Anda di halaman 1dari 73

Refrat

GANGGUAN SISTEM IMUN PADA PENDERITA DIABETES MELITUS


Oleh:

Ni Nyoman Widyastuti L

G99152071

Chrisanty Azzahra Y

G99152072

Pembimbing
Dr. dr. Sugiarto, Sp.PD., FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2016

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Referensi Artikel Ilmu Penyakit Dalam dengan judul:


GANGGUAN SISTEM IMUN PADA PENDERITA DIABETES MELITUS

Oleh:
Ni Nyoman Widyastuti L
Chrisanty Azzahra Y

G99152071
G99152072

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal:

Dr. dr. Sugiarto, Sp.PD., FINASIM

BAB I
PENDAHULUAN

Diabetes Melitus merupakan suatu sindroma klinis kelainan metabolik,


ditandai oleh adanya hiperglikemik yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek
kerja insulin atau keduanya.1
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global
diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366
juta tahun 2030. WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia
dalam hal jumlah penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada
tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada tahun
2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya
50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka menderita
diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara teratur. 2
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2004, diabetes
diklasifikasikan dalam Standards of Medical Care in Diabetes berdasarkan
pengetahuan mutakhir mengenai patogenesis sindrom diabetes dan toleransi glukosa.
Klasifikasi ini telah disahkan oleh WHO dan telah dipakai di seluruh dunia. Empat
klasifikasi DM : Diabetes Melitus tipe 1, Diabetes Melitus tipe 2, Diabetes melitus
gestasional (diabetes kehamilan), dan Diabetes melitus tipe khusus lainnya.DM tipe 2
sering disebut sebagai non-insulin dependent diabetes melitus (NIDDM) atau adult
onset diabetes melitus (AODM). DM tipe 2 lebih sering terjadi pada middle-aged dan
orang yang lebih tua, dengan puncak onset terjadi pada usia 60 tahun. DM tipe 2 lebih
sering terjadi daripada DM tipe 1, yakni 90% - 95% dari kasus diabetes melitus.
Diabetes Melitus tipe 1 lebih diakibatkan oleh karena berkurangnya sekresi insulin
akibat kerusakan sel -pankreas yang didasari proses autoimun. Sedangkan Diabetes
Melitus tipe 2 (NIDDM) disebabkan oleh resistensi insulin, sehingga penggunaan insulin oleh
tubuh menjadi tidak efektif.

Kondisi hiperglikemia pada pasien DM menyebabkan terjadinya gangguan


mekanisme sistem imunoregulasi. Hal ini menyebabkan menurunnya daya
kemotaksis, fagositosis dan kemampuan bakterisidal sel leukosit sehingga tubuh lebih
rentan terkena infeksiPada penderita diabetes melitus kemampuan tubuh secara

imunologis berkurang, sehingga pada pasien diabetes melitus rentan terjadi kerusakan
jaringan akibat inflamasi atau infeksi.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus sebagai suatu
kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah
faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi
insulin. 4

2.2 Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA),
2005, yaitu1 :
1

Diabetes Melitus Tipe 1


DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat
kerusakan dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering kencing
(terutama malam hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita
DM tipe ini berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda
dan memerlukan insulin seumur hidup.

Diabetes Melitus Tipe 2


DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar
insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk
metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam darah
tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II
ini dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah usia 30
tahun.

3. Diabetes Melitus Tipe lain


a. Defek genetik pada fungsi sel beta
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Imunologi
4. DM Gestasional

KLASIFIKASI DIABETES MELITUS PERKENI


1998

DM TIPE 1:

DM TIPE LAIN :

DM TIPE 2 :
Defisiensi

insulin absolut

relatif :

Maturity onset diabetes of the young

akibat destuksi

1, defek sekresi

Mutasi mitokondria DNA 3243 dan lain-lain

sel beta,

insulin lebih

2. Penyakit eksokrin pankreas :Pankreatitis

karena:

dominan daripada

Pankreatektomy

1.autoimun

resistensi insulin.

3.Endokrinopati : akromegali, cushing,

2. idiopatik

2. resistensi insulin

hipertiroidisme

lebih dominan

4.akibat obat : glukokortikoid, hipertiroidisme

daripada defek

5.Akibat virus: CMV, Rubella

sekresi insulin.

6.Imunologi: antibodi anti insulin

insulin

1. Defek genetik fungsi sel beta :

Defisiensi

7. Sindrom genetik lain: sdr. Down, Klinefelter

Prevalensi
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global

diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366
juta tahun 2030. WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia
dalam hal jumlah penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada
tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada
tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi,
hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka menderita
diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara teratur.2
4

Patogenesis

DM
GESTASIONAL

Diabetes mellitus tipe 1


Pada saat diabetes mellitus tergantung insulin muncul, sebagian besar sel
pankreas sudah rusak. Proses perusakan ini hampir pasti karena proses autoimun,
meskipun rinciannya masih samar. Ikhtisar sementara urutan patogenetiknya adalah:
pertama, harus ada kerentanan genetik terhadap penyakit ini. Kedua, keadaan
lingkungan seperti infeksi virus diyakini merupakan satu mekanisme pemicu, tetapi
agen noninfeksius juga dapat terlibat. Tahap ketiga adalah insulitis, sel yang
menginfiltrasi sel pulau adalah monosit/makrofag dan limfosit T teraktivasi. Tahap
keempat adalah perubahan sel beta sehingga dikenal sebagai sel asing. Tahap kelima
adalah perkembangan respon imun. Karena sel pulau sekarang dianggap sebagai sel
asing, terbentuk antibodi sitotoksik dan bekerja sama dengan mekanisme imun
seluler. Hasil akhirnya adalah perusakan sel beta dan penampakan diabetes.5
Diabetes Melitus Tipe 2
Pasien DM tipe 2 mempunyai dua defek fisiologik : sekresi insulin abnormal
dan resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran (target). Abnormalitas yang
utama tidak diketahui. Secara deskriptif, tiga fase dapat dikenali pada urutan klinis
yang biasa. Pertama, glukosa plasma tetap normal walaupun terlihat resistensi insulin
karena kadar insulin meningkat. Pada fase kedua, resistensi insulin cenderung
memburuk sehingga meskipun konsentrasi insulin meningkat, tampak intoleransi
glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah makan. Pada fase ketiga, resistensi

insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin menurun, menyebabkan hiperglikemia


puasa dan diabetes yang nyata.5

2.5

Manifestasi Klinik
Berdasarkan keluhan klinik, biasanya pasien Diabetes Melitus akan

mengeluhkan apa yang disebut 4P : polifagi dengan penurunan berat badan, Polidipsi
dengan poliuri, juga keluhan tambahan lain seperti sering kesemutan, rasa baal dan
gatal di kulit 1.
Kriteria diagnostik :

Gejala klasik DM ditambah Gula Darah Sewaktu 200 mg/dl. Gula darah sewaktu
merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memerhatikan waktu
makan terakhir, atau
Kadar Gula Darah Puasa 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak mendapat
kalori tambahan sedikit nya 8 jam, atau
Kadar gula darah 2 jam pada TTGO 200 mg/dl. TTGO dilakukan dengan
standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa
anhidrus yang dilarutkan dalam air.8

Gejala tidak klasik ditambah hasil pemeriksaan gula darah abnormal minimal 2x.3

Dengan cara pelaksanaan TTGO berdasarkan WHO 94

Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.

Berpuasa paling sediikt 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum
air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.

Diperiksa kadar glukosa darah puasa

Diberikan glukosa 75 gram (dewasa) atau 1,75 g/kg BB (anak-anak) , dilarutkan


dalam 250 ml air dan diminum dalam 5 menit.

Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam


setelah minum larutan glukosa selesai

Diperiksa kadar gula darah 2 jam setelah beban glukosa

Selama proses pemeriksaan tidak boleh merokok dan tetap istirahat

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat
digolongkan ke dalamkelompok TGT (toleransi glukosa terganggu) atau GDPT
(glukosa darah puasa terganggu) dari hasil yang diperoleh

TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah pembenanan antara 140-199 mg/dl

GDPT : glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dl

F. HUBUNGAN IMUNITAS DENGAN PENDERITA DM

1. DM TIPE 1
Sebagian besar kasus Diabetes Melitus tipe 1 terbukti
disebabkan karena destruksi sel beta yang dimediasi
autoimun

(Tipe

1A),

sekitar

10%-20%

kasus

tidak

ditemukan adanya antibody (antibody negatif) sehingga


disebut sebagai DT1 idiopatik (Tipe 1B).
Diabetes melitus tipe 1 (T1D) ditandai dengan penyakit yang kronis,
progresif serangan autoimun terhadap antigen spesifik pankreas
mempengaruhi penghancuran B-sel yang memproduksi insulin. Dalam
T1D pasien, beredar IgG sel memori B spesifik untuk IL-2. (Perol)
Dasar dari abnormalitas imun pada DM tipe 1 adalah
kegagalan dari self-tolerance sel T. Kegagalan toleransi ini
dapat disebabkan oleh defek delesi klonal pada sel T selfreactive pada timus, defek pada fungsi regulator atau
resistensi sel T efektor terhadap supresi sel regulator. Hal
hal tersebut membuat sel T autoreaktif bertahan dan siap
untuk berespon terhadap self-antigens. Aktivasi awal dari
sel tersebut terjadi pada nodus limfe peripankreatik
sebagai respon terhadap antigen yang dilepaskan dari sel
Pulau Langerhans yang rusak. Sel T yang teraktivasi
bergerak ke pancreas merusak sel . Populasi sel T yang
dapat menyebabkan kerusakan tersebut adalah TH1 cells
(merusak dengan mensekresi sitokin = including IFN- and
TNF) dan CD8+ CTLs.
Sel islet pankreas yang menjadi target autoimun antara
lain adalah Islet cell autoantibodies (ICA) yang merupakan
suatu komposisi dari beberapa antibodi yang spesifik pada
molekul sel islet pankreas seperti insulin, glutamic acid

decarboxylase

(GAD),

ICA-512/IA-2

(homolog

tirosin-

fosfatase), dan phogrin (protein granul yang mensekresi


insulin). Sehingga antigen tersebut merupakan marker dari
proses autoimun DM tipe 1.
Terdapat hubungan genteik DM tipe 1 dengan genetik
seperti produksi gen HLA (Human Leucosyt Antigen) . HLA
kelas I sebagai penyebab diabetes karena meningkat pada penderita
diabetes. alel HLA kelas II mempengaruhi kerentanan IDDM
sebagai berikut: a). susunan dimer kelas II yang dikode oleh
beberapa kompleks HLA setiap individu, bervariasi afinitasnya
untuk peptida tertentu yang dapat menimbulkan autoimun ke
sel beta. HLA III terdapat pada Diabetes Melitus Tipe 1.

dimana

gen

HLA

III

memproduksi

TNF

yang

mempengaruhi respon imun dan mendestruksi sel B


pankreas secara bertahap
Dengan demikian, dalam model ini produk-produk dari alel HLA tertentu
yang berkaitan dengan DM tipe 1 karena mereka mengikat dan
menyajikan peptida khusus untuk merangsang respon imun terhadap sel
beta pankreas. Antigen yang terlibat dalam tipe 1 DM meliputi antigen
64kD, asam glutamat dekarboksilase (GAD) dan antigen sitoplasma sel
islet. Sel Islet tertentu pada baris sel beta memproduksi antibodi IgG yang
terikat ke antigen sitoplasma sel islet yang ditemukan. Anehnya semua
monoklonal antibodi yang diproduksi oleh baris, dikenali GAD target
autoantigen. Dengan demikian, GAD mungkin target antigen utama pada
DM tipe 1, sehingga antibodi untuk GAD dijadikan penanda sensitif
untuk perkembangan diabetes. Antibodi juga bereaksi dengan insulin
dapat juga dideteksi dalam klinis pada periode prediabetik yang laten,
tetapi autoantibodi insulin memiliki sensitivitas lebih rendah sebagai
penanda untuk perkembanagn diabetes dibandingkan antibodi GAD atau

ICA.. Pada penelitian dengan model hewan DM tipe 1 menggunakan


mikroskopis elektron untuk mengamati pankreas menunjukkan bahwa
makrofag adalah sel pertama yang menyerang islets. Dalam penelitian in
vitro dan studi pada perfusi pankreas menunjukkan bahwa Interleukin 1
(IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF-), dua sitokin terutama
diproduksi oleh makrofag, menyebabkan perubahan struktural sel beta
pankreas dan menekan kapasitas sel beta pankreas untuk melepaskan
insulin. Namun, tampaknya bahwa IL-1 dan TNF tidak berkontribusi
dengan aktivitas sitotoksik makrofag. Interferon gamma merupakan
aktivator kuat untuk makrofag dalam mensintesis nitrat oksida. Pada saat
ini, ada bukti yang menunjukkan bahwa aktivitas sintesis Nitrat oksida
terlibat dalam perkembangan diabetes DM tipe 1, dimana data ini
menunjukkan untuk pertama kalinya, bahwa nitrat oksida dapat menjadi
faktor patogen dalam autoimunitas dan disarankan kemungkinan adanya
kelas baru pada agen immunofarmakologi, dimana mampu memodulasi
sekresi nitrat oksida untuk dapat diuji dalam pencegahan perkembangan
DM tipe 1. Satu-satunya yang jelas bahwa faktor lingkungan
meningkatkan risiko untuk perkembangan diabetes tipe 1 adalah infeksi
rubella congenital, dimana sampai 20% dari anak-anak tersebut di
kemudian hari mengembangkan diabetes. Pada saat terjadi kekurangan
insulin akibat kerusakan dari sel beta di pankreas, maka hiperglikemia
berkembang

sebagai

hasil

dari

tiga

proses:

(1)

peningkatan

glukoneogenesis (pembuatan glukosa dari asam amino dan gliserol), (2)


glikogenolisis dipercepat (pemecahan glukosa disimpan) dan (3)
pemanfaatan glukosa oleh perifer jaringan.

2. DIABETES MELITUS TIPE 2

Resistensi insulin dan sekresi insulin yang tidak normal menjadi


kunci dari berkembangnya DM tipe 2. Obesitas, terutama tipe
sentral, sering ditemukan pada penderita DM tipe 2. Pada tahap
awal, toleransi glukosa hampir normal karena sel-sel B pankreas
mengkompensasi dengan meningkatkan produksi insulin. Ketika
resistensi insulin dan hiperinsulinemia kompensatorik terus terjadi,
pankreas tidak mampu mempertahankan keadaan hiperinsulinemia
tersebut. Akibatnya, terjadi gangguan toleransi glukosa, yang
ditandai dengan peningkatan glukosa darah setelah makan. Setelah
itu, penurunan sekresi insulin dan peningkatan produksi glukosa
hati berlanjut pada diabetes berat dengan hiperglikemia saat puasa
dan kegagalan sel beta.
Berdasarkan studi terbaru dikatakan bahwa dalam timbulnya
DM tipe 2 terdapat pengaruh faktor genetik yaitu transcription
factor 7like-2 (TCF7L2) pada kromosom 10q yang mengkode faktor
transkripsi pada WNT signaling pathway. Berbeda dengan DM tipe 1
penyakit ini tidak berhubungan dengan gen yang mengatur
toleransi dan regulasi imun seperti HLA, CTLA4, dll.
Ada 4 karakteristik penyebab DM tipe 2, yaitu resistensi insulin,
berkurangnya sekresi insulin, dan meningkatnya produksi glukosa
hati, dan metabolisme lemak yang abnormal.
A Resistensi Insulin
Resistensi insulin adalah resistensi terhadap efek insulin pada
uptake, metabolisme, dan penyimpanan glukosa. Hal tersebut
dapat terjadi akibat defek genetik dan obesitas. Menurunnya

kemampuan insulin untuk berfungsi dengan efektif pada


jaringan perifer merupakan gambaran DM tipe 2.
Mekanisme

resistensi

insulin

umumnya

disebabkan

oleh

gangguan pascareseptor insulin. Polimorfisme pada IRS-1


(Gambar B-1) berhubungan dengan intoleransi glukosa dan
meningkatkan kemungkinan bahwa polimorfisme dari berbagai
molekul pascareseptor dapat berkombinasi dan memunculkan

keadaan yang resisten terhadap insulin. Resistensi insulin


terjadi

akibat

gangguan

mengurangi translokasi

persinyalan

PI-3-kinase

yang

glucose transporter (GLUT) 4 ke

membran plasma.
Gambar B-1 : mekanisme kerja insulin
Ada 3 hal yang berperan dalam resistensi insulin terkait
obesitas, yaitu:
1 Asam lemak bebas (free fatty acids/FFA)

2 Peningkatan

trigliserida

intraselular

dan

produk

metabolisme asam lemak menurunkan efek insulin yang


berlanjut pada resistensi insulin.

3 Adipokin
4 Leptin dan adiponektin meningkatkan kepekaan insulin,
sedangkan resistin meningkatkan resistensi insulin.
5 PPAR (peroxisome proliferator-activated receptor gamma)
dan TZD (thiazolidinediones)
PPAR merupakan reseptor intrasel yang meningkatkan
kepekaan insulin. TZD merupakan antioksidan (antidiabetik)
yang mampu berikatan dengan PPAR sehingga menurunkan
resistensi insulin.
Gambar B-2. Hubungan Obesitas dengan Resistensi Insulin

Berikut ini merupakan table berisi hal hal yang dapat


menurunkan respon terhadap insulin :
Factors Reducing Response to Insulin
Prereceptor inhibitors: Insulin antibodies
Receptor inhibitors:
Insulin receptor autoantibodies
"Down-regulation" of receptors by hyperinsulinism:
Primary hyperinsulinism (B cell adenoma)
Hyperinsulinism, secondary to a postreceptor defect (obesity,
Cushing's

syndrome,

acromegaly,

pregnancy)

or

prolonged

hyperglycemia (diabetes mellitus, post-glucose tolerance test)


Postreceptor influences:
Poor responsiveness of principal target organs: obesity, hepatic
disease, muscle inactivity
Hormonal

excess:

contraceptive

glucocorticoids,

agents,

growth

progesterone,

human

somatomammotropin, catecholamines, thyroxine


B Gangguan Sekresi Insulin

hormone,

oral

chorionic

Sekresi
insulin dan sensitivitasnya saling berhubungan. Pada DM tipe
2, sekresi insulin meningkat sebagai respon terhadap resistensi
insulin untuk memperta-hankan toleransi glukosa. Namun,
lama kelamaan sel beta kelelahan mem-produksi insulin
sehingga terjadi kegagalan sel Gambar B-3).
Gambar B-3. Progres Timbulnya DM
Kegagalan sel ini tidak terjadi pada semua penderita DM
tipe 2 sehingga diduga ada pengaruh faktor intrinsik berupa
faktor genetik yaitu gen diabetogenik TCF7L2. 2 Polipeptida
amiloid pada pulau Langerhans (amilin) disekresikan oleh sel
beta dan membentuk deposit fibriler amiloid pada pankreas
penderita DM tipe 2 jangka panjang. Diduga bahwa amiloid ini

bersifat

sitotoksik

terhadap

sel

sehingga

massa

sel

berkurang. Dapat disimpulkan bahwa disfungsi yang terjadi


dapat

bersifat

kualitatif

(sel

beta

tidak

mampu

mempertahankan hiperinsulinemia) atau kuantitatif (populasi


sel beta berkurang). Kedua hal tersebut dapat disebabkan oleh
toksisitas glukosa dan lipotoksisitas.
C Peningkatan Produksi Glukosa Hati
Ketika tubuh semakin resisten terhadap insulin, kadar gula
darah yang tinggi akan memaksa tubuh mensekresikan insulin
secara

terus

menerus

ke

dalam

sirkulasi

darah

(hiperinsulinemia). Pada keadaan normal, seharusnya hal ini


dapat membuat glukosa dikonversi menjadi glikogen dan
kolesterol. Akan tetapi, pada pasien DM yang resisten terhadap
insulin, hal ini tidak terjadi dan sebaliknya ketiadaan respon
terhadap

insulin

mengakibatkan

hati

terus

menerus

memproduksi glukosa (glukoneogenesis). Hal ini pada akhirnya


akan berujung pada terjadinya hiperglikemia. Produksi gula hati
baru akan terus meningkat akibat terjadinya ketidaknormalan
sekresi insulin dan munculnya resistensi insulin di otot rangka.
D Abnormalitas Metabolik
1 Abnormalitas metabolisme otot dan lemak
Resistensi

insulin

bersifat

relatif

karena

hiperinsulinemia dapat menormalkan kadar gula darah.


Akibat

resistensi

insulin,

penggunaan

glukosa

oleh

jaringan sensitif insulin berkurang, sedangkan hepatic


glucose

output

hiperglikemia.

bertambah

sehingga

menyebabkan

Akumulasi

lipid

dalam

serat

otot

rangka,

yang

mengganggu fosforilasi oksidatif dan penurunan produksi


ATP mitokondria yang dirangsang insulin, menghasilkan
reactive oxygen species (ROS), seperti lipid peroksida.
Peningkatan massa adiposit meningkatkan kadar asam
lemak bebas dan produk adiposit lainnya. Selain mengatur
berat badan, nafsu makan, dan energy expenditure,
adipokin

mengatur

sensitivitas

insulin.

Peningkatan

produksi asam lemak bebas dan beberapa adipokin


menyebabkan resistensi insulin pada otot rangka dan hati.
Misalnya, asam lemak bebas mengurangi penggunaan
glukosa pada otot rangka, merangsang produksi glukosa
dari hati, dan mengganggu fungsi sel beta.
Di sisi lain, produksi adiponektin berkurang pada
obesitas dan menyebabkan resistensi insulin hepatik.
Adiponektin memegang peranan penting dalam resistensi
insulin yang dihubungkan dengan struktur molekul dan
mekanisme

kerjanya

yaitu

menurunkan

kandungan

trigliserida, mengaktivasi PPAR- dan AMP-Kinase. Kadar


adponektin yang rendah merupakan salah satu faktor
risiko dan prediktor terjadinya diabetes melitus tipe 2.
Selain

itu,

beberapa

produk

adiposit

dan

adipokin

merangsang inflamasi sehingga terjadi peningkatan IL-6


dan C-reactive protein pada DM tipe 2.
2 Peningkatan produksi glukosa dan lipid hati
Pada

DM

menggambarkan

tipe

2,

resistensi

kegagalan

insulin

pada

hiperinsulinemia

hati
untuk

menekan glukoneogenesis sehingga terjadi hiperglikemia

saat puasa dan penurunan penyimpanan glikogen hati


setelah makan.1 Peningkatan produksi glukosa hati terjadi
pada tahap awal diabetes, setelah terjadi abnormalitas
sekresi insulin dan resistensi insulin pada otot rangka.
Akibatnya, banyak asam lemak bebas keluar dari adiposit
sehingga terjadi peningkatan sintesis lipid (VLDL dan
trigliserida) dalam hepatosit. Penyimpanan lipid (steatosis)
dalam hati dapat berlanjut pada penyakit perlemakan hati
nonalkoholik dan abnormalitas fungsi hati. Selain itu,
keadaan

tersebut

penderita DM

menyebabkan

dislipidemia

pada

tipe 2, yaitu peningkatan trigliserida,

peningkatan LDL, dan penurunan HDL.

Pada penderita DM, kemampuan mobilisasi dan chemotaxis dari PMN


menurun. Demikian pula halnya dengan proses fagositosis PMN terhadap
bakteri, juga terjadi penurunan pada DM Aktivitas bakterisid dari PMN
pada penderita DM menurun. Disamping mundurnya fungsi PMN seperti
disebutkan diatas, sel mononuklearpun, monosit misalnya, juga
mengalami kelainan pada penderita DM. Secara kuantitatif, jumlah
monosit pada penderita DM dilaporkan mengalami penurunan. Demikian
pula kermampuam deteksinya terhadap membran mikroorganisme juga
menurun, diduga akibat penurunan sensistivitas reseptor yang ada pada
monosit tersebut, atau karena reseptornya sendiri yang menjadi
berkurang. Namun, apapun penyebabnya, daya fagositosis dari monosit
pada

DM

berkurang,

seperti

juga

halnya

daya

adhesi

serta

khemotaksisnya. Belum dapat dibuktikan menurunnya daya adhesi


monosit terhadap bakteri disebabkan oleh peningkatan daya adhesinya
terhadap fibronectin yang memang terjadi pada penderita DM.

Dilaporkan pula bahwa terjadi peningkatan aktivitas metabolisme dari


monosit pada DM, yang memberi dampak pada peningkatan produksi
superoksid, peningkatan aktivitas hexose monophosphate shunt. Pada
penderita DM mengungkapkan pula adanya peningkatan sekresi mediator
inflamasi seperti interleukin-1, TNF-, dan prostaglandin E2. Keadaan
hiperglikemia

akan

meningkatkan

produksi

superoksida

pada

mitochondria yang berpotensi mengaktivasi UCP-2 ( uncoupling protein2 ) yang memediasi pemborosan ATP menjadi bentuk panas. Hal inilah
yang berakibat menurunnya ATP/ADP ratio, sehingga proses glucose
stimulated

insulin

secretion

menurun).

Peningkatan

superoksida

mitokhondria, aktivasi UCP-2 dan penggunaan ATP Pada binatang


percobaan yang memiliki sifat / kecenderungan diabetes terbukti bahwa
keadaan hiperglikemia kronis menyebabkan mundurnya kemampuan
proliferasi dan kemudian kematian sel beta ( beta cell apoptosis )
Peningkatan saturated fatty acid ( mis. asam palmitat ) dalam serum
berdampak sama dengan hiperglikemia yakni memicu disfungsi sel beta
dan apoptosis. kerusakan baru terjadi apabila terjadi peningkatan kadar
asam lemak secara bersamaan dengan glukosa darah yang secara
sinergistik memberi dampak buruk, disebut glucolipotoxicity Disamping
disfungsi dan kerusakan sel beta, hiperglikemia kronis juga menyebabkan
abnormalitas pada hampir seluruh jaringan tubuh , terutama pada insulin
target tissue berawal dari kelainan mikro maupun makrovaskuler.
Contohnya, terjadi inefektivitas dialisis peritoneum jangka panjang
karena menggunakan dialisat glukosa konsentrasi tinggi ( glucotoxicity )
Pada lapisan otot pembuluh darah ( VSMCs = vascular smooth muscle
cells ), pengaruh hiperglikemia justru menghilangkan daya apoptosis
jaringan terhadap proliferasi tunica muscularis, sehingga memicu proses
aterogenesis atau komplikasi makrovaskular Produksi superoksida dari
mitochondria juga mengaktivasi faktor inflamasi COX-2 dari monosit

yang memicu proses aterogenesis Mekanisme kerusakan jaringan pada


diabetes adalah sebagai berikut Polyol pathway Bila alur ini merupakan
alternatif yang terjadi pada proses glikolisis yang terhalang, akan
berakibat stress oxidative didalam sel. Hal ini disebabkan karena proses
reduksi glukosa menjadi sorbitol banyak mengkonsumsi NADPH, unsur
penting untuk pembentukan antioksidan gluthathone didalam sel.
Pembentukan AGE precursors Pembentukan senyawa ini didalam sel
yang kelebihan glukosa akan mendatangkan kerusakan terhadap sel. Ini
dapat terjadi akibat modifikasi yang ditimbulkan pada protein di dalam
sel, termasuk protein penting yang berfungsi pengatur gene transcription.
AGE precursors dapat pula memodifikasi molekul matrix setelah
berdifusi keluar sel, sehingga menimbulkan perubahan sinyal antara
matrix dengan sel. Atau bisa juga setelah keluar sel secara difusi,
memodifikasi protein yang berada dalam sirkulasi darah, kemudian
protein ini berikatan dengan AGE receptors sehingga ikatan ini
mengahsilkan berbagai sitokin inflamasi dan growth factors penyebab
kerusakan vaskuler. Aktivasi PKC Peningkatan kadar glukosa intrasel
menyebabkan peningkatan sisntesis diacyl glycerol ( DAG ), yang
menyebabkan ekspresi PKC dalam sel juga meningkat yang pada
gilirannya mengubah berbagai macam ekspresi gen yang secara
keseluruhan merusak pembuluh darah. Hexosamine pathway Alur
metabolisme ini terjadi uga diawali oleh tingginya kadar glukosa intra sel.
Keadaan ini menyebabkan sebagian dari pada glukosa tersebut tidak
mengikuti alur normal glikolisis, tapi beberapa bagian fructose-6phosphate berubah menjadi glucosamine-6-phosphate, kemudian menjadi
uridine diphosphate ( UDP ) N-acetyl glucosamine dengan bantuan enzim
GFAT ( glutamine fructose-6 phosphate amidotransferase ). N-acetyl
glucosamine merupakan unsur yang berperan dalam perubahan ekspresi
gen melalui modifikasi protein yang diakibatkannya, diantaranya

peningkatan ekspresi dari PAI-1 dan transforming growth factor-1


( TGF- 1 ), yang berdampak buruk terhadap pembuluh darah. High
glucose induced cyclooxygenase-2 ( COX-2 ) expression ( 2 7 ) Enzim
cyclooxygenase-2 ( COX-2 ) dikenal berperan dalam proses inflamasi di
jaringan. Dia adalah katalisator perubahan asam arakhidonat menjadi
prostaglandin yang berperan penting dalam proses inflamasi. Ekspresi
COX-2 mRNA dari monosit mengalami peningkatan dalam suasana
hiperglikemia, akibat meningkatnya proses transkripsi. Terdapat bukti
peningkatan COX-2 pada jaringan mesangial dan juga endotelial disertai
penurunan NO, akibat peningkatan ROS dari mitokhondria. Semua jalur
mekanisme pengrusakan diatas, diawali oleh overproduksi superoxide
oleh mitochondria. Mekanisme hulu ini dikenal sebagai single unifying
mechanism Oxidant yang dibentuk berlebihan akan mengaktivasi PARP
( poly ADP ribose polymerase ). Aktivasi PARP akan berakibat inhibisi
terhadap GAPDH,

A DIAGNOSIS

Kriteria diagnosis untuk diabetes melitus tipe 1 hampir sama sama dengan
diabetes mellitus tipe 2, yaitu ;
1

Gejala klasik diabetes (poliuria, polidipsi, polifagi, dan penurunan berat badan
tanpa sebab yang jelas) ditambah dengan konsentrasi glukosa darah sewaktu
>200 mg/dl (11,1 mmol/l)

Gula darah puasa > 126 mg/dl (7,0 mmol)

Gula darah 2 jam post prandial > 200 mg/dl (11,1 mmol/l) selama oral glucose
tolerance test (OGTT). Tes dilakukan sesuai prosedur WHO, yaitu
menggunakan glukosa sebanyak 75 g glukosa anhidrat dilarutkan dalam air.

Hb A1C > 6,5%

Oleh karena kriteria yang digunakan sama, penting untuk


mengetahui perbedaan karakteristik diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2 ,
yaitu 7:
Karakteristik

DM tipe 1

DM tipe 2

N
o
Onset usia
Berhubungan dengan
obesitas
Kecenderungan
terjadi ketoasidosis
yang membutuhkan
insulin
sebagai
control dan survive
Kadar insulin dalam
plasma

Umumnya <
tahun
Tidak

30

Ya

Sangat
rendah
mungkin
sampai
tidak terdeteksi

Umumnya > 30
tahun
Ya
Tidak

Variatif ; dapat
rendah, normal,
atau meningkat,
tergantung pada
derajat resistensi

Berhubungan dengan
antigen
HLA-D
spesifik
Antibodi sel islet
pada diagnosis
Patologi sel islet

insulin dan defek


sekresi insulin
Tidak

Ya
Ya

Tidak

Insulitis, kehilangan
sel
beta
secara
selektif

Kecenderungan
terjadi
komplikasi
(retinopati, nefropati,
neuropati,
aterosklerosis, dan
penyakit
cardiovascular)
Respon terhadap obat
oral
antihiperglikemia

Ya

Lebih
kecil,
normal sel islet ;
umumnya
deposisi amyloid
Ya

Tidak

B MANAJEMEN DAN TERAPI

Ya

Manajemen pasien Diabetes Mellitus (DM) tipe 1 ini dilakukan secara


multidisipliner, yaitu pendekatan oleh dokter, perawat, dan ahli gizi.
A Diet
Langkah pertama untuk mengatur diabetes mellitus tipe 1 adalah
kontrol diet. Menurut ADA (American diabetes association), terapi diet
adalah berdsarkan penilaian status gizi dan tujuan dari terapi itu sendiri. Diet
harus dibuat sesuai dengan kebiasaan makan dan gaya hidup pasien.
1

Manajemen diet termasuk edukasi tentang waktu, besarnya, banyaknya,


serta komposisi makanan yang dimakan untuk menghindari terjadinya
hipoglikemia

atau

hiperglikemia

setelah

makan.

Pasien

yang

menggunakan insulin harus mendapat diet yang komprehensif termasuk

kebutuhan kalori sehari-hari; kebutuhan karbohidrat, lemak, dan protein;


dan pembagian kalori antara makan dan snack.
2

Distribusi kalori sangat penting pada pasien DM tipe 1. Pembagiaannya


didasarkan pada kebutuhan kalori pasien selama satu hari. Jumlah yang
disarankan adalah 20% untuk makan pagi, 35% untuk makan siang, 30%
untuk makan malam, dan 15% untuk snack sore.

Kebutuhan protein minimal adalah 0,9 g/kg/hari

Kebutuhan lemak dibatasi sampai 30% atau kurang dari total kalori dan
rendah kolesterol

Pasien disarankan mengkonsumsi sediaan sukrosa dan meningkatkan


konsumsi sayur. Snack diberikan di antara makan pagi-siang dan makan
siang-malam untuk mencegah hipoglikemia.

B Aktivitas
Olahraga sangat penting sebagai manajemen pasien diabetes. Pasien
harus dimotivasi untuk olahraga secara teratur. Edukasi terhadap pasien
tentang efek olahraga terhapa kadar gula darah. Olahraga terlalu berlebih
selama 30 menit dapat menimbulkan hipoglikemia pada pasien. Untuk
menghindarinya maka pemberian dosis insulin dikurangi 10-20% atau dengan
pemberian snack tambahan. Pasien juga harus memperhatikan kebutuhan
cairan selama olahraga.
C

Pasien DM tipe 1 membutuhkan terapi insulin untuk mengontrol


hiperglikemia serta memelihara kadar elektrolit dan cairan dalam serum.

D Terapi insulin awal pada pasien dewasa: dosis harian awal dihitung
berdasarkan berat badan pasien. Dosis diberikan terbagi, setengah dosis
diberikan sebelum makan pagi, seperempat dosis diberikan sebelum makan

malam, dan seperempat lagi diberikan sebelum tidur. Setelah menentukan


dosis awal, pengaturan jumlah, tipe, dan waktu pemberian tergantung pada
kadar

glukosa

darah.

Pengaturan

dosis

insulin

bertujuan

untuk

mempertahankan glukosa darah sebelum makan antara 80-150 mg/dl. Dosis


insulin dinaikkan 10% setiap waktu, dan efeknya dievaluasi setelah tiga hari.
Pemberian insulin yang berlebih dapat menyebabkan hipoglikemia.
E Terapi insulin awal pada anak-anak
1

Anak-anak dengan hiperglikemia sedang tanpa ketonuria atau asidosis


diawali dengan dosis tunggal insulinkerja sedang per hari secara subkutan
sebanyak 0,3-0,5 unit/kg

Anak-anak dengan hiperglikemia dan ketonuria tetapi tanpa asidosis atau


dehidrasi dapat diberikan dosis awal insulin kerja sedang sebanyak 0,5-0,7
unit/kg dan diberikan secara subkutan sebanyak 0,1 unit/kg secara teratur
dalam interval 4-6 jam.

F Regimen insulin untuk Diabetes mellitus tipe 1 7


Regimen diberikan dari dua kali per hari dengan dosis kombinasi
(misal insulin kerja cepat dan insulin kerja sedang) sampai lebih fisiologis
regimen bolus-basal menggunakan injeksi multipel harian (misal dosis tunggal
insulin kerja panjang untuk basal dan dosis insulin kerja cepat untuk post
prandial, sebagai contoh humulin dan novolin) atau dengan menggunakan
syringe pump. Pada syringe pump digunkan insulin kerja cepat. Insulin
diberikan secara bolus dengan dosis yang ditentukan melalui monitoring
glukosa darah preprandial (sebelum makan). Metode ini lebih baik dalam
mengkontrol dibandingkan injeksi multiple tetapi risiko hipoglikemia lebih
banyak terjadi oleh karena itu diperlukan juga monitoring ketat glukosa darah
setelah pemberian terapi. Pengobatan intensif dengan monitoring glukosa

darah empat kali atau lebih sehari dan tiga kali atau lebih injeksi insulin atau
dilanjutkan dengan infus, ternyata lebih efektif dibandingkan dengan
pengobatan konvensional (1-2 kali injeksi insulin dengan atau tanpa
monitoring). Akan tetapi terapi intensif lebih sering menimbulkan
hipoglikemia dan kenaikan berat badan. Terapi intensif umumnya efektif
diberikan pada pasien yang dapat mengontrol kesehatan dirinya sendiri
terhadap penyakit ini.
Secara umum, kebanyakan pasien DM tipe 1 dapat memulai dosis
terapi insulin 0,2-0,8 unit/kgBB/hari. Pada pasien dengan obesitas
membutuhkan dosis awal yang lebih tinggi.
Terapi fisiologis yaitu dengan insulin kerja sedang atau kerja panjang
bertujuan untuk mempertahankan kebutuhan glukosa darah basal serta
pemberian insulin kerja cepat atau singkat untuk mempertahankan glukosa
darah postprandial. Terapi ini lebih efektif bila dosis insulin kerja cepat atau
singkat dengan enggunakan sliding scale. Dosis dapat diberikan sebanyak 1-2
unit insulin setiap kenaikan atau penrunan 50 mg/dl (2,7 mmol.l) dari target
glukosa. Terapi ini lebih menguntungkan karena pasien dapat memepercepat
atau mengatur waktu makan dan menjaga keadaan normoglikemia. Belum ada
regimen insulin lain terbukti lebih efektif. Terapi ini direkomendasikan
sebagai inisial terapi DM tipe 1, setelah itu terapi disesuaikan dengan respon
fisiologis tubuh pasien terhadap terapi awal dan tergantung kepada dokter
yang merawat.

Onset, Peak, and Duration of Action of Human Insulin


Preparations*
Insulin Preparation
Onset of
Peak Action
Duration of
Action
Action
Rapid-acting
Lispro, aspart, glulisine

515 min

4575 min

35 h

3060 min

24 h

68 h

About 2 h

412 h

1826 h

34 h

812 h

1218 h

48 h

1016 h

1620 h

Glargine

12 h

No peak

24 h

Detemir

12 h

No peak

1424 h

70% NPH/30% R

3060 min

Dual (NPH & R) 1016 h

50% NPH/50% R

3060 min

Dual (NPH & R) 1016 h

75% NPL/25% lispro

515 min

Dual (NPL &


lispro)

1016 h

70% NPA/30% aspart

515 min

Dual (NPA &


aspart)

1016 h

Short-acting
Regular (R)
Intermediate-acting
NPH

Long-acting

Premixed

R = regular; NPH = neutral protamine Hagedorn; NPL = neutral protamine


lispro; NPA = neutral protamine.
*Times are approximate, assume subcutaneous administration, and may vary
with injection technique and factors influencing absorption.
Lispro and aspart are also available in premixed forms with intermediate-acting
insulins.
Also exists in premixed form (NPH/R).

Tabel 2. Beberapa regimen insulin


G Waktu pemberian insulin 11
1

Injeksi insulin yang diberikan berguna untuk mengontrol hiperglikemia


setelah makan dan untuk mempertahankan glukosa darah normal harian.
Risikonya adalah terjadi hipoglikemia, oleh karena itu perlu adanya
edukasi terhadap pasien untuk mengantisipasi risiko tersebut.

Sekitar 25% dari total dosis insulin selama sehari diberikan sebagai insulin
kerja sedang saat akan tidur dengan dosis tambahan insulin kerja cepat
setiap sebelum makan. Pasien mungkin membutuhkan tambahan terapi
insulin kerja sedang atau kerja panjang pada pagi hari untuk
mempertahankan glukosa basal selama satu hari penuh. Pasien sebaiknya
mengatur dosis harian mereka berdasarkan monitoring glukosa sebelum
makan dan akan tidur. Pasien juga sebaiknya menkontrol glukosa darah
mereka pada pagi hari paling sedikit sekali seminggu selama beberapa
minggu terapi awal dan setelahnya bila ada indikasi.

H Terapi Pembedahan 12
Pembedahan

yang

dilakukan

adalah

transplantasi

pankreas,

transplantasi pancreas-ginjal secara simultan, transplantasi islet. Tujuan dari


terapi tranplantasi pancreas adalah untuk mencegah komplikasi dari diabetes
mellitus seperti gagal ginjal, komplikasi mikrovaskular atau makrovaskular.
Transplantasi pankreas-ginjal lebih menguntungkan karena pembedahan ini
bertujuan untuk menurunkan pembatasan diet dan mampu mengkontrol
normoglikemia tanpa injeksi insulin lagi oleh karena dengan tranplantasi ini
dapat mempertahankan sekresi insulin lebih lama dan efektif. Transplantasi
islet merupakan prosedur yang minimal invasive, hanya membutuhkan waktu
satu jam operasi, insisi abdomen sepanjang tiga inchi, dan perawatan satu hari
di rumah sakit. Sel islet diproleh dari donor pancreas dengan menggunakan

proses isolasi dan purifikasi yang kompleks sehingga enzim keluar


menghancurkan jaringan di sekitar sel islet.
Sedangkan menurut Guidelines for Adolescent Nutrition
Services (2005), manajemen DT1 meliputi 9:
1 Terapi Insulin
Insulin merupakan satu-satunya medikamentosa yang efektif
dalam menurunkan kadar gula darah pada pasien DT1.
Penggunaan insulin memerlukan manajemen harian mengenai
faktor-faktor yang dapat memepengaruhi dosis insulin yang
dibutuhkan seperti makanan, aktivitas fisik, penyakit, stress.
Insulin kerja cepat dapat diberika sebelum, saat maupun
segera setelah makan. Pemberian insulin setelah makan
membantu

menurunkan

hiperglikemia

postprandial

yang

berhubungan dengan makanan kaya lemak.


a Conventional therapy 2 injeksi perhari mixed insulin (insulin
cepat atau kerja pendek dan insulin kerja menengah)
sebelum sarapan dan makan malam.
b Conventional therapy with a split night-time dose 1 kali
injeksi mixed insulin sebelum sarapan, 1 kali injeksi insulin
kerja cepat atau kerja pendek sebelum makan malam dan 1
kali injeksi insulin kerja menengah sebelum makanan ringan
menjelang tidur. Regimen ini digunakan untuk menurunkan
hiperglikemia puasa yang berhubungan dengan jangka
waktu yang panjang antara sarapan dan makan malam,
serta

durasi kerja

insulin

kerja menengah dan untuk

memfasilitasi manajemen fenomena dawn.


c Multiple daily injections (MDI) of rapid- or short-acting insulin
before every meal (and sometimes large snacks) with
intermediate- or long-acting insulin once or twice a day.

Pemberian insulin kerja cepat atau kerja pendek sebelum


makan

siang

hiperglikemia

membantu

dengan

sedikit

menurunkan
resiko

pre-supper

hipoglikemia

yang

berhubungan dengan dosis insulin kerja menengah sebelum


sarapan yang terlalu tinggi. Dengan pengecualian makanan
ringan (snek) saat akan tidur untuk mencegah hipoglikemia
saat malam hari, snek biasanya tidak diperlukan dengan
MDI- suatu keuntungan bagi remaja yang sibuk dan bagi
remaja yang berharap berat badan targetnya tetap terjaga.
Hal ini dapat disebut sebagai terapi intensif yang bergantung
pada kadar glikemia kontrol yang ditargetkan.
d Intensive therapy with a continuous subcutaneous insulin
infusion (CSII or insulin pump) insulin kerja capat diberikan
secara

konstan

sesuai

kebutuhan

basal

tubuh

untuk

menekan produksi glukosa oleh hati. Dosis insulin bolus


diberikan sebelum makan dan snek berdasarkan jumlah
karbohidrat yang dimakan dan kadar gula darah yang diukur.
Regimen

ini

ditujukan

untuk

remaja

yang

berharap

melakukan tes secara frekuen (>4x perhari), memonitor


intake karbohidrat secara akurat, penambahan dosis insulin.

Dosis

insulin

tergantung

pada

kebutuhan

basal,

intake

makanan (terutama jumlah total karbohidrat) dan jumlah


aktivitas fisik. Perubahan dalam insulin kerja cepat atau kerja
pendek

dapat

dibuat

berdasarkan

sliding

scale

yaitu

meningkatkan dosis pada kadar gula darah yang meningkat


dan menurunkan dosis saat gula darah turun. Di samping itu,
rata-rata kadar gula darah pada berbagai macam waktu dalam
sehari dapat dihitung untuk rekomendasi pemberian dosis
insulin lebih lanjut.
Tes kadar gula darah sendiri direkomendasikan sebelum setiap
kali makan dan saat snek menjelang tidur untuk membantu
menaksir dosis dan membuat perubahan apabila diperlukan.
Tes kadar gula darah pada jam 02.00-03.00 bermanfaat untuk
mengevaluasi hipoglikemia saat malam hari dan hiperglikemia
puasa (fenomena dawn).
2 Terapi Nutrisi Medis
Intake makanan

mempengaruhi

jumlah

insulin

yang

diperlukan untuk mencapai tujuan target gula darah. Diet


karbohidrat

paling

mempengaruhi

kadar

gula

darah

posprandial dan merupakan penentu utama kebutuhan mealrelated insulin.

Intake karbohidrat disesuaikan menurut beberapa kondisi


yang lain, misalnya aktivitas fisik yang meningkat dan kadar
gula

darah

yang

merunun

sebelum

snek

malam

untuk

menurunkan resiko kadar gula darah yang rendah. Untuk


aktivitas fisik yang meningkat melampaui aktivitas fisik harian
rutin, yaitu dengan makan atau minum 15 gram karbohidrat
tiap jam sebelum aktivitas ekstra. Lebih lanjut, untuk latihan-

latihan yang lebih berat (>1jam), ditambahkan protein dengan


karbohidrat. Pedoman ini bersifat sangat individual tergantung
regimen insulin, kadar gula darah sebelum latihan dan
intensitas latihan. Untuk kadar gula darah yang turun sebelum
snek malam, yaitu apabila gula darah antara 70-100 mg/dl,
makan atau minum 15 gram karbohidrat tambahan dengan
snek

malam

reguler.

Apabila

gula

darah

<70

mg/dl,

seimbangkan gula darah yang rendah pertama kali dengan 15


gram karbohidrat atau glukosa; tunggu selama 15 menit dan
lakukan tes kembali; makan atau minum 15 gram karbohidrat
lagi apabila kadar gula darah masih <70 mg/dl. Sebaliknya,
makanlah snek malam reguler dengan tambahan 15 gram
karbohidrat.

Rekomendasi gizi untuk remaja sama dengan anak-anak


muda

yang

diperkirakan

lain.
terdiri

Distribusi
dari

makronutrien

50%-60%

karbohidrat,

sebaiknya
10%-20%

protein dan 30% lemak. Lemak jenuh sebaiknya dibatasi


sampai <10% dari total kalori serta diet kolesterol sampai
<300 mg/dl untuk membantu menurunkan resiko terjadinya
penyakit kardiovaskuler. Penyesuaian intake lemak lebih lanjut
dapat diperlukan dengan kadar lemak yang tinggi dan/atau
berat badan tidak ideal yang naik. Pedoman diet garam dan
serat sama dengan populasi pada umumnya.
Bukti ilmiah tidak lagi mendukung mengenai

perlunya

pembatasan sukrosa dan makanan yang mengandung sukrosa


dalam menurunkan

hiperglikemia. Bahkan, remaja dapat

melanjutkan memakan semua makan yang umu, seperti sereal


dengan pemanis, cookies, brownies, dan es krim, dalam
batasan

rencana

memperkirakan

makan

jumlah

yang

sehat

karbohidrat

yang

selama

mereka

dimakan

dan

membuat penyesuaian yang tepat.


3 Terapi dengan pertimbangan tertentu
a Hipoglikemia (kadar gula darah <70 mg/dl)
1 Juga disebut sebagai gula darah yang rendah, reaksi
insulin maupun syok insulin.
2 Biasanya dikarenakan makanan yang terlalu sedikit,
terlalu banyak insulin, aktivitas fisik ekstra maupun
tertundanya makan atau snek.
3 Dapat terjadi setiap saat, tetapi hampir sering sebelum
makan, selama waktu aktivitas puncak insulin dan selama
atau setelah latihan.

b Penambahan berat badan yang tidak diinginkan


Remaja yang meningkatkan gula darah kontrol mereka
dapat mengalami peningkatan berat badan yang tidak
diinginkan meskipun program makan dan aktivitas rutin
telah

dimodifikasi.

hipoglikemia

lebih

Bahkan,
sering

mereka

dapat

sehingga

mengalami

membutuhkan

karbohidrat tambahan dan menambahkan kalori. Hal ini


merupakan problematika terutama pada remaja putrid yang
mulai mengurangi dosis insulin atau bahkan menghilangkan
dosis sama sekali. Perhatian teratur pada pola peningkatan
maupun penurunan berat badan remaja sangat penting. Para
remaja perlu bekerja sama dengan tim diabetes untuk
menentukan bagaimana menyesuaikan dosis insulin dan
intake makanan.

Kontrol buruk yang kronik dengan laporan penggunaan


insulin dosis tinggi dan penurunan berat badan yang tidak
diketahui sebabnya dapat mengindikasikan under-dosing
insulin yang disengaja maupun penghilangan dosis dengan
tujuan menurunkan berat badan.
c Penggunaan alcohol
Meskipun banyak

minuman

beralkohol

mengandung

karbohidrat, alcohol tidak diubah menjadi glukosa. Alcohol


cenderung

menghambat

mengakibatkan

respon

glukoneogenesis

counter-regulatory

ke

dan
arah

hipoglikemia. Pedoman untik mencegah kadar gula darah


yang rendah pada penggunaan alcohol meliputi:
1 Jangan meninggalkan makan maupun snek saat
mengemudi
2 Mengkonsumsi karbohidrat tambahan apabila meminum
minuman yang setara dengan lebih dari 2 minuman
beralkohol.
3 Memberitahu seseorang yang bersamamu bahwa kamu
menderita diabetes.
4 Jangan mengemudi setelah minum.
5 Jangan mengambil dosis ekstra insulin saat mengemudi.
d Mengemudi
1 Bawalah makanan yang mengandung karbohidrat (tablet
glukosa, jus, permen keras, soda biasa) di mobilmu setiap
waktu.
2 Kenakan kalung yang ada tanda pengenalnya.
e Kehamilan
1 Wanita muda
mengenai

dengan

kontrasepsi.

diabetes
Pada

perlu

diberi

umumnya

edukasi

digunakan

kontrasepsi

hormonal

yang

aman

dan

tidak

mempengaruhi kadar gula darah.


2 Para dokter seharusnya mempertimbangkan kehamilan
awal dalam diferensial diagnosis dari hipoglikemia yang
tidak diketahui penyebabnya.
3 Wanita muda dengan diabetes supaya dirujuk pada
program

tentang

manajemen

insulin

intensif

segera

setelah mereka sadar bahwa mereka hamil.


4 Strategi Motivasi untuk remaja dengan DT1 (terutama bagi
remaja dengan gula darah terkontrol buruk)
a Identifikasi alasan mengenai kontrol yang

buruk

dan

menegosiasikan mengenai program dan rencana dengan


remaja.
b Menetukan satu alasan dan tujuan tindakan (jumlah tes gula
darah, mencatat karbohidrat saat makan, penyesuaian dosis
insulin berdasarkan gula darah atau intake karbohidrat).
c Mengidentifikasi keuntungan segera yang relevan pada
remaja, seperti kurangnya hipoglikemia, kurangnya frekuensi
nokturia, meningkatnya performa fisik, dan sebagainya.
d Memberikan feedback yang lebih sering. Menemui remaja
lebih sering.
e Menemukan seberapa besar supervise dan dukungan yang
diberikan ornag tua. Meminta orang tua lebih terlibat.
C SKRINING 10
1

SKRINING UNTUK DIABETES MELLITUS


Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan untuk mencapai skrining yang tepat:
a

Sensitivitas, spesifisitas, dan harga prediksi dari tes skrining

Keefektifan biaya dan sumber daya manusia dibtuhkan dalam metodologi


skrining

Gambaran target populasi yang akan diskrining

Follow-up yang cukup dan efektif serta peduli terhadap individu yang
memiliki hasil tes positif

Efek samping dari skrining :


a

Stres psikologi, biaya bertambah bila dijumpai hasil tes negatif palsu

Ketidaknyamanan bila hasil tes negatif palsu

Komplikasi medis dari tes skrining dan kebutuhan untuk follow-up pada
skrining yang positif

Komplikasi medis dari intervensi orang-orang yang terdiagnosis diabetes


dapat dibuktikan dengan biaya lebih tinggi

PENDEKATAN SKRINING
a

Skrining populasi
Berkaitan dengan epidemiologi. Dapat digunakan Intolerance Glucose
Impairing dan Oral Glucose Tolerance Test. Srining pada anak dan remaja
penting pada skrining diabetes mellitus tipe 1.

Skrining selektif
Skrining dilakukan pada populasi atau tempat di mana prevalensi terjadinya
diabetes mellitus tipe 1 cukup tinggi.

Skrining oportunistik

Terjadi ketika populasi yang memiliki risiko tinggi terjadinya diabetes


mellitus tipe 1 sadar dan aktif untuk melakukan skrining terhadap diri
mereka sendiri.
3

SKRINING PADA DIABETES MELLITUS TIPE 1


Skrining hanya boleh dilakukan guna tujuan penelitian dalam rangka
pencegahan diabetes mellitus tipe 1. Parameter yang digunakan untuk skrining
yaitu;
a

Riwayat keluarga

Marker genetik (Human Leukocyte Antigen [HLA])

Marker risiko imunologi (antibody sitoplasma sel islet, autoantibodi insulin,


antibodi terhadap dekarboksilase glutamat)

Marker risiko metabolik : skrining pada presimptomatik diabetes mellitus


tipe 1 dan individu dengan risiko tinggi.

(Guidelines for the prevention, management, and care of diabetes mellitus,


2006,WHO)
D PROGNOSIS

11

Gula darah, HbA1c, kolesterol, tekanan darah, dan berat badan yang
terkontrol sangat penting sebagai faktor penentu prognosis dan perkembangan
penyakit diabetes sendiri terutama komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular.
Pasien DM tipe 1 yang dapat survive dalam waktu 10-20 tahun setelah onset tanpa
komplikasi, pasien tersebut memiliki prognosis yang baik. Factor lain yang
berpengaruh terhadap prognosis penyakit ini adalah edukasi dan motivasi,
kesadaran pasien, serta tingkat pendidikan pasien.

DIAGNOSIS DIABETES MELITUS II


Diagnosis Diabetes Melitus (DM) ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar
glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna
penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan
bahan darah utuh (whole blood) vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan
dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai
pembakuan oleh WHO (Sudoyo Aru, 2006).
Ada perbedaan antara uji diagnostik Diabetes Melitus (DM) dan
pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang
menunjukkan gejala atau tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan
untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko
DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang
hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif
(Sudoyo Aru, 2006).

Keterangan :
GDP

= Glukosa Darah Puasa

GDS

= Glukosa Darah Sewaktu

GDPT

= Glukosa Darah Puasa Terganggu

TGT

= Toleransi Glukosa Terganggu

Pemeriksaan penyaringan
Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko
Diabetes Melitus (DM) namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan
ini bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT (Toleransi Glukosa
Terganggu) maupun GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu), sehingga dapat
ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai
prediabetes, merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut
merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular di
kemudian hari (PERKENI, 2002).
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok yang memiliki salah satu faktor
risiko DM sebagai berikut (PERKENI, 2002) :
1. Usia 45 tahun
2. Usia lebih muda, terutama dengan IMT > 23 kg/m, yang disertai dengan
faktor risiko:
Kebiasaan tidak aktif
Turunan pertama dari orang tua dengan DM
-

Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4 kg, atau riwayat DM
gestasional

Hipertensi ( 140/90 mmHg)

Kolesterol HDL 35 mg/dL dan atau trigliserida 250 mg/dL

Menderita Policictic Ovarial Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain


yang terkait dengan resistensi insulin

Adanya riwayat TGT atau GDPT sebelumnya

Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular

Tabel 3.
Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)

Kadar glukosa darah

Bukan DM

Belum pasti

DM

Plasma vena

< 110

DM
110-199

> 200

Darah

< 90

90-199

> 200

kapiler
Plasma vena

< 110

110-125

> 126

Darah

< 90

90-199

> 110

sewaktu (mg/dl)

Kadar glukosa darah


puasa (mg/dl)

kapiler
Sumber : Soegondo S (2005)
catatan :
Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan pemeriksaan ulangan
tiap tahun. Bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa faktor risiko lain, pemeriksaan penyaring dapat
dilakukan setiap 3 tahun.

Langkah-langkah Menegakkan Diagnosis Diabetes Melitus dan Gangguan


Tolerangi Glukosa
Diagnosis klinis Diabetes Melitus (DM) umumnya akan dipikirkan bila ada
keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin
dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas,
pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126
mg/dl juga digunakan utnuk patokan diagnosis DM (Sudoyo Aru, 2006).
Untuk kelompok tanpa keluhan khas Diabetes Melitus (DM), hasil
pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat

untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan


mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126
mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari
hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca
pembebanan 200 mg/dl (Sudoyo Aru, 2006).
Cara Pelaksanaan TTGO (PERKENI, 2002) :

3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat


cukup)

Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan

Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan,


minum air putih diperbolehkan

Diperiksa kadar glukosa darah puasa

Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB


(anak-anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu
15 menit

Diperiksa kadar glukosa darah dua jam sesudah beban glukosa

Selama proses pemeriksaan subyek yang dipeiksa tetap istirahat dan


tidak merokok

Tabel 4.

Kriteria diagnostik diabetes melitus * dan gangguan toleransi glukosa

1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl


Atau
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl
Atau
3. Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada dua jam sesudah beban
glukosa 75 gram pada TTGO **
Sumber : PERKENI, 2002
*

Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain, kecuali

untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik berat, seperti ketoasidosis,
gejala klasik : poliuri, polidipsi, polifagi dan berat badan menurun cepat.
**

Cara Diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik, untuk penelitian

epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria diagnostik kadar glukosa darah
puasa dan dua jam pasca pembebanan. Untuk DM gestasional juga dianjurkan kriteria
diagnostik yang sama.

2.8.

PENATALAKSANAAN

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup


Diabetes Melitus (DM) (Sudoyo Aru, 2006).
Tujuan penatalaksanaan
A.

Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa


nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.

B.Jangka

panjang

tercegah

dan

terhambatnya

progresivitas

penyulit

mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan


adalah turunnya morbiditas dan maortalitas dini DM.
Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus(PERKENI, 2006)
1.

Edukasi

2.

Terapi gizi medis

3.

Latihan jasmani

4.

Intervensi farmakologis
Pengelolaan Diabetes Melitus (DM) dimulai dengan terapi gizi medis dan
latihan jasmani selama beberapa waktu (2 4 minggu). Apabila kadar glukosa darah
belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat
hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO
dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi.
Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis berat, stres
berat, berat adan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera
diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tanda dan gejala hipoglikemia
dan cara mengatasinya harus diberikan pada pasien, sedangkan pemantauan kadar
glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus
(PERKENI, 2006)
I.

Edukasi
Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang :

Perjalanan penyakit DM
Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
Penyulit DM dan risikonya
Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan
-

Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat hipoglikemik


oral atau insulin serta obat-obatan lain

Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau
urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia)

Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau


hipoglikemia

Pentingnya latihan jasmani yang teratur

Masalah khusus yang dihadapi ( missal : hiperglikemia pada kehamilan)

Pentingnya perawatan diri

Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan

II. Terapi gizi medis (TGM)


-

Setiap diabetisi sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya


guna mencapai target terapi

prinsip pengaturan makan pada diabetisi hampir sama dengan anjuran


makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai
dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada
diabetisi perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal
makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.

A.

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :


Karbohidrat
- Dianjurkan sebesar 45-65 % total asupan energi
-

Pembatasan karbohidrat total < 130 g/hari tidak dianjurkan

Makanan harus mengandung lebih banyak karbohidrat terutama yang


berserat tinggi

Sukrosa todak boleh lebih dari 10% total asupan energi

Sedikit gula dapat dikonsumsi sebagai bagian dari perencanaan makan


yang sehat dan pemanis non-nutrisi dapat digunakan sebagai pengganti
jumlah besar gula misalnya pada minuman ringan dan permen

Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam


sehari
Lemak

Dianjurkan sekitar 20 25% kebutuhan kalori

Lemak jenuh < 7% kebutuhan kalori


Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal
-

Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung


lemak jenuh dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu
penuh (whole milk)

Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal


dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA / Mono Unsaturated Fatty
Acid), membatasi PUFA (Poly Unsaturated Acid) dan asam lemak jenuh
Protein

Dibutuhkan sebesar 15 20% total asupan energi

Sumber protein yang baik adalah ikan, seafood, daging tanpa lemak,
ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang dan kacangkacangan, tahu, tempe

Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi


0,8 g/kg BB/hari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya
bernilai biologik tinggi
Garam

Sama dengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari
3000 mg atau sama dengan 6 7 g (1 sendok teh) garam dapur

Pembatasan natrium sampai 2400 mg atau sama dengan 6g/hari terutama


pada mereka yang hipertensi
Serat

Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari, diutamakan serat larut


Pemanis

Batasi penggunaan pemanis bergizi


Fruktosa tidak dianjurkan karena efek samping pada lipid plasma
Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
B.

Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
diabetisi. Diantaranya adalah dengan perhitungan berdasarkan kebutuhan
kalori basal sebesar 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah dan dikurangi
bergantung pada beberapa faktor, yaitu jenis kelamin, umur, aktifitas, berat
badan, dll.
Perhitungan berat badan ideal ( BBI ) menurut Broca yang dimodifikasi
adalah sebagai berikut :

Berat badan ideal = 90 % x ( TB dalam cm - 100) x 1 kg

Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah
150 cm, rumus modifikasi menjadi : ( TB dalam cm 100) x 1 kg
BB

Normal : BB ideal 10 %
Kurus : < BBI 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %

Penentuan status gizi dapat digunakan


BMI / Body Mass Index = IMT / Indeks Masa Tubuh dan Rumus Broca.
BB ( Kg )
IMT =
TB ( M2 )
Klasifikasi IMT :

BB Kurang

< 18,5

BB Normal

BB lebih

23,0

Dengan risiko

23,0 24,9

Obes I

25,0 29,9

Obes II

30

18,5 22,9

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :

Jenis kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil dari pada pria. Kebutuhan kalori
wanita sebesar 25 kal / kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal / kg BB

Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5 % untuk
dekade antara 40 an 59 tahun, dikurangi 10 % untuk usia 60 s/d 69 tahun,
dan dikurangi 20 % untuk usia diatas 70 tahun

Aktifitas fisik atau pekerjaan


Penambahan 10 % dari kebutuhan basal diberikan pada keadaan istirahat,
20 % pada pasien dengan aktifitas ringan, 30 % dengan aktifitas sedang,
dan 50 % dengan aktifitas sangat berat

Berat badan
- Bila kegemukan dikurangi 20 30 % bergantung pada tingkat
kegemukan
-Bila kurus ditambah 20 30 % sesuai dengan kebutuhan untuk
meningkatkan BB
-Untuk tujuan penurunan BB jumlah kalori yang diberikan paling sedikit
1000 1200 kkal / hari untukwanita dan 1200 1600 kkal / hari untuk

pria
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas
dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi( 20 % ), siang ( 30 % )dan
sore ( 25 % ) serta 2 3 porsi makan ringan ( 10 15 % ) diantaranya.
Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan
dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan kebiasaan. Untuk diabetisi
yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan
penyakit penyertanya.
III. Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selama + 30 menit
yang sifatnya CRIPE ( Continous Rhytmical Interval Progressive
Endurace training ).
-

Continous

Latihan harus berkesinambungan dan dilakukan terus-menerus tanpa henti.


Contoh : bila dipilih jogging 30 menit, maka selama 30 menit pasien
melakukan jogging tanpa istirahat.
-

Rytmical

Latihan olah raga harus dipilih yang berirama, yaitu otot-otot berkontraksi
dan berelaksasi secara teratur.
-

Interval

Latihan dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat. Contoh :


jalan cepat diselingi dengan jalan lambat, dsb.

Progressive

Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari intensitas


ringan sampai hingga mencapai 30-60 menit.
Sasaran Heart Rate

= 75-85 % dari Maksimum Heart Rate

Maksimum Heart Rate

= 220-umur

Endurance

Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi,


seperti jalan (jalan santai/cepat, sesuai umur), jogging, berenang dan
bersepeda.
Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan jasmani ini adalah jangan
sampai memulai olah raga sebelum makan, harus menggunakan sepatu
yang pas, didampingi oleh orang yang tahu bagaimana cara mengatasi
hipoglikemia, harus membawa permen, membawa tanda pengenal sebagai
pasien DM dalam pengobatan, dan memeriksa kaki dengan cermat setelah
berolahraga.
Sedapat mungkin mencapai zona sasaran atau zona latihan yaitu 75-85%
denyut nadi maksimal yang dapat dihitung dengan cara sbb :
DNM = 220 Umur ( dalam Tahun )
Kegiatan jasmani sehari hari dan latihan jasmani secara teratur ( 3 4
kali seminggu selama 30 menit ) merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran
juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas insulin,
sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani aerobik seperti jalan kaki, bersepeda
santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan

dengan umur dan status kesegaran jasmani. Hindarkan kebiasaan hidup


yang kurang gerak atau bermalas malasan.

IV.

Terapi Farmakologis
Intervesi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum
tercapai dengan TGM dan latihan jasmani (Sudoyo Aru, 2006).

1.

Obat Hipoglikemik Oral ( OHO )


Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan
(Sudoyo Aru, 2006) :
A. Pemicu sekresi insulin (insuline secretagogue): sulfonilurea dan glinid
B. Penambah sensitifitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion
C. Penghambat glukoneogenesis : metformin
D. Pengambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase
A. Golongan Insulin Secretagogues
Insulin secretagogues mempunyai efek hipoglikemik dengan cara
stimulasi sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
1) SULFONILUREA
Digunakan untuk pengobatan Diabetes Melitus (DM) tipe 2 sejak
tahun 1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal
pengobatan diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan
sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin. Sulfonilurea sering
digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk
meningkatkan atau mempertahankan sekresi insulin.
Mekanisme kerja efek hipoglikemia sulfonilurea adalah dengan
merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas.
Bila sulfonilurea terikat pada reseptor (SUR) pada channel tersebut maka

akan terjadi penutupan. Keadaan ini menyebabkan penurunan


permeabilitas K pada membran dan membuka channel Ca tergantung
voltase, dan menyebabkan peningkatan Ca intrasel. Ion Ca akan terikat
pada Calmodilun dan menyebabkan eksositosis granul yang mengandung
insulin.
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas
untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Oleh karena itu hanya
bermanfaat untuk pasien yang masih mempunyai kemampuan untuk
sekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada diabetes
mellitus tipe 1.
Pemakaian sulfonilurea umumnya selalu dimulai dengan dosis
rendah, untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Pada keadaan
tertentu dimana kadar glukosa darah sangat tinggi, dapat diberikan
sulfonilurea dengan dosis yang lebih besar dengan perhatian khusus
bahwa dalam beberapa hari sudah dapat diperoleh efek klinis yang jelas
dan dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan kadar glukosa darah yang
cukup bermakna.
Bila konsentrasi glukosa puasa < 200mg/dl, Sulfonilurea sebaiknya
dimulai dengan pemberian dosis kecil dan titrasi secara bertahap setelah 12 minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130mg/dl. Bila
glukosa darah puasa > 200mg/dl dapat diberikan dosis awal yang lebih
besar. Obat sebaiknya diberikan setengah jam sebelum makan karena
diserap dengan lebih baik. Pada obat yang diberikan satu kali sehari
sebaiknya diberikan pada waktu makan pagi atau pada makan makanan
porsi terbesar.
2) GLINID

Kerjanya juga melalui reseptor sulfonilurea (SUR) dan mempunyai


struktur yang mirip dengan sulfonilurea tetapi tidak mempunyai efek
sepertinya.
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan nateglinid (derivat
fenilalanin) kedua-duanya diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian
secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati
sehingga diberikan 2 sampai 3 kali sehari.
B. Golongan Insulin Sensitizing
1) BIGUANID
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin.
Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi didalam usus dan hati,
tidak dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Oleh
karena itu metformin biasanya diberikan dua sampai tiga kali sehari
kecuali dalam bentuk extended release.
Efek samping yang dapat terjadi adalah asidosis laktat, dan untuk
menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal (kreatinin >1,3mg/dl pada perempuan dan >1,5mg/dl pada
laki-laki) atau pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus
diberikan dengan hati-hati pada orang usia lanjut.
Mekanisme kerja metformin menurunkan glukosa darah melalui
pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor
insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan
pemakaian glukosa oleh usus sehigga menurunkan glukosa darah dan
menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan makan. Setelah
diberikan secara oral, metformin akan mencapai kadar tertingi dalam
darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh dengan
waktu paruh 2,5 jam.

Metformin dapat menurunkan glukosa darah tetapi tidak akan


menyebabkan hipoglikemia sehingga tidak dianggap sebagai obat
hipoglikemik, tetapi obat antihiperglikemik. Metformin tidak meyebabkan
kenaikan berat badan.
Kombinasi sulfonilurea dengan metformin saat ini merupakan
kombinasi yang rasional karena mempunyai cara kerja sinergis sehingga
kombinasi ini dapat menurunkan glukosa darah lebih banyak daripada
pengobatan tuggal masing-masing, baik pada dosis maksimal keduanya
maupun pada kombinasi dosis rendah.
Pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea sudah dapat dianjurkan
sejak awal pengelolaan diabetes, berdasarkan hasil penelitian UKPDS
(United Kingdom Prospective Diabetes Study) dan hanya 50 persen pasien
DM tipe 2 yang kemudian dapat dikendalikan dengan pengobatan tungal
metformin atau sulfonylurea sampai dosis maksimal.
Kombinasi metformin dan insulin juga dapat dipertimbangkan
pada pasien gemuk dengan glikemia yang sukar dikendalikan. Kombinasi
insulin dengan sulfonilurea lebih baik daripada kombinasi insulin dengan
metformin. Penelitian lain ada yang mendapatkan kombinasi metformin
dan insulin lebih baik dibanding dengan insulin saja.
Karena kemampuannya mengurangi resistensi insulin, mencegah
penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid maka metformin
sebagai monoterapi pada awal pengelolaan diabetes pada orang gemuk
dengan dislipidemia dan resistensi insulin berat merupakan pilihan
pertama. Bila dengan monoterapi tidak berhasil maka dapat dilakukan
kombinasi dengan SU atau obat anti diabetik lain.
2) GLITAZONE
Merupakan obat yang juga mempunyai efek farmakologis untuk
meningkatkan sensitivitas insulin. Mekanisme kerja Glitazone

(Thiazolindione) merupakan agonist peroxisome proliferators-activated


receptor gamma (PPAR) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR
gamma terdapat di jaringan target kerja insulin seperti jaringan adiposa,
otot skelet dan hati, sedang reseptor pada organ tersebut merupakan
regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja insulin.
Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi ter jadi
setelah 1-2 jam dan makanan tidak mempengaruhi farmakokinetik obat
ini. Waktu paruh berkisar antara 3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7 jam
bagi pioglitazone.
Secara klinik rosiglitazone dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis
tunggal atau dosis terbagi 2 kali sehari) memperbaiki konsentrasi glukosa
puasa sampai 55 mg/dl dan A1C sampai 1,5% dibandingkan dengan
placebo. Sedang pioglitazone juga mempunyai kemampuan menurunkan
glukosa darah bila digunakan sebagai monoterapi atau sebagai terapi
kombinasi dengan dosis sampai 45 mg/dl dosis tunggal. Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I IV karena
dapat memperberat udem / retensi cairan dan juga pada gangguan faal
hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan
pemantauan faal hati secara berkala. Saat ini tiazolidindion
tidakdigunakan sebagai obat tunggal.

C. Penghambat Glukoneogenesis
1)

METFORMIN
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), disamping juga memperbaiki ambilan perifer.
Terutama dipakai pada diabetisi gemuk. Metformin dikontraindikasikan
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum > 1,5) dan

hati, serta pasien pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya


penyakit serebrovaskular, sepsis, syok, gagal jantung). Metformin dapat
memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi efek samping tersebut
dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.
D. Penghambat Alfa Glukosidase ( acarbose )
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa
glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat
menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia
postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan
hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Efek
samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulen.
Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja local pada saluran
pencernaan. Acarbose mengalami metabolisme di dalam saluran
pencernaan, metabolisme terutama oleh flora mikrobiologis, hidrolisis
intestinal dan aktifitas enzim pencernaan. Waktu paruh eliminasi plasma
kira-kira 2 jam pada orang sehat dan sebagian besar diekskresi melalui
feses.
Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Memilih Obat Hipoglikemi Oral:
a. Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian
dinaikkan secara bertahap.
b. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek
samping obat-obat tersebut (misalnya klorpropamid jangan
diberikan 3 kali 1 tablet, karena lama kerjanya 24 jam).
c. Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan
adanya interaksi obat.
d. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral,
usahakanlah menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal baru
beralih kepada insulin.

e. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien.


Tabel 5
Mekanisme kerja, efek samping utama dan pengaruh OHO terhadap penurunan A1C
( Hb-glikosilat )

Golongan

Sulfonilurea
Glinid

Metformin

Cara kerja

Efeksamping

Penurunan

utama
Meningkatkan

utama
BB naik,

A1C

sekresi insulin
Meningkatkan

hipoglikemia
BB naik,

1,5 2 %

sekresi insulin
Menekan produksi

hipoglikemia
Diare, dyspepsia,

1,5 2 %

glukosa hati &

asidosis laktat

menambah

1,5 2 %

sensitifitas
Penghambat
glukosidase
Tiazolidindion

Insulin

terhadap insulin
Menghambat

Flatulens, tinja

absorpsi glukosa
Menambah

lembek
Edema

sensitifitas

0,5 1,0 %
1,3%

terhadap insulin
Menekan produksi

Hipoglikemia, BB

glukosa hati,

naik

stimulasi
pemanfaatan
glukosa
Sumber : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2006

Potensial
sampai normal

Cara pemberian OHO terdiri dari (PERKENI, 2006) :


OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respon kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal
Sulfonilurea generasi I & II : 15 30 menit sebelum makan
Glimepiride : sebelum / sesaat sebelum makan
Repaglinid, Nateglinid : sebelum / sesaat sebelum makan
Metformin : sebelum / pada saat / sesudah makan karbohidrat
Acarbose : bersama suapan pertama makan
Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan

Tabel 6
Obat Hipoglikemik Oral di Indonesia

Golongan

Generik

Dosis

Lam

haria

n
100-

kerja
241

d
250
Glibenklamid 2,5 - 5

500
2,5 -

36
12-

12

Glipizid

5 - 10

15
5 2-

24
10-

12

Sebelum

Glikuidon

30

30 -

16
6-8

23

makan

1,2,3,4
0,5,1,2
120
4

120
0,5 - 6
1,5 - 6
360
4-8

Klorpropami

Sulfonilurea

Glinid
Tiazolidindio

Glimepirid
Repaglinid
Nateglinid
Rosiglitazon

Mg/tab

100-

24
24

Frek/hari

1
3
3
1

Waktu

Tdk
bergantun

Penghambat

Pioglitazon

15,30

15 -

Acarbose

50-100

45
100-

glukosidase
Biguanid

24

g
jadwal

makan
Bersama

300
Metformin

500-

250-

850

3000

suapan
6-8

1-3

pertama
Bersama/s
esudah
makan

Sumber : Sudoyo Aru, 2006

2. INSULIN (Sudoyo Aru, 2006)


Insulin diperlukan pada keadaan :

Penurunan berat badan yang cepat

Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

Ketoasidosis diabetik

Hiperglikemia hiperosmolar nonketotik

Hiperglikemia dengan asidosis laktat

Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal

Stres berat ( infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke )

Diabetes melitus gestasional yang tidak trkendali dengan TGM

Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO


Jenis dan lama kerja insulin
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yaitu :

Insulin kerja cepat ( rapid acting insulin )

Insulin kerja pendek ( short acting insulin )

Insulin kerja menengah ( intermediate acting insulin )

Insulin kerja panjang ( long acting insulin )

Insuln campuran tetap ( premixed insulin )

Efek samping terapi insulin


-

Efek samping utama adalah terjadinya hipoglikemia


-

Efek samping yang lain berupa reaksi imun terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin

Table 7
Insulin di Indonesia

Nama
Cepat

Buatan

Actrapid

Novo Nordisk (U-40&U-100)

Humulin-R
Menengah

Eli Lilly (U-100)

Insulatard

Novo Nordisk (U-40&U-100)

Monotard Human

Novo Nordisk (U-40&U-100)

Humulin-N
Campuran

Eli Lilly (U-100)

Mixtard 30

Novo Nordisk (U-40&U-100)

Humulin-30/70
Panjang

Eli Lilly (U-100)

Lantus

Aventis

Bentuk Penfill untuk

Novopen 3 adalah :
Actrapid Human 100
Insulatard Human 100

Efek puncak
2-4 jam

Lama kerja
6-8 jam

4-12 jam

18-24 jam

1-8

14-15

Tidak ada

24 am

Maxtard 30 Human 100


Bentuk Penfill untuk

Humapen Ergo adalah :


Humulin-R 100
Humulin-N 100
Humulin-30/70

Bentuk Penfill untuk

Optipen adalah :
Lantus

Sumber : PERKENI, 2006

Terapi kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar
glukosa darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani,
bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi.
Terapi OHO dengan kombinasi harus dipilih dua macam obat dari
kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar
glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO
dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada
pasien yang disertai alasan klinik dimana insulin tidak memungkinkan
untuk dipakai, dipilih terapi kombinasi dengan tiga OHO.
Untuk kombinasi OHO dengan insulin, yang banyak dipergunakan
adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja sedang / panjang)
yang diberikan pada malam hari menjelang tidur.
Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh
kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil.
Dosis awal insulin kerja menengah / panjang adalah 10 unit yang
diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut
dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya.

Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih
tidak terkendali, maka obat hpoglikemik oral dihentikan dan diberikan
insulin saja (PERKENI, 2006)
2.9. KOMPLIKASI
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun
(Sudoyo Aru, 2006).
I. Penyulit akut
Penyulit akut DM sampai saat ini masih merupakan kegawatan yang
harus ditangani dengan tepat dan benar karena hanya dengan cara itulah
angka kematiannya dapat ditekan serendah mungkin.
Ketoasidosis diabetik
Hiperosmolar nonketotik
Hipoglikemia
II. Penyulit menahun
1. Makroangiopati, yang melibatkan :
Pembuluh darah jantung
Pembuluh darah tepi
Pembuluh darah otak
2. Mikroangiopati:
Retinopati diabetik
Nefropati diabetik
3. Neuropati
2.10.

PENGENDALIAN DM

Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian


DM yang baik yag merupakan sasaran terapi. DM terkndali baik, apabila kadar
glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga
mencapai kadar yang diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah
(Sudoyo Aru, 2006).
Tabel 8
Kriteria pengendalian DM

GD puasa
GD 2 jam pp
A1C
Kolesterol total
LDL
HDL
Trigliserida
IMT
Tekanan darah

Baik
80 - 109
80 - 144
< 6,5
< 200
< 100
>45
< 150
18,5 22,9
< 130/80

Sedang
110 - 125
145 - 179
6,5 8
200 - 239
100 - 129

Buruk
126
180
>8
240
130

150 - 199
23 - 25
130 140 / 80 - 90

200
>25
>140/90

Sumber : Sudoyo Aru, 2006

2.11.

PROGNOSIS
Sekitar 60% pasien DM yang mendapat insulin dapat bertahan hidup seperti

orang normal, sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal ginjal kronis, dan
kemungkinan untuk meninggal lebih cepat( Mansjoer, 2001).

DAFTAR PUSTAKA
Gustaviani Reno. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th. Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006; 1857-9.
Mansjoer Arif, dkk. Kapita selekta kedokteran ed III jl I.
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta : 2001

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelelolaan Diabetes Melitus


Tipe 2 di Indonesia. PB Perkeni, Jakarta: 2002; hal 1-19
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus
Tipe 2 Di Indonesia. Semarang: 2006.
Powers C Alvin. Harrisons Principle of Internal Medicine 16th.
Medical Publishing Division Mc Graw-Hill. North America: 2005.
Soegondo S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed 4 jl 2. Perhimpunan Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: 2005; Hal 1974-80.
Soegondo S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th . Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta: 2006; Hal 1860-3.
Subekti I (2004). Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004; Hal 217-23.
Sudoyo Aru.W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV, jl III.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006
Supartondo, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta: 2003; hal 375-7.
Suyono S. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2007; Hal 7-14

Yunir Em, Soebardi Suharko. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta: 2006; 1864-7.

Genetics of Type 1 Diabetes Mellitus


Address correspondence to:
Dr. Hanan F Al-Mutairi, P.O.BOX 49634, Al-Omariya, Kuwait 85157, E-mail: am-mohsn@hotmail.com

Hanan F Al-Mutairi1, Ameer M Mohsen1, Zaidan M Al-Mazidi2


1

Department of Pediatrics, Farwaniya Hospital, Kuwait

Department of Pediatrics, Endocrine Unit, Al-Sabah Hospital, Kuwait

Kuwait Medical Journal 2007, 39 (2):107-115

TYPE 1 DIABETES MELLITUS: PATHOGENESIS AND


ADVANCES
IN THERAPY
R Khardori*, ME Pauza**
INT. J. DIAB. DEV. COUNTRIES (2003), VOL. 23

Definition, Diagnosis
and Classification
of Diabetes Mellitus
and its Complications
Report of a WHO Consultation

Part 1: Diagnosis and Classification of


Diabetes Mellitus
World Health Organization
Department of Noncommunicable Disease Surveillance
Geneva.1999

Type 1 Diabetes
ke Lernmark
Clinical Chemistry 45, No. 8(B), 1999

Causes of early-onset type 1


diabetes: toward data-driven
environmental approaches
Pierre Bougn res and Alain-Jacques Valleron
JEM VOL. 205, December 22, 2008

(American

Diabetes

Association,

21

September

2009http://care.diabetesjournals.org/content/27/suppl_1/s5/T2.expansion.html )
(Crandall, 2007. Diabetes Mellitus.
http://www.merck.com/mmpe/sec12/ch158/ch158b.html. )

DIABETES MELLITUS: TYPE 1 AND TYPE


2
Emily Loghmani

Stang J, Story M (eds) Guidelines for Adolescent Nutrition Services (2005)


http://www.epi.umn.edu/let/pubs/adol_book.shtm

(Guidelines for the prevention, management, and care of diabetes mellitus,


2006,WHO)
(Hussain, 2010. Diabetes Mellitus, Type 1: Treatment & Medication,
http://emedicine.medscape.com/article/117739-treatment
(Pancreas and Islet Transplantation for Patients with Type 1 Diabetes.
University of Cincinnati College of Medicine. 2001.www.healthalliance.com/e-book file)

Mortensen HB, et al. Multinational study in children and adolescents with newly
diagnosed type 1 diabetes: association of age, ketoacidosis, HLA status, and
autoantibodies on residual beta-cell function and glycemic control 12 months after
diagnosis. Pediatric Diabetes 2010: 11: 218226. 2.
Thomas RC, et al. Autoimmunity and the Pathogenesis of type 1 Diabetes. McGill
University Medical School, Montreal, Canada; 2010; 47(2): 5171
pdpi, pekanbaru, maret 2008 Genetical Abnormality and Glucotoxicity in Diabetes
Mellitus: The Background of Tissue Damage and Infection Asman Manaf Sub Bagian
Metabolik Endokrinologi Bagian I Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas Padang

Perol

Loss of immune tolerance to

IL-2 in type 1 diabetes

Anda mungkin juga menyukai