Anda di halaman 1dari 31

Referat

GANGGUAN SISTEM IMUN PADA PENDERITA DIABETES MELITUS


Oleh:

Ni Nyoman Widyastuti L

G99152071

Chrisanty Azzahra Y

G99152072

Pembimbing
Dr. dr. Sugiarto, Sp.PD., FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2016

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Referensi Artikel Ilmu Penyakit Dalam dengan judul:


GANGGUAN SISTEM IMUN PADA PENDERITA DIABETES MELITUS

Oleh:
Ni Nyoman Widyastuti L
Chrisanty Azzahra Y

G99152071
G99152072

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal:

Dr. dr. Sugiarto, Sp.PD., FINASIM

BAB I
PENDAHULUAN

Diabetes Melitus merupakan suatu sindroma klinis kelainan metabolik, ditandai


oleh adanya hiperglikemik yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja insulin
atau keduanya (PERKENI, 2015).
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global diabetes
melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366 juta di tahun
2030. WHO memperkirakan Indonesia menduduki peringkat ke-4 di dunia dalam hal
jumlah penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000,
jumlah penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah
penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari
penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya
30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara teratur.
Menurut American Diabetes Association

(ADA) tahun 2004, diabetes

diklasifikasikan dalam Standards of Medical Care in Diabetes berdasarkan pengetahuan


mutakhir mengenai patogenesis sindrom diabetes dan toleransi glukosa. Klasifikasi ini
telah disahkan oleh WHO dan telah dipakai di seluruh dunia. Empat klasifikasi DM :
1)Diabetes Melitus tipe 1; 2)Diabetes Melitus tipe 2; 3)Diabetes melitus gestasional
(diabetes kehamilan), dan 4)Diabetes melitus tipe khusus lainnya. DM tipe 2 sering
disebut sebagai non-insulin dependent diabetes melitus (NIDDM) atau adult onset
diabetes melitus (AODM). DM tipe 2 lebih sering terjadi pada middle-aged dan orang
yang lebih tua, dengan puncak onset terjadi pada usia 60 tahun. DM tipe 2 lebih sering
terjadi daripada DM tipe 1, yakni 90% - 95% dari kasus diabetes melitus. Diabetes
Melitus tipe 1 lebih diakibatkan oleh karena berkurangnya sekresi insulin akibat
kerusakan sel -pankreas yang didasari proses autoimun. Sedangkan Diabetes Melitus
tipe 2 (NIDDM) disebabkan oleh resistensi insulin, sehingga penggunaan insulin oleh
tubuh menjadi tidak efektif. Selain itu ada pula diabetes mellitus tipe 1.5 yang merupakan
istilah untuk Latent Autoimmune Diabetes in Adults (LADA) dimana penderita diabetes
mellitus ini memiliki antibodi yang sama dengan diabetes mellitus tipe 1 yang onsetnya

terjadi pada usia dewasa di mana penderitanya tidak memerlukan terapi insulin dengan
segera (dalam 6 bulan setelah terdiagnosis). (Hosszufalusi,2008)
Kondisi hiperglikemia pada pasien DM menyebabkan terjadinya gangguan
mekanisme sistem imunoregulasi. Hal ini menyebabkan menurunnya daya kemotaksis,
fagositosis dan kemampuan bakterisidal sel leukosit sehingga tubuh lebih rentan terkena
infeksi. Pada penderita diabetes melitus kemampuan tubuh secara imunologis berkurang,
sehingga pada pasien diabetes melitus rentan terjadi kerusakan jaringan akibat inflamasi
atau infeksi.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Menurut Pengurus besar Persatuan Endokrinologi Indonesia (PERKENI)
2015, Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya.

B. Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association,
2014, yaitu :
1

Diabetes Melitus Tipe 1

Destruksi sel beta pancreas

Defisiensi insulin absolut

Diabetes Melitus Tipe 2

Defek sekresi insulin secara progresif

Resistensi insulin

3. Diabetes Melitus Tipe lain


a. Defek genetik pada fungsi sel beta
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
4. Diabetes Mellitus Gestasional

KLASIFIKASI ETIOLOGI DIABETES MELITUS


MENURUT ADA 2014

DM TIPE 1:

DM TIPE LAIN :

DM TIPE 2 :
insulin

1. Defek genetik fungsi sel beta :

Defisiensi

Defisiensi

A
insulin
absolut

relatif :

2. Defek genetik dalam fungsi insulin

akibat destuksi

1, defek sekresi

3.Endokrinopati

sel beta,

insulin lebih

4.akibat obat : glukokortikoid, hipertiroidisme

karena:

dominan daripada

5.Akibat infeksi

1.autoimun

resistensi insulin.

6.Gangguan imunologi yang jarang

2. idiopatik

2. resistensi insulin

7. Sindrom genetik lainnya yang kadang

lebih dominan

diasosiasikan dengan diabetes

DM
GESTASIO

daripada defek
sekresi insulin.

C. Prevalensi
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global
diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366
juta tahun 2030. WHO memperkirakan Indonesia menduduki peringkat ke-4 di
dunia dalam hal jumlah penderita diabetes setelah China, India dan Amerika
Serikat. Pada tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan
diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan
berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia
menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita
melakukan pemeriksaan secara teratur.
D. Patogenesis
Diabetes mellitus tipe 1

NAL

Pada saat diabetes mellitus tergantung insulin muncul, sebagian besar sel
pankreas sudah rusak. Proses perusakan ini hampir pasti karena proses autoimun,
meskipun rinciannya masih samar. Ikhtisar sementara urutan patogenetiknya
adalah: pertama, harus ada kerentanan genetik terhadap penyakit ini. Kedua,
keadaan lingkungan seperti infeksi virus diyakini merupakan satu mekanisme
pemicu, tetapi agen noninfeksius juga dapat terlibat. Tahap ketiga adalah insulitis,
sel yang menginfiltrasi sel pulau adalah monosit/makrofag dan limfosit T
teraktivasi. Tahap keempat adalah perubahan sel beta sehingga dikenal sebagai sel
asing. Tahap kelima adalah perkembangan respon imun. Karena sel pulau
sekarang dianggap sebagai sel asing, terbentuk antibodi sitotoksik dan bekerja
sama dengan mekanisme imun seluler. Hasil akhirnya adalah perusakan sel beta
dan penampakan diabetes.
Diabetes Mellitus Tipe 1.5
Klasifikasi diabetes mellitus yang membagi diabetes mellitus tipe 1
sebagai insulin dependent diabetes mellitus dan diabetes mellitus tipe 2 sebagai
non insulint dependent diabetes mellitus kini mulai ditinggalkan. Hal ini
dikarenakan diabetes mellitus tipe 2 nantinya juga akan mengalami kondisi sel
beta pankreas yang kelelahan dan akhirnya diperlukan penggunaan insulin secara
permanen. dengan adanya reklasifikasi ini maka diperkenalkanlah istilah baru
yakni Latent autoimmune diabetes of Adulthood (LADA) (Palmer et al., 2005).
LADA merupakan diabetes mellitus tipe 1 yang onsetnya terjadi pada usia
dewasa di mana penderitanya tidak memerlukan terapi insulin dengan segera
(dalam 6 bulan setelah terdiagnosis). Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh
Paul Zimmet pada tahun 1995. LADA juga dikenal dengan istilah diabetes
mellitus tipe 1.5 atau diabetes mellitus tipe 1 dengan progresivitas yang lambat
(Palmer et al., 2005)
Untuk mengidentifikasi LADA, biasanya dilakukan pencarian dari
autoantibodi GAD yang juga ditemukan pada penderita dm tipe 1. keberadaan

antibodi GAD diasosiasikan dengan penurunan yang cepat dari fungsi sel beta
pankreas yang kemudian menyebabkan terjadinya defisiensi insulin absolut.
Walaupun ditemukan antibodi yang sama dengan penderita diabetes mellitus tipe
1, penderita LADA memiliki presentasi klinis yang lebih mirip dengan penderita
diabetes mellitus tipe 2, dikarenakanan destruksi sel beta pankreasnya yang lebih
lambat daripada pasien diabetes mellitus tipe 1. Tidak seperti penderita diabetes
mellitus tipe 1, penderita LADA akan kehilangan semua fungsi beta pankreas
secara perlahan (Stenstorm et al., 2005).
Kriteria klinis dari LADA hingga saat ini masih belum bisa ditegakkan
secara pasti (Hoszulafusi et al., 2005). Akan tetapi dasar dari LADA sendiri bisa
ditemukan dengan kata kunci sebagai berikut : 1) onset pada usia dewasa; 2) tidak
memerlukan terapi insulin di 6 bulan pertama terdiagnosis; 3) level c-peptide yang
rendah; dan 4) teridentifikasinya antibodi yang menyerang sel islet kelenjar
pancreas( Stenstorm et al., 2005).
Diabetes Melitus Tipe 2
Pasien DM tipe 2 mempunyai dua defek fisiologik: sekresi insulin
abnormal dan resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran (target).
Abnormalitas yang utama tidak diketahui. Secara deskriptif, tiga fase dapat
dikenali pada urutan klinis yang biasa. Pertama, glukosa plasma tetap normal
walaupun terlihat resistensi insulin karena kadar insulin meningkat. Pada fase
kedua, resistensi insulin cenderung memburuk sehingga meskipun konsentrasi
insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah
makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin
menurun, menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata.
(Suyono, 2007)

E. Manifestasi Klinik
Berdasarkan keluhan klinik, biasanya pasien diabetes melitus akan
mengeluhkan apa yang disebut 4P : polifagi dengan penurunan berat badan,
Polidipsi dengan poliuri, juga keluhan tambahan lain seperti sering kesemutan,
rasa baal dan gatal di kulit.
Kriteria diagnostik :

Gejala klasik DM ditambah gula darah sewaktu 200 mg/dl. Gula darah
sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memerhatikan waktu makan terakhir, atau
Kadar gula darah puasa 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak mendapat
kalori tambahan sedikit nya 8 jam, atau

Kadar gula darah 2 jam pada TTGO 200 mg/dl. TTGO dilakukan dengan
standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram
glukosa anhidrus yang dilarutkan dalam 250 ml air.

Gejala tidak klasik ditambah hasil pemeriksaan gula darah abnormal minimal 2
kali

Berikut ini merupakan perbedaan dari diabetes mellitus tipe 1, tipe 1.5, dan tipe dari
segi diagnostiknya
Diagnostic features of type 2 diabetes (T2D), latent autoimmune
(T1D)
Features
Type 2 diabetes mellitus
(T2DM)
Age of onset
Children and young adult

diabetes in adults (LADA) and type 1 diabetes

Metabolic syndrome
Ketoacidosis
Cardiovascular complications
Microvascular complications
Islet cell autoantibodies
Progression to insulin dependence
Treatment with insulin

Reduced frequently
Usually absent
Present
Present
Positive
Latent
Required at least 6 months
after diagnosis

Present
Absent
Present
Present
Negative
Rapid
Required late in course of
diabetes

Latent autoimmune
diabetes in adults (LADA)
Adult

Type 1 diabetes
mellitus (T1DM)
Older but also
younger adult
Absent
Present
Present
Present
Positive
Slow
Required at
diagnosis

(Sumber : Saboo, 2007)

F. HUBUNGAN IMUNITAS DENGAN PENDERITA DM


1. DM TIPE 1
Sebagian besar kasus diabetes melitus tipe 1 terbukti disebabkan karena
destruksi sel beta yang dimediasi autoimun (Tipe 1A), sekitar 10%-20% kasus
tidak ditemukan adanya antibody (antibody negatif) sehingga disebut sebagai
DT1 idiopatik (Tipe 1B). Diabetes melitus tipe 1 (T1D) ditandai dengan
penyakit yang kronis, progresif serangan autoimun terhadap antigen spesifik
pankreas mempengaruhi penghancuran B-sel yang memproduksi insulin.
Dalam tubuh pasien diabetes mellitus tipe 1 beredar IgG sel memori B
spesifik untuk IL-2 (Al-Mutairi, 2007).
Dasar dari abnormalitas imun pada DM tipe 1 adalah kegagalan dari
self-tolerance sel T. Kegagalan toleransi ini dapat disebabkan oleh defek
delesi klonal pada sel T self-reactive pada timus, defek pada fungsi regulator
atau resistensi sel T efektor terhadap supresi sel regulator. Hal hal tersebut
membuat sel T autoreaktif bertahan dan siap untuk berespon terhadap selfantigens. Aktivasi awal dari sel tersebut terjadi pada nodus limfe
peripankreatik sebagai respon terhadap antigen yang dilepaskan dari sel pulau
Langerhans yang rusak. Sel T yang teraktivasi bergerak ke pancreas kemudian
merusak sel . Populasi sel T yang dapat menyebabkan kerusakan tersebut
adalah TH1 cells dengan cara mensekresi sitokin seperti IFN- dan TNF serta
CD8+ CTLs (Al-Mutairi, 2007).
Sel islet pankreas yang menjadi target autoimun dikarenakan adanya
kerusakan dari Islet cell autoantibodies (ICA) yang merupakan suatu
komposisi dari beberapa antibodi yang spesifik pada molekul sel islet
pankreas seperti insulin, glutamic acid decarboxylase (GAD), ICA-512/IA-2
(homolog tirosin-fosfatase), dan phogrin (protein granul yang mensekresi

insulin). Antigen tersebut merupakan marker dari proses autoimun DM tipe


1(Al-Mutairi, 2007).
Terdapat hubungan diabetes mellitus tipe 1 dengan genetik seperti
produksi gen HLA (Human Leucosyt Antigen) . HLA kelas I disebut sebagai
penyebab diabetes karena kadarnya yang meningkat pada penderita diabetes.
(Mortensen, 2010) Alel HLA kelas II mempengaruhi kerentanan diabetes
mellitus tipe 1 dikarenakan susunan dimer kelas II yang dikode oleh beberapa
kompleks HLA setiap individu bervariasi afinitasnya untuk peptida tertentu
yang dapat menimbulkan autoimun ke sel beta. HLA III terdapat pada diabetes
melitus Tipe 1 dimana gen HLA III memproduksi TNF alpha yang
mempengaruhi respon imun dan mendestruksi sel B pankreas secara bertahap
(Valeron, 2008).
Dengan demikian, dalam model ini produk-produk dari alel HLA
tertentu yang berkaitan dengan DM tipe 1 karena mereka mengikat dan
menyajikan peptida khusus untuk merangsang respon imun terhadap sel beta
pankreas. Antigen yang terlibat dalam diabetes mellitus tipe 1 meliputi
antigen 64kD, asam glutamat dekarboksilase (GAD) dan antigen sitoplasma
sel islet. Sel Islet tertentu pada baris sel beta memproduksi antibodi IgG yang
terikat ke antigen sitoplasma sel islet yang ditemukan. Semua monoklonal
antibodi yang diproduksi oleh baris sel beta dikenali oleh asam glutamate
dekarboksilase di dalam target autoantigen. Dengan demikian, GAD mungkin
menjadi target antigen utama pada diabetes mellitus tipe 1, sehingga antibodi
untuk GAD dijadikan penanda sensitif untuk perkembangan diabetes.
Antibodi juga bereaksi dengan insulin dapat juga dideteksi dalam klinis pada
periode prediabetik yang laten, tetapi autoantibodi insulin memiliki
sensitivitas lebih rendah sebagai penanda untuk perkembanagn diabetes
dibandingkan antibodi GAD atau ICA.( Bougn,2008). Pada penelitian dengan
model hewan DM tipe 1 menggunakan mikroskopis elektron untuk
mengamati pankreas menunjukkan bahwa makrofag adalah sel pertama yang

menyerang islets. Dalam penelitian in vitro dan studi pada perfusi pankreas
menunjukkan bahwa interleukin 1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF-),
dua sitokin utama yang diproduksi oleh makrofag, menyebabkan perubahan
struktural sel beta pankreas dan menekan kapasitas sel beta pankreas untuk
melepaskan insulin. Namun, tampaknya IL-1 dan TNF tidak berkontribusi
dengan aktivitas sitotoksik makrofag. Interferon gamma merupakan aktivator
kuat untuk makrofag dalam mensintesis nitrat oksida. Pada saat ini, ada bukti
yang menunjukkan bahwa aktivitas sintesis Nitrat oksida terlibat dalam
perkembangan diabetes DM tipe 1, dimana data ini menunjukkan untuk
pertama kalinya, bahwa nitrat oksida dapat menjadi faktor patogen dalam
autoimunitas dan disarankan kemungkinan adanya kelas baru pada agen
immunofarmakologi, dimana mampu memodulasi sekresi nitrat oksida untuk
dapat diuji dalam pencegahan perkembangan DM tipe 1. Faktor lingkungan
meningkatkan risiko untuk perkembangan diabetes tipe 1 adalah infeksi
rubella congenital, dimana sampai 20% dari anak-anak yang terinfeksi virus
tersebut di kemudian hari dapat berisiko untuk menderita diabetes. Pada saat
terjadi kekurangan insulin akibat kerusakan dari sel beta di pankreas, maka
akan timbul hiperglikemia yang merupakan perkembangan dari tiga proses:
(1) peningkatan glukoneogenesis (pembuatan glukosa dari asam amino dan
gliserol); (2) glikogenolisis dipercepat (pemecahan glukosa disimpan); dan
(3) pemanfaatan glukosa oleh perifer jaringan (Valeron, 2008).
2. DIABETES MELLITUS TIPE 1.5
LADA dan diabetes mellitus tipe 1 diasosiasikan dengan keberadaan
serum autoantibodi terhadap GAD, IA-2, dan ICA akan tetapi tidak termasuk
insulin yang kebanyakan ditemukan pada anak-anak dengan diabetes mellitus
tipe 1. autoantibodi ini cenderung sebagai restriksi isotipe dan poliklonal
(Botazoo, 2005). Adanya autoantobodi IA-2 di dalam tubuh penderita LADA
dan diabetes tipe 1 dihubungkan dengan HLA DR4 dan frekuensinya menurun

seiring

dengan

onset

terjadinya

diabetes

mellitus.

(Thomas,

2010)

Teridentifikasinya autoantibodi IA-2 pada penderita LADA merupakan tolak


ukur untuk menentukan kapan penderita harus menggunakan insulin secara
absolut (Tripathy et al., 2000).

3. DIABETES MELITUS TIPE 2


Resistensi insulin dan sekresi insulin yang tidak normal menjadi kunci
dari berkembangnya diabetes mellitus tipe 2. Obesitas, terutama tipe sentral,
sering ditemukan pada penderita diabetes mellitus tipe 2. Pada tahap awal,
toleransi glukosa hampir normal karena sel-sel B pankreas mengompensasi
dengan meningkatkan produksi insulin. Ketika resistensi insulin dan
hiperinsulinemia kompensatorik terus terjadi, pankreas tidak mampu
mempertahankan keadaan hiperinsulinemia tersebut. Akibatnya, terjadi
gangguan toleransi glukosa, yang ditandai dengan peningkatan glukosa darah
setelah makan. Setelah itu, penurunan sekresi insulin dan peningkatan
produksi glukosa hati berlanjut pada diabetes berat dengan hiperglikemia saat
puasa dan kegagalan sel beta. (Gustaviani,2006)
Berdasarkan studi terbaru dikatakan bahwa dalam timbulnya DM tipe
2 terdapat pengaruh faktor genetik yaitu transcription factor 7like-2
(TCF7L2) pada kromosom 10q yang mengkode faktor transkripsi pada WNT
signaling pathway. Berbeda dengan diabetes mellitus tipe 1, penyakit ini tidak
berhubungan dengan gen yang mengatur toleransi dan regulasi imun seperti
HLA, CTLA4, dll.
Ada 4 karakteristik penyebab diabetes mellitus tipe 2, yaitu resistensi
insulin, berkurangnya sekresi insulin, dan meningkatnya produksi glukosa
hati, dan metabolisme lemak yang abnormal.

A Resistensi Insulin
Resistensi insulin adalah resistensi terhadap efek insulin pada
uptake, metabolisme, dan penyimpanan glukosa. Hal tersebut dapat
terjadi akibat defek genetik dan obesitas. Menurunnya kemampuan
insulin untuk berfungsi dengan efektif pada jaringan perifer
merupakan gambaran diabetes mellitus tipe 2.
Mekanisme resistensi insulin umumnya disebabkan oleh
gangguan

pascareseptor

berhubungan

dengan

kemungkinan

bahwa

insulin.

intoleransi

Polimorfisme

pada

glukosa

meningkatkan

polimorfisme

dari

dan

berbagai

IRS-1
molekul

pascareseptor dapat berkombinasi dan memunculkan keadaan yang


resisten terhadap insulin. Resistensi insulin terjadi akibat gangguan
persinyalan PI-3-kinase yang mengurangi translokasi

glucose

transporter

(GLUT)

ke

membran

Gambar 1 : mekanisme kerja insulin

Gambar 2. Hubungan Obesitas dengan Resistensi Insulin

plasma.

B Gangguan Sekresi Insulin


Sekresi insulin dan sensitivitasnya saling berhubungan.

Pada

diabetes mellitus tipe 2, sekresi insulin meningkat sebagai respon terhadap


resistensi insulin untuk mempertahankan toleransi glukosa. Akan tetapi,
lama kelamaan sel beta kelelahan memproduksi insulin sehingga terjadi
kegagalan sel .
Kegagalan sel ini tidak terjadi pada semua penderita diabetes
mellitus tipe 2 sehingga diduga ada pengaruh faktor intrinsik berupa faktor
genetik yaitu gen diabetogenik TCF7L2. Polipeptida amiloid pada pulau
Langerhans (amilin) disekresikan oleh sel beta dan membentuk deposit
fibriler amiloid pada pankreas penderita diabetes mellitus tipe 2 jangka
panjang. Diduga bahwa amiloid ini bersifat sitotoksik terhadap sel
sehingga massa sel berkurang. Dapat disimpulkan bahwa disfungsi yang
terjadi dapat bersifat kualitatif (sel beta tidak mampu mempertahankan
hiperinsulinemia) atau kuantitatif (populasi sel beta berkurang). Kedua hal
tersebut dapat disebabkan oleh toksisitas glukosa dan lipotoksisitas.
C Peningkatan Produksi Glukosa Hati
Ketika tubuh semakin resisten terhadap insulin, kadar gula darah
yang tinggi akan memaksa tubuh mensekresikan insulin secara terus
menerus ke dalam sirkulasi darah (hiperinsulinemia). Pada keadaan
normal, seharusnya hal ini dapat membuat glukosa dikonversi menjadi
glikogen dan kolesterol. Akan tetapi, pada pasien DM yang resisten
terhadap insulin, hal ini tidak terjadi dan sebaliknya ketiadaan respon
terhadap insulin mengakibatkan hati terus menerus memproduksi glukosa
(glukoneogenesis). Hal ini pada akhirnya akan berujung pada terjadinya
hiperglikemia. Produksi gula hati baru akan terus meningkat akibat
terjadinya ketidaknormalan sekresi insulin dan munculnya resistensi
insulin di otot rangka.

D Abnormalitas Metabolik

Abnormalitas metabolisme otot dan lemak


Resistensi insulin bersifat relatif karena hiperinsulinemia
dapat menormalkan kadar gula darah. Akibat resistensi insulin,
penggunaan glukosa oleh jaringan sensitif insulin berkurang,
sedangkan

hepatic

glucose

output

bertambah

sehingga

menyebabkan hiperglikemia.
Akumulasi lipid dalam serat otot rangka, yang mengganggu
fosforilasi oksidatif dan penurunan produksi ATP mitokondria yang
dirangsang insulin, menghasilkan reactive oxygen species (ROS),
seperti lipid peroksida. Peningkatan massa adiposit meningkatkan
kadar asam lemak bebas dan produk adiposit lainnya. Selain
mengatur berat badan, nafsu makan, dan energy expenditure,
adipokin mengatur sensitivitas insulin. Peningkatan produksi asam
lemak bebas dan beberapa adipokin menyebabkan resistensi insulin
pada otot rangka dan hati. Misalnya, asam lemak bebas
mengurangi penggunaan glukosa pada otot rangka, merangsang
produksi glukosa dari hati, dan mengganggu fungsi sel beta.
Di sisi lain, produksi adiponektin berkurang pada obesitas
dan

menyebabkan

resistensi

insulin

hepatik.

Adiponektin

memegang peranan penting dalam resistensi insulin yang


dihubungkan dengan struktur molekul dan mekanisme kerjanya
yaitu menurunkan kandungan trigliserida, mengaktivasi PPAR-
dan AMP-Kinase. Kadar adponektin yang rendah merupakan salah
satu faktor risiko dan prediktor terjadinya diabetes melitus tipe 2.
Selain itu, beberapa produk adiposit dan adipokin merangsang

inflamasi sehingga terjadi peningkatan IL-6 dan C-reactive protein


pada DM tipe 2.

Peningkatan produksi glukosa dan lipid hati


Pada DM tipe 2, resistensi insulin pada hati
menggambarkan kegagalan hiperinsulinemia untuk menekan
glukoneogenesis sehingga terjadi hiperglikemia saat puasa dan
penurunan

penyimpanan

glikogen

hati

setelah

makan.

Peningkatan produksi glukosa hati terjadi pada tahap awal


diabetes, setelah terjadi abnormalitas sekresi insulin dan
resistensi insulin pada otot rangka. Akibatnya, banyak asam
lemak bebas keluar dari adiposit sehingga terjadi peningkatan
sintesis lipid (VLDL dan trigliserida) dalam hepatosit.
Penyimpanan lipid (steatosis) dalam hati dapat berlanjut pada
penyakit perlemakan hati nonalkoholik dan abnormalitas
fungsi hati. Selain itu, keadaan tersebut menyebabkan
dislipidemia pada penderita DM tipe 2, yaitu peningkatan
trigliserida, peningkatan LDL, dan penurunan HDL.
Pada penderita DM, kemampuan mobilisasi dan
chemotaxis dari PMN menurun. Demikian pula halnya dengan
proses fagositosis PMN terhadap bakteri, juga terjadi
penurunan pada DM Aktivitas bakterisid dari PMN pada
penderita DM menurun. Disamping mundurnya fungsi PMN
seperti disebutkan diatas, sel mononuklearpun, monosit
misalnya, juga mengalami kelainan pada penderita DM. Secara
kuantitatif, jumlah monosit pada penderita DM dilaporkan
mengalami

penurunan.

Demikian

pula

kermampuam

deteksinya terhadap membran mikroorganisme juga menurun,


diduga akibat penurunan sensistivitas reseptor yang ada pada

monosit tersebut, atau karena reseptornya sendiri yang menjadi


berkurang. Namun, apapun penyebabnya, daya fagositosis dari
monosit pada DM berkurang, seperti juga halnya daya adhesi
serta khemotaksisnya. Belum dapat dibuktikan menurunnya
daya adhesi monosit terhadap bakteri disebabkan oleh
peningkatan daya adhesinya terhadap fibronectin yang
memang terjadi pada penderita DM. Dilaporkan pula bahwa
terjadi peningkatan aktivitas metabolisme dari monosit pada
DM, yang memberi dampak pada peningkatan produksi
superoksid, peningkatan aktivitas hexose monophosphate
shunt.

Pada penderita DM mengungkapkan pula adanya

peningkatan sekresi mediator inflamasi seperti interleukin-1,


TNF-, dan prostaglandin E2. Keadaan hiperglikemia akan
meningkatkan produksi superoksida pada mitochondria yang
berpotensi mengaktivasi UCP-2 ( uncoupling protein-2 ) yang
memediasi pemborosan ATP menjadi bentuk panas. Hal inilah
yang berakibat menurunnya ATP/ADP ratio, sehingga proses
glucose stimulated insulin secretion menurun). Peningkatan
superoksida mitokhondria, aktivasi UCP-2 dan penggunaan
ATP Pada binatang percobaan yang memiliki sifat /
kecenderungan diabetes terbukti bahwa keadaan hiperglikemia
kronis menyebabkan mundurnya kemampuan proliferasi dan
kemudian kematian sel beta ( beta cell apoptosis ) Peningkatan
saturated fatty acid ( mis. asam palmitat ) dalam serum
berdampak

sama

dengan

hiperglikemia

yakni

memicu

disfungsi sel beta dan apoptosis. kerusakan baru terjadi apabila


terjadi peningkatan kadar asam lemak secara bersamaan
dengan glukosa darah yang secara sinergistik memberi dampak
buruk, disebut glucolipotoxicity Disamping disfungsi dan

kerusakan sel beta, hiperglikemia kronis juga menyebabkan


abnormalitas pada hampir seluruh jaringan tubuh , terutama
pada insulin target tissue berawal dari kelainan mikro maupun
makrovaskuler.

Contohnya,

terjadi

inefektivitas

dialisis

peritoneum jangka panjang karena menggunakan dialisat


glukosa konsentrasi tinggi ( glucotoxicity ) Pada lapisan otot
pembuluh darah ( VSMCs = vascular smooth muscle cells ),
pengaruh hiperglikemia justru menghilangkan daya apoptosis
jaringan terhadap proliferasi tunica muscularis, sehingga
memicu proses aterogenesis atau komplikasi makrovaskular
Produksi superoksida dari mitochondria juga mengaktivasi
faktor inflamasi COX-2 dari monosit yang memicu proses
aterogenesis Mekanisme kerusakan jaringan pada diabetes
adalah sebagai berikut Polyol pathway Bila alur ini merupakan
alternatif yang terjadi pada proses glikolisis yang terhalang,
akan berakibat stress oxidative didalam sel. Hal ini disebabkan
karena proses reduksi glukosa menjadi sorbitol banyak
mengkonsumsi NADPH, unsur penting untuk pembentukan
antioksidan gluthathone didalam sel. Pembentukan AGE
precursors Pembentukan senyawa ini didalam sel yang
kelebihan glukosa akan mendatangkan kerusakan terhadap sel.
Ini dapat terjadi akibat modifikasi yang ditimbulkan pada
protein di dalam sel, termasuk protein penting yang berfungsi
pengatur gene transcription. AGE precursors dapat pula
memodifikasi molekul matrix setelah berdifusi keluar sel,
sehingga menimbulkan perubahan sinyal antara matrix dengan
sel. Atau bisa juga setelah keluar sel secara difusi,
memodifikasi protein yang berada dalam sirkulasi darah,
kemudian protein ini berikatan dengan AGE receptors

sehingga ikatan ini mengahsilkan berbagai sitokin inflamasi


dan growth factors penyebab kerusakan vaskuler. Aktivasi
PKC Peningkatan kadar glukosa intrasel menyebabkan
peningkatan sisntesis diacyl glycerol ( DAG ), yang
menyebabkan ekspresi PKC dalam sel juga meningkat yang
pada gilirannya mengubah berbagai macam ekspresi gen yang
secara keseluruhan merusak pembuluh darah. Hexosamine
pathway Alur metabolisme ini terjadi uga diawali oleh
tingginya kadar glukosa intra sel. Keadaan ini menyebabkan
sebagian dari pada glukosa tersebut tidak mengikuti alur
normal glikolisis, tapi beberapa bagian fructose-6-phosphate
berubah menjadi glucosamine-6-phosphate, kemudian menjadi
uridine diphosphate ( UDP ) N-acetyl glucosamine dengan
bantuan enzim GFAT ( glutamine fructose-6 phosphate
amidotransferase ). N-acetyl glucosamine merupakan unsur
yang berperan dalam perubahan ekspresi gen melalui
modifikasi

protein

yang

diakibatkannya,

diantaranya

peningkatan ekspresi dari PAI-1 dan transforming growth


factor-1 ( TGF- 1 ), yang berdampak buruk terhadap
pembuluh darah. High glucose induced cyclooxygenase-2
( COX-2 ) expression ( 2 7 ) Enzim cyclooxygenase-2 ( COX2 ) dikenal berperan dalam proses inflamasi di jaringan. Dia
adalah katalisator perubahan asam arakhidonat menjadi
prostaglandin yang berperan penting dalam proses inflamasi.
Ekspresi COX-2 mRNA dari monosit mengalami peningkatan
dalam suasana hiperglikemia, akibat meningkatnya proses
transkripsi. Terdapat bukti peningkatan COX-2 pada jaringan
mesangial dan juga endotelial disertai penurunan NO, akibat
peningkatan ROS dari mitokhondria. Semua jalur mekanisme

pengrusakan diatas, diawali oleh overproduksi superoxide oleh


mitochondria. Mekanisme hulu ini dikenal sebagai single
unifying mechanism Oxidant yang dibentuk berlebihan akan
mengaktivasi PARP ( poly ADP ribose polymerase ). Aktivasi
PARP akan berakibat inhibisi terhadap GAPDH.
G. Gangguan Sistem Pertahanan Tubuh pada Penderita Diabetes Mellitus
Pasien diabetes mellitus dilaporkan memiliki penurunan sistem imun
setelah terganggunya pengontrolan kadar gula di dalam tubuhnya. Ada
beberapa gangguan fungsi yang dapat ditemukan pada penderita diabetes
mellitus adalah sebagai berikut :
1

Penurunan Mobilisasi PMN


Polimorfonuklear atrau granulosit dibentuk di dalam sum-sum

tulang dan beredar di dalam aliran darah selama 2-3 hari, sedangkan
monosit atau makrofag dapat bertahan hidup selama beberapa bulan
hingga tahun. Granulosit dapat juga dapat ditemukan di luar pembuluh
darah (Baratawidjaja, 2004).
Granulosit bersamaan dengan antibodi dan komplemen berperan
dalam proses inflamasi akut. Netrofil yang merupakan salah satu bagian
dari granulosit berperan dalam fagositosis. Adanya penurunan jumlah
neutrofil menyebabkan terjadinya kerentanan terhadap infeksi (Guntur,
2011) . Penelitian yang dilakukan oleh Perllie et al mengenai penurunan
sistem imun pada pasien diabetes mellitus, didapatkan pasien diabetes
mellitus memiliki kecepatan mobilisasi PMN yang lebih lambat ketimbang
kontrol pada saat dilakukan sayatan kecil pada sampel. Penelitian ini juga
didukung oleh Mowat dan Baum di mana indeks kemotatik PMN
padadiabetes mellitus ikut menurun.

Selain terjadinya penurunan daya kemotatik sel PMN, pada


penderita diabetes mellitus dengan asidosis diabetika ditemukan defek
fagosit dalam menelan dan intracellular killing bacteri. Normalnya, sel
fagosit akan bergerak menuju mikroba dan mengikatkan dirinya pada
permukaan mikroba melalui komplemen atau antibodi. Selanjutnya akan
internalisasi mikroba ke dalam fagosom yang nantinya akan melebur
mikroba dengan oksigen radikal bebas (Djokomeljanto, 2004). Ketika
asidosis diabetika dikoreksi, perbaikan fungsi fagositosis terjadi walaupun
tidak sebaik kontrol (Tan et al., 2009).
Gangguan fungsi adherence sel PMN pada pasien diabetes mellitus
mengakibatkan antigen sulit untuk difagositosis. Semakin baik kontrol
gula pasien diabetes mellitus, semakin baik pula fungsi adherence sel
PMN. Fungsi adherence membantu

perlekatan PMN dengan kompleks

antigen-antibodi-komplemen.
2

Penurunan Jumlah Monosit


Monosit merupakan sel progenitor dalam sumsum tulang. Monosit
akan berproliferasi dan bermaturasi kemudian masuk ke dalam peredaran
darah. setelah 24 jam, sel monosit akan bermigrasi dari peredaran darah
dan menuju ke tempat tujuan untuk berdifierensiasi sebagai makrofag
(Bellanti, 2008). Makrofag akan membelah membentuk protein dan
bertahan sampai beberapa bulan yang kemudian disebut fixed macrophage
yang nantinya akan berubah nama sesuai dengan lokasinya seperti sel
kuffer di hepar dan makrofag peritoneal bebas di dalam cairan peritoneum.
Fungsi monosit sebagai fagosit, antiviral, antitumor, presentasi antigen ke
limfosit, aktivasi limfosit dan produksi komponen komplemen, modeling
dan perbaikan jaringan, aktivasi sistemik sebagai respon terhadap infeksi,
serta aktivasi vaskulatur sel epitel. Penurunan jumlah total dari monosit
yang beredar di dalam plasma akan menurunkan fungsi dari sistem imun

tubuh seseorang. Pada penderita diabetes mellitus, terjadi penurunan


jumlah total monosit yang beredar pada plasma. Penelitian Geisler et al.,
pada 20 pasien diabetes mellitus yang dijadikan responden penelitian, 14
pasien dengan kadar gula yang tidak terkontrol mengalami penurunan
fungsi fagositosis terhadap Candida Albicans. Monosit pada pasien
diabetes mellitus mengalami penurunan aktivitas reseptor lectinlike yang
diperlukan

untuk

mengenali

komponen

dinding

mikroorganisme

(Sentochnik dan Eliopoulos, 2005).


3

Penurunan Kadar Komplemen


Aktivitas komplemen pada DM, baik kualitas maupun kuantitas
menurun. Menurut beberapa penelitian, , kadar

C4 pada penderita

diabetes mellitus baik tipe 1 dan 2 menurun sebesar 25 %. Penderita


diabetes mellitus yang bergantung pada insulin dilaporkan mengalami
penurunan kadar komplemen yaitu jenis Ciq dan C3 (Arifin dan Guntur,
2004). Pada penderita diabetes mellitus tipe 1 mendapatkan bahwa kadar
C3 untuk yang mengidap diabetes mellitus kurang dari satu tahun
cenderung menurun dan meningkat pada penderita yang telah sakit 13
tahun dan lebih 5 tahun. Kadar C4 menurun pada penderita yang
mengidap kurang dari 1 tahun dan cenderung turun pada penderita yang
telah mengidap antara 13 tahun. Pola tersebut dihubungkan dengan ICA
(islet cell antibody) yang bersifat mengikat komplemen (Ford, 2001).
Sementara itu pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 juga
didapati penurunan dari komplemen C3 dan C4 (Bernheim et al., 2011).
Kadar komplemen yang menurun cenderung menyebabkan tubuh rentan
terhadap infeksi hal ini disebabkan penurunan fungsi kemotaksis (Guntur,
2001).
Komplemen merupakan salah satu molekul dari sistem imun yang
befungsi dalam inflamasi, opsonisasi partikel antigen dan menimbulkan

kerusakan membrane patogen. Komplemen merupakan molekul dari


sistem imun non spesifik larut dalam keadaan tidak aktif, tetapi setiap
waktu dapat diaktifkan oleh berbagai bahan seperti antigen, kompleks
imun dan sebagainya. Aktivasi komplemen melalui dua jalur yaitu jalur
klasik dan jalur alternatif. Hasil aktivasi ini akan menghasilkan berbagai
mediator yang mempunyai sifat biologik aktif dan beberapa di antaranya
berupa enzim. Hal tersebut terjadi sebagai usaha tubuh untuk
menghancurkan antigen asing. (Baratawidjaja, 2004).
4

Penurunan Kadar Immunoglobulin


Dalam serum orang dewasa normal, IgG merupakan 75 % dari
imunoglobulintotal. IgG merupakan imunoglobulin utama yang dibentuk
atas rangsangan antigen. Di antara semua kelas imunoglobulin, IgG paling
mudah berdifusi ke dalam jaringan ekstra vaskular dan melanjutkan
aktivitas antibodi di jaringan . Kadar IgG dan IgA dalam serum menurun
pada penderita diabetes mellitus (Greco, 2015). Namun masih mempunyai
respon

cukup untuk infeksi-infeksi tertentu misal infeksi oleh virus

coxsackie, sehingga fungsi fagositosis menurun. Roio et al, melakukan


penelitian terhadap diabetes mellitus tipe 1 dengan membandingkan kadar
IgG dan IgA pasien dengan gula darah terkontrol dan tidak terkontrol. IgG
pada pasien dengan gula darah tidak terkontrol mengalami penurunan
secara signifikan dibanding dengan pasien dengan gula darah terkontrol,
sedangkan IgA terjadi penurunan pada pasien dengan gula darah terkontrol
dibanding yang tidak terkontrol . IgG memiliki sifat opsonin yang efektif
karena sel fagosit, monosit, dan makrofag mempunyai reseptor untuk
fraksi Fc dari IgG sehingga dapat mempererat hubungan antara fagosit
dengan sel sasaran. Opsonin dalam bahasa Yunani berarti menyiapkan
untuk dimakan. Selanjutnya proses opsonisasi tersebut dibantu oleh
reseptor untuk komplemen pada permukaan fagosit. IgG juga berperan

pada imunitas seluler karena dapat merusak antigen seluler melalui


interaksi dengan sistem komplemen atau melalui efek sitolitik Killer cell
( sel K ), eosinofil, neutrofil, yang semuanya mengandung reseptor untuk
Fc dari IgG. Sel K merupakan efektor dari antibody Dependent Celluler
Cytotoxicity ( ADCC ). ADCC tidak hanya merusak sel tunggal, tetapi
juga mikroorganisme multiseluler seperti telur skistosoma. Peranan efektor
ADCC ini penting pada penghancuran kanker, penolakan transplan dan
penyakit autoimun, sedang ADCC melalui neutrofil dan eosinofil,
berperan pada infestasi parasit. Kadar IgG meninggi pada infeksi kronis
dan penyakit autoimun (Bellanti dan Josef, 1993).
5

Glikosilasi dan AGEP


Hiperglikemia akan menyebabkan glikosilasi non ensimatik matrik
dan protein membran sel yang akan terikat oleh reseptor khusus, yaitu
AGEP-R ( reseptor advanced glycosylation end-products ). Aktivasi ini
menghasilkan peningkatan pengeluaran sitokin dan growth factor
termasuk PDGF, interleukins, TNF- dan TGF- , yang semuanya
mempengaruhi proses penyakit (Singh et al, 2014) . Agaknya peran
glikosilasi non ensimatik ini cukup penting dalam mekanisme perubahan
fungsi PMN dan jaringan, serta hubungannya dengan gangguan vaskuler.
Glukosa bereaksi secara non ensimatik dengan grup asam amino bebas
membentuk produk Schiff Base yang reversible. Glikasi lanjut akan
membentuk Amadori product yang menempel pada protein. Produk
glikosilasi awal ini merupakan prekursor produk baru dan terbentuk lebih
lambat ( beberapa minggu atau bulan ) disebut AGEP ( advanced
glycosylation end products ). AGEP ini merupakan produk amadori yang
mengalami rearrangement, dehidrasi, serta kondensasi membentuk ikatan
irreversibel dan bertahan selamanya bersama protein atau subtrat lain. Kini
telah dipastikan adanya reseptor AGEP pada monosit / macrophage, sel

endotel dan sel mesangial ginjal. Dua AGE-binding protein yang telah
dikenal yaitu protein dengan 60-kDa dan 90-kDa, di mana kedua binding
protein ini merupakan substrat dari protein kinase C, sehingga dapat
dimengerti mengapa terjadi aktivasi signaling intrasel, sekresi sitokin serta
growth factors waktu ada reaksi dengan AGE (Singh et al, 2014).
Peningkatan produk AGEP pada pasien diabete mellitus yang tidak
terkontrol akan menyebabkan peningkatan TNF- dan IL-1. Hampir
semua jaringan dapat mengalami glikosilasi, tetapi protein yang waktu
paruhnya lebih dari beberapa minggu merupakan protein yang paling peka
terhadap glikosilasi, lebih-lebih komponen matriks jaringan ikat dan
membran basal. Baru-baru ini diketahui bahwa glikosilasi dapat mengenai
protein berjangka hidup pendek, lipid dan asam nukleat ( DNA ). Ada 3
mekanisme dimana AGEP menyebabkan perubahan patologik : (a)
Pembentukan AGEP intrasel yang mengubah fungsi protein, (b) AGEP
ekstrasel yang mengganggu fungsi matriks dan (c) AGEP ektrasel
mendorong receptor mediated ROS production, membentuk gen abnormal.
(Manaf, 2008). Apabila monosit dalam sirkulasi menjadi makrofag di
jaringan, dan ditemukannya reseptor AGEP di membran monosit, maka
dapat dibayangkan pengaruh hiperglikemi terhadap makrofag lewat
glikosilasi ini, dengan mekanisme terjadi gangguan intrasel, misalnya
produksi protein khusus. Dalam satu studi telah ditemukan bahwa
pemaparan TNF- yang lama ( 12 hari ) terhadap adiposit akan
menurunkan kadar GLUT 1 dan GLUT 4, yang berakibat menurunkan
uptake glukosa, sehingga menyebabkan hiperglikemi. Penurunan uptake
glukosa oleh PMN akan menurunkan oxydative burst yang selanjutnya
akan menurunkan kemampuan sel PMN untuk mengeliminasi S Aureus.
Sel monosit akan berkompensasi memproduksi TNF- lebih banyak lagi
untuk tujuan meningkatkan aktifitas fagositik dan daya bunuh sel fagosit
antara lain sel PMN (Nowotny, 2015).

Cell Mediated Immunity


Banyak penelitian yang mengungkap adanya defek CMI ( Cell
Mediated Immunity ) pada pasien DM.

Mac Cuish et al, dalam

penelitiannya menemukan bahwa terjaid penurunan transformasi limfosit


terhadap rangsang PHA ( phytohemagglutinin ) pada penderita diabetes
mellitus yang tidak terkendali. Speert dan Silva menemukan limfosit pada
anak yang mengalami ketoasidosis mengalami penurunan respons
terhadap mitogen, dan akan kembali baik bila kelainan metabolik tersebut
dikoreksi. Jumlah limfosit T menurun terutama CD4 (Th) menurun
mengakibatkan rasio CD4 : CD8 menurun. Kelainan ini oleh karena kadar
insulin berkurang atau aktivitas insulin menurun. Suatu bukti kemunduran
limfosit T pada diabetes mellitus adalah tampak kurangnya respons
pembentukan antibodi spesifik setelah diberi vaksin, misal hepatitis B.
Keadaan ini disebabkan karena aktifitas fagosit terganggu, kurang fungsi
pengenalan ( recognition ) terhadap antigen (Sentochnik, 2005).

BAB III
KESIMPULAN
1. Diabetes mellitus merupakan penyakit dengan prevalensi yang semakin meningkat
dari tahun ke tahun dan masih sedikit kesadaran dari penderitanya di Indonesia untuk
memeriksakan dirinya.
2. Penderita DM mengalami penurunan jumlah PMN, monosit, immunoglobulin,
glikolisasi dan AGEP, serta gangguan dalam hal cell mediated immunity sehingga
pada pasien DM rentan terjadi kerusakan jaringan akibat inflamasi atau infeksi

DAFTAR PUSTAKA
Al-Mutairi H, Mohsen A, Al-Mazidi ZM. 2007. Genetics of type 1 diabetes mellitus.
Kuwait medical journal 39 (2): 107-115
Arifin, Guntur H. (2005). Prevalensi sepsis di rumah sakit dr. Moewardi Surakarta tahun
2004. in : Guntur H, Pramana, Prasetyo DH, editors. Kumpulan makalah lengkap
Konas Petri XI, Perpari VII, PKWI VIII dan PIT PAPDI Cab. Surakarta.
Baratawidjaja KG.(2004). Imunologi Dasar 6thed. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Bellanti JA, Josef V. Imunologi umum. In : Bellanti.. Imunologi III. Gajah
Bougn res P, Valleron AJ. (2008) Causes of early-onset type 1 diabetes: toward datadriven environmental approaches. JEM VOL. 205, December 22, 2008.
Djokomoeljanto R.(2004) Impaired response to infections in the diabetics. In :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006

Ford ES. (2002) Leukocyte count, erythrocyte sedimentation rate, and


diabetes incidence in a national sample of US adults. Am J
Epidemiol 2002; 155:57-64.
Greco D, Maggio F . (2015) Selective Immunoglobulin A Deficiency in Type 1 Diabetes
Mellitus: A Prevalence Study in Western Sicily (Italy). Diabetes Metab J. 2015
Apr; 39(2): 132136
Guntur H (2001) Perbedaan respons imun yang berperan pada sepsis dan syok septik,
suatu pendekatan imunopatobiologik sepsis dan syok septik pada
immunocompromise dan non immunocompromise. Disertasi. Universitas
Airlangga. Surabaya.
Gustaviani Reno. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th. Departemen Ilmu Penyakit
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta: 2006; Hal 1860-3.
Hosszufalusi N, Vatay A, Rajczy K, Prohaszka Z, Pozsonyi E, Horvath L, et al.
(2003).Similar genetic features and different islet cell autoantibody pattern of
latent autoimmune diabetes in adults (LADA) compared with adult-onset type 1
diabetes with rapid progression. Diabetes Care ;26:452-457.
Manaf A. (2008). Genetical Abnormality and Glucotoxicity in Diabetes Mellitus: The
Background of Tissue Damage and Infection. Sub Bagian Metabolik
Endokrinologi Bagian I Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang
Mortensen HB. (2010). Multinational study in children and adolescents with newly
diagnosed type 1 diabetes: association of age, ketoacidosis, HLA status, and
autoantibodies on residual beta-cell function and glycemic control 12 months after
diagnosis. Pediatric Diabetes 2010: 11: 218226. 2.
Palmer JP, Hampe CS, Chiu H, Goel A, Brooks-Worrell BM.(2005). Is latent autoimmune
diabetes in adults distinct from type 1 diabetes or just type 1 diabetes at an older
age? Diabetes. 54(suppl 2):S62-S67.

Roio RD, Liberatore Jr, Barbosa SF, Alkimin M, Pires RB, Florido MP, et al. (2005). Is
immunity in diabetic patients influencing the susceptibility to infection ?
Immunoglobulins, complement and phagocytic function in children and
adolescents with type 1 diabetes mellitus. Pediatric diabetes 2005;6:206-212

Sentochnik DE, Eliopoulos GM. (2005). Infection and diabetes. In : Khan CR,King GL,
Moses AC, Weir GC, Jacobson AM, Smith RJ, editors. Joslins Diabetes Mellitus
14 th ed. Philadelphia : Lippincott williams and wilkins. 2005. p. 1017-30.
Suyono S. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta: 2007; Hal 7-14
Thomas RC. (2010) Autoimmunity and the Pathogenesis of type 1 Diabetes. McGill
University Medical School, Montreal, Canada; 2010; 47(2): 5171.
Tripathy D, Carlsson AL, Lehto M, et al. (2004). Insulin secretion and insulin sensitivity
in diabetic subgroups: studies in the prediabetic and diabetic state. Diabetologia. ;
43(12):1476-83.
WHO. (2006). Guidelines for the prevention, management, and care of diabetes mellitus.
WHO : Geneva.

Anda mungkin juga menyukai