Ni Nyoman Widyastuti L
G99152071
Chrisanty Azzahra Y
G99152072
Pembimbing
Dr. dr. Sugiarto, Sp.PD., FINASIM
HALAMAN PENGESAHAN
Oleh:
Ni Nyoman Widyastuti L
Chrisanty Azzahra Y
G99152071
G99152072
BAB I
PENDAHULUAN
terjadi pada usia dewasa di mana penderitanya tidak memerlukan terapi insulin dengan
segera (dalam 6 bulan setelah terdiagnosis). (Hosszufalusi,2008)
Kondisi hiperglikemia pada pasien DM menyebabkan terjadinya gangguan
mekanisme sistem imunoregulasi. Hal ini menyebabkan menurunnya daya kemotaksis,
fagositosis dan kemampuan bakterisidal sel leukosit sehingga tubuh lebih rentan terkena
infeksi. Pada penderita diabetes melitus kemampuan tubuh secara imunologis berkurang,
sehingga pada pasien diabetes melitus rentan terjadi kerusakan jaringan akibat inflamasi
atau infeksi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Menurut Pengurus besar Persatuan Endokrinologi Indonesia (PERKENI)
2015, Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya.
B. Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association,
2014, yaitu :
1
Resistensi insulin
DM TIPE 1:
DM TIPE LAIN :
DM TIPE 2 :
insulin
Defisiensi
Defisiensi
A
insulin
absolut
relatif :
akibat destuksi
1, defek sekresi
3.Endokrinopati
sel beta,
insulin lebih
karena:
dominan daripada
5.Akibat infeksi
1.autoimun
resistensi insulin.
2. idiopatik
2. resistensi insulin
lebih dominan
DM
GESTASIO
daripada defek
sekresi insulin.
C. Prevalensi
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global
diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366
juta tahun 2030. WHO memperkirakan Indonesia menduduki peringkat ke-4 di
dunia dalam hal jumlah penderita diabetes setelah China, India dan Amerika
Serikat. Pada tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan
diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan
berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia
menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita
melakukan pemeriksaan secara teratur.
D. Patogenesis
Diabetes mellitus tipe 1
NAL
Pada saat diabetes mellitus tergantung insulin muncul, sebagian besar sel
pankreas sudah rusak. Proses perusakan ini hampir pasti karena proses autoimun,
meskipun rinciannya masih samar. Ikhtisar sementara urutan patogenetiknya
adalah: pertama, harus ada kerentanan genetik terhadap penyakit ini. Kedua,
keadaan lingkungan seperti infeksi virus diyakini merupakan satu mekanisme
pemicu, tetapi agen noninfeksius juga dapat terlibat. Tahap ketiga adalah insulitis,
sel yang menginfiltrasi sel pulau adalah monosit/makrofag dan limfosit T
teraktivasi. Tahap keempat adalah perubahan sel beta sehingga dikenal sebagai sel
asing. Tahap kelima adalah perkembangan respon imun. Karena sel pulau
sekarang dianggap sebagai sel asing, terbentuk antibodi sitotoksik dan bekerja
sama dengan mekanisme imun seluler. Hasil akhirnya adalah perusakan sel beta
dan penampakan diabetes.
Diabetes Mellitus Tipe 1.5
Klasifikasi diabetes mellitus yang membagi diabetes mellitus tipe 1
sebagai insulin dependent diabetes mellitus dan diabetes mellitus tipe 2 sebagai
non insulint dependent diabetes mellitus kini mulai ditinggalkan. Hal ini
dikarenakan diabetes mellitus tipe 2 nantinya juga akan mengalami kondisi sel
beta pankreas yang kelelahan dan akhirnya diperlukan penggunaan insulin secara
permanen. dengan adanya reklasifikasi ini maka diperkenalkanlah istilah baru
yakni Latent autoimmune diabetes of Adulthood (LADA) (Palmer et al., 2005).
LADA merupakan diabetes mellitus tipe 1 yang onsetnya terjadi pada usia
dewasa di mana penderitanya tidak memerlukan terapi insulin dengan segera
(dalam 6 bulan setelah terdiagnosis). Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh
Paul Zimmet pada tahun 1995. LADA juga dikenal dengan istilah diabetes
mellitus tipe 1.5 atau diabetes mellitus tipe 1 dengan progresivitas yang lambat
(Palmer et al., 2005)
Untuk mengidentifikasi LADA, biasanya dilakukan pencarian dari
autoantibodi GAD yang juga ditemukan pada penderita dm tipe 1. keberadaan
antibodi GAD diasosiasikan dengan penurunan yang cepat dari fungsi sel beta
pankreas yang kemudian menyebabkan terjadinya defisiensi insulin absolut.
Walaupun ditemukan antibodi yang sama dengan penderita diabetes mellitus tipe
1, penderita LADA memiliki presentasi klinis yang lebih mirip dengan penderita
diabetes mellitus tipe 2, dikarenakanan destruksi sel beta pankreasnya yang lebih
lambat daripada pasien diabetes mellitus tipe 1. Tidak seperti penderita diabetes
mellitus tipe 1, penderita LADA akan kehilangan semua fungsi beta pankreas
secara perlahan (Stenstorm et al., 2005).
Kriteria klinis dari LADA hingga saat ini masih belum bisa ditegakkan
secara pasti (Hoszulafusi et al., 2005). Akan tetapi dasar dari LADA sendiri bisa
ditemukan dengan kata kunci sebagai berikut : 1) onset pada usia dewasa; 2) tidak
memerlukan terapi insulin di 6 bulan pertama terdiagnosis; 3) level c-peptide yang
rendah; dan 4) teridentifikasinya antibodi yang menyerang sel islet kelenjar
pancreas( Stenstorm et al., 2005).
Diabetes Melitus Tipe 2
Pasien DM tipe 2 mempunyai dua defek fisiologik: sekresi insulin
abnormal dan resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran (target).
Abnormalitas yang utama tidak diketahui. Secara deskriptif, tiga fase dapat
dikenali pada urutan klinis yang biasa. Pertama, glukosa plasma tetap normal
walaupun terlihat resistensi insulin karena kadar insulin meningkat. Pada fase
kedua, resistensi insulin cenderung memburuk sehingga meskipun konsentrasi
insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah
makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin
menurun, menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata.
(Suyono, 2007)
E. Manifestasi Klinik
Berdasarkan keluhan klinik, biasanya pasien diabetes melitus akan
mengeluhkan apa yang disebut 4P : polifagi dengan penurunan berat badan,
Polidipsi dengan poliuri, juga keluhan tambahan lain seperti sering kesemutan,
rasa baal dan gatal di kulit.
Kriteria diagnostik :
Gejala klasik DM ditambah gula darah sewaktu 200 mg/dl. Gula darah
sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memerhatikan waktu makan terakhir, atau
Kadar gula darah puasa 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak mendapat
kalori tambahan sedikit nya 8 jam, atau
Kadar gula darah 2 jam pada TTGO 200 mg/dl. TTGO dilakukan dengan
standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram
glukosa anhidrus yang dilarutkan dalam 250 ml air.
Gejala tidak klasik ditambah hasil pemeriksaan gula darah abnormal minimal 2
kali
Berikut ini merupakan perbedaan dari diabetes mellitus tipe 1, tipe 1.5, dan tipe dari
segi diagnostiknya
Diagnostic features of type 2 diabetes (T2D), latent autoimmune
(T1D)
Features
Type 2 diabetes mellitus
(T2DM)
Age of onset
Children and young adult
Metabolic syndrome
Ketoacidosis
Cardiovascular complications
Microvascular complications
Islet cell autoantibodies
Progression to insulin dependence
Treatment with insulin
Reduced frequently
Usually absent
Present
Present
Positive
Latent
Required at least 6 months
after diagnosis
Present
Absent
Present
Present
Negative
Rapid
Required late in course of
diabetes
Latent autoimmune
diabetes in adults (LADA)
Adult
Type 1 diabetes
mellitus (T1DM)
Older but also
younger adult
Absent
Present
Present
Present
Positive
Slow
Required at
diagnosis
menyerang islets. Dalam penelitian in vitro dan studi pada perfusi pankreas
menunjukkan bahwa interleukin 1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF-),
dua sitokin utama yang diproduksi oleh makrofag, menyebabkan perubahan
struktural sel beta pankreas dan menekan kapasitas sel beta pankreas untuk
melepaskan insulin. Namun, tampaknya IL-1 dan TNF tidak berkontribusi
dengan aktivitas sitotoksik makrofag. Interferon gamma merupakan aktivator
kuat untuk makrofag dalam mensintesis nitrat oksida. Pada saat ini, ada bukti
yang menunjukkan bahwa aktivitas sintesis Nitrat oksida terlibat dalam
perkembangan diabetes DM tipe 1, dimana data ini menunjukkan untuk
pertama kalinya, bahwa nitrat oksida dapat menjadi faktor patogen dalam
autoimunitas dan disarankan kemungkinan adanya kelas baru pada agen
immunofarmakologi, dimana mampu memodulasi sekresi nitrat oksida untuk
dapat diuji dalam pencegahan perkembangan DM tipe 1. Faktor lingkungan
meningkatkan risiko untuk perkembangan diabetes tipe 1 adalah infeksi
rubella congenital, dimana sampai 20% dari anak-anak yang terinfeksi virus
tersebut di kemudian hari dapat berisiko untuk menderita diabetes. Pada saat
terjadi kekurangan insulin akibat kerusakan dari sel beta di pankreas, maka
akan timbul hiperglikemia yang merupakan perkembangan dari tiga proses:
(1) peningkatan glukoneogenesis (pembuatan glukosa dari asam amino dan
gliserol); (2) glikogenolisis dipercepat (pemecahan glukosa disimpan); dan
(3) pemanfaatan glukosa oleh perifer jaringan (Valeron, 2008).
2. DIABETES MELLITUS TIPE 1.5
LADA dan diabetes mellitus tipe 1 diasosiasikan dengan keberadaan
serum autoantibodi terhadap GAD, IA-2, dan ICA akan tetapi tidak termasuk
insulin yang kebanyakan ditemukan pada anak-anak dengan diabetes mellitus
tipe 1. autoantibodi ini cenderung sebagai restriksi isotipe dan poliklonal
(Botazoo, 2005). Adanya autoantobodi IA-2 di dalam tubuh penderita LADA
dan diabetes tipe 1 dihubungkan dengan HLA DR4 dan frekuensinya menurun
seiring
dengan
onset
terjadinya
diabetes
mellitus.
(Thomas,
2010)
A Resistensi Insulin
Resistensi insulin adalah resistensi terhadap efek insulin pada
uptake, metabolisme, dan penyimpanan glukosa. Hal tersebut dapat
terjadi akibat defek genetik dan obesitas. Menurunnya kemampuan
insulin untuk berfungsi dengan efektif pada jaringan perifer
merupakan gambaran diabetes mellitus tipe 2.
Mekanisme resistensi insulin umumnya disebabkan oleh
gangguan
pascareseptor
berhubungan
dengan
kemungkinan
bahwa
insulin.
intoleransi
Polimorfisme
pada
glukosa
meningkatkan
polimorfisme
dari
dan
berbagai
IRS-1
molekul
glucose
transporter
(GLUT)
ke
membran
plasma.
Pada
D Abnormalitas Metabolik
hepatic
glucose
output
bertambah
sehingga
menyebabkan hiperglikemia.
Akumulasi lipid dalam serat otot rangka, yang mengganggu
fosforilasi oksidatif dan penurunan produksi ATP mitokondria yang
dirangsang insulin, menghasilkan reactive oxygen species (ROS),
seperti lipid peroksida. Peningkatan massa adiposit meningkatkan
kadar asam lemak bebas dan produk adiposit lainnya. Selain
mengatur berat badan, nafsu makan, dan energy expenditure,
adipokin mengatur sensitivitas insulin. Peningkatan produksi asam
lemak bebas dan beberapa adipokin menyebabkan resistensi insulin
pada otot rangka dan hati. Misalnya, asam lemak bebas
mengurangi penggunaan glukosa pada otot rangka, merangsang
produksi glukosa dari hati, dan mengganggu fungsi sel beta.
Di sisi lain, produksi adiponektin berkurang pada obesitas
dan
menyebabkan
resistensi
insulin
hepatik.
Adiponektin
penyimpanan
glikogen
hati
setelah
makan.
penurunan.
Demikian
pula
kermampuam
sama
dengan
hiperglikemia
yakni
memicu
Contohnya,
terjadi
inefektivitas
dialisis
protein
yang
diakibatkannya,
diantaranya
tulang dan beredar di dalam aliran darah selama 2-3 hari, sedangkan
monosit atau makrofag dapat bertahan hidup selama beberapa bulan
hingga tahun. Granulosit dapat juga dapat ditemukan di luar pembuluh
darah (Baratawidjaja, 2004).
Granulosit bersamaan dengan antibodi dan komplemen berperan
dalam proses inflamasi akut. Netrofil yang merupakan salah satu bagian
dari granulosit berperan dalam fagositosis. Adanya penurunan jumlah
neutrofil menyebabkan terjadinya kerentanan terhadap infeksi (Guntur,
2011) . Penelitian yang dilakukan oleh Perllie et al mengenai penurunan
sistem imun pada pasien diabetes mellitus, didapatkan pasien diabetes
mellitus memiliki kecepatan mobilisasi PMN yang lebih lambat ketimbang
kontrol pada saat dilakukan sayatan kecil pada sampel. Penelitian ini juga
didukung oleh Mowat dan Baum di mana indeks kemotatik PMN
padadiabetes mellitus ikut menurun.
antigen-antibodi-komplemen.
2
untuk
mengenali
komponen
dinding
mikroorganisme
C4 pada penderita
endotel dan sel mesangial ginjal. Dua AGE-binding protein yang telah
dikenal yaitu protein dengan 60-kDa dan 90-kDa, di mana kedua binding
protein ini merupakan substrat dari protein kinase C, sehingga dapat
dimengerti mengapa terjadi aktivasi signaling intrasel, sekresi sitokin serta
growth factors waktu ada reaksi dengan AGE (Singh et al, 2014).
Peningkatan produk AGEP pada pasien diabete mellitus yang tidak
terkontrol akan menyebabkan peningkatan TNF- dan IL-1. Hampir
semua jaringan dapat mengalami glikosilasi, tetapi protein yang waktu
paruhnya lebih dari beberapa minggu merupakan protein yang paling peka
terhadap glikosilasi, lebih-lebih komponen matriks jaringan ikat dan
membran basal. Baru-baru ini diketahui bahwa glikosilasi dapat mengenai
protein berjangka hidup pendek, lipid dan asam nukleat ( DNA ). Ada 3
mekanisme dimana AGEP menyebabkan perubahan patologik : (a)
Pembentukan AGEP intrasel yang mengubah fungsi protein, (b) AGEP
ekstrasel yang mengganggu fungsi matriks dan (c) AGEP ektrasel
mendorong receptor mediated ROS production, membentuk gen abnormal.
(Manaf, 2008). Apabila monosit dalam sirkulasi menjadi makrofag di
jaringan, dan ditemukannya reseptor AGEP di membran monosit, maka
dapat dibayangkan pengaruh hiperglikemi terhadap makrofag lewat
glikosilasi ini, dengan mekanisme terjadi gangguan intrasel, misalnya
produksi protein khusus. Dalam satu studi telah ditemukan bahwa
pemaparan TNF- yang lama ( 12 hari ) terhadap adiposit akan
menurunkan kadar GLUT 1 dan GLUT 4, yang berakibat menurunkan
uptake glukosa, sehingga menyebabkan hiperglikemi. Penurunan uptake
glukosa oleh PMN akan menurunkan oxydative burst yang selanjutnya
akan menurunkan kemampuan sel PMN untuk mengeliminasi S Aureus.
Sel monosit akan berkompensasi memproduksi TNF- lebih banyak lagi
untuk tujuan meningkatkan aktifitas fagositik dan daya bunuh sel fagosit
antara lain sel PMN (Nowotny, 2015).
BAB III
KESIMPULAN
1. Diabetes mellitus merupakan penyakit dengan prevalensi yang semakin meningkat
dari tahun ke tahun dan masih sedikit kesadaran dari penderitanya di Indonesia untuk
memeriksakan dirinya.
2. Penderita DM mengalami penurunan jumlah PMN, monosit, immunoglobulin,
glikolisasi dan AGEP, serta gangguan dalam hal cell mediated immunity sehingga
pada pasien DM rentan terjadi kerusakan jaringan akibat inflamasi atau infeksi
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mutairi H, Mohsen A, Al-Mazidi ZM. 2007. Genetics of type 1 diabetes mellitus.
Kuwait medical journal 39 (2): 107-115
Arifin, Guntur H. (2005). Prevalensi sepsis di rumah sakit dr. Moewardi Surakarta tahun
2004. in : Guntur H, Pramana, Prasetyo DH, editors. Kumpulan makalah lengkap
Konas Petri XI, Perpari VII, PKWI VIII dan PIT PAPDI Cab. Surakarta.
Baratawidjaja KG.(2004). Imunologi Dasar 6thed. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Bellanti JA, Josef V. Imunologi umum. In : Bellanti.. Imunologi III. Gajah
Bougn res P, Valleron AJ. (2008) Causes of early-onset type 1 diabetes: toward datadriven environmental approaches. JEM VOL. 205, December 22, 2008.
Djokomoeljanto R.(2004) Impaired response to infections in the diabetics. In :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006
Roio RD, Liberatore Jr, Barbosa SF, Alkimin M, Pires RB, Florido MP, et al. (2005). Is
immunity in diabetic patients influencing the susceptibility to infection ?
Immunoglobulins, complement and phagocytic function in children and
adolescents with type 1 diabetes mellitus. Pediatric diabetes 2005;6:206-212
Sentochnik DE, Eliopoulos GM. (2005). Infection and diabetes. In : Khan CR,King GL,
Moses AC, Weir GC, Jacobson AM, Smith RJ, editors. Joslins Diabetes Mellitus
14 th ed. Philadelphia : Lippincott williams and wilkins. 2005. p. 1017-30.
Suyono S. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta: 2007; Hal 7-14
Thomas RC. (2010) Autoimmunity and the Pathogenesis of type 1 Diabetes. McGill
University Medical School, Montreal, Canada; 2010; 47(2): 5171.
Tripathy D, Carlsson AL, Lehto M, et al. (2004). Insulin secretion and insulin sensitivity
in diabetic subgroups: studies in the prediabetic and diabetic state. Diabetologia. ;
43(12):1476-83.
WHO. (2006). Guidelines for the prevention, management, and care of diabetes mellitus.
WHO : Geneva.