Anda di halaman 1dari 55

KASUS BESAR

SEORANG PEREMPUAN 24 TAHUN DENGAN CKD STAGE 5 DENGAN


OEDEM PULMO, CHF NYHA III, HIPERKALEMI BERAT, DAN
PENINGKATAN ENZIM TRANSAMINASE

Oleh:
Ratu Siti Khadijah Sarah

G99142022

Almira Muthia Deaneva

G99142023

Adya Sitaresmi

G99142024

Jati Febriyanto A.L.P

G99142025

Pembimbing:
Evi Nurhayatun, dr., Sp.PD, M.Kes
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U RAK AR TA
2016

HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus Besar Ilmu Penyakit Dalam dengan judul:
SEORANG PEREMPUAN 24 TAHUN DENGAN CKD STAGE V DENGAN
OEDEM PULMO, CHF NYHA III, HIPERKALEMI BERAT, DAN
PENINGKATAN ENZIM TRANSAMINASE

Oleh:
Ratu Siti Khadijah Sarah G99142022
Almira Muthia Deaneva

G99142023

Adya Sitaresmi

G99142024

Jati Febriyanto A.L.P

G99142025

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal:

Evi Nurhayatun, dr., Sp.PD, M.Kes

BAB I
STATUS PASIEN
I.

ANAMNESIS
A. Identitas
Nama

: Ny. BA

No RM

: 013548XX

Umur
Jenis Kelamin
Alamat

: 24 tahun
: Perempuan
: Boyolali, Jawa Tengah

Suku

: Jawa

Pekerjaan
Pendidikan

:: SMA

Agama

: Islam

Status

: Belum Menikah

Tanggal Masuk : 4 Oktober 2016


Tanggal Periksa : 5 Oktober 2016
B.

Data dasar
Auto anamnesis dan alloanamnesis di Bangsal Penyakit Dalam
Melati 1 kamar 5F RS Dr. Moewardi
Keluhan utama:
Sesak napas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke IGD RSUD Dr. Moewardi dengan keluhan
sesak napas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan
terus menerus. Sesak bertambah berat saat pasien beraktivitas dan
tidak berkurang dengan istirahat atau posisi setengah duduk.
Sebelumnya pasien sudah mengeluhkan sesak napas sejak 2 bulan
sebelum masuk rumah sakit yang memberat sejak 3 hari. Sesak
dirasakan hilang timbul. Sesak bertambah berat saat pasien
beraktivitas ringan seperti berjalan 10 meter ke kamar mandi, pasien
3

mengeluh mudah lelah dan mulai merasakan sesak. Sesak berkurang


dengan istirahat. Pasien lebih nyaman tidur dengan 2-3 bantal. Pasien
kadang terbangun pada malam hari karena sesak napas. Sesak tidak
dipengaruhi oleh cuaca dan debu. Demam disangkal. Nyeri dada
disangkal, batuk disangkal.
Pasien juga merasakan badannya lemas sejak 3 minggu SMRS.
Lemas dirasakan terus menerus bertambah dengan aktivitas dan tidak
berkurang dengan pemberian makan maupun istirahat. Pasien juga
mengeluhkan nggliyer sejak 3 minggu SMRS. Tidak ada keluhan
telinga berdenging, nyeri telan, dan berdebar. Selain itu, pasien juga
mengeluh mual dan muntah sejak 3 minggu SMRS. Mual dan muntah
3-4 kali sehari. Muntah sebanyak gelas belimbing setiap kali
muntah. Mual dan muntah terutama dirasakan apabila pasien makan.
Mual muntah tidak membaik dengan pemberian obat maag.
Pasien merasa BAK diakui sedikit-sedikit sejak 4 bulan
terakhir, 1-2 kali sehari, sebanyak -1 gelas belimbing atau 100200 cc tiap BAK, berwarna kuning. BAK berwarna seperti teh
disangkal. BAK terasa panas disangkal. Nyeri saat BAK disangkal.
BAK anyang-anyangan disangkal. BAK darah disangkal. BAK
berpasir disangkal. BAB tidak ada keluhan, 1x/hari, warna kuning
kecoklatan, BAB berdarah disangkal, BAB berlendir disangkal.
Pasien merupakan rujukan dari RSUD Surakarta dengan CKD
dan efusi pleura. Saat itu pasien dianjurkan untuk cuci darah. Pasien
pertama kali terdiagnosa hipertensi 3 minggu SMRS dan tidak teratur
minum obat. Riwayat sakit gula darah disangkal.

Riwayat penyakit dahulu :


Penyakit
Riwayat sakit serupa
Riwayat ISPA berulang

Tempat

Keterangan
Perawatan
Disangkal
Disangkal
(+) rawat jalan di
dokter swasta

Riwayat sakit liver


Riwayat sakit jantung
Riwayat alergi
Riwayat mondok

Disangkal
Disangkal
Disangkal
Disangkal

Riwayat penyakit keluarga :


Penyakit
Riwayat sakit serupa
Riwayat sakit darah tinggi
Riwayat sakit liver
Riwayat sakit jantung
Riwayat sakit gula
Riwayat sakit ginjal
Riwayat alergi

Keterangan
Disangkal
Disangkal
Disangkal
Disangkal
Disangkal
Disangkal
Disangkal

Disangkal
Disangkal
Disangkal
Disangkal

Pohon keluarga pasien:

78 tahun

73 tahun

73 tahun

45 tahun

Keterangan :
Laki laki
Perempuan
Pasien
Meninggal dunia
Riwayat kebiasaan
Makan

Pasien mengaku makan teratur 3 kali sehari


sebanyak 10-12 sendok. Terkadang makan
dengan makanan yang pedas dan asam. Saat
sakit, pasien makan 4-5 kali sehari sebanyak

Merokok
Alkohol
Minum jamu
Obat bebas
Suplemen

4-5 sendok.
Disangkal
Disangkal
Disangkal
Disangkal
Disangkal

multivitamin
Riwayat gizi
Pasien sehari-hari makan sebanyak 3 kali sehari. Porsi untuk
sekali makan 10-12 sendok makan dengan nasi, lauk-pauk, dan
sayur.
Riwayat sosial ekonomi
Pasien adalah anak pertama dari 3 bersaudara, tinggal serumah
bersama kedua orangtua dan adik-adiknya. Sehari-hari pasien hanya di
rumah. Pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS.
Anamnesis sistem
1.
2.

Keluhan utama
Kulit

: Sesak napas sejak 3 hari SMRS


: Kering (-), pucat (-), menebal (-), gatal
(-), bercak-bercak kuning (-), kuning

3.

Kepala

(-)
: Pusing (-), nggliyer (+), kepala terasa
berat (-), perasaan berputar-putar (-),
nyeri kepala (-), rambut mudah rontok

4.

Mata

(-)
: Mata

berkunang-kunang

(-/-),

pandangan kabur (-/-), gatal (-/-), mata


5.
6.

Hidung

kuning (-/-), mata merah (-/-)


: Tersumbat (-), keluar darah (-), keluar

Telinga

lendir atau air berlebihan (-), gatal (-)


: Telinga berdenging (-/-), pendengaran
berkurang (-/-), keluar cairan atau

7.

Mulut

darah (-/-)
: Bibir kering (-), gusi mudah berdarah

8.

Tenggorokan

(-), sariawan (-), gigi mudah goyah (-)


: Rasa kering dan gatal (-), nyeri untuk
menelan (-), sakit tenggorokan (-),
suara serak (-)

9.

Sistem respirasi

: Sesak nafas (+), batuk (-), dahak


kuning kental (-), darah (-), nyeri dada

10.

(-), mengi (-)


Sistem kardiovaskuler : Nyeri dada (-), terasa ada yang
menekan

(-),

sering

pingsan

(-),

berdebar-debar (-), keringat dingin (-),


ulu hati terasa panas (-), denyut jantung
meningkat (-), bangun malam karena
11.

sesak nafas (+)


Sistem gastrointestinal : Diare (-), perut mrongkol (-), perut
membesar (-), mual (+), muntah (+),
nafsu makan berkurang (-), nyeri perut
(-), sulit BAB (-), kentut (+), BAB
hitam (-), BAB

bercampur air (-),

BAB

darah

bercampur

(-),

BAB

bercampur lendir (-), rasa penuh di


perut (-), cepat kenyang (-), perut nyeri
setelah makan (-), berat badan menurun
12.

progresif (-)
Sistem muskuloskeletal: Lemas (-), leher kaku (-), keju-kemeng
(-), kaku sendi (-), nyeri sendi (-),
bengkak sendi (-), nyeri otot (-), kaku

13.

otot (-), kejang (-)


Sistem genitouterinal : Nyeri saat BAK (-), BAK berkurang
(+), panas saat BAK

(-), air kencing

warna seperti teh (-), BAK darah (-),


nanah (-), anyang-anyangan (-), sering
menahan kencing (-), rasa nyeri di
pinggang (-), rasa gatal pada saluran
kencing (-), rasa gatal pada alat
kelamin (-).
14.

Ekstremitas

a.

Atas

: Bengkak (-/-), lemah (-/-),luka (-/-),


kesemutan (-/-), tremor (-/-), ujung jari
terasa dingin (-/-), nyeri (-/-), lebamlebam kulit (-/-)

b.

Bawah

: Bengkak (-/-), lemah (-/-), luka (-/-),


kesemutan (-/-), tremor (-/-), ujung jari
terasa dingin (-/-), nyeri (-/-), lebamlebam kulit (-/-)

II. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 5 Oktober 2016 dengan hasil sebagai
berikut:
1.
Keadaan umum

: Tampak sakit berat, compos mentis,


GCS E4V5M6, kesan gizi cukup

2.

3.

4.

Tanda vital

Tensi

Nadi

Frekuensi nafas

Suhu

VAS
Status gizi

: 160/100 mmHg
: 112 kali /menit
: 32 kali /menit
: 36,50C
:0

:
:
:
:

Berat Badan
Tinggi Badan
IMT
Kesan

Kulit

50 kg
156 cm
20,54 kg/m2
Gizi cukup

: Warna coklat, turgor (+) normal, hiperpigmentasi (-),


kering (-), teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-),

5.

Kepala

ekimosis (-)
: Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, mudah rontok

6.

Mata

(-), luka (-), atrofi m. temporalis(-)


: Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (+/+), sklera
ikterik (-/-), perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor
dengan diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+),

Telinga

edema palpebra (-/-), strabismus (-/-)


: Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan

8.
9.

Hidung
Mulut

tragus (-)
: Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
: Sianosis (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-), gusi

10.

Leher

berdarah (-), luka pada sudut bibir (-), oral thrush (-)
: JVP R+4 cm (meningkat), trakea ditengah, simetris,

7.

pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar


getah bening leher (-), leher kaku (-), distensi vena-vena
11.

Thorax

leher (-)
: Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan
=

kiri,

retraksi

10

intercostal

(+),

pernafasan

abdominothorakal, sela iga melebar (-), pembesaran


kelenjar getah bening axilla (-/-)
12.

Jantung

Inspeksi
Palpasi

: Ictus kordis tak tampak


: Ictus kordis teraba

di

SIC

VI

linea

medioclavicularis sinistra 2 cm lateral, kuat


angkat

Perkusi
:
Batas jantung kanan atas: SIC II linea sternalis dextra
Batas jantung kanan bawah: SIC IV linea parasternalis
-

dekstra
Batas jantung kiri atas: SIC II linea sternalis sinistra
Batas jantung kiri bawah: SIC VI linea

medioclavicularis sinistra 2 cm lateral


Batas jantung kesan melebar ke caudolateral
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal,
reguler, bising (-), gallop (-).

13. Pulmo
a.

Depan

Inspeksi
Statis
-

Dinamis

: Normochest, simetris, sela iga tidak


melebar, iga tidak mendatar
: Pengembangan dada simetris kanan =
kiri, sela iga tidak melebar, retraksi

intercostal (-)
Palpasi
Statis
Dinamis

: Simetris
: Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba
kanan = kiri

Perkusi
Kanan

: Sonor, redup pada batas relatif paruhepar

pada

SIC

VI

linea

medioclavicularis dextra, pekak pada


-

Kiri

batas absolut paru hepar


: Sonor, sesuai batas paru jantung pada
SIC V linea medioclavicularis sinistra

11

Auskultasi
Kanan

: Suara dasar vesikuler Normal, suara


tambahan: wheezing (-), ronkhi basah
kasar (-),

Kiri

ronki basah halus (+),

krepitasi (-)
: Suara dasar vesikuler normal, suara
tambahan: wheezing (-), ronkhi basah
kasar (-), ronki basah halus (+),
krepitasi (-)

b.

Belakang

Inspeksi
Statis
-

Dinamis

: Normochest, simetris, sela iga tidak


melebar, iga tidak mendatar
: Pengembangan dada simetris kanan =
kiri, sela iga tidak melebar, retraksi
intercostal (-)

Palpasi
Statis
Dinamis

: Simetris
: Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba
kanan = kiri

Perkusi
Kanan
: Sonor
Kiri
: Sonor
Peranjakan diafragma 5 cm
Auskultasi
Kanan
: Suara dasar vesikuler normal, suara
tambahan: wheezing (-), ronkhi basah
kasar (-), ronki basah halus (+),
-

Kiri

krepitasi (-)
: Suara dasar vesikuler normal, suara
tambahan: wheezing (-), ronkhi basah
kasar (-), ronki basah halus (+),
krepitasi (-)

13.

Abdomen

12

Inspeksi

: Dinding perut sejajar dengan dinding thorak,


ascites (-), venektasi (-), sikatrik (-), striae (-),

Auskultasi

caput medusae (-), ikterik (-),


: Bising usus (+) 18 x / menit, bruit hepar (-), bising

Perkusi
Palpasi

epigastrium (-)
: timpani (+), pekak alih (-)
: distended (-), nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), defans
muskuler (-), hepar dan lien tidak teraba, hemoroid
(-), undulasi (-)

14.

15.

Ginjal
Palpasi
Nyeri ketok
Ekstremitas

: bimanual palpation : ginjal kanan- kiri tidak teraba


: (-)

Akral

dingin

_
_

_
_

Oedem

Superior Ka/Ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral dingin
(-/-), ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-), spoon
nail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri
tekan dan nyeri gerak (-/-), deformitas (-/-)
Inferior Ka/Ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral dingin
(-/-), ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-), spoon
nail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri tekan
dan nyeri gerak genu bilateral (-/-), deformitas (-/-)
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium darah
Tanggal: 4 Oktober 2016
Pemeriksaan
Hb
Hct
AL
AT
AE
Golongan darah
MCV
MCH
MCHC

Hasil
Satuan
HEMATOLOGI RUTIN
7,1
g/dl
20
%
10,8
103/ L
463
103 / L
2,27
106/ L
O
INDEX ERITROSIT
m
87
/
31,3
pg
36,0
g/dl

13

Rujukan
12,0 - 15,6
33 45
4,5 - 11,0
150 450
4,10 - 5,10

80,0-96,0
28,0-33,0
33,0-36,0

RDW
MPV
PDW
Eosinofil
Basofil
Netrofil
Limfosit
Monosit
GDS
SGOT
SGPT
Creatinine
Ureum
Albumin
Natrium darah
Kalium darah
Calsium ion
HbsAg
PH
BE
PCO2
PO2
Hematokrit
HCO3
Total CO2
O2 Saturasi
Arteri

12,8
%
7,6
fl
16
%
HITUNG JENIS
0,20
%
0,10
%
82,60
%
14,90
%
2,20
%
KIMIA KLINIK
161
mg/dl
/L
314
/L
156
19,4
mg/dl
220
mg/dl
3,9
g/dl
ELEKTROLIT
128
mmol/L
9,0
mmol/L
1,15
mmol/L
SEROLOGI HEPATITIS
Nonreactive
ANALISA GAS DARAH
7,286
-9,6
mmol/L
38,3
mmHg
60,1
mmHg
23
%
17,6
mmol/L
18,8
mmol/L
74,4
mmol/L
LAKTAT
3,30
Mmol/L

11.6-14,6
7,2-11,1
25-65
0,0-4,0
0,0-2,0
55,0-80,0
22,0-44,0
0,0-7,0
60 140
< 31
< 34
0,6 - 1,1
< 50
3,5 5,2
136 -145
3,3 - 5,1
1,17-1,29
Nonreactive
7,350 7,450
-2 - +3
27,0 41,0
83,0 108,0
27,0 41,0
21,0 28,0
19,0 24,0
94,0 98,0
0,36 - 0,75

Kesimpulan AGD :
Asidosis metabolik tidak terkompensasi dengan gagal napas tipe 1

14

B. Radiologi
Foto Thorak PA
Tanggal: 4 Oktober 2016

Tanggal 4 Oktober 2016


Cor :
Kesan membesar (CTR > 50%)
Pulmo :
Corakan vaskuler dengan gambaran cotton woll appearance dan
perselubungan di parakardial dekstra
Sinus costrophrenicus kanan kiri tajam
Hemidiaphragma kanan kiri normal
Trakea di tengah
Sistema tulang baik
Kesimpulan :
Cardiomegali
Oedem Pulmo
15

C. Elektrokardiografi
Tanggal: 4 Oktober 2016

Kesimpulan: sinus rhytm, heart rate 85 bpm, normoaxis

16

IV.

RESUME
1.

Keluhan utama

2.

Sesak napas sejak 3 hari SMRS


Anamnesis:
Sesak napas sejak 2 bulan dan memberat 3 hari SMRS,
terus menerus, memberat saat aktivitas, tidak berkurang
dengan istirahat atau posisi setengah duduk. Awalnya sesak
hilang timbul, memberat saat beraktivitas ringan, berkurang
dengan istirahat. Pasien tidur dengan 2-3 bantal dan kadang
terbangun malam hari karena sesak.
Lemas sejak 3 minggu SMRS, terus menerus,
bertambah dengan aktivitas, disertai nggliyer, mual dan
muntah. Mual dan muntah 3-4 kali sehari, sebanyak gelas
belimbing terutama dirasakan apabila pasien makan.
BAK sedikit sejak 4 bulan terakhir, 1-2 kali sehari,
sebanyak -1 gelas belimbing tiap BAK, warna kuning.
Hipertensi 3 minggu SMRS dan tidak teratur minum

3.

obat. Riwayat ISPA berulang (+) sejak kecil.


Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum tampak sakit berat, compos mentis, GCS
E4/V5/M6. Tekanan darah 160/100 mmHg, nadi 112 kali /menit,
frekuensi nafas 32 kali /menit, suhu 36,5oC, VAS 0. Conjungtiva
pucat (+/+), JVP R+4 cm, batas jantung kesan melebar ke

4.

caudolateral, ronki basah kasar (-/-), ronki basah halus (+/+).


Pemeriksaan tambahan:
a.

Elektrokardiagrafi
Sinus rhytm, detak jantung 85 kali permenit, normoaxis

b.

Laboratorium darah:
Hb 7,1; Hct: 20%; AE 3,49; AL 463; AE 2,27; Netrofil :
82,60; Limfosit: 14,90; SGOT 314, SGPT 156, kreatinin 19,4,
ureum 220, Natrium 128, kalium 9,0, kalsium 1,15, asidosis
metabolik tidak terkompensasi.

c.

Foto Thoraks PA
Cardiomegaly dan oedem pulmo
17

V.

VI.

DIAGNOSIS ATAU PROBLEM


1.

CKD stage 5

2.

CHF NYHA III, A(x): LVH, E(x): HHD

3.

Asidosis metabolik tidak terkompensasi dengan gagal napas tipe 1

4.

Hiperkalemia berat

5.

Peningkatan enzim transaminase

PROGNOSIS
1.

Ad vitam

: dubia ad bonam

2.

Ad sanam

: malam

3.

Ad fungsionam

: malam

18

RENCANA AWAL

No
1.

Diagnosis
CKD stage 5

Pengkajian

Rencana Awal

(Assesment)

diagnosis

Anamnesis:
Pasien merasa BAK

Urin rutin
USG Ginjal

diakui sedikit-sedikit
sejak 1 bulan terakhir,
1-2 kali sehari, sebanyak
-1 gelas belimbing,
mual muntah (+), lemas
nggliyer
Pemeriksaan fisik:

Rencana Terapi
Diet ginjal 1700 kkal

Konjungtiva pucat
Pemeriksaan
Kreatinin 19,4

19

Monitoring

rendah protein 40

kepada pasien

Observasi

gr/hari rendah garam 3

tentang diet,

keluhan

gr/hari
Infus D5% 16 tpm

obat yang

sesak

diminum ,

mikro
Infus EAS pfrimmer 1

Balance

penyakit pada

fl/24 jam
Inj Furosemid 40 mg/ 8

dan

jam
NAC 600 mg/8 jam
HD CITO

penunjang:

Edukasi

KUVS

HD
CaCO3 1 tab/8 jam
Asam folat 800 mcg/24

(+/+)

Rencana

Penjelasan

jam
Tranfusi PRC 2 kolf on

TD : 160/100

Rencana

pasien, kondisi
komplikasinya

cairan

Ureum 220
Hb: 7,1
Hct: 20
2.

CHF NYHA III

AE 2,27
Anamnesis: Sesak

dengan oedema

napas yang dirasakan

pulmo

terus menerus,tidak

O2 10 lpm NRM

tentang diet,

A(x):

membaik dengan

Inj Furosemid 40 mg/8

obat yang

cardiomegali,

istirahat bertambah berat

E(x): HHD

saat aktivitas pasien

Echocardiography Bedrest total setengah


duduk

jam
Amlodipin 10 mg/24

nyaman tidur dengan 2-

jam

3 bantal. Pasien kadang


terbangun malam hari

Penjelasan

KUVS

kepada pasien

Balance

diminum ,
penyakit pada
pasien, kondisi
dan
komplikasinya

Pemeriksaan fisik:
JVP meningkat R+4
cm
Batas jantung melebar
ke caudolateral
Ronki basah halus (+/

20

cairan

+)
Pemeriksaan
Penunjang:
Rontgen

thoraks:

cardiomegali dan edema


pulmo
EKG: Sinus Rhythm, HR
85 bpm, normoaksis
Framingham:
Kriteria mayor: JVP
meningkat R+4 cm,
kardiomegali pada foto
thoraks, ronki basah
halus (+), terbangun
malam hari karena sesak,
Kriteria minor: sesak
3

Asidosis

saat aktivitas
Anamnesis: -

metabolik

tidak Pemeriksaan fisik:

Status: Konsul
anestesi

21

O2 10 lpm NRM
Natrium bicarbonate

Penjelasan

Tanda vital

kepada pasien

Observasi

terkompensasi
dengan

RR 32x/menit

50 mcg bolus

tentang kondisi

keluhan

selanjutnya 50 mcg

dan

sesak

penunjang:

dalam 500 cc NaCl 16

komplikasinya

AGD :

tpm mikro

gagal Pemeriksaan

napas tipe 1

Cek AGD
post koreksi

pH 7,266
HCO3 17,6
pCO2 38,3 Normal
pO2: 60,1
4

Hiperkalemia

Anamnesis: -

berat

Pemeriksaan fisik: -

Cek elektrolit

insulin 10 IU bolus

Pemeriksaan

pelan
Inj Ca glukonas 1

penunjang:

amp/8 jam

Kalium: 9,0

Infus D40% 2 fl +

Curcuma 1 tab/8 jam

Penjelasan

KUVS

kepada pasien

Cek

tentang kondisi

elektrolit

penyakit dan

post koreksi

komplikasinya

Peningkatan

Anamnesis: -

Cek LFT dan

enzim

Pemeriksaan fisik: -

marker hepatitis :

kepada pasien

transaminase

Pemeriksaan

anti HBc total dan

tentang kondisi

22

Penjelasan

penunjang:

SGOT 314

SGPT 156

anti HCV

penyakit dan
komplikasinya

23

FOLLOW UP PASIEN
Tgl
S
O

5 Oktober 2016
(DPH 1)

6 Oktober 2016

Lemas, sesak (+)


KU: Sakit sedang,

(DPH 2)
Lemas, sesak (-)
KU: Sakit sedang,

E4V5M6
Tensi :170/110 mmHg
Resp : 26 kali/menit
Nadi :110 kali/menit
Suhu : 36,2 C
Kulit : Turgor kulit

E4V5M6
Tensi :170/120 mmHg
Resp : 22 kali/menit
Nadi :108 kali/menit
Suhu : 36,6 C
Kulit : Turgor kulit

normal
Mata : CA (+/+),SI

7 Oktober 2016
(DPH 3)

8 Oktober 2016

Lemas, sesak (-)


KU: Sakit sedang,
E4V5M6
Tensi :150/80 mmHg
Resp : 20 kali/menit
Nadi : 90 kali/menit
Suhu : 36,4 C
BC : -30
Kulit : Turgor kulit

normal
Mata : CA (+/+),SI (-/-) normal
Hidung : nafas cuping Mata : CA (+/+),SI (-/-)
(-/-)
Hidung : nafas cuping
Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-)
hidung (-), sekret (-)
hidung (-), sekret (-) Telinga : sekret (-),
Telinga : sekret (-),
Telinga : sekret (-), darah (-)
Mulut: mukosa basah, darah (-)
darah (-)
Mulut: mukosa basah,
Mulut: mukosa basah, sianosis (-)
Leher : JVP R+4 cm sianosis (-)
sianosis (-)
Leher : JVP R+4 cm
Thoraks : simetris,
Leher : JVP R+4 cm
Thoraks : simetris,
Thoraks : simetris,
retraksi (-)
Cor
retraksi (-)
retraksi (-)
I : IC tidak tampak Cor
Cor
P : IC teraba di
I : IC tidak tampak
I : IC tidak

24

10 Oktober 2016

11 Oktober 2016

(DPH 4)
Lemas, sesak (-)
KU: Sakit sedang,

(DPH 6)
Tidak ada keluhan
KU: Sakit sedang,

(DPH 7)
Tidak ada keluhan
KU: Sakit sedang,

E4V5M6
Tensi :145/104 mmHg
Resp : 21 kali/menit
Nadi : 90 kali/menit
Suhu : 36,5 C
Kulit : Turgor kulit

E4V5M6
Tensi : 130/90 mmHg
Resp : 20 kali/menit
Nadi : 88 kali/menit
Suhu : 36,2 C
Kulit : Turgor kulit

E4V5M6
Tensi : 130/80 mmHg
Resp : 20 kali/menit
Nadi : 80 kali/menit
Suhu : 36,2 C
Kulit : Turgor kulit

normal
normal
normal
Mata : CA (+/+),SI (-/-) Mata : CA (+/+),SI (-/-) Mata : CA (+/+),SI (-/-)
Hidung : nafas cuping Hidung : nafas cuping Hidung : nafas cuping
hidung (-), sekret (-)
Telinga : sekret (-),

hidung (-), sekret (-)


Telinga : sekret (-),

hidung (-), sekret (-)


Telinga : sekret (-),

darah (-)

darah (-)

darah (-)

Mulut: mukosa basah,

Mulut: mukosa basah,

Mulut: mukosa basah,

sianosis (-)
sianosis (-)
sianosis (-)
Leher : JVP R+4 cm Leher : JVP R+4 cm Leher : JVP R+4 cm
Thoraks : simetris,
Thoraks : simetris,
Thoraks : simetris,
retraksi (-)
retraksi (-)
retraksi (-)
Cor
Cor
Cor
I : IC tidak tampak
I : IC tidak tampak
I : IC tidak tampak
P : IC teraba di
P : IC teraba di
P : IC teraba di

tampak
P : IC teraba di
SIC VI linea
medioclavicul
a-ris sinistra 2
cm lateral
P : Batas jantung
kesan melebar
ke
caudolateral
A : BJ I-II
intensitas
normal, reguler
Pulmo
I : Pengembangan
dada
kanan=kiri
P : Fremitus raba
kanan=kiri
P : Sonor/sonor
A : SDV (+/+), RBH
(+/+)
Abdomen
I : DP //DD

SIC VI linea

P : IC teraba di

SIC VI linea

SIC VI linea

SIC VI linea

medioclavicula

SIC VI linea

medioclavicula

medioclavicula

medioclavicula

-ris sinistra 2

medioclavicula

-ris sinistra 2

-ris sinistra 2

-ris sinistra 2

cm lateral
P : Batas jantung
kesan melebar
ke caudolateral
A : BJ I-II
intensitas
normal, reguler
Pulmo
I : Pengembangan
dada kanan=kiri
P : Fremitus raba
kanan=kiri
P : Sonor/sonor
A : SDV (+/+), RBH
(+/+)
Abdomen
I : DP //DD
A : Bising usus (+)
12x/menit
P : Timpani, pekak
alih (+)
P : Supel, nyeri

-ris sinistra 2
cm lateral
P : Batas jantung
kesan melebar
ke caudolateral
A : BJ I-II
intensitas
normal, reguler
Pulmo
I : Pengembangan
dada kanan=kiri
P : Fremitus raba

cm lateral
P : Batas jantung

cm lateral
P : Batas jantung

cm lateral
P : Batas jantung

kesan melebar

kesan melebar

kesan melebar

ke caudolateral
A : BJ I-II
intensitas

intensitas

normal, reguler
Pulmo
I : Pengembangan

normal, reguler
Pulmo
I : Pengembangan

dada kanan=kiri
P : Fremitus raba

dada kanan=kiri
P : Fremitus raba

kanan=kiri
P : Sonor/sonor
A : SDV (+/+), RBH

kanan=kiri
P : Sonor/sonor
A : SDV (+/+), RBH

kanan=kiri
P : Sonor/sonor
A : SDV (+/+), RBH (-/-)
Abdomen
(+/+) minimal
I : DP //DD
Abdomen
A : Bising usus (+)
I : DP //DD
A : Bising usus (+)
12x/menit
P : Timpani, pekak
12x/menit
P : Timpani, pekak
alih (+)
P : Supel, nyeri

25

ke caudolateral
A : BJ I-II

(-/-)
Abdomen
I : DP //DD
A : Bising usus (+)
12x/menit
P : Timpani, pekak
alih (+)
P : Supel, nyeri

ke caudolateral
A : BJ I-II intensitas
normal, reguler
Pulmo
I : Pengembangan
dada kanan=kiri
P : Fremitus raba
kanan=kiri
P : Sonor/sonor
A : SDV (+/+), RBH
(-/-)
Abdomen
I : DP //DD
A : Bising usus (+)
12x/menit
P : Timpani, pekak
alih (+)
P : Supel, nyeri
tekan (-), hepar &

A : Bising usus (+)

tekan (-), hepar &

12x/menit
P : Timpani, pekak

lien tidak teraba


Ekstremitas: akral

alih (+)
P : Supel, nyeri

dingin dan oedema

tekan (-), hepar &


lien tidak teraba
Ekstremitas: akral

tidak ada

alih (+)
P : Supel, nyeri

tekan (-), hepar &

tekan (-), hepar &

lien tidak teraba


Ekstremitas: akral

lien tidak teraba

dingin dan oedema

Ekstremitas: akral

tidak ada

tekan (-), hepar &


lien tidak teraba

Ekstremitas: akral

Ekstremitas: akral

dingin dan oedema

dingin dan oedema

tidak ada

tidak ada

dingin dan oedema


tidak ada

dingin dan oedema


tidak ada
Px. Hb: 9,0 g/dl
Penu Ht: 26%
AL: 11.0 ribu/ul
njang
AT: 274 ribu/ul
AE: 3.20 jt/ul
Creatinine: 12,6
mg/dl
Ureum: 132 mg/dl
eGFR:
3,7ml/min/1,73m2
Na: 129 mmol/L
K: 4,6 mmol/L
Ca: 1,24 mmol/L
PT: 15,1 detik
APTT: 26,7 detik
INR 1,220
Gamma GT: 51 u/l

Urin rutin:
Makroskopis:
Warna: yellow
Kejernihan: SI cloudy
Kimia Urin:
BJ: 1,000
PH: 7,0
Leukosit: (-)
Nitrit: (-)
Protein: 320 mg/dl
Glukosa: 50 mg/dl
Keton: (-)
Urobilinogen: normal
Bilirubin: (-)
Eritrosit: (-)
Mikroskopis:
Eritrosit: (-)
Leukosit: 4,7/LPB

26

lien tidak teraba

Hasil USG
Abdomen terlampir

Alkali fosfatase: 55 u/l


Bilirubin total: 0,50

Epitel:
E. skuamous: 10-

mg/dl
Bilirubin direk: 0,20

12/LPB
E. transisional: (-)
E. bulat: (-)
Silinder:
Hyaline: 0
Granulated: (-)
Leukosit: (-)
Kristal: 0,1/ul
Yeast like cell: 0
Small round cell:

mg/dl
Bilirubin indirek: 0,30
mg/dl
Anti Hbc Total: negatif
Anti HCV: non
reactive

3,4/ul
Mukus: 0
Konduktivitas: 13,1
mS/cm
Lain-lain:
Leukosit 4 6/LPB,
Kristal Amorf (+),
Bakteri (+)
Ass: 1. CKD stage V

1. CKD stage V dengan 1. CKD stage V

1. CKD stage V

1. CKD stage V

1. CKD stage V

dengan oedema

oedema pulmo

dengan oedema

dengan oedema

dengan oedema

dengan oedema

pulmo (perbaikan)

(perbaikan) post

pulmo (perbaikan)

pulmo (perbaikan)

pulmo (perbaikan)

pulmo (perbaikan)

post hemodialisa I
hemodialisa I
post hemodialisa I
post hemodialisa I
post hemodialisa I
post hemodialisa I
2. CHF NYHA III a: 2. CHF NYHA III a: 2. CHF NYHA III a: 2. CHF NYHA III a: 2. CHF NYHA III a: 2. CHF NYHA III a:

27

LVH, e: HHD
LVH, e: HHD
LVH, e: HHD
LVH, e: HHD
LVH, e: HHD
LVH, e: HHD
3. Hiperkalemi berat 3. Hiperkalemi berat 3. Hiperkalemi berat 3. Hiperkalemi berat 3. Peningkatan enzim 3. Peningkatan enzim
(perbaikan)
(perbaikan)
(perbaikan)
(perbaikan)
4. Peningkatan enzim 4. Peningkatan enzim 4. Peningkatan enzim 4. Peningkatan enzim

transaminase ec non

transaminase ec non

viral dd viral

viral dd viral

transaminase ec

transaminase ec non

transaminase ec non

transaminase ec non

non viral dd viral

viral dd viral

viral dd viral

viral dd viral

Dx : Daftar USG

Dx : USG abdomen

Dx : USG abdomen

Dx : Lacak hasil

Dx : Cek darah rutin,

abdomen, urin rutin


Tx :

tgl 08/10/2016
Tx :

Tx :

USG abdomen
Tx :

ureum, creatinine,

Dx : USG abdomen
Tx :
1. Bedrest total
setengah duduk
2. O2 3 lpm nasal

setengah duduk
2. O2 3 lpm nasal

setengah duduk
2. O2 3 lpm nasal

kanul
kkal rendah protein 3. Diet ginjal 1700

kanul
3. Diet ginjal 1700

kanul
3. Diet ginjal 1700

40 gr/hari rendah
garam 3 gr/hari
4. IVFD D5% 16 tpm
5. IVFD EAS

1. Bedrest tidak total

1. Bedrest tidak total 1. Bedrest tidak total

setengah duduk
2. O2 3 lpm nasal
kanul
3. Diet ginjal 1700
kkal rendah protein

kkal rendah protein

kkal rendah protein

40 gr/hari rendah

40 gr/hari rendah

1. Bedrest tidak total


setengah duduk
2. O2 3 lpm nasal
kanul
3. Diet ginjal 1700

40 gr/hari rendah

garam 3 gr/hari
garam 3 gr/hari
garam 3 gr/hari
4. IVFD D5% 16 tpm
4. IVFD D5% 16 tpm 4. IVFD D5% 16 tpm 5. IVFD EAS
4.
Pfrimmer 1 flab/24 5. IVFD EAS
5. IVFD EAS
5.
Pfrimmer 1 flab/24
jam
Pfrimmer 1 flab/24
Pfrimmer 1 flab/24
jam
6. Inj Furosemid 40
jam
jam
6. Inj Furosemid 40
mg/12 jam IV
6. Inj Furosemid 40 6. Inj Furosemid 40
6.
mg/12 jam IV
7. CaCO3 1 tab/8 jam
mg/12 jam IV
mg/12 jam IV
7. CaCO3 1 tab/8 jam

28

elektrolit, SGOT,
SGPT
Tx :
1. Rawat jalan
2. CaCO3 1 tab/8 jam

po
kkal rendah protein 3. Asam folat 800
40 gr/hari rendah

mcg/24 jam po

4. NAC 600 mg/8


garam 3 gr/hari
IVFD D5% 16 tpm
jam
IVFD EAS
5. Amlodipin 10
Pfrimmer 1 flab/24
mg/24 jam po
6.
Curcuma 1 tab/8
jam
Inj Furosemid 40
jam po
mg/12 jam IV

po
8. Asam folat 800
mcg/24 jam po

7. CaCO3 1 tab/8 jam 7. CaCO3 1 tab/8 jam


po
8. Asam folat 800

po
8. Asam folat 800

mcg/24 jam po

mcg/24 jam po

9. NAC 600 mg/8

jam

9. NAC 600 mg/8

10. Amlodipin 10
mg/24 jam po
11. Curcuma 1 tab/8
jam po
12. Pindah bangsal
Monit

Balans cairan

mcg/24 jam po

9. NAC 600 mg/8

jam

jam

mg/24 jam po
11. Curcuma 1 tab/8

mg/24 jam po
11. Curcuma 1 tab/8

Balans cairan

po
8. Asam folat 800

jam

mcg/24 jam po
9. NAC 600 mg/8

10. Amlodipin 10

10. Amlodipin 10

jam po

7. CaCO3 1 tab/8 jam

9. NAC 600 mg/8

10. Amlodipin 10

po
8. Asam folat 800

mg/24 jam po
11. Curcuma 1 tab/8
jam po

jam
10. Amlodipin 10
mg/24 jam po
11. Curcuma 1 tab/8

jam po

jam po

Balans cairan

oring

29

Balans cairan

Balans cairan

Balans cairan

Hasil USG Abdomen (Hepar) Lien, Pancreas, Ginjal


Tanggal 8 Oktober 2016
Hepar: ukuran normal, sudut tajam, tepi reguler, intensitas echoparenkim normal,
VH/VP normal, IHBD/EHBD normal, tak tampak nodul/kista/massa
GB: ukuran normal, dinding tidak menebal, tak tampak batu/kista/massa
Lien:

ukuran

normal,

intensitas

echo

parenkim

normal,

tak

tampak

nodul/kista/massa
Pankreas: intensitas echoparenkim normal, tak tampak nodul/kista/massa
Ren dextra: ukuran normal, intensitas echoparenkim meningkat, batas sinus
korteks mengabur, tak tampak ectasis PCS, tak tampak batu/kista/massa
Ren sinistra: ukuran normal, intensitas echoparenkim meningkat, batas sinus
korteks mengabur, tak tampak ectasis PCS, tak tampak batu/kista/massa
Bladder: terisi cukup urin, dinding tak tebal, tampak batu ukuran 1,19 cm, DC (+)
Uterus: ukuran normal, tak tampak massa
Tak tampak limfadenopati di paraaorta
Tampak intensitas echo cairan di cavum pleura dekstra et sinistra dan cavum
abdomen
Kesimpulan:
Chronic kidney disease bilateral
Efusi bilateral dan ascites
Vesicolitiasis
Hepar/GB/Lien/Pankreas/uterus tak tampak kelainan

30

ALUR PEMIKIRAN

CKD Stage V

CHF NYHA III

Asidosis
metabolik

31

Hiperkalemia
berat

Anemia

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
I.

GAGAL JANTUNG
Definisi
Gagal jantung kongestif adalah kumpulan gejala klinis akibat
kelainan struktural dan fungsional jantung sehingga mengganggu
kemampuan pengisian ventrikel dan pompa darah ke seluruh tubuh. Tandatanda kardinal dari gagal jantung ialah dispnea, fatigue yang menyebabkan
pembatasan toleransi aktivitas dan retensi cairan yang berujung pada
kongesti paru dan edema perifer. Gejala ini mempengaruhi kapasitas dan
kualitas dari pasien gagal jantung.1
Gagal jantung kongestif adalah kumpulan gejala yang kompleks
dimana seorang pasien harus memiliki tampilan berupa: gejala gagal
jantung ( nafas pendek yang tipial saat istirahat atau saat melakukan
aktivitas disertai/tidak kelelahan), tanda retensi cairan (kongesti paru atau
edema pergelangan kaki), adanya bukti objektif dari gangguan struktur
atau fungsi jantung saat istirahat.2
Etiologi
Beberapa etiologi dari penyakit gagal jantung kongestif ialah :
a. Penyakit Jantung Koroner
Seseorang dengan penyakit jantung koroner (PJK) rentan untuk
menderita penyakit gagal jantung, terutama penyakit jantung koroner
dengan hipertrofi ventrikel kiri. Lebih dari 36% pasien dengan penyakit
jantung koroner selama 7-8 tahun akan menderita penyakit gagal
jantung kongestif
Pada negara maju, sekitar 60-75% pasien penyakit jantung koroner
menderita gagal jantung kongestif . Bahkan dua per tiga pasien yang
mengalami disfungsi sistolik ventrikel kiri disebabkan oleh Penyakit
Jantung Koroner. 3
32

b. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah yang bersifat kronis merupakan
komplikasi terjadinya gagal jantung. Berdasarkan studi Framingham
dalam Cowie tahun 2008 didapati bahwa 91% pasien gagal jantung
memiliki riwayat hipertensi. Studi terbaru Waty tahun 2012 di Rumah
Sakit Haji Adam Malik menyebutkan bahwa 66.5% pasien gagal
jantung memiliki riwayat hipertensi.
Hipertensi menyebabkan gagal jantung kongestif melalui
mekanisme disfungsi sistolik dan diastolik dari ventrikel kiri. Hipertrofi
ventrikel kiri menjadi predisposisi terjadinya infark miokard, aritmia
atrium dan ventrikel yang nantinya akan berujung pada gagal jantung
kongestif .4
c. Cardiomiopathy
Cardiomiopathy merupakan kelainan pada otot jantung yang tidak
disebabkan oleh penyakit jantung koroner, hipertensi atau kelainan
kongenital. Cardiomiopathy terdiri dari beberapa jenis. Diantaranya
ialah dilated cardiomiopathy yang merupakan salah satu penyebab
tersering terjadinya gagal jantung kongestif. Dilated cardiomiopathy
berupa dilatasi dari ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel
kanan. Dilatasi ini disebabkan oleh hipertrofi sel miokardium dengan
peningkatan ukuran danpenambahan jaringan fibrosis. 4
Hipertrophic
cardiomiopathy

cardiomiopathy
yang

bersifat

merupakan
herediter

salah

autosomal

satu

jenis

dominan.

Karakteristik dari jenis ini ialah abnormalitas pada serabut otot


miokardium. Tidak hanya miokardium tetapi juga menyebabkan
hipertrofi septum. Sehingga terjadi obstruksi aliran darah ke aorta
(aortic outflow). Kondisi ini menyebabkan komplians ventrikel kiri
yang buruk, peningkatan tekanan diastolik disertai aritmia atrium dan
ventrikel.
Jenis lain yaitu Restrictive and obliterative cardiomiopathy.
Karakteristik dari jenis ini ialah berupa kekakuan ventrikel dan

33

komplians yang buruk, tidak ditemukan adanya pembesaran dari


jantung. Kondisi ini berhubungan dengan gangguan relaksasi saat
diastolik sehingga pengisian ventrikel berkurang dari normal. Kondisi
yang dapat menyebabkan keadaan ini ialah Amiloidosis, Sarcoidosis,
Hemokromasitomatosis dan penyakit resktriktif lainnya.
d. Kelainan Katup Jantung
Dari beberapa kasus kelainan katup jantung, yang paling sering
menyebabkan gagal jantung kongestif ialah Regurgitasi Mitral.
Regurgitasi mitral meningkatkan preload sehingga terjadi peningkatan
volume di jantung. Peningkatan volume jantung memaksa jantung
untuk berkontraksi lebih kuat agar darah tersebut dapat didistribusi ke
seluruh tubuh. Kondisi ini jika berlangsung lama menyebabkan gagal
jantung kongestif. 4
e. Aritmia
Artial Fibrilasi secara independen menjadi pencetus gagal
jantung tanpa perlu adanya faktor concomitant lainnya seperti PJK atau
hipertensi. 31% dari pasien gagal jantung ditemukan gejala awal berupa
atrial fibrilasi dan ditemukan 60% pasien gagal jantung memiliki gejala
atrial fibrilasi setelah dilakukan pemeriksaan echocardiografi. Aritmia
tidak hanya sebagai penyebab gagal jantung tetapi juga memperparah
prognosis dengan meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
g. Lain-lain
Merokok merupakan faktor resiko yang kuat dan independen
untuk menyebabkan penyakit gagal jantung kongestif pada laki-laki
sedangkan pada
wanita belum ada fakta yang konsisten.4
Sementara diabetes merupakan faktor independen dalam
mortalitas dan kejadian rawat inap ulang pasien gagal jantung kongestif
melalui mekanisme perubahan struktur dan fungsi dari miokardium.
Selain

itu,obesitas

menyebabkan

peningkatan

kolesterol

yang

meningkatkan resiko penyakit jantung koroner yang merupakan

34

penyebab utama dari gagal jantung kongestif. Berdasarkan studi


Framingham disebutkan bahwa diabetes merupakan faktor resiko yang
untuk kejadian hipertrofi ventrikel kiri yang berujung pada gagal
jantung.4
Patogenesis
Gagal Jantung Kongestif diawali dengan gangguan otot jantung
yang tidak bisa berkontraksi secara normal seperti infark miokard,
gangguan tekanan hemodinamik, overload volume, ataupun kasus
herediter seperti cardiomiopathy. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan
penurunan kapasitas pompa jantung. Namun, pada awal penyakit, pasien
masih menunjukkan asimptomatis ataupun gejala simptomatis yang
minimal. Hal ini disebabkan oleh mekanisme kompensasi tubuh yang
disebabkan oleh cardiac injury ataupun disfungsi ventrikel kiri.
Beberapa mekanisme yang terlibat diantaranya: (1) Aktivasi ReninAngiotensin-Aldosteron (RAA) dan Sistem Syaraf Adrenergik dan (2)
peningkatan kontraksi miokardium. Sistem ini menjaga agar cardiac
output tetap normal dengan cara retensi cairan dan garam. Ketika terjadi
penurunan cardiac output maka akan terjadi perangsangan baroreseptor di
ventrikel kiri, sinus karotikus dan arkus aorta, kemudian memberi sinyal
aferen ke sistem syaraf sentral di cardioregulatory center yang akan
menyebabkan sekresi Antidiuretik Hormon (ADH) dari hipofisis posterior.
ADH akan meningkatkan permeabilitas duktus kolektivus sehingga
reabsorbsi air meningkat.
Kemudian sinyal aferen juga mengaktivasi sistem syaraf simpatis
yang menginervasi jantung, ginjal, pembuluh darah perifer, dan otot
skeletal. Stimulasi simpatis pada ginjal menyebabkan sekresi renin.
Peningkatan renin meningkatkan kadar angiotensin II dan aldosteron.
Aktivasi RAAS menyebabkan retensi cairan dan garam melalui
vasokonstriksi

pembuluh

darah

perifer.

Mekanisme

kompensasi

neurohormonal ini berkontribusi dalam perubahan fungsional dan

35

struktural jantung serta retensi cairan dan garam pada gagal jantung
kongestif yang lebih lanjut.

Remodelling ventrikel kiri dapat diartikan sebagai perubahan


massa, volume, bentuk, dan komposisi jantung. Remodelling ventrikel
kiri merubah bentuk jantung menjadi lebih komposisi jantung.
Remodelling ventrikel kiri merubah bentuk jantung menjadi lebih sferis
sehingga beban mekanik jantung menjadi semakin meningkat. Dilatasi
pada ventrikel kiri juga mengurangi jumlah afterload yang mengurangi
stroke volume.
Pada remodelling ventrikel kiri juga terjadi peningkatan enddiastolic

wall

stress

yang

menyebabkan

(1)

hipoperfusi

ke

subendokardium yang akan memperparah fungsi ventrikel kiri (2)

36

peningkatan stres oksidatif dan radikal bebas yang mengaktivasi


hipertrofi ventrikel.
Perubahan struktur jantung akibat remodelling ini yang berperan dalam
penurunan cardiac output, dilatasi ventrikel

kiri dan overload hemodinamik.

Ketiga hal diatas berkontribusi dalam progresivitas penyakit gagal jantung.


Kriteria diagnosis
Berdasarkan studi Framingham, diagnosis gagal jantung kongestif
ditegakkan
apabila diperoleh 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor dengan 2 kriteria minor.

37

Klasifikasi
Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural jantung atau
berdasarkan gejala yang berkaitan dengan kapasitas fungsional NYHA.

Tatalaksana non-farmakologi
Manajemen perawatan mandiri
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan
pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan gejala
gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup morbiditas dan prognosis.
Manajemen perawatan mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakan-tindakan yang
bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat
memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung.
38

Ketaatan pasien berobat


Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas
hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi
farmakologi maupun non-farmakologi
Pemantauan berat badan mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan
berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas
pertmbangan dokter (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C)
Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien
dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua
pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis
(kelas rekomendasi IIb, tingkatan bukti C)
Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal
jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi
gejala dan meningkatkan kualitas hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti C)
Kehilangan berat badan tanpa rencana
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung
berat.Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan angka
kelangsungan hidup.Jika selama 6 bulan terakhir berat badan > 6 % dari berat
badan stabil sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai
kaheksia. Status nutrisi pasien harus dihitung dengan hati-hati (kelas rekomendasi
I, tingkatan bukti C)
Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik
stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di
rumah sakit atau di rumah (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A)

39

Tata laksana farmakologis


Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas .Tindakan preventif dan pencegahan perburukan
penyakit jantung tetap merupakan bagian penting dalam tata laksana penyakit
jantung. Sangatlah penting untuk mendeteksi dan mempertimbangkan pengobatan
terhadap kormorbid kardiovaskular dan non kardiovaskular yang sering dijumpai.
Angiotensin-converting enzyme inhibitors
Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal
jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %.ACEI memperbaiki
fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit
karenaperburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup
(kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A).
ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukanfungsi ginjal, hiperkalemia,
hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI hanya
diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.
Indikasi pemberian ACEI

Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %, dengan atau tanpa gejala

Kontraindikasi pemberian ACEI

Riwayat angioedema

Stenosis renal bilateral

Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L

Serum kreatinin > 2,5 mg/dL

Stenosis aorta berat

Penyekat
Kecuali kontraindikasi, penyekat harus diberikan pada semua pasien
gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %. Penyekat
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah
sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian penyekat

40

Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %

Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)

ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi

Kontraindikasi pemberian penyekat

Asma

Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa


pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50 x/menit)

Antagonis aldosteron
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil
harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi 35 % dan gagal
jantung simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia
dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron mengurangi perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan
hidup.
Indikasi pemberian antagonis aldosteron

Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %

Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)

Dosis optimal penyekat dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan
ARB)
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron

Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L

Serum kreatinin> 2,5 mg/dL

Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium

Kombinasi ACEI dan ARB

Angiotensin receptor blocker (ARB)


Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung
dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah

41

diberikan ACEI dan penyekat dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis
aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,
mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB
direkomedasikan sebagai alternatif
pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian
karena penyebab kardiovaskular.
Indikasi pemberian ARB

Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %

Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat
(kelas fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI

ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan


hipotensi simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan
batuk
Kontraindikasi pemberian ARB

Sama seperti ACEI, kecuali angioedema

Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan

Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan
bersama ACEI

Hydralazine dan isosorbid dinitrat


Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %,
kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap
ACEI dan ARB (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B).
Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN

Pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi

Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak
dapat ditoleransi

Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI,


penyekat dan ARB atau antagonis aldosteron
Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN

Hipotensi simtomatik

42

Sindroma lupus

Gagal ginjal berat

Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan
untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti
penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik fraksi
ejeksi ventrikel kiri 40 % dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi
gejala, menurunkan angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap angka kelangsungan hidup (kelas
rekomendasi IIa, tingkatan bukti B)
Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis
atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari
pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat)
dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien,
untuk menghindari dehidrasi atau reistensi.
II.

CHRONIC KIDNEY DISEASE


a. Definisi
Istilah baru CKD oleh NKF-K/DOQI, adalah pasien yang memiliki salah

satu kriteria sebagai berikut:


1. Kerusakan ginjal 3 bulan, dimana terdapat abnormalitas struktur atau
fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan GFR, yang dimanifestasikan oleh satu
atau beberapa gejala berikut:
Abnormalitas komposisi darah atau urin
Abnormalitas pemeriksaan pencitraan
Abnormalitas biopsi ginjal
2. GFR < 60 ml/mnt/1,73 m2 selama 3 bulan dengan atau tanpa tanda
kerusakan ginjal lainnya yang telah disebutkan sebelumnya di atas.5-8
b. Klasifikasi

43

Sistem klasifikasi CKD yang sekarang dipakai diperkenalkan oleh


NKFK/DOQI berdasarkan tingkat GFR, bersama berbagai parameter klinis,
laboratorium dan pencitraan. Tujuan adanya sistem klasifikasi adalah untuk
pencegahan, identifikasi awal gangguan ginjal, dan penatalaksanaan yang dapat
mengubah perjalanan penyakit sehingga terhindar dari end stage renal disease
(ESRD).

5-8

Namun demikian sistem klasifikasi ini hanya dapat diterapkan pada

pasien dengan usia 2 tahun ke atas, karena adanya proses pematangan fungsi
ginjal pada anak dengan usia di bawah 2 tahun.6,7

Stadium
I

GFR (ml/mnt)
90

Deskripsi
Kerusakan ginjal dengan

60-89

GFR normal/meningkat
Kerusakan ginjal dengan

III

30-59

penurunan GFR ringan


Kerusakan ginjal dengan

IV

15-29

penurunan GFR sedang


Kerusakan ginjal dengan

<15 atau dialisis

penurunan GFR berat


Gagal ginjal

II

c. Patogenesis
Mekanisme yang dapat menyebabkan CKD adalah glomerulosklerosis,
parut tubulointerstisial, dan sklerosis vaskular.9
Glomerulosklerosis
Progresifitas menjadi CKD berhubungan dengan sklerosis progresif
glomeruli yang dipengaruhi oleh sel intraglomerular dan sel ekstraglomerular.
Kerusakan sel intraglomerular dapat terjadi pada sel glomerulus intrinsik (endotel,
sel mesangium, sel epitel) dan ekstrinsik (trombosit, limfosit, monosit/makrofag).
Sel

endotel

dapat

mengalami

kerusakan

akibat

gangguan

hemodinamik,metabolik dan imunologis. Kerusakan ini berhubungan dengan


reduksi fungsi antiinflamasi dan antikoagulasi sehingga mengakibatkan aktivasi
dan agregasi trombosit serta pembentukan mikrotrombus pada kapiler glomerulus
44

serta munculnya mikroinflamasi. Akibat mikroinflamasi, monosit menstimulasi


proliferasi sel mesangium sedangkan faktor pertumbuhan dapat mempengaruhi sel
mesangium yang berproliferasi menjadi sel miofibroblas sehingga mengakibatkan
sklerosis mesangium. Karena podosit tidak mampu bereplikasi terhadap jejas
sehingga terjadi peregangan di sepanjang membrana basalis glomerulus dan
menarik sel inflamasi yang berinteraksi dengan sel epitel parietal menyebabkan
formasi adesi kapsular dan glomerulosklerosis, akibatnya terjadi akumulasi
material amorf di celah paraglomerular dan kerusakan taut glomerulo-tubular
sehingga pada akhirnya terjadi atrofi tubular dan fibrosis interstisial.
Parut tubulointerstisial
Proses fibrosis tubulointerstisialis yang terjadi berupa inflamasi, proliferasi
fibroblas interstisial, dan deposisi matriks ekstra selular berlebihan. Gangguan
keseimbangan produksi dan pemecahan matriks ekstra selular mengakibatkan
fibrosis ireversibel
Sklerosis vaskular
Perubahan

pada

arteriol

dan

kerusakan

kapiler

peritubular

mengeksaserbasi iskemi interstisial dan fibrosis. Tunika adventisia pembuluh


darah merupakan sumber miofibroblas yang berperan dalam berkembangnya
fibrosis interstisial ginjal.
d. Manifestasi Klinis
Pada umumnya penderita CKD stadium 1-3 tidak mengalami gejala apaapa atau tidak mengalami gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, endokrin dan
metabolik yang tampak secara klinis (asimtomatik). Gangguan yang tampak
secara klinis biasanya baru terlihat pada CKD stadium 4 dan 5. Beberapa
gangguan yang sering muncul pada pasien CKD anak adalah: gangguan
pertumbuhan, kekurangan gizi dan protein, gangguan elektrolit, asidosis,
osteodistrofi ginjal, anemia dan hipertensi 5-8
e. Diagnosis

45

Keberadaan CKD harus ditegakkan, berdasarkan adanya kerusakan ginjal


dan tingkat fungsi ginjal (GFR), tanpa memperhatikan diagnosis. Pada pasien
dengan CKD, stadium penyakitnya harus ditentukan berdasarkan tingkat fungsi
ginjal menurut klasifikasi CKD dari K/DOQI. CKD stadium awal dapat dideteksi
melalui pemeriksaan laboratorium rutin.6,7
Penghitungan GFR merupakan pemeriksaan terbaik dalam menentukan
fungsi ginjal. Dalam praktek klinis, GFR umumnya dihitung dengan 7
menggunakan klirens kreatinin atau konsenstrasi kreatinin serum. Namun
pengukuran klirens kreatinin seringkali sulit dilakukan dan seringkali tidak akurat
karena membutuhkan sampel urin 24 jam. Kreatinin serum dipengaruhi oleh
faktor lain selain GFR, terutama produksi kreatinin, yang berhubungan dengan
ukuran tubuh, khususnya massa otot. Pada banyak pasien GFR harus turun sampai
setengah dari nilai normal, sebelum kreatinin serum meningkat di atas nilai
normal sehingga sangat sulit untuk menilai tingkat fungsi ginjal dengan tepat atau
untuk mendeteksi CKD pada stadium awal.6,7
Keakuratan penilaian GFR dengan menggunakan kreatinin serum pada
pasien anak dapat diperbaiki dengan menggunakan rumus perkiraan dengan
memperhatikan tinggi badan, usia, dan jenis kelamin pasien. Rumus perkiraan
yang banyak dipergunakan untuk menentukan GFR adalah rumus Schwartz dan
rumus Counahan-Baratt, walaupun berdasarkan data penelitian didapatkan bahwa
hasil yang berlebihan dari rumus Scwartz meningkat seiring penurunan GFR,
demikian juga dengan rumus Counahan-Baratt. Walaupun kurang tepat, namun
rumus-rumus ini menyediakan metode yang lebih praktis dibanding penilaian
GFR dengan menggunakan urin 24 jam, selain itu pengukuran klirens kreatinin
menggunakan spesimen urin 24 jam tidak menghasilkan perkiraan GFR yang
lebih baik dibanding dari hasil rumus perkiraan.6,7
Urinalisis dapat dilakukan untuk menapis pasien yang dicurigai mengalami
gangguan pada ginjalnya. Peningkatan ekskresi protein (proteinuria) persisten
umumnya merupakan penanda untuk kerusakan ginjal. Peningkatan ekskresi
albumin (albuminuria) merupakan penanda sensitif CKD yang disebabkan
diabetes, penyakit glomerular, dan hipertensi. Pada banyak kasus, penapisan

46

dengan menggunakan metode dipstick dapat diterima untuk mendeteksi


proteinuria. Pasien dengan hasil tes protein dipstick positif (+1 atau lebih) harus
dikonfirmasi melalui pengukuran kuantitatif (rasio protein terhadap kreatinin atau
rasio albumin terhadap kreatinin) dalam 3 bulan. Pasien dengan 2 atau lebih hasil
tes kuantitatif positif dengan jeda waktu 1 sampai 2 minggu harus didiagnosis
menderita proteinuria persisten dan diperiksa lebih lanjut. Pada pasien anak
dengan nefropati diabetikum perlu dilakukan pemeriksaan mikroalbuminuria.2
Pemeriksaan sedimen urin mikroskopis, terutama bersamaan dengan pemeriksaan
proteinuria, berguna dalam mendeteksi CKD dan mengenali jenis penyakit ginjal.
Dipstick urin dapat mendeteksi sel darah merah/hemoglobin (hematuria),
neutrophil dan eosinofil (piuria) dan bakteri (nitrit), namun tidak dapat
mendeteksi sel epitel tubular, lemak, cast di urin. dilakukan untuk mendeteksi
keberadaan sel darah merah, sel darah putih, cast, kristal, fungi dan bakteri.
Pemeriksaan sedimen urin mikrospkopis dilakukan untuk mendeteksi
halhal yang tidak dapat dideteksi dipstick.6 Pemeriksaan darah lengkap dilakukan
untuk melihat kemungkinan adanya anemia sebagai salah satu manifestasi klinis
kronis CKD. Pemeriksaan kimiawi serum menilai kadar ureum dan kreatinin
sebagai yang terutama dalam diagnosis dan monitoring, sedangkan pemeriksaan
kadar natrium, kalium, kalsium, fosfat, bikarbonat, alkalin fosfatase, hormon
paratiroid, kolesterol, fraksi lipid yang
berguna dalam terapi dan pencegahan komplikasi.
Pemeriksaan pencitraan ginjal sebaiknya dilakukan pada pasien dengan
CKD dan pada individu-individu yang beresiko mengalami CKD. Hasil abnormal
pada pemeriksaan pencitraan dapat menunjukkan penyakit ginjal vaskuar, urologis
atau intrinsik. Pemeriksaan ultrasonografi merupakan pemeriksaan yang berguna
pada beberapa kondisi, dan tidak dihubungkan dengan risiko terpapar radiasi atau
kontras.
f. Penatalaksanaan
Terapi nonfarmakologis

47

Pengaturan asupan protein


Pembatasan asupan protein pada penyakit ginjal kronis
LFG (ml/mnt)

Asupan protein gr/kg/hari

>60

Tidak dianjurkan

25-60

0,6-0,8/kg/hari

5-25

0.6-0,8/kg/hari atau tambahan 0,3 gr asam amino


esensial atau asam keton

<60

(sindroma 0,8/kg/hari (=1gr protein/gr proteinuria atau 0,3 gr/kg

nefrotik )

tambahan asam amino esensial

Pengaturan asupan kalori 35kal/kgBB ideal/hari


Pengaturan asupan lemak 30-40% dari kalori total
Garam(NACl) 2gr/hari
Kalium 40-70mEq/kgBB/hari
Fosfor 5-10 mg/kgBB/hari
Kalsium 1400-1600 mg/hari
Besi 10-18 mg/hari
Magnesium 200-300mg/hari
Asam folat pasien HD 5mg
Air : jumlah urin 24 jam + 500 ml
Terapi Farmakologis
Kontrol tekanan darah
-

Penghambat EKA atau antagonis reseptor Angiotensin II evaluasi


kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin >
35% atau timbul hiperkalemia harus dihentikan.

Penghambat kalsium

Diuretik

Pada pasien DM, kontrol gula darah hindari pemakaian metformin dan
obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk
DM tipe 1 0,2 diatas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%
48

Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl


Kontrol hiperfosfatemia: polimer kationik (Renagel), Kalsitrol
Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l
Koreksi hiperkalemia
Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan
statin
Terapi ginjal pengganti (transplant ginjal atau dialisa).10-13

49

BAB IV
PEMBAHASAN
Dari hasil anamnesis, pasien mengeluhkan sesak napas sejak 1 hari SMRS,
keluhan tersebut dirasakan terus menerus. Sesak bertambah berat saat pasien
beraktivitas dan tidak berkurang dengan istirahat atau posisi setengah duduk..
Sebelumnya pasien sudah mengeluhkan sesak napas sejak 2 minggu sebelum
masuk rumah sakit. Sesak dirasakan hilang timbul, sesak bertambah dengan
aktivitas dan berkurang dengan istirahat. Pasien lebih nyaman tidur dengan 2-3
bantal. Pasien kadang terbangun pada malam hari karena sesak napas. Sesak tidak
dipengaruhi oleh cuaca dan debu. Keluhan-keluhan tersebut mengarah bahwa
pasien ini mengalami gagal jantung. Diagnosis gagal jantung kongestif
membutuhkan adanya minimal 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2
kriteria minor.
Kriteria Mayor
Paroxysmal nocturnal dyspneu

Kriteria Minor
Edema ekstremitas bawah

Distensi vena pada leher

Orthopneu

Cardiomegali

Dyspneu deffort

Edema paru akut

Hepatomegali

S3 (suara jantung ketiga)

Efusi pleura

Hepatojugular refluks

Takikardi

Pada pasien ini didapatkan empat kriteria mayor. Pertama terdapatnya


paroxismal nocturnal dyspneu dari hasil anamnesis. Kedua, dari hasil pemeriksaan
fisik jantung didapatkan adanya pelebaran batas jantung. Dari perkusi didapatkan
batas jantung kiri bawah pada SIC VI 2 cm ke lateral dari linea midclavicularis
sinistra. Hal ini juga didukung dari hasil pemeriksaan foto rontgen yang
didapatkan cardiomegali serta edema paru. Dari pemeriksaan fisik paru juga
didapatkan ronkhi basah halus di kedua lapang paru. Dan yang keempat adalah
didapatkan peningkatan tekanan vena jugularis yaitu R+4 cm.
Sedangkan untuk kriteria minor didapatkan dyspneu deffort dari anamnesis
bahwa pasien merasa semakin bertambah sesak saat pasien berakitivitas. Kedua,
pasien juga mengalami takikardi dengan heart rate mencapai 112x/menit. Dari
50

penghitungan Skor Framingham diatas, pasien ini kami diagnosis dengan gagal
jantung kongestif NYHA III.
Pada pasien ini didapatkan pembesaran ruang jantung yang dikarenakan
adanya riwayat hipertensi yang diderita. Hipertensi pada pasien tersebut
dikarenakan adanya riwayat kelainan ginjal kronik. Karena pada pasien tidak
didapatkan riwayat darah tinggi sebelumnya maupun pada riwayat penyakit
keluarga. Kelainan ginjal kronik didasarkan pada kondisi penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG) dan azotemia yang dialami pasian lebih dari 3 bulan. Kriteria
dari kelainan ginjal kronik adalah:
1. Kerusakan struktural dan/atau funsional ginjal yang terjadi > 3 bulan,
dengan/tanpa penurunan LFG.
2. LFG < 60 mL/mnt/1,73m2selama 3 bulan, dengan/tanpa kerusakan ginjal.
LFG pasien tersebut menurun hingga 0,5 mL/mnt/1,73m2. Nilai LFG
mempunyai manfaat klinis, antara lain:
1. Deteksi dini kerusakan ginjal.
2. Pemantauan progesifitas penyakit.
3. Pemantauan kecukupan terapi ginjal pengganti.
4. Membantu mengoptimalkan terapi dengan obat tertentu.
Sedangkan azotemia adalah peningkatan senyawa yang mengandung
seperti ureum dan creatinin. Hal ini terkait dengan laju filtrasi glomerulus
oleh ginjal. Azotemia memiliki tiga klasifikasi tergantung penyebabnya, yaitu
prerenal, renal, dan postrenal. Semua bentuk azotemia ditandai oleh penurunan
GFR dari ginjal, peningkatan ureum creatinin (Markum, 2009). Adanya
hipoalbumin sendiri tidak serta merta dikarenakan gangguan sekresi pada ginjal,
bisa dimungkinkan karena intake albumin ke dalam tubuh berkurang. Mengingat
pada pasien ini mempunyai kebiasaan makan tidak menentu ditambah dengan
penurunan nafsu makan.
Berdasarkan LFG pasien yang < 15 mL/mnt/1,73m2, maka pasien tersebut
termasuk dalam kelompok gagal ginjal end stage dan memerlukan terapi
pengganti ginjal, seperti; hemodialisa, peritoneal dialisis, atau transplantasi ginjal
(Suwitra, 2009).
51

Pengurangan

massa

ginjal

akibat

penyakit

ginjal

kronik

akan

mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa


sebagai upaya kompensasi. Hal tersebut menyebabkan hiperfiltrasi, yang diikuti
oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.
Penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar
ureum dan creatinin. Peningkatan kadar ureum ini karena gangguan sekresi ginjal.
Ureum sendiri akibat pemecahan protein yang berlebihan dalam tubuh sehingga
harus dipecah menjadi ureum dan nitrogen lain. Adapun gejala dan tanda uremia
yang nyata adalah seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya.
Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih infeksi saluran
napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan
air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain
natrium dan kalium. Begitu juga dengan hipertensi pasien yang diperberat dengan
adanya efek peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal,
sebagai akibat proses kompensasi terjadinya hiperfiltrasi (Elta, 2003).
Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya merupakan kombinasi
adanya anion gap yang normal maupun peningkatan anion gap. Pada CKD, ginjal
tidak mampu membuat ammonia yang cukup pada tubulus

proksimal untuk

mengekskresikan asam endogen ke dalam urin dalam bentuk ammonium.


Peningkatan anion gap biasanya terjadi pada CKD stadium 5. Anion gap terjadi
karena akumulasi dari fosfat, sulfat, dan anion - anion lain yang tidak terekskresi
dengan baik. Asidosis metabolik pada CKD dapat menyebabkan gangguan
metabolisme protein. Selain itu asidosis metabolic juga merupakan salah satu
faktor dalam perkembangan osteodistrofi ginjal. Asidosis metabolik juga akan
menyebabkan keluarnya kalium dari dalam sel sehingga akan memperberat
kondisi hiperkalemia pada pasien.

52

Pada pasien juga didapatkan adanya keluhan lemas yang terus-menerus, dan
didapatkan konjungtiva pucat pada kedua mata pasien yang mengarahkan pasien
kepada kondisi anemia. Anemia merupakan suatu kumpulan gejala yang
disebabkan oleh bermacam penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh
karena:
1.

Gangguan

pembentukan

eritrosit oleh sumsum tulang.


2.

Kehilangan

darah

(perdarahan).
3.

Proses penghancuran eritrosit


dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis).
(Bakta, 2009)
Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin,

hematokrit, atau hitung eritrosit. Akibatnya fungsi untuk membawa oksigen yang
cukup ke bagian perifer berkurang, sehingga proses metabolisme terganggu dan
pasien merasakan lemas (Baldy, 2006). Pada pasien tersebut didapatkan Hb 8,2
g/dl, Hct 24 %,AE 3,09 juta/ul, sehingga semakin menguatkan kondisi anemia
pada pasien. Anemia pada pasien ini berdasarkan index eritrosit merupakan
anemia normokromik normositik.
MCV:

MCH:

MCHC:

Pada pasien ini anemia yang dialami dimungkinkan karena adanya proses
penyakit kronis akibat gagal ginjal kronis yang dialami pasien.

53

DAFTAR PUSTAKA
1. Hunt SA, Baker DW, Chin MH,.et al. 2001. American College of
Cardiology/American

Heart Association

Task

Force

on

Practice

Guidelines. Circulation;104(24):2996-3007
2. Siswanto BB, Hersunanti N, Erwinanto, Barack R et al. 2015. Pedoman
Tatalaksana Gagal Jantung. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia.Jakarta:1-56
3. Doughty RM and White HD.2007. Epidemiology of Heart Failure.
University

of

Auckland

New

Zealand.

Available

from:

http://spinger.com/cda/content/document/cda_downloaddocument/978184
8001015-c2.pdf.
4. Lip GYH, Gibbs CR, Beevers DG. 2001. Aetiology. BMJ;320(7227);104107
5. Warady BA, Chadha V. Chronic kidney disease in children: the global
perspective. Pediatr Nephrol 2007;22:19992009.
6. Hogg RJ et al. National Kidney Foundations Kidney Disease Outcomes
Quality Initiative Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease
in Children and Adolescents: Evaluation, Classification, and Stratification.
Pediatrics 2003;111:1416 1421.
7. Whyte DA, Fine RN. Chronic Kidney Disease in Children. Pediatr. Rev.
8.

2008;29:335-341.
Kanitkar CM. Chronic Kidney Disease in Children: An Indian

Perspective, update. MJAFI 2009;65:45-49.


9. Wilson LM. Gagal Ginjal Kronis. Dalam: Price SA, Wilson LM,
penyunting. Patofisiologi Konsep Klinis proses-proses penyakit. Edisi ke4. Jakarta:EGC,1999:712-769.
10. Brenner BM, Lazarus JM. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3
Edisi 13. Jakarta: EGC, 2000.1435-1443.
11. Mansjoer A, et al.Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II
Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2002.
12. Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP. Gagal Ginjal Kronik.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI, 2001.427434.

54

13. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI, 2006. 581-584.

55

Anda mungkin juga menyukai