasi berbeda yang tindakan-tindakannya dikoordinasikan
melalui mekanisme kontrak dan kesepakatan bukan melalui otoritas hierarkis
yang bersifat formal. Biasanya salah satu dari kelompok organisasi tersebut
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.29
Tabel 8.9
Tipologi Prilaku Manusia Terkait dengan Struktur Organisasi
Konsekuensi
Perilaku Responsif Perilaku Formatif
Organisasi
Keuntungan Altruism Ketidaksepakatan
Perilaku kewargaan organisasional
organisasi Whistle blowing
Subversi terselubung
Hambatan Malas-malasan Sabotase
Upaya bersyarat Gosip dan perlawanan
Cara berpikir sesuai aturan
LAT IH A N
R A NG KU M AN
TES F OR M AT IF 1
Kegiatan Belajar 2
Budaya Organisasi
B udaya yang pada mulanya hanya menjadi kajian bidang studi antropologi
belakangan juga menjadi kajian bidang-bidang studi lain, seperti
psikologi, sosiologi, komunikasi, organisasi, dan manajemen. Kajian budaya
dalam bidang studi organisasi bermula ketika terjadi perubahan paradigma
(sekitar tahun 1970-an) dalam cara memandang organisasi. Organisasi tidak
lagi dipandang semata-mata sebagai instrumen yang bersifat formal dan
rasional yang sengaja dibentuk sekedar untuk membantu manusia memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya, tetapi organisasi dipandang seolah-olah sebagai
makhluk hidup (living systems) dan sebagai sebuah masyarakat di mana aspek
kehidupan organisasi dan lingkungannya lebih mendapat perhatian daripada
menempatkan organisasi sekedar sebagai alat.
Memahami organisasi sebagai living systems dan sebagai masyarakat
membawa konsekuensi tersendiri, diantaranya organisasi mampu
menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan; organisasi tidak bebas nilai
(value bound); dan seperti halnya masyarakat organisasi memiliki budaya.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa sejak awal, organisasi tidak terhindarkan
untuk tidak melakukan interaksi dengan lingkungan eksternal. Akibat dari
interaksi tersebut kehidupan internal organisasi dalam batas-batas tertentu juga
dipengaruhi oleh lingkungan eksternal. Sebagai contoh, organisasi yang
notabenenya adalah sebuah masyarakat dengan sendirinya memiliki budaya.
Namun, terbentuknya budaya didalam organisasi tidak terjadi seketika
melainkan melalui proses panjang yang salah satu sumber pembentuknya
adalah budaya masyarakat (baik budaya etnik, budaya nasional, dan budaya-
budaya lainnya). Budaya-budaya ini secara gradual dibawa masuk baik oleh
para pendiri organisasi, para pengelola maupun anggota organisasi lainnya.
Selanjutnya, setelah terjadi proses kristalisasi dan internalisasi di dalam
organisasi, budaya masyarakat yang pada mulanya di luar jangkauan
organisasi (bersifat tidak terkendali) pada akhirnya menjadi bagian formal
organisasi.
Pemahaman tentang organisasi seperti penjelasan di atas mulai marak
sejak pertengahan tahun 1970-an. Sejak itulah para teoritisi organisasi mulai
secara intensif mengkaji aspek kehidupan internal organisasi. Salah satu aspek
yang banyak didiskusikan adalah aspek “budaya didalam organisasi”, atau
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.41
Konsep budaya organisasi bisa dikatakan masih relatif baru, yakni baru
berkembang sekitar awal tahun 1980-an. Konsep ini, seperti diakui para
teoritisi organisasi, diadopsi dari konsep budaya yang terlebih dahulu
berkembang pada disiplin antropologi. Oleh karena itu, keragaman pengertian
budaya pada disiplin antropologi juga akan berpengaruh terhadap keragaman
pengertian budaya pada disiplin organisasi. Hal ini misalnya ditegaskan oleh
Linda Smircich yang mengingatkan agar kita tidak kaget jika mendapatkan
aneka pengertian budaya organisasi. Dari beragam pengertian budaya, berikut
ini akan dipaparkan beberapa pengertian budaya yang sering menjadi rujukan
utama dalam memahami konsep budaya organisasi.
Edgar Schein mendefinisikan budaya organisasi sebagai berikut:
“Budaya adalah pola asumsi dasar yang di-shared oleh sekelompok orang
setelah sebelumnya mereka mempelajari dan meyakini kebenaran pola
asumsi tersebut sebagai cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan
yang berkaitan dengan adaptasi eksternal dan integrasi internal sehingga
pola asumsi dasar tersebut perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru
sebagai cara yang benar untuk berpersepsi, berpikir, dan mengungkapkan
perasaannya dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan organisasi.
sering disebut sebagai the core of culture atau the true culture – budaya yang
sesungguhnya yang menjadi sumber inspirasi, panutan, dan alasan pembenar
untuk mempersepsikan, mengemukakan pikiran dan melakukan tindakan.
Asumsi dasar cenderung tidak banyak diperdebatkan dan diterima apa adanya
oleh sekelompok orang.
Kedua, proses pembelajaran. Sebagai sumber inspirasi dan alasan
pembenar, asumsi dasar tidak datang tiba-tiba melainkan terjadi melalui proses
panjang yang memerlukan waktu cukup lama bukan dalam ukuran hari atau
bulan, tetapi bisa dalam ukuran tahun dan bahkan bisa terjadi bertahun-tahun.
Proses ini bermula ketika sekelompok orang mencoba mengatasi persoalan-
persoalan yang berkaitan dengan masalah integrasi internal dan adaptasi
eksternal. Ketika cara, resep atau metode yang mereka gunakan berhasil
mengatasi persoalan-persoalan tersebut maka pola yang sama juga akan
digunakan untuk mengatasi persoalan-persoalan sejenis berikutnya. Lambat
laun pola yang sama menjadi pedoman untuk mengatasi setiap persoalan
kelompok/organisasi dan akhirnya tanpa disadari, pola tersebut menjadi
postulat atau asumsi dasar dan diajarkan kepada semua pendatang baru sebagai
cara yang benar.
Ketiga, perilaku sehari-hari. Ketika asumsi dasar telah menjadi bagian
hidup para anggota kelompok/organisasi sebagai landasan untuk berpikir,
bertindak atau mengemukakan pendapat, secara perlahan-lahan para anggota
organisasi sesungguhnya mulai membentuk nilai-nilai baru atau collective
mental programming baru yang perwujudannya tampak pada perilaku sehari-
hari para anggota kelompok. Jadi, perilaku sehari-hari anggota kelompok
merupakan bagian tidak terpisahkan dari budaya yang sesungguhnya telah
mereka bangun sebelumnya. Demikian juga, nilai-nilai baru akan berpengaruh
terhadap cara mereka mendesain organisasi, mendesain tata ruang, cara
berkomunikasi, dan cara berpakaian yang semuanya itu merupakan ujud riil
budaya yang bisa dengan mudah diobservasi orang diluar
kelompok/organisasi.
Sementara itu, Ogbonna and Harris mendefinisikan budaya organisasi
sebagai “the collective sum of beliefs, values, meanings and assumptions that
are shared by a social group and that help to shape the ways in which they
respond to each other and to their external environment – budaya adalah
keyakinan, tata nilai, makna dan asumsi-asumsi yang secara kolektif dishared
oleh sebuah kelompok sosial guna membantu mempertegas cara mereka saling
berinteraksi dan mempertegas mereka dalam merespon lingkungan.
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.43
F. Landa
Jocano Idealistik Behavioral
(1988, 1990)
Stanley
Guiding belief Daily belief
Davis (1984)
Geert
Praktik-praktik
Hofstede Nilai-nilai organisasi
manajemen
(1980, 1997)
Edgar
Asumsi Nilai-nilai
Schein Artefak
Dasar Organisasi
(1985, 1997)
Denise
Asumsi Nilai-nilai Norma Perilaku
Rousseau Artefak
Dasar Organisasi Perilaku Organisasi
(1990)
Bath
Consulting Motivational Emotional Perilaku
Mindset Artefak
Group roots ground Organisasi
(1996)
bentuk doktrin, falsafah hidup, atau nilai-nilai individual para pendiri atau
pemilik organisasi. Bagi organisasi semacam ini, doktrin, falsafah hidup, atau
nilai-nilai individual tersebut menjadi pedoman untuk menentukan arah tujuan
dan menjalankan kehidupan sehari-hari organisasi. Itulah sebabnya, bagi
organisasi yang masih kecil, figur seorang pendiri atau pemilik organisasi
sangat sentral dan menentukan. Hidup matinya organisasi dan keberhasilan
organisasi di masa datang bergantung pada karakter, inisiatif, dan semangat
para pemiliknya. Para karyawan sepertinya hanya sekedar menjadi pengikut
yang menjalankan aktivitas sesuai dengan jalan pikiran pemilik organisasi.
Berbeda dengan organisasi yang relatif masih kecil, bagi organisasi yang
sudah cukup lama berdiri dan sudah cukup besar, para pendiri organisasi
biasanya tidak lagi terlibat secara langsung dalam kegiatan sehari-hari
organisasi. Namun bukan berarti ketidakterlibatan para pendiri bisa secara
otomatis menyebabkan organisasi kehilangan ideologinya. Ideologi organisasi
berupa doktrin, falsafah, dan nilai-nilai organisasi yang dibangun jauh
sebelumnya oleh para pendiri, dalam batas-batas tertentu akan tetap
dipertahankan generasi penerus, baik generasi penerus tersebut adalah
keturunan langsung para pendiri/pemilik atau manajer profesional yang diberi
kepercayaan untuk mengelola organisasi. Bahkan karena organisasi yang telah
lama berdiri umumnya telah memiliki perangkat-perangkat formal organisasi
maka elemen yang idealistik ini biasanya dinyatakan secara formal dalam
bentuk pernyataan visi atau misi organisasi. Tujuannya tidak lain agar ideologi
organisasi tetap lestari. Memang tidak ada jaminan kalau generasi penerus
akan sepenuhnya mempertahankan ideologi lama. Tidak jarang generasi
penerus memodifikasi atau paling tidak menginterpretasi ulang ideologi lama
dengan bahasa yang lebih cocok dengan situasi lingkungan berjalan. Meski
demikian “ruh” ideologi lama biasanya masih tetap dipertahankan. Collins and
Porras misalnya menggambarkan pernyataan formal ideologi
organisasi/perusahaan – yang tidak lain adalah elemen idealistik budaya
organisasi, menggunakan filosofi Cina “Yin Yang” seperti tampak pada
Gambar 8.8 berikut ini.
8.46 Perilaku Organisasi ⚫
Core ideology:
Gambar 8.8
Ideologi Organisasi Dianalogikan dalam Falsafah Yin Yang
Rousseau mengatakan bahwa elemen yang idealistik tidak hanya terdiri dari
nilai-nilai organisasi, tetapi masih ada komponen yang lebih esensial, yakni
asumsi dasar (basic assumption) yang bersifat taken for granted (diterima apa
adanya) dan unconscious (dilakukan di luar kesadaran). Oleh karena itu,
asumsi dasar tidak pernah dipersoalkan atau diperdebatkan keabsahannya.
Bisa dikatakan bahwa asumsi dasar ini merupakan “postulate” bagi sebuah
organisasi sehingga ketika seorang atau beberapa orang anggota organisasi
melakukan suatu aktivitas dan kemudian ditanya mengapa cara melakukannya
demikian belum tentu mereka bisa memberikan jawaban secara pasti karena
apa yang mereka lakukan seakan-akan sudah di luar kesadarannya. Itulah
sebabnya Schein dan Rousseau menganggap bahwa akar dari budaya
organisasi bukan terletak pada nilai-nilai organisasi, tetapi pada asumsi
dasarnya.
Hal senada namun dengan bahasa berbeda diungkapkan oleh Bath
Consulting Group. Diwakili oleh salah seorang konsultannya – Peter Hawkins,
Bath Consulting Group, dengan merujuk dan mengembangkan konsep budaya
organisasi yang dibangun oleh Edgar Schein, mengatakan bahwa komponen
budaya organisasi yang ideal terdiri dari tiga unsur, yakni mindset, emotional
ground, dan motivational roots. Mindset yang identik dengan nilai-nilai
organisasi adalah organizational “world view” yakni cara pandang organisasi
terhadap lingkungan yang menentukan apa yang dianggap benar dan apa yang
dianggap keliru. Cara pandang ini pada akhirnya mempengaruhi “ways of
thinking” orang-orang yang bekerja pada organisasi tersebut dan sekaligus
membatasi perilaku mereka. Menurut Bath Consulting Group, organizational
world view berakar pada dua landasan, yaitu emotional ground dan
motivational roots. Emotional ground diartikan sebagai alam bawah sadar
yang berkaitan dengan emosi dan kebutuhan organisasi (unconscious
emotional states and needs). Alam bawah sadar ini menjadi landasan bagi
organisasi dalam mempersepsi setiap kejadian. Sedangkan motivational roots
adalah akar yang menghubungkan tujuan dan motivasi masing-masing
individu didalam organisasi dengan organisasi secara keseluruhan.
Meski masing-masing teoritisi organisasi mempunyai pendapat yang
berbeda tentang komponen idealistik budaya organisasi, mereka pada dasarnya
sepakat bahwa elemen yang bersifat idealistik ini merupakan ruhnya organisasi
(the soul of the organization) karena karakteristik sebuah organisasi sangat
bergantung pada elemen ini. Itulah sebabnya elemen ini sering disebut pula
8.48 Perilaku Organisasi ⚫
sebagai inti dari budaya organisasi (core of culture) dan karena ini pulalah
budaya organisasi sering juga disebut sebagai ruhnya organisasi.
D. ELEMEN BEHAVIORAL
Elemen yang bersifat behavioral adalah elemen yang kasat mata, muncul
ke permukaan dalam bentuk perilaku sehari-hari para anggotanya dan bentuk-
bentuk lain seperti desain dan arsitektur organisasi. Bagi orang luar organisasi,
elemen ini sering dianggap sebagai representasi dari budaya sebuah organisasi
sebab elemen ini mudah diamati, dipahami dan diinterpretasikan meski
interpretasinya kadang-kadang tidak sama dengan interpretasi orang-orang
yang terlibat langsung dalam organisasi. Itu sebabnya ketika orang luar
organisasi mencoba mengidentifikasi dan memahami budaya sebuah
organisasi, cara yang paling mudah yang bisa mereka lakukan adalah dengan
mengamati bagaimana para anggota organisasi berperilaku dan kebiasaan-
kebiasaan lain yang mereka lakukan. Davis menyebutnya sebagai daily belief
– praktik sehari-hari sebuah organisasi. Dalam bahasa Hofstede, kebiasaan
tersebut muncul dalam bentuk praktik-praktik manajemen – apakah sebuah
organisasi lebih berorientasi pada proses atau hasil; lebih peduli pada
kepentingan karyawan atau pekerjaan; lebih parochial atau profesional; lebih
terbuka atau tertutup dan lebih pragmatis atau normatif. Sedangkan Collins and
Porras, seperti tampak pada Gambar 8.12 menyebutnya sebagai orientasi
organisasi ke depan (envision future) atau yang dalam terminologi masyarakat
Cina. Sementara itu, dua sumber terakhir (Schein dan Rousseau) mengatakan
bahwa kebiasaan sehari-hari muncul dalam bentuk artefak termasuk
didalamnya adalah perilaku para anggota organisasi. Artefak bisa berupa
bentuk/arsitektur bangunan, logo atau jargon, cara berkomunikasi, cara
berpakaian, atau cara bertindak yang bisa dipahami oleh orang luar organisasi.
Sumber: Rousseau
Gambar 8.9
Lapisan Budaya Organisasi
Values (Nilai-nilai)
Memperoleh perhatian
yang lebih besar
Asumsi Dasar
- Hubungan Manusia dengan
alam
- Hubungan Manusia dengan
Realitas, Waktu dan Ruang
- Hubungan Manusia dengan
Sifat Dasarnya
- Hubungan Manusia dengan Diterima apa adanya, Tidak kasat mata
Aktivitasnya dan Preconscious
- Hubungan antar Manusia
Sumber: Schein
Gambar 8.10
Keterkaitan Antarelemen Budaya
Gambar 8.11
Hubungan Dinamis Antarelemen Budaya
Seperti tampak pada Tabel 8.10, para peneliti sesuai dengan latar belakang
dan preferensi masing-masing menentukan tipe budaya organisasi yang
berbeda-beda. Hirsh misalnya dengan menggunakan konsepnya Meyer and
Biggs tentang tipologi kepribadian, membedakan tipe budaya menjadi:
Intituition Thinking (NT), Sensation Feeling (SF), Intituition Feeling (IF) dan
Sensation Thinking (ST). Berikut secara selektif akan diuraikan masing-
masing tipe budaya organisasi dengan kemungkinan implikasinya terhadap
kehidupan organisasi.
1. Kepentingan Individu
2. Kepentingan Organisasi
Tipe Budaya
Sumber: Sathe, p. 17
Gambar 8.12
Proses Terbentuknya Budaya
menjadi pola perilaku yang harus dijalani dan akhirnya menjadi kebiasaan dan
dari sinilah tercipta budaya.
Uraian di depan menjelaskan proses terbentuknya budaya khususnya pada
organisasi yang masih kecil (start up organization). Namun ketika organisasi
berkembang menjadi semakin besar, kegiatannya menjadi semakin kompleks
dan mulai terjadi proses pembelajaran bagi orang-orang yang selama ini hanya
menjadi pengikut, proses pembentukan budaya tidak lagi berada di tangan para
pendiri karena secara bertahap para pendiri biasanya mulai melepaskan
sebagian kekuasaannya kepada orang-orang yang dipercaya yang dianggap
memiliki mind set yang sama. Estafet kepemimpinan pada umumnya
diserahkan kepada salah seorang anggota keluarga yang memang sudah lama
dipersiapkan untuk itu. Bagi etnik Cina pemindahan kekuasaan ini biasanya
diserahkan kepada generasi kedua yang diangkat sebagai putra mahkota.
Sementara itu, para pendiri tidak lagi terlibat secara langsung dalam kehidupan
organisasi. Mereka lebih menempatkan diri sebagai tetua (Godfather) yang
menyediakan seluruh waktunya untuk dijadikan rujukan dan mentor bagi
penerusnya. Semua ini bertujuan agar budaya yang telah dibangun dengan
susah payah tidak punah begitu saja. Kondisi seperti ini banyak dijumpai di
Indonesia, seperti yang terjadi pada PT. HM Sampoerna, PT. Gudang Garam,
Bakri Brothers, dan sebagainya. Meski praktik semacam ini dianggap sebagai
sebuah kewajaran khususnya bagi masyarakat yang lebih kolektif (collectism
society) di mana fungsi seorang anak adalah sebagai penerus generasi, namun
bukan tidak mungkin para pendiri menyerahkan estafet kepemimpinan kepada
manajer profesional, sementara para pendiri itu sendiri secara formal bertindak
sebagai komisaris/pengawas yang diantara tugasnya tetap sama, yakni
menjaga keutuhan nilai-nilai yang telah dibangunnya.
Dengan beralihnya estafet kepemimpinan, berarti kendali organisasi,
termasuk proses pembentukan dan mempertahankan budaya organisasi,
bergeser dari para pendiri ke putra mahkota atau para manajer profesional.
Meski pergantian kepemimpinan ini mungkin tidak berdampak terhadap
perubahan asumsi dasar dan landasan filosofis organisasi, bukan tidak
mungkin pimpinan yang baru (baik putra mahkota maupun manajer
profesional) melakukan interpretasi ulang terhadap asumsi dasar dan filosofi
organisasi. Hal ini bisa saja terjadi utamanya jika terjadi perubahan lingkungan
eksternal yang memaksa organisasi harus menyesuaikan diri dengan
lingkungan tersebut. Interpretasi ulang terhadap filosofi organisasi juga bisa
terjadi karena perubahan gaya kepemimpinan para penerusnya. Hal ini sering
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.63
payah. Itulah sebabnya saling mengerti diantara kedua belah pihak – antara
calon karyawan dan calon majikan sangat diperlukan. Dengan pemahaman
sejak awal diantara kedua belah pihak memungkinkan pencari kerja dan calon
pemberi kerja melakukan kontrak psikologis (psychological contract).
Secara sederhana yang dimaksudkan dengan kontrak psikologis adalah
satu set kewajiban bersama dan janji tidak tertulis antara pencari kerja
(employees) dan pemberi kerja (employer) yang dipersepsi oleh pencari kerja.
Kontrak psikologis dengan demikian merupakan harapan masing-masing
pihak yang sedapat mungkin bisa terpenuhi saat kedua belah menjalin kontrak
kerja secara formal. Meski kontrak tersebut tidak tertulis dampaknya terhadap
proses akulturasi sangat besar karena pengingkaran atau tidak dipenuhinya
janji akan menyebabkan salah satu pihak, khususnya karyawan baru, hanya
akan berupaya memenuhi kepentingan dirinya bukan organisasi secara
keseluruhan.
Pada perusahaan yang relatif lebih besar dan secara organisasional lebih
mapan karena telah memiliki perangkat-perangkat organisasi, pola rekruitmen
pada umumnya sudah lebih terbuka dalam pengertian tidak diperlukan lagi
prasyarat bahwa orang yang direkrut harus sudah dikenal sebelumnya. Hal ini
bisa diartikan pula bahwa karyawan baru tidak harus berasal dari keluarga
dekat para petinggi organisasi atau keluarga dekat, tetangga atau teman dekat
karyawan yang telah lebih dahulu bekerja. Calon karyawan yang tidak dikenal
sebelumnya dengan demikian bisa saja direkrut selama orang tersebut
memenuhi kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan perusahaan. Kriteria-
kriteria ini tidak hanya didasarkan pada aspek perilaku seperti pada perusahaan
keluarga akan tetapi juga pada aspek-aspek lain, seperti aspek keterampilan,
kompetensi, pengalaman dan pengetahuan calon karyawan.
Karena model rekrutmen lebih terbuka dan calon karyawan belum dikenal
sebelumnya maka proses rekrutmen pada umumnya dilakukan melalui
beberapa tahap mulai dari tahap seleksi awal sampai pada tahap sosialisasi dan
pelatihan. Sederhananya merekrut calon karyawan layaknya seseorang
melamar calon istri. Pada saat meminang kita tidak boleh hanya mengandalkan
pada kesan pertama bahwa calon karyawan tersebut adalah orang baik dan bisa
diajak kerja sama, tetapi harus lebih seksama mengetahui latar belakang
mereka melalui bukti-bukti tertulis tentang latar belakang keluarga,
pendidikan, asal sekolah, dan pengalaman kerja jika ada. Semua ini dilakukan
agar pihak perusahaan bisa meyakini bahwa calon karyawan adalah orang yang
cocok untuk direkrut dan layak untuk bergabung dengan perusahaan. Meski
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.65
START
Sumber: Pascale, p. 38
Gambar 8.13
Proses Sosialisasi Karyawan
memenuhi ketiga kebutuhan dasar tersebut. Namun, karena manusia juga sadar
bahwa kebutuhan tersebut hanya bisa dipenuhi jika melibatkan orang lain
maka salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan melibatkan diri di
tempat kerja karena tempat kerja bukan sekedar tempat untuk mencari nafkah,
tetapi juga memiliki potensi untuk memenuhi sebagian atau seluruh kebutuhan
dasar di atas.
Pertanyaannya adalah dalam upayanya untuk memenuhi kebutuhan
tersebut, bagaimana seseorang memilih tempat kerja yang jumlahnya jutaan?
Jung seperti dikutip oleh Rod Gray mengatakan bahwa untuk mengambil
keputusan dalam menentukan pilihan tempat kerja atau pilihan-pilhan lainnya
biasanya seseorang berpedoman pada nilai-nilai personal (personal values)
orang tersebut. Artinya, setiap orang hampir pasti akan memilih pekerjaan dan
tempat kerja yang cocok dengan kompetensi dan nilai-nilai personalnya.
Dalam bahasa perilaku organisasi, kesesuaian antara kompetensi dan nilai-
nilai personal dengan pekerjaan dan tempat kerja disebut sebagai kesesuaian
antara seseorang dengan pekerjaan (person-job fit). Seperti dikatakan oleh
Daniel Cable dkk, seseorang bukan sekedar aktif mencari informasi tentang
tempat kerja yang cocok untuk dirinya, tetapi juga aktif mencari informasi
tentang budaya yang berkembang pada organisasi tersebut.
Di sisi lain, organisasi tempat kerja juga tidak sembarangan mau
menerima seseorang menjadi bagiannya jika diyakini bahwa orang tersebut
tidak memberi kontribusi terhadap keinginan dan tujuan organisasi. Oleh
karena itu, dalam memilih dan menentukan seseorang untuk menjadi karyawan
atau bagiannya, organisasi menggunakan berbagai macam ketentuan dan
pertimbangan sebagai dasar untuk menentukan pilihannya. Salah satunya,
dengan mempertimbangkan kecocokan antara nilai-nilai individu (personal
value) calon karyawan dengan nilai-nilai organisasi (organizational value)
atau antara perilaku calon karyawan dengan budaya organisasi. Bagi
organisasi, kecocokan ini dianggap penting karena akan mempermudah
organisasi mengelola dan mengarahkan orang-orang tersebut untuk mencapai
tujuan organisasi. Sedangkan bagi calon karyawan itu sendiri, kecocokan ini
diharapkan bisa mempermudah proses sosialisasi dengan lingkungan yang
baru dan mempercepat pengakuan organisasi terhadap dirinya sebagai bagian
dari organisasi. Secara konseptual kesesuaian antara seseorang dengan
organisasi (person-organization fit) terjadi jika (a) paling tidak salah satu pihak
menawarkan sesuatu yang dibutuhkan pihak lain, atau (b) kedua belah pihak
8.68 Perilaku Organisasi ⚫
memiliki karakteristik yang hampir sama atau (c) gabungan antara poin a dan
poin b.
Beberapa artikel dan penelitian yang berkaitan dengan keterkaitan antara
budaya organisasi dan perilaku individual telah banyak dibahas oleh para ahli
psikologi maupun organisasi. Sebagai contoh, tidak lama setelah istilah budaya
organisasi menjadi pembicaraan banyak ahli organisasi, Ellen Wallach,
seorang konsultan pengembangan karir, menyuarakan pentingnya motivasi
seseorang dikaitkan dengan budaya organisasi tempat kerja. Menurutnya
pekerjaan seorang karyawan akan jauh lebih efektif jika terdapat kecocokan
antara motivasi karyawan dan budaya organisasi berjalan. Demikian juga
karyawan tersebut akan lebih diakui keberadaannya dan akan memperoleh
kesempatan lebih baik untuk dipromosikan perusahaan. Sementara itu,
O’Really, Chatman and Cadwell, dengan menggunakan metode “Q-sort”,
menyatakan bahwa kecocokan antara seseorang dengan tempat kerja akan
meningkatkan kepuasan kerja dan setahun kemudian komitmen seseorang
dalam pekerjaan juga meningkat. Temuan ini membuktikan pentingnya
memahami kecocokan antara seseorang dengan nilai-nilai/budaya organisasi
tempat kerja.
Berdasarkan temuan di atas, penelitian-penelitian lanjutan yang mengikuti
pola pikir O’Relly, dkk mulai bermunculan. Barry Posner yang menggunakan
tiga dimensi kecocokan – clarity, consensus, dan intensity misalnya
menegaskan bahwa kecocokan nilai-nilai personal seseorang dengan nilai-nilai
organisasi akan mengahasilkan sikap positif karyawan. Jika salah satu dari
dimensi tersebut cocok maka dua dimensi yang lain juga mengalami hal yang
sama. Sedangkan faktor demografik yang oleh Posner dijadikan sebagai
moderating variable ternyata tidak berpengaruh terhadap kecocokan tersebut.
Sementara itu, Vandenberghe yang melakukan replikasi penelitian O’Relly,
dkk pada industri kesehatan di Belgia menemukan bahwa karyawan (para
perawat) yang nilai-nilai individualnya selaras dengan nilai-nilai rumah sakit
tempat kerja cenderung tidak akan pindah kerja dan tetap bekerja di rumah
sakit lebih lama. Penelitian ini dianggap cukup penting karena bagi organisasi
rumah sakit yang kebanyakan karyawannya adalah tenaga profesional,
karyawan pindah kerja (employee turnover) biasanya cenderung lebih tinggi
dibandingkan dengan organisasi lain, seperti perusahaan manufaktur.
Penelitian tentang kecocokan antara perilaku seseorang dengan budaya
organisasi terus berkembang. Annelies Van Vianen misalnya mengatakan
bahwa preferensi yang sama antara recruiter dan calon karyawan terhadap
⚫ EKMA4158/MODUL 8 8.69
LAT IH A N
tepat dikatakan jika budaya yang ada menghambat atau tidak mendukung
penciptaan kinerja yang baik.
2) Melestarikan budaya berarti menjaga agar budaya berjalan bisa tetap eksis
dan lestari. Memang budaya organisasi sulit berubah, namun bukan berarti
tidak bisa mengalami perubahan. Yang menjadi masalah adalah
perubahan budaya biasanya berjalan sangat lambat, sangat tidak kentara.
Oleh karena itu, setiap manajer harus berusaha melakukan pencegahan
secara dini agar budaya yang sudah terbentuk dan membantu organisasi
mencapai kinerjanya tidak tergerogoti. Salah satu upaya paling awal yang
bisa dilakukan seorang manajer adalah pada saat merekrut orang baru
sebagai bagian dari anggota organisasi harus memilih orang-orang yang
nilai-nilai individualnya cocok dengan nilai-nilai organisasi. Langkah
selanjutnya adalah melakukan sosialisasi agar anggota baru tersebut betul-
betul memahami, menjiwai, dan mempraktikkan budaya berjalan.
3) Meski budaya organisasi merupakan komponen yang tidak kasat mata
(intangible) dan informal namun pengaruhnya terhadap perilaku manusia
didalam organisasi tidak perlu disanksikan. Sebagai contoh, ketika sebuah
seorang manajer mengadopsi role culture – budaya organisasi yang
berorientasi birokrasi sebagai nilai-nilai dominan organisasi, hampir pasti
seluruh karyawan atau paling tidak sebagian besar karyawan akan
menggunakan aturan sebagai pedoman berperilaku. Artinya karyawan
yang tidak taat aturan dianggap bukan kelompok mereka dan bukan tidak
mungkin akan dikucilkan.
R A NG KU M AN