Anda di halaman 1dari 15

Referat

HALAMAN JUDUL

Metabolisme Bilirubin

Oleh:
Azillah Syukria Novitri, S.Ked
04054821820095

Pembimbing:
Prof. dr. Ali Ghanie, SpPD, KKV

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat
Metabolisme Bilirubin

Oleh:
Azillah Syukria Novitri, S.Ked
04054821820095

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 22 Oktober 2018 s.d 31 Desember 2018.

Palembang, Desember 2018

Prof. dr. Ali Ghanie, SpPD, KKV

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan referat dengan judul “Metabolisme Bilirubin”. Pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. dr. Ali Ghanie, SpPD, KKV selaku
pembimbing yang telah membantu dalam penyelesaian referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan referat ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat diharapkan. Akhir kata, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi penulis
dan para pembaca sekalian.

Palembang, Desember 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………………………….i
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………………….ii
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………….iii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………iv
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………….1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………………..2
BAB III KESIMPULAN…………………………………………………………………....10
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………….11

iv
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Salah satu fungsi hati adalah untuk mengeluarkan empedu, normalnya antara 600 dan
1200 ml/hari.1 Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorbsi lemak
serta bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk buangan yang penting
dari darah, terutama bilirubin yang merupakan produk akhir dari penghancuran hemoglobin
dan kelebihan kolesterol yang dibentuk oleh sel-sel hati.1
Bilirubin adalah suatu pigmen kuning dengan sebuah struktur tetrapirol yang tidak larut
dalam air berasal dari sel-sel darah yang telah hancur (75%), katabolisme protein-protein hem
lain (22%) dan inaktivasi eritropoiesis sumsum tulang (3%). 2
Hiperbilirubinemia merupakan peninggian kadar bilirubin darah yang melampaui 1
mg/dl. Jika kadar mencapai lebih dari 2 mg/dl, maka bilirubin berdifusi ke dalam jaringan.
Bilirubin dalam jaringan akan menyebabkan ikterus (jaundice).2 Ikterus adalah perubahan
warna kulit, sklera mata, atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning
karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah.3
Gangguan metabolisme bilirubin dapat diakibatkan oleh berbagai penyakit dan menimbulkan
manifestasi klinis yang beragam.3

I.2 Tujuan
1. Untuk Mengetahui metabolisme bilirubin
2. Untuk mengetahui penyakit akibat gangguan metabolisme bilirubin

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Defenisi

Bilirubin adalah suatu pigmen kuning dengan sebuah struktur tetrapirol yang tidak
larut dalam air berasal dari sel-sel darah yang telah hancur (75%), katabolisme protein-
protein hem lain (22%) dan inaktivasi eritropoiesis sumsum tulang (3%). 2

2. Produksi dan Metabolisme Bilirubin Normal

2
Pada individu normal, pembentukan dan eksresi bilirubin berlangsung seperti skema 1.
Sekitar 80 hingga 85% bilirubin terbentuk dari pemecahan eritrosit tua dalam system
monosit- makrofag. Masa hidup rata-rata eritrosit adalah 120 hari. Setiap hari dihancurkan
sekitar 50 ml darah dan menghasilkan 250-350 mg bilirubin. 15 hingga 20% pigmen empedu
total tidak bergantung pada mekanisme ini, tetapi berasal dari destruksi sel eritrosit matur
dalam sumsum tulang (hematopoiesis tak efektif) dan dari hemoprotein lain, terutama hati.4
Pada katabolisme hemoglobin (terutama terjadi dalam limpa), globin mula-mula
dipisahkan dari heme, setelah itu heme diubah menjadi biliverdin. Bilirubin tak terkonjugasi
(B1) kemudian dibentuk dari biliverdin. Biliverdin adalah pigmen kehijauan yang dibentuk
melalui oksidasi bilirubin. B1 larut dalam lemak, tidak larut dalam air, dan tidak dapat
dieksresikan dalam empedu atau urin. B1 berikatan dengan albumin dalam suatu kompleks
larut air, kemudian diangkut oleh sel darah ke sel-sel hati. Ambilan oleh sel hati memerlukan
dua protein, yaitu yang diber symbol sebagai protein Y dan Z. Konjugasi bilirubin dengan
asam glukuronat dikatalisis oleh enzim glukorinil transferase dalam reticulum endoplasma.
Bilirubin terkonjugasi (B2) tidak larut dalam lemak, tetapi larut dalam air dan dapat
dieksresikan dalam empedu dan urin. B2 ditranspor melalui membrane sel dalam empedu
melalui suatu proses aktif. B1 tidak dieksresikan di dalam empedu, kecuali setelah proses
foto-oksidasi atau fotoisomerisasi.4
Bakteri usus mereduksi B2 menjadi serangkaian senyawa yang disebut sterkobilin atau
urobilinogen. Zat ini menyebabkan feses berwarna coklat. Sekitar 10 hingga 20%
urobilinogen mengalami siklus enterohepatic, sedangkan sejumlah kecil dieksresi dalam
urin.4

3. Mekanisme Patofisiologi Ikterik


Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang berlangsung dalam
3 fase; prehepatik, intrahepatik, dan pascahepatik masih relevan, walaupun diperlukan
penjelasan akan adanya fase tambahan dalam tahapan metabolisme bilirubin. Pembagian
yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga tahapan metabolisme bilirubin menjadi 5 fase,
yaitu:2
1. Pembentukan bilirubin
2. Transport plasma
3. Liver uptake
4. Konjugasi
5. Ekskresi bilier
3
Hiperbulirubinemia tak terkonjugasi terutama disebabkan oleh empat mekanisme
pertama, sedangkan mekanisme kelima terutama menyebabkan hyperbilirubinemia
terkonjugasi.4

Fase Prahepatik
1. Pembentukan bilirubin
Sekitar 250-300mg bilirubin atau sekitar 4 mg/kgBB terbentuk setiap harinya; 70-
80% berasal dari pemecahan sel darah merah yang matang, sedangkan sisanya 20-30%
berasal dari protein hem lainnya yang terutama berada di dalam sumsum tulang dan hati.
Sebagian dari protein hem dipecah menjadi besi dan produk antara biliverdin dengan
perantara enzim hemeoksigenase. Enzim lain, biliverdin reduktase, mengubah biliverdin
menjadi bilirubin. Tahapan ini terutama terjadi dalam sistem retikuloendotelial
(mononuklir fagositosis). Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan penyebab
utama peningkatan pembentukan bilirubin.2
2. Transport plasma
Bilirubin tak terkonjugasi (tidak larut air) terikat dengan albumin dalam sirkulasi dan
tidak dapat melalui membrane glomerulus sehingga tidak muncul dalam urin. Ikatan
melemah dalam beberapa keadaan seperti asidosis dan beberapa bahan seperti antibiotika
tertentu.2

Fase Intrahepatik
1. Liver Uptake
Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan cepat.2
2. Konjugasi
Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konjugasi dengan asam
glukoronidase membentuk bilirubin diglukoronida atau bilirubin konjugasi atau bilirubin
direk. Reaksi ini yang dikatalisasi oleh enzim microsomal glukoroniltransferase
menghasilkan bilirubin yang larut air. Dalam beberapan keadaan reaksi ini hanya
menghasilkan bilirubin monoglukoronida, dengan bagian asam glukoronik kedua
ditambahkan dalam saluran empedu melalui system enzim yang berbeda, namun reaksi
ini tidak dianggap fisiologik.2

4
Fase Pascahepatik
1. Ekskresi Bilirubin
B2 dikeluarkan ke dalam kanalikulus bersama bahan lainnya. Dalam usus, flora bakteri
mendekonjugasi dan mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya
sebagaian besar ke dalam tinja yang memberi warna coklat. Sebagian diserap dan
dikeluarkan kembali ke dalam empedu dan dalam jumlah kecil mencapai air seni sebagai
urobilinogen. Anion organik lainnya atau obat dapat mempengaruhi proses yang
kompleks ini. Ginjal dapat mengeluarkan bilirubin diglukoronida tetapi tidak B1 sehingga
terdapat warna air seni gelap yang khas pada gangguan hepatoseluler atau kolestasis
intrahepatik. Dalam sel hati, B1 mengalami proses konjugasi dengan gula melalui enzim
glukoroniltranseferase dan larut dalam empedu cair. B1 bersifat tidak larut dalam air
namun larut dalam lemak sehingga dapat melewati barrier darah-otak atau masuk ke
dalam plasenta. 2

3. Penyakit akibat Gangguan Metabolisme Bilirubin


Langkah awal dalam mengevaluasi pasien dengan ikterus adalah mengenali (1) apakah
hiperbilirubinemia dominan tidak terkonjugasi atau terkonjugasi dan (2) adakah tes
biokimiawi hati yang abnormal.3
1. Peningkatan Bilirubin
a. Unconjugated hyperbilirubinemia
Hati yang normal dapat memetabolisme kelebihan bilirubin, namun peningkatan
konsentrasi bilirubin pada keadaan hemolisis dapat melampaui batas kemampuannya.
Pada keadaan hemolisis yang berat konsentrasi bilirubin jarang lebih dari 3-5 mg/dL,
kecuali jika diikuti kerusakan hati. Namun demikian kombinasi hemolisis yang
sedang dan penyakit hati yang ringan dapat mengakibatkan keadaan ikterus yang
lebih berat; dalam keadaan ini hiperbilirubinemia bercampur, karena ekskresi empedu
kanalikular terganggu.3
Penyakit hemolitik yang mengakibatkan pembentukan hem yang berlebihan
dapat merupakan kelainan didapat maupun keturunan. Penyakit hemolitik yang
diturunkan contohnya sferositosis, talasemia, anemia sel sabit, dan defisiensi G6PD.3
Penyakit hemolitik yang didapat termasuk anemia hemolitik mikroangiopati
(hemolytic-uremic syndrome), paroxysmal nocturnal hemoglobinuria, spur cell
anemia, dan hemolysis imun dan infeksi parasit yaitu malaria dan babesiosis.
Eritropoesis yang tidak efektif terjadi pada defisiensi kobalamin, folat, dan besi.3
5
Dalam keadaan tidak adanya hemolisis, harus dipikirkan adanya masalah pada
ambilan atau konjugasi bilirubin. Beberapa obat seperti rifarmpisin dan probenesid
dapat menyebabkan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dengan berkurangnya
ambilan bilirubin oleh hepar.3
Gangguan pada konjugasi bilirubin terjadi pada 3 kondisi genetik: (1) Crigler-
Najjar Syndrome types I (2) Crigler-Najjar Syndrome types II (3) Gilbert’s
Syndrome.3
Crigler-Najjar Syndrome types I adalah kondisi yang jarang dan biasanya
didapatkan pada neonatus dengan karakteristik icterus yang parah (>20 mg/dL) dan
terjadi kelainan neurologis akibat kernicterus. Penyakit ini disebabkan karena tidak
adanya uridine diphosphate-glucuronosyl transferase (UDPGT) yang berfungsi
mengkatalis konjugasi asam glukoronik menjadi bilirubin.3
Crigler-Najjar Syndrome types II lebih sering terjadi daripada tipe I, pasien
dapat hidup hingga dewasa dengan bilirubin 25mg/dL. Pada pasien ini aktivitas
UDGPT berkurang, bukan tidak ada aktivitas sama sekali.3
Gilbert’s Syndrome mengalami gangguan yang bermakna pada
hiperbilirubinemia indirek (tak terkonjugasi), yang menjadi penting secara klinis
karena keadaan ini sering disalahartikan sebagai penyakit hepatitis kronik. Penyakit
ini menetap, sepanjang hidup, dan mengenai sejumlah 3-5% penduduk, serta
ditemukan pada kelompok umur dewasa muda dengan keluhan tidak spesifik secara
tidak sengaja. Beberapa anggota keluarga sering terkena tetapi bentuk genetik yang
pasti belum dapat ditentukan. Adanya gangguan yang kompleks dalam proses
pengambilan bilirubin dari plasma yang berfluktuasi antara 2-5 mg/dL yang
cenderung naik dengan berpuasa dan keadaan stress lainnya. Keaktifan enzim
glukonil transferase rendah; karena mungkin didapatkan hubungannya dengan
sindrom Crigler-Najjar tipe II. Banyak pasien juga mempunyai masa hidup sel darah
merah yang berkurang, namun demikian tidak cukup menjelaskan keadaan
hiperbilirubinemia. Sindrom ini dapat dengan mudah dibedakan dengan hepatitis
dengan tes faal hati yang normal, tidak terdapatnya empedu dalam urin, dan fraksi
bilirubin indirek yang dominan.3
b. Conjugated hyperbilieubinemia
Sindrom Dubin-Johnson adalah penyakit autosom resesif ditandai dengan
ikterus yang ringan dan tanpa keluhan. Kerusakan dasar terjadinya pada mutasi gen
multiple drug resistance protein 2 pada pasien ini terjadi gangguan ekskresi berbagai
6
anion organik seperti juga bilirubin, namun ekskresi garam empedu tidak terganggu.
Berbeda dengan Sindrom Gilbert, hiperbilirubinemia yang terjadi adalah bilirubin
konjugasi dan empedu terdapat dalam urin. Hati mengandung pigmen sebagai akibat
bahan seperti melanin, namun gambaran histologi normal. Penyebab deposisi pigmen
belum diketahui. Nilai aminotransferase dan fosfatase alkali normal. Rotor’s
Syndrome terjadi gangguan pada penyimpanan bilirubin di hati.3

2. Hiperbilirubinemia dengan Kelainan Biokimiawi Hati


a. Hepatocellular pattern
Terdiri dari hepatitis virus, toksisitas obat dan lingkungan, alcohol, dan sirosis
stadium akhir dari berbagai penyebab. Penyakit Wilson perlu dicurigai jika ikterus
terjadi pada usia muda dan tidak ditemukan penyebab lain dari ikterus. Autoimun
hepatitis terutama terjadi pada umur dewasa muda, wanita namun dapat mengenai pria
dan wanita pada berbagai usia. Alkoholik hepatitis dapat dibedakan dengan hepatitis
virus dan toksin dari aminotransferase. Pasien dengan hepatitis alkoholik umumnya
memiliki rasio AST:ALT minimal 2:1. AST jarang melebihi 300U/L. Pasien dengan
hepatitis virus dan toksin cukup parah menyebabkan kuning dengan aminotransferase
> 500 U/L, dengan ALT ≥ AST. Tingkat kenaikan dari aminotransferase dapat
membantu dalam membedakan proses hepatoselular dan kolestasis. Nilai ALT dan
AST kurang dari 8 kali normal dapat menunjukkan baik proses hepatoselular maupun
kolestasis, namun nilai lebih dari 25 kali normal secara primer merupakan panyakit
hepatoselular akut. Pasien dengan kuning karena sirosis dapat memiliki peningkatan
maupun normal dari aminotransferase.3
Kerusakan hepatoseluler diinduksi obat dapat diklasifikasikan sebagai terduga
maupun tak terduga. Reaksi obat yang terduga berkaitan dengan dosis dan mengenai
semua pasien yang menerima dosis toksik tersebut. Contoh klasiknya dalah
hepatotoksisitas asetaminofen. Reaksi obat yang tidak terduga adalah tidak
bergantung dosis dan terjadi pada minoritas.3
b. Cholestatic pattern
Aliran empedu dapat terganggu pada tingkat mana saja dari mulai sel hati
(kanalikulus), sampai ampula vater. Secara klinis, membedakan kolestasis
intrahepatik dan ekstrahepatik sangat penting. Penyebab paling sering kolestasis
intrahepatic adalah hepatitis, keracunan obat, penyakit hati akibat alcohol, dan
penyakt hati autoimun. Penyebab yang kurang sering adalah sirosis hati bilier primer,

7
kolestasis pada kehamilan, karsinoma metastatik, dan penyakit-penyakit lain yang
jarang.2
Virus hepatitis, keracunan obat (drug induced), alcohol, dan kelainan autoimun
merupakan penyebab yang tersering. Peradangan intrahepatik mengganggu transport
bilirubin konjugasi dan menyebabkan ikterus. Hepatitis A merupakan penyakit self
limited dan dimanifestasikan dengan icterus yang timbul secara akut. Hepatitis B dan
C akut sering tidak menimbulkan ikterus pada tahap awal (akut), tetapi bisa berjalan
kronik dan menahun, mengakibatkan gejala hepatitis menahun atau bahkan sampai
sirosis hati. Tidak jarang penyakit hati menahun juga disertai gejala kuning, sehingga
kadang-kadang didiagnosis salah sebagai hepatitis akut.5
Alkohol bisa mempengaruhi gangguan pengambilan empedu dan sekresinya
sehingga terjadi kolestasis. Pemakaian alkohol secara terus menerus bisa
menimbulkan perlemakan hati (steatosis), hepatitis, dan sirosis dengan berbagai
tingkat ikterus. Perlemakan hati merupakan penemuan yang sering, biasanya dengan
manifestasi yang ringan tanpa ikterus, tetapi kadang-kadang menjurus ke sirosis.
Hepatitis karena alcohol biasanya memberi gejala ikterus yang akut dengan keluhan
dan gejala yang berat. Jika ada nekrosis sel hati ditandai dengan peningkatan
transaminase yang tinggi.2
Hepatitis autoimun biasanya mengenai kelompok muda terutama perempuan.
Data terakhir menyebutkan juga bahwa kelompok tua juga dapat terkena. Dua
penyakit autoimun yang berpengaruh pada sistem bilier tanpa terlalu menyebabkan
reaksi hepatitis adalah sirosis bilier primer dan kolangitis sklerosing. Sirosis bilier
primer merupakan penyakit hati bersifat progresif dan terutama mengenai perempuan
paruh baya. Gejala yang mencolok adalah rasa lelah dan gatal yang sering merupakan
gejala awal, sedangkan ikterus adalah gejala yang timbul kemudian. Kolangitis
sclerosis primer lebih sering dijumpai pada laki-laki dan sekitar 70% menderita
penyakit peradangan usus. Penyakit ini dapat mengarah ke kolangiokarsinoma.
Banyak obat mempunyai efek dalam kejadian ikterus kolestatik, seperti asetaminofen,
penisilin, obat estrogenik atau anabolic.2
Kolestasis Ekstrahepatik penyebab tersering adalah batu duktus koledokus dan
kanker pankreas. Penyebab lainnya yang relative lebih jarang adalah striktur jinak
(pada operasi terdahulu) pada duktus koledokus, karsinoma duktus koledokus,
pankreatitis atau pseudokista pankreas dan kolangitis sklerosing. Kolestasis

8
mencerminkan kegagalan sekresi empedu. Mekanismenya sangat kompleks, bahkan
juga terdapat obstruksi mekanis empedu.2
Patofisiooginya mencerminkan efek backup konstituen empedu (yang
terpending bilirubin, garam empedu, dan lipid) ke dalam sirkulasi sistemik dan
kegagalannya untuk masuk usus halus pada proses ekskresi. Retensi bilirubin
menghasilkan campuran hiperbilirubinemia dengan kelebihan bilirubin konjugasi
masuk ke dalam urin. Tinja sering berwarna pucat karena lebih sedikit yang bisa
mencapai saluran cerna usus halus. Peningkatan garam empedu dalam sirkulasi selalu
diperikirakan sebagai penyebab keluhan gatal (pruritus), walaupun sebenarnya
hubungannya belum jelas, sehingga patogenesis terjadinya gatal belum bisa diketahui
dengan pasti.2
Garam empedu dibutuhkan untuk penyerapan lemak dan vitamin K, gangguan
ekskresi garam empedu dapat berakibat steatorrhea dan hipoprotrombinemia. Pada
keadaan kolestasi yang berlangsung lama (Primary Biliary Cirrhosis), gangguan
penyerapan kalsium, vitamin D, dan vitamin lain yang larut lemak dapat terjadi dan
mengakibatkan osteoporosis atau osteomalasia. Retensi kolesterol dan fosfolipid
mengakibatkan hyperlipidemia, walaupun sintesis kolesterol di hati dan esterifkasi
yang berkurang dalam darah turut berperan; konsentrasi trigliserida tidak
terpengaruh. Lemak beredar dalam darah sebagai lipoprotein densistas rendah yang
unik dan abnormal yang disebut lipoprotein X.2

9
BAB III

KESIMPULAN

Bilirubin adalah suatu pigmen kuning dengan sebuah struktur tetrapirol yang tidak larut
dalam air berasal dari sel-sel darah yang telah hancur (75%), katabolisme protein-protein hem
lain (22%) dan inaktivasi eritropoiesis sumsum tulang (3%).2
Metabolisme bilirubin terdiri dari 5 fase, yaitu pembentukan bilirubin, transport plasma,
liver uptake, konjugasi, eksresi bilier. Hiperbulirubinemia tak terkonjugasi terutama
disebabkan oleh empat mekanisme pertama, sedangkan mekanisme kelima terutama
menyebabkan hyperbilirubinemia terkonjugasi.4
Hiperbilirubinemia merupakan peninggian kadar bilirubin darah yang melampaui 1
mg/dl. Jika kadar mencapai lebih dari 2 mg/dl, maka bilirubin berdifusi ke dalam jaringan.
Bilirubin dalam jaringan tsb akan berubah warna menjadi kuning, disebut ikterus (jaundice).2
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata, atau jaringan lainnya (membran
mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat
konsentrasinya dalam sirkulasi darah.3
Langkah awal dalam mengevaluasi pasien dengan ikterus adalah mengenali (1) apakah
hiperbilirubinemia dominan tidak terkonjugasi atau terkonjugasi dan (2) adakah tes
biokimiawi hati yang abnormal.3

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton & Hall . 1997. Fungsi Sekresi dari Saluran Pencernaan. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran (edisi 9), 1013-34. Jakarta: ECG
2. Sulaiman. 2014. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam Sri Setiati, Idrus Alwi,
Aru W.S., Marcellus S.K., Bambang setiyohadi, Ari Fahrial Syam (Ed.). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam (jilid 2, edisi IV), 1935-40. Jakarta: Internal Publishing.
3. Pratt & Kaplan. 2012. Jaundice. Dalam Longo, Fauci, Kasper, Jameson, Loscalzo
(Ed.). Harrison’s Principle of Internal Medicine 18th Ed (volume I), 324-29. United
States of America: The McGraw-Hill Companies.
4. Linseth. Glenda. 2006. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas. Dalam Price
& Wilson. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit (edisi 6, volume 1),
472-515. Jakarta: ECG.
5. Roche & Kobos. 2004. Jaundice in Adult Patient. Am Fam Physician (69), 299-304.
Retrieved on Desember 30, 2018, from http://www.aafp.org/afp/2004/0115/p299.html

11

Anda mungkin juga menyukai