SejarahMoneterPeriode19531959 PDF
SejarahMoneterPeriode19531959 PDF
Cakupan :
Halaman
1.
2.
3.
10
4.
16
5.
17
6.
18
7.
19
Pada akhir tahun 1958, beberapa negara di Eropa Barat, yang dipelopori oleh
Inggris, Jerman Barat, dan Perancis, mengambil keputusan bahwa mata uang
mereka convertible terhadap dollar Amerika. Keputusan itu dibarengi dengan
pembubaran European Payments Union (EPU). Perkembangan tersebut menimbulkan
dampak negatif bagi Indonesia yang sebelumnya secara tidak langsung ikut serta
dalam Inter European Convertibility -bagian dari sistem EPU. Sejak saat itu,
Indonesia masuk di pasar valuta asing Eropa Barat secara langsung.
Dengan luas wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dengan jumlah
penduduk yang besar, serta dengan kekayaan alam yang melimpah, Indonesia
membutuhkan dana yang sangat besar untuk membiayai pembangunan. Namun,
keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah, menyebabkan pengerahan dana
masyarakat menjadi sangat penting bagi terlaksananya pembangunan.
Pada artikel ini akan dijelaskan mengenai definisi dana masyarakat dan kondisinya
pada periode 1953-1959.
Indonesia dengan luas wilayah yang membentang dari Sabang sampai Merauke,
dengan populasi jumlah penduduk yang sangat besar, serta kekayaan alamnya yang
melimpah,
memerlukan
dana
yang
cukup
besar
untuk
membangun
perekonomiannya, agar Indonesia sebagai negara dapat tumbuh dan maju sejalan
dengan perkembangan negara lainnya. Namun, keterbatasan dana yang dimiliki
pemerintah, tidaklah cukup untuk membiayai usaha pembangunan di Indonesia.
Oleh karena itu, diperlukan pengerahan dana masyarakat dan tabungan pemerintah.
Dana masyarakat diperoleh melalui simpanan pada lembaga keuangan yang berupa.
1. Giro, simpanan masyarakat pada bank yang penarikannya dapat dilakukan
setiap saat, baik dengan menggunakan cek atau surat perintah pembayaran,
atau dengan cara pemindahbukuan.
2. Tabungan, simpanan pihak ketiga pada bank yang penarikannya hanya
dilakukan berdasarkan atas syarat-syarat tertentu.
3. Deposito, simpanan dari pihak ketiga pada bank yang penarikannya dilakukan
dalam jangka waktu tertentu sesuai perjanjian.
Dana lainnya juga dapat berupa dana yang ditarik oleh perbankan melalui
pengeluaran surat-surat berharga dan setoran jaminan.
Tabungan pemerintah adalah penerimaan rutin yang berasal dari pajak, yang
merupakan surplus anggaran rutin. Besarnya bergantung pada besarnya
pengeluaran rutin dan kebijakan fiskal. Tabungan pemerintah ini dipergunakan untuk
membiayai investasi-investasi pemerintah.
Pasar uang merupakan suatu tempat perdagangan dana-dana jangka pendek berupa
surat berharga yang memiliki jangka waktu kurang dari 1 tahun dan dikelompokkan
dalam.
1. Pasar kertas-kertas perbendaharaan negara
2. Pasar diskonto: wesel, promes, aksep, sertifikat deposito dengan transaksi
atas dasar diskonto
3. Pasar call money: transaksi pinjaman sewaktu-waktu dapat ditagih dan
berjangka waktu kurang dari 7 hari
4. Prolongasi: pinjaman kurang dari 1 bulan dengan jaminan efek atau surat
berharga
5. Pasar modal adalah suatu tempat penawaran dan permintaan dana jangka
panjang, atau tempat saham dan obligasi diperjualbelikan. Di Indonesia,
pasar modal dikenal sebagai "bursa efek". Kegiatan bursa efek dapat
dibedakan dalam dua golongan, yaitu pasar primer dan pasar sekunder.
Dilihat dari jenis surat berharga yang diperjualbelikan, pasar dapat dibedakan dalam
pasar obligasi dan pasar saham. Pasar obligasi memperjualbelikan surat-surat utang,
baik yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun badan-badan hukum dengan jangka
waktu lebih dari 1 tahun. Adapun pasar saham memperdagangkan surat-surat bukti
penyertaan modal dalam suatu perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT).
Pengerahan dana masyarakat periode tahun 1953-1959 ini merupakan babak awal
Indonesia membangun perekonomiannya melalui pengerahan dana masyarakat dan
tabungan pemerintah sebagai modal untuk membiayai pembangunan. Perekonomian
Indonesia pada awal periode ini begitu memprihatinkan. Namun, pendapatan
sebagian masyarakat meningkat dari tahun ke tahun meskipun pada tahun 1954
mengalami sedikit penurunan.
Peningkatan dana masyarakat di sektor perbankan berupa simpanan giro, tabungan,
dan deposito, pada tahun 1953 berjumlah Rp2.637 juta dan pada tahun 1959
berjumlah Rp7.695 juta, atau mengalami peningkatan rata-rata 31,97% per tahun.
Latar belakang peningkatan tersebut adalah bertambah luasnya jaringan dan
jangkauan bank-bank.
Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa pada tahun 1959 simpanan dana
masyarakat adalah sebesar Rp7.695 juta, turun 18,93% dari tahun 1958 (Rp 9.401
juta). Penurunan ini diakibatkan oleh adanya Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) No. 2 dan No. 3 Tahun 1959, yang membekukan sementara
saldo rekening koran dan deposito berjangka dari bank pemerintah dan bank swasta,
serta adanya penurunan nilai uang rupiah. Jumlah dana simpanan tabungan dan
deposito yang berhasil dihimpun oleh bank-bank pada periode ini sangat kecil.
Penyebabnya adalah kebiasaan masyarakat yang lebih menyukai menanamkan
dananya pada aset bergerak maupun yang tidak bergerak. Selain itu, kampanye
untuk menggalakkan tabungan masyarakat belum dapat dilakukan secara efektif.
1954
1955
33
1956
14
1957
10
1958
46
1959
21
Sementara itu, kegiatan perdagangan efek di Indonesia telah dimulai sejak sebelum
kemerdekaan, bertempat di Jakarta (1912), Surabaya (Januari 1925) dan Semarang
(Agustus 1925).
Pada 10 Mei 1940, bersamaan dengan penyerbuan tentara Jerman ke Belanda, bursa
efek di Jakarta, Surabaya dan Semarang ditutup. Penutupan bursa tersebut cukup
meresahkan para pedagang efek. Maka, pada 23 Desember 1940 bursa efek di
Jakarta dibuka kembali. Namun, pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942
menyebabkan bursa efek di Jakarta, Semarang maupun Surabaya ditutup kembali
selama kurang lebih 3 tahun.
Kondisi keamanan setelah kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, masih belum
stabil dan baru dua tahun kemudian Indonesia mulai memikirkan kembali kegiatan
bursa efeknya. Pada 3 Juni 1952, bursa efek di Jakarta secara resmi dibuka kembali
dengan memperdagangkan:
1. Saham-saham dari perusahaan atau perkebunan Belanda
2. Sertifikat saham perusahaan Amerika yang dikeluarkan
administrasi di Belanda
oleh
kantor
Pada awal tahun 1953, perusahaan bursa di Indonesia masih belum berkembang,
karena masyarakat pada umumnya belum mengetahui keuntungan yang dapat
diperoleh dari kegiatan bursa. Sebagian besar masyarakat masih memilih menabung
dengan membeli barang bergerak maupun tidak bergerak.
Pada masa ini, bursa efek di Jakarta memperjualbelikan obligasi 3% RI 1950 kurang
lebih sebesar Rp236 juta nominal. Sementara itu perputaran efek yang paling utama
dalam pasar saham adalah saham Escompto Bank N.V., sebanyak kurang lebih Rp4
juta.
Bank Industri Negara mengeluarkan tranche pertama pada 1 Mei 1954, sebanyak
Rp50 juta. Sedangkan tranche kedua dengan jumlah yang sama, dikeluarkan pada 1
Desember 1954. Kedua tranche ini hanya disediakan bagi pemegang simpanan
rupiah yang dibekukan, yang bukan penduduk Indonesia.
Pengeluaran obligasi BIN ini sukses, karena
1. Dapat diperdagangkan di bursa Jakarta maupun Amsterdam.
2. Pemegang obligasi ini diberikan ijin umum oleh Lembaga Alat-Alat
Pembayaran Luar Negeri (LAAPLN) untuk mentransfer bunga dan
pelunasannya ke luar negeri, sehingga mereka memperoleh kepastian untuk
dapat memindahkan miliknya dalam rupiah ke valuta lain sebagai upaya
pelunasan pinjamannya.
Emisi-emisi biasa, baik dari pemerintah maupun dari pihak swasta, dalam tahun
1954 tak terjadi, kecuali emisi saham N.V. Grand Hotel Preanger sebesar Rp80.000.
Hasil perdagangan efek di bursa Jakarta pada tahun 1954 mencapai nilai nominal
Rp200 juta, sebagian besar berasal dari obligasi 3% RI tahun 1950. Sementara itu,
hasil perdagangan saham masih tetap kecil.
Selama tahun 1955 hingga 1956, tidak terdapat pengeluaran saham baik berasal
dari pihak pemerintah maupun swasta. Kesulitan untuk memperoleh saham di bursa,
memberi peluang bagi lembaga-lembaga penanaman modal untuk meminjamkan
kredit jangka panjangnya secara di bawah tangan. Akibatnya, permintaan obligasi
berkurang dan memberi dampak pada turunnya penjualan.
Memasuki tahun 1956, perkembangan bursa efek di Indonesia belum menunjukkan
perkembangan yang berarti, tetapi Bank Industri Negara tetap menerbitkan obligasi
3% sebesar Rp 100 juta yang hanya dapat dimiliki masyarakat yang bukan
penduduk Indonesia.
Sebagai akibat dari pembatalan persetujuan Konferensi Meja Bundar, sesuai dengan
UU No. 13 tanggal 15 Februari 1956, Indonesia menyatakan tidak akan membayar
Sebagai upaya meningkatkan tambahan pada bahan investasi di bursa, pada tanggal
25 Agustus 1959, pemerintah melakukan tindakan moneter berupa pinjaman
konsolidasi dengan bunga sebesar 3% pertahun. Namun hingga tahun 1960
pengeluaran pinjamannya masih dalam taraf penyelesaian perhitungan keuangan,
sedangkan pengeluaran obligasinya dan pendaftaran dalam buku besar pengakuan
hutang masih dalam taraf persiapan. Akibat tindakan moneter tersebut, emisi
obligasi 6% berhadiah tahun 1959 dari pemerintah yang direncanakan terbit pada
bulan Oktober 1959 ditunda. Realisasinya baru dapat diwujudkan pada awal bulan
Februari 1960. Harapan pemerintah dengan adanya pengeluaran kedua obligasi ini
adalah perdagangan bursa efek di Indonesia dapat lebih maju dan berkembang.
Periode 1953-1959 diwarnai oleh pembiayaan defisit anggaran pemerintah dengan
uang muka dari Bank Indonesia. Sementara pengerahan dana masyarakat belum
begitu berarti.
Periode 1953-1959 diwarnai oleh kontradiksi pengerahan dana dari sisi masyarakat
dan pemerintah. Ketika pengerahan dana oleh masyarakat meningkat, pemerintah
justru mengalami defisit anggaran. Sementara itu, kegiatan di lantai bursa belum
menggairahkan akibat masih minimnya sosialisasi keuntungan bertransaksi di pasar
modal kepada masyarakat
Dalam Undang-Undang No.11 tahun 1953 pasal 13 ayat 9, dinyatakan bahwa salah
satu pekerjaan Bank Indonesia adalah mengurus dan menyelenggarakan
administrasi persediaan alat-alat pembayaran luar negeri Republik Indonesia. Alatalat tersebut dikenal dengan nama devisa.
Pada artikel ini akan dibahas mengenai kebijakan devisa yang diambil pemerintah di
tengah-tengah kondisi dalam negeri yang tidak mendukung. Dimulai dengan
pembentukan LAAPLN hingga dikeluarkannya Sumitro Reform pada bulan
September 1955.
Dalam pasal 13 ayat 9 UU Pokok Bank Sentral No. 11 Tahun 1953, ditetapkan bahwa
salah satu tugas Bank Indonesia adalah mengurus dan menyelenggarakan
administrasi persediaan alat-alat pembayaran luar negeri Republik Indonesia yang
dikenal dengan nama devisa.
Devisa dapat berupa antara lain valuta asing yang dimiliki oleh sebuah negara
sebagai alat pembayaran internasional yang catatan kursnya tersedia di Bank
Sentral.
Pada periode ini pemerintah menganut sistem devisa berdasarkan "Deviezen
Ordonantie 1940 dan Deviezen Verordening 1940". Berdasarkan ketentuan tersebut
pemerintah menganut sistem devisa terkontrol yang pada hakekatnya menetapkan
penguasaan seluruh devisa masyarakat oleh pemerintah.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, sistem tersebut dikenal dengan istilah
"Rezim Devisa Terkontrol". Dalam sistem ini segala perijinan dan lalu lintas devisa
diatur oleh Nederlandsch Indisch Deviezen Instituut (NIDI) dengan sistem dan
prosedur yang rumit. Kemudian, lembaga ini diganti menjadi Deviezen Instituut Voor
Indonesie (DIVI) dan dipimpin oleh sebuah dewan yang diketuai oleh Direktur
Perekonomian.
Pada tahun 1949, DIVI diganti lagi menjadi Lembaga Alat Alat Pembayaran Luar
Negeri (LAAPLN). Sebelum 1 Juli 1953, LAAPLN berada dibawah De Javasche Bank,
tetapi setelah 1 Juli 1953 dibawah Bank Indonesia.
10
Berkaitan dengan hal tersebut, semua valuta asing yang diperoleh dari hasil ekspor
harus diserahkan kepada badan yang ditunjuk pemerintah saat itu bernama dana
devisa dan berada di bawah pimpinan De Javasche Bank.
Pada awal berdirinya Bank Indonesia 1 Juli 1953, Indonesia masih menerapkan
kebijakan devisa dengan sistem terkontrol. Dalam sitem ini devisa hanya boleh
dikuasai dan diawasi oleh negara. Kebijakan devisa merupakan salah satu komponen
kebijakan penting dalam pembangunan negara.
Sementara itu keadaan ini dalam negeri pada saat itu sangat tidak mendukung
untuk meningkatkan perolehan devisa. Bahkan cadangan devisa Indonesia makin
berkurang. Hal tersebut antara lain dipengaruhi oleh:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
11
Dana dan laba yang ditransfer tersebut dikenakan bea sebesar 66 2/3%. Disamping
itu bagi pihak yang mengimpor surat berharga atau efek dikenakan Bea sebesar 33
1/3% .
Di lain pihak, selain melakukantindakan penghematan devisa, pemerintah juga
meningkatkan usaha untuk memperoleh devisa. Pada Bulan November 1954,
eksportir wajib menyerahkan uang jaminan sebesar 15% dari nilai kontrak
valutanya, dengan maksud agar eksportir tersebut akan menjual devisanya kepada
negara.
Usaha penghematan devisa pun terus berlangsung. Bulan Juli 1955 berlaku
ketentuan bukti impor sementara yaitu sertifikat yang harus dimiliki importir untuk
memperoleh ijin mendapatkan devisa.
Untuk meningkatkan penerimaan Negara sertifikat dimaksud dijual kepada importir
dengan harga berkisar 25% sampai 100% dari harga barang yang akan diimpor.
Pada bulan September 1955 diterbitkan Kebijakan dalam Bidang Impor yang dikenal
dengan : "SUMITRO REFORM" yang bertujuan menyederhanakan, dan
menghapuskan beberapa Ketentuan Impor yang berbelit-belit dan saling tumpang
tindih.
Pada ketentuan baru, Importir yang akan mendapat lisensi impor dikenakan Bea
Tambahan Pembayaran Impor 50%-400% dari nilai impor sebagai uang muka.
Dengan rincian :
Golongan
Golongan
Golongan
Golongan
I = 50%
II = 100%
III = 200%
IV = 400%
Beberapa ketentuan yang dihapus, yaitu ketentuan tentang Bukti Impor Sementara,
Bukti Impor Tekstil, dan Transaksi Paralel Istimewa. Masih dalam bulan yang sama,
pemerintah menerbitkan kebijakan bidang import yang terkait dengan Penanaman
Modal Asing (PMA) dan Pinjaman Luar Negeri. Hal ini memang tidak berhubungan
langsung dengan pemasukan devisa, tetapi menjadi sarana yang efektif dalam
rangka penghematan devisa.
Di lain pihak masih dalam koridor untuk meningkatkan penerimaan devisa dengan
menumbuh kembangkan kemampuan eksportir komoditi Teh dan tembakau.
Pada bulan Oktober 1955 diberlakukan ketentuan pemberian premi ekspor sebesar
5%-10% dari harga ekspor komoditi lemah disamping dibebaskan dari pajak ekspor.
Sedangkan ekspor komoditi kuat tetap dikenakan pajak ekspor, seperti kopra,
minyak sawit, tembakau, gula dan karet.
Masih dalam rangka mendorong ekspor, pada bulan Maret 1956 pemerintah
menaikan premi ekspor seperti komoditi Serat preminya sebesar 25%, untuk
komoditi kapuk preminya sebesar 15%. Dan berlaku ketentuan ekspor tembakau
berdasarkan konsinyasi.
12
Tahun yang sama bulan Agustus, kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya
disempurnakan dengan tujuan untuk menggalakkan ekspor dan diberlakukan
ketentuan Bukti Pendorong Ekspor (BPE), dengan rincian sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
Permintaan sertifikat BPE sebagian besar datang dari importir sehingga mendorong
kenaikan laju impor, pembatasan impor dilakukan dengan menyesuaikan
penggolongan barang impor semula terdiri empat golongan dirobah menjadi
sembilan golongan dengan catatan golongan golongan I bebas dari TPI sedangkan
golongan II s.d golongan lX dikenakan TPI mulai dari 25% sampai dengan 400%.
Sampai dengan pertengahan tahun 1957 Bukti Pendorong Ekspor memberi
perkembangan positif, dengan meningkatnya nilai ekspor.
Permintaan sertifikat BPE sebagian besar datang dari importir sehingga mendorong
kenaikan laju impor, pembatasan impor dilakukan dengan menyesuaikan
penggolongan barang impor semula terdiri empat golongan dirobah menjadi
sembilan golongan dengan catatan golongan golongan I bebas dari TPI sedangkan
golongan II s.d golongan lX dikenakan TPI mulai dari 25% sampai dengan 400%.
Sampai dengan pertengahan tahun 1957 Bukti Pendorong Ekspor memberi
perkembangan positif, dengan meningkatnya nilai ekspor.
Pada tanggal 20 Juni 1957 Dewan Moneter mengeluarkan keputusan No.30 tentang
pemberian sertifikat Bukti Ekspor kepada eksportir dengan ketentuan sebagai
berikut:
1. Sertifikat berlaku selama dua bulan dan dapat diperdagangkan melalui bank
dalam jangka waktu tersebut.
2. Pembeli sertifikat yang diizinkan hanya importir yang mempunyai izin impor dan
atau mereka yang mempunyai izin transfer.
3. Semua penerima valuta asing yang berasal dari ekspor atau jasa dikenakan pajak
atau Pembayaran Bukti Ekspor sebesar 20% dari harga efektif Bukti Ekspor.
Bersamaan dengan itu, pemerintah melepaskan nilai rupiah dari kurs resmi dan
membiarkan kurs terbentuk berdasarkan permintaan dan penawaran yang terpimpin,
antara lain hanya pemegang izin impor yang dapat membeli devisa dan pembelian
devisa untuk memindahkan modal tidak diizinkan. Melalui pelepasan nilai rupiah
tersebut, maka nilai tukar rupiah di pasar bebas bergerak dari Rp 31 per US$ pada
akhir tahun 1956 menjadi Rp 49 pada akhir tahun 1957 dan pada akhir tahun 1958
sebesar Rp 90.
Berkaitan dengan ketentuan tersebut importir diwajibkan membayar uang jaminan
sebesar 20% dari harga c&f kepada Dana Devisa. Barang impor dibagi menjadi enam
golongan. Masing-masing golongan barang impor ini dikenakan Tambahan
Pembayaran Impor (TPI) sebesar 0% untuk golongan I, 20% untuk golongan II,
13
50% untuk golongan III, 100% untuk golongan IV, 140% untuk golongan V, dan
175% untuk golongan VI.
Disamping itu, kurs Bukti Ekspor (BE) meningkat dengan cepat. Jika pada Juni 1957
tercatat 220, tetapi pada Maret 1958 meningkat menjadi 322, sehingga permintaan
devisa juga ikut betambah. Untuk menahan laju permintaan devisa tersebut, Dewan
Moneter memutuskan sejak tanggal 19 April 1958, kurs maksimum BE dibekukan
pada tingkat 332 dan kembali pda fixed rate system.
Nilai ekspor pada tahun 1957 yang tercatat sebesar Rp 11.052 juta merosot menjadi
Rp 8.612 juta di tahun 1958. Hal ini disebabkan oleh:
1.
2.
3.
4.
Di sisi lain terjadi perkembangan politik yang kemudian berpengaruh pada Devisa
Negara, yaitu ditandatanganinya Perjanjian Perdamaian antara Republik Indonesia
dengan Pemerintah Jepang pada tanggal 20 Januari 1958, perjanjian ini secara resmi
mengakhiri keadaan perang yang diwarisi dalam perang Dunia II sekaligus mengatur
tentang pembayaran Pampasan perang oleh Jepang kepada Indonesia.
Dalam tahun itu terjadi lonjakan Penambahan Devisa, hingga mencapai sebesar Rp.
1.770 juta, hal ini diperoleh atas penghapusan hutang dagang yang terakumulasi
sebesar Rp. 1.336 juta, sehingga posisi devisa pada akhir Juni 1958 sebesar Rp
4.464 juta,- Bersamaan dengan itu perkembangan perekonomian semakin kondusif
karena :
1. Beberapa daerah pengekspor komoditi handalan yang dikuasai Pemberontak
mampu dibebaskan sebelum pertengahan 1958.
2. Masalah pengambilalihan Perusahaan Belanda oleh Pemerintah Indonesia dapat
diatasi dalam jangka waktu yang relatif pendek.
3. Secara berangsur-angsur produksi dalam negeri pulih kembali.
Dalam tahun ini Kebijakan Pembatasan Impor guna menghemat devisa masih terus
dilaksanakan dengan diberlakukannya peraturan LAAPLN No. A. 80 tanggal 3
Februari 1958 mengenai uang Jaminan Impor harus dibayar Importir saat
mengajukan Ijin Impor dan kenaikan Uang Jaminan Impor yaitu :
1. Tanggal 3 Februari 1958 dari 20% naik menjadi 100%
2. Tanggal 31 Desember 1958 dari 100% naik menjadi 133 1/3%
3. Tanggal 15 April 1959 dari 133 1/3% menjadi 230%
Dengan sistem dan kebijakan devisa yang dilaksanakan tahun 1959 dan tahun
sebelumnya telah mampu menambah jumlah devisa dan pada tahun itu tercatat
sebesar Rp. 10.599 juta atau bertambah sebanyak 51,69% dari tahun 1958.
Dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.4 tahun 1959 tentang
Penghapusan Sistem Bukti Ekspor berlaku mulai tanggal 25 Agustus 1959, karena
14
sistem tersebut membawa dampak negatip pada tersedianya devisa dalam jumlah
yang cukup disamping sertifikat mempunyai ciri floating rate sistem.
Di samping itu diterbitkan pula Peraturan Pemerintah No.42 tahun 1959 tentang
Pungutan Ekspor dan Impor yaitu :
Bidang Impor
1. Pungutan impor ditetapkan atas dasar nilai C & F
2. Pungutan TPI mulai dari 0% s.d 200%
3. Kewajiban menyediakan jaminan dihapus
Bidang Ekspor
1. Pungutan ekspor 20 % dari harga penjualan berdasarkan kurs baru.
Selain itu Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1959 tentang
Devaluasi mata uang Rupiah semula US$ 1 = Rp 11,40 berobah menjadi US$ 1 = Rp
45 dengan sistem fixed rate. Dengan demikian, secara umum sistem dan
kebijaksanaan devisa periode 1953-1959 ditandai dengan meningkatnya nilai ekspor,
serta diterapkannya kebijakan yang dapat mendorong eksportir untuk meningkatkan
ekspornya dan membatasi nilai impor. Meskipun dalam perjalanannya dari tahun ke
tahun diwarnai dengan fluktuasi, namun pada akhirnya mampu meningkatkan
devisa. Dengan demikian, hasil kebijakan devisa 1953-1959, telah memberikan
harapan dan menghantarkan cita-cita menuju kemakmuran dan kesejahteraan
bangsa.
Secara umum, kebijakan devisa periode 1953-1959 berkonsentrasi untuk menambah
devisa dari luar serta menghemat devisa yang berada di dalam negeri. Dalam
pelaksanaannya, pemerintah berusaha menggiatkan ekspor dan membatasi impor.
Hasilnya, jumlah devisa pada tahun 1959 tercatat sebesar Rp 10.599 juta, jauh
meningkat dari posisi tahun 1953 yang sebesar Rp 764 juta.
15
Pada periode ini kondisi ekonomi dan situasi politik kurang menguntungkan.
Pada periode ini kondisi ekonomi dan situasi politik kurang menguntungkan. Di
bidang ekonomi, terdapat dua issue penting yang sangat berpengaruh ;
1. sisi supply (out-put riil) belum memenuhi kebutuhan karena pembangunan
ekonomi belum tertangani secara memadai,
2. pembiayaan pembangunan masih didominasi Pemerintah, padahal pendapatan
Pemerintah setiap tahunnya selalu lebih rendah dibanding pengeluarannya.
Di bidang politik, persatuan nasional sebagaimana dicita-citakan bangsa Indonesia
belum menjadi kenyataan, hal ini tercermin oleh masih terjadinya pemberontakanpemberontakan maupun gangguan keamanan di berbagai wilayah. Kondisi-kondisi
tersebut mengakibatkan peningkatan pada sisi pengeluaran Pemerintah yang jauh
melebihi sisi penerimaan sehingga menimbulkan difisit APBN yang semakin
membesar pula. Tidak diperolehnya solusi lain untuk mengatasinya mana defisit
APBN tersebut ditutup dengan uang muka dari Bank Indonesia yang pemenuhannya
dilakukan dengan cara pencetakan uang. Hal ini mengakibatkan pertambahan uang
beredar yang tidak diimbangi oleh peningkatan out riil sehingga mendorong kenaikan
harga (inflasi).
Oleh karena itu, kebijakan moneter diarahkan untuk menekan tingkat inflasi melalui
kebijakan-kebijakan moneter yang kontraktif. Di bidang devisa, kebijakan-kebijakan
devisa diarahkan untuk mendorong ekspor dan menekan impor.
16
Upaya menekan laju inflasi pada periode ini lebih banyak dilakukan melalui sektor
moneter, yaitu berupa pembatasan pagu kredit dan larangan pemberian kredit bagi
sektor ekonomi tertentu.
Upaya menekan laju inflasi pada periode ini lebih banyak dilakukan melalui sektor
moneter, yaitu berupa pembatasan pagu kredit dan larangan pemberian kredit bagi
sektor ekonomi tertentu. Sementara itu, upaya pencukupan suplai barang tidak
dilakukan secara memadai. Dengan demikian maka kebijakan-kebijakan moneter
tidak bisa berjalan secara efektif karena belum terarah ke peningkatan out-put rill.
Di bidang devisa, arus devisa keluar dikontrol secara ketat baik melalui prosedur
perizinan maupun melalui pemberlakuan nilai tukar di atas nilai tukar resmi.
Sementara itu, ekspor didorong melalui pemberian insentif ekspor, namun kebijakan
ini juga tidak efektif karena masih terbatasnya komoditas yang dapat diekspor.
17
Pada awal periode ini, Indonesia mengalami kemerosotan cadangan devisa yang
diatasi antara lain dengan memberlakukan System Bukti Ekspor (BE) sejak 20 Juni
1957.
Pada awal periode ini, Indonesia mengalami kemerosotan cadangan devisa yang
diatasi antara lain dengan memberlakukan System Bukti Ekspor (BE) sejak 20 Juni
1957. Dalam system ini, eksportir memperoleh sertifikat BE dari bank pada saat
menyerahkan devisa hasil ekspornya. BE ini dinyatakan dalam Rupiah sebesar
Rp.11,40 setiap USD1,- dan harus dijual di bursa BE walaupun hanya boleh dibeli
oleh importer yang mempunyai izin impor atau perorangan yang mempunyai izin
transfer. Oleh karena itu indeks BE tersebut dapat berubah-ubah sesuai
perkembangan di bursa BE. Dengan lain perkataan, nilai tukar Rupiah bagi devisa
hasil ekspor pada dasarnya diambangkan secara terbatas.
Berhubung indeks BE tersebut meningkat dengan pesat hingga Maret 1958, hal
mana mencerminkan permintaan lebih tinggi dari penawaran maka pada tanggal 18
April 1958 system BE dicabut dan Indonesia kembali menerapkan system nilai tukar
tetap yaitu Rp.11,40 per USD1,Sementara itu, penerapan system devisa terkontrol yang antara lain berupa larangan
pembelian devisa bagi pihak-pihak selain pemegang izin impor dan semua pihak
untuk pemindahan modal, telah mendorong berkembangnya nilai tukar Rupiah di
pasar bebas yang cukup cepat. Kondisi ini kurang memberikan dorongan bagi
pengembangan ekspor.
18
19