Oleh :
Deborah Josephine Theresia G99121010 / I-17-2013
Ardina Nur Pramudhita
G99121020 / K-8-2013
Pembimbing :
Hari Wahyu Nugroho, dr, SpA, M.Kes
KASUS II
STATUS PENDERITA
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama
: An. F
Umur
: 1 Tahun 8 Bulan
Tanggal Lahir
: 11 Januari 2012
Berat Badan
: 7,2 kg
Panjang Badan
: 70 cm
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Alamat
: Jebres
Pemeriksaan
: 18 September 2013
II. ANAMNESIS
Anamnesis diperoleh dengan cara alloanamnesis terhadap perawat yang
merawat penderita.
A. Keluhan Utama
Perkembangan lebih lambat dari pada anak seusianya
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan anak yang dirawat di Yayasan Pemeliharaan
Anak dan Bayi Permata Hati. Perawat mengeluh bahwa anak tersebut
perkembangannya lebih lambat daripada anak seusianya. Anak tidak
banyak bersuara dan belum bisa menirukan bunyi kata-kata, hanya bisa
mengucap a,i,u,e,o dan kadang memberi respon bila dipanggil. Anak
belum bisa mendongakkan kepala, belum bisa bertepuk tangan dan belum
bisa berjalan.
Saat dilakukan pemeriksaan rutin, didapatkan BAB (+) 3x dalam
sehari dengan konsistensi cair, warna kuning, lendir dan darah (-). Muntah
(-), rasa haus (+), rewel, sadar, BAK terakhir tidak ada keluhan, demam
(-), sesak (-), kejang (-).
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat mondok
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
(+)
Polio
(-)
Bronkitis
(-)
Morbili
(-)
Cacingan
(-)
Pertusis
(-)
Gegar otak
(-)
Difteri
(-)
Fraktur
(-)
Varicella
(-)
Kolera
(-)
Malaria
(-)
TB paru
(-)
Usia 0-10 bulan : ASI saja, frekuensi minum ASI tiap kali bayi
menangis atau minta minum, sehari biasanya 8 kali per hari dan lama
menyusui 10 menit, bergantian kiri kanan.
Usia 10-15 bulan : nasi tim 2-3 kali sehari satu mangkok kecil dengan
sayur hijau/bayam, telur, tahu, tempe, dengan diselingi dengan ASI dan
susu buatan (Nestle) jika bayi masih lapar. Frekuensi minum susu
buatan 2 kali per hari dengan takaran cangkir kecil.
1.
Jenis
BCG
I
1 bulan
II
-
2.
DPT
2 bulan 3 bulan
4 bulan
3.
Polio
0 bulan 2 bulan
3 bulan
4.
Campak
9 bulan
5.
Hepatitis B
Lahir
2 bulan
III
-
3 bulan
IV
4 bulan
4 bulan
L. Keluarga Berencana
Ibu tidak menggunakan KB
III.PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Derajat Kesadaran
: compos mentis
Status gizi
2. Tanda vital
S
: 37,1oC
RR
BB
: 7 kg
TB
: 72 cm
Status gizi :
BB/U : 7,2/11,4 x100 % = 63,15 %
kelenjar
limfe
auricular,
submandibuler,
servikalis,
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Kiri atas
: SIC II LPSS
Kiri bawah
: SIC IV LMCS
Kanan atas
: SIC II LPSD
Pulmo :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Batas paru-hepar
: SIC V kanan
14. Abdomen :
Redup relatif di
: SIC V kanan
Redup absolut
Auskultasi
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
: tympani
Palpasi
sianosis
oedem
TB/U
Bayi
Permata
Hati.
Perawat
mengeluh
bahwa
anak
tersebut
Down Syndrome
Global Delayed development
Keterlambatan perkembangan personal sosial setara usia 4,5 bulan
Keterlambatan perkembangan adatif motorik halus setara usia 4,5 bulan
Keterlambatan perkembangan bahasa setara usia 8 bulan
Keterlambatan perkembangan motorik kasar setara usia 4 bulan
VIII. PENATALAKSANAAN
A. Edukasi :
- Motivasi perawat tentang penyakitnya
- Beri asupan makanan yang cukup
- Stimulasi di rumah
- Konseling
IX. PLANNING
-
Konsul RM
Terapi Physiotherapy:
o Speech therapy
o Ocupation therapy
X.
PROGNOSIS
Ad vitam
: dubia ad bonam
8
Ad sanam
: dubia ad malam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.
DEFINISI
Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang dikenal sebagai
trisomi, karena individu yang mendapat sindrom Down memiliki kelebihan
satu kromosom. Mereka mempunyai tiga kromosom 21 dimana orang normal
hanya mempunyai dua saja. Kelebihan kromosom ini akan mengubah
keseimbangan genetik tubuh dan mengakibatkan perubahan karakteristik fisik
dan kemampuan intelektual, serta gangguan dalam fungsi fisiologi tubuh
(Pathol, 2003).
Terdapat tiga tipe sindrom Down yaitu trisomi 21 reguler, translokasi
dan mosaik. Tipe pertama adalah trisomi 21 reguler. Kesemua sel dalam
tubuh akan mempunyai tiga kromosom 21. Sembilan puluh empat persen dari
semua kasus sindrom Down adalah dari tipe ini (Lancet, 2003).
Tipe yang kedua adalah translokasi. Pada tipe ini, kromosom 21 akan
berkombinasi dengan kromosom yang lain. Seringnya salah satu orang tua
yang menjadi karier kromosom yang ditranslokasi ini tidak menunjukkan
karakter penderita sindrom Down. Tipe ini merupakan 4% dari total kasus
(Lancet, 2003).
Tipe ketiga adalah mosaik. Bagi tipe ini, hanya sel yang tertentu saja
yang mempunyai kelebihan kromosom 21. Dua persen adalah penderita tipe
mosaik ini dan biasanya kondisi si penderita lebih ringan (Lancet, 2003).
II. EPIDEMIOLOGI
Menurut Soetjiningsih (1998: 211), sindrom Down merupakan
kelainan kromosom autosomal yang paling banyak terjadi pada manusia.
Diperkirakan angka kejadian terakhir adalah 1,0-1,2 per 1000 kelahiran hidup
dimana 20 tahun sebelumnya dilaporkan 1,6 per 1000. penurunan ini
diperkirakan berkaitan dengan menurunnya kelahiran dari wanita yang
10
berumur. Diperkirakan 20% anak dengan sindrom Down dilahirkan oleh ibu
yang berumur di atas 35 tahun.
Sindrom Down dapat terjadi pada semua ras. Dikatakan bahwa
angka kejadiannya pada bangsa kulit putih lebih tinggi daripada kulit hitam,
tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Sedangkan angka kejadian pada
berbagai golongan sosial ekonomi adalah sama.
III. ETIOLOGI
Menurut Soetjiningsih (1998: 211-212), selama satu abad sebelumnya
banyak hipotesis tentang penyebab sindrom Down yang dilaporkan. Tetapi
sejak ditemukan adanya kelainan kromosom pada sindrom Down pada tahun
1959,
maka
sekarang
perhatian
dipusatkan
pada
kejadian
non-
terhadap
non-
terdapat
predisposisi
genetic
11
12
13
menunjukkan
regio
21q.22.1-q22.3
pada
kromosom
21
14
dan jantung dan menjadi penyebab utama retardasi mental dan defek jantung
(Mayo Clinic Internal Medicine Review, 2008).
Abnormalitas fungsi fisiologis dapat mempengaruhi metabolisme
thiroid dan malabsorpsi intestinal. Infeksi yang sering terjadi dikatakan akibat
dari respons sistem imun yang lemah, dan meningkatnya insidensi terjadi
kondisi aotuimun, termasuk hipothiroidism dan juga penyakit Hashimoto.
Penderita
dengan
sindrom
Down
sering
kali
menderita
Menurunnya
buffer
proses
metabolik
menjadi
faktor
seperti
Transient
Myeloproliferative
Disorder
dan
Acute
penyakit
seperti Atresia
Esofagus
15
dengan
atau
tanpa
fistula
Pemeriksaan Fisik
Fisikalnya pasien sindrom Down mempunyai rangka tubuh yang
pendek. Mereka sering kali gemuk dan tergolong dalam obesitas.
Tulang rangka tubuh penderita sindrom Down mempunyai ciri ciri
yang khas. Tangan mereka pendek dan melebar, adanya kondisi
clinodactyly pada jari kelima dengan jari kelima yang mempunyai satu
lipatan (20%), sendi jari yang hiperekstensi, jarak antara jari ibu kaki
dengan jari kedua yang terlalu jauh, dan dislokasi tulang pinggul (6%)
(Brunner, 2007).
Bagi panderita sindrom Down, biasanya pada kulit mereka
didapatkan xerosis, lesi hiperkeratosis yang terlokalisir, garis garis
transversal pada telapak tangan, hanya satu lipatan pada jari kelima,
16
Brachycephaly,
microcephaly, dahi yang rata, occipital yang agak lurus, fontanela yang
besar dengan perlekatan tulang tengkorak yang lambat, sutura metopik,
tidak mempunyai sinus frontal dan sphenoid serta hipoplasia pada
sinus maksilaris (John A. 2000).
Mata pasien sindrom Down bentuknya seperti tertarik ke atas
(upslanting) karena fissura palpebra yang tidak sempurna, terdapatnya
lipatan epicanthal, titik titik Brushfield, kesalahan refraksi sehingga
50%, strabismus (44%), nistagmus (20%), blepharitis (33%),
conjunctivitis,
ruptur
kanal
nasolacrimal,
katarak
kongenital,
17
(Lanzkowsky, 2005).
Penyakit Jantung Kongenital
Penyakit jantung kongenital sering ditemukan pada penderita
sindrom Down dengan prevelensi 40-50%. Walau bagaimanapun kasus
lebih sering ditemukan pada penderita yang dirawat di RS (62%) dan
penyebab kematian yang paling sering adalah aneuploidy dalam dua
tahun pertama kehidupan.
Antara
penyakit
jantung
kongenital
yang
ditemukan
18
Stenosis (9%). Kira - kira 70% dari endocardial cushion defects adalah
terkait dengan sindrom Down. Dari keseluruhan penderita yang
dirawat, kira kira 30% mempunyai beberapa defek sekaligus pada
jantung mereka (Baliff JP, 2003).
Atrioventricular septal defects (AVD)
Atrioventricular septal defects (AVD) adalah kondisi dimana
terjadinya kelainan anatomis akibat perkembangan endocardial
cushions yang tidak sempurna sewaktu tahap embrio. Kelainan yang
sering di hubungkan dengan AVD adalah patent ductus arteriosus,
coarctation of the aorta, atrial septal defects, absent atrial septum, dan
anomalous pulmonary venous return. Kelainan pada katup mitral juga
sering terjadi. Penderita AVD selalunya berada dalam kondisi
asimtomatik pada dekade pertama kehidupan, dan masalah akan mula
timbul pada dekade kedua dan ketiga kehidupan. Pasien akan mula
mengalami pengurangan pulmonary venous return, yang akhirnya akan
menjadi left-to-right shunt pada atrium dan ventrikel. Akhirnya nanti
akan terjadi gagal jantung kongestif yang ditandai dengan antara lain
takipnu dan penurunan berat badan (William 2002).
AVD juga boleh melibatkan septum atrial, septum ventrikel, dan
pada salah satu, atau kedua dua katup atrioventikuler. Pada
penderitadengan penyakit ini, jaringan jantung pada bagian superior
dan inferior tidak menutup dengan sempurna. Akibatnya, terjadi
komunikasi intratrial melalui septum atrial. Kondisi ini kita kenal
sebagai defek ostium primum. Akan terjadi letak katup atrioventikuler
yang abnormal, yaitu lebih rendah dari letak katup aorta. Perfusi
jaringan endokardial yang tidak sempurna juga mangakibatkan
lemahnya struktur pada leaflet katup mitral.
Pada penderita sering terjadi predominant left-to-right shunting.
Apabila penderita mengalami kelainan yang parsial, shunting ini sering
terjadi melalui ostium primum pada septum. Kalau penderita mendapat
defek yang komplit, maka dapat terjadi defek pada septum ventrikel
19
20
yang
dapat
ditemukan
adalah
atresia
atau
stenosis,
21
DQ8.
f
Dilaporkan
juga
terdapat
kaitan
yang
kuat
antara
primer,
autoimun
tiroiditis,
dan
compensated
22
sehingga dapat mencegah terjadinya gagal jantung awal. Apabila tidak dapat
dideteksi, keadaan ini akan menyebabkan hipertensi pulmonal yang persisten
dengan perubahan pada vaskular yang ireversibel (Cincinnati Children's
Hospital Medical Center, 2006).
Umumnya tatalaksana operatif untuk memperbaiki defek pada jantung
dilakukan setelah anak cukup besar dan kemampuan bertahan terhadap
operasi yang dilakukan lebih baik. Biasanya tindakan operasi dilakukan
apabila anak sudah berusia 6-9 bulan. Saat ini, hasil operasi sudah lebih baik
dan anak yang dioperasi mampu hidup lebih lama (Kallen B, 1996).
Bagi penderita sindrom Down yang menderita defek septal
atrioventrikuler, simptom biasanya timbul sewaktu usia kecil, ditandai dengan
shunting sistemik-pulmonari, aliran darah pulmonari yang tinggi, disertai
dengan peningkatan risiko terjadinya hipertensi arteri pulmonal. Resistensi
pulmonal yang meningkat dapat memicu terjadinya kebalikan dari shunting
sistemik-pulmonal yang diikuti dengan sianosis (Baliff JP, 2005).
Penderita sindrom Down mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk
menderita hipertensi arteri pulmonal dibandingkan dengan orang normal. Hal
ini disebabkan berkurangnya jumlah alveolus, dinding arteriol pulmonal yang
lebih tipis dan fungsi endotelial yang terganggu (Galley R, 2005).
Tindakan operatif perbaikan jantung pada usia awal dapat mencegah
terjadinya kerusakan vaskuler pulmonal yang permanen pada paru - paru.
Apalagi dengan pengobatan yang terkini (prostacyclin, endothelin, antagonis
reseptor dan phosphodiesterase-5-inhibitor) didapatkan mampu memperbaiki
status klinis dan jangka hidup bagi penderita hipertensi arteri pulmonal
(Livingstone, 2006).
Meskipun demikian penyakit jantung koroner didapatkan rendah pada
penderita sindrom Down. Hal ini dibuktikan melalui pemeriksaan patologi
dimana didapatkan rendahnya kemungkinan terjadi aterosklerosis pada
penderita sindrom Down (Tyler, 2004).
X. PENATALAKSANAAN
23
dislokasi
patella,
subluksasio
pangkal
paha,
atau
24
bergau
dengan
lingkungan
di
luar
rumah,
25
maka
Walaupun
menyampaikan
masalah
sindrom
Down
akan
26
XI. PENCEGAHAN
Menurut Soetjiningsih (1998: 220), konseling genetic, maupun
amniosintesis pada kehamilan yang dicurigai, akan sangat membantu
mengurangi angka kejadian sindrom Down. Saat ini dengan kemajuan biologi
molecular, misalnya dengan gene targeting atau yang dikenal juga sebagai
homologous recombination sebuah gene dapat dinonaktifkan. Tidak
terkecuali suatu saat nanti, gen-gen yang terdapat di ujung lengan panjang
kromosom 21 yang bertanggungjawab terhadap munculnya fenotip sindrom
Down dapat dinonaktifkan.
27
DAFTAR PUSTAKA
Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC
Andriolo, R B. 2005. Aerobic Exercise Training Programmes For Improving
Physical And Psychosocial Health in adults with Down Syndrome. www.
biomedsearch.com.
Am J Pathol. 2003. Down Syndrome. www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed
Lancet. 2003. Antenatal Screening for Downs Syndrome. The Lancet volume 362,
issues 9377, p 81.
American College of Nurse-Midwives. 2005. Prenatal Tests for Down Syndrome.
www.ncbi.nlm.nih.gv/pubmed/15895013
Tyler, C V, Zyzanski SJ, Runser, L. 2004. Increased Risk of Symptomatic
Gallbladder Disease in Adults with Down Syndrome. American Journal of
Medical Genetics vol 130 A, issue 4, pp 351-3
Livingstone C. 2006. Heart Related Down Syndrome. repository.usu.ac.id
Galley R. 2005. Medical Management of the Adult Patient with Down Syndrome.
Journal of the American Academy of Physician Assistant Apr: 18(4): 4552.
Baliff J B. 2005. New Development in Prenatal Screening for Down Syndrome.
University of Rochester School of Medical.
Kallen B, Mastroiacovo P, Robert E. 1996. Major Congenital Malformations in
Down Syndrome. www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8911611
28
29