Anda di halaman 1dari 44

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri

Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

BAB V
ANALISIS TEKNIK JALAN

5.1.

Perencanaan Geometrik Jalan


Perencanaan geometrik jalan adalah perencanaan route dari suatu ruas jalan

secara lengkap, meliputi beberapa elemen yang disesuaikan dengan kelengkapan dan
data dasar yang ada atau tersedia dari hasil survei lapangan dan telah dianalisis, serta
mengacu pada ketentuan yang berlaku.
Kelengkapan dan data dasar yang disiapkan sebelum mulai melakukan
perhitungan / perencanaan, yaitu :
Peta planimetri dan peta-peta lainnya (geologi dan tataguna lahan).
Kriteria Perencanaan.
Ketentuan jarak pandang dan beberapa pertimbangan yang diperlukan sebelum
memulai perencanaan, selain didasarkan pada teoritis, juga untuk praktisnya.
Elemen dalam perencanaan geometrik jalan, yaitu :
Alinemen Horizontal (situasi/plan)
Alinemen Vertikal (potongan memanjang/profile)
Potongan Melintang (cross section)
Penggambaran
5.1.1. Jarak Pandang
Jarak Pandang adalah suatu jarak yang diperlukan oleh seorang pengemudi pada
saat mengemudi sedemikian rupa, sehingga jika pengemudi melihat suatu halangan
yang membahayakan, pengemudi dapat melakukan sesuatu (antisipasi) untuk
menghindari bahaya tersebut dengan aman.

Laporan Akhir

BAB V - 1

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

Menurut ketentuan Bina Marga Jarak Pandang terdiri dari :


1. Jarak Pandang Henti (Jh)
a.

Jarak Minimum
Jh adalah jarak minimum yang diperlukan oleh setiap pengemudi untuk

menghentikan kendaraan dengan aman begitu melihat adanya halangan di depan. Setiap
titik di sepanjang jalan harus memenuhi ketentuan Jh.
b. Asumsi Tinggi
Jh diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan
tinggi halangan 15 cm, yang diukur dari permukaan jalan.
c. Elemen - Jh
Jh terdiri dari 2 (dua) elemen jarak, yaitu :
1. Jarak Tanggap (Jht), adalah jarak yang di tempuh oleh kendaraan sejak
melihat suatu halangan yang menyebabkan ia harus berhenti sampai saat
pengemudi menginjak rem,dan
2. Jarak Pengereman (Jhr), adalah jarak yang dibutuhkan untuk menghentikan
kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampai kendaraan berhenti.
d. Rumus yang digunakan :
Jh dalam satuan meter, dapat dihitung dengan rumus :
Jh = Jht + Jhr ................................................................................................(5.1a)
VR
(VR ) 2
T

Jh =
....................................................................................(5.1b)
3,6
2 gf p

Dimana :

VR =

kecepatan rencana (km/jam)

T =

waktu tanggap, ditetapkan 2,5 detik

G = percepatan grafitasi, ditetapkan 9,8 m/detik2


fp =

koefisien gesek memanjang antara ban kendaraan dengan


perkerasan jalan aspal, ditetapkan 0,28 0,45 (menurut
AASHTO), fp akan semakin kecil jika kecepatan (VR)
semakin tinggi dan sebaliknya.(menurut Bina Marga, fp =
0,35 0,55).

Laporan Akhir

BAB V - 2

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

Persamaan (5.1b) dapat disederhanakan menjadi :


Untuk jalan datar :
2

VR
Jh = 0,278 VR T
......................................................................(5.2)
254 f p

Untuk jalan dengan kelandaian tertentu :


2

Jh = 0,278 VR T

VR
.............................................................(5.3)
254 ( f p L)

Dimana : L = landai jalan dalam (%) dibagi 100


Tabel 5.1 menampilkan panjang Jh minimum yang dihitung berdasarkan
persamaan (5.2) dengan pembulatan-pembulatan untuk berbagai VR
Tabel 5.1 Jarak Pandang Henti (Jh) minimum
VR km/jam
120
100
80
60
50
40
Jh Minimum (m)
250
175
120
75
55
40

30
20
27
16
Dari TPGJAK

2. Jarak Pandang Mendahului (Jd)


a.

Jarak
Jh adalah jarak yang memungkinkan suatu kendaraan mendahului kendaraan lain

di depannya dengan aman sampai kendaraan tersebut kembali ke lajur semula (lihat
Gambar 5.1)

Gambar 5.1. Proses gerakan mendahului (2/2 TB)


Laporan Akhir

BAB V - 3

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

A = Kendaraan yang mendahului


B = Kendaraan yang berlawanan arah
C = Kendaraan yang didahului kendaraan A
b.

Asumsi tinggi
Jd diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan

tinggi halangan adalah 105 cm.


c. Rumus yang digunakan
Jd dalam satuan meter ditentukan sebagai berikut :
Jd = d1 + d2 + d3 + d4 ..............................................................................(5.4)
Dimana :

d1 =

jarak yang ditempuh selama waktu tanggap (m)

d2 =

jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan


kembali ke lajur semula (m),

d3 =

jarak

antara

kendaraan

yang

mendahului

dengan

kendaraan yang datang dari arah berlawanan setelah


proses mendahului selesai (m)
d4 =

jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang datang dari arah


berlawanan.

Rumus yang digunakan :


d1 = 0,278 T1 (VR m

a.T1
...............................................................(5.5a)
2

d2 = 0,278 VR T2 ...................................................................................(5.5b)
d3 = antara 30 100 m
VR km/jam
Jh Minimum (m)

50-65
30

65-80
55

80-95
75

95-110
90

d4 = 2/3 d2.................................................................................................(5.5c)
dimana : T1 = waktu dalam (detik), 2,12 + 0,026 VR
T2 = waktu kendaraan berada di jalur lawan, (detik), 2,056 + 0,048 VR
a = percepatan rata-rata km/jam/detik , 2,052 + 0,0036 VR
m = perbedaan kecepatan dari kendaraan yang menyiap dan kendaraan
yang disiap, (biasanya diambil 10 15 km/jam)
Laporan Akhir

BAB V - 4

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

Tabel 5.2 Panjang Jarak Pandang berdasarkan VR


VR km/jam
120
100
80
60
50
40
Jh Minimum (m)
800
670
550
350 250
200

30
20
150
100
Dari TPGJAK

d. Penyebaran Lokasi
Lokasi atau daerah untuk mendahului harus disebar di sepanjang jalan dengan
jumlah panjang minimum 30 % dari panjang total ruas jalan yang direncanakan.
5.1.2. Alinemen Horizontal
Pada perencanaan alinemen horizontal, umumnya akan ditemui dua jenis bagian
jalan, yaitu : bagian lurus, dan bagian lengkung atau umum disebut tikungan yang
terdiri dari tiga jenis tikungan yang digunakan, yaitu :
-

Lingkaran (Full Circle = FC)

Spiral Lingkaran Spiral (Spiral-Circle-Spiral = S-C-S)

Spiral Spiral ( S S )

1. Bagian Lurus
Panjang maksimum bagian lurus, harus dapat ditempuh dalam waktu 2,5 menit
(sesuai VR), dengan pertimbangan keselamatan pengemudi akibat dari kelelahan.
Tabel 5.3 Panjang Bagian Lurus Maksimum
Fungsi
Panjang Bagian Lurus Maksimum (m)
Datar
Bukit
Gunung
Arteri
3.000
2.500
2.000
Kolektor
2.000
1.750
1.500
Dari TPGJAK
2. Tikungan
a. Jari-jari minimum
Kendaraan pada saat melalui tikungan dengan kecepatan (V) akan menerima
gaya sentrifugal yang menyebabkan kendaraan tidak stabil. Untuk mengimbangi gaya
sentrifugal tersebut, perlu dibuat suatu kemiringan jalan pada tikungan yang disebut
superelevasi (e)

Laporan Akhir

BAB V - 5

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

Pada saat kendaraan melalui daerah superelevasi, akan terjadi gesekan arah
melintang jalan antara ban kendaraan dengan permukaan aspal yang menimbulkan gaya
gesekan melintang. Perbandingan gaya gesekan melintang dengan gaya normal disebut
koefisien gesekan melintang (f)
Rumus umum untuk lengkung horizontal adalah :
V2
R=
........................................................................................(5.6a)
127 (e f )
25

D = 2 R x360 ....................................................................................(5.6b)
Dimana : R = jari-jari lengkung (m)
D = derajat lengkung ()
Untuk menghindari terjadinya kecelakaan, maka untuk kecepatan tertentu dapat
dihitung jari-jari minimum untuk superelevasi maksimum dan koefisien gesekan
maksimum,

Rmin

VR

127. emak f mak

Dmak

...........................................................................(5.7a)

181913,53 (emak f mak )


..............................................................(5.7b)
2
VR

R min

: jari-jari tikungan minimum (m)

VR

: kecepatan rencana (km/jam)

emax

: superlevasi maksimum (%)

fmak

: koefisien gesek

: derajat lengkung

Dmak

: derajat maksimum

Untuk pertimbangan perencanaan, digunakan

emax = 10 % dan fmak sesuai

Gambar 5.2 yang hasilnya dibulatkan. Untuk berbagai variasi kecepatan dapat
digunakan Tabel 5.4

Laporan Akhir

BAB V - 6

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

Gambar 5.2 : Grafik nilai (f),untuk emak = 6 %, 8 % dan 10 %


(menurut AASHTO)
Tabel 5.4. Panjang Jari-jari minimum (dibulatkan) untuk emak = 10 %.
VR (km/jam)
120 100 90 80 60 50 40 30 20
Rmak (m)
600 370 280 210 115 80 50 30 15
b. Bentuk Busur Lingkaran (FC)

Gambar 5.3. Komponen FC


Laporan Akhir

BAB V - 7

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

Keterangan :

= Sudut tikungan

= titik pusat lingkaran

Tc

= panjang tangen jarak dari TC ke PI atau PI ke CT

Rc

= jari-jari lingkaran

Lc

= panjang busur lingkaran

Ec

= jarak luar dari PI ke busur lingkaran

FC (Full Circle), adalah jenis tikungan yang hanya terdiri dari bagian suatu
lingkaran saja. Tikungan FC hanya digunakan untuk R (jari-jari tikungan) yang besar
agar tidak terjadi patahan, karena dengan R kecil maka diperlukan superelevasi yang
besar.
Tabel 5.5. Jari-jari tikungan yang tidak memerlukan lengkung peralihan
VR (km/jam)
120 100 80 60 50 40 30 20
Rmak (m)
2500 1500 900 500 350 250 130 60
Tc = Rc tan ........................................................................................(5.8a)
Ec = Tc tan ........................................................................................(5.8b)
Lc =

2 Rc
.......................................................................................(5.8c)
360

c. Lengkung Peralihan
Lengkung peralihan dibuat untuk menghindari perubahan terjadinya perubahan
alinemen yang tiba-tiba dari bentuk lurus ke bentuk lingkaran ( R = R = Rc ), jadi
lengkung peralihan ini diletakkan antara bagian lurus dan bagian lingkaran (circle),
yaitu pada sebelum dan sesudah tikungan berbentuk busur lingkaran.
Lengkung peralihan dengan bentuk spiral (clothoid) banyak digunakan juga oleh
Bina Marga.
Dengan adanya lengkung peralihan, maka tikungan menggunakan jenis S-C-S.
Panjang lengkung peralihan (Ls), menurut Tata Cara Perencanaan Geometrik
Jalan AntarKota, 1997, diambil nilai terbesar dari tiga persamaan dibawah ini :

Laporan Akhir

BAB V - 8

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

1. Berdasarkan waktu tempuh maksimum (3 detik), untuk melintasi lengkung


peralihan, maka panjang lengkung :
Ls =

VR
T ......................................................................................................(5.9a)
3,6

2. Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal, digunakan rumus Modifikasi Shortt, sebagai


berikut :
3

Ls = 0,022

VR
V . e
2,727 R
................................................................(5.9b)
Rc C
C

3. Berdasar tingkat pencapaian perubahan kelandaian,


Ls =

(em en
VR ..........................................................................................(5.9c)
3,6 e

Dimana :

= waktu tempuh = 3 detik

Rc

= jari-jari busur lingkaran (m)

= perubahan percepatan, 0,3 1,0 disarankan 0,4 m/detik3

= superelevasi

em

= superelevasi maksimum

en

= superelevasi normal

re

=tingkat pencapaian perubahan kelandaian melintang jalan,


sebagai berikut.
Untuk VR 70 km/jam; re mak = 0,035 m/m/det
Untuk VR 80 km/jam; re mak = 0,025 m/m/det

Laporan Akhir

BAB V - 9

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

Gambar 5.4. Komponen S-C-S


Keterangan :
Xs

= absis titik SC pada garis tangen, jarak dari titikTS dan SC (jarak lurus lengkung
peralihan)

Ys

= ordinat titik SC pada garis tegak lurus garis tangen, jarak tegak lurus ke titik SC
pada lengkung.

Ls

= panjang lengkung peralihan ( panjang dari tittik TS ke SC atau CS ke ST ).

Lc

= panjang busur lingkaran (panjang dari titik SC ke CS).

Ts

= panjang tangen dari titik PI ke titik TS atau ke titik ST.

TS

= titik dari tangen ke spiral.

SC

= titik dari spirl ke lingkaran.

Es

= jarak dari PI ke busur lingkaran.

= sudut lengkung spiral.

Rc

= jari-jari lingkaran.

= pergeseran tangen terhadap spiral.

Laporan Akhir

BAB V - 10

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

= absis dari p pada garis tangen spiral

Rumus yang digunakan :


Xs = Ls (1

Ls 2
) ........................................................................................(5.10a)
40 Rc 2

Ys =

Ls 2
6 Rc

s =

90 Ls
........................................................................................................(5.10c)
Rc

...........................................................................................................(5.10b)

c = - 2s
Lc =

( 2 s )
x x Rc .................................................................................(5.10h)
180

Ltot= Lc + 2 Ls ......................................................................................................(5.10i)
p =

Ls 2
6 Rc

k = Ls -

- Rc (1 Cos s) ................................................................................(5.10d)

Ls 3
- Rc Sin s .............................................................................(5.10e)
40 Rc 2

Ts = (Rc + p) tan + k .....................................................................................(5.10f)


Es = (Rc + p) sec - Rc ...................................................................................(5.10g)
Jika diperoleh Lc < 25 m, maka sebaiknya tidak digunakan bentuk S-C-S, tetapi
digunakan lengkung S-S, yaitu lengkung yang terdiri dari dua lengkung peralihan.
Jika P yang dihitung dengan rumus (5.10j), maka ketentuaan tikungan yang
digunakan bentuk FC.
p=

Ls 2
< 0,25 m................................................................................(5.10j)
24 Rc

Untuk : Ls = 1,0 meter, maka p = p dan k = k


Untuk : Ls = Ls, maka p = p x Ls dan k = k x Ls
Nilai p dan k dapat dicari dari nilai s

Laporan Akhir

BAB V - 11

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

d. Bentuk Lengkung Peralihan (S-S)

Gambar 5.5. Komposisi S-S


Untuk bentuk spiral-spiral ini berlaku rumus, sebagai berikut :
Lc = 0 dan s = ..............................................................................................(5.11a)
Ltot= 2 Ls................................................................................................................(5.11b)
Untuk menentukan s dapat menggunakan rumus (5.10c)
Ls =

s Rc
.......................................................................................................(5.11c)
90

p, k, Ts dan Es, dapat menggunakan rumus-rumus (5.10d) (5.10g).

Laporan Akhir

BAB V - 12

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

3. Pencapaian Superelevasi

Gambar 5.6. Perubahan Kemiringan melintang pada tikungan


Superelevasi dicapai secara bertahap dari kemiringan melintang normal pada bagian
jalan yang lurus sampai kemiringan penuh (superelevasi) pada bagian lengkung.
Pada tikungan SCS, pencapaian superelevasi dilakukan secara linier (lihat Gambar
5.7), diawali dari bentuk normal (
(TS) yang berbentuk (
superelevasi penuh (

) sampai awal lengkung peralihan


) pada bagian lurus jalan, lalu dilanjutkan sampai

) pada akhir bagian lengkung peralihan (SC).

Pada tikungan FC, pencapaian superelevasi dilakukan secara linier (lihat Gambar
5.8), diawali dari bagian lurus sepanjang 2/3 Ls sampai dengan bagian lingkaran
penuh sepanjang 1/3 Ls)
Pada tikungan S-S, pencapaian superelevasi seluruhnya dilakukan pada bagian
spiral.

Laporan Akhir

BAB V - 13

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

Superelevasi tidak diperlukan jika radius ( R ) cukup besar, untuk cukup lereng luar
diputar sebesar lereng normal (LP), atau bahkan tetap lereng normal (LN).
4. Landai Relatif
Kemiringan melintang atau kelandaian pada penampang jalan diantar tepi
perkerasan luar dan sumbu jalan sepanjang lengkung peralihan disebut landai relatif.
Persentase kelandaian ini disesuaikan dengan kecepatan rencana dan jumlah lajur yang
ada.
Untuk praktis, dapat digunakan besaran pada Tabel 5.6. atau dihitung dengan
rumus :
1
(e en) B

........................................................................................(5.12)
m
Ls
1
m

dimana :

= landai relatif, (%)

= superelevasi, (m/m)

en

= kemiringan melintang normal, (m/m)

= lebar lajur, (m)

Tabel 5.6. Landai relatif maksimum (untuk 2/2 TB)


Vn (km/jam)
20 30
40
50
1
1
1
1
Kemiringan maksimum
50

75

100 115

60

80

1
1
125 150

Dari Spesifikasi Standar untuk Perc. geometrik JLK(Ranc. Akhir), Bina Marga 1990)
5. Diagram Superelevasi
a.

Metode
Metode untuk melakukan superelevasi yaitu merubah lereng potongan

melintang, dilakukan dengan bentuk profil dari tepi perkerasan yang dibundarkan, tetapi
disarankan cukup untuk mengambil garis lurus saja.

Laporan Akhir

BAB V - 14

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

Gambar 5.7. Metode pencapaian superelevasi pada tikungan tipe SCS


Ada tiga cara untuk mendapatkan superelevasi yaitu :
1. Memutar perkerasan jalan terhadap profil sumbu.
2. Memutar perkerasan jalan terhadap tepi jalan sebelah dalam.
3. Memutar perkerasan jalan terhadap tepi jalan sebelah luar.

Laporan Akhir

BAB V - 15

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

Gambar 5.8. Metode pencapaian superelevasi pada tikungan tipe FC

Gambar 5.9. Metode pencapaian superelevasi pada tikungan tipe SS

Laporan Akhir

BAB V - 16

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

b.

Diagram
Pembuatan diagram superelevasi antara cara AASHTO dan cara Bina Marga ada

sedikit perbedaan, yaitu :


1. Cara AASHTO, penempang melintang sudah mulai berubah pada titik TS,
2. Cara Bina Marga, penampang melintang pada titik TS masih berupa penampang
melintang normal seperti pada Gambar : 5.7., 5.8., dan 5.9.
6. Pelebaran di Tikungan
Pelebaran perkerasan atau jalur lalulintas di tikungan, dilakukan untuk
mempertahankan kendaraan tetap pada lintasannya (lajurnya) sebagaimana pada bagian
lurus. Hal ini terjadi karena pada kecepatan tertentu kendaraan pada tikungan cenderung
untuk keluar lajur akibat posisi roda depan dan roda belakang yang tidak sama, yaitu
tergantung dari ukuran kendaraan.
Penetuan lebar pelebaran jalur lalulintas di tikungan ditinjau dari elemenelemen: keluar lajur (off tracking) dan kesukaran dalam mengemudi di tikungan.
7. Daerah Bebas Samping di Tikungan
Jarak pandang pengemudi pada lengkung horizontal (di tikungan), adalah
pandangan bebas pengemudi dari halangan benda-benda di sisi jalan (daerah bebas
samping).
1. Daerah bebas samping di tikungan adalah ruang untuk menjamin kebebasan
pandang di tikungan sehingga Jh dipenuhi.
2. Daerah bebas samping dimaksudkan untuk memberikan kemudahan pandangan
ditikungan dengan membebaskan obyek-obyek penghalang sejauh E (m), diukur dari
garis tengah lajur dalam sampai obyek penghalang pandangan sehingga persyaratan
Jh dipenuhi (lihat Gambar 5.10 dan Gambar 5.11)
3. Daerah bebas samping di tikungan dihitung berdasarkan rumus-rumus sebagai
berikut :

Laporan Akhir

BAB V - 17

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

Gambar 5.10. Daerah bebas samping di tikungan, untuk JH < Lt


Dari TPGJAK
a.

Jika Jh < Lt :
E = R1 (1 Cos

28,65 Jh
)...........................................................................(5.13)
R1

Gambar 5.11. Daerah bebas samping di tikungan, untuk Jh > Lt


Dari TPGJAK
Laporan Akhir

BAB V - 18

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

b.

Jika Jh > Lt :
E = R1 (1 Cos

28,65 Jh
28,65 Jh
Jh Lt
)+(
Sin
)..........................(5.14)
1
2
R
R1

Dimana : R = jari-jari tikungan (m)


R1 = jari-jari sumbu lajur dalam (m)
Jh = jarak pandang henti (m)
Lt = panjang tikungan (m)
8. Tikungan Gabungan
Pada perencanan alinemen horisontal, kemungkinan akan ada / ditemui
perencanaan tikungan gabungan karena kondisi topografi pada route jalan yang akan
direncanakan sedemikian rupa sehingga terpaksa (tidak dapat dihindari) harus dilakukan
rencana tikungan gabungan searah dan tikungan gabungan berbalik.
a.

Tikungan Gabungan Searah


R1 > 1,5 R2 tikungan gabungan searah yang harus dihindari, jika terpaksa

dibuat tikungan gabungan dari dua busur lingkaran (FC), disarankan seperti pada
gambar di bawah .

Gambar. 5.12a :
Tikungan gabungan
searah, R1 1,5 R2

Laporan Akhir

BAB V - 19

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

Gambar. 5.12b.
Tikungan gabungan
Searah dengan sisipan
Garis lurus

Gambar 5.12c :
Tikungan gabungan
searah dengan sisipan
spiral
b.

Tikungan Gabungan Berbalik


Tikungan gabungan berbalik secara tiba-tiba, harus dihindari, karena dalam

kondisi ini pengemudi untuk mempertahankan keadaan pada lajurnya. Jika terpaksa
dibuat tikungan gabungan dari dua busur lingkaran (FC), disarankan seperti pada
gambar dibawah.

Gambar 5.13a :
Tikungan gabungan
berbalik, R1 1,5 R2

Laporan Akhir

BAB V - 20

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

Gambar 5.13b :
Tikungan gabungan
berbalik dengan sisipan
garis lurus

Gambar 5.13c
Tikungan gabungan
berbalik dengan
sisipan spiral

Tikungan gabungan yang berbalik, akan menemui kesukaran dalam pelaksanaan


(konstruksi) kemiringan melintang jalan, terutama pada konstruksi timbunan yang
tinggi, tikungan semacam ini sedapat mungkin harus dihindari.

5.1.3. Alinemen Vertikal


Alinemen vertikal adalah perencanaan elevasi sumbu jalan pada setiap titik yang
ditinjau, berupa profil memanjang.
Laporan Akhir

BAB V - 21

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

Pada perencanaan alinemen vertikal akan ditemui kelandaian positif (tanjakan)


dan kelandaian negatif (turunan), sehingga kombinasinya berupa lengkung cembung
dan lengkung cekung. Disamping kedua lengkung tersebut ditemui pula kelandaian = 0
(datar).
Kondisi tersebut dipengaruhi oleh keadaan topografi yang dilalui oleh route
jalan rencana. Kondisi topografi tidak saja berpengaruh pada perencanaan alinemen
horizontal, tetapi juga mempengaruhi alinemen vertikal.
1. Kelandaian
Untuk menghitung dan merencanakan lengkung vertikal, ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan, yaitu :
a. Karakteristik Kendaraan Pada Kelandaian
Hampir seluruh kendaraan penumpang dapat berjalan baik dengan kelandaian 7
8 % tanpa ada perbedaan dibandingkan pada bagian datar.
Pengamatan menunjukkan bahwa untuk mobil penumpang pada kelandaian 3 %
hanya sedikit sekali pengaruhnya dibandingkan dengan jalan datar. Sedangkan untuk
truk, kelandaian akan lebih besar pengaruhnya.
b. Kelandaian Maksimum
Kelandaian maksimum yang ditentukan untuk berbagai variasi kecepatan
rencana, dimaksudkan agar kendaraan dapat bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan
yang berarti.
Kelandaian maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh
mampu bergerak dengan kecepatan tidak kurang dari separuh kecepatan semula tanpa
harus menggunakan gigi rendah.
Tabel 5.7. Kelandaian maksimum yang diijinkan
VR (km/jam)
120 110 100 80 60 50
Kelandaian Maksimum
3
3
4
5
8
9

40
< 40
10
10
Dari TPGJAK

c. Kelandaian Minimum
Pada jalan yang menggunakan kerb pada tepi perkerasannya, perlu dibuat
kelandaian minimum 0,5 % untuk keperluan kemiringan saluran samping, karena
Laporan Akhir

BAB V - 22

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

kemiringan melintang jalan dengan kerb hanya cukup untuk mengalirkan air ke
samping.
d. Panjang Kritis suatu Kelandaian
Panjang kritis ini diperlukan sebagai batasan panjang kelandaian maksimum
agar pengurangan kecepatan kendaraan tidak lebih dari separuh VR.
Lama perjalanan pada panjang kritis tidak lebih dari satu menit.
Tabel 5.8. Panjang kritis (m)
Kecepatan pada awal
Kelandaian (%)
Tanjakan (km/jam) 4
5
6
7
8
9
10
80
630 460 360 270 230 230 200
60
320 210 160 120 110 90
80
Dari TPGJAK
e. Laju Pendakian pada Kelandaian Khusus
Pada jalur jalan dengan rencana volume lalulintas yang tinggi, terutama untuk
tipe 2/2 TB, maka kendaraan berat akan berjalan pada lajur pendakian dengan kecepatan
dibawah VR , sedangkan kendaraan lain masih dapat bergerak dengan VR , sebaiknya
dipertimbangkan untuk dibuat lajur tambahan pada bagian kiri dengan ketentuan untuk
jalan baru menurut MKJI didasarkan pada BSH (Biaya Siklus Hidup).
Penempatan lajur pendakian harus dilakukan dengan ketentuan sebagaai berikut:
Berdasar MKJI (1997)
Penentuan lokasi lajur pendakian harus dapat dibenarkan analisis BSH,
sebagaimana ditampilkan pada Tabel 5.9.
Tabel 5.9. Lajur pendakian pada kelandaian khusus, jalan luar kota (2/2 TB), usia
rencana 23 tahun
Ambang arus lalulintas (kend./jam) tahun 1, jam puncak
Panjang
Kelandaian
3%
5%
7%
0,5 km
500
400
300
325
300
300
1 km
Dari TPGJAK

Laporan Akhir

BAB V - 23

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

Gambar 5.14. Lajur Pendakian Tipikal

Gambar 5.15 Jarak antara dua Lajur Pendakian

Laporan Akhir

BAB V - 24

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

Berdasarkan TPGJAK (1997) :


1. Disediakan pada jalan arteri atau kolektor,
2. Apabila panjang kritis terlampaui, jalan memiliki VLHR > 15.000 smp/hari, dan
persentase truk > 15 %.
3. Lebar jalur pendakian sama dengan lebar lajur rencana.
4. Lajur pendakian dimulai 30 meter dari awal perubahan kelandaian dengan
serongan sepanjang 45 meter dan berakhir 50 meter sesudah puncak kelandaian
dengan serongan sepanjang 45 meter (lihat Gambar 5.14)
5. Jarak minimum antara 2 lajur pendakian adalah 1,5 km (lihat Gambar 5.15)
2. Lengkung Vertikal
Lengkung vertikal direncanakan untuk merubah secara bertahap perubahan dari
dua macam kelandaian arah memenjang jalan pada setiap lokasi yang diperlukan. Hal
ini dimaksudkan untuk mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian dan
menyediakan jarak pandang henti yang cukup, untuk keamanan dan kenyamanan.
Lengkung vertikal terdiri dari dua jenis yaitu :
-

Lengkung cembung

Lengkung cekung

Tipikal lengkung vertikal seperti pada Gambar 5.16.

Gambar 5.16 Tipikal lengkung vertikal bentuk parabola

Laporan Akhir

BAB V - 25

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

Rumus yang digunakan :

L g1
L g1

................................................................................(5.15a)
g1 g 2
A
2

L g1
L g1

.......................................................................(5.15b)
2 ( g1 g 2 )
A

Dimana :

= jarak dari titik P ke titik yang ditinjau pada Sta, (Sta)


= perbedaan elevasi antara titik P dan titik yang ditinjau pada
Sta, (m)

= Panjang lengkung vertikal parabola, yang merupakan jarak


proyeksi dari titik A dan titik Q, (Sta)

g1

= Kelandaian tangen dari titik P, (%)

g1

= Kelandaian tangen dari titik P, (%)

Rumus diatas untuk lengkung simetris.


( g1 g1 ) = A = perbedaan aljabar untuk kelandaian, (%).
Kelandaian menaik (pendakian), diberi tanda (+), sedangkan

kelandaian

menurun (penurunan), diberi tanda (-). Ketentuan pendakian atau penurunan ditinjau
dari kiri.
Ev =

AL
.................................................................................................(5.16)
800

Untuk : x = L
y = Ev
a. Lengkung Vertikal Cembung
Ketentuan tinggi menurut Bina Marga (1997) untuk lengkung cembung seperti
pada Tabel 5.10.
Tabel 5.10. Ketentuan tinggi untuk jenis jarak pandang
Untuk Jarak
h1 (m)
H2 (m)
Pandang
Tinggi mata
Tinggi obyek
Henti (Jh)
1,05
0,15
Mendahului (Jd)
1,05
1,05

Laporan Akhir

BAB V - 26

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

Panjang L, berdasarkan Jh
Jh < L, maka : L =

A Jh 2
..............................................................................(5.17a)
399

Jh > L, maka : L = 2 Jh -

399
........................................................................(5.17b)
A

Panjang L, berdasarkan Jd
Jd < L, maka : L =

A Jd 2
..............................................................................(5.17c)
840

Jd > L, maka : L = 2 Jd -

840
.......................................................................(5.17d)
A

Gambar 5.17a Untuk Jh < L

Gambar 5.17b Untuk Jh > L


Laporan Akhir

BAB V - 27

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

Panjang lengkung vertikal cembung (L), yang diperoleh dari rumus 5.17(c,d)
pada umumnya akan menghasilkan L lebih panjang daripada jika digunakan rumus
5.17(a,b).
Untuk penghematan biaya L dapat ditentukan dengan rumus 5.17(a,b) dengan
konsekwensi kendaraan pada daerah lengkung cembung tidak dapat mendahului
kendaraan didepannya, untuk keamanan dipasang rambu (R9 dan R25).

Gambar 5.18a. Grafik Panjang Lengkung Vertikal Cembung berdasar


Jarak Pandang Henti ( Jh)
Laporan Akhir

BAB V - 28

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

Gambar 5.18b Grafik Panjang Lengkung Vertikal Cembung


Berdasarkan Jarak Pandang Mendahului (Jd)
Laporan Akhir

BAB V - 29

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

b. Lengkung Vertikal Cekung


Tidak ada dasar yang dapat digunakan untuk menentukan panjang lengkung
cekung vertikal (L), akan tetapi ada empat kriteria sebagai pertimbangan yang dapat
digunakan, yaitu:
Jarak sinar lampu besar dari kendaraan (Gambar 5.19a,b)
Kenyamanan pengemudi
Ketentuan drainasi
Penampilan secara umum
(Gb 5.19a&b) Dari : Fig.8-28,Raute Surveying and Design by Meyer

Gambar 5.19a Untuk Jh < L

Gambar 5.19b Untuk Jh > L

Laporan Akhir

BAB V - 30

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

Dengan bantuan gambar 5.19a,b di atas, yaitu tinggi lampu besar kendaraan =
0,6 m (21) dan sudut bias = 1, maka diperoleh hubungan praktis, sebagai berikut :
Jh < L, maka : L =

A Jh 2
120 3,5 Jh

Jh > L, maka : L = 2 Jh -

............................................................(5.18a)

120 3,5 Jh
..................................................(5.18b)
A

Gambar 5.20. Grafik Panjang Lengkung Vertikal Cekung


Berdasarkan Jarak Pandang henti (Jh)
Gambar 5.18a, 5.18b dan 5.20 dari PPGJR, No. 13/1970
c. Panjang untuk Kenyamanan
L=

AV2
.................................................................................................(5.19)
389

Laporan Akhir

BAB V - 31

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

5.2.

Perencanaan Perkerasan Jalan

5.2.1. Beban Lalulintas


Besaran arus lalulintas dan komposisi kendaraan yang diperkirakan akan
menggunakan jalan arteri (alternatif) yang didapat dari hasil evaluasi lalulintas adalah
sebagai berikut.
Dari Buku Manual Perkerasan Jalan dengan alat Benkelman beam no.
01/MN/B/1983 besaran distribusi beban sumbu dan unit ekuivalen 8,16 ton. Beban as
tunggal dapat dilihat pada Tabel 5.11.

Laporan Akhir

BAB V - 32

RODA TUNGGAL
PADA UJUNG SUMBU

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


GANDA PADA
Ruas SidotopoRODA
Canguk,
Kota Magelang
UJUNG SUMBU

HP
1,2
BUS
1,2L
TRUK
1,2H
TRUK
1,22
TRUK
1,2+2,2
TRAILER
1,2-2
TRAILER
1,2-2,2
TRAILER

Laporan Akhir

2,0

UE 18 KSAL MAKSIMUM

0,5

UE 18 KSAL KOSONG

1,5

BERAT TOTAL MAKSIMUM (ton)

BEBAN MUATAN MAKSIMUM


(ton)

1,1

BERAT KOSONG (ton)

KONFIGURASI SUMBU & TIPE

Tabel 5.11. Distribusi beban Sumbu dari Berbagai Jenis Kendaraan

0,0001 0,0005

50%
34%

2,3

4,2

14

8,3

18,2

20

25

34%

66%

34%

66%

0,0013 0,2174

0,0143 5,0264

25

31,4

75%

0,0044 2,7416
18%

6,4

66%

0,0037 0,3006

25%

50%

28%

27% 27%

0,0085 3,9083
18%

6,2

20

26,2

0,0192 6,1179

10

32

42

0,0327 10,183

41%

18% 28%

41%

54%
27% 27%

BAB V - 33

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

5.2.2. Tanah Dasar


Dalam perancangan tebal lapis keras untuk rencana ruas jalan arteri, diperlukan
data masukan besaran daya dukung tanah dasar, yang umumnya dalam bentuk nilai
CBR. Karena pada tahap pra studi kelayakan ini belum dilakukan pengujian lapangan,
maka diasumsikan bahwa nilai CBR minimal yang digunakan untuk penentuan tebal
lapis keras adalah 5 %. Apabila di dapat nilai lebih kecil dari 5 %, maka disarankan
untuk melakukan perbaikan-perbaikan kondisi tanah dasar agar nilai minimal CBR
tercapai.
5.2.3. Faktor Regional
Mengingat metode perancangan yang digunakan merupakan formula yang
bersifat empiris maka di dalam penggunaan harus ada faktor koreksi yang besarnya
dikaitkan kondisi setempat. Faktor koreksi tersebut di atas juga disebut sebagai faktor
regional dimana variabel yang dikaitkan adalah bentuk alinyemen (kelandaian dan
tikungan), persentase kendaraan berat serta iklim (curah hujan).

Laporan Akhir

BAB V - 34

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

PERANCANG
AN
DATA LALULINTAS
Komposisi
Volume
UMUR PERANCANGAN

PERTUMBUHAN
LALULINTAS

PREDIKSI LALULINTAS
KOEFISIEN DISTRIBUSI
KENDARAAN ( C )

ANGKA EKUIVALEN(E)
LINTAS EKUIVALEN
PERMULAAN (LEP)
LEP=LHR x C x E

LINTAS EKUIVALEN AKHIR (LEA)


LINTAS EKUIVAALEN TENGAH (LET)
LET = (LEP+LEA)/2
Fp=UR/10
LINTAS EKUIVALEN RENCANA (LER)
LER = LET x FP

CBR TANAH DASAR

DAYA DUKUNG
TANAH

INDEKS PERMUKAAN

FAKTOR REGIONAL

Laporan Akhir

INDEKS TEBAL
PERKERASAN (ITP)

PEMERIKSAAN
TEBAL LAPIS KERAS

BAB V - 35

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

Gambar.5.21. Bagan Alir Perancangan Lapis Keras Lentur


5.2.4. Kebutuhan Tebal Lapis Keras
Dari hasil evaluasi dari kondisi tanah dasar, ketersediaan bahan dan lalulintas
serta kondisi lingkungan dapat ditentukan jenis konstruksi untuk ruas Sidotopo
Canguk seperti Gambar 5.23.
LAPIS PERMUKAAN

4 cm

AC

PONDASI ATAS

33 cm

ATB

PONDASI BAWAH

30 cm

BASE COURSE agregat klas A

CBR 5 %

TANAH DASAR

5.2.5. Indeks Permukaan


Mengingat ruas jalan arteri Sidotopo - Canguk diharapkan mempunyai tingkat
pelayanan yang memadai terhadap lalulintas yang lewat, maka besaran indeks
permukaan akhir diambil sebesar 2,5 dan indeks permukaan awal (Ipo) sebesar 4.
5.2.6. Kriteria Perencanaan Fly Over
Beberapa kriteria yang dijadikan dasar perencanaan fly over adalah :
1. Landai vertikal :
Kelandaian maksimum dimaksudkan untuk memungkinkan kendaraan bergerak
terus tanpa kehilangan kecepatan yang berarti. Kelandaian maksimum didasarkan pada
kecepatan truk yang bermuatan penuh yang mampu bergerak dengan penurunan
kecepatan tidak lebih dari separuh kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi
rendah. Kelandaian maksimum untuk berbagai VR ditetapkan dapat dilihat dalam Tabel
5.12.
Tabel 5.12. Kelandaian Maksimum yang Diizinkan
VR (km/jam)
120 110 100 80 60 50
Kelandaian maksimum (%)
3
3
4
5
8
9
Laporan Akhir

40
10

< 40
10

BAB V - 36

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

Panjang kritis yaitu panjang landai maksimum yang harus disediakan agar
kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian sehingga penurunan
kecepatan tidak lebih dari separuh VR. Lama perjalanan tersebut ditetapkan tidak lebih
dari satu menit. Panjang kritis dapat ditetapkan dari Tabel 5.13.
Tabel 5.13. Panjang Kritis (m)
kecepatan pada awal
kelandaian (%)
tanjakan (km/jam)
4
5
6
7
8
80
630
460
360
270 230
60
320
210
160
120 110

9
230
90

10
200
80

2. Ruang bebas
a. Ruang bebas (Clereance) vertikal
Jalan di atas jalan raya = 5,10 m
Jalan di atas frontage road = 3,5 m
Jalan/jembatan di atas sungai dari M.A.B = 1,2
Jalan/Jembatan di atas sungai yang digunakan untuk transportasi sungai dihitung
dari M.A.B = 3,0 m
b. Ruang bebas (Clereance) horisontal
Jalan yang menyilang di atas jalan raya/jalan lokal harus diperhitungkan
kemungkinan pelebaran dari jalan lokal/raya tersebut.
5.2.7. Gambar Tipikal Penampang Jalan
1. Gambar Tipikal Geometri Penampang Jalan
Damija min 20 m
Damaja
AC
4%

2000

Laporan Akhir

2000

2%

2 x 3750

2%

2 x 3750

4%

2000

2000

BAB V - 37

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

Gambar 5.22. Tipikal Jalan Arteri Baru


2. Gambar Tipikal Perkerasan Jalan
AC (Asphalt Concrete)
ATB (Asphalt Treated Base Course)
Agregat Klas A

Tanah Dasar

Gambar 5.23. Tipikal Perkerasan Jalan


3. Gambar Fly Over
Dengan mempertimbangkan kondisi topografi di Simpang Tiga Canguk, maka
diusulkan gambar tipikal fly over seperti di bawah ini.

Laporan Akhir

BAB V - 38

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

70
00

70
00

35
00

35
00

15
00

35
00

70
00

15
00

Jl. Jend. Urip Sumoharjo

35
00

35
00

20
00
0

150
0

350
0

350
0
350
0

350
0

700
0
70 0
0

150
0
350
0

Jl. By Pass Soekarno Hatta

150
0

700
0

Gambar 5.24. Gambar Fly Over Tampak Atas


Laporan Akhir

BAB V - 39

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

Laporan Akhir

BAB V - 40

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

2%

3%

0%

2%

3%

4%

4%
4770

3840

96000

31000

32000

5410

5410

32000

32000

4770

31000

Gambar 5.25. Gambar Fly Over Tampak Samping

Laporan Akhir

BAB V - 40

3840

96000

Gambar 5.26. Gambar Perspektif Canguk Fly Over

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

150

700
0

Jl. Jend. Urip Sumoharjo

150
0

350
0

200
0

310
0

675
0

150

750

960
00

320

00

150
0
750
0

200
00

960
00

3100
0

675
0

150
0

7000

150
0

Jl. By Pass Soekarno Hatta

Gambar 5.27. Gambar Tampak Atas Jalan di Bawah Fly Over

Laporan Akhir

BAB V - 42

Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Arteri


Ruas Sidotopo Canguk, Kota Magelang

Laporan Akhir

BAB V - 42

Anda mungkin juga menyukai