Anda di halaman 1dari 10

DIABETES MELITUS PADA LANJUT USIA

Prevalensi DM pada lanjut usia cenderung meningkat, hal ini dikarenakan DM pada
lanjut usia bersifat muktifaktorial yang dipengaruhi faktor intrinsik dan ekstrinsik.
(Martono dkk, 2007). Umur ternyata merupakan salah satu faktor yang bersifat mandiri
dalam pengaruhnya terhadap perubahan toleransi tubuh terhadap glukosa. Umumnya
pasien diabetes dewasa 90% termasuk diabetes tipe 2. Dari jumlah tersebut dikatakan 50%
adalah pasien berumur > 60 tahun.(Gustaviani, 2006)
Untuk menentukan diabetes usia lanjut baru timbul pada saat tua, pendekatan selalu
dimulai dari anamnesis, yaitu tidak adanya gejala klasik seperti poliuri, polidipsi atau
polifagi. Demikian pula gejala komplikasi seperti neuropati, retinopati dan sebagainya,
umumnya bias dengan perubahan fisik karena proses menua, oleh karena itu memerlukan
konfirasi pemeriksaan fisik, kalau perlu pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan fisik,
pasien diabetes yang timbul pada usia lanjut kebanyakan tidak ditemukan adanya
kelainan-kelainan yang sehubungan dengan diabetes seperti misalnya kaki diabetik, serta
tumbuhnya jamur pada tempat-tempat tertentu.(Gustaviani, 2006)
Kriteria diagnosis DM dapat mengacu pada rekomendasi ADA (American Diabetes
Association) yang tidak menunjukkan adanya pertimbangan spesifik umur. Diagnosis DM
dibuat setelah dua kali pemeriksaan gula darah puasa > 126 mg/dl (dengan sebelumnya
puasa paling sedikit 8 jam). Pasien perlu dipastikan tidak dalam kondisi infeksi aktif atau
sakit akut dalam pemeriksaan ini. Atau gula darah acak > 200 mg/dl dengan gejala-gejala
diabetes. (Martono dkk, 2007; Gustaviani, 2006) Pengukuran hemoglobin terglikosilasi
(HbA1c ) tidak direkomendasikan sebagai alat diagnostik, tetapi dipakai secara luas untuk
memantau efektifitas pengobatan. (Martono dkk, 2007).
Penampilan klinis DM pada lanjut usia
Berbagai perubahan karena proses menua dapat mempengaruhi penampilan klinis
DM pada lanjut usia. Gejalanya dapat sangat tidak khas dan menyelinap. Dikatakan paling
sedikit separuh dari populasi lanjut usia tidak tahu bahwa mereka terkena DM. Keluhan
tradisional dari hiperglikemia seperti polidipsi dan poliuria sering tidak jelas, karena
penurunan respon haus dan peningkatan nilai ambang ginjal untuk pengeluaran glukosa
urin. Penurunan berat badan, kelelahan dan kencing malam hari dianggap hal yang biasa

pada lanjut usia, berakibat tertundanya deteksi adanya DM. Penampilan klinis seperti
dehidrasi, konfusio, inkontinentia dan komplikasi-komplikasi yang berkaitan DM
merupakan gejala-gejala yang tampak.
Komplikasi mikrovaskuler seperti neuropati dapat berupa kesulitan untuk bangkit
dari kursi atau menaiki tangga. Pandangan yang kabur atau diplopia juga dapat
dikeluhkan, akibat mononeuropati yang mengenai syaraf kranialis yang mengatur
okulomotorik. Proteinuria tanpa adanya infeksi, harus dicari kemungkinan adanya DM
(Martono dkk, 2007).
Infeksi khusus yang sering berkaitan dengan DM, lebih banyak dijumpai pada lanjut
usia antara lain otitis eksterna maligna dan kandidiasis urogenital. Sebaliknya adanya
penyakit-penyakit akut seperti bronkopneumoni, infark miokard atau stroke dapat
meningkatkan kadar glukosa sehingga berakibat tercapainya kriteria diagnosis DM, pada
mereka yang telah ada peningkatan kadar intoleransi glukosa. Beberapa gejala unik yang
dapat terjadi pada penderita lanjut usia antara lain adalah: neuropati diabetika dengan
kaheksia, neuropati diabetic akut, amiotropi, otitis eksterna maligna, nekrosis papilaris
dari ginjal dan osteoporosis.
Bila terlambat diketahui adanya penyakit diabetes pada lanjut usia, penderita
mungkin sudah dalam keadaan status dekompensasi dari sistem metabolik seperti
hiperglikemi, hiperosmolaritas, sindroma non ketotik atau ketoasidosis diabetik. Penderita
juga dapat dijumpai gejala-helaja hipoglikemi, yang biasanya disebabkan oleh obat-obat
antidiabetik. Penampilan klinis hipoglikemia yang khas tampak sebagai perubahan status
mental dan status neurologi seperti penurunan fungsi kognitif, konfusio, kjang, diaphoresis
dan bradikadi.
Keadaan yang menyertai hiperglikemi seperti hiponatremia (pseudohiponatremi),
kondisi dehidrasi dan hipomagnesia (akibat diuresis osmotik) dapat juga terjadi. Profil
lipid pada umunya menunjukkan peningkatan trigliserid, penurunan HDL sedangkan LDL
kolesterol tidak selalu meningkat tetapi terisi oleh small dense LDL yang lebih banyaj,
yang lebih aterogenik.
Patofisiologi DM pada lanjut usia

Patofisiologi diabetes melitus pada usia lanjut belum dapat diterangkan seluruhnya,
namun didasarkan atas faktor-faktor yang muncul oleh perubahan proses menuanya
sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain perubahan komposisi tubuh, menurunnya
aktifitas fisik, perubahan life style, faktor perubahan neurohormonal khusunya penurunan
kadar DHES dan IGF-1 plasma, serta meningkatnya stres oksidatif. Pada usia lanjut
diduga terjadi age related metabolic adaptation, oleh karena itu munculnya diabetes pada
usia lanjut kemungkinan karena aged related insulin resistance atau aged related insulin
inefficiency sebagai hasil dari preserved insulin action despite age (Rochmah, 2006).
Berbagai faktor yang mengganggu homeostasis glukosa antara lain faktor genetik,
lingkungan dan nutrisi. Berdasarkan pada faktor-faktor yang mempengaruhi proses
menua, yaitu faktor intrinsik yang terdiri atas faktor genetikdan biologik serta faktor
ekstrinsik seperti faktor gaya hidup, lingkungan, kultur dan sosial ekonomi, maka
timbulnya DM pada lanjut usia bersifat muktifaktorial yang dapat mempengaruhi baik
sekresi insulin maupun aksi insulin pada jaringan sasaran. (Martono dkk, 2007)
Faktor resiko diabetes melitus akibat proses menua

Penurunan aktifitas fisik

Peningkatan lemak

Efek penuaan pada kerja insulin

Obat-obatan

Genetik

Penyakit lain yang ada

Efek penuaan pada sel .(Gustaviani, 2006)

Menyebabkan resistensi insulin dan penurunan sekresi insulin gangguan toleransi


glukosa dan diabetes melitus tipe 2.
Perubahan progresif metabolisme karbohidrat pada lanjut usia meliputi perubahan
pelepasan insulin yang dipengaruhi glukosa dan hambatan pelepasan glukosa yang
diperantarai insulin. Besarnya penurunan sekresi insulin lebih tampak pada respon

pemberian glukosa secara oral dibandingkan dengan pemberian intravena. Perubahan


metabolisme karbohidrat ini antara lain berupa hilangnya fase pertama pelepsan insulin.
Pada lanjut usia sering terjadi hiperglikemia (kadar glukosa darah >200 mg/dl) pada 2
jam setelah pembebanan glukosa dengan kadar gula darah puasa normal (<126 mg/dl)
yang disebut Isolated Postchallenge Hyperglikemia (IPH) (Martono dkk, 2007).
Pengelolaan DM pada lanjut usia
Langkah I: Menentukan tujuan pelaksanaan, yaitu:
1. Mempertahankan kesehatan badan dan kualitas hidup
2. Meniadakan hiperglikemi dan gejalanya
3. Mengkaji dan menerapi penyakit komorbid seperti hipertensi, penyakit
kardiovaskuler, Alhzeimer, dan lain-lain
4. Meniadakan efek samping obat terutama hipoglikemi
5. Membuat berat badan menjadi ideal
6. Mencegah kalau mungkin dan menerapi komplikasi
7. Mengenali disabilitas dan mengurangi hendaya sosial yang terjadi
Langkah II: Melakukan assesement untuk mengetahui kapasitas penderita baik fisik,
psikologis, fungsional, lingkungan, sosial dan ekonomi. Pemeriksaan mulai dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, psikologis, fungsional, pemeriksaan penunjang sebaiknya
dilakukan oleh suatu tim multidisiplin yang bekerja secara interdisiplin dan terpadu.
Langkah III: Melakukan terapi dan rehabilitasi pada penderita DM usia lanjut. Target
yang ingin dicapai tetap dama dengan usia dewasa muda yaitu HbA1c <7%, dan ini
sangat sulit pada lansia karena terdapat berbagai macam kendala seperti:
-

Adanya berbagai penurunan fungsi organ karena proses menua

Adanya penyakit komorbid

Penuruan kapasitas fungsional yang menyebabkan penurunan aktifitas fisik

Penurunan fungsi kognitif penderita meningkatnya resiko hipoglikemi

Adanya polifarmasi meningkatkan efek samping dan interaksi obat lain dengan
obat-obat antihiperglikemik
Pilihan utama terapi diabetes pada lansia adalah terapi tanpa ibat atau sering
disebut sebagai perubahan gaya hidup yang meliputi:

Diet
Diberikan diet dengan jumlah kalori sesuai BMI, dengan pembatasan sesuai penyakit
komorbid atau faktor resiko atherosklerosis lain yang ada. Komposisi normal biasanya
60-65% karbohidrat komplek, 20% protein dan 15-20% lemak. Disamping itu juga
diberikan suplemen dan vitamin A, C, B komplek, E, Ca, selenium, zinc dan besi.
Untuk hasil yang baik pada terapi diet ini perlu perhatian khusus pemberian makanan
pada lansia dengan diabetes:
Akses terhadap makanan:
-

Disabilitas fungsional
o Keterampilan menyapkan makanan yang kurang/jelek
o Dukungan formal maupun informal yang buruk untuk mendapatkan
makanan

Sumber daya keuangan yang terbatas

Asupan makanan:
o Apresiasi terhadap bau dan rasa yang menurun
o Gigi yang buruk dan atau xerostomia

Kebiasaan makan yang sudah berakar

Kesukaan atas makanan masa lalu atau masakan tradisional

Fungsi kognitif yang menurun


Olahraga
Disesuaikan dengan kapasitas fungsionalnya. Bila masih bisa berjalan disuruh berjalan,
bila hanya bisa duduk olahraga dengan duduk. Apabila tidak dapat, bisa dilakukan
dengan gerakan atau latihan pasif di tempat tidur. Prinsip terapi olahraga adalah dengan
memperbaiki aktifitas fisik, menurunkan kadar gula darah, mencegah terjadinya
imobilitas yang mempercepat munculnya kompliasi makrovaskuler diabetes.
Apabila dengan terapi tanpa obat di atas gula darah atau HbA1c belum turun atau
terkendali, sesuai dengan target makan diberikan terapi dengan obat antihiperglikemik.

Obat
Terutama obat untuk menurunkan gula darah harus dipilih yang bekerja pendek,
mempertimbangkan kapasitas ginjal, hepar dan saluran cerna agar tidak terjadi efek
samping. Patut juga diperhatikan status sosial ekonomi penderita dalam memilih obat
mengingat obat ini biasanya dipakai dalam jangka waktu lama bahkan dapat seumur
hidup. Obat yang dipilih apakah obat anti diabetik oral atau insulin disesuaikan dengan
klisifikasi DMnya dan keadaan klinisnya seperti penyakit komorbid atau BMI nya.
Untuk penderita diabetes lansia gemuk, obat hiperglikemik oral yang dipilih adalah
inhibitor alfa Glukosidase (acarbose), biguanide atau thiazolidinedione, karena obat-obat
ini selain menurunkan kadar gula darah juga dapat menuurnkan berat badan, tetapi bila
terdapat ganguan fungsi hati atau ginjal baik biguanide atau thiazolodinedione tidak
boleh dipakai. Sebaliknya penderita yang kurus sebaiknya dipilih terapi dengan insulin
karena dapat menungkatkan berat badan. Sulfoniuria dan non sulfoniuria insulin
secretagoue (repaglinide/nateglinide) lebih tepat dipilih untuk penderita dengan berat
badan normal.
Indikasi penggunaan insulin pada penderita diabetes antara lain: DM tipe 1, DM tipe
2 yang tidak bisa dikontol dengan obat oral, DM tipe 2 dengan penyakit akut berulang
dan berhubungan dengan hiperglikemi, DM tipe 2 dengan penyakit komorbid yang
merupakan

kontraindikasi

OHO,

DM

tipe

dengan

operasi

yang

lama

(pre/pascaoperatif), DM tipe 2 dengan malnutrisi/kurus dan malaise berat, koma diabetik


(ketoasidosis diabetik, hiperosmolar nonketotik dan asidosis laktat) dan perempuan
hamil. (Martono dkk, 2007; Darmono, 1991; Sidartawan, 2002).
Penatalaksanaan DM pada lanjut usia tidak akan berhasil bila tidak melakukan
langkah beriuktnya setelah diet, olahraga dan obat, yaitu melakukan edukasi, evaluasi dan
rehabilitasi pada penderita.
Edukasi: memberikan penjelasan mengania DM dan komplikasi yang akan terjadi sampai
kepada apa yang mesti dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh penderita dan
keluarganya. Pada edukasi perlu dibuat komitmen antara dokter, penderita dan
keluarganya mengenai tujuan akhir terapi yang diberikan, bukan hanya sekedar
mengontrol gula darah tetapi juga mencegah komplikasi dengan mengeliminir semua

faktor resiko atherosclerosis yang dimiliki oleh penderita dan sekaligus menerapi
komorbid yang ada.
Evaluasi: evaluasi harus dilakukan secara berkesinambungan terutama untuk: evaluasi
status fungsional penderita, harapan hidup, support social dan financial serta hasrat/
kemauan lansia itu sendiri untuk berobat. Bila tidak memperhatikan hal-hal tersebut
biasanya akan terjadi kegagalan terapi atau kebosanan penderita diabetes untuk terus
berobat.
Rehabilitasi: sangat penting dilakukan dengan program individual untuk tiap penderita,
tergantung kepada kapasitas fungsional penderita, komplikasi DM dan penyakit komorbid
yang diderita. Pada prinsipnya rehabilitasi harus dilakukan secepatnya tidak perlu
menunggu kondisi pasien stabil, tetapi harus sesuai dengan keadaan penderita saat itu.
Komplikasi DM pada lanjut usia
Berbagai komplikasi akibat DM sering diklasifikasikan secara berbeda, antara lain
penggolongan antara komplikasi akut (ketoasidosis, koma hiperosmolar non ketotk) dan
kronik (retinopati diabetika, neuropati diabetika, nefropati diabetika dan penyakit
kardiovaskuler), klasifikasi berdasarkan komplikasi spesifik dari diabetesnya (nephropati,
retinopati dan neuropati) dan komplikasi makrovaskuler (penyakit jantung koroner,
penyakit serebrovaskuler dan penyakit perifer) yang mungkin terjadi pada penderita non
diabetik aan tetapi tampil lebih dini dan lebih berat pada penderita diabet.
Prognosis DM pada lanjut usia
Kesehatan penderita usia 75 tahun mempunyai harapan hidup sekitar 10 tahun, oleh
karen aitu harus diterapi secara agresif seperti pada penderita usia muda untuk menurunkan
resiko komplikasi. Bagaimanapun juga harapan hidup penderita lebih pendek, tujuan terapi
adalah untuk mengurangi gejala, mencegah komplikasi akut, yang mana terutama terjadi
pada penderita lanjut usia.
Pada pasien ini, dari anamnesis yang mengarah ke gejala kencing manis hanya
didapatkan keluhan poliuri (buang air kecil banyak). Dari pemeriksaan fisik tidak
didapatkan pemeriksaan yang mengarah pada gejala diabetes melitus, hanya didapatkan

tanda komplikasi diabetes, yaitu infeksi saluran nafas (ronkhi basah halus) dan adanya
infeksi saluran kemih (nyeri kostovertebra).
Martono H, Pranaka K, Rahayu RA, Joni B, Huda IS, Murti Y. Diabetes melitus
pada lanjut usia. Dalam : Darmono, Suhartono T, dkk (editor). Naskah lengkap diabetes
melitus. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007 : 301-16
Gustaviani R. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus. Dalam : Sudoyo AW,
Setiyohadi B, dkk (editor). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi IV. Jilid III. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI, 2006: 1879-1885
Rochmah W. Diabetes melitus pada usia lanjut. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi
B, dkk (editor). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi IV. Jilid III. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI, 2006: 1937-9
Darmono. Seri kuliah endokrinologi-metabolik. Semarang: Laboratorium Ilmu
Penyakit Dalam FK UNDIP, 1991. Foster DW.
Sidartawan, Pradana, Imam Subekti, dkk. Petunjuk praktis pengelolaan diabetes
mellitus tipe 2. Jakarta : PB Perkeni, 2002.

Anda mungkin juga menyukai