Anda di halaman 1dari 2

Sejarah Pengelolaan Hutan di Indonesia Menuju Konsep KPH

Secara historis terdapat empat periode penguasaan hutan di Indonesia yaitu penguasaan
para raja, penguasaan masa penjajahan Belanda, penguasaan masa penjajahan Jepang, dan
penguasaan masa kemerdekaan (era orde lama, era orde baru, era reformasi) (Ngadiono
2004). Pada masa penguasaan para raja, sumber daya hutan dianggap sebagai milik raja.
Ketika itu, hutan belum dikelola dengan baik hanya dimanfaatkan saja terutama untuk
konstruksi bangunan. Pada periode penjajahan Belanda dan Jepang, kegiatan pengelolaan
hutan yang dilakukan adalah untuk memenuhi kepentingan penjajah.
Pengelolaan hutan secara modern terjadi pada masa penjajahan Belanda (Ngadiono
2004), di mana hutan mulai memiliki nilai ekonomi. Eksploitasi terhadap sumber daya hutan
(SDH) tak terhindarkan guna memenuhi kepentingan Pemerintah Belanda. Organisasi
pemangkuan hutan pertama kali dibentuk oleh Pemerintah Belanda pada tanggal 9 Januari
1819, yang bertanggung jawab dalam pengelolaan hutan yaitu melakukan ekploitasi SDH
dengan menjamin kelestarian dan keamanan hutan. Sementara itu, pada masa Pemerintahan
Jepang sumber daya hutan digunakan untuk mendukung peperangan Asia Timur Raya
(Ngadiono 2004). Selama Pemerintahan Jepang, hutan diekploitasi demi keuntungan
ekonomi tanpa mempertimbangkan kondisi ekologi dan kesejahteraan masyarakat.
Pada masa kemerdekaan, penguasaan negara terhadap SDH mengalami tiga era
pengelolaan yaitu era orde lama, era orde baru dan era reformasi. Kegiatan pengelolaan hutan
pada era orde lama praktis tidak dilakukan karena orientasi pemerintahan orde lama lebih
terfokus pada kehidupan bernegara, seperti kelembagaan, penguatan persatuan dan jati diri
bangsa (Ngadiono 2004). Era orde baru menempatkan SDH sebagai modal dasar
pembangunan. Nuansa keuntungan ekonomi menjadi capaian kinerja pembangunan sektor
kehutanan melalui ekploitasi SDH. Posisi kegiatan pengelolaan hutan adalah sebagai pusat
pembangunan sektor kehutanan. Kegiatan pengelolaan hutan mendapatkan posisinya dengan
baik pada era reformasi. Meskipun kegiatan pengelolaan hutan sebenarnya sudah mulai
muncul pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, namun bentuk pengelolaan hutan yang
akan diwujudkan Pemerintah Indonesia dalam konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
terjadi pada era reformasi.
Pemahaman terhadap konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan diawali dengan adanya
mandat pengurusan hutan yang tertuang dalam UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kehutanan atau UUPK (Julijanti 2015). Mandat pengurusan hutan tersebut
mengamanatkan perlunya dibentuk Kesatuan-kesatuan Pemangkuan Hutan dan Kesatuankesatuan Pengusahaan Hutan. Mandat ini telah berimplikasi pada semakin banyak terbentuk
KPH-KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) khususnya di Pulau Jawa kecuali KPH
Yogyakarta, yang sekarang dikenal sebagai KPH Perum Perhutani. Pemahaman terhadap UU
No. 5 Tahun 1967 masih mengutamakan kegiatan pengusahaan hutan dan belum berorientasi
pada kegiatan pengelolaan hutan.
Tahun 1997, pemahaman konsep KPH dioperasionalkan dalam 3 buku manual
kehutanan (Buku I, II, dan III) dalam kerangka Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi, yang
terdiri dari 3 konsep yaitu: pembentukan, perencanaan dan pengelolaan. Azas pengelolaan
dalam ketiga buku tersebut berdasarkan azas kelestarian hutan dan azas perusahaan. KPHP
ini berfungsi sebagai satu kesatuan kelestarian, satu kesatuan usaha (bisnis), dan sebagai
wadah untuk menyelenggarakan kegiatan pengusahaan hutan. Meskipun dalam ketiga buku
tersebut sudah mengarah pada konsep pengelolaan, namun hal yang dibahas masih berkisar
dalam tataran teknis kehutanan dan dalam kerangka pengusahaan hutan produksi. Kegiatan
pengelolaan hutan dilakukan berdasarkan konsep pengusahaan hutan yang menekankan pada
kegiatan teknis kehutanan yaitu penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil, pengolahan
dan pemasaran hasil hutan.

Pemahaman konsep KPH mengalami perkembangan dengan lahirnya UU No. 41 Tahun


1999, yang menyiratkan adanya perubahan pola pikir para pengambil kebijakan ketika itu
dari pengusahaan hutan mengarah pada pengelolaan hutan. UU No. 41 Tahun 1999 lebih
menekankan pada kegiatan pengelolaan hutan. Dalam implementasinya, kegiatan pengelolaan
hutan belum menjadi prioritas utama seperti mandat yang diemban UU ini. Pembentukan
KPH sebagai salah satu mandat yang ada dalam UU tersebut juga tidak segera terealisasi
hingga munculnya PP No. 6 Tahun 2007. Dalam UU No. 41 Tahun 1999, kegiatan
pengusahaan hutan menjadi bagian dari kegiatan pengelolaan hutan. Sementara kegiatan
pengelolaan hutan sendiri merupakan bagian dari penyelenggaraan pengurusan hutan.
PP No. 34 Tahun 2002 menyebutkan bahwa kegiatan tata hutan dan penyusunan
rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan dilaksanakan
pada wilayah hutan dalam bentuk Unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi
(KPHK), Unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), dan Unit atau Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). Dalam pelaksanaannya di lapangan, pemahaman
terhadap konsep KPH masih mengacu pada pemahaman konsep KPH lama yang memandang
bahwa KPH dibangun atas dasar satu fungsi pokok kawasan hutan. Demikian juga dengan
Kepmenhut No. 230/Kpts-II/2003 yang merupakan produk hukum turunan dari PP No. 34
Tahun 2002. Kepmenhut ini sebenarnya sudah mengakomodir tentang prosedur pembentukan
KPHP, namun masih banyak hal yang belum dibahas, seperti siapa pengelolanya,
pembentukan KPH atas dasar satu fungsi pokok kawasan hutan, dan belum ada detail
pembentukannya.
Sejak tahun 2004, kesadaran untuk membangun KPH semakin menguat seiring dengan
tumbuhnya pemahaman terhadap konsep KPH versi baru. Hal ini dipicu oleh terbitnya PP
No. 44 Tahun 2004 dan adanya mandat untuk mengubah materi PP No. 34 Tahun 2002. PP
No. 44 Tahun 2004 secara eksplisit sudah menyebut konsep KPH dalam kerangka Kesatuan
Pengelolaan Hutan, namun hal yang dibahas hanya yang terkait dengan bidang perencanaan.
Amanat PP ini adalah terbangunnya KPH-KPH sebagai institusi pengelola hutan (ini
merupakan cikal bakal konsep KPH baru seperti amanat UU No. 41 Tahun 1999). Wacana
Kementerian Kehutanan untuk melakukan perubahan terhadap PP No. 34 Tahun 2002
dijadikan momentum untuk merubah dan memasukkan klausul yang berkaitan dengan
pembangunan KPH.
Perubahan PP No. 34 Tahun 2002 akhirnya disepakati, dituangkan dan diterbitkan
kembali berupa PP No. 6 Tahun 2007. Terbitnya PP tersebut telah menjadi akselerator
pemahaman konsep KPH baru baik di tingkat pemerintah maupun di daerah. PP No. 6 Tahun
2007 merupakan landasan operasional pembangunan KPH. PP ini secara khusus telah
membahas tentang pembangunan KPH (sesuai amanat UU No. 41 Tahun 1999) dan
dilengkapi dengan tugas pokok dan fungsinya. PP ini sudah memuat aspek teknis dan aspek
kelembagaan dalam pembangunan KPH. Penyempurnaan PP No. 6 Tahun 2007 guna
akselerasi pembangunan KPH telah dilakukan dengan diterbitkannya PP No. 3 Tahun 2008.

Anda mungkin juga menyukai