Anda di halaman 1dari 4

MALADMINISTRASI DAN TEORI PARKINSON

A. Maladministrasi
Secara sederhana, maladministrasi diartikan sebagai tindakan administrasi yang
melanggar etika administrasi, sehingga mengakibatkan pemerintahan buruk, tidak efektif,
tidak efektif, dan sulit mewujudkan good governance. Dalam kamus Cambridge
mendefinisikan maladministrasi sebagai lack of care, judgment or honesty in the management
of something, atau dapat diartikan sebagai kekurangpedulian atau ketidakjujuran seseorang
dalam mengelola sesuatu. Berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia, pasal 1, maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan
melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari
yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban
hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara
dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat
dan orang perseorangan. Menurut Ombudsman Indonesia ada 9 (sembilan) kriteria yang
menjadi kategori maladministrasi yaitu (1) Perilaku dan perbuatan melawan hukum; (2)
Perilaku dan perbuatan melampaui wewenang; (3) Menggunakan wewenang untuk tujuan
lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut; (4) Kelalaian; (5) Pengabaian kewajiban
hukum; (6) Dalam penyelenggaraan pelayanan publik; (7) Dilakukan oleh penyelenggara
negara dan pemerintahan; (8) Menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial; dan (9)
Bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Masthuri dalam bukunya yang berjudul Mengenal Ombudsman Indonesia
mengklasifikasikan bentuk dan jenis maladministrasi menjadi enam kelompok berdasarkan
kedekatan karakteristik yaitu a) Terkait dengan ketidaktepatan waktu dalam proses pemberian
pelayanan umum; b) Mencerminkan keberpihakan, sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan
dan diskriminasi; c) Mencerminkan sebagai bentuk pelanggaran terhadap hukum dan
peraturan perundangan; d) Terkait dengan kewenangan kompetensi atau ketentuan yang
berdampak pada kualitas pelayanan yang diberikan pejabat publik kepada masyarakat; e)
mencerminkan sikap arogansi seorang pejabat publik dalam proses pemberian pelayanan
publik kepada masyarakat; dan f) Mencerminkan sebagai bentuk-bentuk korupsi secara aktif.
Contoh maladministrasi yaitu masih ada beberapa pelayanan pemerintah yang tidak
efisien di beberapa daerah, seperti pada saat saya mengurus Surat Keterangan dari kelurahan

tempat tinggal saya di Kota Pematangsiantar, saya kecewa dengan pelayanan yang diberikan.
Pada pukul 09.00 WIB saya datang ke kantor lurah untuk mengurus Surat Keterangan.
Namun, komputer di kantor lurah rusak, sehingga saya disuruh untuk mengetik Surat
Keterangan sendiri dengan melihat contoh Surat Keterangan yang diberikan kepada saya.
Kemudian, saya pulang ke rumah untuk membuat Surat Keterangan yang saya butuhkan dan
mencetaknya sendiri. Pada pukul 10.00 WIB, saya kembali ke kantor lurah untuk
menyerahkan Surat Keterangan yang saya buat tersebut kepada lurah agar segera
ditandatangani. Namun, saya disuruh menunggu Pak Lurah yang belum datang dari rumah
beliau. Saya menunggu beliau hingga jam 15.00 WIB. Kemudian, pegawai di kantor lurah
tersebut menyerahkan Surat Keterangan yang saya buat agar ditandatangani oleh Pak Lurah.
Setelah itu, pegawai tersebut meminta uang sebesar 20 ribu rupiah kepada saya dengan
mengatakan bahwa biaya tersebut merupakan kewajiban bagi orang yang membuat Surat
Keterangan. Padahal, pelayanan untuk membuat Surat Keterangan merupakan pelayanan
yang gratis. Hal tersebut merupakan salah satu contoh maladministrasi dalam pelayanan
publik, yang di mana pelayanannya tidak tepat waktu karena Pak Lurah sangat terlambat
datang untuk bekerja, sehingga saya sangat lama menunggu di Kantor Lurah. Selain itu,
pelayanan tersebut merugikan masyarakat dari segi materi karena pelayanan tersebut
seharusnya gratis, tetapi diwajibkan untuk membayar.
Cara mengatasi maladministrasi yaitu lembaga yang bertugas untuk mengawasi
penyelenggaraan pelayanan publik yaitu Ombudsman Republik Indonesia (ORI) harus dapat
melaksanakan tugasnya dengan profesional. Jika ada pelayanan publik yang dianggap telah
menyimpang dan termasuk pada kategori maladministrasi, maka pihak yang terlibat dalam
maladministrasi tersebut harus diberikan sanksi yang tepat. Selain itu, masyarakat harus
melaporkan setiap pelayanan atau tindakan maladministrasi kepada ORI agar ORI dapat
menindaklanjuti pelayanan yang buruk tersebut.

B. Hukum Parkinson
Cyril Northcote Parkinson (1909-1993) adalah sejarawan Inggris yang menjadi
terkenal karena Parkinson's Law yang telah diciptakannya. Hukum Parkinson ini bukan
saja menyangkut perilaku manusia (dan bukan alam), melainkan juga tidak dimaksudkan
terlalu serius. Hukum ini berupa semacam satire, berarti mau menyindir suatu keadaan, tetapi
serentak juga mengandung kebenaran yang patut diperhatikan. Parkinson menggambarkan
kecenderungan yang umum terjadi dalam kerja organisasi atau birokrasi. Salah satunya yang
terpokok adalah kecenderungan untuk memperbanyak orang yang terlibat di dalamnya, bukan
lantaran kebutuhan fungsional, melainkan karena hasrat untuk melipatgandakan jumlah
bawahan. Hukum Parkinson ini menyatakan: (1) Tiap pegawai negeri akan berusaha sekuat
tenaga meningkatkan jumlah pegawai bawahannya dan (2) Tiap pegawai akan selalu
menciptakan tugas baru bagi dirinya sendiri yang sering diragukan manfaat dan artinya.
Karena itu laju birokratisasi akan meningkat dan jumlah pegawai negeri akan naik secara
otomatis tidak tergantung dari beban tugas yang diperlukan. Pola semacam ini disebut Evers
Birokratisasi Parkinson.
Di negara-negara yang sudah maju, perbaikan organisasi apa pun, termasuk perbaikan
organisasi pemerintahan, dilakukan secara rutin. Dalam ilmu organisasi dan manajemen
berlaku apa yang dinamakan Hukum Parkinson. Intinya, manusia dalam interaksinya dengan
manusia lain dalam organisasi selalu mempunyai keinginan dirinya dianggap penting.
Sebagai simbol betapa penting kedudukannya di dalam organisasi yang bersangkutan adalah
kalau dia mempunyai banyak bawahan, asisten, sekretaris, dan sejenisnya. Maka, tanpa sadar
setiap fungsionaris ingin mempunyai pembantu dan pembantunya juga ingin mempunyai
pembantu lagi. Dengan demikian, secara tidak sadar organisasi membengkak tanpa ada
gunanya. Melampaui titik tertentu bahkan menjadi sangat counter productive karena adanya
tumpang tindih tugas dan fungsi yang membuat organisasinya lumpuh.
Fenomen dari Hukum Parkinson menggambarkan bahwa seorang pejabat publik
cenderung mengangkat dan menambah jumlah bawahannya meskipun beban kerja relatif
tetap sebagai perwujudan dari keinginan kekuasaan dan merasa memiliki kekuasaan yang
besar karena memiliki jumlah anggota yang banyak. Pernyataan yang disampaikan dalam
hukum ini terkait dalam keleluasaan pejabat publik dengan asumsi bahwa tidak membiarkan
para pekerja untuk menganggur atau mengusahakan dari mereka untuk bekerja dengan durasi
jam yang lebih pendek. Dalam kenyataanya, jumlah para pejabat dan kuantitas pekerjaan

yang harus dilakukan tidak terkait satu sama lain sama sekali. Pengejawantahan mengenai
perlakuan hukum ini menjadi sebuah hal yang mungkin sudah lazim dilakukan oleh pejabat
publik di masa sekarang. Pejabat publik cenderung melipatgandakan bawahannya dalam
sebuah organisasi pemerintahan sebagai salah satu cara untuk memperkuat posisinya dalam
around of bureaucracy, sehingga setiap keputusan yang dibuat akan mendapat dukungan
penuh dan selalu dapat diterima apa yang menjadi kebijakannya. Selain itu, ini juga menjadi
sebuah sinyal bahwa sebagai seorang pejabat, dirinya memiliki kekuasaan yang besar terlihat
dari jumlah anak buah yang banyak dan memiliki berbagai bagian atau division dalam
organisasi publik yang dikelolanya.
Berdasarkan Hukum Parkinson tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam birokrasi
pemerintahan yang memiliki anggota yang banyak akan mudah terjadi patologi birokrasi.
Birokrasi yang terlalu gemuk, terdapat banyak anggota birokrasi tanpa memiliki tugas dan
fungsi yang jelas, akan membuat tugas dan fungsi dari setiap anggota menjadi tumpang
tindih, anggota birokrasi memiliki waktu luang yang banyak untuk bersantai, sehingga tujuan
dari birokrasi pemerintahan sulit untuk diwujudkan. Oleh karena itu, sebaiknya setiap instansi
pemerintah harus memiliki struktur organisasi maupun birokrasi yang tepat, memiliki jumlah
anggota yang benar-benar dibutuhkan untuk menyelenggarakan pemerintahan yang disertai
dengan fungsi dan tugas yang jelas dan tidak tumpang tindih.

Anda mungkin juga menyukai