Anda di halaman 1dari 16

BAB II

PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN KEPERAWATAN DAN PROFESI KEPERAWATAN


Keperawatan adalah bentuk pelayanan profesional sebagai bagian integral
pelayan kesehatan yang berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan meliputi aspek
biologis, psikologis, sosial, dan spiritual yang bersifat kompherensip, ditujukan
kepada individu, keluarga dan masyarakat yang sehat maupun yang sakit
mencakup hidup manusia untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal
Winsley (1964) Profesi adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan badan
ilmu sebagai dasar untuk pengembangan teori yang sistematis guna menghadapi
banyak tantangan baru, memerlukan pendidikan dan pelatihan yang cukup lama,
serta memiliki kode etik dengan fokus utama pada pelayanan. Profesi
keperawatan adalah profesi yang sudah mendapatkan pengakuan dari profesi lain,
dituntut untuk mengembangkan dirinya untuk berpartisipasi aktif dalam sistem
pelayanan kesehatan agar keberadaannya mendapat pengakuan dari masyarakat.
1. Karakteristik profesi keperawatan
Menurut Lindberg, Hunter dan Kruszewski (1993), Leddy dan Pepper
(1993) serta Berger dan Williams (1992), keperawatan sebagai suatu profesi
memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. Kelompok pengetahuan yang melandasi keterampilan untuk menyelesaikan
masalah dalam tatanan praktik keperawatan. Pada awalnya praktik
keperawatan dilandasi oleh ketrampilan yang bersifat intuitif. Sebagai suatu
disiplin, sekarang keperawatan disebut sebagai suatu ilmu dimana
keperawatan banyak sekali menerapkan ilmu-ilmu dasar seperti ilmu perilaku,
1

social, fisika, biomedik dan lain-lain. Selain itu keperawatan juga mempelajari
pengetahuan inti yang menunjang praktik keperawatan yaitu fungsi tubuh
manusia yang berkaitan dengan sehat dan sakit serta pokok bahasan
pemberian asuhan keperawatan secara langsung kepada klien.
b. Kemampuan memberikan pelayanan yang unik kepada masyarakat. Fungsi
unik perawat adalah memberikan bantuan kepada sesorang dalam melakukan
kegiatan untuk menunjang kesehatan dan penyembuhan serta membantu
kemandirian klien.
c. Pendidikan yang memenuhi standart dan diselenggarakan di perguruan tinggi
atau universitas. Beralihnya pendidikan keperawatan kepada institusi
pendidikan

tinggi

memberikan

kesempatan

kepada

perawat

untuk

mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan intelektual, interpersonal dan


tehnikal yang memungkinkan mereka menjalankan peran dengan lebih
terpadu dalam pelayanan kesehatan yang menyeluruh dan berkesinambungan.
Disampingg itu perawat dituntut untuk mengembangkan Iptek keperawatan.
d. Pengendalian terhadap standart praktik. Standart adalah pernyatan atau criteria
tentang kualitas praktik. Standart praktik keperawatan menekankan kepada
tangung jawab dan tangung gugat perawat untuk memenuhi standart yang
telah ditetapkan yang bertujuan menlindungi masyarakat maupun perawat.
Perawat bekerja tidak dibawah pengawasan dan pengendalian profesi lain.
e. Bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukan.
Tangung gugat accountable berarti perawat bertanggung jawab pelayanan
yang diberikan kepada klien. Tanggung gugat mengandung aspek legal
terhadap kelompok sejawat, atasan dan konsumen. Konsep tangung gugat
mempunyai dua implikasi yaitu bertanggung jawab terhadap konsekuensi dari
tindakan yang dilakukan dan juga menerima tanggung jawab dengan tidak
melakukan tindakan pada situasi tertentu.
f. Karir seumur hidup. Dibedakan dengan tugas/job yang merupakan bagian dari
pekerjaan rutin. Perawat bekerja sebagai tenaga penuh yang dibekali dengan
pendidikan dan ketrampilan yang menjadi pilihannya sendiri sepanjang hayat.

g. Fungsi mandiri. Perawat memiliki kewenangan penuh melakukan asuhan


keperawatan walaupun kegiatan kolaborasi dengan profesi lain kadang kala
dilakukan dimana itu semua didasarkan kepada kebutuhan klien bukan
sebagai ekstensi intervensi profesi lain.
2. Perkembangan Profesionalisme Keperawatan
Melihat catatan sejarah tentang awal mula keberadaan perawat di
Indonesia, yang diperkirakan baru bermula pada awal abad ke 19, dimana
disebutkan adanya perawat saat itu adalah di karenakan adanya upaya tenaga
medis untuk memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik sehingga
diperlukan tenaga yang dapat membantu atau tenaga pembantu. Tenaga
tersebut dididik menjadi seorang perawat melalui pendidikan magang yang
berorientasi pada penyakit dan cara pengobatannya. Sampai dengan
perkembangan keperawatan di Indonesia pada tahun 1983 PPNI melakukan
Lokakarya Nasional
B. TAHAP PENDIDIKAN KEPERAWATAN
Pada program pendidikan Ners yang merupakan satu kesatuan utuh,
terdapat dua tahap program, yaitu program akademik dan tahap program
keprofesian.

Kegiatan

pendidikan

keprofesian

dilaksanakan

setelah

menyelesaikan program pendidikan akademik adalah 152 SKS, dan program


keprofesian adalah 42 SKS. Setelah menyelesaikan pendidikan pada tahap
program

akademik,

lulusan

mendapat

gelar

akademik,

yaitu

Sarjana

Keperawatan (SKp), dan setelah menyelesaikan tahap program keprosesian


1.

lulusan mendapat sebutan profesi, yaitu Ners (Ns).


Tahap Program AkademikTujuan pendidikan tahap program akademik adalah
mendidik mahasiswa melalui proses belajar mengajar sehingga memiliki sikap
dan kemampuan sebagai berikut.
a. Berjiwa Pancasila serta memiliki, memelihara dan mengembangkan
integritas kepribadian yang tinggi, rasa tanggung jawab, sikap dapat

dipercaya serta menaruh perhatian dan penghargaan sesama manusia sesuai


dengan etika keperawatan.
b. Menguasai dasar-dasar ilmiah sehingga mampu berfikir, bersikap dan
bertindak sebagai ilmuwan.
c. Berfungsi sebagai anggota masyarakat yang kreatif dan produktif, bersikap
terbuka, tanggap terhadap perubahan dan kemajuan ilmu dan teknologi
keperawatan maupun terhadap masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat
serta mendidik dan mengajak masyarakat kearah sikap yang sama.
d. Senantiasa meningkatkan dan mengembangkan diri dalam bidang ilmu
keperawatan sesuai bakatnya dengan meningkatkan pendidikannya, memilih
sumber-sumber pendidikan yang serasi dengan berpedoman pada pendidikan
sepanjang hayat.
e. Menguasai dasar-dasar ilmiah serta pengetahuan dan metodologi ilmu
keperawatan sehingga mampu menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang memilikinya untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang
mencakup :
1) Mengenal, merumuskan dan menyusun prioritas masalah kesehatan
masyarakat sekarang dan akan dating, serta merumuskan cara
penyelesaiain masalah tersebut melalui perencanaan program yang
bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
2) Menyusun rencana penyelesaian masalah kesehatan klien dengan
berlandaskan etika keperawatan serta dengan memperhatikan aspek
jasmani, rohani dan sosio-budaya serta spiritual klien melalui proses
observasi, identifikasi dan perumusan masalah klien.
3) Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu kesehatan, khususnya ilmu
keperawatan dalam upaya penyelesaiain masalah kesehatan klien seara
individu, masyarakat dan system pelayanan dengan ikutserts dalam
2.

pendidikan dan penelitian.


Tahap Program Keprofesian
Tujuan pendidikan tahap profesi adalah mempersiapkan mahasiswa
melalui penyesuaian professional dalam bentuk pengalaman belajar klinik dan

pengalaman belajar lapangan secara komprehensif sehingga memiliki


kemampuan professional sebagai berikut :
a. Menerapkan konsep, teori dan prinsip ilmu perilaku, ilmu sosial, ilmu
biomedik dan ilmu keperawatan dalam melaksanakan pelayanan dan atau
asuhan

keperawatan

kepada

individu,

keluarga,

komunitas,

dan

masyarakat.
b. Melaksanakan pelayanan dan atau asuhan keperawatan dari masalah yang
sederhana sampai masalah yang kompleks secara tuntas melalui
pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan tindakan
keperawatan, implementasi dan evaluasi baik bersifat promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif, sesuai batas kewenangan, tanggung jawab dan
kemampuannya, serta berlandaskan etika profesi keperawatan.
c. Mengkaji status kesehatan dan kebutuhan dasar individu, keluarga,
komunitas dan masyarakat dalam aspek bio-psiko-sosio-kultural dan
spiritual serta potensi berbagai sumber yang tersedia.
d. Merumuskan masalah keperawatan individu, keluarga, komunitas dan
masyarakat
e. Merencanakan dan/ atau melaksanakan rangkaian tindakan keperawatan
dalam upaya memenuhi kebutuhan dasar yang belum terpenuhi, dengan
memanfaatkan sumber yang tersedia dan potensi secara optimal.
f. Mengevaluasi hasil tindakan keperawatan dan seluruh proses pada asuhan
keperawatan, serta merencanakan dan melaksanakan tindak lanjut yang
diperlukan.
g. Mendokumentasikan seluruh proses keperawatan secara sistematis dan
memanfaatkannya

dalam

upaya

meningkatkan

kualitas

asuhan

keperawatan.
h. Mengelola pelayanan keperawatan tingkat dasar secara bertanggung jawab
dengan menunjukan sikap kepemimpinan. Sebagian besar kegiatan
pengajaran pada tahap program pendidikan ini adalah berbentuk
pengalaman belajar klinik (PBK). Menggunakan berbagai bentuk dan
tingkat tatanan pelayanan kesehatan nyata yang memenuhi persyaratan

pendidikan sebagai lahan praktek. Program profesi dilaksanakan dengan


menempatkan mahasiswa pada institusi pelayanan kesehatan dan
masyarakat sesuai kemampuan keperawatan yang akan dicapai.
C. PERENCANAAN PEMBELAJARAN KLINIK
Menurut William H Newman dalam bukunya Administrative Action
Techniques

of

Organization

and

Management dalam

Majid

(2005)

menyatakan bahwa perencanaan adalah menentukan apa yang akan dilakukan.


Sedangkan menurut Nana Sujana dalam sumber yang sama menyatakan
bahwa perencanaan adalah proses yang sistematis dalam pengambilan
keputusan tentang tindakan yang akan dilakukan pada waktu yang akan
datang. Dalam konteks pembelajaran, perencanaan juga dapat dikatakan
sebagai proses

penyusunan materi, penggunaan media, penggunaan

pendekatan dan metode pengajaran. Sebelum membuat rancangan, sebaiknya


dilakukan pengkajian terlebih dahulu. Melalui pengkajian akan didapatkan
status kemampuan awal peserta didik sehingga akan membantu menetapkan
tujuan pembelajaran. Tidak semua mahasiswa harus mendapatkan proses
pembelajaran yang sama walaupun tujuan akhir dari pembelajarannya sama.
Sedangkan untuk makna pembelajaran, banyak ahli pendidikan yang
menyatakan bahwa pengajaran merupakan terjemahan dari instruction atau
teaching. Sedikit berbeda dengan Correy dalam bukunya Association for
Education Communication and Technology dalam Rohani (1995) mengatakan
bahwa instruction merupakan bagian dari pendidikan yang merupakan suatu
proses dimana lingkungan seseorang dengan sengaja dikelola agar
memungkinkan orang tersebut dapat belajar melakukan hal tertentu atau
memberikan respon terhadap situasi tertentu pula. Berasumsi pada pendapat
Correy, maka untuk dapat melaksanakan pembelajaran, seorang dosen atau
pengajar di lahan praktik yang sering disebut instruktur klinik berperan
sebagai perancang dan pengembang model 4 pembelajaran sekaligus sebagai
6

pengelola atau pelaksana. Oleh karena itu untuk melaksanakan tugas ini,
instruktur klinik perlu memiliki pengetahuan, sikap, keterampilan khusus dan
hal-hal atau materi yang akan disampaikan. Selain itu instruktur klinik pun
sebaiknya memahami tentang konsep perencanaan pembelajaran.
Menurut Hunt dalam Majid (2005) ada beberapa model persiapan
mengajar diantaranya model ROPES dan satuan pelajaran. Model ROPES
merupakan sebuah urutan tahap dari Review, Overview, Presentation,
Exercise dan Sumarry. Model ini cocok diadopsi untuk pembelajaran klinik
karena dimulai dari review atau pengulangan tentang kegiatan yang akan
dilakukan. Tahap kedua overview yaitu menjelaskan tindakan yang akan
dilakukan. Kemudian tahap presentation dengan kegiatan mendemontrasikan
tindakan yang akan dilakukan. Keempat adalah exercise atau latihan, pada
tahap ini mahasiswa melakukan tindakan keperawatan di bawah supervisi
instruktur klinik. Dan terakhir summary atau membuat rangkuman dari
pembelajaran yang telah berlangsung. Kekurangan dari model ini adalah tidak
mencantumkan aspek evaluasi. Padahal melalui evaluasi instruktur klinik
dapat mengetahui kemampuan mahasiswanya. Akan tetapi tahap summary
bisa dimodifikasi menjadi tahap evaluasi.
Model satuan pelajaran (satpel) adalah model yang sering dipilih oleh
kebanyakan pendidik karena polanya yang baku. Tahapannya tiga bagian yaitu
kegiatan awal berupa pendahuluan dan apersepsi yang bertujuan untuk
mengetahui kemampuan awal mahasiswa. Tahap kedua merupakan kegiatan
inti yaitu penyampaian materi dan pemberian bimbingan terhadap mahasiswa.
Dan tahap terakhir merupakan kegiatan penutup yang biasanya ditandai
dengan cara membuat rangkuman atau melaksanakan evaluasi untuk materi
yang telah dipelajari.
D. PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KLINIK

Kegiatan di lahan praktik memberi kesempatan kepada mahasiswa


untuk terampil dalam menerapkan teori pada praktek klinik dengan sikap dan
keterampilan profesional yang ditumbuhkan dan dibina melalui pengalaman
dalam pengambilan keputusan klinik, yang merupakan penerapan secara
terintegrasi kemampuan penalaran saintifik dan penalaran etik (Husin, 1992).
Menurut Schweek and Gebbie (1996) praktek klinik merupakan the
heart of the total curriculum plan. Hal ini berarti unsur yang paling utama
dalam pendidikan keperawatan adalah bagaimana proses pembelajaran
dikelola di lahan praktek. Untuk itu perlu disiapkan panduan pembelajaran
klinik bagi mahasiswa dan juga bagi pembimbing atau instruktur klinik agar
dapat melakukan asuhan keperawatan yang menitikberatkan pada kualitas
melalui 5 terciptanya suatu lingkungan belajar yang sarat dengan model peran
(role model).
Melalui tahap pendidikan profesi diharapkan dapat menghasilkan
lulusan yang memiliki sikap, pengetahuan dan keterampilan profesional. Oleh
karena itu pada tahap profesi, pendidikan disusun berdasarkan pada:
(1) Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan. Pada tahap ini
peserta didik dan perseptor harus memahami dan menguasai ilmu
pengetahuan

dan

teknologi

keperawatan

yang

diperlukan

dalam

melaksanakan asuhan keperawatan dan mengembangkan ilmu pengetahuan


dan teknologi keperawatan,
(2) Menyelesaikan masalah secara ilmiah, maksudnya peserta didik dituntut
untuk mampu memecahkan masalah secara langsung saat berhubungan
dengan pasien/klien dalam membantu memenuhi kebutuhannya melalui
tahapan proses keperawatan,
(3) Sikap dan tingkah laku profesional yang dituntut dari seorang perawat
dalam melaksanakan asuhan keperawatan dan kehidupan profesi meliputi

penumbuhan dan pembinaan kemampuan berfikir, bersikap dan bertindak


profesional melalui suatu lingkungan yang sarat dengan model peran (role
model),
(4) Belajar aktif dan mandiri yang dapat dicapai selama pembelajaran klinik
antara lain dengan membuat laporan pendahuluan, presentasi kasus dan
seminar hasil dan kegiatan lainnya yang menuntut mahasiswa untuk lebih
mandiri dan
(5) Pendidikan berada di masyarakat atau pengalaman belajar yang
dikembangkan di masyarakat (community based learning) yang dapat
menumbuhkan dan membina sikap dan keterampilan para mahasiswa di
masyarakat.
Untuk mencapai kompetensi di atas, maka kurikulum tahap Program
Profesi (Ners) disusun berdasarkan Kurikulum Nasional dengan Surat
Keputusan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Nomor: 129/U/1999 tanggal
11 Juni tahun 1999 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Ners di Indonesia
(KIPNI). Besar beban studi kurikulum inti pada tahap program profesi (Ners)
adalah minimal 20 sks (80% dari kurikulum lengkap program profesi Ners).
Dengan komposisi 5 sks (25%) kelompok Keperawatan Medikal Bedah
(KMB), 2 sks (10%) Keperawatan Maternitas, 2 sks (10%) Keperawatan Anak,
dan 2 sks (10%) Keperawatan Jiwa yang ditempatkan di semester pertama.
Sedangkan pada semester kedua meliputi 2 sks (10%) Manajemen
Keperawatan, 2 sks (10%) Keperawatan Gerontik, 2 sks (10%) Keperawatan
Gawat Darurat, 2 sks (10%) Keperawatan Keluarga dan 3 sks (15%)
Keperawatan Komunitas. Setiap institusi pendidikan tinggi keperawatan hampir
memiliki kurikulum yang berbeda. Kurikulum dikembangkan sejalan dengan
misi dan visi institusi. Di dalamnya tergambar kompetensi-kompetensi yang
harus dicapai peserta didik. Melalui pendidikan profesi, diharapkan dapat
mengembangkan keterampilan tehnik, pemecahan masalah serta meningkatkan
kemampuan intelektual dan 6 hubungan interpersonal untuk menghasilkan
9

perawat profesional yang mampu memberikan pelayanan keperawatan


berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan. Lulusannya juga
diharapkan mampu menggunakan metodologi keperawatan berlandaskan pada
etika keperawatan. Agar kompetensi ini dapat dicapai, mahasiswa wajib
mendapatkan proses pembelajaran secara berkelanjutan antara teori dan
pengalaman belajar di lahan praktek dalam suatu lingkungan yang mendukung
pertumbuhan dan pembinaan kemampuan profesional. Pembelajaran yang
berkelanjutan dimulai dari tahap akademik yang berfokus kepada penguasaan
konsep-konsep dan teori-teori, dilanjutkan pada tahap profesi untuk untuk
menerapkan konsep-konsep dan teori-teori yang telah di dapat dalam bentuk
pelayanan langsung kepada pasien atau klien. Sehingga lulusannya diharapkan
dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai perawat profesional, baik
sebagai pemberi asuhan (caregiver), pembela klien (client advocator), penilai
kualitas

asuhan (quality

of

evaluator),

manajer

(manager),

peneliti (researcher), pendidik (educator) maupun konsultan (consultant) serta


community leader. Untuk dapat menghasilkan lulusan dengan kemampuan
tersebut diperlukan proses pembelajaran di lahan praktek. Pembelajaran di
lahan praktik atau praktik klinik diharapkan tidak hanya menjadi kesempatan
untuk menerapkan teori yang dipelajari di kelas ke dalam praktik profesional.
Akan tetapi melalui praktik klinik mahasiswa diharapkan lebih aktif dalam
setiap tindakan sehingga akan menjadi orang yang cekatan dalam menggunakan
teori tindakan. Lebih jauh lagi, praktik profesional di bidang pelayanan
keperawatan mencakup banyak hal diantaranya keputusan klinis yang berasal
dari teori, hukum, pengetahuan, prinsip dan pemakaian keterampilan khusus.
Tidak kalah pentingnya adalah bagaimana perawat menerima klien sebagai
makhluk hidup yang unik dan mandiri dengan hak-hak yang tidak dapat
dipisahkan. Pelaksanaan pembelajaran klinik terkait erat dengan peran pengajar
pada lingkungan klinis yang bertujuan untuk mendorong kemandirian dan
kepercayaan

diri

mahasiswa.

Bukan

mendukung

berkembangnya
10

ketergantungan dan kepercayaan terhadap pengajar. Setelah melalui proses


pembelajaran diharapkan mahasiswa benar-benar mandiri sebab mereka akan
kembali ke masyarakat sebagai pengguna (user) jasa. Oleh karena itu
kemampuan mahasiswa selama pembelajaran di klinik sangat dipengaruhi oleh
kemampuan dan pengalaman instruktur klinik. Di beberapa negara bagian di
Australia dan di Amerika instruktur klinik dikenal dengan istilah perseptor.
Sehingga metode pembelajaran klinik yang dikembangkan dikenal dengan
istilah

metode

perseptorship.

Beberapa

metode

yang

disarankan

untuk perseptorship atau pembelajaran klinik adalah tanya jawab, diskusi,


demontrasi untuk tindakan atau prosedur yang baru dan feed back atau balikan
untuk tindakan yang telah dilakukan. Hal ini penting sebagai evaluasi untuk
mengoreksi setiap tindakan yang telah dilakukan mahasiswa.
Ada banyak metode pengajaran klinis, Reilly (2002) membaginya
menjadi tujuh, yaitu:
(1) experiential: meliputi penugasan klinis, tugas tertulis, simulasi dan
permainan,
(2) pemecahan masalah: meliputi situasi pemecahan masalah, dan situasi
pembuatan keputusan,
(3) konferensi: biasanya terdiri dari konferensi prapertemuan, pascapertemuan,
dan jenis pertemuan klinis lainnya serta pertemuan keperawatan multi
disiplin,
(4) observasi: meliputi observasi di lingkungan klinis, kunjungan lapangan
atau home visit, ronde keperawatan, dan peragaan,
(5) multimedia: biasanya terkait dengan keragaman media yang digunakan dalam
penyampaian materi misalnya bentuk visual seperti slide dan film strip,
bentuk auditori seperti videotip dan dengan menggunakan model atau objek
lain untuk dimanipulasi, model cetakan seperti: hand out, pamplet, buku ajar,
buku kerja/buku panduan serta instruksi terprogram, jenis media bukan

11

cetakan seperti kaset/audiotif, komputer, film, film loop, film streep, model,
overhead trasparansi, fotografi, objek nyata, slide, televisi, videotip,
(6) self directed yaitu: seperti kontrak pembelajaran, pembelajaran sendiri, dan
(7) preceptorship dan model lain dari praktek klinik terkonsentrasi. Preceptorship
didasarkan pada konsep modeling peserta didik dengan cara memodifikasi
prilaku dan mengobservasi sendiri prilaku yang dibutuhkan.
F. PENGERTIAN EVALUASI
Evaluasi klinik pada dasarnya adalah kegiatan evaluasi hasil pendidikan
yang dilaksanakan diklinik atau ditempat pengalaman belajar klinik mahasiswa.
Evaluasi adalah proses stimulasi untuk menentukan keberhasilan. Ebaluasi hasil
pendidikan adalah proses sistematis untuk mencapai tingkat pencapaian tujuan
pendidikan yang terdiri atas kegiatan mengukur dan menilai. Mengukur adalah
kegiatan mengamati penampilan peserta didik berdasarkan indicator yang telah
ditetapkan dan menggunakan alat dan metode pengukuran tertentu. Menilai
adalah membandingkan hasil pengukuran penampilan peserta didik dengan
criteria kebergasilan yang ditetapkan

Tujuan Dan Kepentingan Uji Klinik


Uji klinik bertujuan untuk membuktikan atau menilai manfaat klinik suatu

obat, pengobatan, atau strategi terapetik tertentu secara objektif dan benar.
Dengan kata lain, uji klinik dimaksudkan untuk menghindari pracondong/bias
pemakai obat (prescriber), pasien, atau dari perjalanan alami penyakit itu sendiri.
Di

samping

itu,

uji

klinik

harus

dapat

memberikan

jawaban

yang

benar (valid) mengenai manfaat klinik intervensi terapi tertentu, jika memang
bermanfaat harus terbukti bermanfaat, dan jika tidak bermanfaat harus terbukti
tidak bermanfaat.
Berdasarkan pembuktian melalui uji klinik ini, maka suatu obat,
pengobatan atau strategi terapetik tertentu baru dapat diterapkan secara luas

12

dalam praktek. Dalam pengembangan obat-obat baru, maka prinsip penilaian obat
atau calon obat didasarkan pada metode uji klinik secara ketat. Prinsip-prinsip
metodologi uji klinik harus diterapkan pada fase III, yaitu fase definitif (lihat A05/03/CKD-2). Uji klinik fase I dan II dimaksudkan sebagai langkah persiapan
untuk uji klinik fase III ini.

Metode Evaluasi
Metode evaluasi klinik dapat dikelompokkan menjadi metode observasi,

tertulis/laporan, lisan (fice), dan objective structured clinical evaluation (OSCE)


1. Observasi
Metode observasi adalah metode yang paling sering digunakan dalam
evaluasi klinik, mengingat kemampuan utama yang harus dimiliki melalui
pengalaman belajar klinik adalah kemampuan melaksanakan tindakan. Metode
observasi merupakan metode yang digunakan untuk mengevaluasi penampilan
psikomotor, sikap perilaku, interaksi, baik verbal maupun nonverbal. Penggunaan
metode observasi banyak dipengaruhi oleh latar belakang dan pengharpan
pengamat. Dengan demikian, hal tersebut dapat memengaruhi konsisitensi dan
objektivitas evaluasi. Pada dasarnya evaluasi menggunakan metode observasi
memiliki

kecenderungan

terjadinya

subjektivitas.

Untuk

mengurangi

kecenderungan subjektivitas dan fairmetode observasi perlu didukung dengan


perangkat ebaluasi berupa hal-hal berikut ini :
a. Kejelasan aspek yang diobservasi dan pembeerian nilai (scoring) . hal ini
diupayakan dengan membuat formulir penilaian berisikan aspek yang
diebaluasi serara jelas.
b. Pemberian umpan balik (feed back) dilakukan segera setelah obserbasi
dilaksanakan disertai proses diskusi. Hal ini dimaksudkan untuk validasi dan
klasifikasi terhadap kualitas penampilan yang dievaluasi. Alat evaluasi yang
digunakan berupa daftar cek keterampilan dan catatan anekdot.
2. Tertulis

13

Metode tertulis digunakan untuk mengevaluasi kemampuan keognitif yaitu


pada jenjang aplikasi dan pemecahan masalah (problem salving) melalui proses
analisis sintesis dan metode ini dilaksanakan dengan cara member penugasan
pada peserta didik untuk menuliskan hasil pengamatan atau hasil rangkaian
kegiatan dalam melakukan tindakan atau asuhan keperawatan berupa laporan
tertulis. Tulisan mahasiswa yang dijadikan bahan evaluasi dapat berupa hal-hal
berikut ini :
a. Rencana keperawatan
b. Laporan studi kasus
c. Laporan proses keperawatan
d. Rencana pendidikan kesehatan
e. Catatan studio bat /cairan
Melalui metode tertulis ini selain dapat dievaluasi perlu ditetapkan dengan
jelas. Dengan demikian, dapat dijamin objektivitas metode evaluasi dan fair
bagi para mahasiswa.
3. Lisan
Metode ebaluasi secara lisan atau oral (viva vace) dimaksudkan untuk
terjadinya Tanya jawab dan dialog tergadap pertanyaan yang diajukan leh
penguji. Seperti halnya pada metode observasi, pada metode lisan ini akan terjadi
interaksi langsung anatara penguji dan magasiswa yang dapat memengaruhi
konsistensi dan objektivitas evaluasi. Dengan dimikian metode lisan perlu
didukung dengan perangkat evaluasi untuk mengajukan pertanyaan dan
memberikan nilai secara spesifik metode ini digunakan pada saat-saat sebagai
berikut :
a. Saat pembimbing melakukan validasi tergadap data yang dikumpulkan dalam
penyusunan rencana asuhan keperawatan.
b. Menilai alas an (justifikasi) yang digunakan mahasiswa untuk melakukan
tidakan
c. Menilai kemampuan magasiswa terhadap perkembangan kasus.
Objective Structure Clinical Evaluation

14

Objective Structure Clinical Evaluation (OSCE) adalah metode evaluasi


untuk menilai penampilan/kemampuan klinik secara terstruktur dan bersifat
objektif melalui OSCE dapat secara versamaan dievaluasi kemampuan
pengetahuan, psilomotor, dan sikap. Secara spesifik aspek yang dapat dievaluasi
serta tahapan persiapan dan pelaksanaan OSCE, serta contoh OSCE pada
gangguan system pernapasan akan diutaikan berikut ini. Aspek yang dapat
devaluasi dengan OSCE adalah sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.

Pengakjian riwayat hidup


Pemeriksaan fisik
Laboratorium
Identifikasi
Masalah
Merumuskan/menyimpulkan data
Interprestasi pemeriksaan
Menetapkan pengelolaan klinik
Mendemonstrasikan prosedur
Kemajuan berkomunikasi
Pemberian pendidikan keperawatan
Aspek yang Dievaluasi
Proses pemberian nilai (scoring) sangat penting dalam evaluasi. Pemberian

nilai dilakukan secara bertahap sepanjang kegiatan berlangsung, sesuai ketentuan


yang ditetapkan dalam program evaluasi klinik pada mata pelajaran tertentu.
Setiap aspek diberi nilai sesuai teknik dan menggunakaan instrument evaluasi
serta berpatokan pada nilai/angka yang telah ditentukan.patokan nilai dapat
berupa nilai maksimal, pemberian nilai perlu pula memerhatikan pembobotan.
Bobt yang diberi pada setiap jenis penampilan klinik yang dievaluasi harus
dijadikan dasar pada saat merekapitulasi nilai, dengan demikian, perlu dibuatkan
suatu formulir yang berisi seluruh jenis.
Pada dasarnya, kegiatan evaluasi klinik haus didukung dengan sarana
pencatatan yang baik. Sehingga memungkinkan bagi ilmu pengajar untuk

15

mendapatkan data mengenai penampilan mahasiswa, menganalisisnya,dan


menetapkan nilai atau tingkat kebergasilan mahasiswa serta membuat keputusan.

Criteria kelulusan
Tahap terakhir dari rangkaian evaluasi adalah membuat keputusan,
apakah mahasiswa dapat dikatakan berhasil atau tidak dan sejauh mana tingkat
keberhasilannya. Untuk itu perlu ditetapkan ketentuan atau batas kelulusan.
Seperti kita ketahui, pengalaman belajar klinik merupakan bagian dari kegiatan
pembelajaran mata ajaran keperawatan yang terdiri ataskomponen teori dan
praktik secara professional kedua aspek ini harus dipenuhi atau dimiliki oleh
peserta didik atau dengan kata lain, mahasiswa harus lulus pada kedua aspek
tersebut dalam kebijakan penetapan keputusan dan pemberian predikat tingkat
keberhasilan perlu pula diterapkan bobot pertimbangan antara teri dalam praktik.
Pemberian penilain pada program profesi meliputi kompetensi dan tidak
kompeten.

16

Anda mungkin juga menyukai