2011-2013
PRAKARSA COMPENDIUM
Jilid 2
2011-2013
03
Prakarsa Infrastruktur Indonesia adalah proyek yang didanai oleh Pemerintah Australia dan dirancang untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia dengan meningkatkan relevansi, kualitas, dan jumlah investasi
infrastruktur. Proyek ini dijalankan oleh SMEC di bawah kontrak dengan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT),
Pemerintah Australia.
Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII)
Gedung Perkantoran Ratu Plaza, Lantai 20
Jl. Jenderal Sudirman No. 9
Jakarta 10270 Indonesia
SMEC
220226 Sharp Street
(PO Box 356)
Cooma NSW 2630 Australia
Persemakmuran Australia
Semua kekayaan intelektual asli yang terkandung dalam dokumen ini adalah milik Persemakmuran Australia yang diwakili
oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT), Pemerintah Australia. Dokumen ini hanya dapat digunakan, disalin,
disebarluaskan, atau diperbanyak oleh kontraktor dan konsultan yang menyusun dokumen, laporan, rancangan, rencana,
dan saran untuk IndII atau DFAT.
Pendapat para penulis yang dikemukakan dalam terbitan ini tidak selalu mencerminkan pendapat pemerintah
Australia. Segala upaya telah ditempuh untuk menjamin bahwa dokumen yang diacu dalam terbitan ini telah
disampaikan secara benar. Meskipun demikian, IndII akan menghargai setiap masukan untuk perbaikan yang
diperlukan, atau pemberitahuan mengenai dokumen sumber dan/atau data terkini.
Isi dari edisi ini, tidak termasuk pengantar, pada awalnya diterbitkan dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia oleh IndII
dalam jurnal Prakarsa edisi Oktober 2011; Januari 2012; April 2012; Juli 2012; Oktober 2012; Januari 2013; Juli 2013; dan
Oktober 2013.
Foto Sampul:
Foto pertama dari atas (pelabuhan) Atas perkenan Rahmad Gunawan
Foto kedua dari atas (perempuan dengan pipa saluran air) Atas perkenan Eleonora Bergita
Foto ketiga dari atas (jalan) - Atas perkenan William Patterson
Foto kiri bawah (Pengambilan sampah) Atas perkenan Andre Susanto
Foto kanan bawah (pekerjaan jalan) Atas perkenan IndI
04
05
DAFTAR ISI
Sambutan
09
10
Kata Pengantar
11
37
43
Infrastruktur Penerbangan:
Tinjauan ke Masa Depan
47
53
57
63
15
21
25
67
31
73
32
74
06
07
DAFTAR ISI
Edisi 10: Pembangunan Pelabuhan
79
115
85
Perempuan, Laki-laki,
dan Pembangunan Infrastruktur
121
89
129
95
135
99
141
105
109
147
110
152
155
156
DAFTAR ISI
Edisi 13: Tata Kelola Pemerintahan
dalam Infrastruktur
163
201
169
205
175
211
181
217
189
223
195
196
227
231
235
236
Prakarsa Compendium | Jilid 2
08
09
DAFTAR ISI
Edisi 14: Jalan Daerah
241
249
255
Mereformasi Pelaksanaan
Pemeliharaan Jalan Daerah
259
285
Memperkuat Lingkungan
Kelembagaan untuk Manajemen
Persampahan Perkotaan
297
305
267
274
309
277
315
278
316
SAMBUTAN
Indonesia kini sudah tergolong negara G-20 dan merupakan salah satu tujuan investasi paling menarik. Donor internasional
mengakui kemajuan perekonomian Indonesia sebagai sebuah kisah sukses, di mana para mitra pembangunan telah
membantu menjadi katalis pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, negara masih tetap menghadapi tantangan
pembangunan yang cukup berat, seperti kekurangan infrastruktur yang lebih baik dan modal sumber daya manusia.
Pemerintah Indonesia mengakui pentingnya pembangunan infrastruktur dan ingin berfokus pada lima isu strategis: (i)
keamanan air minum, pangan, dan energi; (ii) penguatan konektivitas nasional dalam menjaga keseimbangan pembangunan;
(iii) pembangunan sistem angkutan massal perkotaan; (iv) infrastruktur dasar; dan (v) peningkatan efisiensi dan efektivitas
dalam pembiayaan dan penyediaan infrastruktur. Strategi saat ini, di satu pihak menggunakan pendanaan publik dan dana
kerja sama untuk membiayai infrastruktur dasar (sosial), dan di lain pihak menggunakan investasi swasta sebagai katalis
dalam infrastruktur yang layak secara komersial melalui "Kerjasama Pemerintah Swasta" atau KPS. Dewasa ini juga sedang
dipertimbangkan pola-pola pembiayaan alternatif.
Indonesia dan Australia telah berhasil menjalin kemitraan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur lintas
sejumlah sektor. Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) merupakan prakarsa Australia yang bertujuan untuk memajukan
pertumbuhan ekonomi melalui kerjasama dengan Pemerintah Indonesia dalam peningkatan kebijakan, perencanaan, dan
investasi di bidang infrastruktur.
Prakarsa, jurnal teknis triwulanan IndII, mendokumentasikan kontribusi Australia dari segi metodologi untuk memecahkan
berbagi permasalahan lama, dan merintis modalitas baru yang menjanjikan, guna menentukan efektivitasnya bagi
pembangunan infrastruktur Indonesia. Isi yang dapat Anda temukan pada halaman-halaman berikutnya, membahas
berbagai masalah sektoral maupun lintas sektoral, dan mencakup air minum dan sanitasi serta berbagai aspek angkutan
(termasuk pelabuhan, penerbangan dan jalan) hingga modalitas pembiayaan, pelayanan kepada kelompok masyarakat
rentan, dan peningkatan kemampuan. Topik-topik yang diliput dalam Prakarsa merupakan cerminan kecepat-tanggapan
IndII terhadap isu-isu strategis Pemerintah Indonesia dalam pembangunan infrastruktur.
Indonesia beruntung bahwa kita dapat bermitra dengan Australia agar dapat berkembang lebih cepat dan menduduki
tempat kita di tengah negara-negara yang perekonomiannya sudah mapan. Kami berharap bahwa kontribusi Australia akan
secara langsung dapat meningkatkan mutu kehidupan masyarakat biasa di Indonesia, dan mendorong tingkat investasi yang
diperlukan Indonesia untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang lebih tinggi.
Terima kasih.
10
11
SAMBUTAN
Greg Moriarty
Duta Besar Australia untuk Indonesia
Pemerintah Australia bermitra dengan pemerintah negara-negara seperti Indonesia guna menguatkan lingkungan kebijakan
dan regulasi untuk investasi di bidang infrastruktur. Peningkatan infrastruktur memberi manfaat, baik kepada Indonesia
maupun Australia, dengan mendorong stabilitas ekonomi, menguatkan peluang untuk meningkatkan perdagangan dan
investasi, memajukan konektivitas, menggerakkan investasi sektor swasta dan memperbaiki akses pada layanan infrastruktur.
Mulai dari Proyek Perbaikan Jalan Nasional di Indonesia Timur (EINRIP), Indonesia dan Australia bekerjasama untuk
membangun 400 km jalan nasional berkualitas tinggi dan memangkas waktu perjalanan jarak jauh dengan separuh, sambil
pada waktu yang sama juga meningkatkan keselamatan jalan, volume lalu lintas, dan akses pada barang dan jasa. Bantuan
Australia yang berkesinambungan di bidang jalan nasional berpijak pada landasan kokoh yang dibangun oleh EINRIP dan
telah menunjukkan keberhasilan dalam uji coba desain jalan yang berumur panjang serta peningkatan pengawasan pada
mutu konstruksi.
Melalui Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII), Australia dan Indonesia telah membangun 247.000 sambungan perpipaan
air minum dan 16.600 sambungan perpipaan sanitasi yang memberi manfaat kepada 1,2 juta penduduk dan menguatkan
penyediaan air minum setempat. Australia kini bekerjasama dengan Pemerintah Pusat dan Provinsi Nusa Tenggara Barat
untuk meningkatkan dan memelihara jaringan jalan provinsi yang panjangnya lebih dari 1.700 km.
Australia dan Indonesia telah menjalin hubungan kemitraan berbasis pemahaman bersama bahwa infrastruktur tidak hanya
menggerakkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang, tetapi juga melakukan peningkatan kesejahteraan dan kesehatan
masyarakat Indonesia yang terukur. Jalan yang lebih baik juga memberikan akses ke pasar yang lebih baik, sedangkan
peningkatan akses pada air minum meningkatkan kesehatan keluarga, sehingga memberdayakan perempuan untuk
melakukan usaha, alih-alih setiap hari membuang waktu berjam-jam untuk mengangkut air.
Investasi Indonesia sendiri dalam pembangunan infrastruktur jauh melampaui jumlah bantuan keuangan yang dapat
diberikan oleh Australia. Kemampuan Australia untuk membuat perbedaan tidak terletak pada penyediaan dana, tetapi
terlebih pada penyajian sudut pandang yang segar, gagasan baru, serta peluang yang dapat kami tawarkan dalam
menanggulangi tantangan Indonesia terberat di bidang infrastruktur
Sejak 2007 IndII merupakan program unggulan Australia yang berhasil menguji dan mempraktikkan gagasan dan peluang
ini. Prakarsa, jurnal teknis triwulanan IndII, telah mendokumentasikan sebagian besar upaya tersebut. Kompendium ini
berisi materi utama yang diterbitkan dalam delapan edisi Prakarsa sepanjang dua tahun. Ikhtisar karya ilmiah ini tidak
sekadar membahas beberapa sektor tertentu seperti jalan, pelabuhan, dan penerbangan, tetapi juga menilik isu-isu lintas
sektoral seperti gender dan evaluasi dampak; pembangunan kapasitas dan penggunaan sistem kontrak berbasis kinerja
untuk memperoleh manfaat yang memadai.
Seiring Pemerintah baru Indonesia menetapkan agendanya dan dimulainya Rencana Pembangunan Jangka Menengah 20152019, bangsa ini akan senantiasa membuat keputusan kritis tentang kebijakan dan perencanaan di bidang infrastruktur.
Kemajuan yang telah diraih akan menjadi landasan dari pekerjaan substansial ke depan. Australia bangga menjadi mitra
dalam upaya ini.
KATA PENGANTAR
David Ray
Direktur IndII
Buku yang ada di tangan Anda ini berisi materi penting yang diterbitkan dalam delapan edisi (Oktober 2011 hingga Oktober
2013) jurnal teknis Prakarsa. Jurnal triwulanan dalam dwi-bahasa tersebut diterbitkan oleh Prakarsa Infrastruktur Indonesia
(IndII) yang didanai oleh Pemerintah Australia, dan merupakan karya unggulan dalam program komunikasi IndII. Dengan
demikian, buku ini banyak mengungkapkan filosofi yang melatarbelakangi pendekatan IndII untuk mengkomunikasikan
kegiatannya.
Andaikata IndII merupakan perusahaan yang mencari laba dengan menjual lebih banyak produk ke konsumen (atau mungkin
LSM yang berharap mendapatkan donasi dalam jumlah yang sangat luar biasa), dapat dipahami jika kami berfokus pada diri
kami dan menjelaskan betapa kami lebih unggul daripada produk atau lembaga lainnya yang bersaing. Prakarsa mungkin
akan berbentuk nawala (newsletter) berkilau mewah yang berfokus pada prestasi kami dan kegiatan yang direncanakan.
Namun sifat pekerjaan IndII bukanlah untuk mempromosikan diri sendiri, melainkan kami memiliki misi untuk memajukan
pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan meningkatkan relevansi, kualitas, dan jumlah investasi di bidang infrastruktur.
Dengan kata lain, semua ini bukan tentang kami - semua ini tentang Indonesia, dan tentang merangsang gagasan yang
dapat menyumbang pada pembangunan bangsa.
Meskipun volume kedua Prakarsa Compendium ini terbit lebih dari dua tahun sejak terbitnya volume pertama, pemikiran
yang diungkapkan dalam kata pengantar volume pertama kami tetap tidak berubah. Sebagaimana kami katakan pada waktu
itu, Prakarsa "memberikan pemahaman mengenai latar belakang kebijakan dan menjelaskan kendala, praktik terbaik,
serta inovasi." Terbitan Prakarsa selanjutnya berpegang teguh pada cita-cita tersebut. Dalam buku ini Anda dapat membaca
tentang isu-isu lintas sektoral maupun khusus dalam sektor tertentu, mulai dari penerbangan hingga ke sampah, pelabuhan,
jalan, gender dan tata kelola pemerintahan. Dalam semua artikel tujuan kami bukan sekadar merangkum pencapaian
IndII (meskipun seiring dengan kemajuan proyek-proyek, kami dapat menyebutkan bahwa jumlah pencapaian semakin
bertumbuh), tetapi untuk menilik alasan mengapa beberapa strategi tertentu membuahkan hasil, tantangan apa yang
masih perlu diatasi, dan pendekatan apa (meskipun belum teruji) yang patut dipertimbangkan.
Prakarsa bukan dimaksudkan untuk menepuk-nepuk bahu kami sendiri atas pencapaian kami di masa lalu. Melainkan
tentang kolaborasi untuk menemukan strategi yang akan berhasil di masa yang akan datang. Seraya para pembaca meneliti
dengan saksama halaman-halaman berikut ini dan menggunakan keterampilan berpikir secara kritis pada gagasan-gagasan
yang ditemukan, kami berharap mereka akan lebih siap untuk bergabung dalam upaya kolaboratif ini.
12
Keselamatan Jalan
Edisi 8, Oktober 2011
POIN-POIN UTAMA
Kecelakaan di jalan raya adalah penyebab signifikan dari kematian dan luka-luka baik
secara internasional maupun di Indonesia. PBB telah menyatakan tahun 20112020 sebagai
Dekade untuk Aksi Keselamatan Jalan Raya, dan Indonesia telah menanggapinya dengan
menyusun Rencana Tindak.
Apa cara terbaik untuk melaksanakan rencana ini? Ingin rasanya langsung menerapkan
langkah-langkah yang telah terbukti efektif di negara lain. Namun program keselamatan jalan
raya yang efektif mensyaratkan tiga langkah yang saling terkait: Kedua langkah pertama,
menjamin kapasitas kelembagaan dan memastikan para pemangku kepentingan menyepakati
hasil yang diinginkan. Ini akan sangat membantu untuk menjamin keberhasilan langkah ketiga,
yaitu menerapkan langkah-langkah tertentu yang telah diketahui keberhasilannya.
Target dapat ditentukan dengan menanyakan berapa besar jumlah kematian dan cedera serius
yang ingin dikurangi selama periode waktu tertentu. Target ini harus mencakup beberapa
perluasan untuk menciptakan insentif bagi upaya yang lebih besar.
Lembaga yang efektif harus ada bersama dengan sistem pengambilan keputusan dari
pemerintah secara keseluruhan. Jika organisasi dan tingkat pemerintahan yang berbeda
gagal dalam berkoordinasi, maka kemungkinan besar mereka akan gagal pula untuk mencapai
target keselamatan jalan raya. Peran dan tanggung jawab yang jelas dari lembaga-lembaga,
koordinasi tindakan yang kuat, dan pengambilan keputusan yang efektif sangat penting.
Pengelola harus mampu untuk mendapatkan pendanaan yang memadai, mendorong
perubahan legislatif dan sistem data dalam pemerintahan, memperkuat advokasi di dalam
maupun di luar pemerintahan, melaksanakan pemantauan dan evaluasi kinerja, mendorong
penelitian dan pengembangan yang efektif, serta mengembangkan pola alih pengetahuan
untuk membina peningkatan keahlian dalam lembaga-lembaga tersebut seiring dengan
berjalannya waktu.
Membangun kapasitas ini merupakan persoalan yang mendesak di Indonesia, di mana tanggung
jawab untuk keselamatan jalan raya terpencar. Salah satu cara untuk mengembangkan kinerja
yang sukses adalah melalui perencanaan dan peluncuran proyek serta program percontohan
yang bersasaran dan merupakan kerjasama antarlembaga.
Keselamatan Jalan
MEMBANGUN KAPASITAS
KELEMBAGAAN BAGI
KESELAMATAN JALAN
DI INDONESIA
Strategi ad hoc tidak cukup untuk melakukan perbaikan jangka
panjang terhadap statistik keselamatan jalan raya di Indonesia.
Solusi sesungguhnya terletak pada pembangunan lembagalembaga kuat yang saling berkoordinasi.
Oleh Eric Howard
Di negara berkembang, sekitar 1 juta korban jiwa dan kuranglebih 40 juta orang terluka akibat kecelakaan di jalan raya per
tahun. Angka ini diproyeksikan akan meningkat 50 persen
pada tahun 2020 kecuali jika tindakan tertentu diambil.
Kecelakaan jalan raya adalah penyebab kematian nomor
satu bagi orang muda di seluruh dunia, dan pada tahun 2015
akan menjadi beban kesehatan terbesar bagi anak-anak di
atas usia lima tahun di negara berkembang. Cedera akibat
kecelakaan lalu lintas merupakan beban yang sangat berat bagi
rumah sakit dan sistem kesehatan, dan merupakan penguras
besar perekonomian di negara-negara berkembang. Namun,
sebagaimana ditekankan dalam Dekade Aksi Keselamatan
Jalan Raya PBB, kecelakaan di jalan raya tidak dapat dihindari;
namun dapat dicegah.
Indonesia menghadapi masalah keselamatan jalan raya yang
serius dan semakin memburuk. Lebih dari 32.000 pengguna
jalan tewas dalam kecelakaan setiap tahun di seluruh Indonesia,
dan 1 juta lebih terluka. Tingkat fatalitas yang diketahui (5,1
kematian per 10.000 kendaraan terdaftar, 2008) merupakan
angka yang tinggi jika dibandingkan dengan Australia (1,2)
dan Malaysia (3,7). Dalam beberapa tahun belakangan ini,
peningkatan drastis jumlah kendaraan bermotor di jalan raya,
16
17
Menyepakati Target
Target dapat ditentukan dengan mengajukan pertanyaan:
seberapa besar penurunan korban jiwa dan luka berat yang
ingin dicapai, misalnya, dalam periode 10 tahun selama Dekade
Aksi 20112020?
Target yang masuk akal harus didasarkan pada penilaian
terhadap isu-isu kecelakaan di dalam sebuah negara dan hasil
yang diharapkan dari implementasi langkah mitigasi yang
Menc
apai h
asil
Mene
n
dan m tukan targe
en
t
interverapkan
ensi
Menja
min k
apasit
as kele
mbag
aan
aran
Kelu selesai,
anye lan, dll)
p
m
a
(k
ja
dan
ajaan
perem(korban jiwang)
a
il
r
s
u
a
k
r
H
faat
ka be
luka-luis biaya-man
s
Anali
asian ,
k ukur
goper
Toloin, dan pen r jalan raya
sa rastuktu
f
an, de
ncana lan raya: In an orang kecelakaan
e
r
e
P
d
ja
n
n
a
a
a
g
r
orban
n
kenda erawatan k
lingku
p
ran,
n
a
d
eratu
ulihan
dan p k
f
ti
la
Pem
oliti
legis
kerja ukungan p asil
ngka
h
d
aya
Kera dengan okus pada sumber d an jelas
Berf anaan dantukan deng
nd g diten baga
asi pe
n
m
Alokganisasi yaasi antarle bangan
r
o
in
d
gem
n
r
a
o
r
Ko litian & pentahuan
Pe
e
si
e
Pen Alih pengn & evalua
ua
a
t
n
a
Pem
Keselamatan Jalan
Realisasi
Setelah target ditetapkan, bagaimana kita dapat
mengubah gagasan menjadi tindakan yang diterima serta
mengatasi banyak rintangan yang akan dihadapi dalam
mengimplementasikannya secara penuh? Keberhasilan dalam
merealisasikan bergantung pada kapasitas manajemen
keselamatan jalan raya dari lembaga mitra keselamatan
jalan raya. Praktisi pemerintah, birokrat senior, dan politisi di
semua tingkatan harus berpengetahuan dan berkemampuan.
Lembaga yang efektif harus ada bersama sistem pengambilan
keputusan dari pemerintah secara keseluruhan. Jika berbagai
organisasi dan tingkat pemerintahan yang memegang peran
dalam keselamatan jalan raya gagal dalam berkoordinasi,
kemungkinan besar pencapaian target keselamatan jalan raya
akan gagal.
Gambar 1 merupakan representasi grafis dari sistem
manajemen keselamatan jalan raya yang menunjukkan
bagaimana fokus terhadap pembangunan kapasitas
18
19
menanggulanginya. Kebanyakan dari kita mempelajari caracara baru untuk melakukan berbagai hal dengan langsung
mempraktikannya dan sebaiknya dengan bimbingan terperinci
dari seorang ahli yang berpengalaman menjalankannya
bersama. Keselamatan jalan raya bukan pengecualian.
Namun, bahkan ketika sepenuhnya menjalankan standar
praktik yang baik yang telah ditetapkan secara internasional
di sektor publik, tetap saja merupakan persoalan kompleks
dan multi-sektoral untuk dikelola. Hasil keselamatan jalan raya
yang efektif mensyaratkan kerjasama yang terkoordinasi antar
berbagai lembaga pemerintah yang berbeda, dengan dukungan
masyarakat yang terinformasi. Tugas ini tidaklah mudah.
Kompleksitas tantangan dapat timbul sebagai rintangan
yang menakutkan bagi lembaga-lembaga tersebut. Apakah
terdapat strategi yang dapat membuat kurva belajar
sedikit lebih mudah?
Keselamatan Jalan
Proyek Percontohan
Salah satu cara yang telah diidentifikasi sebagai pembawa
kesuksesan kinerja adalah perencanaan dan peluncuran proyek
serta program percontohan yang bersasaran dan merupakan
kerjasama antarlembaga.
OECD dan Bank Dunia mengakui manfaat dari pendekatan
ini dalam saran mereka bagi negara-negara yang berusaha
untuk secara substansial mempercepat perjalanan mereka
menuju keselamatan jalan raya. Bank Dunia telah menjalankan
sejumlah Pengkajian Kapasitas Manajemen Keselamatan Jalan
Raya bagi negara-negara berkembang. Sebuah rekomendasi
yang konsisten dalam beberapa tahun terakhir adalah untuk
menerapkan proyek percontohan yang melibatkan semua
lembaga utama di bidang keselamatan jalan raya serta
pemerintah daerah. Proyek percontohan membatasi skala
geografis pada tingkat yang mudah untuk dikelola, sehingga
memungkinkan terjadinya pembelajaran yang lebih efektif.
Ini semua dapat menjadi sarana yang efektif untuk membina
peningkatan pengelolaan, dan keterlibatan berbagai lembaga
dapat membangun koordinasi dan akuntabilitas.
Beberapa di antara kegiatan yang sesuai untuk mendukung
proyek percontohan adalah: pelatihan bagi manajemen dan
staf teknis; mendukung polisi untuk menegakkan kepatuhan
terhadap aturan penting dalam berlalu lintas; dan menciptakan
kampanye informasi publik. Tindakan berskala kecil seperti ini
dapat menghasilkan manfaat yang jelas bagi daerah setempat,
tetapi pencapaian yang sesungguhnya diharapkan dari
perkembangan progresif dalam kapasitas untuk mengelola
keselamatan jalan raya serta pelajaran dari pengalaman yang
dapat diterapkan di daerah lain. Untuk mendapatkan efek
semaksimal mungkin, kegiatan percontohan harus melibatkan
semua lembaga utama keselamatan jalan raya, menggunakan
proses belajar melalui praktik, dan menekankan koordinasi
serta kemitraan antarlembaga yang berlandasan pada
pendekatan sistem yang aman. Daripada memeriksa bagian
dari sistem keselamatan jalan raya secara terpisah, kegiatan
harus mengambil pendekatan yang menyeluruh terhadap
sistem untuk meningkatkan keselamatan.
Tentang Penulis:
Eric
Howard
adalah
Kepala
Konsultan
Strategis
Internasional Keselamatan Jalan Raya Whiting Moyne.
Sebelum itu ia menghabiskan tujuh tahun sebagai General
Manager Keselamatan Jalan Raya di VicRoads, Badan
Keselamatan Jalan Raya Negara Bagian/Otoritas Jalan Raya
di Victoria, Australia.
Eric memimpin Kelompok Kerja OECD/ITF yang menghasilkan
Laporan Keselamatan Jalan Towards Zero pada tahun 2008.
Ia telah memberikan bimbingan mengenai keselamatan
jalan raya di lebih dari 20 negara, dan telah memimpin
dan menjadi penulis pendamping pengkajian kapasitas
manajemen keselamatan jalan raya serta merancang
strategi keamanan jalan raya yang relevan di banyak negara.
Pada tahun 2008, ia melakukan kajian utama mengenai
keselamatan jalan raya di Indonesia untuk AusAID sebagai
panduan kemungkinan investasi. Ia saat ini memberikan
bimbingan program keselamatan jalan raya kepada IndII
mengenai pemilihan dan pelingkupan proyek keselamatan
jalan di Indonesia, yang berpotensi didanai oleh AusAID.
CATATAN
1. OECD/ITF Towards Zero: Achieving Ambitious Road Safety Targets through a Safe System Approach. 2008.
2. Bank Dunia. Guidelines for the Conduct of Road Safety Management Capacity Reviews. 2009.
3. The UN Road Safety Collaboration. Global Plan for the Decade of Action for Road Safety 20112020. 2011.
20
POIN-POIN UTAMA
Menurut Korps Polisi Lalu Lintas (Polantas), lebih dari 31.000 korban meninggal di jalanjalan di Indonesia pada tahun 2010, dan jumlah ini semakin meningkat, membawa dampak
serius bagi perekonomian negara. Wakil Presiden Boediono menyatakan komitmen Indonesia
terhadap Dekade untuk Aksi Keselamatan Jalan dari PBB di Indonesia dengan meluncurkan
Rencana Umum Nasional untuk Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Darat, yang bertujuan
mengurangi jumlah korban jiwa akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia sebesar 50 persen
pada tahun 2020.
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) merupakan pemangku kepentingan utama dalam upaya
ini dan memiliki komitmen kuat terhadap peningkatan keselamatan lalu lintas.
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk meramal jumlah korban jiwa akibat kecelakaan
lalu lintas di Indonesia adalah dengan menggunakan Smeeds Law (Hukum Smeed), berupa
persamaan yang menggunakan jumlah kendaraan bermotor dan jumlah penduduk untuk
memperkirakan jumlah korban jiwa, Dengan menggunakan penyempurnaan hukum tersebut
yang dikembangkan oleh Jacobs dan Cutting pada tahun 1986 untuk diaplikasikan pada negaranegara berpenghasilan rendah dan menengah, Indonesia diperkirakan akan mengalami
37.493 korban jiwa setiap tahun pada tahun 2020 apabila tidak dilakukan langkah-langkah
pencegahan. Jika Dekade Aksi ini berhasil, angka tersebut akan berkurang separuhnya, dengan
pengurangan secara kumulatif dalam jumlah korban sebesar hampir 87.000 jiwa.
Polri memiliki program aksi lima tahun dengan prioritas yang mencakup kemitraan pemangku
kepentingan; peningkatan investigasi dan pencatatan data kecelakaan lalu lintas; penegakan
hukum di aneka bidang termasuk pembatasan muatan kendaraan, penerbitan Surat Izin
Mengemudi (SIM), dan pelanggaran kecepatan.
Kemungkinan besar program tersebut akan berhasil jika mereka menggunakan tujuan yang
dapat diukur; jika semua pemangku kepentingan bertekad dan memainkan peran aktif dalam
pelaksanaannya; dan apabila tujuan tersebut ditinjau ulang secara berkala untuk mengevaluasi
keberhasilan program tersebut dan melakukan perubahan sebagaimana diperlukan untuk
mengantisipasi tren baru.
Keselamatan Jalan
22
23
Peran Polisi Lalu Lintas Indonesia dalam Mencapai Tujuan Dekade untuk Aksi Keselamatan Jalan
Tahun
2010
Penduduk
Kendaraan
Fasilitas
237,000,000
50,000,000
32,192
Target
32,192
2011
237,521,400
52,500,000
32,687
32,514
2012
238,043,947
55,125,000
33,189
32,189
2013
238,567,644
57,881,250
33,698
30,509
2014
239,092,493
60,775,313
34,216
28,828
2015
239,618,496
63,814,078
34,742
27,148
2016
240,145,657
67,004,782
35,275
25,468
2017
240,673,977
70,355,021
35,817
23,787
2018
241,203,460
73,872,772
36,367
22,107
2019
241,734,108
77,566,411
36,926
20,427
18,747
2020
242,265,923
81,444,731
37,493
2025
244,942,599
103,946,409
40,462
12,866
2030
247,648,849
132,664,885
43,667
10,513
2035
250,384,999
169,317,747
47,125
8,700
50000
45000
40000
35000
30000
25000
20000
15000
10000
5000
0
2010 2015 2020 2025 2030 2035 2040
Tanpa Aksi
Target
Tahun
Keselamatan Jalan
24
25
Peran Polisi Lalu Lintas Indonesia dalam Mencapai Tujuan Dekade untuk Aksi Keselamatan Jalan
Peningkatan &
Perluasan
Monitoring,
Analisis &
Evaluasi
Kebijakan
Kepolisisan
Resolusi PBB-WHO
(mengurangi jumlah
korban meninggal dunia
sebesar 50%)
Implementasi
Program Penunjang
5 Tahunan
REN-AKSI Kepolisian
5 Tahunan
Tentang Penulis:
M. Naufal Yahya, M.Sc.Eng adalah Kabag Keamanan dan
Keselamatan, Korps Lalu Lintas PolRI.
Keselamatan Jalan
26
PERSPEKTIF SEORANG
AHLI KESELAMATAN JALAN
Diskusi dengan Jany Agustin tentang rekayasa keselamatan jalan
di Indonesia dan tantangannya.
Wawancara oleh Devi Asmarani
Jany Agustin
27
Keselamatan Jalan
28
29
Keselamatan Jalan
Bina Marga.
Sasaran jangka panjang Bina Marga adalah untuk memastikan
Di bulan-bulan yang akan datang Bina Marga mengharapkan
jalan
raya
dan
memberi
rekomendasi
terkait
dengan
akan dikunjungi.
Lingkup
tersebut.
pekerjaan
URKJ
dengan
Balai
akan
mencakup
menguatkan
sambil
mengalihkan
menjatuhkan sanksi.
Sasaran
yang
kemampuan
ingin
dicapai
kelembagaan
di
adalah
URKJ
30
31
Keselamatan Jalan
dalam angka
>3
Rata-rata jumlah kematian akibat kecelakaan di jalan per jam setiap hari di
Indonesia.
90%
>65%
40
km/jam
60-70%
Persentase seluruh cedera yang diderita para pengendara sepeda motor dan
penumpangnya di jalan di Indonesia.
10%
32
33
Keselamatan Jalan
34
Transportasi Udara
Edisi 9, Januari 2012
POIN-POIN UTAMA
Permintaan Indonesia terhadap transportasi udara lebih besar dari yang diperkirakan
berdasarkan PDB per kapita yang ada. Ini tidak mengejutkan mengingat geografi kepulauan
Indonesia serta jarak yang jauh antara kota-kota besar. Seiring dengan pembangunan
Indonesia yang terus berlanjut, pertumbuhan garis dasar (baseline rates) dalam permintaan
dapat diperkirakan bertumbuh sebesar 6 hingga 10 persen per tahun. Pengalaman sebelumnya
dengan kesepakatan Open Skies mengindikasikan bahwa penerapan kebijakan Open Skies
ASEAN dapat menambah pertumbuhan tambahan permintaan sebesar 6 hingga 10 persen
lagi. Oleh karena itu, dalam periode segera setelah implementasi Open Skies, pertumbuhan
dalam permintaan tanpa kendala akan perjalanan udara internasional di Indonesia, secara
optimis, dapat bertumbuh mencapai hingga 20 persen per tahun, tapi sangat memungkinkan
akan lebih besar dari 10 persen per tahun.
Transportasi udara, adalah sebab sekaligus akibat dari pertumbuhan ekonomi, yang
menciptakan lingkaran kebajikan (virtuous circle) dalam pertumbuhan ekonomi yang diikuti
oleh peningkatan permintaan sehingga menciptakan pertumbuhan lebih besar dan seterusnya.
Hal ini secara khusus relevan bagi Indonesia, tempat industri minyak dan ekstraksi (keduanya
sangat mengandalkan transportasi udara dibandingkan banyak industri lainnya) menjadi
penyumbang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi. Meski demikian, proyeksi peningkatan
permintaan terhadap transportasi udara mengasumsikan bahwa kapasitas infrastruktur akan
cukup tersedia. Akan tetapi, Bandara Soekarno-Hatta di Jakarta, saat ini sudah terkendala
kapasitas, dan akan tetap demikian dalam waktu dekat, bahkan dengan adanya pembangunan
yang sudah direncanakan.
Bandara lain di Indonesia serta infrastruktur pengendalian lalu lintas udara juga akan
memerlukan peningkatan (upgrading) untuk dapat memenuhi permintaan yang diproyeksikan,
serta sistem kelembagaan dan peraturan dikembangkan sejalan dengan infrastruktur.
Transportasi Udara
38
Gambar 1: Kecenderungan untuk Terbang Sebagai Sebuah Fungsi dari PDB per Kapita
100.00
Penumpang terminal tahunan per kapita (skala logaritmik)
39
y = 4E-06x1.313
R2 = 0.903
10.00
Singapura
Australia
Selandia Baru
Brunei
Malaysia
Brasil
1.00
Indonesia
Cambodia
PNG
(papua Nuigini)
0.10
UK (Britania Raya)
Amerika Serikat
Jepang
Thailand
Filipina
China
Vietnam
India
Bangladesh
0.01
-5,000
5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 30,000 35,000 40,000 45,000 50,000 55,000 60,000 65,000
40
Transportasi Udara
Gambar 2: Ilustrasi dampak Open Skies terhadap Permintaan akan Perjalanan Udara
Pertumbuhan meningkat
Lalu lintas
-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Ta h u n
W
>
W
D
W
W
mp p
k
h
Pe
>
&
<
W
mp pem
<
W
Pe
W
W
<
Z
D
s
W
Instrumen presisi
dan optik
9.2
12.0
29.7
31.3
Komunikasi
Logam dasar
35.1
Transportasi
52.1
63.5
68.3
75.4
Ekstraksi
100
Asuransi
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Intensitas Penerbangan
Sumber: Diperoleh dari Oxford Economic Forecasting The Contribution of the Aviation Industry to the UK Economy
Domestik
Internasional
Transit
120.0
100.0
80.0
60.0
40.0
Kapasitas terminal
20.0
25
24
20
23
20
22
20
21
20
20
20
19
20
18
20
17
20
16
20
15
20
14
20
13
20
12
20
11
20
10
20
09
20
08
20
07
20
06
0.0
20
20
41
Tahun
Transportasi Udara
Tantangan ke Depan
Jelas bahwa transportasi udara penting bagi perkembangan
perekonomian serta kesejahteraan sosial Indonesia, terlepas
dari implementasi kebijakan Open Skies ASEAN. Infrastruktur
transportasi udara Indonesia baik bandara maupun
manajemen lalu lintas udara memerlukan peningkatan
(upgrading) untuk menyediakan kapasitas yang cukup sehingga
tidak menghambat pertumbuhan permintaan transportasi
udara, apakah ini berupa pertumbuhan garis dasar yang
didorong oleh (dan meningkatkan) perkembangan ekonomi
Indonesia yang pesat atau manfaat tambahan yang dapat
diraih dari Open Skies.
Tentang Penulis:
Dr Michael Fairbanks telah bekerja sebagai konsultan
manajemen selama lebih dari dua puluh tahun. Ia
berspesialisasi dalam aspek kebijakan, kelembagaan,
pengaturan, usaha, dan kinerja operasional dari infrastruktur
transportasi udara dan laut.
Mike telah menyelesaikan proyek di beragam negara di
seluruh dunia, termasuk Australia, Austria, Abu Dhabi,
Indonesia, Lebanon, Belanda, Norwegia, Polandia, Arab Saudi,
Singapura, Swiss, serta Amerika Serikat, dan juga di negara
asalnya, Britania Raya. Ia juga pernah bekerja untuk beragam
klien internasional, termasuk Komisi Eropa, Eurocontrol,
Inmarsat, dan Bank Dunia.
Belum lama ini, selain membantu IndII dalam proyek ASEAN
Open Skies, ia juga mendukung Satuan Tugas Bandara
Tenggara Menteri Perhubungan Britania Raya untuk
menangani persoalan kinerja di bandara-bandara London;
bekerja pada penilaian peraturan Bandara Changi untuk
Otoritas Penerbangan Sipil Singapura; mendukung Bandara
Heathrow dalam beragam kegiatan termasuk penjadwalan
dan alokasi penempatan, persiapan untuk Olimpiade 2012 di
London, peningkatan kinerja operasional, serta pengelolaan
suara dan emisi pesawat.
Mike bergabung dengan konsultasi bisnis dan teknologi yang
berbasis di Britania Raya, Helios, pada tahun 2006 dari Booz &
Company, dan saat ini adalah Direktur yang bertanggungjawab
atas praktik-praktik bandara Helios. Mike memiliki gelar BA
dan DPhil dalam Fisika dari Universitas Oxford, dan merupakan
seorang Fellow of the Royal Institute of Navigation.
CATATAN
1. Kapasitas diperoleh dari Master Plan Study on Multiple-Airport Development for the Greater Jakarta Metropolitan Area in the
Republic of Indonesia (Kajian Rencana Induk tentang Pembangunan Bandara Ganda untuk Daerah Besar Metropolitan Jakarta di
Republik Indonesia). Nippon Koei Co Ltd, Oriental Consultants Ltd, Gyros Corporation, Maret 2011.
2. Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII), Kegiatan 220. Strategi Nasional bagi Implementasi Kebijakan ASEAN Open Sky Tahap 2,
Laporan Akhir: Laporan Implementasi dan Teknis. Mott MacDonald Ltd, Juni 2011.
Prakarsa Compendium | Jilid 2
42
POIN-POIN UTAMA
Perkembangan dalam metode navigasi dan kemampuan pesawat terbang untuk
mempertahankan jalur penerbangan (track keeping) menawarkan potensi perkembangan
dalam bidang keselamatan penerbangan dan efisiensi ekonomi serta pengurangan dampak
lingkungan. Akses untuk mendapatkan manfaat tersebut dapat terhambat oleh kurangnya
data aeronautikal berkualitas tinggi. Karena pengumpulan dan pengolahan data aeronautikal
adalah proses yang rumit, mungkin terdapat ketidakpastian yang besar dalam data aktual
yang digunakan untuk navigasi yang rinci.
Oleh karena itu, dibutuhkan peningkatan kesadaran tentang proses, penggunaan dan produk
yang tersedia dalam rantai data aeronautikal, untuk memastikan diperolehnya manfaat dari
data aeronautikal berkualitas tinggi.
Transportasi Udara
44
45
Transportasi Udara
Tentang Penulis:
John McCarthy adalah Direktur Strategic Airspace, perusahaan
Australia yang bergerak dalam aplikasi teknologi navigasi
udara (khususnya Global Navigation Satellite Systems) untuk
keselamatan penerbangan dan mengembangkan piranti lunak
untuk para otoritas penerbangan dalam merancang prosedur
penerbangan yang aman.
John memiliki gelar dalam bidang Matematika Murni,
Komputer dan Arsitektur, dan pernah bekerja sebagai guru
SMA, peneliti di universitas, dosen, pengembang piranti lunak
dan konsultan. Sekitar 25 tahun lalu dia mulai mengembangkan
piranti lunak untuk Departemen Penerbangan Sipil untuk
berbagai aspek navigasi dan keselamatan penerbangan. Ketika
itu, dia telah menjadi tenaga ahli dalam bidang navigasi dan
keselamatan penerbangan dan bekerja sebagai konsultan
dalam bidang ini untuk berbagai otoritas penerbangan
dan perusahaan penerbangan di seluruh dunia, serta terus
mengembangkan piranti lunak untuk aplikasi tersebut.
46
POIN-POIN UTAMA
Pada semua tingkatan pembangunan ekonomi, sistem transportasi udara modern merupakan
bagian integral dari sektor transportasi multi-moda suatu negara. Indonesia memerlukan
penerbangan untuk usaha, pariwisata, dan akses ke daerah terpencil. Jumlah pesawat terbang
yang menggunakan ruang udara Indonesia diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat dalam
1520 tahun mendatang, sehingga perencanaan strategis untuk infrastruktur yang aman dan
modern menjadi sangat penting.
Dimensi teknologi dari perencanaan ruang udara mencakup pengawasan, navigasi, komunikasi,
manajemen lalu lintas udara (ATM, Air Traffic Management), dan manajemen informasi.
Teknologi pengawasan modern yang digunakan secara luas di seluruh dunia adalah Automatic
Dependent Surveillance/Broadcast (ADS/B) dan multilaterasi. Indonesia telah memasang
sejumlah alat penerima ADS/B, namun peralatan tersebut mahal. Multilaterasi memberikan
jalan ke masa depan karena dapat digunakan sebagai bagian dari transisi ke arah ADS/B dan
jauh lebih murah dari radar konvensional.
Teknologi navigasi yang ada saat ini didasari pemakaian satelit, yang memungkinkan
penggunaan ruang udara secara lebih aman dan lebih efisien. Dalam hal komunikasi,
komunikasi suara analog masih menjadi andalan, namun komunikasi tautan data digital
semakin luas digunakan.
Manajemen lalu lintas udara telah menggantikan pengendalian lalu lintas udara serta
merupakan pendekatan yang lebih strategis dalam penggunaan ruang udara yang lebih baik,
pengurangan emisi dan keterlambatan, dan peningkatan keamanan.
Manajemen informasi yang andal dan kuat harus menopang masing-masing teknologi ini.
Di Indonesia dan di negara lain, penerapan teknologi tersebut harus direncanakan secara
strategis untuk menjamin tersedianya percampuran terbaik dari teknologi di setiap waktu
dan tempat. Keputusan mengenai apa yang harus dilakukan ketika sebuah alat harus
diganti jauh lebih kompleks dibandingkan denga masa lalu, karena kini ada keharusan untuk
mempertimbangkan interaksi antar berbagai unsur dari seluruh sistem (teknologi, avionik,
pelatihan, data, orang, desain ruang udara, pengalaman, peraturan, dan kebijakan).
Karena teknologi yang tersedia untuk mendukung penerbangan terus ber-evolusi, industri
penerbangan semakin ditantang untuk memanfaatkan teknologi tersebut sebaik-baiknya
untuk menjamin pengoperasian yang aman atas pesawat terbang dan ruang udara.
Transportasi Udara
Infrastruktur Penerbangan:
Tinjauan ke Masa Depan
Ruang udara Indonesia semakin dipenuhi penerbangan dalam jumlah
yang terus bertambah. Pada saat yang sama, infrastruktur untuk
manajemen penerbangan menjadi semakin kompleks. Memanfaatkan
kemajuan teknologi akan memerlukan perencanaan strategis namun
hal tersebut akan menghasilkan peningkatan keamanan, efisiensi, dan
pertumbuhan ekonomi.
Oleh Mike Gahan
48
49
Teknologi
Dimensi teknologi dari perencanaan ruang udara antara lain
adalah pengawasan, navigasi, komunikasi, manajemen lalu
lintas udara, dan manajemen informasi.
Pengawasan: Pada tahun 1903, satu-satunya bentuk
pengawasan yang tersedia bagi mereka yang menonton
penerbangan pertama Wright Bersaudara di Kittyhawk
adalah pemeriksaan visual. Zaman telah berubah, dan
sekarang penyedia jasa navigasi udara dan bandar udara
menggunakan berbagai macam teknologi untuk pengawasan
di darat dan ruang udara.
Pada umumnya, pengawasan ini berupa radar. Saat ini,
sistem yang digunakan di AS, Eropa, dan Asia bergerak
ke arah penggunaan kemampuan dan fungsionalitas
yang lebih canggih yang disediakan oleh dua teknologi:
Automatic Dependent Surveillance/Broadcast (ADS/B) dan
multilaterasi (multilateration).
ADS/B mengirimkan data mengenai posisi dan kecepatan
pesawat terbang detik-demi-detik kepada pengendali
penerbangan dan pesawat terbang lain, yang menjamin
bahwa para pilot dan pengendali beroperasi berdasarkan
informasi yang sama. Jika diinginkan, data dapat direkam
dan digunakan untuk analisis pasca-penerbangan dan
untuk meningkatkan penelusuran jalur dan perencanaan
penerbangan.
ADS/B merupakan teknologi pengawasan masa depan,
namun ADS/B mengharuskan pemasangan peralatan
tambahan pada pesawat terbang yang harganya cukup
mahal. Indonesia telah memasang sejumlah alat penerima
ADS/B yang tidak saja dapat memberikan data kepada
sistem manajemen ruang udara Indonesia (Angkasa Pura I
dan Angkasa Pura II), tetapi juga dapat digunakan bersama
Transportasi Udara
50
51
baik. Ini juga berarti bahwa lalu lintas udara yang lebih besar
akan diizinkan untuk menggunakan ruang udara yang ada
dengan tingkat keamanan dan efisiensi yang lebih tinggi.
Manajemen Informasi: Semua sistem modern, termasuk
ATM, mengandalkan manajemen informasi dan data untuk
integritas dan keamanannya. Ini berarti infrastruktur untuk
pengumpulan, penyusunan, distribusi, dan pengendalian
terhadap informasi harus andal dan kuat. Meski tidak selalu
mengacu kepada infrastruktur fisik, hal ini merupakan
bagian yang nyata dan penting bagi sistem transportasi
secara keseluruhan yang diandalkan oleh berbagai sistem
modern.
Perencanaan
Di Indonesia dan tentu di mana pun, penerapan teknologi
baru ini sebagai bagian dari infrastruktur penerbangan
Transportasi Udara
Masa Depan
Karena sifat dinamis dari industri penerbangan dan
pentingnya industri penerbangan bagi pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan di Indonesia, perencanaan
dan pengembangan infrastruktur pendukung tentu bukan
kegiatan yang dapat dilakukan sekali saja (one-off). Pada
saat yang sama ketika rencana yang ada dilaksanakan, sifat
industri ini yang terus berubah harus dipantau secara hatihati dan terus-menerus untuk menjamin bahwa kebutuhan
di masa depan terpenuhi secara tepat waktu, efektif, dan,
yang terpenting, aman.
Teknologi yang tersedia untuk mendukung penerbangan
terus ber-evolusi, menantang industri penerbangan untuk
memanfaatkan teknologi tersebut sebaik-baiknya untuk
menjamin pengoperasian yang aman atas pesawat terbang
dan ruang udara.
Tentang Penulis:
Mike Gahan adalah seorang ahli pengoperasian dan
peraturan penerbangan dengan pengalaman 41 tahun
dalam bidang peraturan, pengoperasian, dan manajemen
penerbangan militer dan sipil. Selama 23 tahun bertugas di
Angkatan Udara Australia (RAAF, Royal Australian Air Force),
ia telah mendapatkan pangkat Wing Commander dan pernah
ditugaskan dalam serangkaian luas pengoperasian, pelatihan,
dan penugasan sebagai staf dalam bidang ATC, dan pensiun
pada tahun 1993 sebagai Staff Officer Air Traffic Services.
Penugasannya sebagai staf antara lain sebagai Executive
Officer di sebuah pangkalan operasional pesawat tempur. Ia
merupakan lulusan RAAF Command and Staff Course.
Mike Gahan memiliki pengalaman luas dan mendalam di
bidang standar dan peraturan ruang udara internasional,
sistem teknologi canggih, dan sistem manajemen keselamatan.
Ia juga sangat berpengalaman dalam bidang sertifikasi,
standar, dan peraturan bandara, baik di Australia maupun di
luar negeri. Ia mewakili dan menjadi penasihat peraturan dan
operasional bagi beberapa perusahaan yang terlibat dalam
penyediaan solusi teknologi bagi bandar udara dan penyedia
jasa navigasi udara.
Keanggotaan profesional Mike antara lain Australian Institute
of Management, Military Air Traffic Control Association,
anggota peninjau (associate member) di UK Guild of Air
Traffic Control Officers, dan anggota professional di Air Traffic
Control Association (ATCA). Ia pernah menjabat sebagai
Direktur Wilayah 8 (Asia Pasifik) ATCA pada tahun 2002
2008. Pada tahun 2008, ia mendapatkan penghargaan ATCA
Chairmans Citation of Merit atas kegiatan internasionalnya
dalam meningkatkan ATM di negara-negara berkembang.
Mike telah terlibat dalam proyek keselamatan dan infrastruktur
penerbangan di Indonesia sejak tahun 2009, baik dengan IndII
maupun Indonesian Transport Safety Assistance Package.
52
POIN-POIN UTAMA
Pada tahun 2007 Pemerintah Australia membentuk Paket Bantuan Keselamatan Transportasi
Indonesia (ITSAP) guna membantu upaya Indonesia meningkatkan standar keselamatan
transportasi udara. Proyek unggulan ITSAP adalah mendukung upaya Indonesia
merestrukturisasikan pelaksanaan pengaturan lalu lintas udara dengan cara memisahkan
fungsi penyedia layanan dari fungsi regulator.
Ada tiga lembaga yang terlibat dalam memberikan bantuan keselamatan penerbangan di
bawah ITSAP: Otoritas Keselamatan Perhubungan Udara (CASA), regulator untuk keselamatan
perhubungan udara di Australia; Airservices Australia, perusahaan pemerintah yang mengatur
lalu lintas udara dan layanan terkait dan merupakan model potensial bagi struktur organisasi
pengatur lalu lintas udara Indonesia yang akan datang; serta Biro Keselamatan Transportasi
Australia (ATSB), badan nasional investigasi kecelakaan transportasi yang independen, serupa
dengan Komite Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT) di Indonesia nantinya.
Karena telah melalui transisi serupa dalam 20 tahun terakhir, Australia berada pada posisi
yang sangat baik untuk membantu Indonesia beralih dari struktur sewaktu satu institusi
pemerintah mengawasi seluruh aspek penerbangan ke suatu model yang kini dipakai di
berbagai belahan dunia, yang memisahkan fungsi regulator dari fungsi penyedia layanan.
Berdasarkan UU No. 1/2009 tentang Penerbangan, Lembaga Tunggal Penyelenggara Pelayanan
Navigasi Udara (Single Air Navigation Service Provider atau SANSP) tengah dibentuk dengan
cara menggabungkan unsur layanan navigasi udara Angkasa Pura I dan II serta bandara yang
dikelola oleh DJU. SANSP harus mandiri secara keuangan dan mampu mempertahankan
pendapatannya.
ITSAP sangat sukses dalam mengadakan program pelatihan dan pendidikan bagi mereka yang
memiliki posisi penting dalam keselamatan di industri transportasi. Sejauh ini, ITSAP telah
melatih lebih dari 1.000 personil untuk semua moda transportasi, termasuk keselamatan laut
dan jalan.
Penyelidikan kecelakaan adalah bidang lain yang menjadi fokus program penerbangan
ITSAP. Sejak awal, sejumlah anggota KNKT telah mengambil bagian dalam program Diploma
Investigasi Keselamatan Transportasi atau pelatihan spesialis dari ATSB.
Transportasi Udara
54
55
Transportasi Udara
Tentang Penulis:
Devi Asmarani adalah mantan wartawan The Straits Times
yang kini bekerja lepas untuk berbagai publikasi terkemuka di
Indonesia.
56
POIN-POIN UTAMA
Penerapan perjanjian ASEAN Open Skies, yang akan dimulai pada tahun 2015, tidak akan
sepenuhnya membuka pasar, tapi akan menjadikannya lebih liberal dibandingkan perjanjian
yang ada, dan akan menghasilkan persaingan lebih ketat.
Dalam sektor penerbangan Indonesia terdapat 16 maskapai penerbangan berjadwal, tujuh di
antaranya kemungkinan akan terkena dampak Perjanjian ASEAN Open Skies. Dua di antaranya,
Garuda Indonesia dan Indonesia AirAsia, sudah aktif berpartisipasi dalam pelayanan udara
internasional. Lima maskapai penerbangan lainnya Lion Airlines, Sriwijaya Air, Batavia Air,
Wings Air dan Merpati Nusantara berkonsentrasi penuh pada pasar penumpang domestik.
Dengan pengecualian Indonesia AirAsia, pelayanan yang disediakan maskapai penerbangan
Indonesia dengan tujuan negara ASEAN lainnya, hanya sebagian kecil (5 persen) dari
total tempat duduk mereka. Beberapa maskapai penerbangan Indonesia dengan cepat
meningkatkan jumlah armada mereka, namun, dengan pengecualian Indonesia AirAsia,
kebanyakan kapasitas kursi baru tersebut akan digunakan untuk melayani pasar domestik.
Kebanyakan Perjanjian Pelayanan Udara bilateral antara Indonesia dan negara anggota
ASEAN menerapkan pembatasan kapasitas dan frekuensi, yang mungkin telah memberikan
proteksi tersendiri bagi maskapai-maskapai penerbangan Indonesia terhadap persaingan dari
maskapai penerbangan bandara penghubung (hub-carrier) ASEAN yang lebih besar, khususnya
Singapore Airlines.
Mungkin akan sulit bagi maskapai-maskapai penerbangan Indonesia untuk sepenuhnya
memanfaatkan potensi yang ditawarkan oleh perjanjian Open Skies, akibat kendala
infrastruktur bandara dan cara kerja pasar Indonesia. Kebanyakan maskapai-maskapai
penerbangan Indonesia menganggap kesempatan pertumbuhan yang menguntungkan akan
berasal dari perluasan layanan domestik, karena itu mereka menunda akses rute internasional
dan perluasan kapasitas sampai pertumbuhan domestik mereka telah matang. Mereka
mendukung pengenalan bertahap Open Skies di Indonesia untuk pasar ASEAN, agar mereka
dapat terus berkonsentrasi di pertumbuhan domestik dalam jangka pendek sampai sedang.
Transportasi Udara
58
59
Transportasi Udara
25.0
Domestik
Internasional
Penumpang (juta)
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
Lion
Air
Garuda Sriwijaya
Indonesia
Air
Batavia
Air
Indonesia
AirAsia
Merpati
Air
Wings
Air
Batavia Air
4.5%
Sriwijaya Air
3.2%
Merpati Air
1.7%
Indonesia
AirAsia
53.5%
Garuda Indonesia
19.5%
60
61
Transportasi Udara
Tentang Penulis:
Chris Whittle menjabat sebagai Principal Project Manager untuk
Mott MacDonald. Ia adalah seorang ekonom perhubungan
udara dengan spesialisasi di studi ekonomi, perencanaan
strategis, penyusunan kebijakan dan pengembangan
perhubungan udara. Ia telah melakukan berbagai proyeksi
permintaan, uji tuntas, perencanaan strategis dan studi terkait
untuk sektor keuangan, para penyusun peraturan perundangundangan, pemerintah, maskapai penerbangan, bandara dan
lain-lainnya yang berkepentingan dalam bidang investasi dan
pengembangan bandara.
Chris memimpin pelaksanaan studi Mott MacDonald untuk
Prakarsa Infrastruktur Indonesia yang didanai AusAID tentang
dampak penerapan kebijakan ASEAN Open Skies pada industri
perhubungan udara Indonesia. Sebelumnya Chris duduk di
berbagai posisi senior dalam perencanaan, pemasaran dan
manajemen komersial di British Caledonian Airways, termasuk
bertanggung jawab atas strategi dan pemasaran layanan kargo
udara maskapai tersebut. Ia kerap menjadi pembicara dalam
beragam konferensi mengenai segala aspek penerbangan,
termasuk kebijakan dan pembangunan strategis.
Chris merupakan anggota Charter dari Institute of Transport
and Logistics.
CATATAN
1. Angka-angka ini berdasarkan data dari jadwal maskapai penerbangan bulan Maret 2011.
62
POIN-POIN UTAMA
Bandara-bandara Indonesia, khususnya yang akan dibuka berdasarkan perjanjian Open Skies
ASEAN tahun 2015, perlu melakukan pengembangan besar-besaran agar dapat memenuhi
permintaan yang diproyeksikan untuk masa depan. Bandara tersebut akan memerlukan
peningkatan kapasitas terminal, penambahan posisi parkir pesawat udara, pembangunan
infrastruktur, dan perbaikan rutinitas dan metode kerja. Hal ini merupakan peluang untuk
mengubah bandara Indonesia menjadi model infrastruktur yang berkelanjutan berkelas dunia.
Pembangunan yang berkelanjutan berarti menerapkan pendekatan holistik terhadap
pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini juga berarti
menerapkan strategi baru sebagaimana dibutuhkan dan beroperasi dengan pernyataan
maksud dan tujuan yang jelas; kerja sama antara para pemangku kepentingan; pengawasan
secara terus-menerus; pengkajian terjadwal; dan akses terhadap semua perangkat penunjang,
informasi, dan pelatihan.
Tiga dasar utama pembangunan bandara yang berkelanjutan adalah: pengelolaan dampak
lingkungan; upaya memaksimalkan kapasitas dan efisiensi; peningkatan keselamatan dan
keamanan. Analisis strategi lingkungan dan analisis mengenai dampak lingkungan perlu
dilakukan, disusul penyelidikan secara lebih mendalam pada kemungkinan dampak terhadap
lingkungan hidup dan langkah-langkah penanggulangannya. Kapasitas dan efisiensi dapat
ditingkatkan melalui pembangunan infrastruktur fisik baru, namun ini merupakan pilihan
yang mahal. Sebelum melakukannya, perlu dilakukan analisis terhadap kegiatan operasional
untuk menentukan apakah ada strategi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan kapasitas
seperti pelatihan personel atau pemberian insentif kepada maskapai penerbangan untuk
menjadwalkan penerbangan mereka dengan cara yang berbeda. Tantangan terbesar terletak
pada pengenalan permasalahan utama di bidang keselamatan dan keamanan. Sistem
manajemen sesuai dengan mandat Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International
Civil Aviation Organization) dapat membantu dalam proses ini.
Strategi berimbang yang benar-benar mempertimbangkan bobot kepentingan yang setara
antara dampak lingkungan, efektifitas dan kapasitas, serta keselamatan dan keamanan,
merupakan dasar bagi pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan secara jangka panjang.
Transportasi Udara
Pembangunan Bandara
yang Berkelanjutan:
Tantangan ke Depan
Seiring perkembangannya untuk memenuhi permintaan
yang meningkat, bandara-bandara di Indonesia perlu
mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan, kapasitas
dan efisiensi, serta keselamatan dan keamanan.
Oleh Natanael Ljung
Pembangunan berkelanjutan
Bandara dewasa ini mencakup kegiatan operasional yang
rumit, di mana berbagai sistem perekonomian, sosial, dan
lingkungan hidup perlu berinteraksi secara efisien, tidak hanya
di dalam lingkungan bandara sendiri, tetapi juga dengan
masyarakat di sekitarnya. Pembangunan yang berkelanjutan
perlu dilandasi strategi yang berimbang. Artinya, menerapkan
pendekatan holistik terhadap tantangan saat ini dan di
kemudian hari yang mempertimbangkan pertumbuhan
ekonomi, keadilan sosial, dan pengelolaan lingkungan. Hal ini
juga berarti kesediaan untuk menerapkan strategi baru yang
dapat menghasilkan berbagai peningkatan secara bertahap
maupun komprehensif. Syarat keberhasilan suatu proses
pembangunan mencakup: pernyataan jelas tentang maksud
dan tujuan; kerjasama di antara para pemangku kepentingan;
pengawasan terus-menerus; pengkajian terjadwal; serta akses
terhadap semua perangkat penunjang, informasi dan pelatihan
yang dibutuhkan.
64
65
Dampak Lingkungan
Meskipun permintaan akan angkutan terus meningkat, dampak
lingkungan harus terus-menerus dipertimbangkan, baik pada
saat konstruksi, pengoperasian, maupun pemeliharaan sistem
penerbangan. Investasi infrastruktur, peningkatan teknis, dan
perubahan operasional. Semua dapat menawarkan solusi
terhadap berbagai kekhawatiran soal lingkungan hidup. Namun
pendekatan secara holistik mensyaratkan bahwa kemampuan
memperoleh laba dan masalah keselamatan tidak boleh
diabaikan pada saat mempertimbangkan langkah-langkah yang
berkenaan dengan lingkungan hidup.
Transportasi Udara
Kesimpulan
Tentang Penulis:
Natanael Ljung memiliki gelar Master of Science in Civil
Engineering dan saat ini adalah konsultan senior bandara
pada LFV Aviation Consulting. Ia berpengalaman lebih dari
15 tahun di bidang perencanaan bandara, perancangan
bandara, dan pengoperasiannya, termasuk logistik terminal
dan penanganan bagasi, sistem manajemen keselamatan,
prakiraan lalu lintas, dan proyek lingkungan hidup. Selain itu,
ia pernah bekerja selama lebih dari 18 bulan sebagai Manajer
Operasi di Norrkping Airport, Swedia.
Secara internasional, ia pernah bekerja di sejumlah
negara Eropa dan Afrika. Dari tahun 2006 hingga 2008, ia
memimpin tim yang menyediakan dukungan pada Erbil
International Airport di Kurdistan, Irak. Ia juga pernah terlibat
dalam beberapa proyek di Indonesia, di antaranya Proyek
Pembangunan Bandara Bali dimana ia menjadi ketua tim. Ia
juga turut serta dalam penyelidikan tentang kesiapan tujuh
bandara Indonesia dalam rangka pelaksanaan perjanjian Open
Skies.
CATATAN
1. Apron adalah bagian dari bandara yang digunakan sebagai tempat naik turunnya penumpang, bongkar muat barang, pengisian
BBM, perbaikan, perawatan, dan parkirnya pesawat udara; serta semua pergerakan pesawat udara, kendaraan, dan pejalan kaki yang
dibutuhkan untuk keperluan tersebut. Sumber: http://aviationglossary.com/
Prakarsa Compendium | Jilid 2
66
POIN-POIN UTAMA
Artikel ini membahas tiga topik yang terkait dengan peningkatan sistem manajemen lalu
lintas udara (ATM, Air Traffic Management) Indonesia: kebijakan dan peraturan, sumber daya
manusia, serta infrastruktur.
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (Ditjen Perhubungan Udara) merupakan pembuat
kebijakan/regulator. Menurut Cetak Biru Ditjen Perhubungan Udara untuk periode 2010
2014, pengembangan kebijakan Ditjen Perhubungan Udara mengenai ATM akan berfokus pada
tiga persoalan utama: penyelarasan Wilayah Informasi Penerbangan (FIR, flight information
region) Ujung Pandang dan Jakarta; pengembangan arus lalu lintas udara, dan manajemen
sesuai dengan strategi regional Asia-Pasifik. Tidak semua langkah yang diuraikan dalam Cetak
Biru 20052009 tersebut lengkap, yang berpengaruh pada kemajuan selanjutnya. Akan tetapi,
sejumlah peraturan teknis terkait keselamatan telah dibuat beserta dokumen-dokumen terkait
seperti manual standar. Ditjen Perhubungan Udara) sekarang harus mengalihkan perhatiannya
pada pembuatan kebijakan dan rekomendasi yang diperlukan agar sesuai dengan perubahan
yang akan segera dibuat, yang direncanakan pada bulan November 2012, atas format rencana
penerbangan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO, International Civil Aviation
Organisation).
Sumber daya manusia merupakan bagian yang sangat penting dalam penyediaan layanan
berkualitas. Ditjen Perhubungan Udara harus menentukan seberapa banyak pemandu lalu
lintas udara (ATC, air traffic controllers) yang akan diperlukannya di waktu yang akan datang
berdasarkan perkiraan pertumbuhan dan kapasitas ruang udara/bandara, dan menyesuaikan
kebijakan mengenai rekrutmen, pendidikan, dan pelatihan. Semangat bekerja para pekerja
terkait dengan usulan perubahan atas struktur ATM juga harus diperhatikan.
Penyediaan infrastruktur fisik harus didahului dengan pembuatan kebijakan dan konsep
operasional yang tepat. Secara umum, infrastruktur pelayanan ATM di Indonesia sudah
kuno (obsolete), baik dalam hal teknologi maupun kebutuhan operasional. Teknologi radar
pengawasan sekunder (SSR, secondary surveillance radar) mulai digunakan namun perlu
dilengkapi dengan konsep operasi yang komprehensif mengenai bagaimana kemampuan
pengawasan tersebut dapat dalam digunakan dalam penyediaan layanan ATM. Teknologi
Automatic Dependent Surveillance/Broadcast (ADS/B) telah diuji coba tetapi belum
diimplementasikan. Ada baiknya Ditjen Perhubungan Udara mengkaji ulang pemanfaatan
teknologi ADS/B dalam kerangka pelayanan ATM, dengan memperhatikan saran-saran dari
ICAO dan melihat langkah-langkah persiapan yang telah dilakukan oleh negara-negara
tetangga seperti Singapura dan Australia.
Transportasi Udara
68
69
Kesiapan
Melalui tulisan ini ada tiga fokus utama yang disampaikan,
yaitu: kebijakan dan peraturan, sumber daya manusia,
infrastruktur yang materinya berasal dari dokumentasi
yang tersedia dari Ditjen Perhubungan Udara serta
observasi penerapannya di lapangan.
Jika kita membicarakan masalah ATM, maka tentu tidak
terlepas dari Ditjen Perhubungan Udara sebagai pembuat
kebijakan (policy maker) serta regulator, PT Angkasa
Pura I (Persero) sebagai penyedia layanan (service
provider) untuk FIR Ujung Pandang, dan PT Angkasa Pura
II (Persero) sebagai penyedia layanan untuk FIR Jakarta.
Gambaran kesiapan Ditjen Perhubungan Udara sebagai
pembuat kebijakan/regulator dalam menghadapi ASEAN
Open Skies Policy dapat dilihat dalam buku Cetak Biru
(Blueprint) Direktorat Jenderal Perhubungan Udara
20052024 pada BAB VI yang menjelaskan periode
demi periode rancangan kegiatan transportasi udara.
Sedangkan kegiatan yang disusun oleh penyedia layanan
tentu perlu menyesuaikan. Mari kita kaji kebijakan dan
peraturan, sumber daya manusia, serta infrastruktur
berdasarkan Cetak Biru tersebut.
Transportasi Udara
70
71
Transportasi Udara
dibutuhkan waktu minimal tiga tahun secara terusmenerus. Hal ini perlu selalu menjadi pertimbangan
dalam penyediaan sumber daya manusia.
Untuk memproyeksikan secara tepat jumlah pemandu
lalu lintas udara yang akan diperlukan dalam tiga tahun
mendatang, maka selanjutnya perlu dilakukan pendataan
ulang untuk data terkait, dan Ditjen Perhubungan Udara
perlu menyesuaikan kebijakan sistem perekrutan,
serta pendidikan dan pelatihan, dan tentu penyediaan
sarana pendidikan, termasuk pengajar yang memiliki
pengalaman lapangan yang baik dan cukup. Semangat
kerja para karyawan juga penting. Perubahan dalam
struktur ATM yang diusulkan akan berdampak pada para
karyawan, dan ini tidak boleh diabaikan.
Infrastruktur
Infrastruktur menjadi hal yang sangat menarik perhatian
di antara kalangan tertentu untuk memperlihatkan
kemampuan atas ketersediaan fasilitas yang seringkali
tidak didahului dengan kebijakan dan konsep operasi.
Secara garis besar infrastruktur untuk pelayanan ATM
di Indonesia sudah kuno (obsolete) baik dari sudut
teknologi maupun kebutuhan operasional. Sistem
Otomatis Lalu Lintas Udara Jakarta (JAATS, Jakarta
Automated Air Traffic Control System) sudah benarbenar obsolete sedangkan Sistem Otomatis Lalu Lintas
Udara Jakarta (MAATS, Makassar Automated Air Traffic
Control System) sudah masuk usia obsolete.
Beberapa radar pengawasan sekunder (SSR, secondary
surveillance radar) telah dan sedang dibangun kawasan
FIR Ujung Pandang dan satu unit di FIR Jakarta, namun
sesungguhnya bukan hanya itu yang dibutuhkan. SSR
perlu dilengkapi dengan konsep operasi yang jelas
bagaimana kemampuan pengawasan yang telah tersedia
tersebut dapat dimanfaatkan dalam pelayanan ATM.
Dalam Cetak Biru Ditjen Perhubungan Udara periode 2005
2009 dilakukan uji coba teknologi Automatic Dependent
Surveillance-Broadcast (ADS/B) untuk pengawasan.
Periode 20102015 memerlukan pemanfaatan ADS/B
72
73
Tentang Penulis:
Novaro Martodihardjo adalah seorang Konsultan Manajemen
Lalu Lintas Udara (Air Traffic Management) yang pensiun dari PT
Angkasa Pura II pada tahun 2007, di mana ia menjabat sebagai
Wakil Presiden Pelayanan Lalu Lintas Udara sejak tahun 2001.
Ia memiliki 32 tahun pengalaman di bidang manajemen lalu
lintas udara, dan mengawali karirnya sebagai seorang pemandu
lalu lintas udara (ATC, air traffic controller) pada tahun 1973
di Pengawas Koridor Udara (Aerodrome Controller) di Bandara
Kemayoran dan Halim Perdanakusuma. Ia mendapatkan
kualifikasi sebagai Pengendali Radar Pengatur Pendaratan
(Approach Radar Controller) dan menjadi Penyelia Operasional
(Operational Supervisor) pada tahun 1977.
Keterlibatannya dalam Sistem Otomasi Kendali Lalu Lintas Udara
(Air Traffic Control Automation Radar System) diawali ketika
ia ikut serta dalam Pelatihan ATC Automation di Luxemburg
pada tahun 1981. Ia menjabat sebagai Instruktur Radar ATC
di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia di Curug selama dua
tahun. Selain bekerja di bidang operasional ATC di Bandara
Cengkareng dan Halim Perdanakusuma sebagai Pengendali
Radar Pengatur Pendaratan, Novaro juga ditugaskan ke dalam
Tim Pameran Terbang Dinamis di Indonesia Air Show pertama
pada tahun 1986. Ia juga terlibat dalam Pelatihan Pengelolaan
Arus Lalu Lintas Nasional (National Air Traffic Flow Management
Transportasi Udara
dalam angka
99%
24
23
24%
21%
62
juta/tahun
74
75
Edward A. Silooy
Direktur Angkutan Udara, Direktorat Perhubungan Udara
Kementerian Perhubungan Republik Indonesia
Sejak adanya regulasi mengenai transportasi udara dalam UU No. 1/2009 yang telah sesuai dengan standar ICAO
(International Civil Aviation Organization), Direktorat Angkutan Udara mengawasi pelaksanaan peraturan tersebut
dengan ketat. Kami memperhatikan berbagai macam aspek terkait perlindungan konsumen penerbangan, mulai dari
masalah keselamatan, keamanan, maupun soal pelayanan, dan kami juga mengawasi hak dan kewajiban perusahaan
penerbangan, termasuk mengatur soal pelayanan, pengaturan slot waktu terbang, hingga tarif. Pengawasan ini
kami lakukan melalui 10 otoritas bandara di 10 wilayah Indonesia yang memang berfungsi sebagai pengawas
peraturan tersebut. Direktorat kami juga memperketat izin suatu rute dengan betul-betul memperhatikan apakah
perusahaan penerbangan yang bersangkutan sudah memenuhi semua fasilitas keamanan penerbangan yang
dipersyaratkan. Hal ini kami lakukan untuk menjaga keselamatan. Langkah lainnya adalah dengan mengupayakan
OTP (On time performance), kami membentuk IDSC (Indonesia Slot Coordinator) yang merupakan unit independen
untuk mengatur slot penerbangan selama enam bulan. Langkah ini untuk meningkatkan keselamatan, namun
juga berefek ganda, seperti memberikan keuntungan dalam segi lingkungan maupun ekonomi. Dalam lima hingga
sepuluh tahun mendatang, saya pikir langkah-langkah yang dilakukan oleh direktorat angkutan udara akan
berdampak sangat positif. Dari aspek politik keterhubungan, satu daerah dengan daerah yang lain akan semakin
dekat sehingga menyatukan rakyat Indonesia sebagai bangsa. Selain itu, perusahaan penerbangan domestik juga
akan semakin siap menghadapi kebijakan open sky internasional dengan memiliki standar kualitas yang setara
dengan perusahaan penerbangan internasional. Terkait dengan masalah keselamatan penumpang, tentu kami
mengharapkan angka kecelakaan seminimal mungkin, yang tentu saja hal ini bisa kita capai bila kita menjalankan
aturan dengan disiplin.
Transportasi Udara
Arfiyanti Samad
Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Udara,
Kementerian Perhubungan Republik Indonesia
UU 1/2009 tentang penerbangan mengamanatkan bahwa penerbangan dikuasai oleh negara dan pembinaannya
dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Sebagai anggota ICAO
(International Civil Aviation Organization) sejak 1963, penyelenggaraan penerbangan di Indonesia mengacu pada
ICAO CASR (Civil Aviation Safety Regulations) serta SARP (Standard and Recommended Practices), dan ICAO secara
berkala melaksanakan audit terhadap penerapannya.
Prakarsa-prakarsa penting yang telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (DJU) yang diharapkan
berdampak pada meningkatnya keselamatan penerbangan dan meningkatnya kepercayaan dunia internasional
antara lain:
Ditetapkannya Program Keselamatan Penerbangan Nasional sebagai bentuk penerapan SMS (Safety
Management System);
Ditetapkannya Program Keamanan Penerbangan Nasional serta Komite Nasional Keamanan Penerbangan;
Dibentuknya Air Navigation Single Provider serta Tatanan Navigasi Penerbangan Nasional (saat ini tengah
dalam proses finalisasi);
Dibentuknya 10 kantor Otoritas Bandara sebagai perpanjangan tangan DJU dalam melaksanakan pengawasan
dan pengendalian atas diterapkannya ketentuan dan peraturan penerbangan di seluruh wilayah Indonesia;
Dijalinnya kerjasama internasional dalam rangka capacity building SDM penerbangan.
76
Pembangunan
Pelabuhan
Edisi 10, April 2012
POIN-POIN UTAMA
Upaya reformasi yang saat ini sedang berjalan di sektor pelabuhan Indonesia sangat diperlukan
agar pelabuhan dapat memberikan kontribusi sebesar-besarnya pada pertumbuhan ekonomi
Indonesia. BUMN pelabuhan belum dapat beroperasi dengan efisiensi maksimal atau
berinisiatif untuk membangun pelabuhan hub internasional. Administrasi, pengelola dan
calon investor pelabuhan dihadapkan kepada tidak adanya kepastian usaha dan hukum.
Oleh karena peran pelabuhan dalam perekonomian dunia terus berkembang, upaya untuk
mengatasi masalah tersebut menjadi semakin mendesak. Semakin dramatisnya peningkatan
aliran peti kemas dan kargo curah, memerlukan pembangunan dan investasi baru.
Satu-satunya cara untuk maju adalah pemberdayaan kembali perubahan kebijakan secara
radikal, transformasi SDM, dan sinergi manajemen. Harus ada pemisahan yang tegas antara
fungsi regulasi (yang didelegasikan kepada otoritas pelabuhan) dan fungsi pengelola (yang
dijalankan oleh entitas bisnis pelabuhan).
Kunci utama untuk keberhasilan transisi adalah konsistensi, transparansi dan kesamaan
persepsi di antara para pemangku kepentingan. Selain itu, mengkaji masalah-masalah
yang pernah terjadi dimasa lalu sangat diperlukan, seperti misalnya kegagalan untuk
mempertahankan KPS dalam pembangunan pelabuhan di Batam, sehingga dapat dipetik
pelajaran dari pengalaman tersebut. Keberhasilan pelaksanaan proyek percontohan yang
menggunakan KPS adalah hal yang sangat penting.
Pengembangan SDM adalah komponen yang sangat penting dalam proses pemberdayaan
kembali. Pengelolaan pelabuhan memerlukan berbagai keahlian khusus untuk memastikan
perencanaan dan pelaksanaan yang tepat terkait aspek tata ruang, konstruksi teknis,
keselamatan, pembiayaan, kegiatan operasi, dan integrasi dengan sektor lain. Pengembangan
SDM yang kompeten akan memastikan bahwa perubahan dilaksanakan dengan cara yang
aman dan sesuai dengan peraturan.
Sebagai perkembangan pembangunan pelabuhan, industri-industri baru dapat tumbuh
di sekitar DLKR pelabuhan, di lokasi tersebut pusat-pusat layanan menawarkan paket
komprehensif untuk industri tertentu seperti kelapa sawit atau batubara. Pemerintah
pusat harus memegang peran pengendali dalam penentuan pelabuhan mana yang perlu
dikembangkan sebagai kawasan industri.
Pembangunan Pelabuhan
Memberdayakan Kembali
Manajemen Pelabuhan di
Indonesia
Upaya memberdayakan kembali pelabuhan sangat penting
untuk memastikan bahwa pelabuhan dapat memberikan seluruh
potensinya untuk berkontribusi dalam pembangunan Indonesia.
Agar berhasil, diperlukan proses transisi yang terencana dengan baik,
dengan penekanan pada pengembangan SDM dan klaster industri.
Oleh Sudjanadi Tjipto Sudarmo
Pertumbuhan Menimbulkan
Kondisi Mendesak
Kondisi tersebut cukup menjadi alasan untuk
melakukan tindakan meskipun dalam situasi yang statis,
apalagi peran pelabuhan dalam perekonomian terus
berkembang. Karena aliran kargo dunia terus meningkat
selama dekade terakhir, upaya untuk mereformasi dan
mengembangkan sektor pelabuhan Indonesia menjadi
semakin mendesak.
Berbagai kajian menunjukkan bahwa selama 20
tahun mendatang aliran peti kemas di Indonesia akan
meningkat secara dramatis, dari 8,8 juta TEU 1 pada tahun
2009 diperkirakan akan menjadi 30 juta TEU pada tahun
2020, dan 48 juta TEU pada tahun 2030. Kargo curah
kering dan cair diperkirakan akan meningkat sebesar 50
persen sepanjang dekade mendatang dan 50 persen lagi
mulai tahun 2020 sampai 2030.
80
81
Pembangunan Pelabuhan
82
83
Pembangunan Pelabuhan
Tentang Penulis:
Sudjanadi Tjipto Sudarmo adalah Konsultan, Dosen, dan
Profesor Riset dibidang Manajemen Transportasi Laut dan
Kepelabuhanan. Sejak tahun 1995 ia mengajar Manajemen
Transportasi Logistik di Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi
Manajemen Transportasi (STMT) Trisakti. Ia seorang Peneliti
Senior dan Dosen Manajemen Pelabuhan, Perkapalan dan
Logistik di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan di
Institut Pertanian Bogor dan bertindak sebagai Ketua Advisory
Group on Ports and Harbors (AGPH). Ia juga menjabat sebagai
Komisaris Independen PT. Trada Maritime Tbk., perusahaan
perkapalan yang berfokus pada jasa transportasi laut dan
logistik di sektor energi. Ia memiliki pengalaman 30 tahun
sebagai penasehat dan konsultan dalam industri pelabuhan
dan perkapalan. Ia menjabat sebagai Direktur Pelabuhan dan
Pengerukan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut pada tahun
19921996, dan sebagai Peneliti Senior di Badan Penelitian
dan Pengembangan Kementerian Perhubungan RI pada tahun
19962009. Pak Sudjanadi adalah Co-Team Leader IndII Port
Activity, untuk Finalisasi Rencana Induk Pelabuhan Nasional.
CATATAN
1. TEU adalah satuan ukuran volume setara dengan 20 kaki, singkatan dari twenty-foot equivalent unit yang digunakan sebagai
satuan ukuran kapasitas kargo.
84
POIN-POIN UTAMA
Perdagangan masuk dan keluar dari Indonesia, serta antar pulau utama sedang berkembang
pesat saat ini. Untuk mengakomodasi pertumbuhan ini perlu dibangun pelabuhan baru dan
pelabuhan yang ada diperluas, tetapi diperlukan 5 hingga 10 tahun sebelum pembangunan
tersebut dapat dirampungkan. Sementara itu, fasilitas yang ada terbebani melampaui
kapasitas idealnya. Solusi yang segera dapat diterapkan adalah peningkatan efisiensi tata
laksana melalui cara-cara seperti mempersingkat waktu tunggu (dwell time). Waktu tunggu
adalah waktu mulai dari saat peti kemas turun dari kapal hingga akhirnya keluar dari pintu
gerbang terminal. Bulan Juli dan Agustus 2011, waktu tunggu di Jakarta International
Container Terminal (JICT) Tanjung Priok, yang menangani lebih dari dua-per-tiga perdagangan
internasional Indonesia, adalah 6 hari, jumlah ini mengalami kenaikan 22 persen dari tahun
sebelumnya. Pelabuhan lain di kawasan sekitar, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand
menunjukkan kinerja yang jauh lebih baik.
Industri yang berorientasi ekspor menghadapi ketidakpastian akibat keterlambatan, dan
dengan demikian daya saing produk Indonesia di luar negeri pun berkurang. Hambatan dan
kemacetan di pelabuhan mendongkrak naik biaya bagi usaha domestik dan pada akhirnya
juga harga yang dibayar oleh konsumen.
Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk mempersingkat waktu tunggu,
seperti menyediakan layanan penyelesaian prosedur kepabeanan secara non-stop (24/7)
serta mengembangkan sistem dokumentasi dan informasi elektronik. Efisiensi yang semakin
menghemat waktu perlu ditemukan secepatnya untuk menghindari terjadinya kemunduran
waktu tunggu lebih lanjut. Sebagian besar keterlambatan terjadi selama tahap pra-penyelesaian
prosedur kepabeanan dan disebabkan oleh kendala dalam peraturan. Tidak seperti prosedur
yang berlaku di sebagian besar negara maju, Indonesia mensyaratkan agar para importir
membayar pajak-pajak dan bea masuk di muka (pra-bayar), sebelum mengajukan dokumendokumen impor yang tidak dapat mereka lakukan sebelum kapal tiba. Selain itu, penyelesaian
dokumen kepabeanan untuk barang pada saat akhir pekan dan di luar jam kerja normal tidak
dapat diandalkan. Mengupayakan agar semua pemangku kepentingan menyediakan layanan
non-stop yang fleksibel dan mempromosikan pengajuan dokumen impor sebelum kapal tiba,
merupakan langkah penting menuju sistem pengeluaran barang yang lebih efisien.
Pembangunan Pelabuhan
86
Mempercepat Pemindahan,
Mengurangi Masalah:
Mempersingkat Waktu Tunggu
(Dwell Time) Peti Kemas
Dalam lima sampai sepuluh tahun mendatang, keberadaan pelabuhan
baru dan pelabuhan yang diperluas dapat membantu mengurai
kemacetan di pelabuhan. Namun sebelum pembangunan baru dimulai,
langkah-langkah pengurangan waktu keberadaan peti kemas di terminal
pelabuhan dapat memperbaiki situasi yang ada saat ini.
Oleh Natalia Cubillos Salcedo dan Henry Sandee
87
Mempercepat Pemindahan, Mengurangi Masalah: Mempersingkat Waktu Tunggu (Dwell Time) Peti Kemas
2009
140000
75%
120000
100000
80000
96%
2015
141%
60000
40000
20000
0
Domestik
Internasional
Jumlah
Tanjung Priok
Thailand
Malaysia (Port Klang)
Australia, NZ
Prancis
3
2
Hong Kong
Singapura
1.1
0 2 4 6 Jumlah
hari
Sumber: Bank Dunia 2010
Upaya ini telah membantu menekan waktu tunggu menjadi ratarata 5 hari selama dua tahun terakhir. Tetapi efisiensi yang dapat
semakin menghemat waktu perlu ditemukan secepat mungkin
Pembangunan Pelabuhan
Jumlah Hari
6.04 Hari
1.54
1.04
4
3
2
Paska - Penyelesaian
Prosedur Kepabeanan
Penyelesaian
Prosedur Kepabeanan
3.46
Pra - Penyelesaian
Prosedur Kepabeanan
CATATAN
1. TEU adalah satuan ukuran volume setara dengan 20 kaki, singkatan dari twenty-foot equivalent unit yang digunakan sebagai
satuan ukuran kapasitas kargo.
Prakarsa Compendium | Jilid 2
88
POIN-POIN UTAMA
Tidak adanya persaingan di sektor pelabuhan mengakibatkan meningkatnya harga dan
menurunnya produktivitas. Warga Indonesia membeli barang impor dengan harga lebih mahal,
dan ekspor Indonesia menjadi lebih mahal dari ekspor dari negara-negara yang pelabuhannya
lebih efisien.
Peningkatan persaingan memerlukan koordinasi. Misalnya, ketika perluasan pelabuhan perlu
dilakukan, fasilitas dan konsesi dapat direncanakan sehingga menarik minat operator baru,
dan menimbulkan persaingan dengan operator yang ada.
Meskipun UU Pelayaran mengharuskan adanya peningkatan persaingan, masih ada beberapa
hambatan. BUMN Pelabuhan (Pelindo) masih menguasai lahan, dan operator terminal swasta
hanya boleh menawarkan jasa penanganan kargo umum dengan syarat-syarat yang sangat
ketat. Pembatasan investasi asing di sektor pelabuhan di Indonesia dapat mengurangi minat
operator global untuk berinvestasi di terminal. Pelindo, di sisi lain, dikecualikan dari UU
Persaingan Usaha Indonesia.
Regulator persaingan usaha dibentuk untuk memastikan perusahaan berperilaku secara
kompetitif. Jika ada pengaduan, regulator seringkali memulai langkahnya dengan memeriksa
sejauh mana pasar didominasi oleh hanya beberapa perusahaan. Pasar di negara-negara yang
memiliki program Kemitraan Pemerintah-Swasta dalam sektor pelabuhan tersukses di dunia
umumnya hanya memiliki satu atau sedikit perusahaan yang dominan. Dengan demikian,
meski Indonesia mengurangi hambatan terhadap persaingan, kemungkinan hasilnya adalah
pasar yang didominasi oleh segelintir perusahaan saja.
Jika regulator akhirnya menangani suatu kasus, fokus penyelidikan terutama tertuju pada
keadaan, apakah konsumen atau pengguna jasa ekspedisi memiliki pilihan.
Lingkungan oligopolistik yang akan muncul di Indonesia menunjukkan perlunya kerangka
peraturan untuk mengawasi persaingan di pelabuhan. Kebijakan pelabuhan Indonesia
mendukung regulasi dengan minimal intervensi. Alih-alih menentukan harga, peraturan
dapat digunakan untuk memantau kinerja operasional, tingkat tarif, kinerja keuangan, dan
penentuan seberapa banyak pilihan yang dimiliki para pengguna dan pengusaha jasa ekspedisi.
Kemenhub dapat memegang tanggung jawab untuk meningkatkan persaingan pelabuhan dan
memantau perilaku yang sesuai dengan persaingan usaha.
Pembangunan Pelabuhan
90
91
Pembangunan Pelabuhan
92
93
Pembangunan Pelabuhan
Tentang Penulis:
Paul Kent adalah Senior Vice President di Perencanaan
Infrastruktur dan Ekonomi di Nathan Associates. Dr.
Kent adalah tokoh terkemuka dalam bidang privatisasi
dan peraturan pelabuhan yang telah mengarahkan atau
berpartisipasi dalam proyek-proyek pelabuhan dan logistik di
hampir 45 negara. Ia mengembangkan perangkat pendukung
keputusan untuk pembuat kebijakan, regulator, dan sektor
swasta. Disertasinya tentang regulasi persaingan pelabuhan
menjadi dasar penulisan untuk berbagai modul peraturan
untuk Perangkat Reformasi Pelabuhan Bank Dunia. Sebagai
kontributor berbagai jurnal perdagangan dan jurnal ilmiah, Dr.
Kent adalah satu-satunya orang Amerika yang telah menerima
gelar doktor dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Pusat Rusia
untuk Ekonomi dan Operasional Perhubungan Laut di Moskow.
Sebelum bergabung dengan Nathan Associates, Dr. Kent
adalah Associate Director di National Ports and Waterways
Institute, Louisiana State University.
94
POIN-POIN UTAMA
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia sangat bergantung pada lebih dari
1700 pelabuhan untuk pertumbuhan ekonominya. UU no. 17/2008 tentang Pelayaran
memandatkan bahwa Indonesia harus mengembangkan sistem kepelabuhanan yang efisien,
kompetitif dan responsif. Pendidikan harus menjadi landasan reformasi ini.
Para pembuat kebijakan dan administrator harus memahami benar hal-hal penting, antara lain
persaingan usaha, peraturan ekonomi dan operasional, analisis tarif, perencanaan lingkungan,
dan pengembangan SDM. Penasihat pelabuhan, peneliti dan dosen, Prof Sudjanadi, adalah
penganjur reformasi kurikulum dan pelatihan, yang saat ini sedang mengembangkan kurikulum
pelatihan baru untuk pelabuhan Indonesia dan personel manajemen kelautan.
Sarana pendidikan lainnya antara lain adalah program setingkat universitas dalam bidang
industri kelautan serta sejumlah lembaga kelautan independen. Warga negara Indonesia juga
memanfaatkan beasiswa yang ditawarkan Australia dan negara lain untuk mengambil gelar
PhD dan program pasca sarjana di luar negeri.
Pendidikan yang terkait dengan pelabuhan dapat dimulai sejak dini, di mana anak sekolah
belajar tentang arti penting dari masalah kelautan, dan mengetahui peluang mereka untuk
meniti karier di sektor pelabuhan.
Pengembangan keterampilan dalam bidang komputer dan teknologi informasi adalah kunci
untuk meningkatkan SDM. Sektor pelabuhan juga harus dipromosikan sebagai lingkungan
kerja dengan penghasilan yang menjanjikan dan peluang pengembangan karier.
Strategi juga harus mencakup buruh pelabuhan. Kepada mereka dapat diberikan sertifikasi
untuk keahlian khusus seperti teknik penanganan, keselamatan pekerja, dan pengoperasian
peralatan. Sistem insentif yang berkualitas, pelatihan lintas bidang, dan sistem pengembangan
karier yang baku merupakan sarana untuk menanamkan rasa bangga dan meningkatkan
kinerja pekerja.
Pembangunan Pelabuhan
Menurut para ahli, agar bisa dilaksanakan secara efektif aspekaspek terkait organisasi, hukum, administrasi dan kebijakan
proses reformasi tersebut bergantung pada SDM yang tepat.
Para pembuat kebijakan dan administrator harus memahami
benar hal-hal penting, antara lain persaingan usaha, peraturan
ekonomi dan operasional, analisis tarif, perencanaan lingkungan,
dan pengembangan SDM.
96
97
Teknologi Informasi
Satu bidang penting adalah komputer dan teknologi informasi.
Di seluruh dunia, sistem yang menggunakan teknologi elektronik
yang canggih digunakan untuk mengelola produksi, pemasaran,
Pembangunan Pelabuhan
Melihat ke Depan
Kunci sukses lainnya adalah seberapa baik Indonesia dapat
berpikir jauh ke depan dan bersikap proaktif menghadapi
tantangan masa depan dan arah untuk kepelabuhanan. UU
Pelayaran itu sendiri memerlukan penegasan dan redefinisi
yang berkelanjutan, dan setiap evaluasi kemajuan harus
dilakukan oleh personil yang memenuhi syarat dan memang
berhak melakukan evaluasi secara jernih. Pola pikir strategis
harus diwujudkan menjadi tindakan yang efektif untuk
pengembangan SDM.
Kecuali jika ada komitmen untuk berubah, upaya untuk
mengubah sistem kepelabuhanan akan gagal atau stagnan, kata
Prof. Sudjanadi. Peran otoritas pelabuhan dan syahbandar
adalah mengomunikasikan visi ini secara efektif dan memimpin
jalannya perubahan. Visi strategis tentang kebutuhan pelabuhan
[Indonesia] di masa depan tidak dapat dikembangkan tanpa
SDM.
Tentang Penulis:
Amba Mpote-Bigg adalah wartawan dan pengusaha wanita
berpengalaman yang pernah menjadi kepala biro Dow Jones
di Pantai Gading dan menulis untuk Wall Street Journal.
98
POIN-POIN UTAMA
Tenaga kerja bongkar muat, atau TKBM, merupakan anggota koperasi setempat. Kerangka
hukum yang mengatur tentang koperasi telah menimbulkan tuntutan agar TKBM meningkatkan
produktivitasnya, serta kekhawatiran adanya monopoli yang secara efektif dipegang koperasi.
Sebuah SKB pada tahun 1989 memandatkan adanya koperasi di setiap pelabuhan agar TKBM
dapat mengelola diri mereka sendiri, meningkatkan kesejahteraan TKBM, dan berpartisipasi dalam
kelancaran arus barang di pelabuhan laut. SKB tahun 2002 yang menggantikannya mempertahankan
konsep tersebut namun menambahkan sebuah pasal yang secara efektif memberikan monopoli
kepada KTKBM untuk pekerjaan bongkar muat.
Koperasi TKBM juga diharuskan mematuhi perundang-undangan Indonesia tentang koperasi
secara umum, yang menekankan peningkatan kesejahteraan anggotanya. Selain itu, UU no. 5/1999
dirancang untuk mencegah perilaku monopoli tetapi mengecualikan kegiatan usaha koperasi yang
dimaksudkan untuk melayani anggotanya. Ketentuan dalam SK Menhub no KM. 14/2002 telah
ditafsirkan sehingga berarti bahwa semua kegiatan bongkar muat harus melibatkan koperasi TKBM.
Sebagai akibat dari peraturan perundang-undangan tersebut, KTKBM belum menghadapi tekanan
persaingan, yang mengakibatkan rendahnya produktivitas dan kinerja yang buruk. Persoalan lain
adalah bahwa KTKBM mengenakan biaya meskipun kegiatannya dilakukan dengan menggunakan
sistem ban berjalan dan pipanisasi, dan tidak melibatkan TKBM.
Pada tanggal 29 Desember 2011, SKB/2011 dikeluarkan untuk menggantikan SKB yang dikeluarkan
pada tahun 2002. Berdasarkan SKB/2011, unit-unit usaha KTKBM dapat membentuk sub-unit
dan/atau kelompok kerja. Maksud ketentuan ini adalah untuk memungkinkan KTKBM dari satu
pelabuhan menawarkan jasanya di pelabuhan lain, sehingga meningkatkan persaingan dan
meminimalkan praktik monopoli. Namun, tindakan ini tidak akan mencapai hasil optimal jika subunit tersebut secara bersama-sama mengendalikan pasar.
Ada kekhawatiran bahwa SKB/2011 dapat digunakan untuk membenarkan pengenaan biaya TKBM,
bahkan ketika kegiatannya telah dijalankan oleh mesin yang dioperasikan oleh tenaga manusia
dan tidak melibatkan TKBM. Selain itu, setiap kegiatan bongkar muat yang terjadi di luar daerah
lingkungan kerja) atau daerah lingkungan kepentingan pelabuhan harus dilakukan oleh KTKBM di
pelabuhan terdekat.
Peraturan tersebut tampaknya memberikan perlindungan yang berlebihan. KTKBM tidak disiapkan
untuk menghadapi persaingan terbuka. TKBM harus dibantu untuk meningkatkan tingkat
keterampilannya sehingga dapat berpartisipasi secara produktif dalam kegiatan bongkar muat yang
semakin sering melibatkan penggunaan peralatan mekanis. Untuk mencegah praktik monopoli
yang merugikan, TKBM harus dikelola oleh lebih dari satu koperasi penempatan pekerja, yang
independen di setiap pelabuhan laut.
KTKBM harus memiliki pola pikir baru dan memahami bahwa koperasi yang menawarkan nilai
terbaik kepada pelanggan yang akan menjadi koperasi yang berhasil.
Pembangunan Pelabuhan
Pembentukan KTKBM
Untuk memahami tujuan dan kegiatan operasional Koperasi
TKBM, peraturan perundang-undangan yang mendasari
pembentukannya perlu dipahami. Cikal-bakal koperasi ini
lahir pada tahun 1978, dengan dikeluarkannya SKB Menteri
Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi dengan Menteri
Perhubungan tentang Pembentukan Yayasan Usaha Karya
(YUKA) untuk mengorganisasi TKBM.
SKB berikutnya dari kedua kemen-terian tersebut, serta
sebuah Inpres, membubarkan YUKA pada tahun 1985.
Secara bersamaan, sebuah badan sementara untuk
mewakili TKBM dibentuk di setiap pelabuhan laut, yang
bertanggungjawab kepada administrator pelabuhan.
100
101
Pembangunan Pelabuhan
koperasi sebagai: badan usaha yang beranggotakan orangseorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan
kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus
sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas
azas kekeluargaan. UU no. 12/1967 dan UU no. 25/1992
memuat ketentuan yang serupa yang menyatakan bahwa
tujuan koperasi adalah secara khusus untuk meningkatkan
kesejahteraan anggotanya dan secara umum meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Selain itu, kedua UU tersebut
menyatakan bahwa anggota koperasi bergabung secara
sukarela.
Berdasarkan susunan kalimat dalam UU tersebut, dapat
disimpulkan bahwa koperasi adalah sebuah badan usaha
yang didirikan dengan cara bottom-up (didirikan oleh
anggota). Sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam
Pasal 17 UU no. 25/1992, para anggota koperasi adalah
pemilik dan sekaligus pengguna jasa Koperasi. Pasal ini
memperjelas bahwa koperasi harus digunakan sebagai
sarana untuk saling meningkatkan kesejahteraan
anggotanya.
Terkait dengan KTKBM, UU no. 25/1992 mengindikasikan
bahwa ada dua jenis jasa yang diberikan oleh koperasi.
Yang pertama adalah jasa kesejahteraan untuk para
anggota, yang harus didanai dengan iuran dari para
TKBM yang dikumpulkan dari perusahaan-perusahaan yang
mempekerjakan mereka.
Jasa yang kedua adalah produk usaha jasa bongkar muat
dan pekerjaan terkait yang dijual oleh koperasi kepada
pihak-pihak yang bukan anggota koperasi. Menurut UU no.
25/1992, produk-produk usaha reguler ini tunduk kepada
aturan umum perilaku usaha.
UU no. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat secara khusus mengatur
koperasi. UU ini mendefinisikan monopoli dan menetapkan
peraturan yang dirancang untuk mencegah perilaku
monopoli. Akan tetapi, Pasal 50 UU ini menyatakan
bahwa kegiatan usaha koperasi yang dimaksudkan secara
khusus untuk melayani para anggotanya dikecualikan dari
ketentuan UU Anti Monopoli.
102
103
UU Terkait Lainnya
UU lain yang tidak secara khusus mengatur koperasi
juga memiliki dampak penting terhadap peran dan
fungsi KTKBM. SK Menhub no KM. 14/2002 tentang
Penyelenggaraan dan Pengusahaan Bongkar Muat dari dan
ke Kapal mendefinisikan Perusahaan Bongkar Muat (PBM)
Pembangunan Pelabuhan
Perkembangan Baru
Pada tanggal 29 Desember, 2011 sebuah surat keputusan
bersama baru, SKB/20114 dikeluarkan untuk menggantikan
SKB/2002. Berdasarkan SKB/2011, unit usaha KTKBM
dapat membentuk sub-unit dan/atau kelompok kerja
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan di pelabuhan.
Sebagaimana dijelaskan oleh seorang anggota tim yang
terlibat dalam penyusunan SKB/2011, tujuan pencantuman
ketentuan tersebut adalah agar KTKBM dari satu pelabuhan
dapat menawarkan jasa ke pelabuhan lainnya, sehingga
meningkatkan persaingan dan meminimalkan praktik
monopoli. Meski demikian, langkah ini tidak akan membawa
hasil yang optimal apabila sub-unit tersebut menguasai
pasar secara bersama-sama.
SKB/2011 juga mengubah SKB/2002 sehingga menyatakan
bahwa kegiatan bongkar muat yang membutuhkan ban
berjalan, pipanisasi, derek terapung, atau peralatan serupa
hanya dapat dilakukan oleh TKBM yang memiliki keahlian
dan kualifikasi yang diperlukan, dan jumlah TKBM yang
diperlukan yang harus digunakan. SK ini juga menyatakan
bahwa kegiatan tersebut harus dilakukan berdasarkan
permintaan dari pengguna jasa, dan unit usaha tersebut
hanya akan menerima upah TKBM sesuai dengan kualifikasi
dan jumlah TKBM yang melakukan pekerjaan. Ketentuan ini
dapat ditafsirkan bahwa pekerja terampil yang melakukan
kegiatan bongkar muat dengan menggunakan ban berjalan,
pipanisasi, derek terapung atau peralatan mekanis serupa
harus anggota Koperasi TKBM. Ada kekhawatiran bahwa
ketentuan tersebut dapat digunakan sebagai alasan untuk
terus mengenakan biaya TKBM meskipun kegiatannya tidak
menggunakan TKBM.
Pasal 9 SKB/2011 menentukan bahwa setiap kegiatan
bongkar muat yang terjadi di luar daerah kerja atau daerah
kepentingan pelabuhan harus dilakukan oleh KTKBM
di pelabuhan laut terdekat. Pasal ini juga menyatakan
bahwa kegiatan bongkar muat di terminal khusus harus
menggunakan TKBM. Bersama dengan Pasal 4, yang
mendefinisikan TKBM sebagai anggota koperasi, ini berarti
bahwa tidak ada kegiatan bongkar muat di mana pun yang
dapat dilakukan tanpa melibatkan KTKBM.
104
105
Saran Penulis
TKBM memegang peran yang penting di pelabuhan dan
harus didukung. Namun peraturan yang berlaku sampai saat
ini tampaknya memberikan perlindungan yang berlebihan.
KTKBM tidak disiapkan untuk menghadapi persaingan
terbuka. Dukungan yang diberikan kepada TKBM, KTKBM,
dan unit usaha dalam koperasi, harus mengembangkan
tingkat keterampilan dan mempersiapkan TKBM untuk
berpartisipasi dalam kegiatan bongkar muat yang semakin
sering menggunakan peralatan mekanis.
Untuk mencegah praktik monopoli yang merugikan, TKBM
harus dikelola oleh lebih dari satu koperasi penempatan
TKBM yang independen di setiap pelabuhan laut.
Tentang Penulis:
Jasief Sutopo Putrahardja saat ini adalah Dosen Nautika
pada Manajemen Pelayaran di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran
Indonesia. Ia juga adalah dosen Fakultas Teknik Universitas
Negeri Jakarta. Ia mengajar bidang Kajian Perhubungan Laut.
Ia memulai karirnya pada tahun 1966, pertama-tama sebagai
mualim di kapal dagang dan kapal AL, kemudian mengelola
kegiatan operasional dengan berbagai jabatan di Pelabuhan
Tanjung Priok. Ia juga pernah menjabat di Pelindo II dan PT EDI
Indonesia dalam kapasitas manajerial, serta AKR Corporindo
di Pelabuhan Guigang di Guang Xi, China. Selama dekade lalu
sebagian besar karyanya difokuskan pada pelatihan SDM.
CATATAN
1. Keputusan Bersama Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Direktur Jenderal Bina Hubungan Ketenagakerjaan dan Pengawasan Norma
Kerja, serta Direktur Jenderal Bina Lembaga Koperasi no. UM 52/1/9-89, KEP.103/BW/89, 17/SKD/BLK/VI/1989 tentang Pembentukan
dan Pembinaan Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat.
2. Keputusan Bersama Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Direktur Jenderal Pembinaan dan Pengawasan Tenaga Kerja, dan Deputi
Bidang Kelembagaan Koperasi dan UKM No. AL.59/II/12-02, no.300/BW/2002 dan No. 113/SKB/Dep-S/VIII/2002 tentang Pembinaan
dan Pengembangan Koperasi TKBM di Pelabuhan.
3. Seperti tertera dalam Undang-undang no 17/2008, Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) adalah wilayah perairan dan daratan pada
pelabuhan atau terminal khusus yang digunakan secara langsung untuk kegiatan pelabuhan; Daerah Lingkungan Kepentingan
(DLKp) adalah perairan di sekeliling daerah lingkungan kerja perairan pelabuhan yang dipergunakan untuk menjamin keselamatan
pelayaran.
4. Keputusan Bersama Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, dan Deputi
Bidang Kelembagaan Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah no.: UM.008/4.1/DJPL-11, no. 93/DJPPK/XII/2011, no.: 96/SKB/DEP.1/
XII/2011 tentang Pembinaan dan Penataan Koperasi TKBM di Pelabuhan.
Pembangunan Pelabuhan
106
Kemal Heryandri
107
tersebut, dan 33 perusahaan sudah mendaftar saat prakualifikasi. Mereka melihat Tanjung Priok begitu ramai,
dan akan dikembangkan. Biasanya, investor swasta akan
meminta dokumen pendukung berisi informasi yang
diperlukan, bagaimana hasil studi kelayakannya, kemudian
bagaimana potensinya, dan seterusnya. Mereka berpikir :
jika belum ada pelabuhan, sementara industri di wilayah
sekitarnya berkembang, pasti produksinya harus dibawa ke
pelabuhan yang agak jauh. Sementara kalau ada pelabuhan
di dekat lokasi industri, pengguna pelabuhan pasti akan lari
ke pelabuhan terdekat.
Pembangunan Pelabuhan
108
109
CATATAN
1. Minus 9 adalah sebuah cara untuk mengkategorikan ukuran kapal dengan mengacu kepada jarak antara bagian bawah kapal
dengan permukaan air. Banyak kapal yang berukuran lebih besar dari ini.
110
Pembangunan Pelabuhan
dalam angka
75%
9.5%
5
1:1
Rp 1
84%
Porsi dari jumlah peti kemas yang ditangani di 5 pelabuhan Indonesia terbesar
tahun 2009. Di seluruh Indonesia terdapat lebih dari 1700 pelabuhan.
75%
Perkiraan persentase kargo curah kering berupa batu bara yang ditangani di
pelabuhan Indonesia.
69%
Porsi volume peti kemas pada tahun 2009 yang ditangani di 50 pelabuhan teratas
di Indonesia, yang berasal dari perdagangan internasional.
triliun
600,000
m3
Jumlah endapan yang menumpuk setiap tahun di perairan Pelabuhan Pulau Baai
di Bengkulu. Pelindo II berencana untuk melakukan pengerukan secara berkala
dengan biaya awal Rp 70 miliar.
111
Erry Hardianto
Senior General Manager, Trade & Marketing Department
PT Maersk Line Indonesia
Langkah yang perlu diambil adalah pengintegrasian perencanaan dengan pihak yang relevan agar tercipta
konsistensi di setiap tingkat pemangku kepentingan, sehingga implementasi industri rantai suplai dapat berjalan
lancar dan dapat menekan biaya transportasi ke tingkat yang kompetitif dengan negara Asia lainnya. Perencanaan
infrastruktur pelabuhan sebaiknya didesain sesuai dengan kebutuhan kapasitas jangka panjang (umur ekonomis)
sampai dengan 50 tahun ke depan. Beberapa pelabuhan besar Asia bahkan didesain untuk umur ekonomis sampai
dengan 100 tahun. Selain itu, pembangunan dan pengembangan kawasan pelabuhan selayaknya disesuaikan
dengan kondisi geografis di Indonesia, dan melalui mekanisme pasar (business oriented) dapat ditentukan lokasilokasi di mana sistem kepelabuhanan yaitu pelabuhan pengumpul (hub and spoke) dan pelabuhan pengumpan
dapat dibangun. Hal ini akan sangat berguna untuk mendukung efisiensi anggaran.
Octavianus Sembiring
Vice President PT Bank Mandiri (Persero) Tbk
Corporate Banking I Group Relationship Department 3
Percepatan pembangunan pelabuhan di Indonesia dapat terlaksana dengan meningkatkan lebih banyak
partisipasi perbankan nasional. Kelayakan proyek, jumlah kredit besar dan jangka waktu yang panjang merupakan
tantangan utama bagi perbankan untuk membiayai sektor ini. Oleh karena itu yang merupakan pilihan ideal adalah
pembiayaan dana talangan dari perbankan secara sindikasi kepada perusahaan dan/atau pembiayaan proyek yang
dijamin asuransi kredit, dilanjutkan dengan penggantian struktur keuangan (refinancing) dengan sumber dana
jangka panjang seperti surat hutang (bond) atau saham (equity).
Saptono R. Irianto
Direktur Komersial dan Pengembangan Usaha
PT Pelabuhan Indonesia II (Persero)
Agar RIPN ( NPMP) dapat dilaksanakan secara efektif, perlu dikembangkan konsistensi dan simplifikasi birokrasi
perijinan dari Pemerintah, yang tetap fleksibel bagi BUP (Badan Usaha Pelabuhan) dalam menghadapi perubahan
dalam pola perdagangan (trade pattern) dan langkah-langkah untuk menekan biaya logistik secara umum.
POIN-POIN UTAMA
Seiring dengan terus berkembangnya cakupan, kompleksitas, dan biaya program pembangunan
internasional, peran Pemantauan & Evaluasi (M&E) menjadi semakin penting. M&E untuk
Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) menghadapi tantangan yang unik karena besarnya
pendanaan dan penting serta mendesaknya proyek infrastruktur yang didanai Pemerintah
Australia melalui kemitraan dengan Pemerintah Indonesia.
Pemantauan adalah penelusuran rutin atas unsur-unsur utama dari pelaksanaan program/
kegiatan (biasanya berupa masukan dan keluaran) melalui pemeriksaan reguler dan pelaporan.
Evaluasi adalah penyelidikan yang sistematis dan sporadis atas nilai, arti penting, atau makna
dari sesuatu atau seseorang sepanjang suatu kerangka kerja tertentu (misalnya program).
Penggunaan pendekatan kualitatif dan kuantitatif telah berkembang pesat selama beberapa
dekade lalu dalam bidang M&E. Di sisi kualitatif, tujuan dari penggunaan teknik-teknik tersebut
adalah untuk membuat suatu penjelasan non-numerik tentang pengalaman, karakteristik,
kinerja, dan dimensi lainnya dari suatu kegiatan. Pendekatan kuantitatif berfokus pada
kemampuan untuk mengumpulkan data numerik, khususnya selama waktu tertentu sehingga
perubahan dapat diukur.
Pendekatan kualitatif maupun kuantitatif dipergunakan di IndII. Dalam Revisi Rencana M&E
untuk Tahap 2 program IndII, perubahan besar dalam pendekatan adalah penekanan pada
penggunaan M&E sebagai alat manajemen dan perencanaan, bukan memandangnya sebagai
persyaratan pelaporan atau kontrak semata. Sebagai bagian dari perubahan ini, data baseline
yang berkualitas dikumpulkan dan hasil serta metodologi ditentukan secara eksplisit.
116
117
Sepanjang tahun lalu tim M&E IndII bekerja sama dengan staf
teknis untuk mengembangkan kerangka kerja logis2 untuk
sektor transportasi serta sektor air minum dan sanitasi.
Model tersebut memberikan kerangka kerja untuk strategi
perencanaan dan komunikasi serta hasil yang diinginkan.
Tentang Penulis:
Ty Morrissey adalah Ahli Pemantauan & Evaluasi (M&E).
Ia memiliki pengalaman selama 15 tahun dalam hal desain
program dan M&E. Ia telah mendesain berbagai sistem dan
kerangka kerja M&E untuk program-program AusAID berskala
besar di Papua Nugini, China, Afghanistan, dan Indonesia.
Ty memiliki gelar sarjana dalam bidang studi pembangunan
dan gelar Master dalam bidang Administrasi Bisnis. Ia saat
ini sedang menyelesaikan pendidikan Master kedua dalam
bidang Evaluasi.
CATATAN
1. Kisah sukses (performance stories) adalah laporan singkat yang berupaya menjelaskan mekanisme yang digunakan agar kegiatan
program mencapai hasil yang diinginkan.
2. Kerangka kerja logis adalah representasi grafis, seringkali dalam bentuk bagan, yang menunjukkan langkah demi langkah bagaimana
input program dan kegiatan diharapkan mencapai hasil yang diinginkan.
118
119
Itu pertanyaan yang bagus dan sesuatu yang perlu kita ingat
di IndII. Kita adalah sebuah proyek, bukan lembaga riset, dan
kita tidak punya mandat untuk selalu melakukan riset. Dengan
menentukan apa yang ingin kita lihat dan apa yang ingin
kita ukur, kita membuat kerangka kerja untuk menentukan
pendekatan yang paling sesuai. Setiap kegiatan akan melakukan
studi baseline atau studi dampak, namun kita cenderung
memprioritaskan dan menyesuaikan pendekatan kita dengan
ukuran program. Panduan dari Pemerintah Australia adalah
bahwa kegiatan harus mengalokasikan sekurang-kurangnya 5
persen dari anggaran untuk M&E. Angka ini terus meningkat
ada kabar sekarang sebesar 1015 persen. Jumlah berapa
pun hanya merupakan panduan kasar. Jika kegiatannya rumit
atau memiliki kepentingan strategis bagi Pemerintah Indonesia
dan Pemerintah Australia, kami mungkin akan berupaya
mengembangkan metodologi yang lebih mendalam. Jadi,
pengeluaran disesuaikan lebih pada kebutuhan khusus suatu
kegiatan, bukan mengambil pendekatan menyeluruh untuk
M&E secara umum.
120
POIN-POIN UTAMA
Karena masyarakat melekatkan peran yang berbeda antara perempuan dan laki-laki, mereka
memiliki pengalaman, kebutuhan, dan pendapat yang berbeda. Masyarakat mungkin
memandang laki-laki sebagai pengambil keputusan dan menganggap tidak perlu untuk
melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan publik. Pendidikan dan pelatihan
mungkin lebih dititikberatkan pada laki-laki, karena mereka dipandang sebagai pencari
penghasilan bagi keluarga.
Hakikat dari pembangunan adalah untuk menuju masyarakat yang adil dan setara. Pekerjaan
pembangunan dapat menyumbang pada peningkatan kesetaraan gender apabila dilakukan
upaya untuk menjamin dihapuskannya kesenjangan gender dan bahwa perempuan
berpartisipasi dan memperoleh manfaat yang setara dengan laki-laki. Ini akan membawa
manfaat ekonomis dan sosial dengan mendorong adanya pencapaian produktivitas,
peningkatan kesejahteraan anak, serta menuju kebijakan publik yang lebih komprehensif.
Baik pemerintah Indonesia maupun Australia menetapkan kebijakan dan peraturan untuk
memajukan kesetaraan gender. Dibidang infrastruktur, pembangunan yang memberi manfaat
baik bagi laki-laki maupun perempuan secara setara sangat penting untuk meningkatkan
kesetaraan gender.
Perempuan dan anak perempuan adalah para pemakai dan pengelola utama air untuk
keperluan rumah tangga, dan mereka biasanya juga dipandang sebagai penanggung jawab atas
higiene rumah tangga. Oleh karena itu, ketika akses pada air minum dan sanitasi ditingkatkan,
mereka akan memperoleh manfaat dari berkurangnya waktu dan energi yang dihabiskan
untuk mengangkut air, dan dari berkurangnya penyakit, serta waktu yang dihabiskan untuk
merawat anggota keluarga yang sakit.
Akses terhadap transportasi yang memadai penting bagi semua orang, meskipun pengaruhnya
akan berbeda bagi perempuan dan laki-laki. Karena peran gender mereka, perempuan dan
laki-laki serta anak perempuan dan anak laki-laki memiliki kebutuhan, prioritas, dan pola
perjalanan yang berbeda. Ini harus diidentifikasi dan dipertimbangkan ketika merencanakan
dan melaksanakan layanan transportasi untuk menjamin bahwa layanan yang disediakan
memenuhi kebutuhan perempuan maupun laki-laki.
Tujuan IndII, proyek yang didanai oleh AusAID, sebagaimana diungkapkan dalam strategi
gender IndII, adalah untuk melakukan kegiatan yang tanggap gender di mana perempuan
dan laki-laki memiliki kesetaraan dalam berpartisipasi, mengakses, mengendalikan sumber
daya, dan kesempatan dalam pengambilan keputusan; dan mereka secara berimbang dapat
menikmati manfaat pembangunan baik di tingkat pemerintah maupun masyarakat.
122
123
124
125
Pada saat mengambil keputusan, perempuan mungkin memiliki sudut pandang yang
berbeda dari laki-laki.
126
127
Pendekatan IndII
Tujuan IndII, proyek yang didanai oleh AusAID,
sebagaimana diungkapkan dalam strategi gender IndII,
adalah melaksanakan kegiatan yang tanggap gender
di mana perempuan dan laki-laki memiliki kesetaraan
dalam berpartisipasi, mengakses, mengendalikan sumber
daya, serta mendapat kesempatan dalam pengambilan
keputusan; dan mereka secara berimbang dapat menikmati
manfaat pembangunan baik di tingkat pemerintah maupun
masyarakat. Kegiatan monitoring IndII mencakup kajian
terhadap relevansi dan efektifitas penyusunan program
karena harus terkait dengan kesetaraan gender.
Banyak dari kegiatan IndII memiliki komponen pembangunan
kapasitas pemerintah. Berbagai upaya dilakukan untuk
menjamin bahwa perempuan memiliki peluang setara
untuk dipilih, untuk berpartisipasi, termasuk dalam posisi
kepemimpinan. Kegiatan pembangunan kapasitas yang
ditawarkan mungkin mencakup informasi relevan mengenai
gender dan kesetaraan gender.
Tentang Penulis:
Gaynor Dawson adalah seorang pakar analisis gender dan
sosial dengan pengalaman kerja selama lebih dari 15 tahun
pada proyek dukungan pembangunan di Indonesia, India,
Timor Timur, Republik Rakyat Laos, Kamboja, dan Vietnam.
Gaynor menyusun strategi gender IndII, dan memimpin
program gender IndII, yang meliputi penggabungan prakarsa
gender ke dalam rancangan kegiatan IndII, pembangunan
kapasitas untuk pengarusutamaan gender IndII dengan
lembaga mitranya, serta pengawasan dan evaluasi dampak
gender IndII. Ia juga memberi pelatihan pengembangan
kapasitas bagi staf dan konsultan IndII.
Gaynor telah bekerja secara luas di sektor air minum dan
sanitasi serta sektor pertanian, pendidikan, kesehatan,
sumber daya air, lingkungan hidup, energi, dan transportasi. Ia
memiliki gelar PhD di bidang Kajian Asia dan Kajian Perempuan
serta telah menulis buku dan berbagai artikel mengenai
gender dan pembangunan. Ia telah melakukan penelitian
akademis dan memberi konsultasi di seluruh Indonesia sejak
tahun 1986 dan fasih berbahasa Indonesia.
CATATAN
1. Laporan Pembangunan Dunia 2012: Kesetaraan Gender dan Pembangunan (Gender Equality and Development World Development
Report 2012). Bank Dunia.
2. Konvensi Internasional Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention for the Elimination of All
Forms of Discrimination Against Women, CEDAW) yang diadopsi oleh PBB pada tahun 1979 dan diratifikasi oleh 187 negara, termasuk
Indonesia dan Australia, menetapkan kerangka kerja untuk kemajuan dan kesetaraan perempuan.
3. Laporan Pembangunan Dunia 2012: Kesetaraan Gender dan Pembangunan (Gender Equality and Development World Development
Report 2012). Bank Dunia.
4. Kesetaraan gender dalam program bantuan Australia mengapa dan bagaimana 2007 (Gender equality in Australias aid program why
and how 2007). AusAID.
5. Temuan mengenai imunisasi terdapat dalam survei proyek Ibu Sehat Bayi Sehat di Sulawesi Tenggara. Survei tersebut bersifat kuantitatif
murni dan tidak mengkaji penyebab terjadinya temuan tersebut. Data nutrisi adalah dari laporan Badan Pusat Statistik dan juga tidak
menyertakan penjelasan.
6. Memajukan Peluang bagi Semua Orang: Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (Promoting Opportunities for All: Gender
Equality and Womens Empowerment). AusAID. 2011.
7. Sebagai contoh, kajian Gender dalam Air Minum dan Sanitasi WSP (WSP Gender in Water and Sanitation) (November 2010) mengungkap
bahwa di Uganda timur, perempuan menghabiskan 660 jam setiap tahun atau total dua bulan setahun untuk mengambil air untuk
keluarga mereka.
8. Gender dalam Air Minum dan Sanitasi (Gender in Water and Sanitation). Program Air Minum dan Sanitasi. Bank Dunia. November 2010.
128
POIN-POIN UTAMA
Peranan Evaluasi Dampak adalah untuk menentukan apakah pencapaian positif seperti
masyarakat yang lebih sehat atau penurunan angka kecelakaan di jalan raya terjadi karena
adanya dukungan donor. Hal ini dapat bersifat kualitatif atau kuantitatif, meski pendekatan
kuantitatif pada umumnya dianggap lebih tepat. Uji Acak Terkendali (RCT, Randomised Control
Trials) merupakan standar unggulan dalam Evaluasi Dampak karena memberikan informasi
akurat melalui penggunaan analisis kontrafaktual dengan kata lain, memberi jawaban atas
pertanyaan: Apa yang akan terjadi seandainya intervensi ini tidak dilakukan?
RCT telah digunakan sejak 1948 di bidang kesehatan, dan telah diterima oleh disiplin ilmu
lainnya, termasuk ilmu pengetahuan sosial. Di bidang pembangunan, RCT digunakan untuk
menganalisis dampak dari dukungan yang disediakan di berbagai bidang seperti pendidikan,
keuangan mikro, kesejahteraan sosial, dan infrastruktur.
Prinsip kerja RCT adalah membagi rumah tangga atau individu menjadi kelompok partisipan
(treatment group) dan kelompok non-partisipan (control group) secara acak, kemudian
membandingkan indikator kesejahteraan kedua kelompok tersebut setelah program dukungan
berjalan. RCT memiliki beberapa keunggulan dibandingkan metode Evaluasi Dampak lainnya.
Berbeda dengan pendekatan sebelum dan sesudah, metode ini dapat mengisolasi dampak
yang timbul langsung dari intervensi itu sendiri. Pelaksanaan RCT relatif lebih sederhana dan
mampu membuahkan hasil yang bermakna, meski tidak ada data dasar (baseline data).
Metode RCT sering diterapkan untuk studi pada program air minum dan sanitasi.
Implementasinya di sektor transportasi tidak mudah karena proyek-proyek seperti
pembangunan jalan raya biasanya dikembangkan berdasarkan karakteristik khusus wilayah
setempat, sehingga tidak dimungkinkan untuk secara acak memilih kelompok partisipan dan
kelompok non-partisipan.
Pada saat RCT tidak dapat digunakan, maka Evaluasi Dampak secara kuantitatif dapat dilakukan
dengan metode non-eksperimental seperti Perbedaan-dalam-Perbedaan (DD, Differences-inDifferences) atau Pencocokan Nilai-Kedekatan (PSM, Propensity-Score Matching). Perbedaan
utama antara metode non-eksperimental dengan RCT adalah pemilihan sampel yang tidak
dilakukan secara acak.
Pada praktiknya, sebagian besar studi Evaluasi Dampak di masyarakat penerima donor yang
menggunakan pendekatan kuantitatif dilakukan dengan mengkombinasikan beberapa metode
sekaligus. IndII merancang studi RCT untuk mengevaluasi dampak berbagai program di sektor
air minum, sanitasi, dan transportasi di seluruh Indonesia. Keterbatasan RCT akan diatasi
dengan menggabungkan penggunaannya dengan metode kuantitatif dan kualitatif lainnya.
130
131
Pengaruh Program:
Perbedaan antara
hasil kelompok
partisipan dan
kelompok
non-partisipan
Uji Acak Terkendali, yang secara acak membagi populasi menjadi kelompok
partisipan dan kelompok non-partisipan, berfungsi paling baik untuk populasi
berjumlah besar.
132
133
Tentang Penulis:
Anggita Cinditya Mutiara Kusuma adalah seorang Peneliti
dan Analis Data pada tim Pemantauan & Evaluasi serta gender
di IndII. Ia memiliki pengalaman sebelumnya sebagai Asisten
Peneliti pada Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat
(LPEM) dari Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia (UI),
dan juga pernah menjadi Asisten Peneliti pada Lembaga
Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Fakultas Hukum UI.
Topik yang pernah dikaji mencakup iklim investasi Indonesia,
pembagian penghasilan optimal bagi Pemerintah Indonesia
dan investor swasta dalam industri pertambangan batubara,
serta kinerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha Indonesia. Ia
memiliki gelar Master dalam bidang Ekonomi dan Keuangan
Publik dari Universitas Rennes 1, dan gelar Sarjana Ekonomi
dari UI.
CATATAN
1. Metodologi dan hasil penelitian dari lembaga ini dapat ditemukan di sini: http://www.povertyactionlab.org/
2. Impact Evaluation for Mozambiques Rural Water Supply Project. The Millennium Challenge Corporation (MCC). 2009.
3. Impact of Improved Water Supply on Water Borne Diseases. Bank Pembangunan Asia. 2009
4. A Review of Recent Developments in Impact Evaluation. Bank Pembangunan Asia. 2011
5. Jamuna Multipurpose Bridge Project (JMBP). Japan Bank for International Cooperation (JBIC).2006.
134
POIN-POIN UTAMA
Dalam ranah penyusunan program pembangunan, risiko timbul akibat sifat dari pekerjaan
bersangkutan, yang biasanya melibatkan lingkungan yang menantang, pengaturan kontraktual
yang rumit, dan pengaturan hubungan dengan berbagai pihak. Dalam bidang pembangunan
infrastruktur, risiko tersebut seringkali berupa kombinasi dari beberapa risiko, akibat
luasnya skala program, serta tingkat keperluan pembelanjaan signifikan yang dibutuhkan.
Menghilangkan semua risiko bukan merupakan sesuatu yang dimungkinkan maupun
dikehendaki. Lebih tepatnya, pendekatan yang benar adalah mengelola risiko secara efektif.
Organisasi Internasional untuk Standardisasi (ISO, International Organization for
Standardization), dalam standar manajemen risiko (ISO 31000:2009), mendefinisikan risiko
sebagai: dampak ketidakpastian pada sasaran. Manajemen risiko didefinisikan sebagai
perangkat manajemen yang digunakan untuk menilai dan melakukan tindakan mitigasi
terhadap kejadian-kejadian yang mungkin dapat berdampak merugikan pada suatu organisasi.
Langkah pertama dalam manajemen risiko adalah melakukan penilaian risiko awal untuk
mengidentifikasi lapisan-lapisan risiko. Untuk program yang kompleks seperti IndII, secara
garis besar dapat dikenali tiga lapisan risiko: pertama pada tingkat fasilitas itu sendiri, kedua
pada tingkat komponen, dan ketiga pada tingkat kegiatan/proyek.
Langkah-langkah berikutnya adalah untuk menentukan tingkat penerimaan risiko (risk
appetite) kemudian menyusun profil risiko. Menetapkan tingkat penerimaan risiko berarti
membuat keputusan mengenai risiko apa yang siap diambil oleh sebuah organisasi. Profil
risiko mengidentifikasi, menilai, dan mengevaluasi risiko utama: seberapa besar kemungkinan
risiko yang telah diidentifikasi akan terjadi? Apabila terjadi, apa konsekuensinya?
Standar Manajemen Risiko Australia (Australian Standard for Risk Management) (AS/NZS
ISO 31000:2009) menawarkan pendekatan manajemen risiko yang sesuai untuk program
pembangunan infrastruktur berskala besar. Langkah-langkah tersebut meliputi: menetapkan
konteks; mengidentifikasi risiko; melakukan analisis risiko; menilai dan memprioritaskan
risiko; menyusun dan melaksanakan penanganan risiko; pemantauan dan pengkajian risiko;
berkomunikasi dan berkonsultasi.
Ketika rencana manajemen risiko disusun untuk sebuah proyek infrastruktur, tanggung
jawab keseluruhan untuk penyusunan dan pelaksanaannya biasanya berada pada direktur
(proyek, dengan dukungan dari para pimpinan tim dan staf teknis. Namun, semua personel
bertanggung jawab untuk mengidentifikasi dan mengelola risiko.
136
Menetapkan Konteks
(memahami peranan, strategi, dan struktur IndII serta
lingkungan operasinya dan menetapkan kriteria untuk
mengevaluasi risiko)
Mengidentifikasi Risiko
(mengidentifikasi apa dan bagaimana sesuatu dapat terjadi)
Analisis
(menetapkan kemungkinan dan konsekuensi terjadinya risiko
untuk menetapkan tingkat risiko. Ini termasuk memahami
kendali-kendali yang ada untuk mencegah
terjadinya skenario risiko)
Menilai dan Menetapkan Prioritas
(menentukan apakah risiko tersebut dapat diterima oleh IndII)
Penanganan Risiko
(apabila risiko tersebut tidak dapat diterima oleh IndII, maka
harus ditetapkan penanganan risiko yang diimplementasikan
untuk mencapai tingkat risiko yang dapat diterima)
137
program,
kategori-kategori
yang
berpotensi timbul dalam program
bantuan yang menjalankan proyek/
kegiatan mencakup: tata kelola,
keuangan, manusia, serta komunikasi
dan pelaporan. Pada tingkat proyek/
kegiatan, kategori-kategori yang biasa
muncul dapat mencakup: anggaran,
jadwal, pengambilan keputusan, dan
pelaksanaan kegiatan.
Mengidentifikasi
risiko
idealnya
dilakukan
melalui
pendekatan
kolaboratif yang melibatkan berbagai
aspek sudut pandang para pemangku
kepentingan dan dicatat dalam Daftar
Risiko (Risk Register). Segala risiko
yang dapat dibayangkan, termasuk
halangan yang dapat menghentikan
kegiatan (show stoppers) perlu
Tidak berarti suatu kegiatan tidak harus dicoba hanya karena kegiatan tersebut
mengandung risiko. Mengelola risiko tidak berarti menghindarinya sama sekali.
Penarik becak ini memilih untuk tetap mencari nafkah meskipun harus menembus
lalu lintas yang ramai; sama seperti sebuah organisasi yang memilih untuk
menanggung risiko tertentu mengingat adanya imbalan.
138
139
Hampir Pasti
Diperkirakan
akan terjadi
dalam sebagian
besar situasi
Kemungkinan
Besar
Ada
kemungkinan
terjadi dalam
sebagian besar
situasi
KONSEKUENSI/DAMPAK
Parah
Akan
menghentikan
pencapaian
sasaran dan
tujuan
Besar
Akan
mengancam
sasaran
dan tujuan;
memerlukan
pengelolaan
ketat
Mungkin
Dapat terjadi
pada suatu
saat
Sedang
Memerlukan
penyesuaian
secara
signifikan pada
keseluruhan
program
Kemungkinan
Kecil
Tidak
diperkirakan
akan terjadi
Kecil
Akan
mengancam
salah satu unsur
dari program
Jarang
Dapat terjadi
hanya dalam
kondisi luar
biasa
Dapat
diabaikan
Prosedur rutin
sudah cukup
untuk mengatasi
konsekuensinya
Dapat
Diabaikan
Kecil
Sedang
Besar
Besar
Hampir Pasti
VH
VH
Kemungkinan
Besar
VH
VH
Mungkin
Kemungkinan
Kecil
Jarang
VH
Risiko
RENDAH
Risiko
SEDANG
Risiko
TINGGI
Risiko
SANGAT TINGGI
Toleransi
Lebih
Dikehendaki
Tidak
Dikehendaki
Dapat
Diterima
Tidak Dapat
Diterima
4 M Rencana
ID
Kejadian
Berisiko
peristiwa
eksternal
mempengaruhi
kemampuan
untuk
beroperasi
di seluruh
Indonesia atau
di wilayahwilayah
geografis
utama Flu
Burung
staf
Hilangnya
kontinuitas
proyek
Penanganan
Risiko
Tanggung
jawab
Direktur
Proyek
Keamanan,
Keselamatan,
dan Darurat
(terkait dengan
jenis situasi
seperti ini)
disusun dan
ditinjau ulang
secara berkala
KURANGI
KEMUNGKINAN
PILIHAN
SEBARKAN
BAGIKAN
ALIHKAN
HINDARI
Kurangi salah
satu atau
keduanya
Sebarkan risiko
kepada pihak
ketiga
Susun
tindakan
darurat
Asuransikan
kerugian
finansial
Tentang Penulis:
Peter White adalah seorang spesialis manajemen risiko,
yang terlibat dengan SMEC/IndII untuk melaksanakan
dan mengelola penyusunan dan pemeliharaan Rencana
Manajemen Risiko IndII dan, ketika diperlukan, memberi
masukan mengenai risiko pada berbagai prakarsa proyek baru.
Ia telah bekerja di bidang manajemen proyek dan manajemen
risiko sebagai konsultan independen selama 20 tahun terakhir,
dengan tugas-tugas terkait risiko yang meliputi perannya
di IndII, peran yang serupa pada Program Bantuan Sektor
Transportasi (Transport Sector Support Program) di Papua
Nugini, melakukan analisis risiko dan menyusun laporan
manajemen risiko bulanan untuk sebuah program energi yang
kompleks, serta menjalankan sejumlah peranan manajemen
risiko untuk berbagai proyek, mulai dari pelaksanaan Program
Sumber Daya Perusahaan (Enterprise Resource Programs)
hingga manajemen proyek, dan manajemen risiko untuk
transisi dan pelaksanaan sebuah lingkungan kelompok
teknologi informasi terpadu. Peter menjabat sebagai direktur
di Flavour Solutions Pty Ltd.
140
POIN-POIN UTAMA
Lingkungan hidup sebagai urusan lintas sektoral mengacu pada banyak sistem yang rumit:
lingkungan biofisika, lingkungan buatan (termasuk infrastruktur lunak dan keras), lingkungan
sosial (budaya), dan lingkungan ekonomi. Definisi lingkungan hidup yang digunakan oleh
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia mengakui bahwa lingkungan biologis dan
fisik tidak bisa dipisahkan dari manusia dan interaksi mereka dengan lingkungan sekitar.
EPBC Act 1999 adalah dasar legislasi/hukum untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup di Australia. Di Indonesia, beberapa bagian perundang-undangan mengatur pengelolaan
lingkungan hidup; terutama UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup; Peraturan pemerintah No 27/1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup; dan Permeneg Lingkungan Hidup 05/2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau
Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Secara
bersamaan, kerangka kerja tersebut menguraikan sejumlah perlindungan lingkungan hidup
dan sosial yang harus dilaksanakan dalam kegiatan pembangunan infrastruktur dalam Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal).
Kebutuhan akan pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan didasari atas asumsi bahwa
kelompok masyarakat dan individu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ekosistem
sekitar, dan bahwa pengelolaan hanya berkelanjutan jika kondisi manusia dan kondisi
ekosistem (dan sistem buatan) tidak terancam pada tingkat yang tak bisa diperbaiki. Dampak
lingkungan hidup adalah perubahan langsung atau tak langsung terhadap lingkungan hidup,
baik negatif ataupun positif, menyeluruh atau sebagian, sebagai akibat dari suatu kegiatan.
Analisis dampak lingkungan hidup dapat lakukan pada tiga tingkat: tingkat negara; tingkat
daerah, sektoral, atau kebijakan makro; dan tingkat proyek atau kegiatan.
Amdal meliputi prediksi dan evaluasi kemungkinan dampak kegiatan, termasuk dampak
kumulatif terhadap lingkungan hidup secara keseluruhan, selama konstruksi, uji layak
operasional, dan operasional, serta pasca-operasional. Proses Amdal Indonesia mengalami
tantangan karena sejumlah faktor, termasuk: tingkat pemahaman yang beragam pada tingkat
provinsi; kemampuan perusahaan yang beragam dalam melaksanakan Amdal; pentingnya
konsultasi publik; kecermatan yang berkembang dalam analisis dampak sosial; permasalahan
yang tumbuh dalam perubahan iklim; penegakan lingkungan hidup; dan pengaruh politik
terhadap proses.
142
143
Pertimbangan Rumit: Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dalam Pembangunan Infrastruktur
Menetapkan Keberlanjutan
Kebutuhan akan pengelolaan lingkungan hidup yang
berkelanjutan didasari atas asumsi bahwa kelompok masyarakat
dan individu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
ekosistem sekitar, dan bahwa pengelolaan hanya berkelanjutan
Prakarsa Compendium | Jilid 2
Mengevaluasi Dampak
Analisis dampak lingkungan hidup dapat dilakukan pada salah
satu dari tiga tingkat: tingkat negara (Dampak Lingkungan
Hidup Negara); tingkat regional, sektoral atau kebijakan
makro (Strategic Environmental Assessment/SEA atau
Analisis Lingkungan Hidup Strategis); dan tingkat proyek atau
kegiatan, dikenal dengan Amdal. SEA melibatkan analisis
terhadap permasalahan lingkungan hidup secara luas guna
meningkatkan kualitas dan efisiensi analisis lingkungan hidup
berikutnya. SEA dapat membantu mengidentifikasi hubungan
antara kemiskinan dan lingkungan hidup pada tingkat daerah,
negara, atau program.
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal)
meliputi prediksi dan evaluasi kemungkinan dampak kegiatan,
termasuk dampak kumulatif terhadap lingkungan hidup
secara keseluruhan, selama konstruksi, uji layak operasi,
dan pengoperasian, serta pasca-operasi. Hal ini mencakup
perancangan langkah-langkah pencegahan, penanganan, dan
peningkatan yang tepat yang menangani dampak-dampak
tersebut guna melindungi kesejahteraan lingkungan hidup
dan komunitas. Langkah penanganan dirumuskan dalam
Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup. Rencana Pemantauan
Lingkungan Hidup digunakan untuk melacak pelaksanaannya.
Semua kegiatan yang diajukan IndII harus disaring untuk
mengidentifikasi permasalahan lingkungan hidup dan potensi
dampak lingkungan hidup. Analisis awal lingkungan hidup
ini merupakan landasan untuk memastikan bahwa semua
kegiatan dapat mematuhi baik EPBC Act milik Australia dan PP
No 27/1999 milik Indonesia. Analisis awal lingkungan hidup
idealnya harus muncul pada saat identifikasi kegiatan dan
analisis awal dan harus dilakukan paling lambat pada tahap
awal persiapan kegiatan. Analisis awal ini meliputi jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan saringan yang ditampilkan dalam
Boks 2. Tergantung pada jawaban yang diberikan, langkah
berikutnya bisa berupa SEA tingkat sektor atau Amdal tingkat
proyek.
3.
4.
5.
Tatangan
Seperti banyak kerangka kerja lain yang sejenis, proses Amdal
Indonesia mengalami tantangan karena sejumlah faktor.
Faktor-faktor tersebut adalah:
Tingkat pemahaman proses Amdal yang berbeda-beda
pada tingkat provinsi. Kemampuan memberi pengawasan,
bimbingan, dan pendidikan atas proses Amdal berbeda-beda di
antara lembaga/dinas perlindungan lingkungan hidup provinsi
dan daerah dan lembaga lini yang bersangkutan. Beberapa
dinas perlindungan lingkungan hidup dibekali keahlian teknis
dan staf yang bagus, sementara yang lain kurang mampu.
144
145
Pertimbangan Rumit: Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dalam Pembangunan Infrastruktur
Gambar 1: Perizinan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Proses Perizinan Lingkungan Hidup Pemerintah Indonesia
Proposal Kegiatan
Perlu Amdal
Pengumuman & Konsultasi
Masyarakat
Persiapan Kerangka
Acuan Amdal
Telaah Administratif
Hasil KAA
Persiapan ALH & RKL/RPL
Permintaan Telaah ALH &
RKL/RPL
Telaah Administratif
Perlu UKL/UPL
Permintaan Telaah
UKL/UPL
Telaah Administratif
Pemeriksaan UKL/UPL
SKKLH
Rekomendasi
UKL/UPL
Tidak
Layak
Tentang Penulis:
Colin Millette adalah seorang perencana lingkungan
hidup dan spesialis evaluasi program yang berpengalaman
lebih dari 20 tahun dalam mengelola dan melaksanakan
proyek lapangan untuk program bantuan teknis dalam
pengembangan kemampuan, pengelolaan lingkungan hidup,
evaluasi program, dan pengembangan komunitas yang
berkelanjutan. Ia akrab dengan protokol-protokol UNDP, CIDA,
AusAID, Bank Dunia, dan ADB dari berbagai tugas kerja jangka
panjang dan pendek. Spesialisasinya adalah Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup dan Analisis Mengenai Dampak
Sosial (meliputi proyek infrastruktur linear, misalnya jalan
atau jalan bebas hambatan, jalur transmisi, infrastruktur air
minum, dan sarana operasional kota); serta evaluasi program
(evaluasi keikutsertaan, evaluasi jangka menengah dan
dampak, dan penilaian kemampuan lembaga). Sebagai Master
dalam Perencanaan dan Pembangunan Perkotaan, ia seorang
negosiator yang terampil dalam penyelesaian sengketa
alternatif, dan penerjemah Bahasa Indonesia.
CATATAN
1. EPBC Act 1999.
2. Dulunya Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 11 tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib
Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
3. IndII, 2011, Buku Panduan Environmental Compliance Strategy and Environmental Management Process (ECOMAP atau Kepatuhan terhadap
Lingkungan Hidup dan Proses Pengelolaan Lingkungan Hidup).
4. AusAID, tidak diterbitkan, Environmental Management Guide for Australias Aid Program 2011 (Panduan Pengelolaan Lingkungan Hidup
untuk Program Bantuan Australia 2011), versi revisi tak resmi, Australian Agency for International Development (AusAID), Canberra.
5. Penelitian aksi adalah proses penyelidikan interaktif yang menyeimbangkan tindakan pemecahan masalah yang diterapkan dalam konteks
kerja sama dengan analisis atau penelitian kerja sama berbasis data untuk memahami penyebab yang mendasarinya, yang memungkinkan
prediksi masa depan tentang perubahan pribadi dan organisasi (Reason & Bradbury, 2002). Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Action_
research
Prakarsa Compendium | Jilid 2
146
POIN-POIN UTAMA
Setiap orang berhak berharap akan transportasi yang nyaman, aman, dan terjangkau, termasuk
mereka dengan kebutuhan khusus, seperti perempuan, anak-anak, lansia, dan penyandang
cacat. Keadaan kelompok tersebut harus dipertimbangkan dalam rangka membangun sarana
transportasi yang memadai. Pendekatan ini telah ditegaskan oleh Pemerintah Indonesia, yang
memiliki strategi formal untuk pengarusutamaan gender.
Ketanggapan gender dalam transportasi (baik darat, laut, atau udara) melibatkan infrastruktur
fisik; penyediaan jasa; serta pengembangan kebijakan, standar, dan prosedur operasional.
Kesuksesan dapat dinilai dari segi kriteria kinerja, seperti kelayakan, keteraturan, frekuensi,
ketepatan waktu, keterjangkauan harga, akses, keselamatan, kecepatan, dan keterpaduan
dengan sarana transportasi lain.
Dalam praktiknya, kepedulian gender dan hal serupa belum ditangani secara efektif dalam
sistem angkutan umum. Pelecehan seksual dan bahkan pemerkosaan menjadi masalah.
Sarana umum yang mengakomodasi kebutuhan penyandang cacat, lansia, anak-anak, dan
perempuan hamil masih terbatas.
Kementerian Perhubungan telah mengambil beberapa langkah, seperti mendirikan
Kelompok Kerja (Pokja) Pengarusutamaan Gender. Pokja ini telah menerbitkan panduan,
melakukan pelatihan, dan berkolaborasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak guna meningkatkan pengumpulan data pilah berdasarkan jenis kelamin.
Tantangan yang ada mencakup kurangnya kemampuan dan kemauan; dibutuhkannya
pemahaman yang lebih baik terhadap alat analisis; perputaran staf; dan ketersediaan data.
Seluruh pemangku kepentingan harus mendukung Kemenhub dalam mengatasi kesulitan ini
dan dalam menjalankan prakarsa yang progresif, seperti survei persepsi masyarakat, kampanye
publik tentang hak atas perjalanan yang aman; dan memberi kemudahan bagi korban untuk
melaporkan pelanggaran kepada polisi.
148
149
Angkutan Umum yang Aman dan Nyaman untuk Semua: Sebuah Upaya Pencapaian
150
151
Angkutan Umum yang Aman dan Nyaman untuk Semua: Sebuah Upaya Pencapaian
Tantangan
Mengembangkan
sistem
yang
sepenuhnya
mempertimbangkan kepedulian gender adalah cita-cita
yang membutuhkan upaya serius untuk dicapai, terutama
di sektor transportasi yang kebanyakan pengambil
keputusannya adalah laki-laki. Tak diragukan lagi, besarnya
tantangan itu merupakan alasan mengapa UU dan peraturan
belum diterapkan secara penuh. Diperlukan upaya yang
berkelanjutan untuk mengatasi kendala-kendala untuk
mencapai pengarusutamaan gender. Kendala-kendala
tersebut adalah:
Kurangnya kemampuan, dan kemauan, untuk
menerapkan kebijakan soal gender.
Tentang Penulis:
Eko Setyo Utomo adalah Staf Pengarusutamaan Gender IndII.
Selama dekade terakhir ini, ia menangani permasalahan
terkait pengarusutamaan gender dan anti-perdagangan
manusia. Sebelum bergabung di IndII, ia berafiliasi dengan
proyek yang dijalankan oleh International Catholic Migration
Commission (Komisi Migrasi Katolik Internasional) untuk AntiPerdagangan Manusia Lintas Perbatasan Indonesia-Malaysia.
Beberapa jabatannya antara lain: Direktur Eksekutif untuk
Institut Hak Asasi Perempuan, Ketua Tim Pengarusutamaan
Gender Yogyakarta, dan Koordinator Advokasi Kebijakan di
Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi,
Wilayah Yogyakarta. Ia juga pernah melakukan konsultasi
independen tentang pengarusutamaan gender, evaluasi
program, dan topik lainnya untuk organisasi pembangunan
lokal dan internasional. Ia adalah lulusan Fakultas Syariah
(Hukum Islam) di Universitas Islam Sunan Kalijaga.
CATATAN
1. Panduan Pengintegrasian Aspek Gender dalam Perencanaan dan Penganggaran dari Kementerian Perhubungan.
2. Gender and Urban Transport: Fashionable and Affordable. Modul 7a. Sustainable Transport: A Sourcebook for Policy Makers in
Developing Cities. GTZ and Federal Ministry for Economic Cooperation and Development.
152
153
154
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Waktu Kecelakaan
800
600
400
200
0
0
Laporan Analitis
Data yang tersimpan dapat digunakan untuk berbagai
tujuan di luar pembuatan laporan kecelakaan individual.
Sistem ini dapat menghasilkan ringkasan kecelakaan
mingguan dan bulanan di kabupaten atau provinsi. Ini
tersedia dalam bentuk presentasi grafis yang memberikan
gambaran singkat mengenai situasi. Misalnya, Gambar 1
menunjukkan jumlah kecelakaan di Jawa Tengah, dibagi
berdasarkan jenis, selama dua bulan pertama tahun 2012.
Jelas bahwa tabrakan depan dan tabrakan dari belakang
adalah dua jenis kecelakaan yang paling sering terjadi.
Unit
155
Tentang Penulis:
M. Naufal Yahya merupakan Direktur Lalu Lintas Polda Jawa
Tengah. Ia saat ini bertanggung jawab atas implementasi
Sistem Manajemen Keselamatan Jalan Terpadu, yang
merupakan proyek yang didanai oleh Bank Dunia, yang akan
meningkatkan dan mengintegrasikan pangkalan data polisi.
Persentase seluruh emisi di sektor angkutan yang berasal dari angkutan jalan.
334
Tahap 2
156
157
Rita Herlina
Kepala Sub Direktorat Hibah Daerah , Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Kementerian Keuangan
Proyek-proyek yang berkaitan dengan infrasturktur yang dikelola oleh Kementerian Keuangan tidak memiliki
dampak langsung terhadap masalah gender. Direktorat kami bertanggung jawab atas pengelolaan dana hibah
dan proyek-proyek yang sudah dirancang dan disetujui oleh kementerian-kementerian lain yang terkait. Namun,
158
159
pada masa Sri Mulyani menjabat sebagai Menteri Keuangan, ia mengumpulkan rekan-rekan perempuannya dan
mendorong mereka agar lebih banyak memegang peran kepemimpinan. Sri Mulyani adalah sosok yang memiliki
visi dan berkeyakinan bahwa perempuan tidak boleh dipandang secara stereotip dan patut diberi peluang setara.
Misalnya, perempuan umumnya terpilih sebagai kepala biro keuangan karena dalam persepsi umum mereka
biasanya lebih memberi perhatian pada detail dan oleh sebab itu lebih sesuai untuk melakukan pekerjaan
administratif. Ini tidak benar, laki-laki pun dapat melakukan tugas administratif sedangkan perempuan juga dapat
menduduki jabatan yang lebih melibatkan pemikiran strategis.
Warisan tersebut kini berlanjut di bawah Menteri Agus Martowardojo. Lebih banyak perempuan bekerja pada
tingkat eselon 3 daripada sebelumnya. Saya duduk dalam dewan untuk beberapa perekrutan dan menurut
pendapat saya prosesnya sudah lebih baik. Perempuan yang yang memenuhi kualifikasi untuk pekerjaan tertentu
diberikan kesempatan yang sama sampai tahap wawancara.
Sekarang masalahnya lebih terletak pada masing-masing pribadi. Perempuan tidak dapat mengelak dari
takdirnya menjadi seorang ibu dan mengurusi keluarganya. Beberapa perempuan di Kementerian sesungguhnya
ditawari jabatan yang lebih tinggi tetapi mereka menolak karena memiliki komitmen pada keluarga. Lebih sulit
bagi perempuan untuk bekerja lembur di kantor hingga malam atau mengadakan perjalanan dinas ke luar kota
dibandingkan laki-laki.
pembangunan infrastruktur yang mungkin sangat penting bagi perempuan dan anak perempuan adalah akses
yang lebih baik pada sekolah, layanan kesehatan, air minum, dan peningkatan peluang untuk berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan.
EINRIP memiliki rekor yang cukup baik dalam mengikutsertakan perempuan pada tahap awal proyek. Beberapa
perempuan turut serta secara aktif pada tahap pengembangan/perencanaan dan pelaksanaan proyek, namun
keseimbangan gender secara keseluruhan masih condong pada laki-laki. Dalam pandangan saya, dampak EINRIP
pada masalah gender ini masih bercampur baur, tetapi melihat sebagian perempuan kini mengejar karier di
berbagai bidang teknik dalam proyek-proyek seperti ini, cukup membesarkan hati. Di tingkat pemerintah pusat
pun lebih banyak perempuan yang memegang peran aktif dalam proyek infrastruktur.
Perekonomian Indonesia tumbuh dengan cepat dan pertumbuhan tersebut tidak perlu terbatas pada satu
kelompok gender atau komunitas saja. Dari seluruh penduduk dunia yang diperkirakan berjumlah 7 miliar, 4552
persen di antaranya adalah perempuan tergantung pada kelompok usia. Sulit dibayangkan tujuan pembangunan
konkrit dapat dicapai tanpa mempertimbangkan masalah gender.
160
POIN-POIN UTAMA
Hibah berbasis keluaran (OBA) mengaitkan pembayaran pada penerima program Hibah, dengan
sasaran pencapaian yang didefinisikan secara jelas, biasanya dalam bentuk peningkatan
pelayanan publik. OBA dirintis di Indonesia dalam fase 1 Prakarsa Infrastruktur Indonesia
(IndII) melalui Prakarsa Air Minum dan Sanitasi yang didanai AusAID dan menghasilkan 77.000
sambungan air minum rumah tangga baru dan 5.000 sambungan limbah rumah tangga. Kunci
sukses program Hibah ini adalah Pemda yang terlibat secara langsung dan mempunyai rasa
kepemilikan tinggi terhadap proses investasi infrastruktur.
Pada fase 2, Indll akan melanjutkan keberhasilan yang dicapai dalam fase 1 dan memperluas
keterlibatannya di sektor yang lain terutama sanitasi dan transportasi sebagai sarana
memperbaiki kapasitas dan komitmen terhadap penyediaan pelayanan infrastruktur pada
tingkat daerah. Program Hibah Air Minum akan ditingkatkan. Pemrograman yang lain akan
membantu Organisasi Masyarakat seperti HIPPAMS yang mengoperasikan sistem air minum.
Sebuah program Hibah sanitasi yang baru (sAIIG) telah dirancang dan sudah masuk tahap
implementasi awal. Program-program OBA pada sektor transportasi akan berfokus pada
perawatan jalan dan keselamatan jalan.
OBA cocok untuk intervensi-intervensi yang bertahap dan relatif kecil, serta dapat direncanakan
sesuai skala, direplikasi, dan dibiayai terlebih dahulu secara bertahap oleh pemerintah
dengan sumber anggaran terbatas. Selain itu, keluarannya harus dapat diverifikasi dengan
mudah. Tidak semua program Hibah berbasis keluaran Indll yang telah direncanakan cocok
dengan kriteria ini secara sempurna. Sebagai contoh, investasi yang direncanakan untuk
program Hibah keselamatan jalan (seperti tempat penyeberangan pejalan kaki di sekolah
dan perbaikan-perbaikan lain) akan distandarisasi sejauh mungkin, tetapi keluarannya pada
masing-masing lokasi harus disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan jalan setempat.
Demikian juga, ada beberapa keluaran yang lebih sulit diverifikasi, seperti, apakah sebuah
ruas jalan telah dirawat dengan standar yang dapat diterima.
OBA semakin populer karena dana hanya dapat ditransfer setelah hasil tertentu tercapai. Hal
ini meningkatkan kepastian dan meminimalisir risiko. Tetapi alasan paling penting mengapa
Indll memfokuskan diri pada OBA adalah karena potensinya dalam menggerakkan perbaikan
dan perubahan. Dampak program Hibah Indll yang paling berharga bukanlah keluaran
langsung, tetapi tata kelola dan komitmen kelembagaan terhadap pelayanan infrastruktur
yang lebih baik pada tingkat daerah. Visi ini bagi OBA hanya dapat direalisasikan jika programprogram dirancang berdasarkan prinsip-prinsip conditionality, consolidation, contestability,
consistency, dan effective communications.
163
164
Program Hibah sebagai Alat untuk Perubahan: Pendekatan Indii terhadap Hibah Berbasis Hasil
165
166
Program Hibah sebagai Alat untuk Perubahan: Pendekatan Indii terhadap Hibah Berbasis Hasil
Conditionality
Dalam arti yang luas, ada dua macam kondisi (conditionality)
yang digunakan Indll untuk memaksimalkan nilai tambah
(additionality) investasi program hibah: program hibah setara
dan persyaratan tata kelola.
Program hibah setara: Program hibah dirancang dan
diimplementasikan sedemikian rupa sehingga, bila semua hal
lain setara, program ini mengkatalisasikan secara progresif
penggunaan kontrak pengelolaan dana Pemda yang semakin
besar untuk investasi pada infrastruktur keras. Hal ini
membantu meningkatkan dan mengarusutamakan komitmen
yang lebih besar dari Pemda sebagai lembaga terhadap
infrastruktur, seiring berjalannya waktu.
Persyaratan tata kelola: Program hibah dimaksimalkan untuk
menjamin bahwa beragam kebijakan dan perubahan tata
kelola yang lain juga dilakukan. Contoh dari persyaratan yang
bisa diketengahkan adalah: kepatuhan kepada kebijakan
dan prosedur di tingkat nasional; perbaikan dalam sistem
pengadaan; pelaksanaan perubahan tarif; dan penyesuaian
dengan aturan audit. Sama seperti program hibah setara
Consolidation
Pelajaran penting yang didapat dari pemrograman fase
1, terutama dari IEG sanitasi, adalah bahwa fragmentasi
merupakan masalah serius yang melemahkan keefektifan
penyediaan infrastuktur. Hal ini bisa dilihat dalam pengalokasian
sumber daya pemerintah nasional kepada Pemda, dan
pengalokasian oleh Pemda kepada lembaga dan proyekproyek mereka. Maka, konsolidasi merupakan elemen penting
rancangan program hibah. Sebisa mungkin, Indll berusaha
membatasi jumlah Pemda yang berpartisipasi dalam suatu
program hibah, karena menyebarkan program hibah yang
terbatas kepada banyak Pemda akan mengarah pada program
yang berat, dengan biaya pengelolaan unit yang tinggi.
Di sisi lain, pengonsolidasian sebuah program dengan
kelompok Pemda terpilih memungkinkan Indll menyediakan
program hibah kepada Pemda yang sama untuk jangka waktu
sampai tiga tahun. Bekerja berdasarkan kerangka waktu yang
lebih lama dengan sekelompok Pemda yang sama memberikan
kesempatan yang lebih baik untuk mengarusutamakan
dan melembagakan perubahan inti pada kebijakan dan
tata kelola, yang merupakan syarat bagi pendanaan.
Menetapkan persyaratan minim yang masuk akal dengan
mempertimbangkan ukuran proyek yang akan dilakukan para
Pemda dapat menghindarkan terpecah-pecahnya program
investasi menjadi terlalu banyak kegiatan kecil.
Contestability
Memastikan bahwa Pemda harus berkompetisi untuk
mengikuti program hibah adalah unsur penting lainnya dalam
perancangan program hibah Indll. Ketika Pemda diminta untuk
membuktikan bahwa mereka adalah calon yang paling cocok,
berarti ada seleksi diri di antara rekan-rekan Pemda yang
berkomitmen. Selain itu, dengan memilih hanya Pemda yang
terbaik memungkinkan pembatasan jumlah keseluruhan
Pemda yang berpartisipasi untuk dikelola. Beragam kriteria
dapat digunakan untuk menentukan Pemda mana yang
terpilih, terutama komitmennya terhadap perbaikan tata kelola
tertentu, serta terhadap pendanaannya.
Consistency
Elemen yang mungkin terpenting dari program hibah
berbasis keluaran Indll adalah konsistensi dengan, dan
pemanfaatan dari sistem-sistem transfer fiskal Pemerintah
Indonesia. Sebagaimana ditunjukkan Program Hibah Air
Minum, penggunaan sistem-sistem tersebut memungkinkan
peranan dan insentif dari semua pemangku kepentingan, baik
pemerintah nasional maupun Pemda, untuk teridentifikasi
secara jelas dan disepakati. Pelibatan Pemda secara langsung
dalam proses investasi infrastruktur, merupakan hal yang
penting, agar Pemda dapat membangun rasa kepemilikan.
Contoh penting adalah sektor sanitasi, di mana kebanyakan
program sampai saat ini telah disampaikan pada tingkat
nasional atau masyarakat, dan akibatnya, pemerintah daerah
telah dikesampingkan. Sedikit atau sama sekali tidak ada rasa
kepemilikan atas proyek sanitasi di dalam wilayah hukum
mereka. Untuk semua program Indll, di sisi lain, Pemda
memainkan peran yang sangat penting, baik sebagai pemilik
maupun penyedia proyek-proyek infrastruktur.
Communications
Resep sukses terakhir dari pemrograman program hibah Indll
adalah komunikasi. Melalui pemrograman komunikasi.
Tentang Penulis:
Selaku Direktur Indll, David Ray bertanggung jawab atas
kepemimpinan teknis dan strategis secara keseluruhan. Ia
seorang ekonom dengan lebih dari 10 tahun pengalaman
bekerja di dalam konteks pembangungan, terutama di
Indonesia dan Vietnam. Sebelum bergabung dengan Indll pada
bulan April 2009, ia menjabat sebagai Wakil Direktur proyek
SENADA yang didanai oleh USAID. Proyek tersebut berfokus
pada daya saing di sektor manufaktur Indonesia. Selama
periode 20032006, ia bekerja untuk The Asia Foundation
di Vietnam, mengelola program tata kelola ekonomi USAID
untuk memperbaiki iklim investasi pada tingkat daerah.
Sebelumnya, ia adalah penasihat yang didanai USAID pada
Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia, menangani urusan-urusan yang terkait dengan
perdagangan, investasi dan perbaikan peraturan. Ia memiliki
sejumlah gelar akademis, termasuk PhD yang berfokus pada
ekonomi Indonesia dan perkembangan kelembagaan.
167
POIN-POIN UTAMA
Perusahaan air minum Surabaya, PDAM Surya Sembada, memiliki reputasi yang baik di
pasar dan memiliki cakupan layanan sebesar 83 persen. Meski demikian, beberapa daerah
berpenghasilan rendah masih belum terlayani. Untuk mendukung PDAM Surya Sembada
dalam memperluas layanannya, Global Partnership on Output-Based Aid (GPOBA) memberikan
subsidi untuk sambungan baru bagi rumah tangga miskin di Surabaya.
PDAM adalah lembaga pelaksana dan penerima utama subsidi tersebut. PDAM melakukan
pembiayaan awal, pengadaan, dan pembangunan sistem pelayanan penyediaan air minum.
Penggantian biaya harus disalurkan melalui Pemerintah Indonesia dan kemudian ke Pemkot
Surabaya. Proyek ini melibatkan koordinasi antara Kementerian Pekerjaan Umum, Direktorat
Jenderal Cipta Karya, Satuan Kerja (Satker) Provinsi, Satker Kota, kantor auditor, dan HIPPAMS
(CBO, Community-Based Organisation).
Besar dana proyek secara keseluruhan berjumlah sekitar US$ 3,2 juta. Proyek ini awalnya
dijadwalkan beroperasi dari tahun 20092011. Diharapkan proyek ini menjangkau 16.000
keluarga miskin.
Pelaksanaan selama dua tahun pertama sangat lambat. Tantangan yang mengakibatkan awal
yang lambat antara lain adalah masalah dalam mengidentifikasi penerima manfaat, koordinasi
antara PDAM dan CBO, pengaturan organisasi internal PDAM, dan mekanisme penyaluran dana
yang rumit. Restrukturisasi proyek kemudian diusulkan dan disetujui pada tahun 2011 untuk
memperpanjang jangka waktu proyek sampai dengan Desember 2012 dan meningkatkan
kinerja proyek dengan menghilangkan hambatan pelaksanaan dan menyederhanakan kriteria
seleksi penerima manfaat.
Setelah restrukturisasi proyek, pelaksanaan proyek meningkat secara signifikan sebagaimana
tampak pada jumlah sambungan terpasang dan penyaluran dana yang dilakukan. Koordinasi
proyek antara PDAM, Panitia Penata Kelola, HIPPAMS dan berbagai pemangku kepentingan
lain telah ditingkatkan dengan menyelenggarakan rapat koordinasi rutin. Fasilitator
masyarakat ditugaskan oleh Panitia Penata Kelola untuk membantu CBO dan bertindak
sebagai penghubung antara HIPPAMS dan PDAM. PDAM juga telah meningkatkan pengaturan
internalnya untuk pelaksanaan proyek dan menyediakan ruang kantor khusus sebagai pusat
untuk para fasilitator masyarakat, sehingga koordinasi menjadi lebih dekat dan tanggapan
lebih cepat.
Pelajaran dari pengalaman yang diperoleh, antara lain perlunya komunikasi yang baik dan
koordinasi yang erat antara pemangku kepentingan dan pentingnya pengelolaan dukungan dan
komitmen pemangku kepentingan sepanjang pelaksanaan proyek. PDAM saat ini mengakui
bahwa penjangkauan dan keterlibatan masyarakat sangat penting dalam penyediaan layanan
bagi masyarakat miskin.
169
170
Menggunakan Hibah Berbasis Hasil untuk Memperluas Pasokan Air Leding bagi Masyarakat Miskin Perkotaan di Surabaya
Kementerian
Pekerjaan Umum
(KemenPU)
BAPPENAS
Pengaturan Kelembagaan
PDAM adalah lembaga utama pelaksana dan penerima
subsidi tersebut. PDAM melakukan pembiayaan awal,
pengadaan, dan pembangunan sistem pelayanan
penyediaan air minum. Meski demikian, peraturan
yang ada saat ini tidak mengizinkan penggantian
biaya secara langsung oleh GPOBA kepada PDAM.
Penggantian biaya harus disalurkan melalui Pemerintah
Indonesia dan kemudian ke Pemkot Surabaya. Perjanjian
Hibah ditandatangani dengan Pemerintah Indonesia.
Kementerian Pekerjaan Umum (KemenPU) telah ditugasi
sebagai Lembaga Pelaksana. Panitia Penata Kelola telah
dibentuk di dalam Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK)
di KemenPU sebagai penanggungjawab atas pengawasan
proyek secara keseluruhan. Satuan Kerja (Satker)
Provinsi dibentuk untuk pengadaan jasa auditor serta
pemantauan dan evaluasi proyek secara keseluruhan.
Di tingkat Pemkot, sebuah Satker telah dibentuk yang
bertanggungjawab atas pemeriksaan keabsahan, serta
pengelolaan, pembayaran subsidi; penjaminan terhadap
Direktorat Jenderal
Cipta Karya (DJCK)
PANITIA PEMERINTAH
Panitia
Penata Kelola
Anggota Panitia
Penata Kelola :
KemenPU, KemenKeu,
Bappenas,
Walikota Surabaya
Tim Teknis
Singkatan:
Bapemas = Badan Pemberdayaan Masyarakat
Bappeko = Badan Perencanaan Pembangunan Kota
BPKD =Badan Pengelolaan Keuangan Daerah
Pemkot
Surabaya
171
172
Menggunakan Hibah Berbasis Hasil untuk Memperluas Pasokan Air Leding bagi Masyarakat Miskin Perkotaan di Surabaya
Tentang Penulis:
CATATAN
1. GPOBA (www.gpoba.org) adalah kemitraan IFC/Bank Dunia dengan donor bilateral dari Australia, Inggris, dan Belanda, yang
bekerjasama dalam mendukung pendekatan hibah berbasis hasil di berbagai sektor termasuk air minum dan sanitasi. GPOBA dikelola
oleh Bank Dunia.
173
POIN-POIN UTAMA
Pemerintah Indonesia dan lembaga-lembaga donor sedang berfokus pada peningkatan
mobilitas perkotaan di kota-kota berukuran menengah yang berpotensi untuk mencegah
krisis transportasi yang melanda kota-kota seperti Jakarta. Direktorat Jenderal Perhubungan
Darat (DJPD) memilih sepuluh Pemerintah Daerah (Pemda) untuk berpartisipasi dalam
program percontohan untuk meningkatkan fasilitas transportasi umum berbasis jalan raya.
Direktorat Bina Sistem Transportasi Perkotaan kemudian menghibahkan bus-bus dan setiap
Pemda mengembangkan sistem bus prioritas.
Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) mendukung upaya DJPD dengan menyediakan dukungan
teknis melalui Proyek Peningkatan Bus (BIP, Bus Improvement Project). Melalui BIP, empat
Pemda dari kota-kota percontohan Palembang, Yogyakarta, Surakarta, dan Bogor belajar
cara merancang halte bus yang sesuai dengan kondisi setempat dan dapat memaksimalkan
efisiensi sistem bus transit. Pada tahun 2010, IndII mulai mempelajari kemungkinan memakai
mekanisme hibah berbasis hasil untuk meningkatkan kualitas dan aksesibilitas halte bus.
Proses ini berujung pada terbentuknya Hibah SAUM.
Dengan dukungan konsultan IndII, dua kota, Palembang dan Surakarta, menjadi lokasi
percontohan Hibah SAUM. Program tersebut kini masih berlangsung, tetapi hasil nyata sudah
mulai terlihat, dengan diselesaikannya 10 halte bus di Surakarta dan 43 halte yang sedang
dibangun di Palembang.
Sampai saat ini, pelaksanaan Hibah SAUM telah membuahkan beberapa keberhasilan tetapi
juga menemukan berbagai tantangan berupa kendala teknis maupun non-teknis. Enam
pelajaran yang telah diperoleh adalah: (1) Menyusun konsep program hibah lebih dari sekadar
cara untuk menyalurkan dana. (2) Mensosialisasikan program tersebut secara menyeluruh
kepada para pemangku kepentingan. (3) Menjamin semua peserta memahami tugas dan
tanggung jawab mereka dengan jelas. (4) Melakukan standardisasi mekanisme pemberian
persetujuan dan penyaluran dana hibah. (5) Mempertimbangkan konteks operasional
yang lebih besar ketika memilih dan memantau para penerima dana hibah. (6) Melakukan
koordinasi, komunikasi, dan memberikan dukungan.
175
176
Studi Kasus Hibah Berbasis Hasil: Meningkatkan Transportasi Bus Kota Indonesia
Sebagai bagian dari Program Peningkatan Bus (BIP, Bus Improvement Program),
perwakilan Indonesia melakukan perjalanan ke Australia untuk melakukan observasi
sistem transit setempat dan bertukar pandangan dengan mitra kerja Australia.
177
178
Studi Kasus Hibah Berbasis Hasil: Meningkatkan Transportasi Bus Kota Indonesia
Hasil Awal
Program percontohan tersebut masih dalam pelaksanaan,
tetapi sudah membuahkan hasil nyata. Sepuluh halte bus
telah dibangun di Surakarta yang dibiayai oleh dana Hibah
sebesar Rp 1,2 miliar. Verifikasi telah dilakukan oleh tim
teknis dari DJPD sehingga dana sekarang sudah dapat
dicairkan. Empat puluh tiga halte bus sedang dibangun di
Palembang dengan biaya Rp 4,6 miliar, dan verifikasi serta
pencairan dana diharapkan dapat terealisasi pada triwulan
terakhir 2012.
Sampai saat ini, pelaksanaan Hibah SAUM telah membuahkan
beberapa keberhasilan tetapi juga mengalami berbagai
tantangan berupa kendala teknis maupun non-teknis. Dari
sudut pandang teknis, diperlukan keahlian yang signifikan
di Kementerian Perhubungan untuk mengelola aspekaspek teknis program Hibah tersebut. Selain itu, Pemda
mengalami kesulitan untuk menjamin bahwa halte bus
yang dibangun sesuai dengan dokumen perencanaan dan
kontrak. Sama pentingnya, kendala non-teknis yang terkait
dengan prosedur birokrasi dan koordinasi memengaruhi
ketepatan waktu penyelesaian program. Hal-hal non-teknis
ini pada awalnya tidak dipandang dapat menimbulkan
risiko besar bagi program, namun menjadi faktor penting
dalam menentukan keberhasilan. Kesulitan semacam
ini sebetulnya dapat diantisipasi ketika menjalankan
program baru, dan upaya di masa mendatang akan mampu
memperbaiki kekurangan dalam program percontohan ini.
CATATAN
1. Platform tinggi memiliki peran dalam menjadikan sistem bus lebih cepat dan efisien dalam berbagai cara. Platform ini mencegah
kemungkinan bus berhenti di tempat-tempat yang tidak dijadwalkan di sepanjang trayek, karena penumpang hanya dapat keluar
masuk bus di halte dengan platform tinggi. Selain itu, karena platform sama tingginya dengan lantai bus, keluar masuk penumpang
bisa berlangsung lebih cepat penumpang tidak perlu terburu-buru naik turun platform sehingga bus tidak terpaksa menunggu
penumpang. Platform tinggi juga memberi ruang yang lebih lapang di dalam bus untuk menampung lebih banyak penumpang karena
tidak memerlukan tempat untuk anak tangga.
179
POIN-POIN UTAMA
Hibah berbasis hasil merupakan modalitas kuat yang dapat diadaptasikan untuk mencapai
hasil pembangunan yang rumit. OBA efektif menargetkan penerima manfaat, menghilangkan
halangan yang mencegah orang mengakses layanan, dan mengumpil investasi. Keuntungankeuntungan ini terutama terlihat ketika OBA digunakan untuk meningkatkan akses ke air
leding, seperti pada program Hibah Air Minum yang dioperasikan oleh Prakarsa Infrastruktur
Indonesia (IndII) yang didanai oleh AusAID.
Program Hibah ini memberi imbalan kepada daerah yang berinvestasi di sistem air minum
mereka sendiri dengan cara memberikan dana hibah sejumlah tertentu untuk setiap
sambungan baru. Fokus program ini adalah meningkatkan layanan kepada rumah tangga
miskin. Rumah tangga miskin cenderung menjadi pelanggan yang baik untuk air PDAM,
karena ongkos beli dari penjual air bisa 20 hingga 40 kali lebih besar. Namun, PDAM selama
ini enggan membuat sambungan, sebagian alasannya karena rumah tangga ini umumnya
tidak terjangkau oleh jaringan air minum yang ada dan PDAM tidak mau memperluas jaringan
hanya untuk segelintir pelanggan baru. Hibah Air Minum mengatasi masalah ini dengan cara
memberi imbalan kepada PDAM yang telah memperluas jaringan pipa mereka di wilayah
miskin dan membuat sambungan bagi sebagian besar rumah tangga.
Ketika IndII pertama merancang Hibah Air Minum pada tahun 2009, investasi di sektor air
minum telah stagnan selama 10 tahun. IndII berfokus pada kewajiban Pemerintah Daerah
(Pemda) untuk mendanai penyediaan air minum, yang selama ini datang dari Pemerintah
Pusat melalui anggaran Kementerian dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Keseluruhan skema
pendanaan dari sumber-sumber tersebut untuk mengurangi pengeluaran Pemda atas sumber
daya mereka sendiri.
Pemda dan PDAM yang meningkatkan cakupan layanannya, seperti Palembang, Banjarmasin,
Bogor, dan Malang, memiliki faktor yang sama: Pemda berinvestasi ekuitas pada PDAM dan
bukan melalui Dinas Pekerjaan Umum setempat. Langkah ini adalah keputusan politik yang
memperlihatkan kepercayaan atas kapasitas PDAM memperbaiki layanan air minum-suatu
pemahaman yang menopang rancangan Hibah Air Minum: dana hibah diberikan kepada
Pemda hanya setelah Pemda melakukan investasi ekuitas dengan nilai yang sama atau lebih
besar pada PDAM.
Rancangan ini meletakkan risiko dan memberikan manfaat terutama kepada Pemda dan
PDAM, dan juga kepada DPRD yang menyetujui investasi tersebut.
Hibah Air Minum pertama, yang diterapkan dalam satu tahun, melampaui harapan dan
mengumpil pengeluaran tambahan yang diperkirakan sebesar $500.000 pada masingmasing 36 PDAM yang berpartisipasi. Program ini diperluas menjadi $90 juta di IndII Tahap 2.
Program Tahap 2 lebih dari sekadar meningkatkan jumlah sambungan air minum; melainkan
juga menargetkan penggunaan Hibah Air Minum untuk mengumpil hasil tata kelola yang lebih
besar. Penerapan selama beberapa tahun memungkinkan, PDAM yang lebih lemah dapat ikut
serta secara bertahap dan persyaratan tata kelola dapat dibentuk untuk mempertahankan
dana hibah.
1
PENGGUNA
PEMASOK
Menyediakan
layanan
Ve
r
ifik
as
i la
ya
n
an
2
Pe
ny
ed
Membayar
subsidi
iaa
nJ
as
DONOR
181
182
Hibah Berbasis Hasil untuk Layanan Air Minum yang Lebih Baik
45%
Cakupan Layanan PDAM
40%
35%
30%
Laporan BPPSPAM
2009
2008
2006
2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
25%
183
184
Hibah Berbasis Hasil untuk Layanan Air Minum yang Lebih Baik
DPRD
4
6
SAMBUNGAN
RUMAH
5
PEMERINTAH
DAERAH
PDAM
9
SUBSIDI
(HIBAH)
3
PERJANJIAN
HIBAH
KEMENTERIAN
PEKERJAAN
UMUM
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
8
2
KEMENTERIAN
KEUANGAN
DONOR
1
PDAM di Banjarmasin merupakan salah satu dari segelintir PDAM yang melakukan
perbaikan spektakuler pada penyediaan layanannya justru pada saat pertumbuhan
investasi secara keseluruhan di layanan air minum cenderung melambat.
185
186
Hibah Berbasis Hasil untuk Layanan Air Minum yang Lebih Baik
Kinerja Program
Rancangan asli Hibah Air Minum dimaksudkan sebagai
program hibah $10 juta yang dilaksanakan selama dua
tahun. Namun pada kenyataannya rencana ini berubah
Langkah Selanjutnya
Dalam program Tahap 2 yang berlangsung mulai tahun 2011
hingga tahun 2015, IndII telah merencanakan peningkatan
Hibah Air Minum menjadi $90 juta. Ini termasuk kontribusi
$10 juta dari USAID untuk plaksanaan program Hibah Air
Minum atas nama USAID. Secara keseluruhan, program
ini akan menyediakan sambungan air minum bagi sekitar
300.000 rumah tangga berpenghasilan rendah.
Namun program berikutnya bukan hanya sekedar melakukan
peningkatan melainkan juga menyasarkan penggunaan
Hibah Air Minum untuk mengumpil hasil tata kelola yang
lebih besar. Bila program pertama diterapkan dalam jangka
waktu setahun, program kedua akan diterapkan selama
beberapa tahun sehingga memungkinkan Pemda yang
lebih lemah untuk berinvestasi ekuitas secara bertahap.
Pemerintah Daerah yang sudah mendapatkan Hibah Air
Minum harus mematuhi sasaran tata kelola yang ditetapkan
guna mempertahankan dana hibah tersebut. Sasaran yang
dimaksud mencakup pelaporan audit keuangan yang tepat
waktu kepada Kemenkeu, penaikan tarif secara progresif
untuk mencapai pemulihan biaya penuh, dan rapat
triwulanan oleh dewan pengawas PDAM disertai temuan
yang dilaporkan secara terbuka.
Badan Pelaksana, yaitu Direktorat Jenderal Cipta Karya,
juga menggunakan Hibah Air Minum untuk mengumpil
pinjaman komersial melalui program Perpres 29.6 PDAM
yang tidak bepartisipasi dalam program Perpres 29 harus
mendapatkan investasi ekuitas yang lebih tinggi dari Pemda
setempat untuk memenuhi syarat Hibah.
Pengembangan Paralel
Pendekatan berbasis hasil relatif masih baru untuk lembaga
pembangunan. Setelah beberapa penerapan terpisah
belasan tahun sebelumnya, OBA diluncurkan perdana dalam
bentuk kelembagaan pada tahun 2003 dengan pembentukan
GPOBA oleh Bank Dunia. Sejak itu, OBA mendapatkan
dukungan dari lembaga-lembaga pembangunan karena
kesederhanaannya, profil risiko yang lebih rendah, dan
kemudahan menargetkan penerima manfaat.
187
188
Hibah Berbasis Hasil untuk Layanan Air Minum yang Lebih Baik
Tentang Penulis:
Jim Coucouvinis menjabat sebagai Technical Director IndII di
bidang Air Minum dan Sanitasi. Sebelum bergabung dengan
IndII, Jim Coucouvinis bekerja sebagai konsultan independen
yang bekerja dengan Bank Dunia dan AusAID dalam program
sektor air minum dan air limbah. Sebelumnya, ia menjabat
sebagai Vice President Louis Berger Group di bidang layanan
air minum dan lingkungan hidup di Asia Tenggara dan Republik
Rakyat Cina. Sebelum itu, ia menjabat sebagai Resident
Manager Montgomery Watson, Indonesia. Di Australia, ia
bekerja di Canberra Water and Power Authority dalam bidang
rancangan dan pekerjaan konstruksi gorong-gorong utama;
dan di Australian Murray-Darling Basin Authority dalam bidang
pengelolaan kualitas air minum di dalam sistem dan waduk
Murray-Darling. Jim memiliki gelar pascasarjana di bidang
Teknik dari University of New South Wales, dan gelar sarjana
di bidang Sains dan Teknik Sipil dari University of Queensland.
CATATAN
1. Output Based Aid Lessons Learned and Best Practices (Bantuan Berbasis Hasil Pelajaran yang Diperoleh dan Praktik Terbaik),
GPOBA, 2010 mengutip data 2007.
2. Dolar Australia dan AS nilainya kurang lebih seimbang, jadi angka-angka ini dapat dibandingkan secara umum. Seterusnya dalam
artikel ini, dolar yang dimaksud adalah dolar Australia.
3. Indonesia memandatkan batasan tarif yang dirancang untuk memungkinkan keluarga miskin mendapatkan kebutuhan dasar air
seharga 4 persen dari upah minimum provinsi.
4. Blane Lewis dan Daan Pattinasarany, Bank Dunia, Jakarta. A new intergovernmental capital grant for Indonesia: a polemic in support
of economic growth. Dipresentasikan di acara International Conference Alternative Visions for Decentralisation in Indonesia
(Konferensi Internasional Visi Alternatif Mengenai Desentralisasi di Indonesia), 1213 Maret 2012, Jakarta.
5. Jakarta Commitment merupakan perjanjian yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan 22 negara lainnya dan lembagalembaga donor multilateral. Jakarta Commitment menyatakan bahwa para penandatangan akan mengikuti Paris Declaration on
Aid Effectiveness (Deklarasi Paris tentang Efektivitas Bantuan), yang dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas dana hibah dan
pinjaman luar negeri. Prinsip utama Jakarta Commitment adalah penegasan kepemilikan Indonesia atas seluruh prakarsa bantuan.
6. Menurut Peraturan Presiden no. 29/2009 (Perpres 29), Pemerintah Indonesia mensubsidi suku bunga pinjaman bank hingga 50
persen dan memberi jaminan untuk kredit bermasalah, memudahkan PDAM untuk mendapatkan kredit komersial.
7. Lihat Program for Results Lending, Revised Concept Note WB Operations Policy and Country Services (Program Pinjaman Hasil,
Catatan Konsep yang Direvisi, Kebijakan Operasi dan Layanan Negara dari Bank Dunia), Februari 23, 2011.
189
190
Adriansyah
191
192
mekanismenya hibah, non-hibah, non-perjanjian (nonagreement) orientasinya harus kepada kinerja. Ini
sesuai dengan peraturan anggaran kita. Pendekatannya
adalah berbasis kinerja bukan uang, tetapi kinerja.
193
194
kilometer
400,000
6
71%
Jumlah penduduk dalam tiga tahun ke depan yang akan dijangkau oleh
sambungan pembuangan air limbah di luar lokasi di bawah program Hibah
Infrastruktur Australia-Indonesia untuk Sanitasi (sAIIG, Australia-Indonesia
Infrastructure Grants for Sanitation).
1960-an
32; 131
Jumlah proyek Hibah Berbasis Hasil (OBA, output-based aid) yang didanai
oleh Kelompok Bank Dunia pada tahun 2002, dan tahun 2009: kenaikan lebih
dari 400 persen dalam waktu hanya tujuh tahun.
195
196
Satu kendala hibah berbasis hasil adalah kemampuan Pemda untuk melaksanakan kegiatan dengan dana sendiri sebelum
memperoleh hibah. Beberapa Pemda masih lemah kemampuan keuangannya. Di sisi lain kementerian terkait seperti
Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum sudah memiliki pengalaman melaksanakan mekanisme
ini. Saya lihat ada dukungan cukup besar untuk menginternalisasikan pendekatan berbasis kinerja ini dalam pendanaan
reguler kita.
Peningkatan efektivitas alokasi anggaran melalui rancangan program/kegiatan yang diarahkan untuk mencapai hasil
dan keluaran yang ditetapkan
Peningkatan efisiensi pengeluaran melalui penentuan satuan biaya keluaran
Peningkatan kredibilitas dan akuntabilitas
Dalam hal menyusun anggaran dengan sumber pendanaan dari bantuan pihak ketiga, juga harus ditetapkan kebijakan
yang mengatur bahwa bantuan tersebut harus berbasis pada kinerja, yang memerhatikan bukan hanya output tetapi
juga outcome. Dengan demikian tujuan dan kondisi yang diharapkan pada anggaran berbasis kinerja tersebut dapat
terwujud bukan hanya untuk kegiatan dengan sumber pendanaan dari APBN, tetapi juga untuk kegiatan yang sumber
pendanaannya berasal dari bantuan/hibah luar negeri.
197
Tata Kelola
Pemerintahan dalam
Infrastruktur
Edisi 13, Januari 2013
201
202
Tentang Penulis:
Dr. Ir. M. Basuki Hadimuljono, M.Sc. adalah Inspektur
Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum (Kementerian PU).
Sebelumnya, dari tahun 2005 hingga 2007, ia memimpin
Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian
PU, di departemen tersebut ia dikenal mampu menjalin
hubungan baik dengan bawahannya dan juga keyakinannya
bahwa departemen yang dikepalainya harus mampu
merangkul inovasi dan pengembangan baru di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Ia telah membawa tim darurat
untuk menangani situasi pasca bencana alam di Indonesia,
seperti tsunami tahun 2004 di Aceh dan gempa di tahun
2006 yang melanda Yogyakarta. Ia adalah penulis buku
Semburan Lumpur Panas Sidoarjo Pelajaran dari Sebuah
Bencana, yang ditulisnya setelah Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menunjuknya sebagai Ketua Tim Nasional untuk
menyelesaikan semburan lumpur Sidoarjo.
203
POIN-POIN UTAMA
Kegiatan Reformasi Tata Kelola dalam Audit Internal yang didukung Prakarsa Infrastruktur
Indonesia (IndII) yang didanai AusAID, memiliki tiga sasaran menyeluruh: pertama,
melanjutkan dukungan kepada Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Pekerjaan Umum
(KemenPU) untuk penguatan dan peningkatan kapasitas lembaga; kedua, peningkatan proses
pengawasan dan pelaksanaan audit yang dapat memperbaiki tata kelola dan akuntabilitas;
dan ketiga, pemberantasan korupsi.
Ini adalah program baru yang diharapkan akan berlangsung selama dua sampai tiga tahun,
dan dirancang sebagai kelanjutan dukungan IndII sebelumnya kepada Itjen. Tujuannya adalah
untuk memperkuat manfaat yang telah dicapai dan menyingkirkan hambatan agar manfaat
tersebut dapat dipertahankan secara jangka panjang.
Kegiatan tersebut memiliki tiga pilar. Pilar 1, Penguatan Kelembagaan, dirancang untuk
membantu Itjen agar naik dari tingkat 2 ke tingkat 3 dari Model Kemampuan Audit Internal.
Pilar ini juga membangun kemampuan staf yang berorientasi pada audit melalui cara
pendampingan dan bekerja bahu-membahu dengan staf Itjen. Pilar 1 juga berkoordinasi
dengan audit teknis Rencana Peningkatan Jalan Nasional Indonesia Timur (EINRIP, East
Indonesia National Road Improvement Plan).
Pilar 2: Praktik Pengadaan Barang dan Jasa yang Lebih Baik menuntut pendekatan dua sisi:
dukungan kepada Itjen dan secara umum kepada KemenPU, karena peningkatan kapasitas
operasional Itjen saja tidak akan membuahkan hasil yang diinginkan dari segi praktik,
kebijakan, dan tata cara pengadaan barang dan jasa yang lebih baik. Dukungan pelatihan akan
diberikan kepada manajemen KemenPU untuk membantu Itjen memenuhi perannya sebagai
agen perubahan.
Pilar 3: Peningkatan Lingkungan Anti Korupsi mencakup kerja sama dengan Itjen dan
manajemen KemenPU untuk memperbaiki lingkungan anti korupsi. Staf akan menumbuhkan
kepekaan terhadap kode etik mereka, penerapan kode etik tersebut dan akuntabilitas publik
ketika korupsi terungkap. Pilar 3 mencakup dukungan kepada manajemen agar meningkatkan
dan mewujudkan pernyataan Menteri untuk menciptakan Zona Bebas Korupsi dengan
melaksanakan program untuk Pengendalian Praktik Korupsi.
205
206
Reformasi Tata Kelola dalam Fungsi Audit Internal, Sebuah Tinjauan Umum
Manajemen Perubahan
Training, Pendidikan & Jaminan Kualitas
Pilar 1
Penguatan
Kelembagaan
Pilar 2
Praktik Pengadaan
Barang & Jasa yang
Lebih Baik
Pillar 3
Enhanced
Anticorruption
Environment
Mitra:
Manajemen
KemenPU, Ditjen
terpilih,
BPKP, LKPP
Mitra:
Manajemen
KemenPU, seluruh
Ditjen,
BPKP, KPK
Boks 3:
Komitmen Pengintegrasian Gender di Itjen PU
Dukungan IndII terhadap reformasi tata kelola fungsi audit internal
di lingkungan Itjen PU dilakukan dengan pendekatan peningkatan
kapasitas yang berkelanjutan. Dimensi kesetaraan gender juga
menjadi perhatian dalam pelaksanaan program tersebut. Partisipasi
dan akses yang setara bagi staf laki-laki dan perempuan selalu
didorong dalam berbagai kegiatan peningkatan kapasitas.
Hasil evaluasi gender terhadap kegiatan ini di fase 1 pada tahun
lalu mengungkapkan bahwa aspek gender mendapat perhatian
dan komitmen yang baik dari pejabat dan pelaksana program.
Para perempuan muda yang berbakat mendapat kesempatan
untuk terlibat dalam berbagai pelatihan, kunjungan studi dan
bekerjasama langsung dengan para konsultan. Perempuan juga
diberikan kesempatan dalam posisi pengambilan keputusan.1
Upaya ini sangat sejalan dengan komitmen KemenPU dalam
melaksanakan pengarusutamaan gender. Maka tidak heran jika
tingkat partisipasi perempuan dalam berbagai kegiatan peningkatan
kapasitas cukup tinggi. Partisipasi perempuan di lingkungan Itjen PU
menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan, terutama sejak
perekrutan 3 tahun terakhir dengan perbandingan laki-laki 44 %
dan perempuan 56 percent. Tingginya partisipasi perempuan juga
terlihat dalam diklat-diklat yang diselenggarakan, dimana komposisi
perempuan selalu lebih tinggi. Komposisi persentase pegawai
peserta program Diklat Penjenjangan terbesar di Itjen yang diikuti
64 peserta adalah laki-laki 38 percent dan perempuan 62 percent.
CATATAN
1. Gender Review for IG-MPW Audit Capacity Building
2. Data Pilah Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
207
208
Reformasi Tata Kelola dalam Fungsi Audit Internal, Sebuah Tinjauan Umum
Asal-mula Kegiatan
209
POIN-POIN UTAMA
Manajemen Perubahan (CM, Change Management) sangat penting bagi kegiatan Reformasi
Pengelolaan dalam Fungsi Audit Internal di lingkungan Inspektorat Jenderal (Itjen)
Kementerian Pekerjaan Umum (Kementerian PU). Kegiatan ini membantu Itjen memperkuat
lembaga dan kapasitasnya, meningkatkan proses audit dan pengawasan serta mengurangi
korupsi. Beragam upaya sebelumnya telah membantu Kementerian PU dalam meningkatkan
kapasitasnya dengan menggunakan Audit Internal Berbasis Risiko, namun hambatan tetap
ada. Di bawah kepemimpinan Inspektur Jenderal, dengan dukungan dari Unit Manajemen
Perubahan (CMU, Change Management Unit), proses pengelolaan perubahan memungkinkan
Itjen mengadaptasi, mengatur, dan merangsang perubahan.
Sikap terhadap perubahan cukup kompleks, dan setiap orang bereaksi terhadap perubahan
secara berbeda. Perubahan dapat dilihat sebagai peluang untuk perkembangan atau juga
sebagai ancaman. Pengelolaan perubahan yang efektif menggunakan langkah-langkah
yang berurutan, komunikasi yang terus-menerus, dan pemantauan yang cermat dalam
memperkenalkan perubahan, menilai dampaknya, dan membuat penyesuaian yang diperlukan
selama kerangka waktu beberapa tahun.
Sebagai pembawa perubahan utama, Inspektur Jenderal memiliki visi akan seperti apa
organisasinya dalam lima tahun mendatang dan keyakinan bahwa pengalaman Kementerian
PU dapat menjadi contoh bagi operasional Itjen yang lain. Melibatkan manajemen atas dan
menengah Itjen merupakan prioritas utama di awal, agar staf Itjen merasa memiliki perubahan
yang berlangsung di organisasi mereka. Keberlanjutan akhirnya akan diperoleh melalui
kepemimpinan yang mengidentifikasi pendekatan yang tepat, menciptakan rasa mendesak,
menyasar dan mengukur manfaat, memantau kemajuan, serta mengkomunikasikan dengan
sering dan konsisten perubahan apa yang diperlukan dan mengapa diperlukan. Manfaatnya
akan mencakup lingkungan anti korupsi yang lebih baik; proses pengawasan Itjen yang ketat;
dan praktik pengadaan dan proses auditing dalam pengawasan pengadaan yang lebih baik.
Peningkatan kapasitas di lingkungan Itjen sangat penting untuk mewujudkan visi Inspektur
Jenderal terhadap perubahan yang berkelanjutan. Keberhasilan jangka pendek di bidang
ini, yang dibangun berdasarkan serangkaian sasaran yang dapat tercapai, terjangkau, dan
dirancang dengan baik, akan memotivasi dan memberi semangat kepada staf Itjen, sambil
menunjukkan pada organisasi bahwa proses perubahan dapat berlangsung dengan sukses.
Ini merupakan awal dari langkah kredibel dan tak kenal henti dalam mengkonsolidasikan
perolehan dan menghasilkan lebih banyak penyelesaian masalah dan perubahan.
Melaksanakan Pendekatan
Reformasi dan Pengelolaan
Perubahan Institusional
Perubahan organisasional merupakan aspek mendasar dari reformasi
Inspektorat Jenderal di Kementerian Pekerjaan Umum. Pengelolaan
perubahan ini memerlukan kepekaan terhadap situasi yang mendesak,
kepemimpinan yang berkomitmen dengan visi dan strategi, serta
komunikasi yang jelas. Elemen-elemen ini akan mendukung
pemberdayaan staf dan menunjukkan keberhasilan secara singkat
yang akhirnya akan menghasilkan budaya organisasi yang baru.
Oleh Steve Harris
Tantangan
Program yang didukung BPKP ini berawal dari upaya reformasi
yang dimulai pada tahun 2009, yang bertujuan menyediakan
pelayanan nilai tambah (value-added services) bagi Kementerian
PU yang lebih baik dari segi dampak anggaran, pengembangan
infrastruktur, dan pengamanan kegiatan. Sampai dengan awal
2012, dukungan Indll telah mendukung Itjen memperkuat
kapasitasnya dan membangun kemampuan teknisnya untuk
menjalankan pekerjaan audit internal, termasuk beberapa
Manajemen Perubahan. Meskipun dasar yang kokoh telah
dibentuk di lingkungan Kementerian PU untuk audit dasar
yang menggunakan teknik RBIA, sejumlah penghalang telah
diidentifikasi (seperti mekanisme dukungan dan struktur
pengelolaan yang tidak perlu) yang dapat menghambat hasil
investasi dalam pengembangan keterampilan dan kapasitas.
Tantangan-tantangan ini belum teratasi dalam struktur itjen
dan operasionalnya.
Prakarsa Compendium | Jilid 2
211
212
Mengubah Perilaku
Sikap terhadap perubahan cukup rumit, dan orang bereaksi
pada perubahan secara berbeda-beda. Sisi positifnya,
perubahan dapat dipandang sebagai peluang, peremajaan,
kemajuan, inovasi, dan pertumbuhan. Meski demikian, sama
sahnya, perubahan dapat dipandang sebagai ketidakstabilan,
pergolakan, tidak bisa diprediksi, ancaman, dan disorientasi.
Apakah seorang individu dalam sebuah organisasi memandang
perubahan melalui salah satu pandangan tersebut atau lainnya,
Prakarsa Compendium | Jilid 2
Merencanakan Perubahan
Yang sangat penting dalam proses perubahan adalah peran
Inspektur Jenderal (Irjen), Dr. Ir. M. Basuki Hadimuljono, M.Sc.
(baca artikelnya di hal. 201) yang wewenang dan pengaruhnya
penting bagi reformasi. Ia paham bahwa perubahan harus
dilakukan untuk meningkatkan operasional dan memenuhi
kewajiban Pemerintah Indonesia. Ia menghargai sepenuhnya
langkah-langkah yang perlu diambil untuk menjamin
pembentukan dan konsolidasi unit auditor profesional
di lingkungan Itjen. Secara signifikan, sebagai pembawa
perubahan utama, Irjen memiliki visi di mana organisasinya
akan berada lima tahun mendatang dan mempercayai bahwa
pengalaman Kementerian PU dapat menjadi model yang baik
bagi operasional Itjen lainnya. Irjen tidak hanya memahami
tantangan mendatang dan menunjukkan rasa kepemilikan
terhadap proses reformasi, ia jelas ingin bekerjasama dengan
AusAID dan membangun tim yang dapat mewujudkan visinya.
213
Unit Manajemen Perubahan, yang terdiri dari Kepala masingmasing Direktorat di Itjen, dapat memberikan dukungan
penting bagi kepemimpinannya. Unit itu sendiri sudah memiliki
cukup banyak staf dan dipimpin oleh Inspektur IV (Penataan
Ruang), W. Bintarto, dengan partisipasi dan dukungan dari tim
Indll.
Bagi semua pemangku kepentingan dalam kelompok
kepemimpinan ini, melibatkan manajemen tingkat atas dan
menengah di Itjen merupakan prioritas awal yang penting
sebagai para pemilik proses perubahan. Agar berhasil,
kelompok tersebut haruslah menginvestasikan seluruh upaya
dalam merealisasikan perubahan. Ini membutuhkan komitmen
pada visi Irjen, penekanan pada komunikasi vertikal dan
horizontal, penyusunan dan penerapan peta transformasi
(dan rencana tindak terkait), suatu proses sosialisasi yang
dilakukan dengan menunjukkan, bagaimana perubahan dapat
meningkatkan kinerja, dan berdasarkan komitmen terhadap
proses pemisahan transformasi yang dipertimbangkan dengan
baik di Itjen3. Ini akan memberi semangat kepada staf Itjen
untuk merasa memiliki perubahan yang berlangsung di
organisasinya.
214
Manfaat
Manfaat-manfaat dari proses Manajemen Perubahan perlu
disasar, diukur, dan ditetapkan pada tingkat organisasi. Manfaat
potensial ini sudah dikenal sebelum kegiatan reformasi dimulai.
Manfaat tersebut dapat menginspirasi kepemimpinan Itjen
dan juga stafnya, serta memberikan tolok ukur untuk penilaian
kemajuan.
Keberlanjutan
Kepemimpinan akan bisa berlanjut hanya jika dimensi-dimensi
di atas diperhatikan, dan juga faktor sukses yang mendasarinya.
Terlebih lagi, mengkomunikasikan visi dan strategi bagi
keberlanjutan merupakan inti dari Manajemen Perubahan yang
efektif. Koalisi pembimbing harus konsisten dengan janji, dan
menularkan visinya kepada orang-orang di Direktorat PU yang
lain dan Itjen lainnya. Hal ini akan menjadi langkah kuat menuju
pemberdayaan aksi berbasis luas di antara staf, dan akan
membantu menciptakan suasana organisasi yang lebih luas
dalam Pemerintah Indonesia yang mengakui dan menghargai
pengambilan risiko, pemikiran yang maju, dan inovasi. Proses
ini harus dikaitkan dengan pengakuan bahwa meskipun sulit,
memerlukan waktu, dan penuh masalah, hambatan potensial
yang mencegah perubahan dan menurunkan stabilitas visi
perubahan haruslah dinilai, diatasi, dan disingkirkan.10
Komunikasi
Tentang penulis:
Dr. Steve Harris telah bekerja sebagai konsultan internasional
selama 12 tahun setelah berkarir di bidang akademis dan
sebagai pegawai pemerintah. Ia memiliki gelar di bidang
Asian Studies dan telah menempuh pendidikan pasca sarjana
di bidang Hubungan Internasional dan Manajemen. Sebagai
seorang akademis dan pegawai negeri sipil, ia berkecimpung
dalam kegiatan politik, keamanan, dan pembangunan Asia
Pasifik, terutama yang berhubungan dengan Indonesia dan
Papua Nugini. Ia pernah bekerja dengan AusAID dan menjadi
konsultan untuk ADB, USAID, dan DFID, mengkhususkan
diri pada reformasi sektor publik. Ia pernah bekerja di
Malaysia, Papua Nugini, Indonesia, Pakistan, Nigeria, Irak,
dan Afghanistan. Ia telah memimpin sejumlah tim dalam
memulai, mendukung, dan mengevaluasi perubahan di dalam
pemerintah serta melakukan Reformasi Administrasi Publik
(PAR, Public Administration Reform). Secara khusus, ia pernah
terlibat dalam pembangunan kapasitas di bidang kebijakan
publik, pengembangan strategi, dan kepemimpinan dalam
manajemen, terutama tapi tidak terbatas pada daerah pasca
konflik. Pada tahun 2000-an, ia menghabiskan sebagian besar
waktunya di Afghanistan dan Irak, bekerja dengan pemerintah
Britania Raya dan Amerika Serikat di sektor kebijakan publik,
reformasi sektor publik, dan demokratisasi.
CATATAN
1. Itjen di Kementerian PU merupakan ketua dari Forbes APIP (lembaga informal dari semua Itjen di Indonesia). Oleh karenanya,
menjadi tanggung jawabnya sebagai ketua untuk mendukung prakarsa Pemerintah Indonesia untuk memperkuat kapasitas dari
semua Itjen dan dipandang sebagai mitra perkembangan dalam prakarsa anti korupsi Pemerintah Indonesia.
2. Kotter, J.P., Leading Change: Why Transformation Efforts Fails dalam On CM, Harvard Business Review Press, Boston,
Massachusetts, 2011, hal.3.
3. Ibid, hal. 1516.
4. Ibid, hal. 15.
5. Ada serangkaian teori mengenai cara melakukan perubahan. J.P. Kotter memperkenalkan proses perubahan delapan langkah di
dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1996, Leading Change; yang merupakan model yang berpusat pada masalah. Kedelapan
tingkatan (ditunjukkan dalam teks berwarna hijau di atas) memberikan kerangka yang diuraikan dalam artikel ini yaitu: (1)
menciptakan rasa mendesak; (2) mengembangkan koalisi pemandu; (3) membangun visi dan strategi; (4) mengkomunikasikan visi;
(5) memberdayakan aksi/tindakan berbasis luas; (6) menghasilkan keberhasilan jangka pendek; (7) mengkonsolidasi perolehan dan
menghasilkan lebih banyak perubahan; dan (8) menetapkan pendekatan baru ke dalam budaya organisasi.
6. Kotter, op.cit., p.7
7. Kegiatan kunci mencakup melakukan kajian dokumentasi, termasuk laporan dari konsultan Indll, mencari semua data yang tersedia,
menyelenggarakan beragam diskusi dengan staf Itjen dan pemangku kebijakan yang lain, dan mengimplementasikan kuesioner dan survei.
8. Garvin, David A. dan Michael A. Roberto, Change Through Persuasion dalam On CM, op. cit., hal. 1733.
9. Hal ini dapat mencakup berbagai percakapan empat mata atau kelompok kecil, penulisan, pelatihan, lokakarya interaktif atau forum,
kelompok fokus, video, papan buletin, dan Internet.
10. Kotter, op.cit., hal. 1113.
11. Ini akan menekankan pelatihan praktis, bimbingan dan pelatihan, didukung oleh beragam lokakarya relevan dan, bila perlu, beragam
kunjungan studi, dan kehadiran dalam konferensi profesional.
215
POIN-POIN UTAMA
Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan kemampuan audit internal di sektor
publik. Dengan dukungan dari Prakarsa Infrastuktur Indonesia (IndII) yang didanai oleh AusAID,
Pemerintah Indonesia menggunakan Internal Audit Capability Model for the Public Sector
(IA-CM, Model Kemampuan Audit Internal untuk Sektor Publik) untuk mereformasi kegiatan
audit internal di Kementerian Pekerjaan Umum. IA-CM adalah kerangka kerja, ditujukan
untuk penggunaan secara global, yang mengidentifikasi dasar-dasar yang dibutuhkan untuk
pelaksanaan audit internal yang efektif di pemerintahan dan sektor publik secara lebih luas.
IA-CM terdiri atas lima tingkat kemampuan progresif, yang dibagi menjadi unsur-unsur yang
spesifik yang kemudian dikaitkan dengan Wilayah Proses Utama (KPA) yang menjadi fokus dari
upaya-upaya perbaikan. Pada tahun 2010 Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP, lembaga audit internal Pemerintah Indonesia) menggunakan IA-CM untuk melakukan
survei kajian kelebihan dan kelemahan seluruh Inspektorat Jenderal Pemerintah Indonesia
(Itjen). Itjen di Kementerian PU ada di Tingkat 2.
Sebagai langkah pertama dalam membangun landasan bagi Itjen Kementerian PU untuk naik
ke peringkat IA-CM yang lebih tinggi, konsultan IndII melakukan kajian independen terhadap
Itjen pada tahun 2012 menggunakan kerangka kerja IA-CM, menindaklanjuti latihan BPKP
pada tahun 2010. Kajian tahun 2012 secara prinsip berfokus pada KPA di Tingkat 2. Beberapa
KPA di Tingkat 3 yang dapat dilembagakan bersamaan dengan Tingkat 2 juga diidentifikasi.
Hasilnya adalah Rencana Tindak IA-CM Berdasarkan Penilaian IA-CM Awal yang terperinci,
yang mengidentifikasi KPA yang perlu ditingkatkan dan keluaran yang diharapkan untuk bisa
mencapai KPA. Rencana Tindak ini juga mengidentifikasi risiko terkait dengan tidak adanya
tindakan; kegiatan utama untuk menerapkan KPA; dan faktor lingkungan dan organisasi yang
bisa memfasilitasi atau menghalangi penerapan KPA.
IA-CM tidak dimaksudkan untuk bersifat memberikan petunjuk dalam hal pelaksanaan
suatu proses, melainkan lebih pada hal-hal yang perlu dilakukan. Kementerian PU adalah
Kementerian besar yang terdesentralisasi dengan kegiatan-kegiatan di berbagai lokasi di
seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pelaksanaan audit internal menjadi lebih rumit daripada
Kementerian lain pada umumnya dan tidak terbatas pada persoalan keuangan, tapi juga
membutuhkan keterampilan dan kapasitas teknis audit.
Latihan IA-CM bersama Kantor Itjen Kementerian PU dimaksudkan untuk membantu
Inspektorat mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk pelaksanaan audit internal
yang efektif yang sesuai baik untuk Kementerian PU sendiri maupun lingkungan peraturan
eksternal yang ada di dalam Pemerintah Indonesia. Hal ini juga akan membantu para pemangku
kepentingan dan pembuat keputusan memahami pentingnya peran dan nilai tambah yang
dimiliki Itjen dalam tata kelola pemerintahan dan akuntabilitas sektor publik.
Meningkatkan Efektivitas
Inspektorat Jenderal
di Kementerian Pekerjaan Umum
Model Kemampuan Audit Internal dengan pendekatan building
block untuk mewujudkan pelaksanaan audit internal yang efektif.
Oleh Elizabeth MacRae
Latar Belakang
Pada tahun 2009, IIARF (Institute of Internal Auditors
Research Foundation) menerbitkan Internal Audit Capability
Model (IA-CM) for the Public Sector1 (Model Kemampuan
Audit Internal untuk Sektor Publik). IA-CM adalah kerangka
kerja yang mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan dasar
untuk audit internal (AI) yang efektif di pemerintah dan
sektor publik yang lebih luas. IA-CM dimaksudkan untuk
digunakan secara global sebagai dasar penerapan dan
pelembagaan audit internal yang efektif di sektor publik
217
218
Tingkatan IA-CM
IA-CM terdiri atas lima tingkat kemampuan progresif
(lihat Gambar 1). Setiap tingkat kemampuan menjelaskan
karakteristik dan kemampuan kegiatan AI pada tingkat
tersebut. Tingkatan IA-CM menggambarkan tahap-tahap
yang dilalui sehingga kegiatan AI dapat berkembang
mulai dari mendefinisikan, menerapkan, mengukur,
mengendalikan, dan meningkatkan proses dan praktiknya.
TINGKAT 5
Pengoptimalan
TINGKAT 3
Telah terintegrasi
TINGKAT 4
Telah dikelola
TINGKAT 2
Infrastruktur
TINGKAT 1
Awal
Tingkat
Pengoptimalan
Tingkat 4
Telah dikelola
AI Diakui sebagai
Agen Perubahan
Utama
Jaminan Keseluruhan
atas Tata Kelola
Pemerintahan,
Pengelolaan dan
Pengendalian Risiko
Pengelolaan Sumber
Daya Manusia
Keterlibatan
Pimpinan dengan
Badan Profesional
Proyeksi Tenaga Kerja
AI Berkontribusi
pada Pengembangan
Manajemen
Kegiatan AI
Mendukung BadanBadan Profesional
Praktik-Praktik
Profesional
Perbaikan Praktik
Profesional yang
Berkelanjutan
Perencanaan
Strategis AI
Strategi Audit
Meningkatkan
Pengelolaan Risiko
Organisasi
Pengelolaan Kinerja
dan Akuntabilitas
Hubungan dan
Budaya Organisasi
Pelaporan Publik
Efektivitas AI
Hubungan yang
Efektif dan Berlanjut
Kemandirian,
Kekuasaan, dan
Wewenang Kegiatan
AI
Integrasi Pengukuran
Kinerja Kualitatif dan
Kuantitatif
CAE Memberi
Konsultasi dan
Mempengaruhi
Manajemen Tingkat
Atas
Perencanaan Tenaga
Kerja
Tingkat 3
Telah terintegrasi
Tingkat 2
Infrastruktur
Tingkat 1
Awal
Layanan Penasihat
Audit Kinerja/Valuefor-Money
Audit Kepatuhan
Pembangunan Tim
dan Kompetensi
Staf Berkualifikasi
Profesional
Koordinasi Tenaga
Kerja
Pengembangan
Profesional bagi
Individu
Orang yang Terampil
Teridentifikasi dan
Direkrut
Kerangka Kerja
Pengelolaan Kualitas
Rencana Audit
Berbasis Risiko
Pengukuran Kinerja
Pengawasan
Independen Kegiatan
AI
CAE Memberi laporan
kepada Otoritas
Tingkat Atas
Informasi Biaya
Koordinasi dengan
Kelompok Pengkaji
Lainnya
Pengawasan
Manajemen terhadap
Kegiatan AI
Laporan Pengelolaan
AI
Komponen Terpadu
Tim Manajemen
Mekanisme
Pendanaan
Kerangka Kerja
Praktik dan Proses
Profesional
Anggaran Operasional
AI
Pengelolaan di dalam
Rencana Audit
Kegiatan AI
Berdasarkan Prioritas
Rencana Usaha AI
Manajemen/
Pemangku
Kepentingan
Akses Penuh
terhadap Informasi,
Aset, dan Orang
Dalam Organisasi
Hubungan Pelaporan
Dimulai
Ad hoc dan tak terstruktur; audit atau kajian tunggal terhadap dokumen, dan transaksi tersendiri untuk akurasi dan kepatuhan; keluaran
tergantung pada keterampilan individu tertentu yang memegang jabatan; tidak ada praktik-praktik profesional spesifik telah terwujud selain
yang disediakan oleh asosiasi profesi; pendanaan disetujui oleh manajemen, sesuai kebutuhan; ketidaktersediaan infrastruktur; auditor
kemungkinan merupakan bagian dari unit organisasi yang lebih besar; tidak ada kemampuan yang terwujud; maka, tidak ada KPA yang
spesifik.
219
220
Kegiatan
Diverifikasi
Wilayah Proses
Utama (KPA)
Kegiatan Diukur
Kemampuan untuk
Melaksanakan
Kegiatan
Kegiatan
Dilaksanakan
221
dilaksanakan
menggambarkan
penerapan
222
Tentang Penulis:
Elizabeth (Libby) MacRae adalah kepala tim ahli dalam
penerapan Model Kemampuan Audit Internal (IA-CM) untuk
Kegiatan Indll: Reformasi Tata Kelola Pemerintahan dalam
Fungsi Audit Internal (Itjen-Kementerian PU). Ia adalah
penulis utama Internal Audit Capability Model (IA-CM) for
the Public Sector (Model Kemampuan Audit Internal untuk
Sektor Publik) yang dipublikasikan oleh Institute of Internal
Auditors Research Foundation (IIARF) tahun 2009. Ia pernah
menjadi kepala peneliti yang mengembangkan model untuk
kepentingan IIARF, bekerjasama dengan Bank Dunia.
Karirnya dengan Pemerintah Kanada telah berlangsung
selama 30 tahun. Ia menjabat sebagai Kepala Eksekutif Audit
(Chief Audit Executive) di tiga departemen pemerintahan
(House of Commons, Canadian International Development
Agency, dan Natural Resources Canada). Ia juga pernah
menjadi Peneliti Senior (Senior Research Associate) di CCAF
(sebelumnya dikenal sebagai Canadian Comprehensive
Auditing Foundation) saat ia bertanggung jawab untuk proyek
penelitian multi-fokus di bidang Akuntabilitas dan Audit.
Ia telah menjadi anggota The Institute of Internal Auditors
(IIA) selama lebih dari 20 tahun dan pernah memegang
jabatan sebagai Presiden IIA untuk Cabang Ottawa, anggota
Professional Issues Committee dari 1996 hingga 2004, dan
anggota International Internal Audit Standards Board dari
2004 hingga 2011. Ia saat ini menjadi anggota Komite Sektor
Publik IIA dan anggota Komite Penasihat Audit dari Entitas
PBB untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan
(UN Women).
Ibu MacRae memiliki gelar Sarjana Sosiologi dari Universitas
Carleton dan seorang profesional auditor pemerintahan
bersertifikat (Certified Government Auditing Professional).
CATATAN
1. Internal Audit Capability Model (IA-CM) for the Public Sector (Model Kemampuan Audit Internal untuk Sektor Publik). Institute of
Internal Auditors Research Foundation. September 2009.
2. Model Kematangan Kemampuan (CMM, Capability Maturity Model) (merek layanan terdaftar dari Universitas Carnegie Mellon)
adalah model pembangunan yang diciptakan setelah pengkajian data yang dikumpulkan dari organisasi-organisasi yang memiliki
kontrak dengan Departemen Pertahanan AS, yang mendanai penelitian tersebut. Model ini menjadi landasan bagi Carnegie Mellon
untuk menciptakan Software Engineering Institute. Istilah kematangan berkaitan dengan tingkat formalitas dan optimalisasi
proses, dari praktik ad hoc, ke langkah jelas secara formal, ke ukuran hasil yang terkelola, ke optimalisasi proses secara aktif.
(Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Capability_Maturity_Model)
3. CMMI adalah merek layanan terdaftar dari Universitas Carnegie Mellon.
223
224
Dari Mengawasi Proyek Hingga Mengelola Risiko: Penguatan Praktik Audit di Kementerian Pekerjaan Umum
Ketika dana dalam jumlah besar dialokasikan khusus untuk pembangunan infrastruktur,
pendekatan tata kelola pemerintahan terbaik adalah dengan berfokus pada
pencegahan korupsi dan pemborosan, dan bukan mengenalinya setelah terjadi.
225
POIN-POIN UTAMA
Auditor dan pejabat KPK mengindikasikan bahwa prosedur pengadaan barang/jasa
pemerintah sering menjadi inti dari kasus yang mereka hadapi. Liputan media dan persepsi
masyarakat memperkuat keyakinan ini. Perundang-undangan baru yang terkait dengan tata
kelola pemerintahan telah memacu Inspektorat Jenderal (Itjen) di berbagai kementerian
untuk mengadopsi pendekatan baru yang akan meningkatkan akuntabilitas dan menjadikan
proses pengadaan lebih efisien dan efektif.
Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) yang didanai oleh AusAID bekerjasama dengan Itjen di
Kementerian PU untuk melembagakan perubahan yang akan menghasilkan fungsi audit internal
yang lebih kuat dan profesional, sesuai dengan standar internasional, yang menawarkan
sistem pengadaan barang/jasa yang menghasilkan kesepadanan manfaat (value for money)
yang lebih baik dan meningkatkan lingkungan anti korupsi. Manfaat yang diharapkan antara
lain kinerja organisasi yang lebih baik dan membuat pasar Indonesia menjadi lebih menarik
bagi investasi baru.
Keberhasilan akan tercapai hanya jika baik pemerintah maupun kontraktornya memiliki tujuan
yang sama untuk bekerja dengan integritas dan memberikan sesuatu yang bernilai. Di dunia
yang tidak sempurna, kajian independen tidak sekadar menjamin bahwa pemenuhan semua
kewajiban sesuai kontrak, tetapi juga bahwa keseluruhan lingkungan bersifat transparan dan
obyektif. Pemasok dan pelaku pengadaan yang bertindak secara adil tidak perlu merasa takut
terhadap audit.
Praktik pengadaan dan audit yang baik, dengan tingkat komunikasi yang tepat antara pelaku
pengadaan dan tim audit pada tahap perencanaan, akan menjamin bahwa tenaga ahli
pengadaan dan auditor memahami tujuan masing-masing sejak awal. Peran audit internal
akan beralih dari pemeriksaan pelanggaran menjadi pencapaian keluaran dan ukuran kinerja.
Program IndII dirancang untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi baik pemasok maupun
pelaku pengadaan barang/jasa, melalui pelatihan, pembinaan, dan bimbingan. Idealnya, ini
akan mendukung Itjen dalam mencapai visinya akan infrastruktur pengadaan yang efisien dan
efektif, serta peningkatan citra pengadaan pemerintah di mata masyarakat dan media.
227
228
Tentang Penulis:
Robert Thompson telah bekerja sebagai konsultan
ahli pengadaan barang/jasa dan memiliki pengalaman
internasional selama lebih dari 30 tahun dalam pengadaan
barang/jasa strategis dan operasional dengan keahlian
yang lebih mendalam di bidang Konstruksi, Migas, Utilitas,
Pengelolaan Limbah, Kesehatan, Logistik, Lingkungan, dan
Pendidikan. Ia telah bertugas di beberapa negara dalam
perancangan dan pelaksanaan program dan sistem reformasi
pengadaan sektor publik, dengan fokus pada kerangka hukum
dan kelembagaan dan penguatan kapasitas dan kompetensi
pengadaan barang/jasa nasional.
Robert telah bekerja di banyak negara, termasuk Afghanistan,
Indonesia, Papua Nugini, Azerbaijan, Kazakhstan, Cina, Brasil,
Sudan, Angola, serta beberapa negara Eropa, baik di sektor
publik maupun swasta, termasuk World Bank dan AusAID.
Robert memiliki gelar BA Hons. dalam bidang Administrasi
Bisnis dari Coventry University dan diploma dari Chartered
Institute of Purchasing and Supply.
CATATAN
1. Secara resmi, berdasarkan laporan tahunan KPK, angka untuk periode 20042011 adalah 41 persen. Namun, 35 persen kasus lainnya
yang telah dilakukan penuntutan adalah kasus suap, dan diyakini secara luas bahwa sebagian besar kasus tersebut juga terkait
dengan proses pengadaan barang/jasa.
Prakarsa Compendium | Jilid 2
229
POIN-POIN UTAMA
Korupsi bukanlah hal baru atau mudah ditangani dalam kegiatan pembangunan dan pemeliharaan
infrastruktur. Pendanaan dapat berasal dari alokasi anggaran pemerintah, bantuan pembangunan,
atau Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS), serta mekanisme lain yang melibatkan sektor publik
maupun swasta. Dengan demikian, adalah suatu tantangan untuk memahami di mana terdapatnya
titik-titik kebocoran. Kecuali bila titik-titik tersebut diidentifikasi sejak dini, tindakan korupsi
seringkali sulit dicegah.
Langkah-langkah yang dapat membantu menghentikan korupsi mencakup: mengidentifikasi asalusul pendanaan infrastruktur (sehingga pihak pengawas dapat benar-benar memahami dasar
pemikiran, tujuan, dan hasil yang ditetapkan); merumuskan sasaran yang tepat dan dapat diukur
untuk mencapai tujuan yang ditetapkan; memahami secara menyeluruh titik-titik pendanaan akan
dicairkan (seperti tanggal, tahap penyelesaian pekerjaan, atau pencapaian lainnya); melakukan
pengawasan dan peninjauan yang tepat terhadap proyek-proyek; dan mengakui besarnya biaya
yang diperlukan untuk pengawasan dan pengkajian yang efektif.
Berbagai masalah dapat timbul apabila pihak utama tidak tahu mengenai adanya subkontraktor
atau pihak ketiga yang juga terlibat dalam pelaksanaan proyek. Pemerintah mungkin mengontrak
kontraktor utama dan melimpahkan semua urusan logistik dan operasional kepada pihak tersebut,
termasuk menangani dan membayar subkontraktor. Penting sekali bahwa semua pihak dalam
proyek infrastruktur diidentifikasi sepenuhnya dan bahwa perangkat standar anti korupsi yang sama
menjadi bagian dari kontrak yang ditandatangani semua pihak, dengan penalti jika tidak dipatuhi.
Langkah-langkah tambahan untuk mengendalikan korupsi mencakup pelatihan dan peningkatan
kesadaran tentang apa yang diharapkan dan penalti atas ketidakpatuhan, berikut dukungan orangorang yang ingin melakukan segala sesuatu secara etis. Tidak ada gunanya menetapkan langkahlangkah hanya secara simbolis saja, karena orang akan mengamati apakah langkah-langkah yang
ditetapkan untuk memberantas korupsi diberlakukan secara sungguh-sungguh.
Selanjutnya, perlu disediakan aturan pelaporan yang terstruktur dan mudah dipahami yang tidak
menyita waktu lama, tetapi memberi bukti nyata mengenai apa yang dikerjakan.
Sosok teladan di pimpinan atas yang melambangkan budaya tiada korupsi merupakan kunci
keberhasilan program-program anti korupsi.
Sejumlah langkah telah ditempuh untuk memberantas korupsi di bidang pembangunan infrastruktur
Indonesia, meskipun perjalanan upaya-upaya ini masih jauh. Dari awal yang kecil, akan tumbuh
usaha yang besar. Upaya terus-menerus akan menghasilkan penurunan dalam korupsi dan
membuahkan segala manfaat yang menyertainya.
Mengelola Tantangan
Korupsi dalam Tata Kelola
Infrastruktur
Untuk menghentikan tindakan korupsi, titik-titik kebocoran perlu
diidentifikasi sejak dini dan ketentuan mengenai pelaporan harus
jelas dan bermakna. Semua pihak perlu dilatih, didukung, dan secara
kontraktual diwajibkan untuk mencegah korupsi, dan pemberi
teladan di tingkat atas harus berada di barisan depan.
Oleh Elizabeth Goodbody
Korupsi bukan hal baru, dan juga tidak mudah diatasi dalam
kegiatan pembangunan infrastruktur dan pemeliharaan.
Sebagaimana negara-negara lain, Indonesia memiliki
tantangannya sendiri ketika menangani korupsi di bidang
ini. Artikel ini akan menyoroti korupsi di bidang infrastruktur
dari sejumlah perspektif:
Pendanaan proyek infrastruktur dan kebutuhan untuk
mengidentifikasi titik-titik kebocoran.
Mengelola beragam pihak yang terlibat dalam
pembangunan infrastruktur.
Bagaimana membina budaya perusahaan yang anti
korupsi.
Waktu yang diperlukan untuk bergerak menuju
lingkungan yang menganut toleransi nol (zero
tolerance) terhadap korupsi.
Titik-Titik Kebocoran
Salah satu dari sekian banyak tantangan yang dihadapi
organisasi maupun negara terkait dengan korupsi dalam
231
232
dana hibah di masa depan, dilarang mendapatkan proyekproyek di masa depan, atau harus membayar penalti besar
atas kerugian yang diderita.
Memahami secara menyeluruh titik-titik di mana
pendanaan akan dicairkan. Titik-titik tersebut dapat
berupa tanggal, tahap penyelesaian pekerjaan, atau
pencapaian lainnya. Ini berarti mengidentifikasi dan
mendapatkan bukti asli bahwa titik tersebut telah tercapai.
Kami telah melihat persyaratan yang hanya meminta fotofoto yang memperlihatkan pekerjaan yang sudah selesai
seperti jalan raya, sistem pembuangan air limbah, skema
dan drainase; foto-foto yang bisa saja diambil di manapun.
Demikian pula, persyaratan pelaporan interim dapat saja
hanya meminta informasi yang hampir tidak bermakna.
Kami telah melihat persyaratan yang hanya meminta fotofoto yang memperlihatkan pekerjaan yang sudah selesai
seperti jalan raya, sistem pembuangan air limbah, skema dan
drainase; foto-foto yang bisa saja diambil di manapun
Kunjungan nyata ke lapangan oleh pihak yang benar-benar
independen, dengan pengambilan gambar secara langsung
dari orang yang sedang melakukan suatu pekerjaan, jauh
lebih bermakna.
Melakukan pengawasan dan pengkajian yang layak
terhadap proyek-proyek. Ini berarti, mengetahui titik-titik
yang relevan untuk diawasi dan melibatkan pihak-pihak
yang tepat dalam melakukan pengkajian.
Mengakui besarnya biaya untuk pemantauan dan
pengkajian yang efektif. Ini perlu diakui, bahkan sebelum
dana dialokasikan. Apabila tidak, langkah-langkah nyata
yang efektif mungkin tidak akan pernah diterapkan dan
titik-titik kebocoran tidak pernah dapat ditanggulangi
dengan baik.
233
234
Tentang Penulis:
Elizabeth Goodbody adalah Direktur PricewaterhouseCoopers
(PwC). Bertempat tinggal di Sydney, ia sudah bekerja pada
PwC selama 30 tahun lebih. Saat ini ia bertanggung jawab
langsung untuk memberi dukungan di bidang anti pencucian
uang (AML, anti-money laundering) kepada klien di bidang
layanan keuangan dan sektor lainnya, termasuk menjadi
penjaga gawang berbagai sektor seperti perumahan,
Akuntan, Pengacara, pedagang logam mulia, dan lainlain. Sebelumnya, Elizabeth mendapat tugas khusus di
Indonesia selama hampir lima tahun untuk membentuk dan
menjalankan bagian Analisis dan Penyelidikan Sengketa di
kantor PwC Jakarta. Seorang ahli di bidang anti pencucian
uang, strategi pencegahan penggelapan dan anti korupsi,
penyelesaian sengketa, penyelidikan forensik, pelacakan arus
dana dan aset, kesaksian saksi ahli, kurator dan likuidasi, ia
berpengalaman kerja di Australia, AS, Kanada, Inggris Raya,
Filipina, Irlandia, Thailand, dan Indonesia.
Elizabeth bertanggung jawab atas banyak proyek
kepemimpinan pemikiran (thought leadership projects)
mengenai anti pencucian uang dan pengendalian
penggelapan, termasuk memfasilitasi komunikasi dan diskusi
terbuka antar, dan untuk, industri perbankan dan asuransi,
lembaga donor internasional, pemerintah, bank sentral, dan
lembaga keuangan non-bank lainnya di wilayah Asia Pasifik.
Ia sering menjadi pembicara untuk bidang AML, penggelapan,
pencegahan dan pendeteksian korupsi dan penyuapan asing
di berbagai sesi pelatihan, seminar, serta konferensi nasional
dan internasional.
235
40%
60%
70%
Rp 26
Perkiraan biaya per tahun bagi Indonesia akibat rendahnya mutu konstruksi jalan.
262
triliun
0
Sampai 10
Jumlah Inspektorat Jenderal yang menduduki tingkat lebih tinggi dari 2 pada
IA-CM, yang terdiri dari lima tingkat.
236
Jalan Daerah
Edisi 14, Juli 2013
POIN-POIN UTAMA
Jalan di tingkat provinsi dan kabupaten, yang merupakan 91 persen dari jaringan jalan utama,
dalam dekade terakhir ini semakin rusak karena tidak memadainya investasi dan implementasi
pekerjaan pemeliharaan yang buruk. Konsekuensinya adalah pengeluaran yang tidak efisien,
kerusakan yang cepat, dan biaya tinggi bagi para pengguna jalan. Hal ini menghambat
pertumbuhan ekonomi.
Pemeliharaan jalan cenderung tidak mendapatkan dana yang cukup, terlambat dirawat dan
pelaksanaannya buruk, yang secara cepat mengakibatkan kerusakan. Hal ini menempatkan
Pemda dalam lingkaran setan membangun-rusak-memperbaiki. Jalanan aspal sering kali mulai
rusak dalam waktu dua sampai tiga tahun, bukan 10 tahun atau lebih yang biasa terjadi apabila
jalan dikelola dengan lebih baik. Kurangnya investasi untuk pemeliharaan jalan membuat
rekonstruksi akhirnya menjadi tiga sampai lima kali lebih mahal, dan menciptakan biaya yang
lebih tinggi bagi pengguna jalan.
Ada beberapa penyebab mengapa pemeliharaan jalan daerah tidak dilakukan tepat waktu,
antara lain tidak cukupnya alokasi dana untuk jalan di tingkat lokal; cara yang tidak efisien dalam
pengalokasian pembelanjaan saat ini dan masalah implementasi. Pengaturan untuk pemeliharaan
jalan daerah saat ini dilakukan berdasarkan modalitas tradisional berbasis input melalui
penggunaan unit swakelola untuk pemeliharaan rutin, dan kontrak untuk pekerjaan perbaikan
di lokasi yang rusak dan pemeliharaan berkala. Manajemennya buruk, manajer dan para pekerja
swakelola tidak mendapat insentif yang memadai atas kinerjanya, pendanaan peralatan tidak
dialokasikan dengan efisien, tidak terdapat cukup supervisi dan proses kontrak pun terpecahpecah.
Sebelum desentralisasi, kriteria objektif diterapkan untuk mengidentifikasi dan memenuhi
kebutuhan perencanaan dan pelaksanaan pemeliharaan jalan. Tetapi sekarang instansi pembuat
jalan tidak diminta pertanggungjawaban atas kinerja mereka dalam pemeliharaan jaringan jalan
dan peran pemerintah pusat belum sepenuhnya dipikirkan secara matang. Masyarakat madani
berpotensi untuk memainkan peran penting dalam memberi pengawasan dan bimbingan.
Direktorat Jenderal Bina Marga dalam lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum mencantumkan
perbaikan fasilitasi dan dukungan untuk pengelolaan jalan daerah yang lebih efektif sebagai
salah satu dari lima tujuan untuk periode perencanaan 201014. Pengalaman internasional
menyarankan agar strategi yang berguna untuk memenuhi tujuan ini mencakup peralihan dari
swakelola dan penerapan pekerjaan kontrak, menggunakan cara kontrak berbasis kinerja (PBC).
Apabila dilaksanakan dengan baik, PBC menawarkan penghematan biaya, kepastian yang lebih
besar dalam perencanaan pengeluaran, berkurangnya kebutuhan akan tenaga kerja internal dan
kondisi yang membaik atas aset jalan. Yang kini perlu diperhatikan adalah penanganan hal-hal
yang rumit mengenai PBC, pemastian bahwa jalan memenuhi standar kualitas dasar minimum,
pelatihan kontraktor dan penyelia, penetapan dan pemantauan standar kinerja, dan penanganan
isu politis yang sulit dalam mengurangi tenaga kerja di sektor publik.
Jalan Daerah
241
242
Jalan Daerah
Bila jalan dipelihara dengan baik, para pengguna jalan mendapat manfaat dari
berkurangnya biaya pemeliharaan kendaraan dan waktu tempuh perjalanan yang
lebih singkat.
243
244
Mengintegrasikan Pertimbangan Gender ke dalam Program Pengelolaan dan Peningkatan Jalan Provinsi
Semua kegiatan Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) mempertimbangkan kesetaraan gender dalam rancangan mereka, termasuk Program
Pengelolaan dan Peningkatan Jalan Provinsi (PRIM, Provincial Road Improvement and Maintenance Program). Analisis gender diintegrasikan
ke dalam PRIM untuk memberikan sarana yang diperlukan pelaksana program untuk menjamin bahwa PRIM menawarkan manfaat yang
setara bagi setiap orang, termasuk perempuan.
Analisis ini mempertimbangkan bagaimana perempuan dan laki-laki menggunakan jalan di wilayah setempat dengan cara yang sama atau
berbeda. Bagi kedua gender, kualitas jalan penting bagi mobilitas dan kegiatan komunitas, serta memiliki dampak yang signifikan terhadap
kehidupan keluarga. Ketika jalan yang rusak mengakibatkan terjadinya kecelakaan, maka hal ini akan berdampak pada kesejahteraan ekonomi
keluarga secara keseluruhan. Kualitas jalan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung, yang
mengakibatkan semakin sulit atau semakin mudahnya seseorang mengakses pekerjaan, pendidikan, dan pelayanan kesehatan.
Cara orang berinteraksi dengan jalan juga dapat berbeda berdasarkan gender. Contohnya, laki-laki dan anak laki-laki lebih sering menggunakan
jalan dibandingkan dengan perempuan atau anak perempuan, sehingga risiko laki-laki terlibat dalam kecelakaan menjadi lebih tinggi. Di sisi
lain, risiko kecelakaan meningkat bagi perempuan dan anak perempuan jika mereka kurang berpengalaman berkendara di jalan yang rusak.
Memahami persamaan dan perbedaan dalam cara orang menggunakan jalan merupakan dimensi yang penting dalam menganalisis dampak
dan manfaat PRIM, terutama dalam konteks lebih luas yang terkait dengan keselamatan, akses terhadap kesempatan, dan peningkatan
kesejahteraan.
Dari sudut pandang teknis, terdapat beberapa kesempatan untuk menyertakan pertimbangan gender dalam pelaksanaan program, seperti:
1. Kesempatan yang setara untuk mendapatkan pekerjaan: kesempatan kerja yang terkait dengan peningkatan dan pemeliharaan
jalan harus diberikan secara setara bagi kedua gender.
2. Representasi yang proporsional sebagai pemangku kepentingan: ketika berupaya mendapatkan masukan dari pemangku
kepentingan, PRIM harus mendorong perempuan untuk mengekspresikan pandangan mereka dan bertindak sebagai wakil resmi
masyarakat.
3. Representasi proporsional dari institusi yang berpartisipasi: berbagai institusi termasuk Pemda, polisi lalu lintas, dan IndII sendiri
terlibat dalam pelaksanaan PRIM. Perempuan yang bekerja dalam institusi-institusi tersebut harus secara proporsional terwakili
dalam menjalankan kegiatan PRIM.
4. Partisipasi yang proporsional dalam pengembangan kapasitas: kesempatan untuk berpartisipasi dalam pelatihan, lokakarya,
dan kegiatan pengembangan kapasitas lainnya harus diberikan kepada perempuan serta laki-laki. Ini merupakan kunci untuk
meningkatkan kualitas dari partisipasi perempuan, bukan hanya dari segi kuantitas.
5. Akses yang setara terhadap informasi: berbagi informasi dengan komunitas melalui semua fase PRIM. Hal ini penting, agar
masyarakat memahami manfaatnya dan dapat mengantisipasi kemungkinan adanya dampak negatif sejak dini. Informasi ini harus
disebarkan dengan menggunakan cara yang efektif dalam menjangkau perempuan maupun laki-laki.
PRIM masih berada dalam tahap awal, sehingga kesempatan untuk mengintegrasikan gender ke dalam kegiatan program masih terbuka luas.
Seiring dengan pelaksanaan program, PRIM akan berfokus tidak hanya dalam menjamin bahwa perempuan dapat berpartisipasi, tetapi juga dalam
mengukur bagaimana program ini memberikan manfaat bagi perempuan dan laki-laki dengan cara yang sama atau berbeda. Eko Setyo Utomo
Jalan Daerah
245
246
Pertama kali diterapkan di Kanada pada akhir 1980an, kontrak berbasis kinerja untuk jalan (Performance
Based Contracting, PBC) sekarang banyak diterapkan di
berbagai negara anggota Organisasi untuk Kerjasama dan
Pembangunan Perekonomian (Organisation for Economic
Co-operation and Development, OECD) lainnya. Di negaranegara berkembang, Amerika Selatan adalah pionir
dalam mengembangkan dan mengadopsi model PBC pada
pertengahan tahun 1990-an, dan sejak itu tren tersebut
menyebar ke Afrika dan Asia (contohnya, Chad, Afrika
Selatan, dan Filipina). Jika dilihat secara proporsional, hasil
yang dicapai sampai saat ini cukup menggembirakan. Hal ini
mencakup penghematan biaya untuk instansi pembuat jalan
sebesar 10 sampai 40 persen; kepastian yang lebih tinggi
dalam perencanaan pengeluaran; berkurangnya kebutuhan
akan tenaga kerja internal; dan peningkatan kondisi aset
jalan yang dikerjakan melalui kontrak, yang mengarah pada
meningkatnya kepuasan pengguna jalan. Instansi pembuat
jalan juga menikmati komitmen politik yang lebih kuat dan
lebih bertahan lama pada program pemeliharaan, karena
kewajiban pembayaran jangka panjang bersifat mengikat
secara hukum.
Meskipun demikian, tantangannya signifikan dan
pembelajaran penting dari berbagai pengalaman
internasional dapat diperoleh dari banyak literatur yang
tersedia. Pembelajaran ini mencakup antara lain:
Tingkat kerumitan PBC harus disesuaikan dengan tingkat
pengembangan sektor jalan di masing-masing negara.
Negara-negara berkembang dengan industri pemberian
kontrak dan kerangka kerja hukum/instansi yang masih
relatif lemah harus memulai dengan bentuk PBC yang lebih
sederhana, seperti pemeliharaan rutin untuk jangka waktu
satu tahun.
Agar PBC dapat berlangsung secara efektif, jalan harus
sekurang-kurangnya memenuhi standar kualitas dasar
minimum. Rehabilitasi dan pemeliharaan jalan melalui
PBC pada umumnya tidak sesuai untuk diterapkan pada
jalan dengan kondisi sangat buruk, karena tidak adanya
kepastian mengenai sifat dan seberapa jauh pekerjaan
perlu dilakukan agar jalan tersebut mencapai standar yang
dapat dipelihara. Terlebih lagi, perlu adanya keseimbangan
yang sesuai antara pekerjaan rehabilitasi dan pemeliharaan.
Semakin besar proporsi biaya rehabilitasi dibandingkan
Jalan Daerah
Pelaksanaan Selanjutnya
Jaringan jalan daerah yang semakin rusak merupakan
hambatan besar, yang kebanyakan tidak diakui, bagi
pembangunan Indonesia secara luas. Pengaturan yang
ada tidak memberikan value-for-money untuk wajib pajak,
Tentang Penulis:
Sebagai Direktur IndII, David Ray bertanggung jawab atas
keseluruhan kepemimpinan teknis dan strategis. Ia seorang
ekonom dengan lebih dari 10 tahun pengalaman kerja dalam
konteks pembangunan, terutama di Indonesia dan Vietnam.
Sebelum bergabung dengan IndII pada bulan April 2009, David
adalah Wakil Direktur proyek SENADA yang didanai USAID,
yang berfokus pada daya saing sektor manufaktur Indonesia.
Selama periode 200306, ia bekerja untuk Asia Foundation
di Vietnam, mengelola program tata kelola ekonomi USAID
untuk perbaikan iklim investasi di tingkat lokal. Sebelummya,
ia adalah penasihat di Kementerian Industri dan Perdagangan
Indonesia yang didanai USAID, terutama pada bidang
perdagangan, investasi, dan reformasi peraturan.
David memiliki keterampilan dan latar belakang teknis yang
meliputi berbagai bidang, termasuk reformasi peraturan dan
mikro ekonomi, kebijakan infrastruktur (terutama transportasi
dan air minum/sanitasi), perdagangan internasional dan dalam
negeri, desentralisasi dan penyediaan layanan pemerintah
daerah, metode riset dan statistik, serta manajemen proyek.
David memiliki beberapa gelar akademis, termasuk PhD
dengan fokus pada pembangunan ekonomi dan institusi di
Indonesia. Ia adalah penulis sejumlah artikel jurnal yang telah
teruji di kalangan terentu (refereed journal articles) dan babbab dalam buku mengenai pembangunan Indonesia. Ia adalah
pembaca, penulis, dan pembicara yang fasih berbahasa
Indonesia, dan telah banyak menulis dalam penerbitan
berbahasa Indonesia.
247
POIN-POIN UTAMA
Jalan provinsi mencakup 10 persen dari jaringan jalan daerah Indonesia, tetapi menopang
sekitar 20 persen arus lalu lintas. Meski ada peningkatan pendanaan jalan dalam satu dekade
terakhir, kondisi jalan ini belum meningkat dan dalam banyak kasus justru memburuk. Di
Nusa Tenggara Barat (NTB), kondisi jaringan provinsi telah menunjukkan sedikit peningkatan
dalam beberapa tahun terakhir, menyusul adanya peningkatan pendanaan yang signifikan.
Namun, bahkan dengan pendanaan yang cukup mendukung, meningkatkan kondisi jalan dan
mempertahankan perbaikan ini akan memerlukan komitmen jangka panjang.
Kondisi permukaan jalan juga dirugikan oleh kurangnya kualitas kondisi tepi jalan. Hal ini
memperpendek masa perawatan permukaan jalan yang mungkin sesungguhnya memadai.
Kerusakan yang terlokalisasi sering terjadi, seringkali karena alasan yang bisa diatasi dengan
langkah-langkah pencegahan yang sederhana.
Selain itu, sejumlah sepanjang jalan utama di Lombok bagian selatan dan di seluruh Sumbawa
bukan jalan yang tahan terhadap segara cuaca. Ini mempengaruhi pengoperasian hampir
sebanyak 25 persen jalan dan berdampak pada akses terhadap layanan sosial, wisata dan
industri, serta potensi untuk pembangunan.
Diperlukan pendekatan keseluruhan-jaringan yang lebih luas untuk pengelolaan dan
peningkatan. Untuk jalan dalam kondisi wajar, pembelajaran pentingnya adalah bahwa
pemeliharaan rutin dan berkala perlu dilakukan secara tepat waktu untuk meminimalisir
biaya untuk Dinas PU, dan untuk setiap jalan terdapat tingkat layanan tertentu (tidak terlalu
tinggi, dan tidak terlalu rendah) yang meminimalisir biaya pada masyarakat.
Untuk jalan yang sangat buruk sehingga mungkin tidak bisa dilalui untuk jangka waktu yang
lama, pembelajaran pentingnya adalah bahwa lebih bermanfaat memulihkan jalan yang
benar-benar memerlukan perbaikan daripada melakukan peningkatan signifikan pada kondisi
jalan yang masih berfungsi dan lebih baik lagi, jika sejak awal mencegah jalan tersebut
masuk ke kondisi yang memerlukan perbaikan.
Penting agar solusi perencanaan dan penyampaian ditujukan untuk menjawab persoalan
macam itu. Diperlukan baik pengetahuan lokal yang terperinci maupun pemahaman yang
luas akan jaringan.
Jalan Daerah
249
250
100
100
90
90
80
80
Desa/Tidak Terbentuk/
Tak Dapat Dilalui
70
70
60
60
50
50
40
40
30
30
Jalan Makadam/
Pasir-Batu Tanpa
Aspal Pengikat
20
20
Lapis Penetrasi/Lapen
10
10
Keras/Beton
Kondisi Stabil
Jawa
Barat
Jawa
Tengah
Bali
NTB
Sulawesi
Barat
88.2
95.6
90.4
46.0
24.6
Tanah
Konstruksi Jalan Dengan
Permukaan Batu
Jawa
Barat
Jawa
Tengah
Bali
NTB
Sulawesi
Barat
Aspal
Lombok
Sumbawa
Jalan Pertambangan
Jalan Strategis Nasional
Jalan Prim
Jalan Nasional
Jalan Daerah
mengumpulkan dan menyalurkan lalu lintas antar pusatpusat populasi dan produksi. Komponen di tingkat
kabupaten memperluas jangkauan ini dengan cara
menyediakan akses terhadap sawah, peternakan dan
pasar, dan terhadap layanan dasar, seperti sekolah dan
pusat kesehatan.
Di banyak tempat di Indonesia bagian timur, kondisi
jalan provinsi yang buruk merupakan hambatan besar
terhadap
pembangunan.
Diperlukan
pendekatan
keseluruhan-jaringan yang lebih luas untuk pengelolaan
dan perbaikan. Ini diilustrasikan di NTB dengan perluasan
tanggung jawab nasional untuk mencakup proporsi
jaringan provinsi (dinamakan Jalan Strategis Nasional),
251
252
40%
35%
30%
25%
20%
15%
10%
5%
0%
Beraspal
Tidak
beraspal
Tanah
3.5
3.0
2.5
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0
Beraspal
Tidak
beraspal
Tanah
Jalan Daerah
253
254
Tentang Penulis:
Tyrone Toole adalah Penasihat Kepala Pengelolaan
Infrastruktur Berkelanjutan di ARRB Group Ltd., Australia
(dulu dikenal sebagai Australian Road Research Board). Ia
memiliki pengalaman lebih dari 30 tahun dalam serangkaian
luas proyek rekayasa dan pengelolaan jalan, dan dalam
pengembangan dan pelatihan kelembagaan di lebih dari 20
negara, dan memiliki spesialisasi dalam memberikan saran
berbasis penelitian terkait pengelolaan dan perancangan
jalan bervolume rendah dan tinggi di negara maju, negara
berkembang, dan negara berkekuatan ekonomi baru. Tyrone
bergabung ke ARRB pada tahun 2001 setelah lebih dari
20 tahun bergabung dengan Unit Luar Negeri di Transport
Research Laboratory milik Inggris, dan telah menulis dan
ikut menulis pedoman-pedoman pengelolaan jalan dan
penerapan perencanaan jalan serta sistem dan prosedur
pengelolaan. Beberapa proyek besarnya baru-baru ini antara
lain pengembangan kebijakan pengelolaan pemeliharaan jalan
dan prosedur untuk jalan daerah di Indonesia, pendanaan
pemerintah daerah di Australia Barat, pengembangan model
kerusakan dan pemeliharaan jalan untuk jalan daerah, serta
sistem pengelolaan jalan untuk jalan daerah.
CATATAN
1. Data diambil dari Survei Gaya Hidup Keluarga Indonesia (IFLS4, Indonesian Family Lifestyle Survey) tahun 2008. Temuan yang serupa
dapat diambil dari Sensus Infrastruktur Desa (VIC, Village Infrastructure Census) tahun 2012 dari Bank Dunia yang menyediakan
data kesehatan, pendidikan, dan transportasi (jalan, jembatan, dan transportasi umum) di tingkat desa. Menurut Laporan Kuartal
Indonesia oleh Bank Dunia (Desember 2012, World Banks Indonesian Economic Quarterly), VIC menemukan bahwa terdapat
korelasi positif yang jelas antara indikator transportasi dengan indikator ketersediaan kesehatan dan pendidikan.
Jalan Daerah
255
Tantangan Perencanaan
dan Penganggaran Jalan
di Tingkat Daerah
Di tingkat regional, aspek kunci perencanaan dan alokasi anggaran
untuk jalan memerlukan perbaikan. Strategi yang membantu antara
lain pemanfaatan Sistem Manajemen Jalan yang lebih baik dan alat
bantu yang dapat menunjang para pengambil keputusan dalam
mempertimbangkan semua sisi biaya dan manfaatnya.
Oleh Efi Novara Nefiadi dan M. Hatta Latief
256
Masyarakat
Masyarakat
Masyarakat
Jalan Daerah
CATATAN
1. Lihat UU no. 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan ini memberikan otonomi kepada setiap tingkat pemerintahan dalam penyediaan,
pembangunan, peraturan, dan pengawasan atas jaringan jalan mereka sendiri.
2. Semua ini ditetapkandalam Rencana Program Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
257
POIN-POIN UTAMA
Terdapat permasalahan akut dalam hal kualitas dan ketepatan waktu pembangunan dan
pemeliharaan jalan di sebagian besar jalan daerah Indonesia. Kerangka kerja analitis yang
disebut Akuntabilitas, Kapasitas, dan Kepercayaan ACT Accountability, Capacity, and Trust
dapat dipakai untuk memahami faktor-faktor utama yang mempengaruhi kinerja semua pihak
yang bertanggung jawab untuk pemeliharaan jalan.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki pangsa pasar sebanyak 40 persen berdasarkan
nilai di industri pembangunan jalan Indonesia. Sisa pasar terbagi pada sekitar 2.000
perusahaan lain yang sebagian besar adalah perusahaan sangat kecil. Industri ini terpecahpecah dan tidak berkembang. Dengan harga yang terutama ditentukan oleh klien, tidak ada
penghargaan/sanksi untuk kinerja, dan penyertaan BUMN sebagai pesaing, bisa dikatakan
sebagian besar industri ini belum beroperasi di dalam pasar yang efektif.
Tantangan paling serius terletak pada kurangnya tenaga ahli profesional. Selain itu juga, tidak
ada mekanisme yang efektif untuk mendefinisikan dan menegakkan standar profesional.
Konsultasi teknik telah sangat dipengaruhi oleh kendala ini, yang mengakibatkan sangat
rendahnya kualitas pengawasan lapangan. Banyak usaha skala kecil tidak memiliki alasan
yang cukup kuat untuk mengembangkan keterampilan atau berinvestasi dalam bentuk staf
spesialis dan peralatan. Sebagian besar kontraktor yang lebih besar mampu menghasilkan
pekerjaan berkualitas ketika disyaratkan. Namun ketika mengerjakan jalan umum, mereka
umumnya tidak dimintai pertanggungjawaban oleh para tenaga ahli pengawas.
Situasi ini diperparah dengan prosedur operasional klien yang tidak selaras dengan praktik
yang baik yang diakui secara internasional, dan kenyataan bahwa klien tidak memantau
kinerjanya sendiri.
Reformasi telah diperkenalkan sebelumnya untuk mengatasi permasalahan ini. Langkahlangkah tersebut tidak berhasil. Terkadang konsekuensi yang tidak diinginkan dari reformasi
tersebut melemahkan kinerja. Reformasi tersebut berdasarkan anggapan yang salah bahwa
sektor swasta tidak dapat dipercaya untuk berinvestasi pada kapasitasnya sendiri. Sejalan
dengan ACT, sebuah pendekatan alternatif adalah dengan berfokus pada penciptaan
lingkungan yang bertujuan membangun mekanisme akuntabilitas yang efektif yang akan
mengarahkan pada peningkatan kepercayaan.
Dalam jangka pendek, ini berarti membuang segala proses yang tidak langsung menghasilkan
peningkatan kinerja, dan sebaliknya berfokus pada dukungan penguatan pengawasan
lapangan. Prinsip yang sama berlaku dalam kasus unit pemeliharaan rutin secara swakelola.
Jalan Daerah
259
Mereformasi Pelaksanaan
Pemeliharaan Jalan Daerah
Meskipun terjadi, atau pada beberapa kasus sebagai akibat dari,
serangkaian reformasi selama dekade terakhir, pemeliharaan jalan
provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia tidak memenuhi kebutuhan
para pengguna jalan atau harapan para pembayar pajak. Hal ini terutama
dapat dikaitkan dengan kurangnya kepercayaan antar pemangku
kepentingan, yang pada akhirnya menghasilkan kegagalan klien dalam
memastikan pengakuan dan penghargaan atas kinerja yang baik.
Oleh Hamish Goldie-Scot
260
Kapasitas
Akuntabilitas
Memungkinkan
Pencapaian Kinerja
Mewujudkan
Kinerja
Pengelolaan Kualitas
Transparansi
Pemantauan Kinerja
Trust
C
T
Lingkungan
Kelembagaan dan
Regulasi yang
Kondusif
Make Performance
Flourish
Nilai Dan Visi yang Sama
Saling Percaya Antar Pemangku Kepentingan
Keyakinan Terhadap Kewajaran Kontrak dan
Proses Pengadaan
Membuat Kinerja
Berkelanjutan
Pengembangan Kapasitas Digiatkan
Mekanisme Akuntabilitas Diterapkan
Kinerja yang Baik Diberi Penghargaan
Persoalan Kapasitas
Sebagaimana telah dirangkum dalam Gambar 1 di atas,
kapasitas terdiri atas tiga unsur: (1) sumber daya yang
memadai dari sisi keuangan, staf, dan peralatan; (2)
prosedur operasional yang terperinci untuk mendefinisikan
bagaimana sumber daya tersebut dimanfaatkan dalam
praktiknya; dan (3) keterampilan dan pengalaman yang
diperoleh staf pelatihan dalam implementasi praktis
prosedur operasional tersebut.
Jalan Daerah
Campuran
40
Swasta
35
BUMN
30
Rp Miliar
25
20
15
10
5
0
WM AK AM WK RE AJ
BR TG BA BM SB
CK HP NN
LS BB DM AR MN AS MM
Gambar 3: Tanggapan Survei untuk Staf Pengawas Lapangan Mudah Dibujuk Untuk
Menyetujui Pekerjaan di Bawah Standar
80%
60%
40%
20%
0%
Tidak Setuju
Setuju
Sangat Setuju
Tidak Tahu
Kontraktor
Profesional dalam
Pengawasan
Hasil
261
262
Jalan Daerah
Tanpa pemeliharaan terhadap area tepi jalan, konstruksi pada pinggiran jalan akan
cepat retak.
263
264
Membangun Kepercayaan
Sejalan dengan kerangka kerja ACT, sebuah pendekatan
alternatif untuk pemerintah provinsi seharusnya akan
berfokus pada penciptaan lingkungan kelembagaan dan
regulasi yang terutama bertujuan membangun mekanisme
akuntabilitas yang efektif yang pada saatnya nanti
menimbulkan peningkatan kepercayaan.
Dalam jangka pendek, ini berarti membuang segala mekanisme
akuntabilitas atau proses administrasi yang tidak menunjukkan
hasil dalam hal peningkatan kinerja, dan sebaliknya berfokus
pada dukungan terhadap penguatan pengawasan lapangan.
Dalam kasus pemeliharaan berkala, hal ini berarti mengakui
Jalan Daerah
Tentang Penulis:
Hamish Goldie-Scot telah bekerja sebagai konsultan
internasional selama 33 tahun, setelah dua tahun bekerja
sebagai seorang guru di Afrika. Ia memiliki pengalaman yang
kuat terutama di bidang pengembangan dan pengkajian
prakarsa tata kelola yang baik secara partisipatif, di bidang
konstruksi dan pemeliharaan jalan berbasis tenaga kerja,
dan yang lebih umum di bidang peningkatan dampak
pembangunan yang berpihak pada rakyat miskin untuk
investasi infrastruktur oleh sektor publik dan swasta. Ia
pernah bekerja sebagai Insinyur Sipil, Perencanaan yang
berpihak pada rakyat miskin, Insinyur Lingkungan, Pelatih, dan
seorang ahli di bidang Pemantauan & Evaluasi/Tata Kelola di
26 negara berkembang dalam berbagai penugasan. Jangkauan
pekerjaannya meliputi prakarsa akses pedesaan tingkat desa
hingga memfasilitasi diskusi internasional tingkat menteri
mengenai investasi infrastruktur dan risiko korupsi terkait.
Kualifikasi dan pengalamannya yang luas memungkinkannya
menerapkan keterampilannya secara luas serta lintas disiplin
dan sektor. Ia merupakan anggota (fellow) UK Institution of
Civil Engineers.
CATATAN
1. Badan jalan (carriageway) adalah lebar jalan tanpa adanya pembatas atau pemisahan secara fisik yang menghalangi kendaraan
untuk bergerak dari sisi satu ke sisi yang lain.
2. Kerangka kerja ACT diperkenalkan pertama kali dalam Naskah Pengarahan 2008 (Briefing Paper 2008) yang diterbitkan oleh UK
Institution of Civil Engineers. ACT berhasil diterapkan sebagai sarana studi korupsi oleh Bank Dunia di Etiopia dan kinerja industri
pembangunan jalan di Indonesia. Kemudian dikembangkan lebih lanjut di bawah studi jalan daerah IndII di Provinsi Nusa Tenggara
Barat. Pada tahun 2013, ACT digunakan untuk menganalisis kendala kinerja kontrak pemeliharaan jalan di Mongolia.
3. Sumber: Road Construction Industry Assessment, Indonesia (Penilaian Industri Pembangunan Jalan, Indonesia). Bank Dunia. 2011.
4. Sumber: Provincial and Kabupaten Road Maintenance Management Phase 2: Interim report on maintenance implementation
delivery mechanisms (Pengelolaan Pemeliharaan Jalan Provinsi dan Kabupaten Tahap 2: Laporan sementara mengenai mekanisme
pelaksanaan implementasi pemeliharaan). AARB untuk IndII. 2011.
5. Selain dari ancaman dimasukkan ke dalam daftar hitam, yang dengan mudah bisa dihindari melalui pendaftaran perusahaan
alternatif.
6. Sumber: Road Construction Industry Assessment, Indonesia (Penilaian Industri Pembangunan Jalan, Indonesia). Bank Dunia. 2011.
7. Standar internasional yang diakui untuk pengadaan sektor konstruksi adalah ISO 10845.
8. Munculnya praktik yang baik secara internasional dalam hal ini diuraikan di bawah prakarsa Transparansi Sektor Konstruksi
(Construction Sector Transparency, atau CoST) internasional, lihat www.constructiontransparency.org
9. Situs online khusus yang melayani permintaan sektor swasta untuk peningkatan tingkat kepercayaan adalah www.myspeedoftrust.
com
10. Studi Substitusi Tenaga Kerja oleh Bank Dunia yang dilakukan di Asia dan Afrika pada tahun 1970-an mengidentifikasi potensi
peningkatan yang signifikan dalam kualitas dan dalam produktivitas tenaga kerja melalui peningkatan praktik pengelolaan dalam
program pekerjaan umum. Peningkatan tersebut biasanya meliputi penyediaan dan pemeliharaan sarana yang memiliki kualitas
yang baik, upah tunai, tugas harian yang terdefinisi dengan jelas (yang setelahnya pekerja atau tim yang bersangkutan bebas untuk
pulang ke rumah), dan kondisi kerja yang baik. Studi banding informal yang dilakukan oleh penulis mengenai proyek pembangunan
jalan berbasis tenaga kerja di Afrika pada tahun 1980-an menemukan banyak kasus bahwa peningkatan pengelolaan memakan biaya
harian secara keseluruhan menjadi lebih dari dua kali lipat, tapi menghasilkan kualitas tinggi secara konsisten dan mengarah pada
peningkatan yang cukup besar dari sisi produktivitas.
Prakarsa Compendium | Jilid 2
265
POIN-POIN UTAMA
IndII tengah menjalankan percontohan pendekatan baru terhadap pemeliharaan jalan daerah yang
menunjukkan harapan bagi peningkatan akuntabilitas dan transparansi, menjadikan penggunaan dana
lebih efisien, dan menghasilkan jalan yang lebih terpelihara. Program Peningkatan dan Pengelolaan
Jalan Provinsi (Provincial Road Improvement and Maintenance Program,[PRIM]) akan dijadikan
percontohan di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada tahun 2013. Program ini akan mempergunakan
kontribusi Hibah Infrastruktur Australia-Indonesia (Australia Indonesia Infrastructure Grant, [AIIG])
untuk mendorong peningkatan pemeliharaan dan tata kelola pemerintahan yang baik terkait dengan
jalan provinsi. Melalui prosedur pemerintah yang ada, PRIM akan meningkatkan cara pemerintah
provinsi mengelola dan memelihara jaringan jalan dan mendorong pengawasan publik terhadap
efektivitas perencanaan dan penyelenggaraan pemeliharaan. Hibah AIIG akan diberikan apabila
pekerjaan pemeliharaan telah diverifikasi bahwa pekerjaan telah direncanakan dan dilaksanakan
dengan menggunakan prosedur yang ditetapkan dan memenuhi standar yang telah disepakati.
Provinsi akan membiayai terlebih dahulu program kerjanya, dan akan menerima kontribusi hibah
AIIG setelah dinilai berhasil mematuhi syarat program.
PRIM unik karena menentukan sasaran pada pemeliharaan rutin, yang sering kali terabaikan.
Tahap 1, mulai tahun 2013 sampai dengan bulan Juni 2015, akan berkonsentrasi pada peningkatan
kapasitas kelembagaan dan tata kelola pemerintahan dan memperkenalkan pemeliharaan yang
efektif; Tahap 2, mulai bulan Juli 2015 sampai dengan 2018, akan melanjutkan dan memperluas
pekerjaan pemeliharaan dan rehabilitasi.
Total biaya yang diperkirakan untuk program di NTB adalah A$ 130 juta, AIIG akan memberikan hibah
sampai dengan A$ 52 juta. Pendanaan hibah ini akan dilengkapi dengan TA (technical assistance)
yang didukung IndII dan dana tambahan yang akan disediakan sebagai insentif untuk memperkuat
prosedur perencanaan, pemrograman, dan penganggaran (planning, programming, and budgeting,
[PPB]) dan untuk melibatkan masyarakat melalui Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (FLAJ).
Kondisi jalan provinsi yang tidak memuaskan merupakan akibat dari buruknya kualitas konstruksi dan
kurangnya pemeliharaan. Proyek tidak selalu dipilih menurut kriteria yang rasional dan berdasarkan
kebutuhan, pekerjaan seringkali ditetapkan dan diawasi dengan cara yang tidak memadai, dan
korupsi bukan hal yang tidak biasa. Akar masalah tersebut tidak lain adalah kurangnya insentif untuk
tata kelola pemerintahan yang efektif. Dinas Bina Marga tidak dimintai pertanggungjawaban dan
tidak mendapat pengawasan publik.
PRIM mengikutsertakan pembelajaran dari pengalaman sebelumnya: Masukan jangka pendek dari TA
dan sumber daya lain hanya akan memberikan dampak jangka pendek, kecuali apabila pengaruhnya
dapat dilembagakan dan menjadi bagian dari kegiatan sehari-hari Dinas Bina Marga. Ini berarti
melembagakan penggunaan perangkat perencanaan rasional ke dalam proses alokasi anggaran,
meningkatkan akuntabilitas, memberi insentif terhadap kinerja yang baik, dan mengenakan sanksi
terhadap kinerja yang buruk.
Hasil PRIM akan diverifikasi secara independen oleh tim teknis DJBM, dan akan menjadi dasar
persetujuan pencairan hibah. Verifikasi akan mencakup tiga bidang, yaitu: penyusunan program
pekerjaan pemeliharaan, pelaksanaan pekerjaan fisik, dan peningkatan kinerja kelembagaan.
Pendekatan berbasis hasil dan hibah insentif merupakan inovasi terpenting dalam rancangan
PRIM. Hal yang juga penting adalah penentuan indikator-indikator anti-korupsi dan FLAJ yang
akan meningkatkan tata kelola pemerintahan dan transparansi dengan menangani persoalan yang
menjadi perhatian publik dan memberikan tekanan kepada Dinas Bina Marga untuk merencanakan
dan melaksanakan program pemeliharaan yang efektif.
Jalan Daerah
267
268
Jalan Daerah
Komponen-Komponen PRIM
Program di NTB tersebut akan diselesaikan dalam dua
tahap: Tahap 1, mulai tahun 2013 sampai dengan bulan
Juni 2015 (yang mencakup tahap yang sedang berjalan saat
ini dari pendanaan IndII dan AIIG), akan berkonsentrasi
pada peningkatan kapasitas kelembagaan dan tata kelola
pemerintahan serta memperkenalkan pemeliharaan yang
efektif; Tahap 2, mulai bulan Juli 2015 sampai dengan 2018,
akan melanjutkan dan memperluas pekerjaan pemeliharaan
dan rehabilitasi.
Total biaya yang diperkirakan untuk program di NTB adalah
A$ 130 juta, dan AIIG akan memberikan hibah sampai
dengan A$ 52 juta. Pendanaan hibah ini akan dilengkapi
dengan TA yang didukung oleh IndII, termasuk penguatan
kelembagaan, dukungan pengembangan kapasitas dan
pengelolaan program, verifikasi hasil serta pemantauan dan
evaluasi, (M&E) senilai A$ 15,3 juta. A$ 2,6 juta tambahan
akan tersedia sebagai insentif untuk memperkuat prosedur
perencanaan, pemrograman, dan penganggaran (planning,
programming, and budgeting, [PPB]) dan untuk melibatkan
masyarakat melalui Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(FLAJ) yang ada. Total pendanaan Australia akan mencapai
A$ 69,8 juta, di antaranya A$ 17,2 juta (hibah AIIG sebesar
A$ 11,4 juta dan TA AusAID sebesar A$ 5,8 juta) akan
dialokasikan untuk Tahap 1.
Tingkat pengembalian ekonomis yang diperkirakan
(economic internal rate of return, [EIRR]) untuk tujuh paket
pemeliharaan dan pekerjaan rehabilitasi1 berkala awal pada
Tahap 1 adalah 88 persen dengan seluruh jalan dan paketnya
memberikan nilai bersih saat ini (net present values, [NPV])
positif. EIRR untuk program PRIM secara keseluruhan
adalah 98 persen, dengan NPV sebesar A$ 43,5 juta. PRIM
juga memungkinkan Dinas Bina Marga untuk memperoleh
penghematan bersih sebesar sekitar A$ 25,3 juta.
269
270
Jalan Daerah
Officials in Nusa Tenggara Barat have shown a strong interest in participating in the
PRIM pilot program.
271
272
Mendorong Kinerja
Pendekatan berbasis hasil dan hibah insentif merupakan
inovasi terpenting dalam rancangan PRIM. Tidak ada program
setara yang pernah menerapkan pendekatan ini sebelumnya.
Unsur utama yang diperlukan untuk mengubah perilaku
secara berkesinambungan adalah dengan keberadaan FLAJ
yang melakukan pengawasan eksternal secara efektif dan
menuntut transparansi yang lebih besar terkait rencana
dan kinerja. PRIM akan memberikan insentif keuangan
untuk mendorong perubahan kelembagaan dan pelatihan;
dukungan PRIM kepada FLAJ akan membuat pengaruh
mereka menjadi lebih efektif. PRIM juga akan melibatkan
pihak ketiga yang independen untuk memverifikasi bahwa
pekerjaan yang telah diselesaikan memenuhi kriteria yang
disepakati, dan memberikan insentif untuk mengurangi
peluang penipuan dan korupsi. Lebih lanjut, PRIM telah
dirancang menjadi program yang berkelanjutan dengan
penekanan pada penyelesaian dan penguatan sistem dan
prosedur pemerintah yang ada, dengan menggunakan
konsultan dan kontraktor lokal, melatih staf provinsi, dan
meningkatkan tekanan akuntabilitas kinerja.
Korupsi
Berbagai langkah dalam PRIM untuk mengurangi
risiko korupsi mencakup rencana tindak anti-korupsi,
memperkerjakan verifikasi independen, dukungan untuk
FLAJ, dan tentu saja ancaman untuk menolak pembayaran
(non-reimbursement) dari fasilitas AIIG. FLAJ, dengan
fokusnya pada transparansi dan keterlibatan masyarakat
sipil, akan membantu mencegah suap dan kualitas
pekerjaan yang rendah. Perjanjian hibah akan mencakup
mekanisme untuk menarik kembali dana dari NTB apabila
terdapat bukti adanya pengeluaran yang tidak memenuhi
syarat setelah pencairan hibah.
Peran FLAJ
FLAJ akan memegang peran penting dalam PRIM, melalui
peningkatan tata kelola pemerintahan dan transparansi
dengan menangani persoalan yang menjadi perhatian
publik dan memberikan tekanan kepada Dinas Bina
Marga untuk merencanakan dan melaksanakan program
pemeliharaan yang efektif. FLAJ NTB didirikan pada tahun
2010, dengan tugas memecahkan masalah lalu lintas jalan
dan angkutan, mengkoordinasi badan-badan provinsi
terkait dan melaporkan hasilnya kepada Gubernur. Dengan
diketuai oleh Gubernur sendiri, keanggotaan FLAJ termasuk
kepala dinas pekerjaan umum provinsi, kepolisian dan
dinas perhubungan darat, perwakilan penyelenggara
transportasi, perwakilan universitas, pakar bidang
transportasi, perwakilan LSM yang fokus pada transportasi
dan pengamat transportasi. PRIM akan memperkuat
perannya dalam menangani pengaduan masyarakat serta
meningkatkan tata kelola pemerintahan dan transparansi
dengan melakukan pengawasan terhadap rencana dan
program Dinas Bina Marga. Dukungan PRIM kepada FLAJ
termasuk memberikan dukungan untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat terhadap persoalan pemeliharaan
jalan dan peran FLAJ melalui pesan SMS, pengembangan
situs internet, dan rapat komunitas mengenai rencana
dan proyek (misalnya, mengenai prioritas keseluruhan
pekerjaan, serta persoalan daerah terkait proyek seperti
akses terhadap properti, keberlangsungan sistem drainase,
dll.). PRIM juga akan mendukung FLAJ untuk menangani
persoalan lintas sektoral seperti akses yang setara terhadap
transportasi bagi penyandang cacat dan melaporkan
Jalan Daerah
Tentang Penulis:
John Lee adalah Direktur Teknik untuk Transportasi
pada Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII). Ia memiliki
pengalaman lebih dari 40 tahun sebagai spesialis sektor
transportasi, termasuk 15 tahun bekerja di Indonesia. Ia
berpengalaman mengelola berbagai macam proyek kebijakan
dan perencanaan transportasi, menangani semua moda
transportasi, baik nasional maupun regional, di seluruh Asia,
Afrika, Timur Tengah, dan wilayah Pasifik. Ia memahami dengan
baik persyaratan semua badan hibah internasional utama.
Sebelum bergabung dengan IndII, John menjadi Penasihat
Departemen Transportasi yang baru di Abu Dhabi, di sana
ia mendukung pembentukan Highways and Public Transport
Division (Divisi Jalan dan Transportasi Publik) mulai dari nol.
John memiliki keahlian dalam pengembangan kelembagaan,
studi kelayakan investasi, perencanaan transportasi multi
moda, penyelenggaraan proyek berbasis kinerja (termasuk
PPP/KPS), dan pengelolaan aset.
CATATAN
1. Pekerjaan tersebut diperlukan agar beberapa ruas jalan berada dalam kondisi yang dapat dipelihara.
273
274
Jalan Daerah
275
276
CATATAN
1. Program akselerasi yang disetujui antara Gubernur NTB dengan DPRD memberikan pendanaan untuk program peningkatan jalan raya
berjangka waktu tiga tahun dan kontrak-kontrak tahun jamak terkait.
Jalan Daerah
dalam angka
43%
90
Rp 3.6
triliun
213,505
km
0.42
Densitas jalan (road density, rasio panjang jalan dengan luas wilayah) di
Nusa Tenggara Barat pada tahun 2010, yang lebih tinggi dari angka densitas
jalan nasional sebesar di NTB 0,25 km/km2.
Rp 3.7
86.07%
km/km
triliun
277
278
Program donor telah lama difokuskan pada rehabilitasi jalan dan penguatan
institusi, akan tetapi pemeliharaan jalan selama ini tetap bermasalah.
IndII mencoba mendorong kinerja pemeliharaan yang lebih baik dengan
memberi insentif melalui dana hibah. Apakah ini dapat dijalankan dan apakah
manfaatnya dapat dirasakan dalam jangka waktu lama?
Jalan Daerah
279
280
Jalan Daerah
Saya kira perlu dibangkitkan kesadaran di antara para pemangku kepentingan terkait jalan seperti bupati/walikota,
gubernur, dinas perhubungan setempat, kepolisian, pengusaha, KADIN, ORGANDA, dan masyarakat umum.
Pemerintah harus mendorong para pemangku kepentingan ini untuk mendukung upaya pemeliharaan jalan,
misalnya dengan menegakkan hukum, menciptakan budaya penggunaan dan pemeliharaan jalan yang baik, dan
tertib berlalu lintas.
Yayan Cahyana, ST
Jafung Teknik Jalan dan Jembatan
Inspektorat Jenderal
Kementerian Pekerjaan Umum
Kondisi jalan daerah di Indonesia khususnya sekitar 48.000km jalan provinsi kini sangat memprihatinkan.
Tingkat kenyamanan jalan menurun karena tingginya persentase kerusakan jalan. Kerusakan jalan disebabkan
karena kurangnya pemeliharaan jalan secara rutin. Kelemahan perawatan ini menurunkan umur manfaat dan
umur ekonomis jalan tersebut.
Di setiap provinsi, kelemahan pemeliharaan jalan disebabkan karena alokasi dana untuk pemeliharaan jalan
yang tidak mencukupi. Dana yang tersedia umumnya diprioritaskan untuk membangun jalan baru, bukan untuk
pemeliharaan jalan yang sudah ada. Oleh karena itu diperlukan terobosan baru dalam menangani pemeliharaan
jalan provinsi. Dengan adanya program peningkatan dan pemeliharaan jalan provinsi berbasis kinerja yang
didanai oleh pemerintah Australia melalui AusAID, saya kira dapat membantu memecahkan permasalahan yang
terjadi selama ini sehingga program pemeliharaan jalan secara rutin pada jalan provinsi dapat terlaksana. Namun
demikian agar program tersebut dapat berjalan dengan baik dan bermanfaat dalam pelaksanaannya, diperlukan
pengawasan yang akurat sejak tahap perencanaan hingga implementasinya, sehingga sistem jaringan jalan yang
tepat sasaran, dan berdaya guna untuk mendukung terselenggaranya sistem transportasi yang andal dan prima
dapat terwujud.
281
Manajemen
Persampahan
Edisi 15, Oktober 2013
POIN-POIN UTAMA
Pengelolaan Sampah dalam konteks Indonesia amat rumit. Kebijakan dirumuskan pada tingkat
Pemerintah Pusat, tetapi dalam pelaksanaannya memerlukan keterlibatan dari semua pihak mulai dari
kelompok masyarakat desa hingga Pemerintah Kabupaten, Provinsi, dan Pemerintah Pusat serta sektor
swasta.
Sebagian besar sampah di Indonesia secara tak resmi dibuang dengan cara ditimbun dalam tanah, dibuat
kompos, dibakar, dibuang ke saluran, sungai atau laut, atau dibuang ke lokasi lain yang tidak sesuai
dengan peruntukannya. Metode ini mengakibatkan penyumbatan sungai dan saluran, mendatangkan
hama, dan menyebabkan polusi pada air tanah, lapisan tanah, dan udara.
Rantai pengelolaan sampah meliputi masyarakat, sektor swasta, dan pemerintah, yang tidak selalu
berhasil dalam menjalin kerjasama. Sampah rumah tangga dikumpulkan dari rumah atau dari tempat
pengumpulan lokal yang ditetapkan oleh petugas dinas kebersihan atau pihak pengelola swasta; sampah
ini kemudian diangkut ke tempat penampungan sementara atau Tempat Pemrosesan Akhir atau bahkan
dibuang begitu saja ke tempat yang tidak selayaknya.
Daur ulang sampah adalah sektor yang berkembang pesat. Sepuluh hingga dua puluh persen dari
seluruh sampah (termasuk plastik, logam, kertas, karton tebal, kain, kaca, dan sampah organik) didaur
ulang. Pemerintah Pusat secara aktif mendorong para pemangku kepentingan untuk mengurangi,
menggunakan kembali, dan mendaur ulang, serta menyediakan fasilitas pengolahan antara dan tempat
pemilahan sampah bagi para pemulung di Tempat Pemrosesan Akhir.
Sebelumnya, pengelolaan sampah secara resmi melalui pemerintah dikelola secara terpusat oleh
Kemen PU. Saat ini Pemerintah Daerahlah yang bertanggung jawab. Namun, pada umumnya, mereka
mengalokasikan anggaran yang sangat kecil bagi pengelolaan sampah, dan memberi prioritas pada
pembiayaan jalan atau pelabuhan yang dipandang lebih berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi.
Kemen PU saat ini tengah mendefinisikan ulang perannya dalam pengelolaan sampah pada tingkat
nasional, dengan penekanan pada pemberian saran dan dukungan teknis, serta penciptaan standar
nasional. Prakarsa tingkat daerah yang didukung oleh Kemen PU penting karena dapat mendorong
terciptanya pusat-pusat keunggulan (centers of excellence) yang dapat menampilkan praktik-praktik
yang baik dalam hal pengelolaan sampah bagi Pemerintah Provinsi dan Kabupaten.
Melalui UU No. 18/2008 mengenai Pengelolaan Sampah dan Peraturan Pemerintah no. 81/2012
mengenai Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, Pemerintah
Indonesia menekankan pada prinsip mengurangi menggunakan kembali mendaur ulang, kerjasama
antara badan usaha dan pemerintah, serta sistem dan teknologi pengelolaan sampah berstandar
internasional. Meskipun Undang-Undang ini menetapkan tujuan yang ambisius untuk meniadakan
pembuangan terbuka, tampaknya masih panjang jalan yang harus ditempuh sebelum tujuan ini tercapai.
Indonesia telah memiliki industri daur ulang sektor swasta yang telah berjalan dengan baik. Hingga 20
persen sampah plastik, logam kaca, kertas, ban, dan bahan-bahan lainnya telah dikumpulkan dan didaur
ulang oleh perorangan sektor swasta dan UKM. Pendapatan yang dihasilkan dari bidang ini memiliki
potensi yang sangat baik.
Lebih dari 60 persen sampah rumah tangga adalah organik. Pembuatan kompos memiliki berbagai
manfaat, termasuk pengurangan produksi gas rumah kaca, pengurangan volume sampah yang diangkut
ke Tempat Pemrosesan Akhir, dan penyediaan kompos untuk kebun dan taman. KLH juga mendorong
masyarakat melakukan daur ulang melalui pendirian bank sampah yang membantu masyarakat untuk
mendapat penghasilan melalui upaya daur ulang sampah.
Manajemen Persampahan
285
286
Total
Sampah
yang
Dihasilkan
Sampah
yang
dihasilkan
per orang
Populasi
yang
dilayani
Pengangkutan
Sampah
Aktual
Sampah
dihasilkan
yang tidak
terangkut
Million
Juta ton/
tahun
kg/hari
Juta
Juta ton/
tahun
Juta ton/
tahun
Sumatera
49.3
8.7
0.48
23.4
4.13
4.57
Jawa
137.2
21.2
0.42
80.8
12.49
8.71
Bali &
Nusa
Tenggara
12.6
1.3
0.28
0.62
0.68
Kalimantan
12.9
2.3
0.49
1.07
1.23
Sulawesi
& Papua
20.8
0.66
14.2
3.41
1.59
Total
232.8
38.5
0.45
130.4
21.72
16.78
Kertas
13%
Kayu,
bambu
3%
Kain
1%
Karet/Kulit
1%
Plastik
11%
Logam
1%
Pasir,
Keramik,
Kaca Abu
1%
1%
Lain-lain
3%
Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum, 1989
Manajemen Persampahan
287
288
Manajemen Persampahan
Tentang Penulis:
Nigel Landon adalah Country Director of EnviroSolutions
& Consulting, Indonesia, ditempatkan di Jakarta. Dengan
pengalaman kerja pada sektor air, pertanian, dan lingkungan
sejak 1995, pertama kali sebagai insinyur irigasi dan kemudian
sebagai tenaga ahli pengelolaan sampah, Landon memiliki
pengalaman yang luas dalam bekerja pada proyek lingkungan
dan pengelolaan sampah baik di Indonesia maupun di
kawasan internasional. Ia pernah bekerja pada sektor swasta,
bagi perusahaan konsultan besar dalam bidang pertanian,
lingkungan, dan pengembangan, serta pada sektor donor
dengan Bank Dunia, KfW, ADB dan UNDP. Landon telah bekerja
di Indonesia selama sebelas tahun, sembilan tahun di antaranya
di Aceh sebagai kepala Program Pengelolaan Limbah Tsunami
UNDP (UNDP Tsunami Recovery Waste Management Programme
[TRWMP]). Selain itu, ia pernah bekerja pada berbagai proyek di
Pakistan, Libya, Eritrea, Albania, dan Inggris.
CATATAN
1. Sampah rumah tangga didefinisikan sebagai sampah yang berasal dari kegiatan sehari-hari rumah tangga, tidak termasuk tinja dan
sampah spesifik. Sampah sejenis sampah rumah tangga adalah sampah yang berasal dari kawasan komersial, kawasan industri,
kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan/atau fasilitas lainnya. Sampah spesifik mencakup: sampah yang mengandung
bahan berbahaya dan beracun; sampah yang timbul akibat bencana; puing bongkaran bangunan; dan sampah yang secara teknologi
belum dapat diolah.
Prakarsa Compendium | Jilid 2
289
POIN-POIN UTAMA
Dengan semakin bertumbuh pesat dan meningkatnya standar hidup di Indonesia, negeri
ini menghasilkan tingkat Sampah Perkotaan (MSW, Municipal Solid Waste) yang semakin
tinggi. UU no. 32/2004 dan PP no. 38/2007 telah mengalihkan tanggung jawab penanganan
sampah perkotaan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintahan Daerah (Pemda). Meski terdapat
prakarsa ini, kinerja pengelolaan sampah perkotaan belum meningkat secara signifikan,
karena kurangnya komitmen Pemda yang berakar dari kurang memadainya sumber daya
manusia (SDM), alokasi dana, dan tak adanya pengaturan kelembagaan yang tepat. Situasi
ini diperburuk oleh rendahnya tingkat kesadaran di masyarakat, dan tak adanya penegakan
hukum.
Tanah longsor di TPA Leuwi Gajah di Bandung, Jawa Barat, pada tahun 2005, yang
menewaskan 141 orang karena pembuangan terbuka yang tidak layak, menjadi penggugah
kesadaran, menarik perhatian masyarakat dan pemerintah terhadap pentingnya pengelolaan
sampah perkotaan yang layak. Paradigma pengelolaan sampah perkotaan telah diubah dari
pendekatan end-of-pipe menjadi pendekatan kurangi di sumber (reduction at the source).
Alokasi dana juga ditingkatkan. Kementerian Pekerjaan Umum, yang terutama bertanggung
jawab terhadap pengaturan, bimbingan teknis, serta pemantauan & evaluasi sektor sampah
perkotaan, sudah berupaya untuk terus meningkatkan dan melakukan revitalisasi infrastruktur
sampah perkotaan yang ada di tingkat kota dan kabupaten. Dana dari APBN dimaksudkan
untuk menjadi pemicu bagi Pemda untuk mengalokasikan porsi anggaran yang lebih besar
untuk sektor sanitasi.
Pemerintah Indonesia juga telah menandatangani perjanjian internasional mengenai
pengurangan gas rumah kaca dari sektor sampah perkotaan.
Sebagaimana ditetapkan dalam UU no. 18/2008, pengelolaan sampah perkotaan mencakup
pengurangan sampah dan penanganan sampah. Sektor industri juga diwajibkan mengurangi
hasil sampah sejak tahapan paling awal produksi.
Konsep mengurangi sampah juga diintegrasikan di setiap tingkat penanganan sampah, dari
sumber hingga TPA, di tingkat perumahan, masyarakat, kota/kabupaten, dan provinsi.
Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman Kementerian Pekerjaan
Umum akan terus meningkatkan pengelolaan sampah dengan cara membangun kapasitas
SDM yang terlibat di pengelolaan sampah Pemda dan dengan meningkatkan kesadaran di
cabang-cabang eksekutif dan legislatif mengenai pentingnya pengelolaan sampah perkotaan.
Manajemen Persampahan
Mengubah Paradigma
Titik balik Indonesia atas pengelolaan sampah perkotaan
adalah peristiwa tanah longsor di Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) Leuwigajah di Bandung, Jawa Barat, pada
tahun 2005. Proses pembuangan terbuka yang tidak
tepat menyebabkan bencana longsor tanah dan sampah,
mengakibatkan kematian 141 jiwa di daerah sekitarnya.
Insiden tragis ini menjadi penggugah kesadaran, menarik
perhatian masyarakat dan pemerintah terhadap pentingnya
pengelolaan sampah perkotaan yang layak.
291
292
PENGUMPULAN
PARADIGMA BARU
3R
GUNAKAN
KEMBALI
(REUSE)
KURANGI
(REDUCE)
SAMPAH
SISA
PENGANGKUTAN
PENGANGKUTAN
PEMBUANGAN
SANITARY LANFILL
DAUR
ULANG
(RECYCLE)
Manajemen Persampahan
PERUBAHAN IKLIM
UU no. 32/2009
UU no. 7/2004
PP no. 16/2005
Permen PU no. 03/2013
PENGURANGAN
SAMPAH
Perluasan Tanggung
Jawab Produsen (PTJP)
Teknologi Kemasan
TINGKAT RUMAH TANGGA
PENANGANAN
SAMPAH
PEMISAHAN SAMPAH
PENGUMPULAN SAMPAH
PENGANGKUTAN SAMPAH
TINGKAT MASYARAKAT
TPS 3R
TINGKAT KOTA
TPST, TPA
TINGKAT MASYARAKAT
TINGKAT KOTA
TINGKAT MASYARAKAT
TINGKAT KOTA
STASIUN PERALIHAN
ANTARA
STASIUN PERALIHAN
ANTARA
PENGOLAHAN MENENGAH
PEMADATAN
STASIUN PERALIHAN
ANTARA
PENGOMPOSAN
PEMULIHAN MATERIAL
PEMULIHAN ENERGI
TEMPAT PEMBUANGAN
TERKENDALI
TINGKAT KOTA
TEMPAT PEMBUANGAN
AKHIR
TINGKAT PROV.:
DUA KOTA ATAU LEBIH
PENGOLAHAN AKHIR
293
294
Manajemen Persampahan
TINGKAT
PROVINSI
PEMERINTAH DAERAH
(KOTA/KABUPATEN)
MASYARAKAT
SUMBER/
RUMAH TANGGA
TUJUAN
PENDEKATAN
CAKUPAN KERJA
PROGRAM
Membangun pengelolaan
sampah perkotaan regional
Pengembangan sanitary
landfill
Dukungan teknis terkait
peningkatan sistem
pengelolaan sampah
perkotaan
Pemfasilitasian peningkatan
sistem sampah perkotaandi
tingkat kota/kabupaten
Program Pembangunan
Infrastruktur Kota Terpadu
(P3KT)
ADIPURA (program yang
sejak 1986 mendorong kotakota Indonesia untuk menjadi
bersih dan teduh)
Pengelolaan sampah
perkotaan antar-Pemda
Pengurangan volume
sampah perkotaan di
tingkat masyarakat
guna mengoptimalkan
pengangkutan dan
memperpanjang masa guna
TPA
Peningkatan upaya
Mendorong pengurangan
pemulihan material sampah
sampah perkotaan
perkotaan melalui pemisahan
dari sumber melalui
di sumber, pengomposan,
pemberdayaan masyarakat
dan pendauran ulang
Pendidikan lingkungan hidup
sejak dini melalui kurikulum
sekolah
Kampanye pengurangan
sampah perkotaan dari
sumber
Mendorong penerapan
program 3R
Proyek percontohan Sarana
3R
Tentang Penulis:
Ir. Djoko Mursito, Dipl. SE., MM, adalah Direktur Pengembangan
Penyehatan Lingkungan Permukiman di Kementerian Pekerjaan
Umum. Terra Prima Sari dan Sandhi Eko Bramono merupakan
staf Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan
Permukiman.
295
POIN-POIN UTAMA
Dengan pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan, jumlah sampah berupa material anorganik meningkat,
sehingga tempat pembuangan akhir (TPA) yang ada telah mencapai kapasitas, sehingga tantangan yang ditimbulkan
sampah di Indonesia pun meningkat. UU no. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah menetapkan dasar-dasar bagi
kebijakan dan pendekatan Pemerintah Indonesia. Undang-Undang tersebut berfokus pada kebijakan 3R (reduce,
recycle, reuse) yakni mengurangi, mendaur ulang, dan memakai kembali, menetapkan target bagi konversi TPA
terbuka menjadi TPA terpadu, serta memprioritaskan pembangunan fasilitas pengolahan antara (ITF, Intermediate
Treatment Facilities). Banyak Pemerintah Daerah (Pemda) yang selama ini memiliki tanggung jawab utama untuk
menyediakan layanan persampahan sejak desentralisasi tahun 2001, kini telah menerbitkan peraturan daerah
(perda) yang mendukung.
Penyediaan layanan di tingkat daerah terhambat adanya fragmentasi tanggung jawab di antara unit kerja yang
berbeda-beda. Terdapat kebijakan yang bertentangan, kesenjangan, dan tumpang-tindih dalam cakupan pekerjaan,
serta persaingan dalam perolehan dana yang langka. Karena seluruh pendapatan yang dihimpun atas layanan
harus dikembalikan ke bendahara Pemda, tidak banyak insentif untuk meningkatkan cakupan dan memperbanyak
pendapatan. Penyediaan layanan persampahan menurut hukum terbatas pada batas-batas politis wilayah setempat,
yang dapat berakibat pada duplikasi yang tidak efisien dan berbiaya tinggi dalam membangun tempat pembuangan
akhir dan fasilitas pengolahan yang mahal dan sulit untuk dikembangkan.
Badan Layanan Umum Daerah (BLUD); kerjasama daerah; penguatan kelembagaan; dan pembangunan kapasitas
termasuk strategi yang sedang dikaji Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan pengelolaan sampah.
BLUD: BLUD dirancang untuk menyediakan layanan masyarakat yang dianggap sebagai layanan publik (social good)
dapat diharapkan akan menghasilkan aliran pendapatan. Meski belum digunakan di sektor persampahan, BLUD
merupakan terobosan baru dalam bentuk administrasi publik dan memiliki potensi yang cukup besar. Mereka memiliki
otonomi lebih besar dalam pengembangan dan penerapan kebijakan dan program. BLUD dapat menahan seluruh
pendapatan dan menggunakannya untuk penyediaan layanan di kemudian hari, BLUD juga memiliki kewenangan
untuk merekrut pegawai non-PNS.
Kerjasama Daerah: Biaya terkait dengan pembangunan, perluasan, penyediaan peralatan, dan pengoperasian TPA
dapat menjadi penghalang bagi banyak Pemda. Dengan bekerja sama, para Pemda dapat menghindari duplikasi
upaya dan mencapai skala ekonomis (economies of scale). Pembangunan TPA regional masih merupakan hal baru dan
manfaat jangka panjang masih belum terlihat, meski lokasi TPA di Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah mengindikasikan
bahwa strategi ini menjanjikan. Permasalahan yang ada mencakup tercapainya kesepakatan antara beberapa Pemda,
penentuan peran dan tanggung jawab, penghitungan kontribusi keuangan, akses yang berkesinambungan pada dana
anggaran untuk biaya pengoperasian dan pemeliharaan, serta kesulitan untuk memperoleh lahan yang memadai.
Koordinasi Antarlembaga: Di bawah kepemimpinan Bappenas, badan-badan penting Pemerintah Indonesia dengan
peran dalam penguatan sanitasi, telah meluncurkan program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP)
agar Pemda berfokus pada kebutuhan peningkatan penyediaan layanan sanitasi. Pemda diharuskan menyusun
strategi sanitasi terpadu dan menyertakan sektor ini dalam rencana kerja jangka panjang dan pendek. Untuk
menangani masalah fragmentasi di antara unit kerja, PPSP memberi otorisasi untuk membentuk kelompok kerja
(pokja) ad hoc di tingkat Provinsi dan daerah. Kelompok-kelompok kerja ini dimaksudkan untuk menjadi forum
tempat menyusun kesatuan kebijakan, pendekatan, dan program. Sulit untuk mengisolasi keberhasilan pendekatan
pokja PPSP dalam meningkatkan koordinasi di sektor sanitasi. Namun pokja ini memberi kesempatan terjadinya
diskusi dan pengambilan keputusan antarbadan yang seringkali kurang di tingkat daerah.
Pembangunan Kapasitas: Kementerian Dalam Negeri menyelenggarakan sejumlah program untuk
mengembangkan keahlian staf dan mengelola Institut Pemerintahan Dalam Negeri yang menyelenggarakan
penelitian, menyusun kebijakan dan standar, serta mendukung pembangunan kapasitas. Kementerian
Pekerjaan Umum mendukung dua pusat penelitian dan pelatihan yang menyediakan pelatihan khusus di bidang
air minum dan sanitasi. Selain itu, beberapa prakarsa yang saat ini berfokus pada air limbah (asosiasi kotakota yang bernama Ikatan Ahli Teknik Penyehatan dan Teknik Lingkungan; proposal ADB untuk pembentukan
sebuah institut pelatihan; dan Ikatan Ahli Teknik Penyehatan dan Teknik Lingkungan) memiliki potensi untuk
memperluas fokus mereka agar menyertakan sampah.
Manajemen Persampahan
297
Memperkuat Lingkungan
Kelembagaan untuk Manajemen
Persampahan Perkotaan
Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan
manajemen persampahan, dan sedang menjalankan berbagai
strategi termasuk unit kerja layanan masyarakat, kerjasama daerah,
penguatan lembaga, dan pembangunan kapasitas.
Oleh Joel Friedman
298
pendekatan, serta peran dan tanggung jawab. Undangundang tersebut mengakui diperlukannya pembatasan
banyaknya sampah yang dihasilkan dan berfokus pada
perlunya konsumen mengurangi (reduce), mendaur ulang
(recycle), dan memakai kembali (reuse) sampah (kebijakan
3R), dan menetapkan tanggung jawab kemasyarakatan semua
warga negara. Undang-undang tersebut menetapkan target
bagi konversi TPA terbuka menjadi tempat pembuangan
akhir sampah terpadu, dan memprioritaskan pembangunan
fasilitas pengolahan sampah antara (ITF, intermediate
treatment facilities) yang canggih untuk mengurangi
banyaknya sampah yang akhirnya diangkut ke TPA. Banyak
Pemda yang sudah menerbitkan peraturan daerah (perda)
yang mendukung upaya tersebut. Pemerintah juga sudah
meningkatkan pendanaan secara keseluruhan dalam APBN
untuk manajemen persampahan.
Selama ini, sebagian besar pendanaan untuk pembangunan
TPA dan teknologi terkait disediakan oleh Pemerintah Pusat
melalui Kementerian Pekerjaan Umum (Kemen PU). Pemda
bertanggung jawab atas pengoperasian dan pemeliharaan
TPA berikut pengumpulan dan penyediaan fasilitas dan sistem
pengolahan antara. Sejak dimulainya program desentralisasi
Pemerintah pada tahun 2001, tanggung jawab pengelolaan
sampah dialihkan ke Pemda, sedangkan Pemerintah Pusat,
terutama Kemen PU, bertanggung jawab secara keseluruhan
atas kebijakan, standar, pengembangan teknologi baru, serta
pemantauan dan evaluasi. Oleh karenanya, Pemda berada
di garis depan dalam perjuangan mengelola persampahan.
Sebagian besar biaya harus ditutup dari APBD mereka dan
layanan pengelolaan sampah dilaksanakan oleh unit kerja
Pemda. Pemda berwenang untuk mengenakan retribusi atas
penyediaan layanan, termasuk pengelolaan sampah.
Lingkungan Kelembagaan
Pemerintah telah menunjukkan komitmen untuk menguatkan
manajemen persampahan melalui penerbitan kebijakan dan
peraturan baru, peningkatan pendanaan, dan penerapan
teknologi baru. Hal yang penting adalah, pemerintah juga
mengakui pentingnya lingkungan kelembagaan kuat yang
mencakup pelaksanaan manajemen persampahan. Oleh
karena itu, Pemerintah berfokus terhadap penguatan unitunit kerja Pemda yang bertanggung jawab atas penyediaan
dan pengaturan layanan sampah dan penyelarasan
keseluruhan sektor. Pemerintah, dengan dukungan IndII,
sedang mencari pendekatan alternatif di bidang ini, dengan
Manajemen Persampahan
299
300
Kerjasama Daerah
Biaya pengelolaan sampah mahal. Dengan meningkatnya
tekanan pada lahan akibat pertumbuhan dan perkembangan
jumlah penduduk, harga tanah kian meningkat di sebagian
besar daerah perkotaan. Sebagai akibatnya, biaya terkait
dengan pengembangan atau perluasan TPA dapat menjadi
sangat tinggi. Biaya tambahan untuk peralatan berat seperti
truk dan buldoser, fasilitas pengolahan untuk penyaluran
air lindi, dan di beberapa lokasi, peralatan canggih untuk
penyalaan api gas (gas flaring) dan penangkapan gas metan
(methane capture) yang berarti bahwa biaya keseluruhan
untuk mengelola persampahan dapat menjadi penghalang
bagi banyak Pemda. Selain itu, model saat ini yang
membatasi manajemen persampahan hanya pada lingkup
Manajemen Persampahan
301
302
Koordinasi Antarlembaga
Manajemen Persampahan
Pembangunan Kapasitas
Kesimpulan
Artikel ini telah mengulas beberapa bidang di mana
Pemerintah mendukung upaya untuk menguatkan
lingkungan kelembagaan bagi penyediaan layanan
persampahan. Banyak yang masih berada pada tahap
pengkajian atau penentuan akhir mengenai sumbangan
yang dapat mereka berikan. Meski demikian, fakta bahwa
mereka sedang dicoba, menunjukkan komitmen Pemerintah
terhadap peningkatan penyediaan layanan persampahan
dan pengakuan Pemerintah akan pentingnya hubungan
dan kapasitas kelembagaan. Dukungan IndII terhadap
sektor persampahan, saat ini dan yang direncanakan,
akan mencakup komponen kunci berupa pengembangan
kapasitas kelembagaan.
Tentang Penulis:
Joel Friedman adalah Konsultan IndII di bidang Pengembangan
Kelembagaan, khususnya untuk Air Minum dan Sanitasi. Ia
berpengalaman lebih dari 20 tahun di bidang pembangunan di
Indonesia bekerja dengan beraneka ragam instansi pemerintah.
Pekerjaannya di tingkat pusat terutama dengan Kementerian
Dalam Negeri tetapi juga dengan Bappenas, Kementerian
Keuangan, dan Kementerian Pekerjaan Umum. Ia juga bekerja
dengan berbagai Pemerintah Daerah, termasuk saat ia tinggal
dan bekerja selama beberapa waktu di Palembang. Sektorsektor utama yang pernah ditanganinya meliputi pembangunan
perkotaan, lingkungan hidup, desentralisasi, dan penguatan
kelembagaan. Ia pernah bekerja dengan berbagai lembaga
bantuan bilateral dan multilateral. Sebelum pindah ke Indonesia,
ia bekerja di Filipina dan Bangladesh, dan juga pada Departemen
Perumahan dan Pembangunan Perkotaan di Amerika Serikat.
Ia memiliki gelar sarjana di bidang kepemerintahan dan gelar
magister di bidang perencanaan perkotaan
303
POIN-POIN UTAMA
Keterlibatan sektor swasta dalam bidang manajemen persampahan perkotaan menuntut
sektor swasta dan pemerintah untuk menggali potensi sumber bahan baku persampahan
perkotaan. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memainkan peran penting dalam
menciptakan peluang bagi investasi swasta dengan mengembangkan kebijakan, peraturan,
dan insentif/disinsentif.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan tiga kebijakan utama area perencanaan yang dapat
mendorong aktivitas komersial, yakni: undang-undang pengelolaan sampah, kebijakan dalam
bidang energi, dan komitmen terhadap mitigasi perubahan iklim.
Solusi komersial yang berkelanjutan bagi manajemen persampahan perkotaan mengandalkan
kerjasama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Perhatian pada persyaratan
dan prioritas setiap kelompok tersebut sangat penting di Indonesia, karena investasi sektor
swasta dalam manajemen persampahan perkotaan adalah suatu hal baru dan memerlukan
dukungan signifikan dari berbagai pemangku kepentingan. Hal ini akan meliputi alih teknologi
dari negara-negara lain, serta pengakuan adanya risiko komersial dalam pengenalan teknologi
baru.
Sektor swasta telah mengkonsentrasikan investasinya terutama dalam proyek-proyek gas dari
tempat pembuangan akhir (LFG, Landfill Gas). Mitigasi Perubahan Iklim Pemerintah Indonesia
mengarah pada pendirian Skema Karbon Nusantara dan pengembangan perjanjian bilateral
untuk perdagangan karbon. Program pengurangan/pencegahan Gas Rumah Kaca akan terusmenerus menyediakan dukungan keuangan bagi kegiatan pengembangan persampahan
perkotaan secara komersial. Peningkatan manajemen persampahan perkotaan juga mendapat
dukungan dari lembaga multilateral.
Semua komponen dalam rantai nilai persampahan perkotaan merupakan peluang bagi
partisipasi sektor swasta. Sektor swasta perlu benar-benar memahami karakteristik
manajemen persampahan perkotaan di Indonesia, terutama ketika mengajukan usulan solusi
teknis kepada Pemerintah Daerah. Komposisi persampahan perkotaan Indonesia berbeda
dengan di negara maju, dan membutuhkan pendekatan teknis yang tepat.
Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan lingkungan
usaha, seperti menaikkan tarif listrik yang dihasilkan dari sumber bahan baku persampahan
perkotaan yang dijual pada jaringan PLN, investasi asing, dan PPP. Seiring dengan tetap
berjalannya upaya ini, kegiatan komersial dan berkelanjutan di dalam sektor persampahan
perkotaan perlu mempertimbangkan kebutuhan dari semua pemangku kepentingan,
penerapan teknologi yang tepat, dan pembagian risiko.
Manajemen Persampahan
Undang-Undang
Pengelolaan
Sampah
Perubahan
Iklim
Kebijakan
dalam Bidang
Energi
305
306
Membuka Jalan bagi Sektor Swasta untuk Terlibat dalam Pengelolaan Sampah di Perkotaan Indonesia
Masyarakat
Swasta
Pemerintah
Keberlanjutan
hal ini membentuk komponen utama untuk menghimpun
dukungan nasional, internasional, dan sektor swasta untuk
proyek-proyek persampahan perkotaan.
Manajemen Persampahan
Mengurangi
Memakai Kembali
Pengalihan
Sampah
Mendaur Ulang
Memulihkan (Recover)
(melalui penguraian, pengomposan)
Tempat Pembuangan Akhir
Pembakaran
(dengan pemulihan energi (energy recovery))
Pembuangan
Sampah
Pembuangan Terkendali*
(Perkiraan dalam
Dolar AS)
1. Pengangkutan
50.000,00 - 60.000,00
5-6
2. Tempat
Pembuangan Akhir
dengan pengelolaan
sampah
60.000.00 - 100.000,00
6 - 10
3. Tempat
pembuangan
terbuka
10.000,00 - 20.000,00
1-2
4. Tempat
Pembuangan Akhir
Terkendali
30.000,00 - 50.000,00
3-5
5. Pengomposan
15.000,00 - 20.000,00
1.5 - 2
307
308
Membuka Jalan bagi Sektor Swasta untuk Terlibat dalam Pengelolaan Sampah di Perkotaan Indonesia
Salah satu pintu masuk bagi sektor swasta adalah pembangunan fasilitas
pemindahan menengah yang melakukan proses seperti pengomposan. Bunga-bunga
yang terdapat di taman tempat pembuangan akhir terkendali di Talang Agung
mendapat asupan dari kompos cair yang dibuat dari bahan limbah organik.
Tentang Penulis:
Ken Butler adalah seorang konsultan yang berdomisili di Indonesia
dan berpengalaman luas dalam mendukung beragam klien baik
donor internasional maupun dari sektor swasta untuk menangani
aspek teknis dan ekonomis dari manajemen persampahan
perkotaan, energi terbarukan, dan mitigasi perubahan iklim.
Pekerjaan utamanya meliputi dukungan keahlian bagi Bank Dunia
dalam peningkatan manajemen persampahan perkotaan dan
daerah di Indonesia serta pengembangan dokumentasi proyek
untuk Protokol Tokyo tentang Mekanisme Pembangunan Bersih
(CDM) dalam bidang sampah di Indonesia. Ia menyusun Analisis
Pasar dan Rencana Pemasaran Bahan Bakar dari Sampah (RDF,
Refuse Derived Fuel) di Indonesia untuk upaya bersama antara
Departemen Pembangunan Internasional (DFID, Department
for International Development) dan Kementerian Keuangan
Republik Indonesia. Baru-baru ini, Ken bekerja sebagai Tenaga
Ahli Akuntansi Karbon, menganalisis jejak karbon dan emisi
gas rumah kaca, pada PT ENV, bekerja sama dengan PT Vale
INCO dan Asia Pulp and Paper. Ia juga mendukung Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kementerian Perindustrian di bawah
naungan GIZ, dalam pengembangan Tindakan Mitigasi Nasional
yang Tepat (NAMA, Nationally Appropriate Mitigation Actions)
dan melakukan pengukuran, pelaporan, dan verifikasi untuk
menurunkan emisi Gas Rumah Kaca. Ken adalah lulusan Monash
University dan Royal Melbourne Institute of Technology.
Manajemen Persampahan
309
Kurangnya Kesadaran
Sebagai ketua RW baru, Nanang membagikan 60 bak
sampah ke warganya, yang terbuat dari bekas kaleng
310
Manajemen Persampahan
311
312
Biogas di Tomang
RW di Tomang, Jakarta Barat, juga menjadi tenaga
penggerak di balik prakarsa bank sampah yang sukses.
Bedanya, sementara fokus utama Semper Barat ada di
sampah anorganik, Tomang menekankan sisi organik.
Drs. Asep Kusmayadi, M.Si, terinspirasi oleh bak
cerna (biodigester) sederhana yang digunakan oleh
penduduk desa di Tanjung Sari. Biodigester ini, yang
dikembangkan oleh Dr. Hatta, dosen di Universitas
Padjajaran, dapat memproses sampah organik menjadi
biogas dan kompos cair. Asep membangun biodigeser
Manajemen Persampahan
313
314
Tentang Penulis:
Eleonora Bergita (Gite) adalah Senior Programme Officer
dan Event Manager IndII. Ia penulis dan penyelenggara acara
dengan pengalaman lebih dari 10 tahun di bidang jurnalistik
dan penyelenggaraan acara. Pengalamannya antara lain pernah
bekerja dengan LSM dari Jerman, sebuah majalah Indonesia,
dan perusahaan humas. Gite merupakan lulusan Universitas
Indonesia, jurusan Sastra Jerman.
Manajemen
Persampahan
dalam angka
80,000
Produksi sampah per hari dari 230 kota di Indonesia pada tahun 2011.
ton
2.5
Rata-rata sampah yang dihasilkan penduduk Indonesia per orang per hari. Ini
berarti 625 juta liter sampah dari populasi 250 juta penduduk Indonesia.
liter
Rp 3.1
triliun
Rp 420
Miliar
460
54
120
Jumlah bank sampah yang terdapat di wilayah Jakarta pada tahun 2013.
(Lihat artikel pada halaman 309.)
315
316
Aliansi Kabupaten Kota Peduli Sanitasi Indonesia (AKKOPSI), merupakan lembaga koordinasi yang memungkinkan
kepala-kepala Pemda saling mendukung dalam memperkuat dan memelihara komitmen pembangunan sanitasi.
AKKOPSI juga merupakan forum bagi Pemda untuk saling berbagi pengalaman dan pembelajaran. Peran utama
AKKOPSI adalah sebagai mediator dalam dialog antara Pemda, Pemerintah Pusat dan lembaga-lembaga donor,
untuk meningkatkan sinergi dan kerjasama antar pemangku kepentingan.
Manajemen Persampahan
Terkait pengelolaan sampah, kontribusi AKKOPSI termasuk memfasilitasi pertukaran informasi mengenai berbagai
pendekatan pengelolaan sampah. Pertukaran informasi dilakukan melalui forum-forum rutin AKKOPSI seperti City
Sanitation Summit yang diselenggarakan setahun sekali, dan forum pembelajaran horizontal (horizontal learning)
antar Kepala Pemda. Untuk forum antar Kepala Pemda, AKKOPSI juga berkontribusi dalam advokasi langsung,
promosi kebijakan, serta pendekatan baru untuk pengelolaan sampah.
317