Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM

KIMIA KLINIK

MODUL IV
PENGUKURAN KADAR BILIRUBIN

Disusun Oleh:
Kelompok 4/B
Sintya Suherlan 10060317067
Nur Ariska Melanti 10060317068
Rizki Agung Muhamad N 10060317069
Fitri Nuraeni 10060317070
Ade Ridwan Septiawan 10060317071
Ryani Amelia Ibrahim 10060317074
Syahrizal Nazala 10060317075

Nama Asisten : Nur Annisa, S.Farm.


Tanggal Percobaan : 21 Oktober 2020
Tanggal Laporan : 28 Oktober 2020

LABORATORIUM FARMASI TERPADU UNIT A


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
BANDUNG
2020 M/1442 H
MODUL IV
PERHITUNGAN KADAR BILIRUBIN

I. TUJUAN
1.1 Melakukan pemeriksaan fungsi hati melalui tes kombinasi bilirubin
1.2 Memahami prinsip pemeriksaan kadar bilirubin total
1.3 Menginterpretasikan hasil pemeriksaan yang bilirubin
II. TEORI DASAR
2.1 Hati
Hati merupakan organ yang sangat penting dalam pengaturan hemostasis
tubuh meliputi metabolisme, biotransformasi, sintesis, penyimpanan dan
imunologi. Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, dengan bobot sekitar 1,2-
1,8 kilogram. Hati adalah organ sentral dan merupakan pusat metabolisme
dalam tubuh, hati berwarna merah coklat dan sangat lunak terletak dibagian
kanan atas rongga abdomen dan tepat dibawah diafragma (Ernawati &
Panjaitan, 2010).
2.1.1 Fungsi hati
Hati mempunyai fungsi sangat banyak dan kompleks untuk
mempertahankan hidup serta berfungsi pada hampir setiap fungsi metabolisme.
Sacara garis besar fungsi hati dibagi dalam 3 macam:
a. Berhubungan dengan metabolisme karbohidrat, protein, lemak dan
vitamin serta pembentukan dan ekskresi empedu.
b. Sebagai tempat sintesis albumin dan fibrinogen.
c. Detoksifikasi dan ekskresi.
Fungsi yang berhubungan dengan detoksifikasi dan ekskresi merupakan
fungsi hati yang sangat penting dan dilakukan oleh enzim enzim hati, melalui
oksidasi, reduksi, hidrolisis atau konjugasi terhadap zat-zat yang kemungkinan
membahayakan dengan cara mengubah menjadi zat yang secara fisiologis tidak
aktif. Hasil detoksifikasi kemudian diekskresikan ke dalam empedu dan urin
(Price,S et al., 2005).
2.1.2 Fungsi hati terkait bilirubin
Katabolisme heme dari semua hemeprotein terjadi dalam fraksi mikrosom
sel retikuloendotel oleh sistem enzym yang kompleks yaitu heme oksigenase
yang merupakan enzym dari keluarga besar sitokrom P450. Langkah awal
pemecahan gugus heme ialah pemutusan jembatan α metena membentuk
biliverdin, suatu tetrapirol linier. Besi mengalami beberapa kali reaksi reduksi
dan oksidasi, reaksi- reaksi ini memerlukan oksigen dan Nikotinamida
Adenosin Dinukleotida Hidrogen ( NADPH ), dan pada akhir reaksi dibebaskan
Fe3+ yang dapat digunakan kembali, karbon monoksida yang berasal dari atom
karbon jembatan metena dan biliverdin. Biliverdin, suatu pigmen berwarna
hijau akan direduksi oleh biliverdin reduktase yang menggunakan NADPH
sehingga rantai metenil menjadi rantai metilen antara cincin pirol III – IV dan
membentuk pigmen berwarna kuning yaitu bilirubin. Perubahan warna pada
memar merupakan petunjuk reaksi degradasi ini. Dalam setiap 1 gr hemoglobin
yang lisis akan membentuk 35 mg bilirubin. Pada orang dewasa dibentuk sekitar
250–350 mg bilirubin per hari, yang dapat berasal dari pemecahan hemoglobin,
proses erytropoetik yang tidak efekif dan pemecahan hemprotein lainnya (Panil
Z, 2008 ).
Bilirubin dari jaringan retikuloendotel adalah bentuk yang sedikit larut
dalam plasma dan air. Bilirubin ini akan diikat nonkovalen dan diangkut oleh
albumin ke hepar. Setiap 100 ml plasma hanya lebih kurang 25 mg bilirubin
yang dapat diikat kuat pada albumin. Bilirubin yang melebihi jumlah ini hanya
terikat longgar hingga mudah lepas dan berdiffusi ke jaringan. Bilirubin I
(indirek) bersifat lebih sukar larut dalam air dibandingkan dengan biliverdin.
Hasil akhir metabolisme heme pada reptil, amfibi dan unggas ialah biliverdin
dan bukan bilirubin seperti pada mamalia. Bilirubin merupakan suatu
antioksidan yang sangat efektif, sedangkan biliverdin tidak. Efektivitas
bilirubin yang terikat pada albumin kira-kira 1/10 kali dibandingkan asam
askorbat dalam perlindungan terhadap peroksida yang larut dalam air. Lebih
bermakna lagi, bilirubin merupakan anti oksidan yang kuat dalam membran,
bersaing dengan vitamin E ( Panil Z,2008 ).
Bilirubin I ( indirek ) yang terikat pada albumin yang ada di hati diambil
pada permukaan sinusoid hepatosit oleh suatu protein pembawa yaitu ligandin.
Sistem transport difasilitasi ini mempunyai kapasitas yang sangat besar tetapi
penggambilan bilirubin akan tergantung pada kelancaran proses yang akan
dilewati bilirubin berikutnya bilirubin nonpolar ( I/indirek ) akan menetap
dalam sel jika tidak diubah menjadi bentuk larut ( II/direk ). Hepatosit akan
mengubah bilirubin menjadi bentuk larut ( II/direk ) yang dapat diekskresikan
dengan mudah ke dalam kandung empedu. Proses perubahan tersebut
melibatkan asam glukoronat yang dikonjugasikan dengan bilirubin, dikatalisis
oleh enzym bilirubin glukoronosiltransferase. Hati mengandung sedikitnya dua
isoform enzym glukoronosiltransferase yang terdapat terutama pada retikulum
endoplasma. Reaksi konjugasi ini berlangsung dua tahap, memerlukan Uridin
Difosfat Glukosa ( UDP ) asam glukoronat sebagai donor glukoronat. Tahap
pertama akan membentuk bilirubin monoglukoronida sebagai senyawa antara
yang kemudian dikonversi menjadi bilirubin diglukoronida yang larut pada
tahap kedua. Eksresi bilirubin larut ke dalam saluran dan kandung empedu
berlangsung dengan mekanisme transport aktif yang melawan gradien
konsentrasi. Seluruh bilirubin pada keadaan fisiologis yang diekskresikan ke
kandung empedu berada dalam bentuk terkonjugasi ( bilirubin II ) (Panil Z,
2008).
2.2 Bilirubin
Bilirubin adalah produk utama dari penguraian sel darah merah yang tua.
Bilirubin disaring dari darah oleh hati, dan dikeluarkan pada cairan empedu.
Bilirubin total akan meningkat, sebagaimana hati menjadi semakin rusak.
Bilirubin langsung merupakan sebagian dari bilirubin total termetabolisme, bila
bagian ini meningkat, penyebab biasanya di luar hati. Kerusakan pada hati atau
pada saluran cairan empedu dalam hati ditunjukan apabila kadar bilirubin
langsung rendah sementara kadar bilirubin total tinggi. Bilirubin mengandung
bahan pewarna yang memberi warna pada kotoran, bila tingkatnya sangat
tinggi, kulit dan mata dapat menjadi kuning, yang mengakibatkan gejala ikterus.
Bilirubin merupakan produk pemecahan sel darah merah. Pemecahan pertama
dari sistem RES ( Reticulo Endothelial System ) yang diawali dengan pelepasan
besi dan rantai peptida globolin. Bilirubin berawal dari turunan cicin porfirin
yang terbuka dan menjadi rantai lurus (Kosasih, 2008).
2.2.1 Klasifikasi
Bilirubin terbagi menjadi 2 jenis yaitu bilirubin indirek yang
merupakan bilirubin yang belum mengalami konjugasi oleh hati dengan
asam glukoronat dan bilirubin direk yang telah mengalami konjugasi
dengan asam glukoronat di dalam hati. Pengukuran bilirubin di
laboratorium untuk membedakan bilirubin direk dan indirek maka
dilakukan juga pemeriksaan bilirubin total yang merupakan pengukuran
total bilirubin direk dan indirek ( Wibowo, 2007 ).
2.2.2 Proses pembentukan bilirubin
Metabolisme bilirubin diawali dengan reaksi proses pemecahan
heme oleh enzim hemoksigenase yang mengubah bilirverdin menjadi
bilirubin oleh enzim bilirubin reduksitase. Sel retikuloendotel menyebabkan
bilirubin tidak larut dalam air. Bilirubin yang disekresikan ke dalam darah
diikat oleh albumin untuk diangkut dalam plasma. Hepatosit merupakan sel
yang dapat melepaskan ikatan bilirubin terhadap albumin dan menyebabkan
bilirubin tersebut terkonjugasi dengan asam glukoronat sehingga bersifat
larut air. Bilirubin yang larut dalam air masuk ke dalam saluran empedu dan
dieksresikan ke dalam usus, bakteri yang terdapat dalam usus atau flora usus
bilirubin diubah menjadi urobilinogen yang tidak berwarna dan larut dalam
air (Zairen, 2011).
Urobilinogen mudah dioksidasi menjadi uribilinogen yang
berwarna. Urobilinogen sebagian besar keluar dari tubuh bersama tinja,
tetapi sebagian kecil diserap oleh darah vena porta dan dikembalikan ke
dalam hati. Urobilinogen tersebut mengalami siklus berulang dan keluar
lagi melalui empedu, sebagian kecil urobilinogen yang masuk ke dalam
sirkulasi sistemik kemudian masuk ke dalam ginjal dan dieksresikan
bersama urin (Frances, 1995).
Proses pembentukan bilirubin dimulai dari perombakan hemoglobin
yang terdapat pada eritrosit, masa hidup eritrosit manusia sekitar 120 hari
dan pada orang dewasa setiap jam mengalami lisis yang diikuti dengan
lisisnya hemoglobin. Sekitar 6 g per hari hemoglobin lisis, dan sel eritrosit
tua akan dikeluarkan dari sistem sirkulasi kemudian dihancurkan oleh
limpa. Apoprotein dari hemoglobin dihidrolisis menjadi komponen asam-
asam amino. Katabolisme heme dari semua hemeprotein terjadi dalam
fraksi mikrosom sel retikuloendotel oleh sistem enzim kompleks yaitu heme
oksigenase yang merupakan enzim dari sitokrom. Pemecahan gugus heme
yaitu pemutusan jembatan metena membentuk biliverdin yang merupakan
suatu tetrapirol linier. Biliverdin merupakan suatu pigmen berwarna hijau
yang akan direduksi oleh biliverdin reduktase. Rantai metinil pada
biliverdin akan diubah menjadi rantai metilen antara cincin pirol III– IV
menggunakan NADPH dan membentuk pigmen berwarna kuning.
Perubahan warna pada memar merupakan petunjuk reaksi degradasi.
Pemeriksaan bilirubin direk sangat penting untuk mendeteksi berbagai jenis
penyakit seperti hepatobilier, hepatitis, sirosis, dan penyakit hati lainnya.
Pemeriksaan bilirubin direk juga dapat mendeteksi malnutrisi, anoreksia,
anemia hemolitik, anemia pernisiosa, hematoma, fetal aritroblastosis, dan
pulmonari embolism (Zairen, 2011).
2.2.3 Metode pemeriksaan kadar bilirubin total
Metode yang digunakan dalam penentuan kadar bilirubin total yaitu
Jendrassik & Grof.
1. Prinsip Pemeriksaan
Bilirubin adalah pigmen kuning yang berasal dari perombakan heme
dari hemoglobin dalam proses pemecahan eritrosit oleh sel retikulo
endotel. Disamping itu sekitar 20% bilirubin berasal dari perombakan
zat-zat lain. Sel retikulo endotel membuat bilirudbin tidak larut dalam
air; bilirubin yang disekresikan dalam darah harus diikatkan pada
albumin untuk diangkut dalam plasma untuk menuju hati. Di dalam hati,
sel hepatosit melepaskan ikatan itu dan mengkonjugasikannya dengan
asam glukoronat sehingga bersifat larut air, dimana reaksi ini melibatka
enzim glukoroni transferase (Joyce, 2007).
Bilirubin terkonjugasi masuk ke saluran empedu dan dieksresikan
ke usus. Selanjutnya flora usus akan mengubahnya menjadi
urobilinogen dan dibuang melalui feses serta sebagian kecil dibuang
melalui urine. Bilirubin yang terkonjugasi akan dengan cepat bereaksi
dengan asam sulfanil yang terdiazotasi membentuk azobilirubin atau
bilirubin langsung (direct bilirubin). Bilirubin terkonjugasi yang
merupakan bilirubin bebas yang terikat albumin harus terlebih dahulu
dicampur dengan alcohol, kafein, atau pelarut lain sebelum dapat
bereaksi, dan sering disebut sebagai bilirubin tidak langsung (indirect
bilirubin) (Joyce, 2007).
Peningkatan kadar bilirubin direct menunjukan adanya gangguan
pada hati berupa kerusakan pada sel hati atau kerusakan pada saluran
empedu (batu atau tumor). Bilirubin terkonjugasi tidak dapat keluar dari
empedu menuju usus sehinga akan masuk kembali dan terabsorbsi ke
dalam aliran darah. Sedangkan peningkatan kadar bilirubin indirect
sering dikaitkan dengan peningkatan destruksi eritrosit (hemolisis),
seperti pada penyakit hemolitik oleh autoimun, transfuse, atau
eritroblastosis fatalis. Peningkatan destruksi eritrosi tidak diimbangi
dengan kecepatan konjugasi dan ekresi ke saluiran empedu sehingga
terjadi peningkatan kadar bilirubin indirect (Joyce, 2007).
Peningkatan kadar bilirubin yang berlebih dapat disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya yaitu:
a. Hemolisis akibat inkompaktibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus,
defisiensi G6PD, sferositosis herediter dan pengaruh obat.
b. Infeksi, septicemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi
intrauterine.
c. Polisitemia.
d. Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.
e. Ibu diabetes.
f. Asidosis.
g. Hipoksia/asfiksia.
h. Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan
sirkulasi enterohepatik.
Dalam uji laboratorium, bilirubin diperiksa sebagai bilirubin total
dan bilirubin direct. Sedangkan bilirubin indirect diperhitungkan dari
selisih antara bilirubin total dengan bilirubin direct. Metode pengukuran
yang digunakan adalah fotometri atau spektrofotometri yang mengukur
intensitas warna azobilirubin.
Peningkatan kadar dari bilirubin total dan direct dapat terjadi akibat
ikterik obstruktif karena batu atau neoplasma empedu, hepatitis, sirosis
hati, mononucleosis infeksiosa, metastasis hati, penyakit Wilson. Selain
terjadi akibat penyakit dapat pula terjadi akibat penggunaan obat
misalnya yaitu : antibiotik (amfoterisin B, klindamisin, eritromisin,
gentamisin, linkomisin, oksasilin, tetrasiklin), sulfonamide, obat
antituberkulosis (asam paraaminosalisilat, isoniazid), alupurinol,
diuretic (asetazolamid, asametakrinat), mitramisis, dekstran, diazepam
(valium), barbiturate, narkotik (kodein, morfin, meperidin), flurazepam,
indometasin, metotreksat, metildopa, papaverin, prokainamid, steroid,
kontrasepsi oral, torbutamid, serta vitaminA,C,K. sedangkan penurunan
kadar dari bilirubin total dan direct dapat disebabkan karena anemia
defisiensi besi dan pengaruh obat seperti barbiturate, salisilat (aspirin),
penisilin, kafein dalam dosis tinggi (Joyce, 2007).
Metode pengukuran kadar bilirubin dapat dilakukan dengan menggunakan
berbagai macam metode yaitu :
a. Van den Bergh, Malloy dan Reaksi Evelyn
Metode ini digunakan reagen Ehlirch diazo, dimana reagen ini bila
direaksikan dengan bilirubin direct dalam larutan berair akan membentuk
kompleks senyawa berwarna merah muda sampai ungu dalam waktu 1
menit, sedangkan dalam larutan metil alcohol 50%, reagen Ehlirch diazo
akan bereaksi dengan bilirubin total membentuk warna merah muda sampai
ungu pada waktu penangguhan 30 menit.
b. Jendrassik & Grof
Pada metode ini, serum atau plasma ditambahkan ke dalam larutan
natrium asetat dan kefein-natrium benzoat. Natrium asetat berfungsi sebagai
buffer pH pada reaksi diazo, sedangkan natrium benzoate-kafein berfungsi
mempercepat kopling bilirubin dengan diazotized asam sulfanilic. Warna
azobilirubin muncul dalam waktu 10 menit.
c. ASTRA
Metode ini merupakan modifikasi dari metode Jendrassik & Grof
d. ACA
Untuk bilirubin terkonjugasi : bilirubin terkonjugasi bereaksi dengan
DSA dalam suasana asam membentuk kromofor merah. Absorbansi
kromofor sebanding dengan bilirubin terkonjugasi yang terdapat di dalam
serum. Pengukuran dilakukan pada panjang gelombang 540-600 nm.
Conjugated bilirubin + DSA + H+ 6 Red chromophore
(non-absorbing at 540 nm) (absorbs at 540 nm)
Untuk bilirubin total : bilirubin total akan bereaksi dengan DSA
dalam suasana asam membentuk kromofor berwarna merah. Lithium
deodesil sulfat (OSZA) digunakan untuk melarutkan bilirubin tak
terkonjugasi. Absorbansi kromofor berbanding lurus dengan bilirubin
dalam sampel dan diukur dengan menggunakan panjang gelombang 540-
600 nm.
Prinsip pemeriksaan dari uji kadar bilirubin ini adalah reaksi
bilirubin dengan asam sulfanilic diazotized akan membentuk kompleks
azobilirubin. Kompleks warna yang terbentuk sangat tergantung pada pH
pada suasana asam atau netral akan terbentuk kompleks warna merah
muda, sedangkan pada suasana basa akan terbentuk kompleks warna biru
atau ungu.
2.3 Penyakit fungsi hati
Jenis-jenis penyakit hati antara lain yaitu Hepatitis, Sirosis, Kanker Hati,
Jaundice (penyakit kuning), Kegagalan Hati, Kolangitis, Leptospirosis dan
Abses Hati.
1. Hepatitis
Hepatitis dapat didefinisikan sebagai suatu proses nekroinflamatorik
(proses kerusakan atau peradangan) yang mengenai sel-sel hati dan terjadi
secara akut yang disebabkan oleh virus hepatitis B (Soemohardjo S, 1999).
2. Sirosis hati
Penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya
pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya
proses peradangan nekrosis sel hati yang luas. Pembentukan jaringan ikat
dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan
perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat
penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Smeltzer & Bare, 2001).
3. Kanker hati
Kanker hati (karsinoma hepatoseluler) disebabkan adanya infeksi
hepatitis B kronis yang terjadi dalam jangka waktu lama. Penyebab kanker
hepar secara umum adalah infeksi virus hepatitis B dan C, cemaran
aflatoksin B1, sirosis hati, infeksi parasit, alkohol serta faktor keturunan
(ghofar, Abdul: 2009).
4. Hiperbilirubinenia
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai
oleh pewarnaan kuning pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin
indirek yang berlebih. Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan
kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang
diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90 (Blackburn,
2007). Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin >2
mg/dl (>17µmol/L) sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum
bilirubin >5mg/dl (86µmol/L) (Mishra dkk., 2008).
III. ALAT DAN BAHAN
3.1 Alat
Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah Fotometer dengan panjang
gelombang 546-550 nm, Gelas Kimia, Mikropipet 100-500 µL,
Spektrofotometer, Tip, dan Tabung Reaksi/Kuvet.
3.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah Asam Sulfanilat, HCL,
Natrium Nitrit, Serum atau EDTA plasma dan Larutan Kontrol.
IV. PROSEDUR PERCOBAAN
4.1 Pengambilan Sampel Darah
Diambil sampel darah, setelah didapatkan sampel darah kemudian
sampel disetrifugasi dengan menggunakan alat sentrifiga diatur waktu dan
kecepatannya. Setelah plasma dan serum terpisah diambil bagian atas yaitu
supernatant yang merupakan serum kedalam tabung reaksi yang sudah diberi
label.
4.2 Pengukuran Sampel Darah
Disiapkan 3 tabung reaksi yang terdiri dari reagen blank, sampel blank
dan sampel. Diambil 900𝜇𝑙 reagen 1 menggunakan mikropipet kemudian
dimasukkan kedalam masing masing tabung. Diambil 30𝜇𝑙 reagen 2 dengan
mikropipet dimasukkan kedalam tabung reagen blank dan tabung sampel.
Kemudian diambil dengan menggunakan mikropipet 60µL serum lalu
dimasukkan ke dalam tabung reaksi sampel dan tabung reaksi sampel blank.
Ketiga tabung reaksi didiamkan selama 5 menit pada suhu 25℃, selanjutnya di
ukur absorbansi dari ketiga tabung reaksi tersebut menggunakan
spektrofotometri UV sinar tampak.
4.3 Pembacaan Absorbansi
Dilakukan pembacaan absorbansi pada masing-masing larutan dengan
menggunakan Spektofotometri UV sinar tampak dengan panjang gelombang
550 nm, setelah mendapatkan nilai absorbansi dari larutan standar dan larutan
test dilakukan perhitungan kadar bilirubin.
V. HASIL PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN
5.1 Data Pengamatan
Larutan Absorbansi
0,008
Sample Blank 0,007
0,008
0,023
Sampel 4 0,023
0,027

5.2 Hasil Perhitungan


0,008 + 0,007 + 0,008
𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘 = = 0,008
3
𝑚𝑔
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑏𝑖𝑙𝑖𝑟𝑟𝑢𝑏𝑖𝑛 ( ) = 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 − 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘 × 𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 (14)
𝑑𝐿

1. 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 4.1 = (0,023 − 0,008) × 14 = 0,21 𝑚𝑔/𝑑𝐿


2. 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 4.2 = (0,023 − 0,008) × 14 = 0,21 𝑚𝑔/𝑑𝐿
3. 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 4.3 = (0,027 − 0,008) × 14 = 0,266 𝑚𝑔/𝑑𝐿
0,21 ± 0,21 + 0,266
𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = 0,229 𝑚𝑔/𝑑𝐿
3
(0,21−0,229)2 +(0,21−0229)2 +(0,266−0,229)2
SD = √ 3−1

SD = 0,032 mg/dL

𝑆𝐷
𝑅𝑆𝐷 = × 100%
𝑥̃
0,032𝑚𝑔/𝑑𝐿
𝑅𝑆𝐷 = × 100%
0,229 𝑚𝑔/𝑑𝐿
𝑅𝑆𝐷 = 13,974%

VI. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan pemeriksaan kadar bilirubin
untuk mengetahui fungsi hati. Bilirubin adalah pigmen kristal tetrapirol berwarna
jingga kuning yang merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme
melalui proses reaksi oksidasi-reduksi yang terjadi di sistem retikula endothelial
(Panil, Z, 2008). Bilirubin dapat digunakan sebagai parameter pemeriksaan fungsi
hati karena bilirubin merupakan hasil pemecahan heme dari sel darah merah akan
mengalami konjugasi di hati dengan asam glukoronat dengan batuan enzim uridyl
diphosphat glucoronyl transferase (UDGPT) sehingga menjadi bilirubin-glukoronat
yang lebih larut air (bilirubin direk) dan akan disekresikan ke empedu untuk
mengemulsikan lemak di usus. Pemeriksaan bilirubin untuk menilai fungsi eksresi
hati di laboraorium terdiri dari pemeriksaan bilirubin serum total, bilirubin serum
direk, dan bilirubin serum indirek, bilirubin urin dan produk turunannya seperti
urobilinogen dan urobilin di urin, serta sterkobilin dan sterkobilinogen di tinja.
Apabila terdapat gangguan fungsi eksresi bilirubin maka kadar bilirubin serum total
meningkat. Kadar bilirubin serum yang meningkat dapat menyebabkan ikterik.
(Sherlock et al, 2002; Dufour et al, 2006).
Pada percobaan kali ini yaitu pemeriksaan menggunakan kadar bilirubin
direct. Bilirubin direct merupakan bilirubin bebas yang terdapat dalam hati dan
tidak lagi berikatan dengan albumin. Bilirubin ini akan mudah berikatan dengan
asam glukoronat membentuk bilirubin glukorosida atau hepatobilirubin. Bilirubin
direct bersifat larut dalam air, dan apabila dalam keadaan normal bilirubin direk
tidak akan ditemukan dalam plasma. Peningkatan kadar bilirubin direk menunjukan
adanya gangguan pada hati (Supriyati, 2015). Metode yang digunakan pada
percobaan ini adalah Peralman & Lee. Prinsipnya yaitu:
Bilirubin-albumin → bilirubin bebas + lbumin
As. Sulfanilat + Natrium Nitrit → p-diazobenzensulfonat
p-diazobenzensulfonat bilirubin → Azobilirubin
Metabolisme bilirubin diawali dengan reaksi proses pemecahan heme oleh
enzim hemoksigenase yang mengubah biliverdin menjadi bilirubin oleh enzim
reduktase. Sel retikuloendotel membuat bilirubin tak larut air, bilirubin yang
disekresikan kedalam darah diikat albumin untuk diangkut dalam plasma, sehingga
menjadi larut. Bilirubin pada orang dewasa dibentuk perhari 250-350 yang berasal
dari pemecahan hemoglobin, proses erytropoetik yang tidak efektif dan pemecahan
hemprotein lainnya. Bilirubin yang dapat diikat dengan albumin kurang 25 mg
dalam 100 ml plasma. Bilirubin yang melebihi jumlah akan mudah lepas dan
berdifusi ke jaringan. Bilirubin sampai dihati akan dilepas dari albumin diambil
pada permukaan sinusoid hepatosit oleh suatu protein senyawa yaitu ligandin.
Bilirubin bersifat non polar akan berada pada sel jika tidak diubah menjadi bentuk
larut. Hepatosit akan mengubah bilirubin menjadi bentuk larut yang dapat
dieksresikan dengan mudah pada kantung empedu. Proses tersebut melibatkan
asam glukoronat yang dikonjugasikan dengan bilirubin, dan dikatalisis oleh enzyme
bilirubin glukoronosiltransferase (Kosasih, 2008).
Pemeriksaan bilirubin dilakukan dengan cara menyiapkan 3 tabung reaksi
dan diberi label untuk sampel, sampel blanko, dan reagen blanko. Reagen yang
digunakan adalah reagent 1 dan reagent 2. Komposisi reagent 1 yaitu HCL 150mM
dan asam sulfaninat 30mM, komposisi reagent 2 yaitu natrium nitrit 29mM. Sampel
yang digunakan pada percobaan ini adalah serum darah. Serum darah digunakan
karena tidak mengandung sel-sel darah dan faktor-faktor pembekuan darah
sehingga dapat mencegah pencemaran specimen oleh antikoagulan yang mungkin
mempengaruhi pengujian. Serum darah diperoleh dari hasil sentrifugasi darah utuh
dan diambil bagian supernatannya. Bahan yang akan digunakan dimasukan ke
dalam tabung reaksi yang telah diberi label. Untuk tabung reaksi reagen blanko
berisi reagent 1 dan reagent 2. Untuk tabung reaksi sampel blank berisi reagen 1
dan sampel. Untuk tabung reaksi sampel berisi reagen 1, reagen 2 dan sampel.
Kemudian tabung reaksi didiamkan selama 5 menit pada suhu 25oC. Pada
pengukuran bilirubin dewasa, bilirubin harus dirubah menjadi azobilirubin karena
pada kandungan serum selain bilirubin terdapat juga kandungan lain seperti
karoten, xantofil, dan hemoglobin yang dapat mengganggu proses absorbansi.
Setelah didiamkan selama 5 menit kemudian sampel diukur absorbansinya dengan
menggunakan spektrofotometri uv-vis pada panjanng gelombang 550nm.
Penggunaan asam sulfanilat dalam reagen ini berfungsi untuk memberikan suasana
asam sehingga membantu pembentuk kompleks warna sehingga dapat diukur
intensitasnya dengan spektofotometri. Prinsip kerja Spektrofotometer UV-Vis yaitu
apabila cahaya monokromatik melalui suatu media (larutan), maka sebagian cahaya
tersebut diserap (I), sebagian dipantulkan (lr), dan sebagian lagi dipancarkan (It).
Aplikasi rumus tersebut dalam pengukuran kuantitatif dilaksanakan dengan cara
komparatif menggunakan kurva kalibrasi dari hubungan konsentrasi deret larutan
alat untuk analisa suatu unsur yang berkadar rendah baik secara kuantitatif maupun
secara kualitatif, pada penentuan secara kualitatif berdasarkan puncak-puncak yang
dihasilkan spektrum dari suatu unsur tertentu pada panjang gelombang tertentu,
sedangkan penentuan secara kuantitatif berdasarkan nilai absorbansi yang
dihasilkan dari spektrum dengan adanya senyawa pengompleks sesuai unsur yang
dianalisisnya. Adapun yang melandasi pengukuran spektrofotometer ini dalam
penggunaannya adalah hukum Lambert-Beer yaitu bila suatu cahaya monokromatis
dilewatkan melalui suatu media yang transparan, maka intensitas cahaya yang
ditransmisikan sebanding dengan tebal dan kepekaan media larutan yang digunakan
(Yanlinastuti dan Fatimah, 2016).
Dari hasil pengukuran kadar direct bilirubin, nilai rata-rata yang didapatkan
sebesar 0,229 mg/dL. Nilai kadar bilirubin normal menurut Kemenkes RI (2011)
adalah bilirubin total sebesar ≤ 1,4 mg/dL, bilirubin direct sebesar ≤ 0,4 mg/dL dan
untuk kadar bilirubin indirect sebesar ≤ 1,0 mg/dL. Berdasarkan parameter tersebut
bahwa kadar direct bilirubin yang didapatkan dari percobaan termasuk ke dalam
rentang normal. Setelah didapat hasil dari standar deviasi, dilakukan perhitungan
untuk mendapatkan nilai RSD-nya. Nilai RSD yang didapatkan pada percobaan ini
sebesar 13,974%. Hasil yang didapat tidak memenuhi persyaratan karena nilai RSD
harus <2%. Hal ini disebabkan karena pada pengukuran sampel ketiga didapatkan
nilai yang berbeda yakni 0,266 mg/dL dibanding sampel 1 dan 2 yakni masing –
masing nilainya 0,210 mg/dL. Hasil itu menunjukkan tingkat presisi yang tidak baik
dimana derajat kesesuaian antara hasil uji individu, yang diukur melalui penyebaran
hasil individu dari rata-rata terlalu berbeda, dengan prosedur yang sama dan
diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari sampel yang
sama. Presisi adalah ukuran seberapa dekat serangkaian pengukuran satu sama lain.
Fungsi perhitungan persen RSD adalah untuk melihat seberapa presisi metode yang
digunakan untuk menganalisis kadar direct bilirubin seseorang. Presisi nilai RSD
adalah tingkat kesesuaian antara hasil pengujian individual dengan hasil rata-rata
pengujian berulang pada sampel yang homogen dengan kondisi pengujian yang
sama.
Bilirubin terjadi dari hasil peruraian hemoglobin dan merupakan produk
antara dalam proses hemolisis. Bilirubin dimetabolisme oleh hati dan diekskresi ke
dalam empedu sedangkan sejumlah kecil ditemukan dalam serum. Peningkatan
bilirubin terjadi jika terdapat pemecahan sel darah merah berlebihan atau jika hati
tidak dapat mensekresikan bilirubin yang dihasilkan. Terdapat dua bentuk bilirubin:
a) tidak langsung atau tidak terkonjugasi (terikat dengan protein). b) langsung atau
terkonjugasi yang terdapat dalam serum. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi
lebih sering terjadi akibat peningkatan pemecahan eritrosit, sedangkan peningkatan
bilirubin tidak terkonjugasi lebih cenderung akibat disfungsi atau gangguan fungsi
hati (Kemenkes RI, 2011).
Faktor – faktor yang mempengaruhi kadar bilirubin Kemenkes RI (2011):
1. Peningkatan bilirubin yang disertai penyakit hati dapat terjadi pada
gangguan hepatoseluler, penyakit sel parenkim, obstruksi saluran empedu
atau hemolisis sel darah merah.
2. Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dapat terjadi pada anemia
hemolitik, trauma disertai dengan pembesaran hematoma dan infark
pulmonal.
3. Bilirubin terkonjugasi tidak akan meningkat sampai dengan penurunan
fungsi hati hingga 50%.
4. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat terjadi pada kanker pankreas
dan kolelitiasis.
5. Peningkatan kadar keduanya dapat terjadi pada metastase hepatik, hepatitis,
sirosis dan kolestasis akibat obat – obatan.
6. Pemecahan bilirubin dapat menyamarkan peningkatan bilirubin.
7. Obat-obat yang dapat meningkatkan bilirubin: obat yang bersifat
hepatotoksik dan efek kolestatik, antimalaria (primakuin, sulfa,
streptomisin, rifampisin, teofi lin, asam askorbat, epinefrin, dekstran,
metildopa).
8. Obat-obat yang meningkatkan serum bilirubin dan ALP : Allopurinol,
karbamazepin, kaptopril, klorpropamid, siproheptadin, diltiazem,
eritromisin, co-amoxiclav, estrogen, nevirapin, quinidin, TMP-SMZ.
VII. KESIMPULAN
Dari hasil percobaan maka dapat disimpulkan:
1. Metode yang digunakan untuk pengukuran kadar bilirubin adalah metode
Peralman & Lee.
2. Nilai rata-rata bilirubin yang didapat adalah 0,229 mg/dL, sehingga
kadarnya dikatakan normal (bilirubin total sebesar ≤ 1,4 mg/dL, bilirubin
direct sebesar ≤ 0,4 mg/dL dan untuk kadar bilirubin indirect sebesar ≤ 1,0
mg/dL). Nilai RSD yang didapat sebesar 13,974 %, hasil yang didapatkan
tidak memenuhi persyaratan karena nilai RSD yang baik yaitu dibawah 2%.
3. Pemeriksaan kadar bilirubin digunakan sebagai parameter pemeriksaan
fungsi hati.
DAFTAR PUSTAKA

Blackburn, S. T. (2007). Maternal, Fetal & Neonatal Physiology : A Clinical


Perspective. 3 rd ed. USA: Elsevier Inc. Page : 244 – 249.
Dufour DR. Liver disease. (2006). In:Carl AB, Edward RA, David EB editors.
Clinical chemistry and molecular diagnostics. Fourth ed. Missouri: Elsevier
saunders; p. 1777-1827.
Ghofar, Abdul. (2009). Cara Mudah Mengenal dan Mengobati Kanker.
Yogyakarta: Flamingo.
Kee, Joyce LeFever. (2007). Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik
Edisi 6. Jakarta: EGC. Pp: 232.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Pedoman Interpretasi Data
Klinik. Jakarta: Kemenkes RI.
Kosasih, E.N dan A.S Kosasih. (2008). Tafsiran Hasil pemeriksaan Laboratorium
Klinik edisi kedua. Tangerang: Karisma Publishing Group.
Mishra S, Agarwal R, Deorari AK, Paul VK (2008). Jaundice in the newborn.
Indian Journal of Pediatrics, 75: 157-163.
Panil, Z. (2008) Memahami Teori dan Praktik Biokimia Dasar Medis. Jakarta:
EGC.
Panjaitan dan P.Ernawati. (2010). Karakteristik Penderita Kanker Hati Rawat Inap
di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2005-2009. Medan: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Price, S.A, Wilson, L.M. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6, Volume I, Alih Bahasa Brahm U. Jakarta: EGC.
Sherlock S, Dooley J. (2002). Diseases of the liver and biliary system.United State
of America: Blackwell publishing.
Smeltzer, S. C., Bare, B. G. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner &Suddarth. Vol. 2. E/8. Jakarta: EGC.
Soemohardjo S S dan Gunawan S. (1999). Hepatitis Virus B. Jakarta: EGC
Supriyati. (2015). Perbedaan Hasil Pemeriksaan Bilirubin Total Dan Direk Pada
Serum Ikterik Dengan Dan Tanpa Pengenceran. Skripsi. Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang.
Wibowo. (2007). Perbandingan Kadar Bilirubin Neonatus dengan dan Tanpa
Defisiensi Glukosa 6 Phosphate Dehydrogenase, infeksi dan tidak infeksi.
Tesis Ilmu Kesehatan Anak: Universitas Diponegoro.
Widman, Frances K. (1995). Tinjauan Klinis Atas Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Edisi 9. EGC. Jakarta.
Yayok, Zairen. (2011). Pemeriksaan Fungsi Hati Bilirubin Total dan Bilirubin
Direk. Makalah Kimia Klinik I. Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin
Makassar.
Yanlinastuti, Fatimah S. (2016). Pengaruh Konsentrasi Pelarut Untuk Menentukan
Kadar Zirkonium Dalam Paduan U-Zr Dengan Menggunakan Metode
Spektrofotometri Uv-Vis. Badan Tenaga Nuklir Nasional, Serpong, Banten,
Indonesia, ISSN 1979-2409, p 23 – 24.

Anda mungkin juga menyukai