Citation
This issue may be cited as [2015] Vol 5 No 1 JWTS U Gadjah Mada
Copyright
Center for World Trade Studies
No part of this publication may be reproduced, stored or transmitted in any form or
means without the prior written permission of the Editorial Board of the Journal of
World Trade Studies
Editorial
Pada volume ini, Journal of the World Studies menyajikan empat artikel yang
mengambil tema utama politik domestik dan kebijakan perdagangan internasional.
Tiga artikel difokuskan pada kebijakan perdagangan dan konteks politik domestik
di Indonesia dan satu artikel mengangkat kasus Jepang. Artikel pertama yang ditulis
oleh Sevy Kusdianita dan Primadiana Yunita difokuskan pada peran perusahaan besar dalam mempengaruhi kebijakan tobacco control di Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara yang menduduki peringkat teratas mengenai jumlah perokok. Di samping itu, jumlah hasil produksi tembakau yang beredar di Indonesia juga
termasuk tinggi. Jumlah yang tinggi dalam produksi tembakau merupakan akumulasi dari produksi tembakau perusahaan dalam negeri maupun produksi tembakau
perusahaan multinasional yang berinvestasi di perusahaan dalam negeri. Tulisan
ini menguraikan dan menganalisis mengenai kekuatan industri tembakau multinasional dalam mengintervesi kebijakan tobacco control di Indonesia. Artikel ini berargumen bahwa industri tembakau multinasional dapat mengintervensi kebijakan
tobacco control di suatu negara, terutama di negara dunia ketiga. Intervensi yang
dilakukan oleh perusahaan tembakau multinasional tersebut dikarenakan oleh dua
kekuatan yang dimiliki oleh perusahaan multinasional pada umumnya, yakni relational power dan structural power. Kekuatan tersebut telah terbukti mampu memberikan keuntungan bagi industri tembakau multinasional yang ada di Indonesia
serta kepada negara asal industri tembakau multinasional tersebut.
Fokus artikel kedua adalah kebijakan proteksionisme pertanian Jepang. Artikel
yang ditulis oleh Swastaji Rahmadi ini berargumen bahwa produktivitas yang rendah serta kekuatan politik dari kelompok kepentingan bernama JA- Zenchu menjadi
salah satu penyebab eksistensi kebijakan proteksionisme pertanian. Kemenangan
partai LDP dalam pemilu tahun 2012 pada mulanya disambut positif oleh masyarakat ekonomi Jepang agar dapat merevitalisasi ekonomi nasional. Namun pada 15
Maret 2013, rezim LDP di bawah PM Shinzo Abe menyatakan secara resmi partisipasi Jepang di dalam negosiasi perdagangan bebas Trans Pacific Partnership yang
mengagendakan liberalisasi dan deregulasi seluruh sektor ekonomi, tidak terkecuali sektor pertanian. Keputusan ini mengejutkan seluruh pemangku kepentingan
terutama JA-Zenchu sebagai kelompok kepentingan dari petani. Pertanyaan peneVolume V, Number 1, May 2015
litian yang diajukan oleh artikel ada dua antara lain (1) mengapa JA- Zenchu gagal
memengaruhi pemerintah untuk menolak partisipasi Jepang dalam TPP? serta (2)
apa implikasi kegagalan JA-Zenchu dalam memengaruhi keputusan Jepang menolak
TPP? Artikel ini akan menggunakan konsep gaiatsu in Japanese policy making oleh
Aurelia George Mulgan dalam menganalisis pertanyaan penelitian artikel ini.
Artikel ketiga yang ditulis oleh Harri Fajri fokus pada gerakan fair trade yang dianggap dapat membantu menyelamatkan petani di negara dunia ketiga dari praktekprakterk perdagangan internasional yang tidak fair. Artikel ini berargumen bahwa
dalam prakteknya gerakan fair trade juga memunculkan perdebatan akibat adanya
keterlibatan perusahaan besar dalam gerakan tersebut. Dengan mengangkat studi
kasus pelaksanaan fair trade dalam perdagangan kopi gayo, artikel ini menunjukkan bahwa pelaksanaan fair trade melalui skema sertifikasi yang dikeluarkan oleh
Fairtrade Labeling Organization tidak secara otomatis dapat meningkatkan poisisi
petani dalam perdagangan internasional.
Table of Contents
Editorial
Table of Contents
Abstrak
Indonesia merupakan salah satu negara yang menduduki peringkat teratas me
ngenai jumlah perokok. Di samping itu, jumlah hasil produksi tembakau yang beredar
di Indonesia juga termasuk tinggi. Jumlah yang tinggi dalam produksi tembakau merupakan akumulasi dari produksi tembakau perusahaan dalam negeri maupun produksi
tembakau perusahaan multinasional yang berinvestasi di perusahaan dalam negeri.
Tulisan ini bertujuan menguraikan dan menganalisis mengenai kekuatan industri
tembakau multinasional dalam mengintervesi kebijakan tobacco control di Indonesia.
Artikel ini berargumen bahwa industri tembakau multinasional dapat mengintervensi
kebijakan tobacco control di suatu negara, terutama di negara dunia ketiga. Intervensi yang dilakukan oleh perusahaan tembakau multinasional tersebut dikarenakan
oleh dua kekuatan yang dimiliki oleh perusahaan multinasional pada umumnya, yakni relational power dan structural power. Kekuatan tersebut telah terbukti mampu
memberikan keuntungan bagi industri tembakau multinasional yang ada di Indonesia
serta kepada negara asal industri tembakau multinasional tersebut.
Kata kunci: tembakau, industri tembakau multinasional, tobacco control, relational power, structural power, market liberalism, akuisisi.
A. PENDAHULUAN
Tembakau adalah tanaman yang
tersebar di seluruh dunia yang memiliki tantangan dan ancaman yang mau
tidak mau selalu ada di setiap produksinya. Tembakau merupakan pembunuh nomor satu di dunia, WHO pun
memprediksikan bahwa sebelum tahun 2030, sepuluh juta jiwa melayang
tiap tahunnya karena tembakau (WHO,
2003). Ironisnya, tembakau merupakan
salah satu bentuk gaya hidup masyarakat dunia. Gaya hidup ini erat dengan
masyarakat di dunia ketiga karena sebagian industri tembakau menemukan
pasar potensial di negara negara dunia
ketiga. Tembakau dalam hal ini adalah
yang telah diolah menjadi barang konVolume V, Number 1, May 2015
impor
tembakau
Luas Areal
(Ha)
Produksi
(Ton)
Produktifitas
(Ton/Ha)
2000
239737
204329
852
2001
260738
199103
764
2002
256081
192082
750
2003
256801
200875
782
2004
200973
165108
822
2005
198212
153470
774
2006
172234
146265
849
Laju
6,37
5,98
0,39
Syamsul Hadi, dkk. 2011. Kriminalisasi Berujung Monopoli : Industri Tembakau Indonesia di
Tengah Pusaran Kampanye Regulasi Anti Rokok
Internasional. Jakarta : Indonesia Berdikari. Hal
30.
1
10
Bea Cukai merupakan institusi resmi negara yang berfungsi untuk mencegah barang-barang berbahaya masuk
ke dalam negeri. Bea Cukai juga menetapkan hambatan tarif bagi setiap barang yang akan masuk ke dalam negeri.
Tembakau merupakan salah satu barang
yang termasuk dalam barang kena cukai
menurut Undang-Undang No. 11 Tahun
1995 karena berbagai alasan yang telah
ditulis jelas dalam Undang-Undang No.
39 Tahun 2007 tentang perubahan Undang-Undang No. 11 Tahun 1995, yakni
karena tembakau merupakan barang
yang konsumsinya perlu dikendalikan,
peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya menimbulkan dampak negatif
bagi masyarakat, serta biaya untuk peJournal of World Trade Studies
Tabel 2. Jumlah Ekspor dan Impor Tembakau dan Olahan Tembakau (ribu ton)2
Tahun
Ekspor
Impor
(X-M)
2004
67
44
23
2005
84
64
20
2006
95
70
25
2007
93
81
12
2008
109
66
43
2009-Januari
2009-Februari
2009-Maret
12
2009-April
10
2009-Mei
10
2009-Juni
10
Departemen Keuangan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai membuat peraturan-peraturan mengenai
penentuan tarif cukai dan harga dasar
produksi tembakau, termasuk harga jual
eceran untuk produksi tembakau, de
ngan mengeluarkan Keputusan Menteri
Keuangan No. 449/KMK/2002. Dalam
surat keputusan tersebut produk tembakau digolongkan menjadi beberapa
golongan sesuai dengan jenis hasil
produksi tembakau dan cara membuatnya serta digolongkan menurut jumlah
hasil produksi tembakau yang dihasilkan
oleh satu pabrik. Dari klasifikasi golong
an tersebut, maka dapat ditentukan har
11
Uraian Barang
24.02
2402.10.00.00
2402.20
2
Tarif
Bea Masuk
Pos Tarif
40
2402.20.10.00
Beedies
2402.20.90
Lain-lain
40
2402.20.90.10
Sigaret kretek
40
2402.20.90.90
Lain-lain
40
2402.90
Lain-lain
2402.90.10.00
40
2402.90.20.00
40
24.03
Tembakau dipabrikasi lainnya dan pengganti tembakau dipabrikasi; tembakau dihomogenisasi atau dibentuk kembali;
ekstrak dan esens tembakau
2403.10
7.
2403.10.11.00
Tembakau campuran
40
8.
2403.10.19.00
Lain-lain
40
12
13
Gambar 1. Presentase tarif cukai tembakau terhadap harga jual dari tahun 2004
hingga 2005
15
Klasifikasi
Public Relations
Relational
power
Dana politik
Relational
power
Lobbying
Structural
power
Consultancy
Relational
power
Relational
power
Smokers right
group
Relational
power
Membuat alinasi
Untuk menggerakkan petani, distributor, industri periklanan, industri domestik, serikat buruh,
dan grup anti-pajak untuk mempengaruhi undang-undang
Relational
power
Intimidasi
Relational
power
Filantropi
Relational
power
Corporate Social
Responsibility
(CSR)
Relational
power
Perlindungan dan
pendidikan bagi
remaja
Relational
power
Litigation
Structural
power
Smuggling (penyelundupan)
Relational
power
Strategi
16
Tujuan
Klasifikasi
Structural
power
Joint manufacturing
and licensing
agreements and
voluntary policy
Untuk membentuk joint venture dengan monopoli negara dan tekanan kepada pemerintah
untuk memprivatisasi monopoli tersebut
Structural
power
Pre-emption
Structural
power
Strategi
agreements with
governments
(Catatan: tabel ini telah diubah oleh penulis dengan ditambahkan hasil analisa
berupa klasifikasi power yang digunakan oleh industri tembakau multinasional.
FDI pada perusahaan domestik. Ba
nyaknya strategi pemasaran yang mereka lakukan membuat pemasaran produk
mereka akan tetap berjalan dan memungkinkan untuk mengalami peningkatan. Salah satu strategi yang mereka
lakukan adalah menggunakan CSR (Corporate Social Responsibility). Di Indonesia, yang banyak melakukan CSR adalah
perusahaan-perusahan tembakau multinasional yang telah menjadi share
holder dari perusahaan domestik. Sehingga dapat dipastikan bahwa strategi
mereka dapat langsung menyentuh sektor bawah dari masyarakat sehingga tidak ada kekhawatiran mengenai kenaik
an tarif cukai tersebut.
Structural power datang dari negara
asal perusahaan multinasional yakni AS
dan Inggris. Kedua negara tersebut merupakan master dalam setiap penciptaan
aturan, cara main, dan norma yang diguVolume V, Number 1, May 2015
17
Holden, Chris dan Kelley Lee. 2009. Corporate Power and Social Policy:
The Political Economy of the International Tobacco Companies.
(Online) NIH Public Access. Diakses melalui http://www.publicaccess.nih.gov, pada tanggal 4 April
2013.
Krasner, Stephen D. 2003. State Power
and The Structure of InternaVolume V, Number 1, May 2015
Tarzi, Shah. 2003. Third World Goverenment and Multinational Corporations: Dynamic of Hosts Bargaining Power. Dalam: Lake,David A.
and Jeffry A. Frieden. 2003.International Political Economi: Perspectives on Global Power and
Wealth. 4th ed. (Ebook) London:
Routledge. Dipublikasikan oleh
Taylor & Francis e-Library
Volgy, Thomas J dkk. 2004. Structural
versus Relational Strength: The
Cohesion of the G7 and the Development of the Post-Cold War
International System. (Online)
Fifth Annual Pan European International Relations Conference.
Diakses melalui www.u.arizona.
edu/~volgy/ecpr.doc, pada tanggal 5 April 2013.
Publikasi
19
Lembaga Demografi FE UI. 2008. Ekonomi Tembakau Indonesia. (Online) International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease.
Diakses melalui http://www.litbang.depkes.go.id/tobaccofree/
media/TheTobaccoSourceBook/
BukuTembakau/Ringkasan.Eks.
mar04.pdf, pada tanggal 5 April
2013.
Sasongko, Waskito.2012. Muslihat Kapitalis Global: Selingkuh Industri
Farmasi dan Perusahaan Rokok
AS. Era Pustaka Utama.
Abstrak
Sektor pertanian Jepang diwarnai oleh kebijakan proteksionisme yang diberikan
oleh pemerintah kepada kelompok petani. Produktivitas yang rendah serta kekuatan
politik dari kelompok kepentingan bernama JA-Zenchu menjadi salah satu penyebab
eksistensi kebijakan proteksionisme pertanian. Kemenangan partai LDP dalam pemilu
tahun 2012 pada mulanya disambut positif oleh masyarakat ekonomi Jepang agar
dapat merevitalisasi ekonomi nasional. Namun pada 15 Maret 2013, rezim LDP di
bawah PM Shinzo Abe menyatakan secara resmi partisipasi Jepang di dalam negosiasi
perdagangan bebas Trans Pacific Partnership yang mengagendakan liberalisasi dan
deregulasi seluruh sektor ekonomi, tidak terkecuali sektor pertanian. Keputusan ini
mengejutkan seluruh pemangku kepentingan terutama JA-Zenchu sebagai kelompok
kepentingan dari petani. Pertanyaan penelitian yang diajukan oleh artikel ada dua
antara lain (1) mengapa JA-Zenchu gagal memengaruhi pemerintah untuk menolak
partisipasi Jepang dalam TPP? serta (2) apa implikasi kegagalan JA-Zenchu dalam memengaruhi keputusan Jepang menolak TPP?. Artikel ini akan menggunakan konsep
gaiatsu in Japanese policy making oleh Aurelia George Mulgan dalam menganalisis
pertanyaan penelitian artikel ini.
Kata Kunci: JA-Zenchu, Trans Pacific Partnership, liberalisasi dan deregulasi pertanian, Gaiatsu.
A. LATAR BELAKANG
Sektor Pertanian Jepang merupakan
sektor ekonomi yang paling diproteksi
oleh negara. Upaya pemerintah Jepang
memroteksi sektor ini adalah dengan
menerapkan tarif tinggi pada komoditas
pertanian impor serta pemberian subsidi kepada produk petani lokal (Asahi
Shimbun, 2011). Preferensi kebijakan
proteksi pertanian Jepang ini sangat dipengaruhi oleh kekuatan politik suatu
kelompok kepentingan yang bernama
JA-Zenchu. JA-Zenchu (JA) adalah kope
rasi petani Jepang yang berdiri pada
Volume V, Number 1, May 2015
21
(naiatsu) sebagai pihak yang terlibat secara langsung di dalam proses pembuat
an kebijakan pertanian Jepang. Selain
itu, Gaiatsu juga sanggup memanipulasi
kepentingan konstituen domestik supaya tetap sejalan dengan kepentingannya.
Gaiatsu ikut serta memperjaungkan kepentingan pihak yang menjadi korban
pada proteksi pertanian, seperti serikat
industri dan kelompok konsumen. Hal
ini dilakukan supaya terbentuk koalisi
politik antara gaiatsu dan naiatsu untuk
melawan kekuatan proteksionisme pertanian (Mulgan, 2003).
C. JA-ZENCHU DAN POLITIK
AGRIKULTUR JEPANG
23
24
D. TUNTUTAN INTERNASIONAL
DALAM LIBERALISASI
PERTANIAN JEPANG
Tekanan eskternal (gaiatsu) menjadi tantangan terbesar bagi kebijakan
proteksi pertanian Jepang. Tekanan
eksternal terbesar bagi rezim perdagangan Jepang berasal dari AS. Tekanan
eksternal tersebut disalurkan melalui
proses negosiasi baik bilateral maupun
multilateral.
1. Pengaruh Amerika Serikat
a. Kedua negara memiliki common interest untuk meningkatkan perdagangan kedua negara dalam ikatan
perdagangan bebas TPP,
b. AS dan Jepang menyepakati bahwa
lima komoditas tersebut adalah
sektor sensitif bagi Jepang dan tetap
terus menjadi obyek negosiasi di
masa depan,
c.
26
METI
(Kementerian
Ekonomi,
Perdagangan dan Industri) menyatakan
bahwa industri otomotif Jepang akan
menghemat pengeluaran sebesar 137
miliar yen akibat tingginya tarif impor pada sembilan negara yang terlibat dalam negosiasi TPP. Jumlah pembayaran tarif tersebut mewakili sekitar
10 persen dari laba operasi gabungan
dari mobil Jepang. Dampak dari TPP
pada industri Jepang berdasarkan
proyeksi oleh METI dijelaskan pada pertemuan yang diselenggarakan oleh DPJ
pada 4 November 2013. Jika Jepang bergabung dengan TPP, kinerja ekspor industri otomotif akan meningkat. Namun,
METI mewaspadai kebijakan proteksionisme otomotif yang masih diterapkan oleh Malaysia dan AS. Amerika Serikat membatasi impor produk otomotif
asing, termasuk asal Jepang. Sedangkan,
Malaysia menerapkan kebijakan spesialisasi penggunaan mobil nasional dan
membatasi investasi asing (Asahi Shimbun, 2011).
27
MOFA kurang memprioritaskan perundingan TPP sebagai agenda utama kebijakan luar negeri Jepang.
Hal yang dapat dipetik adalah bahwa setiap lembaga birokrasi memiliki
kepentingan yang berbeda-beda dalam
perundingan TPP. Dalam perundingan
TPP, terdapat empat kementerian yang
paling memengaruhi arah kebijakan
pemerintah dalam menanggapi TPP, antara lain METI, MAFF, MOF, MOFA. METI
yang mewakili kepentingan industri
sangat mendukung TPP sebagai upaya
peningkatan daya saing industri Jepang
di pasar regional. MAFF yang mewakili
kelompok petani pada awalnya menentang keras partisipasi Jepang dalam TPP,
sebab keterwakilan elit JA di berbagai jabatan strategis di MAFF, sehingga MAFF
terus memperjuangkan kepentingan
petani. Di MOF, lembaga ini sangat mendukung TPP sebagai awal mula reformasi struktural sektor pertanian yang saat
ini masih membebani APBN Jepang. Reformasi struktural ini diperkirakan oleh
MOF akan menghapus sistem gentan,
food control price di mana negara harus menanggung anggaran yang sangat
besar bagi subsidi petani lokal. MOFA
lebih memprioritaskan perdagangan bebas Jepang secara bilateral ketimbang
multilateral seperti TPP, sebagai contoh
Japan-Australia Economic Partnership
Agreement (JAEPA).
G. ANALISIS PROSES
PERTIMBANGAN KEPUTUSAN
TPP OLEH JEPANG.
29
Partai DPJ menyetujui langkah kabinet Shinzo Abe untuk melanjutkan perundingan TPP, namun dengan syarat
sektor pertanian tetap dilindungi dari
liberalisasi. Pemerintahan Abe berharap
TPP dapat menjadi instrumen revitalisasi ekonomi Jepang menjadi lebih terbuka, kompetitif dan terintegrasi dengan
ekonomi global. TPP juga dapat mengikis pengaruh kekuatan proteksionis di
politik domestik, terutama kelompok
petani. Setelah berjalannya perdebatan
internal di dalam LDP, pada pertengahan Maret 2013, anggota diet dari LDP
secara resmi mendukung keputusan Abe
untuk bergabung dalam TPP. Dukungan
tersebut berbentuk resolusi diet. Reso
lusi diet ini mempertimbangkan aksi
penolakan JA, dengan mengabulkan permintaan JA untuk tetap menjadikan lima
kategori produk pangan tersebut seba
gai komoditas yang wajib dilindungi
pemerintah dalam negosiasi TPP (Solis,
Brookings 2013).
Resolusi Diet ini dibentuk oleh
komite diet yang anggotanya berasal
dari berbagai pemangku kepentingan
mulai dari serikat bisnis, kelompok
petani, jajaran birokrasi, dan partai politik koalisi pemerintah Abe. Resoulusi ini
bertujuan untuk membentuk konsensus
terkait rencana kebijakan pemerintah
untuk bergabung dalam TPP. Resoulsi
Diet tersebut berisi antara lain,
Pemerintah diperbolehkan untuk
melanjutkan perundingan TPP dengan
Journal of World Trade Studies
Kabinet Abe diminta untuk merundingkan TPP secara bilateral daripada multilateral, agar kepentingan Jepang
lebih mudah terakomodasi. Amanah diet
ini juga dapat menanggulangi dominasi kepentingan eksternal dalam rezim
perdagangan Jepang (Nippon Sangi-in).
Liberalisasi perdagangan melalui
TPP adalah strategi terbaik bagi peme
rintahan Abe untuk membawa agenda
reformasi struktural abenomics de
ngan menyalahkan pengaruh asing
yang membuat kita untuk melakukannya. Itu adalah taktik pemerintah Jepang untuk mengatasi resistensi domestik (JA-Zenchu) dalam melancarkan
program reformasi pertanian. KeberVolume V, Number 1, May 2015
hasilan pemerintahan Abe dalam merealisasikan perdagangan bebas JepangAustralia yang membatasi liberalisasi
beras, gandum, dan produk olahan susu
menjadi pertimbangan untuk mendorong pembatasan serupa di perundingan
TPP. Baik JA-Zenchu maupun keidanren
merupakan kelompok kepentingan yang
memiliki hubungan dekat dengan partai
politik (LDP). Kedua kelompok tersebut
adalah basis massa elektoral LDP. Langkah politis Abe ini disepakati dalam sebuah resolusi diet. Resolusi Diet tersebut adalah keputusan yang paling solutif
dan disepakati oleh berbagai pemangku
kepentingan. Hal yang dapat digaris
bawahi adalah bahwa pemerintahan
Shinzo Abe berhasil melancarkan reformasi struktural pertanian tanpa harus
khawatir merugikan salah satu kepentingan konstituen domestiknya.
H. IMPLIKASI TPP PADA JA-ZENCHU
Pada bab ini, artikel akan menjelaskan mengenai implikasi kegagalan JAZenchu dalam memenangkan kontestasi
politik di dalam proses pertimbangan
keputusan, akankah pemerintah Jepang
menerima atau menolak opsi bergabung
dalam perundingan trans-pacific partnership. Kegagalan ini menyebabkan
pemerintah Jepang pada akhirnya menyetujui untuk bergabung dalam negosiasi TPP pada 15 Maret 2013 lalu.
Walaupun secara politik, belum terlihat dampak pada penurunan dukungan
elektoral oleh kelompok petani kepada
partai penguasa LDP, Kegagalan JA-Zenchu dalam melobi pemerintah memiliki konsekuensi berupa dampak reformasi struktural maupun dampak politis.
Terdapat dua hal utama yang menggambarkan implikasi kegagalan JA-Zenchu,
antara lain tuntutan reformasi struktural JA-Zenchu.
31
Reformasi yang diinisiasi oleh JA selaras dengan program reformasi struktural pertanian oleh pemerintahan Abe.
Reaksi politik ini menandakan bahwa
TPP adalah faktor pendorong bagi JA
untuk mempersiapkan sektor pertanian
sebagai sektor yang mandiri, berbasis
ekspor, dan berdaya saing global. Bagi
pemerintah Shinzo Abe, TPP ini dapat
dijadikan sebagai momen untuk mengurangi kekuatan politis JA terhadap
petani nasional. Dalam rangka mempercepat agenda reformasi sektor pertanian
dan realisasi perdagangan bebas TPP,
Journal of World Trade Studies
sifik. TPP disebut juga sebagai WTOplus sebab cakupan isu perdagangannya
komperehensif dan mengatur isu baru
yang belum pernah dirundingkan dala
kerangka WTO. Luasnya lingkup aturan
TPP ini memicu friksi politik antarnegara anggota, salah satunya Jepang terkait
item perdagangan yang masih sensitif
seperti sektor pertanian. Resistensi Jepang beralasan karena kuatnya kekuatan politik di tingkat domestik. Pada
awalnya, Jepang tetap mempertahankan
proteksi pada lima komoditas pertanian
(beras, gandum, daging sapi dan babi,
produk olahan susu dan gula).
33
Asahi Shimbun, Pros and cons of joining TPP explained (online), 5 November 2011, <http://ajw.asahi.
com/article/economy/business/
AJ2011110516664>, diakses 10
Desember 2013.
34
35
opinions/2013/03/25-transpacific-partnership-solis, diakses 3
Maret 2014.
36
Abstract
Fair Trade is an international movement trying to save farmers and workers in
Global South from unfair practices of trade. In the globalized economy era this movement is getting bigger. However, the success of Fair Trade movement leads to grand
debate since it depends on the involvement of corporations who are being avoided at
the first time this movement began. This article discusses the implementation of Fair
Trade on Gayo Coffee under Fairtrade certification scheme governed by Fairtrade Labeling Organization (FLO). It focuses on how FLO can transform farmer position in
its commercial network. This article finds that certification scheme under FLO cannot
guarantee farmer the best position in the international coffee chain. It argues that it is
caused by the role of cooperation that is just dominated by few people instead farmers
as a whole.
Key word: Fairtrade, Gayo Coffee, Global South, Farmer.
A. PENDAHULUAN
Fair Trade merupakan gerakan sosial yang muncul sebagai respon terhadap kegagalan perdagangan liberal
dalam mengatasi persoalan kemiskinan
dan ketimpangan ekonomi dunia. Pada
intinya, Fair Trade bertujuan untuk
menciptakan sistem perdagangan yang
lebih adil, khususnya bagi petani atau
buruh miskin di negara-negara selatan,
dengan cara mendorong kesadaran konsumen, terutama di negara-negara maju,
tentang dampak-dampak negatif yang
disebabkan oleh sistem perdagangan
konvensional (liberal), dan perlunya
perubahan dalam cara manusia menjalankan perdagangan.
Pada awal kemunculannya, sema
ngat gerakan Fair Trade adalah pemberdayaan masyarakat miskin dan marjinal (European Fair Trade Association,
Volume V, Number 1, May 2015
FLO
mempunyai
label/merek
Fairtrade1 yang menjadi tanda bagi konsumen untuk membedakannya dengan
produk konvensional. Produk berlabel Fairtrade saat ini sudah dijual di 25
negara. Label Fairtrade dinilai sebagai
label etikal yang paling dikenali di dunia
(Fairtrade International). Hingga tahun
2012, jaringan perdagangan FLO telah
melibatkan sebanyak 1.149 kelompok
produsen di 70 negara, dengan total
penjualan produk mencapai 4,8 milyar
Euro (Fairtrade International).
Label Fairtrade oleh sebab itu menjadi penanda bagi konsumen bahwa
produk tersebut telah memenuhi nilainiali yang disebutkan di atas. Seperti
yang dikatakan oleh Alex Nicholls (2000),
label Fairtrade merupakan jaminan kepada konsumen bahwa produk yang
tersertifikasi telah memenuhi beberapa standar dan diaudit secara berkala.
Standar-standar tersebut adalah (Nicholls, 2000):
Pembelian secara langsung (direct
purchase) dari produsen.
kan biaya tambahan Premium (umumnya sebesar 10% atau lebih dari
harga produk).
39
sertifikasi, keterlibatan perusahaanperusahaan konvensional tidak lagi dihindari atau dipotong dari rantai perdagangan Fair Trade melainkan dilibatkan,
asal perusahaan-perusahaan tersebut
mau mengikuti aturan-aturan yang
diberlakukan oleh FLO.
C. METODE PENELITIAN
1. Implementasi Sertifikasi
Fairtrade Kopi Gayo
Dengan
mengikuti
sertifikasi
Selain sebagai penyalur aspirasi petani dalam general assembly yang dapat
menentukan arah kebijakan Fairtrade
international secara global, koperasi
juga memegang peran penting sebagai
pengambil kebijakan dalam lingkup yang
lebih kecil namun sangat berhubungan
langsung dengan kehidupan petani. Hal
Journal of World Trade Studies
Gambar 1. Rantai Suplai Salah Satu Koperasi Kopi Gayo (Koperasi Askogo)
tawar mereka ketika menghadapi aktoraktor yang lebih kuat dalam perdagang
an internasional. Lantas bagaimana dengan praktik di Aceh?
43
44
pendiri
merupakan
47
48
Abstract
The world sugar industries had experienced fluctuation over the past decades. In
the recent time, sugar consumption increased rapidly while the production reduced
gradually. This condition is also augmented by international agreement in WTO
through modalities draft, which was created on July 2008. This draft required the parties to follow the tariff reduction formula and eliminate non- tariff measures that are
inconsistent with WTO agreements. Nevertheless, the developing countries have been
proposed the proposal to protect the sensitive sectors comprises sugar, rice, corn, and
soybeans for exclusion from WTO trade liberalization. This article intends to analyse
sugar trade policy in Indonesia. Sugar is one of strategic industrial commodity products in Indonesia that had enjoyed the progressive enhancement during the 1930s.
However, it became deteriorated recently due to the declining of production while the
demands rose dramatically. This article argues that soaring consumption, poor infrastructures and high production cost have triggered a significant increase in sugar import. This in turn only benefits the sugar importers.
Keywords: sugar trade, liberalization, Indonesian policy, import increases
49
50
Op.cit, NSC
Regulasi perdagangan produk agrikultur, termasuk gula diatur dalam berbagai kerjasama, baik di tingkat bila
teral maupun multilateral. Dalam rezim
Organisasi perdagangan Internasional,
bersama dengan beras, jagung, dan kedelai, gula menjadi salah satu komoditas
khusus yang telah ditetapkan Indonesia dalam forum perundingan dengan
tujuan memperkuat ketahanan pangan
dan kualitas hidup masyarakat pedesaan, melalui peningkatan produksi
dalam negeri, termasuk mencanangkan
target swasembada gula, yang hingga
kini masih jauh dari harapan.4
4 Ratri Indah Hairani, J. M. M. A. J. J., 2013.
51
Negara
Produktivitas
Tebu ton/ha
Rendemen
%
Produktivitas
Gula ton/ha
Biaya
Produksi
USD/ton
Ket.
1.
Indonesia
75
7,22 8,0
5,45 6,0
750
White
480
White
431
VHP
340
Raw
2.
Brazil
76 80
12,3 13,0
9,35 10,4
3.
Thailand
74
10,02
7,4
442
Raw
4.
India
70
9,50
11,74
6,65 8,22
500
593
White
5.
Australia
85
13 14,70
11,05 12,5
400
Raw
Sumber: Diolah dari berbagai sumber (ISO, Zcarnikow, USDA, FAPRI, DGI, dll)
oleh NSC
52
APEC voluntary unilateral trade liberalization yang didasarkan pada Individual Action Plans (IAPs).
53
Kenaikan hasil produksi dan ekspor tentunya didukung oleh kemudahan dalam
mendapatkan bahan baku dari lahan
yang subur, tenaga kerja murah, prioritas irigasi dan komitmen yang kuat
dalam penerapan teknologi bagi proses
produksi.
54
Tabel 2. Perkembangan Hasil Produksi Pabrik Gula Kristal Putih (GKP) Berbahan
Baku Tebu dan Gula Kristal Rafinasi (GKR) Berbahan Baku Raw Sugar
Tahunan 2010-2014
No.
Tahun
Produksi Gula
Kristal Putih (ton)
Jumlah
1.
2010
2.214.489
2.357.000
4.598.489
2.
2011
2.228.259
2.192.000
4.420.259
3.
2012
2.591.687
2.471.000
5.062.687
4.
2013
2.565.169
3.054.000
5.619.169
5.
2014*
1.364.006
2.164.347
3.528.353
55
Tabel 3. Konsumsi Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Rafinasi Tahunan, 20102014
No.
Tahun
GKR
Jumlah
1.
2010
2.288.000
2.474.000
4.762.000
2.
2011
2.769.000
2.251.000
5.020.000
3.
2012
2.735.000
2.638.000
5.373.000
5.
2013
2.686.000
3.036.000
5.722.000
6.
2014*)
1.336.900
1.639.100
2.976.000
Sumber: Dewan Gula Indonesia dan AGRI (tidak termasuk raw sugar impor untuk
MSG
*) Januari-Juni 2014 (angka dibulatkan)
Sebagai gambaran, jumlah produksi nasional gula kristal putih hanya sebesar
2.241.741 ton yang mengalami penurunan produksi pada tahun 2006 menjadi 2.307.988 ton walaupun peningkatan terjadi pada tahun 2007 mencapai
2.442.761 ton. Data produksi gula nasional yang dirilis Dewan Gula Indonesia
di tahun selanjutnya dapat dilihat melalui Tabel 2.
Liberalisasi
Perihal
Tujuan
Penjelasan mengenai
Keppres No. 43/1971
yang meliputi gula PNP
Intensifikasi Tebu
Rakyat Indonesia
(TRI)
Kepmen Perdagangan
dan Koperasi No. 122/
Kp/III/81, 12 Maret
1981
Menjamin kelancaran
pengadaan dan penyaluran gula pasir serta
peningkatan pendapatan
petani
Penetapan harga
gula pasir produksi
dalam negeri dan
impor
Menjamin stabilitas
harga, devisa, serta
kesesuaian pendapatan
petani dan pabrik
Penetapan harga
gula pasir produksi
dalam negeri dan
impor
Menjamin stabilitas
harga, devisa, serta
kesesuaian pendapatan
petani dan pabrik
Komoditas yang
diatur tata niaga
impornya
Kepmenhutbun No.
282/Kpts-IX/1997, 7
Mei 1999
Penetapan harga
provenue gula pasir
produksi petani
Menghindari kerugian
petani dan mendorong
peningkatan produksi
Kepmenperindag No.
363/MPP/Kep/8/1999,
5 Agustus 1999
57
Rezim Kebijakan
Terke
ndali
Perihal
Tujuan
Perubahan bea
masuk
Peningkatan efektivitas
bea masuk
Kepmenperindag No.
643/MPP/Kep/9/2002,
23 September 2002
Pengaturan impor,
kualitas gula dan
hara referen gula
petani
No. 110/PMK.010/2006
jo
No. 233/PMK.011/2008
Penetapan sistem
klasifikasi barang
dan pembebanan
tarif bea masuk atas
impor
Nomor 150/
PMK.011/2009 jo
Nomor 239/
PMK.011/2009
white sugar dan refined sugar) sejak tahun 2007 hingga 2011, yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
C. PERIODE KEBIJAKAN TATA
NIAGA GULA DI INDONESIA
Kebijakan lain yang dianggap signifikan adalah kebijakan TRI (Tebu Rakyat
Indonesia) yang tertuang dalam Inpres
No. 9/1975, pada tanggal 22 April 1975
yang bertujuan untuk meningkatkan
produksi gula serta pendapatan petani
tebu melalui pemberian kredit bimtek
(bimbingan teknis), perbaikan sistem
pemasaran dengan melibatkan KUD
(Koperasi Unit Desa), serta penciptaan
hubungan kerja sama antara petani tebu
dan pabrik gula. Pada periode ini, kiner
ja industri gula nasional menunjukkan
stabilitas dan kemajuan yang signifikan. Peran Bulog dalam menstabilkan
harga mampu mendorong produktivitas. Meskipun volume impor masih cen
derung fluktuatif, di mana pada periode
1984-1991, impor Indonesia cenderung
meningkat namun pada tahun-tahun
berikutnya cenderung menurun dan
mencapai titik terendah di tahun 1994.
2. Periode Perdagangan Bebas/
Liberalisasi (1997-2001)
59
Data dari USDA menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berkontribusi terhadap menurunnya produktivitas petani
tebu adalah biaya produksi yang sangat
tinggi, akses yang terbatas atas kredit
serta tingkat bunga rendah dari peme
rintah, praktik-praktik penanaman dan
pemanenan yang tidak efisien, serta kesulitan mendapat fertilizer. Dengan hasil
panen yang hanya mencapai 73 ton/ha
yang masih jauh dibandingkan dengan
Australia yang bisa mencapai 95 ton/
ha pada musim normal, menunjukkan
bahwa produktivitas pertanian gula di
Indonesia masih rendah.
Oleh karena itu, pemerintah memberikan stimulus perbaikan produk
tivitas pada petani skala kecil yang bertujuan untuk mencapai swasembada
gula pada tahun 2007. Paket bantuan
ini termasuk perbaikan infrastruktur
irigasi, memperkenalkan bibit berkualitas tinggi, serta peningkatan subsidi
kredit untuk petani. Selain itu pemerintah melalui Kepmenperindag No. 643/
11
60
Ibid
Rendahnya harga jual di pasar dunia yang berakibat pada murahnya gula
impor telah menyebabkan petani tidak
mampu berkompetisi dengan gula impor. Oleh karena itu melalui Asosiasi
Petani Tebu Indonesia (APTI), petani
meminta pemerintah untuk memperhatikan pendapatan petani melalui tarif
bea masuk spesifik pada raw sugar Rp
550/kg (US$ 62/t) dan tarif bea-masuk
pada gula Kristal putih 700/kg (US$
79/t). Namun usulan menggunakan
kuota tarif untuk memberikan kontrol
terhadap impor itu ditolak oleh peme
rintah.
Di awal 2003 pemerintah memperkenalkan proposal untuk melibe
ralisasi impor gula untuk negara-negara
Volume V, Number 1, May 2015
World Trade Organization. Trade Policy Review of Indonesia, A Report by the Secretariat. Report No. WT/TPRS/S/117, Geneva: WTO, 2003.
12
61
62
2003).
Kebijakan tata niaga gula Indonesia dimulai saat pemerintahan Soeharto (1971-1996) kemudian pada
masa reformasi (1997-2001) dan saat
ini (2002-sekarang). Dari tiga periode
tersebut menunjukkan masing-masing
periode memiliki strategi dan fokus
yang berbeda sesuai dengan kondisi dan
situasi saat kebijakan tersebut diambil.
Pada kebijakan stabilisasi, pemerintah
memberikan wewenang besar kepada
BULOG untuk menjaga stabilitas harga,
memastikan ketersediaan gula di pasar
domestik, memberikan bantuan berupa
kredit Bimas serta melibatkan Koperasi
Unit Desa dalam sistem pemasaran. Pada
periode kedua atau periode pasar bebas
(liberalisasi) yang berlangsung setelah
krisis ekonomi melanda Indonesia, kebijakannya ditandai dengan penentuan
harga provenue serta memberikan akses
yang lebih besar kepada pihak swasta
untuk mengimpor gula. Hal ini menyebabkan peran BULOG menjadi lemah.
Dilanjutkan dengan periode ketiga yakni
periode kebijakan pengendalian impor,
terdiri dari kebijakan memperbaiki irigasi pertanian, penggunaan bibit unggul
dan peningkatan kredit bersubsidi untuk petani.
DAFTAR PUSTAKA
Agriculture, F. T. P. B. o. i. r. t. t. W. n. o.,
2013. SUGAR: policy insights from
analysis of sugar, s.l.: FAO.
Elobaid, A., 2009. How Would a Trade
Deal on Sugar Affect Exporting
and Importing Countries?. International Centre for Trade and Sustainable Development : Issues Paper No. 24, p. 3.
Journal of World Trade Studies
63
Submission Guidelines
2. The Journal of World Trade Studies (JWTS) receives manuscripts both in English and in Bahasa Indonesia.
3. The manuscript must be submitted in Microsoft Word-format and should be
sent to cwts@ugm.ac.id.
4. The manuscript submitted to JWTS should format all the text and appendix materials doublespaced in a standard 12-point type font
5. A complete submission comprises:
a. Abstract of 150-200 words
b. Manuscript with Bibliography approximately 20 25 pages long
c. A separate electronic document or cover letter which includes: a title page
with all authors names; the corresponding authors mailing address and
e-mail address.
6. The manuscript submitted to JWTS must not have been published and must not
be under consideration for publication elsewhere.
7. The manuscript should follow the style guidelines based on the Chicago Manual of Style (notes and bibliography). For more detailed information on stylistic
requirements, authors can also consult the Chicago Manual of Styles website
http://www.chicagomanualofstyle.org/tools_citationguide.html
The Center for World Trade Studies at Universitas Gadjah Mada (CWTS UGM) was
initiated by the consent and concerns among policy makers, practitioners in
international trade, and Universitas Gadjah Mada (UGM) academicians on trends of
unequal exchanges resulted from the current practices in international trade. As part
of the so-called economic globalization processes and phenomenon, world trade is an
arena where asymmetrical relations in trade among nations will eventually implicate
to other aspects, such as politics, law, socio-cultural life and various public sectors
including education, health, public services, food and agriculture, technology, etc.
Despite its main tasks to harmonize international trade and implement nondiscriminatory principles, World Trade Organization (WTO) is an indivisible
institution dealing with those unequal exchanges. As many would believe, WTO itself
is indeed identical to those asymmetrical exchanges.
It is in such a context that the Center is designed and developed i.e. critically
investigate a variety of trends in global trade which are in turn constructive as policy
inputs and recommendation of action for government officials, the public, and other
private practitioners who are ready for and anticipate for issues, challenges as well as
opportunities in global trade. CWTS UGM is therefore intended to be an independent
research and academic institute accountable for its objective critical studies on world
trade and other related issues oriented towards scientific enterprise and policy
advocacy.
9 772087 691105