Anda di halaman 1dari 322

J ilid 2

Kumpulan Artikel Pilihan dari Jurnal


Prakarsa Infrastruktur Indonesia

2011-2013

PRAKARSA COMPENDIUM
Jilid 2

Kumpulan Artikel Pilihan dari Jurnal


Prakarsa Infrastruktur Indonesia

2011-2013

03

Prakarsa Compendium, Jilid 2

Prakarsa Compendium Jilid 2


Disunting oleh Carol S. Walker dan Eleonora Bergita
Diterbitkan oleh Prakarsa Infrastruktur Indonesia

Prakarsa Infrastruktur Indonesia adalah proyek yang didanai oleh Pemerintah Australia dan dirancang untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia dengan meningkatkan relevansi, kualitas, dan jumlah investasi
infrastruktur. Proyek ini dijalankan oleh SMEC di bawah kontrak dengan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT),
Pemerintah Australia.
Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII)
Gedung Perkantoran Ratu Plaza, Lantai 20
Jl. Jenderal Sudirman No. 9
Jakarta 10270 Indonesia
SMEC
220226 Sharp Street
(PO Box 356)
Cooma NSW 2630 Australia

Persemakmuran Australia
Semua kekayaan intelektual asli yang terkandung dalam dokumen ini adalah milik Persemakmuran Australia yang diwakili
oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT), Pemerintah Australia. Dokumen ini hanya dapat digunakan, disalin,
disebarluaskan, atau diperbanyak oleh kontraktor dan konsultan yang menyusun dokumen, laporan, rancangan, rencana,
dan saran untuk IndII atau DFAT.
Pendapat para penulis yang dikemukakan dalam terbitan ini tidak selalu mencerminkan pendapat pemerintah
Australia. Segala upaya telah ditempuh untuk menjamin bahwa dokumen yang diacu dalam terbitan ini telah
disampaikan secara benar. Meskipun demikian, IndII akan menghargai setiap masukan untuk perbaikan yang
diperlukan, atau pemberitahuan mengenai dokumen sumber dan/atau data terkini.
Isi dari edisi ini, tidak termasuk pengantar, pada awalnya diterbitkan dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia oleh IndII
dalam jurnal Prakarsa edisi Oktober 2011; Januari 2012; April 2012; Juli 2012; Oktober 2012; Januari 2013; Juli 2013; dan
Oktober 2013.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Prakarsa Compendium, Jilid 2

Foto Sampul:
Foto pertama dari atas (pelabuhan) Atas perkenan Rahmad Gunawan
Foto kedua dari atas (perempuan dengan pipa saluran air) Atas perkenan Eleonora Bergita
Foto ketiga dari atas (jalan) - Atas perkenan William Patterson
Foto kiri bawah (Pengambilan sampah) Atas perkenan Andre Susanto
Foto kanan bawah (pekerjaan jalan) Atas perkenan IndI

Prakarsa Compendium | Jilid 2

04

05

Prakarsa Compendium, Jilid 2

UCAPAN TERIMA KASIH


Terbitan ini merupakan himpunan artikel fitur dan kolom dari Prakarsa, jurnal triwulanan kebijakan infrastruktur yang
diterbitkan oleh Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) yang didanai oleh Pemerintah Australia. Wawasan yang diperoleh
melalui kerjasama dengan para mitra IndII Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Koordinasi Bidang Ekonomi,
Kementerian Pekerjaan Umum, dan Kementerian Perhubungan serta para pejabat pemerintah daerah yang bekerjasama
dengan konsultan IndII, telah memungkinkan adanya materi pada halaman-halaman ini.
Kami sangat berhutang budi kepada setiap penulis artikel fitur. Tanpa mereka, jurnal ini tidak akan ada, dan dengan
sendirinya buku ini pun juga tidak akan ada. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada para ahli yang menyumbangkan
pemikiran mereka dalam kolom Pandangan Para Ahli, yang berisi pendapat profesional mewakili pemerintah pusat dan
daerah, BUMN, asosiasi, serta akademisi.
IndII juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada David Ray, Direktur IndII; Jeff Bost, Wakil Direktur IndII; Jim
Coucouvinis, Direktur Teknis bidang Air Minum dan Sanitasi; John Lee, Direktur Teknis bidang Transportasi; dan Lynton
Ulrich, Direktur Teknis bidang Kebijakan dan Peraturan; atas dukungan, nasihat, dan masukan teknis mereka untuk setiap
edisi Prakarsa maupun compendium ini.
Ucapan terima kasih kami sampaikan pula kepada tim komunikasi IndII, Pooja Punjabi dan Annetly Ngabito untuk masukan
editorialnya. Desain buku ini dan tata letak dibuat oleh Studio Rancang Imaji (rancangimaji.com).

Carol S. Walker dan Eleonora Bergita, penyunting


Januari 2015

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Prakarsa Compendium, Jilid 2

DAFTAR ISI
Sambutan

Edisi 9: Transportasi Udara

Deputi Bidang Sarana dan Prasarana


Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas)

09

Duta Besar Australia untuk Indonesia

10

Kata Pengantar

11

Edisi 8: Keselamatan Jalan

Lalu Lintas Bertumbuh,


Kebutuhan Bertumbuh

37

Mengapa Data Penting

43

Infrastruktur Penerbangan:
Tinjauan ke Masa Depan

47

Kemitraan untuk Langit


yang Lebih Aman

53

Open Skies dan Maskapai


Penerbangan Indonesia

57

Pembangunan Bandara yang


Berkelanjutan: Tantangan ke Depan

63

Membangun Kapasitas Kelembagaan bagi


Keselamatan Jalan di Indonesia

15

Peran Polisi Lalu Lintas Indonesia dalam


Mencapai Tujuan Dekade untuk Aksi
Keselamatan Jalan

21

Perspektif Seorang Ahli Keselamatan Jalan

25

Manajemen Lalu Lintas Udara Indonesia


Menuju ASEAN Open Skies

67

Keselamatan Jalan dalam angka

31

Transportasi Udara dalam angka

73

Pandangan Para Ahli

32

Pandangan Para Ahli

74

Prakarsa Compendium | Jilid 2

06

07

Prakarsa Compendium, Jilid 2

DAFTAR ISI
Edisi 10: Pembangunan Pelabuhan

Edisi 11: Tema Lintas Sektoral

Memberdayakan Kembali Manajemen


Pelabuhan di Indonesia

79

Peran Pemantauan & Evaluasi yang


Semakin Berkembang: Pengalaman IndII

115

Mempercepat Pemindahan, Mengurangi


Masalah: Mempersingkat Waktu Tunggu
(Dwell Time) Peti Kemas

85

Perempuan, Laki-laki,
dan Pembangunan Infrastruktur

121

Persaingan Pelabuhan dan Kebutuhan


untuk Mengatur Perilaku Anti-Persaingan

89

Uji Acak Terkendali:


Standar Unggulan dalam Evaluasi Dampak

129

Mendidik Bangsa Bahari

95

Manajemen Risiko dalam Infrastruktur:


Sebuah Pengantar

135

Tenaga Kerja di Pelabuhan Indonesia:


Peran Koperasi

99

141

Pandangan Seorang Direktur

105

Pertimbangan Rumit: Analisis Mengenai


Dampak Lingkungan Hidup dalam
Pembangunan Infrastruktur

Pembangunan Pelabuhan dalam angka

109

Angkutan Umum yang Aman dan Nyaman


untuk Semua: Sebuah Upaya Pencapaian

147

Pandangan Para Ahli

110

Sebuah Sistem yang Dapat


Menyelamatkan Nyawa

152

Tema Lintas Sektoral dalam angka

155

Pandangan Para Ahli

156

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Prakarsa Compendium, Jilid 2

DAFTAR ISI
Edisi 13: Tata Kelola Pemerintahan
dalam Infrastruktur

Edisi 12: Hibah Berbasis Hasil

Program Hibah sebagai Alat untuk


Perubahan: Pendekatan IndII terhadap
Hibah Berbasis Hasil

163

Sebuah Pesan dari Inspektur Jenderal,


Kementerian Pekerjaan Umum

201

Menggunakan Hibah Berbasis Hasil untuk


Memperluas Pasokan Air Leding bagi
Masyarakat Miskin Perkotaan di Surabaya

169

Reformasi Tata Kelola dalam Fungsi Audit


Internal, Sebuah Tinjauan Umum

205

Studi Kasus Hibah Berbasis Hasil:


Meningkatkan Transportasi Bus Kota
Indonesia

175

Melaksanakan Pendekatan Reformasi dan


Pengelolaan Perubahan Institusional

211

Hibah Berbasis Hasil untuk Layanan Air


Minum yang Lebih Baik

181

Meningkatkan Efektivitas Inspektorat


Jenderal di Kementerian Pekerjaan Umum

217

Pandangan dari Kemenkeu: Peran


Mekanisme Penerusan Hibah

189
223

Hibah Berbasis Hasil dalam angka

195

Dari Mengawasi Proyek Hingga Mengelola


Risiko: Penguatan Praktik Audit di
Kementerian Pekerjaan Umum

Pandangan Para Ahli

196

Perihal Tata Kelola Perusahaan

227

Mengelola Tantangan Korupsi dalam Tata


Kelola Infrastruktur

231

Tata Kelola Pemerintahan dalam


Infrastruktur dalam angka

235

Pandangan Para Ahli

236
Prakarsa Compendium | Jilid 2

08

09

Prakarsa Compendium, Jilid 2

DAFTAR ISI
Edisi 14: Jalan Daerah

Edisi 15: Manajemen Persampahan

Jaringan Jalan Daerah yang Rusak di


Indonesia: Tantangan dan Peluang

241

Sebuah Tinjauan Tentang Sektor


Manajemen Persampahan Indonesia

Kondisi Jalan Daerah

249

Mengelola Sampah Perkotaan di Indonesia, 291


Sebuah Sudut Pandang Pemerintah

Tantangan Perencanaan dan


Penganggaran Jalan di Tingkat Daerah

255

Mereformasi Pelaksanaan
Pemeliharaan Jalan Daerah

259

Pengantar Tentang PRIM:


Program Peningkatan dan
Pengelolaan Jalan Provinsi

285

Memperkuat Lingkungan
Kelembagaan untuk Manajemen
Persampahan Perkotaan

297

305

267

Membuka Jalan bagi Sektor Swasta


untuk Terlibat dalam Pengelolaan
Sampah di Perkotaan Indonesia

Ahli Lokal Tentang Jalan Daerah

274

Dulu Dibuang, Kini Jadi Uang:


Kisah Dua Bank Sampah

309

Jalan Daerah dalam angka

277

Manajemen Persampahan dalam angka

315

Pandangan Para Ahli

278

Pandangan Para Ahli

316

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Prakarsa Compendium, Jilid 2

SAMBUTAN

Dedy Supriadi Priatna, PhD


Deputi Bidang Sarana dan Prasarana
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)

Indonesia kini sudah tergolong negara G-20 dan merupakan salah satu tujuan investasi paling menarik. Donor internasional
mengakui kemajuan perekonomian Indonesia sebagai sebuah kisah sukses, di mana para mitra pembangunan telah
membantu menjadi katalis pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, negara masih tetap menghadapi tantangan
pembangunan yang cukup berat, seperti kekurangan infrastruktur yang lebih baik dan modal sumber daya manusia.
Pemerintah Indonesia mengakui pentingnya pembangunan infrastruktur dan ingin berfokus pada lima isu strategis: (i)
keamanan air minum, pangan, dan energi; (ii) penguatan konektivitas nasional dalam menjaga keseimbangan pembangunan;
(iii) pembangunan sistem angkutan massal perkotaan; (iv) infrastruktur dasar; dan (v) peningkatan efisiensi dan efektivitas
dalam pembiayaan dan penyediaan infrastruktur. Strategi saat ini, di satu pihak menggunakan pendanaan publik dan dana
kerja sama untuk membiayai infrastruktur dasar (sosial), dan di lain pihak menggunakan investasi swasta sebagai katalis
dalam infrastruktur yang layak secara komersial melalui "Kerjasama Pemerintah Swasta" atau KPS. Dewasa ini juga sedang
dipertimbangkan pola-pola pembiayaan alternatif.
Indonesia dan Australia telah berhasil menjalin kemitraan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur lintas
sejumlah sektor. Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) merupakan prakarsa Australia yang bertujuan untuk memajukan
pertumbuhan ekonomi melalui kerjasama dengan Pemerintah Indonesia dalam peningkatan kebijakan, perencanaan, dan
investasi di bidang infrastruktur.
Prakarsa, jurnal teknis triwulanan IndII, mendokumentasikan kontribusi Australia dari segi metodologi untuk memecahkan
berbagi permasalahan lama, dan merintis modalitas baru yang menjanjikan, guna menentukan efektivitasnya bagi
pembangunan infrastruktur Indonesia. Isi yang dapat Anda temukan pada halaman-halaman berikutnya, membahas
berbagai masalah sektoral maupun lintas sektoral, dan mencakup air minum dan sanitasi serta berbagai aspek angkutan
(termasuk pelabuhan, penerbangan dan jalan) hingga modalitas pembiayaan, pelayanan kepada kelompok masyarakat
rentan, dan peningkatan kemampuan. Topik-topik yang diliput dalam Prakarsa merupakan cerminan kecepat-tanggapan
IndII terhadap isu-isu strategis Pemerintah Indonesia dalam pembangunan infrastruktur.
Indonesia beruntung bahwa kita dapat bermitra dengan Australia agar dapat berkembang lebih cepat dan menduduki
tempat kita di tengah negara-negara yang perekonomiannya sudah mapan. Kami berharap bahwa kontribusi Australia akan
secara langsung dapat meningkatkan mutu kehidupan masyarakat biasa di Indonesia, dan mendorong tingkat investasi yang
diperlukan Indonesia untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang lebih tinggi.

Terima kasih.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

10

11

Prakarsa Compendium, Jilid 2

SAMBUTAN

Greg Moriarty
Duta Besar Australia untuk Indonesia

Pemerintah Australia bermitra dengan pemerintah negara-negara seperti Indonesia guna menguatkan lingkungan kebijakan
dan regulasi untuk investasi di bidang infrastruktur. Peningkatan infrastruktur memberi manfaat, baik kepada Indonesia
maupun Australia, dengan mendorong stabilitas ekonomi, menguatkan peluang untuk meningkatkan perdagangan dan
investasi, memajukan konektivitas, menggerakkan investasi sektor swasta dan memperbaiki akses pada layanan infrastruktur.
Mulai dari Proyek Perbaikan Jalan Nasional di Indonesia Timur (EINRIP), Indonesia dan Australia bekerjasama untuk
membangun 400 km jalan nasional berkualitas tinggi dan memangkas waktu perjalanan jarak jauh dengan separuh, sambil
pada waktu yang sama juga meningkatkan keselamatan jalan, volume lalu lintas, dan akses pada barang dan jasa. Bantuan
Australia yang berkesinambungan di bidang jalan nasional berpijak pada landasan kokoh yang dibangun oleh EINRIP dan
telah menunjukkan keberhasilan dalam uji coba desain jalan yang berumur panjang serta peningkatan pengawasan pada
mutu konstruksi.
Melalui Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII), Australia dan Indonesia telah membangun 247.000 sambungan perpipaan
air minum dan 16.600 sambungan perpipaan sanitasi yang memberi manfaat kepada 1,2 juta penduduk dan menguatkan
penyediaan air minum setempat. Australia kini bekerjasama dengan Pemerintah Pusat dan Provinsi Nusa Tenggara Barat
untuk meningkatkan dan memelihara jaringan jalan provinsi yang panjangnya lebih dari 1.700 km.
Australia dan Indonesia telah menjalin hubungan kemitraan berbasis pemahaman bersama bahwa infrastruktur tidak hanya
menggerakkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang, tetapi juga melakukan peningkatan kesejahteraan dan kesehatan
masyarakat Indonesia yang terukur. Jalan yang lebih baik juga memberikan akses ke pasar yang lebih baik, sedangkan
peningkatan akses pada air minum meningkatkan kesehatan keluarga, sehingga memberdayakan perempuan untuk
melakukan usaha, alih-alih setiap hari membuang waktu berjam-jam untuk mengangkut air.
Investasi Indonesia sendiri dalam pembangunan infrastruktur jauh melampaui jumlah bantuan keuangan yang dapat
diberikan oleh Australia. Kemampuan Australia untuk membuat perbedaan tidak terletak pada penyediaan dana, tetapi
terlebih pada penyajian sudut pandang yang segar, gagasan baru, serta peluang yang dapat kami tawarkan dalam
menanggulangi tantangan Indonesia terberat di bidang infrastruktur
Sejak 2007 IndII merupakan program unggulan Australia yang berhasil menguji dan mempraktikkan gagasan dan peluang
ini. Prakarsa, jurnal teknis triwulanan IndII, telah mendokumentasikan sebagian besar upaya tersebut. Kompendium ini
berisi materi utama yang diterbitkan dalam delapan edisi Prakarsa sepanjang dua tahun. Ikhtisar karya ilmiah ini tidak
sekadar membahas beberapa sektor tertentu seperti jalan, pelabuhan, dan penerbangan, tetapi juga menilik isu-isu lintas
sektoral seperti gender dan evaluasi dampak; pembangunan kapasitas dan penggunaan sistem kontrak berbasis kinerja
untuk memperoleh manfaat yang memadai.
Seiring Pemerintah baru Indonesia menetapkan agendanya dan dimulainya Rencana Pembangunan Jangka Menengah 20152019, bangsa ini akan senantiasa membuat keputusan kritis tentang kebijakan dan perencanaan di bidang infrastruktur.
Kemajuan yang telah diraih akan menjadi landasan dari pekerjaan substansial ke depan. Australia bangga menjadi mitra
dalam upaya ini.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Prakarsa Compendium, Jilid 2

KATA PENGANTAR

David Ray
Direktur IndII

Buku yang ada di tangan Anda ini berisi materi penting yang diterbitkan dalam delapan edisi (Oktober 2011 hingga Oktober
2013) jurnal teknis Prakarsa. Jurnal triwulanan dalam dwi-bahasa tersebut diterbitkan oleh Prakarsa Infrastruktur Indonesia
(IndII) yang didanai oleh Pemerintah Australia, dan merupakan karya unggulan dalam program komunikasi IndII. Dengan
demikian, buku ini banyak mengungkapkan filosofi yang melatarbelakangi pendekatan IndII untuk mengkomunikasikan
kegiatannya.
Andaikata IndII merupakan perusahaan yang mencari laba dengan menjual lebih banyak produk ke konsumen (atau mungkin
LSM yang berharap mendapatkan donasi dalam jumlah yang sangat luar biasa), dapat dipahami jika kami berfokus pada diri
kami dan menjelaskan betapa kami lebih unggul daripada produk atau lembaga lainnya yang bersaing. Prakarsa mungkin
akan berbentuk nawala (newsletter) berkilau mewah yang berfokus pada prestasi kami dan kegiatan yang direncanakan.
Namun sifat pekerjaan IndII bukanlah untuk mempromosikan diri sendiri, melainkan kami memiliki misi untuk memajukan
pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan meningkatkan relevansi, kualitas, dan jumlah investasi di bidang infrastruktur.
Dengan kata lain, semua ini bukan tentang kami - semua ini tentang Indonesia, dan tentang merangsang gagasan yang
dapat menyumbang pada pembangunan bangsa.
Meskipun volume kedua Prakarsa Compendium ini terbit lebih dari dua tahun sejak terbitnya volume pertama, pemikiran
yang diungkapkan dalam kata pengantar volume pertama kami tetap tidak berubah. Sebagaimana kami katakan pada waktu
itu, Prakarsa "memberikan pemahaman mengenai latar belakang kebijakan dan menjelaskan kendala, praktik terbaik,
serta inovasi." Terbitan Prakarsa selanjutnya berpegang teguh pada cita-cita tersebut. Dalam buku ini Anda dapat membaca
tentang isu-isu lintas sektoral maupun khusus dalam sektor tertentu, mulai dari penerbangan hingga ke sampah, pelabuhan,
jalan, gender dan tata kelola pemerintahan. Dalam semua artikel tujuan kami bukan sekadar merangkum pencapaian
IndII (meskipun seiring dengan kemajuan proyek-proyek, kami dapat menyebutkan bahwa jumlah pencapaian semakin
bertumbuh), tetapi untuk menilik alasan mengapa beberapa strategi tertentu membuahkan hasil, tantangan apa yang
masih perlu diatasi, dan pendekatan apa (meskipun belum teruji) yang patut dipertimbangkan.
Prakarsa bukan dimaksudkan untuk menepuk-nepuk bahu kami sendiri atas pencapaian kami di masa lalu. Melainkan
tentang kolaborasi untuk menemukan strategi yang akan berhasil di masa yang akan datang. Seraya para pembaca meneliti
dengan saksama halaman-halaman berikut ini dan menggunakan keterampilan berpikir secara kritis pada gagasan-gagasan
yang ditemukan, kami berharap mereka akan lebih siap untuk bergabung dalam upaya kolaboratif ini.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

12

Keselamatan Jalan
Edisi 8, Oktober 2011

Membangun Kapasitas Kelembagaan bagi Keselamatan


Jalan di Indonesia
Peran Polisi Lalu Lintas Indonesia dalam Mencapai Tujuan
Dekade untuk Aksi Keselamatan Jalan
Perspektif Seorang Ahli Keselamatan Jalan

POIN-POIN UTAMA
Kecelakaan di jalan raya adalah penyebab signifikan dari kematian dan luka-luka baik
secara internasional maupun di Indonesia. PBB telah menyatakan tahun 20112020 sebagai
Dekade untuk Aksi Keselamatan Jalan Raya, dan Indonesia telah menanggapinya dengan
menyusun Rencana Tindak.
Apa cara terbaik untuk melaksanakan rencana ini? Ingin rasanya langsung menerapkan
langkah-langkah yang telah terbukti efektif di negara lain. Namun program keselamatan jalan
raya yang efektif mensyaratkan tiga langkah yang saling terkait: Kedua langkah pertama,
menjamin kapasitas kelembagaan dan memastikan para pemangku kepentingan menyepakati
hasil yang diinginkan. Ini akan sangat membantu untuk menjamin keberhasilan langkah ketiga,
yaitu menerapkan langkah-langkah tertentu yang telah diketahui keberhasilannya.
Target dapat ditentukan dengan menanyakan berapa besar jumlah kematian dan cedera serius
yang ingin dikurangi selama periode waktu tertentu. Target ini harus mencakup beberapa
perluasan untuk menciptakan insentif bagi upaya yang lebih besar.
Lembaga yang efektif harus ada bersama dengan sistem pengambilan keputusan dari
pemerintah secara keseluruhan. Jika organisasi dan tingkat pemerintahan yang berbeda
gagal dalam berkoordinasi, maka kemungkinan besar mereka akan gagal pula untuk mencapai
target keselamatan jalan raya. Peran dan tanggung jawab yang jelas dari lembaga-lembaga,
koordinasi tindakan yang kuat, dan pengambilan keputusan yang efektif sangat penting.
Pengelola harus mampu untuk mendapatkan pendanaan yang memadai, mendorong
perubahan legislatif dan sistem data dalam pemerintahan, memperkuat advokasi di dalam
maupun di luar pemerintahan, melaksanakan pemantauan dan evaluasi kinerja, mendorong
penelitian dan pengembangan yang efektif, serta mengembangkan pola alih pengetahuan
untuk membina peningkatan keahlian dalam lembaga-lembaga tersebut seiring dengan
berjalannya waktu.
Membangun kapasitas ini merupakan persoalan yang mendesak di Indonesia, di mana tanggung
jawab untuk keselamatan jalan raya terpencar. Salah satu cara untuk mengembangkan kinerja
yang sukses adalah melalui perencanaan dan peluncuran proyek serta program percontohan
yang bersasaran dan merupakan kerjasama antarlembaga.

Keselamatan Jalan

MEMBANGUN KAPASITAS
KELEMBAGAAN BAGI
KESELAMATAN JALAN
DI INDONESIA
Strategi ad hoc tidak cukup untuk melakukan perbaikan jangka
panjang terhadap statistik keselamatan jalan raya di Indonesia.
Solusi sesungguhnya terletak pada pembangunan lembagalembaga kuat yang saling berkoordinasi.
Oleh Eric Howard

Di negara berkembang, sekitar 1 juta korban jiwa dan kuranglebih 40 juta orang terluka akibat kecelakaan di jalan raya per
tahun. Angka ini diproyeksikan akan meningkat 50 persen
pada tahun 2020 kecuali jika tindakan tertentu diambil.
Kecelakaan jalan raya adalah penyebab kematian nomor
satu bagi orang muda di seluruh dunia, dan pada tahun 2015
akan menjadi beban kesehatan terbesar bagi anak-anak di
atas usia lima tahun di negara berkembang. Cedera akibat
kecelakaan lalu lintas merupakan beban yang sangat berat bagi
rumah sakit dan sistem kesehatan, dan merupakan penguras
besar perekonomian di negara-negara berkembang. Namun,
sebagaimana ditekankan dalam Dekade Aksi Keselamatan
Jalan Raya PBB, kecelakaan di jalan raya tidak dapat dihindari;
namun dapat dicegah.
Indonesia menghadapi masalah keselamatan jalan raya yang
serius dan semakin memburuk. Lebih dari 32.000 pengguna
jalan tewas dalam kecelakaan setiap tahun di seluruh Indonesia,
dan 1 juta lebih terluka. Tingkat fatalitas yang diketahui (5,1
kematian per 10.000 kendaraan terdaftar, 2008) merupakan
angka yang tinggi jika dibandingkan dengan Australia (1,2)
dan Malaysia (3,7). Dalam beberapa tahun belakangan ini,
peningkatan drastis jumlah kendaraan bermotor di jalan raya,

terutama sepeda motor, diikuti oleh peningkatan jumlah


fatalitas. Kecenderungan ini tidak mungkin diperbaiki tanpa
adanya tindakan bersama.
Pemerintah Indonesia pada tingkat nasional, provinsi, dan
daerah telah mengutarakan keprihatinan terhadap tingginya
jumlah korban manusia dan biaya ekonomi akibat strategi dan
pengoperasian keselamatan jalan raya yang buruk. PBB telah
menyatakan tahun 20112020 sebagai Dekade untuk Aksi
Keselamatan Jalan Raya, dan Indonesia telah menanggapinya
dengan mempersiapkan dan mempublikasikan Rencana
Tindak. Apa cara terbaik untuk melaksanakan Rencana
Tindak tersebut, dan bagaimana organisasi seperti Prakarsa
Infrastruktur Indonesia (IndII) yang didanai oleh AusAID dapat
mendukung otoritas keselamatan jalan raya di Indonesia dalam
meningkatkan kinerja keselamatan jalan raya?

Bergegas Menuju Intervensi


Ketika kebanyakan orang memikirkan keselamatan jalan
raya, dan bagaimana cara meningkat-kannya di negara mana
pun baik yang berpenghasilan rendah, menengah, atau
tinggi adalah wajar untuk berfokus pada pengetahuan
yang diperoleh dari pengalaman: Langkah-langkah apa

Prakarsa Compendium | Jilid 2

16

17

Membangun Kapasitas Kelembagaan bagi Keselamatan Jalan di Indonesia

saja yang telah terbukti efektif di negara-negara lain


(lazimnya negara maju) untuk mencegah jenis kecelakaan di
jalan raya yang mengakibatkan korban jiwa dan menyebabkan
luka-luka?
Jelas ini merupakan pertanyaan yang penting. Mengidentifikasi
langkah atau intervensi apa yang dapat diterapkan merupakan
langkah penting dalam menanggulangi terjadinya hilangnya
nyawa dan meminimalisir luka-luka.
Meski demikian, mengetahui secara teori mengenai tindakan
apa yang dapat diambil, berdasarkan jenis kecelakaan dan
data lainnya, hanya salah satu bagian dari solusi. Program
keselamatan jalan raya yang efektif di Indonesia, atau negara
manapun, mensyaratkan bahwa pemerintah mengambil tiga
langkah yang saling terkait. Langkah yang paling fundamental
adalah menjamin adanya kapasitas kelembagaan untuk

mengelola keselamatan jalan raya dengan baik. Pada saat yang


bersamaan, sama pentingnya untuk mencapai kesepakatan
dengan para pemangku kepentingan mengenai hasil yang ingin
dicapai. Saat kedua langkah awal tersebut diambil, langkah
ketiga mengimplementasikan langkah yang telah diketahui
keberhasilannya akan lebih mungkin dilaksanakan, dan
membawa keberhasilan jangka panjang.

Menyepakati Target
Target dapat ditentukan dengan mengajukan pertanyaan:
seberapa besar penurunan korban jiwa dan luka berat yang
ingin dicapai, misalnya, dalam periode 10 tahun selama Dekade
Aksi 20112020?
Target yang masuk akal harus didasarkan pada penilaian
terhadap isu-isu kecelakaan di dalam sebuah negara dan hasil
yang diharapkan dari implementasi langkah mitigasi yang

Gambar 1: Sistem Manajemen Keselamatan Jalan Raya

Menc
apai h

asil

Mene
n
dan m tukan targe
en
t
interverapkan
ensi

Menja

min k
apasit
as kele

mbag
aan

Prakarsa Compendium | Jilid 2

aran
Kelu selesai,
anye lan, dll)
p
m
a
(k
ja
dan
ajaan
perem(korban jiwang)
a
il
r
s
u
a
k
r
H

faat
ka be
luka-luis biaya-man
s
Anali
asian ,
k ukur
goper
Toloin, dan pen r jalan raya
sa rastuktu
f
an, de
ncana lan raya: In an orang kecelakaan
e
r
e
P
d

ja
n
n
a
a
a
g
r
orban
n
kenda erawatan k
lingku
p
ran,
n
a
d
eratu
ulihan
dan p k
f
ti
la
Pem
oliti
legis
kerja ukungan p asil
ngka
h
d
aya
Kera dengan okus pada sumber d an jelas
Berf anaan dantukan deng
nd g diten baga
asi pe
n
m
Alokganisasi yaasi antarle bangan
r
o
in
d
gem
n
r
a
o
r
Ko litian & pentahuan
Pe
e
si
e
Pen Alih pengn & evalua
ua
a
t
n
a
Pem

Keselamatan Jalan

Beberapa lembaga di Indonesia bertanggung jawab atas rambu lalu lintas,


namun banyak rambu yang membingungkan atau kurang terpelihara.

realistis secara efektif. Meski target yang ditetapkan harus


realistis, beberapa aspirasi atau fleksibilitas diperlukan untuk
memberikan insentif kepada pemerintah serta para mitranya
untuk melakukan lebih banyak dan bukan lebih sedikit.

Realisasi
Setelah target ditetapkan, bagaimana kita dapat
mengubah gagasan menjadi tindakan yang diterima serta
mengatasi banyak rintangan yang akan dihadapi dalam
mengimplementasikannya secara penuh? Keberhasilan dalam
merealisasikan bergantung pada kapasitas manajemen
keselamatan jalan raya dari lembaga mitra keselamatan
jalan raya. Praktisi pemerintah, birokrat senior, dan politisi di
semua tingkatan harus berpengetahuan dan berkemampuan.
Lembaga yang efektif harus ada bersama sistem pengambilan
keputusan dari pemerintah secara keseluruhan. Jika berbagai
organisasi dan tingkat pemerintahan yang memegang peran
dalam keselamatan jalan raya gagal dalam berkoordinasi,
kemungkinan besar pencapaian target keselamatan jalan raya
akan gagal.
Gambar 1 merupakan representasi grafis dari sistem
manajemen keselamatan jalan raya yang menunjukkan
bagaimana fokus terhadap pembangunan kapasitas

Foto oleh Rahmad Gunawan

kelembagaan, dan pembangunan berlandasan kapasitas


dengan penetapan target serta intervensi, dapat
membuahkan hasil. Manajemen keselamatan jalan raya
di negara mana pun meraih manfaat secara substansial
dari pembagian peran dan tanggung jawab yang jelas
bagi lembaga, koordinasi yang baik atas tindakan yang diambil
oleh lembaga-lembaga tersebut, dan penyelenggaraan
pengambilan keputusan yang efektif antara tingkat organisasi
politik dengan tingkat organisasi atas (termasuk menengah).
Dalam mencapai hasil keselamatan jalan raya yang berjalan
baik, diperlukan manajemen yang kompeten dalam lembaga
untuk mendapatkan pendanaan yang memadai, mendorong
perubahan legislatif dan sistem data dalam pemerintahan,
memperkuat advokasi di dalam maupun di luar pemerintahan,
melaksanakan pemantauan dan evaluasi kinerja, mendorong
penelitian & pengembangan yang efektif, serta mengembangkan
pola alih pengetahuan untuk meningkatkan keahlian di dalam
lembaga seiring dengan perjalanan waktu.
Menempatkan kapasitas manajemen keselamatan jalan
yang memadai pada dasar piramida bukan sekadar masuk
akal. Pendekatan ini telah diidentifikasi dalam laporan
OECD/International Transport Forum (Forum Transportasi

Prakarsa Compendium | Jilid 2

18

19

Membangun Kapasitas Kelembagaan bagi Keselamatan Jalan di Indonesia

Internasional) tahun 2008, Towards Zero1, serta makalah


Global Road Safety Facility dari Bank Dunia, Guidelines for the
Conduct of Road Safety Management Capacity Reviews.2 Hal ini
telah diperkuat dengan adanya UN Road Safety Collaboration
dalam Global Plan for the Decade of Action3 tahun 2011, yang
dikoordinasi oleh World Health Organisation. Rencana Global
untuk Dekade Aksi yang didukung oleh PBB disusun seputar
lima kategori atau pilar kegiatan, dan yang pertama adalah
pengembangan kapasitas manajemen keselamatan jalan
raya.

Indonesia Melangkah Maju


Melalui pembentukan rencana Dekade Aksi, Indonesia telah
membangun kesadaran yang terus meningkat mengenai target
yang ingin diraih, serta intervensi apa yang diperlukan hingga
tahun 2020.

provinsi di Indonesia beserta ratusan kabupaten dan kota


semua menjalankan peran. Namun organisasi-organisasi ini
menghadapi banyak kendala dalam penyusunan program
keselamatan jalan raya yang efektif: data kecelakaan yang
terperinci tidak dihimpun atau disebarluaskan secara efektif;
dukungan legislatif/peraturan untuk penegakan masih lemah;
beberapa tanggung jawab yang tumpang tindih (misalnya,
untuk rambu jalan); pendanaan yang barangkali tidak
memadai, dan hanya ada sedikit jalur resmi yang tersedia untuk
mendorong dialog serta koordinasi. Terutama di tingkat daerah,
keselamatan jalan raya harus bersaing untuk diprioritaskan
dengan persoalan lain seperti kepadatan lalu lintas dan
transportasi umum.
Banyak praktisi keselamatan jalan raya di Indonesia
mengakui kendala ini, dan mengharapkan dukungan
dari organisasi seperti IndII dalam upaya mereka untuk

Meski target yang ditetapkan harus realistis, beberapa aspirasi


atau fleksibilitas diperlukan untuk memberikan insentif kepada
pemerintah serta para mitranya untuk melakukan lebih banyak
dan bukan lebih sedikit
Jadi, bagaimana cara mendukung lembaga-lembaga
keselamatan jalan raya di negara berkembang seperti
Indonesia, untuk meningkatkan kemampuan mereka
mengimplementasikan langkah-langkah yang diinginkan?
Dengan kata lain, bagaimana mereka dapat menjadi pelaku
dan mitra keselamatan jalan raya yang efektif? Bagaimana
mereka dapat beralih dari mengidentifikasi peluang kepada
pelaksanaan langkah di lapangan? Jawaban atas pertanyaan
ini terletak pada pengembangan kapasitas kelembagaan yang
dapat diandalkan.
Pengembangan kapasitas ini merupakan persoalan yang
mendesak bagi Indonesia. Tanggung jawab untuk keselamatan
jalan raya masih terpencar. Direktorat Jenderal Perhubungan
Darat (melalui Direktorat Keselamatan Jalan Raya), Polisi Lalu
Lintas Indonesia, Direktorat Jenderal Bina Marga, dan ke-33

Prakarsa Compendium | Jilid 2

menanggulanginya. Kebanyakan dari kita mempelajari caracara baru untuk melakukan berbagai hal dengan langsung
mempraktikannya dan sebaiknya dengan bimbingan terperinci
dari seorang ahli yang berpengalaman menjalankannya
bersama. Keselamatan jalan raya bukan pengecualian.
Namun, bahkan ketika sepenuhnya menjalankan standar
praktik yang baik yang telah ditetapkan secara internasional
di sektor publik, tetap saja merupakan persoalan kompleks
dan multi-sektoral untuk dikelola. Hasil keselamatan jalan raya
yang efektif mensyaratkan kerjasama yang terkoordinasi antar
berbagai lembaga pemerintah yang berbeda, dengan dukungan
masyarakat yang terinformasi. Tugas ini tidaklah mudah.
Kompleksitas tantangan dapat timbul sebagai rintangan
yang menakutkan bagi lembaga-lembaga tersebut. Apakah
terdapat strategi yang dapat membuat kurva belajar
sedikit lebih mudah?

Keselamatan Jalan

Proyek Percontohan
Salah satu cara yang telah diidentifikasi sebagai pembawa
kesuksesan kinerja adalah perencanaan dan peluncuran proyek
serta program percontohan yang bersasaran dan merupakan
kerjasama antarlembaga.
OECD dan Bank Dunia mengakui manfaat dari pendekatan
ini dalam saran mereka bagi negara-negara yang berusaha
untuk secara substansial mempercepat perjalanan mereka
menuju keselamatan jalan raya. Bank Dunia telah menjalankan
sejumlah Pengkajian Kapasitas Manajemen Keselamatan Jalan
Raya bagi negara-negara berkembang. Sebuah rekomendasi
yang konsisten dalam beberapa tahun terakhir adalah untuk
menerapkan proyek percontohan yang melibatkan semua
lembaga utama di bidang keselamatan jalan raya serta
pemerintah daerah. Proyek percontohan membatasi skala
geografis pada tingkat yang mudah untuk dikelola, sehingga
memungkinkan terjadinya pembelajaran yang lebih efektif.
Ini semua dapat menjadi sarana yang efektif untuk membina
peningkatan pengelolaan, dan keterlibatan berbagai lembaga
dapat membangun koordinasi dan akuntabilitas.
Beberapa di antara kegiatan yang sesuai untuk mendukung
proyek percontohan adalah: pelatihan bagi manajemen dan
staf teknis; mendukung polisi untuk menegakkan kepatuhan
terhadap aturan penting dalam berlalu lintas; dan menciptakan
kampanye informasi publik. Tindakan berskala kecil seperti ini
dapat menghasilkan manfaat yang jelas bagi daerah setempat,
tetapi pencapaian yang sesungguhnya diharapkan dari
perkembangan progresif dalam kapasitas untuk mengelola
keselamatan jalan raya serta pelajaran dari pengalaman yang
dapat diterapkan di daerah lain. Untuk mendapatkan efek
semaksimal mungkin, kegiatan percontohan harus melibatkan
semua lembaga utama keselamatan jalan raya, menggunakan
proses belajar melalui praktik, dan menekankan koordinasi
serta kemitraan antarlembaga yang berlandasan pada
pendekatan sistem yang aman. Daripada memeriksa bagian
dari sistem keselamatan jalan raya secara terpisah, kegiatan
harus mengambil pendekatan yang menyeluruh terhadap
sistem untuk meningkatkan keselamatan.

Mekanisme dana hibah yang dapat mempercepat implementasi


(dibandingkan dengan pinjaman), dan pembiayaan berbasis
hasil yang meningkatkan insentif bagi lembaga-lembaga untuk
menghasilkan keluaran yang ditentukan, merupakan alat
bantu yang dapat digunakan secara bersamaan dengan proyek
percontohan.
Proyek percontohan saja tidak akan secara otomatis
menghasilkan peningkatan kapasitas; keberhasilan dan
pelajaran dari pengalaman harus kemudian disebarluaskan
dengan baik. Namun, pengalaman internasional menunjukkan
bahwa proyek percontohan adalah alat sangat baik yang dapat
diterapkan dengan harapan akan membawa perbaikan jangka
panjang terhadap kapasitas Indonesia untuk melaksanakan
program keselamatan jalan raya yang efektif.

Tentang Penulis:
Eric
Howard
adalah
Kepala
Konsultan
Strategis
Internasional Keselamatan Jalan Raya Whiting Moyne.
Sebelum itu ia menghabiskan tujuh tahun sebagai General
Manager Keselamatan Jalan Raya di VicRoads, Badan
Keselamatan Jalan Raya Negara Bagian/Otoritas Jalan Raya
di Victoria, Australia.
Eric memimpin Kelompok Kerja OECD/ITF yang menghasilkan
Laporan Keselamatan Jalan Towards Zero pada tahun 2008.
Ia telah memberikan bimbingan mengenai keselamatan
jalan raya di lebih dari 20 negara, dan telah memimpin
dan menjadi penulis pendamping pengkajian kapasitas
manajemen keselamatan jalan raya serta merancang
strategi keamanan jalan raya yang relevan di banyak negara.
Pada tahun 2008, ia melakukan kajian utama mengenai
keselamatan jalan raya di Indonesia untuk AusAID sebagai
panduan kemungkinan investasi. Ia saat ini memberikan
bimbingan program keselamatan jalan raya kepada IndII
mengenai pemilihan dan pelingkupan proyek keselamatan
jalan di Indonesia, yang berpotensi didanai oleh AusAID.

CATATAN
1. OECD/ITF Towards Zero: Achieving Ambitious Road Safety Targets through a Safe System Approach. 2008.
2. Bank Dunia. Guidelines for the Conduct of Road Safety Management Capacity Reviews. 2009.
3. The UN Road Safety Collaboration. Global Plan for the Decade of Action for Road Safety 20112020. 2011.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

20

POIN-POIN UTAMA
Menurut Korps Polisi Lalu Lintas (Polantas), lebih dari 31.000 korban meninggal di jalanjalan di Indonesia pada tahun 2010, dan jumlah ini semakin meningkat, membawa dampak
serius bagi perekonomian negara. Wakil Presiden Boediono menyatakan komitmen Indonesia
terhadap Dekade untuk Aksi Keselamatan Jalan dari PBB di Indonesia dengan meluncurkan
Rencana Umum Nasional untuk Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Darat, yang bertujuan
mengurangi jumlah korban jiwa akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia sebesar 50 persen
pada tahun 2020.
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) merupakan pemangku kepentingan utama dalam upaya
ini dan memiliki komitmen kuat terhadap peningkatan keselamatan lalu lintas.
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk meramal jumlah korban jiwa akibat kecelakaan
lalu lintas di Indonesia adalah dengan menggunakan Smeeds Law (Hukum Smeed), berupa
persamaan yang menggunakan jumlah kendaraan bermotor dan jumlah penduduk untuk
memperkirakan jumlah korban jiwa, Dengan menggunakan penyempurnaan hukum tersebut
yang dikembangkan oleh Jacobs dan Cutting pada tahun 1986 untuk diaplikasikan pada negaranegara berpenghasilan rendah dan menengah, Indonesia diperkirakan akan mengalami
37.493 korban jiwa setiap tahun pada tahun 2020 apabila tidak dilakukan langkah-langkah
pencegahan. Jika Dekade Aksi ini berhasil, angka tersebut akan berkurang separuhnya, dengan
pengurangan secara kumulatif dalam jumlah korban sebesar hampir 87.000 jiwa.
Polri memiliki program aksi lima tahun dengan prioritas yang mencakup kemitraan pemangku
kepentingan; peningkatan investigasi dan pencatatan data kecelakaan lalu lintas; penegakan
hukum di aneka bidang termasuk pembatasan muatan kendaraan, penerbitan Surat Izin
Mengemudi (SIM), dan pelanggaran kecepatan.
Kemungkinan besar program tersebut akan berhasil jika mereka menggunakan tujuan yang
dapat diukur; jika semua pemangku kepentingan bertekad dan memainkan peran aktif dalam
pelaksanaannya; dan apabila tujuan tersebut ditinjau ulang secara berkala untuk mengevaluasi
keberhasilan program tersebut dan melakukan perubahan sebagaimana diperlukan untuk
mengantisipasi tren baru.

Keselamatan Jalan

22

PERAN POLISI LALU LINTAS


INDONESIA DALAM MENCAPAI
TUJUAN DEKADE UNTUK AKSI
KESELAMATAN JALAN
Indonesia bertekad untuk mengurangi jumlah korban jiwa lalu
lintas sebanyak 50 persen pada tahun 2020. Untuk membantu
mencapai tujuan tersebut Polisi Lalu Lintas berencana meningkatkan
pengumpulan data dan investigasi kecelakaan lalu lintas, meningkatkan
upaya penegakan hukum, dan bekerja sama dengan masyarakat.
Oleh M. Naufal Yahya

Jumlah korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas


meningkat dari tahun ke tahun. Menurut Korps Lalu Lintas
Polri (Korlantas), lebih dari 31.000 korban meninggal di
jalan pada tahun 2010. Kecelakaan lalu lintas berdampak
besar pada ekonomi nasional. Rencana Umum Nasional
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (RUNK LLAJ)
memperkirakan, kecelakaan mengakibatkan kerugian
sebesar 3,1 persen dari Pendapatan Bruto Nasional, yaitu
sekitar 220 trilyun rupiah. Jumlah ini jauh melampaui angka
2 persen yang diperkirakan World Health Organization pada
tahun 2004.
Pada tanggal 11 Mei 2011 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
mencanangkan program Decade of Action (DoA) for Road
Safety 20112020. Wakil Presiden Boediono menyatakan
komitmen Indonesia pada Dekade Aksi Keselamatan Jalan

di Indonesia dengan meluncurkan RUNK LLAJ sebagaimana


diamanatkan dalam Pasal 203 Undang-undang No. 22/2009
tentang LLAJ. Tujuan aksi ini adalah mengurangi jumlah
korban meninggal pada tahun 2020 sebesar 50 persen.
POLRI memiliki komitmen tinggi untuk mengupayakan
peningkatan keselamatan lalu lintas. Undang-Undang No 22
tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) juga
secara tegas mengamanahkan POLRI sebagai pemangku
kepentingan (stakeholder) utama LLAJ untuk berperan aktif
dalam upaya-upaya penanggulangan masalah kecelakaan
lalu lintas sesuai dengan kewenangan yang ada.

Memperkirakan Korban Jiwa


Suatu metode yang dapat digunakan untuk memperkirakan
jumlah korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas

Prakarsa Compendium | Jilid 2

23

Peran Polisi Lalu Lintas Indonesia dalam Mencapai Tujuan Dekade untuk Aksi Keselamatan Jalan

di Indonesia adalah Smeeds Law, metode persamaan


yang dikembangkan oleh R.J. Smeed pada tahun 1949 dan
masih digunakan sampai sekarang. Metode ini menyatakan
hubungan antara jumlah kendaraan bermotor dengan
jumlah penduduk. Dengan menerapkan metode ini pada
data 2010, diperoleh angka 31,234 korban jiwa.
Gambar1: Prediksi Fatalitas Kecelakaan Lalu Lintas dan Target
Penurunan Angka Sesuai DoA di Indonesia
Prediksi

Tahun
2010

Penduduk

Kendaraan

Fasilitas

237,000,000

50,000,000

32,192

Target
32,192

2011

237,521,400

52,500,000

32,687

32,514

2012

238,043,947

55,125,000

33,189

32,189

2013

238,567,644

57,881,250

33,698

30,509

2014

239,092,493

60,775,313

34,216

28,828

2015

239,618,496

63,814,078

34,742

27,148

2016

240,145,657

67,004,782

35,275

25,468

2017

240,673,977

70,355,021

35,817

23,787

2018

241,203,460

73,872,772

36,367

22,107

2019

241,734,108

77,566,411

36,926

20,427
18,747

2020

242,265,923

81,444,731

37,493

2025

244,942,599

103,946,409

40,462

12,866

2030

247,648,849

132,664,885

43,667

10,513

2035

250,384,999

169,317,747

47,125

8,700

Gambar2: Pengurangan Fatalitas Akibat Rencana Aksi dari Decade


of Action for Road Safety

Fasilitas Kecelakaan Lalu Lintas Jalan

50000
45000
40000
35000

88,600 jiwa terselamatkan dari DoA

30000

Sarana untuk Melangkah Maju


Polisi Lalu Lintas (Polantas) Indonesia bertanggungjawab
mengawasi jalan raya maupun mengelola lalu lintas dan
mengatur arus lalu lintas. Strategi yang mungkin dapat
diterapkan Polantas untuk mencapai penekanan lebih besar
pada keselamatan jalan mencakup:
Membangun kapasitas kelembagaan dan sumber daya
manusia melalui pelatihan, alih pengetahuan, dan
penyusunan kurikulum.
Meningkatkan kerjasama antar-instansi melalui berbagai
strategi seperti proyek percontohan multi-instansi (lihat
Membangun Kapasitas Kelembagaan bagi Keselamatan
Jalan Raya di Indonesia di halaman 15 untuk mengetahui
latar belakang pemikiran untuk pendekatan ini).
Memakai perangkat yang sudah teruji secara
internasional (sebagai contoh, e-enforcement, yang
menggunakan teknologi untuk membantu polisi dalam
penegakan undang-undang lalu lintas.)

Jacobs dan Cutting (1986) menyempurnakan metode


Smeed untuk negara-negara berpenghasilan rendah
dan menengah, dengan meneliti kaitan antara tingkat
kematian akibat kecelakaan lalu lintas dan karakteristik
sosial dan ekonomi.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) rata-rata pertumbuhan
penduduk Indonesia sekitar 2,20 persen, sedangkan
pertumbuhan rata-rata kendaraan berdasarkan data
Korlantas Polri sebesar 15 persen (termasuk sepeda
motor). Gambar 1 menunjukkan prediksi jumlah kematian
akibat kecelakaan lalu lintas yang diperoleh dari data ini
menggunakan persamaan Jacobs dan Cutting, dilengkapi
dengaan penurunan yang telah ditargetkan sesuai Decade
of Action.

25000
20000
15000
10000
5000
0
2010 2015 2020 2025 2030 2035 2040

Tanpa Aksi

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Target

Tahun

Bila Decade of Action mencapai sukses, jumlah kematian


pada tahun 2020 akan berkurang separuhnya dari 37.493
hingga 18.747 jiwa. Selanjutnya, jumlah kumulatif korban
yang terselamatkan dari kecelakaan lalu lintas tahun
2020 akan menjadi 86.747 jiwa. Lihat gambar 2 yang
membandingkan hasil dilaksanakannya program efektif
versus kondisi tanpa program.

Keselamatan Jalan

Polisi Lalu Lintas Indonesia mengemban beragam tanggung jawab, mulai


dari mengawasi perilaku pengemudi hingga menegakkan aturan tentang
pembatasan muatan kendaraan.

Foto oleh Andre Susanto

Prakarsa Compendium | Jilid 2

24

25

Peran Polisi Lalu Lintas Indonesia dalam Mencapai Tujuan Dekade untuk Aksi Keselamatan Jalan

Gambar 3: Proses RUNK di Kepolisian

5 pilar RUNK LLAJ

Peningkatan &
Perluasan

Monitoring,
Analisis &
Evaluasi

Kebijakan
Kepolisisan
Resolusi PBB-WHO
(mengurangi jumlah
korban meninggal dunia
sebesar 50%)

Implementasi

Program Penunjang
5 Tahunan

REN-AKSI Kepolisian
5 Tahunan

Polri telah menjabarkan lima pilar dalam menyusun


kebijakan DoA dan program aksi lima tahun, sebagaimana
tampak pada gambar 3. Prioritas ditetapkan dengan
bantuan Bank Dunia, Prakarsa Infrastruktur Indonesia yang
didanai AusAID, Bank Pembangunan Asia dan pemangku
kepentingan lainnya. Program prioritas ini mencakup:
Kerjasama aksi-aksi keselamatan jalan antara para
pemangku kepentingan.
Penyempurnaan sistem pencatatan data kecelakaan
lalu lintas,
Peningkatan kualitas investigasi kecelakaan lalu lintas
Kajian lokasi rawan kecelakaan lalu lintas (Blackspot)
Penegakan aturan kontrol berat kendaraan
Penyempurnaan sistem perizinan mengemudi di jalan
(Surat Izin Mengemudi)

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Penegakan kontrol kecepatan kendaraan,


menggunakan peralatan listrik
Penegakan kontrol kandungan alkohol pada
pengemudi di berbagai lokasi
Pendidikan berlalu lintas sejak usia dini
Penyempurnaan sistem identifikasi kendaraan sesuai
dengan standar keselamatan
Program-program ini lebih berpeluang meraih sukses bila:
menggunakan tujuan-tujuan yang dapat terukur; semua
pemangku kepentingan berkomitmen tinggi dan memainkan
peranan penting dalam pelaksanaannya; ditinjau
ulang secara teratur untuk mengevaluasi keberhasilan
program dan menerapkan perubahan-perubahan di
mana perlu dalam mengantisipasi per-kembangan baru.
Penyempurnaan dalam kualitas data kecelakaan penting
sekali, karena data ini membentuk dasar perencanaan
program keselamatan oleh semua pemangku kepentingan.
Selanjutnya, data ini juga akan berperan sebagai indikator
performa untuk mengakses keselamatan transportasi jalan.
Upaya reduksi fatalitas 50 persen kecelakaaan di jalan hanya
dapat terwujud dengan adanya angkatan kepolisian yang
profesional dan ketersediaan peralatan/teknologi mutakhir
dengan perkembangan SDM yang kuat.

Tentang Penulis:
M. Naufal Yahya, M.Sc.Eng adalah Kabag Keamanan dan
Keselamatan, Korps Lalu Lintas PolRI.

Keselamatan Jalan

26

PERSPEKTIF SEORANG
AHLI KESELAMATAN JALAN
Diskusi dengan Jany Agustin tentang rekayasa keselamatan jalan
di Indonesia dan tantangannya.
Wawancara oleh Devi Asmarani

Jany Augustin adalah salah satu anggota Unit Rekayasa


Keselamatan Jalan (URKJ) dan juga konsultan Prakarsa
Infrastruktur Indonesia (IndII) yang didanai AusAID. Tim
URKJ yang dibentuk pada 2009 ini beranggotakan 10 orang
konsultan, lima dari IndII dan lima dari Direktorat Bina
Marga, Kementerian Pekerjaan Umum.
Pada tahun 2009 Jany pensiun dari posisinya terakhir
sebagai Kasubdit Teknik Lingkungan dan Keselamatan Jalan
di Kementerian Pekerjaan Umum. Selanjutnya ia bekerja
sebagai konsultan IndII di bidang keselamatan jalan.
Dalam wawancara dengan Prakarsa, Jany memaparkan
kegiatan, pencapaian dan rencana-rencana URKJ.

Prakarsa: Apa sasaran URKJ?


Jany: Memastikan agar keselamatan jalan menjadi
pertimbangan dalam penyelenggaraan jalan, mulai dari
pemeliharaan, pelebaran atau penambahan kapasitas,
sampai pembangunan jalan baru.

Apa saja aktivitas URKJ selama ini?


Kami membantu Sub Direktorat Teknik Lingkungan dan
Keselamatan Jalan untuk melakukan audit keselamatan,
melakukan investigasi blackspot. (Blackspot adalah bagian
jalan, di mana banyak terjadi kecelakaan). Dan, yang lebih
penting lagi, memberi pelatihan penyelenggaraan jalan

Jany Agustin

Photo by Rahmad Gunawan

Prakarsa Compendium | Jilid 2

27

Perspektif Seorang Ahli Keselamatan Jalan

kepada rekan-rekan di Dirjen Bina Marga, mulai dari level


perencanaan, pembangunan jalan, sampai pengoperasian
jalan. Investigasi blackspot, misalnya, dilakukan untuk jalan
yang sudah beroperasi.

Semua harus bekerjasama, sebab kalau tidak, semua upaya


akan sia-sia. Semua ini dituangkan dalam Rencana Umum
Nasional Keselamatan Jalan [RUNKJ] yang diluncurkan
dalam deklarasi DoA itu.

Anda menyebut audit, investigasi, dan pelatihan.


Dari ketiga kegiatan tersebut, mana yang paling
banyak menyita perhatian URKJ sampai saat ini?

RUNKJ ini mencakup berbagai aspek, mulai dari bagaimana


Bina Marga dapat menyelenggarakan infrastruktur yang
berkeselamatan, bagaimana menciptakan kendaraan yang
berkeselamatan, dan bagaimana melakukan penanganan
pasca-kecelakaan. Ada yang mengatakan, kematian bisa
dikurangi 50 persen dengan post-crash response yang
tepat. Di bidang kesehatan ada istilah golden hour. Setelah
terjadi kecelakaan, jika ditangani dengan cepat dan tepat,
korban lebih berpeluang diselamatkan. Misalnya, dengan
kedatangan ambulans tepat waktu.

Yang paling banyak menyita waktu tentunya audit dan


investigasi blackspot. Namun dari segi prioritas, yang
paling dibutuhkan adalah pelatihan, karena kami harus
menanamkan kesadaran akan pentingnya jalan yang
berkeselamatan.
Pada mulanya banyak rekan yang berpikir bahwa untuk
pemenuhan penyediaan jalan yang bagus saja Indonesia
masih terseok-seok, kok kita sudah memikirkan standar
keselamatan? Seharusnya kita tidak boleh berpikir
begitu. Sudah tugas kita menyediakan infrastruktur
yang berkeselamatan, bukan hanya untuk mengurangi
kecelakaan, tapi juga untuk mengurangi luka berat dan
kematian akibat kecelakaan tersebut.
Sekalipun tidak berhasil mengurangi jumlah kecelakaan,
kita bisa mengurangi kematian yang diakibatkannya. Jadi
meskipun kecelakaan tetap terjadi, jangan sampai korban
meninggal, atau luka berat, atau bahkan luka ringan. Kalau
mungkin, kecelakaan hanya menyebabkan kerusakan mobil
saja.
Saat ini timing-nya sudah tepat sekali untuk menjalankan
inisiatif keselamatan jalan ini, karena UU No. 22 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sudah dikeluarkan tahun
2009. PBB juga baru-baru ini mendeklarasikan Decade
of Action [DoA] for Road Safety. Sejalan dengan hal ini,
pada tanggal 20 Juni kemarin Wakil Presiden Boediono
mencanangkan Decade of Action Indonesia. Dalam rangka
pencanangan itu, IndII membantu Bapennas, yang berfungsi
sebagai koordinator, untuk merancang masterplan tentang
keselamatan jalan di Indonesia.

Bagaimana caranya agar jumlah kematian akibat


kecelakaan bisa dikurangi?
Dengan mengikutsertakan semua pemangku kepentingan
dari PU atau Bina Marga, Departemen Perhubungan,
Kepolisian, Departemen Kesehatan, industri automotif.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Pihak kesehatan ketika kami tanya apa yang dibutuhkan


untuk peningkatan standar post-crash response
mengatakan yang paling penting adalah adanya jalur bahu
jalan yang selalu terbuka dengan kondisi yang bagus,
sehingga ambulans setiap saat dapat menggunakannya
tanpa hambatan.
Contoh dari segi pemeliharaan jalan: Biasanya kalau seluruh
jalan berlubang, pengendara kendaraan bermotor berhatihati ketika melewatinya. Namun jika hanya ada satu atau
dua lubang di satu ruas jalan yang panjang dan mulus,
pengendara motor biasanya menghindar. Mereka akan
mengambil jalur kanan dengan tiba-tiba. Di jalan raya dua
arah, ini bisa menyebabkan tabrakan dengan kendaraan
dari arah berlawanan. Tugas kita adalah memastikan tidak
ada lubang di jalan yang dapat menyebabkan kejadian
seperti ini.

Siapa saja yang menerima pelatihan URKJ?


Para penyelenggara jalan, termasuk teman-teman di
Direktorat Jenderal dan di kantor-kantor Bina Marga
di daerah. Di daerah disebut balai (pusat). Setiap balai
biasanya terdiri dari dua atau tiga provinsi.
Yang kami latih hanya pelaksana saja, karena tingkatan
dirjen atau direktur terlalu tinggi. Namun kami juga
menyerahkan materi dan saran-saran kepada para pejabat
ini. Kami berharap mereka membahasnya agar lebih
memahami persoalan-persoalan keamanan jalan.

Keselamatan Jalan

Sebenarnya kami berharap adanya komitmen dari para


pejabat. Jika Dirjen, direktur hingga para pelaksana, baik
pelaksana perencanaan, pelaksana konstruksi di lapangan,
atau pelaksanaan pemeliharaan, sudah memiliki komitmen,
maka pelaksanaannya bisa lebih cepat tersosialisasi.
Komitmen sudah ada, tapi kami mengharapkan adanya
komitmen yang lebih besar lagi.

Bagaimana kemajuan yang dicapai saat ini?


Dulu ketika kami mengadakan pelatihan pertama kali, dari
ekspresi wajah para peserta dan pertanyaan yang mereka
ajukan, saya tahu mereka merasa skeptis. Saat itu banyak
yang mempertanyakan pentingnya training tersebut, karena
bagi mereka keselamatan itu barang mewah.
Sekarang sebaliknya, kami malah diundang untuk
memberikan pelatihan, bahkan beberapa peserta rela
menanggung biaya sendiri, seperti yang baru-baru ini
dilakukan oleh Dinas Bina Marga Semarang, dan juga
sebentar lagi diadakan oleh balai di Ambon. Dulu kami yang
menanggung biayanya. Ini suatu kemajuan sejak kami mulai
menanamkan kesadaran tentang keselamatan jalan pada
2008.
Kami juga mulai diundang untuk melakukan audit, padahal
sebelumnya mereka tidak bersedia jika ada pihak yang
mengaudit.
Kemajuan ini terutama terlihat tiga sampai empat bulan
belakangan ini. Hal ini mungkin terjadi setelah adanya
pencanangan Decade of Action, tapi saya kira usaha kami
yang sangat konsisten dan aktif mendiseminasi keselamatan
jalan ini telah berbuahkan hasil yang positif.

Sudah berapa banyak daerah yang dilatih?


Kami (IndII) sudah menyelenggarakan sembilan pelatihan
besar di balai. Di luar itu, kami juga memberikan latihan
yang lebih kecil di Dinas Bina Marga di kota-kota tertentu
untuk meningkatkan kesadaran akan keselamatan jalan.

Bisa diceritakan sejarah berdirinya URKJ?


Pada awalnya, Australia menawarkan bantuan untuk
melakukan studi tentang keselamatan jalan yang dilakukan
oleh Eric Howards. Hal ini menyedot perhatian akan
pentingnya meningkatkan kemampuan para penyelenggara
jalan di Indonesia.

Semula IndII, melalui Philip Jordan, memberikan training


terhadap anggota URKJ, yang tidak hanya terbatas di kantor
tapi juga di lapangan, di lokasi-lokasi seperti Palembang,
Jambi, Medan dan Bandung. Dengan praktik inilah, kami
lebih cepat meresap ilmunya.

Kenapa URKJ dibutuhkan?


Infrastruktur yang tidak layak berpeluang menyebabkan
kecelakaan dan kematian akibat kecelakaan. Sementara
itu, meskipun UU tentang jalan menyebutkan bahwa kita
harus menyediakan infrastruktur yang berkeselamatan,
pada kenyataannya keselamatan belum menjadi bagian tak
terpisahkan dari perencanaan dan pelaksanaan jalan.
Mungkin sebelumnya pemerintah belum menganggap
keselamatan jalan sebagai prioritas. Meskipun standar
perencanaan jalan yang ada sudah mempertimbangkan
keselamatan jalan, standar tersebut masih sangat minimum,
dan hanya dipenuhi bila tidak membuat biaya bengkak.
Kebanyakan standar bahkan sudah kedaluwarsa dan tidak
mengikuti pemikiran terbaru.
Dulu pernah Puslitbang (Pusat Penelitian dan
Pengembangan) Jalan dan Jembatan di bawah PU
mengeluarkan manual komplit mengenai audit keselamatan
jalan, yang diterjemahkan dari Austroad [Asosiasi
perhubungan darat dan otoritas lalu lintas Australia dan
Selandia Baru]. Tapi referensi yang digunakan dalam
manual itu sudah ketinggalan, dan Austroad sendiri sudah
memperbaharuinya.
Dan itu hanya menyangkut prosedur audit. Berdasarkan
penelitian yg dilakukan Australia, ada beberapa
perlengkapan yang digunakan di jalan-jalan di Indonesia,
misalnya guard rail [pembatas], yang tidak memenuhi
standar keselamatan.
Di Australia, berlaku ketentuan bahwa standar keselamatan
harus ditinjau kembali setiap lima tahun, atau lebih awal
jika dirasa penting. Sebetulnya, ketentuan untuk meninjau
ulang standar keselamatan setiap lima tahun itu berlaku
juga di Indonesia, hanya tidak pernah diterapkan. Akibatnya,
standar tidak pernah diperbarui.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

28

29

Perspektif Seorang Ahli Keselamatan Jalan

Sekarang sudah terlihat ada niat untuk meninjau kembali


berbagai standar yang ada, namun tinjauan kembali ini
belum dirumuskan. Juga belum komprehensif, hanya
memperhatikan satu atau dua butir saja. Itu sebabnya IndII
telah dimintai bantuan untuk mempercepat proses ini.

Selama ini apa tantangan utama URKJ?


Semula rencana kami adalah melakukan Training of
Trainers di tingkat balai atau propinsi. Para pelatih inilah
yang kemudian melakukan transfer pengetahuan di daerah
masing-masing.
Ternyata tidak semudah itu. Memang kami telah berhasil
membangun kesadaran akan pentingnya keselamatan
jalan, tapi ketika kesadaran itu perlu diterjemahkan dalam
tindakan yang konkrit seperti melakukan investigasi
daerah blackspot atau mengubah desain jalan agar lebih
berkeselamatan ternyata kami berhadapan dengan
kendala sumber daya manusia.
Saat ini hanya ada 10 orang ahli rekayasa keselamatan jalan
untuk seluruh Indonesia. Jadi jelas ada kebutuhan akan
sumber daya manusia. Idealnya, di satu propinsi paling tidak
ada dua atau tiga orang ahli rekayasa. Dan itu pun hanya
untuk jalan nasional, yang jumlahnya hanya 10 persen dari
seluruh jalan di Indonesia.
Untuk bisa melakukan audit atau investigasi blackspot
dibutuhkan pengalaman. Cukup sulit mendiagnosis apa
penyebab kecelakaan dan memberi rekomendasi untuk
mengatasinya. Itu sebabnya kami terus meningkatkan
kemampuan dan kapabilitas SDM. Memang perjalanan kami
masih jauh sekali.

Apa pencapaian URKJ sampai saat ini?


Kami telah berhasil meningkatkan kesadaran akan
keselamatan jalan, dan melakukan audit dan investigasi
blackspot. Sampai kini kami telah melakukan investigasi
terhadap sekitar 70 lokasi, dan kami telah menyerahkan
hasilnya kepada Dinas Bina Marga untuk ditindaklanjuti.

Apakah rekomendasi URKJ selalu ditindaklanjuti oleh


pihak Bina Marga?
Sebagian sudah, sebagian belum.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Dari sekian banyak blackspot, apakah telah


diidentifikasikan persoalan-persoalan yang mirip
atau serupa?
Dari rekomendari kami, jelas bahwa rambu dan marka
jalan menempati prioritas yang paling tinggi. Hampir dapat
dikatakan, di setiap hasil audit dan investigasi blackspot,
pasti ada masalah rambu dan marka, entah itu kurang,
hilang, tidak ada, salah penempatan, atau terhalang pohon.

Penempatan rambu dan marka jalan berada di


bawah wewenang Perhubungan, apakah biasanya
rekomendasi URKJ kemudian ditindaklanjuti oleh
pihak Perhubungan?
Hal ini bisa bermasalah karena Kementerian Perhubungan
tidak mempunyai dana untuk menempatkan rambu dan
marka. Di sisi lain Bina Marga mempunyai dana tapi tidak
memiliki otoritas. Kami berharap dapat mengatasi hal ini
dengan menyediakan pelatihan, agar masalah ini dapat
terselesaikan.

Apa rencana URKJ?


Kami akan terus melakukan workshop dan training. Barubaru ini IndII melaksanakan workshop perihal keselamatan
di lapangan (safety in worksite) pada saat berlangsungnya
konstruksi di Denpasar dan Makasar.
Meningkatkan kesadaran Bina Marga di provinsi dan
balai saja tidak cukup. Pihak konsultan perencana
seharusnya punya kemampuan untuk mendesain jalan yang
berkeselamatan, begitu juga konsultan pelaksana harus
dapat membangun jalan yang berkeselamatan. Maka kami
juga berniat untuk melatih para designer dan pengawas di
lapangan. Artinya konsultan dan kontraktor Bina Marga
dari manajer proyek sampai konsultan pengawas semua
harus punya kesadaran berkeselamatan.
Rencana kami membutuhkan lebih banyak pelatihan lagi.
Ini pekerjaan rumah yang sedang kami garap.

Bagaimana Anda bisa terjun ke bidang keselamatan


jalan?
Saya lulus dari Teknik Sipil Universitas Parahyangan,
Bandung, tahun 1978, dan sebulan sebelum lulus telah
bekerja di Departemen Pekerjaan Umum. Tahun 1984
saya melanjutkan studi S2 di bidang Traffic Engineering di
Institut Teknologi Bandung.

Keselamatan Jalan

Komitmen Bina Marga pada Keselamatan Jalan


Direktorat Jenderal Bina Marga mengambil langkahlangkah untuk menjamin bahwa pertimbangan terhadap
keselamatan jalan raya mendapat kedudukan baru dan
permanen dalam manajemen jalan raya di Indonesia.

rekomendasi manajemen blackspot (blackspot adalah lokasi di


mana kecelakaan terjadi dalam jumlah tinggi).
Idealnya, audit dilakukan pada rencana semua jalan raya
yang akan dibangun atau dilakukan realignment (pengaturan
kembali). Apabila audit dilakukan sebelum dokumen tender

Di masa yang akan datang, audit keselamatan jalan raya akan

diterbitkan awal tahun depan, maka kenaikan biaya yang

menjadi bagian penting dari setiap proyek manajemen jalan raya

substansial dapat dihindari. Situasi bagi jalan raya yang telah

di Indonesia, demikian kata Herry Vaza, Kepala Sub-Direktorat

beroperasi lebih rumit, karena penerapan rekomendasi guna

Teknik Lingkungan dan Keselamatan Jalan, Direktorat Jenderal

menanggulangi blackspot akan memakan waktu.

Bina Marga.
Sasaran jangka panjang Bina Marga adalah untuk memastikan
Di bulan-bulan yang akan datang Bina Marga mengharapkan

bahwa panduan keselamatan jalan raya dimasukkan pada tahap

dapat meluncurkan berbagai prakarsa untuk membantu

perencanaan semua jalan raya di Indonesia; selama ini audit

tercapainya sasaran tersebut. Salah satu prakarsa tersebut

keselamatan jalan raya hanya dilakukan pada proyek yang

adalah rencana untuk mengkaji ulang rancangan pembangunan

mendapat pinjaman dari Bank Dunia.

jalan

raya

dan

memberi

rekomendasi

terkait

dengan

keselamatan jalan. Unit Rekayasa Keselamatan Jalan (URKJ)

Tantangannya adalah untuk mendidik tenaga ahli bidang

akan mengunjungi kantor-kantor wilayah Balai Pelaksanaan

keselamatan jalan raya dalam jumlah yang mencukupi.

Jalan untuk melaksanakan rencana ini sebelum akhir tahun. Hal

Sebagaimana ditekankan oleh Herry, perekayasaan keselamatan

ini dilakukan untuk menjamin bahwa proyek perencanaan jalan

jalan raya meliputi keseimbangan antara beragam keterampilan

raya yang akan ditenderkan awal tahun depan akan memasukkan

dan penilaian. Ilmu pengetahuan mengenai keselamatan jalan

unsur pertimbangan keselamatan jalan raya. Sebelas Balai yang

raya banyak melibatkan perasaan dan pertimbangan, tidak

akan dikunjungi.

melulu matematis, ia tambahkan. Selanjutnya, semua pejabat


yang terlibat dalam manajemen jalan raya perlu mengubah

Sebelumnya, audit keselamatan jalan raya yang dilaksanakan

pemikiran mereka. Dulu, sebagian besar personel berasumsi

oleh URKJ berbentuk proyek ad hoc dan belum dilembagakan

bahwa perekayasaan dan aktivitas perancangan yang ada telah

dalam kegiatan operasional Bina Marga. Melalui pelembagaan

memperhitungkan faktor keselamatan.

audit tersebut, Bina Marga berharap dapat menjadikan


keselamatan jalan raya sebagai prioritas dalam semua aspek

Tetapi ini mulai berubah, dan URKJ bahkan telah menerima

manajemen jalan raya di Indonesia.

permohonan dari Balai-Balai dan kantor Bina Marga untuk


menyelenggarakan audit. Tantangan bagi URKJ adalah untuk

Pada awalnya, URKJ akan menjalankan audit, bekerjasama

memanfaatkan momentum tersebut tanpa menyebabkan beban

dengan Balai untuk menyediakan pendanaan dan keahlian.

yang terlalu berat bagi instansi yang mengajukan permohonan

Lingkup

tersebut.

pekerjaan

URKJ

dengan

Balai

akan

mencakup

pendekatan lessons learned (pelajaran dari pengalaman).


untuk

menguatkan

Sebagaimana diamati Herry, Ini adalah cara yang paling efektif

sambil

mengalihkan

untuk menjadikan keselamatan jalan raya bagian dari yang

pengetahuan kepada Balai. Bina Marga juga merencanakan

tidak terpisahkan dari manajemen jalan raya, bukan dengan

untuk menerbitkan katalog audit keselamatan jalan raya dan

menjatuhkan sanksi.

Sasaran

yang

kemampuan

ingin

dicapai

kelembagaan

di

adalah
URKJ

Prakarsa Compendium | Jilid 2

30

31

Perspektif Seorang Ahli Keselamatan Jalan

Tahun 2001 saya diangkat menjadi Kasubdit Teknik


Lingkungan di Bina Marga. Pada 2004 keselamatan jalan
dimasukkan dalam tugas pokok dan fungsi Kasubdit Teknik
Lingkungan. Sejak itu saya mulai berpikir, bagaimana kita
dapat menggalakkan keselamatan lingkungan. Kebetulan
latar belakang saya adalah traffic engineering yang sejalan
dengan road safety.

kemampuan ini untuk bisa menjadi road safety engineer.


Saat menginvestigasi blackspot kita seperti dokter,
mendiagnosis apa yg salah, kenapa terjadi kecelakaan
bertubi-tubi di situ. Meskipun ada standar dan panduan,
tidak ada formula yang pasti. Tidak ada jawaban yang paling
benar. Semuanya berdasarkan pengalaman dan penilaian
kita.

Pada tahun 2004 kami mulai mencari cara untuk


meningkatkan keselamatan jalan. Tahun 2006 kami dilatih
oleh Philip Jordan atas tanggungan Bank Dunia. Kebetulan
dua tahun kemudian IndII masuk ke bidang ini. Sejak IndII
mulai memberi bantuan, program di bidang keselamatan
jalan ini berjalan lebih cepat.

Apa saran Anda untuk seseorang yang ingin


berkarier di bidang road safety engineering?

Tahun 2009 saya pensiun dari Bina Marga, dan selanjutnya


bekerja sebagai konsultan di IndII. Sekarang saya bisa lebih
fokus ke bidang keselamatan jalan. Sebelumnya, segala
macam topik ada di meja saya, karena Subdit Lingkungan
mencakup beberapa isu di luar teknik jalan mulai dari
masalah AMDAL, trafficking hingga HIV/AIDS.

Apa reaksi kebanyakan orang melihat Anda, seorang


perempuan, di bidang yang saat ini cenderung
dikuasai pria?
Sebenarnya URKJ sendiri setengahnya terdiri dari
perempuan, termasuk yang dari Bina Marga. Kaget mungkin
tidak, tapi ada beberapa yang heran, kok begitu banyak
perempuan di tim ini.

Kenapa bisa begitu?


Karena road safety kan dimasukkan dalam subdit teknik
lingkungan. Dari dulu memang banyak perempuan di situ.
Dulu Staf saya sebagian besar perempuan.

Apa memang karier bidang rekayasa keselamatan


jalan ini cocok untuk perempuan?
Saya selalu menganjurkan pegawai negeri sipil baru untuk
masuk ke road safety. Dari pengalaman saya melihat
memang bidang ini cocok untuk perempuan. Road safety
itu gabungan antara teknik dan seni. Dibutuhkan dua

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Saya kira bidang ini terbuka untuk siapa saja. Di Dirjen


Perhubungan Darat, di Kepolisian, selalu ada kebutuhan
akan pengetahuan tentang road safety engineering.
Tapi yang pasti, perlu latar belakang engineering. Meskipun
untuk menjadi tim audit, seseorang bisa berbekal ilmu
apa saja, paling tidak di Indonesia saat ini dibutuhkan sisi
engineering-nya. Dan untuk berkarier di bidang ini tidak
perlu masuk PU, bisa juga lewat sektor swasta seperti saya.
Indonesia masih membutuhkan banyak insinyur road safety,
karena jalan nasional di bawah Bina Marga saja, yang hanya
sepersepuluh dari total jalan di Indonesia, masih belum
bisa ditangani. Apalagi kalau ditambah jalan provinsi dan
kabupaten.

Keselamatan Jalan dalam Angka

Keselamatan Jalan
dalam angka
>3

Rata-rata jumlah kematian akibat kecelakaan di jalan per jam setiap hari di
Indonesia.

90%

Persentase korban kecelakaan di jalan di Indonesia yang terjadi pada


orang berusia 15 sampai 50 tahun kelompok usia paling produktif secara
ekonomis.

>65%
40

km/jam

Persentase sepeda motor di antara seluruh armada kendaraan bermotor


di Indonesia. Persentase ini tinggi menurut standar internasional, dan
merupakan risiko sistem kunci dari jaringan jalan raya di Indonesia.

Rekomendasi kecepatan maksimum yang diperbolehkan bagi kendaraan di


lokasi dengan tingkat pejalan kaki tinggi di sepanjang jalan raya atau pada
jalan dengan lalu lintas campuran. Kecelakaan pada kecepatan lebih tinggi
hampir dapat dipastikan akan berakibat fatal bagi pengendara sepeda motor
dan pejalan kaki di lokasi/jalan tersebut.

Prediksi peringkat Indonesia sebagai negara dengan jumlah kematian akibat


kecelakaan jalan raya tertinggi di dunia pada tahun 2030 sebagaimana
diproyeksikan oleh World Health Organisation (WHO, Organisasi Kesehatan
Dunia).

60-70%

Persentase seluruh cedera yang diderita para pengendara sepeda motor dan
penumpangnya di jalan di Indonesia.

10%

Persentase fatalitas di jalan raya di Indonesia yang merupakan pejalan kaki,


dengan proporsi yang lebih tinggi di daerah perkotaan.

32

33

Pandangan Para Ahli

Pandangan Para Ahli


Pertanyaan:

Beberapa lembaga seperti Kementerian Perhubungan, Kementerian


Pekerjaan Umum, dan Kepolisian (Direktorat Lalu Lintas) berperan
dalam meningkatkan keselamatan jalan raya di Indonesia. Bagaimana
cara mendorong berbagai lembaga berbeda tersebut untuk
bekerjasama secara lebih efektif?

Ir. Besty Ernani, MURP


Kasubdit Promosi dan Kemitraan Keselamatan,
Direktorat Keselamatan Transportasi Darat,
Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan
Dalam pidato Menteri Perhubungan pada acara Pertemuan Ke-7 Menteri-Menteri APEC, ia menyampaikan bahwa
Indonesia memiliki catatan kinerja yang rendah dalam hal pelaksanaan keselamatan jalan, seperti dikutip dalam
laporan ADB tahun 2004. Kami tentu ingin lebih baik dari kondisi tersebut. Dengan adanya RUNK, kita semua
berharap bisa berkomunikasi dan mengelola kerjasama dengan baik untuk menghasilkan hasil yang terbaik juga.
Kami sekarang baru pada tahap untuk memulai dengan komitmen bersama. Dengan niat baik dan kepemimpinan
yang benar, yang tidak mengedepankan aku tapi kita merupakan kunci untuk kerjasama berbagai pihak yang
efektif. Lalu bagaimana memulainya? Setiap diri kita adalah pemimpin bagi diri sendiri, maka kita harus memiliki
paradigma berpikir untuk kemenangan bersama bukan kemenangan pribadi atau kelompok.

Kompol Indra Darmawan


Kasubdit Pengkajian Operasional Rekayasa Korps Lalu Lintas,
Kepolisian Negara Republik Indonesia
Keselamatan jalan merupakan masalah nasional yang perlu perhatian khusus dan penanganan secara konkret
oleh seluruh pemangku kepentingan di Indonesia. Untuk mewujudkan target Keselamatan Jalan di Indonesia
sesuai dengan yang tercantum dalam Rencana Umum Nasional Keselamatan Jalan (RUNK) 20112035, diperlukan
semangat kebersamaan pemerintah khususnya penyelenggara keselamatan jalan sehingga program-program yang
telah dibuat dan direncanakan dapat berjalan secara selaras dan terkoordinasi. Selain itu, RUNK 20112035 yang
beberapa waktu lalu telah diresmikan oleh Wakil Presiden, perlu ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Keppres
ataupun Inpres sehingga memiliki kekuatan hukum di dalam implementasinya. Hal pertama yang perlu segera
ditindaklanjuti secara serius dan mendalam di dalam implementasi RUNK tersebut adalah masalah penyajian
data lalu lintas, mengingat hal tersebut adalah merupakan kebutuhan mendasar di dalam melakukan kegiatan
dalam rangka pengurangan jumlah fatalitas kecelakaan lalu lintas. Dengan data yang akurat maka dapat ditentukan
langkah-langkah prioritas yang harus dilaksanakan, dan melalui data tersebut dapat pula dilakukan evaluasi
keberhasilan program serta langkah-langkah perbaikan yang dibutuhkan.

Keselamatan Jalan

Ir. Nurmala Simanjuntak, M.Eng.Sc.


Kepala Seksi Sub Direktorat Wilayah Barat, Direktorat Bina Teknik,
Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementerian Pekerjaan Umum
RUNK yang telah disusun oleh berbagai institusi sudah merupakan langkah awal yang baik untuk menyusun
program/kegiatan dengan skala prioritas dalam wujud Dekade Aksi (program 10 tahun 20112020). Untuk
mencapai keberhasilan Dekade Aksi tersebut, diperlukan langkah-langkah yang konkrit, serta dukungan dari
berbagai pihak pemangku kepentingan dari lembaga-lembaga yang terkait di dalamnya, termasuk kemitraan, baik
publik maupun swasta. Upaya dari semua pihak/lembaga yang terkait dengan keselamatan jalan yang bertujuan
untuk meningkatkan keselamatan lalu lintas semua pengguna jalan, dapat dicapai dengan bertindak efisien
(dengan saling berkoordinasi) dan saling mendukung.

34

Transportasi Udara
Edisi 9, Januari 2012

Lalu Lintas Bertumbuh, Kebutuhan Bertumbuh


Mengapa Data Penting
Infrastruktur Penerbangan: Tinjauan ke Masa Depan
Kemitraan untuk Langit yang Lebih Aman
Open Skies dan Maskapai Penerbangan Indonesia
Pembangunan Bandara yang Berkelanjutan:
Tantangan ke Depan
Manajemen Lalu Lintas Udara Indonesia
Menuju ASEAN Open Skies

POIN-POIN UTAMA
Permintaan Indonesia terhadap transportasi udara lebih besar dari yang diperkirakan
berdasarkan PDB per kapita yang ada. Ini tidak mengejutkan mengingat geografi kepulauan
Indonesia serta jarak yang jauh antara kota-kota besar. Seiring dengan pembangunan
Indonesia yang terus berlanjut, pertumbuhan garis dasar (baseline rates) dalam permintaan
dapat diperkirakan bertumbuh sebesar 6 hingga 10 persen per tahun. Pengalaman sebelumnya
dengan kesepakatan Open Skies mengindikasikan bahwa penerapan kebijakan Open Skies
ASEAN dapat menambah pertumbuhan tambahan permintaan sebesar 6 hingga 10 persen
lagi. Oleh karena itu, dalam periode segera setelah implementasi Open Skies, pertumbuhan
dalam permintaan tanpa kendala akan perjalanan udara internasional di Indonesia, secara
optimis, dapat bertumbuh mencapai hingga 20 persen per tahun, tapi sangat memungkinkan
akan lebih besar dari 10 persen per tahun.
Transportasi udara, adalah sebab sekaligus akibat dari pertumbuhan ekonomi, yang
menciptakan lingkaran kebajikan (virtuous circle) dalam pertumbuhan ekonomi yang diikuti
oleh peningkatan permintaan sehingga menciptakan pertumbuhan lebih besar dan seterusnya.
Hal ini secara khusus relevan bagi Indonesia, tempat industri minyak dan ekstraksi (keduanya
sangat mengandalkan transportasi udara dibandingkan banyak industri lainnya) menjadi
penyumbang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi. Meski demikian, proyeksi peningkatan
permintaan terhadap transportasi udara mengasumsikan bahwa kapasitas infrastruktur akan
cukup tersedia. Akan tetapi, Bandara Soekarno-Hatta di Jakarta, saat ini sudah terkendala
kapasitas, dan akan tetap demikian dalam waktu dekat, bahkan dengan adanya pembangunan
yang sudah direncanakan.
Bandara lain di Indonesia serta infrastruktur pengendalian lalu lintas udara juga akan
memerlukan peningkatan (upgrading) untuk dapat memenuhi permintaan yang diproyeksikan,
serta sistem kelembagaan dan peraturan dikembangkan sejalan dengan infrastruktur.

Transportasi Udara

38

Lalu Lintas Bertumbuh,


Kebutuhan Bertumbuh
Permintaan Indonesia terhadap perjalanan udara akan bertumbuh
seiring dengan pertumbuhan perekonomian, dan kebijakan Open
Skies akan membuat permintaan ini meningkat semakin cepat.
Namun, apakah infrastruktur penerbangan sudah siap?
Oleh Michael Fairbanks

Seberapa besar keinginan warga Indonesia untuk terbang?


Jawaban tepat untuk pertanyaan tersebut barangkali terkesan
berupa sebuah angka sederhana berapa banyak penerbangan
yang mereka lakukan dalam setahun? tapi ada cara yang
jauh lebih baik untuk memberikan jawaban yang bermakna.
Kecenderungan untuk terbang (propensity to fly) tidak
hanya melihat jumlah penerbangan per orang yang dilakukan
oleh warga sebuah negara, tetapi juga mempertimbangkan
kekayaan sebuah negara, sehingga memberikan perbandingan
yang lebih baik dengan negara-negara lain serta proyeksi yang
lebih akurat mengenai permintaan pada masa mendatang.
Dapat dipahami bahwa jumlah penerbangan yang dilakukan
per kapita dipengaruhi oleh tingkat kekayaan warga negara
dari sebuah negara. Sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar
1, yang memperlihatkan hubungan antara perjalanan udara
per orang per tahun dan kegiatan ekonomi, dihitung sebagai
PDB per kapita. Gambar 1 mengilustrasikan posisi Indonesia
relatif terhadap negara-negara ASEAN lain serta negara
tetangga lainnya, beserta beberapa negara lain yang memiliki
permintaan transportasi udara yang signifikan seperti Amerika
Serikat dan Britania Raya. Ukuran gelembung mengindikasikan
jumlah penduduk dari setiap negara, sedangkan pusat
gelembung menunjukkan jumlah perjalanan udara per orang
sebagai sebuah fungsi dari PDB per kapita setiap negara.
Garis bertitik menggunakan sebuah perangkat statistik untuk

Terminal-terminal di Bandara SoekarnoHatta di Jakarta saat ini sudah beroperasi


pada tingkat yang melebihi kapasitas.

Foto oleh Rahmad Gunawan

menghitung kapan kita dapat berharap pusat dari semua


gelembung tampil pada grafik, jika setiap negara memiliki
hubungan yang sama antara PDB dan permintaan transportasi
udara. Negara-negara di atas garis memiliki kecenderungan
untuk lebih sering terbang, sedangkan yang berada di bawah
garis memiliki kecenderungan yang lebih rendah.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Lalu Lintas Bertumbuh, Kebutuhan Bertumbuh

Indonesia sudah berada lebih maju dalam kurva permintaan


untuk perjalanan udara hal ini tidak mengejutkan mengingat
geografi kepulauan Indonesia serta jarak yang jauh antara kotakota besar
Gambar ini menunjukkan bahwa Indonesia sudah berada
lebih maju dalam kurva permintaan untuk perjalanan udara
hal ini tidak mengejutkan mengingat geografi kepulauan
Indonesia serta jarak yang jauh antara kota-kota besar. (Di
antara negara-negara ASEAN lain yang memiliki data dapat
diandalkan, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Kamboja juga
menampilkan kecenderungan untuk terbang yang lebih tinggi
dari yang diperkirakan; Vietnam dan Brunei menunjukkan
sebuah kecenderungan untuk terbang yang lebih rendah dari
yang diperkirakan; dan Singapura kurang lebih sama dengan
perkiraan.)
Data yang sama yang mendasari Gambar 1 mengindikasikan
bahwa berkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pesat
serta jumlah penduduk yang besar, permintaan tanpa kendala
transportasi udara (domestik maupun internasional) dapat
diharapkan untuk bertumbuh dengan laju pokok (underlying

rate) antara 6 hingga 10 persen per tahun. Ini terjadi dalam


ketiadaan efek stimulus seperti kesepakatan Open Skies ASEAN.

Efek Stimulus dari Open Skies


Pengalaman mengindikasikan bahwa setelah sebuah
kesepakatan dalam Open Skies diterapkan, permintaan akan
bertumbuh dengan angka yang melebihi garis dasar (baseline
rates) selama lima tahun. (Pernyataan ini adalah berdasarkan
dampak dari perjanjian Open Skies yang ditandatangani antara
berbagai negara Eropa dan Amerika Serikat pada pertengahan
tahun 1990-an.) Pertumbuhan lalu lintas kemudian kembali ke
tingkat garis dasar. Hal ini diilustrasikan dalam Gambar 2.
Namun, perlu diingat bahwa peningkatan pertumbuhan ini
terutama terfokus pada rute-rute yang diliberalisasi melalui
kebijakan Open Skies, meski mungkin juga berakibat pada ruterute terkait lainnya. Oleh karena itu, dalam kasus Indonesia,

Gambar 1: Kecenderungan untuk Terbang Sebagai Sebuah Fungsi dari PDB per Kapita
100.00
Penumpang terminal tahunan per kapita (skala logaritmik)

39

y = 4E-06x1.313
R2 = 0.903
10.00

Singapura

Australia

Selandia Baru

Brunei
Malaysia

Brasil

1.00
Indonesia
Cambodia
PNG
(papua Nuigini)
0.10

UK (Britania Raya)

Amerika Serikat

Jepang
Thailand
Filipina

China

Vietnam
India
Bangladesh

0.01
-5,000

5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 30,000 35,000 40,000 45,000 50,000 55,000 60,000 65,000

GDP per kapita dalam US$


Sumber: Bank Dunia, Intelijen Transportasi Udara, CIA Factbook dan analisis Helios
Catatan: Ukuran gelembung adalah proporsional terhadap jumlah penduduk. Negara-negara ASEAN selain Indonesia ditampilkan dalam warna biru.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

40

Transportasi Udara

tanpa hambatan kapasitas, pertumbuhan


lalu lintas internasional akibat kebijakan
Open Skies diharapkan dapat mengalami
peningkatan tambahan sebesar 6 hingga
10 persen per tahun di atas angka
pertumbuhan garis dasar normal segera
setelah kebijakan Open Skies diterapkan.
Dengan demikian, dalam periode segera
setelah implementasi Open Skies,
pertumbuhan dalam permintaan tanpa
kendala akan perjalanan udara, secara
optimis, dapat bertumbuh mencapai
hingga 20 persen per tahun, tapi sangat
memungkinkan akan lebih besar dari 10
persen per tahun.

Gambar 2: Ilustrasi dampak Open Skies terhadap Permintaan akan Perjalanan Udara

Lingkaran Kebajikan (Virtuous


Circle) Transportasi Udara

Figure 3: The Air Transport Virtuous Circle


'><Virtuous Circledh

Pertumbuhan meningkat

Pertumbuhan tingkat dasar

Lalu lintas

Permulaan Open Skies


-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Ta h u n

W
>
W
D

W

W




mp p
k
h







 

              Pe

>
&

<


W

 mp  pem

<






W


             Pe


Seorang penumpang udara tidak


hanya membayar harga tiketnya,
tetapi juga mengeluarkan uang
untuk hotel, taksi, dan sebagainya,
serta berkontribusi pada
berkembangnya perniagaan.
Maskapai penerbangan yang
mengangkut lebih banyak
penumpang mengeluarkan uang
lebih banyak untuk jasa boga serta
layanan pendukung lainnya.
Oleh karenanya, pertumbuhan
dalam industri/layanan pendukung
tersebut mengakibatkan
peningkatan kebutuhan untuk
melakukan perjalanan.

Pertumbuhan tingkat dasar

Tanpa Open Skies

Selain merupakan sebuah konsekuensi


dari pertumbuhan ekonomi, layanan
transportasi udara juga dapat menjadi
pendorong pertumbuhan yang penting.
Berbagai layanan ini menghasilkan
dampak lebih luas daripada sekadar
pengaruh
terhadap
maskapai
penerbangan dan operator bandara
(lihat Gambar 3). Hal ini dikenal sebagai
lingkaran kebajikan (virtuous circle)
dalam transportasi udara:

Dengan Open Skies

W


W

<


Z
D


s
W

Selain manfaat terkait dengan lapangan


pekerjaan, terdapat sejumlah manfaat
ekonomi makro dan mikro serta manfaat
sosial yang terkait dengan jasa layanan
udara. Manfaat tersebut meliputi:
Peningkatan efisiensi usaha melalui
ketersediaan koneksi yang lebih
mudah (tepat waktu, sering,
lebih cepat) antara Indonesia dan
wilayah perdagangan utama, yang

pada gilirannya menjadikan negara


tersebut lokasi yang lebih menarik
bagi investasi asing langsung
Penurunan biaya perjalanan
keseluruhan (biaya perjalanan
keseluruhan tidak hanya
memperhitungkan harga tiket,
tetapi juga berapa lama waktu
perjalanan yang diperlukan,
dan biaya-biaya terkait seperti
bermalam karena terpaksa)

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Lalu Lintas Bertumbuh, Kebutuhan Bertumbuh

Kapasitas Infrastruktur Saat Ini


Angka di atas yang dipergunakan
untuk memproyeksikan pertumbuhan
permintaan terhadap perjalanan udara
di Indonesia mengasumsikan keadaan
tanpa kendala dengan kata lain,

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Instrumen presisi
dan optik

9.2
12.0

Layanan usaha lainnya

29.7

Percetakan dan penerbitan

31.3

Komunikasi
Logam dasar

35.1

Transportasi

52.1

Perbankan dan keuangan

63.5

Bahan bakar kokas,


minyak bumi, dan nuklir

68.3
75.4

Ekstraksi

100

Asuransi

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Intensitas Penerbangan
Sumber: Diperoleh dari Oxford Economic Forecasting The Contribution of the Aviation Industry to the UK Economy

Gambar 5: Perbandingan Permintaan dan kapasitas di Bandara Soekarno-Hatta

Domestik

Internasional

Transit

120.0

Lalu lintas secara historis

100.0

Lalu lintas yang diproyeksikan

80.0
60.0

Kapasitas landasan pacu

40.0

Kapasitas terminal

20.0

25

24

20

23

20

22

20

21

20

20

20

19

20

18

20

17

20

16

20

15

20

14

20

13

20

12

20

11

20

10

20

09

20

08

20

07

20

06

0.0
20

Transportasi udara juga penting untuk


menunjang sejumlah besar industri
tertentu. Gambar 4 mengindikasikan
adanya sumbangan yang diberikan
transportasi udara terhadap sektorsektor industri yang berbeda dengan
menggunakan
indeks
intensitas
penerbangan: semakin tinggi indeks,
semakin tergantung industri tersebut
kepada transportasi udara. Data
tersebut memberi indikasi bahwa
transportasi udara secara khusus
penting bagi kesejahteraan ekonomi
Indonesia karena tingkat kegiatan yang
relatif tinggi di negeri ini dalam bidang
ekstraksi minyak, gas, dan mineral,
yang menduduki peringkat tinggi di
antara industri yang mengandalkan
transportasi udara. (Catatan: Ilustrasi
ini tidak termasuk pariwisata, karena
penumpang yang melakukan perjalanan
sebagai wisatawan melakukan kegiatan
rekreasi dan bukan kegiatan usaha.
Jelas pariwisata merupakan penggerak
penting dalam transportasi udara, dan
seharusnya diperhitungkan di samping
industri-industri yang telah tercatat.)

Gambar 4: Sektor dengan Penerbangan Paling Intensif

20

Manfaat bagi pariwisata sebuah


negara (inbound tourism),
termasuk masa tinggal yang
lebih lama, pembelanjaan yang
meningkat, serta jumlah wisatawan
yang lebih besar
Kemudahan untuk pulang
mengunjungi keluarga dan kerabat
(sebuah manfaat penting bagi
buruh migran dan perantau yang
menetap secara lebih permanen)

Penumpang per tahun (juta)

41

Tahun

angka tersebut mengasumsikan bahwa


infrastruktur yang tersedia menyediakan
kapasitas
yang
memadai
untuk
mendukung pertumbuhan ini. Meski
demikian, pada saat ini, hal tersebut
mungkin jauh dari kenyataan. Keadaan
di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta

menjadi sebuah ilustrasi. Gambar 5


membandingkan kapasitas penumpang
di Soekarno-Hatta dengan permintaan
tanpa kendala (dibagi lagi menjadi lalu
lintas internasional, domestik, dan
transit) yang dapat diharapkan pada
masa yang akan datang. Dua tingkatan

Transportasi Udara

kapasitas digambarkan1: yang pertama merupakan kapasitas


dari fasilitas terminal yang ada saat ini dan yang direncanakan,
ditampilkan sebagai garis putih. Yang kedua adalah kapasitas
penumpang secara teori yang berasal dari operasi pada dua
landasan pacu bandara yang ada.

Yang akan diperlukan bukan hanya infrastruktur, sistem, dan


teknologi baru. Kebijakan dan peraturan penunjang juga
diperlukan pada bidang keselamatan, keamanan, perlindungan
lingkungan hidup, dan akses terhadap pasar. Tantangan yang
akan datang signifikan, tetapi bukan tidak dapat diatasi.

Angka di atas mencolok dalam dua hal:


Soekarno-Hatta saat ini beroperasi pada kisaran kasar
dua kali kapasitas terminal yang dimiliki.
Meski ada peningkatan yang direncanakan, bandara
ini kemungkinan akan tertinggal secara signifikan
terhadap permintaan pada masa mendatang, meski
proyeksi lalu lintas konservatif telah digunakan.
Selain Bandara Soekarno-Hatta, yang akan memerlukan
pengembangan paling signifikan untuk mengatasi pertumbuhan
lalu lintas, berbagai kajian2 telah menyoroti kegentingan
kapasitas yang kemungkinan akan terjadi dalam waktu dekat di
bandara-bandara lain di Indonesia terutama Bandara Juanda
di Surabaya, Bandara Ngurah Rai di Pulau Bali, dan Bandara
Sultan Hasanuddin di Makassar. Selain bandara, peningkatan
fasilitas pengendalian lalu lintas udara, termasuk komunikasi,
navigasi dan pengawasan, serta manajemen lalu lintas
udara, yang didukung oleh proses dan prosedur yang tepat,
akan diperlukan untuk menjamin tidak terjadi penyempitan
(bottleneck) wilayah udara.

Tantangan ke Depan
Jelas bahwa transportasi udara penting bagi perkembangan
perekonomian serta kesejahteraan sosial Indonesia, terlepas
dari implementasi kebijakan Open Skies ASEAN. Infrastruktur
transportasi udara Indonesia baik bandara maupun
manajemen lalu lintas udara memerlukan peningkatan
(upgrading) untuk menyediakan kapasitas yang cukup sehingga
tidak menghambat pertumbuhan permintaan transportasi
udara, apakah ini berupa pertumbuhan garis dasar yang
didorong oleh (dan meningkatkan) perkembangan ekonomi
Indonesia yang pesat atau manfaat tambahan yang dapat
diraih dari Open Skies.

Tentang Penulis:
Dr Michael Fairbanks telah bekerja sebagai konsultan
manajemen selama lebih dari dua puluh tahun. Ia
berspesialisasi dalam aspek kebijakan, kelembagaan,
pengaturan, usaha, dan kinerja operasional dari infrastruktur
transportasi udara dan laut.
Mike telah menyelesaikan proyek di beragam negara di
seluruh dunia, termasuk Australia, Austria, Abu Dhabi,
Indonesia, Lebanon, Belanda, Norwegia, Polandia, Arab Saudi,
Singapura, Swiss, serta Amerika Serikat, dan juga di negara
asalnya, Britania Raya. Ia juga pernah bekerja untuk beragam
klien internasional, termasuk Komisi Eropa, Eurocontrol,
Inmarsat, dan Bank Dunia.
Belum lama ini, selain membantu IndII dalam proyek ASEAN
Open Skies, ia juga mendukung Satuan Tugas Bandara
Tenggara Menteri Perhubungan Britania Raya untuk
menangani persoalan kinerja di bandara-bandara London;
bekerja pada penilaian peraturan Bandara Changi untuk
Otoritas Penerbangan Sipil Singapura; mendukung Bandara
Heathrow dalam beragam kegiatan termasuk penjadwalan
dan alokasi penempatan, persiapan untuk Olimpiade 2012 di
London, peningkatan kinerja operasional, serta pengelolaan
suara dan emisi pesawat.
Mike bergabung dengan konsultasi bisnis dan teknologi yang
berbasis di Britania Raya, Helios, pada tahun 2006 dari Booz &
Company, dan saat ini adalah Direktur yang bertanggungjawab
atas praktik-praktik bandara Helios. Mike memiliki gelar BA
dan DPhil dalam Fisika dari Universitas Oxford, dan merupakan
seorang Fellow of the Royal Institute of Navigation.

CATATAN
1. Kapasitas diperoleh dari Master Plan Study on Multiple-Airport Development for the Greater Jakarta Metropolitan Area in the
Republic of Indonesia (Kajian Rencana Induk tentang Pembangunan Bandara Ganda untuk Daerah Besar Metropolitan Jakarta di
Republik Indonesia). Nippon Koei Co Ltd, Oriental Consultants Ltd, Gyros Corporation, Maret 2011.
2. Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII), Kegiatan 220. Strategi Nasional bagi Implementasi Kebijakan ASEAN Open Sky Tahap 2,
Laporan Akhir: Laporan Implementasi dan Teknis. Mott MacDonald Ltd, Juni 2011.
Prakarsa Compendium | Jilid 2

42

POIN-POIN UTAMA
Perkembangan dalam metode navigasi dan kemampuan pesawat terbang untuk
mempertahankan jalur penerbangan (track keeping) menawarkan potensi perkembangan
dalam bidang keselamatan penerbangan dan efisiensi ekonomi serta pengurangan dampak
lingkungan. Akses untuk mendapatkan manfaat tersebut dapat terhambat oleh kurangnya
data aeronautikal berkualitas tinggi. Karena pengumpulan dan pengolahan data aeronautikal
adalah proses yang rumit, mungkin terdapat ketidakpastian yang besar dalam data aktual
yang digunakan untuk navigasi yang rinci.
Oleh karena itu, dibutuhkan peningkatan kesadaran tentang proses, penggunaan dan produk
yang tersedia dalam rantai data aeronautikal, untuk memastikan diperolehnya manfaat dari
data aeronautikal berkualitas tinggi.

Transportasi Udara

Mengapa Data Penting


Diterapkannya Global Positioning System menimbulkan perubahan
besar-besaran pada navigasi pesawat terbang. Manfaat keselamatan,
lingkungan dan ekonomi akan terasa berkat tersedianya teknologi tinggi
yang menggunakan data berkualitas tinggi.
Oleh John McCarthy

Belum lama berselang, navigasi pesawat terbang dilakukan


dengan menelusuri satu alat bantu navigasi darat (navaid)
ke alat bantu berikutnya. Lokasi pasti navaid tidak terlalu
penting karena jalur pesawat terbang ditentukan oleh
sinyal frekuensi radio yang diterimanya dari navaid. Untuk
mendarat, pesawat terbang meluncur menuju navaid yang
ada di dekat ujung landasan yang diinginkan dan cukup
dekat biasanya sudah cukup baik. Selain itu, operator radar
memberi instruksi kepada pilot, memandu pesawat terbang
ke suatu posisi yang memungkinkan navigasi horisontal
dan vertikal, dengan menggunakan sinar yang diarahkan
secara tepat dari sebuah Sistem Pendaratan Instrumen
yang disejajarkan dengan landasan (kadang-kadang disebut
Precision Approach system). Sinar tersebut tidak akan
diterima oleh pesawat terbang sampai pesawat tersebut
sejajar dengan bagian tengah landasan.
Dengan diciptakannya Global Positioning System (GPS), dan
penggunaannya sebagai Global Navigation Satellite System
(GNSS), banyak hal telah berubah secara dramatis. Penentuan
posisi yang akurat dari pesawat terbang secara real time
sampai dengan beberapa puluh meter tiba-tiba menjadi
mungkin dilakukan. Semua pesawat terbang modern dapat
menggunakan navigasi satelit untuk penelusuran jalur di
antara posisi-posisi yang telah ditentukan sebelumnya. Hal
ini telah menjadi sarana navigasi utama untuk berbagai

jenis pesawat terbang. Beberapa model pesawat terbang


terakhir bahkan tidak memiliki sensor untuk berbagai alat
bantu navigasi yang kurang akurat.
Sekalipun bila suatu jalur ditentukan di antara alat-alat
bantu navigasi darat, komputer pengatur penerbangan
pada pesawat terbang dapat menggabungkan posisi
navaid yang telah ditentukan dalam databasenya dengan
sinyal navigasi satelit agar pesawat terbang tetap berada
di dalam jalur karena posisi yang didapat dari navigasi
satelit lebih akurat dan dapat diandalkan. Bahkan, navaid
tidak perlu beroperasi untuk pesawat terbang yang dapat
menggunakan navigasi satelit yang diperlukan hanyalah
posisi navaid tersebut di permukaan bumi dan sinyal yang
cukup dari satelit.
Maka dalam dunia baru navigasi satelit yang
terkomputerisasi, dan sistem manajemen penerbangan
modern dalam pesawat terbang, data yang digunakan
untuk navigasi merupakan hal yang sangat penting. Data
tersebut memungkinkan adanya navigasi yang lebih akurat
dan fleksibel. Lebih akurat, karena sinyal yang digunakan
untuk navigasi satelit lebih akurat dan konsisten dibanding
sinyal dari alat bantu navigasi darat yang lebih kuno.
Lebih fleksibel, karena titik arah yang memungkinkan jalur
pesawat terbang ditelusuri dapat ditempatkan di mana saja.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

44

45

Mengapa Data Penting

Di mana landasan pesawat itu berujung? Di masa lalu, kesalahan pemetaan


memberikan jawaban yang salah hingga sampai 200 meter.

Bersamaan dengan perkembangan navigasi satelit,


kemampuan
pesawat
terbang
terbaru
untuk
mempertahankan jalur penerbangan (track keeping) telah
berkembang secara dramatis (track keeping mengacu
pada kemampuan pesawat terbang untuk tetap berada di
posisi yang tepat di sepanjang jalur yang telah dihitung
di antara dua titik). Beberapa pesawat terbang dapat
mempertahankan ketepatan track keeping kurang dari
beberapa ratus meter bahkan dalam kondisi angin gunting
yang kuat. Hal ini dapat memberikan manfaat keselamatan

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Atas perkenan Tim Forbes

yang besar untuk penumpang dan penghematan biaya yang


signifikan bagi perusahaan penerbangan serta mengurangi
dampak lingkungan dari penerbangan karena berkurangnya
konsumsi bahan bakar dan menurunnya polusi suara.
Fondasi penting untuk perkembangan tersebut adalah data.
Data harus dapat diandalkan (tidak boleh ada kesalahan
data), akurat (cukup akurat untuk tujuan yang diinginkan)
dan lengkap (data tidak berguna apabila hanya mencakup
sebagian dari rute pesawat atau mencakup beberapa

Transportasi Udara

jenis data tapi tidak yang lainnya). Ini bukan berarti


bahwa penggunaan data aeronautikal adalah suatu hal
baru namun saat ini data mutlak diperlukan dan harus
berkualitas tinggi.
Biasanya, data diuji sebelum dipublikasikan dan digunakan
untuk penerbangan. Ada beberapa contoh data yang
terdokumentasi dengan baik tentang apa yang terjadi jika
data ditemukan keliru pada waktu uji penerbangan. Sebagai
contoh, sebuah pesawat terbang mendarat pada saat uji
penerbangan dan ujung landasan tidak sesuai dengan apa
yang diperkirakan dalam database penerbangan ternyata
letaknya sekitar 200 meter dari lokasi yang ada dalam
database gara-gara kesalahan pemetaan. Atau ada menara
telepon baru yang dibangun di dekat ujung landasan, dan hal
ini tidak diperhitungkan selama perencanaan pendaratan
sehingga margin keselamatan di atas menara itu tidak
memadai. Untungnya, pengujian tersebut selalu dilakukan
dalam jarak pandang yang baik sehingga kesalahan seperti
itu dapat ditemukan sebelum digunakan secara operasional
dalam jarak pandang yang buruk.
Penggunaan data cukup rumit untuk dilakukan. Data dapat
diambil dari perhitungan atau berasal dari laporan surveyor.
Data tersebut disebarluaskan dan digunakan bersama oleh
instansi-instansi pemerintah, digunakan dalam pembuatan
bagan dan pengembangan database penerbangan dan
akhirnya digunakan oleh perusahaan penerbangan untuk
pendaratan atau lepas landas yang kritis dalam berbagai
cuaca. Oleh karena itu, data harus ditangani dengan cara
yang benar dan informasi tentang akurasi, integritas,
sumber, tujuan penggunaan, dan sebagainya tersedia untuk
semua calon pengguna.
Proses yang terkait dengan pengumpulan dan penggunaan
data aeronautikal masih cukup baru dan para profesional
penerbangan serta organisasi mereka baru saja mulai
memahami kerumitan dan manfaat pengelolaannya.
Tingkat adopsi GNSS berbagai negara saat ini sangat
beragam. Australia, Amerika Serikat, dan Kanada berada
di tingkat teratas; Eropa saat ini mulai menggunakannya.
Indonesia telah mulai melaksanakan program-program yang
akan memungkinkannya memperoleh beberapa manfaat

GNSS. Baru-baru ini, beberapa pendekatan navigasi satelit


canggih, yang dirancang oleh sebuah perusahaan Amerika,
telah diterapkan oleh Lion Air. Para ahli dari Australia
membantu para ahli Indonesia, dengan berbagi keahlian dan
pengalaman terkait dengan beberapa teknologi pendukung
seperti mengelola data aeronautikal dan memberikan
pelatihan tentang navigasi berbasis satelit.
Dengan semakin banyaknya negara yang menggunakan
GNSS dan meningkatnya lalu lintas udara, upaya untuk
mengumpulkan, mendistribusikan, dan memahami data
aeronautikal menjadi semakin penting. Sekarang apa yang
disebut hamper cukup tidak lagi cukup baik!

Tentang Penulis:
John McCarthy adalah Direktur Strategic Airspace, perusahaan
Australia yang bergerak dalam aplikasi teknologi navigasi
udara (khususnya Global Navigation Satellite Systems) untuk
keselamatan penerbangan dan mengembangkan piranti lunak
untuk para otoritas penerbangan dalam merancang prosedur
penerbangan yang aman.
John memiliki gelar dalam bidang Matematika Murni,
Komputer dan Arsitektur, dan pernah bekerja sebagai guru
SMA, peneliti di universitas, dosen, pengembang piranti lunak
dan konsultan. Sekitar 25 tahun lalu dia mulai mengembangkan
piranti lunak untuk Departemen Penerbangan Sipil untuk
berbagai aspek navigasi dan keselamatan penerbangan. Ketika
itu, dia telah menjadi tenaga ahli dalam bidang navigasi dan
keselamatan penerbangan dan bekerja sebagai konsultan
dalam bidang ini untuk berbagai otoritas penerbangan
dan perusahaan penerbangan di seluruh dunia, serta terus
mengembangkan piranti lunak untuk aplikasi tersebut.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

46

POIN-POIN UTAMA
Pada semua tingkatan pembangunan ekonomi, sistem transportasi udara modern merupakan
bagian integral dari sektor transportasi multi-moda suatu negara. Indonesia memerlukan
penerbangan untuk usaha, pariwisata, dan akses ke daerah terpencil. Jumlah pesawat terbang
yang menggunakan ruang udara Indonesia diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat dalam
1520 tahun mendatang, sehingga perencanaan strategis untuk infrastruktur yang aman dan
modern menjadi sangat penting.
Dimensi teknologi dari perencanaan ruang udara mencakup pengawasan, navigasi, komunikasi,
manajemen lalu lintas udara (ATM, Air Traffic Management), dan manajemen informasi.
Teknologi pengawasan modern yang digunakan secara luas di seluruh dunia adalah Automatic
Dependent Surveillance/Broadcast (ADS/B) dan multilaterasi. Indonesia telah memasang
sejumlah alat penerima ADS/B, namun peralatan tersebut mahal. Multilaterasi memberikan
jalan ke masa depan karena dapat digunakan sebagai bagian dari transisi ke arah ADS/B dan
jauh lebih murah dari radar konvensional.
Teknologi navigasi yang ada saat ini didasari pemakaian satelit, yang memungkinkan
penggunaan ruang udara secara lebih aman dan lebih efisien. Dalam hal komunikasi,
komunikasi suara analog masih menjadi andalan, namun komunikasi tautan data digital
semakin luas digunakan.
Manajemen lalu lintas udara telah menggantikan pengendalian lalu lintas udara serta
merupakan pendekatan yang lebih strategis dalam penggunaan ruang udara yang lebih baik,
pengurangan emisi dan keterlambatan, dan peningkatan keamanan.
Manajemen informasi yang andal dan kuat harus menopang masing-masing teknologi ini.
Di Indonesia dan di negara lain, penerapan teknologi tersebut harus direncanakan secara
strategis untuk menjamin tersedianya percampuran terbaik dari teknologi di setiap waktu
dan tempat. Keputusan mengenai apa yang harus dilakukan ketika sebuah alat harus
diganti jauh lebih kompleks dibandingkan denga masa lalu, karena kini ada keharusan untuk
mempertimbangkan interaksi antar berbagai unsur dari seluruh sistem (teknologi, avionik,
pelatihan, data, orang, desain ruang udara, pengalaman, peraturan, dan kebijakan).
Karena teknologi yang tersedia untuk mendukung penerbangan terus ber-evolusi, industri
penerbangan semakin ditantang untuk memanfaatkan teknologi tersebut sebaik-baiknya
untuk menjamin pengoperasian yang aman atas pesawat terbang dan ruang udara.

Transportasi Udara

Infrastruktur Penerbangan:
Tinjauan ke Masa Depan
Ruang udara Indonesia semakin dipenuhi penerbangan dalam jumlah
yang terus bertambah. Pada saat yang sama, infrastruktur untuk
manajemen penerbangan menjadi semakin kompleks. Memanfaatkan
kemajuan teknologi akan memerlukan perencanaan strategis namun
hal tersebut akan menghasilkan peningkatan keamanan, efisiensi, dan
pertumbuhan ekonomi.
Oleh Mike Gahan

Sistem transportasi udara modern merupakan bagian


integral dari sektor transportasi multi-moda suatu negara.
Penerbangan adalah industri yang berkembang cepat dan
dinamis di garda depan teknologi, dan sangat penting untuk
pembangunan nasional. Infrastruktur penerbangan sangat
penting, setinggi apa pun tingkat pembangunan negara
tersebut:
Negara maju membutuhkannya untuk memungkinkan
perpindahan penumpang dan barang untuk
melanjutkan kegiatan ekonomi dalam tingkat tinggi.
Negara semi-maju membutuhkannya untuk
mengembangkan perekonomiannya dan meningkatkan
kondisi ekonomi.
Negara kurang maju membutuhkannya untuk
mengakses daerah terpencil untuk menilai kebutuhan
pembangunan dan memasok bantuan yang sangat
diperlukan. Dalam beberapa kasus, daerah terpencil
hanya dapat diakses melalui udara.
Indonesia menunjukkan aspek-aspek dari ketiga tingkatan
tersebut. Indonesia memiliki kelas menengah yang terus
berkembang dengan pendapatan yang siap dibelanjakan

(disposable income) yang melakukan perjalanan dengan


tujuan bisnis dan wisata. Indonesia memiliki wilayah dengan
kegiatan ekonomi yang terus bertumbuh yang paling efisien
bila dijangkau melalui udara. Bahkan, di beberapa daerah
terpencil di Indonesia, satu-satunya jalur transportasi
adalah melalui udara.
Seiring
dengan
terus
meningkatnya
permintaan
akan transportasi udara, jumlah pesawat udara yang
menggunakan ruang udara Indonesia diperkirakan
meningkat tiga kali lipat dalam 1520 tahun ke depan.
Agar tingkat kegiatan pada saat ini dan di masa mendatang
tetap aman dan berkelanjutan, industri transportasi udara
Indonesia harus didukung oleh infrastruktur multi-moda
yang kuat dan terencana dengan baik serta aman.
Ruang udara merupakan bagian penting dari infrastruktur
pendukung untuk kegiatan penerbangan. Ruang
udara yang tersedia terbatas dan tidak ada cara untuk
memperluasnya. Dengan demikian, penggunaan ruang
udara harus direncanakan dan dikelola secara hati-hati
untuk mempertahankan tingkat keamanan yang tinggi pada
saat yang bersamaan dengan peningkatan penggunaannya.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

48

49

Infrastruktur Penerbangan: Tinjauan ke Masa Depan

Meski industri penumpang sipil dan kargo udara merupakan


pengguna ruang udara beserta infrastruktur pendukung
yang terbesar, sudah pasti kedua industri ini bukan pengguna
satu-satunya (ruang udara juga digunakan untuk keperluan
non-komersial dan militer). Hal ini semakin meningkatkan
kompleksitas dari perencanaan jangka panjang dan jaminan
keselamatan.

Teknologi
Dimensi teknologi dari perencanaan ruang udara antara lain
adalah pengawasan, navigasi, komunikasi, manajemen lalu
lintas udara, dan manajemen informasi.
Pengawasan: Pada tahun 1903, satu-satunya bentuk
pengawasan yang tersedia bagi mereka yang menonton
penerbangan pertama Wright Bersaudara di Kittyhawk
adalah pemeriksaan visual. Zaman telah berubah, dan
sekarang penyedia jasa navigasi udara dan bandar udara
menggunakan berbagai macam teknologi untuk pengawasan
di darat dan ruang udara.
Pada umumnya, pengawasan ini berupa radar. Saat ini,
sistem yang digunakan di AS, Eropa, dan Asia bergerak
ke arah penggunaan kemampuan dan fungsionalitas
yang lebih canggih yang disediakan oleh dua teknologi:
Automatic Dependent Surveillance/Broadcast (ADS/B) dan
multilaterasi (multilateration).
ADS/B mengirimkan data mengenai posisi dan kecepatan
pesawat terbang detik-demi-detik kepada pengendali
penerbangan dan pesawat terbang lain, yang menjamin
bahwa para pilot dan pengendali beroperasi berdasarkan
informasi yang sama. Jika diinginkan, data dapat direkam
dan digunakan untuk analisis pasca-penerbangan dan
untuk meningkatkan penelusuran jalur dan perencanaan
penerbangan.
ADS/B merupakan teknologi pengawasan masa depan,
namun ADS/B mengharuskan pemasangan peralatan
tambahan pada pesawat terbang yang harganya cukup
mahal. Indonesia telah memasang sejumlah alat penerima
ADS/B yang tidak saja dapat memberikan data kepada
sistem manajemen ruang udara Indonesia (Angkasa Pura I
dan Angkasa Pura II), tetapi juga dapat digunakan bersama

Prakarsa Compendium | Jilid 2

lembaga manajemen ruang udara Australia. Data dari alat


penerima ADS/di Australia bagian utara disediakan untuk
manajemen ruang udara Indonesia.
Teknologi yang dikenal sebagai multilaterasi muncul sebagai
sistem pengawasan yang sangat akurat yang dilengkapi
baik dengan kemampuan pengawasan darat maupun ruang
udara. (Teknik ini mencakup penentuan posisi pesawat
terbang dengan mengukur berbagai waktu penerimaan
sinyal-sinyal yang disinkronisasi dari pesawat terbang oleh
sekurang-kurangnya tiga alat penerima yang berbeda.)
Multilaterasi membuka jalan ke masa depan karena dapat
digunakan sebagai bagian dari transisi ke ADS/B. Karena
teknologi ini memiliki arsitektur yang terdistribusi (yang
berarti teknologi ini menggunakan beberapa alat penerima
secara bersamaan untuk mencapai hasil), multilaterasi
dapat digunakan untuk mengatasi kekurangan cakupan
yang dialami oleh radar konvesional titik tunggal. Teknologi
ini juga jauh lebih murah dari radar konvensional, baik
untuk harga pembelian awal maupun biaya perawatan
jangka panjang; hal yang membuat teknologi ini menjadi
pilihan ideal dalam situasi sewaktu pengawasan diperlukan
untuk menunjang kegiatan operasional yang aman yang
kemungkinan dapat meluas dengan cepat, sebagaimana
yang dapat terjadi di daerah terpencil dan industri
pertambangan/ekstraktif yang dinamis.
Riset juga sangat maju dalam hal teknologi yang dapat
mendeteksi benda asing, manusia, dan binatang yang
berada di landasan pacu atau di sekitar landasan pacu.
Navigasi: Navigasi pada awal sejarah penerbangan dilakukan
dengan cara titik-ke-titik menggunakan perangkat suar
yang berbasis di darat. Perangkat suar tersebut menandai
rute udara (jalan raya di langit) serta memberikan suatu
sarana untuk memandu pesawat terbang ke landasan
pacu untuk pendaratan. Penempatan fasilitas ini di daerah
terpencil sebelumnya sulit dan mahal. Pemeliharaan dan
pengujian terus-menerus merupakan bagian yang besar
dari anggaran tahunan untuk penyedia jasa.
Saat ini, navigasi semakin didasarkan pada penggunaan
satelit. Hal ini memungkinkan perancangan rute udara yang
lebih efisien, tanpa perlu menempatkan dan menunjang

Transportasi Udara

Langit Indonesia nampak tidak berbatas, namun sebenarnya ada batasnya.

infrastruktur yang berbasis di darat. Akibatnya, keselamatan


meningkat untuk kegiatan operasional di daerah terpencil
dan ruang udara yang ada dapat digunakan secara lebih
efisien dan aman.
Penggunaan sistem navigasi yang tidak mengandalkan
perangkat suar yang berbasis di darat memberikan
penekanan yang besar pada pengelolaan data dan upaya
untuk menjamin bahwa data yang digunakan akurat, terkini,

Atas perkenan Eleonora Bergita

dan disebarluaskan secara tepat waktu dan dalam format


standar. (Lihat Mengapa Data Penting di halaman 43 buku
ini untuk informasi lebih lanjut mengenai topik ini.)
Komunikasi: Komunikasi suara analog pada sistem
frekuensi tinggi dan sangat tinggi telah menjadi landasan
infrastruktur komunikasi penerbangan selama lebih dari
50 tahun. Sarana komunikasi ini masih menjadi pilihan
utama; namun, komunikasi tautan data digital semakin

Prakarsa Compendium | Jilid 2

50

51

Infrastruktur Penerbangan: Tinjauan ke Masa Depan

dipergunakan secara meluas. Tautan data ini secara


langsung mentransfer informasi antara pesawat terbang
dan pengendali, sehingga memungkinkan pengiriman lebih
banyak data serta meningkatkan keamanan dan efisiensi
sistem secara keseluruhan.
Manajemen Lalu Lintas Udara: Istilah manajemen lalu lintas
udara (ATM, Air Traffic Management) telah menggantikan
istilah pengendalian lalu lintas udara (ATC, air traffic
control) untuk menjelaskan kegiatan yang dilakukan untuk
memberikan layanan pemisahan dan informasi kepada
pesawat terbang.
Kendali adalah kegiatan taktis, yang mencakup pemberian
instruksi kepada pesawat terbang untuk mempertahankan
jalur yang ditetapkan dan terbang pada ketinggian yang
sering kali tidak hemat bahan bakar. Sifat jangka pendek

baik. Ini juga berarti bahwa lalu lintas udara yang lebih besar
akan diizinkan untuk menggunakan ruang udara yang ada
dengan tingkat keamanan dan efisiensi yang lebih tinggi.
Manajemen Informasi: Semua sistem modern, termasuk
ATM, mengandalkan manajemen informasi dan data untuk
integritas dan keamanannya. Ini berarti infrastruktur untuk
pengumpulan, penyusunan, distribusi, dan pengendalian
terhadap informasi harus andal dan kuat. Meski tidak selalu
mengacu kepada infrastruktur fisik, hal ini merupakan
bagian yang nyata dan penting bagi sistem transportasi
secara keseluruhan yang diandalkan oleh berbagai sistem
modern.

Perencanaan
Di Indonesia dan tentu di mana pun, penerapan teknologi
baru ini sebagai bagian dari infrastruktur penerbangan

Kendali adalah kegiatan taktis; Manajemen lalu lintas


udara adalah pendekatan yang lebih strategis
dari kendali juga seringkali mengharuskan menahan
pesawat di udara dalam pola yang menyerupai sirkuit balap
dan berputar-putar di langit di sekitar bandara.

harus direncanakan secara strategis untuk menjamin


ketersediaan percampuran terbaik dari teknologi pada
waktu yang paling tepat dan di tempat yang paling tepat.

Manajemen lalu lintas udara adalah pendekatan yang


lebih strategis, yang mempertimbangkan keinginan
maskapai penerbangan untuk terbang dalam trayek yang
hemat bahan bakar, dan memanfaatkan ruang udara yang
ada dan infrastruktur pendukung sebaik-baiknya untuk
meningkatkan efisiensi sistem secara keseluruhan serta
mengurangi emisi dan keterlambatan.

Pada masa lalu, ketika alat bantu navigasi atau instalasi


radar perlu diganti, keputusan mengenai apa yang harus
dilakukan merupakan keputusan yang sederhana: ganti
dengan model terbaru dari teknologi yang sama. Kini,
munculnya teknologi baru yang dijelaskan di atas membuat
keputusan itu menjadi lebih kompleks, dan memerlukan
perencanaan yang mempertimbangkan interaksi antar
berbagai unsur dari sistem secara keseluruhan (seperti
teknologi, avionik, pelatihan, data, orang, desain ruang
udara, pengalaman, peraturan, dan kebijakan). Perencanaan
juga harus mempertimbangkan infrastruktur yang tersedia
di pesawat terbang dan sistem serta infrastruktur yang
digunakan di negara-negara tetangga.

Sistem ATM yang digunakan saat ini dan yang sedang


dikembangkan untuk digunakan di masa depan jauh lebih
andal dari sistem ATC di masa lalu. Peningkatan kemampuan
ini berarti sistem tersebut lebih kompleks dan memerlukan
pelatihan operator dan infrastruktur pendukung yang lebih

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Transportasi Udara

Untuk menjamin bahwa sistem penerbangan Indonesia


dapat mengelola jumlah pesawat terbang yang diperkirakan
akan terbang di antara bandara domestik, membawa
wisatawan dan pengusaha untuk mendukung pembangunan
ekonomi, dan terbang lintas di antara negara-negara
tetangga, perlu dilakukan latihan perencanaan strategis.
Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) yang didanai AusAID
telah mendukung proses ini melalui beberapa proyek untuk
menyusun Rencana Induk ATM strategis dan mendukung
pelaksanaan konsep Open Skies yang dikembangkan oleh
ASEAN (untuk informasi lebih lanjut mengenai Open Skies,
lihat Open Skies dan Maskapai Penerbangan Indonesia
di halaman 57 dari buku ini). Rekomendasi yang dihasilkan
tidak hanya menyoroti sistem infrastruktur fisik yang
dijelaskan dalam artikel ini, tetapi juga sumber daya
manusia, pelatihan, kebijakan, dan peraturan yang juga
sangat penting bagi kesuksesan penanganan tantangantantangan penerbangan Indonesia di masa mendatang.

Masa Depan
Karena sifat dinamis dari industri penerbangan dan
pentingnya industri penerbangan bagi pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan di Indonesia, perencanaan
dan pengembangan infrastruktur pendukung tentu bukan
kegiatan yang dapat dilakukan sekali saja (one-off). Pada
saat yang sama ketika rencana yang ada dilaksanakan, sifat
industri ini yang terus berubah harus dipantau secara hatihati dan terus-menerus untuk menjamin bahwa kebutuhan
di masa depan terpenuhi secara tepat waktu, efektif, dan,
yang terpenting, aman.
Teknologi yang tersedia untuk mendukung penerbangan
terus ber-evolusi, menantang industri penerbangan untuk
memanfaatkan teknologi tersebut sebaik-baiknya untuk
menjamin pengoperasian yang aman atas pesawat terbang
dan ruang udara.

Tentang Penulis:
Mike Gahan adalah seorang ahli pengoperasian dan
peraturan penerbangan dengan pengalaman 41 tahun
dalam bidang peraturan, pengoperasian, dan manajemen
penerbangan militer dan sipil. Selama 23 tahun bertugas di
Angkatan Udara Australia (RAAF, Royal Australian Air Force),
ia telah mendapatkan pangkat Wing Commander dan pernah
ditugaskan dalam serangkaian luas pengoperasian, pelatihan,
dan penugasan sebagai staf dalam bidang ATC, dan pensiun
pada tahun 1993 sebagai Staff Officer Air Traffic Services.
Penugasannya sebagai staf antara lain sebagai Executive
Officer di sebuah pangkalan operasional pesawat tempur. Ia
merupakan lulusan RAAF Command and Staff Course.
Mike Gahan memiliki pengalaman luas dan mendalam di
bidang standar dan peraturan ruang udara internasional,
sistem teknologi canggih, dan sistem manajemen keselamatan.
Ia juga sangat berpengalaman dalam bidang sertifikasi,
standar, dan peraturan bandara, baik di Australia maupun di
luar negeri. Ia mewakili dan menjadi penasihat peraturan dan
operasional bagi beberapa perusahaan yang terlibat dalam
penyediaan solusi teknologi bagi bandar udara dan penyedia
jasa navigasi udara.
Keanggotaan profesional Mike antara lain Australian Institute
of Management, Military Air Traffic Control Association,
anggota peninjau (associate member) di UK Guild of Air
Traffic Control Officers, dan anggota professional di Air Traffic
Control Association (ATCA). Ia pernah menjabat sebagai
Direktur Wilayah 8 (Asia Pasifik) ATCA pada tahun 2002
2008. Pada tahun 2008, ia mendapatkan penghargaan ATCA
Chairmans Citation of Merit atas kegiatan internasionalnya
dalam meningkatkan ATM di negara-negara berkembang.
Mike telah terlibat dalam proyek keselamatan dan infrastruktur
penerbangan di Indonesia sejak tahun 2009, baik dengan IndII
maupun Indonesian Transport Safety Assistance Package.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

52

POIN-POIN UTAMA
Pada tahun 2007 Pemerintah Australia membentuk Paket Bantuan Keselamatan Transportasi
Indonesia (ITSAP) guna membantu upaya Indonesia meningkatkan standar keselamatan
transportasi udara. Proyek unggulan ITSAP adalah mendukung upaya Indonesia
merestrukturisasikan pelaksanaan pengaturan lalu lintas udara dengan cara memisahkan
fungsi penyedia layanan dari fungsi regulator.
Ada tiga lembaga yang terlibat dalam memberikan bantuan keselamatan penerbangan di
bawah ITSAP: Otoritas Keselamatan Perhubungan Udara (CASA), regulator untuk keselamatan
perhubungan udara di Australia; Airservices Australia, perusahaan pemerintah yang mengatur
lalu lintas udara dan layanan terkait dan merupakan model potensial bagi struktur organisasi
pengatur lalu lintas udara Indonesia yang akan datang; serta Biro Keselamatan Transportasi
Australia (ATSB), badan nasional investigasi kecelakaan transportasi yang independen, serupa
dengan Komite Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT) di Indonesia nantinya.
Karena telah melalui transisi serupa dalam 20 tahun terakhir, Australia berada pada posisi
yang sangat baik untuk membantu Indonesia beralih dari struktur sewaktu satu institusi
pemerintah mengawasi seluruh aspek penerbangan ke suatu model yang kini dipakai di
berbagai belahan dunia, yang memisahkan fungsi regulator dari fungsi penyedia layanan.
Berdasarkan UU No. 1/2009 tentang Penerbangan, Lembaga Tunggal Penyelenggara Pelayanan
Navigasi Udara (Single Air Navigation Service Provider atau SANSP) tengah dibentuk dengan
cara menggabungkan unsur layanan navigasi udara Angkasa Pura I dan II serta bandara yang
dikelola oleh DJU. SANSP harus mandiri secara keuangan dan mampu mempertahankan
pendapatannya.
ITSAP sangat sukses dalam mengadakan program pelatihan dan pendidikan bagi mereka yang
memiliki posisi penting dalam keselamatan di industri transportasi. Sejauh ini, ITSAP telah
melatih lebih dari 1.000 personil untuk semua moda transportasi, termasuk keselamatan laut
dan jalan.
Penyelidikan kecelakaan adalah bidang lain yang menjadi fokus program penerbangan
ITSAP. Sejak awal, sejumlah anggota KNKT telah mengambil bagian dalam program Diploma
Investigasi Keselamatan Transportasi atau pelatihan spesialis dari ATSB.

Transportasi Udara

Kemitraan untuk Langit


yang Lebih Aman
Paket Bantuan Keselamatan Transportasi Indonesia dari Australia
bekerja sama dengan para pakar Indonesia merestrukturisasi
pengaturan lalu lintas udara dan meningkatkan keselamatan.
Oleh Devi Asmarani

Empat puluh hingga lima puluh persen lalu lintas udara


internasional Australia melintasi wilayah udara Indonesia,
dan Australia ingin menjadi tetangga yang baik dalam bidang
penerbangan. Berhubung Australia maupun Indonesia
mendukung peningkatan standar keselamatan transportasi
udara, pada tahun 2007 Pemerintah Australia membentuk
Paket Bantuan Keselamatan Transportasi Indonesia (ITSAP)
guna membantu upaya Indonesia meningkatkan standar
keselamatan transportasi udara.
ITSAP menjalankan berbagai aktivitas, tapi menurut
Project Manager ITSAP di Jakarta, David Ramsay, proyek
unggulan mereka adalah mendukung upaya Indonesia
merestrukturisasi pelaksanaan pengaturan lalu lintas udara
dengan cara memisahkan fungsi penyedia layanan dari
fungsi regulator.
ITSAP dibentuk setelah terjadinya serangkaian kecelakaan
transportasi besar, termasuk kecelakaan udara Garuda
pada tahun 2007 di Yogyakarta yang menewaskan beberapa
diplomat dan warga Australia. Program ini diawali dengan
dana hibah sebesar 24 juta dollar Australia. Tahun lalu,
Canberra meningkatkan dukungannya untuk empat tahun
ke depan dengan tambahan 14,5 juta dolar. ITSAP juga
menjalankan proyek di bidang keselamatan transportasi
laut dan darat, sekalipun fokus utamanya tetap transportasi
udara.

Tiga lembaga terlibat dalam memberikan bantuan


keselamatan penerbangan di bawah ITSAP. Otoritas
Keselamatan Perhubungan Udara (CASA) bertindak sebagai
regulator keselamatan perhubungan udara di Australia, dan
pejabatnya telah bekerja sama dengan semua direktorat di
Direktorat Jendral Perhubungan Udara (DJU) di Kementerian
Perhubungan Indonesia untuk membantu mereka menjadi
regulator yang lebih baik. Airservices Australia adalah badan
usaha milik pemerintah yang menjalankan pengaturan lalu
lintas udara dan layanan terkait dan merupakan model
potensial bagi struktur organisasi pengaturan lalu lintas
udara Indonesia yang akan datang. Biro Keselamatan
Transportasi Australia (ATSB) adalah badan nasional
investigasi kecelakaan transportasi yang independen,
serupa dengan Komite Nasional Kecelakaan Transportasi
(KNKT) di Indonesia nantinya. KNKT berada di bawah
Kementerian Perhubungan Indonesia tapi saat ini masih
dalam masa transisi untuk menjadi badan independen
sepenuhnya yang melapor kepada Presiden.
Ramsay mengatakan, Kami berada pada posisi yang
kuat untuk melakukan ini, karena Australia telah melalui
perubahan yang serupa dalam 20 tahun terakhir ini, dari
organisasi Departemen Perhubungan Udara yang seperti
DJU, dengan pemerintah melakukan semuanya dari
mengelola bandara, mengontrol lalu lintas udara hingga
mengatur semua layanan dan perusahaan penerbangan
hingga ke struktur yang sekarang.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

54

55

Kemitraan untuk Langit yang Lebih Aman

Model di berbagai belahan dunia kini adalah memisahkan


regulator dari penyedia layanan, meskipun berada di dalam
naungan pemerintah. Hal tersebut salah satu aspek yang
masih berada dalam masa transisi di sini, tambahnya.
Direktorat Jendral Perhubungan Udara mengelola sebagian
besar bandara di Indonesia, kecuali 26 bandara yang
dikelola oleh BUMN yaitu PT Angkasa Pura I dan II.

Lembaga Tunggal Penyelenggara Pelayanan


Rencana yang ditetapkan dalam UU No. 1/2009 tentang
Penerbangan adalah mendirikan sebuah Lembaga Tunggal
Penyelenggara Pelayanan Navigasi Udara (Single Air
Navigation Service Provider atau SANSP) dengan cara
menggabungkan unsur-unsur layanan navigasi udara
Angkasa Pura I dan II dan bandara yang dikelola oleh DJU.
Perundang-undangan menetapkan bahwa langkah tersebut
harus sudah diselesaikan pada bulan Januari 2012, tapi
transisi tersebut tertunda oleh sejumlah keputusan
sulit, seperti institusi macam apakah badan usaha baru
pemerintah ini nantinya dan kementerian mana yang akan
mengawasinya.
Undang-Undang menetapkan bahwa SANSP harus
mandiri secara keuangan dan mampu mempertahankan
pendapatannya (biaya layanan navigasi udara saat ini
berkisar USD 0,55 per ton per mil nautika udara yang
dilalui dalam wilayah udara Indonesia) agar bisa membeli,
memiliki, dan memelihara peralatannya sendiri; dan
menggaji karyawannya dengan upah yang kompetitif.
Saat ini terdapat kesenjangan pendapatan yang lebar
antara pengawas lalu lintas udara DJU dengan rekan
mereka di BUMN. Sebagai PNS, pengawas lalu lintas udara
DJU digaji sekisar 25 persen dari gaji pengawas lalu lintas
udara AP I atau II. Hal lain seperti hak uang pensiun makin
memperumit masalah.
Namun, Ramsay mengatakan bahwa ITSAP terus mendukung
proses ini karena pengelolaan dan kepemimpinan yang
baik atas sistem regulasi di sektor perhubungan udara
sangat penting untuk meningkatkan standar keselamatan.
Kami mendukung SANSP karena adanya organisasi yang
dikelola secara transparan yang dapat membebankan dan

Prakarsa Compendium | Jilid 2

mempertahankan biaya untuk berinvestasi pada peralatan


yang tepat dan pelatihan yang baik merupakan dasar untuk
menyediakan layanan terbaik.
Menurutnya, Indonesia tidak kekurangan orang yang
berbakat pada industri penerbangan. Ia menambahkan
bahwa dalam kasus tertentu pengawas lalu lintas udara dan
karyawan bagian pemeliharaan menggunakan peralatan
usang terutama di Jakarta tapi tetap berhasil bekerja
dengan baik.
Pengaturan lalu lintas udara adalah bidang khusus yang
memungkinkan Australia dapat berkontribusi, karena
agensi pengatur lalu lintas udara dari kedua negara memiliki
hubungan operasional yang sudah berjalan dikarenakan
keduanya berbagi perbatasan, dan karena sistem berbasis
komputer yang digunakan di Australia sejenis dengan yang
digunakan di Makassar.

Pelatihan dan Penyelidikan


ITSAP sangat sukses dalam mengadakan program pelatihan
dan pendidikan bagi mereka yang memiliki posisi penting
dalam keselamatan di industri transportasi. Sejauh ini,
ITSAP telah melatih lebih dari 1.000 personil untuk semua
moda transportasi, termasuk keselamatan laut dan jalan
raya.
Penyelidikan kecelakaan adalah bidang lain yang menjadi
fokus program penerbangan ITSAP. Sejak awal, sejumlah
anggota KNKT telah ikut serta dalam program Diploma
Investigasi Keselamatan Transportasi atau pelatihan
spesialis dari ATSB.
ATSB menyediakan pelatihan keterampilan penyelidikan
umum dan disiplin ilmu khusus, seperti analisis Flight Data
Recorder dan Cockpit Voice Recorder. Para peserta juga
berkesempatan bekerja bersama para ahli dari Australia.
Baru-baru ini, ITSAP memfasilitasi Lokakarya Faktor Manusia
untuk ATSB dan KNKT yang dikembangkan oleh sejumlah
dokter penerbangan, psikolog, dan spesialis lainnya. Topik
faktor manusia dalam penyelidikan kecelakaan ditujukan
untuk memahami mengapa orang melakukan kesalahan
dikarenakan penyebab mendasar seperti disorientasi
spasial dan kelelahan.

Transportasi Udara

Bandara Internasional Sultan Hasanuddin di Makassar, Sulawesi Selatan,


menggunakan teknologi Pengaturan Lalu Lintas Udara yang sama dengan
Australia, hal ini membantu memperkuat hubungan penerbangan antara
Indonesia dengan Australia.

Kami sangat senang dengan lokakarya ini karena kami telah


melatih sejumlah pelatih yang luar biasa dan membentuk
sesuatu yang benar-benar akan bertahan di Indonesia,
kata Ramsay.
Ia menambahkan, ITSAP juga membantu para ahli Indonesia
mengejar penyelesaian sekitar 40 laporan penyelidikan
kecelakaan yang tertunda, yang kini telah diumumkan
secara internasional melalui situs International Civil
Aviation Organization.
Pelatihan lainnya mencakup kursus bagi polisi Indonesia
tentang aspek hukum yang memisahkan penyelidikan polisi
dari penyelidikan kecelakaan KNKT/ATSB. Penyelidikan
KNKT/ATSB berusaha menentukan apa yang terjadi dan
bagaimana mencegah terulangnya kecelakaan serupa,
sementara penyelidikan polisi mencari tahu siapa yang
salah dan bisa berakibat pada penuntutan.
Kursus bagi polisi juga memberi mereka instruksi tentang
cara melakukan kegiatan awal di lokasi kecelakaan.
Karena kendala geografis, KNKT seringkali tidak dapat
tiba di semua lokasi kecelakaan dengan cepat. Polisi perlu
mengetahui apa yang harus dilakukan di lokasi kecelakaan,

Atas perkenan tokyofoodcast on flickr

termasuk menjaga keselamatan diri mereka sendiri


ketika mengevakuasi korban, dan bagaimana melakukan
dokumentasi tanpa mengganggu lokasi kecelakaan.
Salah satu proyek besar ITSAP saat ini adalah penyusunan
Perangkat Pelatihan Operasi Terbang Daratan Pegunungan
Tropis, yang telah diluncurkan pada bulan November 2011.
Ada hal-hal yang bisa sangat berbahaya ketika terbang
di atas daratan pegunungan tropis seperti Papua dan
Sumatera, yang cuacanya bisa tiba-tiba berubah, kata
Ramsay. Bila Anda mengoperasikan layanan publik di
daerah terpencil yang disubsidi pemerintah, jelas akan ada
standar yang tidak sama atau perlu dikompromikan.
Jadi, sangatlah penting untuk menawarkan pedoman
tentang standar minimum dan bahaya tambahan
pengoperasian visual flight rules di atas daratan pegunungan
tropis, tambahnya.

Tentang Penulis:
Devi Asmarani adalah mantan wartawan The Straits Times
yang kini bekerja lepas untuk berbagai publikasi terkemuka di
Indonesia.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

56

POIN-POIN UTAMA
Penerapan perjanjian ASEAN Open Skies, yang akan dimulai pada tahun 2015, tidak akan
sepenuhnya membuka pasar, tapi akan menjadikannya lebih liberal dibandingkan perjanjian
yang ada, dan akan menghasilkan persaingan lebih ketat.
Dalam sektor penerbangan Indonesia terdapat 16 maskapai penerbangan berjadwal, tujuh di
antaranya kemungkinan akan terkena dampak Perjanjian ASEAN Open Skies. Dua di antaranya,
Garuda Indonesia dan Indonesia AirAsia, sudah aktif berpartisipasi dalam pelayanan udara
internasional. Lima maskapai penerbangan lainnya Lion Airlines, Sriwijaya Air, Batavia Air,
Wings Air dan Merpati Nusantara berkonsentrasi penuh pada pasar penumpang domestik.
Dengan pengecualian Indonesia AirAsia, pelayanan yang disediakan maskapai penerbangan
Indonesia dengan tujuan negara ASEAN lainnya, hanya sebagian kecil (5 persen) dari
total tempat duduk mereka. Beberapa maskapai penerbangan Indonesia dengan cepat
meningkatkan jumlah armada mereka, namun, dengan pengecualian Indonesia AirAsia,
kebanyakan kapasitas kursi baru tersebut akan digunakan untuk melayani pasar domestik.
Kebanyakan Perjanjian Pelayanan Udara bilateral antara Indonesia dan negara anggota
ASEAN menerapkan pembatasan kapasitas dan frekuensi, yang mungkin telah memberikan
proteksi tersendiri bagi maskapai-maskapai penerbangan Indonesia terhadap persaingan dari
maskapai penerbangan bandara penghubung (hub-carrier) ASEAN yang lebih besar, khususnya
Singapore Airlines.
Mungkin akan sulit bagi maskapai-maskapai penerbangan Indonesia untuk sepenuhnya
memanfaatkan potensi yang ditawarkan oleh perjanjian Open Skies, akibat kendala
infrastruktur bandara dan cara kerja pasar Indonesia. Kebanyakan maskapai-maskapai
penerbangan Indonesia menganggap kesempatan pertumbuhan yang menguntungkan akan
berasal dari perluasan layanan domestik, karena itu mereka menunda akses rute internasional
dan perluasan kapasitas sampai pertumbuhan domestik mereka telah matang. Mereka
mendukung pengenalan bertahap Open Skies di Indonesia untuk pasar ASEAN, agar mereka
dapat terus berkonsentrasi di pertumbuhan domestik dalam jangka pendek sampai sedang.

Transportasi Udara

Open Skies dan Maskapai


Penerbangan Indonesia
Fokus Maskapai-maskapai Penerbangan Indonesia sebagian
besar tertuju pada pelayanan domestik. Adanya peluang baru
kebijakan Open Skies akan memberikan beberapa tantangan
tersendiri.
Oleh Chris Whittle

Saat ini Indonesia tengah mengalami pertumbuhan populasi


dan peningkatan kesejahteraan ekonomi. Pertumbuhan ini,
ditambah dengan letak geografis negaranya yang unik lebih
dari 18.000 pulau tersebar di bentangan lebih dari 5.000
km akan meningkatkan kecenderungan untuk melakukan
penerbangan. (Untuk keterangan lebih terperinci akan
maksud istilah ini, lihat Lalu Lintas Bertumbuh, Kebutuhan
Bertumbuh di halaman 37). Penerbangan merupakan mata
rantai yang amat penting dalam menghubungkan hampir
240 juta penduduk Indonesia, baik satu sama lain maupun
dengan penduduk di belahan dunia lainnya, secara efisien.
Antara tahun 2010 dan 2014, Indonesia diperkirakan
akan menjadi pasar penumpang internasional dengan
pertumbuhan tercepat. Pada tahun 2014, Indonesia akan
berada di peringkat sembilan pasar dometik terbesar, dan
di antara 10 teratas angkutan kargo internasional.

dimulai dari kebebasan untuk terbang melintasi wilayah


negara tersebut (kebebasan pertama), dan berkembang
hingga pemberian izin bagi perusahaan maskapai
penerbangan asing untuk melakukan penerbangan yang
dimulai dan berakhir di negara lain (kebebasan kesembilan).
(Lihat boks di halaman 60 untuk penjelasan lengkap dari
sembilan kebebasan perjanjian Open Skies).
ASEAN Open Skies tidak betul-betul merupakan langit yang
terbuka (open skies), bahkan bagi maskapai penerbangan
yang bertempat di negara anggota ASEAN sekalipun, karena
di dalamnya tidak tercantum klausa untuk kebebasan
ketujuh, kedelapan atau kesembilan. Asean Open Skies
tidaklah sebebas pasar penerbangan tunggal Uni Eropa, tapi
akan menjadi lebih bebas dibandingkan perjanjian bilateral
maupun perjanjian lainnya yang kini tengah diterapkan
terhadap maskapai penerbangan ASEAN.

Potensi bagi penerbangan di Indonesia sangatlah besar,


dan seiring dengan pesatnya pertumbuhan pasar domestik
di negara ini, lokasi strategis Indonesia di jantung Asia
Tenggara juga semakin menegaskan betapa signifikannya
pasar ini. Karena itu, perjanjian ASEAN Open Skies, yang
akan diterapkan tahun 2015, merupakan peristiwa penting
bagi para maskapai penerbangan Indonesia.

ASEAN Open Skies akan menyediakan akses tak terbatas


untuk kebebasan ketiga, keempat, dan kelima bagi semua
negara ASEAN di tahun 2015. Hal ini akan mengakibatkan
persaingan lebih ketat bagi semua maskapai penerbangan
di ASEAN. Risiko komersial yang lebih tinggi ini diimbangi
oleh potensi imbalan yang lebih tinggi pula.

Open Skies merujuk pada seperangkat hak progresif (yang


dinamakan freedoms atau kebebasan), yang diberikan
suatu negara kepada maskapai penerbangan negara lain

Sementara ASEAN melanjutkan kebijakan liberalisasinya,


sangatlah penting bagi Indonesia untuk mempersiapkan
industri perhubungan udara yang aman, yang berbasis

Prakarsa Compendium | Jilid 2

58

59

Open Skies dan Maskapai Penerbangan Indonesia

Bagi kebanyakan maskapai penerbangan Indonesia, pasar domestik


merupakan pasar terpenting.

pada infrastruktur penerbangan yang memenuhi standar


internasional. Persiapan ini mengharuskan pemerintah
Indonesia untuk secara tepat menentukan langkahlangkah kebijakan yang terkoordinasi, guna memastikan
infrastruktur yang aman dan memadai, baik di darat
maupun di udara.
Industri perhubungan udara Indonesia sudah berkembang
dengan pesat untuk memenuhi pertumbuhan kebutuhan.
Pertumbuhan cepat ini, ditambah dengan beragam stimulus
yang ditawarkan melalui penerapan Open Skies, semakin
menekankan kebutuhan untuk lebih memperhatikan
pengawasan keselamatan. Kebutuhan akan perhatian
mendesak dalam menerapkan langkah-langkah keselamatan
tampak jelas bila menilik fakta bahwa dari tahun 2005
2010, tercatat sejumlah 33 kecelakaan terjadi di Indonesia,

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Atas perkenan Garuda Indonesia

dan di tahun 2010 Indonesia termasuk 1,4 persen lalu lintas


dunia, namun di tahun itu 4 persen dari seluruh kecelakaan
tercatat di Indonesia.
Berbagai upaya telah dilakukan di tahun-tahun belakangan
ini untuk memperbaiki catatan keselamatan Indonesia.
Indikasi positif keberhasilan upaya ini terlihat dengan
dihapuskannya lima maskapai penerbangan Indonesia dari
daftar cekal maskapai penerbangan Uni Eropa. (Maskapai
Penerbangan dalam daftar ini tidak diizinkan untuk terbang
di ruang udara negara anggota.)

Maskapai Penerbangan Indonesia


Sektor penerbangan Indonesia terdiri dari penerbangan
penumpang berjadwal, penerbangan kargo berjadwal
dan penerbangan tidak berjadwal. Terdapat 16 maskapai

Transportasi Udara

Jalur IndonesiaSingapura merupakan jalur yang paling ketat:


Maskapai penerbangan dari kedua belah pihak beroperasi
mendekati angka maksimum layanan yang di izinkan
penerbangan berjadwal, tujuh di antaranya kemungkinan
akan terkena dampak Perjanjian ASEAN Open Skies.
Ketujuh maskapai penerbangan ini terdiri dari dua
Gambar 1: Penumpang yang Diangkut oleh Maskapai Penerbangan
Terpilih pada tahun 2010

Tiga maskapai penerbangan kargo berjadwal merupakan


pemain yang relatif kecil dalam hal armada dan ketersediaan
kapasitas. Walaupun jasa angkutan udara dalam ASEAN
diliberalisasikan melalui perjanjian multilateral Liberalisasi
Penuh Jasa Angkutan Kargo Udara (Multilateral Agreement
on the Full Liberalization of Air Freight Services), perjanjian
ini belum disahkan oleh pemerintah Indonesia.

25.0

Domestik

Internasional

Penumpang (juta)

20.0
15.0
10.0
5.0
0.0

Lion
Air

Garuda Sriwijaya
Indonesia
Air

Batavia
Air

Indonesia
AirAsia

Merpati
Air

Wings
Air

Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Udara

maskapai penerbangan yang telah aktif berpartisipasi


dalam penyediaan layanan udara internasional, PT
Garuda Indonesia dan Indonesia AirAsia. Gabungan PT
Garuda dan Indonesia AirAsia mewakili hampir 80 persen
penumpang internasional berjadwal yang diangkut oleh
seluruh maskapai penerbangan Indonesia pada tahun
2010. Penumpang internasional merupakan 20 persen dari
total lalu lintas penumpang PT Garuda, dan 72 persen dari
Indonesia AirAsia (lihat Gambar 1).
Lima maskapai penerbangan lainnya Lion Airlines,
Sriwijaya Air, Batavia Air, Wings Air dan Merpati Nusantara
berkonsentrasi pada pasar penumpang domestik, dengan
persentase jumlah penumpang internasional kurang dari 5
persen dari total penumpang setiap maskapai penerbangan
tersebut pada tahun 2010.

Maskapai penerbangan tidak berjadwal kebanyakan


beroperasi di ceruk pasar yang amat spesifik, sehingga kecil
kemungkinan terpengaruh oleh Perjanjian ASEAN Open
Skies.
Secara keseluruhan, layanan yang disediakan maskapai
penerbangan Indonesia dengan tujuan negara ASEAN
lainnya, hanya merupakan sebagian kecil (5 persen) dari
total kapasitas kursi mereka. (Angka ini bahkan lebih kecil
[3 persen] lagi untuk tujuan internasional di luar ASEAN.)1
Gambaran tersebut jauh berbeda bagi Indonesia AirAsia,
yang saat ini memiliki kesanggupan terbesar terhadap
pasar ASEAN (lihat Gambar 2). Maskapai penerbangan ini
Gambar 2: Total Kursi Disediakan Maskapai Penerbangan Terpilih
untuk Negara ASEAN (Maret 2011)

Batavia Air
4.5%

Sriwijaya Air
3.2%

Merpati Air
1.7%

Indonesia
AirAsia
53.5%

Lion Air/Wings Air


17.6%

Garuda Indonesia
19.5%

Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Udara

Prakarsa Compendium | Jilid 2

60

61

Open Skies dan Maskapai Penerbangan Indonesia

Sembilan Kebebasan di Udara


1. Hak maskapai penerbangan suatu negara untuk terbang
di atas wilayah udara negara lain, tanpa mendarat
2. Hak untuk mengisi bahan bakar atau melakukan
perawatan pesawat lengkap dalam perjalanan ke negara
lain
3. Hak untuk terbang menuju negara lain
4. Hak untuk terbang dari negara lain ke negara asal
maskapai penerbangan tersebut
5. Hak untuk terbang antara dua negara asing, selama
penerbangan dimulai dan berakhir di negara asal
maskapai penerbangan
6. Hak untuk terbang antar dua negara asing dengan
persinggahan non-teknis (bukan untuk mengisi bahan
bakar atau perawatan) di negara asal maskapai
penerbangan
7. Hak untuk terbang antara dua tujuan di dua negara asing,
tanpa singgah di negara asal maskapai penerbangan
8. Hak untuk terbang antara dua tujuan di negara asing,
dengan layanan lanjutan ke negara asal maskapai
penerbangan
9. Hak untuk terbang antara dua tujuan di sebuah negara
asing, tanpa layanan lanjutan ke negara asal maskapai
penerbangan

tercatat menguasai 54 persen dari kursi pesawat terbang


antar negara di ASEAN yang ditawarkan oleh maskapai
penerbangan Indonesia. Lima puluh lima persen total
kapasitas Indonesia AirAsia adalah untuk melayani pasar
ASEAN.
Beberapa maskapai penerbangan Indonesia dengan cepat
meningkatkan jumlah armada mereka, namun, dengan
pengecualian Indonesia AirAsia, kebanyakan kapasitas
kursi barunya tersebut digunakan untuk melayani pasar
domestik. Dalam periode November 2010 hingga November
2011, jumlah armada tujuh maskapai penerbangan terbesar
di Indonesia meningkat hingga 16 persen. Beberapa
maskapai penerbangan memesan atau menandatangani
surat perjanjian untuk memperoleh pesawat regional lebih
kecil untuk melayani pasar antar ASEAN yang baru dan
bervolume lebih rendah.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Penyediaan Kapasitas yang Lebih Besar


Kebanyakan Perjanjian Layanan Udara bilateral antara
Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN memiliki

Open Skies, Berbeda-beda Negara


Penerapan kebijakan liberalisasi yang diberlakukan di semua
negara ASEAN menghadapi tantangan yang signifikan,
terutama karena keragaman kapasitas dan prioritas di antara
penerbangan negara-negara anggota. Di satu sisi, ada negaranegara seperti Singapura dan Brunai, yang bisa dibilang tidak
memiliki pasar domestik untuk dilindungi, dan hanya memiliki
satu bandara internasional/tujuan untuk ditawarkan. Negaranegara ini cenderung sangat liberal dalam menganjurkan
akses pasar bebas, khususnya Singapura yang telah memiliki
maskapai penerbangan nasional yang sangat sukses dan
beberapa maskapai baru rendah biaya. Di lain sisi, negaranegara seperti Indonesia, Filipina, dan Vietnam memiliki
pasar domestik yang besar dan beberapa kota besar yang
dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pengoperasian
penerbangan internasional. Negara-negara ini cenderung
lebih protektif pada pasar-pasar mereka.
Dari sisi maskapai penerbangannya, terdapat pemainpemain yang sudah mapan seperti Singapore Airlines (SIA),
Thai Airways International (THAI), dan Malaysia Airlines
(MAS) dengan jaringan internasional yang luas, sementara
negara-negara seperti Kamboja, Laos, dan Myanmar memiliki
maskapai-maskapai internasional yang belum berpengalaman
atau terbatas jaringan internasionalnya. Selain perbedaan
dalam hal kapasitas, para maskapai penerbangan ini pun
memiliki pengaruh terhadap pemerintah mereka dalam
tingkat yang berbeda-beda Sehingga, tidak mengherankan
bila negara-negara anggota ASEAN menunjukkan perbedaan
signifikan dalam komitmen mereka terhadap liberalisasi
layanan perhubungan udara.
Dicetak ulang dengan izin dari Prospects for a Single
Aviation Market in Southeast Asia (Prospek Pasar Tunggal
Penerbangan di Asia Tenggara) karya Alan Khee-Jin Tan
di Annals of Air and Space Law (Sejarah Udara dan Hukum
Ruang Angkasa) vol. XXXIV. Dr. Tan adalah Asisten Guru Besar
dan Wakil Dekan, Fakultas Hukum dari National University of
Singapore.

Transportasi Udara

pembatasan kapasitas dan frekuensi yang diterapkan


melalui Nota Kesepahaman Rahasia (CMOU, Confidential
Memorandum of Understanding). Kemungkinan, batasanbatasan ini telah melindungi maskapai-maskapai
penerbangan Indonesia dari peningkatan kapasitas dan
frekuensi maskapai-maskapai penerbangan dari bandara
penghubung (hub-carrier) ASEAN yang lebih besar,
khususnya Singapore Airlines. Jalur IndonesiaSingapura
dan (dalam kasus yang relatif lebih kecil) IndonesiaKuala
Lumpur merupakan jalur yang paling ketat: Maskapai
penerbangan dari kedua belah pihak beroperasi mendekati
angka maksimum layanan yang diizinkan dalam CMOU.
Rute JakartaSingapura merupakan pasangan kota yang
kemungkinan besar segera mengalami penambahan kursi
begitu perjanjian Open Skies diterapkan.
Singapore Airlines dan Thai Airways mengoperasikan
pesawat dengan ukuran rata-rata jauh lebih besar daripada
maskapai penerbangan Indonesia. Hal ini karena mereka
memang terutama melakukan penerbangan jarak jauh dan
menengah. Maskapai penerbangan Indonesia saat ini pun
telah mengalami kesulitan untuk bersaing dengan maskapai
penerbangan seperti Singapore Airlines. Singapore
Airlines dianggap sebagai maskapai yang paling mungkin
diuntungkan dengan adanya perjanjian Open Skies.
Maskapai ini akan mampu menerbangkan lebih banyak
penumpang internasional dari bandara penghubungnya
di Bandara Changi menuju tujuan selanjutnya di
ASEAN. Dengan Singapore Airlines menambah kapasitas
internasionalnya, hal ini dapat berimbas pada lalu lintas
penumpang tujuan lanjutan, yang saat ini menggunakan
layanan domestik maskapai penerbangan Indonesia.

Siap Meraih Keuntungan?


Melihat keadaan sekarang, mungkin akan sulit untuk
mewujudkan manfaat potensi penuh Open Skies, karena
kendala infrastruktur bandara dan cara kerja pasar
Indonesia. Kapasitas bandara, khususnya di Bandara
Soekarno-Hatta Jakarta, sangatlah terbatas. Jam buka
sebagian besar bandara Indonesia lain pun terbatas, yang
berimbas pada pengembangan jadwal bandara dan efisiensi
operasional. Sedangkan untuk pasar Indonesia sendiri,
kombinasi antara ketatnya aturan berkenaan dengan

mata uang, keterbatasan penggunaan kartu kredit oleh


konsumen, dan keleluasaan fasilitas kredit yang ditawarkan
industri perjalanan akan memperlambat pengembangan
penjualan melalui internet.
Kebanyakan maskapai Indonesia menganggap kesempatan
pertumbuhan yang menguntungkan akan berasal dari
perluasan domestik, karena itu mereka menunda akses
rute internasional dan perluasan kapasitas, menunggu
matangnya pertumbuhan domestik mereka. Mereka
mendukung pengenalan bertahap Open Skies di Indonesia
untuk pasar ASEAN, dan penghapusan secara bertahap
pembatasan kapasitas dan frekuensi yang saat ini diterapkan
secara bilateral, sehingga mereka bisa berkonsentrasi
pada pertumbuhan domestik dalam jangka pendek dan
menengah.

Tentang Penulis:
Chris Whittle menjabat sebagai Principal Project Manager untuk
Mott MacDonald. Ia adalah seorang ekonom perhubungan
udara dengan spesialisasi di studi ekonomi, perencanaan
strategis, penyusunan kebijakan dan pengembangan
perhubungan udara. Ia telah melakukan berbagai proyeksi
permintaan, uji tuntas, perencanaan strategis dan studi terkait
untuk sektor keuangan, para penyusun peraturan perundangundangan, pemerintah, maskapai penerbangan, bandara dan
lain-lainnya yang berkepentingan dalam bidang investasi dan
pengembangan bandara.
Chris memimpin pelaksanaan studi Mott MacDonald untuk
Prakarsa Infrastruktur Indonesia yang didanai AusAID tentang
dampak penerapan kebijakan ASEAN Open Skies pada industri
perhubungan udara Indonesia. Sebelumnya Chris duduk di
berbagai posisi senior dalam perencanaan, pemasaran dan
manajemen komersial di British Caledonian Airways, termasuk
bertanggung jawab atas strategi dan pemasaran layanan kargo
udara maskapai tersebut. Ia kerap menjadi pembicara dalam
beragam konferensi mengenai segala aspek penerbangan,
termasuk kebijakan dan pembangunan strategis.
Chris merupakan anggota Charter dari Institute of Transport
and Logistics.

CATATAN
1. Angka-angka ini berdasarkan data dari jadwal maskapai penerbangan bulan Maret 2011.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

62

POIN-POIN UTAMA
Bandara-bandara Indonesia, khususnya yang akan dibuka berdasarkan perjanjian Open Skies
ASEAN tahun 2015, perlu melakukan pengembangan besar-besaran agar dapat memenuhi
permintaan yang diproyeksikan untuk masa depan. Bandara tersebut akan memerlukan
peningkatan kapasitas terminal, penambahan posisi parkir pesawat udara, pembangunan
infrastruktur, dan perbaikan rutinitas dan metode kerja. Hal ini merupakan peluang untuk
mengubah bandara Indonesia menjadi model infrastruktur yang berkelanjutan berkelas dunia.
Pembangunan yang berkelanjutan berarti menerapkan pendekatan holistik terhadap
pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini juga berarti
menerapkan strategi baru sebagaimana dibutuhkan dan beroperasi dengan pernyataan
maksud dan tujuan yang jelas; kerja sama antara para pemangku kepentingan; pengawasan
secara terus-menerus; pengkajian terjadwal; dan akses terhadap semua perangkat penunjang,
informasi, dan pelatihan.
Tiga dasar utama pembangunan bandara yang berkelanjutan adalah: pengelolaan dampak
lingkungan; upaya memaksimalkan kapasitas dan efisiensi; peningkatan keselamatan dan
keamanan. Analisis strategi lingkungan dan analisis mengenai dampak lingkungan perlu
dilakukan, disusul penyelidikan secara lebih mendalam pada kemungkinan dampak terhadap
lingkungan hidup dan langkah-langkah penanggulangannya. Kapasitas dan efisiensi dapat
ditingkatkan melalui pembangunan infrastruktur fisik baru, namun ini merupakan pilihan
yang mahal. Sebelum melakukannya, perlu dilakukan analisis terhadap kegiatan operasional
untuk menentukan apakah ada strategi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan kapasitas
seperti pelatihan personel atau pemberian insentif kepada maskapai penerbangan untuk
menjadwalkan penerbangan mereka dengan cara yang berbeda. Tantangan terbesar terletak
pada pengenalan permasalahan utama di bidang keselamatan dan keamanan. Sistem
manajemen sesuai dengan mandat Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International
Civil Aviation Organization) dapat membantu dalam proses ini.
Strategi berimbang yang benar-benar mempertimbangkan bobot kepentingan yang setara
antara dampak lingkungan, efektifitas dan kapasitas, serta keselamatan dan keamanan,
merupakan dasar bagi pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan secara jangka panjang.

Transportasi Udara

Pembangunan Bandara
yang Berkelanjutan:
Tantangan ke Depan
Seiring perkembangannya untuk memenuhi permintaan
yang meningkat, bandara-bandara di Indonesia perlu
mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan, kapasitas
dan efisiensi, serta keselamatan dan keamanan.
Oleh Natanael Ljung

Prakiraan lalu lintas udara untuk Indonesia saat ini menunjukkan


bahwa jumlah penumpang setiap tahun akan meningkat dari
jumlah sedikit di atas 100 juta menjadi lebih dari 300 juta di
tahun 2025. Agar mampu mengimbangi pertumbuhan ini,
beberapa bandara Indonesia perlu diperluas secara signifikan.
Hal ini khususnya berlaku bagi lima bandara Indonesia yang
telah disepakati untuk membuka diri berdasarkan perjanjian
Open Skies ASEAN tahun 2015, yakni bandara SoekarnoHatta di Jakarta, Juanda di Surabaya, Ngurah Rai di Bali, Sultan
Hasanuddin di Makassar, dan Sepinggan di Balikpapan.
Semakin besar jumlah penumpang yang diproyeksikan
akan menggunakan bandara, semakin besar pula luas
pengembangan yang akan diperlukan untuk memenuhi
permintaan masa depan. Ini berarti Soekarno-Hatta harus
berkembang semaksimal mungkin, sampaimungkin diperlukan
pembangunan bandara yang sama sekali baru. Pada tingkat
yang berbeda-beda, empat bandara lainnya akan memerlukan
peningkatan kapasitas terminal, penambahan posisi parkir
pesawat udara, pembangunan infrastruktur, serta perbaikan
tata cara keseharian dan metode kerja.
Guna mencapai pembangunan sesuai kebutuhan, diperlukan
upaya luar biasa dari para pemilik infrastruktur dan pemangku
kepentingan lainnya. Selain itu, para pengembang kini

berpeluang, tidak hanya untuk meningkatkan kapasitas


bandara, tetapi juga untuk mengubah bandara-bandara
tersebut menjadi model infrastruktur berkelanjutan berkelas
dunia.

Pembangunan berkelanjutan
Bandara dewasa ini mencakup kegiatan operasional yang
rumit, di mana berbagai sistem perekonomian, sosial, dan
lingkungan hidup perlu berinteraksi secara efisien, tidak hanya
di dalam lingkungan bandara sendiri, tetapi juga dengan
masyarakat di sekitarnya. Pembangunan yang berkelanjutan
perlu dilandasi strategi yang berimbang. Artinya, menerapkan
pendekatan holistik terhadap tantangan saat ini dan di
kemudian hari yang mempertimbangkan pertumbuhan
ekonomi, keadilan sosial, dan pengelolaan lingkungan. Hal ini
juga berarti kesediaan untuk menerapkan strategi baru yang
dapat menghasilkan berbagai peningkatan secara bertahap
maupun komprehensif. Syarat keberhasilan suatu proses
pembangunan mencakup: pernyataan jelas tentang maksud
dan tujuan; kerjasama di antara para pemangku kepentingan;
pengawasan terus-menerus; pengkajian terjadwal; serta akses
terhadap semua perangkat penunjang, informasi dan pelatihan
yang dibutuhkan.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

64

65

Pembangunan Bandara yang Berkelanjutan: Tantangan ke Depan

Tiga dasar utama pembangunan bandara yang berkelanjutan


adalah: pengelolaan dampak lingkungan; pemaksimalan
kapasitas dan efisiensi; serta peningkatan keselamatan dan
keamanan. Setiap faktor ini perlu diberi bobot yang sama
ketika akan mengambil keputusan. Berikut ini disampaikan
pembahasan singkat tentang berbagai strategi untuk
menunjang pencapaian ketiga sasaran tersebut.

Dampak Lingkungan
Meskipun permintaan akan angkutan terus meningkat, dampak
lingkungan harus terus-menerus dipertimbangkan, baik pada
saat konstruksi, pengoperasian, maupun pemeliharaan sistem
penerbangan. Investasi infrastruktur, peningkatan teknis, dan
perubahan operasional. Semua dapat menawarkan solusi
terhadap berbagai kekhawatiran soal lingkungan hidup. Namun
pendekatan secara holistik mensyaratkan bahwa kemampuan
memperoleh laba dan masalah keselamatan tidak boleh
diabaikan pada saat mempertimbangkan langkah-langkah yang
berkenaan dengan lingkungan hidup.

Kadangkala kapasitas bandara dapat


ditingkatkan melalui berbagai cara seperti
pelatihan personil atau penerapan
prosedur baru, bukan membangun
infrastruktur fisik baru.

Atas perkenan IndII

Kapasitas dan Efisiensi


Pertimbangan dampak lingkungan selayaknya menjadi bagian
terpadu dalam proses pembangunan. Sebagai langkah pertama,
perlu diperkenalkan analisis strategis lingkungan (SEA, strategic
environmental assessment) dan analisis mengenai dampak
lingkungan (AMDAL/EIA, environmental impact assessment).
SEA berfokus pada kebijakan dan perencanaan sedangkan
EIA berfokus pada pembangunan infrastruktur fisik. Keduanya
digunakan pada tahap awal dan merupakan perangkat yang
secara potensial sangat handal untuk menentukan dampak
jangka panjang pembangunan infrastruktur terhadap
lingkungan.

Kapasitas sebuah bandara tidaklah bersifat statis, melainkan


bervariasi sesuai kondisi aktual yang ada di bandara tersebut.
Ciri-ciri khusus seperti perilaku pilot, keadaan cuaca, ragam
pesawat yang singgah atau melintas, dan jadwal lalu lintas,
setiap saat dapat memengaruhi kapasitas sebuah bandara.
Rendahnya kapasitas kini pun sudah merupakan hambatan
besar bagi sejumlah bandara, dan akan menjadi semakin
parah dengan meningkatnya permintaan akan angkutan udara.
Mengatasi masalah ini dengan membangun infrastruktur fisik
baru merupakan sebuah pilihan mahal; diperlukan pemikiran
mendalam sebelum melaksanakannya.

Pada saat bandara-bandara Indonesia diperluas, perlu


dilakukan EIA dan hasilnya digunakan untuk menyusun Rencana
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dapat mengatasi masalahmasalah sebagaimana terungkap dalam EIA.

Sebaiknya, langkah pertama yang diambil adalah mengevaluasi


apakah infrastruktur yang ada sudah dimanfaatkan sepenuhnya.
Kapasitas yang tersembunyi dapat dikenali dan dimanfaatkan
dengan menerapkan pengetahuan teoretis dan praktek terbaik
yang dikembangkan untuk pengoperasian landas pacu, landas
hubung, dan apron. Dalam beberapa kasus, pelatihan personil
serta perampingan rutinitas dan metode yang digunakan dapat
mengakibatkan peningkatan kapasitas secara signifikan tanpa
melakukan pembangunan tambahan. Perubahan pada biaya
yang dibebankan kepada maskapai penerbangan juga dapat
membantu, dengan memberikan insentif kepada maskapai
penerbangan agar menjadwalkan penerbangan mereka pada
jam-jam ketika lebih banyak kapasitas tersedia.

Sebagai langkah kedua, perlu dilakukan penyelidikan lebih


mendalam di setiap bandara untuk memetakan dampak
lingkungan berikut kemungkinan langkah penanggulangannya.
Langkah penanggulangan tersebut dapat mencakup aneka
ragam langkah hijau seperti mengembangkan fasilitas
angkutan umum, memperbaiki pengelolaan limbah, dan
meningkatkan kesadaran lingkungan hidup di kalangan para
pemilik, personil, dan pemangku kepentingan.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Transportasi Udara

Contoh sederhana bagaimana kapasitas dapat ditingkatkan


dengan mengubah kegiatan operasional terkait dengan
tindakan yang dilakukan ketika sebuah pesawat udara sedang
diservis di antara jadwal penerbangannya. Pada saat itu,
beberapa penyedia layanan yang berbeda akan memusatkan
pelayanannya pada pesawat udara tersebut. Sudah cukup
lumrah apabila terjadi keterlambatan karena kesalahpahaman,
atau tidak adanya sarana bagi para penyedia layanan tersebut
untuk berkomunikasi. Akibatnya dapat berupa pintu gerbang
yang tertutup dan arus lalu lintas yang terganggu.

Banyak hal yang dapat dicapai dengan merancang dan


melaksanakan sistem keselamatan komprehensif yang dapat
memenuhi persyaratan proses Sertifikasi ICAO (Dokumen
ICAO No. 9774 AN/969), berikut prakarsa keamanan yang
kompatibel. Meskipun jelas ada kebutuhan akan teknologi dan
proses keamanan yang ultra modern, tujuan terpenting dalam
hal ini tetaplah penciptaan budaya kerja yang menekankan
keselamatan dan upaya terus-menerus untuk meningkatkan
keselamatan tersebut.

Satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah Pengambilan


Keputusan secara Kolaboratif (CDM, Collaborative DecisionMaking). CDM menetapkan prosedur yang memungkinkan
pertukaran informasi dan kerja sama yang lebih terbuka
dan efisien. CDM dapat meningkatkan efisiensi kegiatan
operasional di bandara, khususnya pada urutan langkah
sebelum keberangkatan. Peningkatan efisiensi operasional
akibat pendekatan kolaboratif juga akan berdampak baik bagi
lingkungan hidup.

Keberlanjutan terkait erat dengan pemahaman dan


penyeimbangan visi, tujuan, dan kebutuhan semua
pemangku kepentingan. Sebab itu penting mengambil sudut
pandang holistik pada saat menyusun sistem infrastruktur
untuk masa depan. Strategi berimbang yang benar-benar
mempertimbangkan bobot kepentingan setara antara dampak
lingkungan, efektifitas dan kapasitas, serta keselamatan dan
keamanan, merupakan dasar bagi pembangunan infrastruktur
yang berkelanjutan secara jangka panjang.

Keselamatan dan Keamanan


Faktor terpenting untuk membangun dan menjaga kepercayaan
dalam sistem angkutan udara adalah keselamatan dan
keamanan. Secara terpadu, dua faktor ini membentuk dasar
penting bagi pengembangan prakarsa dan merupakan dasar
pewujudan semua manfaat ekonomi dan sosial di dalam sistem
angkutan udara.
Tantangan terbesar terletak pada pengenalan permasalahan
utama di bidang keselamatan dan keamanan. Berbagai solusi
dapat ditemukan dalam sistem manajemen keselamatan dan
sistem manajemen keamanan sebagaimana dimandatkan oleh
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO, International
Civil Aviation Organization). Sistem-sistem ini harus berisi uraian
tentang kebijakan bandara, bagaimana sistem keselamatan dan
keamanan disusun, peran dan tanggung jawab personel yang
berbeda-beda, sasaran kinerja, dan rencana untuk memantau
sasaran tersebut. Selanjutnya, perlu ada uraian juga tentang
cara melaksanakan dan mempertahankan sistem tersebut.

Kesimpulan

Tentang Penulis:
Natanael Ljung memiliki gelar Master of Science in Civil
Engineering dan saat ini adalah konsultan senior bandara
pada LFV Aviation Consulting. Ia berpengalaman lebih dari
15 tahun di bidang perencanaan bandara, perancangan
bandara, dan pengoperasiannya, termasuk logistik terminal
dan penanganan bagasi, sistem manajemen keselamatan,
prakiraan lalu lintas, dan proyek lingkungan hidup. Selain itu,
ia pernah bekerja selama lebih dari 18 bulan sebagai Manajer
Operasi di Norrkping Airport, Swedia.
Secara internasional, ia pernah bekerja di sejumlah
negara Eropa dan Afrika. Dari tahun 2006 hingga 2008, ia
memimpin tim yang menyediakan dukungan pada Erbil
International Airport di Kurdistan, Irak. Ia juga pernah terlibat
dalam beberapa proyek di Indonesia, di antaranya Proyek
Pembangunan Bandara Bali dimana ia menjadi ketua tim. Ia
juga turut serta dalam penyelidikan tentang kesiapan tujuh
bandara Indonesia dalam rangka pelaksanaan perjanjian Open
Skies.

CATATAN
1. Apron adalah bagian dari bandara yang digunakan sebagai tempat naik turunnya penumpang, bongkar muat barang, pengisian
BBM, perbaikan, perawatan, dan parkirnya pesawat udara; serta semua pergerakan pesawat udara, kendaraan, dan pejalan kaki yang
dibutuhkan untuk keperluan tersebut. Sumber: http://aviationglossary.com/
Prakarsa Compendium | Jilid 2

66

POIN-POIN UTAMA
Artikel ini membahas tiga topik yang terkait dengan peningkatan sistem manajemen lalu
lintas udara (ATM, Air Traffic Management) Indonesia: kebijakan dan peraturan, sumber daya
manusia, serta infrastruktur.
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (Ditjen Perhubungan Udara) merupakan pembuat
kebijakan/regulator. Menurut Cetak Biru Ditjen Perhubungan Udara untuk periode 2010
2014, pengembangan kebijakan Ditjen Perhubungan Udara mengenai ATM akan berfokus pada
tiga persoalan utama: penyelarasan Wilayah Informasi Penerbangan (FIR, flight information
region) Ujung Pandang dan Jakarta; pengembangan arus lalu lintas udara, dan manajemen
sesuai dengan strategi regional Asia-Pasifik. Tidak semua langkah yang diuraikan dalam Cetak
Biru 20052009 tersebut lengkap, yang berpengaruh pada kemajuan selanjutnya. Akan tetapi,
sejumlah peraturan teknis terkait keselamatan telah dibuat beserta dokumen-dokumen terkait
seperti manual standar. Ditjen Perhubungan Udara) sekarang harus mengalihkan perhatiannya
pada pembuatan kebijakan dan rekomendasi yang diperlukan agar sesuai dengan perubahan
yang akan segera dibuat, yang direncanakan pada bulan November 2012, atas format rencana
penerbangan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO, International Civil Aviation
Organisation).
Sumber daya manusia merupakan bagian yang sangat penting dalam penyediaan layanan
berkualitas. Ditjen Perhubungan Udara harus menentukan seberapa banyak pemandu lalu
lintas udara (ATC, air traffic controllers) yang akan diperlukannya di waktu yang akan datang
berdasarkan perkiraan pertumbuhan dan kapasitas ruang udara/bandara, dan menyesuaikan
kebijakan mengenai rekrutmen, pendidikan, dan pelatihan. Semangat bekerja para pekerja
terkait dengan usulan perubahan atas struktur ATM juga harus diperhatikan.
Penyediaan infrastruktur fisik harus didahului dengan pembuatan kebijakan dan konsep
operasional yang tepat. Secara umum, infrastruktur pelayanan ATM di Indonesia sudah
kuno (obsolete), baik dalam hal teknologi maupun kebutuhan operasional. Teknologi radar
pengawasan sekunder (SSR, secondary surveillance radar) mulai digunakan namun perlu
dilengkapi dengan konsep operasi yang komprehensif mengenai bagaimana kemampuan
pengawasan tersebut dapat dalam digunakan dalam penyediaan layanan ATM. Teknologi
Automatic Dependent Surveillance/Broadcast (ADS/B) telah diuji coba tetapi belum
diimplementasikan. Ada baiknya Ditjen Perhubungan Udara mengkaji ulang pemanfaatan
teknologi ADS/B dalam kerangka pelayanan ATM, dengan memperhatikan saran-saran dari
ICAO dan melihat langkah-langkah persiapan yang telah dilakukan oleh negara-negara
tetangga seperti Singapura dan Australia.

Transportasi Udara

Manajemen Lalu Lintas


Udara Indonesia Menuju
ASEAN Open Skies
Kondisi kebijakan dan peraturan, infrastruktur, serta sumber
daya manusia harus dalam keadaan yang layak apabila Indonesia
ingin mendapatkan manfaat dari Open Skies.
Oleh Novaro Martodihardjo

Perjanjian ASEAN Open Skies akan diberlakukan di


kawasan ini pada tahun 2015. (Untuk sejumlah informasi
mendetail tentang sifat khusus perjanjian ini silahkan
baca Open Skies dan Maskapai Penerbangan Indonesia
pada halaman 57.) Pemerintah Indonesia secara umum
mendukung kebijakan ini. Namun, sebagaimana yang
biasanya terjadi dengan setiap prakarsa penting,
pendapat mengenai hal ini cukup bervariasi. Dalam
berbagai seminar yang diselenggarakan khusus tentang
topik ini, Pemerintah Indonesia mengakui adanya
kebutuhan untuk mempersiapkan diri menghadapi
globalisasi, termasuk di bidang angkutan udara. Di
lain pihak, para operator penerbangan Indonesia
mengungkapkan kekhawatiran tentang bagaimana
dampak Open Skies bagi mereka.
Kebijakan Open Skies ASEAN harus dilihat dari semua
aspek yang berkaitan dengan transportasi udara,
mulai dari masalah keamanan, keselamatan, efisiensi,
pelayanan, dan tentu saja finansial dimana satu

dengan lainnya berkaitan. Penting untuk memastikan


bahwa industri transportasi udara domestik siap untuk
beroperasi dalam pasar yang bersaing dan menarik
keuntungan dari manfaat potensial yang ditawarkan
Open Skies.
Mengutip tulisan Airport Council International,
pertumbuhan pergerakan pesawat terbang (komersial
maupun non-komersial) di seluruh dunia akan naik ratarata 2 persen per tahun. Malah menurut studi yang
dilakukan oleh Japan Aircraft Development Corporation
untuk kawasan Asia dapat mencapai 6 persen per tahun,
suatu nilai yang fantastis.
Dengan pertumbuhan seperti itu maka lalu lintas
penerbangan di ruang udara dan koridor udara
(aerodrome) akan meningkat sehingga perlu diantisipasi
dengan baik agar keterlambatan darat dan penerbangan
(ground and airborne delay) dapat ditekan dan
kelancaran dapat ditingkatkan.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

68

69

Manajemen Lalu Lintas Udara Indonesia Menuju ASEAN Open Skies

ASEAN Open Skies


Pada artikel ini, penulis akan menyoroti kesiapan
keselamatan penerbangan, secara spesifik masalah
manajemen navigasi penerbangan sipil menuju
penerapan ASEAN Open Skies di Indonesia.
Manajemen lalu lintas udara (ATM, Air Traffic
Management) adalah suatu pelayanan dari layanan
navigasi udara (air navigation services) yang disediakan
untuk memperlancar dan melakukan efisiensi operasi
penerbangan mulai dari bandar udara keberangkatan
hingga tiba di bandar udara tujuan. Tentu saja aspek
standar keselamatan penerbangan tetap diutamakan.
Pelayanan ATM yang diberikan harus setara antara
penerbangan domestik dan penerbangan internasional di
seluruh ruang udara yang disediakan untuk penerbangan
sipil. Dan oleh sebab itu hampir semua persyaratan
pelayanan yang disediakan berdasarkan kesepakatan
internasional dalam hal ini Organisasi Penerbangan
Sipil Internasional (ICAO, International Civil Aviation
Organization).
Laporan pergerakan lalu lintas penerbangan di bandar
udara Soekarno-Hatta untuk tahun 2010 sekitar 1 hingga
2 persen per tahun. Dengan berlakunya ASEAN Open Skies
pada tahun 2015 dapat diperkirakan bahwa lalu lintas
penerbangan di Wilayah Informasi Penerbangan (FIR,
flight information region) Jakarta dan Ujung Pandang
dan khususnya di lima koridor udara utama, Jakarta,
Medan, Surabaya, Bali dan Makassar akan meningkat.
(Lihat Lalu Lintas Bertumbuh, Kebutuhan Bertumbuh
di halaman 37 buku ini untuk informasi lebih lanjut
mengenai perkiraan pertumbuhan permintaan terhadap
transportasi udara.)

Air Traffic Management


Singkatan CNS seringkali dipakai dalam diskusi
mengenai penerbangan. CNS merupakan kependekan
dari Communication, Navigation, and Surveillance
(Komunikasi, Navigasi, dan Pengawasan). Secara mudah
unsur CNS sendiri dapat diartikan sebagai penyediaan

Prakarsa Compendium | Jilid 2

infrastruktur dalam rangka pelayanan ATM. Sedangkan


ATM terdiri dari tiga unsur pelayanan: manajemen
ruang udara (airspace management), pengendalian
ruang udara (air traffic control), dan manajemen arus
lalu lintas udara (air traffic flow management). ATM
mempunyai peran kunci dalam rangka kelancaran dan
efisiensi operasi penerbangan.
Di ruang udara Indonesia kawasan barat diprediksi
akan menerima beban lalu lintas penerbangan yang
lebih besar dari kawasan bagian timur, karena memang
lokasi bandar udara utama di kawasan ASEAN berada
di utara Indonesia, seperti Singapura, Kuala Lumpur,
dan Bangkok. Singapura merupakan titik distribusi bagi
penerbangan dari kawasan ASEAN menuju/dari bandar
udara utama di Indonesia maupun penerbangan ke/dari
Australia dan New Zealand.

Kesiapan
Melalui tulisan ini ada tiga fokus utama yang disampaikan,
yaitu: kebijakan dan peraturan, sumber daya manusia,
infrastruktur yang materinya berasal dari dokumentasi
yang tersedia dari Ditjen Perhubungan Udara serta
observasi penerapannya di lapangan.
Jika kita membicarakan masalah ATM, maka tentu tidak
terlepas dari Ditjen Perhubungan Udara sebagai pembuat
kebijakan (policy maker) serta regulator, PT Angkasa
Pura I (Persero) sebagai penyedia layanan (service
provider) untuk FIR Ujung Pandang, dan PT Angkasa Pura
II (Persero) sebagai penyedia layanan untuk FIR Jakarta.
Gambaran kesiapan Ditjen Perhubungan Udara sebagai
pembuat kebijakan/regulator dalam menghadapi ASEAN
Open Skies Policy dapat dilihat dalam buku Cetak Biru
(Blueprint) Direktorat Jenderal Perhubungan Udara
20052024 pada BAB VI yang menjelaskan periode
demi periode rancangan kegiatan transportasi udara.
Sedangkan kegiatan yang disusun oleh penyedia layanan
tentu perlu menyesuaikan. Mari kita kaji kebijakan dan
peraturan, sumber daya manusia, serta infrastruktur
berdasarkan Cetak Biru tersebut.

Transportasi Udara

Direktorat Jenderal Perhubungan Udara sedang meningkatkan manajemen


lalu lintas udara Indonesia untuk mengantisipasi peningkatan lalu lintas
akibat Open Skies.

Kebijakan dan Peraturan


Menurut Cetak Biru pada periode 20102014 arah
kebijakan Ditjen Perhubungan Udara tentang ATM ada tiga
hal utama, yaitu: harmonisasi dua FIR, pengembangan
air traffic flow, dan manajemen sesuai Strategi Regional
(Asia-Pasifik). Sedangkan arah kebijakan 20152019
tidak cukup mengindikasikan adanya lanjutan kegiatan

Atas perkenan Garuda Indonesia

periode sebelumnya. Padahal baik periode 20102014


maupun periode 20152019 adalah periode penting
dalam implementasi ASEAN Open Skies.
Ada baiknya kita melihat hingga akhir tahun 2011 ini
apakah ada indikasi bahwa ada persiapan cukup untuk
mengantisipasi ASEAN Open Skies. Kebijakan Ditjen

Prakarsa Compendium | Jilid 2

70

71

Manajemen Lalu Lintas Udara Indonesia Menuju ASEAN Open Skies

Perhubungan Udara periode 20052009 sebenarnya


telah diarahkan kepada masalah ATM dengan lebih baik,
seperti rencana penyusunan sistem manajemen arus
lalu lintas udara yang tersentralisasi (centralized ATFM
system). Namun belum tampak adanya realisasi, dan itu
tentu saja menjadi tidak sejalan dengan rencana periode
selanjutnya.
Pada periode tahun 20092010, Ditjen Perhubungan
Udara menerbitkan beberapa peraturan teknis yang
terkait dengan ATM yang dituangkan dalam Peraturan
Keselamatan Penerbangan Sipil (CASR, Civil Aviation
Safety Regulation) seperti misalnya CASR Part 69, CASR
Part 91, CASR Part 170, CASR Part 171, CASR Part 172,
CASR Part 174 beserta beberapa dokumen turunannya
dalam bentuk Manual of Standards (MOS).
Arahan teknis implementasi ATM sesungguhnya telah
dengan cukup baik dituangkan dalam CASR Part 170
beserta MOS-nya, namun belum sepenuhnya dapat
terlaksana di lapangan.
Di samping kebijakan dan peraturan tersebut diatas ada
satu peraturan internasional (international regulation)
yang sangat penting yang akan diimplementasikan yaitu,
hasil sidang 19th Asia/Pacific Air Navigation Planning
and Implementation Regional Group (atau Kelompok
Regional Perencanaan dan Implementasi Navigasi
Udara Asia/Pasifik ke-19) pada September tahun 2008
yang antara lain memahami dan menyepakati adanya
Amandemen ke-1 atas Edisi ke-15 dari Procedure for Air
Navigation Services Air Traffic Management (PANSATM Doc.4444).
Pada intinya Amandemen ke-1 ini adalah perubahan
format ICAO flight plan.
Flight plan adalah rencana penerbangan yang
disampaikan oleh operator pesawat udara/airlines
kepada pemberi pelayanan ATM antara lain berisi
rencana waktu keberangkatan (tanggal, bulan, tahun,
serta jam), tujuan, rencana jalur penerbangan yang
dipilih, dan waktu dijadwalkan tiba di tujuan.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Dengan informasi tersebut di atas, maka penyedia


layanan ATM dapat melakukan perencanaan yang baik
dan mengetahui apakah akan terjadi hambatan (misalnya
penundaan) pada waktu dan lokasi tertentu (di bandar
udara tujuan maupun bandar udara keberangkatan).
Dengan jumlah lalu lintas penerbangan yang kelak
cenderung meningkat, apalagi dengan adanya kebijakan
ASEAN Open Skies maka flight plan menjadi sangat
penting dalam mengelola lalu lintas penerbangan secara
strategis dan teknis.
Memperhatikan bahwa implementasi Amandemen ke-1
ini akan dilaksanakan pada bulan November 2012 dapat
berpengaruh pada ATM dan operasi penerbangan dari
airlines/operator lainnya maka Ditjen Perhubungan
Udara perlu kiranya segera menetapkan kebijakan dan
peraturan yang terkait, dan PT Angkasa Pura I serta
PT Angkasa Pura II harus melakukan antisipasi dalam
operasionalnya.

Sumber Daya Manusia


Kita pahami bersama bahwa dalam penyedia layanan,
kualitas layanan sangat bergantung pada kualitas sumber
daya manusia sebagaimana pepatah lama mengatakan
its the man behind the gun who does the work (bukan
alat yang penting, tapi orang yang menggunakan alat
tersebut) disamping adanya kuantitas sumber daya
manusia yang memadai.
Menjadi agak sukar untuk mengetahui kebutuhan
sumber daya yang dibutuhkan jika kebijakan ATM belum
ditetapkan. Misalnya untuk antisipasi ASEAN Open
Skies, maka terlebih dahulu perlu ditetapkan perkiraan
pertumbuhan tahunan serta kapasitas dari masingmasing ruang udara dan koridor udara. Perlu ditetapkan
perubahan apa yang perlu diterapkan, bagaimana
perubahan tersebut akan diterapkan, dan kapan akan
dilaksanakan.
Untuk menjadikan seseorang yang memiliki kecakapan
lapangan yang mencukupi dalam melakukan pekerjaan
sebagai pemandu lalu lintas udara (air traffic controller),

Transportasi Udara

dibutuhkan waktu minimal tiga tahun secara terusmenerus. Hal ini perlu selalu menjadi pertimbangan
dalam penyediaan sumber daya manusia.
Untuk memproyeksikan secara tepat jumlah pemandu
lalu lintas udara yang akan diperlukan dalam tiga tahun
mendatang, maka selanjutnya perlu dilakukan pendataan
ulang untuk data terkait, dan Ditjen Perhubungan Udara
perlu menyesuaikan kebijakan sistem perekrutan,
serta pendidikan dan pelatihan, dan tentu penyediaan
sarana pendidikan, termasuk pengajar yang memiliki
pengalaman lapangan yang baik dan cukup. Semangat
kerja para karyawan juga penting. Perubahan dalam
struktur ATM yang diusulkan akan berdampak pada para
karyawan, dan ini tidak boleh diabaikan.

Infrastruktur
Infrastruktur menjadi hal yang sangat menarik perhatian
di antara kalangan tertentu untuk memperlihatkan
kemampuan atas ketersediaan fasilitas yang seringkali
tidak didahului dengan kebijakan dan konsep operasi.
Secara garis besar infrastruktur untuk pelayanan ATM
di Indonesia sudah kuno (obsolete) baik dari sudut
teknologi maupun kebutuhan operasional. Sistem
Otomatis Lalu Lintas Udara Jakarta (JAATS, Jakarta
Automated Air Traffic Control System) sudah benarbenar obsolete sedangkan Sistem Otomatis Lalu Lintas
Udara Jakarta (MAATS, Makassar Automated Air Traffic
Control System) sudah masuk usia obsolete.
Beberapa radar pengawasan sekunder (SSR, secondary
surveillance radar) telah dan sedang dibangun kawasan
FIR Ujung Pandang dan satu unit di FIR Jakarta, namun
sesungguhnya bukan hanya itu yang dibutuhkan. SSR
perlu dilengkapi dengan konsep operasi yang jelas
bagaimana kemampuan pengawasan yang telah tersedia
tersebut dapat dimanfaatkan dalam pelayanan ATM.
Dalam Cetak Biru Ditjen Perhubungan Udara periode 2005
2009 dilakukan uji coba teknologi Automatic Dependent
Surveillance-Broadcast (ADS/B) untuk pengawasan.
Periode 20102015 memerlukan pemanfaatan ADS/B

untuk pelayanan di kawasan area pengatur terminal


(TMA, terminal maneuvering area atau terminal control
area) yang jumlah lalu lintas penerbangannya rendah,
namun implementasi lanjutannya tidak ada. (Untuk
pengenalan terhadap teknologi ADS/B, silahkan baca
Infrastruktur Penerbangan: Tinjauan ke Masa Depan
pada halaman 47.)
Ada baiknya Ditjen Perhubungan Udara mengkaji ulang
pemanfaatan teknologi ADS/B dalam rangka pelayanan
ATM dengan memperhatikan apa yang telah disarankan
oleh ICAO serta melihat langkah-langkah persiapan yang
dilakukan negara-negara tetangga, seperti Singapura
dan Australia.
Kombinasi pemanfaatan radar dan ADS/B dapat
meningkatkan kebutuhan daya tampung ruang udara
yang pasti dibutuhkan dalam rangka implementasi
ASEAN Open Skies dan kelanjutannya.
Penyediaan infrastruktur ATM harus selalu mengacu
kepada Amandemen 1 dari 15th Edition of ICAO PANSATM Doc.4444 serta petunjuk teknis (technical guidance)
lainnya.

Menuju Open Skies


Penerapan Open Skies tinggal tiga tahun ke depan dan
dapat dipastikan jumlah lalu lintas penerbangan secara
perlahan akan meningkat di ruang udara dan lima
bandar udara utama. Apabila upaya sungguh-sungguh
tidak dilakukan, maka kapasitas ruang udara dan
bandar udara segera kelebihan kapasitas (over capacity)
yang pada akhirnya akan menyebabkan meningkatnya
keterlambatan di darat dan ruang udara (ground and
airborne delay), sehingga kelancaran serta efisiensi
operasi penerbangan akan terganggu.
Pada bagian akhir ini disampaikan beberapa saran yang
mudah-mudahan bermanfaat:
1. Ditjen Perhubungan Udara harus benar-benar
melakukan fungsinya sebagai pembuat kebijakan
dan regulator.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

72

73

Manajemen Lalu Lintas Udara Indonesia Menuju ASEAN Open Skies

2. PT Angkasa Pura I dan PT Angkasa Pura II harus lebih


fokus dalam pelayanan navigasi penerbangan (CNS/
ATM) disamping pelayanan bandar udara.
3. Ditjen Perhubungan Udara harus segera menyusun
kebijakan dan peraturan berkaitan dengan
Amandemen 1 dari 15th Edition of ICAO PANS-ATM
Doc.4444.
4. Lakukan pengkajian terhadap semua CASR yang
terkait dengan ATM.
5. Ditjen Perhubungan Udara, bersama dengan semua
pemangku kepentingan dalam navigasi udara segera
menyusun konsep operasi yang berfokus kepada
pelayanan ATM.
6. Lakukan pengkajian terhadap semua kebijakan
penyediaan sumber daya manusia yang akan dan
sedang bekerja dalam ATM.

7. Segera melakukan penggantian semua infrastruktur


yang
sudah
obsolete
dan
memanfaatkan
infrastruktur pengawasan yang masih relatif baru
untuk kepentingan kelancaran dan efisiensi operasi
penerbangan.
Mengikuti serta memperhatikan keadaan ATM di tanah air
saat ini memang dapat dikatakan kesiapan menghadapi
Open Skies masih kedodoran, namun tidak menjadi
malapetaka bagi industri transportasi Indonesia apabila
semua kalangan memahami what will be the objectives
and how to achieve better ATM service (apa yang akan
menjadi tujuan dan bagaimana cara mencapai pelayanan
ATM yang lebih baik).

Tentang Penulis:
Novaro Martodihardjo adalah seorang Konsultan Manajemen
Lalu Lintas Udara (Air Traffic Management) yang pensiun dari PT
Angkasa Pura II pada tahun 2007, di mana ia menjabat sebagai
Wakil Presiden Pelayanan Lalu Lintas Udara sejak tahun 2001.
Ia memiliki 32 tahun pengalaman di bidang manajemen lalu
lintas udara, dan mengawali karirnya sebagai seorang pemandu
lalu lintas udara (ATC, air traffic controller) pada tahun 1973
di Pengawas Koridor Udara (Aerodrome Controller) di Bandara
Kemayoran dan Halim Perdanakusuma. Ia mendapatkan
kualifikasi sebagai Pengendali Radar Pengatur Pendaratan
(Approach Radar Controller) dan menjadi Penyelia Operasional
(Operational Supervisor) pada tahun 1977.
Keterlibatannya dalam Sistem Otomasi Kendali Lalu Lintas Udara
(Air Traffic Control Automation Radar System) diawali ketika
ia ikut serta dalam Pelatihan ATC Automation di Luxemburg
pada tahun 1981. Ia menjabat sebagai Instruktur Radar ATC
di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia di Curug selama dua
tahun. Selain bekerja di bidang operasional ATC di Bandara
Cengkareng dan Halim Perdanakusuma sebagai Pengendali
Radar Pengatur Pendaratan, Novaro juga ditugaskan ke dalam
Tim Pameran Terbang Dinamis di Indonesia Air Show pertama
pada tahun 1986. Ia juga terlibat dalam Pelatihan Pengelolaan
Arus Lalu Lintas Nasional (National Air Traffic Flow Management

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Training) tahun 1992, dan menerapkan pengetahuannya akan


pengelolaan arus tersebut saat KTT Non-Blok di Jakarta. Ia juga
terlibat dalam proyek pembangunan bandara Cengkareng di
bidang jasa penerbangan.
Pengetahuan dan pengalamannya dalam otomatisasi
manajemen lalu lintas udara (Air Traffic Management
automation) semakin meningkat, setelah keikutsertaannya
dalam pelatihan Aircat 500 di Mudon, Perancis, bersama
perusahaan sistem elektronik Thales Group. Pada tahun 1993,
ia terlibat dalam proyek peremajaan Aircat 500. Novaro juga
terlibat aktif di Kesepakatan Y2K Manajemen Lalu Lintas Udara
ICAO (ICAO Air Traffic Management Y2K Compliance) sebagai
koordinator Indonesia antara tahun 19982000. Ia ikut serta
dalam Pertemuan Koordinasi Informal ATS Indonesia-Australia
antara tahun 19762006.
Selepas pensiun, Novaro pernah bekerja sebagai konsultan
manajemen lalu lintas udara untuk Kesiapan Penerapan
Automatic Dependent Surveillance-Broadcast (ADS/B) dan
proyek lain seperti Tim Transformasi Penerbangan Sipil, di mana
selama tiga bulan terakhir, ia terlibat dalam pengembangan
Rencana Induk ATM Indonesia.

Transportasi Udara dalam Angka

Transportasi Udara
dalam angka
99%

Adalah persentase pengunjung yang singgah


di Indonesia melalui bandara Ngurah Rai di Bali.

24

Jumlah bandara baru yang akan dibangun oleh


Pemerintah Indonesia pada tahun 2012.

23

Peringkat Bandara Soekarno-Hatta Jakarta


menurut luas, di antara semua bandara di dunia.

24%

Pangsa Indonesia dalam jumlah


armada pesawat udara ASEAN.

21%

Pangsa Indonesia dalam jumlah kapasitas kursi penumpang pesawat udara di


ASEAN. Kenyataan bahwa pangsa kapasitas kursi penumpang lebih kecil dari
pangsa pesawat udara mencerminkan fakta bahwa perusahaan penerbangan
Indonesia menggunakan pesawat yang lebih kecil dibandingkan perusahaan
di Thailand, Singapura, dan Malaysia.

62

Jumlah penumpang yang sesuai rancangan dapat ditampung di Bandara


Soekarno-Hatta setelah perluasan yang direncanakan antara saat ini hingga
tahun 2014. Kapasitas saat ini adalah 22 juta, meskipun dalam kenyataannya
menangani 44 juta setiap tahun. Sampai tahun 2025, permintaan
diperkirakan akan meningkat hingga 87 juta penumpang setahun.

juta/tahun

74

75

Pandangan Para Ahli

Pandangan Para Ahli


Pertanyaan:

Prakarsa penting apa sajakah yang telah dilakukan oleh Direktorat


Jenderal Perhubungan Udara untuk meningkatkan sektor
transportasi udara di Indonesia? Menurut Anda, sejauh mana dan
seperti apakah dampaknya dalam 5 10 tahun mendatang, terutama
menyangkut faktor keselamatan dalam transportasi udara?

Edward A. Silooy
Direktur Angkutan Udara, Direktorat Perhubungan Udara
Kementerian Perhubungan Republik Indonesia
Sejak adanya regulasi mengenai transportasi udara dalam UU No. 1/2009 yang telah sesuai dengan standar ICAO
(International Civil Aviation Organization), Direktorat Angkutan Udara mengawasi pelaksanaan peraturan tersebut
dengan ketat. Kami memperhatikan berbagai macam aspek terkait perlindungan konsumen penerbangan, mulai dari
masalah keselamatan, keamanan, maupun soal pelayanan, dan kami juga mengawasi hak dan kewajiban perusahaan
penerbangan, termasuk mengatur soal pelayanan, pengaturan slot waktu terbang, hingga tarif. Pengawasan ini
kami lakukan melalui 10 otoritas bandara di 10 wilayah Indonesia yang memang berfungsi sebagai pengawas
peraturan tersebut. Direktorat kami juga memperketat izin suatu rute dengan betul-betul memperhatikan apakah
perusahaan penerbangan yang bersangkutan sudah memenuhi semua fasilitas keamanan penerbangan yang
dipersyaratkan. Hal ini kami lakukan untuk menjaga keselamatan. Langkah lainnya adalah dengan mengupayakan
OTP (On time performance), kami membentuk IDSC (Indonesia Slot Coordinator) yang merupakan unit independen
untuk mengatur slot penerbangan selama enam bulan. Langkah ini untuk meningkatkan keselamatan, namun
juga berefek ganda, seperti memberikan keuntungan dalam segi lingkungan maupun ekonomi. Dalam lima hingga
sepuluh tahun mendatang, saya pikir langkah-langkah yang dilakukan oleh direktorat angkutan udara akan
berdampak sangat positif. Dari aspek politik keterhubungan, satu daerah dengan daerah yang lain akan semakin
dekat sehingga menyatukan rakyat Indonesia sebagai bangsa. Selain itu, perusahaan penerbangan domestik juga
akan semakin siap menghadapi kebijakan open sky internasional dengan memiliki standar kualitas yang setara
dengan perusahaan penerbangan internasional. Terkait dengan masalah keselamatan penumpang, tentu kami
mengharapkan angka kecelakaan seminimal mungkin, yang tentu saja hal ini bisa kita capai bila kita menjalankan
aturan dengan disiplin.

Transportasi Udara

Arfiyanti Samad
Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Udara,
Kementerian Perhubungan Republik Indonesia
UU 1/2009 tentang penerbangan mengamanatkan bahwa penerbangan dikuasai oleh negara dan pembinaannya
dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Sebagai anggota ICAO
(International Civil Aviation Organization) sejak 1963, penyelenggaraan penerbangan di Indonesia mengacu pada
ICAO CASR (Civil Aviation Safety Regulations) serta SARP (Standard and Recommended Practices), dan ICAO secara
berkala melaksanakan audit terhadap penerapannya.
Prakarsa-prakarsa penting yang telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (DJU) yang diharapkan
berdampak pada meningkatnya keselamatan penerbangan dan meningkatnya kepercayaan dunia internasional
antara lain:
Ditetapkannya Program Keselamatan Penerbangan Nasional sebagai bentuk penerapan SMS (Safety
Management System);
Ditetapkannya Program Keamanan Penerbangan Nasional serta Komite Nasional Keamanan Penerbangan;
Dibentuknya Air Navigation Single Provider serta Tatanan Navigasi Penerbangan Nasional (saat ini tengah
dalam proses finalisasi);
Dibentuknya 10 kantor Otoritas Bandara sebagai perpanjangan tangan DJU dalam melaksanakan pengawasan
dan pengendalian atas diterapkannya ketentuan dan peraturan penerbangan di seluruh wilayah Indonesia;
Dijalinnya kerjasama internasional dalam rangka capacity building SDM penerbangan.

76

Pembangunan
Pelabuhan
Edisi 10, April 2012

Memberdayakan Kembali Manajemen


Pelabuhan di Indonesia
Mempercepat Pemindahan, Mengurangi Masalah:
Mempersingkat Waktu Tunggu (Dwell Time) Peti Kemas
Persaingan Pelabuhan dan Kebutuhan
untuk Mengatur Perilaku Anti-Persaingan
Mendidik Bangsa Bahari
Tenaga Kerja di Pelabuhan Indonesia: Peran Koperasi
Pandangan Seorang Direktur

POIN-POIN UTAMA
Upaya reformasi yang saat ini sedang berjalan di sektor pelabuhan Indonesia sangat diperlukan
agar pelabuhan dapat memberikan kontribusi sebesar-besarnya pada pertumbuhan ekonomi
Indonesia. BUMN pelabuhan belum dapat beroperasi dengan efisiensi maksimal atau
berinisiatif untuk membangun pelabuhan hub internasional. Administrasi, pengelola dan
calon investor pelabuhan dihadapkan kepada tidak adanya kepastian usaha dan hukum.
Oleh karena peran pelabuhan dalam perekonomian dunia terus berkembang, upaya untuk
mengatasi masalah tersebut menjadi semakin mendesak. Semakin dramatisnya peningkatan
aliran peti kemas dan kargo curah, memerlukan pembangunan dan investasi baru.
Satu-satunya cara untuk maju adalah pemberdayaan kembali perubahan kebijakan secara
radikal, transformasi SDM, dan sinergi manajemen. Harus ada pemisahan yang tegas antara
fungsi regulasi (yang didelegasikan kepada otoritas pelabuhan) dan fungsi pengelola (yang
dijalankan oleh entitas bisnis pelabuhan).
Kunci utama untuk keberhasilan transisi adalah konsistensi, transparansi dan kesamaan
persepsi di antara para pemangku kepentingan. Selain itu, mengkaji masalah-masalah
yang pernah terjadi dimasa lalu sangat diperlukan, seperti misalnya kegagalan untuk
mempertahankan KPS dalam pembangunan pelabuhan di Batam, sehingga dapat dipetik
pelajaran dari pengalaman tersebut. Keberhasilan pelaksanaan proyek percontohan yang
menggunakan KPS adalah hal yang sangat penting.
Pengembangan SDM adalah komponen yang sangat penting dalam proses pemberdayaan
kembali. Pengelolaan pelabuhan memerlukan berbagai keahlian khusus untuk memastikan
perencanaan dan pelaksanaan yang tepat terkait aspek tata ruang, konstruksi teknis,
keselamatan, pembiayaan, kegiatan operasi, dan integrasi dengan sektor lain. Pengembangan
SDM yang kompeten akan memastikan bahwa perubahan dilaksanakan dengan cara yang
aman dan sesuai dengan peraturan.
Sebagai perkembangan pembangunan pelabuhan, industri-industri baru dapat tumbuh
di sekitar DLKR pelabuhan, di lokasi tersebut pusat-pusat layanan menawarkan paket
komprehensif untuk industri tertentu seperti kelapa sawit atau batubara. Pemerintah
pusat harus memegang peran pengendali dalam penentuan pelabuhan mana yang perlu
dikembangkan sebagai kawasan industri.

Pembangunan Pelabuhan

Memberdayakan Kembali
Manajemen Pelabuhan di
Indonesia
Upaya memberdayakan kembali pelabuhan sangat penting
untuk memastikan bahwa pelabuhan dapat memberikan seluruh
potensinya untuk berkontribusi dalam pembangunan Indonesia.
Agar berhasil, diperlukan proses transisi yang terencana dengan baik,
dengan penekanan pada pengembangan SDM dan klaster industri.
Oleh Sudjanadi Tjipto Sudarmo

Upaya reformasi yang sedang berlangsung saat ini di sektor


pelabuhan Indonesia sangat diperlukan. Pada masa lalu, sistem
pelabuhan nasional tidak dikelola dengan baik. Akibatnya,
pelabuhan belum dapat berkontribusi secara maksimal
terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pelabuhan di
Indonesia hanya berfungsi sebagai pelabuhan pengumpan
(feeder port). Data tahun 2009 menunjukkan bahwa setiap
tahun sekitar 90 persen kargo yang masuk dan keluar
Indonesia dialih-kapalkan melalui pelabuhan-pelabuhan hub
internasional yang berada di negara-negara tetangga.
Sejak didirikan pada tahun 1991, perusahaan pelabuhan milik
Negara (Pelindo I sampai IV) belum dapat beroperasi dengan
efisiensi maksimal atau berinisiatif membangun pelabuhan
hub internasional. Hal ini bukan sepenuhnya kesalahan
manajemen, karena setiap Pelindo tersebut harus melakukan
subsidi silang untuk kegiatan operasinya dan menghasilkan
laba dalam jumlah yang ditentukan sebagai kontribusi pada
pendapatan negara.
Selain itu, Pelindo harus beroperasi dengan standar beragam
yang ditetapkan oleh Kementerian BUMN dan Kementerian
Perhubungan. Akibatnya, timbul ketidakpastian usaha dan

ketidakpastian hukum bagi para petugas administrasi, manajer,


dan pengelola, serta calon investor pelabuhan. Penafsiran
yang beragam terhadap peraturan yang ada menyebabkan
munculnya pembebanan biaya tanpa adanya pelayanan.

Pertumbuhan Menimbulkan
Kondisi Mendesak
Kondisi tersebut cukup menjadi alasan untuk
melakukan tindakan meskipun dalam situasi yang statis,
apalagi peran pelabuhan dalam perekonomian terus
berkembang. Karena aliran kargo dunia terus meningkat
selama dekade terakhir, upaya untuk mereformasi dan
mengembangkan sektor pelabuhan Indonesia menjadi
semakin mendesak.
Berbagai kajian menunjukkan bahwa selama 20
tahun mendatang aliran peti kemas di Indonesia akan
meningkat secara dramatis, dari 8,8 juta TEU 1 pada tahun
2009 diperkirakan akan menjadi 30 juta TEU pada tahun
2020, dan 48 juta TEU pada tahun 2030. Kargo curah
kering dan cair diperkirakan akan meningkat sebesar 50
persen sepanjang dekade mendatang dan 50 persen lagi
mulai tahun 2020 sampai 2030.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

80

81

Memberdayakan Kembali Manajemen Pelabuhan di Indonesia

Sekurang-kurangnya 17 pelabuhan strategis memerlukan


pembangunan dan pengembangan terminal peti kemas.
Pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Belawan
memerlukan fasilitas baru dengan segera; pelabuhan lainnya,
seperti yang ada di Cilamaya, Banjarmasin, Pontianak, Batam,
Palembang dan Panjang, memerlukan pembangunan baru
dalam jangka waktu lima tahun mendatang.
Dengan adanya peningkatan aliran peti kemas, perlu dibangun
pelabuhan hub baru di kawasan timur dan barat Indonesia.
Pelabuhan seperti Kuala Tanjung dan Bitung dapat dijadikan
pilihan lokasi untuk pembangunan pelabuhan hub tersebut,
sepanjang kajian lebih lanjut menunjukkan bahwa hal ini sesuai
dengan permintaan pasar.

Pemberdayaan Kembali adalah Satu-Satunya


Jalan Maju
Mengingat besarnya investasi yang diperlukan, suatu visi
bersama tentang cara untuk maju menjadi sangat penting.
Sampai saat ini, para pemangku kepentingan terjebak
dalam diskusi dan perbedaan pendapat, dengan fokus pada
paradigma lama dan tujuan jangka pendek. Masing-masing
pemangku kepentingan memiliki penafsiran berbeda tentang
cara mendistribusikan kewenangan administratif, khususnya
terkait dengan semangat otonomi daerah. Namun, keputusan
untuk masa depan seharusnya tidak didasarkan pada keadaan
apakah pelabuhan tersebut dikelola di tingkat pemerintah
daerah, provinsi atau nasional. Keputusan harus bersifat
strategis, didasarkan pada potensi pelabuhan karena lokasi,
kesesuaian untuk melayani klaster industri, dan karakteristik
yang serupa sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap
pertumbuhan ekonomi.
Pendek kata, sistem pelabuhan perlu diberdayakan kembali.
Pemberdayaan kembali yang dimaksud disini adalah lebih
dari sekadar memunculkan beberapa gagasan baru. Hal ini
berarti perumusan kembali visi strategis, struktur dan prosedur
kelembagaan, serta penggunaan teknologi informasi. Ini
berarti mengubah budaya perusahaan dan mengembangkan
SDM. Singkatnya, pemberdayaan kembali terdiri atas tiga
elemen: perubahan radikal atas kebijakan, transformasi SDM,
dan sinergi manajemen.
Perubahan kebijakan yang radikal memerlukan beberapa
langkah, yaitu : (a) penentuan posisi untuk berubah; (b)
diagnosa terhadap proses-proses yang sedang berlaku; (c)

Prakarsa Compendium | Jilid 2

merancang kembali proses-proses baru yang lebih baik; dan


(d) peralihan menuju kebijakan baru. Dalam artikel singkat
ini, penulis akan mengupas langkah-langkah tersebut, dengan
fokus khusus pada cara untuk memastikan keberhasilan proses
peralihan dalam konteks pelabuhan Indonesia; pentingnya
pengembangan SDM; dan peran klaster industri.
Pertama, apa yang dimaksud dengan penentuan posisi terkait
dengan sistem pelabuhan nasional? Dalam hal ini berarti bahwa
pemerintah harus menentukan kembali perannya. Pemerintah
harus fokus pada pembuatan kebijakan dan peraturan yang
mendukung mekanisme pasar dan persaingan yang sehat.
Pemerintah harus menghindari intervensi langsung, serta
menjadi regulator dan wasit yang adil. Apabila mungkin,
pemerintah harus melakukan deregulasi, menghapuskan
monopoli terselubung, dan menentukan secara jelas
batas, fungsi dan kewenangan entitas pelabuhan, sehingga
meningkatkan kepastian usaha dan mendorong peran serta
swasta dalam investasi.
Langkah berikut dalam agenda pemberdayaan kembali adalah
mendiagnosa ketertinggalan industri layanan pelabuhan
di Indonesia melalui perbandingan dengan negara lain
dan memeriksa seberapa baik manajemen pelabuhan
diintegrasikan dengan bagian lain dari sistem manajemen
transportasi nasional, dibandingkan dengan negara lain.

Transisi Secara Hati-Hati


Dengan melakukan kedua langkah seperti yang telah
dijelaskan diatas, kita dapat menyusun visi yang jelas tentang
bagaimana semestinya bentuk sistem pelabuhan yang telah
diberdayakan kembali. Pertanyaannya adalah; bagaimana kita
dapat mencapainya? Prinsip kehati-hatian sangat diperlukan
dalam mendisain ulang berbagaiproses yang lebih baik dan
selama berlangsungnya proses transisi menuju kebijakan
baru. Perubahan harus dikomunikasikan secara tepat untuk
menghindari timbulnya resistensi dan persepsi bahwa sebuah
birokrasi baru akan menggantikan birokrasi yang lama.
Perubahan radikal dalam sistem pelabuhan yang telah
diberdayakan kembali adalah pemisahan yang jelas antara
fungsi regulasi (yang didelegasikan kepada otoritas pelabuhan)
dengan fungsi pengelolaan (yang diberikan kepada institusi
bisnis pelabuhan). Sampai saat ini, administrasi pelabuhan
yang masih dikelola oleh pemerintah melalui BUMN telah
menciptakan monopoli serta kebingungan dalam mengantisipasi

Pembangunan Pelabuhan

82

aliran barang dan perencanaan ke depan. Perubahan radikal


ini harus ditangani secara hati-hati karena otoritas pelabuhan
bertindak sebagai wakil pemerintah dan memikul tanggung
jawab yang sangat besar, antara lain dalam hal: memastikan
kelancaran aliran barang; menyediakan lahan dan kebutuhan
air bersih serta menerbitkan perizinan; memberikan jaminan
keamanan dan ketertiban di pelabuhan; menyusun beberapa
rencana induk pelabuhan; dan menentukan DLKR (Daerah
Lingkungan Kerja) dan DLKP (Daerah Lingkungan Kepentingan).
Kunci utama keberhasilan transisi menuju kebijakan baru
adalah konsistensi, tansparansi dan kesamaan persepsi para
pemangku kepentingan. Selain itu, setiap upaya harus dilakukan
dengan mengambil pelajaran dari kegagalan di masa lalu,
dan menerapkan proyek percontohan yang akan menghasilkan
model yang berhasil untuk masa depan.
Konsistensi sangat penting selama persiapan pemberlakuan
peraturan baru, dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan
Peraturan Menteri. Peraturan tersebut harus tertulis agar
tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Perbedaan
penafsiran yang berkepanjangan akan menimbulkan
ketidakpastian hukum dan memiliki konsekuensi hukum
yang luas dalam hal infrastruktur dan suprastruktur, SDM,
penyelesaian utang piutang, dan hal-hal lain yang terkait
dengan kerjasama dalam usaha jasa pelabuhan. Peraturan
tersebut tidak boleh ambigu sehingga otoritas pelabuhan dapat
menjamin hak dan kewajiban secara proporsional, adil dan
bebas dari monopoli, nepotisme, diskriminasi dan intervensi
politik.
Setiap pelabuhan memiliki karakteristik teknis yang berbedabeda yang akan mempengaruhi sistem operasi pelabuhan,
jumlah investasi yang dibutuhkan, dan biaya perawatan.
Setiap pelabuhan memiliki daerah datarannya masing-masing
dan akses ke saluran distribusi serta cakupan lintas provinsi.
Namun, peraturan harus secara konsisten diterapkan pada
semua pelabuhan untuk memotivasi para operator pelabuhan
dan menarik investasi.
Transparansi juga sangat penting bagi keberhasilan transisi.
Ini merupakan ukuran bisnis yang strategis untuk menarik
investor dan kerjasama bisnis. Peran serta swasta dalam bisnis
pelabuhan harus diarahkan kepada peningkatan kualitas
layanan serta efisiensi operasi, dan bukan hanya peningkatan
pendanaan investasi infrastruktur.

Pemandangan di pelabuhan Batam.


Pembangunan baru diperlukan di
pelabuhan ini dan juga di pelabuhanpelabuhan lain di Indonesia dalam jangka
waktu lima tahun ke depan.

Atas perkenan Annetly Ngabito

Pemberdayaan kembali pelabuhan bertujuan untuk


memastikan bahwa seluruh bangsa menikmati manfaatnya.
Hal ini menekankan pada perlunya kesamaan persepsi diantara
para pemangku kepentingan. Semua pihak harus menyepakati
dan mengikuti roadmap yang dituangkan dalam rencana tindak
terpadu dalam Rancangan Akhir Rencana Induk Pelabuhan
Nasional (RIPN) 2012 2030, yang saat ini sedang disebarkan
ke seluruh Indonesia. Rencana Tindak dalam RIPN mencakup
strategi yang menyoroti, secara terukur, perbaikan atas proses
hukum, operasional, SDM dan penggunaan teknologi. Selain
itu, Rencana Tindak tersebut juga menyoroti perencanaan
dan integrasi, menetapkan prioritas pengembangan, serta
mengamankan investasi swasta dan Kerjasama Pemerintah
Swasta (Public Private Partnership [KPS]). Kesamaan persepsi
tentang kriteria, norma dan standar sangat penting apabila para
pemangku kepentingan ingin sukses dalam mengoptimalkan
pelabuhan yang ada atau membangun pelabuhan baru,
membuat rencana induk untuk setiap pelabuhan, membangun
jaringan jalan dari pelabuhan ke kawasan industri dan
mematuhi rencana tata ruang nasional.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

83

Memberdayakan Kembali Manajemen Pelabuhan di Indonesia

Masalah-masalah yang terjadi di masa lalu perlu dikaji, seperti


misalnya kegagalan untuk mempertahankan KPS dalam
pembangunan pelabuhan di Batam, sehingga dapat dipetik
pelajaran dari pengalaman tersebut.

jika mereka belum melihat manfaat dari perubahan yang harus


mereka lakukan. Penjelasan yang komprehensif tentang hal
tersebut dapat meredam konflik yang mungkin timbul selama
proses transformasi.

Keberhasilan pelaksanaan proyek percontohan dengan


menggunakan KPS sangat penting. Pengembangan Terminal
Peti Kemas Kalibaru Tanjung Priok telah diidentifikasi sebagai
calon percontohan pelaksanaan KPS, yang akan dilanjutkan
di lokasi lain di kawasan timur dan barat Indonesia. Barubaru ini, Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa Kalibaru
akan dikembangkan oleh Pelindo II, karena adanya kebutuhan
mendesak akan fasilitas tersebut. Meskipun demikian,
Ditjen Perhubungan Laut (DJPL) berkomitmen kuat untuk
pengembangan PPP. Rancangan RINP mencakup rencana

Peran otoritas pelabuhan dan syahbandar adalah untuk


mengkomunikasikan visi secara efektif dan memimpin
perubahan. Pelaku-pelaku utama tidak boleh terpaku pada
cara-cara lama dalam melakukan tugasnya. Mereka harus selalu
bertindak secara profesional dan melakukan upaya sosialisasi
secara ekstensif. Operator pelabuhan harus berkonsentrasi
untuk mempertahankan citra dan tingkat layanan. Pola pikir
harus berorientasi pada layanan, dan pentingnya kecepatan
dan efisiensi harus benar-benar dipahami.

Kunci dari blue ocean strategy adalah pendekatan yang


terfokus bukan pada persaingan untuk memperebutkan pangsa
pasar (dikenal sebagai "red ocean" approach) tetapi pada
penciptaan sebuah "jaringan inovasi nilai" (value innovation
network) yang membuat persaingan menjadi tidak relevan
tindak untuk pembangunan pelabuhan dengan menggunakan
PPP, yang sekitar 70 persen nilai investasinya berasal dari
sektor swasta.

Peran Penting SDM


Satu-satunya cara untuk menanggalkan birokrasi lama adalah
dengan mengembangkan SDM. Manajemen pelabuhan
memerlukan berbagai keahlian khusus untuk memastikan
perencanaan dan pelaksanaan yang tepat terkait aspek tata
ruang, konstruksi teknis, keselamatan, pembiayaan, kegiatan
operasi, dan integrasi dengan sektor lain. Pengembangan SDM
yang kompeten akan menjamin bahwa perubahan dilaksanakan
dengan baik, aman, dan sesuai dengan peraturan.
Apabila para manajer dan tenaga kerja tidak memiliki
komitmen terhadap perubahan, upaya untuk mengubah sistem
pelabuhan akan menghadapi risiko penolakan, atau disintegrasi
moral. Demonstrasi pekerja pelabuhan dapat dipahami terjadi

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Selama tahap transisi, selain fokus pada program pendidikan


dan pelatihan, pakar SDM harus mendengarkan para pemangku
kepentingan dan melaksanakan prinsip-prinsip perbaikan yang
berkesinambungan (continuous improvement). Sebuah Tim
Proses Perbaikan, yang melengkapi Tim Reformasi Birokrasi
di Kementerian PAN, dapat dibentuk di Kemenhub untuk
membantu otoritas pelabuhan dalam transisi tersebut.

Peran Klaster Industri


Sebagai hasil pertumbuhan pembangunan pelabuhan, industriindustri baru dapat tumbuh di sekitar DLKR, dengan penawaran
paket komprehensif dari pusat layanan pelabuhan kepada
industri seperti kelapa sawit atau batubara. Sejumlah pelabuhan
di seluruh dunia menggambarkan efektivitas pembangunan
klaster industri. Contoh dalam industri pertambangan dan
kimia antara lain terdapat di Rotterdam, Antwerp, Hamburg,
Marseilles, Houston, Yokohama. Rotterdam, khususnya, adalah
pusat perdagangan, distribusi dan pemasaran.

Pembangunan Pelabuhan

Pendekatan blue ocean merupakan cara yang inovatif


untuk mempertimbangkan pembangunan pelabuhan dengan
terminal khusus yang dikelilingi kawasan industri. Kunci
dari strategi blue ocean adalah, pendekatan yang terfokus
bukan pada persaingan untuk memperebutkan pangsa pasar
(pendekatan red ocean), tetapi lebih pada penciptaan
sebuah jaringan inovasi nilai (value innovation network) yang
membuat persaingan menjadi tidak relevan. Alih-alih bertanya
bagaimana kita dapat melakukan hal yang sama dengan yang
dilakukan dalam persaingan, namun lebih baik? ahli strategi
blue ocean kemungkinan besar akan bertanya, apa yang dapat
kita lakukan tetapi tidak dilakukan di dalam persaingan? Di
sektor pelabuhan, salah satu jawabannya adalah mendorong
pertumbuhan industri baru dengan membangun pusat-pusat
layanan yang dapat menawarkan paket komprehensif untuk
produk-produk yang memerlukan penanganan khusus.
Berdasarkan strategi blue ocean yang berfokus pada
pengembangan klaster industri, otoritas pelabuhan dan
entitas bisnis pelabuhan akan berupaya untuk mencapai skala
ekonomi (economies of scale). Pembangunan terminal khusus
bersamaan dengan klaster industri memerlukan koordinasi
di antara kementerian teknis, Kementerian Energi dan
Sumberdaya Mineral, serta pemerintah daerah. Perencanaan
yang terpadu harus memperhitungkan karakteristik setiap
daerah. Pemerintah pusat harus memegang peran pengendali
dalam penentuan pelabuhan yang harus dikembangkan
sebagai kawasan industri, karena alokasi aset nasional secara
optimal menjadi taruhannya.
Pemanfaatan kelebihan kapasitas di pelabuhan khusus dan
pelabuhan yang mengemban misi tertentu (dedicated port)
harus dianggap sebagai pelengkap untuk layanan utama, bukan
sebagai pesaing. Hal ini menimbulkan tantangan khusus dan
peluang bagi BUMN pelabuhan, yang telah memiliki sarana
produksi dan SDM.
Terminal khusus yang memiliki keunggulan komparatif dan
kompetitif dapat dipertimbangkan untuk diubah menjadi
pelabuhan utama, yang memprioritaskan kapal-kapal yang

terkait dengan spesialisasi industrinya. Hal ini akan mendorong


pembangunan klaster dan mendorong pelabuhan terdekat
untuk meningkatkan daya saingnya.
Tulisan ini hanya menyinggung sebagian kecil komponen
pemberdayaan kembali pelabuhan, namun merupakan
komponen yang sangat penting. Pendekatan yang bijaksana
terhadap proses transisi, fokus pada pengembangan SDM,
dan upaya mendorong klaster industri semuanya bertujuan
untuk memenuhi visi keseluruhan pembangunan Indonesia
yang dinyatakan dalam MP3EI. Bersama dengan pembangunan
pelabuhan internasional dan upaya mendapatkan investasi
swasta, langkah ini akan membawa kita kepada suatu sistem
pelabuhan yang benar-benar diberdayakan kembali, bukan
hanya dalam struktur organisasi dan operasinya namun juga
kemampuannya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi
Indonesia.

Tentang Penulis:
Sudjanadi Tjipto Sudarmo adalah Konsultan, Dosen, dan
Profesor Riset dibidang Manajemen Transportasi Laut dan
Kepelabuhanan. Sejak tahun 1995 ia mengajar Manajemen
Transportasi Logistik di Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi
Manajemen Transportasi (STMT) Trisakti. Ia seorang Peneliti
Senior dan Dosen Manajemen Pelabuhan, Perkapalan dan
Logistik di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan di
Institut Pertanian Bogor dan bertindak sebagai Ketua Advisory
Group on Ports and Harbors (AGPH). Ia juga menjabat sebagai
Komisaris Independen PT. Trada Maritime Tbk., perusahaan
perkapalan yang berfokus pada jasa transportasi laut dan
logistik di sektor energi. Ia memiliki pengalaman 30 tahun
sebagai penasehat dan konsultan dalam industri pelabuhan
dan perkapalan. Ia menjabat sebagai Direktur Pelabuhan dan
Pengerukan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut pada tahun
19921996, dan sebagai Peneliti Senior di Badan Penelitian
dan Pengembangan Kementerian Perhubungan RI pada tahun
19962009. Pak Sudjanadi adalah Co-Team Leader IndII Port
Activity, untuk Finalisasi Rencana Induk Pelabuhan Nasional.

CATATAN
1. TEU adalah satuan ukuran volume setara dengan 20 kaki, singkatan dari twenty-foot equivalent unit yang digunakan sebagai
satuan ukuran kapasitas kargo.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

84

POIN-POIN UTAMA
Perdagangan masuk dan keluar dari Indonesia, serta antar pulau utama sedang berkembang
pesat saat ini. Untuk mengakomodasi pertumbuhan ini perlu dibangun pelabuhan baru dan
pelabuhan yang ada diperluas, tetapi diperlukan 5 hingga 10 tahun sebelum pembangunan
tersebut dapat dirampungkan. Sementara itu, fasilitas yang ada terbebani melampaui
kapasitas idealnya. Solusi yang segera dapat diterapkan adalah peningkatan efisiensi tata
laksana melalui cara-cara seperti mempersingkat waktu tunggu (dwell time). Waktu tunggu
adalah waktu mulai dari saat peti kemas turun dari kapal hingga akhirnya keluar dari pintu
gerbang terminal. Bulan Juli dan Agustus 2011, waktu tunggu di Jakarta International
Container Terminal (JICT) Tanjung Priok, yang menangani lebih dari dua-per-tiga perdagangan
internasional Indonesia, adalah 6 hari, jumlah ini mengalami kenaikan 22 persen dari tahun
sebelumnya. Pelabuhan lain di kawasan sekitar, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand
menunjukkan kinerja yang jauh lebih baik.
Industri yang berorientasi ekspor menghadapi ketidakpastian akibat keterlambatan, dan
dengan demikian daya saing produk Indonesia di luar negeri pun berkurang. Hambatan dan
kemacetan di pelabuhan mendongkrak naik biaya bagi usaha domestik dan pada akhirnya
juga harga yang dibayar oleh konsumen.
Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk mempersingkat waktu tunggu,
seperti menyediakan layanan penyelesaian prosedur kepabeanan secara non-stop (24/7)
serta mengembangkan sistem dokumentasi dan informasi elektronik. Efisiensi yang semakin
menghemat waktu perlu ditemukan secepatnya untuk menghindari terjadinya kemunduran
waktu tunggu lebih lanjut. Sebagian besar keterlambatan terjadi selama tahap pra-penyelesaian
prosedur kepabeanan dan disebabkan oleh kendala dalam peraturan. Tidak seperti prosedur
yang berlaku di sebagian besar negara maju, Indonesia mensyaratkan agar para importir
membayar pajak-pajak dan bea masuk di muka (pra-bayar), sebelum mengajukan dokumendokumen impor yang tidak dapat mereka lakukan sebelum kapal tiba. Selain itu, penyelesaian
dokumen kepabeanan untuk barang pada saat akhir pekan dan di luar jam kerja normal tidak
dapat diandalkan. Mengupayakan agar semua pemangku kepentingan menyediakan layanan
non-stop yang fleksibel dan mempromosikan pengajuan dokumen impor sebelum kapal tiba,
merupakan langkah penting menuju sistem pengeluaran barang yang lebih efisien.

Pembangunan Pelabuhan

86

Mempercepat Pemindahan,
Mengurangi Masalah:
Mempersingkat Waktu Tunggu
(Dwell Time) Peti Kemas
Dalam lima sampai sepuluh tahun mendatang, keberadaan pelabuhan
baru dan pelabuhan yang diperluas dapat membantu mengurai
kemacetan di pelabuhan. Namun sebelum pembangunan baru dimulai,
langkah-langkah pengurangan waktu keberadaan peti kemas di terminal
pelabuhan dapat memperbaiki situasi yang ada saat ini.
Oleh Natalia Cubillos Salcedo dan Henry Sandee

Perdagangan masuk dan keluar dari Indonesia sedang berkembang


pesat. Perdagangan antar pulau-pulau utama di Indonesia
diramalkan juga akan marak. Tidak seperti negara lain seperti
China dan Vietnam, kapasitas pelabuhan Indonesia sangat tidak
memadai untuk mengakomodasikan pertumbuhan perdagangan
curah (bulk) maupun dalam peti kemas. Untuk menanggulangi
masalah ini, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut telah menyusun
Rencana Induk Pelabuhan Nasional dengan bantuan Prakarsa
Infrastruktur Indonesia (IndII), yang memaparkan kebutuhan
investasi untuk memperluas pelabuhan yang ada dan membangun
yang baru.
Pengalaman mengindikasikan bahwa waktu yang dialokasikan
mulai dari perancangan pelabuhan hingga ke tahap pembangunan
ditafsirkan terlalu pendek. Satu kendala adalah perlunya menarik
investasi swasta yang memainkan peran sangat penting dalam
pengembangan pelabuhan. Namun, prakarsa yang ada saat ini
memberi indikasi bahwa badan usaha pemerintah yang ada masih
merupakan investor yang terpenting. Sementara pembangunan
baru masih menghadapi penundaan, arus peti kemas semakin
deras (lihat ramalan pada Gambar 1). Gabungan dua kondisi ini
berarti, peningkatan produktivitas dan efisiensi pengoperasian
pelabuhan mutlak diperlukan.

Pemindahan barang memakan waktu. Ketika


sebuah peti kemas tiba dengan kapal, beberapa
langkah perlu diselesaikan terlebih dahulu
sebelum isinya dapat meninggalkan pelabuhan.

Foto oleh Rahmad Gunawan

Sementara pertumbuhan ekspor dan impor merupakan berita baik


bagi perekonomian, pintu masuk pelabuhan utama di Indonesia
semakin membungkuk di bawah tekanannya. Menurut perkiraan
terakhir, pelabuhan Tanjung Priok tahun 2011 menangani hampir 6
juta TEU1. Para pakar pelabuhan memperkirakan, dengan peralatan
dan jalan akses yang ada, kapasitas idealnya adalah sedikit di atas 5
juta TEU. Kementerian Perhubungan baru-baru ini mengumumkan
bahwa kapal-kapal sedang mengantre untuk berlabuh, dan

Prakarsa Compendium | Jilid 2

87

Mempercepat Pemindahan, Mengurangi Masalah: Mempersingkat Waktu Tunggu (Dwell Time) Peti Kemas

sebagaimana telah diberitahukan kepada perusahaan-perusahaan


pelayaran, berlabuh di luar pelabuhan tidak lagi dapat dijamin.
Pelindo II, perusahaan pengelola pelabuhan milik negara,
memperkirakan bahwa arus peti kemas melalui Tanjung Priok
akan meningkat paling sedikit 2 juta TEU lagi sebelum akhir 2014.
Pada saat itu, perluasan pelabuhan mungkin belum siap. Artinya,
kemacetan di pelabuhan akan semakin parah. Diperlukan lebih
banyak waktu untuk memindahkan peti kemas yang masuk agar
keluar dari pelabuhan dan memindahkan peti kemas yang keluar
agar dimuat di atas kapal, dan diperkirakan, penanganan peti
kemas masuk akan terkena dampak terbesar.
Gambar 1: Ramalan Jumlah Kargo Peti Kemas
200000
180000
160000

2009

140000

75%

120000
100000
80000

96%

2015

141%

60000
40000
20000
0

Domestik

Internasional

Jumlah

Sumber: Rencana Induk Pelabuhan Nasional

Baru-baru ini Pemerintah Indonesia meminta agar Bank Dunia


memperkirakan waktu tunggu (dwell time) untuk barang-barang
impor waktu mulai dari saat peti kemas diturunkan dari kapal
hingga keluar pintu gerbang terminal di Tanjung Priok dan
memberikan rekomendasi jangka pendek dan jangka panjang
tentang cara mempersingkat masa tersebut.
Perkiraan waktu tunggu bagi peti kemas yang masuk di Jakarta
International Container Terminal (JICT) di Tanjung Priok pada bulan
Juli dan Agustus 2011 adalah 6 hari. Ini merupakan peningkatan
22 persen dari waktu tunggu yang diukur bulan Oktober 2010
(4,9 hari) dan cukup mengkhawatirkan, mengingat Tanjung
Priok menangani lebih dari dua-per-tiga seluruh perdagangan
internasional Indonesia, sedangkan jumlah lalu lintas peti kemas
diramalkan bertumbuh 160 persen pada tahun 2015.
Selain itu, dengan menggunakan ukuran internasional, yang
mencakup waktu peti kemas berada di pelabuhan tetapi di luar
terminal, angka waktu tunggu Indonesia bertambah 1 sampai 7
hari. Kinerja ini jauh lebih buruk dibandingkan pelabuhan lainnya
di kawasan Asia Tenggara seperti Singapura (1,1 hari), Malaysia (4
Prakarsa Compendium | Jilid 2

hari), dan Thailand (5 hari) lihat Gambar 2. Kemungkinan besar


keadaan ini akan menjadi lebih parah di terminal-terminal lainnya
di pelabuhan.
Bertambahnya waktu tunggu di pelabuhan terpenting Indonesia
memberi dampak negatif pada perekonomian negara dalam dua
cara. Pertama, industri yang berorientasi ekspor menghadapi
ketidakpastian akibat keterlambatan, sehingga mengurangi daya
saing produk Indonesia di luar negeri. Manufaktur just-in-time,
sistem di mana perusahaan harus mengelola jadwal mengimpor
bahan mentah dan mengekspor barang jadi secara ketat, akan
menderita lebih parah sehingga menghalangi upaya Indonesia
untuk menjadi bagian terpadu dari rantai pasokan yang efisien di
seantero dunia. Secara keseluruhan, sekitar 19 persen bahan baku
perusahaan asing atau perusahaan yang berorientasi ekspor di
Indonesia masih diimpor. Kedua, waktu adalah uang: hambatan
dan kemacetan di pelabuhan mendongkrak biaya bagi usaha
domestik dan pada akhirnya, harga yang dibayar oleh konsumen.
Dalam upaya mempertahankan arus lalu lintas peti kemas
dan mengurangi penumpukan peti kemas di Tanjung Priok,
pemerintah telah mengambil beberapa langkah penting untuk
mengurangi waktu tunggu dan menjaganya tetap rendah. Sebagai
contoh, penyelesaian prosedur pengeluaran barang sekarang
dilakukan selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu (24/7), sambil
mengembangkan sistem dokumentasi dan informasi elektronik
dengan tujuan menerapkan komunikasi tanpa kertas antara
pengusaha swasta dan instansi pemerintah.
Gambar 2: Waktu Tunggu di Beberapa Negara lain
6+

Tanjung Priok

Thailand
Malaysia (Port Klang)

Inggris, Los Angles (AS)

Australia, NZ

Prancis

3
2

Hong Kong
Singapura

1.1

0 2 4 6 Jumlah
hari
Sumber: Bank Dunia 2010

Upaya ini telah membantu menekan waktu tunggu menjadi ratarata 5 hari selama dua tahun terakhir. Tetapi efisiensi yang dapat
semakin menghemat waktu perlu ditemukan secepat mungkin

Pembangunan Pelabuhan

untuk mencegah kemunduran waktu tunggu lebih lanjut akibat


peningkatan perdagangan, dan untuk mengimbangi kendalakendala administrasi dan infrastruktur.

Gambar 3: Komponen Waktu Tunggu


7

Jumlah Hari
6.04 Hari

Penting untuk memahami alasan, mengapa terjadi penambahan


waktu untuk menyelesaikan urusan kepabeanan dan mengeluarkan
peti kemas dari pelabuhan. Waktu tunggu dapat diuraikan menjadi
tiga komponen: pra-penyelesaian prosedur kepabeanan (waktu
mulai saat kapal tiba hingga dokumen impor diajukan kepada pihak
Bea dan Cukai); penyelesaian prosedur kepabeanan; dan paskapenyelesaian prosedur kepabeanan (waktu antara penyelesaian
dokumen kepabeanan dan pengeluaran barang melalui pintu
gerbang JICT). Berlawanan dengan persepsi umum tentang kinerja
buruk Bea dan Cukai, kajian Bank Dunia baru-baru ini menunjukkan
bahwa penyebab utama keterlambatan adalah tahap prapenyelesaian prosedur kepabeanan yang mencapai 58 persen dari
waktu tunggu (lihat Gambar 3).
Penyebabnya terutama terkait hambatan akibat peraturan,
termasuk metode pra-bayar yang digunakan di Tanjung Priok.
Sementara kebanyakan negara maju mengizinkan pengajuan
dokumen impor sebelum kapal tiba dan pada akhir proses
menyediakan satu faktur yang mencakup biaya pelabuhan,
pajak-pajak dan bea masuk, sebagian besar importir dan
produsen Indonesia wajib menunggu hingga kapal tiba, dan
harus membayar pajak-pajak dan bea masuk di muka (pra-bayar)
sebelum mengajukan dokumen-dokumen. Mengingat pada
umumnya pembayaran memerlukan waktu paling sedikit satu hari
untuk mendapatkan konfirmasi dari Kas Negara, keterlambatan
semakin diperparah ketika kapal tiba hari Kamis atau pada akhir
pekan pembayaran untuk kapal-kapal yang tiba hari Kamis baru
diselesaikan secara administratif paling cepat pada hari Senin.
Meskipun sistem layanan pelabuhan (kepabeanan dan terminal)
non-stop (24/7) telah diterapkan selama hampir dua tahun,
penyelesaian prosedur kepabeanan untuk barang pada akhir pekan
dan di luar jam kerja normal tetap saja tidak dapat diandalkan.
Sementara para petugas pabean dan terminal mungkin bertugas,
layanan lainnya seperti transaksi perbankan, informasi nilai
tukar mata uang terkini dari Bank Indonesia, layanan kasir dan
administrasi perusahaan pelayaran, bahkan depot peti kemas,
biasanya sudah tutup jam 5 sore pada hari Jumat. Mengupayakan
agar semua pemangku kepentingan menyediakan layanan nonstop dan mempromosikan pengajuan dokumen impor sebelum
kapal tiba, keduanya merupakan langkah penting menuju sistem
pengeluaran barang yang lebih efisien. Perubahan semacam itu

1.54

1.04

4
3
2

Paska - Penyelesaian
Prosedur Kepabeanan
Penyelesaian
Prosedur Kepabeanan

3.46

Pra - Penyelesaian
Prosedur Kepabeanan

Sumber: JICT, Ditjen Bea dan Cukai 2011

tidak menuntut investasi keuangan besar. Yang dibutuhkan adalah


kemauan politik yang kuat untuk mengubah peraturan yang
menghambat.
Meskipun ekspansi pelabuhan Tanjung Priok berikut investasi
besar-besaran untuk membangun pelabuhan peti kemas baru
sudah direncanakan, realisasi masing-masing memerlukan paling
sedikit 5 dan 10 tahun sebelum membuahkan hasil. Namun
demikian, situasi sudah menjadi kritis, mengingat pesatnya
pertumbuhan perekonomian Indonesia dan kenyataan bahwa
perdagangan peti kemas mendasari sebagian besar pertumbuhan
tersebut. Jika Indonesia ingin memanfaatkan peluang yang muncul,
akibat pertumbuhan ekonomi yang meroket, dan melanjutkan
manfaat tersebut kepada semua segmen masyarakat, maka
efisiensi pelabuhan impor internasional utama Indonesia mutlak
harus dilakukan.
Catatan Redaksi: Tulisan ini adalah versi perluasan sebuah artikel
yang aslinya dimuat dalam harian Jakarta Globe tanggal 16
Februari 2012.

Tentang Para Penulis:


Natalia Cubillos Salcedo adalah seorang ahli ekonomi bidang
perdagangan di kantor Bank Dunia di Jakarta.
Henry Sandee adalah spesialis senior bidang perdagangan di
kantor Bank Dunia di Jakarta.

CATATAN
1. TEU adalah satuan ukuran volume setara dengan 20 kaki, singkatan dari twenty-foot equivalent unit yang digunakan sebagai
satuan ukuran kapasitas kargo.
Prakarsa Compendium | Jilid 2

88

POIN-POIN UTAMA
Tidak adanya persaingan di sektor pelabuhan mengakibatkan meningkatnya harga dan
menurunnya produktivitas. Warga Indonesia membeli barang impor dengan harga lebih mahal,
dan ekspor Indonesia menjadi lebih mahal dari ekspor dari negara-negara yang pelabuhannya
lebih efisien.
Peningkatan persaingan memerlukan koordinasi. Misalnya, ketika perluasan pelabuhan perlu
dilakukan, fasilitas dan konsesi dapat direncanakan sehingga menarik minat operator baru,
dan menimbulkan persaingan dengan operator yang ada.
Meskipun UU Pelayaran mengharuskan adanya peningkatan persaingan, masih ada beberapa
hambatan. BUMN Pelabuhan (Pelindo) masih menguasai lahan, dan operator terminal swasta
hanya boleh menawarkan jasa penanganan kargo umum dengan syarat-syarat yang sangat
ketat. Pembatasan investasi asing di sektor pelabuhan di Indonesia dapat mengurangi minat
operator global untuk berinvestasi di terminal. Pelindo, di sisi lain, dikecualikan dari UU
Persaingan Usaha Indonesia.
Regulator persaingan usaha dibentuk untuk memastikan perusahaan berperilaku secara
kompetitif. Jika ada pengaduan, regulator seringkali memulai langkahnya dengan memeriksa
sejauh mana pasar didominasi oleh hanya beberapa perusahaan. Pasar di negara-negara yang
memiliki program Kemitraan Pemerintah-Swasta dalam sektor pelabuhan tersukses di dunia
umumnya hanya memiliki satu atau sedikit perusahaan yang dominan. Dengan demikian,
meski Indonesia mengurangi hambatan terhadap persaingan, kemungkinan hasilnya adalah
pasar yang didominasi oleh segelintir perusahaan saja.
Jika regulator akhirnya menangani suatu kasus, fokus penyelidikan terutama tertuju pada
keadaan, apakah konsumen atau pengguna jasa ekspedisi memiliki pilihan.
Lingkungan oligopolistik yang akan muncul di Indonesia menunjukkan perlunya kerangka
peraturan untuk mengawasi persaingan di pelabuhan. Kebijakan pelabuhan Indonesia
mendukung regulasi dengan minimal intervensi. Alih-alih menentukan harga, peraturan
dapat digunakan untuk memantau kinerja operasional, tingkat tarif, kinerja keuangan, dan
penentuan seberapa banyak pilihan yang dimiliki para pengguna dan pengusaha jasa ekspedisi.
Kemenhub dapat memegang tanggung jawab untuk meningkatkan persaingan pelabuhan dan
memantau perilaku yang sesuai dengan persaingan usaha.

Pembangunan Pelabuhan

Persaingan Pelabuhan dan


Kebutuhan untuk Mengatur
Perilaku Anti-Persaingan
Indonesia berhasrat menciptakan sektor pelabuhan yang
kompetitif. Untuk mencapai tujuan ini perlu ada upaya mengatasi
beberapa hambatan dan menerapkan regulasi dengan intervensi
minimal guna meningkatkan persaingan.
Oleh Paul Kent

Sebagai bagian dari strategi pembangunan ekonomi secara


keseluruhan, Indonesia menetapkan UU no. 17/2008
tentang Pelayaran, yang menghendaki adanya peralihan
paradigma dalam penatalaksanaan dan pengoperasian
pelabuhan di Indonesia. UU tersebut menetapkan sistem
otoritas pelabuhan yang akan melaksanakan peran
pengaturan, mengakhiri kendali monopoli BUMN atas
layanan pelabuhan, dan mengharuskan penyusunan
rencana induk pelabuhan nasional dan daerah. Secara
bersama-sama, ketentuan-ketentuan tersebut mendukung
terciptanya lingkungan layanan pelabuhan yang kompetitif
di Indonesia. Saat ini Indonesia tengah memasuki babak
sistem pelabuhan modern yang dicirikan oleh suatu sistem
otoritas pelabuhan sebagai pemilik lahan, dan penyedia
layanan pelabuhan oleh swasta. Namun, agar dapat
memperoleh keuntungan dari paradigma baru ini, Indonesia
harus memusatkan perhatian pada cara melindungi
persaingan usaha pelabuhan.
Tanpa persaingan, harga akan lebih tinggi dari yang didikte
kondisi pasar. Selain itu, produktivitas bisa menjadi lebih
rendah. Harga yang lebih tinggi berarti importir dan
eksportir akan mengeluarkan biaya yang lebih tinggi untuk

menggunakan pelabuhan yang dimonopoli. Produktivitas


yang lebih rendah berarti kapal akan bersandar lebih lama
di pelabuhan. Ini dianggap sebagai waktu menganggur,
ketika kapal tidak menghasilkan pendapatan. Jadi, semakin
lama waktu bersandar, semakin tinggi biaya operasional
langsung dan juga biaya kesempatan.
Dari sudut pandang konsumen, dampak persaingan (atau
tidak adanya persaingan) dirasakan di pasar ritel. Konsumen
Indonesia mungkin membayar lebih mahal untuk televisi
yang diimpor dari Jepang dibandingkan dengan harga yang
dibayar konsumen Thailand untuk produk yang sama, garagara monopoli di pelabuhan Indonesia. Masalah ini juga
mempengaruhi ekspor tekstil yang diproduksi di Indonesia
mungkin menjadi lebih mahal dibandingkan dengan tekstil
yang diproduksi di Pakistan (di mana operator terminal
swasta bersaing di pelabuhan-pelabuhan di Karachi dan
Qasim) karena biaya pelabuhan dan tarif angkutan yang
lebih tinggi, sebagai akibat monopoli operator pelabuhan.
Peningkatan persaingan memerlukan koordinasi antara
keinginan untuk meningkatkan persaingan, proses
penyusunan rencana induk, dan pengawasan pengaturan.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

90

91

Persaingan Pelabuhan dan Kebutuhan untuk Mengatur Perilaku Anti-Persaingan

Sementara permintaan akan layanan pelabuhan meningkat,


dan karenanya kapasitas harus ditingkatkan, rencana
peningkatan harus dikaji ulang dalam konteks bagaimana
persaingan dapat terjadi.
Sebuah skenario hipotesis dapat digunakan untuk
menunjukkan hal ini. Anggaplah sebuah pelabuhan
memiliki dua terminal peti kemas yang menangani kargo
internasional. Keduanya dikendalikan oleh operator yang
sama. Ketika penggunaan terminal-terminal tersebut
mendekati 70 persen, tiba waktunya untuk meningkatkan
sarana-sarananya untuk mengakomodasi meningkatnya
permintaan. Perluasan dapat dirancang sebagai sebuah
terminal yang terpisah dengan satu operator mengendalikan
seluruh kegiatan dari dermaga hingga ke gerbang. Suatu
konsesi dapat dibuat untuk menarik minat operator baru
untuk berinvestasi di terminal tambahan tersebut. Maka
timbullah persaingan antara kedua operator.
Ketika penggunaan terminal yang baru mendekati 70
persen, peluang lain muncul untuk memperluas persaingan
dengan memberikan konsesi untuk terminal lain kepada
operator ketiga. Pendekatan seperti ini dapat dimasukkan
ke dalam rencana induk, ketika para perencana pelabuhan
memikirkan bagaimana caranya pelabuhan akan memenuhi
permintaan yang diperkirakan. Selain itu, para perencana
dapat menerapkan gerbang-gerbang yang terpisah dan
menyediakan tempat-tempat bersandar dan penyimpanan
yang memadai untuk membuat satu atau lebih terminal
terpisah.
Akan tetapi, perencanaan pembangunan terminal yang
memungkinkan adanya beberapa operator tidak cukup
untuk memastikan timbulnya lingkungan yang kompetitif.
Untuk itu diperlukan lebih banyak lagi perlindungan.

Batasan-Batasan untuk Peningkatan Persaingan


Meskipun UU Pelayaran yang baru secara jelas
mengharuskan adanya peningkatan persaingan, masih
tersisa beberapa hambatan untuk mencapai hal tersebut.
Misalnya, UU tersebut menciptakan kebingungan karena
tampak seolah-olah mempertahankan status quo untuk
BUMN (Pelindo I sampai IV). Meskipun UU tersebut

Prakarsa Compendium | Jilid 2

membolehkan operator swasta untuk ikut terlibat, kepada


Pelindo diberi kendali de facto atas lahan yang mereka
operasikan saat ini. Tidak ada batas waktu sampai kapan
kendali tersebut berlangsung. Selain itu, meskipun operator
terminal swasta diizinkan menawarkan jasa penanganan
kargo umum, mereka hanya dapat melakukannya dalam
keadaan luar biasa: dalam situasi darurat atau ketika
fasilitas dan layanan pelabuhan tidak efektif/efisien. Jika
operator swasta diberi izin, jangka waktunya lima tahun
(setelah itu mereka harus menyerahkan aset-aset penting
kepada negara) dan izin hanya dapat diperpanjang jika
keadaan awal belum berubah. Pembatasan ini membuat
harapan menurunkan biaya tinggi terminal khusus peti
kemas menjadi hampir tidak mungkin.
Daftar negatif kondisi investasi Indonesia membatasi
investasi asing di sektor pelabuhan hingga 49 persen. Hal
ini dapat menurunkan niat operator global, yang ingin
mengendalikan terminal agar berkinerja baik, untuk
memasuki pasar. Selain itu, Pelindo dikecualikan dari UU
persaingan usaha Indonesia sehingga dapat berperilaku
anti persaingan usaha. Berbeda dengan negara lain yang
membatasi kepemilikan (seperti Chili membatasi persentase
terminal lain yang dapat dimiliki oleh operator terminal
yang ada) atau jumlah konsesi (seperti Meksiko membatasi
jumlah konsesi yang dapat dimiliki oleh operator terminal
di kedua pantai), Indonesia tidak menerapkan pembatasan
semacam itu kepada Pelindo. Dengan demikian, secara
teoritis, adalah mungkin bagi Pelindo untuk menunjukkan
dominasinya dengan menetapkan harga yang ganas
dan menciptakan situasi yang mempersulit pesaing untuk
masuk pasar. Selain itu, dengan praktik penentuan harga
monopolinya, Pelindo memiliki sumber daya keuangan
untuk mengalahkan perusahaan lain dalam tender untuk
mengoperasikan terminal di tempat lain. Jadi, meskipun
UU tersebut secara tegas menunjukkan keinginan untuk
meningkatkan persaingan di sektor pelabuhan, arena
bermain kompetitifnya belum setara.

Kebijakan Persaingan Modern


Regulator persaingan usaha dibentuk untuk memastikan
bahwa perusahaan-perusahaan bertindak secara kompetitif.
Kebijakannya biasanya didasari oleh pemahaman tentang

Pembangunan Pelabuhan

Peti kemas di Tanjung Perak, Surabaya

struktur pasar. Secara teoritis, apabila suatu perusahaan


(atau operator pelabuhan) melanggar ambang batas
sehingga menjadi perusahaan dominan, regulator langsung
waspada, karena perusahaan itu berpotensi berperilaku
monopolistik.
Bila pesaing tidak bertindak adil, pelaku pasar (atau pembeli
jasa) dapat mengajukan pengaduan. Sebelum bertindak,
regulator terlebih dahulu akan menilai kebenaran
pengaduan tersebut. Seringkali, mereka terlebih dahulu
melihat sejauh mana suatu pasar terkonsentrasi. Jika pasar
sangat terkonsentrasi, pasar tersebut terdiri dari satu
perusahaan dominan atau lebih. Pada awalnya, regulator
dapat berupaya mengukur pasar dengan menghitung rasio
konsentrasi. Tes ini ini menggabungkan informasi tentang

Foto oleh Andre Susanto

jumlah perusahaan dan ukurannya, atau konsentrasinya.


Rasio konsentrasi (CR, concentration ratios) (CR) mengukur
persentase total penjualan dalam suatu industri yang
dilakukan oleh beberapa perusahaan besar tertentu.
Dalam konteks pelabuhan, ini dapat berarti persentase peti
kemas yang ditangani oleh operator terminal terbesar atau
kelompok operator terbesar. CRn mengacu pada n operator
terminal terbesar di industri ini. (Jadi, jika tiga operator
terbesar menangani 90 persen peti kemas, kita katakan
bahwa pasar memiliki CR3 dari 90 persen.) Tentu saja,
ukuran konsentrasi itu diterapkan pada operator terminal
yang bersaing di pasar yang sama. Bisa saja pasar ini adalah
daerah pedalaman yang dilayani pelabuhan-pelabuhan
tersebut.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

92

93

Persaingan Pelabuhan dan Kebutuhan untuk Mengatur Perilaku Anti-Persaingan

Atau, regulator dapat menggunakan Herfindahl-Hirschman


Index (HHI). Seperti uji CR, HHI berupaya mengukur
konsentrasi pasar, tetapi sekaligus mempertimbangkan
pangsa pasar setiap pelaku terbesar untuk mendapatkan
gambaran yang lebih akurat tentang dinamika persaingan
di pasar tersebut. Pasar dengan CR4 dari 80 persen
kemungkinan berperilaku dengan satu cara jika masingmasing dari keempat anggota teratas memiliki pangsa
pasar 20 persen, dan dengan cara yang sangat berbeda
jika satu anggota memiliki pangsa pasar 50 persen dan
tiga perusahaan lainnya hanya memiliki 10 persen. HHI
ditentukan dengan menambahkan kwadrat dari pangsa
pasar.
Negara yang berbeda menggunakan kriteria berbeda untuk
menentukan apakah suatu pasar sangat terkonsentrasi. AS
menggunakan HHI dan melihat angka yang lebih dari 1800
sebagai indikasi pasar yang sangat terkonsentrasi. Dalam
proses penyaringan awal di Jerman, ada dugaan tentang
dominasi pasar jika suatu perusahaan memiliki sekurangkurangnya sepertiga pangsa pasar. Inggris menganggap
perusahaan memegang monopoli atau posisi dominan jika
mengendalikan sekurangnya 25 persen pasar. Di Australia,
otoritas anti-monopoli akan menyelidiki usulan merger/
akuisisi jika CR4 akan menghasilkan pangsa 75 persen atau
lebih (ketika perusahaan yang merger menguasai setidaknya
15 persen pasar), atau jika perusahaan yang merger akan
memiliki pangsa pasar 40 persen atau lebih.
Penerapan salah satu dari standar tersebut pada program
Kemitraan Pemerintah-Swasta yang paling berhasil di
sektor pelabuhan (Kolombia, Argentina, Malaysia, dan
Inggris) menunjukkan bahwa pasar di setiap negara
ditandai dengan adanya satu perusahaan dominan, atau
cukup sangat terkonsentrasi jika uji HHI digunakan seperti
di AS. Dengan demikian, bahkan jika Indonesia menurunkan
hambatan persaingan seperti yang dijelaskan di atas,
kemungkinan hasilnya masih berupa pasar yang didominasi
oleh segelintir perusahaan.
Oleh karena berfokus pada struktur pasar, dan bukan
kinerja pasar, tes-tes ini tidak menentukan sejauh mana
konsumen (atau pengguna dan pengusaha jasa ekspedisi)

Prakarsa Compendium | Jilid 2

memiliki alternatif yang dapat digunakan. Pilihan konsumen


(atau opsi pengguna jasa ekspedisi) sebenarnya adalah
faktor yang paling kritis dalam menentukan ada tidaknya
masalah anti-monopoli, sedangkan faktor lainnya, seperti
tingkat laba atau profitabilitas, tidak terlalu penting,
walau regulator ekonomi cenderung berfokus pada faktor
tersebut dalam regulasi yang digunakan saat ini (mungkin
karena konsumen tidak punya pilihan atau pilihannya
sangat terbatas). Jika regulator akhirnya menyelidiki suatu
kasus, penyelidikan difokuskan terutama pada masalah
yang sangat kritis ini.

Bagaimana Persaingan Pelabuhan Dapat Diatur


Lingkungan oligopolistik yang akan muncul di Indonesia
menunjukkan perlunya kerangka peraturan untuk
mengawasi persaingan di pelabuhan. Kebijakan Indonesia
tentang pelabuhan mendukung adanya regulasi dengan
minimal intervensi. Jadi, alih-alih menentukan harga,
yang merupakan tantangan dalam hal penentuan harga
yang wajar, kita dapat mengaturnya dengan memantau
perilaku persaingan pelabuhan. Ini dapat dilakukan dengan
cara, regulator memantau kinerja operasional, tingkat tarif,
kinerja keuangan, dan menentukan sejauh mana pengguna
dan pengusaha jasa ekspedisi memiliki pilihan (dengan
menghitung biaya transportasi total antara terminal dan
daerah pedalaman). Pengusaha jasa ekspedisi memilih
untuk menghindari terminal yang buruk operasionalnya,
dan akan memilih opsi lain jika mungkin. Jika regulator
menentukan bahwa profitabilitas tinggi, tetapi tarif yang
dikenakan kompetitif, maka mungkin tidak ada masalah.
Tetapi jika laba tinggi, dan kinerja buruk, maka regulator
dapat berasumsi operator menerapkan perilaku monopoli.
Dalam keadaan bagaimanapun, dengan memantau perilaku
berdasarkan faktor-faktor ini, regulator akan memiliki dasar
untuk terlebih dulu menentukan, apakah pengaduan itu
benar, dan kedua, apakah perlu dilakukan penyelidikan
lebih lanjut.
Dengan memantau faktor yang menentukan cara operator
bersaing, Indonesia dapat menghindari tantangan yang
lebih sulit berupa keharusan menentukan harga. Sebaliknya,
regulator akan mengharuskan operator terminal untuk
mengajukan tarif, melaporkan indikator operasional

Pembangunan Pelabuhan

tertentu, dan menyerahkan laporan keuangan tahunan serta


informasi keuangan lainnya terkait dengan laba atau tingkat
pengembalian modal. Perjanjian layanan, yaitu kontrak
antara operator dan pengusaha jasa ekspedisi, juga harus
diajukan berdasarkan aturan kerahasiaan untuk memastikan
tidak adanya perilaku diskriminatif. Dan operator juga harus
diwajibkan untuk melaporkan niatnya melakukan merger
dengan atau mengakuisisi perusahaan lain.
Kemenhub
akan
bertanggungjawab
meningkatkan
persaingan pelabuhan dan dengan demikian dapat
memantau perilaku persaingan. Apabila menurut keadaan,
baik sebagai hasil pemantauan maupun dari pengaduan
yang diterima, mungkin terdapat perilaku anti-persaingan
usaha, Kemenhub dapat mengajukannya ke KPPU. Dengan
mengandalkan pengajuan informasi yang biasanya sudah
tersedia, Kemenhub akan menyesuaikan dengan tujuan
kebijakan tentang regulasi dengan minimal intervensi.

Tentang Penulis:
Paul Kent adalah Senior Vice President di Perencanaan
Infrastruktur dan Ekonomi di Nathan Associates. Dr.
Kent adalah tokoh terkemuka dalam bidang privatisasi
dan peraturan pelabuhan yang telah mengarahkan atau
berpartisipasi dalam proyek-proyek pelabuhan dan logistik di
hampir 45 negara. Ia mengembangkan perangkat pendukung
keputusan untuk pembuat kebijakan, regulator, dan sektor
swasta. Disertasinya tentang regulasi persaingan pelabuhan
menjadi dasar penulisan untuk berbagai modul peraturan
untuk Perangkat Reformasi Pelabuhan Bank Dunia. Sebagai
kontributor berbagai jurnal perdagangan dan jurnal ilmiah, Dr.
Kent adalah satu-satunya orang Amerika yang telah menerima
gelar doktor dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Pusat Rusia
untuk Ekonomi dan Operasional Perhubungan Laut di Moskow.
Sebelum bergabung dengan Nathan Associates, Dr. Kent
adalah Associate Director di National Ports and Waterways
Institute, Louisiana State University.

Sebagaimana disebutkan di atas, Indonesia masih perlu


mengatasi hambatan yang ada dalam pengembangan
persaingan usaha. Jika tidak diatasi dalam waktu dekat,
para pelaku pasar saat ini dapat terus menggunakan
dominasinya dengan menguasai lahan yang seharusnya
tersedia untuk operator baru, atau meningkatkan harga
monopoli untuk mengukuhkan dominasinya. Kemenhub
memiliki peran yang jelas untuk memastikan lapangan
usaha yang kompetitif. Jika posisi monopoli para operator
terminal tidak diatasi, hal itu juga dapat menghambat
investasi di sektor ekonomi lainnya.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

94

POIN-POIN UTAMA
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia sangat bergantung pada lebih dari
1700 pelabuhan untuk pertumbuhan ekonominya. UU no. 17/2008 tentang Pelayaran
memandatkan bahwa Indonesia harus mengembangkan sistem kepelabuhanan yang efisien,
kompetitif dan responsif. Pendidikan harus menjadi landasan reformasi ini.
Para pembuat kebijakan dan administrator harus memahami benar hal-hal penting, antara lain
persaingan usaha, peraturan ekonomi dan operasional, analisis tarif, perencanaan lingkungan,
dan pengembangan SDM. Penasihat pelabuhan, peneliti dan dosen, Prof Sudjanadi, adalah
penganjur reformasi kurikulum dan pelatihan, yang saat ini sedang mengembangkan kurikulum
pelatihan baru untuk pelabuhan Indonesia dan personel manajemen kelautan.
Sarana pendidikan lainnya antara lain adalah program setingkat universitas dalam bidang
industri kelautan serta sejumlah lembaga kelautan independen. Warga negara Indonesia juga
memanfaatkan beasiswa yang ditawarkan Australia dan negara lain untuk mengambil gelar
PhD dan program pasca sarjana di luar negeri.
Pendidikan yang terkait dengan pelabuhan dapat dimulai sejak dini, di mana anak sekolah
belajar tentang arti penting dari masalah kelautan, dan mengetahui peluang mereka untuk
meniti karier di sektor pelabuhan.
Pengembangan keterampilan dalam bidang komputer dan teknologi informasi adalah kunci
untuk meningkatkan SDM. Sektor pelabuhan juga harus dipromosikan sebagai lingkungan
kerja dengan penghasilan yang menjanjikan dan peluang pengembangan karier.
Strategi juga harus mencakup buruh pelabuhan. Kepada mereka dapat diberikan sertifikasi
untuk keahlian khusus seperti teknik penanganan, keselamatan pekerja, dan pengoperasian
peralatan. Sistem insentif yang berkualitas, pelatihan lintas bidang, dan sistem pengembangan
karier yang baku merupakan sarana untuk menanamkan rasa bangga dan meningkatkan
kinerja pekerja.

Pembangunan Pelabuhan

Mendidik Bangsa Bahari


Lebih dari negara lain mana pun juga, Indonesia adalah negara yang
digerakkan oleh kualitas sistem kepelabuhanannya. Agar kegiatan
kepelabuhanan Indonesia dapat memenuhi standar global, semua
warga negara mulai dari anak sekolah sampai buruh pelabuhan serta
administrator dan pem-buat kebijakan harus diberi pemahaman
tentang pentingnya pelabuhan, dan bagaimana memfungsikannya.
Oleh Amba Mpote-Bigg

Bagaimana sebuah negara kepulauan dengan posisi strategis


seperti Indonesia mempersiapkan diri untuk peningkatan lalu
lintas pelabuhan selama dua dekade mendatang? Dengan
menjadikan pendidikan sebagai landasan dari kebijakan
reformasi pelabuhan nasionalnya, demikian pendapat para ahli.
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dan sangat
bergantung pada lebih dari 1700 pelabuhan untuk mencapai
pertumbuhan ekonomi. Sejak tahun 2009 sampai dengan 2020,
PDB Indonesia diproyeksikan akan tumbuh rata-rata 6,5 persen.
Pada tahun 2020, aliran peti kemas akan mencapai lebih dari
dua kali lipat dari volume tahun 2009 dan akan naik dua kali
lipat lagi pada tahun 2030.

Sementara beberapa bagian UU tersebut masih membutuhkan


penjelasan atau pengembangan, reformasi telah berjalan dan
UU tersebut secara jelas memandatkan perlunya pengembangan
sektor sumber daya manusia di bidang kepelabuhanan.

Pengembangan Tenaga Kerja


Pengembangan tenaga kerja sangat penting untuk semua aspek
reformasi kepelabuhanan.

SK tentang RIPN yang dikeluarkan setelah UU no. 17/2008


tentang Pelayaran diberi mandat untuk melakukan reformasi
dengan menciptakan sistem pelabuhan yang efisien, kompetitif
dan responsif untuk Indonesia.

Pemberdayaan kembali manajemen kepelabuhanan nasional


merupakan proses transformasi yang mendasar oleh
karena itu, sangat penting untuk memastikan bahwa sumber
daya manusianya kompeten, kata Prof Sudjanadi, penasihat
kepelabuhanan, peneliti dan dosen di Lembaga Pengembangan
Manajemen Transportasi. (Informasi lebih lanjut tentang visi
Prof Sudjanadi tentang pengembangan kepelabuhanan, lihat
Memberdayaan Kembali Manajemen Kepelabuhanan di
Indonesia di halaman 79.)

UU tersebut mencakup integrasi, efisiensi pelabuhan,


keselamatan, persaingan dan penentuan kembali otoritas
pelabuhan. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa struktur
manajemen pelabuhan Indonesia direvitalisasi dan efisien,
untuk mendorong investasi swasta, meningkatkan teknologi
dan tenaga kerja. Singkatnya, untuk menjadikan Indonesia
negara pelabuhan kelas dunia yang berdaya saing.

Menurut para ahli, agar bisa dilaksanakan secara efektif aspekaspek terkait organisasi, hukum, administrasi dan kebijakan
proses reformasi tersebut bergantung pada SDM yang tepat.
Para pembuat kebijakan dan administrator harus memahami
benar hal-hal penting, antara lain persaingan usaha, peraturan
ekonomi dan operasional, analisis tarif, perencanaan lingkungan,
dan pengembangan SDM.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

96

97

Mendidik Bangsa Bahari

Prof Sudjanadi, penganjur reformasi kurikulum dan pelatihan


untuk tenaga kerja pelabuhan Indonesia, saat ini sedang
mengembangkan kurikulum pelatihan baru untuk personel
manajemen kepelabuhanan dan kelautan Indonesia
bekerjasama dengan Pelabuhan Bremen di Jerman. Kursus
tersebut akan mencakup topik yang luas, mulai dari pemahaman
tentang manajemen kepelabuhanan dan otoritas pelabuhan
sampai penerapan praktik usaha yang baik dan masalah
kebijakan.
Kurikulum tersebut akan diawali dengan penentuan peran,
tugas dan tanggung jawab otoritas pelabuhan Indonesia yang
baru, serta pembekalan kepada personel untuk menangani
tantangan-tantangan dalam peningkatan volume kegiatan
pelabuhan.
Manajemen (termasuk perencanaan strategis, manajemen
anggaran, dan analisis keuangan), pemasaran, perencanaan/
perekayasaan (dari penyusunan rencana induk pelabuhan
sampai pengembangan proyek serta kegiatan operasional
terminal dan pengelolaan perawatan), serta kontrak dan
peraturan adalah beberapa bidang yang membutuhkan
pengembangan kurikulum.
Sarana pelatihan yang ada sekarang tidak memadai, kata
Sudjanadi.
Saat ini, di Indonesia terdapat pendidikan setingkat universitas
dalam bidang industri kelautan serta beberapa lembaga kelautan
independen. Warga negara Indonesia juga memanfaatkan
beasiswa yang ditawarkan Australia dan negara lain untuk
mengambil gelar PhD dan mengikuti program pasca sarjana
dalam bidang manajemen pelabuhan dan studi kelautan.

Belajar Dimulai Sejak Usia Muda


Beberapa ahli yakin bahwa pendidikan dapat dilakukan pada
tingkat yang lebih rendah dari perguruan tinggi.
Mengingat status Indonesia sebagai negara yang paling
bergantung pada pelabuhan di dunia, tampaknya belum terjalin
hubungan yang erat antara masyarakat dan pelabuhan .
Kelihatannya karier di pelabuhan belum banyak dipromosikan,
kata Dr Paul Kent, konsultan internasional yang bekerja
di Indonesia Infrastructure Initiative (IndII). (Artikel Kent,
Persaingan Pelabuhan dan Kebutuhan untuk Mengatur
Perilaku Anti-Persaingan, dapat dilihat di halaman 89.)

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Geografi Indonesia membuat kita mudah


memahami, mengapa anak sekolah Indonesia
perlu belajar tentang peran pelabuhan dalam
pembangunan negeri mereka.

Atas Perkenan IFPRI-Images

Pertama-tama, harus ada apresiasi pada pelabuhan pada usia


dini. Anak-anak dapat membina hubungan yang baik dengan
pelabuhan duduk di bangku SD.
Sekalipun di AS, pada tingkat nasional hanya ada sedikit
program yang didedikasikan khusus untuk sektor pelabuhan,
kata Kent, beberapa negara bagian terkait maritim seperti
Oregon membuat buku mewarnai khusus anak SD untuk
mengembangkan kesadaran tentang arti pelabuhan. Pesan
sederhana seperti itu menekankan pentingnya pelabuhan
dalam kehidupan sehari-hari.
Tenaga kerja terlatih dan angkatan kerja yang diberdayakan
kembali sangat penting agar pelabuhan Indonesia dapat
menyamai standar dunia. Sistem pelabuhan yang kompetitif
bergantung pada keberhasilan menarik dan membina orang
yang tepat ke dalam semua bidang industri kelautan.
SDM di lembaga-lembaga yang baru bukan saja harus
kompeten tetapi juga harus menjadi agen perubahan, kata Prof.
Sudjanadi. Mereka harus memiliki kesadaran akan situasi yang
mendesak untuk menghindari kemandekan dan berlakunya
kembali pola-pola lama.

Teknologi Informasi
Satu bidang penting adalah komputer dan teknologi informasi.
Di seluruh dunia, sistem yang menggunakan teknologi elektronik
yang canggih digunakan untuk mengelola produksi, pemasaran,

Pembangunan Pelabuhan

transportasi dan distribusi. Agar kegiatan pelabuhan Indonesia


terintegrasi dengan sistem tersebut, personel pelabuhan dan
yang lainnya di seluruh bagian jaringan transportasi harus
mengembangkan dan mempertahankan keterampilan teknologi
yang diperlukan.
Perubahan dalam cara pengoperasian usaha memiliki implikasi
yang besar bagi transportasi, semakin meningkatnya tuntutan
akan jumlah yang lebih besar dan semakin efisiennya sistem
infrastruktur merupakan dukungan pada perdagangan skala
besar, demikian diungkapkan dalam naskah akademik untuk
mendukung dekrit Rencana Induk Kepelabuhanan yang disusun
oleh IndII.

Menarik Minat, Meningkatkan Daya Saing Tenaga


Kerja
Pengembangan SDM juga memerlukan upaya dipromosikannya
sektor pelabuhan sebagai lingkungan kerja yang aman dan
memberi imbalan yang besar, serta memiliki peluang untuk
pengembangan karier. Saat ini bekerja di pelabuhan Indonesia
jarang dianggap sebagai jalur karier yang layak.
Kita harus menarik minat lulusan terbaik di bidang bisnis, kata
Dr Kent.
Riset juga menunjukkan, perempuan belum berperan penting
dalam kepelabuhanan Indonesia, meskipun jumlah mereka
yang terlibat dalam bidang teknik dan kelautan cukup banyak.
Untuk itu Kementerian Perhubungan telah ditugaskan untuk
merekrut dan mempekerjakan perempuan di pelabuhan.
Buruh pelabuhan tetap menjadi perhatian. Saat ini, sektor
pelabuhan Indonesia diwarnai oleh praktik monopoli. (Lihat
Tenaga Kerja di Pelabuhan Indonesia: Peran Koperasi di
halaman 99.) Peraturan yang mewajibkan pemanfaatan dan
pembayaran tenaga buruh pelabuhan dikelola oleh koperasi
TKBM, ditambah dengan kurangnya peluang untuk maju,
menurunkan motivasi mereka.
Tidak ada insentif nyata untuk meninggalkan anggapan umum
bahwa pemanfaatan buruh pelabuhan semata-mata karena
otot, bukan otak, kata Dr Kent.
Koperasi TKBM mungkin menolak mekanisasi karena khawatir
akan mengarah pada berkurangnya kebutuhan akan buruh
pelabuhan yang akan berakibat pada mengurangi peluang

untuk mendapatkan penghasilan, untuk itu diperlukan sebuah


pendekatan baru. Para buruh pelabuhan perlu diberikan
kesempatan mendapat pelatihan dan dibuat merasa sebagai
bagian dari tenaga kerja yang kompetitif dan memenuhi standar
dunia. Kepada mereka dapat diberikan sertifikasi keahlian
khusus seperti teknik penanganan, keselamatan pekerja, dan
pengoperasian peralatan.
Sistem insentif yang berkualitas, pelatihan lintas bidang, dan
sistem pengembangan karier yang baku merupakan sarana
untuk menanamkan rasa bangga dan meningkatkan kinerja
pekerja.
Buruh pelabuhan harus punya nilai tawar untuk
mengembangkan insting bisnis lebih lanjut, kata ahli hukum
kelautan Hidayat Mao, konsultan hukum kelautan yang tinggal
di Jakarta. Mereka perlu memperoleh manfaat sepenuhnya
dari peraturan baru yang berfokus pada pengembangan.

Melihat ke Depan
Kunci sukses lainnya adalah seberapa baik Indonesia dapat
berpikir jauh ke depan dan bersikap proaktif menghadapi
tantangan masa depan dan arah untuk kepelabuhanan. UU
Pelayaran itu sendiri memerlukan penegasan dan redefinisi
yang berkelanjutan, dan setiap evaluasi kemajuan harus
dilakukan oleh personil yang memenuhi syarat dan memang
berhak melakukan evaluasi secara jernih. Pola pikir strategis
harus diwujudkan menjadi tindakan yang efektif untuk
pengembangan SDM.
Kecuali jika ada komitmen untuk berubah, upaya untuk
mengubah sistem kepelabuhanan akan gagal atau stagnan, kata
Prof. Sudjanadi. Peran otoritas pelabuhan dan syahbandar
adalah mengomunikasikan visi ini secara efektif dan memimpin
jalannya perubahan. Visi strategis tentang kebutuhan pelabuhan
[Indonesia] di masa depan tidak dapat dikembangkan tanpa
SDM.

Tentang Penulis:
Amba Mpote-Bigg adalah wartawan dan pengusaha wanita
berpengalaman yang pernah menjadi kepala biro Dow Jones
di Pantai Gading dan menulis untuk Wall Street Journal.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

98

POIN-POIN UTAMA
Tenaga kerja bongkar muat, atau TKBM, merupakan anggota koperasi setempat. Kerangka
hukum yang mengatur tentang koperasi telah menimbulkan tuntutan agar TKBM meningkatkan
produktivitasnya, serta kekhawatiran adanya monopoli yang secara efektif dipegang koperasi.
Sebuah SKB pada tahun 1989 memandatkan adanya koperasi di setiap pelabuhan agar TKBM
dapat mengelola diri mereka sendiri, meningkatkan kesejahteraan TKBM, dan berpartisipasi dalam
kelancaran arus barang di pelabuhan laut. SKB tahun 2002 yang menggantikannya mempertahankan
konsep tersebut namun menambahkan sebuah pasal yang secara efektif memberikan monopoli
kepada KTKBM untuk pekerjaan bongkar muat.
Koperasi TKBM juga diharuskan mematuhi perundang-undangan Indonesia tentang koperasi
secara umum, yang menekankan peningkatan kesejahteraan anggotanya. Selain itu, UU no. 5/1999
dirancang untuk mencegah perilaku monopoli tetapi mengecualikan kegiatan usaha koperasi yang
dimaksudkan untuk melayani anggotanya. Ketentuan dalam SK Menhub no KM. 14/2002 telah
ditafsirkan sehingga berarti bahwa semua kegiatan bongkar muat harus melibatkan koperasi TKBM.
Sebagai akibat dari peraturan perundang-undangan tersebut, KTKBM belum menghadapi tekanan
persaingan, yang mengakibatkan rendahnya produktivitas dan kinerja yang buruk. Persoalan lain
adalah bahwa KTKBM mengenakan biaya meskipun kegiatannya dilakukan dengan menggunakan
sistem ban berjalan dan pipanisasi, dan tidak melibatkan TKBM.
Pada tanggal 29 Desember 2011, SKB/2011 dikeluarkan untuk menggantikan SKB yang dikeluarkan
pada tahun 2002. Berdasarkan SKB/2011, unit-unit usaha KTKBM dapat membentuk sub-unit
dan/atau kelompok kerja. Maksud ketentuan ini adalah untuk memungkinkan KTKBM dari satu
pelabuhan menawarkan jasanya di pelabuhan lain, sehingga meningkatkan persaingan dan
meminimalkan praktik monopoli. Namun, tindakan ini tidak akan mencapai hasil optimal jika subunit tersebut secara bersama-sama mengendalikan pasar.
Ada kekhawatiran bahwa SKB/2011 dapat digunakan untuk membenarkan pengenaan biaya TKBM,
bahkan ketika kegiatannya telah dijalankan oleh mesin yang dioperasikan oleh tenaga manusia
dan tidak melibatkan TKBM. Selain itu, setiap kegiatan bongkar muat yang terjadi di luar daerah
lingkungan kerja) atau daerah lingkungan kepentingan pelabuhan harus dilakukan oleh KTKBM di
pelabuhan terdekat.
Peraturan tersebut tampaknya memberikan perlindungan yang berlebihan. KTKBM tidak disiapkan
untuk menghadapi persaingan terbuka. TKBM harus dibantu untuk meningkatkan tingkat
keterampilannya sehingga dapat berpartisipasi secara produktif dalam kegiatan bongkar muat yang
semakin sering melibatkan penggunaan peralatan mekanis. Untuk mencegah praktik monopoli
yang merugikan, TKBM harus dikelola oleh lebih dari satu koperasi penempatan pekerja, yang
independen di setiap pelabuhan laut.
KTKBM harus memiliki pola pikir baru dan memahami bahwa koperasi yang menawarkan nilai
terbaik kepada pelanggan yang akan menjadi koperasi yang berhasil.

Pembangunan Pelabuhan

Tenaga Kerja di Pelabuhan


Indonesia: Peran Koperasi
Koperasi tenaga kerja bongkar muat di pelabuhan-pelabuhan
Indonesia sudah mapan. Meski bermanfaat untuk melindungi
kepentingan para pekerja, koperasi dapat menyebabkan praktik
monopoli. Di masa yang akan datang, diperlukan sebuah pendekatan
baru yang berfokus pada peningkatan keterampilan dan persaingan.
Oleh Jasief Sutopo Putrahardja

UU no. 17/2008 tentang Pelayaran menetapkan bahwa


potensi setiap unsur dari sistem transportasi Indonesia
harus dikembangkan semaksimal mungkin untuk menjamin
bahwa Indonesia memiliki sistem transportasi yang efektif
dan efisien. Salah satu komponen yang terlihat jelas dari
sistem ini adalah pemindahan kargo, baik memindahkannya
dari satu kapal ke kapal lain maupun ke dermaga
(stevedoring), memindahkannya dari dermaga ke gudang
pelabuhan (cargodoring), atau memindahkannya dari satu
gudang ke gudang lainnya dan ke truk (receiving/delivery).
Pekerjaan tanpa keterampilan tersebut dilakukan oleh
tenaga kerja bongkar muat (TKBM).
Meski barangkali terlihat sederhana, pekerjaan yang
dilakukan TKBM ini dilaksanakan dalam rangkaian rumit
yang terdiri dari aturan, peraturan, dan visi yang terkadang
bertentangan dalam kaitannya dengan arti penting dari
pergerakan muatan yang efisien serta perlindungan atas
kesejahteraan para pekerja yang bekerja keras di pelabuhan.
Para pekerja tersebut adalah anggota dari Koperasi TKBM
(KTKBM) setempat. IKTKBM beroperasi dalam kerangka
kerja yang menuntut peningkatan produktivitas para
pekerja KTKBM, namun juga punya kekhawatiran apakah
monopoli KTKBM bisa efektif.

Secara historis, koperasi TKBM dibentuk sebagai upaya


untuk menanggapi persoalan kesejahteraan para pekerja.
Karena satu-satunya syarat untuk bekerja sebagai TKBM
adalah kekuatan fisik, banyak yang mencari pekerjaan
sebagai TKBM, sehingga terjadi penurunan upah. Saat
bertindak sebagai perorangan, TKBM tidak berdaya atas
upah, tugas, atau ketentuan kerja mereka. Mereka dapat
bernegosiasi dengan posisi yang lebih kuat sebagai sebuah
kelompok yang terorganisasir.

Pembentukan KTKBM
Untuk memahami tujuan dan kegiatan operasional Koperasi
TKBM, peraturan perundang-undangan yang mendasari
pembentukannya perlu dipahami. Cikal-bakal koperasi ini
lahir pada tahun 1978, dengan dikeluarkannya SKB Menteri
Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi dengan Menteri
Perhubungan tentang Pembentukan Yayasan Usaha Karya
(YUKA) untuk mengorganisasi TKBM.
SKB berikutnya dari kedua kemen-terian tersebut, serta
sebuah Inpres, membubarkan YUKA pada tahun 1985.
Secara bersamaan, sebuah badan sementara untuk
mewakili TKBM dibentuk di setiap pelabuhan laut, yang
bertanggungjawab kepada administrator pelabuhan.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

100

101

Tenaga Kerja di Pelabuhan Indonesia: Peran Koperasi

Seorang pekerja pelabuhan mengenakan rompi dari Koperasi setempat.

Struktur ini ditegaskan melalui peraturan tambahan pada


tahun 1989, khususnya SKB/1989.1 SKB/1989 menyatakan
perlunya untuk segera mengembangkan koperasi TKBM
di setiap pelabuhan agar TKBM dapat mengelola diri
mereka sendiri, meningkatkan kesejahteraan TKBM, dan
berpartisipasi dalam pengembangan kegiatan untuk
menjamin kelancaran arus barang di pelabuhan laut.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Atas perkenan Annetly Ngabito

SKB/1989 menegaskan solidaritas TKBM dan menyatakan


bahwa Koperasi TKBM memiliki dua kegiatan utama:
Administrasi operasional, termasuk pendaftaran
TKBM, pengelompokan TKBM ke dalam kelompok
kerja, penyediaan jasa TKBM, dan pengaturan giliran
kerja.

Pembangunan Pelabuhan

Pelayanan kesejahteraan, termasuk penyediaan


makan pagi/siang/malam, penyediaan transportasi,
pemeliharaan kesehatan, dll.
SKB/1989 digantikan dengan SKB/20022 namun prinsipprinsip di atas tetap berlaku. Meski demikian, beberapa
ketentuan dalam SKB/2002 memperkenalkan beberapa
konsep yang baru atau berbeda. SKB/2002 mengatur
tentang Unit Usaha Jasa Bongkar Muat (UUJBM) di bawah
pengawasan KTKBM. UUJBM dibentuk untuk mendukung
kelancaran bongkar muat barang di pelabuhan laut. Dengan
demikian, usaha bongkar muat diturunkan tingkatnya
menjadi salah satu unit dari KTKBM, bukan sebagai
usaha intinya, yang, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
3, bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan para
anggotanya.
Selain itu, dan yang paling signifikan, Pasal 9 SKB/2002
menetapkan ketentuan yang secara efektif memberikan
monopoli kepada koperasi atas pekerjaan bongkar muat.
Pasal ini menyatakan bahwa perusahaan bongkar muat
yang melakukan kegiatan bongkar muat barang di daerah
lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan
pelabuhan3 harus bekerjasama dengan Koperasi TKBM
dengan menggunakan jasa TKBM.
SKB/2002 berlaku sampai baru-baru ini. Sebuah peraturan
baru mulai berlaku pada bulan Desember 2011, dan nanti
akan dibahas dalam artikel ini.

Perundang-undangan tentang Koperasi


Selain peraturan yang secara khusus terkait dengan TKBM,
koperasi TKBM juga harus mematuhi perundang-undangan
Indonesia tentang koperasi secara umum. Sejak tahun
1989, kegiatan KTKBM pertama tunduk kepada UU no.
12/1967 tentang Pendirian Koperasi, lalu tunduk kepada UU
penggantinya, UU no. 25/1992.
UU no. 12/1967 mendefinisikan koperasi sebagai: organisasi
ekonomi rakyat yang berwatak sosial beranggotakan orangorang atau badan-badan hukum koperasi yang merupakan
tata-susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar
atas azas kekeluargaan. UU no. 25/1992 mendefinisikan

koperasi sebagai: badan usaha yang beranggotakan orangseorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan
kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus
sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas
azas kekeluargaan. UU no. 12/1967 dan UU no. 25/1992
memuat ketentuan yang serupa yang menyatakan bahwa
tujuan koperasi adalah secara khusus untuk meningkatkan
kesejahteraan anggotanya dan secara umum meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Selain itu, kedua UU tersebut
menyatakan bahwa anggota koperasi bergabung secara
sukarela.
Berdasarkan susunan kalimat dalam UU tersebut, dapat
disimpulkan bahwa koperasi adalah sebuah badan usaha
yang didirikan dengan cara bottom-up (didirikan oleh
anggota). Sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam
Pasal 17 UU no. 25/1992, para anggota koperasi adalah
pemilik dan sekaligus pengguna jasa Koperasi. Pasal ini
memperjelas bahwa koperasi harus digunakan sebagai
sarana untuk saling meningkatkan kesejahteraan
anggotanya.
Terkait dengan KTKBM, UU no. 25/1992 mengindikasikan
bahwa ada dua jenis jasa yang diberikan oleh koperasi.
Yang pertama adalah jasa kesejahteraan untuk para
anggota, yang harus didanai dengan iuran dari para
TKBM yang dikumpulkan dari perusahaan-perusahaan yang
mempekerjakan mereka.
Jasa yang kedua adalah produk usaha jasa bongkar muat
dan pekerjaan terkait yang dijual oleh koperasi kepada
pihak-pihak yang bukan anggota koperasi. Menurut UU no.
25/1992, produk-produk usaha reguler ini tunduk kepada
aturan umum perilaku usaha.
UU no. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat secara khusus mengatur
koperasi. UU ini mendefinisikan monopoli dan menetapkan
peraturan yang dirancang untuk mencegah perilaku
monopoli. Akan tetapi, Pasal 50 UU ini menyatakan
bahwa kegiatan usaha koperasi yang dimaksudkan secara
khusus untuk melayani para anggotanya dikecualikan dari
ketentuan UU Anti Monopoli.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

102

103

Tenaga Kerja di Pelabuhan Indonesia: Peran Koperasi

Meningkatkan Produktivitas Buruh Pelabuhan:


Beberapa Temuan dari Kementerian Perhubungan
Catatan: penjelasan berikut ini dikutip dari temuan berdasarkan
kajian yang dilakukan oleh Kementerian Perhubungan
(Kemenhub). Materi ini dipresentasikan pada tanggal 2 Maret
2012 dalam sebuah diskusi meja bundar mengenai tenaga kerja
dan sumber daya manusia di sektor pelabuhan yang disponsori
oleh Kemenhub.
Ada persepsi di kalangan industri pelabuhan bahwa Koperasi
Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) bertindak sebagai monopoli
dalam penyediaan jasa layanan. Akibatnya, produktivitas rendah,
waktu pergantian kapal (turn-around) menjadi lebih lama, serta
berpotensi meningkatkan biaya logistik dan biaya-biaya lainnya.
Dengan adanya persoalan-persoalan ini, Unit Kerja Presiden
Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4)
melakukan peninjauan terhadap Surat Keputusan Bersama
(SKB/2002) bersama para pejabat Kemenhub.
Temuan Kemenhub antara lain meliputi:
Jumlah TKBM tidak sesuai dengan volume pekerjaan
bongkar muat. Pada umumnya terjadi kelebihan pasokan
(oversupply) tenaga kerja.
TKBM rata-rata bekerja sembilan hari per bulan, dan
mendapat upah di bawah upah minimum.
Hampir 60 persen TKBM di dalam koperasi telah melewati
usia pensiun.
Tingkat keterampilan kerja dan spesialisasi pekerja
pelabuhan kurang memadai.
Koperasi tidak menyediakan cukup banyak program
pendidikan dan pelatihan atau berusaha untuk mengurangi
jumlah pekerja.
Kinerja tenaga kerja lamban dan produktivitas pada
umumnya rendah, hingga mencapai titik di mana biaya
menjadi lebih tinggi daripada semestinya.

UU Terkait Lainnya
UU lain yang tidak secara khusus mengatur koperasi
juga memiliki dampak penting terhadap peran dan
fungsi KTKBM. SK Menhub no KM. 14/2002 tentang
Penyelenggaraan dan Pengusahaan Bongkar Muat dari dan
ke Kapal mendefinisikan Perusahaan Bongkar Muat (PBM)

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Revisi SKB mencakup hal-hal berikut ini:


Tenaga kerja harus memenuhi persyaratan minimum
dan mengembangkan cara berpikir yang berfokus pada
produktivitas dan daya saing.
Perlu dicapai keseimbangan antara jumlah TKBM dan
volume pekerjaan yang harus diselesaikan.
Perlu diberlakukan batasan usia.
Perlu ditetapkan kualifikasi bagi para manajer TKBM.
TKBM harus dipekerjakan 21 hari per bulan.
Perlu disediakan tunjangan kesehatan dan asuransi hari tua
serta pelatihan.
Perlu diberlakukan sanksi terhadap TKBM yang tidak
mencapai standar kinerja.
Perlu ada aturan eksplisit yang menjelaskan apakah
tenaga kerja dari koperasi TKBM wajib digunakan di luar
daerah lingkungan kerja pelabuhan dan daerah lingkungan
kepentingan pelabuhan.
TKBM perlu menerima upah sesuai dengan kualifikasi
mereka dan jumlah pekerjaan yang dilakukan.
Dengan mengizinkan berbagai koperasi untuk saling bersaing
di pelabuhan yang sama dapat memberi dampak antimonopoli yang menguntungkan. Pekerjaan dapat dialokasikan
secara kompetitif, sehingga setiap koperasi terdorong
untuk meningkatkan kualitas layanannya dan pada akhirnya
meningkatkan kesejahteraan para pekerja. Akan dibentuk
kelompok manajer pelabuhan profesional, khususnya di
pelabuhan-pelabuhan besar. Setiap perusahaan pemakai tenaga
kerja koperasi dapat menentukan jumlah dan kualifikasi tenaga
kerja yang akan digunakannya.

sebagai Badan Hukum Indonesia khusus untuk melakukan


bongkar muat barang dari dan ke kapal di pelabuhan
dengan menggunakan peralatan dan TKBM sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Ketentuan ini ditafsirkan bahwa
semua kegiatan bongkar muat harus melibatkan koperasi
TKBM.

Pembangunan Pelabuhan

UU no. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan memiliki implikasi


yang terkait dengan pelatihan dan rekrutmen. Pasal 12 UU
ini memandatkan bahwa para pemberi kerja bertanggung
jawab atas peningkatan dan/atau pengembangan
kemampuan para pekerjanya melalui pelatihan. Unit-unit
usaha KTKBM dianggap sebagai pemberi kerja para TKBM.
UU ini juga menyatakan bahwa para pemberi kerja dapat
merekrut sendiri para pekerja yang mereka butuhkan
atau menggunakan jasa dari agen penempatan. PBM dan
operator terminal yang menggunakan peralatan khusus
untuk jenis barang tertentu dapat menggunakan ketentuan
ini sebagai dasar untuk merekrut sendiri pekerja yang
terlatih untuk mengoperasikan peralatan khusus tersebut.

Dampak Perundang-undangan Tersebut


Sebagian dari peraturan perundang-undangan yang
dijelaskan di atas dirancang untuk melindungi kepentingan
para pekerja yang rentan terhadap eksploitasi tanpa adanya
peraturan perundang-undangan tersebut. Sayangnya,
perundang-undangan tersebut memiliki beberapa dampak
negatif yang tidak diinginkan. Karena koperasi TKBM
belum menghadapi tekanan persaingan, KTKBM belum
perlu mengoptimalkan kualitas jasa yang diberikannya.
Telah banyak keluhan mengenai produktivitas TKBM yang
disediakan oleh koperasi. Dari sudut pandang PBM, kinerja
mereka semakin buruk dan tidak memenuhi harapan.
Sebagaimana dilaporkan dalam Bisnis Indonesia dalam
sebuah artikel edisi 23 Juni 2010, persatuan PBM mengajukan
keberatan secara formal atas SK 2002 yang menetapkan
bahwa koperasi TKBM harus dilibatkan dalam semua
kegiatan bongkar muat. Asosiasi Pemilik Kapal Indonesia
mengajukan gugatan ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU), yang menyatakan bahwa ketentuan SK tersebut
telah secara efektif menciptakan monopoli dan bahwa
tingkat produktivitas di beberapa pelabuhan terlalu rendah.
Masalah lainnya adalah bahwa koperasi mengenakan
biaya meski kegiatan operasional dilakukan dengan sistem
ban berjalan dan jaringan pipa, tanpa melibatkan TKBM.
Pengenaan biaya tersebut bertentangan dengan Inpres no.
5/2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional.
Menurut Inpres ini, biaya jasa pelabuhan yang dikenakan
tanpa pemberian jasa harus dihapuskan.

Perkembangan Baru
Pada tanggal 29 Desember, 2011 sebuah surat keputusan
bersama baru, SKB/20114 dikeluarkan untuk menggantikan
SKB/2002. Berdasarkan SKB/2011, unit usaha KTKBM
dapat membentuk sub-unit dan/atau kelompok kerja
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan di pelabuhan.
Sebagaimana dijelaskan oleh seorang anggota tim yang
terlibat dalam penyusunan SKB/2011, tujuan pencantuman
ketentuan tersebut adalah agar KTKBM dari satu pelabuhan
dapat menawarkan jasa ke pelabuhan lainnya, sehingga
meningkatkan persaingan dan meminimalkan praktik
monopoli. Meski demikian, langkah ini tidak akan membawa
hasil yang optimal apabila sub-unit tersebut menguasai
pasar secara bersama-sama.
SKB/2011 juga mengubah SKB/2002 sehingga menyatakan
bahwa kegiatan bongkar muat yang membutuhkan ban
berjalan, pipanisasi, derek terapung, atau peralatan serupa
hanya dapat dilakukan oleh TKBM yang memiliki keahlian
dan kualifikasi yang diperlukan, dan jumlah TKBM yang
diperlukan yang harus digunakan. SK ini juga menyatakan
bahwa kegiatan tersebut harus dilakukan berdasarkan
permintaan dari pengguna jasa, dan unit usaha tersebut
hanya akan menerima upah TKBM sesuai dengan kualifikasi
dan jumlah TKBM yang melakukan pekerjaan. Ketentuan ini
dapat ditafsirkan bahwa pekerja terampil yang melakukan
kegiatan bongkar muat dengan menggunakan ban berjalan,
pipanisasi, derek terapung atau peralatan mekanis serupa
harus anggota Koperasi TKBM. Ada kekhawatiran bahwa
ketentuan tersebut dapat digunakan sebagai alasan untuk
terus mengenakan biaya TKBM meskipun kegiatannya tidak
menggunakan TKBM.
Pasal 9 SKB/2011 menentukan bahwa setiap kegiatan
bongkar muat yang terjadi di luar daerah kerja atau daerah
kepentingan pelabuhan harus dilakukan oleh KTKBM
di pelabuhan laut terdekat. Pasal ini juga menyatakan
bahwa kegiatan bongkar muat di terminal khusus harus
menggunakan TKBM. Bersama dengan Pasal 4, yang
mendefinisikan TKBM sebagai anggota koperasi, ini berarti
bahwa tidak ada kegiatan bongkar muat di mana pun yang
dapat dilakukan tanpa melibatkan KTKBM.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

104

105

Tenaga Kerja di Pelabuhan Indonesia: Peran Koperasi

Saran Penulis
TKBM memegang peran yang penting di pelabuhan dan
harus didukung. Namun peraturan yang berlaku sampai saat
ini tampaknya memberikan perlindungan yang berlebihan.
KTKBM tidak disiapkan untuk menghadapi persaingan
terbuka. Dukungan yang diberikan kepada TKBM, KTKBM,
dan unit usaha dalam koperasi, harus mengembangkan
tingkat keterampilan dan mempersiapkan TKBM untuk
berpartisipasi dalam kegiatan bongkar muat yang semakin
sering menggunakan peralatan mekanis.
Untuk mencegah praktik monopoli yang merugikan, TKBM
harus dikelola oleh lebih dari satu koperasi penempatan
TKBM yang independen di setiap pelabuhan laut.

Tentang Penulis:
Jasief Sutopo Putrahardja saat ini adalah Dosen Nautika
pada Manajemen Pelayaran di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran
Indonesia. Ia juga adalah dosen Fakultas Teknik Universitas
Negeri Jakarta. Ia mengajar bidang Kajian Perhubungan Laut.
Ia memulai karirnya pada tahun 1966, pertama-tama sebagai
mualim di kapal dagang dan kapal AL, kemudian mengelola
kegiatan operasional dengan berbagai jabatan di Pelabuhan
Tanjung Priok. Ia juga pernah menjabat di Pelindo II dan PT EDI
Indonesia dalam kapasitas manajerial, serta AKR Corporindo
di Pelabuhan Guigang di Guang Xi, China. Selama dekade lalu
sebagian besar karyanya difokuskan pada pelatihan SDM.

Agar kegiatan usaha koperasi berhasil, KTKBM harus


memiliki pola pikir baru. Mereka harus memahami bahwa
koperasi yang menawarkan nilai terbaik untuk pelanggan
adalah koperasi yang akan paling berhasil.

CATATAN
1. Keputusan Bersama Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Direktur Jenderal Bina Hubungan Ketenagakerjaan dan Pengawasan Norma
Kerja, serta Direktur Jenderal Bina Lembaga Koperasi no. UM 52/1/9-89, KEP.103/BW/89, 17/SKD/BLK/VI/1989 tentang Pembentukan
dan Pembinaan Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat.
2. Keputusan Bersama Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Direktur Jenderal Pembinaan dan Pengawasan Tenaga Kerja, dan Deputi
Bidang Kelembagaan Koperasi dan UKM No. AL.59/II/12-02, no.300/BW/2002 dan No. 113/SKB/Dep-S/VIII/2002 tentang Pembinaan
dan Pengembangan Koperasi TKBM di Pelabuhan.
3. Seperti tertera dalam Undang-undang no 17/2008, Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) adalah wilayah perairan dan daratan pada
pelabuhan atau terminal khusus yang digunakan secara langsung untuk kegiatan pelabuhan; Daerah Lingkungan Kepentingan
(DLKp) adalah perairan di sekeliling daerah lingkungan kerja perairan pelabuhan yang dipergunakan untuk menjamin keselamatan
pelayaran.
4. Keputusan Bersama Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, dan Deputi
Bidang Kelembagaan Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah no.: UM.008/4.1/DJPL-11, no. 93/DJPPK/XII/2011, no.: 96/SKB/DEP.1/
XII/2011 tentang Pembinaan dan Penataan Koperasi TKBM di Pelabuhan.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Pembangunan Pelabuhan

106

Pandangan Seorang Direktur


Kemal Heryandri, seorang pakar masalah kepelabuhanan, membahas
masa depan dan tantangan yang akan dihadapi Pemerintah Indonesia
seiring dengan berkembangnya sektor kepelabuhanan.

Kemal Heryandri menjabat sebagai Direktur Pelabuhan


dan Pengerukan di Direktorat Jenderal Perhubungan
Laut (Dirjen Perhubungan Laut), Kementerian Republik
Indonesia. Ia adalah lulusan program pascasarjana di
bidang Perencanaan dan Perekayasaan Pelabuhan dari
International Institute of Hydraulic Engineering, IHEDelft Technology University, Belanda. Sebelumnya, ia
pernah menjabat sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut untuk periode 20102011.
Pak Kemal berbincang dengan Prakarsa saat berada di
Batam untuk menghadiri beberapa lokakarya dalam rangka
mensosialisasikan Rencana Induk Pelabuhan Nasional
(RIPN) kepada pejabat Pemerintah Daerah dan Pemerintah
Provinsi.

Menurut pendapat Bapak, apakah strategi terbaik


untuk dapat mengimplementasikan Rencana Induk
Pelabuhan Nasional? Terutama mengingat 70
persen dana yang dibutuhkan untuk pengembangan
pelabuhan berasal dari sektor swasta?
Memang kita harus menyiapkan dokumen yang betulbetul dipersiapkan dengan baik, dalam arti kita harus bisa
menjual kepada sektor swasta sehingga mereka tertarik
untuk berinvestasi, sebagai contoh, Pelabuhan Kalibaru
di Jakarta Utara. Banyak yang tertarik dengan Pelabuhan

Kemal Heryandri

Atas perkenan Annetly Ngabito

Prakarsa Compendium | Jilid 2

107

Pandangan Seorang Direktur

tersebut, dan 33 perusahaan sudah mendaftar saat prakualifikasi. Mereka melihat Tanjung Priok begitu ramai,
dan akan dikembangkan. Biasanya, investor swasta akan
meminta dokumen pendukung berisi informasi yang
diperlukan, bagaimana hasil studi kelayakannya, kemudian
bagaimana potensinya, dan seterusnya. Mereka berpikir :
jika belum ada pelabuhan, sementara industri di wilayah
sekitarnya berkembang, pasti produksinya harus dibawa ke
pelabuhan yang agak jauh. Sementara kalau ada pelabuhan
di dekat lokasi industri, pengguna pelabuhan pasti akan lari
ke pelabuhan terdekat.

Berhubung kita sedang berada di Batam, apakah


Bapak dapat menceritakan mengapa belum ada
proyek PPP yang mendapatkan investor swasta
setelah 10 tahun?

Jadi kita harus menunjukkan kepada pengusaha swasta,


bahwa pelabuhan siap dikembangkan, sudah siap
menghasilkan, dan akan menguntungkan. Perusahaan
swasta biasanya mengambil keputusan berdasarkan berapa
banyak keuntungan yang dapat dihasilkan. Kita harus
menunjukkan bahwa kalau Anda bangun sesuatu, itu akan
menghasilkan profit. Kuncinya ada di situ. Jadi dia tahu
sekian besar potensi kargonya. Itu strategi pertama.

Sebenarnya Otoritas Batam sudah memulai jauh hari


sebelumnya. Jadi, sebelum orang membicarakan PPP,
Otoritas Batam sebenarnya sudah memulai. Mereka sudah
lebih dulu menawar-kan tender. Hanya saja, waktu itu
mereka tidak didukung adanya regu-lasi yang kuat oleh
Pemerintah Pusat.

Kemudian, yang kedua, kita harus menjamin bahwa nanti


tidak terjadi, misalnya, pemutusan kontrak usaha setelah
baru dua tahun berjalan. Jadi ada keamanan dan kepastian
hukum. Jadi, ini merupakan investasi jangka panjang:
50 tahun, 30 tahun, 40 tahun. Investor harus diyakinkan
oleh Pemerintah bahwa mereka terjamin dan bisa terus
mengoperasikan pelabuhan sampai kontraknya selesai.
Sekarang peraturan kita sudah mendukung pemberian
jaminan oleh Pemerintah, tetapi karena belum ada banyak
contoh, mereka masih ragu. Ada contoh kerjasama seperti
Hutchinson di Pelabuhan Tanjung Priok, dalam kerjasama
tersebut kontrak mereka dihargai oleh Pemerintah.

Kerjasama antara Hutchison [Hutchison Port


Holdings, yang mengoperasikan Jakarta International
Container Terminal] berbeda dengan program
Kerjasama Pemerintah-Swasta [PPP] yang selama ini
ditawarkan oleh Pemerintah. Betulkah sampai saat
ini belum ada proyek PPP untuk pelabuhan?
Oh, ya. Agak berbeda karena Hutchinson bekerjasama
langsung dengan Pelindo. Saat ini PPP yang murni untuk
pelabuhan belum ada. Oleh karena itu, kami mendorong
IndII agar kita bersama-sama dapat merealisasikan ini.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Sebenarnya bukannya belum laku [dengan investor swasta],


tapi otoritas lokal belum bisa memberi penawaran menarik
dengan baik. Kalau menurut saya begitu.

Apakah otoritas lokal di Batam dapat dibantu


dengan mempersiapkan dokumen yang lebih baik
oleh Pemerintah Pusat? Apakah hambatan yang
dialami dalam pengembangan PPP?

Contohnya, saat investor meminta 50 tahun, aturan kita


yang berlaku membatasi maksimal hanya 30 tahun. Belum
ada aturan yang jelas mengenai konsesi itu. Belum ada
insentif yang diberikan oleh Pemerintah. Saat ini Pemerintah
sudah membentuk Perusahaan Penjamin Infrastruktur. Nah,
itu bagus. Selain itu juga ada juga perusahaan-perusahaan
lain yang bisa menyediakan jaminan. Kemudian ada juga
Undang-Undang Pembebasan Lahan.

Bukankah Undang-Undang Pembebasan Lahan yang


baru ini belum diterbitkan?
Memang belum, tetapi itu akan menjadi aturan yang
mendukung PPP.

Menurut MP3EI [Masterplan Percepatan dan


Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia], Kuala
Tanjung merupakan wilayah yang paling cocok untuk
menjadi hub internasional bukan Batam?
Ya, Kuala Tanjung sedang dipersiapkan. Kuala Tanjung
berpotensi untuk menjadi hub internasional.

Kuala Tanjung dianggap masih merupakan greenfield


jika dibandingkan dengan Batam. Apa alasan
pemilihan ini, sedangkan Batam saja belum berhasil
mendapatkan investor?

Pembangunan Pelabuhan

Sebenarnya saya sudah menjelaskan saat melakukan


sosialisasi, bahwa kita tidak boleh menyatakan bahwa satu
pelabuhan akan menjadi hub. Yang menjadikan dia hub
adalah pasar. Market.
Sama seperti kita membangun hotel. Apakah hotel tersebut
akan ramai, akan menjadi hotel yang okupansinya bisa 100
Persen? Kan, tidak bisa begitu. Pasar yang menentukan.
Tapi hotel itu, kan, harus dilengkapi dengan fasilitas
dan pelayanan yang baik untuk menarik tamu. Sama,
pelabuhan juga begitu. Yang jelas kita setuju berkomitmen
untuk membangun Kuala Tanjung sebagai pelabuhan
internasional. Apakah dia akan menjadi hub nantinya, pasar
yang menentukan.
Tapi Kuala Tanjung berpotensi untuk menjadi hub.
Kenapa? Karena untuk menjadi internasional, dia harus
punya produk dulu. Di dekatnya ada Kawasan Industri Sei
Mangkei. Produksi di kawasan industri tersebut itu besar
sekali volumenya, potensi kargonya juga akan besar.
Sementara di Belawan, kondisinya berbeda, ada
keterbatasan alur dan kolam harus dikeruk setiap tahun. Hal
ini tidak mencukupi dan kurang efisien jika dibandingkan
besarnya volume kargo. Kapal yang berukuran di atas minus
91 tidak akan bisa masuk. Berbeda dengan Kuala Tanjung
yang mempunyai potensi kedalaman yang besar.
Lalu kemudian Batam juga berpotensi untuk menjadi hub.
Jadi, tidak apa-apa: Malaysia punya Pelepas dan Port
Klang. Malaysia punya dua hub dengan dua segmen yang
agak berbeda, kalau menurut saya. Yang pertama memiliki
kawasan industri, sedangkan yang satu lagi memiliki lokasi
strategis.
Tetapi Kuala Tanjung juga mempunyai lokasi strategis
karena berada di Selat Malaka. Kalau salah satu saja bisa
menjadi hub internasional, entah itu Batam atau Kuala
Tanjung, itu sudah bagus. Tapi, dua-duanya kita proyeksikan
sebagai pelabuhan internasional yang berpotensi menjadi
hub. Malaysia punya dua hub sekarang, Tanjung Pelepas
dan Port Kelang. Sedangkan Singapura hanya memiliki satu
pelabuhan.

Menurut Bapak, apakah salah satu alasan Batam


belum menjadi hub internasional disebabkan oleh
tekanan dari Singapura dan Malaysia?
Kalau menurut saya tekanannya murni sekedar kompetisi.
Seringkali kita salah mengartikan keadaan yang ada. Di satu
pihak, kita tidak mampu bersaing tapi kita menyalahkan
orang, dengan mengatakan kita dihalang-halangi. Bukan
seperti itu. Siapa, yang menghalangi kita membangun
pelabuhan atau dermaga di wilayah milik kita sendiri? Kalau
kita punya uang, kita bangun, tidak ada yang bisa melarang,
bukan? Kemudian, kalau kita sediakan fasilitasnya juga tidak
ada yang bisa melarang.
Dulu, saat Tanjung Pelepas sedang dibangun, siapa yang
bisa melarang? Itu wilayah Malaysia sendiri. Singapura
merasakan dampak Tanjung Pelepas sekarang. Karena ada
Tanjung Pelepas, volume Singapura berkurang. Batam juga
begitu kalau kita bangun menjadi pelabuhan internasional.
Ini masalahnya kita masih belum bisa membangun dengan
dana sendiri, karena kita mengandalkan investor.
Sah-sah saja kalau dalam kompetisi Singapura menarik
investor dengan mengatakan, kalau membangun di
Singapura saja, kami beri diskon, asal jangan membangun
di negara lain. Boleh saja. Namanya bisnis, ada kompetisi.
Misalnya kompetisi dua hotel, yang satu bilang Anda jangan
menginap di sini. Menginap di tempat saya saja,saya beri
tarif lebih murah. Lalu mau apa kita?

Apakah Pemerintah Indonesia dapat mengikuti


langkah yang diambil Perdana Menteri Mahathir
Mohamad sewaktu Malaysia membangun Pelabuhan
Tanjung Pelepas, di mana Pemerintah Malaysia
mendanai semua pembangunan infrastruktur awal
menggunakan dana pemerintah dan kemudian
menjualnya kepada perusahaan swasta seperti
Maersk Line, Evergreen, dan lain-lain?
Itu tergantung keinginan nasional. Pemerintah bisa
memerintahkan untuk membangun Batam seperti saat
Malaysia membangun Tanjung Pelepas dengan segala daya
dikerahkan, semua dana dikeluarkan oleh pemerintah.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

108

109

Pandangan Seorang Direktur

Tergantung kita untuk memutuskan untuk membangun dua


pelabuhan: Kuala Tanjung dan Batam, misalnya dengan
menggunakan uang APBN 2013. Semua dimasukkan ke
APBN. Masing-masing pelabuhan didanai empat triliun,
jadi total biaya adalah delapan triliun. Kita fokus ke dua
pelabuhan ini dulu dan dua-tiga tahun selesai. Selama masa
itu jangan membangun yang lain dulu dibangun. Itu bisa
saja dilakukan,tinggal membutuhkan komitmen yang kuat.

Tetapi mungkin dengan adanya RIPN, seharusnya kita bisa


melihat: apabila ada pelabuhan pengumpul, kita bisa cek
pemanfaatannyanya. Jika sudah padat sekali, kita bangun.
Jadi kita mempunyai skala prioritas yang lebih tinggi.
Kadangkala seperti yang pernah terjadi pelabuhan mana
yang akan dibangun tergantung pada siapa yang kuat dalam
melobi. Mestinya RIPN ini menjadi referensi kita. Itu satu
hal.

Adakah individu dari Kementerian Perhubungan yang


dapat meyakinkan pejabat di tingkat atas untuk
berkomitmen untuk melakukan hal tersebut?

Yang kedua, mengenai masalah pelayanan. Selain kita


bangun dermaganya, kita juga harus sediakan cranes-nya.
SDM-nya juga perlu kita perhatikan, sehingga kita benarbenar bisa memberikan pelayanan yang terbaik. Kinerjanya
juga harus kita perhatikan. Mudah-mudahan ini bisa
bermanfaat, karena juga dapat menjadi acuan.

Seharusnya ada pendekatan yang lebih menyeluruh dalam


mewujudkan tujuhan ini. Kita harus saling kerjasama dengan
pemangku kepentingan seperti Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian, Bappenas, Menteri Keuangan, dan
lain-lain. Indonesia incorporated. Mestinya seperti itu
bukan? Saya optimis jika seperti itu.

Satu pertanyaan terakhir, Pak: Menurut Bapak, apa


dampak dari Rencana Induk Nasional ini dalam kurun
waktu 510 tahun yang akan datang?
Mestinya pengembangan pelabuhan mengacu pada RIPN,
terutama dalam prioritas pembangunan. Jadi kita punya
skala prioritas. Kita tidak lagi membangun pelabuhanpelabuhan pengumpan yang memang belum dibutuhkan
untuk dikembangkan. Kecuali untuk pelabuhan-pelabuhan
yang terletak di pulau terluar, karena untuk kepentingan
pertahanan dan juga untuk, misalnya, membantu
masyarakat yang membayar harga tinggi untuk komoditas
karena tidak adanya pelabuhan. Itu dalam rangka promosi.

Tetapi Rencana Induk ini harus tetap dinamis. Kalau sebuah


pelabuhan tetap tumbuh, yang sebelumnya pengumpan,
berkembang menjadi pengumpul, dan kemudian menjadi
pelabuhan internasional, ya boleh saja. Jadi, Rencana Induk
hanya berperan sebagai acuan. Kita mesti punya blueprint
dulu, dan ini bisa ditinjau terus. Setiap tiga tahun sampai
lima tahun harus kita tinjau. Karena Rencana Induk ini, kan,
dinamis sekali.
Tetapi di lapangan nantinya, kita bisa saja punya rencana,
tapi nantinya betul-betul kekuatan pasar yang menentukan
bagaimana pelaksanaannya.
Wawancara ini dilakukan oleh Communications Officer
IndII, Annetly Ngabito.

CATATAN
1. Minus 9 adalah sebuah cara untuk mengkategorikan ukuran kapal dengan mengacu kepada jarak antara bagian bawah kapal
dengan permukaan air. Banyak kapal yang berukuran lebih besar dari ini.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Pembangunan Pelabuhan dalam Angka

110

Pembangunan Pelabuhan
dalam angka
75%
9.5%
5
1:1

Di seluruh dunia, porsi kendala pada efisiensi sistem kepelabuhanan sebagai


akibat kegiatan pemerintah seperti kepabeanan; penggunaan teknologi informasi
secara tidak efisien; dan praktik-kegiatan logistik di bawah standar.
Rata-rata laju pertumbuhan tahunan antara 2009 dan 2015 di bidang lalu lintas
peti kemas internasional di pelabuhan Indonesia.
Jumlah terminal yang direncanakan Pelindo II di Terminal Kalibaru, Tanjung Priok.
Pekerjaan konstruksi, yang akan selesai tahun 2017, mencakup tiga terminal peti
kemas dan dua terminal untuk produk migas.
Perkiraan rasio peti kemas ukuran 20-kaki sampai 40-kaki yang ditangani di
Tanjung Priok, angka yang tetap stabil sepanjang dasawarsa terakhir. Pelabuhan
di negara lain mengalami kenaikan dalam jumlah peti kemas 40-kaki, tetapi
Indonesia mengalami kendala seperti jalan yang sempit, yang menghambat
penanganan peti kemas berukuran lebih besar.

Rp 1

Jumlah investasi yang dibutuhkan untuk membangun pelabuhan peti kemas di


Sorong, Papua. Pelabuhan ini sedang dibangun sebagai kemitraan antara lima
perusahaan perkapalan, Pelindo IV, dan pemerintah Kabupaten Sorong.

84%

Porsi dari jumlah peti kemas yang ditangani di 5 pelabuhan Indonesia terbesar
tahun 2009. Di seluruh Indonesia terdapat lebih dari 1700 pelabuhan.

75%

Perkiraan persentase kargo curah kering berupa batu bara yang ditangani di
pelabuhan Indonesia.

69%

Porsi volume peti kemas pada tahun 2009 yang ditangani di 50 pelabuhan teratas
di Indonesia, yang berasal dari perdagangan internasional.

triliun

600,000
m3

Jumlah endapan yang menumpuk setiap tahun di perairan Pelabuhan Pulau Baai
di Bengkulu. Pelindo II berencana untuk melakukan pengerukan secara berkala
dengan biaya awal Rp 70 miliar.

111

Pandangan Para Ahli

Pandangan Para Ahli


Pertanyaan:
Menurut pendapat Anda, langkah prioritas seperti apa yang
seharusnya diambil untuk melaksanakan RIPN (Rencana Induk
Kepelabuhanan Nasional/NPMP) secara efektif?

Erry Hardianto
Senior General Manager, Trade & Marketing Department
PT Maersk Line Indonesia
Langkah yang perlu diambil adalah pengintegrasian perencanaan dengan pihak yang relevan agar tercipta
konsistensi di setiap tingkat pemangku kepentingan, sehingga implementasi industri rantai suplai dapat berjalan
lancar dan dapat menekan biaya transportasi ke tingkat yang kompetitif dengan negara Asia lainnya. Perencanaan
infrastruktur pelabuhan sebaiknya didesain sesuai dengan kebutuhan kapasitas jangka panjang (umur ekonomis)
sampai dengan 50 tahun ke depan. Beberapa pelabuhan besar Asia bahkan didesain untuk umur ekonomis sampai
dengan 100 tahun. Selain itu, pembangunan dan pengembangan kawasan pelabuhan selayaknya disesuaikan
dengan kondisi geografis di Indonesia, dan melalui mekanisme pasar (business oriented) dapat ditentukan lokasilokasi di mana sistem kepelabuhanan yaitu pelabuhan pengumpul (hub and spoke) dan pelabuhan pengumpan
dapat dibangun. Hal ini akan sangat berguna untuk mendukung efisiensi anggaran.

Octavianus Sembiring
Vice President PT Bank Mandiri (Persero) Tbk
Corporate Banking I Group Relationship Department 3
Percepatan pembangunan pelabuhan di Indonesia dapat terlaksana dengan meningkatkan lebih banyak
partisipasi perbankan nasional. Kelayakan proyek, jumlah kredit besar dan jangka waktu yang panjang merupakan
tantangan utama bagi perbankan untuk membiayai sektor ini. Oleh karena itu yang merupakan pilihan ideal adalah
pembiayaan dana talangan dari perbankan secara sindikasi kepada perusahaan dan/atau pembiayaan proyek yang
dijamin asuransi kredit, dilanjutkan dengan penggantian struktur keuangan (refinancing) dengan sumber dana
jangka panjang seperti surat hutang (bond) atau saham (equity).

Saptono R. Irianto
Direktur Komersial dan Pengembangan Usaha
PT Pelabuhan Indonesia II (Persero)
Agar RIPN ( NPMP) dapat dilaksanakan secara efektif, perlu dikembangkan konsistensi dan simplifikasi birokrasi
perijinan dari Pemerintah, yang tetap fleksibel bagi BUP (Badan Usaha Pelabuhan) dalam menghadapi perubahan
dalam pola perdagangan (trade pattern) dan langkah-langkah untuk menekan biaya logistik secara umum.

Tema Lintas Sektoral


Edisi 11, Juli 2012

Peran Pemantauan & Evaluasi yang Semakin Berkembang:


Pengalaman IndII
Perempuan, Laki-laki, dan Pembangunan Infrastruktur
Uji Acak Terkendali:
Standar Unggulan dalam Evaluasi Dampak
Manajemen Risiko dalam Infrastruktur: Sebuah Pengantar
Pertimbangan Rumit: Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup dalam Pembangunan Infrastruktur
Angkutan Umum yang Aman dan Nyaman untuk Semua:
Sebuah Upaya Pencapaian
Sebuah Sistem yang Dapat Menyelamatkan Nyawa

POIN-POIN UTAMA
Seiring dengan terus berkembangnya cakupan, kompleksitas, dan biaya program pembangunan
internasional, peran Pemantauan & Evaluasi (M&E) menjadi semakin penting. M&E untuk
Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) menghadapi tantangan yang unik karena besarnya
pendanaan dan penting serta mendesaknya proyek infrastruktur yang didanai Pemerintah
Australia melalui kemitraan dengan Pemerintah Indonesia.
Pemantauan adalah penelusuran rutin atas unsur-unsur utama dari pelaksanaan program/
kegiatan (biasanya berupa masukan dan keluaran) melalui pemeriksaan reguler dan pelaporan.
Evaluasi adalah penyelidikan yang sistematis dan sporadis atas nilai, arti penting, atau makna
dari sesuatu atau seseorang sepanjang suatu kerangka kerja tertentu (misalnya program).
Penggunaan pendekatan kualitatif dan kuantitatif telah berkembang pesat selama beberapa
dekade lalu dalam bidang M&E. Di sisi kualitatif, tujuan dari penggunaan teknik-teknik tersebut
adalah untuk membuat suatu penjelasan non-numerik tentang pengalaman, karakteristik,
kinerja, dan dimensi lainnya dari suatu kegiatan. Pendekatan kuantitatif berfokus pada
kemampuan untuk mengumpulkan data numerik, khususnya selama waktu tertentu sehingga
perubahan dapat diukur.
Pendekatan kualitatif maupun kuantitatif dipergunakan di IndII. Dalam Revisi Rencana M&E
untuk Tahap 2 program IndII, perubahan besar dalam pendekatan adalah penekanan pada
penggunaan M&E sebagai alat manajemen dan perencanaan, bukan memandangnya sebagai
persyaratan pelaporan atau kontrak semata. Sebagai bagian dari perubahan ini, data baseline
yang berkualitas dikumpulkan dan hasil serta metodologi ditentukan secara eksplisit.

Tema Lintas Sektoral

116

Peran Pemantauan & Evaluasi


yang Semakin Berkembang:
Pengalaman IndII
Seiring dengan anggaran yang semakin meningkat dan tuntutan
akan akuntabilitas semakin tinggi, para ahli Pemantauan &
Evaluasi memainkan peranan yang semakin penting dalam menilai
keberhasilan program.
Oleh Ty Morrissey

Seiring dengan terus berkembangnya cakupan, kompleksitas,


dan biaya program pembangunan internasional, peran
Pemantauan & Evaluasi (monitoring & evaluation, M&E)
menjadi semakin penting. Lembaga-lembaga donor dan
pemerintah penerima bantuan mengawasi program secara
ketat, menuntut adanya akuntabilitas dan transparansi.
Proses-proses M&E mendapat tekanan untuk menyediakan
data yang terukur, apakah dan bagaimana program memenuhi
tujuan dan memberikan hasil yang diinginkan.
M&E untuk Indonesia Infrastructure Initiative (IndII) tidak
lepas dari kecenderungan ini. Bahkan, komponen M&E IndII
menghadapi tantangan khusus mengingat besarnya jumlah
dana dan penting serta mendesaknya kegiatan infrastruktur
yang didanai Pemerintah Australia bekerja sama dengan
Pemerintah Indonesia.
Pada tingkatan yang paling dasar, M&E terdiri atas dua unsur.
Yang pertama adalah unsur pemantauan, yaitu penelusuran
rutin atas unsur-unsur utama kinerja program/kegiatan
(biasanya berupa masukan dan keluaran) melalui pemeriksaan
reguler dan pelaporan. Yang kedua adalah evaluasi, yaitu
penyelidikan yang sistematis dan sporadis atas nilai, arti
penting atau makna dari sesuatu atau seseorang, sepanjang
suatu kerangka kerja tertentu (misalnya program).

Penggunaan pendekatan kuantitatif maupun kualitatif telah


berkembang dengan pesat selama beberapa dekade terakhir
dalam bidang M&E. Hasilnya adalah berbagai macam teknik
yang saat ini tersedia bagi para ahli M&E untuk mengawasi
dan menilai kegiatan, program, dan intervensi.
Di sisi kualitatif, tujuan penggunaan teknik-teknik tersebut
adalah untuk membuat suatu penjelasan non-numerik tentang
pengalaman, karakteristik, kinerja, dan dimensi lainnya dari
suatu kegiatan. Hal ini dapat dilakukan dengan melaksanakan
observasi lapangan, wawancara, dan kelompok terfokus, serta
dengan mengembangkan kisah sukses (performance stories).1
Tiap-tiap teknik tersebut bertujuan untukmendapatkan
pemahaman yang terperinci tentang penyebab, perilaku, dan
motivasi yang merangsang perubahan tersebut. Pendekatan
kualitatif menekankan pada pemahaman tentang pengalaman
masyarakat dalam konteks terkait, dan bagaimana intervensi
mengubah pengalaman-pengalaman tersebut.
Sebaliknya, pendekatan kuantitatif berfokus pada kemampuan
untuk mengumpulkan data numerik, khususnya dengan
berjalannya waktu, sehingga perubahan dapat diukur.
Perangkat statistik dapat diterapkan pada data numerik dan
hasilnya dapat diprediksikan terhadap masyarakat luas.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

117

Peran Pemantauan & Evaluasi yang Semakin Berkembang: Pengalaman IndII

Lebih dari Sekadar Pelaporan


Pendekatan M&E yang baik dapat mengungkapkan kekuatan
maupun kelemahan program yang dinilai, sehingga para
manajer dapat mengambil tindakan yang sesuai. Contoh
kekuatan adalah evaluasi atas program Hibah Air Minum IndII.
Program Hibah IndII di Tahap 1 menggunakan mekanisme
hibah berbasis keluaran untuk mendorong pemerintah daerah
berinvestasi pada sarana penyediaan air minum. Evaluasi
eksternal menunjukkan efektivitas pendekatan ini, sehingga
program itu diperluas dan program hibah serupa dicoba juga
di sektor lain.
Di sisi lain, kajian M&E internal atas program IndII untuk
mendukung Organisasi Berbasis Masyarakat (CBO) dalam
meningkatkan layanan air bersih dengan dukungan sektor
swasta menemukan bahwa program ini tidak mencapai hasil
dan sasaran yang diinginkan. Tujuan awalnya adalah:
Mengaitkan 25 CBO dengan pembiayaan kredit melalui
bank umum (pembiayaan mikro).
Menerapkan perjanjian kewajiban layanan antara
pemda dan CBO dengan pengawasan terkait melalui
benchmarking.

Unsur yang penting dari Pemantauan


& Evaluasi kualitatif adalah berbicara
langsung dengan orang yang kehidupannya
terkena dampak langsung oleh intervensi
program.

Atas perkenan CIFOR

Program itu gagal mencapai tujuannya; pengawasan yang


berkelanjutan memperjelas masalah apa saja yang ada.
(Karena tidak ada peraturan yang mewajibkan mereka untuk
bekerja sama dengan CBO, bank tidak mau mendukung
program tersebut, dan CBO mengalami kekecewaan serta
keterbatasan kapasitas.) Diperlukan penyempurnaan program
dan perubahan arah; Tim M&E merekomendasikan untuk
mengembangkan peraturan yang sesuai dan memberikan
sumber daya tambahan untuk upaya sosialisasi dan pelatihan
bersama antara CBO dan bank. Penyusunan program baru
telah dirancang berdasarkan rekomendasi itu; kajian lanjutan
direncanakan untuk menentukan keberhasilan perubahan
tersebut.

adalah menciptakan keseimbangan, dalam setiap kegiatan


yang dipantau dan dinilai, antara pendekatan kuantitatif dan
kualitatif.

IndII baru-baru ini mengembangkan Revisi Rencana M&E untuk


Tahap 2 program IndII. Perubahan besar dibandingkan dengan
pendekatan Tahap 1 adalah penekanan pada penggunaan
M&E sebagai alat manajemen dan perencanaan, bukan
memandangnya sebagai persyaratan pelaporan atau kontrak
semata. Sebagai bagian dari perubahan ini, data baseline
yang berkualitas dikumpulkan dan hasil yang diharapkan
ditentukan secara jelas di tahap awal perencanaan program.
Metodologi (kualitatif dan kuantitatif) yang akan digunakan
untuk menentukan pencapaian hasil tersebut juga ditetapkan
secara eksplisit.

Baik pendekatan kualitatif maupun kuantitatif memiliki


nilai dalam konteks IndII dan keduanya digunakan. Dengan
menggunakan kedua pendekatan tersebut, IndII dapat
membuat rangkaian data dan informasi yang besar untuk
diinterpretasikan dan dianalisis. Tantangan bagi para ahli M&E

Sepanjang tahun lalu tim M&E IndII bekerja sama dengan staf
teknis untuk mengembangkan kerangka kerja logis2 untuk
sektor transportasi serta sektor air minum dan sanitasi.
Model tersebut memberikan kerangka kerja untuk strategi
perencanaan dan komunikasi serta hasil yang diinginkan.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Tema Lintas Sektoral

Berbagai macam teknik sekarang tersedia bagi para ahli


M&E untuk mengawasi dan menilai kegiatan, program, dan
intervensi.
Kerangka kerja logis menentukan apa yang ingin dicapai
dengan suatu intervensi dan langkah-langkah yang saling
terkait untuk mencapai hasil yang diharapkan. Kerangka kerja
tersebut bukan hanya alat untuk tujuan evaluasi, namun juga
untuk menimbulkan minat dan dukungan dari pemangku
kepentingan tentang ukuran dan laporan apa yang dinilai
penting. Pada dasarnya, kerangka kerja logis adalah alat yang
penting, bukan saja untuk M&E tetapi juga untuk perencanaan,
desain, pelaksanaan, dan pengelolaan.
Rancangan M&E IndII tetap memakai pendekatan yang
sederhana, fleksibel, dan responsif, tetapi juga menekankan
pada ketepatan dalam penerapan pendekatan kualitatif
maupun kuantitatif. Secara khusus, IndII akan menerapkan
lebih banyak metode kuantitatif dengan penggunaan
Randomised Control Trials (RCT) serta kajian dampak yang
terkait untuk memberikan bukti yang kuat tentang perubahan
dan dampak yang dapat secara langsung dikaitkan dengan
intervensi dan investasi yang diberikan melalui IndII. (Untuk
informasi lebih lengkap tentang RCT, baca Uji Acak Terkendali:
Standard Unggulan dalam Evaluasi Dampak di hal. 129.)
Untuk meningkatkan keandalan dan kredibilitas, tim eksternal
akan melakukan sebagian besar kajian dan evaluasi tersebut
sehingga hasilnya dapat diverifikasi dan diperiksa.
Secara kualitatif, IndII juga akan melakukan serangkaian evaluasi
internal dan studi kasus yang bertujuan mengumpulkan data
dan informasi yang menekankan perubahan pada praktik
individual dan organisasi. Misalnya, IndII akan melakukan
tindak lanjut bersama auditor profesional dari Inspektorat
Jenderal Kementerian PU yang berpartisipasi dalam pelatihan
Audit Internal Berbasis Risiko. Tindak lanjut itu akan menilai
perubahan pada perilaku mereka dan memperjelas bagaimana

pelatihan yang didanai IndII berhasil mengembangkan


kapasitas profesional dan teknis. Contoh lain adalah penilaian
dampak peningkatan air bersih dan sanitasi pada kehidupan
masyarakat. IndII akan memeriksa bagaimana akses terhadap
air bersih yang dikombinasikan dengan pelatihan tersebut
meningkatkan perubahan pada kondisi kebersihan dan
kesehatan umum.
Peningkatan minat pada M&E telah memberikan reputasi
yang lebih tinggi dan peran yang lebih besar bagi M&E
dalam penentuan program, yang membuka peluang untuk
keterlibatan dan dukungan nyata.
Penggunaan penilaian internal dan eksternal serta pendekatan
kualitatif dan kuantitatif menjadikan M&E sebagai bidang yang
berguna dan menarik.Tantangannya adalah mempertahankan
relevansi dengan berjalannya waktu, mengomunikasikan
hasilnya secara jelas, serta memastikan bahwa pembuatan
keputusan manajemen dipengaruhi oleh hasil dan data yang
muncul.

Tentang Penulis:
Ty Morrissey adalah Ahli Pemantauan & Evaluasi (M&E).
Ia memiliki pengalaman selama 15 tahun dalam hal desain
program dan M&E. Ia telah mendesain berbagai sistem dan
kerangka kerja M&E untuk program-program AusAID berskala
besar di Papua Nugini, China, Afghanistan, dan Indonesia.
Ty memiliki gelar sarjana dalam bidang studi pembangunan
dan gelar Master dalam bidang Administrasi Bisnis. Ia saat
ini sedang menyelesaikan pendidikan Master kedua dalam
bidang Evaluasi.

CATATAN
1. Kisah sukses (performance stories) adalah laporan singkat yang berupaya menjelaskan mekanisme yang digunakan agar kegiatan
program mencapai hasil yang diinginkan.
2. Kerangka kerja logis adalah representasi grafis, seringkali dalam bentuk bagan, yang menunjukkan langkah demi langkah bagaimana
input program dan kegiatan diharapkan mencapai hasil yang diinginkan.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

118

119

Peran Pemantauan & Evaluasi yang Semakin Berkembang: Pengalaman IndII

LEBIH DEKAT DENGAN PENULIS


Selain menulis artikel untuk Prakarsa, ahli M&E Ty Morrissey sempat berbicara selama
beberapa menit dengan Prakarsa tentang minatnya terhadap M&E. Berikut kutipannya.
Prakarsa: Seperti apa arah pendekatan M&E terkait
dengan investasi infrastruktur di Indonesia?
Morrisey: M&E telah menjadi bidang yang sangat menarik
selama beberapa tahun terakhir, khususnya terkait dengan
infrastruktur Indonesia, terutama karena adanya peningkatan
anggaran untuk bantuan pembangunan dari luar negeri,
khususnya untuk investasi infrastruktur. Namun, ini bukan hanya
terkait donor asing; Pemerintah Indonesia mau menyediakan
lebih banyak anggaran untuk meningkatkan jumlah dan
kualitas infrastruktur. Peningkatan anggaran dan belanja ini
menimbulkan tuntutan akan akuntabilitas yang lebih besar
dan hasil yang nyata, khususnya di sisi kuantitatif, baik dalam
hal panjang jalan yang dibangun maupun jumlah sambungan
air minum dan saluran pembuangan air kotor rumah tangga.
Dengan M&E, kami mencoba menunjukkan korelasi antara
jumlah uang yang dikeluarkan dan hasil yang dicapai.
Di sisi kualitatif dari M&E, kami menyampaikan cerita dari
masyarakat, memeriksa persepsi mereka, dan melihat apakah
perilaku dan pemahaman mereka telah berubah. Secara
kuantitatif, kami melakukan pengumpulan data dan analisis
statistik. Baru-baru ini, terjadi peralihan ke arah penekanan
yang lebih kuantitatif dan statistik. Masih terdapat perdebatan
tentang apakah hal itu adalah bagian yang paling penting dari
M&E. Karena tidak ada salahnya menyediakan statistik tentang
hasil investasi dan sebagainya, kita tidak boleh menyepelekan
sisi naratifnya. Apa yang kami coba lakukan di IndII adalah tidak
hanya mendapatkan data nyata, tetapi juga mengungkap kisah
personal itu, dalam arti mengetahui bagaimana sebenarnya
dampak infrastruktur pada kehidupan masyarakat. Kami
selalu berupaya menjaga keseimbangan antara kuantitatif dan
kualitatif.

Apakah mungkin mengukur dampak yang sulit


diungkapkan dengan angka, seperti peningkatan
kualitas hidup karena jalan lebih banyak atau lebih
baik?
Saya rasa itu mungkin. Kita hanya perlu berhati-hati tentang
cara kita mendefinisikan keberhasilan, dan tidak berasumsi
bahwa semua perubahan pada masyarakat pasti merupakan

Prakarsa Compendium | Jilid 2

hasil dari intervensi tertentu. Misalnya, hanya karena kita


membangun jalan, kita tidak dapat secara otomatis berasumsi
bahwa perubahan pada layanan kesehatan atau akses terhadap
pendidikan secara khusus terkait dengan infrastruktur itu.
Namun, kita dapat, jika kita mendefinisikannya dengan benar,
melihat beberapa dampak langsung yang akan bermanfaat bagi
masyarakat yang menggunakan infrastruktur itu. Jadi, agar riset
kualitatif menjadi relevan dan sesuai, kita perlu terlebih dulu
menentukan perubahan apa yang kita inginkan, dan bagaimana
kita mengaitkan aspek kualitatif dengan ukuran kuantitatif. Jadi,
kita dapat mengukur hal-hal seperti peningkatan kualitas hidup,
tetapi kita perlu bersikap realistis dan memastikan M&E relevan
dengan intervensi praktis yang dilakukan, bukan mencoba
membuat pernyataan yang berlebihan dan mengaitkan semua
perubahan jangka panjang itu dengan intervensi kita.

Bagaimana filosofi itu memengaruhi cara Anda


menyusun rencana M&E?
Rencana M&E IndII untuk Tahap 2 telah disetujui oleh AusAID
dan saat ini sedang diterapkan. Kami menemukan bahwa
ketika kami mendesain revisi rencana itu, kami semakin
tahu bagaimana M&E merupakan alat perencanaan dan
manajemen yang penting, dan bagaimana kami perlu terlebih
dulu menentukan hasil yang diinginkan dan alat ukurnya.
Berarti,sekarang kita terlibat secara lebih langsung dengan
tim teknis untuk memetakan secara pasti apa yang diharapkan
untuk dicapai oleh intervensi dan juga target dan indikator yang
harus ditentukan, serta metodologi apa yang ingin kita gunakan.
Lalu kita tentukan hasil jangka pendek, menengah, dan jangka
panjang. Sekarang kita punya akuntabilitas yang lebih besar.
Dan temuan kita dapat digunakan sebagai bagian dari strategi
komunikasi, untuk menjelaskan kepada pihak luar bagaimana
suatu kegiatan dilakukan dengan berhasil.

Bagaimana dengan biaya dari semua metodologi itu?


Rencana M&E yang baik mempertimbangkan biaya
suatu kegiatan dan hasil investasi sebelum menyatakan
keberhasilannya. Tetapi, beberapa teknik M&E mungkin
mahal pelaksanaannya. Apakah melakukan M&E
berkualitas tinggi dapat terjangkau biayanya?

Tema Lintas Sektoral

Itu pertanyaan yang bagus dan sesuatu yang perlu kita ingat
di IndII. Kita adalah sebuah proyek, bukan lembaga riset, dan
kita tidak punya mandat untuk selalu melakukan riset. Dengan
menentukan apa yang ingin kita lihat dan apa yang ingin
kita ukur, kita membuat kerangka kerja untuk menentukan
pendekatan yang paling sesuai. Setiap kegiatan akan melakukan
studi baseline atau studi dampak, namun kita cenderung
memprioritaskan dan menyesuaikan pendekatan kita dengan
ukuran program. Panduan dari Pemerintah Australia adalah
bahwa kegiatan harus mengalokasikan sekurang-kurangnya 5
persen dari anggaran untuk M&E. Angka ini terus meningkat
ada kabar sekarang sebesar 1015 persen. Jumlah berapa
pun hanya merupakan panduan kasar. Jika kegiatannya rumit
atau memiliki kepentingan strategis bagi Pemerintah Indonesia
dan Pemerintah Australia, kami mungkin akan berupaya
mengembangkan metodologi yang lebih mendalam. Jadi,
pengeluaran disesuaikan lebih pada kebutuhan khusus suatu
kegiatan, bukan mengambil pendekatan menyeluruh untuk
M&E secara umum.

Anda adalah internal evaluator di IndII, bukan orang


yang datang dari luar untuk melakukan evaluasi.
Bagaimana Anda memandang peran ini dan
kontribusinya pada pengomunikasian hasil dan dampak
yang efektif untuk IndII?
Secara tradisional dalam bidang M&E, evaluator lapangan
dianggap sebagai orang luar. Anda akan meminta evaluator
untuk datang memberikan penilaian eksternal atas jalannya
suatu program atau organisasi. Namun, baru-baru ini terjadi
pertumbuhan yang stabil dalam penggunaan evaluator internal
yang terampil.
Evaluator Internal kadang dikritik oleh donor luar negeri karena
mereka menganggap kami bias. Mungkin saja kami memiliki
benturan kepentingan atau tidak memiliki pandangan yang
objektif. Hal itu sah saja. Namun, jika dilihat dari sisi lain,
evaluator internal penting. Khususnya dalam program yang besar
dan kompleks seperti IndII, Anda memerlukan pemahaman
tentang konteks kerja Anda, dan Anda harus memiliki hubungan
dengan tim teknis. Anda tahu apa permasalahan utamanya dan
apa yang perlu dievaluasi dan apa yang tidak begitu penting.
Itulah yang menyebabkan adanya peralihan dari sematamata mengandalkan evaluator eksternal, yang juga sangat
mahal. Pada beberapa kasus, mereka harus datang dengan
pemberitahuan singkat, harus melakukan banyak pekerjaan,
dan tidak punya kesempatan untuk menjalin hubungan dengan
tim teknis, apalagi pejabat pemerintah Indonesia atau penerima

manfaat. Ini bukan soal pilihan antara evaluasi internal atau


eksternal. Kedua pihak saling melengkapi. Kita dapat memiliki
evaluasi internal yang berkualitas baik yang memberikan data
dan informasi serta verifikasi, yang kemudian dapat diperiksa
oleh tim eksternal.
Salah satu pengaman dari M&E internal adalah bahwa Anda
memulainya dari hari pertama. Anda tidak bisa tiba-tiba datang
pada tahap akhir, menunjuk keberhasilan secara retrospektif,
dan mengabaikan bagian yang gagal. Jika Anda mengatakan
akan memeriksa parameter tertentu ketika Anda mulai bekerja,
dan sebagian ternyata tidak terlalu berhasil, Anda harus
menjelaskannya. Anda mungkin dapat menjustifikasi tidak
adanya keberhasilan, tetapi Anda tidak dapat mengabaikannya.
Jadi, evaluasi internal nampaknya menawarkan beberapa
keunggulan.
Saya sendiri menganggapnya fantastis. Hal menarik lainnya
adalah bahwa di masa lalu konsultan eksternal mungkin
dilibatkan dalam perancangan sistem M&E, lalu mereka
pergi dan kemudian kontraktor dipekerjakan dan harus
berusaha mengimplementasikan sistem yang mungkin tidak
mereka pahami. Sekarang AusAID mencari orang yang dapat
merancang, melaksanakan, dan mengelola seluruh proses.
Hal ini menaikkan harkat evaluator internal, karena ia, seperti
yang Anda katakan, bertanggung jawab sejak hari pertama. Ia
benar-benar memegang kepemilikan atas hal itu sampai tingkat
tertentu, namun pada saat yang sama ia juga dapat menjadi
sangat bertanggung jawab.

Jadi, seperti apa M&E di masa depan di IndII?


Tampaknya cerah. Terdapat pemahaman dan keterlibatan
yang lebih luas. Orang sangat ingin tahu hasil dari intervensi
dan investasi mereka, baik di tingkat personal maupun
organisasi. Jadi, kita perlu kualitas dan keandalan. Sah-sah saja
mengatakan bahwa M&E penting dan kami memegang peran
yang besar di IndII, namun dengan demikian ada tanggung
jawab yang besar untuk memastikan bahwa sistem dan proses
kita transparan, kita selalu berusaha untuk menghilangkan
sikap bias dan mempertahankan keandalan, dan hasil dan
data kita benar-benar digunakan untuk membuat keputusan,
bahwa kita merestrukturisasi atau menentukan kembali fokus
kegiatan, atau mungkin membuat keputusan sulit tentang
beberapa kegiatan yang kita anggap tidak lagi diperlukan.
Untuk hal inilah M&E harus digunakan. Selain itu juga untuk
mengomunikasikannya.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

120

POIN-POIN UTAMA
Karena masyarakat melekatkan peran yang berbeda antara perempuan dan laki-laki, mereka
memiliki pengalaman, kebutuhan, dan pendapat yang berbeda. Masyarakat mungkin
memandang laki-laki sebagai pengambil keputusan dan menganggap tidak perlu untuk
melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan publik. Pendidikan dan pelatihan
mungkin lebih dititikberatkan pada laki-laki, karena mereka dipandang sebagai pencari
penghasilan bagi keluarga.
Hakikat dari pembangunan adalah untuk menuju masyarakat yang adil dan setara. Pekerjaan
pembangunan dapat menyumbang pada peningkatan kesetaraan gender apabila dilakukan
upaya untuk menjamin dihapuskannya kesenjangan gender dan bahwa perempuan
berpartisipasi dan memperoleh manfaat yang setara dengan laki-laki. Ini akan membawa
manfaat ekonomis dan sosial dengan mendorong adanya pencapaian produktivitas,
peningkatan kesejahteraan anak, serta menuju kebijakan publik yang lebih komprehensif.
Baik pemerintah Indonesia maupun Australia menetapkan kebijakan dan peraturan untuk
memajukan kesetaraan gender. Dibidang infrastruktur, pembangunan yang memberi manfaat
baik bagi laki-laki maupun perempuan secara setara sangat penting untuk meningkatkan
kesetaraan gender.
Perempuan dan anak perempuan adalah para pemakai dan pengelola utama air untuk
keperluan rumah tangga, dan mereka biasanya juga dipandang sebagai penanggung jawab atas
higiene rumah tangga. Oleh karena itu, ketika akses pada air minum dan sanitasi ditingkatkan,
mereka akan memperoleh manfaat dari berkurangnya waktu dan energi yang dihabiskan
untuk mengangkut air, dan dari berkurangnya penyakit, serta waktu yang dihabiskan untuk
merawat anggota keluarga yang sakit.
Akses terhadap transportasi yang memadai penting bagi semua orang, meskipun pengaruhnya
akan berbeda bagi perempuan dan laki-laki. Karena peran gender mereka, perempuan dan
laki-laki serta anak perempuan dan anak laki-laki memiliki kebutuhan, prioritas, dan pola
perjalanan yang berbeda. Ini harus diidentifikasi dan dipertimbangkan ketika merencanakan
dan melaksanakan layanan transportasi untuk menjamin bahwa layanan yang disediakan
memenuhi kebutuhan perempuan maupun laki-laki.
Tujuan IndII, proyek yang didanai oleh AusAID, sebagaimana diungkapkan dalam strategi
gender IndII, adalah untuk melakukan kegiatan yang tanggap gender di mana perempuan
dan laki-laki memiliki kesetaraan dalam berpartisipasi, mengakses, mengendalikan sumber
daya, dan kesempatan dalam pengambilan keputusan; dan mereka secara berimbang dapat
menikmati manfaat pembangunan baik di tingkat pemerintah maupun masyarakat.

Tema Lintas Sektoral

Perempuan, Laki-laki, dan


Pembangunan Infrastruktur
Perempuan dan laki-laki dapat memiliki kebutuhan infrastruktur,
serta tingkat keterlibatan yang berbeda dalam hal pengambilan
keputusan. Apabila ketika dirancang program infrastruktur turut
mempertimbangkan hal ini, hasilnya dapat lebih baik untuk seluruh
masyarakat.
By Gaynor Dawson

Apakah yang dimaksud dengan gender? Pembahasan


mengenai gender melihat perbedaan peran, tanggung
jawab, dan atribut yang dilekatkan oleh masyarakat kepada
perempuan dan laki-laki atau anak perempuan dan anak lakilaki, kemudian mempertimbangkan apa yang pantas bagi
mereka. Peran gender tidak bersifat universal. Harapan di
antara kelompok-kelompok masyarakat berbeda-beda dan
juga berubah sepanjang sejarah. Karena peran mereka yang
berbeda, perempuan dan laki-laki mempunyai pengalaman,
kebutuhan, serta perhatian dan pendapat yang berbeda.
Kesempatan mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan
dan hambatan yang mereka hadapi berbeda pula.
Atribut yang dilekatkan pada perempuan dan laki-laki
menentukan bagaimana hubungan antara mereka, dan
siapa yang memiliki lebih banyak kekuasaan dalam
hubungan mereka. Perbedaan tersebut dapat menciptakan
ketidaksetaraan. Sebagai contoh, masyarakat mungkin
memandang laki-laki sebagai pengambil keputusan dalam
rumah tangga. Oleh karena itu, barangkali perempuan

dianggap tidak patut atau tidak perlu untuk dilibatkan dalam


pengambilan keputusan publik, meskipun perempuan
mungkin memiliki sudut pandang berbeda dan keputusan
yang dibuat akan berdampak pada mereka juga.
Pendidikan dan pelatihan yang dapat mengarah pada
kemajuan di tempat kerja dan penghasilan yang lebih
tinggi mungkin lebih dititikberatkan kepada laki-laki karena
mereka dipandang sebagai pencari nafkah bagi keluarga.
Perempuan barangkali tidak memperoleh kesempatan
yang sama karena mereka dipandang sebagai pihak yang
bertanggung jawab untuk merawat suami dan anak-anak
serta menjamin kelancaran berjalannya rumah tangga.
Oleh karena itu, membina kapasitas perempuan untuk
memperoleh penghasilan dipandang tidak penting. Hal ini
terjadi khususnya apabila diadakan kegiatan peningkatan
kapasitas seperti kunjungan belajar atau beasiswa ke luar
negeri, kegiatan akademis, akan menyebabkan perempuan
perlu meninggalkan rumah.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

122

123

Perempuan, Laki-laki, dan Pembangunan Infrastruktur

Gender dan Pembangunan

Bukan Semata-mata Mengenai Perempuan

Hakikat pembangunan adalah untuk membentuk masyarakat


yang adil dan setara dengan kebebasan bagi semua orang.1
Kemampuan untuk hidup secara bebas tanpa penindasan,
diskriminasi, atau dirugikan merupakan hak asasi manusia
dan harus tersedia bagi semua orang terlepas dari apakah
mereka laki-laki atau perempuan.2

Gender tidak semata-mata mengenai perempuan. Gender


mencakup laki-laki dan perempuan dan hubungan
antara mereka. Ketika dilakukan upaya untuk mengatasi
diskriminasi atau kerugian yang dihadapi kaum perempuan,
sangat penting bahwa kaum laki-laki mendukung upaya
ini, dan memahami manfaat yang diperoleh keluarga dan
masyarakat dari peningkatan kesetaraan gender. Tanpa
dorongan dan persetujuan laki-laki yang merupakan
pemegang kekuasaan utama di dalam masyarakat,
perubahan tidak akan terjadi.

Pekerjaan pembangunan dapat menyumbang pada


peningkatan kesetaraan gender apabila dilakukan upaya
untuk menjamin penghapusan kesenjangan gender
dan menjamin bahwa perempuan berpartisipasi dan
memperoleh manfaat yang setara dengan laki-laki. Di
lain pihak, jika upaya pembangunan mengabaikan adanya
kebutuhan, perhatian, dan hambatan berbeda yang
dihadapi kaum perempuan, atau jika satu kelompok diberi
manfaat lebih besar daripada kelompok lain, pembangunan
tersebut justru dapat mendorong ketidaksetaraan gender.
Kesetaraan gender bukan sekadar merupakan hak yang
telah disepakati oleh Indonesia dan Australia untuk
ditegakkan; tetapi secara ekonomis juga masuk akal. Bank
Dunia menyoroti bahwa:
Peningkatan produktivitas secara luas dapat dicapai
dengan menghapus rintangan yang menghambat
perempuan memperoleh akses terhadap kesempatan
pendidikan dan ekonomi.
Meningkatkan status perempuan berarti mendukung
tercapainya tujuan pembangunan yang lain, termasuk
peningkatan kesejahteraan anak.
Mendukung hak perempuan agar memiliki suara
yang setara dalam pengambilan keputusan publik
pada akhirnya akan mendorong organisasi/institusi
menjadi lebih inklusif dan arah kebijakan yang lebih
komprehensif.3
Kebutuhan perhatian, dan hambatan berbeda yang dihadapi
oleh perempuan dan laki-laki perlu dipertimbangkan ketika
merancang dan melaksanakan program pembangunan.
Hal ini akan menghasilkan peningkatan dalam penentuan
target program, partisipasi masyarakat lebih luas, dan hasil
program yang lebih efisien dan efektif.4

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Di samping mengatasi diskriminasi, perubahan-perubahan


lain dalam hubungan gender juga penting. Laki-laki perlu
didorong untuk mendukung perempuan dengan berbagi
pekerjaan rumah tangga. Apabila ada pembagian tugastugas yang menyita waktu seperti mengambil air dan mencari
kayu bakar, pekerjaan dalam rumah, serta mengasuh anak,
maka perempuan akan memiliki lebih banyak waktu untuk
berpartisipasi dalam kegiatan lain.
Meski perempuan seringkali menjadi kaum yang dirugikan
atau yang memerlukan bantuan khusus untuk meningkatkan
keadaan mereka, laki-laki dan anak laki-laki juga memiliki
kebutuhan tertentu. Misalnya, laki-laki muda lebih rentan
mengalami cedera atau meninggal dalam kecelakaan di
jalan raya dan paling sering menjadi pelaku kejahatan dan
korban kekerasan. Keselamatan jalan raya dan inisiatif
hukum perlu dirancang untuk menargetkan laki-laki
muda secara efektif. Di beberapa daerah di Indonesia,
kemungkinan anak laki-laki diimunisasi lebih kecil dan
mereka mempunyai kemungkinan lebih besar mengalami
status nutrisi lebih rendah dibanding anak perempuan.5
Program kesehatan perlu mempertimbangkan faktor gender
ini dalam perancangan dan penentuan targetnya.

Kerangka Kerja Kebijakan dan Peraturan


Sebagian besar donor memiliki kebijakan mengenai gender
dan persyaratan kesetaraan gender yang tercakup dalam
program dan proyek yang mereka dukung. Pemerintah
Australia mensyaratkan bahwa kesetaraan gender tercakup
dalam semua kegiatan pembangunan. Kesetaraan gender
dipandang sebagai isu hak asasi manusia, yang juga

Tema Lintas Sektoral

penting dalam mengurangi kemiskinan serta mendukung


pertumbuhan ekonomi. Di tingkat program, strategi6
kesetaraan gender Pemerintah Australia mengakui bahwa
berbagai prakarsa akan lebih efektif dan berkelanjutan
apabila prakarsa tersebut menanggapi adanya peranan dan
kebutuhan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki.
Tiga di antara 10 sasaran pembangunan dalam dokumen
kebijakan bantuan keseluruhan Pemerintah Australia,
yang berjudul Sebuah Program Bantuan yang Efektif bagi
Australia (An Effective Aid Program for Australia), terkait
dengan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Pemerintah Indonesia juga telah menetapkan kebijakan
dan peraturan mengenai pengarusutamaan gender
dan peningkatan kesetaraan gender. Instruksi Presiden
Republik Indonesia (Inpres) no. 9/2000 mewajibkan bahwa
pengarusutamaan gender menjadi komponen dalam upaya
pembangunan nasional. Pada tahun 2002, Kementerian
Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
menerbitkan buku panduan berjudul Panduan Pelaksanaan
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional
untuk memberi arahan kepada berbagai instansi
pemerintah mengenai cara pelaksanaan Inpres no. 9/2000.
Panduan ini menerapkan pendekatan alur kerja analisis
gender yang mewajibkan pengumpulan dan analisis data
pilah untuk mengenali perbedaan pengalaman hidup yang
ditempuh laki-laki dan perempuan. Rencana Pembangunan
Jangka Menengah 20102014 Pemerintah Indonesia
juga mewajibkan agar gender diarusutamakan supaya
pembangunan lebih efektif dan berkeadilan.
Di tingkat Pemerintah Daerah (Pemda), Peraturan Menteri
Dalam Negeri, Permen No. 15/2008 mewajibkan Pemda
untuk merumuskan kebijakan, program, dan kegiatan
dengan perspektif gender. Di bawah naungan Kementerian
Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
terdapat unit-unit Pemberdayaan Perempuan tingkat
Pemda untuk membantu pelaksanaan pengarusutamaan
gender dan upaya pemberdayaan perempuan.

Gender dan Infrastruktur


Tidak dapat diasumsikan bahwa infrastruktur secara
otomatis akan sama bergunanya atau sama bermanfaatnya

Infrastruktur dan Pemberdayaan Perempuan:


Contoh Keberhasilan
Topik mengenai pembangunan jalan raya dan gender sekilas
tidak menampilkan banyak kesamaan. Namun, prakarsa Bank
Dunia, Proyek Jalan Raya kedua di Pedalaman Peru (Peru Second
Rural Roads Project), menunjukkan sebaliknya. Proyek ini
memenangkan penghargaan dari Kelompok Evaluasi Independen
(Independent Evaluation Group) tentang dimensi gendernya.
Melalui perbaikan dan pembangunan jalan raya, proyek ini
bertujuan untuk meningkatkan akses bagi masyarakat miskin
di pedalaman terhadap layanan sosial dasar, kegiatan untuk
memperoleh penghasilan, dan pasar. Melalui penilaian
partisipatif, proyek tersebut melibatkan perempuan dalam
pengambilan keputusan mengenai lingkup dan skala proyek.
Dana hibah diberikan untuk pembangunan jalan setapak,
yang ternyata lebih disukai oleh perempuan karena
merupakan cara yang paling mudah dan aman untuk
membawa binatang mereka ke ladang serta mencari kayu
dan mengangkut air.
Akses terhadap jalan raya dan jalan setapak meningkatkan
mobilitas, keamanan, dan pengaturan waktu mereka serta
memberi mereka kesempatan untuk memperoleh sumber
penghasilan baru.
Dua puluh empat persen dari posisi semi terampil (semiskilled) ditempati oleh perempuan.
Empat puluh lima persen dari semua bendahara panitia jalan
raya adalah perempuan.
Dua puluh empat persen dari semua anggota panitia adalah
perempuan.
Kehadiran perempuan dalam tim usaha mikro perbaikan
jalan raya meningkatkan efisiensi dan mutu pekerjaan karena
mengakibatkan para laki-laki mengurangi minum minuman
keras dan lebih banyak bekerja, sedangkan perempuan lebih
memberi perhatian pada mutu pekerjaan.
Baik perempuan maupun laki-laki yang bekerja pada proyek
usaha mikro menjadi lebih aktif dalam kepemerintahan
setempat dengan peningkatan partisipan dalam pemilihan
umum maupun yang mencalonkan diri untuk menduduki
posisi di pemerintah setempat.
Persepsi laki-laki dan perempuan mengenai nilai dan
status perempuan di dalam rumah tangga dan masyarakat
meningkat secara signifikan.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

124

125

Perempuan, Laki-laki, dan Pembangunan Infrastruktur

Pada saat mengambil keputusan, perempuan mungkin memiliki sudut pandang yang
berbeda dari laki-laki.

bagi perempuan maupun laki-laki. Oleh karena peran


gender mereka, perempuan memiliki pengalaman
hidup, kebutuhan, prioritas, dan kendala yang berbeda
yang mempengaruhi mereka dalam kebutuhan, akses
dan pemanfaatan infrastruktur. Peran gender ini juga

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Atas perkenan IndII

mempengaruhi keterlibatan perempuan dan laki-laki


dalam pengambilan keputusan tentang pembangunan dan
pengelolaan infrastruktur. Seringkali, perempuan tidak
terlibat dalam pengambilan keputusan mengenai jenis
infrastruktur serta desain, lokasi, penggunaan, maupun

Tema Lintas Sektoral

Manfaat bagi Perempuan: Program Water Hibah


Dengan bantuan Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII),
Program Hibah Air Minum yang didanai oleh AusAID telah
memungkinkan 77.000 keluarga di kawasan penduduk
berpenghasilan rendah untuk memperoleh sambungan
penyediaan air minum melalui jaringan pipa pada bulan Juli
2011. Dalam wawancara pada bulan Maret 2011 dengan
perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga di Palembang
dan Serang yang mendapatkan sambungan tersebut,
terungkap bahwa:
Perempuan menghemat waktu karena mereka tidak
yang perlu lagi berjalan jauh mengambil air untuk
minum, mencuci pakaian, me-mandi-kan anak-anak atau
diri mereka sendiri. Mereka tidak perlu lagi mengatur
anggota rumah tangga lainnya, seperti anak-anak,
untuk membawa air kembali ke rumah. Laki-laki yang
membantu dengan mengangkut air untuk keluarga
mereka juga berkomentar mengenai penghematan waktu
tersebut.
Para perempuan merasa diri mereka lebih sehat dan
kelelahan mereka berkurang. Mereka menggambarkan
bahwa kesehatan anak-anak mereka lebih baik.
Khususnya, penyakit kulit berkurang. Perempuan yang
lanjut usia berkomentar tentang manfaat bahwa mereka
tidak perlu lagi mengangkut ember berat.
Air minum dari PDAM juga jauh lebih murah bagi
perempuan dibandingkan membeli air untuk masak dan
minum dari para pedagang air.
Air minum juga tersedia dalam volume yang lebih besar
daripada waktu mereka membeli air dari para pedagang.
Kegiatan perempuan untuk memperoleh penghasilan
yang memerlukan air bersih, seperti pembuatan dan
penjualan minuman dan makanan ringan, menjadi lebih
menguntungkan karena biaya air PDAM lebih rendah.

biaya yang akan dibebankan pada rumah tangga, atau


bagaimana cara pengelolaannya setelah dibangun. Laki-laki
mungkin diprioritaskan sedangkan perempuan dikecualikan
dari peluang untuk memperoleh penghasilan dan pelatihan,

yang timbul saat penyediaan infrastruktur, dan juga tidak


disertakan sebagai perwakilan dalam panitia tingkat
komunitas yang membuat keputusan penting.
Meski demikian, infrastruktur yang dapat sama-sama
dipergunakan dan memberi manfaat baik bagi perempuan,
laki-laki maupun anak perempuan dan anak laki-laki
sangatlah penting dalam peningkatan kesetaraan gender
dan pemberdayaan perempuan. Sebagai contoh, teknologi
informasi dan komunikasi dapat memberikan petani
perempuan akses pada informasi mengenai harga pasar,
produksi tanaman yang lebih baik, serta ketersediaan
bantuan pemerintah. Peningkatan sistem pengairan dapat
meningkatkan produktivitas tanaman yang biasanya
ditanam dan dijual oleh perempuan. Program peningkatan
energi dapat mengurangi waktu yang dihabiskan oleh
perempuan dan anak-anak dalam mencari kayu bakar
untuk memasak, sehingga meningkatkan efisiensi kegiatan
berpenghasilan bagi perempuan dengan peningkatan
teknologi dan penerangan. Teknologi memasak yang
ditingkatkan dapat membuahkan peningkatan kesehatan
karena berkurangnya pencemaran yang disebabkan oleh
pemakaian api dari kayu bakar.
Air minum dan sanitasi juga penting bagi kesetaraan gender.
Perempuan dan anak perempuan adalah para pemakai dan
pengelola utama air minum untuk keperluan rumah tangga,
dan biasanya mereka juga dipandang bertanggung jawab
atas kesehatan rumah tangga. Oleh karena itu, diharapkan
bahwa peningkatan akses pada air minum dan sanitasi
akan memberi manfaat besar bagi perempuan dan anak
perempuan dalam hal pengurangan waktu dan energi yang
dihabiskan untuk mengangkut air, berkurangnya penyakit
serta waktu yang dihabiskan untuk merawat anggota
keluarga yang sakit.7 Ini memungkinkan perempuan untuk
memiliki lebih banyak waktu untuk kegiatan lainnya,
termasuk kegiatan produktif dan sosial, serta waktu untuk
bersantai. Apabila peningkatan fasilitas sanitasi yang
disediakan lebih dekat rumah, privasi dan keamanan bagi
perempuan dan anak perempuan juga akan meningkat.8

Prakarsa Compendium | Jilid 2

126

127

Perempuan, Laki-laki, dan Pembangunan Infrastruktur

Sementara akses pada air minum dan sanitasi yang


ditingkatkan memberi manfaat pada perempuan secara
praktis, masih banyak aspek strategis dan pemberdayaan
yang perlu ditangani, seperti keterlibatan perempuan
dalam pengambilan keputusan, pengelolaan konstruksi, dan
pengoperasian fasilitas. Perempuan memiliki kepentingan
utama untuk menjamin bahwa fasilitas air minum dan
sanitasi beroperasi dengan baik sehingga dapat memenuhi
kebutuhan rumah tangga mereka. Perlu dilakukan upaya
untuk menjamin agar mereka dilibatkan dalam pengambilan
keputusan sejak tahap awal. Misalnya, perempuan perlu
dilibatkan dalam keputusan mengenai jenis toilet yang
akan dipasang sehingga sesuai dengan kebutuhan semua
anggota keluarga, termasuk kebutuhan anak-anak kecil;
bagaimana toilet dan fasilitas mencuci umum sebaiknya
dikelola; di mana menempatkan toilet umum tersebut; dan
penggunaan lahan yang berada di atas tangki septik.
Perempuan sering kali bertugas sebagai pengelola uang
belanja sehari-hari dalam rumah tangga yang mencakup
pembayaran untuk layanan seperti air, listrik, dan
pembersihan tangki septik. Oleh karena itu, pendapat
perempuan mengenai pengeluaran modal dan pengeluaran
rutin perlu dipertimbangkan.
Akses pada transportasi yang memadai penting bagi
semua orang, tetapi pengaruhnya akan berbeda bagi lakilaki dan perempuan. Transportasi memungkinkan orang
untuk melakukan kegiatan sehari-hari yang penting bagi
pemasukan rumah tangga dan bagi kesejahteraan ekonomi
masyarakat secara luas. Transportasi menunjang perniagaan
dan perdagangan; akses pada pendidikan, kesehatan, dan
layanan kesejahteraan penting lainnya; serta keterlibatan
dalam kegiatan masyarakat dan sosial. Oleh karena peran
gender, perempuan dan laki-laki serta anak perempuan
dan anak laki-laki mempunyai kebutuhan, prioritas, dan
pola perjalanan yang berbeda. Ini harus diidentifikasi dan
dipertimbangkan ketika merencanakan dan melaksanakan
layanan transportasi untuk menjamin agar layanan yang
tersedia memenuhi kebutuhan baik perempuan maupun
laki-laki. (Topik ini digali lebih mendalam dalam Angkutan
Umum yang Aman dan Nyaman untuk Semua: Sebuah
Upaya Pencapaian oleh Eko Utomo pada hal. 147).

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Kemungkinan laki-laki memiliki kendaraan sendiri lebih


besar dan oleh karenanya perempuan cenderung lebih
bergantung pada transportasi umum atau berjalan kaki
untuk sampai ke tujuan mereka, misalnya untuk pulangpergi ke tempat kerja, klinik kesehatan, dan pasar. Trotoar
dan sisi jalan perlu dibuat aman bagi pejalan kaki, khususnya
bagi perempuan hamil dan mereka yang mengangkut
beban berat atau anak-anak. Trayek dan jadwal transportasi
umum perlu dirancang dengan memperhatikan kebutuhan
dan tempat tujuan perempuan. Penghasilan rata-rata
perempuan lebih rendah daripada laki-laki; oleh karena
itu,biaya yang dikenakan harus terjangkau.
Di daerah, program pembangunan jalan baru atau
perbaikan jalan raya yang digabung dengan penyediaan
layanan transportasi yang andal dan terjangkau dapat
membawa perbedaan signifikan bagi pendidikan sekolah
anak perempuan. Dengan akses pada fasilitas pendidikan
yang lebih mudah, cepat, dan aman, kemungkinan para
orang tua mengizinkan anak perempuan mereka untuk
melanjutkan pendidikan akan lebih besar.

Pendekatan IndII
Tujuan IndII, proyek yang didanai oleh AusAID,
sebagaimana diungkapkan dalam strategi gender IndII,
adalah melaksanakan kegiatan yang tanggap gender
di mana perempuan dan laki-laki memiliki kesetaraan
dalam berpartisipasi, mengakses, mengendalikan sumber
daya, serta mendapat kesempatan dalam pengambilan
keputusan; dan mereka secara berimbang dapat menikmati
manfaat pembangunan baik di tingkat pemerintah maupun
masyarakat. Kegiatan monitoring IndII mencakup kajian
terhadap relevansi dan efektifitas penyusunan program
karena harus terkait dengan kesetaraan gender.
Banyak dari kegiatan IndII memiliki komponen pembangunan
kapasitas pemerintah. Berbagai upaya dilakukan untuk
menjamin bahwa perempuan memiliki peluang setara
untuk dipilih, untuk berpartisipasi, termasuk dalam posisi
kepemimpinan. Kegiatan pembangunan kapasitas yang
ditawarkan mungkin mencakup informasi relevan mengenai
gender dan kesetaraan gender.

Tema Lintas Sektoral

Beberapa kegiatan IndII memiliki dampak langsung di


tingkat masyarakat, sebagai contoh, program-program
yang meningkatkan akses lokal terhadap infrastruktur air
minum dan sanitasi. Dalam kegiatan-kegiatan ini, masalah
kesetaraan gender yang lebih kompleks diidentifikasi
dan ditangani sejak tahap perancangan dan tahap
pelaksanaannya.
IndII
juga
sedang
memulai
kegiatan-kegiatan
pengarusutamaan
gender
spesifik
di
lingkungan
Kementerian Perhubungan dan Kementerian Pekerjaan
Umum yang mendukung upaya pejabat pemerintah
untuk meningkatkan kesadaran mengenai gender dan
melaksanakan penyusunan program yang mendorong
kesetaraan gender. Kegiatan-kegiatan tersebut mendukung
cita-cita dan nilai-nilai bersama yang dianut Indonesia
maupun Australia.

Tentang Penulis:
Gaynor Dawson adalah seorang pakar analisis gender dan
sosial dengan pengalaman kerja selama lebih dari 15 tahun
pada proyek dukungan pembangunan di Indonesia, India,
Timor Timur, Republik Rakyat Laos, Kamboja, dan Vietnam.
Gaynor menyusun strategi gender IndII, dan memimpin
program gender IndII, yang meliputi penggabungan prakarsa
gender ke dalam rancangan kegiatan IndII, pembangunan
kapasitas untuk pengarusutamaan gender IndII dengan
lembaga mitranya, serta pengawasan dan evaluasi dampak
gender IndII. Ia juga memberi pelatihan pengembangan
kapasitas bagi staf dan konsultan IndII.
Gaynor telah bekerja secara luas di sektor air minum dan
sanitasi serta sektor pertanian, pendidikan, kesehatan,
sumber daya air, lingkungan hidup, energi, dan transportasi. Ia
memiliki gelar PhD di bidang Kajian Asia dan Kajian Perempuan
serta telah menulis buku dan berbagai artikel mengenai
gender dan pembangunan. Ia telah melakukan penelitian
akademis dan memberi konsultasi di seluruh Indonesia sejak
tahun 1986 dan fasih berbahasa Indonesia.

CATATAN
1. Laporan Pembangunan Dunia 2012: Kesetaraan Gender dan Pembangunan (Gender Equality and Development World Development
Report 2012). Bank Dunia.
2. Konvensi Internasional Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention for the Elimination of All
Forms of Discrimination Against Women, CEDAW) yang diadopsi oleh PBB pada tahun 1979 dan diratifikasi oleh 187 negara, termasuk
Indonesia dan Australia, menetapkan kerangka kerja untuk kemajuan dan kesetaraan perempuan.
3. Laporan Pembangunan Dunia 2012: Kesetaraan Gender dan Pembangunan (Gender Equality and Development World Development
Report 2012). Bank Dunia.
4. Kesetaraan gender dalam program bantuan Australia mengapa dan bagaimana 2007 (Gender equality in Australias aid program why
and how 2007). AusAID.
5. Temuan mengenai imunisasi terdapat dalam survei proyek Ibu Sehat Bayi Sehat di Sulawesi Tenggara. Survei tersebut bersifat kuantitatif
murni dan tidak mengkaji penyebab terjadinya temuan tersebut. Data nutrisi adalah dari laporan Badan Pusat Statistik dan juga tidak
menyertakan penjelasan.
6. Memajukan Peluang bagi Semua Orang: Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (Promoting Opportunities for All: Gender
Equality and Womens Empowerment). AusAID. 2011.
7. Sebagai contoh, kajian Gender dalam Air Minum dan Sanitasi WSP (WSP Gender in Water and Sanitation) (November 2010) mengungkap
bahwa di Uganda timur, perempuan menghabiskan 660 jam setiap tahun atau total dua bulan setahun untuk mengambil air untuk
keluarga mereka.
8. Gender dalam Air Minum dan Sanitasi (Gender in Water and Sanitation). Program Air Minum dan Sanitasi. Bank Dunia. November 2010.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

128

POIN-POIN UTAMA
Peranan Evaluasi Dampak adalah untuk menentukan apakah pencapaian positif seperti
masyarakat yang lebih sehat atau penurunan angka kecelakaan di jalan raya terjadi karena
adanya dukungan donor. Hal ini dapat bersifat kualitatif atau kuantitatif, meski pendekatan
kuantitatif pada umumnya dianggap lebih tepat. Uji Acak Terkendali (RCT, Randomised Control
Trials) merupakan standar unggulan dalam Evaluasi Dampak karena memberikan informasi
akurat melalui penggunaan analisis kontrafaktual dengan kata lain, memberi jawaban atas
pertanyaan: Apa yang akan terjadi seandainya intervensi ini tidak dilakukan?
RCT telah digunakan sejak 1948 di bidang kesehatan, dan telah diterima oleh disiplin ilmu
lainnya, termasuk ilmu pengetahuan sosial. Di bidang pembangunan, RCT digunakan untuk
menganalisis dampak dari dukungan yang disediakan di berbagai bidang seperti pendidikan,
keuangan mikro, kesejahteraan sosial, dan infrastruktur.
Prinsip kerja RCT adalah membagi rumah tangga atau individu menjadi kelompok partisipan
(treatment group) dan kelompok non-partisipan (control group) secara acak, kemudian
membandingkan indikator kesejahteraan kedua kelompok tersebut setelah program dukungan
berjalan. RCT memiliki beberapa keunggulan dibandingkan metode Evaluasi Dampak lainnya.
Berbeda dengan pendekatan sebelum dan sesudah, metode ini dapat mengisolasi dampak
yang timbul langsung dari intervensi itu sendiri. Pelaksanaan RCT relatif lebih sederhana dan
mampu membuahkan hasil yang bermakna, meski tidak ada data dasar (baseline data).
Metode RCT sering diterapkan untuk studi pada program air minum dan sanitasi.
Implementasinya di sektor transportasi tidak mudah karena proyek-proyek seperti
pembangunan jalan raya biasanya dikembangkan berdasarkan karakteristik khusus wilayah
setempat, sehingga tidak dimungkinkan untuk secara acak memilih kelompok partisipan dan
kelompok non-partisipan.
Pada saat RCT tidak dapat digunakan, maka Evaluasi Dampak secara kuantitatif dapat dilakukan
dengan metode non-eksperimental seperti Perbedaan-dalam-Perbedaan (DD, Differences-inDifferences) atau Pencocokan Nilai-Kedekatan (PSM, Propensity-Score Matching). Perbedaan
utama antara metode non-eksperimental dengan RCT adalah pemilihan sampel yang tidak
dilakukan secara acak.
Pada praktiknya, sebagian besar studi Evaluasi Dampak di masyarakat penerima donor yang
menggunakan pendekatan kuantitatif dilakukan dengan mengkombinasikan beberapa metode
sekaligus. IndII merancang studi RCT untuk mengevaluasi dampak berbagai program di sektor
air minum, sanitasi, dan transportasi di seluruh Indonesia. Keterbatasan RCT akan diatasi
dengan menggabungkan penggunaannya dengan metode kuantitatif dan kualitatif lainnya.

Tema Lintas Sektoral

Uji Acak Terkendali:


Standar Unggulan dalam
Evaluasi Dampak
Uji Acak Terkendali, terutama jika digabungkan dengan alat lain,
merupakan alat bantu kuat untuk memperoleh bukti nyata dari
dampak program pembangunan.
Oleh Anggita Cinditya Mutiara Kusuma

Apakah sambungan pada penyediaan air minum melalui


jaringan pipa dapat meningkatkan kesehatan bagi
masyarakat miskin? Apakah kampanye keselamatan jalan
raya akan menghasilkan sikap berkendara yang lebih aman
dan menurunkan angka kecelakan di jalan raya? Apakah
dukungan dari pendonor telah menghasilkan dampak
positif yang diharapkan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan jenis pertanyaan
yang diajukan oleh lembaga donor saat mereka memberikan
berbagai jenis dukungan bagi negara berkembang. Hal
tersebut untuk menjamin bahwa dukungan yang telah
diberikan dapat memberikan perubahan positif bagi para
penerima dukungan. Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII)
yang didanai oleh AusAID, sepatutnya juga mengajukan
pertanyaan tersebut untuk mengukur apakah upaya yang
dilakukan dalam kemitraan dengan Pemerintah Indonesia
memang benar membuahkan hasil yang diinginkan, seperti
masyarakat yang lebih sehat dan berkurangnya angka
kecelakaan di jalan raya hasil yang akan menyumbang
pada sasaran IndII yang lebih luas dan berjangka panjang
berupa pemberian stimulus perekonomian dan peningkatan

kesejahteraan rakyat Indonesia melalui pembangunan


infrastruktur. Evaluasi dampak berperan untuk memberikan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Evaluasi Dampak merupakan komponen dari proses
Pemantauan & Evaluasi. Tujuannya adalah untuk
menganalisis pencapaiani suatu kegiatan dengan mengukur
dampaknya. Evaluasi Dampak memungkinkan para manajer
program untuk menyimpulkan apakah suatu intervensi,
kebijakan, atau dukungan menghasilkan dampak positif
pada perseorangan, rumah tangga, atau masyarakat; dan
apakah dampak tersebut dapat dikaitkan secara jelas pada
dukungan yang diberikan.
Sebagaimana yang terjadi pada banyak jenis penelitian, studi
Evaluasi Dampak dapat dilakukan dengan menggunakan
pendekatan kualitatif atau kuantitatif. Meskipun
pendekatan kualitatif dengan menggunakan alat seperti
wawancara mendalam atau diskusi kelompok terfokus
dapat bermanfaat untuk memperoleh gambaran mengenai
dampak suatu kebijakan secara komprehensif, pendekatan
kuantitatif dianggap lebih tepat untuk mengukur besaran

Prakarsa Compendium | Jilid 2

130

131

Uji Acak Terkendali: Standar Unggulan dalam Evaluasi Dampak

dampak secara menyeluruh. Di antara sekian banyak


metode kuantitatif yang ada, saat ini Uji Acak Terkendali
(RCT, Randomised Control Trials) dianggap sebagai metode
paling unggul, dan seringkali digunakan dalam studi Evaluasi
Dampak. RCT, atau sering juga disebut dengan Evaluasi Acak
(Randomized Evaluation), disebut sebagai gold standard
atau standar unggulan dalam Evaluasi Dampak karena

streptomisin efektif dalam mengobati Tuberkulosis. Metode


yang dipergunakan adalah dengan membagi pasien menjadi
dua kelompok secara acak. Satu kelompok menerima
pengobatan, sedangkan yang satu lagi tidak. Metode
ini terbukti berhasil menganalisis efektifitas obat yang
diberikan sehingga dapat direplikasi ke dalam situasi yang
berbeda. Metode RCT berkembang pesat hingga digunakan

RCT mampu menganalisis tingkat keberhasilan suatu program


melalui analisis kontrafaktual, dengan kata lain melalui
pembandingan hasil saat suatu program dilaksanakan dan
tidak dilaksanakan.
memberikan informasi akurat melalui penggunaan analisis
kontrafaktual dengan kata lain, memberi jawaban atas
pertanyaan: Apa yang akan terjadi seandainya intervensi
ini tidak dilakukan? (lihat Gambar 1). RCT juga mampu
untuk meminimalisir bias seleksi yang dapat timbul apabila
metode kuantitatif lain digunakan karena metode tersebut
dirancang untuk menjamin agar individu atau komunitas
yang dikaji dipilih dengan cara yang secara murni acak dan
tanpa bias.
RCT sebetulnya bukan metode baru dalam Evaluasi Dampak.
Percobaan seperti ini telah lama digunakan dalam penelitian
medis. Studi pertama yang menggunakan metode RCT
diterbitkan dalam British Medical Journal pada tahun 1948.
Studi tersebut dilakukan oleh seorang ahli epidemiologi
bernama Austin Bradford Hill untuk menguji apakah
Gambar 1: Rancangan Uji Acak Terkendali (RCT)
Kelompok
Partisipan (T)
Populasi yang
Memenuhi Syarat
Kelompok
Non-Partisipan (C)

Pengaruh Program:
Perbedaan antara
hasil kelompok
partisipan dan
kelompok
non-partisipan

Sumber: Impact Evaluation Methodological and Operational


Issues, Bank Pembangunan Asia, September 2006

Prakarsa Compendium | Jilid 2

dalam bidang ilmu lain, termasuk di bidang ilmu sosial dan


pembangunan, untuk menilai dampak dari dukungan yang
diberikan dalam berbagai sektor, termasuk pendidikan,
keuangan mikro, kesejahteraan sosial, dan infrastruktur.
Sebagai contoh, RCT telah menjadi metode utama yang
digunakan oleh untuk mengevaluasi pembangunan
ekonomi dalam berbagai studi yang dilakukan di Abdul Latif
Jameel Poverty Action Lab (J-PAL), sebuah institusi riset
yang didirikan untuk menganalisis keberhasilan program
pemberantasan kemiskinan di negara-negara berkembang
di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.1
Cara kerja RCT adalah dengan membagi rumah tangga
atau individu menjadi kelompok partisipan (treatment
group) dan kelompok non-partisipan (control group) secara
acak, lalu membandingkan indikator kesejahteraan kedua
kelompok tersebut setelah program dukungan berjalan.
Perlu diperhatikan bahwa proses acak dalam konteks ini
berarti tidak ada perlakuan berbeda (kecuali perlakuan
yang diterima oleh kelompok partisipan) yang diberikan
antara kelompok partisipan dan non-partisipan, serta
penempatan dalam kelompok partisipan atau kelompok
non-partisipan tidak didasarkan pada kriteria tertentu.
RCT memiliki beberapa keunggulan dibanding metode
Evaluasi Dampak lainnya. Pertama, RCT mampu menganalisis
tingkat keberhasilan suatu program melalui analisis
kontrafaktual, dengan kata lain melalui pembandingan hasil
saat suatu program dilaksanakan dan tidak dilaksanakan.

Tema Lintas Sektoral

Uji Acak Terkendali, yang secara acak membagi populasi menjadi kelompok
partisipan dan kelompok non-partisipan, berfungsi paling baik untuk populasi
berjumlah besar.

Hal ini berbeda dengan metode sebelum dan sesudah


yang tidak mampu mengisolasi dampak yang muncul dari
intervensi itu sendiri, dan bukan akibat faktor lainnya.
Kedua, karena kedua kelompok dibentuk secara acak,
sehingga yang membedakan kelompok partisipan dengan
non-partisipan hanya intervensi itu sendiri. Dengan kata
lain, jika posisi kedua kelompok tersebut ditukar (yakni
kelompok non-partisipan menjadi kelompok partisipan
dan sebaliknya), kesimpulan yang didapatkan melalui RCT

Atas perkenan Wawan Dermawan

tidak akan berbeda. Ketiga, pelaksanaan RCT relatif lebih


sederhana dan mampu membuahkan hasil yang bermakna,
meski tidak ada data dasar (baseline data).
Di bidang pembangunan infrastruktur, metode RCT
seringkali diterapkan untuk studi pada program air minum
dan sanitasi. Contoh yang ada belum lama ini mencakup
Evaluasi Dampak Proyek Pasokan Air Pedesaan untuk
Mozambique oleh The Millennium Challenge Corporation

Prakarsa Compendium | Jilid 2

132

133

Uji Acak Terkendali: Standar Unggulan dalam Evaluasi Dampak

Alat Bantu yang Berharga, Meskipun Tidak


Sempurna
Meskipun Uji Acak Terkendali (RCT, Randomised Control Trials)
merupakan alat bantu yang kuat untuk menganalisis dan
memahami dampak sebuah intervensi, metode tersebut tidak
dapat digunakan dalam setiap situasi, dan para pengkritik
telah mengungkapkan beberapa kekurangan dari alat bantu ini.
Beberapa jenis program tidak sesuai untuk diberikanpercobaan
acak pada kelompok partisipan (treatment group) dan kelompok
non-partisipan (control group). Di bidang pembangunan, secara
definisi, program yang ditargetkan dengan baik bertujuan
untuk menjangkau masyarakat dengan kebutuhan paling besar,
sehingga para partisipan tidak selalu dipilih secara acak.
Jumlah penduduk yang besar yang dipersyaratkan agar RCT
dapat dilaksanakan dengan baik, juga merupakan kendala.
Jika intervensi tersebut hanya dilaksanakan pada kelompok
kecil, ada kemungkinan jumlah pengamatan tidak cukup untuk
mendeteksi dampak atau untuk membuat pernyataan yang
dapat diandalkan, bahwa suatu dampak merupakan akibat dari
intervensi tersebut.
Di lain pihak, dengan adanya kelompok percobaan yang besar,
ada kemungkinan terjadi kesulitan untuk mendeteksi dampaknya
pada individu. Hal ini merupakan sebuah kekhawatiran, karena
kemampuan untuk mengisolasi dampak tersebut dapat memberi

(MCC)2, yang berdasarkan pengalaman pada sekitar 600


komunitas pedesaan, dan Dampak dari Peningkatan
Penyediaan Air Bersih terhadap Penyakit yang Ditularkan
Melalui Air oleh Bank Pembangunan Asia (ADB, Asian
Development Bank) yang mengkaji hasil peningkatan
penyediaan air pedesaan di enam propinsi di Kamboja. 3
RCT tidak begitu mudah diterapkan dalam bidang
transportasi karena proyek-proyek seperti pembangunan
jalan raya biasanya dilakukan berdasarkan karakteristik
khusus wilayah setempat, sehingga tidak dimungkinkan
untuk secara acak memilih kelompok partisipan dan
kelompok non-partisipan (lihat catatan pinggir mengenai
kendala dalam RCT). Pembangunan jalan raya dan jalur
kereta api yang menghubungkan satu kota dengan yang kota

Prakarsa Compendium | Jilid 2

pemahaman lebih baik mengenai cara kerja kausalitas dan arah


penargetan program-program di masa yang akan datang.
Selanjutnya, kondisi dunia nyata mungkin lebih kompleks
dibandingkan kondisi laboratorium ideal yang diasumsikan oleh
metodologi RCT. Ada kemungkinan terjadinya efek pelimpahan
(spill-over) jika kelompok non-partisipan dapat mengakses
intervensi tersebut yang sebetulnya disediakan untuk kelompok
partisipan. Sebagai contoh, dalam kasus pemasangan sambungan
penyediaan air minum melalui jaringan pipa baru, penduduk
yang tidak tersambung mungkin bisa mendapatkan air bersih
dari rumah tetangga yang baru saja mendapat sambungan.
Beberapa di antara kritik yang paling serius tentang RCT
kemungkinan besar terjadi di bidang kedokteran yang sedang
menilai pengobatan inovatif untuk penyakit terminal. Pertanyaan
terkait etika berkisar mengenai diperolehnya persetujuan
termaklum (informed consent) dari para pasien yang akan dipilih
secara acak untuk menjadi anggota kelompok non-partisipan
atau partisipan, karena subyek mungkin enggan untuk ikut serta
dalam suatu percobaan jika mereka tidak pasti masuk ke dalam
kelompok partisipan. Kekhawatiran seperti ini pada umumnya
kurang menjadi masalah di bidang pembangunan.

lain cenderung memiliki dampak yang sulit diukur, sehingga


sulit untuk mencari kontrafaktual yang berkualitas. Selain
itu, pembangunan dalam sektor transportasi memerlukan
jangka waktu yang lebih panjang (umumnya 5 tahun) untuk
menghasilkan peningkatan kesejahteraan komprehensif.4
Pada saat RCT tidak dapat digunakan, Evaluasi Dampak
secara kuantitatif dapat dilakukan melalui metode noneksperimental
seperti
Perbedaan-dalam-Perbedaan
(DD, Differences-in-Differences) atau Pencocokan NilaiKedekatan (PSM, Propensity-Score Matching). DD
merupakan metode yang membandingkan indikator
pencapaian kebijakan sebelum dan sesudah suatu intervensi
dilakukan pada kelompok partisipan dan non-partisipan.
PSM sulit dijelaskan dengan baik tanpa menggunakan

Tema Lintas Sektoral

peristilahan khusus, namun pada dasarnya metode ini


berupaya untuk mencocokkan anggota dalam kelompok
partisipan dengan anggota dalam kelompok non-partisipan
dengan menggunakan karakteristik yang dapat diamati
agar dapat melakukan analisis yang lebih baik terhadap
hasil pencapaian. Perbedaan utama antara metode noneksperimen dan RCT adalah dalam pemilihan sampel yang
tidak dilakukan secara acak.
Pada praktiknya, sebagian besar studi Evaluasi Dampak di
kalangan donor yang menggunakan pendekatan kuantitatif
dilakukan dengan mengkombinasikan beberapa metode
sekaligus. Misalnya, pemilihan sampel dilakukan secara acak
dengan metode RCT, karakteristik tertentu dinilai dengan
metode PSM, kemudian indikator pencapaian sebelum dan
sesudah pelaksanaan program dievaluasi menggunakan
metode DD. Dalam hal ini, Evaluasi Dampak terhadap Proyek
Pembangunan Jembatan Serbaguna Jamuna di Bangladesh
yang dilakukan oleh Badan Kerjasama Internasional Jepang
(JBIC, Japan Bank for International Cooperation) pada tahun
20065 merupakan pekerjaan perintis di sektor transportasi,
yang menunjukkan bahwa RCT dapat digabungkan dengan
metode-metode kuantitatif lain.
Saat ini RCT adalah metode pilihan utama untuk studi
Evaluasi Dampak, termasuk dalam pembangunan
infrastruktur, karena telah terbukti sebagai metode evaluasi
kuantitatif yang paling akurat. IndII merancang studi RCT
untuk mengevaluasi dampak berbagai program di bidang
air minum, sanitasi, dan transportasi di seluruh Indonesia.
Keterbatasan RCT akan diatasi dengan menggabungkan
penggunaannya dengan metode kuantitatif dan kualitatif
lainnya.

Hal terpenting untuk dipertimbangkan dalam pelaksanaan


Evaluasi Dampak adalah persiapan secara menyeluruh
yang dimulai sejak proses perencanaan, serta pengukuran
berkala dari dampak yang dihasilkan sepanjang berjalannya
suatu program. Meskipun saat ini RCT dipercaya sebagai
standar unggulan dalam Evaluasi Dampak, sangat penting
untuk secara terus-menerus mengembangkan metodemetode alternatif. Apa pun metode yang digunakan,
Evaluasi Dampak penting karena dapat digunakan untuk
menunjukkan bahwa dukungan yang diterima oleh suatu
masyarakat memiliki dampak positif yang signifikan
terhadap kesejahteraan masyarakat tersebut. Ini merupakan
sebuah sasaran besar untuk dicapai oleh IndII di setiap
bidang dukungan infrastruktur yang diberikannya.

Tentang Penulis:
Anggita Cinditya Mutiara Kusuma adalah seorang Peneliti
dan Analis Data pada tim Pemantauan & Evaluasi serta gender
di IndII. Ia memiliki pengalaman sebelumnya sebagai Asisten
Peneliti pada Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat
(LPEM) dari Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia (UI),
dan juga pernah menjadi Asisten Peneliti pada Lembaga
Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Fakultas Hukum UI.
Topik yang pernah dikaji mencakup iklim investasi Indonesia,
pembagian penghasilan optimal bagi Pemerintah Indonesia
dan investor swasta dalam industri pertambangan batubara,
serta kinerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha Indonesia. Ia
memiliki gelar Master dalam bidang Ekonomi dan Keuangan
Publik dari Universitas Rennes 1, dan gelar Sarjana Ekonomi
dari UI.

CATATAN
1. Metodologi dan hasil penelitian dari lembaga ini dapat ditemukan di sini: http://www.povertyactionlab.org/
2. Impact Evaluation for Mozambiques Rural Water Supply Project. The Millennium Challenge Corporation (MCC). 2009.
3. Impact of Improved Water Supply on Water Borne Diseases. Bank Pembangunan Asia. 2009
4. A Review of Recent Developments in Impact Evaluation. Bank Pembangunan Asia. 2011
5. Jamuna Multipurpose Bridge Project (JMBP). Japan Bank for International Cooperation (JBIC).2006.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

134

POIN-POIN UTAMA
Dalam ranah penyusunan program pembangunan, risiko timbul akibat sifat dari pekerjaan
bersangkutan, yang biasanya melibatkan lingkungan yang menantang, pengaturan kontraktual
yang rumit, dan pengaturan hubungan dengan berbagai pihak. Dalam bidang pembangunan
infrastruktur, risiko tersebut seringkali berupa kombinasi dari beberapa risiko, akibat
luasnya skala program, serta tingkat keperluan pembelanjaan signifikan yang dibutuhkan.
Menghilangkan semua risiko bukan merupakan sesuatu yang dimungkinkan maupun
dikehendaki. Lebih tepatnya, pendekatan yang benar adalah mengelola risiko secara efektif.
Organisasi Internasional untuk Standardisasi (ISO, International Organization for
Standardization), dalam standar manajemen risiko (ISO 31000:2009), mendefinisikan risiko
sebagai: dampak ketidakpastian pada sasaran. Manajemen risiko didefinisikan sebagai
perangkat manajemen yang digunakan untuk menilai dan melakukan tindakan mitigasi
terhadap kejadian-kejadian yang mungkin dapat berdampak merugikan pada suatu organisasi.
Langkah pertama dalam manajemen risiko adalah melakukan penilaian risiko awal untuk
mengidentifikasi lapisan-lapisan risiko. Untuk program yang kompleks seperti IndII, secara
garis besar dapat dikenali tiga lapisan risiko: pertama pada tingkat fasilitas itu sendiri, kedua
pada tingkat komponen, dan ketiga pada tingkat kegiatan/proyek.
Langkah-langkah berikutnya adalah untuk menentukan tingkat penerimaan risiko (risk
appetite) kemudian menyusun profil risiko. Menetapkan tingkat penerimaan risiko berarti
membuat keputusan mengenai risiko apa yang siap diambil oleh sebuah organisasi. Profil
risiko mengidentifikasi, menilai, dan mengevaluasi risiko utama: seberapa besar kemungkinan
risiko yang telah diidentifikasi akan terjadi? Apabila terjadi, apa konsekuensinya?
Standar Manajemen Risiko Australia (Australian Standard for Risk Management) (AS/NZS
ISO 31000:2009) menawarkan pendekatan manajemen risiko yang sesuai untuk program
pembangunan infrastruktur berskala besar. Langkah-langkah tersebut meliputi: menetapkan
konteks; mengidentifikasi risiko; melakukan analisis risiko; menilai dan memprioritaskan
risiko; menyusun dan melaksanakan penanganan risiko; pemantauan dan pengkajian risiko;
berkomunikasi dan berkonsultasi.
Ketika rencana manajemen risiko disusun untuk sebuah proyek infrastruktur, tanggung
jawab keseluruhan untuk penyusunan dan pelaksanaannya biasanya berada pada direktur
(proyek, dengan dukungan dari para pimpinan tim dan staf teknis. Namun, semua personel
bertanggung jawab untuk mengidentifikasi dan mengelola risiko.

Tema Lintas Sektoral

Manajemen Risiko dalam


Infrastruktur:
Sebuah Pengantar
Prinsip kehati-hatian dalam mengelola risiko sangat penting dalam
pembangunan infrastruktur mengingat taruhannya cukup tinggi dan
tidak semua risiko dapat atau harus dihindari sepenuhnya.
Oleh Peter White

Risiko merupakan bagian dalam kehidupan setiap orang, baik


sebagai individu maupun sebagai organisasi yang kompleks.
Dalam ranah penyusunan program pembangunan, risiko
timbul sebagai sifat alami pekerjaan tersebut, yang biasanya
melibatkan lingkungan yang menantang, pengaturan
kontraktual yang rumit, dan pengelolaan hubungan
dengan berbagai pihak. Risiko-risiko ini seringkali muncul
secara bersamaan dalam pembangunan infrastruktur,
akibat luasnya skala pekerjaan serta tingkat kebutuhan
pembelanjaan yang signifikan. Di Prakarsa Infrastruktur
Indonesia (IndII), misalnya, penyusunan program mencakup
isu-isu kompleks dalam sektor transportasi, air minum dan
sanitasi, serta kebijakan dan investasi dengan jangkauan
yang meliputi pemerintah pusat dan daerah serta komunitas
setempat.
Oleh sebab itu, risiko selalu melekat dalam berbagai upaya
pembangunan infrastruktur, dan menghilangkan semua
risiko bukan merupakan sesuatu yang dimungkinkan atau
dikehendaki. Lebih tepatnya, pendekatan yang tepat adalah
mengelola risiko secara efektif.

Organisasi Internasional untuk Standardisasi (ISO,


International Organization for Standardization), dalam
standar manajemen risiko (ISO 31000:2009), mendefinisikan
risiko sebagai: dampak ketidakpastian pada sasaran.
Manajemen risiko didefinisikan sebagai perangkat
manajemen yang digunakan untuk menilai dan melakukan
tindakan mitigasi terhadap kejadian-kejadian yang mungkin
dapat berdampak merugikan pada suatu organisasi. Pada
saat yang sama, manajemen risiko menunjang pengambilan
keputusan rasional saat memutuskan untuk mengambil
atau menghindari risiko, meningkatkan transparansi proses
operasional, dan memberikan rencana untuk mencapai
sasaran dan tujuan strategis.
Langkah pertama dalam manajemen risiko adalah melakukan
penilaian risiko awal untuk mengidentifikasi lapisan-lapisan
risiko. Sebagai contoh, bagi sebuah kedutaan atau misi
diplomatik, lapisan teratas kemungkinan besar adalah
pada tingkat kenegaraan (contoh risiko pada tingkat ini
adalah memburuknya hubungan dengan negara penerima).
Untuk program yang kompleks seperti IndII, secara garis

Prakarsa Compendium | Jilid 2

136

Manajemen Risiko dalam Infrastruktur: Sebuah Pengantar

besar dapat dikenali tiga lapisan risiko: pertama pada


tingkat proyek itu sendiri, kedua pada tingkat komponen
(transportasi, air minum dan sanitasi, serta kebijakan dan
investasi), dan ketiga pada tingkat kegiatan/proyek dalam
komponen-komponen tersebut.
Langkah-langkah berikutnya adalah menentukan tingkat
penerimaan risiko (risk appetite) dan menyusun profil
risiko. Menetapkan tingkat penerimaan risiko berarti
membuat keputusan, pada tingkat tertinggi, mengenai risiko
apa yang siap diambil dan dikelola oleh sebuah organisasi
untuk mencapai tujuan strategisnya. Sebuah proyek
pembangunan akan mendapat pengarahan dalam penilaian
risiko dari instansi penyandang dana, seperti AusAID. Hal
ini cenderung menciptakan budaya menghindari risiko,
karena instansi seperti AusAID pada akhirnya bertanggung
jawab dan akuntabel atas pencairan dana dari Pemerintah
Australia.
Profil risiko mengidentifikasi, menilai, dan mengevaluasi
risiko utama dengan memperhatikan tingkat kemungkinan
akan terjadi dan konsekuensi yang mungkin timbul:
seberapa besar kemungkinan risiko yang telah diidentifikasi
akan terjadi? Apabila terjadi, apa konsekuensinya?

Berbagai prakarsa pembangunan infrastruktur harus


fleksibel dan tanggap terhadap kebutuhan yang telah
diidentifikasi dalam lingkup strategi dan prioritas pemerintah
pusat tetapi pada saat yang sama juga menjalankan peran
yang proaktif dan strategis. Ini merupakan situasi yang
menantang sehingga menghasilkan profil risiko yang lebih
tinggi. Ada risiko yang terkait dengan peluncuran aktivitas
baru, pengelolaan beban kerja, dan risiko teknis terkait
dengan kegiatan tertentu.
Standar Manajemen Risiko Australia (Australian Standard for
Risk Management) (AS/NZS ISO 31000:2009) menawarkan
pendekatan manajemen risiko yang sesuai untuk program
pembangunan infrastruktur berskala besar, dan merupakan
dasar pendekatan yang diambil IndII. Garis besar yang
diuraikan dalam Standar ini ditampilkan pada Gambar 1.
Menetapkan konteks mencakup menentukan dan mengenali
lingkungan, karakteristik, ketergantungan, dan para
pemangku kepentingan dari sebuah organisasi, sasaran
dan tujuan mereka, serta lingkup dan batasan-batasan
proses manajemen risiko tertentu. Kriteria dikembangkan
dengan merujuk pada risiko yang akan diidentifikasi
dan dievaluasi untuk pengelolaan resiko. Pada tingkat

Gambar 1: Proses Manajemen Risiko

Menetapkan Konteks
(memahami peranan, strategi, dan struktur IndII serta
lingkungan operasinya dan menetapkan kriteria untuk
mengevaluasi risiko)
Mengidentifikasi Risiko
(mengidentifikasi apa dan bagaimana sesuatu dapat terjadi)
Analisis
(menetapkan kemungkinan dan konsekuensi terjadinya risiko
untuk menetapkan tingkat risiko. Ini termasuk memahami
kendali-kendali yang ada untuk mencegah
terjadinya skenario risiko)
Menilai dan Menetapkan Prioritas
(menentukan apakah risiko tersebut dapat diterima oleh IndII)
Penanganan Risiko
(apabila risiko tersebut tidak dapat diterima oleh IndII, maka
harus ditetapkan penanganan risiko yang diimplementasikan
untuk mencapai tingkat risiko yang dapat diterima)

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Memantau dan Mengkaji

Berkomunikasi dan Berkonsultasi

137

program,
kategori-kategori
yang
berpotensi timbul dalam program
bantuan yang menjalankan proyek/
kegiatan mencakup: tata kelola,
keuangan, manusia, serta komunikasi
dan pelaporan. Pada tingkat proyek/
kegiatan, kategori-kategori yang biasa
muncul dapat mencakup: anggaran,
jadwal, pengambilan keputusan, dan
pelaksanaan kegiatan.
Mengidentifikasi
risiko
idealnya
dilakukan
melalui
pendekatan
kolaboratif yang melibatkan berbagai
aspek sudut pandang para pemangku
kepentingan dan dicatat dalam Daftar
Risiko (Risk Register). Segala risiko
yang dapat dibayangkan, termasuk
halangan yang dapat menghentikan
kegiatan (show stoppers) perlu

Tema Lintas Sektoral

Tidak berarti suatu kegiatan tidak harus dicoba hanya karena kegiatan tersebut
mengandung risiko. Mengelola risiko tidak berarti menghindarinya sama sekali.
Penarik becak ini memilih untuk tetap mencari nafkah meskipun harus menembus
lalu lintas yang ramai; sama seperti sebuah organisasi yang memilih untuk
menanggung risiko tertentu mengingat adanya imbalan.

dipertimbangkan. Untuk menunjang proses ini, menciptakan


kategori-kategori untuk mengidentifikasi risiko yang ada
di dalamnya akan lebih bermanfaat. Setelah semua risiko
(dalam setiap kategori) sudah teridentifikasi, risiko-risiko
tersebut dapat didokumentasikan dalam sebuah matriks
risiko sebagaimana diuraikan dalam bagian berikutnya.

Atas perkenan Annetly Ngabito

Melakukan analisis risiko mencakup identifikasi penyebab


suatu risiko, memperkirakan kemungkinan terjadinya risiko
tersebut, dan menentukan konsekuensi yang mungkin
timbul apabila risiko tersebut terjadi. Keluaran utama
dari tahap identifikasi risiko adalah matriks risiko. Matriks
risiko awal terdiri dari daftar mentah semua risiko. Matriks

Prakarsa Compendium | Jilid 2

138

139

Manajemen Risiko dalam Infrastruktur: Sebuah Pengantar

Gambar 2: Pemeringkatan Kemungkinan dan Konsekuensi


KEMUNGKINAN

Hampir Pasti

Diperkirakan
akan terjadi
dalam sebagian
besar situasi

Kemungkinan
Besar

Ada
kemungkinan
terjadi dalam
sebagian besar
situasi

KONSEKUENSI/DAMPAK

Parah

Akan
menghentikan
pencapaian
sasaran dan
tujuan

Besar

Akan
mengancam
sasaran
dan tujuan;
memerlukan
pengelolaan
ketat

Mungkin

Dapat terjadi
pada suatu
saat

Sedang

Memerlukan
penyesuaian
secara
signifikan pada
keseluruhan
program

Kemungkinan
Kecil

Tidak
diperkirakan
akan terjadi

Kecil

Akan
mengancam
salah satu unsur
dari program

Jarang

Dapat terjadi
hanya dalam
kondisi luar
biasa

Dapat
diabaikan

Prosedur rutin
sudah cukup
untuk mengatasi
konsekuensinya

tersebut kemudian mencatat rincian dari semua risiko


yang telah teridentifikasi selama masa berjalannya proyek.
Matriks Risiko dasar biasanya mencakup:

Menilai dan memprioritaskan risiko dilakukan dengan


pemeringkatan risiko berdasarkan kombinasi antara
seberapa besar kemungkinan terjadi dan seberapa serius
konsekuensinya. Peringkat risiko rendah akan diberikan
pada suatu risiko yang kemungkinan kecil akan terjadi dan
dampaknya dapat diabaikan; peringkat risiko tinggi akan
diberikan kepada risiko yang selain kemungkinan besar
akan terjadi, juga berdampak parah apabila terjadi (Lihat
Gambar 3).
Matriks risiko kemudian diperbarui dengan informasi
mengenai tingkat risiko yang ditetapkan. Gambar 4
menampilkan contoh salah satu unsur dari matriks yang
sudah lengkap.
Menyusun dan melaksanakan penanganan risiko dilakukan
dengan memperhatikan efektifitas-biaya (cost-effective)
untuk mengurangi, mencegah, atau mengendalikan risiko.
Mekanisme pelaporan manajemen risiko formal perlu
dirumuskan juga pada tahap ini. Gambar 5 menggambarkan
proses dalam menyeleksi pilihan-pilihan untuk menangani
risiko (menerima risiko, menguranginya, berbagi risiko,
Gambar 3: Tingkat Risiko
KONSEKUENSI/DAMPAK
KEMUNGKINAN

Tanda pengenal unik untuk setiap risiko (untuk


memudahkan rujukan dalam diskusi atau analisis
misalnya risiko B1)
Deskripsi setiap kejadian berisiko dan bagaimana
dampaknya terhadap proyek
Pemeringkatan baku yang menilai kemungkinan
terjadinya risiko tersebut dan tingkat keparahan
konsekuensi/dampak apabila memang terjadi (Lihat
Gambar 2)
Siapa yang bertanggung jawab atas pengelolaan risiko
tersebut; dan
Garis besar tindakan mitigasi yang diusulkan
(pencegahan, misalnya untuk mencegah agar risiko
tersebut sama sekali tidak terjadi; dan darurat,
misalnya untuk meminimalisir dampak negatif apabila
risiko tersebut memang terjadi)

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Dapat
Diabaikan

Kecil

Sedang

Besar

Besar

Hampir Pasti

VH

VH

Kemungkinan
Besar

VH

VH

Mungkin

Kemungkinan
Kecil

Jarang

VH

Risiko
RENDAH

Risiko
SEDANG

Risiko
TINGGI

Risiko
SANGAT TINGGI

Toleransi
Lebih
Dikehendaki

Tidak
Dikehendaki

Dapat
Diterima

Tidak Dapat
Diterima

Tema Lintas Sektoral

Gambar 4: Contoh Unsur Matriks Risiko


Dampak
pada
Program

G1. Sebagian besar Hilangnya

4 M Rencana

ID

Kejadian
Berisiko
peristiwa
eksternal
mempengaruhi
kemampuan
untuk
beroperasi
di seluruh
Indonesia atau
di wilayahwilayah
geografis
utama Flu
Burung

staf
Hilangnya
kontinuitas
proyek

Penanganan
Risiko

Tanggung
jawab
Direktur

Proyek
Keamanan,
Keselamatan,
dan Darurat
(terkait dengan
jenis situasi
seperti ini)
disusun dan
ditinjau ulang
secara berkala

menghindarinya) dan mengidentifikasi langkah-langkah


berikutnya yang perlu diambil berdasarkan pilihan yang
ditetapkan.
Pemantauan dan pengkajian risiko mencakup peninjauan
ulang risiko secara teratur. Apabila strategi mitigasi efektif,
maka seiring berjalannya waktu, seharusnya dimungkinkan
untuk menurunkan peringkat risiko. Pemutakhiran terkait
risiko harus dilaporkan kepada manajemen proyek yang
dijadwalkan secara teratur. Pada akhirnya, manajemen
Gambar 5: Penanganan Risiko
TERIMA

Terima risiko dan tidak berbuat apapun


KONSEKUENSI

KURANGI
KEMUNGKINAN

PILIHAN

SEBARKAN

BAGIKAN
ALIHKAN

HINDARI

Kurangi salah
satu atau
keduanya
Sebarkan risiko
kepada pihak
ketiga
Susun
tindakan
darurat
Asuransikan
kerugian
finansial

Tidak turut serta dalam


kegiatan tersebut

Proses identifikasi, evaluasi, seleksi, dan implementasi pilihan


penanganan risiko: untuk menetapkan risiko pada tingkat yang
dapat diterima

risiko merupakan proses berkala yang tertanam ke


dalam proses manajemen dan terkait erat dengan upaya
manajemen untuk mengenali setiap masalah baru yang
timbul, karena dapat menjadi risiko signifikan jika dibiarkan
tanpa penanganan.
Berkomunikasi dan berkonsultasi merupakan hal yang
penting. Komunikasi yang dilakukan tepat waktu dan
dengan cara yang baik bersama pemangku kepentingan
sangat penting agar proses manajemen risiko dapat berjalan
lancar.
Ketika rencana manajemen risiko disusun untuk sebuah
proyek infrastruktur, pemilik fungsional dari keseluruhan
fungsi manajemen risiko biasanya ada pada pimpinan (chief
executive) proyek, dengan dukungan dari para pimpinan
tim dan staf teknis yang secara aktif berpartisipasi dalam
pengidentifikasian dan pengelolaan risiko pada semua
tingkat. Meski demikian, pada akhirnya, semua personel
bertanggung jawab untuk mengidentifikasi dan mengelola
risiko, dan sangat penting bagi kelancaran proyek atau
organisasi apapun bahwa semua anggota tim menganggap
serius manajemen risiko.

Tentang Penulis:
Peter White adalah seorang spesialis manajemen risiko,
yang terlibat dengan SMEC/IndII untuk melaksanakan
dan mengelola penyusunan dan pemeliharaan Rencana
Manajemen Risiko IndII dan, ketika diperlukan, memberi
masukan mengenai risiko pada berbagai prakarsa proyek baru.
Ia telah bekerja di bidang manajemen proyek dan manajemen
risiko sebagai konsultan independen selama 20 tahun terakhir,
dengan tugas-tugas terkait risiko yang meliputi perannya
di IndII, peran yang serupa pada Program Bantuan Sektor
Transportasi (Transport Sector Support Program) di Papua
Nugini, melakukan analisis risiko dan menyusun laporan
manajemen risiko bulanan untuk sebuah program energi yang
kompleks, serta menjalankan sejumlah peranan manajemen
risiko untuk berbagai proyek, mulai dari pelaksanaan Program
Sumber Daya Perusahaan (Enterprise Resource Programs)
hingga manajemen proyek, dan manajemen risiko untuk
transisi dan pelaksanaan sebuah lingkungan kelompok
teknologi informasi terpadu. Peter menjabat sebagai direktur
di Flavour Solutions Pty Ltd.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

140

POIN-POIN UTAMA
Lingkungan hidup sebagai urusan lintas sektoral mengacu pada banyak sistem yang rumit:
lingkungan biofisika, lingkungan buatan (termasuk infrastruktur lunak dan keras), lingkungan
sosial (budaya), dan lingkungan ekonomi. Definisi lingkungan hidup yang digunakan oleh
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia mengakui bahwa lingkungan biologis dan
fisik tidak bisa dipisahkan dari manusia dan interaksi mereka dengan lingkungan sekitar.
EPBC Act 1999 adalah dasar legislasi/hukum untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup di Australia. Di Indonesia, beberapa bagian perundang-undangan mengatur pengelolaan
lingkungan hidup; terutama UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup; Peraturan pemerintah No 27/1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup; dan Permeneg Lingkungan Hidup 05/2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau
Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Secara
bersamaan, kerangka kerja tersebut menguraikan sejumlah perlindungan lingkungan hidup
dan sosial yang harus dilaksanakan dalam kegiatan pembangunan infrastruktur dalam Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal).
Kebutuhan akan pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan didasari atas asumsi bahwa
kelompok masyarakat dan individu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ekosistem
sekitar, dan bahwa pengelolaan hanya berkelanjutan jika kondisi manusia dan kondisi
ekosistem (dan sistem buatan) tidak terancam pada tingkat yang tak bisa diperbaiki. Dampak
lingkungan hidup adalah perubahan langsung atau tak langsung terhadap lingkungan hidup,
baik negatif ataupun positif, menyeluruh atau sebagian, sebagai akibat dari suatu kegiatan.
Analisis dampak lingkungan hidup dapat lakukan pada tiga tingkat: tingkat negara; tingkat
daerah, sektoral, atau kebijakan makro; dan tingkat proyek atau kegiatan.
Amdal meliputi prediksi dan evaluasi kemungkinan dampak kegiatan, termasuk dampak
kumulatif terhadap lingkungan hidup secara keseluruhan, selama konstruksi, uji layak
operasional, dan operasional, serta pasca-operasional. Proses Amdal Indonesia mengalami
tantangan karena sejumlah faktor, termasuk: tingkat pemahaman yang beragam pada tingkat
provinsi; kemampuan perusahaan yang beragam dalam melaksanakan Amdal; pentingnya
konsultasi publik; kecermatan yang berkembang dalam analisis dampak sosial; permasalahan
yang tumbuh dalam perubahan iklim; penegakan lingkungan hidup; dan pengaruh politik
terhadap proses.

Tema Lintas Sektoral

Pertimbangan Rumit: Analisis


Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup dalam Pembangunan
Infrastruktur
Baik Pemerintah Indonesia maupun Australia menawarkan
kerangka kerja legislasi untuk memandu pembangunan
infrastruktur yang berkelanjutan.
Oleh Colin Millette

Ketika orang-orang di bidang pembangunan berbicara tentang


lingkungan hidup sebagai urusan lintas sektoral, mereka
mengacu pada banyak sistem yang rumit: lingkungan biofisika,
lingkungan buatan (termasuk infrastruktur lunak dan keras),
lingkungan sosial (budaya), dan lingkungan ekonomi. Definisi
lingkungan hidup yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia
dan Pemerintah Australia mengakui bahwa lingkungan biologis
dan fisik tidak bisa dipisahkan dari manusia dan interaksinya
dengan lingkungan sekitar.
Commonwealth of Australia Environment Protection
and Biodiversity Conservation (EPBC) Act 1999 (UndangUndang Perlindungan Lingkungan Hidup dan Konservasi
Keanekaragaman Hayati Persemakmuran Australia tahun 1999)
juga memandang lingkungan hidup dalam pengertian yang
menyeluruh, yang meliputi:
a) ekosistem beserta unsur-unsur pokoknya, termasuk
manusia dan komunitas
b) sumber daya alam dan fisik
c) kualitas dan karakteristik lokasi, tempat, dan wilayah
d) aspek sosial, ekonomi, dan budaya a, b, atau c1.
Dengan mempertimbangkan hal-hal ini, upaya pembangunan
infrastruktur seperti yang dilakukan Prakarsa Infrastruktur
Indonesia (IndII) harus menganggap lingkungan hidup sebagai

sistem holistik dan terpadu. Sebagai program yang didanai


oleh AusAID dan bermitra dengan Pemerintah Indonesia, IndII
wajib mengikuti kerangka kerja legislatif Pemerintah Australia
dan juga Pemerintah Indonesia, dan perjanjian atau konvensi
internasional yang ditandatangani oleh kedua negara. EPBC
Act 1999 adalah dasar legislasi/hukum untuk perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup di Australia. Di Indonesia,
beberapa bagian perundang-undangan mengatur pengelolaan
lingkungan hidup; terutama Undang-Undang (UU) nomor 32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup; Peraturan Pemerintah (PP) nomor 27 tahun 1999
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal);
dan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup (Permeneg
LH) nomor 05 tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/
atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Amdal2.
Secara bersamaan, kedua kerangka kerja legislasi tersebut
menguraikan sejumlah perlindungan lingkungan hidup dan
sosial yang harus dilaksanakan dalam kegiatan pembangunan
infrastruktur menggunakan Environment Management System
(EMS atau Sistem Pengelolaan Lingkungan Hidup). Contohnya,
EMS yang diikuti oleh IndII disebut Environmental Compliance
and Environmental Management Process (ECOMAP atau
Kepatuhan terhadap Lingkungan Hidup dan Proses Pengelolaan
Lingkungan Hidup). ECOMAP bertujuan memastikan
keterpaduan yang tepat mengenai kesadaran lingkungan
Prakarsa Compendium | Jilid 2

142

143

Pertimbangan Rumit: Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dalam Pembangunan Infrastruktur

hidup dalam seluruh aspek kegiatan IndII, sehingga peraturan,


kebijakan, dan strategi Pemerintah Australia, Pemerintah
Indonesia, dan AusAID dapat terpenuhi. ECOMAP juga
dimaksudkan membantu IndII, sebagai sarana pelaksanaan di
bawah AusAID dan Pemerintah Indonesia, untuk memenuhi
kewajiban legislasi lingkungan hidup.
Meskipun tidak berfokus pada ECOMAP, artikel ini memberi
gambaran yang berguna tentang bagaimana analisis lingkungan
hidup dapat dikelola dalam konteks pembangunan infrastruktur.
ECOMAP dimaksudkan untuk memberikan anggota tim dan
konsultan IndII dengan alat-alat untuk: (i) mengidentifikasi,
mengakses, dan mengelola dampak nyata lingkungan hidup
atau yang mungkin terjadi; (ii) menghindari atau menangani
dampak negatif dan meningkatkan dampak positif; serta (iii)
melaporkan dampak secara teratur. Fokus utama ECOMAP
adalah mencatat proses pengambilan keputusan yang
terkait dengan pelaksanaan uji tuntas (due diligence) untuk
memastikan bahwa kegiatan IndII memadukan perlindungan
lingkungan hidup dan sosial perlindungan yang diperlukan
untuk memenuhi kewajiban hukum berdasarkan perundangundangan Indonesia dan Australia serta perjanjian multilateral
yang ditandatangani kedua negara.
ECOMAP dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa IndII bisa
berkolaborasi dalam proyek-proyek pada seluruh siklus proyek.
Meskipun menjabarkan kemungkinan skenario sektoral untuk
menggarisbawahi beberapa prosedur, ECOMAP mengambil
pendekatan yang lebih luas dan tidak berfokus pada kegiatan
tertentu yang mungkin melibatkan IndII. ECOMAP mencakup
lima komponen siklus proyek, dengan fokus pokok kegiatan
IndII berada dalam komponen kedua, Melakukan Analisis dan
Perencanaan Lingkungan Hidup (lihat Boks 1)3.
Kerangka kerja analisis lingkungan hidup di Indonesia sudah
komprehensif dan relatif serupa dengan kerangka kerja
analisis lingkungan hidup Pemerintah Australia. Kerangka kerja
tersebut mencakup perlindungan lingkungan hidup dan sosial
yang terkait dengan lembaga internasional lainnya, seperti
Bank Dunia, Asian Development Bank (Bank Pembangunan
Asia), dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Menetapkan Keberlanjutan
Kebutuhan akan pengelolaan lingkungan hidup yang
berkelanjutan didasari atas asumsi bahwa kelompok masyarakat
dan individu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
ekosistem sekitar, dan bahwa pengelolaan hanya berkelanjutan
Prakarsa Compendium | Jilid 2

Sebagai permasalahan lintas sektor


dalam pembangunan, lingkungan hidup
mencakup tak hanya alam sekitar, tapi
juga manusia dan interaksinya dengan
sistem di sekelilingnya.

Atas perkenan CIFOR

jika kondisi manusia dan kondisi ekosistem (dan sistem buatan)


tidak bertentangan pada tingkat yang tak bisa diterima.
Perlindungan lingkungan hidup dan sosial diterapkan untuk
memastikan keanekaragaman hayati tidak berkurang dan
proses ekologi dan sistem sosial atau ekonomi tidak rusak total.
Jika kondisi ekosistem atau manusia lemah atau memburuk,
kegiatan masyarakat dan sistemnya dapat dianggap tidak
berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan dapat
didefinisikan sebagai peningkatan kualitas hidup sekaligus
hidup dalam kapasitas yang didukung ekosistem4.
Dampak lingkungan hidup adalah perubahan langsung atau
tak langsung terhadap lingkungan hidup, baik negatif ataupun
positif, menyeluruh atau sebagian, sebagai akibat dari suatu
kegiatan. Dampak lingkungan hidup mungkin melibatkan
perubahan kumulatif atau gabungan terhadap lingkungan
hidup. Hal ini bisa diakibatkan oleh banyak kegiatan atau
serangkaian kegiatan atau tekanan di suatu area atau sektor.
Menurut Pemerintah Australia, dampak lingkungan hidup
yang signifikan mengacu hanya pada dampak lingkungan
hidup negatif yang signifikan. Ini berarti dampak lingkungan

Tema Lintas Sektoral

hidup yang negatif harus dianggap terpisah dari seluruh


manfaat kegiatan. Pemerintah Indonesia pun menekankan
dampak negatif, dan menetapkan signifikansinya berdasarkan
besaran, skala (luas area yang terpengaruh), durasi, intensitas,
komponen lingkungan hidup lainnya yang terpengaruhi, sifat
pengaruh kumulatif, dan hal-hal yang dapat atau tidak dapat
dibalik.

Mengevaluasi Dampak
Analisis dampak lingkungan hidup dapat dilakukan pada salah
satu dari tiga tingkat: tingkat negara (Dampak Lingkungan
Hidup Negara); tingkat regional, sektoral atau kebijakan
makro (Strategic Environmental Assessment/SEA atau
Analisis Lingkungan Hidup Strategis); dan tingkat proyek atau
kegiatan, dikenal dengan Amdal. SEA melibatkan analisis
terhadap permasalahan lingkungan hidup secara luas guna
meningkatkan kualitas dan efisiensi analisis lingkungan hidup
berikutnya. SEA dapat membantu mengidentifikasi hubungan
antara kemiskinan dan lingkungan hidup pada tingkat daerah,
negara, atau program.
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal)
meliputi prediksi dan evaluasi kemungkinan dampak kegiatan,
termasuk dampak kumulatif terhadap lingkungan hidup
secara keseluruhan, selama konstruksi, uji layak operasi,
dan pengoperasian, serta pasca-operasi. Hal ini mencakup
perancangan langkah-langkah pencegahan, penanganan, dan
peningkatan yang tepat yang menangani dampak-dampak
tersebut guna melindungi kesejahteraan lingkungan hidup
dan komunitas. Langkah penanganan dirumuskan dalam
Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup. Rencana Pemantauan
Lingkungan Hidup digunakan untuk melacak pelaksanaannya.
Semua kegiatan yang diajukan IndII harus disaring untuk
mengidentifikasi permasalahan lingkungan hidup dan potensi
dampak lingkungan hidup. Analisis awal lingkungan hidup
ini merupakan landasan untuk memastikan bahwa semua
kegiatan dapat mematuhi baik EPBC Act milik Australia dan PP
No 27/1999 milik Indonesia. Analisis awal lingkungan hidup
idealnya harus muncul pada saat identifikasi kegiatan dan
analisis awal dan harus dilakukan paling lambat pada tahap
awal persiapan kegiatan. Analisis awal ini meliputi jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan saringan yang ditampilkan dalam
Boks 2. Tergantung pada jawaban yang diberikan, langkah
berikutnya bisa berupa SEA tingkat sektor atau Amdal tingkat
proyek.

Boks 1: Kepatuhan terhadap Lingkungan Hidup


dan Proses Pengelolaan Lingkungan Hidup
(ECOMAP)
1.
2.

3.
4.
5.

Pemahaman Kebijakan dan Tata Latar Hukum


Pelaksanaan Analisis dan Perencanaan Lingkungan Hidup
i. Pengembangan rencana strategis dalam AusAID-IndII
ii. Rancangan kegiatan bantuan
Penerapan
Pemantauan & evaluasi
Pemastian peningkatan berkelanjutan

UU 32/2009 mengharuskan adanya SEA untuk rencana tata


ruang dan rencana pembangunan dan kebijakan jangka
menengah dan jangka panjang. Keharusan untuk melakukan
Amdal ditetapkan dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan
Hidup no. 5/2012, yang mengidentifikasi berbagai kegiatan
dan menentukan kriteria untuk memastikan apakah kegiatan
tersebut membutuhkan Amdal. Jika kegiatan yang diajukan
dinilai sebagai baru dan tidak memicu Amdal berdasarkan
Permeneg LH 5/2012, tapi berpotensi menciptakan dampak
lingkungan hidup, diperlukan dua laporan: laporan Upaya
Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan laporan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UPL). Dokumen UKL/UPL dibuat pada tahap
perencanaan kegiatan/pelaksanaan sebagai persyaratan untuk
mendapatkan izin. Isi laporan dapat dimasukkan ke dalam
Laporan Studi Prakelayakan yang diharuskan. Jika kegiatan
yang diajukan dinilai sebagai kegiatan lanjutan dari suatu
pelaksanaan yang tidak memiliki dokumentasi atau laporan
pengelolaan lingkungan hidup, diperlukan audit lingkungan
hidup. Amdal dan proses perizinan lingkungan hidup
ditampilkan dalam Gambar 1.

Tatangan
Seperti banyak kerangka kerja lain yang sejenis, proses Amdal
Indonesia mengalami tantangan karena sejumlah faktor.
Faktor-faktor tersebut adalah:
Tingkat pemahaman proses Amdal yang berbeda-beda
pada tingkat provinsi. Kemampuan memberi pengawasan,
bimbingan, dan pendidikan atas proses Amdal berbeda-beda di
antara lembaga/dinas perlindungan lingkungan hidup provinsi
dan daerah dan lembaga lini yang bersangkutan. Beberapa
dinas perlindungan lingkungan hidup dibekali keahlian teknis
dan staf yang bagus, sementara yang lain kurang mampu.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

144

145

Pertimbangan Rumit: Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dalam Pembangunan Infrastruktur

Gambar 1: Perizinan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Proses Perizinan Lingkungan Hidup Pemerintah Indonesia

Proposal Kegiatan

Perlu Amdal
Pengumuman & Konsultasi
Masyarakat
Persiapan Kerangka
Acuan Amdal
Telaah Administratif
Hasil KAA
Persiapan ALH & RKL/RPL
Permintaan Telaah ALH &
RKL/RPL
Telaah Administratif

Izin Lingkungan Hidup PPLH

Perlu UKL/UPL

Izin pembuangan air limbah


Izin pemanfaatan air limbah untuk aplikasi
ke tanah [land application]
Izin penyimpanan sementara LB3
Izin pengumpulan LB3
Izin pengangkutan LB3
Izin pemanfaatan LB3
Izin pengolahan LB3
Izin penimbunan LB3
Izin pembuangan air limbah ke laut
Izin dumping ke laut
Izin reinjeksi ke dalam formosi
Izin venting ke udara

Permintaan Izin Lingkungan Hidup


(KAA, ALH, RKL/RPL)
Telaah Administratif
Pengumuman

Permintaan Telaah
UKL/UPL
Telaah Administratif

Hasil ALH & RKL/RPL

Pemeriksaan UKL/UPL

SKKLH

Rekomendasi
UKL/UPL

Tidak
Layak

Izin Lingkungan Hidup

Begitu pula, lembaga-lembaga lini memiliki kesadaran yang


berbeda akan peran dan tanggung jawab mereka dalam
proses analisis lingkungan hidup. Hal ini sebagian mungkin
berkaitan dengan kemampuan dinas perlindungan lingkungan
hidup daerah. Kementerian Lingkungan Hidup terus-menerus
berupaya mendukung badan pengelola Lingkungan Hidup
daerah melalui bantuan teknis, sosialisasi program/legislatif,
dan prakarsa peningkatan kapasitas lainnya.
Kemampuan perusahaan-perusahaan swasta nasional yang
berbeda-beda dalam melaksanakan Amdal dengan tingkat
ketelitian yang memenuhi standar internasional. Pihak swasta
menanggapi meningkatnya permintaan atas Amdal yang
memenuhi standar internasional. Contoh pelaporan yang
sesuai standar internasional yang terkait kerja IndII antara lain
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Pantai Losari dan jaringan
pipa Jatiluhur-Jakarta dan Instalasi Pengolahan Air Tahap 2a.
Kementerian Lingkungan Hidup telah berupaya menyusun
standar Amdal dengan cara menerbitkan perundang-undangan
yang mewajibkan Amdal dihasilkan oleh praktisi Amdal dari

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Boks 2: Pertanyaan Saringan Lingkungan Hidup


Pertanyaan saringan perencanaan strategis
T1. Apakah prakarsa ini kemungkinan akan berlangsung di
lokasi yang rentan atau sektor yang berisiko?
T2. Apakah prakarsa ini kemungkinan akan memiliki dampak
negatif yang berarti terhadap lingkungan hidup?
T3. Apakah suatu SEA dari prakarsa ini (termasuk kebijakan,
program, portofolio, strategi negara atau daerah) sedang
direncanakan?
Pertanyaan saringan rancangan kegiatan bantuan
T1. Apakah kegiatan akan berlangsung di lokasi yang rentan
atau sektor yang berisiko?
T2.
Mungkinkah perubahan iklim atau bencana alam
berdampak pada kegiatan?
T3. Mungkinkah kegiatan berdampak pada ekosistem yang
menopang penghidupan/mata pencaharian?
T4. Apakah kesempatan untuk membangun ketahanan
mungkin dimasukkan?
T5. Mungkinkah kegiatan ini punya dampak yang berarti
terhadap lingkungan hidup, termasuk meningkatkan
emisi gas rumah kaca?

Tema Lintas Sektoral

daftar nasional yang menetapkan batas minimum kualitas


pekerjaan dan telaah Amdal. Baik praktisi nasional maupun
internasional diperbolehkan mendaftar.
Pentingnya konsultasi publik. Pendukung proyek infrastruktur
harus siap mengumpulkan masukan dari publik dan secara
tepat menempatkannya ke dalam berbagai tata latar, baik
itu di dalam komunitas yang tingkat pendidikannya terbatas
maupun di dalam situasi yang memancing opini publik
terhadap pembangunan yang diajukan. Perspektif dan
kepentingan kelompok yang sering kali tidak ajak konsultasi
dan dimarjinalkan, seperti kaum perempuan dan kelompok
rentan seperti masyarakat miskin dan penyandang cacat, perlu
didengar juga. Transparansi, ketertelusuran, dan pengambilan
keputusan yang beralasan dalam proses Amdal merupakan
tanda-tanda praktik yang baik.
Kecermatan yang berkembang dalam analisis dampak sosial.
Analisis dampak sosial sebagai bidang spesialisasi dalam Amdal
terus berkembang ketika pendekatan baru dikembangkan,
dengan mengadopsi teknik dari penelitian ilmu pengetahuan
sosial dan penelitian aksi partisipatoris.5 Selain itu, analisis
dampak sosial harus peka gender dan memastikan bahwa
dampak terhadap kelompok yang kurang beruntung atau
berada di luar arus utama, seperti masyarakat adat dan
kelompok lain yang terpinggirkan, harus dianalisis.
Permasalahan yang tumbuh dalam perubahan iklim.
Permasalahan yang tumbuh tentang perubahan iklim juga
membutuhkan pemutakhiran mekanisme dan protokol analisis.
Penegakan lingkungan hidup. UU 32/2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan alat utama
untuk penegakan dan sanksi lingkungan hidup. Jangkauan
penegakan peraturan ini beragam di seluruh Nusantara, dan

permasalahan seputar penerapannya terus bermunculan. Yang


terbaru adalah kasus di Aceh mengenai lahan gambut Tripa,
yang melibatkan pelanggaran penerbitan izin dan pembukaan
lahan yang kemungkinan berakhir pada litigasi.
Pengaruh politik terhadap proses Amdal. Dalam situasi
yang ideal, proses uji tuntas, tata kelola yang baik, dan
pengambilan keputusan yang transparan akan memperkecil
dampak pengaruh politik terhadap keputusan perlindungan
lingkungan hidup dan akan mengarahkan pada akuntabilitas.
Ini merupakan tujuan ideal yang sulit diraih di mana pun di
dunia ini, tapi Pemerintah Indonesia berusaha mencapainya
dengan bantuan dari mitra-mitra yang memberikan bantuan
teknis dan bimbingan dalam uji tuntas.

Tentang Penulis:
Colin Millette adalah seorang perencana lingkungan
hidup dan spesialis evaluasi program yang berpengalaman
lebih dari 20 tahun dalam mengelola dan melaksanakan
proyek lapangan untuk program bantuan teknis dalam
pengembangan kemampuan, pengelolaan lingkungan hidup,
evaluasi program, dan pengembangan komunitas yang
berkelanjutan. Ia akrab dengan protokol-protokol UNDP, CIDA,
AusAID, Bank Dunia, dan ADB dari berbagai tugas kerja jangka
panjang dan pendek. Spesialisasinya adalah Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup dan Analisis Mengenai Dampak
Sosial (meliputi proyek infrastruktur linear, misalnya jalan
atau jalan bebas hambatan, jalur transmisi, infrastruktur air
minum, dan sarana operasional kota); serta evaluasi program
(evaluasi keikutsertaan, evaluasi jangka menengah dan
dampak, dan penilaian kemampuan lembaga). Sebagai Master
dalam Perencanaan dan Pembangunan Perkotaan, ia seorang
negosiator yang terampil dalam penyelesaian sengketa
alternatif, dan penerjemah Bahasa Indonesia.

CATATAN
1. EPBC Act 1999.
2. Dulunya Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 11 tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib
Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
3. IndII, 2011, Buku Panduan Environmental Compliance Strategy and Environmental Management Process (ECOMAP atau Kepatuhan terhadap
Lingkungan Hidup dan Proses Pengelolaan Lingkungan Hidup).
4. AusAID, tidak diterbitkan, Environmental Management Guide for Australias Aid Program 2011 (Panduan Pengelolaan Lingkungan Hidup
untuk Program Bantuan Australia 2011), versi revisi tak resmi, Australian Agency for International Development (AusAID), Canberra.
5. Penelitian aksi adalah proses penyelidikan interaktif yang menyeimbangkan tindakan pemecahan masalah yang diterapkan dalam konteks
kerja sama dengan analisis atau penelitian kerja sama berbasis data untuk memahami penyebab yang mendasarinya, yang memungkinkan
prediksi masa depan tentang perubahan pribadi dan organisasi (Reason & Bradbury, 2002). Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Action_
research
Prakarsa Compendium | Jilid 2

146

POIN-POIN UTAMA
Setiap orang berhak berharap akan transportasi yang nyaman, aman, dan terjangkau, termasuk
mereka dengan kebutuhan khusus, seperti perempuan, anak-anak, lansia, dan penyandang
cacat. Keadaan kelompok tersebut harus dipertimbangkan dalam rangka membangun sarana
transportasi yang memadai. Pendekatan ini telah ditegaskan oleh Pemerintah Indonesia, yang
memiliki strategi formal untuk pengarusutamaan gender.
Ketanggapan gender dalam transportasi (baik darat, laut, atau udara) melibatkan infrastruktur
fisik; penyediaan jasa; serta pengembangan kebijakan, standar, dan prosedur operasional.
Kesuksesan dapat dinilai dari segi kriteria kinerja, seperti kelayakan, keteraturan, frekuensi,
ketepatan waktu, keterjangkauan harga, akses, keselamatan, kecepatan, dan keterpaduan
dengan sarana transportasi lain.
Dalam praktiknya, kepedulian gender dan hal serupa belum ditangani secara efektif dalam
sistem angkutan umum. Pelecehan seksual dan bahkan pemerkosaan menjadi masalah.
Sarana umum yang mengakomodasi kebutuhan penyandang cacat, lansia, anak-anak, dan
perempuan hamil masih terbatas.
Kementerian Perhubungan telah mengambil beberapa langkah, seperti mendirikan
Kelompok Kerja (Pokja) Pengarusutamaan Gender. Pokja ini telah menerbitkan panduan,
melakukan pelatihan, dan berkolaborasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak guna meningkatkan pengumpulan data pilah berdasarkan jenis kelamin.
Tantangan yang ada mencakup kurangnya kemampuan dan kemauan; dibutuhkannya
pemahaman yang lebih baik terhadap alat analisis; perputaran staf; dan ketersediaan data.
Seluruh pemangku kepentingan harus mendukung Kemenhub dalam mengatasi kesulitan ini
dan dalam menjalankan prakarsa yang progresif, seperti survei persepsi masyarakat, kampanye
publik tentang hak atas perjalanan yang aman; dan memberi kemudahan bagi korban untuk
melaporkan pelanggaran kepada polisi.

Tema Lintas Sektoral

148

Angkutan Umum yang Aman dan


Nyaman untuk Semua: Sebuah
Upaya Pencapaian
Hukum Indonesia menegaskan hak perempuan dan kelompok rentan
lainnya untuk bisa mengakses angkutan umum. Data, alat analisis,
dan pengembangan kemampuan yang lebih baik akan membantu
Indonesia mewujudkan tujuan ini.
Oleh Eko Setyo Utomo

Angkutan umum adalah sektor strategis dalam


pembangunan. Setiap orang berhak mendapatkan
transportasi yang nyaman, aman, dan terjangkau, termasuk
orang dengan kebutuhan khusus, seperti perempuan, anakanak, lansia, dan penyandang cacat.
Sarana transportasi yang memadai paling bisa dicapai
bila proses pembangunan mempertimbangkan keadaan
dan kebutuhan laki-laki dan perempuan, serta mereka
yang punya kebutuhan khusus. Pendekatan ini ditegaskan
oleh Pemerintah Indonesia melalui Inpres no. 9/2000
tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan
Nasional. Sebagaimana ditetapkan dalam Inpres, strategi
pengarusutamaan gender mengintegrasikan pertimbangan
gender
ke
dalam
perencanaan,
pengembangan,
penerapan, pemantauan, serta evaluasi kebijakan dan
program pembangunan nasional. Tujuan utamanya

adalah memastikan proses pembangunan melibatkan dan


bermanfaat bagi semua kelompok masyarakat, terlepas dari
jenis kelamin. Sektor transportasi tak terkecuali.
Ketanggapan gender dalam transportasi dapat dilihat
dalam tiga aspek: infrastruktur fisik; penyediaan jasa;
serta pengembangan kebijakan, standar, dan prosedur
operasional. Ketiga aspek ini dapat dinilai dalam beberapa
kriteria kinerja, termasuk kelayakan, keteraturan,
frekuensi, ketepatan waktu, keterjangkauan harga, akses,
keselamatan, kecepatan, dan keterpaduan dengan moda
transportasi1 lain. Kriteria ini berlaku untuk transportasi
darat, laut, dan udara.

Masalah yang Tak Ditangani


Dalam praktiknya, kepedulian gender belum ditangani
secara efektif dalam sistem angkutan umum. Kebanyakan

Prakarsa Compendium | Jilid 2

149

Angkutan Umum yang Aman dan Nyaman untuk Semua: Sebuah Upaya Pencapaian

Bagian perempuan di bus TransJakarta yang menyusuri Jl. Sudirman

layanan yang ada, terutama di transportasi darat,


mengecewakan dalam hal fleksibilitas, kenyamanan, dan
keamanan. Berdesak-desakan dalam bus kota dan kereta
api merupakan fenomena sehari-hari di banyak kota.
Konsekuensinya, kenyamanan dan keamanan jadi terganggu.
Dalam situasi ini, perempuan adalah kelompok 2 yang paling
rentan. Pelecehan seksual dan bahkan pemerkosaan kerap
terjadi dalam angkutan umum. Pada tahun 2011, Komnas

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Atas perkenan Eleonora Bergita

Perempuan melaporkan bahwa dari 2008 hingga 2011,


tercatat 22.284 kasus pelecehan seksual di tempat umum,
sebagian besar di angkutan umum.
Kelompok lain, seperti lansia dan penyandang cacat, juga
tak terpenuhi kebutuhan mereka. Sarana umum yang
peka terhadap penyandang cacat, lansia, anak-anak, dan
perempuan hamil jumlahnya masih terbatas.

Tema Lintas Sektoral

Rancangan kebanyakan bus di Indonesia tidaklah nyaman


bagi penumpang perempuan dan kelompok rentan lainnya
karena pijakan kaki di pintu masuk/keluar terlalu tinggi.
Pegangan tangan di bus TransJakarta untuk penumpang

yang berdiri tidak mempertimbangkan tinggi rata-rata


orang Indonesia, terutama perempuan, yang umumnya
lebih pendek dari laki-laki.

Suara dari Bus Transjakarta


Bus Transjakarta adalah salah satu moda transportasi umum yang sudah menyediakan bagian khusus perempuan bagi penumpangnya.
Ini suatu upaya yang tentunya disambut baik oleh para penumpang setianya. Prakarsa mewawancarai beberapa penumpang
perempuan dari berbagai latar belakang mengenai pandangan mereka tentang apakah bus Transjakarta telah memenuhi kebutuhan
perempuan yang menggunakan moda transportasi ini.
Harga yang murah dan rute bis yang menjangkau segala penjuru kota merupakan pertimbangan utama mengapa bus ini menjadi
pilihan utama mereka. Amalia, mahasiswa (19 tahun), Chika, pelajar (15 tahun), Wati (44 tahun) dan Kurnia Rhidowati (33 tahun),
keduanya karyawan swasta, merasa lebih senang menggunakan jasa angkutan umum ini untuk pulang pergi dari rumah ke sekolah
atau kantor dibandingkan alat angkutan umum lainnya. Bagi Chika yang tidak mengetahui rute angkutan umum lain dan Kurnia yang
selalu menggunakan kursi rodanya, bus Transjakarta adalah satu-satunya pilihan saat ini.
Dibandingkan angkutan umum lainnya, bus Transjakarta lebih memungkinkan saya untuk bepergian dengan kendaraan umum. Hal
ini disebabkan jarak antara pintu halte dan pintu busway yang memungkinkan kursi roda saya berjalan, dan juga beberapa jembatan
Transjakarta cukup landai, misalnya di Grogol dan Harmoni, sehingga memudahkan saya melewatinya dengan kursi roda, ungkap
Kurnia yang berkantor di kawasan Melawai, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan dan tinggal di Grogol, Jakarta Barat.
Para penumpang perempuan ini mengatakan bahwa mereka senang dengan adanya bagian khusus perempuan di dalam bus andalan
masyarakat DKI Jakarta ini. Mereka merasa lebih nyaman karena tidak harus berdesakan dengan penumpang pria saat berdiri dalam
bus.
Sayangnya, meski memilih bus Transjakarta sebagai alat transportasi utama, mereka menyimpan daftar keluhan, seperti beberapa
kali terpaksa membolos kuliah karena datang terlambat akibat terlalu lama menunggu bus, seperti yang dialami Amalia yang kuliah
di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Keluhan lain adalah penumpang yang berlebihan. Meskipun sudah penuh, tetap saja calon penumpang diperbolehkan masuk,
seringkali hal ini membuat penumpang susah bernafas. Lagi pula, meski di dalam bis ada bagian khusus perempuan, waktu menunggu
bus kita tetap berdesakan dengan penumpang laki-laki, kata Chika.
Faktor keamanan juga menjadi perhatian mereka, seperti Chika yang diikuti seorang laki-laki selama dalam bus sehingga harus turun
ke halte yang bukan seharusnya demi keamanan dirinya. Kurnia pernah melihat rekan seperjalanannya dicopet dalam bus dan pernah
ditodong di jembatan dari halte Transjakarta.
Sebagai penyandang cacat, masalah prasarana dan sarana merupakan isu utama bagi Kurnia karena sebagian besar jembatan dan
halte penunjang fasilitas Transjakarta tidak memberikan aksesibilitas bagi penyandang cacat, seperti sistem undakan atau tangga
yang curam.
Apa pun keluhan mereka, para penumpang seperti Kurnia, Chika, Wati dan Amalia tetap dengan setia menggunakan bus Trans Jakarta,
sambil berharap suatu hari nanti moda transportasi ini akan lebih ramah gender. Eleonora Bergita

Prakarsa Compendium | Jilid 2

150

151

Angkutan Umum yang Aman dan Nyaman untuk Semua: Sebuah Upaya Pencapaian

Kereta api pun menyajikan masalah. Peron tempat


penumpang naik/turun kereta tak sesuai dengan tinggi
kereta, menyulitkan akses. Penumpang sering harus
berdesak-desakan untuk naik kereta, khususnya pada jam
sibuk, yang meningkatkan kerentanan untuk pelecehan
seksual.

pilah berdasarkan jenis kelamin, serta dukungan dari


komunitas yang lebih luas. Dalam konteks ini, Kementerian
Perhubungan telah mengambil beberapa langkah, seperti
mendirikan Kelompok Kerja (Pokja) Pengarusutamaan
Gender pada Kementerian Perhubungan (sebagaimana
ditetapkan dalam SK Menhub no. 50/2009). Para anggota
Pokja mewakili semua direktorat. Mereka diharapkan

Mengembangkan sistem yang sepenuhnya


mempertimbangkan kepedulian gender adalah cita-cita yang
membutuhkan upaya serius untuk dicapai, terutama di sektor
transportasi yang kebanyakan pengambil keputusannya
adalah laki-laki.
Kebijakan dan Prakarsa
Setidaknya ada empat undang-undang yang menangani
kebutuhan perempuan dan kelompok rentan ketika
menggunakan angkutan umum: UU no. 1/2009 tentang
Penerbangan, UU no. 17/2008 tentang Pelayaran, UU no.
23/2007 tentang Perkeretaapian, dan UU no. 22/2009
tentang Lalu Lintas dan Transportasi Jalan. Sarana dan
layanan khusus yang dijelaskan dalam UU tersebut harus
disediakan secara gratis.
Kebijakan transportasi yang mempertimbangkan gender
mulai diterapkan di tingkat nasional dan di beberapa
daerah. Contohnya adalah penyediaan gerbong kereta
khusus di Jakarta dan sekitarnya untuk para perempuan
yang bepergian dalam kereta ekonomi jarak dekat. Di
bus TransJakarta, ruang terpisah telah disiapkan untuk
penumpang perempuan dan laki-laki. Ini merupakan
langkah kecil ke arah yang tepat, tapi jumlah penumpang
yang besar berarti lebih banyak lagi yang perlu dilakukan
untuk memenuhi harapan guna mengakomodasi kebutuhan
perempuan dan kelompok lainnya.
Penerapan Inpres no. 9/2000 membutuhkan komitmen
politik dari regulator, dukungan kebijakan dan kelembagaan
yang efektif, kapasitas sumber daya manusia yang
memadai, alat analisis yang relevan, ketersediaan data

Prakarsa Compendium | Jilid 2

bisa mengoordinasi dan mengadvokasi persoalan gender


di bidang masing-masing. Alat analisis, berupa Panduan
Pengintegrasian Aspek Gender dalam Perencanaan dan
Penganggaran, telah dibuat melalui kerja sama dengan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak.
Pelatihan
peningkatan
kapasitas
tentang
pengarusutamaan gender pernah diselenggarakan dan akan
terus dilakukan oleh Kemenhub. Prakarsa membangun data
pilah yang dibutuhkan, yang juga sedang dirancang dengan
dukungan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan.

Tantangan
Mengembangkan
sistem
yang
sepenuhnya
mempertimbangkan kepedulian gender adalah cita-cita
yang membutuhkan upaya serius untuk dicapai, terutama
di sektor transportasi yang kebanyakan pengambil
keputusannya adalah laki-laki. Tak diragukan lagi, besarnya
tantangan itu merupakan alasan mengapa UU dan peraturan
belum diterapkan secara penuh. Diperlukan upaya yang
berkelanjutan untuk mengatasi kendala-kendala untuk
mencapai pengarusutamaan gender. Kendala-kendala
tersebut adalah:
Kurangnya kemampuan, dan kemauan, untuk
menerapkan kebijakan soal gender.

Tema Lintas Sektoral

Dibutuhkannya pemahaman dan penguasaan yang


lebih baik akan metodologi dan alat analisis yang
mendukung perencanaan yang berorientasi pada
gender.
Mutasi dan penggantian pejabat pemerintah.
Perputaran ini berarti investasi dalam peningkatan
kapasitas tentang gender sering memberikan hasil
yang minimal karena kurangnya kelanjutan upaya dari
pejabat lama ke pejabat baru.
Ketersediaan data pilah jenis kelamin masih terbatas
dan oleh karenanya memberi sedikit kontribusi
pada perencanaan, meskipun pemerintah mengakui
kebutuhan akan data berkualitas.
Upaya Kemenhub untuk menerapkan pengarusutamaan
gender harus didukung dan dikembangkan oleh para
pemangku kepentingan lainnya. Kendala seperti komitmen
dan pemahaman yang tak memadai layak mendapatkan
perhatian serius untuk meningkatkan perencanaan dan
pelaksanaannya. Kebijakan dan panduan pelaksanaan
harus dikembangkan guna menjelaskan maksud UU tentang
penyediaan sarana dan layanan transportasi kepada
masyarakat rentan. Basis data transportasi harus dibangun,
dengan data yang disortir berdasarkan jenis kelamin dan
karakteristik relevan lainnya.
Aspek lain yang perlu ditangani lebih serius adalah
pelindungan perempuan dari pelecehen dan kekerasan saat
menggunakan angkutan umum. Pemisahan laki-laki dan
perempuan dapat membantu, tetapi tidak efektif bila ruang
yang disediakan tidak seimbang dengan jumlah penumpang.
Dibutuhkan upaya progresif, seperti kampanye publik
tentang hak atas perjalanan yang aman dan pemberian
kemudahan bagi korban untuk melaporkan pelanggaran
kepada polisi.

Prakarsa lain yang berharga untuk meningkatkan


pengarusutamaan gender adalah mempelajari persepsi dan
tingkat kepuasan masyarakat tentang layanan angkutan
umum yang ada. Hal ini harus mencakup survei yang
berfokus pada kelompok khusus, seperti lansia, penyandang
cacat, anak-anak, dan perempuan hamil.
Upaya pengarusutamaan gender dalam transportasi
membutuhkan dukungan, koordinasi, dan kolaborasi
berkelanjutan antarlembaga dan pemangku kepentingan
guna mendapatkan sarana dan layanan transportasi yang
nyaman, terjangkau, dan aman untuk semua. Tujuannya
bukan sekadar untuk memenuhi tuntutan hukum, tapi juga
menciptakan realitas yang memberikan dampak positif
kepada semua pemakai sarana dan layanan transportasi.

Tentang Penulis:
Eko Setyo Utomo adalah Staf Pengarusutamaan Gender IndII.
Selama dekade terakhir ini, ia menangani permasalahan
terkait pengarusutamaan gender dan anti-perdagangan
manusia. Sebelum bergabung di IndII, ia berafiliasi dengan
proyek yang dijalankan oleh International Catholic Migration
Commission (Komisi Migrasi Katolik Internasional) untuk AntiPerdagangan Manusia Lintas Perbatasan Indonesia-Malaysia.
Beberapa jabatannya antara lain: Direktur Eksekutif untuk
Institut Hak Asasi Perempuan, Ketua Tim Pengarusutamaan
Gender Yogyakarta, dan Koordinator Advokasi Kebijakan di
Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi,
Wilayah Yogyakarta. Ia juga pernah melakukan konsultasi
independen tentang pengarusutamaan gender, evaluasi
program, dan topik lainnya untuk organisasi pembangunan
lokal dan internasional. Ia adalah lulusan Fakultas Syariah
(Hukum Islam) di Universitas Islam Sunan Kalijaga.

CATATAN
1. Panduan Pengintegrasian Aspek Gender dalam Perencanaan dan Penganggaran dari Kementerian Perhubungan.
2. Gender and Urban Transport: Fashionable and Affordable. Modul 7a. Sustainable Transport: A Sourcebook for Policy Makers in
Developing Cities. GTZ and Federal Ministry for Economic Cooperation and Development.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

152

153

Sebuah Sistem yang Dapat Menyelamatkan Nyawa

Sebuah Sistem yang Dapat


Menyelamatkan Nyawa
Sebuah sistem baru sedang diperkenalkan di Jawa Tengah untuk
meningkatkan pengumpulan dan pengelolaan data kecelakaan
jalan raya. Hal ini akan memberikan pemahaman yang lebih
baik mengenai masalah keselamatan, dan pada akhirnya, untuk
melakukan intervensi yang akan menyelamatkan banyak nyawa di
seluruh Indonesia.
Oleh M. Naufal Yahya, M.Sc.Eng

Tahun lalu lebih dari 32.000 orang tewas dalam kecelakaan


di jalan raya di seluruh Indonesia. Setiap hari hampir
100 orang tewas, dan ribuan lainnya terluka di jalan raya
Indonesia. Pemerintah Indonesia telah berkomitmen
untuk menanggapi permasalahan manusia dan ekonomi
besar ini sebagai bagian perjanjian dari Dekade Aksi
Keselamatan Jalan Raya (Decade of Action for Road Safety)
yang dicanangkan PBB, yang dimulai tahun 2011. Meski
demikian, agar dapat merancang solusi efektif untuk
masalah keselamatan jalan raya di Indonesia, pertama perlu
untuk mendapatkan informasi yang dapat dipercaya dan
terperinci mengenai kecelakaan di jalan raya.
Kecelakaan dapat terjadi akibat banyak faktor, termasuk
kondisi jalan, perilaku pengemudi, kondisi kendaraan, situasi
lalu lintas, dan cuaca. Banyak lembaga yang terlibat dalam
intervensi untuk meningkatkan keselamatan di jalan raya,
seperti Polri, Direktorat Jenderal Bina Marga di Kementerian
Pekerjaan Umum, Kementerian Perhubungan, Kementerian
Kesehatan, dan sejumlah organisasi non-pemerintah.
Semua pemangku kepentingan memerlukan data yang
terperinci dan dapat diandalkan, serta relevan dengan
sektor mereka, sehingga mereka dapat mengidentifikasi
strategi yang paling efektif untuk mengurangi terjadinya
dan mengurangi tingkat keparahan kecelakaan.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Sebuah Sistem Baru


Data mengenai kecelakaan di jalan raya dikumpulkan
oleh kepolisian. Dalam rangka meningkatkan kualitas
dan keandalan data yang mereka peroleh, sebuah sistem
baru yang disebut Sistem Manajemen Keselamatan Jalan
Raya Terpadu (IRSMS) sedang diterapkan. Sistem ini
memperkenalkan formulir baru yang mudah-diisi, yang
dapat digunakan oleh polisi di lokasi kecelakaan tersebut,
bersama dengan kamera yang dilengkapi dengan teknologi
GPS (Global Positioning System, Sistem Pemosisi Global).
Untuk dapat memahami sepenuhnya penyebab kecelakaan,
dan menentukan tindakan yang dapat mencegah terjadinya
kecelakaan yang sama di masa depan, sangat penting untuk
mengetahui persis di mana kecelakaan itu terjadi. Hanya
dengan mengetahui nama jalan di mana suatu kecelakaan
terjadi, atau bangunan di dekat lokasi tersebut, tidak cukup
untuk mengidentifikasi tempat dan kemudian menentukan
jika faktor lokasi kejadian tersebut berperan sebagai
penyebab kecelakaan tersebut.

Kamera baru yang akan digunakan polisi tak hanya akan


memberikan bukti fotografis, tetapi juga akan mencatat
koordinat geografis dari lokasi dengan presisi tipikal 510

154

Tema Lintas Sektoral

meter. Dengan koordinat dan foto sebagai panduan,


pencatatan informasi lokasi lain pada saat berada di lokasi
kecelakaan tidak lagi diperlukan.
Saat kembali di kantor polisi, informasi tersebut akan
dimasukkan dalam pangkalan data. Pangkalan data dan
perangkat lunak berada di Pusat Manajemen Lalu Lintas
Nasional di Kepolisian Nasional, dan dapat diakses melalui
internet. Yang dibutuhkan untuk mengakses sistem ini
adalah sebuah komputer, browser (peramban), dan koneksi
internet dan, tentu saja, kata sandi yang berlaku! Sebuah
penghubung pengguna dengan kotak centang dan menu
drop-down memudahkan para operator untuk memasukkan
semua rincian kecelakaan tersebut.
Ketika foto ditransfer dari kamera ke dalam pangkalan data,
koordinat geografis tersimpan secara otomatis, dan lokasi
kecelakaan dapat ditampilkan menggunakan Google Maps.
Lokasi kecelakaan dapat disesuaikan hanya dengan menarik
penanda kecelakaan ke posisi yang benar. Nama jalan juga
secara otomatis ditransfer ke pangkalan data.

Untuk meningkatkan tingkat dan rincian informasi,


pangkalan data kecelakaan ini terintegrasi dengan tiga
pangkalan data pemerintah lainnya: SIM, STNK, dan
pelanggaran lalu lintas. Tambahan informasi mengenai
pengemudi dan kendaraan miliknya secara otomatis akan
dimasukkan dalam laporan kecelakaan yang dihasilkan oleh
IRSMS.
Gambar 2: Jumlah korban jiwa kecelakaan berdasarkan waktu hari
di Jawa Tengah, Januari dan Februari 2012)
Tingkat Keparahan Kecelakaan
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

Waktu Kecelakaan

Informasi yang diperlukan untuk pengadilan juga dapat


dimasukkan ke dalam sistem, dan dokumen yang dibutuhkan
untuk proses hukum kemudian dapat dihasilkan.

Kondisi : Kisaran tanggal dari 01/01/2012 sampai 27/02/2012


Provinsi : POLDA JATENG
Kelompok Utama Diagram Kecelakaan Lalu Lintas (Laka)

800
600
400
200
0
0

Kelompok Utama Diagram Laka


Tahun Laka 0
1
2
3
4
5
6
7
8
2012
106 212 182 249 687 677 439 256

Laporan Analitis
Data yang tersimpan dapat digunakan untuk berbagai
tujuan di luar pembuatan laporan kecelakaan individual.
Sistem ini dapat menghasilkan ringkasan kecelakaan
mingguan dan bulanan di kabupaten atau provinsi. Ini
tersedia dalam bentuk presentasi grafis yang memberikan
gambaran singkat mengenai situasi. Misalnya, Gambar 1
menunjukkan jumlah kecelakaan di Jawa Tengah, dibagi
berdasarkan jenis, selama dua bulan pertama tahun 2012.
Jelas bahwa tabrakan depan dan tabrakan dari belakang
adalah dua jenis kecelakaan yang paling sering terjadi.

Gambar 1: Jenis kecelakaan yang paling umum terjadi, Jawa


Tengah, Januari dan Februari 2012

Unit

Jumlah Korban Tewas per Kecelakaan

Kepolisian Negara Republik Indonesia 2012

Selain tabel standar yang tersedia, sistem memungkinkan


tabulasi silang data dengan penyesuaian (custom basis).
Ini berarti bahwa pasangan parameter manapun dapat
ditampilkan dalam sebuah tabel. Sebagai contoh, Gambar
2 mengilustrasikan berapa banyak orang yang tewas pada
waktu yang berbeda dalam sehari. Hal ini menunjukkan
bahwa pada siang hari sekitar 10 persen dari kecelakaan
melibatkan kematian, sedangkan pada malam hari dan dini
hari angka tersebut naik menjadi sekitar 20 persen.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

155

Sebuah Sistem yang Dapat Menyelamatkan Nyawa

Sistem ini juga dapat menghasilkan peta yang secara grafis


menggambarkan angka dan lokasi kecelakaan, seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3: Kecelakaan di Jawa Tengah berdasarkan lokasi,
Januari dan Februari 2012

Apabila lokasi bermasalah diidentifikasi, laporan khusus


untuk kecelakaan di tempat tersebut dapat disusun,
yang memungkinkan pengguna sistem dengan mudah
mengidentifikasi faktor umum dari kecelakaan pada lokasi
tertentu.

Akses untuk Semua


Sebagaimana telah dijelaskan di atas, tindakan untuk
meningkatkan keselamatan di jalan raya harus dilakukan
oleh banyak organisasi berbeda. Tujuannya adalah agar
semua pemangku kepentingan memiliki akses terhadap
informasi yang akan memungkinkan mereka menganalisis
cara terbaik untuk merancang intervensi untuk mencegah
atau mengurangi tingkat keparahan kecelakaan di masa
depan, entah dilakukan dengan memperbaiki rambu-rambu,
melakukan kampanye pendidikan, atau meningkatkan
penegakan hukum lalu lintas.
Pengguna dapat memperbesar peta untuk melihat data
pada kecelakaan satu persatu dengan resolusi lebih tinggi
(lihat Gambar 4). Fitur ini memungkinkan identifikasi
Gambar 4: Rincian dari peta menunjukkan kecelakaan di Jawa
Tengah, Januari dan Februari 2012

Dalam pangkalan data terdapat informasi sensitif, seperti


nama pengemudi. Karena itu, sistem ini dirancang dengan
berbagai tingkat akses, sehingga hanya petugas polisi pada
tingkat nasional (Mabes Polri) yang memiliki akses terhadap
semua informasi, dan pemangku kepentingan lain hanya
dapat melihat data yang tidak begitu sensitif.
Sistem ini kini siap untuk diuji di Provinsi Jawa Tengah
dan empat daerah terpilih lainnya di Pulau Jawa. Setelah
tes menyeluruh dan dilakukan penyesuaian yang mungkin
diperlukan, akan diputuskan bagaimana sistem ini akan
diterapkan di seluruh Indonesia. Harapannya adalah dalam
jangka panjang, sistem ini akan memberikan kontribusi
signifikan dalam menyelamatkan nyawa.

lokasi di mana banyak terjadi kecelakaan. Bila pengguna


mengklik lokasi kecelakaan, sebuah balon akan muncul
untuk menampilkan informasi dasar, diagram kecelakaan
dan versi gambar berukuran kecil (thumbnail) dari lokasi.
Foto tambahan dari lokasi kejadian dapat diakses dengan
mengklik thumbnail tersebut.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Tentang Penulis:
M. Naufal Yahya merupakan Direktur Lalu Lintas Polda Jawa
Tengah. Ia saat ini bertanggung jawab atas implementasi
Sistem Manajemen Keselamatan Jalan Terpadu, yang
merupakan proyek yang didanai oleh Bank Dunia, yang akan
meningkatkan dan mengintegrasikan pangkalan data polisi.

Tema Lintas Sektoral dalam Angka

Tema Lintas Sektoral


dalam angka
505
80%

Indeks ketidaksetaraan gender di Indonesia sebagaimana diukur oleh UNDP.


Ini merupakan ukuran gabungan yang mencerminkan ketidaksetaraan dalam
pencapaian antara perempuan dan laki-laki dalam tiga dimensi: kesehatan
reproduktif, pemberdayaan dan pasar tenaga kerja. Angka 0 adalah kesetaraan
sepenuhnya; 1 adalah ketidaksetaraan sepenuhnya. Indonesia telah mencatat
kemajuan yang kecil tapi mantap sejak indeks ini diperkenalkan tahun 1995.

Persentase seluruh emisi di sektor angkutan yang berasal dari angkutan jalan.

Sejumlah langkah yang diperlukan untuk mengembangkan rencana


Pemantauan & Evaluasi (Monitoring & Evaluation, M&E) sesuai dengan Dana
Internasional untuk Pembangunan Pertanian (International Fund for Agricultural
Development). Langkah-langkah tersebut adalah: menetapkan tujuan dan ruang
lingkup; mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan tentang kinerja, kebutuhan
akan informasi dan indikator; merencanakan pengumpulan dan pengelolaan
informasi; merencanakan proses dan acara refleksi kritis yang penting;
merencanakan komunikasi dan pelaporan yang bermutu; merencanakan kondisi
dan kapasitas yang diperlukan.

334

Sejumlah/beberapa Uji Acak Terkendali, yang mengkaji dampak program


pembangunan tentang [pengentasan] kemiskinan dalam basis data J-PAL (Abdul
Latif Jameel Poverty Action Lab) mulai Juni 2012.

Tahap 2

Tahap kesiapan aparat pemerintah di Indonesia untuk menjalankan manajemen


risiko yang efektif dalam mengembangkan Kemitraan Publik dan Swasta untuk
infrastruktur sesuai dengan kajian Menilai Kesiapan Manajemen Risiko Sektor
Publik bagi Kemitraan Pemerintah dan Swasta dalam Pembangunan Infrastruktur
di Indonesia (Assessing Readiness of Public Sector Risk Management for PPP
in Infrastructure Development in Indonesia). Tahap ini dipresentasikan pada
konferensi internasional tahun 2010. Tahap 1 adalah ad-hoc, tahap 2 permulaan,
tahap 3 kompeten, dan tahap 4 baik sekali.

156

157

Pandangan Para Ahli

Pandangan Para Ahli


Pertanyaan:
Seberapa penting menurut Anda masalah gender dalam konteks
pembangunan infrastruktur Indonesia? Pengalaman professional
dan/atau pengalaman pribadi apa yang membentuk pandangan
Anda tentang topik ini?

Dr. Elly Sinaga


Direktur Bina SistemTransportasi Perkotaan
Direktorat Jenderal Transportasi Darat
Kementerian Perhubungan
Infrastruktur transportasi darat memiliki banyak implikasi yang menyangkut aspek gender. Oleh sebab itu perhatian
tentang gender sangat penting. UU mengenai Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ)no. 22 tahun 2009 mengandung
ketentuan tentang kebutuhan perempuan, orang hamil, lansia dan penyandang cacat. Di setiap babnya terdapat
pasal-pasal yang menunjukkan bahwa semua sarana dan prasarana harus diselenggarakan dan diadakan dengan
memperhatikan kebutuhan mereka yang berbeda-beda.
Mengingat kondisi trotoar di Indonesia yang masih kurang ideal, kami secara bertahap berusaha memperbaiki
kondisi infrastruktur bagi pejalan kaki di semua jalan nasional karena jalan kaki merupakan hak asasi dasar
manusia. Mengenai angkutan umum, sebenarnya kita sudah punya SPM (Standar Pelayanan Minimal), yang
antara lain menetapkan daya muat maksimal bus. Hal seperti ini yang seringkali dilanggar, sehingga menyebabkan
ketidaknyamanan penumpang dan mempermudah terjadinya pelecehan seksual atau kejahatan lain. Kami juga
memperhatikan kondisi halte bus yang terlalu tinggi sehingga menyulitkan akses perempuan, para tuna netra dan
mereka yang menggunakan kursi roda.
Selain itu ITS (Integrated Transport System) yang sedang digalakkan di banyak kota bertujuan untuk meningkatkan
keamanan dan kenyamanan perempuan dalam mengakses transportasi. Sebagai contoh ITS menggunakan sistem
informasi yang mengintegrasikan lampu lalu lintas dengan satu pusat kontrol, sehingga memungkinkan kita
melihat kondisi di seluruh bus dan terminal. Sistem yang membuat orang merasa terlindungi ini sudah diterapkan
di Bali dan Solo. Cara lain untuk menghindarkan bahaya di dalam angkutan umum adalah memasang tanda bahaya
yang bisa dilihat dari luar angkutan umum, sehingga polisi bisa langsung bertindak jika melihat tanda tersebut.
Sebenarnya banyak strategi tengah kami kembangkan saat ini. Kami berusaha untuk menggerakkan dan mengajak
pemerintah daerah untuk mengetahui kondisi infrastruktur transportasi darat di daerah mereka dan membenahi
masalah-masalah yang ada.

Tema Lintas Sektoral

Ir. Rina Agustin, MURP


Kasubdit Perencanaan Teknis Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP)
Ditjen Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum
Setelah mengikuti pelatihan dan berbagai diskusi tentang pengarusutamaan gender, baik di Sekretariat
Pengarusutamaan Gender di PU maupun pelatihan yang diadakan dalam program ADB, saya sadar bahwa topik
ini sangat penting dalam pembangunan infrastruktur. Selain itu ketika melakukan evaluasi, kami heran mengapa
beberapa sarana sanitasi yang kami bangun tidak dipakai. Kami menemukan penyebabnya adalah, mayoritas
pengguna tersebut adalah perempuan dan mereka kurang mengenali sarana tersebut. Ternyata sarana tersebut
juga kurang ramah pada perempuan, misalnya kurang mengakomodasi kebutuhan para perempuan, seperti
tersedianya tempat untuk anak atau barang belanjaan sementara mereka menggunakan sarana sanitasi. Kini
saya paham bahwa konsep gender tidak sekedar persoalan, apakah perempuan harus hadir dalam rapat yang
diadakan suatu program, namun lebih tentang memperhatikan kebutuhan mereka dan memenuhinya. Sekarang
ini kita mulai menerapkan hal ini di Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman (PPLP). Dalam
keseharian, misalnya mulai dari perencanaan anggaran, kami mengikutsertakan aspek pentingnya peduli terhadap
kebutuhan perempuan. Dalam sebuah proyek pembangunan sanitasi dari pinjaman ADB, kami juga mengadakan
satu pelatihan kepada fasilitator tentang gender, lalu menyediakan tenaga ahli yang menangani masalah-masalah
gender. Kami juga mengupayakan sosialisasi khusus tentang isu-isu gender, dan mendidik orang-orang lapangan
dengan memberikan materi tersebut dalam setiap pertemuan. Kami selalu ingatkan mereka untuk mendengarkan
dan melibatkan para perempuan dan orang lanjut usia dalam diskusi.

Rita Herlina
Kepala Sub Direktorat Hibah Daerah , Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Kementerian Keuangan
Proyek-proyek yang berkaitan dengan infrasturktur yang dikelola oleh Kementerian Keuangan tidak memiliki
dampak langsung terhadap masalah gender. Direktorat kami bertanggung jawab atas pengelolaan dana hibah
dan proyek-proyek yang sudah dirancang dan disetujui oleh kementerian-kementerian lain yang terkait. Namun,

158

159

Pandangan Para Ahli

Pandangan Para Ahli


lanjutan dari halaman sebelumnya

pada masa Sri Mulyani menjabat sebagai Menteri Keuangan, ia mengumpulkan rekan-rekan perempuannya dan
mendorong mereka agar lebih banyak memegang peran kepemimpinan. Sri Mulyani adalah sosok yang memiliki
visi dan berkeyakinan bahwa perempuan tidak boleh dipandang secara stereotip dan patut diberi peluang setara.
Misalnya, perempuan umumnya terpilih sebagai kepala biro keuangan karena dalam persepsi umum mereka
biasanya lebih memberi perhatian pada detail dan oleh sebab itu lebih sesuai untuk melakukan pekerjaan
administratif. Ini tidak benar, laki-laki pun dapat melakukan tugas administratif sedangkan perempuan juga dapat
menduduki jabatan yang lebih melibatkan pemikiran strategis.
Warisan tersebut kini berlanjut di bawah Menteri Agus Martowardojo. Lebih banyak perempuan bekerja pada
tingkat eselon 3 daripada sebelumnya. Saya duduk dalam dewan untuk beberapa perekrutan dan menurut
pendapat saya prosesnya sudah lebih baik. Perempuan yang yang memenuhi kualifikasi untuk pekerjaan tertentu
diberikan kesempatan yang sama sampai tahap wawancara.
Sekarang masalahnya lebih terletak pada masing-masing pribadi. Perempuan tidak dapat mengelak dari
takdirnya menjadi seorang ibu dan mengurusi keluarganya. Beberapa perempuan di Kementerian sesungguhnya
ditawari jabatan yang lebih tinggi tetapi mereka menolak karena memiliki komitmen pada keluarga. Lebih sulit
bagi perempuan untuk bekerja lembur di kantor hingga malam atau mengadakan perjalanan dinas ke luar kota
dibandingkan laki-laki.

Rien Marlia, ST, MT


Kepala Seksi Pembiayaan dan Kerjasama Internasional
Direktorat Jenderal Bina Marga
Kementerian Pekerjaan Umum
Setiap prakarsa pembangunan infrastruktur yang tidak sepenuhnya mempertimbangkan masalah gender pada
tahap perencanaan, persiapan, dan pelaksanaannya tidak akan meraih potensinya untuk mencapai hasil yang
lebih baik bagi perempuan. Keluarga yang berada di tingkat ekonomi paling bawah dapat memperoleh manfaat
besar dari proyek-proyek seperti Proyek Peningkatan Jalan di Indonesia Timur (EINRIP Eastern Indonesia Road
Improvement Project) yang didanai oleh AusAID dan menyediakan peningkatan akses ke daerah lain untuk jual
beli barang. Ini penting sekali, terutama bagi rumah tangga yang dikepalai seorang perempuan. Manfaat lain

Tema Lintas Sektoral

pembangunan infrastruktur yang mungkin sangat penting bagi perempuan dan anak perempuan adalah akses
yang lebih baik pada sekolah, layanan kesehatan, air minum, dan peningkatan peluang untuk berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan.
EINRIP memiliki rekor yang cukup baik dalam mengikutsertakan perempuan pada tahap awal proyek. Beberapa
perempuan turut serta secara aktif pada tahap pengembangan/perencanaan dan pelaksanaan proyek, namun
keseimbangan gender secara keseluruhan masih condong pada laki-laki. Dalam pandangan saya, dampak EINRIP
pada masalah gender ini masih bercampur baur, tetapi melihat sebagian perempuan kini mengejar karier di
berbagai bidang teknik dalam proyek-proyek seperti ini, cukup membesarkan hati. Di tingkat pemerintah pusat
pun lebih banyak perempuan yang memegang peran aktif dalam proyek infrastruktur.
Perekonomian Indonesia tumbuh dengan cepat dan pertumbuhan tersebut tidak perlu terbatas pada satu
kelompok gender atau komunitas saja. Dari seluruh penduduk dunia yang diperkirakan berjumlah 7 miliar, 4552
persen di antaranya adalah perempuan tergantung pada kelompok usia. Sulit dibayangkan tujuan pembangunan
konkrit dapat dicapai tanpa mempertimbangkan masalah gender.

Ambar Muryati, SE, MM


Direktur Utama PDAM Klaten
Pembangunan infrastruktur di Indonesia tidak mungkin lepas dari pertimbangan gender, karena sebagian besar
penduduk Indonesia adalah perempuan. Khususnya untuk pembangunan infrastruktur bidang air minum, peranan
perempuan sangatlah dominan pengaruhnya dalam memanfaatkan air minum, karena perempuanlah yang setiap
hari bersinggungan dengan air minum. Namun di dalam proses pengambilan kebijakan peran mereka belum
signifikan karena jumlah pejabat perempuan di bidang pembangunan infrastruktur tidak banyak. Suatu ketika
ketua tim sosialisasi sebuah program, bersama tim saya memanfaatkan kegiatan pertemuan PKK di tingkat RW
untuk kegiatan sosialisasi. Demikian pula saat kami akan menaikkan tarif pada suatu waktu, kami mengadakan
temu pelanggan juga melalui pertemuan ibu-ibu PKK tingkat RW, dan mencapai hasil yang optimal. Dalam tim
PDAM Klaten, selain saya sendiri, ada beberapa perempuan yang menjadi penanggung jawab seperti kepala bagian
keuangan, kepala SPI (Satuan Pengawas Internal), dan kepala gudang. Semua pekerjaan hampir selalu diselesaikan
tepat waktu dengan hasil yang cukup baik.

160

Hibah Berbasis Hasil


Edisi 12, Oktober 2012

Program Hibah sebagai Alat untuk Perubahan:


Pendekatan Indii terhadap Hibah Berbasis Hasil
Menggunakan Hibah Berbasis Hasil untuk
Memperluas Pasokan Air Leding bagi Masyarakat
Miskin Perkotaan di Surabaya
Studi Kasus Hibah Berbasis Hasil: Meningkatkan
Transportasi Bus Kota Indonesia
Hibah Berbasis Hasil untuk Layanan Air Minum
yang Lebih Baik
Pandangan dari Kemenkeu: Peran Mekanisme
Penerusan Hibah

POIN-POIN UTAMA
Hibah berbasis keluaran (OBA) mengaitkan pembayaran pada penerima program Hibah, dengan
sasaran pencapaian yang didefinisikan secara jelas, biasanya dalam bentuk peningkatan
pelayanan publik. OBA dirintis di Indonesia dalam fase 1 Prakarsa Infrastruktur Indonesia
(IndII) melalui Prakarsa Air Minum dan Sanitasi yang didanai AusAID dan menghasilkan 77.000
sambungan air minum rumah tangga baru dan 5.000 sambungan limbah rumah tangga. Kunci
sukses program Hibah ini adalah Pemda yang terlibat secara langsung dan mempunyai rasa
kepemilikan tinggi terhadap proses investasi infrastruktur.
Pada fase 2, Indll akan melanjutkan keberhasilan yang dicapai dalam fase 1 dan memperluas
keterlibatannya di sektor yang lain terutama sanitasi dan transportasi sebagai sarana
memperbaiki kapasitas dan komitmen terhadap penyediaan pelayanan infrastruktur pada
tingkat daerah. Program Hibah Air Minum akan ditingkatkan. Pemrograman yang lain akan
membantu Organisasi Masyarakat seperti HIPPAMS yang mengoperasikan sistem air minum.
Sebuah program Hibah sanitasi yang baru (sAIIG) telah dirancang dan sudah masuk tahap
implementasi awal. Program-program OBA pada sektor transportasi akan berfokus pada
perawatan jalan dan keselamatan jalan.
OBA cocok untuk intervensi-intervensi yang bertahap dan relatif kecil, serta dapat direncanakan
sesuai skala, direplikasi, dan dibiayai terlebih dahulu secara bertahap oleh pemerintah
dengan sumber anggaran terbatas. Selain itu, keluarannya harus dapat diverifikasi dengan
mudah. Tidak semua program Hibah berbasis keluaran Indll yang telah direncanakan cocok
dengan kriteria ini secara sempurna. Sebagai contoh, investasi yang direncanakan untuk
program Hibah keselamatan jalan (seperti tempat penyeberangan pejalan kaki di sekolah
dan perbaikan-perbaikan lain) akan distandarisasi sejauh mungkin, tetapi keluarannya pada
masing-masing lokasi harus disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan jalan setempat.
Demikian juga, ada beberapa keluaran yang lebih sulit diverifikasi, seperti, apakah sebuah
ruas jalan telah dirawat dengan standar yang dapat diterima.
OBA semakin populer karena dana hanya dapat ditransfer setelah hasil tertentu tercapai. Hal
ini meningkatkan kepastian dan meminimalisir risiko. Tetapi alasan paling penting mengapa
Indll memfokuskan diri pada OBA adalah karena potensinya dalam menggerakkan perbaikan
dan perubahan. Dampak program Hibah Indll yang paling berharga bukanlah keluaran
langsung, tetapi tata kelola dan komitmen kelembagaan terhadap pelayanan infrastruktur
yang lebih baik pada tingkat daerah. Visi ini bagi OBA hanya dapat direalisasikan jika programprogram dirancang berdasarkan prinsip-prinsip conditionality, consolidation, contestability,
consistency, dan effective communications.

Hibah Berbasis Hasil

Program Hibah sebagai


Alat untuk Perubahan:
Pendekatan Indii terhadap
Hibah Berbasis Hasil
Program Hibah Berbasis Hasil dapat bermanfaat lebih dari sekadar
hasil-hasil jangka pendek yang diinginkan. Jika dirancang secara
tepat, program Hibah dapat menjadi sarana untuk memperbaiki
tata kelola dan memperkuat komitmen.
Oleh David Ray

Hibah Berbasis Hasil (Output Based Aid/OBA) adalah modalitas


yang inovatif dan menjanjikan dalam menyediakan bantuan
pembangunan. OBA adalah mekanisme berbasis hasil yang
mengaitkan pembayaran dengan hasil tahapan pencapaian
(milestones/deliverables) yang didefinisikan secara jelas,
biasanya dalam bentuk perbaikan pelayanan umum. OBA telah
digunakan secara luas dalam bidang kesehatan dan pendidikan,
dan sekarang makin sering digunakan dalam perbaikan di
bidang penyediaan pelayanan infrastruktur, terutama dalam
sektor air minum, sanitasi, dan transportasi.
Salah satu penerapan terawal OBA melalui sistem pemerintahan
di Indonesia adalah pada fase pertama Prakarsa Infrastruktur
Indonesia (IndII) yang didanai oleh AusAID, lewat program
Hibah Air Minum dan Air Limbah. Seperti dijelaskan secara
lebih terperinci dalam Hibah Berbasis Hasil untuk Layanan
Air Minum Lebih Baik pada halaman 181, program dengan
dana A$ 25 juta ini menyediakan program hibah insentif
berbasis keluaran untuk memfasilitasi investasi Pemerintah
Daerah (Pemda) dalam penyambungan saluran air minum
baru bagi 77.000 rumah tangga dan pembuangan air limbah
rumah tangga untuk 5.000 rumah tangga, dalam jangka waktu
hanya satu tahun. Kunci kesuksesan program hibah ini adalah

keterlibatan Pemda secara langsung serta rasa kepemilikan


yang kuat terhadap proses investasi infrastuktur tersebut.
Selain itu, melalui pendekatan dan komunikasi yang efektif,
para pemimpin daerah dapat memahami dan menghargai
manfaat politis yang relatif tinggi dari peningkatan kualitas
pada penyediaan layanan.
Dalam fase pertama Indll ini juga, sebuah program hibah kecil
diujicobakan untuk mendukung sistem jalur bus baru di kotakota terpilih. Program uji coba ini menetapkan patokan baru
bagi rancangan dan pembangunan infrastruktur jalur bus, dan
merupakan langkah penting dalam memperkenalkan insentif
baru bagi pendekatan yang lebih kuat dan tertib terhadap
pengelolaan kontraktor Pemda. Pelajaran yang diperoleh
dari kegiatan ini sekarang diterapkan pada program yang
kemungkinan diperluas pada fase 2. (Lihat Studi Kasus Hibah
Berbasis Hasil: Meningkatkan Transportasi Bus Kota Indonesia
pada halaman 175.)
Program hibah lainnya dari fase 1 adalah Program Hibah
Penguatan Infrastruktur (Infrastructure Enhancement Grants/
IEG) senilai A$ 6 juta untuk sanitasi. Program sanitasi dalam IEG
tersebut adalah program berbasis kinerja yang menggunakan

Prakarsa Compendium | Jilid 2

163

164

Program Hibah sebagai Alat untuk Perubahan: Pendekatan Indii terhadap Hibah Berbasis Hasil

sebagian dana yang dianggarkan untuk sanitasi oleh Pemda


pada tahun 2010 sebagai bentuk nyata komitmen Pemda
terhadap perbaikan sanitasi. Pemda yang menunjukkan
komitmen yang memadai dianggap layak untuk mendapat
dukungan IEG dalam pengembangan infrastruktur air limbah
dan limbah padat (untuk lebih jelas, lihat Penyesuaian Hibah
Berbasis Keluaran untuk Sanitasi pada Prakarsa terbitan
Juli 2011, halaman 4). Program ini mengungkap sejumlah
masalah utama dalam proyek penyediaan sarana sanitasi
dan dalam penyelenggaraan tata kelola institusi pada tingkat
daerah. Penanganan masalah-masalah ini merupakan inti dari
rancangan fase 2 program hibah sanitasi yang berbasis keluaran
(sAIIG), sebagaimana dijelaskan di bawah ini.

Melanjutkan Keberhasilan Masa Lampau


Tahun lalu proyek Indll telah diperpanjang ke fase kedua, yang
akan berlangsung hingga bulan Juni 2015. Fase 2 menekankan
peran Indll sebagai ruang mesin dari segi rancangan,
pelaksanaan dan pengelolaan program hibah infrastruktur
pemerintah-ke-pemerintah, kebanyakan dengan penggunaan
mekanisme berbasis keluaran. Pada tahap sekarang ini, Indll
akan meneruskan keberhasilan program Hibah Air Minum
untuk memperdalam keterlibatannya dalam sektor air minum,
dan akan memperluas keterlibatannya di sektor lain terutama
sanitasi dan transportasi sebagai bagian dari upaya untuk
memperbaiki kapasitas serta komitmen di tingkat daerah
terhadap penyediaan pelayanan infrastruktur. Hal ini mencakup
mendorong dan mendukung kapasitas dan komitmen
Pemerintah Daerah untuk menanggulangi kebutuhan yang
berbeda-beda di antara perempuan dan kelompok yang
rentan seperti para penyandang cacat dan lanjut usia dalam
penyediaan layanan di sektor-sektor ini.
Pada bulan April 2012 sebuah kesepakatan tambahan antara
Pemerintah Australia dan Pemerintah Indonesia ditandatangani,
yang menegaskan niat kedua pemerintah untuk bekerjasama
dalam pelaksanaan program hibah Infrastruktur AustraliaIndonesia (Australia-Indonesia infrastructure Grants/AIIG).
AIIG mencakup hingga A$ 250 juta dalam bentuk penyaluran
program hibah (termasuk A$ 10 juta yang disediakan USAID
untuk Hibah Air Minum). Program-program AIIG akan
dirancang, dilaksanakan, dan dikelola oleh Indll.
Pada saat ini, Indll berencana memperluas program Hibah
Air Minum sehingga dapat menyediakan sambungan air
ke 280.000 rumah tangga selama Fase 2. Indll juga akan

Prakarsa Compendium | Jilid 2

menerapkan beberapa pelajaran penting yang didapat dari


Program Hibah Air Minum dan program-program fase 1 lainnya
untuk membantu HIPPAMS (Himpunan Penduduk Pemakai Air
Minum dan Sanitasi/CBO) yang mengoperasikan sistem air
minum. Indll akan mengembangkan program hibah terpisah
yang berupaya mempromosikan investasi dan komitmen
Pemda terhadap HIPPAMS.
Hibah Sanitasi tetap dilanjutkan, tetapi pada skala jauh lebih
rendah dari program Hibah air minum dan sanitasi yang lain,
karena keterbatasan kapasitas dari sistem air limbah yang
ada dimana Hibah Sanitasi dapat diterapkan. Sebuah program
hibah sanitasi berbasis hasil yang baru, dan jauh lebih besar
(sAIIG) telah dirancang dengan tujuan utama membangun
keterlibatan Pemda dalam sektor sanitasi. Hal ini penting
karena Pemda cenderung dikesampingkan dalam upaya terkini
untuk meningkatkan penyediaan layanan sanitasi di tingkat
daerah. Program sAIIG akan diimplementasikan melalui Pemda
yang akan menyediakan infrastruktur air limbah terpisah
(offsite) untuk 92.000 rumah tangga dan juga beberapa fasilitas
limbah padat.
Selain itu, masih dalam sektor sanitasi, hibah infrastruktur
akan diarahkan pada perkembangan satu atau dua sistem
limbah rumah tangga dalam kota. Program hibah ini akan
memanfaatkan hasil dari persiapan yang telah diselesaikan
oleh Indll dalam fase 1 untuk mengembangkan rencana induk
pengelolaan air limbah di delapan kota.

Program di Sektor Transportasi


Indll sedang merancang dua program uji coba dalam bidang
transportasi. Yang pertama adalah program perawatan jalan
berbasis keluaran inovatif, yang akan diimplementasikan di
beberapa jalan provinsi di Nusa Tenggara Barat, dan setelah itu
dapat dilanjutkan di wilayah lainnya. Program ini akan menggali
modalitas baru seperti peningkatan peran sektor swasta
melalui kontrak berbasis kinerja, dan pelibatan masyarakat
melalui forum-forum lalu lintas dan transportasi jalan yang
belum lama ini diundangkan. Tujuan utama program ini
adalah meningkatkan komitmen dan kapasitas Pemda dalam
pelaksanaan perawatan jalan raya yang efektif.
Program uji coba lain di bidang transportasi akan menyediakan
program hibah yang dirancang untuk mengembangkan
komitmen dan kapasitas Pemda dalam pengelolaan
keselamatan jalan raya. Program hibah ini akan mendanai

165

Hibah Berbasis Hasil

Pendekatan Indll Pada Pemrograman Hibah:


Lima C Rancangan Program Hibah yang Efektif
Conditionality: Memastikan bahwa dampak maksimal
investasi, persyaratan untuk berpartisipasi dalam program
Hibah, dan penerimaan pembayaran telah sesuai dengan
tujuan kebijakan pembangunan, kelembagaan, dan tata
kelola.
Consolidation: Guna memastikan tidak adanya upaya yang
terpecah-pecah, program-program seharusnya melibatkan
kelompok Pemda yang lebih kecil dan yang sama dalam kurun
waktu tertentu. Hal ini dapat membantu menegakkan insentif
yang berlangsung lebih lama untuk mengarusutamakan
perbaikan kebijakan dan tata kelola.
Contestability: Pemda harus bersaing untuk berpartisipasi
dalam program Hibah dengan menunjukkan kapasitas,
komitmen, dan kesesuaian untuk melaksanakan program
Hibahnya.
Consistency: Program Hibah harus dirancang dan
diimplementasikan dengan cara yang sesuai dengan sistem
Pemerintah Indonesia sehubungan dengan transfer dana di
antara pemerintah pusat dan Pemda. Hal ini akan membantu
memastikan bahwa Pemda memiliki kepemilikan atas
pembangunan infrastruktur dan penyediaan layanan.
Communications: Program komunikasi yang baik akan
menciptakan masyarakat setempat yang siap menerima
penyediaan layanan yang lebih baik di tingkat daerah. Hal
ini menunjukkan pada Pemda manfaat politis yang akan
dihasilkan dari peningkatan infrastruktur.

pembangunan infrastruktur keselamatan jalan raya yang


menargetkan pengguna jalan raya yang rentan, misalnya zona
aman sekolah untuk anak sekolah. Program hibah tersebut
juga akan digunakan untuk membangun kesadaran masyarakat
akan bahaya yang dihadapi pejalan kaki dan pengendara
sepeda motor terhadap kecelakaan lalu lintas. Pada saat
proses penulisan artikel ini, tengah dipertimbangkan untuk
menyatukan program ini dengan program mobilitas perkotaan
untuk membangun infrastruktur busway (lihat diatas), untuk
meningkatkan fasilitas, mobilitas, dan keamanan di kota-kota
terpilih.

Program Hibah Air Minum berbasis keluaran


menyediakan sambungan air minum baru bagi
77.000 rumah tangga selama fase 1 IndII.

Atas perkenan INDII

Selain program-program yang sudah memasuki tahap


pengembangan konsep, rancangan, maupun implementasi itu,
Indll juga tengah mempertimbangkan pengembangan kegiatan
program hibah lainnya yang ditujukan kepada Pemda. Di antara
kemungkinan yang dipertimbangkan adalah investasi dalam
fasilitas pengelolaan tingkat menengah untuk limbah padat dan
perluasan program perbaikan bus pada fase 1, agar mencakup
pula fasilitas pejalan kaki.

Tidak Selalu Tepat


OBA mengkhususkan diri pada jenis program hibah tertentu:
intervensi relatif kecil yang bertahap, yang mudah diperluas
dan direplikasi, serta dapat dibiayai di muka secara bertahap
oleh pemerintah dengan sumber keuangan terbatas. Selain itu,
keluarannya harus relatif standar dalam hal rancangan dan biaya
per unit, sehingga dapat secara mudah diverifikasi. OBA tidak
begitu cocok untuk investasi besar tertentu, seperti terminal
pelabuhan, instalasi pengelolaan limbah rumah tangga, atau
jembatan besar. Dengan demikian, sekalipun kebanyakan
program hibah Indll di fase 2 akan diimplementasikan melalui

Prakarsa Compendium | Jilid 2

166

Program Hibah sebagai Alat untuk Perubahan: Pendekatan Indii terhadap Hibah Berbasis Hasil

modalitas berbasis keluaran, ada beberapa pengecualian,


seperti investasi bagi sistem pengelolaaan limbah rumah tangga
di satu atau dua kota. Investasi yang besar dan membengkak
seperti ini berada di luar kapasitas pendanaan di muka pada
kebanyakan pemerintah kota.
Di sisi lain, sambungan air rumah tangga adalah investasi
OBA yang ideal dalam bidang infrastruktur karena merupakan
intervensi relatif standar yang dapat diimplementasikan
dengan standar dan spesifikasi rancangan yang seragam,
sekaligus mudah untuk diverifikasi (dengan kata lain, mudah
dicek apakah air minum mengalir dan apakah tagihan untuk
pekerjaan sudah dikeluarkan dan dibayar).
Tidak semua program hibah berbasis keluaran yang
direncanakan Indll cocok dengan kriteria sebagaimana Program
Hibah Air Minum. Sebagai contoh, investasi yang direncanakan
untuk program hibah keselamatan jalan raya (seperti tempat

memberikan daya umpil. OBA dapat menggerakkan perbaikan


dan perubahan mendasar. OBA menghasilkan additionality
(tambahan). Tambahan di sini berarti bahwa program memiliki
dampak yang bersifat perubahan mendasar atau katalitis yang
melampaui hasil langsung yang dapat diukur. Dengan kata lain,
dampak yang paling bernilai dari program hibah Indll bukanlah
keluaran langsung seperti sambungan air minum kepada lebih
banyak rumah tangga, tetapi tata kelola yang lebih baik dan
komitmen lembaga untuk pelayanan infrastruktur pada tingkat
daerah, hasil dari prasyarat yang harus dipenuhi Pemda agar
dapat menerima program hibah.
Bagi OBA, visi ini hanya bisa direalisasikan jika programprogramnya dirancang dengan pola pikir Lima C
conditionality, consolidation, contestability, consistency,
communications.

Alasan pokok penggunaan modalitas OBA adalah daya umpil


yang diberikan
penyeberangan pejalan kaki di sekolah atau perbaikan yang
lain) akan distandarisasikan sejauh mungkin, tetapi keluaran
di masing-masing lokasi perlu disesuaikan dengan lingkungan
jalan raya setempat. Demikian pula beberapa keluaran jelasjelas lebih sulit diverifikasi daripada yang lainnya. Sebagai
contoh, akan lebih sulit menjamin bahwa satu ruas jalan
telah dirawat dengan standar yang bisa diterima daripada
mengkonfirmasi bahwa sebuah rumah tangga mempunyai
sambungan pipa air minum yang berfungsi dan dapat ditagih.

Berbagai Keuntungan OBA


Program-program berbasis keluaran semakin populer di
kalangan para donor. Hal ini disebabkan karena dananya baru
ditransfer setelah tercapainya keberhasilan ataupun setelah
tiba pada tahap pencapaian tertentu. Program-program dapat
dijalankan dengan kepastian yang lebih besar dan, yang lebih
penting, dengan risiko minimal.
Keuntungan-keuntungan ini penting, tetapi bukan merupakan
alasan utama mengapa Indll begitu menekankan programprogram program hibah berbasis hasil dalam fase 2. Alasan
pokok untuk menggunakan OBA adalah karena cara tersebut

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Conditionality
Dalam arti yang luas, ada dua macam kondisi (conditionality)
yang digunakan Indll untuk memaksimalkan nilai tambah
(additionality) investasi program hibah: program hibah setara
dan persyaratan tata kelola.
Program hibah setara: Program hibah dirancang dan
diimplementasikan sedemikian rupa sehingga, bila semua hal
lain setara, program ini mengkatalisasikan secara progresif
penggunaan kontrak pengelolaan dana Pemda yang semakin
besar untuk investasi pada infrastruktur keras. Hal ini
membantu meningkatkan dan mengarusutamakan komitmen
yang lebih besar dari Pemda sebagai lembaga terhadap
infrastruktur, seiring berjalannya waktu.
Persyaratan tata kelola: Program hibah dimaksimalkan untuk
menjamin bahwa beragam kebijakan dan perubahan tata
kelola yang lain juga dilakukan. Contoh dari persyaratan yang
bisa diketengahkan adalah: kepatuhan kepada kebijakan
dan prosedur di tingkat nasional; perbaikan dalam sistem
pengadaan; pelaksanaan perubahan tarif; dan penyesuaian
dengan aturan audit. Sama seperti program hibah setara

Hibah Berbasis Hasil

(matching grants), kondisi tata kelola dapat secara progresif


diterapkan untuk membantu mengarusutamakan dan
melembagakan perubahan seiring berjalannya waktu.

Consolidation
Pelajaran penting yang didapat dari pemrograman fase
1, terutama dari IEG sanitasi, adalah bahwa fragmentasi
merupakan masalah serius yang melemahkan keefektifan
penyediaan infrastuktur. Hal ini bisa dilihat dalam pengalokasian
sumber daya pemerintah nasional kepada Pemda, dan
pengalokasian oleh Pemda kepada lembaga dan proyekproyek mereka. Maka, konsolidasi merupakan elemen penting
rancangan program hibah. Sebisa mungkin, Indll berusaha
membatasi jumlah Pemda yang berpartisipasi dalam suatu
program hibah, karena menyebarkan program hibah yang
terbatas kepada banyak Pemda akan mengarah pada program
yang berat, dengan biaya pengelolaan unit yang tinggi.
Di sisi lain, pengonsolidasian sebuah program dengan
kelompok Pemda terpilih memungkinkan Indll menyediakan
program hibah kepada Pemda yang sama untuk jangka waktu
sampai tiga tahun. Bekerja berdasarkan kerangka waktu yang
lebih lama dengan sekelompok Pemda yang sama memberikan
kesempatan yang lebih baik untuk mengarusutamakan
dan melembagakan perubahan inti pada kebijakan dan
tata kelola, yang merupakan syarat bagi pendanaan.
Menetapkan persyaratan minim yang masuk akal dengan
mempertimbangkan ukuran proyek yang akan dilakukan para
Pemda dapat menghindarkan terpecah-pecahnya program
investasi menjadi terlalu banyak kegiatan kecil.

Contestability
Memastikan bahwa Pemda harus berkompetisi untuk
mengikuti program hibah adalah unsur penting lainnya dalam
perancangan program hibah Indll. Ketika Pemda diminta untuk
membuktikan bahwa mereka adalah calon yang paling cocok,
berarti ada seleksi diri di antara rekan-rekan Pemda yang
berkomitmen. Selain itu, dengan memilih hanya Pemda yang
terbaik memungkinkan pembatasan jumlah keseluruhan
Pemda yang berpartisipasi untuk dikelola. Beragam kriteria
dapat digunakan untuk menentukan Pemda mana yang
terpilih, terutama komitmennya terhadap perbaikan tata kelola
tertentu, serta terhadap pendanaannya.

Consistency
Elemen yang mungkin terpenting dari program hibah
berbasis keluaran Indll adalah konsistensi dengan, dan
pemanfaatan dari sistem-sistem transfer fiskal Pemerintah
Indonesia. Sebagaimana ditunjukkan Program Hibah Air
Minum, penggunaan sistem-sistem tersebut memungkinkan
peranan dan insentif dari semua pemangku kepentingan, baik
pemerintah nasional maupun Pemda, untuk teridentifikasi
secara jelas dan disepakati. Pelibatan Pemda secara langsung
dalam proses investasi infrastruktur, merupakan hal yang
penting, agar Pemda dapat membangun rasa kepemilikan.
Contoh penting adalah sektor sanitasi, di mana kebanyakan
program sampai saat ini telah disampaikan pada tingkat
nasional atau masyarakat, dan akibatnya, pemerintah daerah
telah dikesampingkan. Sedikit atau sama sekali tidak ada rasa
kepemilikan atas proyek sanitasi di dalam wilayah hukum
mereka. Untuk semua program Indll, di sisi lain, Pemda
memainkan peran yang sangat penting, baik sebagai pemilik
maupun penyedia proyek-proyek infrastruktur.

Communications
Resep sukses terakhir dari pemrograman program hibah Indll
adalah komunikasi. Melalui pemrograman komunikasi.

Tentang Penulis:
Selaku Direktur Indll, David Ray bertanggung jawab atas
kepemimpinan teknis dan strategis secara keseluruhan. Ia
seorang ekonom dengan lebih dari 10 tahun pengalaman
bekerja di dalam konteks pembangungan, terutama di
Indonesia dan Vietnam. Sebelum bergabung dengan Indll pada
bulan April 2009, ia menjabat sebagai Wakil Direktur proyek
SENADA yang didanai oleh USAID. Proyek tersebut berfokus
pada daya saing di sektor manufaktur Indonesia. Selama
periode 20032006, ia bekerja untuk The Asia Foundation
di Vietnam, mengelola program tata kelola ekonomi USAID
untuk memperbaiki iklim investasi pada tingkat daerah.
Sebelumnya, ia adalah penasihat yang didanai USAID pada
Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia, menangani urusan-urusan yang terkait dengan
perdagangan, investasi dan perbaikan peraturan. Ia memiliki
sejumlah gelar akademis, termasuk PhD yang berfokus pada
ekonomi Indonesia dan perkembangan kelembagaan.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

167

POIN-POIN UTAMA
Perusahaan air minum Surabaya, PDAM Surya Sembada, memiliki reputasi yang baik di
pasar dan memiliki cakupan layanan sebesar 83 persen. Meski demikian, beberapa daerah
berpenghasilan rendah masih belum terlayani. Untuk mendukung PDAM Surya Sembada
dalam memperluas layanannya, Global Partnership on Output-Based Aid (GPOBA) memberikan
subsidi untuk sambungan baru bagi rumah tangga miskin di Surabaya.
PDAM adalah lembaga pelaksana dan penerima utama subsidi tersebut. PDAM melakukan
pembiayaan awal, pengadaan, dan pembangunan sistem pelayanan penyediaan air minum.
Penggantian biaya harus disalurkan melalui Pemerintah Indonesia dan kemudian ke Pemkot
Surabaya. Proyek ini melibatkan koordinasi antara Kementerian Pekerjaan Umum, Direktorat
Jenderal Cipta Karya, Satuan Kerja (Satker) Provinsi, Satker Kota, kantor auditor, dan HIPPAMS
(CBO, Community-Based Organisation).
Besar dana proyek secara keseluruhan berjumlah sekitar US$ 3,2 juta. Proyek ini awalnya
dijadwalkan beroperasi dari tahun 20092011. Diharapkan proyek ini menjangkau 16.000
keluarga miskin.
Pelaksanaan selama dua tahun pertama sangat lambat. Tantangan yang mengakibatkan awal
yang lambat antara lain adalah masalah dalam mengidentifikasi penerima manfaat, koordinasi
antara PDAM dan CBO, pengaturan organisasi internal PDAM, dan mekanisme penyaluran dana
yang rumit. Restrukturisasi proyek kemudian diusulkan dan disetujui pada tahun 2011 untuk
memperpanjang jangka waktu proyek sampai dengan Desember 2012 dan meningkatkan
kinerja proyek dengan menghilangkan hambatan pelaksanaan dan menyederhanakan kriteria
seleksi penerima manfaat.
Setelah restrukturisasi proyek, pelaksanaan proyek meningkat secara signifikan sebagaimana
tampak pada jumlah sambungan terpasang dan penyaluran dana yang dilakukan. Koordinasi
proyek antara PDAM, Panitia Penata Kelola, HIPPAMS dan berbagai pemangku kepentingan
lain telah ditingkatkan dengan menyelenggarakan rapat koordinasi rutin. Fasilitator
masyarakat ditugaskan oleh Panitia Penata Kelola untuk membantu CBO dan bertindak
sebagai penghubung antara HIPPAMS dan PDAM. PDAM juga telah meningkatkan pengaturan
internalnya untuk pelaksanaan proyek dan menyediakan ruang kantor khusus sebagai pusat
untuk para fasilitator masyarakat, sehingga koordinasi menjadi lebih dekat dan tanggapan
lebih cepat.
Pelajaran dari pengalaman yang diperoleh, antara lain perlunya komunikasi yang baik dan
koordinasi yang erat antara pemangku kepentingan dan pentingnya pengelolaan dukungan dan
komitmen pemangku kepentingan sepanjang pelaksanaan proyek. PDAM saat ini mengakui
bahwa penjangkauan dan keterlibatan masyarakat sangat penting dalam penyediaan layanan
bagi masyarakat miskin.

Hibah Berbasis Hasil

169

Menggunakan Hibah Berbasis


Hasil untuk Memperluas
Pasokan Air Leding bagi
Masyarakat Miskin Perkotaan
di Surabaya
Koordinasi dan sosialisasi terbukti merupakan faktor penting untuk
efektifitas hibah berbasis hasil.
Oleh Irma Setiono

Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia, telah


mencapai keberhasilan pembangunan yang luar biasa
selama dekade terakhir. Kota Surabaya dianggap
sebagai salah satu kota berkinerja terbaik di Indonesia.
Prestasi luar biasa ini juga tercermin pada PDAM Kota
Surabaya, yaitu PDAM Surya Sembada. Berbeda dengan
PDAM lainnya, Surya Sembada memiliki reputasi yang
baik di pasar dan posisi keuangan yang kuat tanpa
tunggakan utang. Pada tahun 2009, biaya operasional
dan pemeliharaannya sebesar US$ 34 juta dan total
pendapatannya lebih dari US$ 55 juta. Cakupan
layanannya saat ini sebesar 83 persen. Dengan sekitar
450.000 sambungan rumah tangga dan komersial, PDAM
Surya Sembada merupakan perusahaan air minum
terbesar di Indonesia.

air leding, dan banyak rumah tangga telah memiliki


sambungan ke jaringan air leding sendiri. Meski demikian,
masih ada daerah-daerah yang belum terlayani, yang
mencakup
kelompok
masyarakat
berpendapatan
paling rendah. Banyak keluarga miskin tersebut tidak
mampu membayar biaya sambungan yang tinggi, yang
mencakup biaya perluasan jaringan tersier. Selain itu,
beberapa segmen masyarakat miskin perkotaan tidak
dapat memberikan dokumen sah yang diminta oleh
PDAM untuk mendapatkan sambungan. Tanpa pasokan
air leding, mereka harus mengandalkan pasokan air,
antara lain, dari tetangga, penjual keliling atau penyedia
layanan independen berskala kecil, dan air sumur gratis.
Air minum dari sumber-sumber tersebut pada umumnya
mahal atau tercemar.

Sejalan dengan tingkat cakupannya yang tinggi, sebagian


besar daerah di Surabaya telah terlayani oleh sistem

Untuk mendukung upaya PDAM Surya Sembada


dalam memperluas layanan, Global Partnership on

Prakarsa Compendium | Jilid 2

170

Menggunakan Hibah Berbasis Hasil untuk Memperluas Pasokan Air Leding bagi Masyarakat Miskin Perkotaan di Surabaya

Output-Based Aid (GPOBA) 1 memberikan subsidi


untuk pemasangan sambungan baru bagi keluarga
berpenghasilan rendah di Surabaya. Tujuannya adalah
meningkatkan dan mempertahankan akses jaringan
air leding bagi rumah tangga berpenghasilan rendah.
Ada tiga jenis sambungan atau hasil (output) yang
merupakan cara untuk menyediakan layanan air minum
kepada masyarakat miskin perkotaan: sambungan infill (sambungan yang diberikan kepada rumah tangga
penerima manfaat melalui sambungan baru ke jalur
pipa tersier yang telah ada), expansion connections
(sambungan yang diberikan kepada rumah tangga
penerima manfaat melalui perluasan jaringan tersier
untuk memberikan akses terhadap pasokan air leding
kepada daerah-daerah yang belum terlayani), dan
pasokan curah atau sambungan skema meteran induk
(master meter) khususnya bagi masyarakat miskin,
permukiman padat, atau komunitas informal yang
tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan sambungan
sendiri.

kepatuhan; dan pelaporan. Selain itu, sebuah perusahaan


dilibatkan sebagai Auditor OBA untuk memberikan
penilaian tahunan atas kemajuan dan kualitas pekerjaan
dalam proyek ini; untuk melakukan inspeksi mendadak
(spot check) atas sambungan yang dibuat; dan
pengesahan atas subsidi untuk sambungan perluasan
dan skema meteran induk. Proyek ini juga melibatkan
koordinasi dengan HIPPAMS (Himpunan Penduduk
Pemakai Air Minum dan Sanitasi/CBO, CommunityBased Organisation) dalam pengidentifikasian penerima
manfaat, pengadministrasian pemasangan sambungan,
serta perancangan dan pelaksanaan skema meteran
induk.
Struktur organisasi proyek ini dijelaskan pada Gambar 1.
Gambar 1: Struktur Organisasi Proyek
Kementerian
Keuangan
(KemenKeu)

Kementerian
Pekerjaan Umum
(KemenPU)

BAPPENAS

Pengaturan Kelembagaan
PDAM adalah lembaga utama pelaksana dan penerima
subsidi tersebut. PDAM melakukan pembiayaan awal,
pengadaan, dan pembangunan sistem pelayanan
penyediaan air minum. Meski demikian, peraturan
yang ada saat ini tidak mengizinkan penggantian
biaya secara langsung oleh GPOBA kepada PDAM.
Penggantian biaya harus disalurkan melalui Pemerintah
Indonesia dan kemudian ke Pemkot Surabaya. Perjanjian
Hibah ditandatangani dengan Pemerintah Indonesia.
Kementerian Pekerjaan Umum (KemenPU) telah ditugasi
sebagai Lembaga Pelaksana. Panitia Penata Kelola telah
dibentuk di dalam Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK)
di KemenPU sebagai penanggungjawab atas pengawasan
proyek secara keseluruhan. Satuan Kerja (Satker)
Provinsi dibentuk untuk pengadaan jasa auditor serta
pemantauan dan evaluasi proyek secara keseluruhan.
Di tingkat Pemkot, sebuah Satker telah dibentuk yang
bertanggungjawab atas pemeriksaan keabsahan, serta
pengelolaan, pembayaran subsidi; penjaminan terhadap

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Direktorat Jenderal
Cipta Karya (DJCK)

PANITIA PEMERINTAH
Panitia
Penata Kelola

Anggota Panitia
Penata Kelola :
KemenPU, KemenKeu,
Bappenas,
Walikota Surabaya

Tim Teknis

Anggota Tim Teknis :


DJCK, Satker Provinsi,
Bapemas, Bappeko,
Direktoral Jenderal Bina
Marga Drainase,
BPKD, Satker Kota

Singkatan:
Bapemas = Badan Pemberdayaan Masyarakat
Bappeko = Badan Perencanaan Pembangunan Kota
BPKD =Badan Pengelolaan Keuangan Daerah

Pemkot
Surabaya

Hibah Berbasis Hasil

Surabaya telah berhasil menyediakan layanan air leding bagi sebagian


besar warganya untuk keperluan usaha dan pribadi.

Penentuan Sasaran dan Keluaran Proyek


Besar dana proyek secara keseluruhan berjumlah
sekitar US$ 3,2 juta, dengan US$ 2,5 juta berasal dari
GPOBA untuk pembayaran subsidi, dukungan teknis, dan
pengawasan Bank Dunia. Sisanya berasal dari kontribusi

Foto oleh Andre Susanto

pengguna rumah tangga, PDAM, dan Program Layanan


Jasa Lingkungan (ESP, Environmental Services Program)
dari USAID dalam bentuk kontribusi pengawasan dan
pelaksanaan berupa barang (in kind). Proyek tersebut
awalnya dirancang untuk dilaksanakan selama tiga

Prakarsa Compendium | Jilid 2

171

172

Menggunakan Hibah Berbasis Hasil untuk Memperluas Pasokan Air Leding bagi Masyarakat Miskin Perkotaan di Surabaya

tahun, dari tahun 20092011, dengan menggunakan


pendekatan bertahap. Proyek ini diharapkan menjangkau
sekitar 15.500 keluarga dengan jenis sambungan di
wilayah pelayanan yang sudah ada dan sambungan
perluasan, dengan rata-rata subsidi maksimum sebesar
US$ 150 per keluarga (sekitar US$ 30 per orang).
Diharapkan 500 keluarga akan terlayani melalui sekitar
1015 skema meteran induk.
Biaya satuan dikembangkan berdasarkan sampel acak
dari kontrak-kontrak PDAM sebelumnya. Kontrakkontrak tersebut telah diverifikasi secara seksama oleh
konsultan independen dan dibandingkan dengan tolak
ukur. Berdasarkan biaya satuan tersebut, pembayaran
subsidi untuk sambungan di wilayah yang sudah ada
yang memenuhi syarat ditetapkan sebesar US$ 45 per
sambungan, sedangkan jumlah subsidi untuk sambungan
perluasan ditentukan oleh biaya skema perluasan dan
batas atas subsidi, yaitu sebesar US$ 500 per keluarga.
Subsidi rata-rata, untuk semua sambungan di wilayah
pelayanan yang sudah ada dan dan wilayah layanan
perluasan yang digabungkan, tidak boleh melampaui
US$ 150 per sambungan. Untuk skema meteran induk,
proyek ini menetapkan batas atas sebesar US$ 5.000 per
skema untuk besaran subsidi untuk biaya hulu, termasuk
setiap perluasan tersier yang diperlukan.
Penerima manfaat proyek adalah rumah tangga
berpenghasilan rendah yang memenuhi syarat berikut
ini: luas tempat tinggal kurang dari 60m; jalan akses ke
rumah kurang dari 6 meter atau, jika menghadap lahan
terbuka/tempat pembuangan sampah, jalan terdekat
berjarak tidak lebih dari 6 meter; dan kapasitas listrik
yang terpasang secara formal kurang dari 1.300 VA, atau
tidak memiliki sambungan formal.

Hasil sampai Saat Ini


Proyek tersebut dimulai pada bulan Mei 2009.
Pelaksanaan selama dua tahun pertama sangat lambat.
Sampai Oktober 2011, hanya 1.500 sambungan yang
telah terpasang dan hanya 92 sambungan yang telah
terverifikasi dan diberi penggantian biaya. Tantangan

Prakarsa Compendium | Jilid 2

yang mengakibatkan awal yang lambat tersebut antara


lain masalah dalam mengidentifikasi penerima manfaat,
koordinasi antara PDAM dan HIPPAMS, pengaturan
organisasi internal PDAM, dan mekanisme penyaluran
dana yang rumit. Restrukturisasi proyek kemudian
diusulkan dan disetujui pada tahun 2011 untuk
meningkatkan kinerja proyek dengan menghilangkan
hambatan pelaksanaan dan menyederhanakan kriteria
seleksi penerima manfaat, tanpa perubahan atas
tujuan pengembangan proyek. Restrukturisasi juga
menghasilkan perpanjangan jangka waktu proyek sampai
dengan Desember 2012.
Setelah restrukturisasi proyek, pelaksanaan proyek
meningkat secara signifikan sebagaimana tampak pada
jumlah sambungan terpasang dan penyaluran dana
yang diberikan. Sampai pertengahan Juli 2012, lebih
dari 5.000 sambungan telah dipasang, dan pencairan
dana telah dilakukan untuk sekitar 3.600 sambungan.
Koordinasi proyek antara PDAM, Panitia Penata Kelola,
HIPPAMS, dan berbagai pemangku kepentingan telah
ditingkatkan dengan penyelenggaraan rapat koordinasi
rutin. Fasilitator masyarakat ditugaskan oleh Panitia
Penata Kelola untuk mendukung HIPPAMS dan bertindak
sebagai penghubung antara HIPPAMS dan PDAM. PDAM
juga telah meningkatkan pengaturan internalnya untuk
pelaksanaan proyek dan menyediakan ruang kantor
khusus sebagai pusat untuk para fasilitator masyarakat,
sehingga koordinasi menjadi lebih dekat dan tanggapan
lebih cepat.

Pelajaran yang Diperoleh


Pelaksanaan proyek ini melibatkan berbagai pemangku
kepentingan di tingkat daerah (PDAM, Satker Kota, Satker
Provinsi, dan HIPPAMS), serta di tingkat Pemerintah
Indonesia. Hal ini memerlukan komunikasi yang baik
dan koordinasi yang erat di antara semua pihak.
Rapat koordinasi rutin dan penyediaan ruang kantor
khusus sebagai pusat fasilitator terbukti efektif dalam
meningkatkan kerjasama dan mempercepat pelaksanaan
proyek.

Hibah Berbasis Hasil

Proyek ini juga menggambarkan pentingnya pengelolaan


dukungan dan komitmen pemangku kepentingan selama
pelaksanaan proyek. Mengelola komitmen pemangku
kepentingan pada semua tingkatan, terutama ketika
menghadapi prosedur yang beragam dan rumit,
terbukti sangat penting. Meski terdapat komitmen yang
kuat pada pimpinan puncak PDAM untuk mencapai
keluaran proyek, keterlambatan yang signifikan dalam
pelaksanaan masih terjadi. Perlu dilakukan sosialisasi
proyek internal secara intensif yang menjangkau staf
PDAM yang bertanggungjawab atas pelaksanaan yang
berlangsung, serta pengintegrasian proyek sebagai
bagian dari rencana pengembangan program PDAM
secara keseluruhan.

bekerjasama dengan HIPPAMS untuk merancang dan


melaksanakan kegiatan dalam memberikan layanan pada
masyarakat miskin di masa depan. Selain itu, pendekatan
berbasis hasil dan pelajaran dari pengalaman proyek ini
telah dimasukkan ke dalam rancangan Program Hibah
Air Minum (lihat Hibah Berbasis Hasil untuk Layanan
Air Minum yang Lebih Baik di halaman 181). Ini adalah
contoh, bagaimana program GPOBA dapat memiliki
dampak yang berkelanjutan melampaui sambungan air
minum baru yang disediakannya.

Belajar dari pelaksanaan proyek ini, PDAM saat ini


mengakui bahwa penjangkauan dan keterlibatan
masyarakat sangat penting dalam penyediaan layanan
untuk masyarakat miskin. Dukungan dari Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dengan
penugasan fasilitator masyarakat memungkinkan
PDAM untuk bekerjasama dengan HIPPAMS dalam
mempromosikan dan mensosialisasikan proyek ini. Para
fasilitator juga efektif dalam meningkatkan kesadaran
masyarakat mengenai hak dan kewajiban mereka sebagai
pelanggan. PDAM juga telah belajar untuk bekerjasama
dengan HIPPAMS dalam merancang dan melaksanakan
skema meteran induk, dengan HIPPAMS yang membantu
dalam penagihan dan pengelolaan bagian hilir sistem
pada meteran air.

Irma Setiono adalah Tenaga Ahli Bidang Air Minum dan


Sanitasi di Bank Dunia di Jakarta, tempat ia bekerja selama
tiga tahun terakhir. Sebelumnya ia adalah Program Specialist
Water and Environment pada USAID. Ia juga pernah menjabat
Strategic Planning Manager di PT PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA)
dan bekerja sebagai konsultan untuk berbagai proyek pasokan
air minum. Ia memiliki gelar M.Sc dalam bidang Teknik Air dan
Lingkungan dari University of Surrey.

Tentang Penulis:

Pelajaran yang diperoleh dari program GPOBA di


Surabaya ini memiliki nilai yang lebih dari sekadar
percepatan pelaksanaan program ini saja. Berkat apa
yang dipelajarinya, diharapkan PDAM dapat terus

CATATAN
1. GPOBA (www.gpoba.org) adalah kemitraan IFC/Bank Dunia dengan donor bilateral dari Australia, Inggris, dan Belanda, yang
bekerjasama dalam mendukung pendekatan hibah berbasis hasil di berbagai sektor termasuk air minum dan sanitasi. GPOBA dikelola
oleh Bank Dunia.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

173

POIN-POIN UTAMA
Pemerintah Indonesia dan lembaga-lembaga donor sedang berfokus pada peningkatan
mobilitas perkotaan di kota-kota berukuran menengah yang berpotensi untuk mencegah
krisis transportasi yang melanda kota-kota seperti Jakarta. Direktorat Jenderal Perhubungan
Darat (DJPD) memilih sepuluh Pemerintah Daerah (Pemda) untuk berpartisipasi dalam
program percontohan untuk meningkatkan fasilitas transportasi umum berbasis jalan raya.
Direktorat Bina Sistem Transportasi Perkotaan kemudian menghibahkan bus-bus dan setiap
Pemda mengembangkan sistem bus prioritas.
Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) mendukung upaya DJPD dengan menyediakan dukungan
teknis melalui Proyek Peningkatan Bus (BIP, Bus Improvement Project). Melalui BIP, empat
Pemda dari kota-kota percontohan Palembang, Yogyakarta, Surakarta, dan Bogor belajar
cara merancang halte bus yang sesuai dengan kondisi setempat dan dapat memaksimalkan
efisiensi sistem bus transit. Pada tahun 2010, IndII mulai mempelajari kemungkinan memakai
mekanisme hibah berbasis hasil untuk meningkatkan kualitas dan aksesibilitas halte bus.
Proses ini berujung pada terbentuknya Hibah SAUM.
Dengan dukungan konsultan IndII, dua kota, Palembang dan Surakarta, menjadi lokasi
percontohan Hibah SAUM. Program tersebut kini masih berlangsung, tetapi hasil nyata sudah
mulai terlihat, dengan diselesaikannya 10 halte bus di Surakarta dan 43 halte yang sedang
dibangun di Palembang.
Sampai saat ini, pelaksanaan Hibah SAUM telah membuahkan beberapa keberhasilan tetapi
juga menemukan berbagai tantangan berupa kendala teknis maupun non-teknis. Enam
pelajaran yang telah diperoleh adalah: (1) Menyusun konsep program hibah lebih dari sekadar
cara untuk menyalurkan dana. (2) Mensosialisasikan program tersebut secara menyeluruh
kepada para pemangku kepentingan. (3) Menjamin semua peserta memahami tugas dan
tanggung jawab mereka dengan jelas. (4) Melakukan standardisasi mekanisme pemberian
persetujuan dan penyaluran dana hibah. (5) Mempertimbangkan konteks operasional
yang lebih besar ketika memilih dan memantau para penerima dana hibah. (6) Melakukan
koordinasi, komunikasi, dan memberikan dukungan.

Hibah Berbasis Hasil

Studi Kasus Hibah Berbasis


Hasil: Meningkatkan
Transportasi Bus Kota
Indonesia
Program percontohan untuk membangun halte bus menggunakan
mekanisme hibah berbasis hasil memberi pelajaran yang tidak
hanya berlaku dalam upaya peningkatan mobilitas perkotaan,
tetapi juga bagi sektor lain.
Oleh Maria Renny dan Meilany Fahriantiny

Sistem transportasi umum yang berfungsi dengan baik


meningkatkan kualitas hidup, mengurangi polusi dan
kemacetan, serta mendukung pembangunan ekonomi.
Namun bagi kota-kota di Indonesia, membangun
infrastruktur transportasi umum yang baik dan menarik
bagi penumpang merupakan sasaran yang menantang.
Banyak fasilitas transit umum dianggap tidak dapat
diandalkan, tidak nyaman, dan tidak aman. Sementara itu
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan akses terhadap
kredit berkontribusi kepada semakin tingginya tingkat
kepemilikan kendaraan pribadi, karena masyarakat
berpenghasilan rendah menjadi mampu membeli sepeda
motor, sedangkan masyarakat yang berpenghasilan
lebih tinggi dapat membeli mobil pribadi. (Untuk ulasan
mengenai tantangan mobilitas perkotaan yang dihadapi
Indonesia, lihat Prakarsa edisi April 2011.)

Untuk menjawab tantangan ini, Pemerintah Indonesia dan


lembaga-lembaga donor mengalihkan perhatian kepada
kota-kota berukuran menengah dengan populasi antara
500.000 dan 2 juta. Kota-kota tersebut belum mengalami
kemacetan yang tidak tertolong, dan masih memiliki ruang
untuk terus membangun fasilitas dan infrastruktur mereka.
Dengan penerapan kebijakan yang tepat, kota-kota ini dapat
terhindar dari krisis transportasi sebagaimana melanda
kota-kota seperti Jakarta.
Ini merupakan dasar pemikiran di balik berbagai prakarsa
seperti Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan. Berdasarkan ketentuan dalam
UU tersebut, kota-kota berukuran menengah diwajibkan
menyediakan bus transit dengan menggunakan jalur
bus khusus. Setelah UU tersebut disahkan, Direktorat

Prakarsa Compendium | Jilid 2

175

176

Studi Kasus Hibah Berbasis Hasil: Meningkatkan Transportasi Bus Kota Indonesia

Jenderal Perhubungan Darat (DJPD) memilih sepuluh


Pemerintah Daerah (Pemda) untuk berpartisipasi dalam
program percontohan untuk meningkatkan fasilitas
transportasi umum berbasis jalan raya. Direktorat Bina
Sistem Transportasi Perkotaan menyumbang sejumlah bus
dan setiap Pemda mengembangkan sistem bus prioritas,
yang dikelola melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari
pemerintah atau oleh operator swasta, menggunakan halte
bus dengan platform tinggi.1
Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) membantu upaya
DJPD dengan menyediakan dukungan teknis melalui
Proyek Peningkatan Bus (BIP, Bus Improvement Project).
Melalui BIP, empat Pemda kota-kota percontohan
tersebut Palembang, Yogyakarta, Surakarta, dan Bogor
mempelajari cara merancang halte bus yang sesuai dengan
kondisi setempat dan dapat memaksimalkan efisiensi
sistem bus transit. Perwakilan Pemda ikut serta dalam
pelatihan dan melakukan studi banding ke beberapa kota
di Australia, di mana mereka melakukan observasi contohcontoh penyediaan infrastruktur transportasi bus, yang
baik maupun yang buruk, serta bertemu dengan operator
dan staf dari Otoritas Perhubungan Darat (Land Transport
Authorities) setempat. Para peserta BIP memperoleh
pemahaman mengenai lima fungsi utama yang harus
dipenuhi sebuah halte bus (lihat boks 1).

Boks 1: Lima Karakteristik Halte Bus yang Ideal


1.
2.
3.
4.
5.

Area di dalam dan di sekeliling halte bus harus nyaman.


Halte bus harus dapat diakses oleh semua penumpang,
termasuk mereka yang menyandang cacat.
Desain halte bus harus selaras dengan lingkungan
sekitarnya.
Halte bus harus melayani penumpang tanpa mengganggu
arus lalu lintas yang telah ada.
Halte bus harus menyediakan informasi mengenai
layanan transportasi bus yang tersedia.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Boks 2: Cara Kerja Hibah SAUM


Hibah SAUM diselenggarakan berdasarkan parameter yang
ditetapkan oleh Peraturan Kementerian Keuangan Nomor 168
dan 169 tahun 2008, yang mengatur ketentuan hibah kepada
Pemerintah Daerah (Pemda) dan mekanisme penyaluran dana.
IndII bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Perimbangan
Keuangan dari Kementerian Keuangan (KemenKeu) dan
Bappenas untuk menyalurkan dana hibah kepada Pemda.
Biaya pembangunan infrastruktur pada awalnya dibayar dari
anggaran Pemda. Pengadaan barang dan pemilihan kontraktor
dilakukan berdasarkan wewenang Pemerintah Kota (Pemkot),
sedangkan kepala Pemda bertanggung jawab sepenuhnya
atas pelaksanaan proyek.
Seusai kegiatan hibah, Kementerian Teknis yang bersangkutan
melakukan verifikasi bahwa proyek telah mencapai hasil yang
disyaratkan dalam jangka waktu tertentu dan bahwa Pemda
telah menunjukkan komitmen terhadap keberlanjutan proyek
di masa yang akan datang. Kemudian dana disediakan oleh
KemenKeu kepada Pemda.

Peluang untuk Hibah Berbasis Hasil


Upaya yang sedang dilakukan di tingkat pusat maupun
daerah melahirkan pemikiran bahwa program hibah
berbasis hasil sesuai untuk meningkatkan infrastruktur
transportasi bus. Maka, pada tahun 2010 IndII mulai
mempelajari kemungkinan penerapan mekanisme Hibah
(lihat boks 2), serupa dengan prakarsa yang telah terbukti
efektif dalam mendorong Pemda bekerja sama dengan
PDAM dalam meningkatkan jumlah sambungan air minum
untuk keluarga berpenghasilan rendah. Proses ini berujung
pada pembentukan Hibah Sarana Angkutan Umum (Hibah
SAUM).
Hibah SAUM bertujuan meningkatkan kualitas dan
aksesibilitas halte bus dalam jaringan bus prioritas yang
saat ini sedang beroperasi. Para putaran pertama, dua dari
empat kota peserta BIP berpartisipasi. Bogor belum siap
untuk bisa menerapkan program tersebut dengan sukses.

Hibah Berbasis Hasil

Sebagai bagian dari Program Peningkatan Bus (BIP, Bus Improvement Program),
perwakilan Indonesia melakukan perjalanan ke Australia untuk melakukan observasi
sistem transit setempat dan bertukar pandangan dengan mitra kerja Australia.

Yogyakarta telah mengajukan proposal, tetapi kemudian


melakukan realokasi dana infrastruktur kota untuk
melakukan upaya rekonstruksi kerusakan akibat meletusnya
Gunung Merapi tahun 2010.

Atas perkenan INDII

Dengan dukungan konsultan IndII, Palembang, dan


Surakarta mengajukan proposal dan rancangan model halte
bus melalui dana Hibah. Dua kota inilah kemudian menjadi
lokasi percontohan proyek Hibah SAUM.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

177

178

Studi Kasus Hibah Berbasis Hasil: Meningkatkan Transportasi Bus Kota Indonesia

Hasil Awal
Program percontohan tersebut masih dalam pelaksanaan,
tetapi sudah membuahkan hasil nyata. Sepuluh halte bus
telah dibangun di Surakarta yang dibiayai oleh dana Hibah
sebesar Rp 1,2 miliar. Verifikasi telah dilakukan oleh tim
teknis dari DJPD sehingga dana sekarang sudah dapat
dicairkan. Empat puluh tiga halte bus sedang dibangun di
Palembang dengan biaya Rp 4,6 miliar, dan verifikasi serta
pencairan dana diharapkan dapat terealisasi pada triwulan
terakhir 2012.
Sampai saat ini, pelaksanaan Hibah SAUM telah membuahkan
beberapa keberhasilan tetapi juga mengalami berbagai
tantangan berupa kendala teknis maupun non-teknis. Dari
sudut pandang teknis, diperlukan keahlian yang signifikan
di Kementerian Perhubungan untuk mengelola aspekaspek teknis program Hibah tersebut. Selain itu, Pemda
mengalami kesulitan untuk menjamin bahwa halte bus
yang dibangun sesuai dengan dokumen perencanaan dan
kontrak. Sama pentingnya, kendala non-teknis yang terkait
dengan prosedur birokrasi dan koordinasi memengaruhi
ketepatan waktu penyelesaian program. Hal-hal non-teknis
ini pada awalnya tidak dipandang dapat menimbulkan
risiko besar bagi program, namun menjadi faktor penting
dalam menentukan keberhasilan. Kesulitan semacam
ini sebetulnya dapat diantisipasi ketika menjalankan
program baru, dan upaya di masa mendatang akan mampu
memperbaiki kekurangan dalam program percontohan ini.

Pelajaran dari Pengalaman


Sejumlah pelajaran dapat dijabarkan sebagai hasil
pengalaman dengan percontohan Hibah SAUM. Efektivitas
program dapat ditingkatkan apabila langkah-langkah
berikut ini diambil:
1. Susun konsep program Hibah lebih dari sekadar cara
untuk menyalurkan dana. Program ini juga perlu dilihat
sebagai upaya pembangunan kapasitas bagi Pemda

Prakarsa Compendium | Jilid 2

yang tidak hanya terkait dengan isu teknis, tetapi


juga non-teknis, seperti pengelolaan dana, koordinasi
di antara para pemangku kepentingan, dsb. Program
Hibah yang sukses harus siap mendukung penerima
hibah dalam mengelola semua aspek program, mulai
dari pengadaan barang dan jasa hingga mengawasi
aspek teknis pembangunan halte bus.
2. Sosialisasikan program tersebut secara menyeluruh
kepada pemangku kepentingan. Penting bagi para
peserta untuk memahami tugas dan tanggung
jawab mereka secara jelas. Mereka perlu menyadari
sepenuhnya sasaran teknis dan non-teknis dari Hibah
tersebut.
3. Sebelum melakukan seleksi kota-kota peserta, lakukan
penilaian secara cermatterhadap kesiapan dan
komitmen mereka. Tingkat komitmen kepala Pemda
merupakan faktor kunci. Isyarat nyata komitmennya
adalah alokasi anggaran yang meliputi beberapa
tahun. Komitmen terhadap dukungan anggaran
secara jangka panjang akan menjamin keberlanjutan
hasil akhir setelah berakhirnya program Hibah. Sama
pentingnya adalah kesiapan teknis instansi Pemda yang
bertanggung jawab langsung untuk infrastruktur.
4. Lakukan
standardisasi
mekanisme
pemberian
persetujuan dan penyaluran dana hibah. Hal ini
akan mempersingkat upaya yang diperlukan untuk
menjelaskan dan melancarkan proses administrasi.
5. Pertimbangkan konteks operasional yang lebih besar
ketika memilih dan memantau para penerima program
Hibah. Sebagai contoh, selama berlangsungnya Hibah
percontohan, diadakan juga kegiatan untuk melatih
operator bus di Palembang dan satu kegiatan untuk
mempersiapkan pedoman operasional sebuah Ruang
Kendali Pusat di Surakarta. Meskipun upaya-upaya
ini tidak secara langsung terkait dengan pelaksanaan
Hibah, kegiatan tersebut memberi nilai tambah dan
dapat mempengaruhi kualitas sistem transportasi bus
secara keseluruhan di setiap kota.

Hibah Berbasis Hasil

6. Lakukan koordinasi, komunikasi, dan berikan


dukungan. Terutama ketika para penerima dana
tidak memiliki pengalaman sebelumnya dalam
langkah-langkah yang dapat mereka lakukan, seperti
menerbitkan rekomendasi teknis, penting bagi mereka
untuk mendapatkan penjelasan mengenai apa yang
diharapkan dan diberi dukungan yang diperlukan untuk
menjamin bahwa semua langkah yang diperlukan
dilaksanakan secara memadai.

Pelajaran di atas adalah hasil upaya percontohan untuk


menerapkan mekanisme hibah berbasis hasil di bidang
transportasi perkotaan. Meski demikian, pelajaran yang
sama kemungkinan besar berlaku pula untuk setiap jenis
program Hibah di sektor manapun.

Tentang Para Penulis:


Maria Renny menjabat sebagai staf program Transportasi di IndII,
di mana ia mengelola proyek-proyek IndII untuk sektor mobilitas
perkotaan dan penerbangan. Tugasnya mencakup merancang
kegiatan, mengawali proses pengadaan, memantau kemajuan
kegiatan, dan melaporkan penyelesaiannya. Ia memiliki
keahlian dalam bidang perencanaan untuk wilayah perkotaan,
transportasi, dan mobilitas perkotaan, serta perencanaan
metropolitan. Sebelum bekerja di IndII, ia bekerja pada sebuah
organisasi non-pemerintah nasional di bidang transportasi
perkotaan, terutama di Jakarta dan Yogyakarta. Ia terlibat dalam
sosialisasi jalur bus TransJakarta dan pemantauan media untuk
menilai persepsi masyarakat mengenai sistem TransJakarta.
Dalam kerjasama dengan UN-Habitat, ia menjadi anggota
Panitia Pengarah Global Energy Network for Urban Settlements
(GENUS), sebuah jaringan yang memajukan pemanfaatan
energi yang lebih baik di bidang kelistrikan, transportasi, dan
pengolahan limbah. Ia adalah lulusan Fakultas Arsitektur,
Perancangan, dan Perencanaan (Faculty of Architecture, Design
and Planning) di University of Sydney.

Meilany Fahriantiny adalah seorang Tenaga Ahli Program


Hibah di IndII yang berfokus pada bidang transportasi. Ia
bertanggung jawab atas aspek keuangan dari program hibah,
termasuk penyusunan strategi dan standardisasi mekanisme
penyaluran dana hibah, serta menjadi penghubung antara
pemangku kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Sebelum bekerja di IndII, ia bekerja di sebuah lembaga
konsultansi pembangunan internasional di Melbourne, Australia
dengan fokus pada pembangunan kapasitas dan kepemimpinan
global bagi klien pembangunan lokal dan internasional seperti
Australia New Zealand School of Governance, Australia Pacific
Islands Disability Supports, lembaga-lembaga PBB, dan AusAID.
Ia memperoleh keahliannya di bidang manajemen risiko dan
keuangan dari pekerjaannya di berbagai lembaga keuangan
Indonesia. Ia adalah lulusan Universitas Padjadjaran dengan
gelar di bidang Hubungan Internasional.

CATATAN
1. Platform tinggi memiliki peran dalam menjadikan sistem bus lebih cepat dan efisien dalam berbagai cara. Platform ini mencegah
kemungkinan bus berhenti di tempat-tempat yang tidak dijadwalkan di sepanjang trayek, karena penumpang hanya dapat keluar
masuk bus di halte dengan platform tinggi. Selain itu, karena platform sama tingginya dengan lantai bus, keluar masuk penumpang
bisa berlangsung lebih cepat penumpang tidak perlu terburu-buru naik turun platform sehingga bus tidak terpaksa menunggu
penumpang. Platform tinggi juga memberi ruang yang lebih lapang di dalam bus untuk menampung lebih banyak penumpang karena
tidak memerlukan tempat untuk anak tangga.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

179

POIN-POIN UTAMA
Hibah berbasis hasil merupakan modalitas kuat yang dapat diadaptasikan untuk mencapai
hasil pembangunan yang rumit. OBA efektif menargetkan penerima manfaat, menghilangkan
halangan yang mencegah orang mengakses layanan, dan mengumpil investasi. Keuntungankeuntungan ini terutama terlihat ketika OBA digunakan untuk meningkatkan akses ke air
leding, seperti pada program Hibah Air Minum yang dioperasikan oleh Prakarsa Infrastruktur
Indonesia (IndII) yang didanai oleh AusAID.
Program Hibah ini memberi imbalan kepada daerah yang berinvestasi di sistem air minum
mereka sendiri dengan cara memberikan dana hibah sejumlah tertentu untuk setiap
sambungan baru. Fokus program ini adalah meningkatkan layanan kepada rumah tangga
miskin. Rumah tangga miskin cenderung menjadi pelanggan yang baik untuk air PDAM,
karena ongkos beli dari penjual air bisa 20 hingga 40 kali lebih besar. Namun, PDAM selama
ini enggan membuat sambungan, sebagian alasannya karena rumah tangga ini umumnya
tidak terjangkau oleh jaringan air minum yang ada dan PDAM tidak mau memperluas jaringan
hanya untuk segelintir pelanggan baru. Hibah Air Minum mengatasi masalah ini dengan cara
memberi imbalan kepada PDAM yang telah memperluas jaringan pipa mereka di wilayah
miskin dan membuat sambungan bagi sebagian besar rumah tangga.
Ketika IndII pertama merancang Hibah Air Minum pada tahun 2009, investasi di sektor air
minum telah stagnan selama 10 tahun. IndII berfokus pada kewajiban Pemerintah Daerah
(Pemda) untuk mendanai penyediaan air minum, yang selama ini datang dari Pemerintah
Pusat melalui anggaran Kementerian dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Keseluruhan skema
pendanaan dari sumber-sumber tersebut untuk mengurangi pengeluaran Pemda atas sumber
daya mereka sendiri.
Pemda dan PDAM yang meningkatkan cakupan layanannya, seperti Palembang, Banjarmasin,
Bogor, dan Malang, memiliki faktor yang sama: Pemda berinvestasi ekuitas pada PDAM dan
bukan melalui Dinas Pekerjaan Umum setempat. Langkah ini adalah keputusan politik yang
memperlihatkan kepercayaan atas kapasitas PDAM memperbaiki layanan air minum-suatu
pemahaman yang menopang rancangan Hibah Air Minum: dana hibah diberikan kepada
Pemda hanya setelah Pemda melakukan investasi ekuitas dengan nilai yang sama atau lebih
besar pada PDAM.
Rancangan ini meletakkan risiko dan memberikan manfaat terutama kepada Pemda dan
PDAM, dan juga kepada DPRD yang menyetujui investasi tersebut.
Hibah Air Minum pertama, yang diterapkan dalam satu tahun, melampaui harapan dan
mengumpil pengeluaran tambahan yang diperkirakan sebesar $500.000 pada masingmasing 36 PDAM yang berpartisipasi. Program ini diperluas menjadi $90 juta di IndII Tahap 2.
Program Tahap 2 lebih dari sekadar meningkatkan jumlah sambungan air minum; melainkan
juga menargetkan penggunaan Hibah Air Minum untuk mengumpil hasil tata kelola yang lebih
besar. Penerapan selama beberapa tahun memungkinkan, PDAM yang lebih lemah dapat ikut
serta secara bertahap dan persyaratan tata kelola dapat dibentuk untuk mempertahankan
dana hibah.

Hibah Berbasis Hasil

Hibah Berbasis Hasil untuk


Layanan Air Minum yang
Lebih Baik
Hasil berbasis hasil sangatlah cocok untuk sektor air minum
Indonesia. Peluang yang terbuka bukan hanya untuk meningkatkan
jumlah sambungan air minum ke rumah tangga miskin, tetapi juga
untuk membuat perbaikan langgeng pada tata kelola di sektor
tersebut.
Oleh Jim Coucouvinis

Hibah Berbasis Hasil (Output-Based Aid [OBA]) adalah


subsidi yang diberikan bila hasil yang disepakati telah
tercapai. Di balik konsep sederhana ini (lihat Gambar 1)
terdapat modalitas kuat yang dapat diadaptasikan demi
mencapai hasil pembangunan yang lebih rumit. Terdapat
banyak cara merancang dan memberikan Bantuan Berbasis
Hasil. Beberapa di antaranya lebih efektif daripada yang lain;
beberapa cocok untuk suatu sektor tapi bukan untuk sektor
lain; dan beberapa punya banyak tujuan, sebagaimana
terlihat pada program-program yang diterapkan oleh
Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) yang didanai oleh
AusAID.
OBA efektif dalam menargetkan penerima manfaat dan
menghilangkan hambatan yang mencegah seseorang
mengakses layanan. OBA juga merupakan metode yang
efektif dalam mengumpil investasi (leverage): bila subsidi
yang diberikan adalah sebagian kecil dari biaya total yang
dibutuhkan untuk memperoleh hasil, institusi penerima

Gambar 1: Dasar OBA

1
PENGGUNA

PEMASOK

Menyediakan
layanan

Ve
r

ifik
as

i la
ya
n

an

2
Pe
ny
ed

Membayar
subsidi
iaa

nJ

as

DONOR

Langkah pertama adalah pemasok


menyediakan layanan, diikuti oleh (2) verifikasi
layanan dan akhirnya (3) pembayaran subsidi.
Perhatikan bahwa donor bisa saja adalah
pemerintah yang membayar penyedia layanan
sub-nasional.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

181

182

Hibah Berbasis Hasil untuk Layanan Air Minum yang Lebih Baik

bantuan termotivasi untuk mengeluarkan dana sendiri


di atas jumlah subsidi tersebut. Keunggulan ini terlihat
dengan jelas saat OBA digunakan untuk meningkatkan
akses terhadap air minum PDAM. Dalam artikel ini, kami
menggali bagaimana IndII merancang Hibah Air Minum yang
didanai AusAID dengan menggunakan OBA, dan mengapa
kami memilih ciri-ciri rancangan yang membuat program
tersebut sangat berhasil.
Program Hibah didasarkan atas prinsip sederhana: bila
suatu daerah berinvestasi di sistem air minum dan sanitasi
mereka sendiri, maka mereka diberi ganjaran baik berupa
dana yang sesuai dengan jumlah sambungan baru yang
beroperasi. Fokusnya adalah meningkatkan layanan kepada
rumah tangga miskin. Hibah berjumlah tetap diberikan
untuk setiap sambungan baru, setelah diverifikasi dalam
jangka waktu yang ditentukan pembayaran telah dapat
ditagih.
Gambar 2: Penurunan Cakupan Layanan PDAM

Rumah tangga perkotaan yang dilayani

45%
Cakupan Layanan PDAM

Hibah Air Minum adalah proyek yang sangat besar. Sebagai


gambaran, portofolio Global Partnership for Output Based
Aid (GPOBA, atau Kemitraan Global untuk Bantuan Berbasis
Hasil) untuk air minum dan sanitasi berdasarkan bantuan
berbasis hasil di daerah Asia Timur dan Pasifik adalah US$
21,5 juta, dan pengeluaran global GPOBA untuk semua
program air minum dan sanitasi berjumlah AS $169 juta.1
Program Hibah Air Minum dan Sanitasi dan program Hibah
Peningkatan Infrastruktur Sanitasi dari IndII pada Tahap 1
berjumlah $ 31 juta, sementara Tahap 2 dari program Hibah
Air Minum dan Sanitasi IndII yang direncanakan sebesar
$190 juta.2

Orang Miskin adalah Pelanggan yang Baik


Rumah tangga yang tidak memiliki sambungan air PDAM
dan tidak punya akses ke sumur pribadi biasanya harus
mendapatkan air dari penjual atau keran umum. Kualitas
airnya mungkin tidak dapat diandalkan, pasokannya juga
terbatas, dan kegiatan mengangkat-angkat air memakan
waktu (bebannya mungkin lebih mempengaruhi kaum
perempuan). Terlebih dari itu, kisaran biaya untuk membeli
air dari penjual keliling umumnya 20 hingga 40 kali lebih
besar dari biaya air minum PDAM.
Begitu memiliki sambungan air PDAM, rumah tangga miskin
dapat meningkatkan penggunaan air mereka dan tetap bisa
berhemat. Bagi rumah tangga miskin, sambungan air PDAM
adalah salah satu aset paling berharga yang dapat mereka
miliki. Maka tidak mengherankan bila rumah tangga miskin
menjadi pelanggan yang baik setelah mendapat sambungan
air PDAM.

40%

35%

30%

Laporan MDG UNDP


Pemerintah Indonesia

Laporan BPPSPAM
2009

Meskipun jumlah sambungan PDAM terus meningkat, tingkat


investasi belum sejalan dengan pertumbuhan kota dan
permintaan.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

2008

2006

2004

2002

2000

1998

1996

1994

1992

25%

Namun secara umum, PDAM tidak sepenuh hati melakukan


sambungan air minum ke rumah tangga miskin. Alasan yang
menggelikan adalah takut akan risiko ketidakmampuan
keluarga miskin membayar. PDAM juga khawatir jikalau
melayani rumah tangga miskin akan berakibat pada lebih
rendahnya pendapatan secara keseluruhan karena tarif
yang dibebankan kepada rumah tangga3 miskin lebih
rendah, dan jumlah konsumsi air diperkirakan lebih rendah.
Kekhawatiran pertama terbukti tidak berdasar, sedangkan
kekhawatiran kedua memberi dampak yang sangat kecil
terhadap laba PDAM.

Hibah Berbasis Hasil

Hibah Berbasis Hasil dan Sanitasi


Sanitasi memiliki bukan hanya beberapa masalah
pembangunan yang sama dengan sektor air minum tetapi
juga sejumlah perbedaan penting. Pertama, sektor sanitasi
jauh kurang berkembang dibandingkan sektor air minum.
Kenyataannya, kami menghadapi kesulitan saat mendefinisikan
layanan sanitasi apa yang disediakan pemerintah daerah.
Kedua, manfaat sanitasi kurang ditujukan untuk perorangan
melainkan lebih untuk masyarakat secara keseluruhan melalui
perbaikan lingkungan hidup. Yang terakhir, membayar untuk
sanitasi membutuhkan kesadaran masyarakat yang lebih
tinggi mengenai manfaat sanitasi secara keseluruhan. Tugas
itu jauh lebih sulit dibandingkan meyakinkan orang untuk
tersambung ke air PDAM. (Untuk informasi lebih lanjut
mengenai tantangan dalam penerapan OBA di sektor sanitasi,
lihat Mengadaptasikan Hibah Berbasis Hasil pada Sanitasi di
halaman 4 edisi Prakarsa Juli 2011).
Program IndII untuk sanitasi juga berbasis hasil, tapi
mengetengahkan tujuan-tujuan yang berbeda. Program
tersebut difokuskan pada penyediaan pembuangan limbah
skala kecil untuk sekitar 1.500 hingga 2.000 rumah tangga bagi
setiap Pemerintah Daerah. Penargetan pada masyarakat miskin
bukan tujuan khusus program ini, walaupun berdasarkan
rancangannya program ini akan diterapkan di wilayah padat
penduduk dan berpenghasilan rendah. Investasi ekuitas juga
bukan keharusan. Yang justru diharuskan adalah pekerjaan
yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan dioperasikan
oleh Pemda melalui pembentukan unit operasional
pembuangan limbah yang berwenang menetapkan tarif dan
menarik pendapatan. Para pembaca bisa mengetahui lebih
banyak tentang alasan dan rancangan program ini dengan
merujuk ke Australia Indonesia Infrastructure Grants for
Sanitation (Hibah Infrastruktur Australia Indonesia untuk
Sanitasi), sAIIG, Project Design Document, Desember 2011,
tersedia di situs IndII (http://indii.co.id/publications-detail.
php?id_news=283).

Penjelasan yang lebih meyakinkan mengapa PDAM enggan


melayani rumah tangga miskin adalah bahwa para keluarga
ini umumnya tidak terjangkau oleh jaringan air minum
yang ada. Beberapa rumah tangga miskin di wilayah
tersebut mungkin bersedia membayar untuk mendapatkan

sambungan, tetapi PDAM tidak mau memperluas


jaringannya hanya untuk segelintir pelanggan baru. Hibah
Air Minum dapat mengatasi masalah ini dengan memberi
imbalan kepada PDAM untuk memperluas jaringan pipanya
ke wilayah-wilayah miskin dan memberi sambungan kepada
sebagian besar rumah tangga.

Rendahnya Investasi di Sektor Air Minum


Ketika IndII mulai merancang Hibah Air Minum pada
tahun 2009, investasi di sektor air minum sudah stagnan
selama 10 tahun. Gambar 2 mengilustrasikan secara grafis
situasi cakupan layanan PDAM. Walaupun ada beberapa
penjelasan perihal penurunan ini, bukti-bukti mengarah
pada dua penyebab utama: (1) penurunan ketersediaan
dana investasi dan sarana penyalurannya ke sektor ini,
dan (2) kurangnya komitmen Pemda dalam memenuhi
kewajibannya berinvestasi di sektor ini. Dampak dari krisis
keuangan tahun 1997 merupakan penyebab utama atas
berkurangnya ketersediaan investasi, tetapi fenomena
tersebut berada di luar lingkup Hibah Air Minum. IndII
malah berfokus pada kewajiban Pemda untuk mendanai
penyediaan air minum.
Guna mendukung Pemda memenuhi kewajibannya,
Pemerintah Indonesia menyediakan Dana Alokasi Khusus
(DAK), yang merupakan dana hibah untuk tujuan tertentu,
termasuk penyediaan air minum. Besaran DAK relatif
kecil dibandingkan kebutuhan yang ada, dan hanya
mensyaratkan kontribusi sebanyak 10 persen dari Pemda.
Pada tahun 2010, Pemerintah Indonesia menyalurkan DAK
sekitar $45 juta untuk air minum, yang dibagikan kepada
470 Pemda. Jumlah tersebut kurang dari $100.000 per
Pemda. Sebagai perbandingan, Hibah Air Minum tahun
2011 memberikan 36 Pemda yang berpartisipasi masingmasing sekitar $750.000. Kami memperkirakan dana hibah
IndII mengumpil dana tambahan sebesar $500.000 dari
setiap PDAM, dibandingkan dengan $10.000 yang diumpil
dari setiap Pemda melalui DAK.
Selain DAK, Pemerintah juga memberikan investasi untuk
penyediaan air minum melalui anggaran Kementerian.
Dukungan ini hampir 10 kali lipat lebih besar dari nilai DAK,
yaitu sebesar $350 juta per tahun. Sayangnya, investasi dari

Prakarsa Compendium | Jilid 2

183

184

Hibah Berbasis Hasil untuk Layanan Air Minum yang Lebih Baik

Pemerintah Pusat ini tidak merangsang investasi Pemda,


melainkan menjadi pengganti investasi Pemda. Untuk setiap
dolar yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia di sektor air
minum, Pemda mengurangi pengeluarannya sekitar 56 sen.4
Pendekatan dari atas ke bawah (top-down approach) ini
memiliki kerugian ganda. Bukan hanya investasi dari Pemda
yang berkurang, tetapi investasi dari Pemerintah Pusat
tidak menghasilkan dampak yang sama seperti investasi
dari Pemda, sebagaimana dibahas di bawah ini.

Investasi Pemda di Sektor Air Minum


Kendati cakupan layanan PDAM secara umum menurun
dalam dekade terakhir, terdapat beberapa Pemda dan
PDAM setempat yang secara mengejutkan mampu
membuat perbaikan yang spektakuler dalam cakupan
layanan. Dua contoh yang menonjol adalah Palembang
dan Banjarmasin. Contoh lainnya adalah PDAM Bogor dan
Malang. Masih ada lagi yang lainnya, tetapi PDAM kota-kota
tersebut merupakan contoh yang luar biasa. Dari pandangan
kami, faktor umumnya adalah investasi ekuitas Pemda di
PDAMnya. Pemda lain memang juga mengeluarkan uang
untuk penyediaan air minum, tetapi melakukannya melalui
Dinas Pekerjaan Umum setempat dan bukan melalui
investasi di PDAMnya. Dua jenis pengeluaran ini tidaklah
sama. Secara umum, ketika Pemda berinvestasi ekuitas di
PDAM, berarti Pemda mempercayai PDAM menggunakan
dana tersebut sebaik mungkin demi perluasan layanan air
minumnya.

penggantian dana yang seharusnya datang dari Pemerintah


Daerah menimbulkan pertanyaan apakah Pemda memenuhi
tanggung jawab hukumnya membiayai dan menyediakan
layanan air minum.

Unsur Pokok Rancangan


Berbekal pemahaman ini, IndII dapat mengidentifikasi
unsur-unsur pokok rancangan Hibah Air Minum, yaitu
dana hibah diberikan kepada Pemda hanya setelah Pemda
tersebut melakukan investasi ekuitas di PDAM dengan nilai
yang sama atau lebih besar. PDAM kemudian menggunakan
investasi ekuitas tersebut dan dana tambahan miliknya
untuk melakukan perluasan jaringan air minumnya dan
Gambar 3: Rancangan Hibah Air Minum

DPRD

4
6
SAMBUNGAN
RUMAH

5
PEMERINTAH
DAERAH

PDAM
9

SUBSIDI
(HIBAH)

3
PERJANJIAN
HIBAH

Investasi ekuitas di PDAM tampaknya menjadi indikator


terbaik yang menunjukkan bahwa Pemda telah mengambil
keputusan meningkatkan layanan air minum. Ini merupakan
keputusan yang memiliki konsekuensi politik, karena Pemda
harus mendapatkan persetujuan DPRD sebelum berinvestasi
di PDAM. Sebaliknya, ketika Pemda mengeluarkan uang
melalui Dinas, berarti Pemda tidak melakukan komitmen
dengan PDAM untuk menangani sektor ini secara serius.
Dengan argumen yang sama, pekerjaan layanan PDAM
yang dijalankan dengan anggaran kementerian bahkan
semakin jauh dari keterlibatan PDAM, dan dengan adanya

Prakarsa Compendium | Jilid 2

KEMENTERIAN
PEKERJAAN
UMUM

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

8
2

KEMENTERIAN
KEUANGAN

DONOR
1

Perjanjian antara Kepala Pemerintahan Indonesia- Australia


Badan Pelaksana mengajukan alokasi dana hibah
Kemenkeu menandatangani perjanjian dana hibah dengan
Pemda, mengikatnya pada pemakaian dana hibah
Pemda meminta persetujuan dari DPRD untuk berinvestasi
ekuitas di PDAM
Pemda berinvestasi ekuitas
PDAM melaksanakan program
Badan Pelaksana melakukan memverifikasi hasil (OBA)
Badan Pelaksana merekomendasikan pembayaran dana hibah
Kemenkeu mencairkan dana hibah dan melaporkannya kepada
Donor.

Hibah Berbasis Hasil

PDAM di Banjarmasin merupakan salah satu dari segelintir PDAM yang melakukan
perbaikan spektakuler pada penyediaan layanannya justru pada saat pertumbuhan
investasi secara keseluruhan di layanan air minum cenderung melambat.

Atas perkenan IndII

Prakarsa Compendium | Jilid 2

185

186

Hibah Berbasis Hasil untuk Layanan Air Minum yang Lebih Baik

membuat sambungan baru ke rumah tangga miskin. Berapa


biaya yang dibebankan untuk setiap sambungan diserahkan
kepada masing-masing PDAM.
Rancangan ini meletakkan risiko proyek terutama di pundak
Pemda, yang harus mengeluarkan dana investasi awal, dan
juga kepada DPRD yang menyetujui investasi tersebut.
PDAM memikul tingkat risiko berikutnya. PDAM harus
memperluas jaringan dan meyakini bahwa rumah tangga
miskin akan mendapatkan sambungan. Sementara donor
memiliki tingkat risiko terendah. Dana hibah menutupi
sebagian kecil biaya pekerjaan, dan dana tersebut hanya

Keuangan (Kemenkeu) dan Pemda. Kini bisa dilihat


bagaimana prinsip OBA telah berubah menjadi rancangan
proyek yang kuat sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar
3. Bandingkanlah Gambar 3 dengan Gambar 1. Prinsipnya
sama, tetapi terlihat jelas kemampuan mekanisme OBA
untuk mengembangkan program yang melibatkan banyak
pemangku kepentingan dan tujuan.

Kinerja Program
Rancangan asli Hibah Air Minum dimaksudkan sebagai
program hibah $10 juta yang dilaksanakan selama dua
tahun. Namun pada kenyataannya rencana ini berubah

Ketika Pemda berinvestasi ekuitas di PDAM, Pemda


mempercayai PDAM untuk menggunakan dana tersebut
sebaik mungkin dalam rangka perluasan layanan air
minumnya
disalurkan setelah hasilnya diverifikasi. Penyeimbangan
risiko di antara para pemangku kepentingan DPRD,
Pemda, dan PDAM mendukung tata kelola yang lebih
baik di sektor ini. Rancangan ini juga membuahkan imbalan
bahwa dengan penyediakan air minum untuk rumah tangga
miskin, Pemda dan DPRD menghasilkan manfaat nyata yang
dapat dinikmati konstituen mereka hingga pada akhirnya
mereka dapat menuai keuntungan politik.
Rancangan Hibah Air Minum sesuai dengan Jakarta
Commitment5 dan mengandalkan lembaga-lembaga
Pemerintah Indonesia dalam pelaksanaanya. Dana hibah
AusAID merupakan bagian dari anggaran Pemerintah
Indonesia, dan peraturan maupun prosedur Pemerintah
digunakan dalam pelaksanaanya. Peraturan untuk
penghibahan dana digunakan pertama kali untuk membiayai
penerapan proyek Mass Rapid Transit (MRT) yang didanai
oleh JICA untuk kota Jakarta. Peraturan itu baru pertama
kalinya digunakan dalam bentuk berbasis hasil pada saat
kami terapkan untuk Hibah Air Minum. Kami lakukan
ini melalui perjanjian penghibahan antara Kementerian

Prakarsa Compendium | Jilid 2

menjadi program $20 juta yang dilaksanakan dalam


setahun. Hal ini menunjukkan efektivitas dari pemanfaatkan
sistem pemerintah dan juga manfaat perolehan dukungan
dari lembaga-lembaga mitra. Keberhasilan program ini
sudah diakui oleh para pemimpin Pemerintah Indonesia,
yang sering menyinggungnya dalam berbagai kesempatan.
Pemerintah membandingkan program ini dengan program
DAK yang menghasilkan 110.000 sambungan dengan biaya
$45 juta, sementara pada saat yang sama Hibah Air Minum
menghasilkan 77.000 sambungan dengan biaya $20 juta;
angka ini menunjukkan bahwa sambungan yang dihasilkan
dari Hibah Air Minum meringankan biaya Pemerintah
Indonesia sebanyak 37 persen. Selain itu, Pemerintah
sering menjelaskan bahwa sambungan yang dicapai oleh
Hibah Air Minum IndII telah diverifikasi keberhasilannya,
sedangkan sambungan dari program DAK hanya merupakan
data laporan Pemda yang tidak dapat diverifikasi.
Tidak mengherankan bila Pemerintah sedang berusaha
memasukkan ciri-ciri OBA dari rancangan Hibah Air Minum
ke dalam program DAK untuk penyediaan air minum.

Hibah Berbasis Hasil

Langkah Selanjutnya
Dalam program Tahap 2 yang berlangsung mulai tahun 2011
hingga tahun 2015, IndII telah merencanakan peningkatan
Hibah Air Minum menjadi $90 juta. Ini termasuk kontribusi
$10 juta dari USAID untuk plaksanaan program Hibah Air
Minum atas nama USAID. Secara keseluruhan, program
ini akan menyediakan sambungan air minum bagi sekitar
300.000 rumah tangga berpenghasilan rendah.
Namun program berikutnya bukan hanya sekedar melakukan
peningkatan melainkan juga menyasarkan penggunaan
Hibah Air Minum untuk mengumpil hasil tata kelola yang
lebih besar. Bila program pertama diterapkan dalam jangka
waktu setahun, program kedua akan diterapkan selama
beberapa tahun sehingga memungkinkan Pemda yang
lebih lemah untuk berinvestasi ekuitas secara bertahap.
Pemerintah Daerah yang sudah mendapatkan Hibah Air
Minum harus mematuhi sasaran tata kelola yang ditetapkan
guna mempertahankan dana hibah tersebut. Sasaran yang
dimaksud mencakup pelaporan audit keuangan yang tepat
waktu kepada Kemenkeu, penaikan tarif secara progresif
untuk mencapai pemulihan biaya penuh, dan rapat
triwulanan oleh dewan pengawas PDAM disertai temuan
yang dilaporkan secara terbuka.
Badan Pelaksana, yaitu Direktorat Jenderal Cipta Karya,
juga menggunakan Hibah Air Minum untuk mengumpil
pinjaman komersial melalui program Perpres 29.6 PDAM
yang tidak bepartisipasi dalam program Perpres 29 harus
mendapatkan investasi ekuitas yang lebih tinggi dari Pemda
setempat untuk memenuhi syarat Hibah.

Pengembangan Paralel
Pendekatan berbasis hasil relatif masih baru untuk lembaga
pembangunan. Setelah beberapa penerapan terpisah
belasan tahun sebelumnya, OBA diluncurkan perdana dalam
bentuk kelembagaan pada tahun 2003 dengan pembentukan
GPOBA oleh Bank Dunia. Sejak itu, OBA mendapatkan
dukungan dari lembaga-lembaga pembangunan karena
kesederhanaannya, profil risiko yang lebih rendah, dan
kemudahan menargetkan penerima manfaat.

Selama IndII mengembangkan Hibah Air Minum, Bank


Dunia menerapkan Hibah Berbasis Hasil untuk penyediaan
air minum kepada calon pelanggan PDAM Surabaya dan
PDAM Jakarta (lihat Menggunakan Bantuan Berbasis
Hasil untuk Perluasan Penyediaan Air PDAM bagi Warga
Miskin Perkotaan Surabaya di halaman 169 untuk
penjelasan lebih lanjut tentang program ini). Pada waktu
yang bersamaan, Bank Dunia juga tengah mengembangkan
proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi, yang
menyalurkan dana pinjaman kepada Pemerintah Indonesia
untuk mencapai sasaran tertentu terkait pelaksanaan hibah
DAK. Proyek tersebut dilaksanakan pada tahun 2011 dan
kinerja tahun pertamanya kini sedang dinilai.
Bank Dunia sudah lebih jauh menganut konsep OBA dengan
mengembangkan alat pinjaman baru, yaitu Program
Pinjaman Berhasil7. Penyaluran menggunakan modalitas
pinjaman dibuat berdasarkan pencapaian hasil dan
indikator kinerja, bukan berdasarkan masukan.

Pelajaran yang Diperoleh


Pelajaran-pelajaran yang dapat kami ambil dari penerapan
program ini sesuai harapan dan sekaligus mengejutkan.
Kami berharap dengan memberi Pemerintah Daerah
tanggung jawab atas pelaksanaannya akan membuahkan
kinerja yang baik. Kami belum mengetahui sejauh mana
hal ini efektif. Program yang kami terapkan menjadi dua
kali lebih besar dari rencana awal dan hanya menghabiskan
separuh dari waktu yang dialokasikan. Program ini juga
menunjukkan bahwa penyedian air minum kepada
rumah tangga miskin memberikan manfaat ekonomi yang
signifikan. Melalui program ini Walikota dan Bupati dapat
melihat manfaat nyata secara politik, karena para konstituen
menghargai perbaikan dan mengenali siapa yang punya
andil di dalamnya. Dengan adanya program ini, PDAM
menjadi sadar bahwa rumah tangga miskin dapat menjadi
pelanggan yang baik. Yang terakhir, penggunaan ekuitas
sebagai prasyarat untuk pembayaran hibah menunjukkan
bahwa aliansi antara DPRD, Pemda, dan PDAM para
pihak yang biasanya tidak sepakat atas tujuan bersama
dapat dibentuk demi tujuan menyediakan air minum untuk

Prakarsa Compendium | Jilid 2

187

188

Hibah Berbasis Hasil untuk Layanan Air Minum yang Lebih Baik

masyarakat miskin. Sementara itu, di tingkat Pemerintah


Pusat, penyaluran dana hibah kepada Pemda menunjukkan
bahwa Hibah Air Minum adalah mekanisme transfer fiskal
dengan hasil tata kelola yang lebih baik dan menggunakan
dana yang 60 persen lebih efisien.
Ketika Hibah Air Minum tumbuh matang dalam IndII Tahap
2 dan ketika program OBA menjadi mekanisme pilihan
bagi donor yang semakin banyak, makin banyak pelajaran
yang akan didapat, dan rancangan OBA pun dapat lebih
disempurnakan. OBA memiliki prospek yang menjanjikan
sebagai alat yang efektif untuk mencapai tujuan yang lebih
ambisius sehubungan dengan penyediaan layanan dan
peningkatan tata kelola.

Tentang Penulis:
Jim Coucouvinis menjabat sebagai Technical Director IndII di
bidang Air Minum dan Sanitasi. Sebelum bergabung dengan
IndII, Jim Coucouvinis bekerja sebagai konsultan independen
yang bekerja dengan Bank Dunia dan AusAID dalam program
sektor air minum dan air limbah. Sebelumnya, ia menjabat
sebagai Vice President Louis Berger Group di bidang layanan
air minum dan lingkungan hidup di Asia Tenggara dan Republik
Rakyat Cina. Sebelum itu, ia menjabat sebagai Resident
Manager Montgomery Watson, Indonesia. Di Australia, ia
bekerja di Canberra Water and Power Authority dalam bidang
rancangan dan pekerjaan konstruksi gorong-gorong utama;
dan di Australian Murray-Darling Basin Authority dalam bidang
pengelolaan kualitas air minum di dalam sistem dan waduk
Murray-Darling. Jim memiliki gelar pascasarjana di bidang
Teknik dari University of New South Wales, dan gelar sarjana
di bidang Sains dan Teknik Sipil dari University of Queensland.

CATATAN
1. Output Based Aid Lessons Learned and Best Practices (Bantuan Berbasis Hasil Pelajaran yang Diperoleh dan Praktik Terbaik),
GPOBA, 2010 mengutip data 2007.
2. Dolar Australia dan AS nilainya kurang lebih seimbang, jadi angka-angka ini dapat dibandingkan secara umum. Seterusnya dalam
artikel ini, dolar yang dimaksud adalah dolar Australia.
3. Indonesia memandatkan batasan tarif yang dirancang untuk memungkinkan keluarga miskin mendapatkan kebutuhan dasar air
seharga 4 persen dari upah minimum provinsi.
4. Blane Lewis dan Daan Pattinasarany, Bank Dunia, Jakarta. A new intergovernmental capital grant for Indonesia: a polemic in support
of economic growth. Dipresentasikan di acara International Conference Alternative Visions for Decentralisation in Indonesia
(Konferensi Internasional Visi Alternatif Mengenai Desentralisasi di Indonesia), 1213 Maret 2012, Jakarta.
5. Jakarta Commitment merupakan perjanjian yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan 22 negara lainnya dan lembagalembaga donor multilateral. Jakarta Commitment menyatakan bahwa para penandatangan akan mengikuti Paris Declaration on
Aid Effectiveness (Deklarasi Paris tentang Efektivitas Bantuan), yang dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas dana hibah dan
pinjaman luar negeri. Prinsip utama Jakarta Commitment adalah penegasan kepemilikan Indonesia atas seluruh prakarsa bantuan.
6. Menurut Peraturan Presiden no. 29/2009 (Perpres 29), Pemerintah Indonesia mensubsidi suku bunga pinjaman bank hingga 50
persen dan memberi jaminan untuk kredit bermasalah, memudahkan PDAM untuk mendapatkan kredit komersial.
7. Lihat Program for Results Lending, Revised Concept Note WB Operations Policy and Country Services (Program Pinjaman Hasil,
Catatan Konsep yang Direvisi, Kebijakan Operasi dan Layanan Negara dari Bank Dunia), Februari 23, 2011.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Hibah Berbasis Hasil

189

Pandangan dari Kementerian


Keuangan: Peran Mekanisme
Penerusan Hibah
Hibah berbasis hasil (output-based aid) dapat dimungkinkan di
Indonesia dengan adanya mekanisme penerusan hibah (on-granting)
yang dalam beberapa tahun terakhir ini telah mulai mengubah cara
Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan Pemerintah Daerah
(Pemda) dan donor internasional untuk mendanai peningkatan
layanan bagi bangsa ini. Adriansyah, Direktur Pembiayaan dan
Kapasitas Daerah di Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Kementerian Keuangan (Kemenkeu), baru-baru ini berbincang dengan
Prakarsa untuk mendiskusikan peran penerusan hibah, hibah berbasis
hasil, dan potensi dari mekanisme ini.
Pada saat ini program penerusan hibah apa saja
yang sedang dilaksanakan di Indonesia?
Ini merupakan sesuatu yang baru dimulai sejak
dilahirkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) no.
168/169 pada tahun 2008. Selama bertahun-tahun,
banyak pihak yang antusias mengenai kemungkinan
adanya penerusan hibah, dan sekarang kita sedang
berusaha untuk memanfaatkan antusiasme tersebut.
Sebenarnya telah banyak program yang aktif. Yang
pertama adalah program Pengembangan Pendidikan
Dasar Daerah (Local Basic Education Capacity). Kalau
tidak salah, program ini mencakup 50 kabupaten dan
kota di seluruh Indonesia. Yang kedua adalah Mass Rapid
Transit (MRT). Proses penawaran (bidding) untuk proyek

ini telah berlangsung dan akan mulai dilaksanakan


tahun depan. Kita juga memiliki beberapa program dari
Australia air limbah, Program Peningkatan Bus (BIP,
Bus Improvement Program), dan lain sebagainya. Yang
terakhir adalah untuk energi alternatif, proyek Panas
Bumi Seulawah (Seulawah Geothermal).
Sebelum Seulawah, ada proyek irigasi yang mencakup
115 kabupaten dan kota. Untuk ukuran sebuah inisiatif
yang baru, 115 bukanlah angka yang buruk, mengingat
mekanisme penerusan hibah ini baru efektif pada tahun
2009 atau 2010. Saya pikir apa yang telah kita capai
dalam dua tahun terakhir dapat dikatakan sebagai suatu
keberhasilan.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

190

Pandangan dari Kementerian Keuangan: Peran Mekanisme Penerusan Hibah

Adriansyah

Bagaimana Anda mengkategorikan programprogram penerusan hibah ini? Apakah dianggap


sebagai bagian dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN), sebagai hibah luar negeri,
atau sebagai pinjaman luar negeri?

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Atas perkenan Eleonora Bergita

Apapun sumber pembiayaannya, rumah induknya harus


melalui APBN. Harus melalui APBN karena begitulah
semestinya. Dulu banyak hibah [luar negeri] diberikan
langsung ke Pemerintah Daerah (Pemda), tetapi itu
bukan pada tempatnya. Pemerintah Pusat yang harus

Hibah Berbasis Hasil

bertanggung jawab. Di dalam arena internasional, saya


kira tidak ada istilah G to LG (Government to Local
Government, Pemerintah ke Pemda), bukankah yang
selalu ada adalah G to G (Government to Government,
Pemerintah ke Pemerintah)? Demi alasan akuntabilitas,
kita harus mengembalikan tanggung jawab ini ke
Pemerintah Pusat.

Jadi apakah penyaluran dana APBN ke Pemda


merupakan tujuan jangka panjang dari mekanisme
penerusan hibah?
Saya kira seharusnya demikian. Peraturan menetapkan
seperti itu, tetapi ketika akan dilaksanakan, baru muncul
masalah. Contohnya, kemarin saya menghadiri rapat
antar organisasi pemerintah. Bisa Anda bayangkan, ada
sebuah permintaan dari Lembaga Kementerian untuk
melakukan penerusan hibah [di luar APBN]? Secara
tegas saya katakan tidak bisa. Contoh lainnya, mengenai
pendidikan. Pemerintah Pusat telah memberikan
otoritas kepada Pemda untuk mengoperasikan sekolah,
tetapi tanggung jawab [untuk menjamin kualitas sistem
pendidikan] tetap berada pada Pemerintah Pusat. Jadi,
selama masih berada di bawah Pemerintah Pusat,
semuanya harus melalui mekanisme APBN, dan pada
tingkat daerah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD). Ini adalah hal yang mutlak.

Minum sebagai contohnya. Kalau Anda mencari proyek


dengan skala besar, lihatlah MRT. MRT adalah proyek
sebesar Rp 15 milyar. Bukan main-main.
Kita harus duduk bersama dan meluruskan hal ini. Banyak
peraturan yang berlaku sejak lama, tetapi tidak ada yang
dilaksanakan secara benar. Sebagai contoh, apabila
membawa hibah ke sebuah daerah. Dana hibah tidak
secara otomatis berarti penerusan hibah; ada hibah yang
murni dari APBN [misalnya Dana Alokasi Umum atau
DAU, dana tak terbatas yang disediakan oleh Pemerintah
Indonesia kepada Pemda]. Tetapi pertanyaannya adalah,
apakah ada [yang mirip dengan apa yang telah dilakukan
dengan mekanisme penerusan hibah menggunakan dana
dari donor] yang telah dilaksanakan [menggunakan
DAU]? Jawabannya adalah tidak ada.

Sebelum adanya mekanisme penerusan hibah,


apakah Pemerintah Indonesia memiliki proses
verifikasi untuk penyaluran hibah?
Proses verifikasi dapat ditemukan di dalam struktur
APBN, tetapi tidak pernah dilaksanakan. Bukan hal yang
mudah untuk meyakinkan banyak pemangku kepentingan
untuk melakukan hal ini, contohnya di dalam Kemenkeu
sendiri, ada Direktur Jenderal Anggaran, lalu ada
Bappenas, Kementerian dan Lembaga, semua berlaku
sebagai regulator. Tidak mudah.

Apa saja langkah yang telah diambil oleh


Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk
menjamin bahwa metode pemberian persetujuan
(approval) dan distribusi dana memiliki standar
yang sama?

Bagaimana mekanisme penerusan hibah jika


dibandingkan dengan mekanisme implementasi
hibah yang lain, sebagai contoh terkait
akuntabilitas?

Apa yang perlu kita lakukan adalah mensosialisasikan


mekanisme dan meningkatkan pemahaman antar pejabat
pemerintahan. Saya sangat berharap bahwa proyek MRT,
Seulawah, dan program Hibah Air Minum akan menjadi
referensi bagi semua pemangku kepentingan. Jadi
apabila ada yang bertanya mengenai contoh bagaimana
cara penerusan hibah dilaksanakan, kita punya fakta
dan buktinya. Kita dapat mengatakan, lihatlah Hibah Air

Apa yang kita laksanakan [melalui penerusan hibah]


semestinya murni berbasis kinerja. Pada saat ini kita
menerapkan teknik penganggaran berbasis kinerja
[untuk anggaran negara], ini berarti bahwa penggunaan
mekanisme penerusan hibah harus dijadikan prioritas.
Kita tidak bisa serta-merta menyalurkan dana, seperti
yang telah dilakukan sebelumnya. Saya mengatakan
kepada seluruh pemangku kepentingan bahwa apapun

Prakarsa Compendium | Jilid 2

191

192

Pandangan dari Kementerian Keuangan: Peran Mekanisme Penerusan Hibah

mekanismenya hibah, non-hibah, non-perjanjian (nonagreement) orientasinya harus kepada kinerja. Ini
sesuai dengan peraturan anggaran kita. Pendekatannya
adalah berbasis kinerja bukan uang, tetapi kinerja.

Apakah penerusan hibah termasuk ke dalam


kebijakan fiskal selain PMK 168?
Sudah, ada Undang-Undang (UU) dan Peraturan
Pemerintah (PP); PMK hanya untuk keperluan operasional
saja. Akan tetapi, terlepas dari semua peraturan ini,
permasalahannya adalah bahwa setiap hibah [dalam
wilayah hukum perikatan tertentu]. Yang penting
sekarang bukan UU dan PP, tetapi rincian perjanjian.
Daerah yang berbeda-beda bisa mendapatkan perlakuan
yang berbeda pula, tergantung dari situasi dan kondisi
masing-masing. Inilah mengapa saya katakan dari awal
agar dilakukan seleksi ketat untuk pemilihan daerah
penerima dana melalui penerusan hibah. Kita ambil
contoh Serang dan Banten. Walaupun mereka berada
dalam provinsi yang sama, dan meskipun letak mereka
bersebelahan, mungkin mereka memiliki kondisi yang
berbeda. Oleh karena itu, perbedaan ini harus dituangkan
di dalam Perjanjian Penerusan Hibah (PPH). PP hanyalah
sebuah referensi; yang paling penting adalah isi dari
perjanjian tersebut.

Jadi semua tergantung dari PPH-nya?


Betul sekali. Perjanjian Penerusan Hibah adalah kata
kuncinya. Untuk mempunyai pemahaman yang jelas
(antara pemerintah pusat dan daerah) yang dapat
menentukan secara spesifik siapa yang bertanggung
jawab untuk setiap tugas. Kejelasan akan pembagian
fungsi dan bagaimana cara dana dicairkan, merupakan
hal yang sangat penting untuk memastikan setiap
program dapat di laksanakan oleh penerima dana akhir.

Salah satu keuntungan dari hibah berbasis


hasil (OBA, output-based aid) adalah adanya
transparansi antara Pemerintah Indonesia,

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Pemda, dan lembaga donor. Apa pendapat Anda


mengenai hal ini? Apa kesulitan-kesulitan yang
dihadapi dalam melaksanakan OBA?
Ya, itu merupakan hal yang semestinya. Kalau seseorang
memberikan Anda uang untuk membeli mobil, maka
Anda harus beli mobil. Jika seseorang memberikan
uang untuk rumah, maka Anda harus beli rumah. Tidak
seharusnya Anda diberikan uang untuk membeli mobil
tetapi yang dibeli bemo, bukankah begitu? Uang yang
belum terpakai di Pemda bukanlah uang dalam jumlah
kecil. Besar nilainya. Pemda seharusnya diberikan
kewenangan [untuk membelanjakannya] di bidang
pendidikan, kesehatan ini termasuk air minum dan
infrastruktur. Sekarang, Anda lihat di daerah, kepala
daerah naik kendaraan yang harganya milyaran [Rupiah],
sementara Puskesmas kekurangan obat dan sekolah
roboh. Ini adalah hasil dari tidak diterapkannya hibah
berbasis hasil. Kita menginginkan sekolah, yang kita
dapatkan Mitsubishi Pajero.
Seperti kita ketahui, milyaran uang telah dikeluarakan
untuk air bersih tetapi hasilnya tidak jelas. Tetapi dengan
Rp 200 milyar [dari program hibah berbasis hasil Hibah
Air Minum yang didanai oleh AusAID], kita dapat melihat
77,000 rumah telah tersambungkan air leding. Semua
orang dapat melihat buktinya. Inilah yang kita harapkan.
Kalau pendekatan berbasis kinerja tidak diterapkan,
siapa yang tahu ke mana uang itu pergi. Saya tahu ini
berat. Saya telah mengatakan berkali-kali bahwa semua
uang yang ditransfer (tidak hanya melalui penerusan
hibah) dari APBN harus berbasis kinerja. Ini adalah
mazhab kita; kenapa kita tidak bisa melaksanakan dan
mengawasinya?

Untuk Pemda, apa keuntungan dari mekanisme


berbasis kinerja ini?
Keuntungannya sangat jelas. Saya berikan contoh di suatu
provinsi. Saya katakan, ketika air minum masuk ke rumah,
terutama rumah orang yang kurang mampu, saat air itu

Hibah Berbasis Hasil

jatuh ke ember, apa yang dilihat orang ketika berkaca


bukanlah refleksi wajah mereka, melainkan refleksi
wajah walikota mereka. Di beberapa daerah, kepala
daerah dipuja oleh masyarakat. Bayangkan ada seorang
perempuan yang tidak pernah melihat air minum seumur
hidupnya, dan sekarang air minum masuk ke rumahnya.
Artinya, apapun yang diusahakan Pemda, masyarakat
pasti akan mendukung. Kita tidak perlu berkampanye.
Yang perlu kita lakukan bukan kampanye tetapi lakukan
saja yang memang telah dijanjikan. Janganlah NATO (No
Action, Talk Only). Air sangat penting bagi kehidupan
manusia. Ini adalah kebutuhan dasar.
Kita tidak perlu menulis dimana-mana untuk mengatakan
air minum telah dipasang. Kita dapat melihat sendiri
sambungan air minum yang telah dipasang. Namun,
apabila kita memutuskan untuk menuliskannya, ini akan
menambah kredibilitas dari Pemda.
Di Kalimantan, saya ingat mengatakan kepada Bupati,
hal pertama yang harus Anda lakukan adalah membuat
sambungan air minum, pinjam dana kalau perlu. Kalau
usaha ini berhasil, Anda tidak perlu kampanye untuk
pemilihan kedua. Untuk apa hanya buang uang.
Anda bisa tidur dengan nyenyak di tempat tidur Anda.
Ini benar, ketika ia ikut pemilihan kembali, Bupati ini
tidak berkampanye tetapi ia menang dengan total
suara pemilih sebanyak 82 persen. Apa yang dapat kita
ambil dari kejadian ini? Masyarakat merespon [dengan
pelayanan yang diberikan melalui hibah berbasis hasil].
Secara teknis dan politis, ini merupakan keuntungan.
Ini merupakan kinerja, bukan hanya omongan. Ini yang
harus kita perjuangkan.

Ada kemungkinan jumlah hibah berbasis


keluaran yang harus dikerjakan akan sangat
tinggi. Contohnya, program air minum dan
sanitasi yang dikerjakan IndII: kita akan
menjalankan 130 proyek Hibah Air Minum, 50
Hibah Infrastruktur Australia-Indonesia untuk

Sanitasi (sAIIG, Australia-Indonesia Infrastructure


Grants for Sanitation), dan 25 proyek Organisasi
Berbasis Masyarakat (CBO, Community-Based
Organizations). Dan itu belum termasuk BIP.
Jadi, bagaimana hibah berbasis hasil akan
dapat terus dilaksanakan apabila volume hibah
bertambah? Contohnya, apakah Kemenkeu akan
melihat kemungkinan pelaksanaan melalui bank
pemerintah? Badan organisasi yang berbeda?
Atau lainnya?
Untuk saat ini, UU dan PP mengatakan ini adalah
tanggung jawab Kemenkeu. Perjanjian dengan donor
tidak dapat dilakukan oleh institusi lain. Tetapi menurut
pandangan saya, [bukan hanya UU dan PP yang harus
kita pertimbangkan]. Contohnya, di Australia, tugas
seorang Menteri Keuangan tidak lebih dan tidak kurang
dari seorang bendahara, atau dalam istilah yang lebih
sederhana, seorang kasir. Tetapi, siapa yang bertanggung
jawab untuk hal-hal yang substantif? Ini merupakan
tugas Kementerian Teknis. Kalau Anda bertanya kepada
saya mengenai pipa air minum, saya tidak mengerti.
Kalau Anda bertanya mengenai peralatan kesehatan,
saya juga tidak tahu. Tanggung jawab [antara Kemenkeu
dan Kementerian Teknis] harus dibuat secara jelas.
Saya mengatakan dalam rapat baru-baru ini, tugas
pemerintah bukan hanya menyangkut badan hukum
milik pemerintah, seperti BUMN dan BUMD. Pihak
lain yang melaksanakan tugas pemerintah juga harus
didukung. Ini merupakan bagian dari desentralisasi.
Contohnya, rumah sakit. Apakah menurut Anda
semua rumah sakit dimiliki oleh pemerintah? Tidak.
Saya pikir tidak lebih dari 10 rumah sakit di Jakarta
yang dimiliki pemerintah. Selebihnya dimiliki oleh
swasta. Untuk Sekolah Dasar (SD), pendidikan jelas
merupakan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah
berkewajiban untuk mendanainya. Sekarang, apakah
semua SD yang ada merupakan sekolah pemerintah?
Tidak. Untuk sekolah-sekolah dasar swasta, dapatkah

Prakarsa Compendium | Jilid 2

193

194

Pandangan dari Kementerian Keuangan: Peran Mekanisme Penerusan Hibah

pemerintah membiarkannya? Tentu saja tidak. Disinilah


intervensi diperlukan. Salah satu caranya adalah melalui
mekanisme hibah untuk sektor swasta. Terkadang sekolah
dibiarkan hampir roboh, tidak memiliki peralatan yang
cukup, dan dibiarkan begitu saja. Sekolah-sekolah nonpemerintah ini membantu pemerintah melaksanakan
tugasnya, tetapi mereka dibiarkan tanpa dukungan. Ini
yang perlu kita ubah. Tidak mudah, seperti saya katakan
berkali-kali. Jika kita dapat melihat hasil dalam lima
tahun, kita sudah sangat beruntung.
Dengan adanya mekanisme penerusan hibah, kita boleh
bangga. Dari tahun 2010 sampai sekarang, kita dapat
melihat banyak hasil, hal ini membuat Pak Nugroho dan
Pak Dedy S. Priatna dari Bappenas sangat mendorong
agar semua dialihkan ke mekanisme ini.

Apakah Kemenkeu berencana untuk menerapkan


modalitas hibah berbasis hasil ke DAK? Jika iya,
bagaimana hal ini dapat dilakukan?
Saya tidak tahu. Kuncinya ada di Bappenas. Sekali lagi,
jangan meminta Kemenkeu untuk terlibat dalam hal
substansi. Di sini kita bertindak sebagai kasir, Anda
berikan kami tagihan, kami bayar. Anda sediakan barang,
kami bayar. Kami tidak tahu bagaimana barang tersebut
dibuat. Oleh karena itu, kita perlu duduk bersama
untuk memiliki pemahaman yang sama. Misalnya,
jika kita membicarakan air minum, maka Direktorat
Jenderal Cipta Karya mutlak dilibatkan. Sebelumnya
Kemenkeu harus berpikir mengenai irigasi dan sumber
air swadaya, dan itu memakan waktu bertahun-tahun.
Saya mengatakan, Kemenkeu tidak memiliki kapasitas
untuk berbicara mengenai air minum. Kita harus
berbicara sebagai satu pemerintahan, pemerintahan
secara keseluruhan. Kemenkeu berurusan dengan
uang, Kementerian Pekerjaan Umum menangani irigasi,
Kementerian Kesehatan menangani persoalan kesehatan.
Ini merupakan tanggung jawab semua pihak.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Kami mendorong pemangku kepentingan lain untuk


menggunakan OBA. Apabila di kemudian hari OBA
digunakan untuk DAK, DAU, atau apa saja, akan kami
sambut dengan baik. Yang ingin kami lihat adalah
keluarannya. Sekarang ini telah menjadi permasalahan
nasional. DPR menanyakan: triliunan Rupiah yang telah
dibelanjakan, apa hasilnya? Tidak ada satu orang pun
yang dapat menjawab.
Contoh sederhana terkait DAK: tujuan awalnya adalah
untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Sekarang,
Anda tanyakan ke Kementerian Pendidikan Nasional
(Kemendiknas), apa yang dihasilkan dari uang yang telah
dialokasikan untuk DAK? Pegawai Kemendiknas tidak
akan punya jawabannya. Tetapi dari semua persoalan
yang menyangkut pendidikan di negara ini seharusnya
merupakan tanggung jawab mereka. Bagaimana
mereka bisa mengatakan tidak tahu? Ini bukanlah hal
yang mudah [untuk berpindah ke pendekatan berbasis
kinerja], tetapi saya sangat berharap secara bertahap ini
dapat berubah.
Wawancara ini dilakukan oleh Staf Komunikasi IndII
Annetly Ngabito

Hibah Berbasis Hasil dalam Angka

Hibah Berbasis Hasil


dalam angka
>200

kilometer

400,000
6

71%

Panjang keseluruhan trayek jalur bus di Indonesia yang merupakan trayek


terpanjang di dunia. Hibah berbasis hasil meningkatkan pembangunan
infrastruktur penunjang bagi jalur bus (lihat artikel pada halaman 175).

Jumlah penduduk dalam tiga tahun ke depan yang akan dijangkau oleh
sambungan pembuangan air limbah di luar lokasi di bawah program Hibah
Infrastruktur Australia-Indonesia untuk Sanitasi (sAIIG, Australia-Indonesia
Infrastructure Grants for Sanitation).

Jumlah persyaratan penting yang harus diberi penilaian untuk menentukan


apakah pola hibah berbasis hasil sesuai dan layak, menurut Kemitraan
Global untuk Hibah Berbasis Hasil (GPOBA, Global Partnership for OutputBased Aid). Tiga di antaranya berkenaan dengan kapasitas dan penilaian
kelembagaan (apakah dalam sebuah skema terdapat kepemilikan pemerintah
dan sesuai dengan prioritas mereka; kualitas pemantauan dan evaluasi yang
dapat dicapai; dan apakah pelaksana memiliki kemampuan teknis, keuangan,
dan pengelolaan yang diperlukan untuk melaksanakan layanan yang
diusulkan). Tiga lainnya menyangkut mekanisme keuangan (apakah sektor ini
dapat menjamin keberlanjutan finansial; apakah hibah yang diusulkan dapat
diterima dan praktis dalam konteks sektor tersebut; dan dapatkah penyedia
layanan melakukan pembiayaan di muka dengan sumber daya milik sendiri
atau dengan dukungan keuangan komersil/pemerintah).

Porsi dana GPOBA yang dialokasikan untuk sektor transportasi; berikutnya


adalah 14,2 persen untuk sektor kesehatan.

1960-an

Dasawarsa saat hibah berbasis hasil diterapkan untuk pertama kalinya di


bidang pembangunan, ketika diberlakukan pada upaya keluarga berencana di
Korea Selatan dan Taiwan.

32; 131

Jumlah proyek Hibah Berbasis Hasil (OBA, output-based aid) yang didanai
oleh Kelompok Bank Dunia pada tahun 2002, dan tahun 2009: kenaikan lebih
dari 400 persen dalam waktu hanya tujuh tahun.

195

196

Pandangan Para Ahli

Pandangan Para Ahli


Pertanyaan:
Apakah mekanisme berbasis hasil perlu dimasukkan ke dalam
kebijakan fiskal Pemerintah Indonesia?

Ir. Antonius Budiono, MCM


Direktur Bina Program
Direktorat Jenderal Cipta Karya,
Kementerian Pekerjaan Umum
Kerangka untuk kebijakan fiskal yang diberlakukan Pemerintah Indonesia mencakup diterapkannya mekanisme berbasis
hasil, khususnya dengan memberikan Hibah kepada Pemerintah Daerah (Pemda) untuk membangun infrastruktur
air minum dan sanitasi. Pemberian hibah ini dilakukan berdasarkan kinerja Pemerintah Daerah yang telah berhasil
melaksanakan pembangunan infrastruktur yang berfungsi baik serta dapat dinikmati oleh penerima manfaatnya.
Selanjutnya Ditjen Cipta Karya akan memberikan hibah berdasarkan volume dan alokasi pendanaan untuk pembangunan
infrastruktur tersebut. Mekanisme berbasis hasil jelas merupakan komponen yang sangat penting sebagai penunjang
keberhasilan dalam pelaksanaan kebijakan fiskal. Melalui mekanisme ini kita dapat menjamin tercapainya sasaran yang
optimal dan tepat guna dari pelaksanaan belanja pemerintah dalam membiayai kegiatan infrastruktur. Selain itu, melalui
mekanisme ini, Ditjen Cipta Karya telah mampu membangun infrastruktur yang lebih banyak dengan pendanaan yang
lebih efisien.

Ir. Nugroho Tri Utomo, MURP


Direktur Pemukiman dan Perumahan Bappenas
Menurut saya, mekanisme hibah berbasis hasil yang telah kita laksanakan dalam Program Hibah Air Minum dan Sanitasi
memiliki dua kunci keberhasilan. Pertama, dari segi desain program yang bagus dan revolusioner. Kedua adalah kualitas
eksekusinya cara pelaksanaan advokasi, seleksi peserta, dan pendampingan yang disediakan. Menurut saya sistem
ini sangat sesuai dengan kondisi yang kita hadapi: ketika desentralisasi semakin kuat, mekanisme berbasis hasil adalah
respon yang positif.
Pada program-program lain kita memberikan uang namun tidak memiliki kontrol langsung terhadap hasilnya. Tidak ada
kaitan langsung antara apa yang dikeluarkan dan hasil yang nampak. Kalau hasilnya buruk, tahun berikutnya uang yang
diberikan tidak akan sebesar sebelumnya. Tapi tidak ada konsekuensi langsung pada tahun yang sama. Seperti kita tahu
Pemda menerapkan anggaran tahunan, maka kita seharusnya secara eksplisit mengaitkan kinerja dalam satu tahun
dengan pembayaran di tahun yang sama.

Hibah Berbasis Hasil

Satu kendala hibah berbasis hasil adalah kemampuan Pemda untuk melaksanakan kegiatan dengan dana sendiri sebelum
memperoleh hibah. Beberapa Pemda masih lemah kemampuan keuangannya. Di sisi lain kementerian terkait seperti
Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum sudah memiliki pengalaman melaksanakan mekanisme
ini. Saya lihat ada dukungan cukup besar untuk menginternalisasikan pendekatan berbasis kinerja ini dalam pendanaan
reguler kita.

Dr. Ir. Djoko Sasono M.Sc.


Direktur Bina Sistem Transportasi Perkotaan, Kementerian Perhubungan
Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Peraturan Pemerintah
Nomor 21 tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian dan Lembaga, mekanisme berbasis
hasil telah diatur dalam sistem anggaran di Indonesia, yang dikenal dengan Anggaran Berbasis Kinerja (Performance
Based Budgeting). Dalam hal ini, kinerja tidak hanya mencerminkan output (barang atau jasa yang terukur, hasil dari
kegiatan yang dilaksanakan untuk mendukung pencapaian sasaran dan tujuan program dan kebijakan), tetapi meliputi
pula outcome (segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya output dari suatu program).
Berdasarkan Anggaran Berbasis Kinerja, dilakukan penyusunan anggaran yang memerhatikan keterkaitan antara
pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan, termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut.
Oleh karena itu, diperlukan indikator kinerja, standar biaya, dan evaluasi kinerja dari setiap program dan jenis kegiatan.
Anggaran Berbasis Kinerja dirancang untuk memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari penggunaan sumber daya (input)
yang terbatas, serta mencapai ekspektasi berikut:
1.
2.
3.

Peningkatan efektivitas alokasi anggaran melalui rancangan program/kegiatan yang diarahkan untuk mencapai hasil
dan keluaran yang ditetapkan
Peningkatan efisiensi pengeluaran melalui penentuan satuan biaya keluaran
Peningkatan kredibilitas dan akuntabilitas

Dalam hal menyusun anggaran dengan sumber pendanaan dari bantuan pihak ketiga, juga harus ditetapkan kebijakan
yang mengatur bahwa bantuan tersebut harus berbasis pada kinerja, yang memerhatikan bukan hanya output tetapi
juga outcome. Dengan demikian tujuan dan kondisi yang diharapkan pada anggaran berbasis kinerja tersebut dapat
terwujud bukan hanya untuk kegiatan dengan sumber pendanaan dari APBN, tetapi juga untuk kegiatan yang sumber
pendanaannya berasal dari bantuan/hibah luar negeri.

197

Tata Kelola
Pemerintahan dalam
Infrastruktur
Edisi 13, Januari 2013

Sebuah Pesan dari Inspektur Jenderal,


Kementerian Pekerjaan Umum
Reformasi Tata Kelola dalam Fungsi Audit
Internal, Sebuah Tinjauan Umum
Melaksanakan Pendekatan Reformasi dan
Pengelolaan Perubahan Institusional
Meningkatkan Efektivitas Inspektorat Jenderal
di Kementerian Pekerjaan Umum
Dari Mengawasi Proyek Hingga Mengelola
Risiko: Penguatan Praktik Audit di Kementerian
Pekerjaan Umum
Perihal Tata Kelola Perusahaan
Mengelola Tantangan Korupsi dalam Tata
Kelola Infrastruktur

Tata Kelola Pemerintahan dalam Infrastruktur

Sebuah Pesan dari Inspektur


Jenderal, Kementerian
Pekerjaan Umum
Tata kelola pemerintahan yang baik sangat penting agar Indonesia
dapat memiliki daya tarik investasi, memuaskan opini publik,
dan membelanjakan dananya secara efisien dan efektif. Peran
Inspektorat Jenderal dalam menjamin tata kelola yang baik telah
menjadi semakin penting.
Oleh Dr. Ir. M. Basuki Hadimuljono, MSc.

Pemerintah Indonesia bertanggung jawab untuk mengelola


dananya secara bijaksana, baik yang bersumber dari
dana pajak masyarakat, maupun dukungan dari luar
seperti pendanaan yang diberikan oleh Australia melalui
kemitraannya dengan Indonesia. Merupakan kewajiban
Pemerintah untuk mengarahkan pembelanjaan pada
kebutuhan prioritas dan menjamin agar dana digunakan
secara efisien dan efektif. Sementara Pemerintah berupaya
memenuhi persyaratan ini secara lebih efektif, semakin
besar perhatian perlu diberikan pada prinsip-prinsip tata
kelola pemerintahan yang baik dan bagaimana prinsipprinsip tersebut dapat dilembagakan dalam semua kegiatan
pemerintah.
Rekam jejak tata kelola pemerintahan Indonesia di masa
lampau tidak terlalu kuat jika dibandingkan dengan
negara lain, dan ini membuat negeri ini kurang menarik
untuk investasi baru. Kami harus meningkatkan kinerja.
Meningkatkan lembaga audit internal Pemerintah Indonesia
dan memperkenalkan aplikasi metodologi dan praktik
berbasis risiko secara konsisten akan memberi rasa yakin
yang jelas bagi semua pihak bahwa sistem pengendalian

internal Pemerintah menjamin kinerja yang efisien dan


efektif sepenuhnya, serta diperolehnya kesepadanan
manfaat (value for money) yang terbaik.
Sebagai Inspektur Jenderal di Kementerian Pekerjaan
Umum, saya sadar bahwa bantuan harus digunakan secara
efektif. Saya juga menyadari sasaran Deklarasi Paris tentang
Efektivitas Bantuan tahun 2005 oleh para negara donor
(termasuk Australia), yang merinci Indikator Kemajuan
berikut atas negara mitra seperti Indonesia:
1. Para mitra memiliki strategi pembangunan secara
operasional
2. Para mitra memiliki pengelolaan keuangan masyarakat
dan sistem pengadaan yang andal
3. Kapasitas
akan
diperkuat
dengan
dukungan
terkoordinasi
Saya sepenuhnya mendukung tujuan tersebut. Sulit untuk
dapat menerima kondisi yang menyatakan 70 persen
atau lebih dari tuntutan tindak pidana korupsi yang
terkait dengan pengadaan barang/jasa, atau masyarakat

Prakarsa Compendium | Jilid 2

201

202

Sebuah Pesan dari Inspektur Jenderal, Kementerian Pekerjaan Umum

Dr. Ir. Basuki Hadimoeljono, MSc. (kiri)

berpendapat bahwa terjadi banyak pemborosan dana


pemerintah. Di tengah masyarakat, akan selalu terdapat
kecenderungan alamiah untuk bersikap skeptis terhadap
prosedur pengadaan barang/jasa publik. Tetapi itu justru
harus memperkuat tekad kami untuk menjadikan prosesnya
transparan dan menunjukkan bahwa pengadaan barang/
jasa publik memberikan kesepadanan manfaat yang terbaik.

Peran yang Berkembang


Peran Inspektorat Jenderal (Itjen) sebagai institusi
pengawasan di dalam kementerian Pemerintah Indonesia
telah mengalami perubahan seiring berjalannya waktu,
tetapi tidak selalu mengikuti perkembangan standar dan
praktik terbaik internasional. Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP) bertanggung jawab secara
keseluruhan atas audit internal hingga awal tahun 2000-an,
ketika perannya dibatasi dan diturunkan ke Itjen di masingmasing kementerian. Sejak itu, peran BPKP hanya bersifat
sebagai pemberi nasihat, tanpa wewenang untuk bertindak
sendiri berkenaan dengan audit internal di masing-masing
kementerian. Belum lama ini, peran BPKP diperkuat melalui
perundang-undangan, yang memberikannya wewenang
untuk melakukan koordinasi dan memainkan peran yang
bermanfaat sebagai pembimbing dan pemimpin. Sekarang
BPKB lebih mampu memberi dukungan kepada Itjen agar
menjadi lebih efektif dan efisien serta meningkatkan
standar dan praktik tata kelola pemerintahan yang baik agar
sesuai dengan norma-norma profesional internasional.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Atas perkenan IndII

Perundang-undangan terbaru terkait dengan tata kelola


pemerintahan juga telah menjadikan Itjen sendiri lebih
akuntabel. Mereka diharuskan untuk mengadopsi dan
menerapkan pendekatan yang secara fundamental berbeda
dalam kegiatan mereka.
Khususnya dalam kasus Itjen di Kementerian PU, fungsi
audit internal telah berkembang. Di masa lampau kami
melakukan audit teknis murni, melibatkan staf yang
pada umumnya adalah insinyur profesional tetapi tidak
terlatih sebagai auditor. Sekarang ini, kami berperan
sebagai lembaga pengawas yang bertanggung jawab untuk
menjamin transparansi, tata kelola pemerintahan yang
baik dan akuntabilitas dalam penggunaan dana Pemerintah
Indonesia di lingkungan Kementerian PU. Ini merupakan
langkah peningkatan tanggung jawab yang signifikan dan
kami masih berupaya untuk membangun struktur, susunan
kepegawaian, dan kebijakan yang tepat untuk menjamin
bahwa kami mampu melaksanakan tanggung jawab kami
sebagaimana diharapkan pemerintah.
Sebagai pengakuan atas hal ini, dan sehubungan dengan
tanggung jawab saya sebagai Ketua Forum Bersama Aparat
Pengawasan Internal Pemerintah (Forbes APIP), saya kira
adalah kewajiban saya untuk memulai dan mengembangkan
Agenda Reformasi untuk memberikan layanan dengan nilai
tambah (value-added services) yang lebih baik kepada
Menteri dalam hal dampak anggaran, pembangunan

Tata Kelola Pemerintahan dalam Infrastruktur

Di tengah masyarakat, akan selalu terdapat kecenderungan


alamiah untuk bersikap skeptis terhadap prosedur
pengadaan barang/jasa publik. Tetapi itu justru harus
memperkuat tekad kami untuk menjadikan prosesnya
transparan dan menunjukkan bahwa pengadaan barang/jasa
publik memberikan kesepadanan manfaat (value for money)
yang terbaik
infrastruktur, dan pengamanan kegiatan. Agenda Reformasi
ini menjadi pemicu indikatif bagi Pinjaman Kebijakan
Pembangunan Infrastruktur (IDPL Infrastructure
Development Policy Loan) 4 dari Bank Dunia, yang
memberikan insentif tambahan untuk menjamin bahwa
peningkatan Itjen telah berhasil. Agenda Reformasi kini
sudah diperluas untuk mencakup sasaran-sasaran utama
dari kegiatan Reformasi Tata Kelola Pemerintahan dalam
Audit Internal yang dilakukan oleh Prakarsa Infrastruktur
Indonesia (IndII) yang didanai oleh AusAID bersama dengan
Itjen.
Saya sangat berterima kasih kepada AusAID, yang pada
tahun 2009 memutuskan untuk bermitra dengan saya
dalam upaya meningkatkan keterampilan di dalam lembaga
saya. Upaya yang dimulai sejak 2009 hingga sekarang telah
membangun landasan yang sangat baik bagi pekerjaan kami
dewasa ini, yang telah mengalami peningkatan substansial
dalam lingkup maupun sumber daya.
Selama empat tahun terakhir telah terjadi perubahan
signifikan dalam susunan kepegawaian di departemen saya,
seiring dengan meningkatnya anggaran di Kementerian.
Tiga puluh persen dari staf saya adalah tenaga profesional
muda yang bergantung pada pelatihan dan bimbingan untuk
mendukung mereka berkembang secara profesional. Oleh
sebab itu, sangat penting bahwa pelatihan dan bimbingan
menjadi komponen besar dari kegiatan IndII.
Dengan kerjasama yang terjalin antara IndII dan Itjen,
kami akan membantu staf Itjen meraih cita-cita mereka
untuk bertumbuh secara profesional. Pada gilirannya ini

akan mendukung Kementerian dalam mencapai sasaran


tata kelola pemerintahan yang baik. Saya berharap bahwa
warisan saya kelak akan berupa fungsi audit internal
yang lebih kuat dan profesional, sebuah fungsi yang
selaras dengan standar internasional, yang memberikan
kesepadanan manfaat lebih baik dalam pengadaan, dan
yang menjadi model transparansi.

Tentang Penulis:
Dr. Ir. M. Basuki Hadimuljono, M.Sc. adalah Inspektur
Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum (Kementerian PU).
Sebelumnya, dari tahun 2005 hingga 2007, ia memimpin
Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian
PU, di departemen tersebut ia dikenal mampu menjalin
hubungan baik dengan bawahannya dan juga keyakinannya
bahwa departemen yang dikepalainya harus mampu
merangkul inovasi dan pengembangan baru di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Ia telah membawa tim darurat
untuk menangani situasi pasca bencana alam di Indonesia,
seperti tsunami tahun 2004 di Aceh dan gempa di tahun
2006 yang melanda Yogyakarta. Ia adalah penulis buku
Semburan Lumpur Panas Sidoarjo Pelajaran dari Sebuah
Bencana, yang ditulisnya setelah Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menunjuknya sebagai Ketua Tim Nasional untuk
menyelesaikan semburan lumpur Sidoarjo.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

203

POIN-POIN UTAMA
Kegiatan Reformasi Tata Kelola dalam Audit Internal yang didukung Prakarsa Infrastruktur
Indonesia (IndII) yang didanai AusAID, memiliki tiga sasaran menyeluruh: pertama,
melanjutkan dukungan kepada Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Pekerjaan Umum
(KemenPU) untuk penguatan dan peningkatan kapasitas lembaga; kedua, peningkatan proses
pengawasan dan pelaksanaan audit yang dapat memperbaiki tata kelola dan akuntabilitas;
dan ketiga, pemberantasan korupsi.
Ini adalah program baru yang diharapkan akan berlangsung selama dua sampai tiga tahun,
dan dirancang sebagai kelanjutan dukungan IndII sebelumnya kepada Itjen. Tujuannya adalah
untuk memperkuat manfaat yang telah dicapai dan menyingkirkan hambatan agar manfaat
tersebut dapat dipertahankan secara jangka panjang.
Kegiatan tersebut memiliki tiga pilar. Pilar 1, Penguatan Kelembagaan, dirancang untuk
membantu Itjen agar naik dari tingkat 2 ke tingkat 3 dari Model Kemampuan Audit Internal.
Pilar ini juga membangun kemampuan staf yang berorientasi pada audit melalui cara
pendampingan dan bekerja bahu-membahu dengan staf Itjen. Pilar 1 juga berkoordinasi
dengan audit teknis Rencana Peningkatan Jalan Nasional Indonesia Timur (EINRIP, East
Indonesia National Road Improvement Plan).
Pilar 2: Praktik Pengadaan Barang dan Jasa yang Lebih Baik menuntut pendekatan dua sisi:
dukungan kepada Itjen dan secara umum kepada KemenPU, karena peningkatan kapasitas
operasional Itjen saja tidak akan membuahkan hasil yang diinginkan dari segi praktik,
kebijakan, dan tata cara pengadaan barang dan jasa yang lebih baik. Dukungan pelatihan akan
diberikan kepada manajemen KemenPU untuk membantu Itjen memenuhi perannya sebagai
agen perubahan.
Pilar 3: Peningkatan Lingkungan Anti Korupsi mencakup kerja sama dengan Itjen dan
manajemen KemenPU untuk memperbaiki lingkungan anti korupsi. Staf akan menumbuhkan
kepekaan terhadap kode etik mereka, penerapan kode etik tersebut dan akuntabilitas publik
ketika korupsi terungkap. Pilar 3 mencakup dukungan kepada manajemen agar meningkatkan
dan mewujudkan pernyataan Menteri untuk menciptakan Zona Bebas Korupsi dengan
melaksanakan program untuk Pengendalian Praktik Korupsi.

Tata Kelola Pemerintahan dalam Infrastruktur

205

Reformasi Tata Kelola dalam


Fungsi Audit Internal,
Sebuah Tinjauan Umum
Melalui penguatan kelembagaan, praktik-praktik pengadaan
barang/jasa yang lebih baik, dan peningkatan lingkungan anti
korupsi, kegiatan ini dirancang untuk melanjutkan pencapaian
sebelumnya dan memastikan agar hambatan yang dihadapi
tidak menghalangi manfaat yang telah diperoleh sehingga dapat
dipertahankan secara jangka panjang.
Oleh Bhashkar Bhindrie, Franky Setiawan dan Agam Fatchurrochman

Kegiatan Reformasi Tata Kelola dalam Audit Internal


yang didukung Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) yang
didanai AusAID memiliki tiga sasaran menyeluruh. Pertama,
melanjutkan dukungan kepada Inspektorat Jenderal (Itjen)
Kementerian Pekerjaan Umum (KemenPU) untuk penguatan
dan peningkatan kapasitas lembaga. Dengan demikian Itjen
dapat mencapai peringkat kinerja yang lebih tinggi dari
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), naik
dari Tingkat 2 ke Tingkat 3 (lihat Meningkatkan Efektiitas
Inspektorat Jenderal di Kementerian Pekerjaan Umum pada
hal. 217 buku ini untuk mengetahui lebih lanjut tentang
peningkatan kemampuan Itjen dari Tingkat 2 ke Tingkat 3 dengan
menggunakan Model Kemampuan Audit Internal [IA-CM,
Internal Audit Capability Model]). Kedua, peningkatan proses
pengawasan dan pelaksanaan audit yang dapat memperbaiki
tata kelola dan akuntabilitas. Ketiga, pemberantasan korupsi,
khususnya dengan menerapkan audit pengadaan barang/jasa
yang lebih efektif. Gambar 1 menyajikan tampilan grafis berupa
pilar-pilar kegiatan tersebut dan bagaimana ketiganya saling
melengkapi.

Reformasi Tata Kelola dalam pelaksanaan


Audit Internal berkoordinasi dengan
konsultan EINRIP (Program Peningkatan
Jalan di Indonesia Timur).

Atas perkenan Teguh Wiyono

Prakarsa Compendium | Jilid 2

206

Reformasi Tata Kelola dalam Fungsi Audit Internal, Sebuah Tinjauan Umum

Gambar 1: Reformasi Tata Kelola dalam Kegiatan Fungsi Audit


Internal

Manajemen Perubahan
Training, Pendidikan & Jaminan Kualitas
Pilar 1
Penguatan
Kelembagaan

Pilar 2
Praktik Pengadaan
Barang & Jasa yang
Lebih Baik

Pillar 3
Enhanced
Anticorruption
Environment

Internal Control System PP 60


Mitra:
Manajemen
KemenPU, BPKP,
EINRIP-AusAID

Mitra:
Manajemen
KemenPU, Ditjen
terpilih,
BPKP, LKPP

Mitra:
Manajemen
KemenPU, seluruh
Ditjen,
BPKP, KPK

Itjen KemenPU sebagai Agen Perubahan (dengan dukungan AusAID/IndII)


Kunci
KemenPU = Kementerian Pekerjaan Umum
BPKP = Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
EINRIP = Eastern Indonesia Road Improvement Program
(Program Peningkatan Jalan di Indonesia Timur)
Ditjen = Direktorat Jenderal
LKPP = Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah
KPK = Komisi Pemberantasan Korupsi

Boks 1: Peran RBIA


RBIA adalah istilah kontemporer dari peralihan audit yang fokus
pada kegiatan masa lalu menjadi audit yang mengelola masa
depan. RBIA berasumsi bahwa sumber daya audit terbatas,
bahwa setiap kegiatan yang akan diaudit memiliki risiko yang
berbeda-beda, dan bahwa secara relatif terdapat perbedaan
bobot kepentingan. RBIA memastikan agar staf audit bertindak
seefektif mungkin. RBIA mengidentifikasi bidang-bidang berisiko
lebih tinggi dan memusatkan upaya audit pada bidang-bidang
tersebut, dan sebaliknya mengidentifikasi bidang berisiko rendah
dan menerapkan upaya secukupnya pada bidang tersebut. Hasil
RBIA adalah: auditor melakukan audit yang lebih efektif dan lebih
efisien serta berfokus pada bidang yang berisiko lebih tinggi.

Program ini secara keseluruhan adalah hal baru dan


komprehensif bila dilihat dari segi ruang lingkup, cara
pendekatan dan tingkat dukungan IndII. Program ini diharapkan
akan berlangsung selama dua sampai tiga tahun. Meskipun
Prakarsa Compendium | Jilid 2

Boks 2: Mengapa AusAID Membantu Inspektur


Jenderal
Itjen:
Memahami bahwa perubahan harus dilakukan untuk
memperbaiki kegiatan operasional agar dapat memenuhi
kewajibannya kepada Pemerintah Indonesia sebagai Itjen
dan membuat unit ini menjadi auditor profesional
Menjadi penggerak utama dalam mengusulkan Agenda
Reformasi Itjen adalah Agen Perubahan
Adalah Ketua Asosiasi Internal Auditor Pemerintah yang
memiliki lebih dari 565 anggota Itjen di Pemerintah
Indonesia. Sebagai Ketua, memiliki peran kepemimpinan dan
menjadi teladan bagi Itjen di kementerian lainnya.
Yakin bahwa pengalaman ini dapat dijadikan contoh untuk
ditiru di lingkungan operasional Itjen lainnya.
Memahami tantangan yang akan dihadapi dan
memperlihatkan rasa memiliki.
Ingin bekerja sama dengan AusAID.

merupakan kelanjutan dari dukungan IndII sebelumnya


kepada Itjen, dikhawatirkan adanya ancaman serius bahwa
manfaat yang telah dicapai mungkin tidak dapat dipertahankan
secara jangka panjang, dan tidak dapat digunakan sebagai
pilar kegiatan selanjutnya, kecuali hambatan fundamental
(perlunya pemutakhiran struktur manajemen yang relevan
dan mekanisme pendukungnya) dapat ditanggulangi; untuk
itulah pentingnya IA-CM (Pilar 1 dalam Gambar 1). Selain itu,
Pemerintah Indonesia kini lebih fokus pada pemberantasan
atau setidaknya pengurangan korupsi; sebab itu ada Pilar 2
(konsentrasi pada perbaikan praktik pengadaan barang/jasa,
serta melakukan audit pengadaan barang/jasa yang lebih
baik dan lebih sering) dan Pilar 3 (menciptakan/memantau
lingkungan bebas korupsi).
Pilar 1, Penguatan Kelembagaan, berpijak pada dukungan
IndII sebelumnya. Hal ini mencakup penerapan IA-CM (lihat
hal. 219) dan peningkatan kapasitas praktik pelaksanaan audit
dengan tolok-ukur praktik-praktik internasional. Konfigurasi
Itjen saat ini tidak cukup melibatkan staf berorientasi audit
yang berpengalaman, yang dapat melatih dan membimbing
staf lainnya. Untuk mempercepat proses peningkatan kapasitas
di bidang keterampilan audit, komponen ini melibatkan tim
kecil yang terdiri dari para ahli audit yang bekerja penuh waktu
bahu-membahu dengan staf lapangan (lihat Dari Mengawasi
Proyek Hingga Mengelola Risiko: Penguatan Praktik Audit di

Tata Kelola Pemerintahan dalam Infrastruktur

Kementerian Pekerjaan Umum pada hal. 223 buku ini). Tim


ini terus-menerus bertindak sebagai penasihat/pengawas
pada pelaksanaan audit terpilih, dan juga memberi dukungan
su-pervisi dan bimbingan kepada para inspektur yang perlu
membangun kekuatan teknis mereka.
Dengan membonceng pada Rencana Peningkatan Jalan
Nasional Indonesia Timur (EINRIP), pengalaman juga menjadi
bagian dari Pilar 1. Audit di bawah program AusAID EINRIP
mengungkap mengenai mutu pekerjaan konstruksi. Hal ini
menjadi semakin parah apabila pengawasan di tingkat teknis
lemah, terkait dengan kapasitas para teknisi dan konsultan.
Apabila masalah ini dapat ditangani seirama dengan Itjen,
efektifitas dukungan menjadi berlipat ganda. Konsultan EINRIP
yang saat ini sedang melakukan audit teknis akan mendukung
dan bekerja sama dengan Itjen untuk melatih para staf (atas
dasar twinning) untuk meningkatkan keterampilan dalam
melakukan audit teknis.

Pilar 2: Praktik Pengadaan Barang/Jasa yang Lebih Baik


menuntut pendekatan dua sisi: dukungan kepada Itjen dan
secara umum kepada KemenPU, karena peningkatan kapasitas
operasional Itjen saja tidak akan membuahkan hasil yang
diinginkan dari segi praktik, kebijakan, dan tata cara pengadaan
barang dan jasa yang lebih baik. Dukungan pelatihan akan
diberikan kepada manajemen KemenPU (termasuk Balai dan
satuan kerja). Oleh karena itu Pilar 2 mencakup langkahlangkah yang diperlukan Itjen untuk memenuhi perannya
sebagai agen perubahan.
Pilar 3: Peningkatan Lingkungan Anti korupsi terkait erat
dengan dua Pilar lainnya, sebab tata kelola yang baik dan
pengawasan juga menyangkut pemberantasan korupsi.
Pemerintah Indonesia telah menjadikan pemberantasan
korupsi sebagai fokus utama, khususnya mengingat persepsi
publik dan sorotan terhadap tindak korupsi dalam media berita
Indonesia. Selain berkoordinasi dengan para konsultan IndII

Boks 3:
Komitmen Pengintegrasian Gender di Itjen PU
Dukungan IndII terhadap reformasi tata kelola fungsi audit internal
di lingkungan Itjen PU dilakukan dengan pendekatan peningkatan
kapasitas yang berkelanjutan. Dimensi kesetaraan gender juga
menjadi perhatian dalam pelaksanaan program tersebut. Partisipasi
dan akses yang setara bagi staf laki-laki dan perempuan selalu
didorong dalam berbagai kegiatan peningkatan kapasitas.
Hasil evaluasi gender terhadap kegiatan ini di fase 1 pada tahun
lalu mengungkapkan bahwa aspek gender mendapat perhatian
dan komitmen yang baik dari pejabat dan pelaksana program.
Para perempuan muda yang berbakat mendapat kesempatan
untuk terlibat dalam berbagai pelatihan, kunjungan studi dan
bekerjasama langsung dengan para konsultan. Perempuan juga
diberikan kesempatan dalam posisi pengambilan keputusan.1
Upaya ini sangat sejalan dengan komitmen KemenPU dalam
melaksanakan pengarusutamaan gender. Maka tidak heran jika
tingkat partisipasi perempuan dalam berbagai kegiatan peningkatan
kapasitas cukup tinggi. Partisipasi perempuan di lingkungan Itjen PU
menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan, terutama sejak
perekrutan 3 tahun terakhir dengan perbandingan laki-laki 44 %
dan perempuan 56 percent. Tingginya partisipasi perempuan juga
terlihat dalam diklat-diklat yang diselenggarakan, dimana komposisi
perempuan selalu lebih tinggi. Komposisi persentase pegawai
peserta program Diklat Penjenjangan terbesar di Itjen yang diikuti
64 peserta adalah laki-laki 38 percent dan perempuan 62 percent.

Sedangkan komposisi terkecil terdapat pada Diklat Administrasi


yang diikuti 16 peserta adalah 31 percent laki-laki dan 69 percent
perempuan. Bahkan PMU (Project Monitoring Unit) yang dibentuk
untuk memonitor program reformasi tata kelola ini didominasi oleh
para perempuan, yaitu 7 dari 9 anggotanya adalah perempuan.2
Partisipasi tersebut memang bersifat kuantitatif, tetapi dari
observasi sementara IndII kualitas para perempuan juga cukup
bagus. Banyak perempuan yang telah diakui keunggulan dan
ketrampilan spesifiknya di bidang-bidang tertentu seperti keuangan
dan akuntansi. Dalam beberapa kegiatan, skor yang bagus sebagian
besar ditunjukkan oleh para staf perempuan.
Program IndII memang tidak memiliki pengaruh langsung terhadap
prestasi Itjen PU dalam meningkatkan partisipasi perempuan,
namun perhatian terhadap aspek-aspek gender untuk diintegrasikan
dalam pelaksanaan program berkontribusi memperkuat upaya
Itjen PU dalam mengimplementasikan aspek gender, baik dalam
organisasi maupun program. Dengan kata lain, dukungan IndII turut
memberikan kontrol kepada Itjen PU untuk terus meningkatkan
upaya kesetaraan gender di lingkungannya.

CATATAN
1. Gender Review for IG-MPW Audit Capacity Building
2. Data Pilah Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Prakarsa Compendium | Jilid 2

207

208

Reformasi Tata Kelola dalam Fungsi Audit Internal, Sebuah Tinjauan Umum

Boks 4: Prakarsa Baru Pemerintah Indonesia yang


Menekankan Keterlibatan Inspektorat Jenderal
Fokus pada penguatan kapasitas pengawasan Itjen: BPKP
melaksanakan Instruksi Presiden no. 4/2011 untuk menjamin
bahwa Itjen memainkan peran signifikan dalam tata kelola dan
pengawasan, dan memiliki kemampuan untuk menjadi auditor
yang efektif. Untuk ini, BPKP memulai berbagai prakarsa untuk
mendorong Itjen agar meningkatkan keterampilan, kapasitas, dan
kemampuan mereka dengan tolok-ukur IA-CM (lihat hal. 219).
Fokus pada tata kelola yang baik dan langkah-langkah anti korupsi
pencegahan dan akuntabilitas: Pemerintah Indonesia semakin
menekankan upayanya pada tata kelola yang baik, akuntabilitas, dan
anti korupsi. Fokus ini menekankan dan mengantisipasi dukungan
kuat dari Itjen dalam melaksanakan tanggung jawab pengawasan
untuk mencapai tujuan Pemerintah Indonesia. Kementeriankementerian sekarang juga diwajibkan untuk menjamin bahwa
mereka akan fokus pada manajemen risiko dan pengendalian
internal.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagai lembaga Pemerintah
Indonesia terdepan melawan korupsi, menyimpulkan bahwa upaya
pencegahan menduduki peran penting dalam meminimalkan
korupsi dan hal itu mengalihkan cara pendekatan yang dilakukan
KPS dari sekedar fokus pada penuntutan tindak pidana korupsi.
Sejalan dengan itu, KPK bekerja sama lebih erat dengan Itjen
melalui pendekatan dua sisi: (a) meneruskan tanggung jawab
kepada Itjen untuk mengambil sikap yang lebih pro-aktif dan agresif

tentang Pilar lainnya, upaya Pilar 3 akan mencakup kerja sama


dengan Itjen dan manajemen KemenPU untuk meningkatkan
lingkungan anti korupsi. Staf akan menumbuhkan kepekaan
terhadap kode etik mereka, penerapan kode etik tersebut,
dan akuntabilitas publik ketika korupsi terungkap. Pilar 3
mencakup dukungan kepada manajemen agar meningkatkan
dan mewujudkan pernyataan Menteri untuk menciptakan
Zona Bebas Korupsi dengan melaksanakan program untuk
Pengendalian Praktik Korupsi.
Upaya lintas sektoral diperlukan untuk menyatukan tiga pilar
tersebut dan menjamin keberhasilan kegiatan komprehensif
ini. Hal terpenting dalam upaya lintas ini meliputi peningkatan
kapasitas, pengendalian mutu, fokus lebih luas terhadap
Peraturan Pemerintah no. 60/2008 tentang Sistem Pengendalian
Internal Pemerintah, dan dukungan dalam melaksanakan
Pengelolaan Perubahan (lihat Melaksanakan Pendekatan
Reformasi dan Pengelolaan Perubahan Institusional, hal.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

di bidang-bidang yang rawan terhadap korupsi; dan (b) mewajibkan


masing-masing kementerian untuk memperkuat langkah-langkah
anti korupsi yang sudah ada.
Demikian pula, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah (LKPP) menetapkan bahwa penerapan Peraturan
Presiden (Perpres) no. 54/2010: Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
berikut perubahannya, Perpres no. 70/2012, dapat diperkuat
dengan mengadopsi standar dan praktik internasional dalam
proses pengadaan barang dan jasa dan probity auditing yang lebih
baik. KPK, LKPP dan BPKP selaku mitra IndII, secara bersama akan
meminta Itjen agar lebih sering melakukan audit pengadaan barang
dan jasa dan probity audit yang ditingkatkan dengan menggunakan
Materi Pedoman yang baru-baru ini diselesaikan pemutakhirannya
dengan pendanaan dari AusAID.
Peningkatan peran Itjen-Itjen dalam melaksanakan tata kelola dan
pengawasan yang baik: Jelas bahwa profil Itjen semakin membaik,
dan semakin diharapkan perannya berkenaan dengan tata kelola
dan pengawasan yang baik. Sebagai Ketua Forum Bersama Aparat
Pengawasan Internal Pemerintah (Forbes APIP), Inspektur Jenderal
Kementerian Pekerjaan Umum memikul tanggung jawab untuk
mendukung Prakarsa Pemerintah Indonesia agar memperkuat
kapasitas semua Itjen, dan tampil sebagai mitra konstruktif dalam
prakarsa anti korupsi Pemerintah Indonesia.

211). Peningkatan kapasitas menyangkut kombinasi pelatihan


langsung, pendampingan dan bimbingan yang didukung
dengan lokakarya, kunjungan studi, dan kehadiran dalam
konferensi profesional (di dalam maupun di luar kementerian).
Selain materi yang berorientasi audit, materi potensial lainnya
dapat meliputi pengadaan barang/jasa, probity auditing, dan
anti korupsi.

Asal-mula Kegiatan

Pada awal 2009, Itjen mengusulkan sebuah Agenda Reformasi


(AR) untuk melengkapi Kementerian dengan layanan bernilai
tambah yang lebih baik dari segi dampak pada anggaran,
pembangunan infrastruktur, dan pengamanan kegiatan.
Pembahasan pada saat permintaan awal KemenPU telah
mengidentifikasi perlunya dukungan yang berkesinambungan
selama beberapa tahap, dikelompokkan berdasarkan
pencapaian/hasil yang harus dicapai yang telah teridentifikasi
sebelumnya.

Tata Kelola Pemerintahan dalam Infrastruktur

Dukungan IndII dimulai Juni 2009 sebagai bagian dari AR di


lingkungan KemenPU dan mencakup pemicu indikatif bagi
Pinjaman Kebijakan Pembangunan Infrastruktur (IDPL
Infrastructure Development Policy Loan) 4 dari Bank Dunia:
Adopsi Rencana Tindak untuk meningkatkan kapasitas
staf di Itjen dan memperkenalkan metodologi dan praktik
modern berbasis risiko guna memberi jaminan pada sistem
pengendalian internal KemenPU serta pemenuhannya. Pemicu
ini berhasil baik dengan bantuan IndII.
Dukungan IndII sebelumnya membantu Itjen meningkatkan
dan memperkuat kapasitas dan kemampuan teknis (jika
menggunakan tolok ukur praktik internasional terbaik dan
standar audit internal) dalam melaksanakan pekerjaan
audit internal (termasuk beberapa manajemen perubahan).
Meskipun landasan substansial sebagai fundamental audit
dengan menggunakan teknik Audit Internal Berbasis Risiko
(RBIA, Results Based Internal Auditing; lihat Boks 1) telah
diterapkan melalui dukungan IndII sebelumnya, namun masih
ada hambatan fundamental dalam struktur dan kegiatan
operasional Itjen yang perlu diatasi jika manfaat yang telah
dicapai ingin dipertahankan dan ditingkatkan. Sebab itu, sudah
saatnya mempertimbangkan peningkatan pada bidang penting
lainnya untuk menjamin keberlanjutan dari kemajuan yang
telah dicapai.
Pekerjaan IndII dilakukan dalam tiga tahap dari Juli 2009 hingga
Juni 2011. Keluaran dan hasilnya meliputi pengenalan konsep
analisis pengendalian internal, RBIA dan audit kinerja; seminar
dan pelatihan internal; penelaahan oleh rekan sejawat baik
internal maupun eksternal terhadap laporan/pelajaran yang
ditarik dari studi uji-coba; kunjungan studi ke Australia, Korea,
dan Filipina; serta dimulainya dan dilembagakannya Program
Kualifikasi Auditor Internal (QAIP, Qualified Internal Auditor
Program).
Kemajuan substansial telah dicapai, dan keberhasilan ini tampak
di antara banyak aktivitas dan pendekatan Itjen. Indikator
signifikan adalah perbaikan dalam opini audit yang dikeluarkan
BPK terhadap laporan keuangan tahunan KemenPU dari 2008
hingga 2010 yang naik dua tingkat. Hal ini mencerminkan
kemajuan signifikan dalam keandalan proses akuntansi dan
audit internal Itjen. IndII/AusAID memberi dorongan pencetus,
tidak hanya dari segi praktis tapi juga menjadikan Itjen peka
terhadap pentingnya secara positif peningkatan kegiatan
operasional. Itjen juga membangun momentumnya sendiri dan
merasa ikut memiliki reformasi tersebut.

Tentang Para Penulis:


Bhashkar Bhindie adalah seorang mitra di Lembaga Konsultansi
Internasional Bhindie dan Ketua Tim proyek IndII untuk
Pembaruan Tata Pemerintahan pada Audit Internal yang
memberikan bantuan dalam peningkatan kapasitas dan
efektivitas dalam operasi Inspektorat Jenderal itu di Kementerian
Pekerjaan Umum. Bhashkar adalah Akuntan Publik Bersertifikat
(di Amerika Serikat) dan mantan Chartered Accountant (di
Australia). Dalam karir selama lebih dari 35 tahun, ia telah
bekerja baik sebagai seorang akuntan profesional dan sebagai
konsultan independen dalam audit dan keuangan. Dia telah
bekerja di sekitar dua lusin negara, termasuk Asia Tenggara,
Pasifik, Australia, Kanada dan Amerika Serikat. Dia adalah
mantan mitra audit di PricewaterhouseCoopers (sebelumnya
Price Waterhouse). Dia mengkhususkan diri dalam audit
internal dan eksternal, penganggaran dan pelaporan keuangan,
restrukturisasi dan peningkatan kapasitas dalam lembaga
publik dan swasta. Ia telah terlibat dalam berbagai pekerjaan
di Indonesia sejak 2008, terutama pada proyek-proyek yang
didanai oleh AusAID.
Franky Setiawan adalah Konsultan Nasional Independen dalam
proyek IndII, Perbaikan Tata Kelola dalam Fungsi Audit Internal
di Inspektorat Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum, dengan
spesialisasi audit dan akuntansi. Keterlibatannya di dalam
proyek IndII dimulai sejak awal tahun 2010 terkait dengan
pengenalan metodologi audit berbasis resiko di Inspektoral
Jenderal Kementrian PU. Lulusan dari Universitas Indonesia dan
Universitas Gadjah Mada jurusan Akuntansi ini, menghabiskan
sebagian karirnya di dunia audit dan akuntansi. Ia pernah
tergabung dalam kantor akuntan publik yang berafiliasi dengan
BDO International sebagai manajer. Sebelumnya, ia juga terlibat
dalam pengembangkan profesi auditor, standar auditing dan
juga pengembangan akuntansi melalui Institut Akuntan Publik
Indonesia sebagai Chief Technical Officer dan Ikatan Akuntan
Indonesia Kompartemen Akuntan Publik sebagai Executive
Director. Ia juga terlibat dalam berbagai tim kerja pengembangan
ilmu audit dan akuntansi maupun penelitian seperti Panduan
Audit Perbankan Syariah, Pedoman Akuntansi Perbankan
Syariah, Pedoman Akuntansi Jaminan Sosial, Panduan Audit
Entitas Usaha Kecil dan masih banyak lagi.
Agam Fatchurrochman saat ini bertugas sebagai konsultan di
Itjen KemenPU dibawah proyek IndII untuk audit pengadaan
barang dan jasa. Sebelumnya ia bekerja pada proyek AusAID lain
di Aceh, LKPP dan BPKP di bidang reformasi pengadaan barang
dan jasa. Ia lulusan Akuntansi dari Universitas Gadjah Mada dan
Tata Kelola Perusahaan dari Nottingham University, Inggris. Ia
bekerja di bidang audit, tata kelola perusahaan, anti korupsi, dan
pengelolaan perubahan sejak bekerja pada proyek UNDP yang
meliputi dukungan terhadap pendirian Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), menjadi sekretaris kelompok kerja reformasi
Kepolisian Republik Indonesia (Polri), dan kelompok kerja
reformasi Kantor Kejaksaan Agung, sebelum bergabung dengan
perusahaan pertambangan swasta.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

209

POIN-POIN UTAMA
Manajemen Perubahan (CM, Change Management) sangat penting bagi kegiatan Reformasi
Pengelolaan dalam Fungsi Audit Internal di lingkungan Inspektorat Jenderal (Itjen)
Kementerian Pekerjaan Umum (Kementerian PU). Kegiatan ini membantu Itjen memperkuat
lembaga dan kapasitasnya, meningkatkan proses audit dan pengawasan serta mengurangi
korupsi. Beragam upaya sebelumnya telah membantu Kementerian PU dalam meningkatkan
kapasitasnya dengan menggunakan Audit Internal Berbasis Risiko, namun hambatan tetap
ada. Di bawah kepemimpinan Inspektur Jenderal, dengan dukungan dari Unit Manajemen
Perubahan (CMU, Change Management Unit), proses pengelolaan perubahan memungkinkan
Itjen mengadaptasi, mengatur, dan merangsang perubahan.
Sikap terhadap perubahan cukup kompleks, dan setiap orang bereaksi terhadap perubahan
secara berbeda. Perubahan dapat dilihat sebagai peluang untuk perkembangan atau juga
sebagai ancaman. Pengelolaan perubahan yang efektif menggunakan langkah-langkah
yang berurutan, komunikasi yang terus-menerus, dan pemantauan yang cermat dalam
memperkenalkan perubahan, menilai dampaknya, dan membuat penyesuaian yang diperlukan
selama kerangka waktu beberapa tahun.
Sebagai pembawa perubahan utama, Inspektur Jenderal memiliki visi akan seperti apa
organisasinya dalam lima tahun mendatang dan keyakinan bahwa pengalaman Kementerian
PU dapat menjadi contoh bagi operasional Itjen yang lain. Melibatkan manajemen atas dan
menengah Itjen merupakan prioritas utama di awal, agar staf Itjen merasa memiliki perubahan
yang berlangsung di organisasi mereka. Keberlanjutan akhirnya akan diperoleh melalui
kepemimpinan yang mengidentifikasi pendekatan yang tepat, menciptakan rasa mendesak,
menyasar dan mengukur manfaat, memantau kemajuan, serta mengkomunikasikan dengan
sering dan konsisten perubahan apa yang diperlukan dan mengapa diperlukan. Manfaatnya
akan mencakup lingkungan anti korupsi yang lebih baik; proses pengawasan Itjen yang ketat;
dan praktik pengadaan dan proses auditing dalam pengawasan pengadaan yang lebih baik.
Peningkatan kapasitas di lingkungan Itjen sangat penting untuk mewujudkan visi Inspektur
Jenderal terhadap perubahan yang berkelanjutan. Keberhasilan jangka pendek di bidang
ini, yang dibangun berdasarkan serangkaian sasaran yang dapat tercapai, terjangkau, dan
dirancang dengan baik, akan memotivasi dan memberi semangat kepada staf Itjen, sambil
menunjukkan pada organisasi bahwa proses perubahan dapat berlangsung dengan sukses.
Ini merupakan awal dari langkah kredibel dan tak kenal henti dalam mengkonsolidasikan
perolehan dan menghasilkan lebih banyak penyelesaian masalah dan perubahan.

Tata Kelola Pemerintahan dalam Infrastruktur

Melaksanakan Pendekatan
Reformasi dan Pengelolaan
Perubahan Institusional
Perubahan organisasional merupakan aspek mendasar dari reformasi
Inspektorat Jenderal di Kementerian Pekerjaan Umum. Pengelolaan
perubahan ini memerlukan kepekaan terhadap situasi yang mendesak,
kepemimpinan yang berkomitmen dengan visi dan strategi, serta
komunikasi yang jelas. Elemen-elemen ini akan mendukung
pemberdayaan staf dan menunjukkan keberhasilan secara singkat
yang akhirnya akan menghasilkan budaya organisasi yang baru.
Oleh Steve Harris

Manajemen Perubahan (CM, Change Management)


memainkan peranan penting dalam kegiatan Reformasi Tata
Kelola Pemerintahan dalam Fungsi Audit Internal yang saat ini
tengah berlangsung di Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian
Pekerjaan Umum (Kementerian PU). Kegiatan yang dijalankan
oleh Prakarsa Infrastruktur Indonesia (Indll) yang didanai
AusAID ini merupakan program Internal Audit Berbasis Risiko
(RBIA, Risk-Based Internal Audit) dengan tiga tujuan khusus.
Tujuan pertamanya adalah terus mendukung Kantor Itjen
di Kementerian PU dalam memperkuat lembaga tersebut
dan kapasitasnya, sehingga bisa mendapatkan peringkat
kinerja yang lebih tinggi dari Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP), yang merupakan lembaga audit
internal Pemerintah Indonesia. (Lihat Meningkatkan
Efektivitas Inspektorat Jenderal di Kementerian Pekerjaan
Umum pada hal. 217 buku ini untuk informasi lebih lanjut
mengenai menaikkan Itjen dari Tingkat 2 ke Tingkat 3 dengan
menggunakan Model Kemampuan Audit Internal). Tujuan
kedua adalah meningkatkan proses pengawasan dan audit
yang dapat meningkatkan tata kelola pemerintahan dan

akuntabilitas, dan tujuan ketiga adalah mengurangi tingkat


korupsi, terutama dengan cara menerapkan audit pengadaan
barang dan jasa yang lebih efektif.

Tantangan
Program yang didukung BPKP ini berawal dari upaya reformasi
yang dimulai pada tahun 2009, yang bertujuan menyediakan
pelayanan nilai tambah (value-added services) bagi Kementerian
PU yang lebih baik dari segi dampak anggaran, pengembangan
infrastruktur, dan pengamanan kegiatan. Sampai dengan awal
2012, dukungan Indll telah mendukung Itjen memperkuat
kapasitasnya dan membangun kemampuan teknisnya untuk
menjalankan pekerjaan audit internal, termasuk beberapa
Manajemen Perubahan. Meskipun dasar yang kokoh telah
dibentuk di lingkungan Kementerian PU untuk audit dasar
yang menggunakan teknik RBIA, sejumlah penghalang telah
diidentifikasi (seperti mekanisme dukungan dan struktur
pengelolaan yang tidak perlu) yang dapat menghambat hasil
investasi dalam pengembangan keterampilan dan kapasitas.
Tantangan-tantangan ini belum teratasi dalam struktur itjen
dan operasionalnya.
Prakarsa Compendium | Jilid 2

211

212

Melaksanakan Pendekatan Reformasi dan Pengelolaan Perubahan Institusional

Perbaikan akan memerlukan strategi perubahan yang


dipertimbangkan dengan baik, logis dalam menghadapi kondisi
struktural dan manusia dalam organisasi, dan sensitif terhadap
budaya Indonesia. Strategi ini harus mempersiapkan organisasi
menghadapi masa depan, menghargai masukan dari staf, dan
mengidentifikasi hal-hal yang menentang perubahan yang telah
direncanakan. Peran dan visi Inspektur Jenderal (Irjen)1 sangat
penting. Begitu pula kegiatan-kegiatan yang berkembang
pada Unit Manajemen Perubahan yang telah dibentuk untuk
memberikan kepemimpinan dan bimbingan kepada Itjen, baik
di tingkat kebijakan maupun tingkat operasional.

Apa itu Manajemen Perubahan?


Dalam bentuk yang paling sederhana, Manajemen Perubahan
merupakan proses mengembangkan pendekatan sistematis
terhadap perubahan, baik dari perspektif organisasi maupun,
secara signifikan, pada tingkat individu. Manajemen Perubahan
memiliki setidaknya tiga ciri berbeda: melakukan adaptasi,
mengendalikan, dan menyebabkan perubahan. Dalam sebuah
organisasi seperti Itjen, Manajemen Perubahan berarti
menampung ketiga aspek tersebut, dan mendefinisikan dan/
atau menyempurnakan dan menerapkan prosedur, proses, dan
teknologi yang dapat menangani dan mendukung perubahan
dalam lingkungan bisnisnya.
Agar berhasil, Manajemen Perubahan terutama harus
berurusan dengan aspek manusia terhadap perubahan
dengan tujuan utama memaksimalkan manfaat kolektif bagi
setiap individu yang terlibat dalam proses perubahan, sambil
meminimalisir risiko kegagalan. Proses itu sendiri bisa reaktif,
saat organisasi dan manajemen tingkat atas merespon
perubahan yang berasal dari lingkungan eksternal, atau bisa
juga proaktif, saat organisasi sendiri yang memulai perubahan
untuk menghasilkan visi yang diinginkan. Di sini, sumber dari
perubahan adalah internal, dan pendekatan yang diterapkan
terkait dengan beragam prosedur, proses dan teknologi baru,
serta mengatasi penolakan terhadap perubahan.

Mengubah Perilaku
Sikap terhadap perubahan cukup rumit, dan orang bereaksi
pada perubahan secara berbeda-beda. Sisi positifnya,
perubahan dapat dipandang sebagai peluang, peremajaan,
kemajuan, inovasi, dan pertumbuhan. Meski demikian, sama
sahnya, perubahan dapat dipandang sebagai ketidakstabilan,
pergolakan, tidak bisa diprediksi, ancaman, dan disorientasi.
Apakah seorang individu dalam sebuah organisasi memandang
perubahan melalui salah satu pandangan tersebut atau lainnya,
Prakarsa Compendium | Jilid 2

atau di tengah-tengah, tergantung dari keadaan psikologis,


tindakan manajemen, dan sifat perubahan tersebut secara
khusus.
Program perubahan yang efektif dengan sengaja dibuat
berurutan, dengan langkah awal (seperti penggunaan jalur
komunikasi) yang ditujukan untuk mengatasi kecemasan
awal, penyangkalan, kemarahan, serta kebencian, dan secara
perlahan berkembang menjadi program yang mendukung
kepatuhan, penerimaan, dan sosialisasi. Hal ini sangat penting.
Manajemen bertanggung jawab untuk memantau lingkungan
secara luas agar dapat mengidentifikasi adanya perlawanan
dan kemungkinan hambatan. Ini mencakup memperkirakan
dampak dari tindakan terhadap perilaku karyawan, proses
kerja sehari-hari, dan produktivitas.
Di atas segala-galanya, manajemen tingkat atas harus
tetap memperhatikan reaksi karyawan secara keseluruhan,
dan menciptakan strategi dan program perubahan yang
menyediakan kerangka kerja dukungan saat staf menjalani
proses penerimaan dan, idealnya, merasa memiliki perubahan
tersebut. Program tersebut kemudian harus diterapkan,
disebarkan ke seluruh organisasi, dipantau efektivitasnya, dan
disesuaikan apabila perlu. Perlu diingat juga bahwa reformasi
yang sedang berlangsung di lingkungan Itjen merupakan sebuah
proses, bukan sebuah peristiwa, serta akan berisi serangkaian
blok bangunan dalam kerangka waktu yang diperkirakan 5
sampai 10 tahun.2

Merencanakan Perubahan
Yang sangat penting dalam proses perubahan adalah peran
Inspektur Jenderal (Irjen), Dr. Ir. M. Basuki Hadimuljono, M.Sc.
(baca artikelnya di hal. 201) yang wewenang dan pengaruhnya
penting bagi reformasi. Ia paham bahwa perubahan harus
dilakukan untuk meningkatkan operasional dan memenuhi
kewajiban Pemerintah Indonesia. Ia menghargai sepenuhnya
langkah-langkah yang perlu diambil untuk menjamin
pembentukan dan konsolidasi unit auditor profesional
di lingkungan Itjen. Secara signifikan, sebagai pembawa
perubahan utama, Irjen memiliki visi di mana organisasinya
akan berada lima tahun mendatang dan mempercayai bahwa
pengalaman Kementerian PU dapat menjadi model yang baik
bagi operasional Itjen lainnya. Irjen tidak hanya memahami
tantangan mendatang dan menunjukkan rasa kepemilikan
terhadap proses reformasi, ia jelas ingin bekerjasama dengan
AusAID dan membangun tim yang dapat mewujudkan visinya.

Tata Kelola Pemerintahan dalam Infrastruktur

213

Unit Manajemen Perubahan, yang terdiri dari Kepala masingmasing Direktorat di Itjen, dapat memberikan dukungan
penting bagi kepemimpinannya. Unit itu sendiri sudah memiliki
cukup banyak staf dan dipimpin oleh Inspektur IV (Penataan
Ruang), W. Bintarto, dengan partisipasi dan dukungan dari tim
Indll.
Bagi semua pemangku kepentingan dalam kelompok
kepemimpinan ini, melibatkan manajemen tingkat atas dan
menengah di Itjen merupakan prioritas awal yang penting
sebagai para pemilik proses perubahan. Agar berhasil,
kelompok tersebut haruslah menginvestasikan seluruh upaya
dalam merealisasikan perubahan. Ini membutuhkan komitmen
pada visi Irjen, penekanan pada komunikasi vertikal dan
horizontal, penyusunan dan penerapan peta transformasi
(dan rencana tindak terkait), suatu proses sosialisasi yang
dilakukan dengan menunjukkan, bagaimana perubahan dapat
meningkatkan kinerja, dan berdasarkan komitmen terhadap
proses pemisahan transformasi yang dipertimbangkan dengan
baik di Itjen3. Ini akan memberi semangat kepada staf Itjen
untuk merasa memiliki perubahan yang berlangsung di
organisasinya.

Membuat Perubahan Melekat4


Proses Manajemen Perubahan harus mencakup memahami
dan mempertahankan manfaat-manfaat di luar lingkup
dan kerangka waktu program Indll. Empat hal wajib harus
dipertimbangkan sewaktu proses reformasi berjalan. Pertama,
pendekatan perubahan yang tepat harus diidentifikasi dan
diadopsi. Kedua, manfaat-manfaat proses Manajemen
Perubahan perlu ditargetkan, diukur, dan ditetapkan pada
tingkat organisasi, dan bukan terbatas pada proyek bahkan
tingkat program saja. Ketiga, seperti telah diamati sebelumnya,
dimensi komunikasi dalam mengelola perubahan harus diberi
penekanan secukupnya melalui pesan-pesan yang disampaikan
dengan baik, tepat waktu, sering, dan konsisten. Terakhir,
kesinambungan dapat dihasilkan melalui kepemimpinan dan
perhatian pada masing-masing dimensi di atas.

Pendekatan yang Tepat5


Terdapat serangkaian pemikiran mengenai pengelolaan
perubahan, dari yang bersifat petunjuk sampai inklusif,
dan perlu diambil keputusan krusial berdasarkan sejumlah
variabel seperti tingkat kepentingan, kompleksitas, dan
prediktabilitas. Sangat penting bagi Irjen untuk mengambil
langkah kritis menciptakan dan melakukan konsolidasi koalisi

Atas perkenaan Teguh Wiyono

pemandu6 kredibel yang terdiri dari anggota yang sejalan


dengan tim manajemen tingkat atas kesemuanya antusias
terhadap perubahan seperti yang dibayangkan oleh Irjen
dengan rencana untuk kelak memperluas keanggotaan ke
pembawa perubahan Manajemen Perubahan yang sama-sama
berkomitmen di antara manajemen tingkat menengah Itjen.
Menciptakan rasa mendesak akan perlunya perubahan
dan mengkonfrontasikan rasa puas diri di antara staf akan
memungkinkan Irjen dan timnya menciptakan semangat di
antara mereka untuk merangkul visi baru dan mengambil
langkah awal menuju reformasi. Organisasi ini perlu ikut
menginginkan perubahan yang digambarkan melalui proses
diskusi yang terbuka dan jujur mengenai posisi organisasi saat
ini, menerapkan dan mengembangkan visi Irjen untuk Itjen
(dengan melibatkan semua anggota staf dalam proses ini)
dan mengarahkan kesiapan organisasi untuk memulai proses
reformasi.
Peranan tim Indll sangat penting pada saat yang kritis ini. Tim
IndII menawarkan dukungan yang diperlukan untuk melakukan
proses kajian ketat yang dapat mengidentifikasi kelemahan
dalam struktur organisasi dan praktiknya7. Kajian ini akan
memberikan pemahaman yang baik mengenai operasi dan
kegiatan Itjen, penggerak nilai penting (melalui sebuah analisis
kesenjangan instruktif), dan apresiasi terhadap harapan para
pemangku kepentingan utama yang terlibat dalam proses
transformasi audit ini.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

214

Melaksanakan Pendekatan Reformasi dan Pengelolaan Perubahan Institusional

Rasa mendesak mulai meningkat di antara para pemimpin


Itjen bahwa, dalam keadaan saat ini, Itjen tidak dapat
memenuhi tanggung jawab yang diberikan Pemerintah
Indonesia selama waktu tertentu. Proses perubahan harus
memanfaatkan rasa mendesak ini, dengan dukungan tim
Indll dalam mengidentifikasi ancaman dan peluang yang akan
dihadapi, dan membantu kepemimpinan dalam mengerahkan
kampanye persuasi.8 Kampanye ini dapat ditujukan pada
staf dan pemangku kepentingan lainnya dalam meningkatkan
pemahaman mereka tentang kebutuhan akan perubahan.

Manfaat
Manfaat-manfaat dari proses Manajemen Perubahan perlu
disasar, diukur, dan ditetapkan pada tingkat organisasi. Manfaat
potensial ini sudah dikenal sebelum kegiatan reformasi dimulai.
Manfaat tersebut dapat menginspirasi kepemimpinan Itjen
dan juga stafnya, serta memberikan tolok ukur untuk penilaian
kemajuan.

Keberlanjutan
Kepemimpinan akan bisa berlanjut hanya jika dimensi-dimensi
di atas diperhatikan, dan juga faktor sukses yang mendasarinya.
Terlebih lagi, mengkomunikasikan visi dan strategi bagi
keberlanjutan merupakan inti dari Manajemen Perubahan yang
efektif. Koalisi pembimbing harus konsisten dengan janji, dan
menularkan visinya kepada orang-orang di Direktorat PU yang
lain dan Itjen lainnya. Hal ini akan menjadi langkah kuat menuju
pemberdayaan aksi berbasis luas di antara staf, dan akan
membantu menciptakan suasana organisasi yang lebih luas
dalam Pemerintah Indonesia yang mengakui dan menghargai
pengambilan risiko, pemikiran yang maju, dan inovasi. Proses
ini harus dikaitkan dengan pengakuan bahwa meskipun sulit,
memerlukan waktu, dan penuh masalah, hambatan potensial
yang mencegah perubahan dan menurunkan stabilitas visi
perubahan haruslah dinilai, diatasi, dan disingkirkan.10

Komunikasi

Pembangunan kapasitas di Itjen penting untuk keberlanjutan.


Latar belakang institusi yang sudah ada sebelumnya, serta
kapasitas lembaga dan manusia di Itjen akan terus berperan
penting dalam membentuk hasil usaha reformasi yang
dapat dicapai. Walaupun kajian fungsional, penyamaan
tugas, pemetaan jaminan kualitas, analisis kesenjangan,
dan langkah terkait akan mendasari tindakan awal dan yang
sedang berlangsung yang didukung tim Indll, jelas bahwa dari
kegiatan proyek yang dilakukan sejak tahun 2009, peningkatan
kapasitas membutuhkan perhatian mendesak bilamana visi
Irjen ingin diterapkan. Bagian inilah yang dapat memberikan
keberhasilan jangka pendek yang signifikan dalam proses
Manajemen Perubahan, dengan program kapasitas yang
dikembangkan berdasarkan serangkaian sasaran jangka
pendek yang dapat dicapai, dijangkau, dirancang dengan baik,
yang menguntungkan proses reformasi.

Penekanan khusus harus diberikan pada dimensi komunikasi


pengelolaan perubahan. Komunikasi, konsultasi, serta alih
keahlian dan pengetahuan, melalui beragam saluran9, akan
membangun keterlibatan di semua tingkatan. Sangat penting
untuk mengkomunikasikan alasan untuk melakukan reformasi,
dengan berfokus pada konteks lembaga, dan tujuan serta
kebutuhan diadakannya perubahan. Idealnya, upaya-upaya akan
menunjukkan manfaat, bukan sekedar memberitahukannya
kepada staf Itjen. Jalur ke depan harus digambarkan secara
konsisten dan efektif dengan cara yang dipahami oleh semua
staf. Mereka harus dibantu untuk memahami perubahan apa
yang terjadi dan mengapa perubahan diperlukan. Hal ini akan
sangat bermanfaat dalam meredakan kecemasan.

Pendekatan terhadap institusionalisasi11 akan memberikan


kesempatan untuk peningkatan kinerja yang terukur, dan
keberhasilan kecil sambil jalan. Keberhasilan ini akan
memberi motivasi dan semangat pada staf Itjen, sambil
menunjukkan kepada organisasi bahwa proses perubahan
dapat berjalan dengan sukses. Memberi pengakuan akan
kemenangan jangka pendek hanyalah awal dari apa yang
dibutuhkan untuk menerapkan perubahan dengan sukses
dalam jangka panjang. Proses peningkatan kinerja ini akan
menjadi inti dari langkah yang kredibel dan tak kenal henti
untuk mengkonsolidasikan perolehan dan mendatangkan
lebih banyak penyelesaian masalah dan perubahan.

Sasaran yang telah ditetapkan berfokus pada kantor Itjen


yang telah diperkuat, dengan kapasitas yang lebih tinggi untuk
meningkatkan tata kelola pemerintahan dan akuntabilitas,
serta mengurangi korupsi, terutama dengan menerapkan audit
pengadaan barang dan jasa yang lebih efektif. Hasil maupun
manfaat yang diharapkan akan mencakup lingkungan anti
korupsi yang lebih baik melalui penetapan Kode Etik yang
ketat dan bijaksana; sebuah proses pengawasan Itjen yang
ketat; dan praktik pengadaan dan proses pengawasan audit
pengadaan yang lebih baik. Sangat penting untuk mengawasi
dan mengevaluasi kemajuan menuju tercapainya manfaatmanfaat tersebut.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Tata Kelola Pemerintahan dalam Infrastruktur

Dalam upaya memantapkan perubahan dalam budaya


organisasi Itjen, keberhasilan jangka pendek ini harus diperkuat
untuk melanjutkan perubahan dalam setiap sistem, struktur,
dan kebijakan, baik yang dapat menjadi hambatan ataupun
sekedar tidak sejalan dengan visi Irjen untuk menghapuskan
cara-cara tradisional dalam bekerja. Yang penting di sini adalah
pengembangan kebijakan proses perekrutan dan promosi yang
sejalan dengan visi Irjen, dan jaminan bahwa orang-orang yang
dibawa ke dalam Itjen mampu menerapkan visi tersebut.

Nilai, Visi, dan Sasaran


Dalam mengembangkan dan menerapkan perubahan dan
menciptakan nilai masyarakat (public value), tiga elemen harus
disusun secara logis. Pertama, proses perubahan harus secara
substantif bernilai dalam pengertian bahwa reformasi di Itjen
menghasilkan manfaat bernilai tinggi dengan biaya rendah dari
segi dana dan otoritas. Kedua, proses tersebut harus dianggap
sah dan dapat berkelanjutan secara politis. Proses reformasi
dalam Itjen harus dapat terus menarik otoritas maupun
pendanaan dari Pemerintah Indonesia lingkungan politis
pemberi otoritas yang pada akhirnya merupakan tempatnya
bertanggung jawab. Terakhir, proses reformasi harus layak
secara operasional dan administratif, dalam arti kegiatan
yang diberi otorisasi dan bernilai dapat benar-benar dicapai
oleh Itjen dengan dukungan pihak lain yang dapat diajak
berkontribusi pada visi dan tujuan Irjen.

Tentang penulis:
Dr. Steve Harris telah bekerja sebagai konsultan internasional
selama 12 tahun setelah berkarir di bidang akademis dan
sebagai pegawai pemerintah. Ia memiliki gelar di bidang
Asian Studies dan telah menempuh pendidikan pasca sarjana
di bidang Hubungan Internasional dan Manajemen. Sebagai
seorang akademis dan pegawai negeri sipil, ia berkecimpung
dalam kegiatan politik, keamanan, dan pembangunan Asia
Pasifik, terutama yang berhubungan dengan Indonesia dan
Papua Nugini. Ia pernah bekerja dengan AusAID dan menjadi
konsultan untuk ADB, USAID, dan DFID, mengkhususkan
diri pada reformasi sektor publik. Ia pernah bekerja di
Malaysia, Papua Nugini, Indonesia, Pakistan, Nigeria, Irak,
dan Afghanistan. Ia telah memimpin sejumlah tim dalam
memulai, mendukung, dan mengevaluasi perubahan di dalam
pemerintah serta melakukan Reformasi Administrasi Publik
(PAR, Public Administration Reform). Secara khusus, ia pernah
terlibat dalam pembangunan kapasitas di bidang kebijakan
publik, pengembangan strategi, dan kepemimpinan dalam
manajemen, terutama tapi tidak terbatas pada daerah pasca
konflik. Pada tahun 2000-an, ia menghabiskan sebagian besar
waktunya di Afghanistan dan Irak, bekerja dengan pemerintah
Britania Raya dan Amerika Serikat di sektor kebijakan publik,
reformasi sektor publik, dan demokratisasi.

CATATAN
1. Itjen di Kementerian PU merupakan ketua dari Forbes APIP (lembaga informal dari semua Itjen di Indonesia). Oleh karenanya,
menjadi tanggung jawabnya sebagai ketua untuk mendukung prakarsa Pemerintah Indonesia untuk memperkuat kapasitas dari
semua Itjen dan dipandang sebagai mitra perkembangan dalam prakarsa anti korupsi Pemerintah Indonesia.
2. Kotter, J.P., Leading Change: Why Transformation Efforts Fails dalam On CM, Harvard Business Review Press, Boston,
Massachusetts, 2011, hal.3.
3. Ibid, hal. 1516.
4. Ibid, hal. 15.
5. Ada serangkaian teori mengenai cara melakukan perubahan. J.P. Kotter memperkenalkan proses perubahan delapan langkah di
dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1996, Leading Change; yang merupakan model yang berpusat pada masalah. Kedelapan
tingkatan (ditunjukkan dalam teks berwarna hijau di atas) memberikan kerangka yang diuraikan dalam artikel ini yaitu: (1)
menciptakan rasa mendesak; (2) mengembangkan koalisi pemandu; (3) membangun visi dan strategi; (4) mengkomunikasikan visi;
(5) memberdayakan aksi/tindakan berbasis luas; (6) menghasilkan keberhasilan jangka pendek; (7) mengkonsolidasi perolehan dan
menghasilkan lebih banyak perubahan; dan (8) menetapkan pendekatan baru ke dalam budaya organisasi.
6. Kotter, op.cit., p.7
7. Kegiatan kunci mencakup melakukan kajian dokumentasi, termasuk laporan dari konsultan Indll, mencari semua data yang tersedia,
menyelenggarakan beragam diskusi dengan staf Itjen dan pemangku kebijakan yang lain, dan mengimplementasikan kuesioner dan survei.
8. Garvin, David A. dan Michael A. Roberto, Change Through Persuasion dalam On CM, op. cit., hal. 1733.
9. Hal ini dapat mencakup berbagai percakapan empat mata atau kelompok kecil, penulisan, pelatihan, lokakarya interaktif atau forum,
kelompok fokus, video, papan buletin, dan Internet.
10. Kotter, op.cit., hal. 1113.
11. Ini akan menekankan pelatihan praktis, bimbingan dan pelatihan, didukung oleh beragam lokakarya relevan dan, bila perlu, beragam
kunjungan studi, dan kehadiran dalam konferensi profesional.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

215

POIN-POIN UTAMA
Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan kemampuan audit internal di sektor
publik. Dengan dukungan dari Prakarsa Infrastuktur Indonesia (IndII) yang didanai oleh AusAID,
Pemerintah Indonesia menggunakan Internal Audit Capability Model for the Public Sector
(IA-CM, Model Kemampuan Audit Internal untuk Sektor Publik) untuk mereformasi kegiatan
audit internal di Kementerian Pekerjaan Umum. IA-CM adalah kerangka kerja, ditujukan
untuk penggunaan secara global, yang mengidentifikasi dasar-dasar yang dibutuhkan untuk
pelaksanaan audit internal yang efektif di pemerintahan dan sektor publik secara lebih luas.
IA-CM terdiri atas lima tingkat kemampuan progresif, yang dibagi menjadi unsur-unsur yang
spesifik yang kemudian dikaitkan dengan Wilayah Proses Utama (KPA) yang menjadi fokus dari
upaya-upaya perbaikan. Pada tahun 2010 Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP, lembaga audit internal Pemerintah Indonesia) menggunakan IA-CM untuk melakukan
survei kajian kelebihan dan kelemahan seluruh Inspektorat Jenderal Pemerintah Indonesia
(Itjen). Itjen di Kementerian PU ada di Tingkat 2.
Sebagai langkah pertama dalam membangun landasan bagi Itjen Kementerian PU untuk naik
ke peringkat IA-CM yang lebih tinggi, konsultan IndII melakukan kajian independen terhadap
Itjen pada tahun 2012 menggunakan kerangka kerja IA-CM, menindaklanjuti latihan BPKP
pada tahun 2010. Kajian tahun 2012 secara prinsip berfokus pada KPA di Tingkat 2. Beberapa
KPA di Tingkat 3 yang dapat dilembagakan bersamaan dengan Tingkat 2 juga diidentifikasi.
Hasilnya adalah Rencana Tindak IA-CM Berdasarkan Penilaian IA-CM Awal yang terperinci,
yang mengidentifikasi KPA yang perlu ditingkatkan dan keluaran yang diharapkan untuk bisa
mencapai KPA. Rencana Tindak ini juga mengidentifikasi risiko terkait dengan tidak adanya
tindakan; kegiatan utama untuk menerapkan KPA; dan faktor lingkungan dan organisasi yang
bisa memfasilitasi atau menghalangi penerapan KPA.
IA-CM tidak dimaksudkan untuk bersifat memberikan petunjuk dalam hal pelaksanaan
suatu proses, melainkan lebih pada hal-hal yang perlu dilakukan. Kementerian PU adalah
Kementerian besar yang terdesentralisasi dengan kegiatan-kegiatan di berbagai lokasi di
seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pelaksanaan audit internal menjadi lebih rumit daripada
Kementerian lain pada umumnya dan tidak terbatas pada persoalan keuangan, tapi juga
membutuhkan keterampilan dan kapasitas teknis audit.
Latihan IA-CM bersama Kantor Itjen Kementerian PU dimaksudkan untuk membantu
Inspektorat mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk pelaksanaan audit internal
yang efektif yang sesuai baik untuk Kementerian PU sendiri maupun lingkungan peraturan
eksternal yang ada di dalam Pemerintah Indonesia. Hal ini juga akan membantu para pemangku
kepentingan dan pembuat keputusan memahami pentingnya peran dan nilai tambah yang
dimiliki Itjen dalam tata kelola pemerintahan dan akuntabilitas sektor publik.

Tata Kelola Pemerintahan dalam Infrastruktur

Meningkatkan Efektivitas
Inspektorat Jenderal
di Kementerian Pekerjaan Umum
Model Kemampuan Audit Internal dengan pendekatan building
block untuk mewujudkan pelaksanaan audit internal yang efektif.
Oleh Elizabeth MacRae

Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan


kemampuan audit internal di sektor publik. Dengan
dukungan dari Prakarsa Infrastuktur Indonesia (IndII) yang
didanai AusAID, Pemerintah Indonesia melangkah dengan
strategi yang dirancang untuk menilai tingkat kinerja di
Kementerian Pekerjaan Umum (PU) saat ini dan mengikuti
roadmap menuju peningkatan berkelanjutan. Artikel ini
memberikan pandangan terperinci mengenai jalannya
proses tersebut.

Latar Belakang
Pada tahun 2009, IIARF (Institute of Internal Auditors
Research Foundation) menerbitkan Internal Audit Capability
Model (IA-CM) for the Public Sector1 (Model Kemampuan
Audit Internal untuk Sektor Publik). IA-CM adalah kerangka
kerja yang mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan dasar
untuk audit internal (AI) yang efektif di pemerintah dan
sektor publik yang lebih luas. IA-CM dimaksudkan untuk
digunakan secara global sebagai dasar penerapan dan
pelembagaan audit internal yang efektif di sektor publik

dan sebagai roadmap untuk perbaikan yang dilaksanakan


secara tertib untuk memperkuat kemampuan dalam audit
internal.
Struktur yang mendasari IA-CM adalah Model Kematangan
Kemampuan (Capability Maturity Model)2 yang berdasarkan
prinsip pengelolaan kualitas. IA-CM sebagian didasarkan
pada adaptasi Software Capability Maturity Model milik
Software Engineering Institute dan Laporan Teknis yang
lebih baru, CMMI for Development, Versi 1.2.3
Setelah mengenali nilai IA-CM, Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP, lembaga audit internal
Pemerintah Indonesia) pada tahun 2010 menggunakan IACM untuk melaksanakan survei kajian atas kekuatan dan
kelemahan seluruh Inspektorat Jenderal (Itjen) Pemerintah
Indonesia. Ini merupakan satu dari beberapa prakarsa yang
telah dan tengah dilakukan oleh BPKP untuk mendorong
para Itjen untuk meningkatkan keterampilan, kapasitas,
dan kemampuan mereka. Ini merupakan tindak-lanjut

Prakarsa Compendium | Jilid 2

217

218

Meningkatkan Efektivitas Inspektorat Jenderal di Kementerian Pekerjaan Umum

Menerapkan proses yang berulang dan berkelanjutan di


satu tingkat memberikan landasan untuk berkembang ke
tingkat berikutnya. Ini merupakan pendekatan building
block untuk mewujudkan audit internal yang efektif.

dari Instruksi Presiden no. 4/2011, untuk mendukung


dan menjamin bahwa Itjen berperan memajukan secara
signifikan dalam tata kelola pemerintahan dan pengawasan.
Itjen di Kementerian PU saat ini bekerjasama dengan IndII
untuk meningkatkan kapasitas dan efektivitasnya. Tiga
tujuan dari kegiatan Reformasi Tata Kelola Pemerintahan
dalam Fungsi Audit Internal IndII dengan Kementerian PU
adalah: (1) untuk memberikan dukungan berkelanjutan
kepada Kantor Itjen guna memperkuat lembaga dan
kapasitasnya, sehingga mencapai peringkat kinerja
BPKP yang lebih tinggi; (2) untuk meningkatkan proses
pengawasan dan pelaksanaan audit guna meningkatkan
perannya dalam tata kelola pemerintahan dan akuntabilitas;
dan (3) untuk mengurangi korupsi, khususnya dengan
menerapkan audit pengadaan yang lebih efektif.

Pada tahun 2010, BPKP menilai peringkat kinerja Itjen


Kementerian PU berada di Tingkat 2 Infrastruktur IACM.
IA-CM juga mengidentifikasi enam unsur penting untuk
kegiatan AI: (1) Layanan dan Peran Audit Internal, (2)
Pengelolaan Sumber Daya Manusia, (3) Praktik-Praktik
Profesional, (4) Pengelolaan Kinerja dan Akuntabilitas, (5)
Hubungan dan Budaya Organisasi, dan (6) Struktur Tata
Kelola Pemerintahan.
Wilayah Proses Utama (KPA, Key Process Area) yang
terkait dengan masing-masing dari keenam unsur
telah teridentifikasi untuk tingkatan kemampuan. KPA
merupakan pilar bangunan utama yang menentukan
tingkat kemampuan yang dicapai oleh kegiatan AI. Setiap
KPA menggambarkan kelompok kegiatan yang berkaitan,
yang ketika dilaksanakan secara serempak akan mencapai
tujuan dan menghasilkan keluaran secara langsung dan
hasil dengan jangka lebih panjang.

Tingkatan IA-CM
IA-CM terdiri atas lima tingkat kemampuan progresif
(lihat Gambar 1). Setiap tingkat kemampuan menjelaskan
karakteristik dan kemampuan kegiatan AI pada tingkat
tersebut. Tingkatan IA-CM menggambarkan tahap-tahap
yang dilalui sehingga kegiatan AI dapat berkembang
mulai dari mendefinisikan, menerapkan, mengukur,
mengendalikan, dan meningkatkan proses dan praktiknya.

Gambar 1: Tingkat IA-CM

TINGKAT 5
Pengoptimalan

Pembelajaran AI dari dalam dan luar organisasi untuk peningkatan


yang berkesinambungan

AI memadukan informasi dari seluruh bagian organisasi untuk


meningkatkan tata kelola pemerintahan dan pengelolaan risiko

TINGKAT 3
Telah terintegrasi

Pengelolaan AI dan praktik profesional telah


diterapkan secara seragam

Praktik dan prosedur AI yang berkelanjutan


dan dapat berulang

Tidak ada kemampuan yang


berkelanjutan dan berulang
tergantung pada upaya individual

Prakarsa Compendium | Jilid 2

TINGKAT 4
Telah dikelola

TINGKAT 2
Infrastruktur

TINGKAT 1
Awal

Tata Kelola Pemerintahan dalam Infrastruktur

Gambar 2: Matriks Satu Halaman IA-CM


Layanan dan Peran
AI

Tingkat
Pengoptimalan

Tingkat 4
Telah dikelola

AI Diakui sebagai
Agen Perubahan
Utama

Jaminan Keseluruhan
atas Tata Kelola
Pemerintahan,
Pengelolaan dan
Pengendalian Risiko

Pengelolaan Sumber
Daya Manusia
Keterlibatan
Pimpinan dengan
Badan Profesional
Proyeksi Tenaga Kerja
AI Berkontribusi
pada Pengembangan
Manajemen
Kegiatan AI
Mendukung BadanBadan Profesional

Praktik-Praktik
Profesional
Perbaikan Praktik
Profesional yang
Berkelanjutan
Perencanaan
Strategis AI

Strategi Audit
Meningkatkan
Pengelolaan Risiko
Organisasi

Pengelolaan Kinerja
dan Akuntabilitas

Hubungan dan
Budaya Organisasi

Struktur Tata Kelola


Pemerintahan

Pelaporan Publik
Efektivitas AI

Hubungan yang
Efektif dan Berlanjut

Kemandirian,
Kekuasaan, dan
Wewenang Kegiatan
AI

Integrasi Pengukuran
Kinerja Kualitatif dan
Kuantitatif

CAE Memberi
Konsultasi dan
Mempengaruhi
Manajemen Tingkat
Atas

Perencanaan Tenaga
Kerja

Tingkat 3
Telah terintegrasi

Tingkat 2
Infrastruktur

Tingkat 1
Awal

Layanan Penasihat
Audit Kinerja/Valuefor-Money

Audit Kepatuhan

Pembangunan Tim
dan Kompetensi
Staf Berkualifikasi
Profesional
Koordinasi Tenaga
Kerja

Pengembangan
Profesional bagi
Individu
Orang yang Terampil
Teridentifikasi dan
Direkrut

Kerangka Kerja
Pengelolaan Kualitas
Rencana Audit
Berbasis Risiko

Pengukuran Kinerja

Pengawasan
Independen Kegiatan
AI
CAE Memberi laporan
kepada Otoritas
Tingkat Atas

Informasi Biaya

Koordinasi dengan
Kelompok Pengkaji
Lainnya

Pengawasan
Manajemen terhadap
Kegiatan AI

Laporan Pengelolaan
AI

Komponen Terpadu
Tim Manajemen

Mekanisme
Pendanaan

Kerangka Kerja
Praktik dan Proses
Profesional

Anggaran Operasional
AI
Pengelolaan di dalam
Rencana Audit
Kegiatan AI
Berdasarkan Prioritas
Rencana Usaha AI
Manajemen/
Pemangku
Kepentingan

Akses Penuh
terhadap Informasi,
Aset, dan Orang
Dalam Organisasi
Hubungan Pelaporan
Dimulai

Ad hoc dan tak terstruktur; audit atau kajian tunggal terhadap dokumen, dan transaksi tersendiri untuk akurasi dan kepatuhan; keluaran
tergantung pada keterampilan individu tertentu yang memegang jabatan; tidak ada praktik-praktik profesional spesifik telah terwujud selain
yang disediakan oleh asosiasi profesi; pendanaan disetujui oleh manajemen, sesuai kebutuhan; ketidaktersediaan infrastruktur; auditor
kemungkinan merupakan bagian dari unit organisasi yang lebih besar; tidak ada kemampuan yang terwujud; maka, tidak ada KPA yang
spesifik.

CAE = Chief Audit Executive


2009, IIA Research Foundation Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Gambar 2 melukiskan IA-CM secara grafis sebagai matriks.


Poros vertikal mewakili tingkatan kemampuan dengan
kemampuan kegiatan AI meningkat dari bawah ke atas.
Unsur-unsur AI ditunjukkan pada poros horisontal.
KPA untuk masing-masing tingkat pada setiap unsur
diidentifikasi di dalam kotak yang bersangkutan. Terdapat
41 KPA di IA-CM.

Warna-warna pada matriks menggambarkan jangkauan


atau pengaruh yang dimiliki kegiatan AI terhadap masingmasing unsur, dengan wilayah hijau berarti lebih mudah
dicapai daripada wilayah kuning. Bergerak dari kiri ke kanan
matriks, kemampuan kegiatan AI untuk melembagakan
KPA secara independen menurun. Begitu pula, kegiatan AI
berpotensi turun kemampuannya dalam melembagakan

Prakarsa Compendium | Jilid 2

219

220

Meningkatkan Efektivitas Inspektorat Jenderal di Kementerian Pekerjaan Umum

dalam menangani wilayah yang memerlukan peningkatan;


kegiatan utama yang harus diambil untuk menerapkan KPA;
dan faktor lingkungan dan organisasi yang bisa memfasilitasi
atau menghalangi penerapan KPA.

Gambar 3: Pelembagaan sebuah KPA


Komitmen untuk
Melaksanakan
Kegiatan

Kegiatan
Diverifikasi

Wilayah Proses
Utama (KPA)

Kegiatan Diukur

Kemampuan untuk
Melaksanakan
Kegiatan

Kegiatan
Dilaksanakan

KPA secara independen ketika tingkat kemampuan bergerak


ke atas dari Tingkat 2 ke 5. Pergeseran ini timbul karena
organisasi dan lingkungan akan cenderung meningkatkan
pengaruhnya terhadap kemampuan kegiatan AI untuk
melembagakan KPA di tingkat kemampuan yang lebih tinggi.

Penilaian dan Penerapan


Sebagai langkah awal dalam mewujudkan landasan agar
Itjen Kementerian PU naik ke peringkat IA-CM yang lebih
tinggi, konsultan IndII melakukan penilaian independen
terhadap Itjen menggunakan kerangka kerja IA-CM. Mereka
menindaklanjuti latihan penilaian yang dilakukan oleh BPKP
pada tahun 2010. Kajian IA-CM 2012 terutama berfokus
pada KPA di Tingkat 2. Beberapa KPA di Tingkat 3 yang
dapat dilembagakan bersamaan dengan Tingkat 2 juga
diidentifikasi.
Kajian ini dilakukan melalui pengulasan dokumen dan
wawancara dengan manajemen dan staf Itjen, manajemen
Kementerian PU terpilih, dan pemangku kepentingan
terpilih, yaitu BPKP dan Bank Dunia. Di Itjen, wawancara
dilakukan dengan Inspektur Jenderal, Sekretaris Inspektur
Jenderal, para Inspektur, Bagian Evaluasi Hasil Pengawasan,
Bagian Layanan Umum, Bagian Perencanaan dan Program,
dan auditor senior dan junior terpilih.
Rencana Tindak IA-CM Berdasarkan Penilaian IA-CM
Awal terperinci yang telah disusun. Rencana Tindak ini
mengidentifikasi KPA yang perlu ditingkatkan dan keluaran
yang diharapkan untuk bisa mencapai KPA. Rencana Tindak
ini juga mengidentifikasi risiko terkait tidak adanya tindakan

Prakarsa Compendium | Jilid 2

IA-CM tidak dimaksudkan untuk bmemberikan petunjuk


dalam hal pelaksanaan suatu proses, melainkan pada
apa yang seharusnya dilakukan. Atas alasan ini, penting
bagi Itjen Kementerian PU untuk menentukan cara yang
paling cocok untuk menerapkan proses tertentu, dengan
mempertimbangkan kapasitas Inspektorat, kebutuhan
Kementerian, dan pengaruh lingkungan Pemerintah
Indonesia pada masa kini dan yang akan datang.
Dalam hal ini, Kementerian PU merupakan Kementerian
yang terdesentralisasi secara luas dengan kegiatankegiatan di berbagai lokasi di seluruh Indonesia. Hal ini
menimbulkan risiko yang signifikan terhadap kegiatankegiatan Kementerian. Oleh karena itu, pelaksanaan audit
internal menjadi lebih rumit dibandingkan Kementerian
lain pada umumnya dan tidak terbatas pada persoalan
keuangan, tetapi juga memerlukan keterampilan dan
kapasitas teknis audit. Sebagai contoh, untuk menjamin
bahwa Kementrian PU merekrut auditor yang paling tepat
dan pengembangan profesi dan pelatihan yang relevan
diberikan, kerangka kerja kompetensi audit internal harus
dikembangkan dengan mempertimbangkan lingkungan
Kementerian PU serta pengetahuan dan keterampilan
khusus (teknis dan perilaku) yang disyaratkan. Kerangka
kerja kompetensi menjadi pilar dalam pengembangan dan
penerapan uraian tugas (job description) auditor, kebijakan
perekrutan, rencana pengembangan pribadi dan pelatihan,
proses penilaian kinerja yang sistematis, dan sistem untuk
kemajuan karir. Masing-masing keluaran ini, di antara yang
telah teridentifikasi di Rencana Tindak IA-CM, dianggap
sebagai praktik pelembagaan yang harus diterapkan dan
berkelanjutan di Itjen untuk naik ke Tingkat 3.
Gambar 3, Pelembagaan KPA, mengidentifikasi lima fitur
umum yang perlu ada untuk melembagakan dan menjamin
keberlanjutan KPA.
Komitmen untuk melaksanakan adalah komitmen
untuk menerapkan KPA yang terkait dengan pencapaian
tingkat kemampuan tertentu.Ini bisa termasuk membuat

Tata Kelola Pemerintahan dalam Infrastruktur

221

kebijakan pernyataan kebijakan umumnya mengacu


pada membentuk, memelihara, dan mengikuti kebijakan
organisasi yang terdokumentasi untuk mendukung kegiatan
penting dari KPA tertentu. Hal ini menekankan pada
pentingnya komitmen organisasi. Termasuk di dalamnya
juga sokongan (sponsorship) melalui dukungan pejabat
senior. Jelas dukungan pejabat senior merupakan unsur
penting dalam mengembangkan kemampuan audit internal
yang kuat.
Kemampuan untuk melaksanakan berkaitan dengan
kemampuan melaksanakan kegiatan penting secara
kompeten. Hal ini dapat mencerminkan kebutuhan akan
sumber daya yang tepat (misalnya, sumber daya manusia,
dana, waktu, dan akses terhadap keterampilan khusus dan
alat yang tepat, termasuk alat berbasis teknologi). Hal ini
bisa juga merujuk pada perlunya memiliki rencana untuk
melaksanakan kegiatan, mendelegasikan tanggung jawab
untuk melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan, dan
memberikan program pelatihan dan pengembangan yang
memadai.
Kegiatan
kegiatan.

dilaksanakan

menggambarkan

penerapan

Praktik utama yang dijalankan untuk fitur-fitur umum dalam


pengukuran dan verifikasi biasanya sama untuk setiap
KPA. Misalnya, pengukuran mengacu pada pengukuran
dan analisis yang sedang berlangsung atas kegiatan dan
kemajuan dalam pencapaian tujuan KPA. Verifikasi meliputi
verifikasi berkelanjutan untuk menjamin bahwa kegiatan
telah dilakukan sesuai dengan kebijakan dan prosedur yang
telah dibentuk. Hal ini bisa mencakup kajian independen,
kajian manajemen, atau pengawasan oleh pejabat senior.
Adanya fitur-fitur umum tersebut menciptakan iklim yang
berkontribusi pada dan mendukung sebuah landasan untuk
mencapai tingkat kemampuan audit internal yang tepat
bagi organisasi.

Pertimbangan dan Prinsip


Penilaian profesional sangat penting ketika menggunakan
IA-CM. Saat melakukan penelitian untuk mengembangkan
IA-CM, didapati bahwa kegiatan AI yang kurang matang
dapat memberikan nilai pada diri sendiri di tingkat

Itjen di Kementerian PU sedang


bekerjasama dengan IndII untuk
meningkatkan kapasitas dan efektivitas.

Atas perkenan Annetly Ngabito

kemampuan yang lebih tinggi sebagian mungkin


dikarenakan para peserta yang tidak sepenuhnya menyadari
praktik professional dan apa yang diharapkan audit internal.
Pentingnya pengaruh lingkungan dan organisasi tidak boleh
terlalu ditekankan. IA-CM menyadari bahwa lingkungan
peraturan eksternal dan organisasi sektor publik dapat
berdampak pada kemampuan kegiatan audit internal.
Sebagai contoh, faktor-faktor organisasi seperti tata kelola
perusahaan, budaya, sistem kendali internal, kapasitas
sumber daya manusia, serta permintaan dan kebutuhan akan
kegiatan AI harus dipertimbangkan ketika menilai apakah
dan bagaimana KPA tertentu diterapkan. Faktor lingkungan
seperti keberadaan kerangka kerja hukum dan perundangundangan yang efektif, terbentuknya pengelolaan keuangan
dan proses pengendalian, dan komponen sumber daya
manusia yang kuat juga harus dipertimbangkan. Dalam
menggunakan IA-CM, penting untuk menentukan apa yang
masuk akal dan pertimbangan kewajaran bagi organisasi
dan lingkungannya.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

222

Meningkatkan Efektivitas Inspektorat Jenderal di Kementerian Pekerjaan Umum

IA-CM ditopang oleh panduan wajib (Definisi Audit Internal,


Kode Etik, dan Standar Internasional Praktik Profesional
Audit Internal [Standar] atau International Standards for the
Professional Practice of Internal Auditing) yang termasuk
dalam Kerangka Kerja Praktik Profesional Internasional
IIA. Kegiatan AI di kemampuan Tingkat 3 umumnya akan
sejalan dengan Standar. Sementara tingkatan kemampuan
di IA-CM memberikan roadmap untuk peningkatan yang
berkesinambungan, sebuah kegiatan AI dapat memilih
untuk tetap di Tingkat 3. Namun, penting untuk tidak
berpuas diri hanya di Tingkat 3. Kegiatan AI perlu menjamin
bahwa semua KPA, hingga dan termasuk yang ada di Tingkat
3, tetap diterapkan.
Selain itu, kegiatan AI boleh memilih untuk tetap tinggal di
tingkat mana pun. Tingkat tersebut mungkin tingkat yang
paling sesuai bagi kegiatan AI di organisasi dan lingkungan
yang bersangkutan pada waktu tersebut. Kegiatan AI
boleh memilih untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas
implementasi KPA di tingkat tertentu daripada harus
berjuang dan berkembang ke tingkat yang lebih tinggi.
Kesimpulannya, latihan IA-CM bersama Kantor Itjen
Kementerian PU dimaksudkan untuk membantu
Inspektorat membangun kemampuan yang diperlukan
untuk pelaksanaan audit internal yang efektif yang sesuai
baik untuk Kementerian PU sendiri maupun lingkungan
peraturan eksternal yang ada di dalam Pemerintah
Indonesia. Hal ini juga akan membantu para pemangku
kepentingan dan pengambil keputusan memahami
pentingnya peran dan nilai tambah yang dimiliki Itjen dalam
tata kelola pemerintahan dan akuntabilitas sektor publik.

Tentang Penulis:
Elizabeth (Libby) MacRae adalah kepala tim ahli dalam
penerapan Model Kemampuan Audit Internal (IA-CM) untuk
Kegiatan Indll: Reformasi Tata Kelola Pemerintahan dalam
Fungsi Audit Internal (Itjen-Kementerian PU). Ia adalah
penulis utama Internal Audit Capability Model (IA-CM) for
the Public Sector (Model Kemampuan Audit Internal untuk
Sektor Publik) yang dipublikasikan oleh Institute of Internal
Auditors Research Foundation (IIARF) tahun 2009. Ia pernah
menjadi kepala peneliti yang mengembangkan model untuk
kepentingan IIARF, bekerjasama dengan Bank Dunia.
Karirnya dengan Pemerintah Kanada telah berlangsung
selama 30 tahun. Ia menjabat sebagai Kepala Eksekutif Audit
(Chief Audit Executive) di tiga departemen pemerintahan
(House of Commons, Canadian International Development
Agency, dan Natural Resources Canada). Ia juga pernah
menjadi Peneliti Senior (Senior Research Associate) di CCAF
(sebelumnya dikenal sebagai Canadian Comprehensive
Auditing Foundation) saat ia bertanggung jawab untuk proyek
penelitian multi-fokus di bidang Akuntabilitas dan Audit.
Ia telah menjadi anggota The Institute of Internal Auditors
(IIA) selama lebih dari 20 tahun dan pernah memegang
jabatan sebagai Presiden IIA untuk Cabang Ottawa, anggota
Professional Issues Committee dari 1996 hingga 2004, dan
anggota International Internal Audit Standards Board dari
2004 hingga 2011. Ia saat ini menjadi anggota Komite Sektor
Publik IIA dan anggota Komite Penasihat Audit dari Entitas
PBB untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan
(UN Women).
Ibu MacRae memiliki gelar Sarjana Sosiologi dari Universitas
Carleton dan seorang profesional auditor pemerintahan
bersertifikat (Certified Government Auditing Professional).

CATATAN
1. Internal Audit Capability Model (IA-CM) for the Public Sector (Model Kemampuan Audit Internal untuk Sektor Publik). Institute of
Internal Auditors Research Foundation. September 2009.
2. Model Kematangan Kemampuan (CMM, Capability Maturity Model) (merek layanan terdaftar dari Universitas Carnegie Mellon)
adalah model pembangunan yang diciptakan setelah pengkajian data yang dikumpulkan dari organisasi-organisasi yang memiliki
kontrak dengan Departemen Pertahanan AS, yang mendanai penelitian tersebut. Model ini menjadi landasan bagi Carnegie Mellon
untuk menciptakan Software Engineering Institute. Istilah kematangan berkaitan dengan tingkat formalitas dan optimalisasi
proses, dari praktik ad hoc, ke langkah jelas secara formal, ke ukuran hasil yang terkelola, ke optimalisasi proses secara aktif.
(Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Capability_Maturity_Model)
3. CMMI adalah merek layanan terdaftar dari Universitas Carnegie Mellon.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Tata Kelola Pemerintahan dalam Infrastruktur

Dari Mengawasi Proyek Hingga


Mengelola Risiko: Penguatan
Praktik Audit di Kementerian
Pekerjaan Umum
Program bimbingan dan pelatihan meningkatkan kemampuan
staf di Inspektorat Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum untuk
menilai, mengelola, dan mengkomunikasikan risiko.
Oleh Arun Hemraj dan Franky Setiawan

Antara 2006 dan 2012 anggaran keseluruhan Pemerintah


Indonesia telah meningkat sedikit di atas dua kali lipat.
Khususnya dengan adanya peningkatan pendanaan ini,
Pemerintah dan para mitranya (termasuk kalangan donor)
telah mengakui pentingnya penguatan praktik pemeriksaan
audit oleh semua Inspektorat Jenderal (Itjen), yang
merupakan lembaga audit internal Pemerintah.

Pembangunan Infrastruktur (IDPL Infrastructure


Development Policy Loan) 4 dari Bank Dunia: Adopsi
Rencana Tindak untuk memperkuat kapasitas staf di
Inspektorat Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan
memperkenalkan metodologi dan praktik modern berbasis
risiko untuk memberikan jaminan pada sistem pengendalian
dan kepatuhan internal Kementerian tersebut.

Rencana Tindak yang dikembangkan untuk memenuhi


persyaratan ini mencakup beberapa hal, termasuk
penyusunan pendekatan audit berbasis risiko, penguatan
jaminan terhadap kualitas, peningkatan komunikasi dan
pelaporan hasil audit dengan berfokus pada kebutuhan
pengembangan profesional para staf, serta pemutakhiran
manual audit. Itjen sangat menyambut agenda reformasi
ini untuk membantu Kementerian mencapai hasil yang
lebih baik dalam hal kesepadanan manfaat secara ekonomi
yang diperoleh, kualitas pembangunan infrastruktur, dan
peningkatan perlindungan kegiatan.

Mengingat pentingnya KemenPU dalam proses alokasi


anggaran, Bank Dunia (WB) memusatkan perhatiannya
pada KemenPU dengan menyertakan ketentuan berikut
ini sebagai salah satu syarat pencairan Pinjaman Kebijakan

Selama kegiatan Tahap 1, Prakarsa Infrastruktur Indonesia


(IndII) yang didanai AusAID mendukung Itjen dalam upaya
mencapai sasaran ini melalui gabungan program lokakarya
dan pelatihan mengenai dasar-dasar audit, kursus terkait

Tata kelola pemerintahan yang baik di Kementerian


Pekerjaan Umum (KemenPU) belum pernah menjadi
sepenting sekarang. Pendanaan bagi proyek-proyek
infrastruktur yang melibatkan jalan raya dan jembatan,
sumber daya air minum, dan perumahan bertumbuh secara
pesat. Faktanya, anggaran KemenPU untuk 2012 adalah
yang tertinggi di antara semua kementerian dan menjadi
tiga kali lipat dalam enam tahun terakhir: dari Rp 20 triliun
(A$ 6 miliar) pada tahun 2006 menjadi Rp 7.5 triliun (A$
7.5 miliar) saat ini. Laju pertumbuhan ini diperkirakan akan
berlanjut di masa depan.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

223

224

Dari Mengawasi Proyek Hingga Mengelola Risiko: Penguatan Praktik Audit di Kementerian Pekerjaan Umum

Ketika dana dalam jumlah besar dialokasikan khusus untuk pembangunan infrastruktur,
pendekatan tata kelola pemerintahan terbaik adalah dengan berfokus pada
pencegahan korupsi dan pemborosan, dan bukan mengenalinya setelah terjadi.

Foto oleh Rahmad Gunawan

soft skills dalam people skills dan manajemen, serta dengan


memperkenalkan pendekatan Audit Internal Berbasis Risiko
(RBIA, Risk Based Internal Audit) yang modern.

mengenai konsekuensi apabila risiko tidak dikelola


dengan layak atau tidak dilakukan mitigasi, dan membuat
rekomendasi mengenai cara meningkatkan pengendalian.

RBIA memandang peran auditor internal jauh berbeda


dibandingkan dengan metode audit tradisional. RBIA
mengakui bahwa sumber daya audit terbatas, bahwa
kegiatan yang diaudit berbeda tingkat kepentingannya,
dan bahwa sumber daya audit internal yang langka
seyogianya diarahkan untuk mengelola jenis risiko yang
merupakan ancaman serius bagi kegiatan Kementerian.
RBIA berfokus pada pencegahan, dan bukan pada laporan
historis yang hanya menjelaskan kesalahan yang terjadi.
Dengan demikian para auditor beralih dari peran mereka
sebagai polisi menjadi pendukung manajemen dengan
tujuan menjadikan mereka pengelola risiko yang lebih
baik, yang bertekad meningkatkan kualitas, efektivitas,
serta efisiensi investasi di bidang infrastruktur. Para auditor
belajar mengidentifikasi bidang-bidang berisiko tinggi dan
memusatkan upaya mereka pada pemberantasan korupsi
dan pemborosan secara lebih efektif. Sebagai contoh, salah
satu hasil RBIA dapat berupa nasihat kepada manajemen

Meski prinsip-prinsip RBIA telah disosialisasikan di antara


staf Itjen, dukungan signifikan yang berkesinambungan
tetap diperlukan dalam penerapan praktis konsep RBIA di
lingkungan Inspektorat. Di antara staf Itjen saat ini tidak
terdapat cukup staf berpengalaman yang berorientasi pada
audit, yang dapat melatih dan membimbing yang lainnya.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Mendukung pengembangan staf tersebut merupakan


cara yang efektif dan berkelanjutan untuk menyumbang
pada pembangunan infrastruktur. Untuk mempercepat
peningkatan kemampuan keterampilan mengaudit, dalam
Tahap 2 IndII, kami bertindak sebagai pembimbing purna
waktu pada berbagai audit terpilih, dan bekerja bahumembahu dengan staf di lapangan. Upaya kami mencakup
gabungan perencanaan dan penyelenggaraan audit,
pelatihan, pembimbingan, dan pengajaran secara langsung,
didukung lokakarya dan pelatihan resmi yang relevan.

Tata Kelola Pemerintahan dalam Infrastruktur

Bimbingan staf meliputi segala aspek audit, mulai dari


awal hingga penyelesaian: perencanaan, identifikasi dan
evaluasi risiko, penilaian terhadap pendekatan manajemen
dalam melakukan mitigasi risiko melalui pengendalian,
audit terhadap program kerja, kertas kerja, pelaporan dan
penindaklanjutan rekomendasi. Dalam proses tersebut
kami akan membantu melakukan revisi terhadap manual
dan pedoman misalnya, dengan menyusunnya agar
mengurangi unsur preskriptif sehingga mendorong para
auditor untuk menggunakan penilaian profesional mereka
sendiri dan tidak semata-mata mencentang kotak dan
daftar centang.
Pelatihan di tempat kerja bagi para auditor mendorong
mereka untuk bertindak sebagai penasihat/konsultan bagi
manajemen. Hal ini akan menjauhkan mereka dari fokus
tradisional pada temuan-temuan yang kebanyakan bersifat
negatif. Selain memberi layanan dengan nilai tambah, aspek
bimbingan ini juga membantu meningkatkan komunikasi
dan pelaporan hasil audit.
Tujuan kami adalah agar upaya bimbingan dan pelatihan ini
akan menjadi landasan bagi KemenPU untuk dikembangkan
lebih lanjut. (Sebagai contoh, kajian garis dasar M&E yang
dilaksanakan April 2012 telah mengidentifikasi manfaat
penggabungan upaya pembimbingan dengan pelembagaan
pelatihan berskala besar, seperti program Pendidikan
Profesional Bersinambungan (CPE, Continuous Professional
Education) untuk meningkatkan keterampilan dasar audit
bagi staf di semua tingkat, termasuk manajemen senior,
dan mendorong pemutakhiran di bidang teknis secara
umum. CPE dimandatkan oleh Lembaga Auditor Internal
(IIA, Institute of Internal Auditors), badan penetap standar
bagi auditor internal, yang merekomendasikan jangka
waktu minimum 40 jam CPE bagi staf audit profesional
agar mengikuti perubahan terkini dalam profesi mereka.
CPE semacam itu biasanya merupakan gabungan beberapa
lokakarya yang diselenggarakan oleh organisasi pelatihan
dan profesional eksternal, termasuk IIA Indonesia, seminar
audit profesional, dan menjaga agar mereka tidak ketinggalan
informasi dengan membaca literatur profesional). Melalui
peningkatan tata kelola pemerintahan, KemenPU akan
mampu menjaga anggarannya yang senantiasa bertumbuh
agar dapat mencapai tujuan Pemerintah Indonesia dengan
lebih baik.

Tentang Para Penulis:


Arun Hemraj sangat berpengalaman dalam mengelola
fungsi keuangan dan audit, baik di sektor swasta maupun di
badan Pemerintah Persemakmuran. Ia mengawali karirnya di
PricewaterhouseCoopers (PwC) di beberapa kantor mereka
di Auckland, Sydney, dan Fiji di Divisi Audit dan Layanan
Korporat. Arun kemudian menduduki berbagai posisi
keuangan senior pada perusahaan-perusahaan multinasional
dan di badan Pemerintah Persemakmuran, termasuk di Export
Finance and Insurance Corporation, badan kredit ekspor resmi
Pemerintah Australia. Dalam perannya di berbagai perusahaan
dan badan pemerintah ini, tanggung jawab Arun mencakup
prakarsa merancang ulang proses, merumuskan strategi
audit internal, menerapkan kerangka kerja manajemen risiko,
serta mengembangkan ERP (Enterprise Resource Planning),
dan sistem kebendaharaan dan pengendalian internal. Arun
secara aktif terlibat dalam komite audit dan keuangan yang
bertanggung jawab atas pengawasan terhadap integritas dan
efisiensi dari proses audit, serta sistem pengendalian internal
dan pelaporan keuangan.
Arun lulus dengan gelar di bidang Perniagaan dari Auckland
University di Selandia Baru dan merupakan anggota Institute
of Chartered Accountants di Australia.
Franky Setiawan adalah Konsultan Nasional Independen
dalam proyek IndII, Perbaikan Tata Kelola dalam Fungsi
Audit Internal di Inspektorat Jenderal Kementerian
Pekerjaan Umum, dengan spesialisasi audit dan akuntansi.
Keterlibatannya di dalam proyek IndII dimulai sejak awal tahun
2010 terkait dengan pengenalan metodologi audit berbasis
resiko di Inspektoral Jenderal Kementrian PU. Lulusan dari
Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada jurusan
Akuntansi ini, menghabiskan sebagian karirnya di dunia audit
dan akuntansi. Ia pernah tergabung dalam kantor akuntan
publik yang berafiliasi dengan BDO International sebagai
manajer. Sebelumnya, ia juga terlibat dalam pengembangkan
profesi auditor, standar auditing dan juga pengembangan
akuntansi melalui Institut Akuntan Publik Indonesia sebagai
Chief Technical Officer dan Ikatan Akuntan Indonesia
Kompartemen Akuntan Publik sebagai Executive Director. Ia
juga terlibat dalam berbagai tim kerja pengembangan ilmu
audit dan akuntansi maupun penelitian seperti Panduan Audit
Perbankan Syariah, Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah,
Pedoman Akuntansi Jaminan Sosial, Panduan Audit Entitas
Usaha Kecil dan masih banyak lagi.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

225

POIN-POIN UTAMA
Auditor dan pejabat KPK mengindikasikan bahwa prosedur pengadaan barang/jasa
pemerintah sering menjadi inti dari kasus yang mereka hadapi. Liputan media dan persepsi
masyarakat memperkuat keyakinan ini. Perundang-undangan baru yang terkait dengan tata
kelola pemerintahan telah memacu Inspektorat Jenderal (Itjen) di berbagai kementerian
untuk mengadopsi pendekatan baru yang akan meningkatkan akuntabilitas dan menjadikan
proses pengadaan lebih efisien dan efektif.
Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) yang didanai oleh AusAID bekerjasama dengan Itjen di
Kementerian PU untuk melembagakan perubahan yang akan menghasilkan fungsi audit internal
yang lebih kuat dan profesional, sesuai dengan standar internasional, yang menawarkan
sistem pengadaan barang/jasa yang menghasilkan kesepadanan manfaat (value for money)
yang lebih baik dan meningkatkan lingkungan anti korupsi. Manfaat yang diharapkan antara
lain kinerja organisasi yang lebih baik dan membuat pasar Indonesia menjadi lebih menarik
bagi investasi baru.
Keberhasilan akan tercapai hanya jika baik pemerintah maupun kontraktornya memiliki tujuan
yang sama untuk bekerja dengan integritas dan memberikan sesuatu yang bernilai. Di dunia
yang tidak sempurna, kajian independen tidak sekadar menjamin bahwa pemenuhan semua
kewajiban sesuai kontrak, tetapi juga bahwa keseluruhan lingkungan bersifat transparan dan
obyektif. Pemasok dan pelaku pengadaan yang bertindak secara adil tidak perlu merasa takut
terhadap audit.
Praktik pengadaan dan audit yang baik, dengan tingkat komunikasi yang tepat antara pelaku
pengadaan dan tim audit pada tahap perencanaan, akan menjamin bahwa tenaga ahli
pengadaan dan auditor memahami tujuan masing-masing sejak awal. Peran audit internal
akan beralih dari pemeriksaan pelanggaran menjadi pencapaian keluaran dan ukuran kinerja.
Program IndII dirancang untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi baik pemasok maupun
pelaku pengadaan barang/jasa, melalui pelatihan, pembinaan, dan bimbingan. Idealnya, ini
akan mendukung Itjen dalam mencapai visinya akan infrastruktur pengadaan yang efisien dan
efektif, serta peningkatan citra pengadaan pemerintah di mata masyarakat dan media.

Tata Kelola Pemerintahan dalam Infrastruktur

Perihal Tata Kelola


Perusahaan
Kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah sering dianggap
sebagai sumber inefisiensi dan bahkan korupsi. Namun, tata
kelola perusahaan yang baik termasuk pelembagaan praktikpraktik terbaik, pengembangan kapasitas, dan menjamin bahwa
para auditor, tenaga ahli pengadaan, dan pemasok berupaya
untuk mencapai tujuan yang sama dapat mengarah kepada
pengembangan infrastruktur yang efisien, iklim investasi yang
lebih baik, dan pengembalian persepsi positif.
Oleh Robert Thompson

Berbicara secara informal, auditor dan pejabat Komisi


Pemberantasan Korupsi (KPK) memperkirakan bahwa sekitar
70 sampai 85 persen kasus yang mereka tangani terkait
dengan pengadaan barang/jasa.1 Masyarakat pun memiliki
persepsi yang sama. Ini bukan situasi yang berkelanjutan,
terutama apabila dikaitkan dengan fakta bahwa lebih
dari 50 persen keberatan kontraktor terhadap proses
tender pemerintah ditegakkan. Liputan media yang secara
terperinci mengisahkan praktik buruk dan pemborosan
telah menimbulkan skeptisisme yang tinggi bahwa
pengadaan barang/jasa untuk publik dapat memberikan
kesepadanan manfaat (value for money) terbaik. Namun
Indonesia sedang berusaha untuk membalikkan situasi
ini. Selama upaya tersebut dilakukan, Indonesia akan
menikmati banyak manfaatnya.
Perundang-undangan baru yang terkait dengan tata kelola
pemerintahan telah menaikkan tingkat akuntabilitas
Inspektorat Jenderal (Itjen) di berbagai Kementerian, dan
kecenderungan ini tampaknya akan terus berlanjut. Itjen
harus mengadopsi dan menerapkan pendekatan yang

berbeda secara fundamental pada kegiatan mereka agar


memenuhi persyaratan yang diperlukan dan mengubah
persepsi dan realitas pengadaan barang dan jasa. Penerapan
prinsip tata kelola perusahaan yang baik akan menjadi
langkah penting untuk mencapai perubahan tersebut.
Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) yang didanai oleh
AusAID telah bekerja sama dengan Itjen Kementerian
Pekerjaan Umum (Kementerian PU) selama dua tahun
terakhir. Mendorong perubahan dan peningkatan kinerja
telah dilakukan, namun belum sepenuhnya dilembagakan.
Upaya baru yang dilakukan oleh Kementerian PU dan
program reformasi Tata Kelola Audit Internal IndII (lihat
Reformasi Tata Kelola dalam Fungsi Audit Internal:
Tinjauan Umum di hal. 205) akan mendukung Kementerian
PU dalam mencapai tujuan tersebut dan mewariskan fungsi
Audit Internal yang lebih kuat dan lebih profesional, yang
sesuai dengan standar internasional, pengadaan yang
memberikan kesepadanan manfaat, dan lingkungan anti
korupsi yang lebih baik.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

227

228

Perihal Tata Kelola Perusahaan

Proyek ini melibatkan semua pihak terkait mulai dari


Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP),
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
(LKPP), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN), serta Bappenas
untuk menjamin bahwa semua pihak yang berperan
dalam penyediaan kesepadanan manfaat dilibatkan dalam
penyediaan solusi yang menyeluruh untuk masalah ini.
Peningkatan tata kelola perusahaan akan membawa banyak
manfaat. Hal ini akan menghasilkan kinerja organisasi
yang lebih baik dan menjadikan pasar Indonesia lebih
menarik bagi investasi baru. Pengenalan dan penerapan
yang konsisten atas metodologi dan praktik berbasis risiko
akan memberikan jaminan yang jelas bagi semua pihak
bahwa sistem kendali internal Kementerian PU benar-benar
menjamin bahwa kontraktor akan memberikan kinerja
terbaiknya dan pencapaian hasil dengan kesepadanan
manfaat yang terbaik.
Namun, setidaknya selalu ada dua pihak yang terlibat
dalam pengadaan apapun, pemerintah dan kontraktor.
Keberhasilan akan tercapai hanya jika keduanya memiliki
tujuan yang sama. Jadi, bukan hanya pemerintah yang
harus menerapkan tata kelola perusahaan yang baik, namun
pemasok dan kontraktor juga bertanggungjawab untuk
melindungi staf dan pelanggan/kliennya, memberikan
kesepadanan manfaat, dan berperilaku dengan integritas
dalam memenuhi kewajiban kontraktualnya.

Bukan Dunia yang Sempurna


Di dalam dunia yang ideal, yang menerapkan norma tata
kelola perusahaan, peran audit akan menjadi sederhana.
Semua tindakan akan transparan, keputusan akan adil dan
tidak memihak, orang secara alami bersikap jujur dan etis,
dan semua tindakan akan selalu sepenuhnya mempunyai
justifikasi.
Namun situasi demikian tidak ada di mana pun di dunia ini.
Oleh karena itu, kita harus memiliki kajian yang kuat dan
independen atas tindakan yang diambil oleh pemerintah
dan kontraktor untuk menjamin bahwa persyaratan dalam
setiap kontrak dapat terpenuhi. Secara lebih umum, kajian
tersebut ditujukan untuk mencapai lingkungan yang lebih
baik untuk semua warga negara dan pengguna layanan
pemerintah. Setiap kajian harus dapat menyimpulkan

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Pengadaan publik harus memberikan


kesepadanan manfaat (value for money)
terbaik.

Atas perkenan nSeika on flickr

bahwa, Ya, kontrak pengadaan jalan raya dikelola dengan


baik, atau Jembatan tidak sesuai standar, sehingga
kekurangan tersebut telah diperbaiki dan kompensasi yang
sesuai telah diterima.
Pemasok dan pelaku pengadaan barang/jasa harus
merasa yakin bahwa jika mereka bertindak adil terhadap
semua pemangku kepentingan, membuat keputusan yang
obyektif, dan bersikap transparan dalam praktik pemberian
kontrak, maka mereka akan sepenuhnya dapat memberikan
justifikasi atas tindakan mereka. Jika hal tersebut dapat
dilakukan, maka tidak ada yang perlu ditakutkan dari audit
atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa publik.
Praktik pengadaan barang/jasa dan audit yang baik, dengan
tingkat komunikasi yang tepat antara pelaku pengadaan
barang/jasa dan tim audit pada tahap perencanaan, akan
menjamin bahwa tenaga ahli pengadaan dan auditor
memahami tujuan masing-masing sejak awal. Bukti akan

Tata Kelola Pemerintahan dalam Infrastruktur

Setidaknya selalu ada dua pihak yang terlibat dalam


pengadaan barang/jasa apapun, pemerintah dan kontraktor.
Keberhasilan akan tercapai hanya jika keduanya memiliki
tujuan yang sama
semua proses dan prosedur, termasuk evaluasi, pemilihan
pemasok, serta kajian atas total biaya kepemilikan, akan
disajikan dengan cara yang jelas menunjukkan pencapaian
kesepadanan manfaat pada setiap pengadaan barang/jasa.
Pendekatan ini adalah pergeseran jauh dari praktik yang
digunakan auditor saat ini, yang berfokus pada pencarian
kesalahan dalam proses dan aspek teknis dari kegiatan
pengadaan barang/jasa. Sebaliknya, pendekatan ini
menekankan pada pencegahan, dengan memberikan lebih
banyak dukungan, fasilitas dan edukasi, tidak hanya terkait
dengan pengadaan namun juga pada seluruh aspek audit
dari Kementerian. Perubahan ini sangat mendasar dalam
menciptakan lingkungan bagi perkembangan tata kelola
perusahaan yang baik.
Indonesia akan terus mendapatkan manfaat dari dana donor
internasional substansial yang mendukung Pemerintah
Indonesia dalam memberikan arah menuju pertumbuhan
ekonomi bangsa Indonesia. Dengan melembagakan
dan secara konsisten menerapkan praktik terbaik dan
memenuhi kewajiban hukum, pemerintah dan para
pemasok serta kontraktornya dapat menunjukkan bahwa
mereka dapat memaksimalkan keuntungan atas investasi
yang ditanamkan, baik secara komersial, ekonomi, maupun
sosial. Mereka dapat menjamin bahwa pemasok secara
konsisten melaksanakan kewajiban secara tepat waktu,
sesuai anggaran dan yang paling penting sesuai dengan
standar kualitas yang tepat.
Apabila visi layanan pengadaan ini dapat terpenuhi,
peran audit internal tidak lagi terfokus pada pemeriksaan
pelanggaran, namun pada pencapaian keluaran dan ukuran
kinerja. Ini sejalan dengan peningkatan citra pengadaan
barang/jasa pemerintah.

Program IndII dirancang untuk meningkatkan kapasitas dan


kompetensi baik bagi pemasok maupun pelaku pengadaan
barang/jasa, melalui pelatihan, pembinaan, dan bimbingan.
Idealnya, ini akan mendukung Itjen dalam mencapai visinya
akan infrastruktur pengadaan yang efisien dan efektif.

Tentang Penulis:
Robert Thompson telah bekerja sebagai konsultan
ahli pengadaan barang/jasa dan memiliki pengalaman
internasional selama lebih dari 30 tahun dalam pengadaan
barang/jasa strategis dan operasional dengan keahlian
yang lebih mendalam di bidang Konstruksi, Migas, Utilitas,
Pengelolaan Limbah, Kesehatan, Logistik, Lingkungan, dan
Pendidikan. Ia telah bertugas di beberapa negara dalam
perancangan dan pelaksanaan program dan sistem reformasi
pengadaan sektor publik, dengan fokus pada kerangka hukum
dan kelembagaan dan penguatan kapasitas dan kompetensi
pengadaan barang/jasa nasional.
Robert telah bekerja di banyak negara, termasuk Afghanistan,
Indonesia, Papua Nugini, Azerbaijan, Kazakhstan, Cina, Brasil,
Sudan, Angola, serta beberapa negara Eropa, baik di sektor
publik maupun swasta, termasuk World Bank dan AusAID.
Robert memiliki gelar BA Hons. dalam bidang Administrasi
Bisnis dari Coventry University dan diploma dari Chartered
Institute of Purchasing and Supply.

CATATAN
1. Secara resmi, berdasarkan laporan tahunan KPK, angka untuk periode 20042011 adalah 41 persen. Namun, 35 persen kasus lainnya
yang telah dilakukan penuntutan adalah kasus suap, dan diyakini secara luas bahwa sebagian besar kasus tersebut juga terkait
dengan proses pengadaan barang/jasa.
Prakarsa Compendium | Jilid 2

229

POIN-POIN UTAMA
Korupsi bukanlah hal baru atau mudah ditangani dalam kegiatan pembangunan dan pemeliharaan
infrastruktur. Pendanaan dapat berasal dari alokasi anggaran pemerintah, bantuan pembangunan,
atau Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS), serta mekanisme lain yang melibatkan sektor publik
maupun swasta. Dengan demikian, adalah suatu tantangan untuk memahami di mana terdapatnya
titik-titik kebocoran. Kecuali bila titik-titik tersebut diidentifikasi sejak dini, tindakan korupsi
seringkali sulit dicegah.
Langkah-langkah yang dapat membantu menghentikan korupsi mencakup: mengidentifikasi asalusul pendanaan infrastruktur (sehingga pihak pengawas dapat benar-benar memahami dasar
pemikiran, tujuan, dan hasil yang ditetapkan); merumuskan sasaran yang tepat dan dapat diukur
untuk mencapai tujuan yang ditetapkan; memahami secara menyeluruh titik-titik pendanaan akan
dicairkan (seperti tanggal, tahap penyelesaian pekerjaan, atau pencapaian lainnya); melakukan
pengawasan dan peninjauan yang tepat terhadap proyek-proyek; dan mengakui besarnya biaya
yang diperlukan untuk pengawasan dan pengkajian yang efektif.
Berbagai masalah dapat timbul apabila pihak utama tidak tahu mengenai adanya subkontraktor
atau pihak ketiga yang juga terlibat dalam pelaksanaan proyek. Pemerintah mungkin mengontrak
kontraktor utama dan melimpahkan semua urusan logistik dan operasional kepada pihak tersebut,
termasuk menangani dan membayar subkontraktor. Penting sekali bahwa semua pihak dalam
proyek infrastruktur diidentifikasi sepenuhnya dan bahwa perangkat standar anti korupsi yang sama
menjadi bagian dari kontrak yang ditandatangani semua pihak, dengan penalti jika tidak dipatuhi.
Langkah-langkah tambahan untuk mengendalikan korupsi mencakup pelatihan dan peningkatan
kesadaran tentang apa yang diharapkan dan penalti atas ketidakpatuhan, berikut dukungan orangorang yang ingin melakukan segala sesuatu secara etis. Tidak ada gunanya menetapkan langkahlangkah hanya secara simbolis saja, karena orang akan mengamati apakah langkah-langkah yang
ditetapkan untuk memberantas korupsi diberlakukan secara sungguh-sungguh.
Selanjutnya, perlu disediakan aturan pelaporan yang terstruktur dan mudah dipahami yang tidak
menyita waktu lama, tetapi memberi bukti nyata mengenai apa yang dikerjakan.
Sosok teladan di pimpinan atas yang melambangkan budaya tiada korupsi merupakan kunci
keberhasilan program-program anti korupsi.
Sejumlah langkah telah ditempuh untuk memberantas korupsi di bidang pembangunan infrastruktur
Indonesia, meskipun perjalanan upaya-upaya ini masih jauh. Dari awal yang kecil, akan tumbuh
usaha yang besar. Upaya terus-menerus akan menghasilkan penurunan dalam korupsi dan
membuahkan segala manfaat yang menyertainya.

Tata Kelola Pemerintahan dalam Infrastruktur

Mengelola Tantangan
Korupsi dalam Tata Kelola
Infrastruktur
Untuk menghentikan tindakan korupsi, titik-titik kebocoran perlu
diidentifikasi sejak dini dan ketentuan mengenai pelaporan harus
jelas dan bermakna. Semua pihak perlu dilatih, didukung, dan secara
kontraktual diwajibkan untuk mencegah korupsi, dan pemberi
teladan di tingkat atas harus berada di barisan depan.
Oleh Elizabeth Goodbody

Korupsi bukan hal baru, dan juga tidak mudah diatasi dalam
kegiatan pembangunan infrastruktur dan pemeliharaan.
Sebagaimana negara-negara lain, Indonesia memiliki
tantangannya sendiri ketika menangani korupsi di bidang
ini. Artikel ini akan menyoroti korupsi di bidang infrastruktur
dari sejumlah perspektif:
Pendanaan proyek infrastruktur dan kebutuhan untuk
mengidentifikasi titik-titik kebocoran.
Mengelola beragam pihak yang terlibat dalam
pembangunan infrastruktur.
Bagaimana membina budaya perusahaan yang anti
korupsi.
Waktu yang diperlukan untuk bergerak menuju
lingkungan yang menganut toleransi nol (zero
tolerance) terhadap korupsi.

Titik-Titik Kebocoran
Salah satu dari sekian banyak tantangan yang dihadapi
organisasi maupun negara terkait dengan korupsi dalam

proyek infrastruktur adalah pemahaman tepatnya di


mana terdapat titik-titik kebocoran pendanaan yang
bersangkutan. Pendanaan dapat berasal dari tingkat
pemerintah dari alokasi anggaran atau melalui dana
bantuan khusus untuk mendukung pembangunan di
wilayah perkotaan atau perdesaan. Pendanaan juga dapat
berasal dari Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) serta
melalui mekanisme serupa yang melibatkan organisasi
sektor publik dan sektor swasta dalam penghimpunan dan
pembelanjaan dana.
Kecuali bentuk pendanaan dan jumlah pihak yang menjadi
sumber penyaluran dana diidentifikasi pada tahap yang
sangat awal, sering kali sudah terlambat untuk menyumbat
titik-titik kebocoran yang mengakibatkan praktik korupsi.
Idealnya, dapat ditempuh langkah-langkah untuk
mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat maupun titiktitik tempat kebocoran dapat terjadi. Langkah-langkah
tersebut meliputi:

Prakarsa Compendium | Jilid 2

231

232

Mengelola Tantangan Korupsi dalam Tata Kelola Infrastruktur

Di seluruh dunia, pembangunan infrastruktur dirugikan oleh ketakutan akan korupsi.


Kecurigaan akan adanya penyelewengan muncul dengan cepat setelah bangunan ini
roboh di Cork, Irlandia.

Mengidentifikasi asal-usul pendanaan infrastruktur.


(seperti alokasi pemerintah melalui proses anggaran, dana
bantuan, atau KPS). Hal ini memungkinkan pihak pengawas
untuk betul-betul memahami dasar pemikiran, tujuan, dan
hasil yang telah ditetapkan.
Merumuskan sasaran yang tepat dan dapat diukur
untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Perlu
ditetapkan insentif apabila pekerjaan diselesaikan lebih

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Atas perkenan Brian Clayton

awal, serta penalti atas hasil kerja berkualitas rendah


dan hilangnya peralatan/material. Kecuali para pelaku
yang dapat mengambil keuntungan dari perilaku korup
tersebut memiliki skin in the game (memiliki andil
signifikan dalam investasi), semua orang akan mendapat
manfaat apabila tujuan tercapai. Dalam praktik, ini berarti
lembaga pemerintah atau organisasi sektor swasta yang
gagal menempuh langkah-langkah efektif untuk mencegah
korupsi, akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh

Tata Kelola Pemerintahan dalam Infrastruktur

dana hibah di masa depan, dilarang mendapatkan proyekproyek di masa depan, atau harus membayar penalti besar
atas kerugian yang diderita.
Memahami secara menyeluruh titik-titik di mana
pendanaan akan dicairkan. Titik-titik tersebut dapat
berupa tanggal, tahap penyelesaian pekerjaan, atau
pencapaian lainnya. Ini berarti mengidentifikasi dan
mendapatkan bukti asli bahwa titik tersebut telah tercapai.
Kami telah melihat persyaratan yang hanya meminta fotofoto yang memperlihatkan pekerjaan yang sudah selesai
seperti jalan raya, sistem pembuangan air limbah, skema
dan drainase; foto-foto yang bisa saja diambil di manapun.
Demikian pula, persyaratan pelaporan interim dapat saja
hanya meminta informasi yang hampir tidak bermakna.

tidak tahu tentang adanya subkontraktor atau pihak ketiga


juga terlibat dalam pelaksanaan proyek. Dalam beberapa
kasus, pemerintah mungkin mengontrak kontraktor utama
dan melimpahkan semua urusan logistik dan operasional
kepada pihak tersebut, termasuk menangani dan membayar
subkontraktor.
Ada kalanya tidak ada seorang pun yang benar-benar
bertanggung jawab atas pihak-pihak tambahan yang terlibat
dalam kontrak, atau dapat menetapkan sepenuhnya sejauh
mana biaya-biaya dan klaim dapat dipertanggungjawabkan
(dengan kata lain, menjamin bahwa klaim-klaim mereka
tidak mencakup biaya lebih untuk menutup komisi
kepada orang dalam atau melakukan pembayaran korup
lainnya). Penting sekali bahwa semua pihak dalam proyek

Kami telah melihat persyaratan yang hanya meminta fotofoto yang memperlihatkan pekerjaan yang sudah selesai
seperti jalan raya, sistem pembuangan air limbah, skema dan
drainase; foto-foto yang bisa saja diambil di manapun
Kunjungan nyata ke lapangan oleh pihak yang benar-benar
independen, dengan pengambilan gambar secara langsung
dari orang yang sedang melakukan suatu pekerjaan, jauh
lebih bermakna.
Melakukan pengawasan dan pengkajian yang layak
terhadap proyek-proyek. Ini berarti, mengetahui titik-titik
yang relevan untuk diawasi dan melibatkan pihak-pihak
yang tepat dalam melakukan pengkajian.
Mengakui besarnya biaya untuk pemantauan dan
pengkajian yang efektif. Ini perlu diakui, bahkan sebelum
dana dialokasikan. Apabila tidak, langkah-langkah nyata
yang efektif mungkin tidak akan pernah diterapkan dan
titik-titik kebocoran tidak pernah dapat ditanggulangi
dengan baik.

Mengatur Beraneka Ragam Pihak


Proyek infrastruktur dapat melibatkan beraneka ragam
pihak, dan Indonesia bukan pengecualian. Seringkali,
masalah timbul ketika pihak utama, yakni kontraktor utama

infrastruktur dikenali sepenuhnya dan bahwa perangkat


standar anti korupsi yang sama menjadi bagian dari kontrak
yang ditandatangani oleh semua pihak, dengan penalti jika
tidak dipatuhi.

Langkah-langkah tambahan untuk mengendalikan korupsi


mencakup pelatihan dan peningkatan kesadaran
untuk menjamin bahwa semua pihak memahami apa
yang diharapkan dan apa penalti apabila tidak dipatuhi.
Harapan dan penalti ini harus dibuat jelas sejak awal,
berikut dukungan yang diberikan kepada mereka yang ingin
melakukan segala sesuatu secara etis.
Tidak ada gunanya menetapkan langkah-langkah secara
simbolis saja. Orang akan mengamati apakah langkahlangkah yang ditetapkan untuk memberantas korupsi
diberlakukan dengan serius. Sebagai contoh, jika seseorang
melaporkan tindak korupsi, harus jelas bahwa orang
tersebut mendapat dukungan sepenuhnya dari tingkat
pimpinan senior dan tidak terperangkap dalam situasi
tembak si pelapor.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

233

234

Mengelola Tantangan Korupsi dalam Tata Kelola Infrastruktur

Selanjutnya, perlu disediakan aturan pelaporan yang


terstruktur dan mudah dipahami. Aturan tersebut
sebaiknya tidak terlalu menyita waktu, tapi perlu
menyediakan bukti nyata mengenai apa yang telah
dikerjakan, serta standar penyelesaiannya.

Budaya Anti Korupsi


Kita sering mendengar mengenai pentingnya melakukan
pembersihan dari atas (tone from the top). Ini perlu
mendapat penekanan terus-menerus dalam konteks
menciptakan budaya perusahaan yang anti korupsi. Adanya
seorang teladan sebagai pimpinan, atau lebih baik lagi
beberapa pejabat senior yang tersebar di seluruh organisasi
yang menjadi teladan budaya bebas korupsi, merupakan
kunci keberhasilan program anti korupsi.
Sisi lainnya juga sama pentingnya. Apabila orang-orang
menyaksikan bahwa para pejabat senior melakukan
tindak korupsi, akan sulit bagi mereka untuk mencari
dukungan terhadap langkah-langkah anti korupsi. Dalam
pembangunan infrastruktur terdapat sedemikian banyaknya
titik kebocoran yang, kecuali ditanggulangi secara
menyeluruh, melintasi seluruh semua orang yang terlibat
dan semua kegiatan yang dilakukan, akan menuntut waktu
jauh lebih lama untuk mencapai lingkungan bebas korupsi,
dan biaya yang dikeluarkan pun lebih tinggi dan hasil proyek
yang sukses lebih sedikit.

Perubahan Memerlukan Waktu


Sepuluh tahun yang lalu di Indonesia, sudah disadari bahwa
jika diambil tindakan sejak Hari Pertama untuk mengenali
titik-titik kebocoran dan memperkuat langkah-langkah anti
korupsi, masih dapat diperlukan satu generasi penuh untuk
memberantas korupsi pada sistem. Dengan upaya yang kini
sedang dilakukan pun, perjalanan masih jauh. Titik-titik
kebocoran masih ada, meskipun banyak langkah-langkah
sudah ditempuh untuk menanggulanginya dan memperkuat
pengawasan dan pengendalian proyek.
Niat baik yang ditunjang oleh kerangka kerja yang cerdas
dan mekanisme pengendalian, dapat sangat membantu.
Komitmen dari pimpinan atas sangat penting agar mereka
yang berpikiran etis mengetahui bahwa mereka mendapat
dukungan penuh untuk mencapai lingkungan dengan
toleransi nol terhadap korupsi.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Dengan kata lain, masih banyak yang perlu dilakukan.


Dari awal yang kecil, tumbuh upaya yang besar. Masih
ada harapan, dan berkat komitmen banyak orang serta
langkah-langkah yang kini sedang ditempuh, di tahun-tahun
mendatang akan ada peningkatan riil dalam pengurangan
korupsi pada proyek infrastruktur di Indonesia. Dengan
bekerja bahu-membahu bersama organisasi-organisasi
lintas sektor publik dan swasta semakin banyak program
anti korupsi efektif, akan terjadi penurunan dalam korupsi
beserta segala manfaat upaya tersebut.

Tentang Penulis:
Elizabeth Goodbody adalah Direktur PricewaterhouseCoopers
(PwC). Bertempat tinggal di Sydney, ia sudah bekerja pada
PwC selama 30 tahun lebih. Saat ini ia bertanggung jawab
langsung untuk memberi dukungan di bidang anti pencucian
uang (AML, anti-money laundering) kepada klien di bidang
layanan keuangan dan sektor lainnya, termasuk menjadi
penjaga gawang berbagai sektor seperti perumahan,
Akuntan, Pengacara, pedagang logam mulia, dan lainlain. Sebelumnya, Elizabeth mendapat tugas khusus di
Indonesia selama hampir lima tahun untuk membentuk dan
menjalankan bagian Analisis dan Penyelidikan Sengketa di
kantor PwC Jakarta. Seorang ahli di bidang anti pencucian
uang, strategi pencegahan penggelapan dan anti korupsi,
penyelesaian sengketa, penyelidikan forensik, pelacakan arus
dana dan aset, kesaksian saksi ahli, kurator dan likuidasi, ia
berpengalaman kerja di Australia, AS, Kanada, Inggris Raya,
Filipina, Irlandia, Thailand, dan Indonesia.
Elizabeth bertanggung jawab atas banyak proyek
kepemimpinan pemikiran (thought leadership projects)
mengenai anti pencucian uang dan pengendalian
penggelapan, termasuk memfasilitasi komunikasi dan diskusi
terbuka antar, dan untuk, industri perbankan dan asuransi,
lembaga donor internasional, pemerintah, bank sentral, dan
lembaga keuangan non-bank lainnya di wilayah Asia Pasifik.
Ia sering menjadi pembicara untuk bidang AML, penggelapan,
pencegahan dan pendeteksian korupsi dan penyuapan asing
di berbagai sesi pelatihan, seminar, serta konferensi nasional
dan internasional.

Tata Kelola Pemerintahan dalam Infrastruktur dalam Angka

235

Tata Kelola Pemerintahan


dalam Infrastruktur
dalam angka
1

Peringkat Kementerian Pekerjaan Umum di antara semua kementerian


Republik Indonesia dalam hal pembelanjaan di tahun 2011.

40%

Proporsi proyek yang dilaksanakan di sektor konstruksi yang melampaui


anggaran aslinya.

60%

Proporsi proyek yang dilaksanakan di sektor konstruksi yang melampaui


tanggal penyelesaiannya.

70%

Proporsi proyek yang dilaksanakan di sektor konstruksi yang tidak memenuhi


standar mutu yang diharapkan.

Rp 26

Perkiraan biaya per tahun bagi Indonesia akibat rendahnya mutu konstruksi jalan.

262

Jumlah Inspektorat Jenderal (dari 281 yang disurvei) di kementerian Republik


Indonesia yang berada di tingkat terendah pada IA-CM, suatu kerangka
kerja yang mengidentifikasi proses penting untuk audit yang efektif dalam
pemerintahan (lihat hal. 218).

triliun

0
Sampai 10

Jumlah Inspektorat Jenderal yang menduduki tingkat lebih tinggi dari 2 pada
IA-CM, yang terdiri dari lima tingkat.

Perkiraan jumlah tahun yang diperlukan untuk meningkatkan semua


Inspektorat Jenderal yang sekarang berada di tingkat 1 menjadi tingkat 2.

236

Pandangan Para Ahli

Pandangan Para Ahli


Pertanyaan:
Apa yang bisa dilakukan Inspektorat Jenderal untuk bisa memainkan
peran yang lebih efektif dalam tata kelola dan akuntabilitas di
Kementerian?

Dr. Binsar H. Simanjuntak


Deputi Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang Perekonomian BPKP
(Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan)
Yang pertama, Inspektorat Jenderal (Itjen) perlu memahami peran mereka sebagai alat untuk mendukung pimpinan
mencapai sasaran. Itjen harus paham bahwa mereka memiliki peran yang strategis dalam pengambilan keputusan
serta melalui pemantauan dan evaluasi (M&E) yang berkualitas, bukan sekedar peran aksesoris. Kedua, mereka harus
mempersiapkan SDM yang berkualitas tinggi, kompeten, dan profesional untuk melaksanakan tugasnya. Staf harus
memahami substansi pekerjaan mereka dan dapat memberikan pendapat dan pandangan mengenai pelaksanaan
tugas yang sedang berjalan. Mereka juga harus menunjukkan sikap seorang auditor profesional yang bukan hanya
terlibat di tahap akhir pekerjaan tapi justru sejak tahap awal dukungan membangun strategi keseluruhan dan
mengikuti proses secara berkelanjutan untuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan. Mereka harus bisa
menjamin bahwa semua rencana berjalan dengan semestinya, termasuk memastikan pengadaan barang dan jasa
berlangsung secara transparan, akuntabel, efektif, dan efisien. Mereka harus mencegah penggelembungan atau
inkonsistensi spesifikasi, dan perlakuan preferensial bagi vendor tertentu.
Inspektur Jenderal (Irjen) harus terlibat, walau bukan sebagai bagian dari panitia tender melainkan sebagai
pengamat/pengawas/pemantau. BPKP akan mendorong hal ini terjadi. Kami mulai mengarahkan rekan kami di
Itjen agar mampu melakukan probity audit dan memberikan probity advise. Irjen juga harus bertindak profesional
dan independen, sehingga mampu bersikap bersahabat namun obyektif. Mereka harus dapat memberi masukanmasukan terkini, sehingga memungkinkan menteri untuk mengantisipasi adanya hal-hal yang memerlukan
peningkatan untuk mencapai tujuan. Dengan begitu Irjen berperan membangun sistem di masing-masing
kementerian.
Saat ini kami sedang mempersiapkan pembentukan asosiasi profesi auditor intra-pemerintah. Asosiasi ini
bertujuan untuk mengembangkan standar audit, kode etik, dan penelaahan sejawat (peer review), sebagai
bagian peningkatan profesionalisme, sehingga kami dapat menyepakati standar audit kami dan kode etik yang
melingkupinya, sehingga nantinya dapat mendukung auditor di Itjen melaksanakan tugasnya secara profesional.
Itjen harus memiliki semangat/antusiasme untuk memberikan rekomendasi terbaik dan harus satu langkah ke
depan dalam menghadapi masalah di masing-masing kementerian.

Jalan Daerah
Edisi 14, Juli 2013

Jaringan Jalan Daerah yang Rusak di Indonesia:


Tantangan dan Peluang
Kondisi Jalan Daerah
Tantangan Perencanaan dan Penganggaran Jalan di
Tingkat Daerah
Mereformasi Pelaksanaan Pemeliharaan Jalan Daerah
Pengantar Tentang PRIM: Program Peningkatan dan
Pengelolaan Jalan Provinsi
Ahli Lokal Tentang Jalan Daerah

POIN-POIN UTAMA
Jalan di tingkat provinsi dan kabupaten, yang merupakan 91 persen dari jaringan jalan utama,
dalam dekade terakhir ini semakin rusak karena tidak memadainya investasi dan implementasi
pekerjaan pemeliharaan yang buruk. Konsekuensinya adalah pengeluaran yang tidak efisien,
kerusakan yang cepat, dan biaya tinggi bagi para pengguna jalan. Hal ini menghambat
pertumbuhan ekonomi.
Pemeliharaan jalan cenderung tidak mendapatkan dana yang cukup, terlambat dirawat dan
pelaksanaannya buruk, yang secara cepat mengakibatkan kerusakan. Hal ini menempatkan
Pemda dalam lingkaran setan membangun-rusak-memperbaiki. Jalanan aspal sering kali mulai
rusak dalam waktu dua sampai tiga tahun, bukan 10 tahun atau lebih yang biasa terjadi apabila
jalan dikelola dengan lebih baik. Kurangnya investasi untuk pemeliharaan jalan membuat
rekonstruksi akhirnya menjadi tiga sampai lima kali lebih mahal, dan menciptakan biaya yang
lebih tinggi bagi pengguna jalan.
Ada beberapa penyebab mengapa pemeliharaan jalan daerah tidak dilakukan tepat waktu,
antara lain tidak cukupnya alokasi dana untuk jalan di tingkat lokal; cara yang tidak efisien dalam
pengalokasian pembelanjaan saat ini dan masalah implementasi. Pengaturan untuk pemeliharaan
jalan daerah saat ini dilakukan berdasarkan modalitas tradisional berbasis input melalui
penggunaan unit swakelola untuk pemeliharaan rutin, dan kontrak untuk pekerjaan perbaikan
di lokasi yang rusak dan pemeliharaan berkala. Manajemennya buruk, manajer dan para pekerja
swakelola tidak mendapat insentif yang memadai atas kinerjanya, pendanaan peralatan tidak
dialokasikan dengan efisien, tidak terdapat cukup supervisi dan proses kontrak pun terpecahpecah.
Sebelum desentralisasi, kriteria objektif diterapkan untuk mengidentifikasi dan memenuhi
kebutuhan perencanaan dan pelaksanaan pemeliharaan jalan. Tetapi sekarang instansi pembuat
jalan tidak diminta pertanggungjawaban atas kinerja mereka dalam pemeliharaan jaringan jalan
dan peran pemerintah pusat belum sepenuhnya dipikirkan secara matang. Masyarakat madani
berpotensi untuk memainkan peran penting dalam memberi pengawasan dan bimbingan.
Direktorat Jenderal Bina Marga dalam lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum mencantumkan
perbaikan fasilitasi dan dukungan untuk pengelolaan jalan daerah yang lebih efektif sebagai
salah satu dari lima tujuan untuk periode perencanaan 201014. Pengalaman internasional
menyarankan agar strategi yang berguna untuk memenuhi tujuan ini mencakup peralihan dari
swakelola dan penerapan pekerjaan kontrak, menggunakan cara kontrak berbasis kinerja (PBC).
Apabila dilaksanakan dengan baik, PBC menawarkan penghematan biaya, kepastian yang lebih
besar dalam perencanaan pengeluaran, berkurangnya kebutuhan akan tenaga kerja internal dan
kondisi yang membaik atas aset jalan. Yang kini perlu diperhatikan adalah penanganan hal-hal
yang rumit mengenai PBC, pemastian bahwa jalan memenuhi standar kualitas dasar minimum,
pelatihan kontraktor dan penyelia, penetapan dan pemantauan standar kinerja, dan penanganan
isu politis yang sulit dalam mengurangi tenaga kerja di sektor publik.

Jalan Daerah

Jaringan Jalan Daerah


yang Rusak di Indonesia:
Tantangan dan Peluang
Beberapa penyebab rusaknya jalan daerah di Indonesia antara
lain: keterlambatan dalam pemeliharaan, kurangnya dana, alokasi
pengeluaran yang tidak efisien, dan masalah-masalah yang terkait
dengan implementasi. Modalitas baru seperti kontrak berbasis
kinerja memberikan harapan bahwa kesulitan tersebut dapat diatasi.
Oleh David Ray

beberapa daerah, termasuk Nusa Tenggara Barat (NTB).


Di daerah tersebut Dinas Pekerjaan Umum setempat
menyatakan berminat bekerja sama dengan IndII dalam
merancang dan menerapkan pendekatan baru untuk
pemeliharaan jalan. Berdasarkan hasil dari studi ini, disertai
temuan dari program berbasis kinerja di luar negeri, IndII
saat ini mengembangkan program pemeliharaan jalan
provinsi berbasis kinerja (provincial roads maintenance
program, PRIM) untuk dijadikan percontohan di NTB, dan
jika berhasil, akan digulirkan ke wilayah Pemda lainnya.
(Lihat Pengantar tentang PRIM: Program Peningkatan dan
Pemeliharaan Jalan Provinsi pada halaman 267 buku ini).

Kondisi jalan di tingkat provinsi dan kabupaten, yang


merupakan 91 persen dari jaringan jalan utama, dalam
dekade terakhir ini telah memburuk secara signifikan.
Penyebabnya adalah gabungan antara tidak memadainya
dana untuk pemeliharaan dan implementasi yang buruk
dari pekerjaan pemeliharaan yang mendapat dana.
Konsekuensinya adalah value-for-money atas pengeluaran
untuk pemeliharaan jalan menjadi rendah (yakni tidak
efisien), cepatnya penurunan atas aset jalan, dan biaya
tinggi bagi para pengguna jalan. Semua konsekuensi
ini menghambat upaya Pemerintah Indonesia untuk
mempromosikan pembangunan yang lebih cepat,
berkelanjutan, dan inklusif, terutama di wilayah bukan
perkotaan.

Pemeliharaan yang Terbengkalai

Masalah-masalah yang mendasari keadaan ini telah


dipahami dengan baik, tetapi upaya yang dilakukan untuk
menanganinya selama 25 tahun terakhir ini sebagian besar
tidak efektif. Negara-negara lain menghadapi masalah
serupa, dan beberapa di antaranya saat ini menanganinya
dengan cukup berhasil, menggunakan pendekatan berbasis
kinerja. Selama Tahap I, Prakarsa Infrastruktur Indonesia
(IndII) yang didanai AusAID melakukan studi eksploratif di

Sejak desentralisasi, jaringan jalan provinsi semakin rusak.


Pada tahun 2010, hanya sekitar 59 persen jaringan jalan
di ting-kat provinsi berada dalam keadaan stabil (diberi
peringkat baik atau sedang)1 dibandingkan dengan
kira-kira 72 persen pada tahun 2004. Semakin rusaknya
jalan ini telah menghambat upaya untuk mengedepankan
pengembangan sosial dan ekonomi secara luas, karena
jalan daerah menyediakan bagi masyarakat hubungan yang
sangat penting deng-an layanan dan pekerjaan, akses ke

Prakarsa Compendium | Jilid 2

241

242

Jaringan Jalan Daerah yang Rusak di Indonesia: Tantangan dan Peluang

pasar dan sarana pengangkutan barang. (Lihat Gambar 3 di


halampengindasssssan 252 untuk illustrasi mengenai hal ini.)

Pemeliharaan jalan, terutama tugas rutin seperti


pembersihan saluran, pemotongan rumput, dan perbaikan
lubang jalan, cenderung kurang mendapat dana dan
implementasinya pun buruk. Kurangnya pemeliharaan
mengakibatkan penyusutan yang cepat pada aset jalan,
dan banyak Pemda kemudian terus-menerus terperangkap
dalam lingkaran setan membangun-rusak-memperbaiki.
Fokus pada yang terburuk diperbaiki lebih dulu ini,

Mengapa Pemeliharaan Mengalami


Keterlambatan
Ada berbagai penyebab mengapa pemeliharaan jalan
daerah di Indonesia tidak dilakukan pada waktunya. Hal
ini bukan masalah baru, dan telah cukup lama dipahami
dengan baik. Masalah ini pun bukanlah sesuatu yang hanya
terjadi di Indonesia.
Penyebab pertama terkait dengan alokasi dana yang tidak
memadai untuk jalan pada tingkat daerah. Untuk jalan
nasional, investasi per kilometer panjang jalan cenderung

Pada tahun 2010, hanya sekitar 59 persen jaringan jalan di


tingkat provinsi berada dalam keadaan stabil, dibandingkan
dengan sekitar 72 persen pada tahun 2004
tidak memperhatikan stabilitas jaringan yang lebih luas,
mengakibatkan value-for-money yang buruk bagi para
pembayar pajak, karena aset yang mahal dan penting lantas
dibiarkan terabaikan begitu saja.
Selain itu, analisis yang dilakukan IndII menunjukkan bahwa
investasi yang tidak memadai untuk pemeliharaan pada
akhirnya akan mengakibatkan rekonstruksi menjadi tiga
sampai lima kali lebih mahal. Pengeluaran untuk konstruksi
baru dan rehabilitasi seringkali jadi sia-sia, akibat kurangnya
pemeliharaan jalan yang efektif (selain pekerjaan konstruksi
awal yang buruk) telah mempersingkat umur ekonomis
jalan. Jalan aspal sering kali mulai rusak dalam waktu dua
sampai tiga tahun, bukan 10 tahun atau lebih seperti yang
biasa terjadi apabila jalan dikelola dengan lebih baik.
Bahkan bila pekerjaan pemeliharaan dilakukan pun, biasanya
terdapat keterlambatan. Tertundanya pemeliharaan jalan
mengakibatkan biaya yang meningkat bagi para pengguna
jalan dalam hal operasional kendaraan dan waktu tempuh
perjalanan yang lebih lama. Analisis yang dilakukan IndII
menunjukkan bahwa jika perbaikan tertunda dari dua
bulan hingga menjadi 12 bulan, biaya tambahan bagi para
pengguna jalan menjadi kurang lebih 10 kali lipat biaya
tambahan bagi Dinas Pekerjaan Umum dalam melakukan
perbaikan.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

jauh lebih tinggi daripada jalan sub-nasional. Di NTT dan


NTB, contohnya, pengeluaran per tahun per kilometer untuk
jaringan jalan nasional dalam batasan provinsi berjumlah
sekitar 10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah
yang dikeluarkan pemerintah provinsi untuk jaringan jalan
mereka sendiri. Tidak adanya pengeluaran untuk jalan
daerah mengakibatkan beralihnya lalu lintas dari jalan
daerah ke jalan nasional, sehingga memberi beban yang
lebih besar pada sistem jalan raya nasional.
Bahwa Pemda tidak berinvestasi secara cukup dalam
jaringan jalan daerah tercermin dari menumpuknya
tunggakan kerja yang harus dilakukan agar seluruh jaringan
jalan dapat mencapai tingkat stabilitas yang memadai.
Dalam studi yang dilakukan IndII sebelumnya terhadap jalan
daerah, ditemukan bahwa total dana yang diperlukan untuk
pemeliharaan yang penting dan menghilangkan tunggakan
kerja atas rekonstruksi besar-besaran adalah antara tiga
sampai lima kali tingkat pendanaan saat ini. Kebutuhannya
berbeda-beda, tergantung pada tipe dan lokasi instansi.
Kebutuhan instansi kabupaten diketahui lebih tinggi dan
kebutuhan di Indonesia bagian timur ternyata paling besar.
Penyebab kedua berkaitan dengan cara alokasi pengeluaran
biaya saat ini, yang tidak efisien. Sejak desentralisasi, Pemda
telah meningkatkan pengeluaran mereka untuk layanan,
tetapi hanya sedikit bukti yang menunjukkan bahwa

Jalan Daerah

Bila jalan dipelihara dengan baik, para pengguna jalan mendapat manfaat dari
berkurangnya biaya pemeliharaan kendaraan dan waktu tempuh perjalanan yang
lebih singkat.

peningkatan tersebut seimbang dengan kualitas layanan


yang diberikan. Biaya administrasi masih mendominasi
pengeluaran sub-nasional, dan pengaturan dana antar
pemerintah saat ini lebih mengarah pada pengeluaran biaya
yang berulang-ulang dibandingkan dengan pengeluaran
modal (yaitu gaji dibandingkan dengan investasi pada
infrastruktur).
Dalam sektor jalan Pemda, terdapat bukti bahwa sumber daya
tidak dialokasikan secara optimal antara konstruksi baru dan
perbaikan jalan dibandingkan dengan pemeliharaan berkala
(periodic maintenance), dan pemeliharaan rutin (routine
maintenance). Analisis yang dilakukan IndII menunjukkan
bahwa di provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah yang lebih
maju, komitmen pengeluaran untuk pemeliharaan sudah
mendekati aturan yang berlaku internasional. Namun,
di provinsi NTB, Sulawesi, dan tempat lainnya, komitmen
untuk pemeliharaan berkala maupun rutin ternyata jauh di

Atas perkenan John Lee

bawah tingkat yang diperlukan untuk memelihara jaringan


jalan secara memadai. Hal ini mengakibatkan penumpukan
tunggakan kerja yang setara dengan kira-kira 4050 persen
dari nilai aset. Dari semua provinsi yang diambil sampelnya,
rata-rata kebutuhan adalah sekitar 50 persen lebih tinggi
dari pengeluaran pemeliharaan berkala dan pemeliharaan
rutin. Harap dicatat bahwa sejumlah besar pendapatan
mengalir untuk simpanan dana provinsi dari para pengguna
jalan, dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak Bahan
Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), dan Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor (BBNKB). Tetapi hanya sedikit sekali
pendapatan dari para pengguna jalan yang mengalir
kembali untuk pemeliharaan jalan.
Penyebab ketiga dan yang menyebabkan dilalaikannya
pemeliharaan jalan melibatkan masalah implementasi.
Pengaturan penyediaan pekerjaan pemeliharaan jalan di
daerah saat ini didasarkan pada modalitas tradisional yang

Prakarsa Compendium | Jilid 2

243

244

Jaringan Jalan Daerah yang Rusak di Indonesia: Tantangan dan Peluang

Mengintegrasikan Pertimbangan Gender ke dalam Program Pengelolaan dan Peningkatan Jalan Provinsi
Semua kegiatan Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) mempertimbangkan kesetaraan gender dalam rancangan mereka, termasuk Program
Pengelolaan dan Peningkatan Jalan Provinsi (PRIM, Provincial Road Improvement and Maintenance Program). Analisis gender diintegrasikan
ke dalam PRIM untuk memberikan sarana yang diperlukan pelaksana program untuk menjamin bahwa PRIM menawarkan manfaat yang
setara bagi setiap orang, termasuk perempuan.
Analisis ini mempertimbangkan bagaimana perempuan dan laki-laki menggunakan jalan di wilayah setempat dengan cara yang sama atau
berbeda. Bagi kedua gender, kualitas jalan penting bagi mobilitas dan kegiatan komunitas, serta memiliki dampak yang signifikan terhadap
kehidupan keluarga. Ketika jalan yang rusak mengakibatkan terjadinya kecelakaan, maka hal ini akan berdampak pada kesejahteraan ekonomi
keluarga secara keseluruhan. Kualitas jalan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung, yang
mengakibatkan semakin sulit atau semakin mudahnya seseorang mengakses pekerjaan, pendidikan, dan pelayanan kesehatan.
Cara orang berinteraksi dengan jalan juga dapat berbeda berdasarkan gender. Contohnya, laki-laki dan anak laki-laki lebih sering menggunakan
jalan dibandingkan dengan perempuan atau anak perempuan, sehingga risiko laki-laki terlibat dalam kecelakaan menjadi lebih tinggi. Di sisi
lain, risiko kecelakaan meningkat bagi perempuan dan anak perempuan jika mereka kurang berpengalaman berkendara di jalan yang rusak.
Memahami persamaan dan perbedaan dalam cara orang menggunakan jalan merupakan dimensi yang penting dalam menganalisis dampak
dan manfaat PRIM, terutama dalam konteks lebih luas yang terkait dengan keselamatan, akses terhadap kesempatan, dan peningkatan
kesejahteraan.
Dari sudut pandang teknis, terdapat beberapa kesempatan untuk menyertakan pertimbangan gender dalam pelaksanaan program, seperti:
1. Kesempatan yang setara untuk mendapatkan pekerjaan: kesempatan kerja yang terkait dengan peningkatan dan pemeliharaan
jalan harus diberikan secara setara bagi kedua gender.
2. Representasi yang proporsional sebagai pemangku kepentingan: ketika berupaya mendapatkan masukan dari pemangku
kepentingan, PRIM harus mendorong perempuan untuk mengekspresikan pandangan mereka dan bertindak sebagai wakil resmi
masyarakat.
3. Representasi proporsional dari institusi yang berpartisipasi: berbagai institusi termasuk Pemda, polisi lalu lintas, dan IndII sendiri
terlibat dalam pelaksanaan PRIM. Perempuan yang bekerja dalam institusi-institusi tersebut harus secara proporsional terwakili
dalam menjalankan kegiatan PRIM.
4. Partisipasi yang proporsional dalam pengembangan kapasitas: kesempatan untuk berpartisipasi dalam pelatihan, lokakarya,
dan kegiatan pengembangan kapasitas lainnya harus diberikan kepada perempuan serta laki-laki. Ini merupakan kunci untuk
meningkatkan kualitas dari partisipasi perempuan, bukan hanya dari segi kuantitas.
5. Akses yang setara terhadap informasi: berbagi informasi dengan komunitas melalui semua fase PRIM. Hal ini penting, agar
masyarakat memahami manfaatnya dan dapat mengantisipasi kemungkinan adanya dampak negatif sejak dini. Informasi ini harus
disebarkan dengan menggunakan cara yang efektif dalam menjangkau perempuan maupun laki-laki.
PRIM masih berada dalam tahap awal, sehingga kesempatan untuk mengintegrasikan gender ke dalam kegiatan program masih terbuka luas.
Seiring dengan pelaksanaan program, PRIM akan berfokus tidak hanya dalam menjamin bahwa perempuan dapat berpartisipasi, tetapi juga dalam
mengukur bagaimana program ini memberikan manfaat bagi perempuan dan laki-laki dengan cara yang sama atau berbeda. Eko Setyo Utomo

berdasarkan masukan melalui penggunaan unit swakelola


untuk pemeliharaan rutin, sementara pekerjaan perbaikan
di lokasi yang rusak (spot improvement) dan pemeliharaan
berkala dilakukan oleh pihak ketiga (kontrak). Besarnya
porsi pekerjaan yang dilaksanakan dengan cara ini berbeda

Prakarsa Compendium | Jilid 2

dari tahun ke tahun, karena adanya perubahan dalam


jumlah dana yang tersedia, yang berasal dari berbagai
sumber, dan masing-masing perlu dipertanggungjawabkan
secara terpisah.

Jalan Daerah

Temuan utama dari penilaian IndII mengenai mekanisme


penyediaan pemeliharaan jalan daerah menggarisbawahi
sejumlah masalah implementasi, termasuk tidak adanya
insentif kinerja dan produktivitas untuk manajer swakelola
dan para pekerjanya. Masalah utama lainnya termasuk
pendanaan peralatan dan prosedur manajemen yang tidak
efisien, pemantauan pekerjaan dan kontrak oleh konsultan
penyelia yang tidak memadai, terpecah-pecahnya proses
kontrak (melibatkan sejumlah besar kontrak kecil dalam
jangka waktu yang terbatas), serta kapasitas dan ukuran
kontraktor yang terbatas. Masalah ini semakin bertambah
dengan tingkat motivasi yang rendah dan tingginya tingkat
penghindaran risiko di kalangan staf Bina Marga.
Penyebab keempat dan terakhir adalah pengaturan tata
kelola yang berlaku saat ini tidak membuat instansi
pembuat jalan bertanggung jawab atas kinerja mereka
dalam memelihara jaringan jalan yang dibangunnya. Hasil
cenderung dinilai dari apa yang tampak dan bukan dari
kestabilan dan kualitas keseluruhan (yang memerlukan
kegiatan pemeliharaan yang kurang terlihat, seperti
membersihkan saluran dan memotong rumput).
Pascadesentralisasi, perencanaan dan penganggaran jalan
daerah hanya memiliki segelintir kriteria objektif, tetapi
tekanan politik dan manipulasi yang ada sangatlah besar.
Instansi setempat bukan saja tidak memiliki kerangka kerja
yang mampu memberikan pengarahan, tetapi juga tidak
memiliki kemampuan untuk mengindentifikasi kebutuhan
pemeliharaan jalan, merencanakannya, dan membuat
program tentang pekerjaan apa saja yang perlu dilakukan.
Pemerintah pusat menyadari adanya masalah ini, tetapi
belum menentukan bagaimana memainkan peran yang
sesuai untuk memastikan terlaksananya penganggaran
dan perencanaan lokal yang efektif. Dengan tidak adanya
pengawasan dan panduan dari pusat, masyarakat madani
berpotensi untuk memainkan peran penting tersebut.
Namun, Pemda lambat dalam melibatkan pengguna jalan,
LSM, industri, kelompok masyarakat, akademisi, dan media,
walaupun perundang-undangan yang dikeluarkan barubaru ini mensyaratkan dibentuknya forum lalu lintas dan
angkutan jalan.

Upaya yang Tengah dan Telah Dilakukan


Sebelum adanya otonomi daerah, pemerintah pusat
menerapkan struktur dan disiplin yang tinggi pada

penganggaran dan perencanaan Pemda untuk jalan,


termasuk komitmen pada pemeliharaan jalan. Sebagai
bagian dari proses persetujuan anggaran tahunan mereka,
instansi setempat diharuskan mematuhi standar dan tata
cara yang ditetapkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum
dalam desain, pengumpulan/analisis data, dan perencanaan/
pembuatan program terkait dengan jalan kabupaten. Tata
cara dan standar ini, sebagaimana dijabarkan dalam surat
keputusan SK 77 yang sangat dikenal (diterbitkan oleh
Kementerian Dalam Negeri pada tahun 1993), dibuat untuk
memungkinkan staf setempat melakukan survei mereka
sendiri, menganalisa dan melakukan evaluasi proyek
sesuai dengan tata cara yang sistematis; untuk membantu
dalam persiapan program pekerjaan tahunan yang sesuai
standar secara tepat waktu; untuk memastikan bahwa
alokasi sumber daya antara beberapa kategori pekerjaan
jalan (mis. pembangunan, rehabilitasi, pemeliharaan)
ditentukan dengan cara yang rasional; untuk memastikan
bahwa pemilihan prioritias untuk pekerjaan yang besar
berdasarkan pada kriteria ekonomi yang sederhana tetapi
rasional; dan untuk mendokumentasikan dan membangun
basis data informasi mengenai jaringan jalan daerah untuk
memantau dan merencanakan hal-hal yang akan dilakukan
di waktu yang akan datang.
Tata Cara pada SK 77 memberikan pendekatan yang
komprehensif untuk mengawasi dan memperkuat tata
kelola jalan daerah. Selama proses pembuatan SK77,
dilakukan banyak kajian jejaring dan kajian di antara
sesama instansi serta diskusi mengenai penganggaran dan
perencanaan Pemda. Namun, dengan akan dilaksanakannya
otonomi daerah, jalan provinsi kini merupakan tanggung
jawab pemerintah provinsi sepenuhnya, dan peran serta
wewenang pemerintah pusat berkurang secara substansial.
Tata cara SK77 tidak lagi diikuti dan basis data pusat
mengenai jalan-jalan kabupaten yang dipelihara terbatas
jumlahnya dan tidak lengkap. Pemerintah pusat saat ini
bukan saja tidak memiliki informasi, tetapi juga tidak
memiliki wewenang untuk memastikan hasil pemeliharaan
jalan yang lebih baik di tingkat lokal.
Direktorat Jenderal Bina Marga dalam lingkungan
Kementerian Pekerjaan Umum bermaksud untuk
meningkatkan keterlibatannya pada jalan sub-nasional.
Renstra (Rencana Strategis) Direktorat Jenderal Bina Marga
yang ada saat ini mencantumkan perbaikan fasilitasi dan

Prakarsa Compendium | Jilid 2

245

246

Jaringan Jalan Daerah yang Rusak di Indonesia: Tantangan dan Peluang

dukungan untuk pengelolaan jalan daerah yang lebih efektif,


sebagai salah satu dari lima tujuan utama untuk periode
perencanaan 201014. Selain itu, dalam Renstra terdapat
rencana pengembangan unit Pengelola Dana Pemeliharaan
Jalan (PDPJ), dengan memberikan insentif keuangan bagi
Pemda untuk melaksanakan praktik pemeliharaan jalan
yang efektif dan berkelanjutan. Walaupun unit tersebut
dan pendanaannya belum ditetapkan, tercantumnya
rencana itu dalam Renstra, bersamaan dengan perundangundangan yang baru diterbitkan, mencerminkan komitmen
yang lebih tinggi dari Direktorat Jenderal Bina Marga dalam
menangani isu pemeliharaan jalan daerah.

Pembelajaran dari Pengalaman Internasional


Tren internasional belakangan ini dalam reformasi
manajemen jalan ditujukan pada dua perubahan
transformasi penting dalam layanan pemeliharaan jalan.
Yang pertama adalah untuk tidak lagi menggunakan
swakelola (atau setidaknya menuju pada diversifikasi) dan
memilih pekerjaan kontrak. Keuntungan menggunakan
kontraktor adalah: pekerjaan dibayar hanya bila spesifikasi
dipenuhi; biayanya diketahui, yang membuat penganggaran
dan perencanaan menjadi lebih mudah; risiko beralih dari
sektor publik ke sektor swasta; dan motif mendapatkan
keuntungan akan meningkatkan efisiensi dan mengurangi
dana yang terbuang percuma.
Perubahan kedua adalah peralihan menuju pengaturan
berbasis kinerja (atau hasil) dalam pemberian kontrak
untuk pemeliharaan dan pengelolaan jalan. Kontrak berbasis
kinerja dimaksudkan untuk memastikan bahwa kondisi
jalan memenuhi kebutuhan pengguna selama jangka waktu
beberapa tahun, dengan memperluas peran kontraktor dari
pelaksanaan pekerjaan sampai kepada pengelolaan dan
pemeliharaan aset jalan. Kontrak ini biasanya diberikan
kepada kontraktor yang berhasil memenangkan persaingan.
Kepada para kontraktor diberikan imbalan biaya tertentu
untuk per kilometer jalan yang dikelola. Dengan kata lain,
mereka tidak dibayar berdasarkan input (pekerjaan
fisik yang dilaksanakan), tetapi berdasarkan hasil final,
berupa pencapaian tingkat kualitas layananan yang telah
ditentukan sebelumnya, yang diukur berdasarkan tingkat
kehalusannya, kecepatan perjalanan, tidak adanya lubang,
tingkat endapan sistem drainase, dan sebagainya.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Pertama kali diterapkan di Kanada pada akhir 1980an, kontrak berbasis kinerja untuk jalan (Performance
Based Contracting, PBC) sekarang banyak diterapkan di
berbagai negara anggota Organisasi untuk Kerjasama dan
Pembangunan Perekonomian (Organisation for Economic
Co-operation and Development, OECD) lainnya. Di negaranegara berkembang, Amerika Selatan adalah pionir
dalam mengembangkan dan mengadopsi model PBC pada
pertengahan tahun 1990-an, dan sejak itu tren tersebut
menyebar ke Afrika dan Asia (contohnya, Chad, Afrika
Selatan, dan Filipina). Jika dilihat secara proporsional, hasil
yang dicapai sampai saat ini cukup menggembirakan. Hal ini
mencakup penghematan biaya untuk instansi pembuat jalan
sebesar 10 sampai 40 persen; kepastian yang lebih tinggi
dalam perencanaan pengeluaran; berkurangnya kebutuhan
akan tenaga kerja internal; dan peningkatan kondisi aset
jalan yang dikerjakan melalui kontrak, yang mengarah pada
meningkatnya kepuasan pengguna jalan. Instansi pembuat
jalan juga menikmati komitmen politik yang lebih kuat dan
lebih bertahan lama pada program pemeliharaan, karena
kewajiban pembayaran jangka panjang bersifat mengikat
secara hukum.
Meskipun demikian, tantangannya signifikan dan
pembelajaran penting dari berbagai pengalaman
internasional dapat diperoleh dari banyak literatur yang
tersedia. Pembelajaran ini mencakup antara lain:
Tingkat kerumitan PBC harus disesuaikan dengan tingkat
pengembangan sektor jalan di masing-masing negara.
Negara-negara berkembang dengan industri pemberian
kontrak dan kerangka kerja hukum/instansi yang masih
relatif lemah harus memulai dengan bentuk PBC yang lebih
sederhana, seperti pemeliharaan rutin untuk jangka waktu
satu tahun.
Agar PBC dapat berlangsung secara efektif, jalan harus
sekurang-kurangnya memenuhi standar kualitas dasar
minimum. Rehabilitasi dan pemeliharaan jalan melalui
PBC pada umumnya tidak sesuai untuk diterapkan pada
jalan dengan kondisi sangat buruk, karena tidak adanya
kepastian mengenai sifat dan seberapa jauh pekerjaan
perlu dilakukan agar jalan tersebut mencapai standar yang
dapat dipelihara. Terlebih lagi, perlu adanya keseimbangan
yang sesuai antara pekerjaan rehabilitasi dan pemeliharaan.
Semakin besar proporsi biaya rehabilitasi dibandingkan

Jalan Daerah

dengan biaya pemeliharaan, semakin besar kecenderungan


kontraktor untuk tidak memenuhi kontraknya setelah
rehabilitasi selesai.
Kontraktor dan supervisor yang mampu dan berkualifikasi
penting bagi keberhasilan PBC. Berbagai negara melaporkan
manfaat pelaksanaan pelatihan pelengkap dan program
pengembangan kapasitas untuk membantu kontraktor
berskala kecil dan kontraktor yang belum berpengalaman
dalam PBC, selain pelatihan untuk konsultan pengawas.
Pemantauan kinerja yang benar dan penerapan yang
ketat terhadap penalti atas ketidakpatuhan sangat
penting dilakukan. Tema yang berulang disebutkan dalam
literatur adalah, apabila instansi pembuat jalan tidak
memantau kinerja kontraktor dengan semestinya atau tidak
menerapkan penalti atas ketidakpatuhan, maka kinerja
kontraktor pun menurun.
Spesifikasi kinerja yang tepat perlu diidentifikasi dan
ditetapkan dengan jelas. Berbagai upaya diperlukan untuk
menetapkan kondisi sesungguhnya (dasar) dan yang
diinginkan dari aset jalan, agar dapat menetapkan indikator
kinerja yang dapat dicapai dan realistis bagi kontraktor,
serta memungkinkan dilakukannya pembayaran.
Instansi pembuat jalan perlu secara efektif membuat
strategi dan mengelola proses pengurangan karyawan
sektor publik, yang secara politis cukup menantang untuk
diterapkan. Transisi dari swakelola dan pemberian kontrak
tradisional ke PBC berarti berkurangnya kebutuhan staf
serta adanya perubahan lain dalam struktur instansi.
Pengalaman internasional memberi serangkaian strategi
untuk menangani masalah pengurangan jumlah staf
(termasuk pengunduran diri sukarela, pengurangan,
pensiun dini, pemindahan kepada kontraktor, dan pelatihan
kembali) serta modalitas instansi baru (termasuk otonomi
lembaga yang lebih besar, penguatan struktur yang ada
untuk menangani manajemen kontrak, penggunaan unit
manajemen kontrak dan kemitraan pemerintahan swasta).

Pelaksanaan Selanjutnya
Jaringan jalan daerah yang semakin rusak merupakan
hambatan besar, yang kebanyakan tidak diakui, bagi
pembangunan Indonesia secara luas. Pengaturan yang
ada tidak memberikan value-for-money untuk wajib pajak,

sementara konektivitas bagi pengguna jalan kian memburuk.


Artikel-artikel dalam edisi Prakarsa ini menguraikan secara
terperinci berbagai masalah yang menghambat penyediaan
dan pengelolaan jalan daerah di Indonesia, serta
menyarankan sejumlah alat bantu baru untuk perencanaan
dan implementasi. Hal ini mencakup penerapan pengaturan
pemberian dana antar lembaga pemerintah, penyediaan
layanan jalan melalui pengaturan berbasis kinerja dan
pelibatan para pengguna jalan yang lebih besar melalui
pengembangan forum berbasis masyarakat. Sekarang
sudah tiba saatnya untuk mempertimbangkan modalitas
baru ini untuk pengelolaan dan pemeliharaan jaringan jalan
daerah.

Tentang Penulis:
Sebagai Direktur IndII, David Ray bertanggung jawab atas
keseluruhan kepemimpinan teknis dan strategis. Ia seorang
ekonom dengan lebih dari 10 tahun pengalaman kerja dalam
konteks pembangunan, terutama di Indonesia dan Vietnam.
Sebelum bergabung dengan IndII pada bulan April 2009, David
adalah Wakil Direktur proyek SENADA yang didanai USAID,
yang berfokus pada daya saing sektor manufaktur Indonesia.
Selama periode 200306, ia bekerja untuk Asia Foundation
di Vietnam, mengelola program tata kelola ekonomi USAID
untuk perbaikan iklim investasi di tingkat lokal. Sebelummya,
ia adalah penasihat di Kementerian Industri dan Perdagangan
Indonesia yang didanai USAID, terutama pada bidang
perdagangan, investasi, dan reformasi peraturan.
David memiliki keterampilan dan latar belakang teknis yang
meliputi berbagai bidang, termasuk reformasi peraturan dan
mikro ekonomi, kebijakan infrastruktur (terutama transportasi
dan air minum/sanitasi), perdagangan internasional dan dalam
negeri, desentralisasi dan penyediaan layanan pemerintah
daerah, metode riset dan statistik, serta manajemen proyek.
David memiliki beberapa gelar akademis, termasuk PhD
dengan fokus pada pembangunan ekonomi dan institusi di
Indonesia. Ia adalah penulis sejumlah artikel jurnal yang telah
teruji di kalangan terentu (refereed journal articles) dan babbab dalam buku mengenai pembangunan Indonesia. Ia adalah
pembaca, penulis, dan pembicara yang fasih berbahasa
Indonesia, dan telah banyak menulis dalam penerbitan
berbahasa Indonesia.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

247

POIN-POIN UTAMA
Jalan provinsi mencakup 10 persen dari jaringan jalan daerah Indonesia, tetapi menopang
sekitar 20 persen arus lalu lintas. Meski ada peningkatan pendanaan jalan dalam satu dekade
terakhir, kondisi jalan ini belum meningkat dan dalam banyak kasus justru memburuk. Di
Nusa Tenggara Barat (NTB), kondisi jaringan provinsi telah menunjukkan sedikit peningkatan
dalam beberapa tahun terakhir, menyusul adanya peningkatan pendanaan yang signifikan.
Namun, bahkan dengan pendanaan yang cukup mendukung, meningkatkan kondisi jalan dan
mempertahankan perbaikan ini akan memerlukan komitmen jangka panjang.
Kondisi permukaan jalan juga dirugikan oleh kurangnya kualitas kondisi tepi jalan. Hal ini
memperpendek masa perawatan permukaan jalan yang mungkin sesungguhnya memadai.
Kerusakan yang terlokalisasi sering terjadi, seringkali karena alasan yang bisa diatasi dengan
langkah-langkah pencegahan yang sederhana.
Selain itu, sejumlah sepanjang jalan utama di Lombok bagian selatan dan di seluruh Sumbawa
bukan jalan yang tahan terhadap segara cuaca. Ini mempengaruhi pengoperasian hampir
sebanyak 25 persen jalan dan berdampak pada akses terhadap layanan sosial, wisata dan
industri, serta potensi untuk pembangunan.
Diperlukan pendekatan keseluruhan-jaringan yang lebih luas untuk pengelolaan dan
peningkatan. Untuk jalan dalam kondisi wajar, pembelajaran pentingnya adalah bahwa
pemeliharaan rutin dan berkala perlu dilakukan secara tepat waktu untuk meminimalisir
biaya untuk Dinas PU, dan untuk setiap jalan terdapat tingkat layanan tertentu (tidak terlalu
tinggi, dan tidak terlalu rendah) yang meminimalisir biaya pada masyarakat.
Untuk jalan yang sangat buruk sehingga mungkin tidak bisa dilalui untuk jangka waktu yang
lama, pembelajaran pentingnya adalah bahwa lebih bermanfaat memulihkan jalan yang
benar-benar memerlukan perbaikan daripada melakukan peningkatan signifikan pada kondisi
jalan yang masih berfungsi dan lebih baik lagi, jika sejak awal mencegah jalan tersebut
masuk ke kondisi yang memerlukan perbaikan.
Penting agar solusi perencanaan dan penyampaian ditujukan untuk menjawab persoalan
macam itu. Diperlukan baik pengetahuan lokal yang terperinci maupun pemahaman yang
luas akan jaringan.

Jalan Daerah

Kondisi Jalan Daerah


Jalan provinsi di wilayah seperti Indonesia bagian timur seringkali
berada dalam kondisi buruk, yang berakibat pada biaya ekonomi
dan sosial yang tinggi. Pendanaan yang memadai di masa depan
sangat penting untuk meningkatkan jalan, namun diperlukan juga
pendekatan-pendekatan baru.
Oleh Tyrone Toole

Secara bersamaan jalan provinsi dan jalan kabupaten


membentuk jaringan jalan daerah di Indonesia. Pada
tahun 2010, panjang jaringan ini berkisar 434.000 km, 90
persen dari 477.000 km jaringan primer. Jalan kabupaten
dan kota mencakup 79,9 persen dari angka tersebut
(385.000 km) sementara jalan provinsi 9,7 persen
(49.000 km). Jaringan jalan provinsi menopang sekitar 19
persen dari keseluruhan kilometer-kendaraan (vehiclekilometer) lalu lintas. Jalan provinsi menghubungkan
ibukota kabupaten dan pusat kegiatan ekonomi besar
lainnya di dalam provinsi, dan merupakan penghubung
yang sangat penting antara jaringan kabupaten dan
nasional.
Meski ada peningkatan pendanaan jalan dalam dekade
terakhir, kondisi jalan provinsi belum membaik. Di banyak
provinsi jalan justru memburuk. Secara keseluruhan,
kondisi jalan provinsi jauh lebih buruk daripada jaringan
nasional. Sekitar 86 persen jalan nasional berada dalam
kondisi yang baik atau sedang (stabil) pada tahun 2010,
tetapi hanya sekitar 63 persen jalan provinsi berada
dalam kondisi yang sama. Namun, ada perbedaan yang

signifikan antara satu provinsi dengan yang lain. Jalan di


provinsi yang kurang berkembang berada dalam kondisi
kurang stabil, dan di situ terdapat lebih banyak jalan dari
tanah yang tidak beraspal dan jalan berkerikil. Gambar 1
menunjukkan proporsi jalan yang stabil berkisar antara
24 hingga 95 persen, dan panjang jalan yang tidak
diaspal dan tidak dibangun hampir tidak ada di Bali dan
63 persen di Sulawesi.
Di Nusa Tenggara Barat (NTB), provinsi tempat Program
Peningkatan dan Pemeliharan Jalan Provinsi (PRIM,
Provincial Road Improvement and Maintenance Program)
sedang diuji cobakan (lihat Pengantar tentang PRIM:
Program Peningkatan dan Pemeliharaan Jalan Provinsi
di 31), kondisi jaringan provinsi telah menunjukkan
sedikit perbaikan dalam beberapa tahun terakhir,
menyusul peningkatan pendanaan yang signifikan
dengan adanya dukungan dari Gubernur dan DPRD.
Bila tren pendanaan ini berlanjut, panjang jalan yang
berada dalam kondisi stabil akan meningkat dari sekitar
51 persen pada tahun 2011 menjadi sekitar 80 persen
di akhir dekade ini. Namun, bahkan dengan pendanaan

Prakarsa Compendium | Jilid 2

249

Kondisi Jalan Daerah

Gambar 1: Distribusi Kondisi dan Tipe Perkerasan Jalan di Provinsi Tertentu


Peringkat Kondisi Stabil
Kajian Jaringan Provinsi
Proporsi Panjang Jaringan yang Stabil (%)

250

Proporsi Jenis Perkerasan


Kajian Jaringan Jalan Provinsi

100

100

90

90

Tak Ada Jenis

80

80

Desa/Tidak Terbentuk/
Tak Dapat Dilalui

70

70

60

60

50

50

40

40

30

30

Jalan Makadam/
Pasir-Batu Tanpa
Aspal Pengikat

20

20

Lapis Penetrasi/Lapen

10

10

Keras/Beton

Kondisi Stabil

Jawa
Barat

Jawa
Tengah

Bali

NTB

Sulawesi
Barat

88.2

95.6

90.4

46.0

24.6

yang cukup mendukung, meningkatkan kondisi jalan dan


mempertahankan kondisi ini di masa mendatang akan
memerlukan komitmen jangka panjang dan penerapan
yang efektif.
Kondisi permukaan jalan juga dirugikan oleh kurangnya
kualitas sisi jalan, termasuk bahu jalan, drainase, dan tepi
jalan yang landai. Faktor-faktor tersebut memperpendek

Tanah
Konstruksi Jalan Dengan
Permukaan Batu

Jawa
Barat

Jawa
Tengah

Bali

NTB

Sulawesi
Barat

Aspal

masa perawatan permukaan jalan yang mungkin


sesungguhnya memadai. Kerusakan yang terlokalisasi
sering terjadi, umumnya dengan interval 23 km, karena
berbagai alasan. Alasan-alasan yang paling umum adalah
kerusakan aspal jalan dan fasilitas sisi jalan yang tidak
memadai, banyak di antaranya dapat diatasi dengan
dengan langkah-langkah pencegahan sederhana yang
akan meningkatkan kinerja jalan. Di NTB, drainase dan

Gambar 2: Manajemen Jalan di Nusa Tenggara Barat

Lombok

Sumbawa

Jalan Pertambangan
Jalan Strategis Nasional
Jalan Prim
Jalan Nasional

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Jalan Daerah

Inti Persoalan Pemeliharaan


Tanggung jawab administratif untuk pemeliharaan tergantung dari kelas jalan daerah (SNR, Sub National Roads). Dalam hal jalan
provinsi, tanggung jawab ada pada provinsi, dan jalan kabupaten, tanggung jawab ada pada kabupaten. Pemerintah provinsi dan
kabupaten bertanggung jawab atas pendanaan, perencanaan, pemrograman, penganggaran, dan penerapan pekerjaan pemeliharaan.
Pemeliharaan berkala, rehabilitasi, dan pekerjaan perbaikan biasanya dijalankan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten dengan
menggunakan jasa konsultan dan kontraktor; pemeliharaan rutin biasanya dilakukan secara swakelola. Standar pemeliharaan
ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga di Kementerian Pekerjaan Umum. Pemerintah Pusat juga menyediakan dana hibah
bagi pemeliharaan dan membantu dalam mendapatkan pendanaan asing.
UU Lalu Lintas & Angkutan Jalan tahun 2009 memberikan dasar untuk pembentukan forum lalu lintas jalan dan transportasi untuk
mengawasi pengadaan peningkatan layanan, dengan keanggotaan yang mencakup perwakilan dari masyarakat sipil, lembaga
pemerintahan yang berkepentingan, dan pengguna jalan. Dinas terkait dapat dimintai pertanggungjawaban ketika terjadi kecelakaan
terkait dengan kondisi jalan yang buruk (dengan kata lain, pejabat terpilih/tertunjuk di Pemda secara pribadi dapat diminta tanggung
jawabnya). Hal ini seharusnya dapat mengarah pada pemeliharaan jalan yang lebih baik, namun penerapannya selama ini sulit.
Kondisi jaringan jalan daerah yang buruk diakibatkan oleh masalah dana dan kelembagaan, yang bisa diringkas sebagai berikut:
Alokasi dana untuk pekerjaan jalan secara keseluruhan kurang memadai.
Dana yang tersedia difokuskan pada proyek-proyek besar (jalan baru dan rehabilitasi), sehingga mengabaikan pemeliharaan
(terutama pemeliharaan rutin).
Pekerjaan pemeliharaan yang dijalankan berkualitas buruk; hal ini diperparah dengan buruknya kualitas konstruksi jalan baru
yang memperpendek umur manfaat aset dan meningkatkan kebutuhan akan pemeliharaan dan rehabilitasi.
Dinas-dinas PU yang dipercaya untuk melakukan pemeliharaan jalan memiliki kapasitas yang terbatas dan kekurangan personel
yang cukup terlatih.
Sejak desentralisasi, penilaian teknis standar atas kondisi SNR tidak lagi dilakukan, jadi pengembangan program pemeliharaan
berdasarkan penilaian kebutuhan yang objektif tidak mungkin bisa dilakukan.
Pengaturan tata pemerintahan saat ini belum menyediakan pengawasan publik yang memadai terhadap kinerja pengelolaan
jalan oleh Pemda.

kondisi bahu jalan yang kualitasnya di bawah standar


terdapat di seluruh jalan provinsi sebanyak masingmasing sekitar 75 dan 57 persen.
Selain itu, akses segala-cuaca tidak dimungkinkan di
sejumlah jalan utama di sepanjang jalan di Lombok bagian
selatan dan di seluruh Sumbawa. Ini mempengaruhi
pengoperasian hampir sebanyak 25 persen jalan dan
berdampak pada akses terhadap layanan sosial, wisata
dan industri, serta potensi untuk pembangunan.

Peran Jalan Daerah


Komponen
di
tingkat
provinsi
dari
jaringan
daerah melengkapi jaringan nasional dengan cara

mengumpulkan dan menyalurkan lalu lintas antar pusatpusat populasi dan produksi. Komponen di tingkat
kabupaten memperluas jangkauan ini dengan cara
menyediakan akses terhadap sawah, peternakan dan
pasar, dan terhadap layanan dasar, seperti sekolah dan
pusat kesehatan.
Di banyak tempat di Indonesia bagian timur, kondisi
jalan provinsi yang buruk merupakan hambatan besar
terhadap
pembangunan.
Diperlukan
pendekatan
keseluruhan-jaringan yang lebih luas untuk pengelolaan
dan perbaikan. Ini diilustrasikan di NTB dengan perluasan
tanggung jawab nasional untuk mencakup proporsi
jaringan provinsi (dinamakan Jalan Strategis Nasional),

Prakarsa Compendium | Jilid 2

251

252

Kondisi Jalan Daerah

Gambar 3: Kaitan Antara Tipe Perkerasan Jalan dan Dampak Sosial1


45%
Tingkat kematian (per 100.000 RT/tahun)

40%

Rumah tangga Miskin (%)

35%
30%
25%
20%
15%
10%
5%
0%

Beraspal

Tidak
beraspal

Tanah

yang di wilayah Lombok menghubungkan ke pusat wisata


dan industri. Di Sumbawa, jalan tertentu didukung oleh
industri sumber daya. (Lihat Gambar 2.)

Biaya Ekonomi dan Sosial Akibat


Pemeliharaan yang Buruk
Jalan yang buruk dan pemeliharaan jalan yang kurang
memadai berdampak pada efisiensi transportasi secara
keseluruhan, biaya masa pakai untuk pemeliharaan, dan
indikator sosial.
Untuk jalan yang berada dalam kondisi wajar, dan
hampir selalu dapat dilalui oleh kendaraan bermotor,
pembelajaran pentingnya antara lain:
A stitch in time saves nine (mengatasi persoalan kecil
sesegera mungkin akan memperkecil kemungkinan
persoalan menjadi besar): pemeliharaan rutin dan
berkala harus dilakukan secara tepat waktu untuk
meminimalisir biaya yang harus dikeluarkan oleh
Dinas PU. Analisis IndII telah menunjukkan bahwa jika
waktu tanggap (untuk memperbaiki jalan) ditunda
dari 2 bulan menjadi 12 bulan, maka biaya tambahan
keseluruhannya pada pengguna jalan menjadi sekitar
10 kali lipat dari biaya penambahan yang dimiliki

Prakarsa Compendium | Jilid 2

3.5
3.0
2.5
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0
Beraspal

Tidak
beraspal

Tanah

Dinas PU. Untuk program perawatan besar, manfaat


ekonomi dari program preemtif (mendahului)
dengan gabungan antara pekerjaan preservasi dan
rekonstruksi telah terbukti sangat bermanfaat.
Tergantung dari hambatan anggaran yang ada,
manfaat bagi masyarakat adalah antara tiga hingga
lima kali lipat biaya tambahan investasi.
The Goldilocks principle (prinsip yang menegaskan
untuk menempatkan sesuatu di dalam rentang batas
tertentu secara tidak berlebihan): untuk setiap jalan
terdapat tingkat layanan tertentu yang meminimalisir
biaya bagi masyarakat (jumlah biaya pengguna jalan
dan biaya pekerjaan jalan). Perawatan yang optimal
merupakan salah satu cara meminimalisir keseluruhan
biaya, dengan memberikan tingkat layanan yang tidak
terlalu rendah dan juga tidak terlalu tinggi, melainkan
pas.
Untuk jalan dalam kondisi buruk yang mungkin tidak
dapat dilalui selama periode waktu yang lama:
A little goes a long way (meski kecil tetapi
bermanfaat): lebih bermanfaat untuk memperbaiki
jalan yang benar-benar rusak ke kondisi semula
daripada melakukan perbaikan signifikan pada kondisi

Jalan Daerah

Jalan provinsi sangat penting untuk menopang kegiatan ekonomi.

Atas perkenan IndII

Prakarsa Compendium | Jilid 2

253

254

Kondisi Jalan Daerah

jalan yang masih berfungsi dan lebih baik lagi jika


dari awal mencegah jalan itu rusak. Secara umum
tingkat pengembalian investasi sangat tinggi, biasanya
melebihi 50 persen.
Roads are good for you (kualitas jalan dikaitkan
dengan manfaat hasil sosial tertentu lihat Gambar
3): meski hal ini tidak membuktikan hubungan sebabakibat, tetapi pengkaitan tersebut sangat disarankan.
Jalan yang telah sangat rusak atau tidak dapat dilalui
juga memerlukan penaksiran yang menyeluruh
terhadap kebutuhannya, termasuk pertimbangan akan
fungsinya, dan kegiatan serta kesejahteraan sosial
masyarakat penggunanya.
Penting agar solusi perencanaan dan penyampaian
ditujukan untuk menjawab persoalan macam itu, dan
mempertimbangkan kondisi-kondisi tertentu dari setiap
jaringan, fungsinya, dan tingkat layanan yang perlu
dihasilkan. Untuk ini, diperlukan baik pengetahuan lokal
terperinci maupun pemahaman yang luas akan jaringan.

Tentang Penulis:
Tyrone Toole adalah Penasihat Kepala Pengelolaan
Infrastruktur Berkelanjutan di ARRB Group Ltd., Australia
(dulu dikenal sebagai Australian Road Research Board). Ia
memiliki pengalaman lebih dari 30 tahun dalam serangkaian
luas proyek rekayasa dan pengelolaan jalan, dan dalam
pengembangan dan pelatihan kelembagaan di lebih dari 20
negara, dan memiliki spesialisasi dalam memberikan saran
berbasis penelitian terkait pengelolaan dan perancangan
jalan bervolume rendah dan tinggi di negara maju, negara
berkembang, dan negara berkekuatan ekonomi baru. Tyrone
bergabung ke ARRB pada tahun 2001 setelah lebih dari
20 tahun bergabung dengan Unit Luar Negeri di Transport
Research Laboratory milik Inggris, dan telah menulis dan
ikut menulis pedoman-pedoman pengelolaan jalan dan
penerapan perencanaan jalan serta sistem dan prosedur
pengelolaan. Beberapa proyek besarnya baru-baru ini antara
lain pengembangan kebijakan pengelolaan pemeliharaan jalan
dan prosedur untuk jalan daerah di Indonesia, pendanaan
pemerintah daerah di Australia Barat, pengembangan model
kerusakan dan pemeliharaan jalan untuk jalan daerah, serta
sistem pengelolaan jalan untuk jalan daerah.

CATATAN
1. Data diambil dari Survei Gaya Hidup Keluarga Indonesia (IFLS4, Indonesian Family Lifestyle Survey) tahun 2008. Temuan yang serupa
dapat diambil dari Sensus Infrastruktur Desa (VIC, Village Infrastructure Census) tahun 2012 dari Bank Dunia yang menyediakan
data kesehatan, pendidikan, dan transportasi (jalan, jembatan, dan transportasi umum) di tingkat desa. Menurut Laporan Kuartal
Indonesia oleh Bank Dunia (Desember 2012, World Banks Indonesian Economic Quarterly), VIC menemukan bahwa terdapat
korelasi positif yang jelas antara indikator transportasi dengan indikator ketersediaan kesehatan dan pendidikan.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Jalan Daerah

255

Tantangan Perencanaan
dan Penganggaran Jalan
di Tingkat Daerah
Di tingkat regional, aspek kunci perencanaan dan alokasi anggaran
untuk jalan memerlukan perbaikan. Strategi yang membantu antara
lain pemanfaatan Sistem Manajemen Jalan yang lebih baik dan alat
bantu yang dapat menunjang para pengambil keputusan dalam
mempertimbangkan semua sisi biaya dan manfaatnya.
Oleh Efi Novara Nefiadi dan M. Hatta Latief

Di setiap tingkat pemerintahan nasional, provinsi,


dan kabupaten/kota perencanaan dan penganggaran
yang tepat untuk pembangunan jalan sangatlah penting.
Terutama dalam kondisi dana terbatas dan pemerintah
harus memilih di antara beberapa proyek alternatif.
Di tingkat nasional, kondisi jaringan jalan cukup memuaskan:
91 persen dari seluruh panjang jalan berada dalam
kondisi stabil (Baik/Sedang), mendekati target 94 persen
sebagaimana tercantum dalam rencana strategis lima tahun
20102014 dari Direktorat Jenderal Bina Marga (DJBM).
Namun, di tingkat regional hanya 55 persen jalan provinsi
dan 52 persen jalankabupaten/kota berada dalam kondisi
stabil.Target DJBM adalah 60 persen pada tahun 2014.
Pemerintah provinsi hanya mengeluarkan sekitar 5 persen
dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk
jalan. Mereka banyak mengandalkan pada Dana Alokasi
Khusus (DAK) dari pemerintah pusat. Di tingkat yang lebih
rendah, kabupaten/kota, belanja pemerintah terutama
digunakan untuk membayar gaji dan biaya operasional.
Di masa lampau, sebelum desentralisasi, DJBM menggunakan
Sistem Manajemen Jalan Terpadu (IRMS Integrated
Road Management System) guna mengoptimalkan alokasi

Hampir separuh dari seluruh jalan sub-nasional


di Indonesia dalam kondisi rusak berat.

Atas perkenan John Lee

Prakarsa Compendium | Jilid 2

256

Tantangan Perencanaan dan Penganggaran Jalan di Tingkat Daerah

Akuntabilitas dan Pengawasan Publik terhadap


Dinas Bina Marga
Pemerintah berinteraksi dengan masyarakat saat pengambilan
keputusan dengan tiga cara1:
Informasi: dialog satu arah. Pemerintah menyampaikan
informasi kepada masyarakat. Dinas Bina Marga
memberitahukan kepada masyarakat rencananya, kapan
atau apakah akan dilaksanakan.Tidak ada kesempatan bagi
masyarakat untuk mempengaruhi prioritas atau hasil.
Pemerintah

Masyarakat

Konsultasi: dialog dua arah memberi kesempatan


masyarakat memberikan tanggapan kepada pemerintah.
Dinas Bina Marga menghimpun masukan dari masyarakat
sebagai pertimbangan dalam proses pengambilan
keputusan, kemudian menyesuaikan rencana dan
prioritasnya.
Pemerintah

Masyarakat

Pemerintah yang terbuka dan transparan semakin diperhatikan


bahkan dituntut sebagai ciri penting dalam tata kelola
pemerintah yang demokratis. Hal ini sangat membantu dalam

belanja untuk jalan. Alat bantu ampuh dan canggih ini


menggunakan data kondisi jalan terkini dan hubungan yang
terbentuk antara beban lalu lintas dan penurunan mutu jalan
untuk menguji dampak kualitas jaringan jalan pada setiap
pilihan tingkat anggaran dan alokasi anggaran. Sepanjang
seluruh jaringan jalan, dan untuk ruas-ruas jalan secara
terpisah, masih ada kemungkinan untuk memaksimalkan
manfaat ekonomis dari setiap tingkat belanja modal dan
pemeliharaan yang ditetapkan. DJBM masih menggunakan
IRMS untuk jaringan jalan nasional: itu sebabnya jaringan
jalan tersebut berada dalam kondisi yang relatif baik.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Pemerintah yang terbuka dan partisipasi aktif akan saling


memberi manfaat pada pemerintah maupun masyarakat.
Masyarakat akan merasa bahwa kebutuhan mereka ikut
dipertimbangkan. Mereka dapat memeriksa apakah target yang
disepakati telah tercapai. Bagi sebuah instansi jalan, partisipasi
aktif tidak perlu bertentangan: hal ini sangat bermanfaat
mengetahui apakah rencana mereka memenuhi kebutuhan
masyarakat dan kinerja mereka dianggap memuaskan.
Pengawasan publik membantu agar program memiliki fokus
yang lebih baik, dan mengurangi pemborosan.

Masyarakat

Partisipasi Aktif: hubungan berbasis kemitraan. Masyarakat


secara aktif turut serta dalam proses pengambilan
keputusan. Terdapat peran masyarakat yang diakui dalam
mengusulkan solusi, dan menyempurnakan rencana
tetapi tanggung jawab atas hasil akhir tetap berada pada
pemerintah.
Pemerintah

menjamin kestabilan dan pembangunan, serta menumbuhkan


kepercayaan pada pemerintah. Masyarakat selalu ingin tahu
keputusan apa yang diambil pemerintah dan apa alasannya.
Mereka ingin berkonsultasi terkait keputusan yang berdampak
bagi mereka. Selain itu administrasi pemerintahan yang baik
semakin ingin mengetahui harapan masyarakat agar dapat
memenuhinya secara lebih efektif. Jika mereka lebih terbuka,
akan lebih besar kemungkinan mereka akan terpilih kembali.

Mencapai partisipasi publik yang efektif bukanlah hal yang


mudah. Ini membutuhkan pengambilan keputusan yang
transparan, akuntabilitas atas kinerja, keadilan dalam
menanggapi kebutuhan, efisiensi dan efektivitasdalam
menyediakan solusi yang tepat, dan sering kali juga perubahan
dalam budaya. Di bawah program PRIM IndII, Forum Lalu Lintas
Jalan dan Transportasi (FLAJ) dengan bantuan Pemda dan IndII
akan dimanfaatkan sebagai forum bagi partisipasi masyarakat
dalam kemitraan tersebut. John Lee
1. OECD (2001) Citizens as Partners: Information, Consultation and
Public Participation in Policy Making, Paris: OECD, halaman 23.

Namun, di tingkat regional, IRMS sudah tidak digunakan


lagi sejak desentralisasi. Provinsi dan kabupaten/kota tidak
lagi menerima instruksi dari DJBM mengenai harus seperti
apa program mereka. Mereka menentukan sendiri1 program
yang akan dijalankan; DJBM tidak berperan menetapkan
prioritas2, kecuali dalam menentukan standar teknis.
Mereka tidak memiliki sumber daya untuk memelihara dan
menggunakan alat bantu canggih seperti IRMS. Selain itu
tidak ada lagi keharusan untuk membuat peringkat proyek
berdasarkan manfaat ekonomis: prioritas pembangunan
strategis dan pertimbangan politis (kepala pemerintah

Jalan Daerah

daerah sekarang bertanggung jawab kepada DPRD) memiliki


pengaruh yang lebih besar dalam menentukan prioritas
belanja pemerintah daerah.
Namun demikian, langkah-langkah menuju akuntabilitas
sosial yang lebih besar (lihat boks), seperti yang dianjurkan
oleh PRIM [lihat Pengantar tentang PRIM: Program
Peningkatan dan Pemeliharaan Jalan Provinsi pada
halaman 267], tidak dapat dihindari akan menuntut
alasan yang lebih kuat atas prioritas rencana dan belanja
yang dipilih. Pemerintah daerah masih memerlukan alat
bantu perencanaan yang mampu menunjang keputusan
perencanaan yang rasional. Alat bantu tersebut tidak perlu
secanggih IRMS. Mereka dapat menggabungkan hubunganhubungan yang disederhanakan yang dapat memberikan

jawaban serupa mengenai dampak dari tingkat belanja


dan alokasi yang berbeda-beda di antara beberapa proyek.
Alat bantu semacam itu, yang telah dikembangkan oleh
para konsultan IndII, telah digunakan dalam menyusun
program kerja awal PRIM di NTB. Alat bantu tersebut akan
disempurnakan dan dibuat agar lebih mudah dipakai selama
berlangsungnya program PRIM. Ini akan dipadukan dengan
proses perencanaan NTB sehingga dapat memberikan
jaminan yang lebih baik terhadap value-for-money yang
dibelanjakan. Masyarakat akan disosialisasikan mengenai
kriteria dan hasilnya. Mereka pun akan menjadi lebih
percaya bahwa tidak akan ada pemborosan uang. Pada
akhirnya alat bantu ini mungkin akan diluncurkan di semua
provinsi dan pada tingkat kabupaten/kota.

Tentang Para Penulis:


Efi Novara Nefiadi adalah Staf Senior Program Transportasi di
Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII). Ia memiliki pengalaman
25 tahun di bidang pembangunan infrastruktur, ekonomi/
keuangan, dan manajemen proyek. Sebelum bergabung dengan
IndII ia menjabat sebagai Spesialis Transportasi PPP pada
Layanan Penasihat Teknis Bank Pembangunan Asia, bekerja
pada Proyek Pembangunan Sektor Reformasi Infrastruktur
yang dilaksanakan melalui Bappenas. Ia juga menjadi spesialis
Transportasi PPP/Infrastruktur, Ekonom bidang Transportasi,
Manajer Penilaian Proyek, dan Perencana transportasi untuk
berbagai proyek infrastruktur besar Bank Dunia. Pekerjaan
yang pernah ditangani antara lain jalan Trans-Jawa dan ProyekProyek Infrastruktur Jalan Strategis (di bawah Kementerian
Pekerjaan Umum), Proyek Bantuan Teknis untuk Penyediaan
Infrastruktur oleh Pemerintah dan Swasta (di bawah Bappenas),
dan Proyek Bantuan Teknis Penyediaan Infrastruktur Swasta
(di bawah Kementerian Koodinator Bidang Perekonomian
dan Kementerian Perhubungan). Ia berpengalaman dalam
melaksanakan studi kelayakan bagi proyek teknis, ekonomi,
dan keuangan, mengembangkan strategi pendanaan di sektor
angkutan, menyusun perencanaan strategis jangka menengah,

membantu penyelenggaraan tender jalan tol, merancang


program pembangunan regional, dan menyusun proposal teknis
proyek. Ia lulus dari Fakultas Teknik Sipil, Institut Teknologi
Bandung, tahun 1987. Ia memperoleh gelar Master di bidang
Jalan dan Transportasi dari ITB pada tahun 1990 dan Master
dalam bidang Manajemen Keuangan dari Universitas Indonesia
tahun 2003.
M. Hatta Latief adalah lulusan University of New South Wales,
Sydney, Australia tahun 1993 dan memperoleh gelar Master
di bidang Rekayasa Geoteknik (Geotechnical Engineering)
dengan spesialisasi di bidang teknik perkerasan jalan. Sejak
bergabung dengan Direktorat Jenderal Bina Marga (DJBM) pada
Kementerian Pekerjaan Umum tahun 1984, ia bekerja di bidang
pembangunan jalan dan jembatan serta dalam perencanaan dan
penyusunan program. Ia pernah menjadi Pejabat Penanggung
Jawab untuk proyek-proyek Bank Dunia di lingkungan DJBM
dari 2001 hingga 2006. Ia sekarang menjabat sebagai Spesialis
Pemeliharaan Jalan dalam Program Perbaikan dan Pemeliharaan
Jalan Provinsi IndII.

CATATAN
1. Lihat UU no. 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan ini memberikan otonomi kepada setiap tingkat pemerintahan dalam penyediaan,
pembangunan, peraturan, dan pengawasan atas jaringan jalan mereka sendiri.
2. Semua ini ditetapkandalam Rencana Program Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Prakarsa Compendium | Jilid 2

257

POIN-POIN UTAMA
Terdapat permasalahan akut dalam hal kualitas dan ketepatan waktu pembangunan dan
pemeliharaan jalan di sebagian besar jalan daerah Indonesia. Kerangka kerja analitis yang
disebut Akuntabilitas, Kapasitas, dan Kepercayaan ACT Accountability, Capacity, and Trust
dapat dipakai untuk memahami faktor-faktor utama yang mempengaruhi kinerja semua pihak
yang bertanggung jawab untuk pemeliharaan jalan.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki pangsa pasar sebanyak 40 persen berdasarkan
nilai di industri pembangunan jalan Indonesia. Sisa pasar terbagi pada sekitar 2.000
perusahaan lain yang sebagian besar adalah perusahaan sangat kecil. Industri ini terpecahpecah dan tidak berkembang. Dengan harga yang terutama ditentukan oleh klien, tidak ada
penghargaan/sanksi untuk kinerja, dan penyertaan BUMN sebagai pesaing, bisa dikatakan
sebagian besar industri ini belum beroperasi di dalam pasar yang efektif.
Tantangan paling serius terletak pada kurangnya tenaga ahli profesional. Selain itu juga, tidak
ada mekanisme yang efektif untuk mendefinisikan dan menegakkan standar profesional.
Konsultasi teknik telah sangat dipengaruhi oleh kendala ini, yang mengakibatkan sangat
rendahnya kualitas pengawasan lapangan. Banyak usaha skala kecil tidak memiliki alasan
yang cukup kuat untuk mengembangkan keterampilan atau berinvestasi dalam bentuk staf
spesialis dan peralatan. Sebagian besar kontraktor yang lebih besar mampu menghasilkan
pekerjaan berkualitas ketika disyaratkan. Namun ketika mengerjakan jalan umum, mereka
umumnya tidak dimintai pertanggungjawaban oleh para tenaga ahli pengawas.
Situasi ini diperparah dengan prosedur operasional klien yang tidak selaras dengan praktik
yang baik yang diakui secara internasional, dan kenyataan bahwa klien tidak memantau
kinerjanya sendiri.
Reformasi telah diperkenalkan sebelumnya untuk mengatasi permasalahan ini. Langkahlangkah tersebut tidak berhasil. Terkadang konsekuensi yang tidak diinginkan dari reformasi
tersebut melemahkan kinerja. Reformasi tersebut berdasarkan anggapan yang salah bahwa
sektor swasta tidak dapat dipercaya untuk berinvestasi pada kapasitasnya sendiri. Sejalan
dengan ACT, sebuah pendekatan alternatif adalah dengan berfokus pada penciptaan
lingkungan yang bertujuan membangun mekanisme akuntabilitas yang efektif yang akan
mengarahkan pada peningkatan kepercayaan.
Dalam jangka pendek, ini berarti membuang segala proses yang tidak langsung menghasilkan
peningkatan kinerja, dan sebaliknya berfokus pada dukungan penguatan pengawasan
lapangan. Prinsip yang sama berlaku dalam kasus unit pemeliharaan rutin secara swakelola.

Jalan Daerah

259

Mereformasi Pelaksanaan
Pemeliharaan Jalan Daerah
Meskipun terjadi, atau pada beberapa kasus sebagai akibat dari,
serangkaian reformasi selama dekade terakhir, pemeliharaan jalan
provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia tidak memenuhi kebutuhan
para pengguna jalan atau harapan para pembayar pajak. Hal ini terutama
dapat dikaitkan dengan kurangnya kepercayaan antar pemangku
kepentingan, yang pada akhirnya menghasilkan kegagalan klien dalam
memastikan pengakuan dan penghargaan atas kinerja yang baik.
Oleh Hamish Goldie-Scot

Diakui secara luas adanya masalah akut dalam hal kualitas


dan ketepatan waktu pembangunan dan pemeliharaan jalan
di Indonesia, termasuk sebagian besar jalan daerah, terlepas
dari mekanisme penyerahan hasil yang digunakan. (Lihat
Prakarsa edisi Pembangunan Jalan, yang diterbitkan pada
bulan Januari 2011, sebagai latar belakang). Terkecuali pada
segmen pasar tingkat paling atas (yang dapat lebih mudah
menerapkan standar profesional bagi klien di sektor swasta)
dan segmen pasar bawah (yang hanya terdapat sedikit
akuntabilitas bagi para pemangku kepentingan setempat di
tingkat kabupaten), pembangunan dan pemeliharaan jalan
ditandai oleh kurangnya mekanisme akuntabilitas teknis
yang efektif.
Pengaturan pelaksanaan pemeliharaan jalan provinsi dan
kabupaten yang ada saat ini didasarkan pada penggunaan
unit satuan swakelola untuk pemeliharaan rutin (seperti
pekerjaan membersihkan area di sekitar badan jalan1
dan tambal jalan berlubang), dan melalui kontrak kerja
dengan mitra swasta untuk pemeliharaan berkala (seperti
pengaspalan ulang [re-sealing]).

Akuntabilitas, Kapasitas, Kepercayaan


Sebuah kerangka kerja analitis yang disebut sebagai
Akuntabilitas,
Kapasitas
dan
Kepercayaan
(ACT,
Accountability, Capacity, and Trust)2 telah digunakan oleh
Prakarsa Infrastuktur Indonesia (IndII) yang didanai oleh
AusAID untuk mencapai pemahaman yang lebih baik
terhadap faktor-faktor utama yang mempengaruhi kinerja
semua pihak yang bertanggung jawab atas pemeliharaan
jalan daerah (badan-badan yang melakukan layanan
pengadaan, satuan pemeliharaan rutin secara swakelola,
kontraktor, dan konsultan pengawas).
Pada setiap kasus, persyaratan paling dasar adalah
kapasitas, yang memungkinkan tercapainya suatu kinerja
yang diharapkan. Namun fakta bahwa seseorang atau
suatu organisasi mampu melakukan pekerjaannya dengan
layak bukan jaminan bahwa hal itu akan tercapai dalam
praktiknya. Mekanisme akuntabilitas teknis diperlukan
untuk mewujudkannya. Namun, pekerjaan ini pun belum
tentu dilaksanakan secara optimal. Agar kualitas dan
volume hasil dapat berkembang, diperlukan kepercayaan.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

260

Mereformasi Pelaksanaan Pemeliharaan Jalan Daerah

Gambar 1: Penggerak Kinerja

Kapasitas

Akuntabilitas

Memungkinkan
Pencapaian Kinerja

Mewujudkan
Kinerja

Pengelolaan Kualitas
Transparansi
Pemantauan Kinerja

Trust

C
T

Lingkungan
Kelembagaan dan
Regulasi yang
Kondusif

Make Performance
Flourish
Nilai Dan Visi yang Sama
Saling Percaya Antar Pemangku Kepentingan
Keyakinan Terhadap Kewajaran Kontrak dan
Proses Pengadaan

Keuangan, Staf, dan


Peralatan yang Memadai
Prosedur Operasi
Keterampilan dan
Pengalaman

Membuat Kinerja
Berkelanjutan
Pengembangan Kapasitas Digiatkan
Mekanisme Akuntabilitas Diterapkan
Kinerja yang Baik Diberi Penghargaan

Komponen penting dari kepercayaan ini adalah keyakinan


bahwa kinerja yang baik akan dihargai secara adil. Interaksi
antar faktor ini diperlihatkan di Gambar 1 di bawah ini.
Lingkungan kelembagaan dan regulasi yang kondusif juga
penting untuk memastikan bahwa peningkatan kinerja
sangat didukung, dan secara realistis dapat dipertahankan
dalam jangka panjang.
Situasi apapun yang tidak memiliki atau lemah dalam
akuntabilitas, kapasitas, dan/atau kepercayaan merupakan
halangan untuk menciptakan kinerja yang baik. Situasi
seperti ini juga menimbulkan risiko korupsi, karena korupsi
cenderung berakar pada tidak adanya sistem pengelolaan
yang efektif.

Industri Pembangunan Jalan


Analisis3 tahun 2011 terhadap industri pembangunan jalan
di Indonesia menunjukkan bahwa Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) memiliki 40 persen pangsa pasar berdasarkan nilai.
Sisanya terterbagi pada sekitar 2.000 perusahaan lainnya,
yang sebagian besar adalah perusahaan sangat kecil, yang
biasanya hanya terlibat dalam satu kontrak jalan dalam
waktu tertentu.
Pola yang serupa, dan bahkan lebih jelas, tercermin pada
kasus kontrak untuk jalan daerah, yang mencapai lebih dari
91 persen panjang jalan Indonesia.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Rata-rata, jalan provinsi mencapai sekitar 10 persen jalan


sub-nasional. Keadaan dapat berbeda-beda antara daerah
yang satu dengan yang lain, tapi skenario yang disajikan
di Gambar 2 merupakan skenario pada umumnya. Data
dari kontrak perbaikan atau pemeliharaan jalan provinsi
yang diberikan di Provinsi Nusa Tenggara Barat selama
20082010 menunjukkan keterlibatan 21 badan pemegang
kontrak secara total. Masing-masing diwakili oleh balok
vertikal, dan tinggi balok menandakan ukuran rata-rata
kontrak yang dimenangkan. Hanya enam dari kontraktor
jalan yang aktif ini berhasil mendapatkan nilai kontrak
rata-rata melebihi Rp 5 miliar. Lima dari enam kontraktor
tersebut adalah BUMN atau bermitra dengan BUMN.
Hal yang menonjol dari data ini adalah sebagian besar dari
21 kontraktor ini hanya memenangkan satu kontrak jalan
di provinsi tersebut selama periode tiga tahun pengamatan
data. Hal ini memperkuat gambaran industri pembangunan
jalan yang terpecah-pecah dan tidak berkembang. Sangat
sedikit kontraktor yang memiliki peralatan pembangunan
jalan; mereka justru bekerjasama dengan kontraktor lain,
atau menyewa sumber daya setelah mereka memenangkan
kontrak.
Dengan harga yang terutama ditentukan oleh klien dan
bukan kontraktor, tidak ada penghargaan untuk kinerja yang
baik atau sanksi untuk kinerja yang buruk5, dan penyertaan
BUMN sebagai pesaing potensial, bisa dikatakan bahwa
sebagian besar industri pembangunan jalan di Indonesia
belum beroperasi di dalam pasar yang efektif. Pandangan
itu diperkuat oleh hubungan yang tidak sejajar antara klien
dan kontraktor, dengan kontraktor yang tidak memiliki
banyak pilihan selain menerima ketentuan kontrak yang
jelas tidak adil.

Persoalan Kapasitas
Sebagaimana telah dirangkum dalam Gambar 1 di atas,
kapasitas terdiri atas tiga unsur: (1) sumber daya yang
memadai dari sisi keuangan, staf, dan peralatan; (2)
prosedur operasional yang terperinci untuk mendefinisikan
bagaimana sumber daya tersebut dimanfaatkan dalam
praktiknya; dan (3) keterampilan dan pengalaman yang
diperoleh staf pelatihan dalam implementasi praktis
prosedur operasional tersebut.

Jalan Daerah

Konsultasi teknik selama ini sangat


dipengaruhi
oleh
keterbatasan
kapasitas yang mengakibatkan sangat
rendahnya
kualitas
pengawasan
lapangan. Meskipun tidak semua,
namun banyak insinyur disain dan
pengawasan yang terlibat dalam
kontrak jalan umum kurang memiliki
rasa percaya diri secara teknik, memiliki
status profesionalisme yang rendah,
remunerasi yang tidak memadai, dan
dalam praktiknya mudah digantikan
oleh klien pemerintah, yang pada
akhirnya tetap bertanggung jawab
atas penyaluran finansial.
Banyak usaha skala kecil yang
membentuk industri pembangunan
jalan tidak memiliki alasan yang
cukup kuat untuk mengembangkan

Gambar 2: Distribusi Ukuran yang Umum untuk Kontrak4 Jalan Provinsi


45

Campuran

40

Swasta

35

BUMN

30

Rp Miliar

Dalam hal sumber daya yang tersedia,


tantangan paling serius terletak pada
kurangnya tenaga ahli profesional yang
bekerja di sektor ini. Profesi insinyur
di Indonesia belum pulih sepenuhnya
dari dampak Krisis Ekonomi Asia
tahun 19978, ketika satu generasi
insinyur memilih karier alternatif.
Selain itu, tidak ada mekanisme yang
efektif untuk mendefinisikan dan
menegakkan standar profesional.
Meski ada upaya dari beberapa
organisasi,
termasuk
beberapa
kontraktor yang lebih besar, untuk
mengembangkan pendekatan yang
lebih profesional, penilaian baku yang
berlaku terhadap kualifikasi insinyur
tetap didasarkan terutama pada
tahun pengalaman, tanpa pengujian
profesional, tanpa pembimbingan,
dan tidak ada penerapan kode etik
yang berlaku umum.

25
20
15
10
5
0

WM AK AM WK RE AJ

BR TG BA BM SB

CK HP NN

LS BB DM AR MN AS MM

Badan Pemegang Kontrak

Gambar 3: Tanggapan Survei untuk Staf Pengawas Lapangan Mudah Dibujuk Untuk
Menyetujui Pekerjaan di Bawah Standar
80%
60%
40%
20%
0%

Sangat Tidak Setuju

Tidak Setuju

Setuju

Sangat Setuju

Tidak Tahu

Gambar 4: Pentingnya Pengawasan Lapangan yang Efektif


Tenaga Ahli Pengawas

Kontraktor

Profesional dalam
Pengawasan

Kompeten dalam Konstruksi

Hasil

Prakarsa Compendium | Jilid 2

261

262

Mereformasi Pelaksanaan Pemeliharaan Jalan Daerah

Kontrak Pemeliharaan Berbasis Kinerja1


Di Indonesia, pemeliharaan rutin jalan hampir selalu dilakukan secara swakelola. Pada jalan nasional, contohnya, Balai-Balai Direktorat
Jenderal Bina Marga (DJBM) mengelola peralatan, mengendalikan dana, mempekerjakan tenaga kerja, dan memantau perkembangan. Di
sebagian besar negara lain, pemeliharaan rutin dilakukan melalui kontrak kerja dengan pihak lain, sebagaimana diterapkan pada jalan tol
Indonesia.
Permasalahan utama dengan pendekatan swakelola yang digunakan di Indonesia mencakup kurangnya akuntabilitas atas hasil, serta sulitnya
mengukur keluaran, biaya pelaksanaan pekerjaan, dan tingkat produktivitas. Secara umum, pengelolaan tenaga kerja lemah ada sedikit
insentif untuk meningkatkan kinerja. Teknik yang terbukti meningkatkan produktivitas di tempat lain tidak dilaksanakan.
Sebaliknya, negara-negara lain makin beralih ke Kontrak Berbasis Kinerja (Performance-Based Contract, atau PBC). Berdasarkan PBC,
kontraktor dibayar untuk memelihara bagian jaringan jalan yang menjadi tanggung jawabnya sesuai standar kinerja atau tingkat layanan yang
telah ditentukan. Mereka akan dikenakan pengurangan pembayaran jika standar tersebut tidak dicapai. Kontraktor memiliki kendali penuh
atas pengelolaan sumber daya untuk mencapai standar kinerja yang disyaratkan.
DJBM sudah mencoba pendekatan PBC. Bank Dunia mendanai Pinjaman Kebijakan Pembangunan Infrastruktur (Infrastructure Development
Policy Loan, atau IDPL), sebagai contoh, termasuk program percontohan PBC untuk jalan nasional. Namun, sementara PBC di tempat lain
digunakan terutama untuk pemeliharaan jalan, program percontohan ini dan penerapan percobaan-percobaan lain di Indonesia lebih fokus
pada pekerjaan rehabilitasi yang sifatnya sekali saja. Semua pekerjaan tersebut belum memungkinkan untuk dilakukan pengukuran yang
efektif terhadap kinerja sepanjang waktu sesuai tingkat pelayanan yang telah ditentukan.
Pendekatan PBC memerlukan pergeseran fundamental dalam hal pelaksanaan pekerjaan pemeliharaan, persiapan penganggaran, menetapkan
orang yang menentukan pekerjaan yang akan dilaksanakan, dan prosedur penilaian dan pembayaran kontraktor. Manfaat PBC mencakup
biaya yang lebih rendah, kualitas yang lebih baik, dan akuntabilitas langsung atas kinerja. Supaya manfaat-manfaat ini dapat diwujudkan,
dan memungkinkan tadanya keuntungan, ruas-ruas jalan PBC tidak boleh kurang dari sekitar 100 km. Kondisi jalan harus memungkinkan
untuk dipelihara (stabil atau mantap) dengan pekerjaan perbaikan atau peningkatan yang hanya mengambil sebagian kecil dari nilai kontrak.
Standar kinerja harus mudah dipahami dan mampu diukur secara obyektif. Risiko-risiko yang tidak perlu atau tidak terkendalikan tidak boleh
dialihkan ke kontraktor. Masa kontrak tidak boleh kurang dari lima tahun. Di tempat-tempat dilakukannya percontohan PBC, kontraktor yang
bersangkutan, yang belum terbiasa dengan pendekatan ini, pada awalnya harus diberikan dukungan dalam memenuhi standar kinerjanya.
Contoh dokumen penawaran untuk pengadaan proyek2 PBC telah disediakan oleh Bank Dunia. Dokumen penawaran harus mencakup
rancangan dasar untuk setiap pekerjaan rehabilitasi agar memungkinkan para peserta lelang dapat menetapkan harga pekerjaan yang
dilakukannya3 dengan benar. Spesifikasi standar umumnya diperlukan guna memastikan konsistensi di antara proposal. Spesifikasi ini juga
memberikan dasar yang sudah terbukti dan konsisten untuk memantau kinerja keluaran.
Diperlukan proses prakualifikasi yang dirancang dengan baik untuk memastikan bahwa hanya peserta lelang yang memenuhi syarat, dengan
tingkat kapasitas teknis, kapasitas manajerial dan keuangan yang diperlukan, untuk berpartisipasi dalam proses penawaran. Kontraktor
yang efektif tidak harus berupa sebuah perusahaan konstruksi yang konvensional; seringkali konsultan atau perusahaan patungan memiliki
pemahaman yang lebih baik mengenai cara mengoptimalkan pengelolaan masa guna jaringan jalan. Biasanya, diperlukan keterampilan
seorang ahli pengelolaan pengerasan jalan. Proses pengadaan juga harus mencakup pengarahan pralelang dan kunjungan lapangan untuk
memastikan peserta lelang memahami perbedaan penting antara PBC dengan kontrak pemeliharaan konvensional, kontrak pemeliharaan
berbasis masukan (input-based maintenance contract), terutama dalam hal alokasi risiko antara kontraktor dengan klien publik.
Hamish Goldie-Scot dan John Lee
CATATAN
1. IndII, Support to DGH to Review Procurement and Contracting, including Potential Use of Performance Based Contracting (PBC), Final
Report, (Dukungan bagi Bina Marga untuk Kajian Pengadaan Barang dan Jasa dan Terkait Kontrak, termasuk penggunaan PBC Secara
Potensial, Laporan Akhir) Activity 207, Road Sector Development Program (RSDP),Cardno Emerging Markets in association with ARRB,
June 2011.
2. World Bank, Sample Bidding Documents for Procurement of Works and Services under Output- and Performance-based Road Contracts
(OPRC) (Contoh Dokumen Tender untuk Pengadaan Barang dan Jasa Bagi Pengerjaan dan Layanan di bawah Kontrak Berbasis Hasil dan
Kinerja), October 2006 (updated May 2011). Tersedia di: http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/PROJECTS/PROCUREMENT/0,,co
ntentMDK:20646773~menuPK:84284~pagePK:84269~piPK:60001558~theSitePK:84266~isCURL:Y,00.html.
3. Alternatif lain adalah mengambil kontrak rehabilitasi yang terpisah terlebih dahulu sebelum memulai PBC.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Jalan Daerah

Tanpa pemeliharaan terhadap area tepi jalan, konstruksi pada pinggiran jalan akan
cepat retak.

keterampilan yang relevan atau berinvestasi untuk


meningkatkan kapasitas dalam bentuk staf spesialis
maupun peralatan. Sebagian besar kontraktor yang lebih
besar mampu menghasilkan pekerjaan berkualitas ketika
disyaratkan. Namun ketika dikontrak untuk melakukan
pekerjaan jalan umum, mereka umumnya tidak dimintai
pertanggungjawaban oleh para insinyur pengawas.
Dalam kasus jalan daerah, yang relatif terpencil dan kecil
kemungkinannya mendapatkan dukungan pengelolaan,
hal ini merupakan masalah akut. Dalam banyak kasus,
kontraktor akan menetapkan harga di luar harga pasar jika
mereka harus menyertakan dana yang cukup dalam harga
penawaran untuk mematuhi spesifikasi yang ditetapkan

Atas perkenan Max Antameng

di dalam kontrak. Sebagaimana digambarkan melalui


survei tahun 20116 (lihat Gambar 3), bukan merupakan
hal yang tidak wajar bahwa persetujuan telah diberikan
untuk pekerjaan yang belum selesai, atau tidak memenuhi
spesifikasi.
Situasi ini juga mencerminkan kapasitas klien yang rendah,
diperparah dengan prosedur operasi klien yang tidak
sistematis maupun lengkap. Terutama:
Prosedur pengadaan tidak selaras dengan praktik yang
baik7 yang diakui secara internasional. Tidak ada perhatian
terhadap kinerja sebelumnya dari kontraktor, atau terhadap

Prakarsa Compendium | Jilid 2

263

264

Mereformasi Pelaksanaan Pemeliharaan Jalan Daerah

Kekurangan dari Reformasi Sebelumnya

Meski reformasi ini mungkin tampak logis saat awal muncul,


namun tidak ada yang berhasil, dan semua pihak, pada saat
memiliki kesempatan, turut menyumbang pada konsekuensi
yang tidak diharapkan akibat dari melemahkan (bukannya
meningkatkan) kinerja. Hal ini dikarenakan reformasi yang
dilakukan berdasarkan anggapan yang salah bahwa sektor
swasta tidak dapat dipercaya untuk berinvestasi pada
kapasitasnya sendiri. Sikap klien semacam itu meningkatkan
rasa ketidakpercayaan lebih jauh di antara para pemangku
kepentingan. Sebagaimana telah diakui di dalam sektor
swasta, rasa tidak percaya semacam itu menimbulkan
penundaan waktu, peningkatan biaya, rendahnya moral,
dan buruknya kinerja.9

Temuan ini bukan hal baru. Reformasi yang diperkenalkan


sebagai respon terhadap diagnosa serupa selama
dekade terakhir mencakup serangkaian persyaratan

Contoh paling ekstrem dari reformasi yang dianggap buruk


meliputi kriminalisasi terhadap kegagalan konstruksi (yang

kapasitas yang dimilikinya saat ini dalam hal prosedur


operasi internal yang relevan untuk mekanisme pengelolaan
kualitas, kesehatan dan keselamatan, atau anti-suap.
Klien tidak memantau kinerjanya sendiri seperti anggapan
kontraktor dan konsultan, atau bahkan publik. Kriteria
kinerja yang relevan dapat meliputi waktu yang diperlukan
untuk pembayaran kepada kontraktor setelah diberikan
sertifikasi bahwa pekerjaan telah selesai sesuai spesifikasi,
dan sejauh mana dilakukan pengungkapan publik atas
informasi penting terkait proyek.8

Sebagian besar industri pembangunan jalan di Indonesia


belum beroperasi dalam pasar yang efektif.
yang menentukan yang dikenakan baik terhadap klien,
kontraktor, dan konsultan. Sebagian besar persyaratan
ini berfokus pada penanganan hambatan kapasitas yang
dirasakan. Ini mencakup:
Meningkatkan kapasitas: Definisi persyaratan
minimum untuk kapasitas dalam hal tahun
pengalaman, akses terhadap peralatan, dan akses
terhadap keuangan.
Menaikkan persaingan: Pelelangan terbuka, termasuk
baru-baru ini beralih ke pengadaan elektronik
(e-procurement).
Bekerja dalam batas anggaran: Penolakan penawaran
yang melebihi perkiraan berdasarkan harga satuan
yang ditentukan pemerintah.
Memastikan mendapatkan yang terbaik dari setiap
nilai uang yang dibelanjakan: Penerimaan penawaran
terendah yang memenuhi syarat.
Meningkatkan kualitas konstruksi: Kriminalisasi
terhadap kegagalan konstruksi.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

menghambat identifikasi dan perbaikan kesalahan) dan


kriteria evaluasi penawaran yang kurang memperhitungkan
kapasitas internal sebenarnya yang ada saat ini serta kinerja
terdahulu. Hal ini mengurangi atau menghilangkan insentif
yang membuat kontraktor bisa atau sebaliknya memaksa
kontraktor untuk bekerja dengan baik, atau berinvestasi
pada peningkatan kapasitas.

Membangun Kepercayaan
Sejalan dengan kerangka kerja ACT, sebuah pendekatan
alternatif untuk pemerintah provinsi seharusnya akan
berfokus pada penciptaan lingkungan kelembagaan dan
regulasi yang terutama bertujuan membangun mekanisme
akuntabilitas yang efektif yang pada saatnya nanti
menimbulkan peningkatan kepercayaan.
Dalam jangka pendek, ini berarti membuang segala mekanisme
akuntabilitas atau proses administrasi yang tidak menunjukkan
hasil dalam hal peningkatan kinerja, dan sebaliknya berfokus
pada dukungan terhadap penguatan pengawasan lapangan.
Dalam kasus pemeliharaan berkala, hal ini berarti mengakui

Jalan Daerah

dan mendukung peran penting yang dijalankan oleh tenaga


ahli pengawas. Sebagaimana digambarkan di Gambar 4,
bahkan dalam kasus kontraktor yang tidak kompeten, seorang
tenaga ahli pengawas yang berpengalaman dan profesional,
jika didukung oleh klien, mampu memastikan terlaksananya
pekerjaan yang berkualitas.
Prinsip yang sama berlaku dalam kasus unit pemeliharaan
rutin secara swakelola. Dengan fokus pada pembangunan
kepercayaan melalui sistem pengelolaan, akuntabilitas,
dan penghargaan yang terbukti adil dan transparan,
peningkatan10 yang nyata dalam kinerja bisa dicapai.
Peningkatan tersebut mungkin pada akhirnya tidak akan
bisa menyaingi apa yang bisa dicapai oleh sektor swasta,
yang mampu menawarkan struktur penghargaan yang
lebih baik untuk peningkatan kinerja. Namun dalam jangka
pendek, dalam kondisi lemahnya pasar pemeliharaan
jalan dan industri yang melayaninya saat ini, hal ini tidak
dapat diartikan sebagai sebuah konklusi yang sudah pasti
bahwa kontraktor swasta akan mampu bersaing secara
efektif dengan unit swakelola yang dikelola dan termotivasi
dengan baik.

Tentang Penulis:
Hamish Goldie-Scot telah bekerja sebagai konsultan
internasional selama 33 tahun, setelah dua tahun bekerja
sebagai seorang guru di Afrika. Ia memiliki pengalaman yang
kuat terutama di bidang pengembangan dan pengkajian
prakarsa tata kelola yang baik secara partisipatif, di bidang
konstruksi dan pemeliharaan jalan berbasis tenaga kerja,
dan yang lebih umum di bidang peningkatan dampak
pembangunan yang berpihak pada rakyat miskin untuk
investasi infrastruktur oleh sektor publik dan swasta. Ia
pernah bekerja sebagai Insinyur Sipil, Perencanaan yang
berpihak pada rakyat miskin, Insinyur Lingkungan, Pelatih, dan
seorang ahli di bidang Pemantauan & Evaluasi/Tata Kelola di
26 negara berkembang dalam berbagai penugasan. Jangkauan
pekerjaannya meliputi prakarsa akses pedesaan tingkat desa
hingga memfasilitasi diskusi internasional tingkat menteri
mengenai investasi infrastruktur dan risiko korupsi terkait.
Kualifikasi dan pengalamannya yang luas memungkinkannya
menerapkan keterampilannya secara luas serta lintas disiplin
dan sektor. Ia merupakan anggota (fellow) UK Institution of
Civil Engineers.

CATATAN
1. Badan jalan (carriageway) adalah lebar jalan tanpa adanya pembatas atau pemisahan secara fisik yang menghalangi kendaraan
untuk bergerak dari sisi satu ke sisi yang lain.
2. Kerangka kerja ACT diperkenalkan pertama kali dalam Naskah Pengarahan 2008 (Briefing Paper 2008) yang diterbitkan oleh UK
Institution of Civil Engineers. ACT berhasil diterapkan sebagai sarana studi korupsi oleh Bank Dunia di Etiopia dan kinerja industri
pembangunan jalan di Indonesia. Kemudian dikembangkan lebih lanjut di bawah studi jalan daerah IndII di Provinsi Nusa Tenggara
Barat. Pada tahun 2013, ACT digunakan untuk menganalisis kendala kinerja kontrak pemeliharaan jalan di Mongolia.
3. Sumber: Road Construction Industry Assessment, Indonesia (Penilaian Industri Pembangunan Jalan, Indonesia). Bank Dunia. 2011.
4. Sumber: Provincial and Kabupaten Road Maintenance Management Phase 2: Interim report on maintenance implementation
delivery mechanisms (Pengelolaan Pemeliharaan Jalan Provinsi dan Kabupaten Tahap 2: Laporan sementara mengenai mekanisme
pelaksanaan implementasi pemeliharaan). AARB untuk IndII. 2011.
5. Selain dari ancaman dimasukkan ke dalam daftar hitam, yang dengan mudah bisa dihindari melalui pendaftaran perusahaan
alternatif.
6. Sumber: Road Construction Industry Assessment, Indonesia (Penilaian Industri Pembangunan Jalan, Indonesia). Bank Dunia. 2011.
7. Standar internasional yang diakui untuk pengadaan sektor konstruksi adalah ISO 10845.
8. Munculnya praktik yang baik secara internasional dalam hal ini diuraikan di bawah prakarsa Transparansi Sektor Konstruksi
(Construction Sector Transparency, atau CoST) internasional, lihat www.constructiontransparency.org
9. Situs online khusus yang melayani permintaan sektor swasta untuk peningkatan tingkat kepercayaan adalah www.myspeedoftrust.
com
10. Studi Substitusi Tenaga Kerja oleh Bank Dunia yang dilakukan di Asia dan Afrika pada tahun 1970-an mengidentifikasi potensi
peningkatan yang signifikan dalam kualitas dan dalam produktivitas tenaga kerja melalui peningkatan praktik pengelolaan dalam
program pekerjaan umum. Peningkatan tersebut biasanya meliputi penyediaan dan pemeliharaan sarana yang memiliki kualitas
yang baik, upah tunai, tugas harian yang terdefinisi dengan jelas (yang setelahnya pekerja atau tim yang bersangkutan bebas untuk
pulang ke rumah), dan kondisi kerja yang baik. Studi banding informal yang dilakukan oleh penulis mengenai proyek pembangunan
jalan berbasis tenaga kerja di Afrika pada tahun 1980-an menemukan banyak kasus bahwa peningkatan pengelolaan memakan biaya
harian secara keseluruhan menjadi lebih dari dua kali lipat, tapi menghasilkan kualitas tinggi secara konsisten dan mengarah pada
peningkatan yang cukup besar dari sisi produktivitas.
Prakarsa Compendium | Jilid 2

265

POIN-POIN UTAMA
IndII tengah menjalankan percontohan pendekatan baru terhadap pemeliharaan jalan daerah yang
menunjukkan harapan bagi peningkatan akuntabilitas dan transparansi, menjadikan penggunaan dana
lebih efisien, dan menghasilkan jalan yang lebih terpelihara. Program Peningkatan dan Pengelolaan
Jalan Provinsi (Provincial Road Improvement and Maintenance Program,[PRIM]) akan dijadikan
percontohan di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada tahun 2013. Program ini akan mempergunakan
kontribusi Hibah Infrastruktur Australia-Indonesia (Australia Indonesia Infrastructure Grant, [AIIG])
untuk mendorong peningkatan pemeliharaan dan tata kelola pemerintahan yang baik terkait dengan
jalan provinsi. Melalui prosedur pemerintah yang ada, PRIM akan meningkatkan cara pemerintah
provinsi mengelola dan memelihara jaringan jalan dan mendorong pengawasan publik terhadap
efektivitas perencanaan dan penyelenggaraan pemeliharaan. Hibah AIIG akan diberikan apabila
pekerjaan pemeliharaan telah diverifikasi bahwa pekerjaan telah direncanakan dan dilaksanakan
dengan menggunakan prosedur yang ditetapkan dan memenuhi standar yang telah disepakati.
Provinsi akan membiayai terlebih dahulu program kerjanya, dan akan menerima kontribusi hibah
AIIG setelah dinilai berhasil mematuhi syarat program.
PRIM unik karena menentukan sasaran pada pemeliharaan rutin, yang sering kali terabaikan.
Tahap 1, mulai tahun 2013 sampai dengan bulan Juni 2015, akan berkonsentrasi pada peningkatan
kapasitas kelembagaan dan tata kelola pemerintahan dan memperkenalkan pemeliharaan yang
efektif; Tahap 2, mulai bulan Juli 2015 sampai dengan 2018, akan melanjutkan dan memperluas
pekerjaan pemeliharaan dan rehabilitasi.
Total biaya yang diperkirakan untuk program di NTB adalah A$ 130 juta, AIIG akan memberikan hibah
sampai dengan A$ 52 juta. Pendanaan hibah ini akan dilengkapi dengan TA (technical assistance)
yang didukung IndII dan dana tambahan yang akan disediakan sebagai insentif untuk memperkuat
prosedur perencanaan, pemrograman, dan penganggaran (planning, programming, and budgeting,
[PPB]) dan untuk melibatkan masyarakat melalui Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (FLAJ).
Kondisi jalan provinsi yang tidak memuaskan merupakan akibat dari buruknya kualitas konstruksi dan
kurangnya pemeliharaan. Proyek tidak selalu dipilih menurut kriteria yang rasional dan berdasarkan
kebutuhan, pekerjaan seringkali ditetapkan dan diawasi dengan cara yang tidak memadai, dan
korupsi bukan hal yang tidak biasa. Akar masalah tersebut tidak lain adalah kurangnya insentif untuk
tata kelola pemerintahan yang efektif. Dinas Bina Marga tidak dimintai pertanggungjawaban dan
tidak mendapat pengawasan publik.
PRIM mengikutsertakan pembelajaran dari pengalaman sebelumnya: Masukan jangka pendek dari TA
dan sumber daya lain hanya akan memberikan dampak jangka pendek, kecuali apabila pengaruhnya
dapat dilembagakan dan menjadi bagian dari kegiatan sehari-hari Dinas Bina Marga. Ini berarti
melembagakan penggunaan perangkat perencanaan rasional ke dalam proses alokasi anggaran,
meningkatkan akuntabilitas, memberi insentif terhadap kinerja yang baik, dan mengenakan sanksi
terhadap kinerja yang buruk.
Hasil PRIM akan diverifikasi secara independen oleh tim teknis DJBM, dan akan menjadi dasar
persetujuan pencairan hibah. Verifikasi akan mencakup tiga bidang, yaitu: penyusunan program
pekerjaan pemeliharaan, pelaksanaan pekerjaan fisik, dan peningkatan kinerja kelembagaan.
Pendekatan berbasis hasil dan hibah insentif merupakan inovasi terpenting dalam rancangan
PRIM. Hal yang juga penting adalah penentuan indikator-indikator anti-korupsi dan FLAJ yang
akan meningkatkan tata kelola pemerintahan dan transparansi dengan menangani persoalan yang
menjadi perhatian publik dan memberikan tekanan kepada Dinas Bina Marga untuk merencanakan
dan melaksanakan program pemeliharaan yang efektif.

Jalan Daerah

Pengantar Tentang PRIM:


Program Peningkatan dan
Pengelolaan Jalan Provinsi
Sebuah pendekatan baru terhadap pemeliharaan jalan daerah
mengacu pada pembelajaran yang diperoleh dari program-program
sebelumnya dan menekankan pada tata kelola, akuntabilitas, dan
pengawasan publik untuk menjamin bahwa dana dipergunakan
secara efisien.
Oleh John Lee

Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) yang didanai


oleh AusAID sedang menjalankan program per-contohan
pendekatan baru terhadap pemeliharaan jalan daerah yang
menunjukkan harapan bagi peningkatan akuntabilitas dan
transparansi, membuat penggunaan dana lebih efisien,
dan menghasilkan jalan yang lebih terpelihara. Program
Peningkatan dan Pengelolaan Jalan Provinsi (Provincial
Road Improvement and Maintenance Program, [PRIM])
akan dijadikan percontohan di Nusa Tenggara Barat
(NTB) mulai tahun 2013. Program ini akan dilaksanakan
dengan kontribusi Hibah Infrastruktur Australia-Indonesia
(Australia Indonesia Infrastructure Grant [AIIG]) untuk
mendorong peningkatan pemeliharaan dan tata kelola
pemerintahan yang baik dalam hal jalan provinsi. Bekerja
dengan prosedur pemerintah yang telah ada, PRIM
akan meningkatkan cara pemerintah provinsi mengelola
dan memelihara jaringan jalan mereka dan mendorong
pengawasan publik terhadap efektivitas perencanaan dan
penyelenggaraan pemeliharaan. Hibah AIIG akan diberikan
apabila pekerjaan pemeliharaan telah dipastikan bahwa

pekerjaan telah direncanakan dan dilaksanakan dengan


menggunakan prosedur yang disepakati serta memenuhi
standar. Pemerintah Provinsi akan membiayai program
kerjanya terlebih dahulu, dan akan menerima dana hibah
AIIG setelah keberhasilan dalam memenuhi persyaratan
program diverifikasi.
Rancangan PRIM mengacu pada pembelajaran yang
diperoleh dari program-program donor sebelumnya, yang
sebagian besar berfokus pada rekonstruksi, rehabilitasi,
dan pemeliharaan jalan berkala. Program PRIM unik
karena menentukan sasaran pada pemeliharaan rutin,
yang sering kali terabaikan tetapi paling mendesak.
Sebagian besar program telah melibatkan mekanisme
penerapan khusus dan membantu meningkatkan kapasitas
kelembagaan melalui dukungan teknis (technical assistance
[TA]), perangkat perencanaan, dan pelatihan; PRIM akan
memberikan jaminan keberlanjutan yang lebih besar
dengan memberikan insentif untuk kinerja lebih baik
kepada lembaga yang ada, serta peningkatan prosedur.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

267

268

Pengantar Tentang PRIM: Program Peningkatan dan Pengelolaan Jalan Provinsi

Memverifikasi Kinerja Berbasis Hasil


PRIM dirancang untuk memperkuat kinerja dari:
Pemerintah provinsi, dalam memaksimalkan nilai manfaat dari setiap rupiah yang dibelanjakan (value-for-money) dalam
pendanaan, penyusunan program, dan penugasan pemeliharaan jalan
Kontraktor swasta, dalam melaksanakan pemeliharaan jalan sesuai dengan spesifikasi
Konsultan swasta dalam merancang pekerjaan dan mengawasi kontraktor secara efektif
Masyarakat sipil, dalam menuntut pertanggungjawaban semua pihak atas layanan yang diberikan.
Untuk mencapai hal ini, PRIM fokus pada:
Penggunaan hibah bersyarat, dengan pencairan yang ditentukan oleh hasil fisik dan kelembagaan yang memuaskan
Pengungkapan informasi program dan peningkatan peluang terhadap pengawasan publik.
Akuntabilitas juga akan diperkuat melalui:
Pengawasan lapangan yang lebih efektif, yang difasilitasi dengan indikator-indikator peningkatan status dan remunerasi insinyur
pengawas (supervising engineers)
Penerapan yang lebih baik dari prosedur pengadaan barang dan jasa yang adil
Prosedur perencanaan dan pemantauan yang menyajikan rencana dengan jelas, menunjukkan kemajuan, memfasilitasi kajian,
dan tindakan perbaikan
Keterlibatan FLAJ untuk mengawasi rencana dan hasil serta menyalurkan pengaduan masyarakat
Penggunaan verifikator independen untuk memeriksa kepatuhan hasil pekerjaan.
Kementerian teknis yang berwenang untuk menjalankan verifikasi adalah Kementerian Pekerjaan Umum. Tim Teknis, didukung oleh
konsultan, akan melakukan verifikasi terhadap hasil pekerjaan serta memberikan penilaian teknis dan keuangan selama pelaksanaan
pekerjaan untuk memaksimalkan peluang keberhasilan verifikasi.
Verifikasi akan mencakup tiga indikator yang menjadi syarat pencairan hibah:
Penyusunan program pekerjaan pemeliharaan: Ini akan memastikan bahwa program pekerjaan tahunan disusun berdasarkan
prosedur perencanaan, pemrograman, dan penganggaran (planning, programming, and budgeting, [PPB]) yang telah disetujui,
pekerjaan yang diusulkan tercakup dalam anggaran provinsi, dan anggaran pemeliharaan diumumkan di situs internet.
Pelaksanaan pekerjaan fisik: Ini akan memastikan penyelesaian hasil fisik dan kepatuhan terhadap spesifikasi teknis, pedoman
pengadaan, dan pengamanan lingkungan dan sosial.
Peningkatan kinerja kelembagaan: Ini akan memastikan kemampuan provinsi dalam menyusun program kerja tahunan dengan
dukungan eksternal yang semakin berkurang, mengadopsi prosedur operasional standar menurut FLAJ, mengadakan forum dan
konsultasi publik, dan menyebarluaskan hasilnya kepada masyarakat, menerapkan pelatihan yang telah disepakati dan program
pengembangan tenaga kerja dengan baik, serta menyusun dan mengajukan laporan pemantauan dan evaluasi (M&E) tahunan.
Proses verifikasi dapat menimbulkan peluang terjadinya pungutan liar (pungli) yang mengarah pada perilaku korup. Upaya-upaya
penanggulangan berdasarkan PRIM mencakup pengembangan dan penerapan rencana tindak anti-korupsi, dengan merekrut
konsultan verifikasi independen, yang ditugaskan pada Tim Teknis, dan dukungan bagi FLAJ yang akan mendorong transparansi
dan pengawasan oleh anggota masyarakat yang berkepentingan. Hal ini akan mengurangi risiko pengadaan dan kinerja buruk dari
kontraktor dan konsultan.
Penggunaan nilai acuan pekerjaan (NAP, reference unit costs/RUCs) akan membantu menghindari kolusi dalam penetapan harga. NAP
akan dipergunakan untuk memperkirakan nilai pekerjaan yang diverifikasi dan pencairan yang harus dilakukan dari hibah. NAP akan
mencerminkan harga pasar di provinsi dan akan dimutakhirkan setiap tahun.
Perlu dicatat pula bahwa apabila terjadi kinerja yang buruk, hibah tidak akan dibayarkan. Ini merupakan insentif terbesar yang
mendorong pelaksanaan pekerjaan yang efektif. Selain itu, dana hibah akan diserahkan kembali apabila terdapat bukti adanya
pengeluaran yang tidak memenuhi syarat setelah pencairan hibah.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Jalan Daerah

PRIM juga menekankan transparansi dan akan memperkuat


peran forum publik dalam menuntut pertanggungjawaban
Dinas Bina Marga atas kinerjanya dalam mencapai hasil
yang telah ditentukan.

Komponen-Komponen PRIM
Program di NTB tersebut akan diselesaikan dalam dua
tahap: Tahap 1, mulai tahun 2013 sampai dengan bulan
Juni 2015 (yang mencakup tahap yang sedang berjalan saat
ini dari pendanaan IndII dan AIIG), akan berkonsentrasi
pada peningkatan kapasitas kelembagaan dan tata kelola
pemerintahan serta memperkenalkan pemeliharaan yang
efektif; Tahap 2, mulai bulan Juli 2015 sampai dengan 2018,
akan melanjutkan dan memperluas pekerjaan pemeliharaan
dan rehabilitasi.
Total biaya yang diperkirakan untuk program di NTB adalah
A$ 130 juta, dan AIIG akan memberikan hibah sampai
dengan A$ 52 juta. Pendanaan hibah ini akan dilengkapi
dengan TA yang didukung oleh IndII, termasuk penguatan
kelembagaan, dukungan pengembangan kapasitas dan
pengelolaan program, verifikasi hasil serta pemantauan dan
evaluasi, (M&E) senilai A$ 15,3 juta. A$ 2,6 juta tambahan
akan tersedia sebagai insentif untuk memperkuat prosedur
perencanaan, pemrograman, dan penganggaran (planning,
programming, and budgeting, [PPB]) dan untuk melibatkan
masyarakat melalui Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(FLAJ) yang ada. Total pendanaan Australia akan mencapai
A$ 69,8 juta, di antaranya A$ 17,2 juta (hibah AIIG sebesar
A$ 11,4 juta dan TA AusAID sebesar A$ 5,8 juta) akan
dialokasikan untuk Tahap 1.
Tingkat pengembalian ekonomis yang diperkirakan
(economic internal rate of return, [EIRR]) untuk tujuh paket
pemeliharaan dan pekerjaan rehabilitasi1 berkala awal pada
Tahap 1 adalah 88 persen dengan seluruh jalan dan paketnya
memberikan nilai bersih saat ini (net present values, [NPV])
positif. EIRR untuk program PRIM secara keseluruhan
adalah 98 persen, dengan NPV sebesar A$ 43,5 juta. PRIM
juga memungkinkan Dinas Bina Marga untuk memperoleh
penghematan bersih sebesar sekitar A$ 25,3 juta.

Mengatasi Penyebab Mendasar


Kondisi jalan provinsi yang tidak memuaskan merupakan
akibat dari buruknya kualitas konstruksi dan kurangnya
pemeliharaan. Bahkan dengan peningkatan jumlah jalan

yang tidak memuaskan tersebut baru-baru ini, anggaran


untuk pekerjaan jalan secara keseluruhan tetap tidak
memadai dan cenderung dialokasikan untuk proyek-proyek
yang menyangkut permodalan (capital projects) yang
lebih kasat mata, sementara pemeliharaan khususnya
pemeliharaan rutin diabaikan. Proyek tidak selalu dipilih
menurut kriteria yang rasional dan berdasarkan kebutuhan.
Pekerjaan seringkali ditetapkan dan diawasi dengan cara
yang tidak memadai. Dinas-Dinas Bina Marga memiliki
kapasitas terbatas; dengan staf yang tidak dilatih secara
memadai. Korupsi bukan hal yang tidak biasa.
Akar permasalahan tersebut adalah kurangnya insentif untuk
tata kelola yang efektif. Institusi di bawah Dinas Bina Marga
tidak dimintai pertanggungjawaban atas kinerja mereka
dalam mengelola jaringan jalan secara efisien. Institusi
tersebut tidak mendapat tekanan pengawasan publik untuk
menentukan prioritas yang tepat dan memberikan hasil
yang lebih baik. Tidak ada pemeriksaan apakah mereka
melaksanakan pekerjaan dengan memperhatikan nilai
manfaat dari setiap rupiah yang dibelanjakan (value-formoney) dan tidak ada sanksi jika mereka gagal.
Akibatnya, jalan mengalami kerusakan lebih dini, sehingga
pada akhirnya memerlukan biaya rehabilitasi atau
rekonstruksi yang jauh lebih mahal. Pemerintah Indonesia
memperoleh nilai manfaat yang rendah dari pengeluarannya.
Biaya yang dikeluarkan pengguna jalan jauh lebih tinggi dari
yang diperlukan, sehingga mengganggu upaya Pemerintah
dalam pembangunan sosial dan ekonomi.

Strategi Pemerintah Indonesia


Direktorat Jenderal Bina Marga (DJBM) di Kementerian
Pekerjaan Umum (Kementerian PU) memiliki tanggung
jawab untuk membantu menjamin kualitas jalan provinsi
dan kabupaten yang lebih baik. Tetapi, upaya untuk
meningkatkan pemeliharaan jalan terutama hanya fokus
pada rekonstruksi dan rehabilitasi. Negara-negara lain telah
berhasil menerapkan alih daya (outsourcing) terhadap
tanggung jawab pengelolaan jaringan jalan dengan
menggunakan kontrak berbasis hasil atau kinerja. Ini telah
dicoba di Indonesia, tetapi dengan hasil yang beragam.
Undang-Undang no. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan menunjukkan perhatian Pemerintah
Indonesia terhadap kondisi infrastruktur jalan. Diprakarsai

Prakarsa Compendium | Jilid 2

269

270

Pengantar Tentang PRIM: Program Peningkatan dan Pengelolaan Jalan Provinsi

oleh Kementerian Perhubungan yang tidak memiliki


tanggung jawab secara langsung terhadap jalan dan
pemeliharaannya Undang-Undang ini memuat beberapa
ketentuan yang dirancang untuk meningkatkan kondisi
jalan, yaitu: institusi di bawah Dinas Bina Marga harus
bertanggung jawab atas kecelakaan yang timbul akibat
kegagalan dalam memelihara standar yang memadai;
dana khusus untuk jalan harus ditetapkan untuk
menjamin ketersediaan sumber daya yang memadai untuk
pemeliharaan jalan; dan FLAJ harus dibentuk di tingkat

lebih besar terhadap peningkatan berkelanjutan dalam tata


kelola dibandingkan dengan hasil fisik.

Sebuah Pendekatan Baru


Rancangan PRIM mencerminkan pembelajaran yang
diperoleh dari pengalaman sebelumnya. Berbeda dari
upaya-upaya sebelumnya, fokus PRIM adalah pemeliharaan
dan bukan rekonstruksi, rehabilitasi, atau perluasan
kapasitas jaringan jalan, dan PRIM akan menerapkan
persyaratan yang disertakan dalam dukungan hibah AIIG

Program PRIM unik karena menentukan sasaran pada


pemeliharaan rutin, yang sering kali terabaikan tetapi paling
mendesak
nasional, provinsi, dan kota/kabupaten melapor secara
langsung kepada Gubernur, untuk tingkat provinsi untuk
membantu menjamin perencanaan dan penyelenggaraan
layanan infrastruktur jalan, lalu lintas, dan angkutan yang
lebih efektif. Keanggotaan forum ini terdiri dari anggota
masyarakat sipil, badan pemerintah terkait, dan pengguna
jalan.

Pelajaran untuk Rancangan PRIM


Pelajaran yang diperoleh dari pengalaman sebelumnya
adalah bahwa masukan jangka pendek dari TA dan sumbersumber lain untuk mendukung pemeliharaan jalan, baik untuk
perencanaan, rancangan, pelaksanaan, atau penguatan
kelembagaan, kemungkinan tidak akan memberikan
dampak jangka panjang, kecuali apabila pengaruhnya dapat
dilembagakan dan menjadi bagian dari kegiatan seharihari Dinas Bina Marga. Ini berarti memasukkan perangkat
perencanaan rasional ke dalam proses penetapan
penganggaran dan prioritas belanja, dan menuntut Dinas
Bina Marga untuk mempertanggungjawabkan kinerjanya
dalam menangani jaringan jalan dan memperoleh nilai
manfaat dari setiap rupiah yang dibelanjakan dari anggaran
yang sudah dialokasikan. Ini berarti mendorong Dinas Bina
Marga, konsultan, dan kontraktor untuk mencapai kinerja
yang diharapkan dan juga mendorong mereka untuk
mencapai hal tersebut, dengan menerapkan sanksi kontrak
dan tekanan dari pengawasan publik. Dan untuk rancangan
program percontohan seperti PRIM, membutuhkan fokus

Prakarsa Compendium | Jilid 2

(dan diharapkan bentuk dukungan pemerintah pusat


lainnya di masa yang akan datang) untuk memperkuat tata
kelola pemerintahan yang lebih berkelanjutan.
Dengan fokus pada pemeliharaan rutin, yang saat ini
nyaris benar-benar terabaikan, PRIM akan mendorong
Dinas Bina Marga provinsi untuk meningkatkan baik hasil
fisik maupun tata kelola program. PRIM akan memberikan
kontribusi hibah sampai dengan 40 persen dari pengeluaran
untuk pemeliharaan apabila pekerjaan yang selesai
telah mendapatkan verifikasi bahwa pekerjaan tersebut
telah memenuhi indikator kinerja teknis dan PPB yang
telah disepakati. PRIM juga akan memberikan sampai
dengan 5 persen dana hibah tambahan sebagai imbalan
atas peningkatan kinerja kelembagaan. Untuk menjamin
keberlanjutan, PRIM akan bekerja dengan menggunakan,
dan sedang dalam proses memperkuat, prosedur
pemerintah yang ada, dengan menggunakan konsultan lokal
untuk rancangan dan pengawasan dan kontraktor daerah
untuk penerapannya. Dengan meningkatkan peran, profil,
dan kemampuan FLAJ provinsi, PRIM akan menuntut Dinas
Bina Marga Provinsi untuk mempertanggungjawabkan
kinerjanya secara terbuka. PRIM akan memperkenalkan
prosedur PPB yang obyektif dan memberi imbalan atas
penerapan prosedur secara permanen sebagai bagian
dari siklus perencanaan tahunan. Prosedur ini termasuk
dorongan yang kuat terhadap anti korupsi.

Jalan Daerah

Officials in Nusa Tenggara Barat have shown a strong interest in participating in the
PRIM pilot program.

Verifikasi Keluaran dan Pencairan Dana Hibah


Verifikasi keluaran teknis dan tata kelola menjadi dasar
persetujuan pencairan hibah. Verifikasi akan dilakukan
secara independen yang tidak terkait dengan para pihak
yang terlibat.
DJBM akan mewakili Kementerian teknis, dalam hal ini
adalah Kementerian PU, yang berkewajiban melaksanakan
verifikasi. Tim Teknis DJBM, yang didukung konsultan, akan
memverifikasi hasil akhir dan menjalankan penilaian teknis

Courtesy of Max Antameng

dan keuangan sebelum pekerjaan selesai untuk mengurangi


kemungkinan pekerjaan tersebut gagal dalam verifikasi.
Verifikasi akan mencakup tiga indikator yang berkaitan
dengan pencairan dana hibah, yaitu:
Penyusunan program pekerjaan pemeliharaan: Ini akan
memastikan bahwa program pekerjaan tahunan disusun
berdasarkan prosedur PPB yang telah disetujui, pekerjaan
yang diusulkan tercakup dalam anggaran provinsi, dan
anggaran pemeliharaan diumumkan di situs internet.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

271

272

Pengantar Tentang PRIM: Program Peningkatan dan Pengelolaan Jalan Provinsi

Setelah program tersebut diverifikasi, pembayaran di muka


hingga sebesar 30 persen dari kontribusi hibah terhadap
biaya (atau 12 persen dari biaya program kerja tahunan)
dapat dicairkan.
Pelaksanaan pekerjaan fisik: Ini akan menyatakan
penyelesaian hasil fisik dan kepatuhan terhadap spesifikasi
teknis, pedoman pengadaan, dan pengamanan lingkungan
dan sosial. Pekerjaan yang telah diverifikasi akan memenuhi
syarat untuk pencairan sampai dengan 70 persen dari
kontribusi hibah terhadap biaya (atau sampai dengan 28
persen dari biaya program kerja tahunan).
Peningkatan kinerja kelembagaan: Hal ini akan
menunjukkan kemampuan NTB dalam menyusun program
kerja tahunan dengan semakin berkurangnya dukungan
eksternal yang, mengadopsi prosedur operasional standar
menurut FLAJ, mengadakan forum dan konsultasi publik
dan menyebarluaskan hasilnya kepada masyarakat,
menerapkan pelatihan yang telah disepakati dan program
pengembangan tenaga kerja dengan baik, serta menyusun
dan mengajukan laporan M&E tahunan.

Mendorong Kinerja
Pendekatan berbasis hasil dan hibah insentif merupakan
inovasi terpenting dalam rancangan PRIM. Tidak ada program
setara yang pernah menerapkan pendekatan ini sebelumnya.
Unsur utama yang diperlukan untuk mengubah perilaku
secara berkesinambungan adalah dengan keberadaan FLAJ
yang melakukan pengawasan eksternal secara efektif dan
menuntut transparansi yang lebih besar terkait rencana
dan kinerja. PRIM akan memberikan insentif keuangan
untuk mendorong perubahan kelembagaan dan pelatihan;
dukungan PRIM kepada FLAJ akan membuat pengaruh
mereka menjadi lebih efektif. PRIM juga akan melibatkan
pihak ketiga yang independen untuk memverifikasi bahwa
pekerjaan yang telah diselesaikan memenuhi kriteria yang
disepakati, dan memberikan insentif untuk mengurangi
peluang penipuan dan korupsi. Lebih lanjut, PRIM telah
dirancang menjadi program yang berkelanjutan dengan
penekanan pada penyelesaian dan penguatan sistem dan
prosedur pemerintah yang ada, dengan menggunakan
konsultan dan kontraktor lokal, melatih staf provinsi, dan
meningkatkan tekanan akuntabilitas kinerja.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Korupsi
Berbagai langkah dalam PRIM untuk mengurangi
risiko korupsi mencakup rencana tindak anti-korupsi,
memperkerjakan verifikasi independen, dukungan untuk
FLAJ, dan tentu saja ancaman untuk menolak pembayaran
(non-reimbursement) dari fasilitas AIIG. FLAJ, dengan
fokusnya pada transparansi dan keterlibatan masyarakat
sipil, akan membantu mencegah suap dan kualitas
pekerjaan yang rendah. Perjanjian hibah akan mencakup
mekanisme untuk menarik kembali dana dari NTB apabila
terdapat bukti adanya pengeluaran yang tidak memenuhi
syarat setelah pencairan hibah.

Peran FLAJ
FLAJ akan memegang peran penting dalam PRIM, melalui
peningkatan tata kelola pemerintahan dan transparansi
dengan menangani persoalan yang menjadi perhatian
publik dan memberikan tekanan kepada Dinas Bina
Marga untuk merencanakan dan melaksanakan program
pemeliharaan yang efektif. FLAJ NTB didirikan pada tahun
2010, dengan tugas memecahkan masalah lalu lintas jalan
dan angkutan, mengkoordinasi badan-badan provinsi
terkait dan melaporkan hasilnya kepada Gubernur. Dengan
diketuai oleh Gubernur sendiri, keanggotaan FLAJ termasuk
kepala dinas pekerjaan umum provinsi, kepolisian dan
dinas perhubungan darat, perwakilan penyelenggara
transportasi, perwakilan universitas, pakar bidang
transportasi, perwakilan LSM yang fokus pada transportasi
dan pengamat transportasi. PRIM akan memperkuat
perannya dalam menangani pengaduan masyarakat serta
meningkatkan tata kelola pemerintahan dan transparansi
dengan melakukan pengawasan terhadap rencana dan
program Dinas Bina Marga. Dukungan PRIM kepada FLAJ
termasuk memberikan dukungan untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat terhadap persoalan pemeliharaan
jalan dan peran FLAJ melalui pesan SMS, pengembangan
situs internet, dan rapat komunitas mengenai rencana
dan proyek (misalnya, mengenai prioritas keseluruhan
pekerjaan, serta persoalan daerah terkait proyek seperti
akses terhadap properti, keberlangsungan sistem drainase,
dll.). PRIM juga akan mendukung FLAJ untuk menangani
persoalan lintas sektoral seperti akses yang setara terhadap
transportasi bagi penyandang cacat dan melaporkan

Jalan Daerah

pengelolaan pengaduan masyarakat. Program pelatihan


bagi anggota FLAJ akan dikembangkan berdasarkan studi
kebutuhan pelatihan yang dilakukan PRIM.

Mengapa Jalan Provinsi NTB?


Jalan provinsi menghubungkan jalan nasional dan jalan
kabupaten. Jalan provinsi menanggung seperlima dari total
kebutuhan penggunaan jalan. Provinsi yang bertanggung
jawab atas jalan tersebut biasanya memiliki kapasitas
lebih besar daripada tingkat kabupaten. Menjalankan
program percontohan di tingkat provinsi memiliki peluang
keberhasilan yang lebih besar.
Jaringan jalan provinsi NTB sepanjang 1.772 km
memerlukan pemeliharaan lebih baik yang mendesak:
hanya 49 persen dari panjang seluruh jalan berada dalam
kondisi stabil. Pada tahun 2010 dan 2011, IndII memberi
dukungan dalam menyusun program pemeliharaan untuk
NTB dengan menggunakan prosedur PPB yang lebih baik
dan menggali potensi untuk mendorong pelaksanaan
program pemeliharaan berbasis hasil. Pemerintah Provinsi
menunjukkan minat yang besar dan mengakui peningkatan
tata kelola pemerintahan sebagai fokus utamanya. Gubernur
dan DPRD memberikan wewenang atas pendanaan tahun
jamak dan kontrak kerja untuk memfasilitasi penerapannya.
NTB telah membentuk FLAJ yang efektif dan meningkatkan
anggaran pemeliharaan jalan untuk tahun 2012. Pada
bulan Februari dan Maret, dan juga pada bulan Agustus,
September, dan Oktober 2012, FLAJ mendesak DJBM dan
IndII untuk mempercepat pelaksanaan PRIM. NTB juga
merupakan salah satu dari provinsi termiskin di Indonesia.

Tentang Penulis:
John Lee adalah Direktur Teknik untuk Transportasi
pada Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII). Ia memiliki
pengalaman lebih dari 40 tahun sebagai spesialis sektor
transportasi, termasuk 15 tahun bekerja di Indonesia. Ia
berpengalaman mengelola berbagai macam proyek kebijakan
dan perencanaan transportasi, menangani semua moda
transportasi, baik nasional maupun regional, di seluruh Asia,
Afrika, Timur Tengah, dan wilayah Pasifik. Ia memahami dengan
baik persyaratan semua badan hibah internasional utama.
Sebelum bergabung dengan IndII, John menjadi Penasihat
Departemen Transportasi yang baru di Abu Dhabi, di sana
ia mendukung pembentukan Highways and Public Transport
Division (Divisi Jalan dan Transportasi Publik) mulai dari nol.
John memiliki keahlian dalam pengembangan kelembagaan,
studi kelayakan investasi, perencanaan transportasi multi
moda, penyelenggaraan proyek berbasis kinerja (termasuk
PPP/KPS), dan pengelolaan aset.

Apabila program percontohan di NTB ini berhasil, program


ini dapat diperluas ke provinsi-provinsi lainnya, dan bahkan
diterapkan pada sistem jalan kabupaten. Bappenas,
Kemenkeu, dan DJBM semua berharap dapat memperluas
PRIM.

CATATAN
1. Pekerjaan tersebut diperlukan agar beberapa ruas jalan berada dalam kondisi yang dapat dipelihara.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

273

274

Ahli Lokal Tentang Jalan Daerah

Ahli Lokal Tentang Jalan Daerah


Prakarsa mewawancarai dua pejabat yang memiliki pemahaman
yang baik tentang berbagai pilihan yang harus diambil para
pembuat kebijakan daerah untuk mengelola jaringan jalan.
Interviews

Kesan pertama yang terlintas dalam pikiran ketika bertemu


dengan Dr. H. Rosyadi Rangkuti, M.Sc (Kepala Bappeda Nusa
Tenggara Barat [NTB]) dan Ir. H. Dwi Sugiyanto, MM (Kepala
Dinas PU Nusa NTB) adalah: pendekar. Bukan pendek dan
kekar, melainkan prajurit bukan dalam arti pejuang,
melainkan seseorang dengan pemahaman yang dalam
terhadap suatu subyek. Jadi bukan pendekar dalam hubungan
dengan ilmu silat, melainkan dalam urusan program Provincial
Road Improvement and Maintenance Program (PRIM, Program
Pengelolaan dan Peningkatan Jalan Provinsi), yang sedang
menjadi proyek percontohan di NTB. Dr. Rosyadi Rangkuti
menangani perencanaan dan program infrastruktur di NTB,
sedangkan Ir. H. Dwi Sugiyanto menangani aspek teknis
PRIM. Keduanya sangat mengenal PRIM dan bersedia berbagi
pengetahuan; terbukti pada saat Prakarsa mengajukan
permintaan wawancara, mereka bersedia diwawancarai saat
itu juga.
Kedua pejabat tersebut memberikan keterangan dan observasi
yang jelas mengenai peran PRIM, proses pengambilan
keputusan pengelolaan jalan, serta ekspansi PRIM ke provinsi
lainnya. Di bawah ini adalah cuplikan perbincangan Prakarsa
dengan kedua ahli tersebut. Teks wawancara lengkap tersedia
di di kolom Sosok dan Pemikiran di situs website IndII (www.
indii.co.id).

Prakarsa: Apa manfaat yang ditawarkan program PRIM


dan dampak positif apa yang Bapak rasakan dengan
terpilihnya daerah NTB sebagai proyek percobaan
program ini?
Dr. Rosyadi Sayuti, M.Sc: Program PRIM datang tepat waktu
untuk NTB, karena kami baru menyelesaikan program
percepatan peningkatan pemantapan jalan provinsi 2011

Prakarsa Compendium | Jilid 2

20121, Program tersebut meliputi panjang jalan 350 km dan


meningkatkan kemantapan jalan2 dari awalnya 44 persen
menjadi hampir 70 persen. Hakikat dari program PRIM
dan program percepatan peningkatan jalan ini sama, yakni
memperkenalkan pemeliharaan jalan tepat waktu dan
berdasarkan output. Persyaratan awal program, dengan
meningkatkan dana daerah untuk pemeliharaan jalan,
merupakan pembelajaran bagi kami di masa mendatang agar
dalam memasukkan dana pemeliharaan jalan, haruslah dalam
jumlah yang cukup. Selain itu dipandang dari sisi Bappeda,
program PRIM tersebutdatang pada pertengahan 2013, dan
kita akan memulai RPJMD baru terhitung 2014 sampai 2018,
dan ini adalah alasan saya menyebut program ini tepat waktu.
Berkenaan dengan alokasi dana pemeliharaan, akan kami
sampaikan kepada rekan-rekan DPRD, bahwa untuk mengikuti
program PRIM diperlukan dana yang cukup untuk membiayai
program pemeliharaan jalan yang sudah kami perbaiki
sebelumnya.

Di masa lalu, alokasi dana untuk pemeliharaan jalan di


sektor jalan lebih didasarkan pada alasan politik. Apa
kriteria terbaik pengalokasian dana pemeliharaan untuk
program PRIM?
Kami harus mengakui, di masa lalu sampai dengan sekarang
dana yang dialokasikan untuk pemeliharaan sangat sedikit,
karena fokus kami lebih tertuju ke pemantapan jalan. Di masa
lalu, kondisi kemantapan jalan provinsi hanya kurang dari 50
persen dan itu merupakan perhatian utama provinsi. Oleh
karena itu, apabila selama ini kami katakan keputusan itu
politis mungkin artinya pengaruh legislatif dalam penetapan
pengalokasian anggaran pemeliharaan lebih besar dibanding
Bappeda.

Jalan Daerah

Atas Perkenan Max Antameng

Ir H. Dwi Sugiyanto, MM (left) and Dr H. Rosyadi Sayuti, M.Sc (sebelah kanan)

Di masa yang akan datang, kami akan lebih realistis lagi.


Mungkin pengaruh politis tidak bisa kami kurangi, tetapi dana
untuk pemeliharaan akan diperbesar mengingat jumlah jalan
yang akan kami pelihara dengan merujuk hasil akselerasi
bertambah besar, yakni hampir 70 persen, dan pemantapan
jalan ini harus dijaga dengan program pemeliharaan jalan yang
tepat waktu dan cukup dananya, supaya tidak terjadi kerusakan
dini.

Sejauh mana Bapak antisipasi adanya masalah kualitas


dan korupsi dalam implementasi penyelenggaraan jalan
di NTB? Apakah Bapak sadar akan konsekuensinya bagi
pengguna jalan?
Di zaman transparansi seperti sekarang, agak riskan kalau
orang bermain-main di proyek, di mana semua mata dapat
melihat dan semua lembaga dapat melapor. Sekarang ini makin
sempit ruang bagi mereka yang ingin melakukan korupsi di
dalam pelaksanaan pekerjaan.
Sehingga menurut saya ada ataupun tidak ada proyek PRIM,
dengan semakin meningkatnya tingkat pemahaman dan
kewaspadaan masyarakat, serta tuntutan masyarakat, secara
alamiah korupsi akan turun dengan sendirinya.

Dengan adanya proyek PRIM, saya berharap proses penurunan


tindak pidana korupsi akan dipercepat, khususnya dalam hal
pembangunan ataupun pemeliharaan jalan. Memang sudah
menjadi rahasia umum, pembangunan jalan memudahkan
orang untuk melakukan tindak korupsi.
***

Prakarsa: Provincial Road Improvement and


Maintenance (PRIM) adalah program pemerintah
Australia yang bertujuan mendorong program
pemeliharaan jalan provinsi berdasarkan kinerja.
Dampak positif apa yang Bapak harapkan pada
perencanaan, pemrograman, penganggaran dan
pelaksanaan program ini?
Ir. H. Dwi Sugiyanto, MM: Pertama-tama perkenankanlah
saya menyampaikan apresiasi kepada pemerintah pusat atas
ditunjuknya provinsi NTB menjadi proyek percobaan dari
program PRIM. Panjang jalan di Provinsi NTB adalah sebagai
berikut: Jalan nasional 632 km dengan kondisi per akhir
Desember 2012 mantap 99,14%. Jalan provinsi 1.772 km
kondisi mantap 66.2% dan jalan kabupaten 2.540 km dengan
kondisi mantap 35 sampai 40 persen.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

275

276

Ahli Lokal Tentang Jalan Daerah

Berkaitan dengan hal tersebut, terutama sehubungan


dengan jalan provinsi, pemerintah provinsi telah melakukan
upaya untuk mendukung pemantapan jalan, dalam rangka
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat.
Berkat program PRIM, kami mendapat keuntungan ganda, yakni
alokasi anggaran untuk jalan provinsi, dan pengelolaan jalan
itu sendiri. Hibah PRIM bukan semata-mata berarti tambahan
alokasi dana, melainkan juga transfer pengetahuan tentang
manajemen program, termasuk perencanaan, identifikasi,
pemrograman dan langkah-langkah strategis, sesuai tata
ruang provinsi. Keuntungan penting lain adalah, program ini
memungkinkan kami untuk menyelesaikan pekerjaan jalan
yang memang harus kami lakukan, terutama perkerasan,
pembuatan struktur teknis, dan berbagai perlengkapan jalan2.
Diciptakannya Forum Lalu Lintas sebagai pemangku kepentingan
jalan juga merupakan hal yang positif bagi NTB. Prosedur
Pengoperasian Standar (SOP Standard Operating Procedures)
preservasi jalan nantinya akan diberlakukan secara nasional.
Dengan adanya proyek percobaan, optimalisasi organisasi
forum lalu lintas provinsi juga dapat terlaksana, dan nantinya
hasil dari proyek percontohan ini dapat diimplementasikan
secara nasional.
Inisiatif pemerintah daerah NTB untuk menindaklanjuti
program hibah Pemerintah Australia juga positif sekali.
Hubungan antara NTB dengan pemerintah Australia sudah
dimulai, Pertama, pada saat NTB menerima pinjaman dari
proyek EINRIP. Sekarang berlanjut dengan PRIM, yang membuat
biaya pemeliharaan jadi lebih ringan. Langkah berikut adalah
transfer pengetahuan tentang cara pengelolaan jalan setelah
program PRIM selesai.

Di masa lalu, alokasi dana untuk pemeliharaan jalan


lebih didasarkan pada alasan politik. Di bawah program
PRIM, menurut Bapak, apa kriteria terbaik untuk
pengalokasian dana?
Pemeliharaan jalan sebenarnya berkait langsung dengan
penganggaran, dan penganggaran sebaiknya tidak dilakukan
berdasarkan alasan politis melainkan mengacu pada

kebutuhan untuk melayani masyarakat secara optimal. Namun


karena keterbatasan alokasi dana untuk provinsi, jumlah dana
yang dibutuhkan tak dapat terpenuhi sepenuhnya. Kebijakan
pemerintah provinsi dalam pengalokasian anggaran yang lalu
lebih difokuskan pada aksesibilitas, mobilitas, kemantapan
permukaan jalan untuk mendorong arus barang dan jasa.
Memang pembiayaan jalan nasional berbeda jauh dengan
pembiayaan jalan provinsi. Jalan nasional lebarnya 7 meter,
dilengkapi utilitas jalan, sehingga harga pembangunannya
sekitar Rp 5 sampai 6 miliar per km. Sedangkan untuk jalan
provinsi, yang lebarnya 4,5 sampai 5 m, karena yang kita
utamakan lebih dulu lapis permukaan dan badan jalan,
biayanya hanya sebesar Rp 2,5 miliar. Kalau berbicara anggaran,
memang tidak bisa disandingkan dengan alokasi yang disiapkan
oleh pemerintah pusat, yang didasarkan pada standar jalan
nasional.
Pemerintah Daerah saat ini masih lebih memprioritaskan
rehabilitasi dan peningkatan jalan, untuk mendorong
kemantapan permukaan, tapi dampaknya adalah penurunan
umur ekonomis jalan.2 Pemeliharaan jalan provinsi rata-rata
hanya Rp 7 sampai 10 juta per km, sementara untuk jalan
nasional, pekerjaan pemeliharaan rutin biayanya sekitar Rp
50 juta per km. Ini suatu perbedaan mencolok yang perlu
diperhatikan dalam program PRIM.
Prioritas PRIM adalah layanan. Kami belum berencana untuk
menambah jalan, akan tetapi akan menambah jalan-jalan
layang yang menghubungkan wilayah satu ke wilayah lain, dan
daerah terisolir yang strategis dari sudut pandang ekonomi
atau produksi kerajinan.
Pada program PRIM ini selain pemeliharaan rutin, kami juga
berharap bisa meningkatkan standar perlengkapan dan utilitas
jalan untuk memperpanjang umur ekonomis jalan, supaya
tidak segera rusak. Dengan demikian kami perkirakan, untuk
pemeliharaan rutin, akan meningkat Rp 2540 juta per km.
Wawancara ini dilakukan oleh Max Antameng, PhD, analis
finansial PRIM di IndII.

CATATAN
1. Program akselerasi yang disetujui antara Gubernur NTB dengan DPRD memberikan pendanaan untuk program peningkatan jalan raya
berjangka waktu tiga tahun dan kontrak-kontrak tahun jamak terkait.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Jalan Daerah dalam Angka

Jalan Daerah
dalam angka
43%
90
Rp 3.6
triliun

213,505

Persentase kenaikan anggaran pemeliharaan jalan nasional oleh Kementerian


Pekerjaan Umum (Kementerian PU) dari tahun 2012 hingga 2013.

Peringkat Indonesia dalam kualitas jalan di antara 144 negara di dunia


berdasarkan Indeks Kompetitif Global (Global Competitiveness Index) tahun
20122013.

Anggaran yang dialokasikan untuk pemeliharaan jalan oleh Kementerian


PU untuk jalan nasional sepanjang 3.600 km di wilayah Jawa Timur, Jawa
Tengah, dan DI Yogyakarta pada tahun 2013.

Panjang jalan di Indonesia yang belum diaspal pada tahun 2011.

km

0.42

Densitas jalan (road density, rasio panjang jalan dengan luas wilayah) di
Nusa Tenggara Barat pada tahun 2010, yang lebih tinggi dari angka densitas
jalan nasional sebesar di NTB 0,25 km/km2.

Rp 3.7

Dana Alokasi Khusus (DAK) bagi infrastruktur jalan untuk kabupaten/kota di


seluruh Indonesia dalam anggaran 2013.

86.07%

Persentase desa di Indonesia yang dapat dilalui kendaraan bermotor roda 4


atau lebih pada tahun 2011.

km/km

triliun

277

278

Pandangan Para Ahli

Pandangan Para Ahli


Pertanyaan:

Program donor telah lama difokuskan pada rehabilitasi jalan dan penguatan
institusi, akan tetapi pemeliharaan jalan selama ini tetap bermasalah.
IndII mencoba mendorong kinerja pemeliharaan yang lebih baik dengan
memberi insentif melalui dana hibah. Apakah ini dapat dijalankan dan apakah
manfaatnya dapat dirasakan dalam jangka waktu lama?

Prof. Suyono Dikun


Mantan Deputi Infrastruktur Bappenas, mantan Deputi Infrastruktur dan Pembangunan Regional Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian, dan Pakar Transportasi
Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memberikan dana hibah (Inpres Peningkatan Jalan Provinsi dan
Inpres Peningkatan Jalan Kabupaten) untuk program pemeliharaan jalan daerah kepada Pemerintah Daerah
dalam mendukung rencana pembangunan lima tahun (REPELITA) selama masa Orde Baru tahun 19701997. Pada
era tersebut, dana hibah untuk jalan provinsi dan kabupaten efektif untuk memelihara jalan daerah agar tetap
dalam keadaan baik. Terdapat sistem pemberian penghargaan dan penalti, di mana Pemerintah Pusat, melalui
Bappenas, memiliki akses penuh dan dapat mengontrol data dan informasi jalan daerah, melalui laporan berkala
dari Pemerintah Daerah dan rapat teratur yang efektif.
Setelah desentralisasi tahun 2001, Pemerintah Indonesia tidak lagi memiliki kendali atas penggunaan Dana Alokasi
Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang mereka berikan kepada Pemerintah Daerah (Pemda). Pemda
cenderung mengabaikan pemeliharaan jalan, dan sejak saat itu kondisi jalan daerah (terutama jalan kabupaten)
terus memburuk. Direktorat Jenderal Bina Marga hanya menangani pemeliharaan jaringan jalan nasional. Praktis
tidak ada informasi mengenai kondisi jalan daerah dan program pemeliharaan yang dilaporkan kepada Pemerintah
Indonesia di tingkat pusat. Program hibah IndII untuk jalan daerah akan berhasil, dan memberikan manfaat jangka
panjang, hanya apabila ditetapkan indikator kinerja yang jelas dan diterapkan sistem pemberian penghargaan dan
penalti. IndII juga harus mengamati dan memantau secara ketat aspek tata kelola lembaga publik dari lembaga
daerah yang menangani jalan.

Jalan Daerah

Gandhi Harahap, M.Sc


Penasihat Senior bidang Kebijakan
Direktorat Jenderal Bina Marga
Kementerian Pekerjaan Umum
Jalan daerah penting untuk meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi wilayah pedesaan. Pemeliharaan jalan
diperlukan untuk memastikan bahwa jalan selalu dalam keadaan terawat. Pemeliharaan ini terkait dengan upaya
mencegah terjadinya kerusakan akibat faktor lingkungan seperti air, melakukan perbaikan terhadap area yang
rusak seperti jalan berlubang dan mengambil langkah untuk menjaga agar tidak terjadi kerusakan lebih lanjut,
serta memastikan bahwa penunjuk jalan dapat terlihat dengan baik oleh pengguna jalan.
Agar dapat melakukan pemeliharaan jalan dengan baik, lembaga terkait dan kontraktor perlu memahami aspek
konstruksi jalan dan teknik pemeliharaan yang memungkinkan jalan lebih tahan lama. Masalah-masalah teknis
ini mudah dipelajari, dan Direktorat Jenderal Bina Marga telah mengeluarkan suatu panduan teknis dan buku
petunjuk yang mencakup informasi ini.
Tetapi karena pemeliharaan yang benar memerlukan upaya yang dilakukan secara terus-menerus dan penuh
disiplin, kunci keberhasilan terletak pada pengaturan kelembagaan: bagaimana Dinas Bina Marga dapat
terorganisir; metode yang digunakan; bagaimana mereka didanai; dan bagaimana kondisi jalan, serta hasil kegiatan
pemeliharaan dipantau dan dievaluasi. Di balik kata disiplin terdapat gagasan tentang budaya yang mendorong
kerja keras dan tanggung jawab.
Karena kita berbicara mengenai jalan kabupaten, maka perlu dicari institusi penyedia jasa pembangunan dan
pemeliharaan jalan yang terbaik di kabupaten yang sesuai untuk kondisi di Indonesia. Untuk melakukan ini kita
dapat belajar dari pengalaman Australia dalam pemeliharaan jalan di pedesaan contohnya pada tingkat daerah,
di mana bahkan jalan berbatu (gravel) atau jalan tanah dapat dipelihara dengan baik! Saya rasa bantuan dari
Australia akan berguna sejalan dengan peningkatan yang kita lakukan terhadap tatanan kelembagaan.

279

280

Pandangan Para Ahli

Pandangan Para Ahli


lanjutan dari halaman sebelumnya

Ir Susalit Alius, CES


Kepala Sub Direktorat Wilayah II C
Direktorat Bina Pelaksanaan Wilayah II
Direktorat Jenderal Bina Marga
Kementerian Pekerjaan Umum
Semua program jalan baik yang berkaitan dengan pemeliharaan jalan maupun penguatan institusi menurut
saya bagus, apalagi program-program dari IndII yang terkait dengan program keselamatan jalan, dan demikian
halnya dengan program dari EINRIPP (program peningkatan jalan Indonesia Timur). Semua itu luar biasa, dan
perlu dilanjutkan. Saya kira program PRIM, (Program Peningkatan dan Pengelolaan Jalan Provinsi) sebagai proyek
percontohan, akan memberikan hasil yang baik dan memberikan manfaat bagi upaya pemeliharaan jalan di NTB
sebagai proyek uji coba.
Namun jika kita melihat sejauh mana output dari program ini di kemudian hari, saya melihat cukup banyak faktor
yang tidak bisa kita kendalikan dalam pemeliharaan jalan, misalnya kendaraan bermuatan melampaui batas yang
melewati jalan provinsi, perilaku pengendara dan juga perilaku masyarakat pengguna jalan secara umum.
Dari segi teknis misalnya, jalan provinsi lebarnya secara substandar rata-rata 4,5m. Lebar truk 2,25m. Ketika ada
dua truk berpapasan, salah satu harus melewati bahu jalan. Hal seperti ini sering terjadi sehingga bahu jalan rusak.
Bila kerusakan tersebut tidak segera ditangani maka kerusakannya akan melebar. Pengemudi truk atau pengusaha
atau pemilik truk sering memaksakan truk dengan beban total di atas 10 ton melewati jalan provinsi, meskipun
jalan provinsi hanya memiliki batas beban maksimum 10 ton.
Selain itu masih terdapat banyak permasalahan lainnya, seperti truk-truk yang parkir di wilayah kota, bengkel
kendaraan yang dibuka di tepi jalan (yang menggunakan peralatan seperti dongkrak yang dapat merusak aspal),
PKL di tepi jalan, genangan air di jalan, penggalian jalan untuk pemasangan pipa atau kabel, perilaku masyarakat
yang melintas pembatas jalan dan sebagainya. Hal-hal tersebut sebenarnya telah diatur dalam UU yang dirancang
untuk melindungi jalan, namun karena lemahnya penegakan hukum, jalan yang telah diperbaiki kemudian menjadi
rusak terbengkalai.

Jalan Daerah

Saya kira perlu dibangkitkan kesadaran di antara para pemangku kepentingan terkait jalan seperti bupati/walikota,
gubernur, dinas perhubungan setempat, kepolisian, pengusaha, KADIN, ORGANDA, dan masyarakat umum.
Pemerintah harus mendorong para pemangku kepentingan ini untuk mendukung upaya pemeliharaan jalan,
misalnya dengan menegakkan hukum, menciptakan budaya penggunaan dan pemeliharaan jalan yang baik, dan
tertib berlalu lintas.

Yayan Cahyana, ST
Jafung Teknik Jalan dan Jembatan
Inspektorat Jenderal
Kementerian Pekerjaan Umum
Kondisi jalan daerah di Indonesia khususnya sekitar 48.000km jalan provinsi kini sangat memprihatinkan.
Tingkat kenyamanan jalan menurun karena tingginya persentase kerusakan jalan. Kerusakan jalan disebabkan
karena kurangnya pemeliharaan jalan secara rutin. Kelemahan perawatan ini menurunkan umur manfaat dan
umur ekonomis jalan tersebut.
Di setiap provinsi, kelemahan pemeliharaan jalan disebabkan karena alokasi dana untuk pemeliharaan jalan
yang tidak mencukupi. Dana yang tersedia umumnya diprioritaskan untuk membangun jalan baru, bukan untuk
pemeliharaan jalan yang sudah ada. Oleh karena itu diperlukan terobosan baru dalam menangani pemeliharaan
jalan provinsi. Dengan adanya program peningkatan dan pemeliharaan jalan provinsi berbasis kinerja yang
didanai oleh pemerintah Australia melalui AusAID, saya kira dapat membantu memecahkan permasalahan yang
terjadi selama ini sehingga program pemeliharaan jalan secara rutin pada jalan provinsi dapat terlaksana. Namun
demikian agar program tersebut dapat berjalan dengan baik dan bermanfaat dalam pelaksanaannya, diperlukan
pengawasan yang akurat sejak tahap perencanaan hingga implementasinya, sehingga sistem jaringan jalan yang
tepat sasaran, dan berdaya guna untuk mendukung terselenggaranya sistem transportasi yang andal dan prima
dapat terwujud.

281

Manajemen
Persampahan
Edisi 15, Oktober 2013

Sebuah Tinjauan Tentang Sektor Manajemen


Persampahan Indonesia
Mengelola Sampah Perkotaan di Indonesia,
Sebuah Sudut Pandang Pemerintah
Memperkuat Lingkungan Kelembagaan
untuk Manajemen Persampahan Perkotaan
Membuka Jalan bagi Sektor Swasta untuk
Terlibat dalam Pengelolaan Sampah di
Perkotaan Indonesia
Dulu Dibuang, Kini Jadi Uang: Kisah Dua
Bank Sampah

POIN-POIN UTAMA
Pengelolaan Sampah dalam konteks Indonesia amat rumit. Kebijakan dirumuskan pada tingkat
Pemerintah Pusat, tetapi dalam pelaksanaannya memerlukan keterlibatan dari semua pihak mulai dari
kelompok masyarakat desa hingga Pemerintah Kabupaten, Provinsi, dan Pemerintah Pusat serta sektor
swasta.
Sebagian besar sampah di Indonesia secara tak resmi dibuang dengan cara ditimbun dalam tanah, dibuat
kompos, dibakar, dibuang ke saluran, sungai atau laut, atau dibuang ke lokasi lain yang tidak sesuai
dengan peruntukannya. Metode ini mengakibatkan penyumbatan sungai dan saluran, mendatangkan
hama, dan menyebabkan polusi pada air tanah, lapisan tanah, dan udara.
Rantai pengelolaan sampah meliputi masyarakat, sektor swasta, dan pemerintah, yang tidak selalu
berhasil dalam menjalin kerjasama. Sampah rumah tangga dikumpulkan dari rumah atau dari tempat
pengumpulan lokal yang ditetapkan oleh petugas dinas kebersihan atau pihak pengelola swasta; sampah
ini kemudian diangkut ke tempat penampungan sementara atau Tempat Pemrosesan Akhir atau bahkan
dibuang begitu saja ke tempat yang tidak selayaknya.
Daur ulang sampah adalah sektor yang berkembang pesat. Sepuluh hingga dua puluh persen dari
seluruh sampah (termasuk plastik, logam, kertas, karton tebal, kain, kaca, dan sampah organik) didaur
ulang. Pemerintah Pusat secara aktif mendorong para pemangku kepentingan untuk mengurangi,
menggunakan kembali, dan mendaur ulang, serta menyediakan fasilitas pengolahan antara dan tempat
pemilahan sampah bagi para pemulung di Tempat Pemrosesan Akhir.
Sebelumnya, pengelolaan sampah secara resmi melalui pemerintah dikelola secara terpusat oleh
Kemen PU. Saat ini Pemerintah Daerahlah yang bertanggung jawab. Namun, pada umumnya, mereka
mengalokasikan anggaran yang sangat kecil bagi pengelolaan sampah, dan memberi prioritas pada
pembiayaan jalan atau pelabuhan yang dipandang lebih berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi.
Kemen PU saat ini tengah mendefinisikan ulang perannya dalam pengelolaan sampah pada tingkat
nasional, dengan penekanan pada pemberian saran dan dukungan teknis, serta penciptaan standar
nasional. Prakarsa tingkat daerah yang didukung oleh Kemen PU penting karena dapat mendorong
terciptanya pusat-pusat keunggulan (centers of excellence) yang dapat menampilkan praktik-praktik
yang baik dalam hal pengelolaan sampah bagi Pemerintah Provinsi dan Kabupaten.
Melalui UU No. 18/2008 mengenai Pengelolaan Sampah dan Peraturan Pemerintah no. 81/2012
mengenai Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, Pemerintah
Indonesia menekankan pada prinsip mengurangi menggunakan kembali mendaur ulang, kerjasama
antara badan usaha dan pemerintah, serta sistem dan teknologi pengelolaan sampah berstandar
internasional. Meskipun Undang-Undang ini menetapkan tujuan yang ambisius untuk meniadakan
pembuangan terbuka, tampaknya masih panjang jalan yang harus ditempuh sebelum tujuan ini tercapai.
Indonesia telah memiliki industri daur ulang sektor swasta yang telah berjalan dengan baik. Hingga 20
persen sampah plastik, logam kaca, kertas, ban, dan bahan-bahan lainnya telah dikumpulkan dan didaur
ulang oleh perorangan sektor swasta dan UKM. Pendapatan yang dihasilkan dari bidang ini memiliki
potensi yang sangat baik.
Lebih dari 60 persen sampah rumah tangga adalah organik. Pembuatan kompos memiliki berbagai
manfaat, termasuk pengurangan produksi gas rumah kaca, pengurangan volume sampah yang diangkut
ke Tempat Pemrosesan Akhir, dan penyediaan kompos untuk kebun dan taman. KLH juga mendorong
masyarakat melakukan daur ulang melalui pendirian bank sampah yang membantu masyarakat untuk
mendapat penghasilan melalui upaya daur ulang sampah.

Manajemen Persampahan

Sebuah Tinjauan Tentang


Sektor Manajemen
Persampahan Indonesia
Sektor persampahan di Indonesia amat rumit dan beragam. Untuk
meningkatkan manajemen persampahan di seluruh nusantara,
Pemerintah Indonesia berperan dalam memberikan dukungan teknis
dan membuat standar. Selain itu, Pemerintah Pusat juga mendorong
Pemerintah Provinsi dan Kota, sektor swasta, serta masyarakat untuk
menerapkan strategi yang lebih memperhatikan lingkungan.
Oleh Nigel Landon

Indonesia adalah negara kepulauan yang luas dan beragam,


terdiri dari 17.500 pulau dengan jumlah penduduk 250
juta yang tersebar di berbagai daerah mulai dari perdesaan
terpencil hingga kota terbesar di Asia Tenggara, Jakarta, yang
memiliki jumlah penduduk lebih dari 10 juta.
Pengelolaan sampah dalam konteks ini sangat rumit dan
memerlukan pendekatan berbeda guna menyesuaikan dengan
setiap lingkungan yang berbeda tersebut. Pengelolaan sampah
di Indonesia dapat dilihat sebagai suatu mikrokosmos sektor
manajemen persampahan dunia, yang dapat menampilkan
berbagai contoh dari hampir setiap tantangan yang dihadapi
negara-negara lain. Walaupun kebijakan pengelolaan
sampah dirumuskan pada tingkat Pemerintah Pusat, pada
pelaksanaannya pengelolaan ini memerlukan keterlibatan
semua pihak, mulai dari kelompok masyarakat tingkat desa
sampai Pemerintah Kabupaten, Provinsi, dan Pemerintah
Pusat, serta sektor swasta.
Statistik yang dapat diandalkan sulit ditemukan pada tingkat
nasional, namun tinjauan umum mengenai sektor ini di pulaupulau utama Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1. Karena
tingginya populasi, pulau Jawa mengirim jauh lebih banyak
volume sampah ke tempat pembuangan akhir dibandingkan
dengan pulau lainnya.

Diperkirakan lebih dari separuh (56 persen) masyarakat


Indonesia memiliki akses terhadap sistem pengangkutan dan
pembuangan sampah. Secara nasional, diperkirakan 38,5 juta
ton sampah diproduksi setiap tahun. Angka ini setara dengan
sekitar setengah kilogram sampah per orang per hari. Volume
dan komposisi sampah bervariasi berdasarkan daerah tempat
tinggalnya apakah di daerah perdesaan atau di kawasan
perkotaan. Secara umum, dapat dikatakan bahwa sampah
di kawasan perkotaan memiliki volume yang lebih tinggi dan
kandungan organik yang lebih rendah. Sampah di Indonesia
memiliki kandungan organik yang tinggi, seperti dapat dilihat
pada Gambar 2.

Langkah-langkah dalam Rantai Persampahan


Indonesia telah memiliki sistem pengelolaan sampah informal
sejak beberapa generasi lalu, yang hingga kini masih beroperasi,
terutama di daerah perdesaan yang tidak terjangkau oleh
pengangkutan sampah pemerintah. Pada umumnya sampah
dibakar, ditimbun dalam tanah atau dibuang ke sungai atau
laut. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) memperkirakan
pada tahun 2012 hanya terdapat 23,4 persen sampah yang
berhasil diangkut melalui sistem pengelolaan sampah resmi
dari pemerintah. Sisanya dibuang melalui cara berikut:

Prakarsa Compendium | Jilid 2

285

286

Sebuah Tinjauan Tentang Sektor Manajemen Persampahan Indonesia

Gambar 1: Statistik Nasional untuk Sampah yang Dihasilkan dan


Pembuangannya
Populasi
Wilayah

Total
Sampah
yang
Dihasilkan

Sampah
yang
dihasilkan
per orang

Populasi
yang
dilayani

Pengangkutan
Sampah
Aktual

Sampah
dihasilkan
yang tidak
terangkut

Million

Juta ton/
tahun

kg/hari

Juta

Juta ton/
tahun

Juta ton/
tahun

Sumatera

49.3

8.7

0.48

23.4

4.13

4.57

Jawa

137.2

21.2

0.42

80.8

12.49

8.71

Bali &
Nusa
Tenggara

12.6

1.3

0.28

0.62

0.68

Kalimantan

12.9

2.3

0.49

1.07

1.23

Sulawesi
& Papua

20.8

0.66

14.2

3.41

1.59

Total

232.8

38.5

0.45

130.4

21.72

16.78

Sumber: Statistik Persampahan Indonesia 2008, Kementerian Lingkungan


Hidup (KLH) - Dari IndII SWM Scoping Study.

Ditimbun dalam tanah (4,2 persen)


Diolah menjadi kompos (1,1 persen)
Dibakar (52,1 persen)
Dibuang di saluran pembuangan air, sungai, atau laut
(10,2 persen)
Dibuang di tempat lain yang tidak sesuai dengan
peruntukannya (9 persen)

Sebelumnya, karena populasi yang tidak terlalu padat dan


kandungan organik yang tinggi, metode tradisional pembuangan
sampah ini tidak menimbulkan dampak yang signifikan
bagi lingkungan dan kesehatan. Namun, sejalan dengan
pertumbuhan Indonesia, terutama di kawasan perkotaan,
serta semakin banyak kemasan modern yang digunakan, maka
permasalahan akibat pembuangan sampah informal semakin
meningkat. Masalah ini mencakup penyumbatan sungai dan
saluran akibat sampah; peningkatan tumpukan sampah yang
dibuang secara ilegal dan menjadi daya tarik lalat dan binatang
pengerat, serta menyebabkan polusi pada air tanah dan lapisan
tanah; dan polusi udara dari pembakaran sampah.
Pengembangan rantai pengelolaan sampah melibatkan
kombinasi elemen masyarakat, sektor swasta, dan pemerintah.
Elemen-elemen ini tidak selalu berhasil menjalin kerjasama
yang terkoordinir atau teratur.
Sampah rumah tangga dikumpulkan dari rumah atau dari
tempat pengumpulan sampah lokal (kontainer lengan-putar
[roll-arm container] atau bunker beton [concrete bunkers]).
Pengangkutan dilakukan oleh tukang sampah setempat dengan

Prakarsa Compendium | Jilid 2

menggunakan gerobak, atau oleh para pemulung. Pemulung


biasanya hanya mengambil sampah yang dapat didaur ulang
(plastik, metal, kertas, atau kaca), atau, dengan bayaran
tertentu, mereka akan mengambil semua sampah rumah tangga
tersebut. Tukang sampah setempat akan mengangkut sampah
ke tempat penampungan sementara atau Tempat Pemrosesan
Akhir untuk dipilah dan dibuang. Pengangkutan sampah yang
dilakukan oleh pihak swasta mungkin tidak akan seterperinci
ini. Didorong oleh kebutuhan untuk tetap hemat biaya, mereka
akan mengangkut sampah dengan jarak seminimal mungkin
dari lokasi pengambilan sampah tersebut. Bila memungkinkan,
mereka akan membuang sampah pada tempat penampungan
sementara yang kemudian petugas layanan sampah pemerintah
akan mengangkut sampah tersebut. Namun, seringkali mereka
hanya membuang sampah di pinggiran kawasan desa atau kota,
bahkan dibuang ke sungai atau saluran pembuangan.
Seiring berkembangnya layanan pengangkutan sampah oleh
sektor swasta setempat, daur-ulang sampah merupakan
sektor yang tumbuh pesat bagi masyarakat dan sektor swasta
di Indonesia. Diperkirakan 1020 persen dari semua sampah
didaur ulang oleh masyarakat dan sektor swasta. Sampah
tersebut mencakup plastik, logam kertas, karton tebal, kain,
kaca, serta sampah organik untuk kompos dan pakan ternak.
Pemerintah secara aktif mendorong partisipasi masyarakat
dan sektor swasta dalam mendaur ulang sampah melalui
program nasional 3R dan penyediaan fasilitas pengolahan
antara dan tempat pemilahan sampah bagi para pemulung di
Gambar 2: Komposisi Sampah di Indonesia
Bahan organik yang
dapat menjadi kompos
65%

Kertas
13%

Kayu,
bambu
3%

Kain
1%

Karet/Kulit
1%

Plastik
11%
Logam
1%

Pasir,
Keramik,
Kaca Abu
1%
1%
Lain-lain
3%
Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum, 1989

Manajemen Persampahan

287

Tempat Pemrosesan Akhir. (Lihat Membuka Jalan bagi Sektor


Swasa untuk Terlibat dalam Pengelolaan Sampah di Perkotaan
Indonesia pada halaman 305 buku ini untuk informasi lebih
lanjut).
Pembuangan akhir sampah terjadi di Tempat Pemrosesan
Akhir yang dimiliki dan dikelola oleh lembaga pemerintah.
Sebelumnya, pengelolaan sampah secara resmi melalui
pemerintah dikelola secara terpusat oleh Kementerian
Pekerjaan Umum (Kemen PU). Seluruh perencanaan,
perancangan, dan pembangunan Tempat Pemrosesan Akhir,
tempat penampungan sementara, dan fasilitas sampah lain di
seluruh Indonesia ditangani secara terpusat.
Namun, setelah desentralisasi pada tahun 1999, tanggung
jawab pengelolaan sampah dialihkan kepada provinsi dan
kabupaten. Hal ini diresmikan melalui UU No. 32/2004
mengenai Pemerintahan Daerah, dengan rincian mengenai
tugas dan tanggung jawab Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota yang meliputi seluruh sektor, termasuk
pengendalian lingkungan hidup. Perubahan ini mengakibatkan
adanya suatu fase transisi Pemerintah Provinsi, dan Kabupaten/Kota dalam mengembangkan pengetahuan dan kapasitas
guna mengelola sampah.
Saat ini, anggaran provinsi dan kabupaten rata-rata hanya
mengalokasikan 2 persen untuk pengelolaan sampah. Dan
seringkali komponen anggaran ini merupakan kombinasi
dengan kebutuhan lain, seperti pemeliharaan taman kota. Lima
puluh enam persen dari seluruh rakyat Indonesia memiliki
akses terhadap layanan pembuangan sampah, meningkat
hanya 2 persen sejak tahun 2010. Terdapat suatu persepsi
di kalangan Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Daerah
bahwa pengelolaan sampah tidak memberikan kontribusi
langsung terhadap pertumbuhan ekonomi (tidak seperti jalan,
pelabuhan, dan lain-lain) sehingga tidak perlu menjadi prioritas
dalam proses anggaran.

Kurangnya penekanan terhadap pembangunan infrastruktur


Tempat Pemrosesan Akhir baru serta pembelian peralatan
transportasi dan operasional menghambat pengembangan
pengelolaan sampah yang efektif. Kapasitas kelembagaan
masih lemah. Kualitas Tempat Pemrosesan Akhir dan sistem
pengangkutan sampah sangat tergantung pada kualitas
pengelolaan, pemeliharaan, dan pengembangannya. Otoritas
yang terkait sanitasi kabupaten dan provinsi seringkali
kekurangan pegawai ataupun pengetahuan teknis dan
pelatihan. Selain itu, sering terjadi pergantian staf antar kantor
dinas (seringkali tanpa memperhatikan latar belakang teknis

Diperkirakan sekitar 1020 persen sampah


Indonesia didaur ulang oleh masyarakat dan
sektor swasta. Pada gambar di atas, seorang ibu
dari Aceh berpartisipasi dalam program daur
ulang pascatsunami yang diprakarsai oleh UNDP.

Atas perkenan Nigel Landon

staf tersebut) sehingga pengetahuan yang diperoleh lembaga


pemerintahan tersebut pun lenyap bersama dengan staf yang
telah dilatih.
Kemen PU saat ini tengah mendefinisikan ulang perannya dalam
pengelolaan sampah pada tingkat nasional dengan penekanan
pada pemberian saran dan dukungan teknis, serta penciptaan
standar nasional. Staf Kemen PU memiliki pengetahuan sangat
luas tentang standar dan teknik modern untuk pengangkutan
sampah, pengolahan, dan pembangunan Tempat Pemrosesan
Akhir terpadu. Kini, mereka perlu menemukan suatu cara untuk
melakukan alih pengetahuan secara efektif kepada provinsi
dan kabupaten di seluruh Indonesia. Staf pemerintah di tingkat
nasional masih dapat terlibat langsung dalam berbagai prakarsa
di daerah manapun yang memerlukan pengelolaan sampah
lintas-provinsi dan mengkombinasikan kebutuhan-kebutuhan
berbagai kota dan kabupaten terkait sampah. Sebagai contoh,
pendekatan tersebut telah atau tengah diterapkan di Blang
Bintang (Aceh), Yogyakarta, Bandung, Makassar, Bantar
Gebang (Jakarta), dan Tangerang. Dalam hal ini, Kemen PU
dapat menyediakan dukungan terkait dengan perancangan dan
pembangunan sistem dan infrastruktur pengelolaan sampah.
Kemen PU menganggap lokasi-lokasi ini penting, karena
dapat menjadi pusat-pusat keunggulan (centres of excellence)
yang dapat menampilkan praktik-praktik yang baik dalam hal
pengelolaan sampah bagi Pemerintah Provinsi dan Kabupaten.

Undang-Undang dan Peraturan Baru


Seiring dengan pengalihan tanggung jawab yang lebih besar
kepada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten untuk mengelola

Prakarsa Compendium | Jilid 2

288

Sebuah Tinjauan Tentang Sektor Manajemen Persampahan Indonesia

persampahan, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan UU


no. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, yang merupakan
undang-undang
pengelolaan
sampah
pertama yang
komprehensif di Indonesia. Penerbitan UU tersebut barubaru ini diikuti dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah
no. 81/2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Undang-Undang
ini pada dasarnya mengatur pengumpulan, pengolahan, dan

ada panduan yang jelas mengenai sistem kelembangaan


yang dapat memungkinkan penerapan upaya ini. Dari 18
Tempat Pemrosesan Akhir daerah yang saat ini dalam tahap
perencanaan, terdapat beberapa pendekatan berbeda dalam
pendirian lembaga yang berwenang dalam pengelolaan
sampah, termasuk UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah),
Badan, dan Sekber (Sekretariat Bersama).

Sudah sejak lama Indonesia telah menciptakan sistem


pengelolaan sampah secara informal, dan masih beroperasi
hingga kini, terutama di daerah perdesaan yang tidak
terjangkau oleh pengangkutan sampah pemerintah. Pada
umumnya sampah dibakar, ditimbun dalam tanah atau
dibuang ke sungai atau laut
pemrosesan akhir sampah rumah tangga dalam berbagai
bentuk. Berdasarkan Undang-Undang ini, sampah terdiri atas
tiga kategori: sampah rumah tangga, sampah sejenis sampah
rumah tangga, dan sampah spesifik.1 Undang-Undang ini juga
meliputi sampah komersial dan sampah berbahaya (termasuk
sampah medis). Undang-undang dan peraturan lingkungan
lainnya juga meliputi sampah medis, industri, dan berbahaya.
Tujuan dari Undang-Undang no. 18/2008 adalah untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan
serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. UndangUndang ini juga menekankan pada kebijakan 3R (Reduce
Mengurangi, ReuseMenggunakan kembali, RecycleMendaur
ulang) pemerintah. Sehubungan dengan hal tersebut, UndangUndang ini dengan jelas menyatakan bahwa pengelolaan
sampah adalah tanggung jawab bersama dari berbagai pihak
perorangan, masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah. Untuk
itu, pasal 26 dan 27 Undang-Undang ini mendorong terciptanya
kemitraan antara badan usaha dan pemerintah.
Pasal 8 Undang-Undang ini juga memberi kewenangan bagi
Pemerintah Daerah untuk memfasilitasi kemitraan dan jejaring
antar daerah dalam pengelolaan sampah. (Hal ini termasuk
melakukan mediasi dalam penyelesaian perselisihan antar
kabupaten/kota). Namun, saat ini hanya terdapat petunjuk
teknis (Juknis) untuk membantu Pemerintah Provinsi membuat
sistem pengelolaan Tempat Pemrosesan Akhir daerah. Belum

Prakarsa Compendium | Jilid 2

UU Pengelolaan Sampah bertujuan untuk mendorong


terciptanya sistem dan teknologi pengolahan sampah
yang ramah lingkungan berstandar internasional. UU ini
menetapkan target yang cukup ambisius yaitu menutup semua
tempat pembuangan terbuka atau memiliki rencana perbaikan
dan penutupan dalam waktu satu tahun. Dalam waktu lima
tahun, semua tempat pembuangan terbuka akan ditutup atau
diperbaiki menjadi Tempat Pemrosesan Akhir terpadu. Tenggat

Gender, Inklusivitas Sosial,


dan Pengelolaan Sampah
Setiap individu dalam masyarakat memiliki peran dalam
pengelolaan sampah, terutama terkait 3R yaitu reducing
(mengurangi), reusing (menggunakan kembali), dan recycling
(mendaur ulang). Namun perempuan hamil, anak-anak,
kelompok manula dan kelompok rawan lainnya dapat sangat
rentan terhadap penyakit yang diakibatkan penanganan sampah
yang tidak layak (trash-borne illnesses). Perempuan sering
terkait erat dengan pembuangan sampah dalam pekerjaan
rumah tangga mereka. Dan dalam banyak kasus, kelompok
perempuan diposisikan khusus sebagai kelompok yang dapat
memberikan kontribusi signifikan guna meningkatkan kesadaran
masyarakat, mengembangkan pemberdayaan masyarakat, dan
mempraktekkan 3R. Dengan memanfaatkan kapasitas ini dan
mendorong keterlibatan perempuan dan laki-laki, prakarsa
pemerintah dapat meningkatkan dampak positif yang mereka
tularkan kepada masyarakat.

Manajemen Persampahan

waktu untuk mencapai tujuan ini adalah tahun 2013. Tampak


jelas bahwa perjalanan masih cukup jauh.

3R, Tujuan dan Kenyataan


Sementara kesadaran politik mengenai kebutuhan untuk
memprioritaskan
pengelolaan
sampah
masih
perlu
ditumbuhkan, demikian pula halnya dengan pengetahuan
masyarakat terkait pengolahan dan pengelolaan sampah.
Sebagian besar masyarakat Indonesia tumbuh dengan
kebiasaan membuang sampah ke sungai atau di tepi jalan,
atau membakar sampah di pinggir jalan atau kebun belakang
rumah. UU Pengelolaan Sampah sangat menekankan 3R, tetapi
pendekatan ini hanya dapat berjalan apabila hal ini dipahami
dan diterima oleh masyarakat setempat. Pemerintah Indonesia
telah berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat akan
kebutuhan pengelolaan sampah melalui program peningkatan
kesadaran masyarakat TPS (Tempat Pengolahan Sampah)
3R atau Tempat Pengolahan Sampah Terpadu yang berbasis
masyarakat dan telah berjalan sejak tahun 2007.
UU Pengelolaan Sampah juga bertujuan untuk mendorong
pemanfaatan sampah rumah tangga sebagai suatu sumber
daya. Dalam hal ini, Indonesia memiliki industri daur ulang
sektor swasta yang telah berjalan dengan baik. Hingga
sekitar 20 persen sampah plastik, logam, kaca, kertas, ban,
dan material lain telah dikumpulkan dan didaur ulang oleh
perorangan maupun Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dari
kalangan swasta. Pendapatan yang dihasilkan dari pekerjaan
ini memiliki potensi yang sangat baik. Proyek peningkatan
mata pencaharian pengelolaan sampah UNDP baru-baru ini
membentuk 220 UKM yang menghasilkan pendapatan sebesar
lebih dari US$ 6 juta dalam waktu dua tahun beroperasi.

Lebih dari 60 persen sampah rumah tangga adalah sampah


organik. Pemerintah telah mendorong pembuatan kompos dari
sampah rumah tangga melalui program pembuatan kompos
masyarakat dan melalui program pembuatan kompos tingkat
kabupaten yang diprakarsai oleh KLH. Pembuatan kompos
memiliki berbagai manfaat termasuk pengurangan produksi
gas rumah kaca, pengurangan volume sampah yang diangkut
ke Tempat Pemrosesan Akhir (mengurangi biaya operasi dan
meningkatkan umur pemakaian lokasi tersebut), dan tentu saja
penyediaan kompos untuk kebun dan taman.

KLH juga mendorong masyarakat untuk melakukan daur


ulang melalui pembangunan Bank Sampah yang membantu
masyarakat untuk mendapatkan penghasilan melalui upaya
daur ulang sampah mereka. Prakarsa ini didukung oleh
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup no. 13/2012, yang
menetapkan pedoman pelaksanaan 3R melalui Bank Sampah.
Sampai dengan bulan Desember 2012, KLH telah mendukung
pembangunan 1.195 Bank Sampah di 55 wilayah dan kota di
Indonesia.
Prakarsa Bank Sampah telah berhasil melibatkan lebih dari
96.200 individu penabung sampah (waste savers) yang
secara bersama-sama telah berhasil memperoleh sekitar Rp
15,1 miliar. Total sampah non-organik yang diproses pada Bank
Sampah telah mencapai sekitar 2.262 ton per bulan. Dua Bank
Sampah satu di Semper Barat, Tanjung Priok, Jakarta Utara
dan satu di Tomang, Jakarta Barat dapat dilihat pada Dulu
Dibuang Kini Jadi Uang di halaman 309. Upaya semacam
inilah, bersama dengan kesadaran masyarakat yang meningkat,
kapasitas Pemerintah Daerah yang lebih kuat, dan investasi
sektor swasta yang berhasil, yang memungkinkan Indonesia
dapat menangani dengan lebih baik tantangan besar yang
muncul terkait dengan sampah.

Tentang Penulis:
Nigel Landon adalah Country Director of EnviroSolutions
& Consulting, Indonesia, ditempatkan di Jakarta. Dengan
pengalaman kerja pada sektor air, pertanian, dan lingkungan
sejak 1995, pertama kali sebagai insinyur irigasi dan kemudian
sebagai tenaga ahli pengelolaan sampah, Landon memiliki
pengalaman yang luas dalam bekerja pada proyek lingkungan
dan pengelolaan sampah baik di Indonesia maupun di
kawasan internasional. Ia pernah bekerja pada sektor swasta,
bagi perusahaan konsultan besar dalam bidang pertanian,
lingkungan, dan pengembangan, serta pada sektor donor
dengan Bank Dunia, KfW, ADB dan UNDP. Landon telah bekerja
di Indonesia selama sebelas tahun, sembilan tahun di antaranya
di Aceh sebagai kepala Program Pengelolaan Limbah Tsunami
UNDP (UNDP Tsunami Recovery Waste Management Programme
[TRWMP]). Selain itu, ia pernah bekerja pada berbagai proyek di
Pakistan, Libya, Eritrea, Albania, dan Inggris.

CATATAN
1. Sampah rumah tangga didefinisikan sebagai sampah yang berasal dari kegiatan sehari-hari rumah tangga, tidak termasuk tinja dan
sampah spesifik. Sampah sejenis sampah rumah tangga adalah sampah yang berasal dari kawasan komersial, kawasan industri,
kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan/atau fasilitas lainnya. Sampah spesifik mencakup: sampah yang mengandung
bahan berbahaya dan beracun; sampah yang timbul akibat bencana; puing bongkaran bangunan; dan sampah yang secara teknologi
belum dapat diolah.
Prakarsa Compendium | Jilid 2

289

POIN-POIN UTAMA
Dengan semakin bertumbuh pesat dan meningkatnya standar hidup di Indonesia, negeri
ini menghasilkan tingkat Sampah Perkotaan (MSW, Municipal Solid Waste) yang semakin
tinggi. UU no. 32/2004 dan PP no. 38/2007 telah mengalihkan tanggung jawab penanganan
sampah perkotaan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintahan Daerah (Pemda). Meski terdapat
prakarsa ini, kinerja pengelolaan sampah perkotaan belum meningkat secara signifikan,
karena kurangnya komitmen Pemda yang berakar dari kurang memadainya sumber daya
manusia (SDM), alokasi dana, dan tak adanya pengaturan kelembagaan yang tepat. Situasi
ini diperburuk oleh rendahnya tingkat kesadaran di masyarakat, dan tak adanya penegakan
hukum.
Tanah longsor di TPA Leuwi Gajah di Bandung, Jawa Barat, pada tahun 2005, yang
menewaskan 141 orang karena pembuangan terbuka yang tidak layak, menjadi penggugah
kesadaran, menarik perhatian masyarakat dan pemerintah terhadap pentingnya pengelolaan
sampah perkotaan yang layak. Paradigma pengelolaan sampah perkotaan telah diubah dari
pendekatan end-of-pipe menjadi pendekatan kurangi di sumber (reduction at the source).
Alokasi dana juga ditingkatkan. Kementerian Pekerjaan Umum, yang terutama bertanggung
jawab terhadap pengaturan, bimbingan teknis, serta pemantauan & evaluasi sektor sampah
perkotaan, sudah berupaya untuk terus meningkatkan dan melakukan revitalisasi infrastruktur
sampah perkotaan yang ada di tingkat kota dan kabupaten. Dana dari APBN dimaksudkan
untuk menjadi pemicu bagi Pemda untuk mengalokasikan porsi anggaran yang lebih besar
untuk sektor sanitasi.
Pemerintah Indonesia juga telah menandatangani perjanjian internasional mengenai
pengurangan gas rumah kaca dari sektor sampah perkotaan.
Sebagaimana ditetapkan dalam UU no. 18/2008, pengelolaan sampah perkotaan mencakup
pengurangan sampah dan penanganan sampah. Sektor industri juga diwajibkan mengurangi
hasil sampah sejak tahapan paling awal produksi.
Konsep mengurangi sampah juga diintegrasikan di setiap tingkat penanganan sampah, dari
sumber hingga TPA, di tingkat perumahan, masyarakat, kota/kabupaten, dan provinsi.
Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman Kementerian Pekerjaan
Umum akan terus meningkatkan pengelolaan sampah dengan cara membangun kapasitas
SDM yang terlibat di pengelolaan sampah Pemda dan dengan meningkatkan kesadaran di
cabang-cabang eksekutif dan legislatif mengenai pentingnya pengelolaan sampah perkotaan.

Manajemen Persampahan

Mengelola Sampah Perkotaan


di Indonesia, Sebuah Sudut
Pandang Pemerintah
Dalam sejarah, pengelolaan Sampah Perkotaan di Indonesia tidak
diuntungkan oleh pendanaan yang tidak memadai dan komitmen
yang rendah di tingkat daerah. Namun, sebuah paradigma baru yang
mempertimbangkan seluruh langkah dalam pembentukannya dan
pemrosesan sampah, dan bukan hanya menangani tahapan akhir
semata, mulai mengubah pengelolaan sampah.
Oleh Ir. Djoko Mursito, Dipl. SE., MM; Terra Prima Sari; dan Sandhi Eko Bramono

Indonesia, seperti halnya negara berkembang lain,


menghadapi masalah serius dalam hal pengelolaan sampah
perkotaan (MSW, Municipal Solid Waste). Seiring dengan
bertumbuh pesatnya Indonesia meningkat pula standar
hidup, sampah perkotaan yang dihasilkan pun dalam
jumlah yang jauh lebih besar. Sayangnya, peningkatan
jumlah sampah perkotaan tidak sejalan dengan pengelolaan
sampah perkotaan yang layak.
Dengan dikeluarkannya UU no. 32/2004 tentang Otonomi
Daerah, dan PP no. 38/2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/
Kota, tanggung jawab penanganan sampah perkotaan
dialihkan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintahan Daerah
(Pemda), dengan harapan bahwa efisiensi dan efektivitas
pengelolaan sampah perkotaan akan meningkat.
Namun, catatan menunjukkan bahwa meski terdapat dua
regulasi tersebut, kinerja pengelolaan sampah perkotaan
belum meningkat secara signifikan. Masalah yang paling

penting adalah rendahnya komitmen dari Pemda untuk


memprioritaskan sanitasi. Kurangnya komitmen ini berakar
dari kurang memadainya sumber daya manusia (SDM),
alokasi dana, dan tak adanya pengaturan kelembagaan
yang tepat untuk menangani sistem pengelolaan sampah
perkotaan di tingkat kota/kabupaten. Situasi ini diperburuk
oleh rendahnya tingkat kesadaran di masyarakat, serta tak
adanya penegakan hukum guna mencapai pengelolaan
sampah perkotaan yang layak.

Mengubah Paradigma
Titik balik Indonesia atas pengelolaan sampah perkotaan
adalah peristiwa tanah longsor di Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) Leuwigajah di Bandung, Jawa Barat, pada
tahun 2005. Proses pembuangan terbuka yang tidak
tepat menyebabkan bencana longsor tanah dan sampah,
mengakibatkan kematian 141 jiwa di daerah sekitarnya.
Insiden tragis ini menjadi penggugah kesadaran, menarik
perhatian masyarakat dan pemerintah terhadap pentingnya
pengelolaan sampah perkotaan yang layak.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

291

292

Mengelola Sampah Perkotaan di Indonesia, Sebuah Sudut Pandang Pemerintah

Setelah bencana longsor tersebut, Pemerintah Indonesia


meningkatkan fokus pada peraturan pengelolaan sampah
perkotaan. Pada tahun 2008, UU no. 18/2008 tentang
Pengelolaan Sampah akhirnya disahkan. Butir-butir penting
di dalam UU ini mencakup:
Pengelolaan sampah perkotaan yang layak harus
menangani jumlah sampah perkotaan yang dihasilkan
dan potensi untuk mengurangi polusi, terutama di
sumbernya.
Pada tahun 2013, Tempat Pemrosesan Sampah
Terpadu-Reuse Sanitary Landfill (TPST-RSL) harus
dioperasikan dengan layak dan tidak menggunakan
proses pembuangan terbuka (open dumping).
Pendek kata, paradigma pengelolaan sampah perkotaan
telah diubah dari pendekatan end-of-pipe menjadi
pendekatan pengurangan dari sumber (reduction at the
source) yang memaksimalkan peluang untuk mengurangi
jumlah sampah perkotaan dan polusi yang disebabkannya,
dengan cara memeriksa setiap langkah dari proses yang
ada, dan bukan hanya melihat apa yang terjadi di TPA
terpadu (lihat Gambar 1). Penerapan regulasi sampah
perkotaan juga telah berakibat pada peningkatan alokasi
dana ke sektor ini, termasuk di dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN). Kementerian Pekerjaan Umum
(Kementerian PU), yang terutama bertanggung jawab
terhadap pengaturan, bimbingan teknis, serta pemantauan
& evaluasi sektor sampah perkotaan, sudah berupaya
Gambar 1: Paradigma tentang Pengelolaan Sampah
PARADIGMA
LAMA
SAMPAH

PENGUMPULAN

PARADIGMA BARU
3R

GUNAKAN
KEMBALI
(REUSE)

KURANGI
(REDUCE)

SAMPAH

SISA
PENGANGKUTAN
PENGANGKUTAN

PEMBUANGAN

Prakarsa Compendium | Jilid 2

SANITARY LANFILL

DAUR
ULANG
(RECYCLE)

untuk terus meningkatkan dan melakukan revitalisasi


infrastruktur sampah perkotaan yang ada di tingkat kota
dan kabupaten. Secara khusus APBN telah memprioritaskan
alokasi anggaran untuk sektor sampah perkotaan, termasuk
program-program seperti:
Program percontohan untuk sarana 3R (Reduce, Reuse,
Recycle) berbasis masyarakat
Program percontohan untuk Stasiun Peralihan Antara
(SPA)
Program percontohan untuk Tempat Pengolahan
Sampah Terpadu (TPST)
Pengembangan dan/atau revitalisasi TPA terpadu
Meski demikian, alokasi dana dari APBN dimaksudkan untuk
memicu Pemda agar mengalokasikan porsi yang lebih besar
dari anggaran mereka untuk sektor sanitasi, sebagaimana
diwajibkan secara hukum, karena pengelolaan sampah
perkotaan telah menjadi tanggung jawab Pemda.

Konsep Pengelolaan Sampah Perkotaan


Selain mengesahkan UU no. 18/2008 dan peraturan yang
menyertainya (PP no. 81/2012), yang menjadi dasar
hukum bagi pengelolaan sampah perkotaan di Indonesia,
Pemerintah Indonesia juga menandatangani perjanjian
internasional mengenai pengurangan gas rumah kaca dari
sektor sampah perkotaan. Keppres no. 11/2011 menyatakan
bahwa selama periode tahun 20102020, Pemerintah
Indonesia akan mengurangi emisi gas rumah kaca sampai
dengan 0,048 Gton CO2(eq) (setara gigaton karbon dioksida)
melalui tindakan unilateral, dan 0,078 Gton CO2(eq) dengan
dukungan internasional (lihat Gambar 2).
Sebagaimana ditetapkan dalam UU no. 18/2008, pengelolaan
sampah perkotaan mencakup baik pengurangan sampah
maupun penanganan sampah. Menurut UU tersebut,
sektor industri, dalam hal ini industri penghasil barang, juga
diwajibkan mengambil langkah-langkah untuk mengurangi
terjadinya sampah sejak tahap paling awal produksi.
Persyaratan ini dapat diterapkan melalui beberapa
tindakan, seperti Perluasan Tanggung Jawab Produsen
(sebuah strategi yang mengintegrasikan biaya lingkungan
ke dalam harga beli akhir barang) dan mengembangkan
teknologi kemasan yang lebih ramah lingkungan.

Manajemen Persampahan

Gambar 2: Konsep Pengelolaan Limbah Padat


UU NO. 18/2008
PP NO. 81/2012

PERUBAHAN IKLIM

UU no. 32/2009
UU no. 7/2004
PP no. 16/2005
Permen PU no. 03/2013

PENGURANGAN
SAMPAH

26% berdasarkan tindakan unilateral (TU)


41% dengan dukungan internasional (DI)
Sektor persampahan: 0,048 Gton = 1,63%
(TU) 0,078 Gton = 2,69% (DI)

Perluasan Tanggung
Jawab Produsen (PTJP)
Teknologi Kemasan
TINGKAT RUMAH TANGGA

PENANGANAN
SAMPAH

PEMISAHAN SAMPAH

PENGUMPULAN SAMPAH

PENGANGKUTAN SAMPAH

TINGKAT MASYARAKAT

TPS 3R

TINGKAT KOTA

TPST, TPA

TINGKAT MASYARAKAT
TINGKAT KOTA
TINGKAT MASYARAKAT
TINGKAT KOTA

STASIUN PERALIHAN
ANTARA
STASIUN PERALIHAN
ANTARA

PENGOLAHAN MENENGAH
PEMADATAN

STASIUN PERALIHAN
ANTARA

PENGOMPOSAN

TINGKAT RT, MASY., KOTA

TPS 3R, TPST, TPA

PEMULIHAN MATERIAL

TINGKAT MASY. DAN KOTA

TPS 3R, TPST, TPA

PEMULIHAN ENERGI

TINGKAT MASY. DAN KOTA

TPS 3R, TPST, TPA

TEMPAT PEMBUANGAN
TERKENDALI

TINGKAT KOTA

TEMPAT PEMBUANGAN
AKHIR

TINGKAT PROV.:
DUA KOTA ATAU LEBIH

PENGOLAHAN AKHIR

Pencegahan Emisi GRK

Sarana 3R Berbasis Masyarakat


(TPS 3R)

TINGKAT MASY. DAN KOTA

Stasiun Peralihan Antara


(SPA)

Penanganan Emisi GRK

Tempat Pengolahan Sampah


Terpadu (TPST)

Tempat Pembuangan Sampah


Akhir (Sanitary Landfill/TPA)

Program dari Kementerian PU untuk Sampah Padat

Konsep pengurangan limbah juga diintegrasikan pada setiap


tingkat penanganan sampah, dari sumber hingga TPA (lihat
Gambar 3).

yang dilakukan terus-menerus mengenai pentingnya


pengelolaan sampah yang layak dan digalakkannya
penerapan program 3R.

Di sumber atau tingkat perumahan, sasarannya adalah


meminimalisir kuantitas sampah yang dihasilkan rumah
tangga. Ini bisa dicapai dengan cara meningkatkan
kesadaran lingkungan pada masyarakat melalui kampanye

Di tingkat masyarakat, fokus pengelolaan sampah adalah


menggunakan program 3R untuk mengurangi volume
sampah. Volume yang berkurang mengoptimalkan biaya
angkut dan masa guna TPA. Pemerintah Indonesia sedang

Prakarsa Compendium | Jilid 2

293

294

Mengelola Sampah Perkotaan di Indonesia, Sebuah Sudut Pandang Pemerintah

Pengelolaan Sampah Perkotaan semakin meninggalkan pendekatan end-of-pipe yang


hanya berfokus pada apa yang terjadi di TPA. Dalam foto dari Manado ini, tampak
pemulung bekerja keras mengambil pendekatan yang terorganisir baik dalam memilah
sampah dan menyelamatkan benda-benda yang masih memiliki nilai ekonomis.

mengembangkan sarana 3R berbasis masyarakat (TPS


3R) sebagai salah satu strategi untuk mengurangi volume
sampah.
Di tingkat kota/kabupaten, tujuan utama pengelolaan
sampah perkotaan adalah meningkatkan akses terhadap
layanan sampah dengan harapan meningkatkan kualitas
kesehatan publik dan perlindungan lingkungan hidup. Di
tingkat ini, dana Pemerintah Indonesia, yang dimaksudkan
sebagai stimulan untuk dana daerah, dapat dialokasikan
untuk:
Membangun SPA percontohan di daerah perkotaan/
kabupaten dengan produksi sampah yang melebihi

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Atas perkenan Mott MacDonald

20 ton/hari dengan jarak TPA lebih dari 25 km. Tujuan


utama pembangunan SPA adalah untuk menjadikan
pengangkutan sampah ke TPA lebih efisien.
Membangun TPST percontohan, misalnya, Fasilitas
Pengolahan Antara (ITF, Intermediate Treatment
Facility) yang menggunakan sistem anaerobik
dan/atau aerobik. Tujuan utama ITF adalah untuk
meminimalkan volume dan potensi polusi dari sampah
sebelum masuk ke TPA.
Membangun atau merehabilitasi TPA. Dana
Pemerintah Indonesia dapat dialokasikan untuk
membangun infrastruktur perlindungan lingkungan
hidup primer (seperti pelapis, sistem pengumpulan
lindi dan gas, tempat pengelolaan lindi, sistem

Manajemen Persampahan

Gambar 3: Arah Pengelolaan Sampah Perkotaan Nasional Dan Pengembangan Infrastruktur

TINGKAT

PROVINSI

PEMERINTAH DAERAH
(KOTA/KABUPATEN)

MASYARAKAT

SUMBER/
RUMAH TANGGA

TUJUAN

PENDEKATAN

CAKUPAN KERJA

PROGRAM

Membangun pengelolaan
sampah perkotaan regional

Sarana pengolahan sampah


perkotaan
TPA Daerah

Program terpadu antarPemda

Peningkatan akses dan


Pengembangan aksesibilitas
kualitas layanan publik
dan kualitas layanan dalam
sampah perkotaan untuk
hal pengelolaan sampah
mencapai standar layanan
perkotaan
minimum agar meningkatkan
kualitas kesehatan publik
dan perlindungan lingkungan
hidup

Pengembangan sanitary
landfill
Dukungan teknis terkait
peningkatan sistem
pengelolaan sampah
perkotaan
Pemfasilitasian peningkatan
sistem sampah perkotaandi
tingkat kota/kabupaten

Program Pembangunan
Infrastruktur Kota Terpadu
(P3KT)
ADIPURA (program yang
sejak 1986 mendorong kotakota Indonesia untuk menjadi
bersih dan teduh)

Pengelolaan sampah
perkotaan antar-Pemda

Pengurangan volume
sampah perkotaan di
tingkat masyarakat
guna mengoptimalkan
pengangkutan dan
memperpanjang masa guna
TPA

Pengurangan volume sampah Sarana 3R berbasis


perkotaan melalui Program
Masyarakat
3R (Kurangi Reduce,
Pengumpulan dan
Gunakan Ulang Reuse, Daur
Pengangkutan sampah
Ulang Recycle)
perkotaan

Peningkatan upaya
Mendorong pengurangan
pemulihan material sampah
sampah perkotaan
perkotaan melalui pemisahan
dari sumber melalui
di sumber, pengomposan,
pemberdayaan masyarakat
dan pendauran ulang
Pendidikan lingkungan hidup
sejak dini melalui kurikulum
sekolah

drainase, dan sistem jalan di dalam TPA terpadu)


sementara sarana selebihnya dapat dibiayai oleh
Pemda.
Pengoperasian dan pemeliharaan setiap sarana yang
dibangun dengan dana Pemerintah Indonesia untuk
pengelolaan sampah perkotaan harus menjadi tanggung
jawab penuh Pemda.
Untuk menjadikan pengelolaan sampah perkotaan lebih
efisien dan efektif, dua kota/kabupaten atau lebih bisa
memadukan pengelolaan sampah perkotaan mereka dan
membuang sampah perkotaan mereka di satu lokasi TPA
daerah. Di tingkat regional ini, kesepahaman dan kerjasama
yang baik antar Pemda dan dukungan dari Pemerintah
Provinsi maupun Pusat merupakan faktor-faktor penting
demi keberhasilan sebuah program terpadu.

Tantangan di Masa Depan


Bersamaan dengan pengembangan infrastruktur di sektor
sampah, Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan

Kampanye pengurangan
sampah perkotaan dari
sumber
Mendorong penerapan
program 3R
Proyek percontohan Sarana
3R

Perumahan (real estate)


Sarana pengolahan sampah
perkotaan terpadu

Kota Hijau dan Bersih

Permukiman di Kementerian PU akan terus meningkatkan


pengelolaan sampah perkotaan, baik dengan cara
membangun kapasitas SDM yang terlibat dalam pengelolaan
sampah perkotaan Pemda maupun meningkatkan kesadaran
di tingkat eksekutif dan legislatif mengenai pentingnya
pengelolaan sampah perkotaan. Hal ini penting untuk
menjadikan sektor sanitasi, terutama sampah, prioritas
dalam pendanaan. Hanya dengan menjamin adanya sumber
daya manusia dan modal yang memadai, pengelolaan
sampah perkotaan di setiap kota dan kabupaten Indonesia
akan terjamin kelayakannya.

Tentang Penulis:
Ir. Djoko Mursito, Dipl. SE., MM, adalah Direktur Pengembangan
Penyehatan Lingkungan Permukiman di Kementerian Pekerjaan
Umum. Terra Prima Sari dan Sandhi Eko Bramono merupakan
staf Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan
Permukiman.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

295

POIN-POIN UTAMA
Dengan pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan, jumlah sampah berupa material anorganik meningkat,
sehingga tempat pembuangan akhir (TPA) yang ada telah mencapai kapasitas, sehingga tantangan yang ditimbulkan
sampah di Indonesia pun meningkat. UU no. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah menetapkan dasar-dasar bagi
kebijakan dan pendekatan Pemerintah Indonesia. Undang-Undang tersebut berfokus pada kebijakan 3R (reduce,
recycle, reuse) yakni mengurangi, mendaur ulang, dan memakai kembali, menetapkan target bagi konversi TPA
terbuka menjadi TPA terpadu, serta memprioritaskan pembangunan fasilitas pengolahan antara (ITF, Intermediate
Treatment Facilities). Banyak Pemerintah Daerah (Pemda) yang selama ini memiliki tanggung jawab utama untuk
menyediakan layanan persampahan sejak desentralisasi tahun 2001, kini telah menerbitkan peraturan daerah
(perda) yang mendukung.
Penyediaan layanan di tingkat daerah terhambat adanya fragmentasi tanggung jawab di antara unit kerja yang
berbeda-beda. Terdapat kebijakan yang bertentangan, kesenjangan, dan tumpang-tindih dalam cakupan pekerjaan,
serta persaingan dalam perolehan dana yang langka. Karena seluruh pendapatan yang dihimpun atas layanan
harus dikembalikan ke bendahara Pemda, tidak banyak insentif untuk meningkatkan cakupan dan memperbanyak
pendapatan. Penyediaan layanan persampahan menurut hukum terbatas pada batas-batas politis wilayah setempat,
yang dapat berakibat pada duplikasi yang tidak efisien dan berbiaya tinggi dalam membangun tempat pembuangan
akhir dan fasilitas pengolahan yang mahal dan sulit untuk dikembangkan.
Badan Layanan Umum Daerah (BLUD); kerjasama daerah; penguatan kelembagaan; dan pembangunan kapasitas
termasuk strategi yang sedang dikaji Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan pengelolaan sampah.
BLUD: BLUD dirancang untuk menyediakan layanan masyarakat yang dianggap sebagai layanan publik (social good)
dapat diharapkan akan menghasilkan aliran pendapatan. Meski belum digunakan di sektor persampahan, BLUD
merupakan terobosan baru dalam bentuk administrasi publik dan memiliki potensi yang cukup besar. Mereka memiliki
otonomi lebih besar dalam pengembangan dan penerapan kebijakan dan program. BLUD dapat menahan seluruh
pendapatan dan menggunakannya untuk penyediaan layanan di kemudian hari, BLUD juga memiliki kewenangan
untuk merekrut pegawai non-PNS.
Kerjasama Daerah: Biaya terkait dengan pembangunan, perluasan, penyediaan peralatan, dan pengoperasian TPA
dapat menjadi penghalang bagi banyak Pemda. Dengan bekerja sama, para Pemda dapat menghindari duplikasi
upaya dan mencapai skala ekonomis (economies of scale). Pembangunan TPA regional masih merupakan hal baru dan
manfaat jangka panjang masih belum terlihat, meski lokasi TPA di Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah mengindikasikan
bahwa strategi ini menjanjikan. Permasalahan yang ada mencakup tercapainya kesepakatan antara beberapa Pemda,
penentuan peran dan tanggung jawab, penghitungan kontribusi keuangan, akses yang berkesinambungan pada dana
anggaran untuk biaya pengoperasian dan pemeliharaan, serta kesulitan untuk memperoleh lahan yang memadai.
Koordinasi Antarlembaga: Di bawah kepemimpinan Bappenas, badan-badan penting Pemerintah Indonesia dengan
peran dalam penguatan sanitasi, telah meluncurkan program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP)
agar Pemda berfokus pada kebutuhan peningkatan penyediaan layanan sanitasi. Pemda diharuskan menyusun
strategi sanitasi terpadu dan menyertakan sektor ini dalam rencana kerja jangka panjang dan pendek. Untuk
menangani masalah fragmentasi di antara unit kerja, PPSP memberi otorisasi untuk membentuk kelompok kerja
(pokja) ad hoc di tingkat Provinsi dan daerah. Kelompok-kelompok kerja ini dimaksudkan untuk menjadi forum
tempat menyusun kesatuan kebijakan, pendekatan, dan program. Sulit untuk mengisolasi keberhasilan pendekatan
pokja PPSP dalam meningkatkan koordinasi di sektor sanitasi. Namun pokja ini memberi kesempatan terjadinya
diskusi dan pengambilan keputusan antarbadan yang seringkali kurang di tingkat daerah.
Pembangunan Kapasitas: Kementerian Dalam Negeri menyelenggarakan sejumlah program untuk
mengembangkan keahlian staf dan mengelola Institut Pemerintahan Dalam Negeri yang menyelenggarakan
penelitian, menyusun kebijakan dan standar, serta mendukung pembangunan kapasitas. Kementerian
Pekerjaan Umum mendukung dua pusat penelitian dan pelatihan yang menyediakan pelatihan khusus di bidang
air minum dan sanitasi. Selain itu, beberapa prakarsa yang saat ini berfokus pada air limbah (asosiasi kotakota yang bernama Ikatan Ahli Teknik Penyehatan dan Teknik Lingkungan; proposal ADB untuk pembentukan
sebuah institut pelatihan; dan Ikatan Ahli Teknik Penyehatan dan Teknik Lingkungan) memiliki potensi untuk
memperluas fokus mereka agar menyertakan sampah.

Manajemen Persampahan

297

Memperkuat Lingkungan
Kelembagaan untuk Manajemen
Persampahan Perkotaan
Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan
manajemen persampahan, dan sedang menjalankan berbagai
strategi termasuk unit kerja layanan masyarakat, kerjasama daerah,
penguatan lembaga, dan pembangunan kapasitas.
Oleh Joel Friedman

Kota-kota di Indonesia berjuang menangani sampah mereka.


Diperkirakan 80.000 ton sampah dihasilkan setiap hari,
dan dari jumlah tersebut hanya 34.000 ton diangkut dan
dibuang di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang dirancang
dan dikelola dengan layak. Sampah yang tidak terangkut
dibakar secara terbuka, yang dengan demikian berkontribusi
terhadap polusi udara, atau dibuang secara sembarangan,
sehingga menyumbat drainase dan sistem pembuangan air
limbah serta menjadi tempat berkembang-biaknya vektor
penyakit.
Tantangan di bidang persampahan diperkirakan akan
meningkat pada tahun-tahun yang akan datang. Sekitar 50
persen penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan,
dan semua perkiraan menunjukkan bahwa persentase ini
akan semakin meningkat. TPA yang telah ada di daerah
perkotaan, banyak diantaranya dibangun bertahun-tahun
yang lalu ketika lahan masih tersedia luas, mulai penuh
dengan cepat. Urbanisasi telah mengakibatkan kenaikan
harga lahan dan mengurangi jumlah lahan kosong yang
dapat digunakan untuk mengolah dan membuang sampah.

Selanjutnya, komposisi sampah yang dihasilkan juga


mengalami perubahan. Sementara lebih dari 60 persen
sampah yang dihasilkan saat ini bersifat organik, persentase
tersebut menurun akibat adanya teknik kemasan dalam
masyarakat modern dan semakin berorientasi pada
konsumsi, yang mengarah pada semakin banyaknya
penggunaan plastik dan kertas yang lebih sulit dibuang.
Sebagaimana di masyarakat barat, semakin banyak terlihat
tanda-tanda mentalitas not in my backyard (yang penting
halaman tempat tinggal sendiri bersih, dan tidak peduli jika
sampah dibuang di tempat lain) dan telah terjadi konflik di
antar Pemerintah Daerah (Pemda) terkait pengangkutan dan
TPA untuk pembuangan sampah.
Pemerintah mengakui adanya tantangan dalam manajemen
persampahan perkotaan dan berupaya untuk meningkatkan
penyediaan layanan. Memanfaatkan keberhasilan yang
meningkatkan akses ke air minum yang aman secara drastis
selama ini, Pemerintah kini mengalihkan perhatiannya pada
sanitasi, khususnya pada sampah. UU no. 18/2008 tentang
Pengelolaan Sampah menetapkan dasar-dasar kebijakan,

Prakarsa Compendium | Jilid 2

298

Memperkuat Lingkungan Kelembagaan untuk Manajemen Persampahan Perkotaan

pendekatan, serta peran dan tanggung jawab. Undangundang tersebut mengakui diperlukannya pembatasan
banyaknya sampah yang dihasilkan dan berfokus pada
perlunya konsumen mengurangi (reduce), mendaur ulang
(recycle), dan memakai kembali (reuse) sampah (kebijakan
3R), dan menetapkan tanggung jawab kemasyarakatan semua
warga negara. Undang-undang tersebut menetapkan target
bagi konversi TPA terbuka menjadi tempat pembuangan
akhir sampah terpadu, dan memprioritaskan pembangunan
fasilitas pengolahan sampah antara (ITF, intermediate
treatment facilities) yang canggih untuk mengurangi
banyaknya sampah yang akhirnya diangkut ke TPA. Banyak
Pemda yang sudah menerbitkan peraturan daerah (perda)
yang mendukung upaya tersebut. Pemerintah juga sudah
meningkatkan pendanaan secara keseluruhan dalam APBN
untuk manajemen persampahan.
Selama ini, sebagian besar pendanaan untuk pembangunan
TPA dan teknologi terkait disediakan oleh Pemerintah Pusat
melalui Kementerian Pekerjaan Umum (Kemen PU). Pemda
bertanggung jawab atas pengoperasian dan pemeliharaan
TPA berikut pengumpulan dan penyediaan fasilitas dan sistem
pengolahan antara. Sejak dimulainya program desentralisasi
Pemerintah pada tahun 2001, tanggung jawab pengelolaan
sampah dialihkan ke Pemda, sedangkan Pemerintah Pusat,
terutama Kemen PU, bertanggung jawab secara keseluruhan
atas kebijakan, standar, pengembangan teknologi baru, serta
pemantauan dan evaluasi. Oleh karenanya, Pemda berada
di garis depan dalam perjuangan mengelola persampahan.
Sebagian besar biaya harus ditutup dari APBD mereka dan
layanan pengelolaan sampah dilaksanakan oleh unit kerja
Pemda. Pemda berwenang untuk mengenakan retribusi atas
penyediaan layanan, termasuk pengelolaan sampah.

Lingkungan Kelembagaan
Pemerintah telah menunjukkan komitmen untuk menguatkan
manajemen persampahan melalui penerbitan kebijakan dan
peraturan baru, peningkatan pendanaan, dan penerapan
teknologi baru. Hal yang penting adalah, pemerintah juga
mengakui pentingnya lingkungan kelembagaan kuat yang
mencakup pelaksanaan manajemen persampahan. Oleh
karena itu, Pemerintah berfokus terhadap penguatan unitunit kerja Pemda yang bertanggung jawab atas penyediaan
dan pengaturan layanan sampah dan penyelarasan
keseluruhan sektor. Pemerintah, dengan dukungan IndII,
sedang mencari pendekatan alternatif di bidang ini, dengan

Prakarsa Compendium | Jilid 2

berkonsentrasi pada pengembangan dan penerapan


kebijakan dan program yang praktis, serta mendukung upaya
uji coba di lingkungan beberapa Pemda terpilih. Artikel ini
akan mengkaji sejumlah prakarsa yang sedang berlangsung
maupun yang direncanakan untuk menguatkan lingkungan
kelembagaan. Meski ini merupakan upaya baru dan
dampak serta keberlanjutan keseluruhannya masih belum
terlihat, namun upaya-upaya tersebut merupakan tanda
positif adanya komitmen Pemerintah untuk meningkatkan
penyediaan layanan vital seperti manajemen persampahan.
Biasanya, layanan manajemen persampahan disediakan
oleh Pemda melalui satu atau lebih unit kerja mereka (dinas
atau SKPD [Satuan Kerja Perangkat Daerah]). Awalnya
sampah dikumpulkan dari rumah tangga atau usaha kecil
oleh individu atau perusahaan kecil, yang diatur oleh ketua
RT, kemudian diangkut ke tempat penyimpanan sementara.
Iuran bulanan untuk pengumpulan sampah dibayarkan
kepada ketua RT yang pada akhirnya dikontribusikan
kepada bendahara Pemda. Sampah dikurangi barangbarang yang dapat dipakai kembali atau didaur ulang, yang
biasanya diambil oleh pemulung, kemudian diangkut ke TPA
menggunakan truk milik Pemda atau yang dikontrak. TPA ini
merupakan milik atau dikelola oleh Pemda.
Pengelolaan layanan sampah oleh unit kerja Pemda,
sebagaimana penyediaan layanan di sektor lain, terkendala
sejumlah permasalahan. Sementara proses pengumpulan
dan pembuangan sampah pada umumnya menjadi tanggung
jawab satu unit kerja, dalam hal ini seringkali dilakukan oleh
Dinas Kebersihan, Dinas Taman dan Pemakaman, atau Dinas
Pekerjaan Umum unit kerja Pemda lainnya bertanggung
jawab atas layanan sampah yang terkait seperti pengelolaan
sampah pasar, penerbitan Izin Mendirikan Bangunan untuk
bangunan tunggal atau perumahan atau kawasan industri,
memantau kepatuhan terhadap standar lingkungan, atau
penanganan limbah berbahaya. Koordinasi antara beragam
unit kerja seringkali sulit dan sarat dengan kebijakan yang
bertentangan, kesenjangan, atau tumpang-tindih dalam
cakupan pekerjaan, serta kekurangan dana. Unit kerja Pemda
di sektor persampahan harus bersaing dengan sektor lain
untuk mendapatkan dana anggaran daerah yang terbatas.
Mengingat seluruh pendapatan harus dikembalikan ke
bendahara Pemda, tidak banyak insentif untuk meningkatkan
cakupan dan meningkatkan pendapatan. Sebagaimana
halnya dengan unit kerja lain, unit kerja yang bertugas di

Manajemen Persampahan

Kebanyakan sampah di Jakarta dikumpulkan oleh perseorangan, seperti tukang sampah


yang bekerja keras untuk melakukan tugasnya di Pejaten Barat, Jakarta Selatan ini.

sektor persampahan seringkali memiliki pengelolaan buruk,


tidak adanya orientasi kinerja, semangat staf yang rendah,
dan birokrasi yang membengkak. Penyediaan layanan
sampah menurut hukum terbatas pada batas-batas politis
wilayah setempat. Di daerah metropolitan yang terdiri atas
sejumlah Pemda, hal ini mengakibatkan duplikasi yang tidak
efisien dan berbiaya tinggi dalam pembangunan tempat
pembuangan akhir dan fasilitas pengolahan yang mahal dan
sulit untuk dikembangkan.
Menanggapi permasalahan kelembagaan ini, Pemerintah
dengan dukungan IndII dan lembaga donor lain secara aktif
sedang mencari pendekatan alternatif. Banyak diantaranya
yang telah dikembangkan dan diterapkan di berbagai
sektor layanan lainnya, tetapi pemanfaatannya di sektor
persampahan relatif baru. Beberapa diantaranya dibahas
secara sekilas di bawah ini.

Badan Layanan Umum Daerah


Pada tahun 2005, Pemerintah, yang mengenali adanya
kebutuhan untuk meningkatkan penyediaan layanan dan

Atas perkenan Carol Walker

mengakui adanya permasalahan terkait dengan kinerja unit


kerja pemerintah, mengesahkan peraturan baru, yaitu PP
no. 23/2005 yang memperbolehkan pembentukan unit kerja
layanan publik dengan nama Badan Layanan Umum (BLU).
Awalnya BLU dimaksudkan sebagai unit kerja di tingkat
Pemerintah Pusat, tetapi dengan Keputusan Menteri Dalam
Negeri no. 61/2007, penggunaan model baru ini diperluas
ke Pemda sebagai Badan Layanan Umum Daerah, atau
BLUD. BLUD secara spesifik dirancang untuk menyediakan
layanan masyarakat yang dianggap sebagai layanan publik
(social good) tetapi dapat diharapkan akan menghasilkan
aliran pendapatan. (Lihat Konsep yang Menjanjikan untuk
Penyelenggaraan Layanan Daerah dalam Prakarsa edisi Juli
2010 untuk pembahasan terperinci mengenai latar belakang
model BLUD.)
Meski belum diterapkan dalam layanan persampahan atau
sektor terkait, BLUD merupakan terobosan baru dalam
bentuk administrasi publik dan memiliki potensi cukup
besar untuk memperluas penyediaan layanan persampahan.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

299

300

Memperkuat Lingkungan Kelembagaan untuk Manajemen Persampahan Perkotaan

BLUD memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan


unit kerja pada umumnya. Mereka memiliki otonomi lebih
besar dalam pengembangan dan penerapan kebijakan dan
program. Hal penting lainnya adalah bahwa mereka dapat
menahan seluruh pendapatan dan menggunakannya untuk
penyediaan layanan di kemudian hari, tidak seperti unit
kerja yang wajib mengembalikan seluruh pendapatan pada
bendahara. Mereka berhak merekrut personel non-PNS.
Perbedaan semacam itu bertujuan untuk mempertajam
fokus terhadap penyediaan layanan dan peningkatan kinerja.
BLUD tetap merupakan bagian dari Pemda dan memperoleh
pendanaan dari APBD. Mereka dipandang sebagai peralihan
dari unit kerja menuju pembentukan perusahaan daerah
yang berada di luar struktur pemerintah meskipun mereka
juga menyediakan layanan publik. Penyediaan air minum
umumnya dilakukan oleh badan usaha seperti ini. BLUD
didirikan melalui proses multi-tahun di mana mereka secara
bertahap diberi otonomi lebih besar dari unit kerja yang

IndII sedang mendukung Pemerintah dan Bank Dunia dalam


mempersiapkan pinjaman kepada beberapa kota untuk
menguatkan manajemen persampahan. Para konsultan IndII
merekomendasikan agar model BLUD dikaji untuk masingmasing kota yang akan menerima pinjaman. Saat ini sedang
dilakukan studi kelayakan untuk empat kota. Pembahasan
dengan para pejabat setempat memberi indikasi akan
adanya minat pada BLUD.
Hibah Infrastruktur Australia-Indonesia untuk Sanitasi (sAIIG,
Australia-Indonesia Infrastructure Grants for Sanitation)
dari IndII mendukung hingga empat puluh Pemda dalam
membangun sistem air limbah kecil berbasis rukun tetangga
dan dalam pemasangan sambungan sistem tersebut dengan
jaringan yang lebih besar. Sementara sebagian besar
program akan dikelola oleh unit kerja, beberapa Pemda yang
lebih besar dan lebih canggih mengungkapkan minat mereka
untuk mencoba kemungkinan penggunaan BLUD. Konsultan
IndII dan pejabat Pemerintah akan menyediakan dukungan

Pengelolaan layanan persampahan oleh unit kerja pemerintah


daerah, sebagaimana penyediaan layanan di sektor lain,
terkendala sejumlah permasalahan
terkait dengan mereka. Pada akhirnya mereka didirikan resmi
melalui surat keputusan walikota atau bupati setempat.
Pengalaman dengan BLUD pada intinya terbatas pada
wilayah penyediaan layanan di mana terdapat keterkaitan
jelas antara penyediaan layanan dan pembayaran. Sebagian
besar BLUD merupakan lembaga pendidikan Pemerintah
atau rumah sakit umum. Meski demikian, Pemerintah
sedang secara aktif mengkaji kemungkinan untuk
memperluas BLUD ke bidang penyediaan layanan lainnya.
Dengan menggunakan pendanaan dari Kemen PU, belum
lama ini provinsi Bali membangun sistem pengumpulan
dan pengolahan air limbah yang terpusat. Sistem tersebut
dikelola oleh unit pelayanan teknis dalam suatu unit kerja
yang sedang dalam proses untuk menjadi BLUD di tingkat
provinsi. Hingga belum lama ini, sistem Busway di Jakarta
yang menerima dukungan dari IndII, juga dikelola oleh
sebuah BLUD.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

kepada Pemda tersebut selama mereka melanjutkan


kajian mengenai penggunaan BLUD dan mengawali proses
peralihan.

Kerjasama Daerah
Biaya pengelolaan sampah mahal. Dengan meningkatnya
tekanan pada lahan akibat pertumbuhan dan perkembangan
jumlah penduduk, harga tanah kian meningkat di sebagian
besar daerah perkotaan. Sebagai akibatnya, biaya terkait
dengan pengembangan atau perluasan TPA dapat menjadi
sangat tinggi. Biaya tambahan untuk peralatan berat seperti
truk dan buldoser, fasilitas pengolahan untuk penyaluran
air lindi, dan di beberapa lokasi, peralatan canggih untuk
penyalaan api gas (gas flaring) dan penangkapan gas metan
(methane capture) yang berarti bahwa biaya keseluruhan
untuk mengelola persampahan dapat menjadi penghalang
bagi banyak Pemda. Selain itu, model saat ini yang
membatasi manajemen persampahan hanya pada lingkup

Manajemen Persampahan

UU no. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah mengakui kebutuhan untuk mengurangi,


mendaur ulang, dan memakai kembali, seperti dalam upaya pembuatan kompos ini.

masyarakat masing-masing Pemda, berujung pada replikasi


biaya yang cukup besar. Hal ini dikarenakan daerah pusat
perkotaan membelanjakan dana yang cukup besar dari
anggaran yang terbatas untuk TPA dan peralatan, sementara
daerah di sekelilingnya menduplikasi pembelanjaan mereka
untuk melayani masyarakat mereka.
Pemerintah mengakui manfaat yang dapat diperoleh
dari kerjasama antar Pemda dalam penyediaan layanan
masyarakat dan dengan demikian meraih skala ekonomi
(economies of scale). PP no. 50/2007 menetapkan kerangka
kerja hukum dan memperinci persyaratan prosedural untuk
kerjasama antar Pemerintah Daerah. Dalam upaya menekan
biaya pembebasan lahan dan pengadaan peralatan serta
menghindari duplikasi upaya, pemerintah mendorong
pembentukan TPA regional yang dikelola bersama oleh
beberapa Pemda. UU no. 18/2008 menyarankan agar Pemda
bekerja sama dalam pengelolaan sampah. Kemen PU telah
memprioritaskan TPA regional dalam program dukungannya
bagi sektor ini.

Atas perkenan Mott MacDonald

Mendukung Pemerintah dalam memprioritaskan TPA


regional, IndII menyediakan dukungan dalam pembuatan
rancangan teknis terperinci dari tempat pembuangan
akhir sampah daerah di wilayah Mamminasata di Sulawesi
Selatan yang meliputi kota Makassar dan kabupaten Maros,
Gowa, dan Takalar. Dengan diselesaikannya pekerjaan
rancangan tahun 2011, pembangunannya, yang didanai
oleh Pemerintah Jepang, sedang berlangsung. Secara
bersamaan, finalisasi pengaturan kelembagaan sedang
berlangsung. Meski masing-masing wilayah bertanggung
jawab atas pengumpulan dan pengolahan sampah antara,
TPA akan didanai dan dioperasikan bersama melalui sebuah
sekretariat dengan perwakilan dari masing-masing wilayah.
Meskipun masih terdapat pertanyaan penting mengenai
struktur tata kelola final serta penentuan kontribusi
pendanaan, fasilitas pembuangan sampah tunggal ini akan
mengurangi tekanan pada anggaran masing-masing wilayah
dan menghindari duplikasi dalam upaya pengadaan lahan
dan pengoperasian/pemeliharaan.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

301

302

Memperkuat Lingkungan Kelembagaan untuk Manajemen Persampahan Perkotaan

Sejak tahun 1997, TPA daerah telah dioperasikan oleh kota


Yogyakarta serta kabupaten Bantul dan Sleman di Jawa
Tengah. Sebuah sekretariat bersama yang dikenal dengan
akronim Kartamantul dibentuk melalui sebuah Surat
Keputusan Pemerintah Provinsi. Anggotanya terdiri atas
perwakilan dari tiga Pemda dengan ketua yang ditetapkan
secara bergilir setiap tiga tahun. Sementara pendanaan
awal disediakan dari anggaran provinsi, pada tahun 2001
ditandatangani Surat Keputusan Bersama yang mengalihkan
tanggung jawab pendanaan pada Pemda. Setiap Pemda
menyediakan pendanaan secara proporsional terhadap
jumlah sampah yang dibuang di TPA. Sebagaimana juga di
Mamminasata, masing-masing Pemda bertanggung jawab
secara independen atas pengumpulan dan pengolahan
sampah antara. Sekretariat Kartamantul, yang memiliki
stafnya sendiri, juga menyediakan sejumlah layanan lain
bagi tiga Pemda tersebut, seperti pengolahan air limbah dan
pengelolaan angkutan.

Program ini mengakui pentingnya koordinasi antarlembaga


dan permasalahan yang dihadapi oleh Pemda dalam
menerapkan kebijakan dan program melalui beraneka
ragam unit kerja. Sektor sanitasi mencakup tiga subsektor sampah, air limbah, dan drainase dan di banyak
lokasi unit kerja yang berbeda-beda yang bertanggung
jawab atas masing-masing sub-sektor. Fungsi pendukung
perencanaan, penganggaran, penyusunan kebijakan,
penempatan kerja, pengadaan, pengumpulan pendapatan
umumnya menjadi tanggung jawab unit kerja yang
berbeda dengan unit kerja pelaksana utama. Dalam hal
persampahan, kegiatan penting lainnya terkait dengan subsektor ini pendidikan masyarakat, perizinan, penyusunan
dan pemantauan standar lingkungan, pengelolaan limbah
berbahaya seringkali menjadi tanggung jawab unit kerja
lain lagi. Koordinasi dan komunikasi antar unit kerja tersebut
seringkali lemah, terpecah-pecah serta sarat dengan celah
dan tumpang-tindih.

Pembangunan TPA regional masih merupakan hal yang


baru dan manfaat jangka panjangnya masih belum terlihat.
Permasalahan kelembagaan masih ada, contohnya dalam
kesepakatan antara beberapa Pemda, penentuan peran
dan tanggung jawab, penghitungan kontribusi keuangan,
dan akses yang berkesinambungan pada dana anggaran
untuk pengoperasian dan pemeliharaan. Kesulitan dalam
memperoleh lahan yang memadai masih tetap ada,
bahkan untuk TPA regional. Namun kemajuan yang telah
dicapai di wilayah seperti Mamminasata dan Kartamantul,
serta rencana untuk membangun TPA regional tambahan,
mengindikasikan validitas model ini dan perlu diterapkan di
Indonesia.

PPSP telah memberi otorisasi untuk membentuk Kelompok


Kerja (pokja) ad hoc di tingkat provinsi dan daerah yang
dirancang untuk menanggulangi permasalahan tersebut.
Kelompok-kelompok tersebut terdiri atas perwakilan dari
unit-unit kerja terkait dan dimaksudkan untuk menjadi
forum tempat menyusun kesatuan kebijakan, pendekatan,
dan program. Di tingkat daerah, pokja dipimpin oleh
sekretaris daerah (sekda) dan terdiri atas berbagai panitia
perencanaan, pendanaan, teknis, pemberdayaan
masyarakat, serta pemantauan dan evaluasi yang masingmasing terdiri atas perwakilan unit kerja terkait. Pokja
tingkat provinsi mengawasi pokja daerah dan memberikan
dukungan koordinasi horisontal.

Koordinasi Antarlembaga

Sulit untuk mengisolasi keberhasilan yang telah diraih Pokja


PPSP dalam meningkatkan koordinasi di sektor sanitasi,
khususnya di bidang persampahan, dan oleh karenanya, juga
dalam menguatkan penyediaan layanan sanitasi. Pokja bukan
merupakan unit kerja Pemda dan oleh sebab itu tidak berhak
atas dana dari anggaran daerah untuk mendukung program.
Selain ini, karena pokja adalah badan ad hoc, kepala daerah
memiliki kewenangan penuh untuk membubarkan pokja.
Beberapa pengkritik bahkan berpendapat bahwa pokjapokja ini hanya merupakan lapisan birokrasi tambahan pada
lingkungan kelembagaan yang sudah rumit. Meski demikian,

Pemerintah telah memprioritaskan pencapaian Tujuan


Pembangunan Milenium, termasuk yang terkait dengan atau
terpengaruh oleh sanitasi. Lembaga-lembaga utama yang
berperan dalam penguatan sanitasi, di bawah kepemimpinan
Bappenas, telah meluncurkan program Percepatan
Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) sebagai upaya
agar Pemda berfokus pada kebutuhan untuk meningkatkan
penyediaan layanan sanitasi. Para Pemda diharuskan
menyusun strategi sanitasi terpadu dan menyertakan sektor
ini dalam rencana kerja jangka panjang dan pendek.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Manajemen Persampahan

pokja-pokja ini merupakan pengakuan atas adanya


permasalahan kelembagaan terkait dengan pengelolaan
sampah dan, setidaknya di atas kertas, memberi kesempatan
terjadinya diskusi antar badan dan pengambilan keputusan
yang seringkali kurang di tingkat daerah.

Pembangunan Kapasitas

Pemerintah mengakui bahwa keberhasilan pembangunan


dan pengelolaan fasilitas persampahan bergantung
pada badan pelaksana yang kuat dengan personel yang
terdiri atas PNS terampil. Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) memiliki Badan Penelitian dan Pengembangan
yang menyelenggarakan beragam program untuk
mengembangkan keahlian para staf. Instansi terkait yang ada
menyediakan dukungan bagi unit kerja Pemda. Kemendagri
juga mengelola Institut Pemerintahan Dalam Negeri yang
menyelenggarakan penelitian, menyusun kebijakan dan
standar, serta mendukung pembangunan kapasitas bagi
lembaga pemerintah. Kemen PU mendukung dua pusat
penelitian dan pelatihan di Bekasi, Jawa Barat, dan Surabaya
yang menyediakan pelatihan khusus di bidang air minum
dan sanitasi, termasuk persampahan.
Berdasarkan keberhasilan upaya Persatuan Perusahaan Air
Minum Indonesia (Perpamsi), beberapa pejabat daerah
mendirikan sebuah asosiasi kota-kota yang peduli terhadap
sanitasi bernama Aliansi Kabupaten Kota Peduli Sanitasi
(AKKOPSI) dan sedang dalam proses pengembangan suatu
lembaga kebijakan, pelatihan, dan penelitian khusus.
Meskipun lembaga ini, yang bernama Forum Komunikasi
Air Limbah (FORKALIM) pada awalnya akan berfokus
pada air limbah, namun kemudian dapat diperluas
sehingga mencakup persampahan. Serupa dengan itu, Bank
Pembangunan Asia (ADB) mendukung upaya bantuan teknis
yang telah menghasilkan proposal untuk pembentukan
Institut Pelatihan dan Penyediaan Air Minum Indonesia.
Laporan akhir dari dukungan teknis yang direkomendasikan
adalah agar institut tersebut berfokus pada air limbah.
Namun, jika berhasil, hal ini dapat diperluas sehingga
mencakup persampahan. Terakhir, Ikatan Ahli Teknik
Penyehatan dan Teknik Lingkungan (IATPI) mendukung
penyusunan kebijakan, pengembangan standar profesional,
dan pelatihan dalam jumlah terbatas.

Berbagai lembaga donor, termasuk Bank Dunia, Bank


Pembangunan Asia, dan sejumlah lembaga donor bilateral
telah menyertakan kegiatan pembangunan kapasitas dan
kegiatan penguatan kelembagaan dalam program yang
menunjang sektor sanitasi termasuk persampahan. Program
IndII memiliki tim khusus, berbasis di kantor Kemendagri
dan menyediakan dukungan bagi berbagai program air
minum dan sanitasi IndII.

Kesimpulan
Artikel ini telah mengulas beberapa bidang di mana
Pemerintah mendukung upaya untuk menguatkan
lingkungan kelembagaan bagi penyediaan layanan
persampahan. Banyak yang masih berada pada tahap
pengkajian atau penentuan akhir mengenai sumbangan
yang dapat mereka berikan. Meski demikian, fakta bahwa
mereka sedang dicoba, menunjukkan komitmen Pemerintah
terhadap peningkatan penyediaan layanan persampahan
dan pengakuan Pemerintah akan pentingnya hubungan
dan kapasitas kelembagaan. Dukungan IndII terhadap
sektor persampahan, saat ini dan yang direncanakan,
akan mencakup komponen kunci berupa pengembangan
kapasitas kelembagaan.

Tentang Penulis:
Joel Friedman adalah Konsultan IndII di bidang Pengembangan
Kelembagaan, khususnya untuk Air Minum dan Sanitasi. Ia
berpengalaman lebih dari 20 tahun di bidang pembangunan di
Indonesia bekerja dengan beraneka ragam instansi pemerintah.
Pekerjaannya di tingkat pusat terutama dengan Kementerian
Dalam Negeri tetapi juga dengan Bappenas, Kementerian
Keuangan, dan Kementerian Pekerjaan Umum. Ia juga bekerja
dengan berbagai Pemerintah Daerah, termasuk saat ia tinggal
dan bekerja selama beberapa waktu di Palembang. Sektorsektor utama yang pernah ditanganinya meliputi pembangunan
perkotaan, lingkungan hidup, desentralisasi, dan penguatan
kelembagaan. Ia pernah bekerja dengan berbagai lembaga
bantuan bilateral dan multilateral. Sebelum pindah ke Indonesia,
ia bekerja di Filipina dan Bangladesh, dan juga pada Departemen
Perumahan dan Pembangunan Perkotaan di Amerika Serikat.
Ia memiliki gelar sarjana di bidang kepemerintahan dan gelar
magister di bidang perencanaan perkotaan

Prakarsa Compendium | Jilid 2

303

POIN-POIN UTAMA
Keterlibatan sektor swasta dalam bidang manajemen persampahan perkotaan menuntut
sektor swasta dan pemerintah untuk menggali potensi sumber bahan baku persampahan
perkotaan. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memainkan peran penting dalam
menciptakan peluang bagi investasi swasta dengan mengembangkan kebijakan, peraturan,
dan insentif/disinsentif.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan tiga kebijakan utama area perencanaan yang dapat
mendorong aktivitas komersial, yakni: undang-undang pengelolaan sampah, kebijakan dalam
bidang energi, dan komitmen terhadap mitigasi perubahan iklim.
Solusi komersial yang berkelanjutan bagi manajemen persampahan perkotaan mengandalkan
kerjasama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Perhatian pada persyaratan
dan prioritas setiap kelompok tersebut sangat penting di Indonesia, karena investasi sektor
swasta dalam manajemen persampahan perkotaan adalah suatu hal baru dan memerlukan
dukungan signifikan dari berbagai pemangku kepentingan. Hal ini akan meliputi alih teknologi
dari negara-negara lain, serta pengakuan adanya risiko komersial dalam pengenalan teknologi
baru.
Sektor swasta telah mengkonsentrasikan investasinya terutama dalam proyek-proyek gas dari
tempat pembuangan akhir (LFG, Landfill Gas). Mitigasi Perubahan Iklim Pemerintah Indonesia
mengarah pada pendirian Skema Karbon Nusantara dan pengembangan perjanjian bilateral
untuk perdagangan karbon. Program pengurangan/pencegahan Gas Rumah Kaca akan terusmenerus menyediakan dukungan keuangan bagi kegiatan pengembangan persampahan
perkotaan secara komersial. Peningkatan manajemen persampahan perkotaan juga mendapat
dukungan dari lembaga multilateral.
Semua komponen dalam rantai nilai persampahan perkotaan merupakan peluang bagi
partisipasi sektor swasta. Sektor swasta perlu benar-benar memahami karakteristik
manajemen persampahan perkotaan di Indonesia, terutama ketika mengajukan usulan solusi
teknis kepada Pemerintah Daerah. Komposisi persampahan perkotaan Indonesia berbeda
dengan di negara maju, dan membutuhkan pendekatan teknis yang tepat.
Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan lingkungan
usaha, seperti menaikkan tarif listrik yang dihasilkan dari sumber bahan baku persampahan
perkotaan yang dijual pada jaringan PLN, investasi asing, dan PPP. Seiring dengan tetap
berjalannya upaya ini, kegiatan komersial dan berkelanjutan di dalam sektor persampahan
perkotaan perlu mempertimbangkan kebutuhan dari semua pemangku kepentingan,
penerapan teknologi yang tepat, dan pembagian risiko.

Manajemen Persampahan

Membuka Jalan bagi Sektor


Swasta untuk Terlibat dalam
Pengelolaan Sampah
di Perkotaan Indonesia
Sektor swasta dapat menjadi mitra penting bagi Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat dalam mengelola sampah
perkotaan. Agar partisipasi yang dilandasi kepentingan komersial ini
dapat berhasil, perlu dilakukan eksplorasi terhadap potensi sumber
daya bahan baku sampah, pembuatan peraturan yang mendukung,
penerapan teknologi tepat guna, dan pertimbangan atas kebutuhan
semua pemangku kepentingan.
Oleh Ken Butler

Keterlibatan sektor swasta dalam manajemen persampahan


perkotaan di perkotaan Indonesia memerlukan pergeseran
paradigma dalam cara sektor swasta dan pemerintah
memandang isu persampahan di perkotaan. Pandangan pada
masa lalu dan saat ini adalah bahwa persampahan perkotaan
merupakan masalah pembuangan. Alih-alih, sektor swasta
maupun pemerintah perlu menggali potensi sumber bahan
baku persampahan perkotaan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memainkan peran
penting dalam menciptakan peluang bagi investasi swasta
dengan mengembangkan kebijakan, peraturan, dan insentif/
disinsentif yang mendukung untuk mendorong peningkatan
manajemen persampahan perkotaan.
Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah telah menjelaskan
dan menetapkan tiga kebijakan utama dan area perencanaan,
yang harus dipandang sebagai pendorong positif, yang

Gambar 1: Dorongan Kebijakan yang Mendukung Pengembangan


Proyek Persampahan perkotaan Secara Komersial

Undang-Undang
Pengelolaan
Sampah

Perubahan
Iklim

Kebijakan
dalam Bidang
Energi

Pasar persampahan perkotaan

Prakarsa Compendium | Jilid 2

305

306

Membuka Jalan bagi Sektor Swasta untuk Terlibat dalam Pengelolaan Sampah di Perkotaan Indonesia

dapat mendukung pengembangan proyek persampahan


perkotaan secara komersial. Kebijakan pendukung tersebut
adalah: undang-undang pengelolaan sampah, kebijakan
dalam bidang energi, dan komitmen terhadap mitigasi
perubahan iklim (lihat Gambar 1).
Tiga prioritas nasional ini diharapkan dapat (i) meningkatkan
pengolahan persampahan perkotaan melalui partisipasi
sektor swasta; (ii) meningkatkan pembangkit energi dari
sumber energi baru dan alternatif; dan (iii) menurunkan
emisi gas rumah kaca (GHG, Greenhouse Gas) nasional. Ketiga
Gambar 2: Pemangku Kepentingan Utama bagi Solusi Komersial
yang Berkelanjutan

Masyarakat

Swasta

Pemerintah

Keberlanjutan
hal ini membentuk komponen utama untuk menghimpun
dukungan nasional, internasional, dan sektor swasta untuk
proyek-proyek persampahan perkotaan.

Tiga Pemangku Kepentingan Utama


Solusi komersial yang berkelanjutan bagi manajemen
persampahan perkotaan akan mengandalkan kerjasama
antara tiga pemangku kepentingan utama yakni pemerintah,
sektor swasta, dan masyarakat (lihat Gambar 2). Setiap
pemangku kepentingan memiliki persyaratan dan prioritas
mereka masing-masing yang harus dipertimbangkan untuk
menjamin keberhasilan pelaksanaan kegiatan yang kooperatif
dan/atau Kerjasama Pemerintah Swasta (PPP, Public Private
Partnership).
Perhatian terhadap persyaratan dan prioritas tersebut sangat
penting di Indonesia karena investasi sektor swasta dalam
manajemen persampahan perkotaan adalah suatu hal baru

Prakarsa Compendium | Jilid 2

dan memerlukan dukungan signifikan dari berbagai pemangku


kepentingan. Hal ini akan meliputi alih teknologi dari negaranegara yang telah membuktikan teknologi tersebut dan
berada pada tahap yang sudah matang.
Perlu disadari bahwa partisipasi sektor swasta dalam kegiatan
persampahan perkotaan mengandung sejumlah risiko
komersial, khususnya akibat pengenalan dan penerapan
teknologi baru di Indonesia. Kemungkinan besar sektor swasta
akan bersedia berpartisipasi dalam manajemen persampahan
perkotaan, jika pemerintah menyediakan lingkungan usaha
yang memadai. Kondisi ini akan memungkinkan sektor
swasta untuk memperoleh keuntungan komersial yang
sepadan dan meminimalisir risiko komersial. Pemerintah
harus menyediakan mekanisme insentif, seperti status bebas
pajak atau pajak yang lebih rendah untuk peralatan terkait
dengan pengolahan persampahan perkotaan; preferensi
atau kemudahan dalam perizinan; dukungan keuangan atau
teknis. Selain itu, proyek-proyek sektor swasta harus dapat
memberi solusi realistis, tepat, dan berkelanjutan bagi
manajemen persampahan perkotaan berdasarkan prinsipprinsip komersial dan pembagian risiko.
Saat ini sektor swasta sedang mengkonsentrasikan
investasinya terutama dalam proyek-proyek gas dari tempat
pembuangan akhir (LFG, landfill gas), dengan memanfaatkan
Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM, Clean Development
Mechanism) sesuai Protokol Kyoto, untuk menghasilkan arus
pendapatan dengan berbagai tingkat keberhasilan. Sementara
masih terdapat ketidakpastian yang besar terhadap
masa depan CDM, komitmen Pemerintah Indonesia pada
Mitigasi Perubahan Iklim mengarah pada pengembangan
Skema Karbon Nusantara (SKN) serta pengembangan
perjanjian bilateral di bidang perdagangan karbon. Program
pengurangan/pencegahan GHG akan terus menyediakan
dukungan keuangan bagi kegiatan pengembangan kegiatan
persampahan perkotaan secara komersial.

Sasaran untuk meningkatkan manajemen persampahan
perkotaan di Indonesia juga memperoleh dukungan dari
lembaga multilateral seperti Bank Dunia, AusAID, GIZ, ADB,
dan lembaga lain yang mengembangkan program-program
yang mendukung dan menyempurnakan tujuan UndangUndang Pengelolaan Sampah tahun 2008. Sementara
sebagian besar program berkonsentrasi pada peningkatan
tempat pembuangan akhir (TPA), prinsip dasarnya adalah

Manajemen Persampahan

Semua komponen dalam rantai nilai persampahan perkotaan


berpeluang melibatkan sektor swasta. Peluang tersebut
meliputi:

Gambar 3: Rantai Nilai Persampahan Perkotaan


Pilihan yang paling disukai

Mengurangi
Memakai Kembali

Pengalihan
Sampah

Mendaur Ulang
Memulihkan (Recover)
(melalui penguraian, pengomposan)
Tempat Pembuangan Akhir
Pembakaran
(dengan pemulihan energi (energy recovery))

Pembuangan
Sampah

Pembuangan Terkendali*

Pilihan yang paling tidak disukai


*Minimal, sampah seharusnya dibuang di tempat pembuangan
terkendali yang mencakup pemilihan lokasi, akses yang
terkendali, dan jika mungkin pemadatan sampah

pembangunan Pengelolaan Pengolahan Sampah Terpadu


(ISWM, Integrated Solid Waste Management) di seluruh
rantai nilai persampahan perkotaan (lihat Gambar 3): mulai
dari penghasil sampah, pengumpulan/pengangkutan hingga
pembuangan/pemakaian kembali.

Tantangan di Tingkat Daerah


Ketidakmampuan Pemerintah Daerah dan masyarakat untuk
membiayai perbaikan manajemen persampahan perkotaan
juga diakui di Indonesia (lihat Gambar 4 untuk tabel biaya
terkait dengan persampahan perkotaan). Memperbaiki proses
pembuangan dari kondisi tempat pembuangan terbuka ke
tempat pembuangan akhir, akan menambah beban keuangan
secara substansial bagi Pemerintah Daerah dan masyarakat.
Sejumlah prakarsa sedang dikembangkan untuk mendukung
Pemerintah Daerah, seperti:
Alokasi tambahan anggaran pemerintah pusat sesuai
komitmen Pemerintah Indonesia untuk menurunkan
emisi GHG demi kepentingan manajemen persampahan
perkotaan yang dibuat di bawah Protokol Kyoto
Proyek manajemen persampahan perkotaan dari Bank
Dunia yang akan mengkaji peluang untuk pemulihan
biaya, meningkatkan
Efisiensi manajemen persampahan, dan pendirian
Fasilitas Pengolahan Menengah (ITF, Intermediate
Treatment Facilities).

Peningkatan kapasitas pemerintah dan masyarakat


Meningkatkan dan memperluas (penambahan nilai)
daur ulang dan pemakaian kembali sampah anorganik
Meningkatkan pengelolaan armada kendaraan
pengambilan sampah melalui privatisasi pengumpulan
dan/atau pemakaian Sistem Manajemen Armada
Mengembangkan Forum Transportasi Internasional
(ITF, International Transport Forum) yang berfokus pada
Bahan Bakar dari Sampah (RDF, Refuse Derived Fuel),
pengolahan sampah-menjadi-energi, pengomposan,
penguraian anaerobik, dan sebagainya.
Pengolahan gas dari TPA menjadi energi untuk
memproduksi listrik atau gas metana berkualitas yang
dapat disalurkan melalui jalur pipa
Pengelolaan TPA
Penambangan/pemulihan TPA
Sebelum mengejar peluang komersial, sektor swasta
perlu benar-benar memahami karakteristik manajemen
persampahan perkotaan di Indonesia, terutama ketika
mengajukan usulan solusi teknis kepada Pemerintah Daerah.
Tidak seperti di negara maju, komposisi persampahan
Gambar 4: Biaya Kegiatan Pengelolaan Sampah
Kegiatan

Biaya operasional dan pemeliharaan per


ton sampah
(Rupiah Indonesia)

(Perkiraan dalam
Dolar AS)

1. Pengangkutan

50.000,00 - 60.000,00

5-6

2. Tempat
Pembuangan Akhir
dengan pengelolaan
sampah

60.000.00 - 100.000,00

6 - 10

3. Tempat
pembuangan
terbuka

10.000,00 - 20.000,00

1-2

4. Tempat
Pembuangan Akhir
Terkendali

30.000,00 - 50.000,00

3-5

5. Pengomposan

15.000,00 - 20.000,00

1.5 - 2

Sumber: Damanhuri, 2008

Prakarsa Compendium | Jilid 2

307

308

Membuka Jalan bagi Sektor Swasta untuk Terlibat dalam Pengelolaan Sampah di Perkotaan Indonesia

Salah satu pintu masuk bagi sektor swasta adalah pembangunan fasilitas
pemindahan menengah yang melakukan proses seperti pengomposan. Bunga-bunga
yang terdapat di taman tempat pembuangan akhir terkendali di Talang Agung
mendapat asupan dari kompos cair yang dibuat dari bahan limbah organik.

perkotaan di Indonesia didominasi oleh sampah makanan


(7075 persen) dengan kandungan air tinggi (kurang-lebih 60
persen) dan memiliki nilai kalori rendah. Komposisi sampah
makanan yang tinggi ini merupakan masalah utama terkait
dengan pembuangan yang dihadapi Pemerintah Daerah,
sehingga perlu mendapat dukungan untuk mengatasinya.
Komposisi tersebut juga membantu menetapkan cara
pendekatan teknis yang harus dilaksanakan.
Indonesia dengan dukungan masyarakat internasional,
telah mengawali arah baru yang akan meningkatkan
manajemen persampahan perkotaan dan lingkungan hidup,
serta, pada saat yang sama, berkontribusi pada Mitigasi
Perubahan Iklim. Menyadari bahwa sektor swasta dapat
memberikan kontribusi besar melalui efisiensi, teknologi,
dan investasi, Pemerintah telah mengambil langkahlangkah untuk meningkatkan lingkungan usaha, seperti
menaikkan tarif listrik yang dihasilkan dari sumber bahan
baku persampahan perkotaan yang dijual pada jaringan
PLN, investasi asing, dan PPP. Seiring dengan berjalannya
upaya ini, kegiatan komersial dan berkelanjutan di dalam
sektor persampahan perkotaan perlu mempertimbangkan
kebutuhan dari semua pemangku kepentingan, penerapan
teknologi yang tepat, dan pembagian risiko.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Atas perkenan Rudi Santoso

Tentang Penulis:
Ken Butler adalah seorang konsultan yang berdomisili di Indonesia
dan berpengalaman luas dalam mendukung beragam klien baik
donor internasional maupun dari sektor swasta untuk menangani
aspek teknis dan ekonomis dari manajemen persampahan
perkotaan, energi terbarukan, dan mitigasi perubahan iklim.
Pekerjaan utamanya meliputi dukungan keahlian bagi Bank Dunia
dalam peningkatan manajemen persampahan perkotaan dan
daerah di Indonesia serta pengembangan dokumentasi proyek
untuk Protokol Tokyo tentang Mekanisme Pembangunan Bersih
(CDM) dalam bidang sampah di Indonesia. Ia menyusun Analisis
Pasar dan Rencana Pemasaran Bahan Bakar dari Sampah (RDF,
Refuse Derived Fuel) di Indonesia untuk upaya bersama antara
Departemen Pembangunan Internasional (DFID, Department
for International Development) dan Kementerian Keuangan
Republik Indonesia. Baru-baru ini, Ken bekerja sebagai Tenaga
Ahli Akuntansi Karbon, menganalisis jejak karbon dan emisi
gas rumah kaca, pada PT ENV, bekerja sama dengan PT Vale
INCO dan Asia Pulp and Paper. Ia juga mendukung Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kementerian Perindustrian di bawah
naungan GIZ, dalam pengembangan Tindakan Mitigasi Nasional
yang Tepat (NAMA, Nationally Appropriate Mitigation Actions)
dan melakukan pengukuran, pelaporan, dan verifikasi untuk
menurunkan emisi Gas Rumah Kaca. Ken adalah lulusan Monash
University dan Royal Melbourne Institute of Technology.

Manajemen Persampahan

309

Dulu Dibuang, Kini Jadi Uang:


Kisah Dua Bank Sampah
Dua komunitas di Jakarta memulai program daur ulang sampah
dan meraih penghargaan. Hal ini membuktikan pada warga
bahwa pengelolaan sampah yang lebih baik dapat menghasilkan
lingkungan yang lebih menyenangkan dan sekaligus memberikan
manfaat ekonomi.
Oleh Eleonora Bergita

Jakarta menghasilkan sampah dalam jumlah yang


luar biasa: 6.500 ton setiap harinya. Mayoritas
sampah ini berasal dari rumah tangga, sebuah fakta
yang
menggarisbawahi
pentingnya
melibatkan
anggota masyarakat dalam menciptakan solusi
untuk menghadapi tantangan pengelolaan sampah.
Salah satu sarana yang inovatif dan efektif untuk
mengatasinya adalah menciptakan bank sampah
(waste bank) prakarsa yang memberikan insentif
uang bagi orang-orang yang melakukan upaya daur
ulang. Pendekatan ini menjadi semakin menarik
berkat upaya Kementerian Lingkungan Hidup yang
menyemangati gagasan tersebut. Peraturan Menteri
no. 13/2012 menjabarkan pedoman pelaksanaan
bank sampah; sejauh ini sudah didirikan lebih dari
1.000 bank serupa. Prakarsa berbincang-bincang
dengan para anggota dari dua komunitas di Jakarta
yang secara antusias menekuni pengembangan bank
sampah: Karya Peduli di Jakarta Utara, dan Tomang
Asri Sejahtera di Tomang, Jakarta Barat. Meskipun
kedua komunitas tersebut mengakui adanya berbagai

rintangan dalam mengembangkan bank sampah,


namun konsep ini sangatlah patut untuk diterapkan.
Berikut kisah mereka.

Bank Sampah Karya Peduli


Bank Sampah Karya Peduli didirikan pada awal
tahun 2008 saat pendirinya, Nanang Suwardi, yang
sudah lama tinggal di Semper Barat, Tanjung Priok,
terpilih sebagai Ketua RW. Saat ia mulai menjabat,
ia melihat tetangga-tetangga sekitarnya cenderung
membuang sampah ke tanah kosong di sudut jalan
menyebabkan terjadinya tumpukan sampah yang
tak sedap dipandang, bau, dan tak sehat, yang
cukup mengganggu bagi orang yang lewat. Bila orang
membuang sampah ke jalan, hal itu akan menyumbat
selokan pada musim hujan, mengakibatkan banjir.
Nanang bertekad untuk memperbaiki situasi ini.

Kurangnya Kesadaran
Sebagai ketua RW baru, Nanang membagikan 60 bak
sampah ke warganya, yang terbuat dari bekas kaleng

Prakarsa Compendium | Jilid 2

310

Dulu Dibuang, Kini Jadi Uang: Kisah Dua Bank Sampah

cat yang ia cat sendiri, dengan harapan bahwa hal


itu akan menghentikan warga membuang sampah
sembarangan. Namun, upayanya kurang berdampak
terhadap perilaku warga, dan ia menyadari bahwa
diperlukan sesuatu yang lebih suatu pendekatan
yang akan meningkatkan kesadaran dan mengubah
sikap.
Berbekal pemikiran ini, Nanang mengambil langkah
yang lebih kreatif: ia mendirikan sebuah bank
sampah yang bermarkas di kavling tempat warga biasa
membuang sampah. Nanang memanfaatkan fakta
bahwa banyak di antara sampah rumah tangga dapat
dijadikan uang. Beberapa jenis sampah anorganik,
seperti botol plastik, bisa dipotong-potong dan dijual
ke produsen benang pintal untuk diolah menjadi
benang. Plastik yang lebih lembut bisa dihancurkan
dan diolah sebagai bahan pengisi produk-produk
seperti tas jinjing, dompet, topi, sandal, sepatu, dan
benda-benda lainnya. Sampah organik bisa dijadikan
kompos, yang bisa dikembalikan ke masyarakat atau
dijual seharga Rp 2.500/kantong.

transaksi. Para petugas bank tidak menemui banyak


kesulitan dalam mengumpulkan sampah karena
setiap rumah pelanggan ditandai jelas dengan stiker
bertuliskan nama penabung.
Anggota masyarakat tidak hanya sekadar menjual
sampah; mereka menjadi aktif terlibat dalam proses
daur ulang. Para anggota dari Pembinaan Kesejahteraan
Keluarga (PKK) sebuah organisasi perempuan yang
didukung Pemerintah Daerah untuk mendorong
kesejahteraan keluarga membuat kerajinan dari
bahan daur ulang. Dasa Wisma (kelompok antar 10
rumah) bekerja sama untuk memproses sampah
organik mereka dan menggunakan kompos yang
mereka buat untuk taman-taman mereka.

Nanang mengganti kaleng-kaleng cat itu dengan dua


karung untuk setiap rumah tangga, satu untuk sampah
organik dan satunya lagi untuk sampah anorganik,
serta memasyarakatkan program bank sampah kepada
para warga melalui para ketua RT dan rapat warga
bulanan. Tata cara bank sampah dijelaskan melalui
jalur-jalur tersebut, dan warga dihimbau untuk
berhenti membuang sampah sembarangan.

Bank Sampah Karya Peduli tumbuh pesat sejak


pertama dimulai. Awalnya terdapat 78 penabung
kini, anggotanya berjumlah lebih dari 1.000 nasabah.
Bank ini menawarkan beberapa layanan yang sama
seperti bank pada umumnya, tapi dengan cara yang
bisa menjangkau warga berpenghasilan rendah. Karya
Peduli memungkinkan nasabah untuk mengajukan
pinjaman tanpa agunan atau bunga. Mereka cukup
membayar kembali pinjaman dengan sampah mereka.
Langkah ini sangatlah membantu para anggota
masyarakat yang mengalami kesulitan dalam
mendapatkan pinjaman atau melunasinya. Bagi
mereka yang menjalankan usaha mikro, seperti
menjual makanan atau kelontong, membayar bunga
pinjaman saja kadang-kadang tidak memungkinkan.

Anggota masyarakat yang menyerahkan sampahnya ke


bank (para nasabah) menerima Rp 2.000 per kilogram.
Alternatif lain, para petugas bank sampah (anak-anak
muda yang sebelumnya menganggur) mengambilnya
dari rumah-rumah dan nasabah akan menerima Rp
1.500 per kilogram. Para petugas menerima Rp 500
untuk setiap kilo sampah yang diambilnya. Setiap
penabung memiliki buku tabungan untuk mencatat

Salah seorang nasabah bank yang cukup berhasil


adalah Arif Thamrin, ketua RT yang meminjam Rp
300.000 dari bank sampah untuk membuka warung
makan yang menyediakan kopi, teh, dan makanan
ringan seperti bakmi. Warungnya terletak di lokasi yang
cukup baik, yaitu tempat parkir truk-truk gandeng,
sehingga ia mampu menarik banyak pelanggan. Arif
dapat membayar kembali pinjamannya kepada Bank

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Manajemen Persampahan

Nanang Suwandi menunjukkan bagaimana sebagian sampah yang diambil dari


lingkungan perumahannya diubah menjadi sepatu dan barang-barang lain
yang bisa dijual.

Atas perkenan Eleonora Bergita

Prakarsa Compendium | Jilid 2

311

312

Dulu Dibuang, Kini Jadi Uang: Kisah Dua Bank Sampah

Sampah Karya Peduli dengan menggunakan kemasan


kopi dan mi instan yang dikumpulkannya.
Bank ini bisa membuat perubahan yang signifikan
dalam kehidupan warga miskin Semper Barat. Dalam
beberapa kasus, ada keluarga yang tak mampu
membayar biaya pendidikan dan karenanya anakanak mereka tak bisa memperoleh ijazah sekolah. Ada
pula orang sakit yang tidak bisa berobat karena tak
punya dana untuk membayar biaya dokter. Pinjaman
dari bank sampah (yang tersedia bagi nasabah hanya
untuk tujuan pendidikan, kesehatan, dan usaha) bisa
membantu mengubah nasib mereka.
Dengan semakin meningkatnya jumlah nasabah, Bank
Sampah Karya Peduli memperluas layanan mereka,
di antaranya, layanan pembayaran tagihan bulanan
listrik. Bank sampah akan mengambil tagihan listrik
dari setidaknya 10 nasabah yang punya saldo cukup
di rekening Karya Peduli untuk melunasi tagihan
mereka, dan pergi ke kantor PLN untuk membayar
tagihan tersebut. Sebagai ketua dari Bank Sampah
Karya Peduli, Nanang bangga atas inovasi ini dan terus
memikirkan cara baru agar bank ini bisa melayani
masyarakat, memberdayakan warga, dan menjaga
lingkungan tetap bersih.

Penghargaan dan Pengakuan


Bank Sampah Karya Peduli telah menerima cukup
banyak pengakuan penting atas keberhasilannya.
Pada tahun 2010, Semper Barat menerima
penghargaan tingkat provinsi dan nasional karena
sudah mendirikan bank tersebut. Pada bulan Juni
2013, Nanang menerima Penghargaan Kalpataru dari
DKI Jakarta atas jerih payahnya sebagai pendiri dan
pengembang bank sampah. Baru-baru ini ia dipilih
kembali oleh warga Semper Barat sebagai ketua RW
untuk masa jabatan kedua.
Bank Sampah Karya Peduli telah menjadi model usaha
daur ulang di Indonesia. Nanang sering diundang
untuk berbicara di seminar-seminar lingkungan hidup

Prakarsa Compendium | Jilid 2

dan berbagi pengalaman dalam mengembangkan


bank sampah. Bank ini juga sudah dikunjungi oleh
perwakilan dari 30 Pemerintah Daerah dari seluruh
Indonesia.
Berbagai sambutan positif tersebut telah mendorong
orang-orang yang mengelola bank sampah ini
bekerja lebih giat dalam menyediakan layanan dan
melakukan inovasi. Sebagaimana diakui Nanang,
perluasan membawa tantangan baru. Peserta sebuah
kursus pendidikan dari wilayah Kelapa Gading
yang lokasinya berdekatan dapat ikut serta dalam
kegiatan pengumpulan dan pengiriman sampah ke
bank tersebut. Tapi minat terhadap bank ini meluas
melebihi wilayah geografis yang bisa dilayani bank
dengan mudah. Sebuah gereja di Kayu Putih, Jakarta
Timur menanyakan apakah bisa ikut serta, dan Nanang
juga melihat potensi bekerjasama dengan penjaja
makanan di daerah Plumpang. Sayangnya, bank
sampah tidak memiliki kendaraan untuk mengangkut
sampah dari tempat-tempat lain. Pengelola bank
ingin membuka kantor cabang di tempat lain, tetapi
mereka kesulitan menemukan lahan kosong untuk
membangun kantor dan tempat penyimpanan, dan
permintaan izin mereka untuk menggunakan lahan
kosong ditolak oleh Pemerintah Daerah. Halanganhalangan ini tidak mengecilkan hati para pengelola
bank yang paham bahwa bank sampah telah secara
nyata berkontribusi secara berkesinambungan kepada
masyarakat.

Biogas di Tomang
RW di Tomang, Jakarta Barat, juga menjadi tenaga
penggerak di balik prakarsa bank sampah yang sukses.
Bedanya, sementara fokus utama Semper Barat ada di
sampah anorganik, Tomang menekankan sisi organik.
Drs. Asep Kusmayadi, M.Si, terinspirasi oleh bak
cerna (biodigester) sederhana yang digunakan oleh
penduduk desa di Tanjung Sari. Biodigester ini, yang
dikembangkan oleh Dr. Hatta, dosen di Universitas
Padjajaran, dapat memproses sampah organik menjadi
biogas dan kompos cair. Asep membangun biodigeser

Manajemen Persampahan

serupa di lingkungan perumahannya, menggunakan


dana pemerintah sebesar Rp 6 juta yang tersedia untuk
pembangunan di wilayahnya. Ia berharap dengan alat
baru ini, warga Tomang akan belajar memilah sampah
mereka dan menggunakannya untuk tujuan positif.
Asep berkonsultasi dengan RT-RT di wilayahnya
tentang kerjasama melakukan usaha lingkungan. Ia
membagikan dua wadah untuk setiap rumah tangga
yang berpartisipasi satu untuk sampah anorganik,
dan satu lagi untuk sampah organik yang akan
dimasukkan ke dalam biodigester.
Program ini terbukti berhasil. Untuk menghasilkan
gas metana, sampah organik dimasukkan ke dalam
biodigester sebesar dua meter kubik. Gula ditambahkan
untuk mempercepat proses pembusukan. Dibutuhkan
waktu sekitar tiga hari untuk menghasilkan biogas,
yang bisa dipipakan langsung sebagai bahan bakar, dan
kompos cair, yang bisa dikeringkan dan dimanfaatkan
untuk taman dan hortikultura. Biogas digunakan
untuk menyalakan kompor gas yang sering digunakan
untuk memasak di acara-acara warga, seperti
perayaan Idul Adha, perayaan Hari Kemerdekaan, dan
acara lainnya seperti layar tancap. Sayangnya, biogas
ini belum bisa disalurkan ke rumah-rumah warga
karena keterbatasan produksi dan jarak yang cukup
jauh antara rumah dengan biodigester. Lingkungan
perumahan di daerah tersebut sangat tersebar, dan
hal ini merupakan tantangan yang harus mereka atasi.
Dengan meningkatnya kesadaran akan lingkungan,
minat warga untuk melakukan kegiatan daur ulang juga
tumbuh. Bersama Asep telah bergabung salah satu
ketua RT, Eko Waluyo, dan Oetoyo, warga lansia dengan
keahlian teknis. Asep, Eko, dan Oetoyo membangun
biodigester portabel atau TEPSOR (Tempat Permentasi
Sampah Organik) berkapasitas 300 liter dengan biaya
Rp 12,5 juta. TEPSOR dipasang di mulut gang rumah
warga untuk memudahkan pemakaiannya. Warga
yang suka duduk dan bercengkerama di pojok jalan

bisa menggunakan energi yang dihasilkan TEPSOR


untuk memasak air guna menyeduh kopi atau mi.
Kompos TEPSOR bisa dijual sebagai pironik (pupuk
cair organik).
Warga menggunakan pironik untuk menyuburkan
tanaman, dan kini lingkungan mereka tampak
lebih hijau. Selama beberapa waktu, masyarakat
berpenghasilan rendah di lingkungan itu menggunakan
kompos untuk menumbuhkan sayuran seperti sawi
hijau, terung putih, dan cabai di bantaran sungai
terdekat. Sayangnya, air sungai meluap dan menyapu
semua tanaman tetapi sebelum itu terjadi, tepi
sungai berubah menjadi kebun yang subur dengan
manfaat kesehatan dan ekonomi bagi warga. Hal ini
membuktikan potensi biodigester.

Mengurangi Sampah Anorganik


Sebagai perkembangan dari kegiatan biodigester,
lingkungan Asep juga memulai Bank Sampah Tomang.
Saat ini, empat RT aktif mengelola bank tersebut.
Sistem Bank Sampah Tomang memungkinkan
pelanggan menyerahkan limbah anorganik untuk
ditimbang. Nilainya dicatat di buku tabungan, atau
pelanggan bisa mendapatkan uang tunai di tempat.
Besaran yang dibayarkan berdasarkan nilai setiap
jenis sampah dan berfluktuasi sesuai pasar. Suatu
hari harga sekilo botol plastik bisa Rp 1.500, tapi
pada lain waktu bisa lebih tinggi atau lebih rendah.
Jumlah nasabah bank ini masih di bawah 100 orang,
tetapi jumlah tersebut terus bertambah, terutama
dengan keterlibatan 15 anak usia SD dan SMP yang
secara rutin mengumpulkan sampah anorganik.
Anak-anak ini menggunakan uang yang mereka
hasilkan dari pemungutan sampah untuk mendanai
kegiatan seni mereka, yang berlangsung seminggu
sekali. Eko Waluyo, yang selain punya tanggung
jawab sebagai Ketua RT, juga seorang seniman. Ia
mendorong pemuda-pemudi untuk menggunakan
gabus sintetis (styrofoam) dan sampah lain untuk

Prakarsa Compendium | Jilid 2

313

314

Dulu Dibuang, Kini Jadi Uang: Kisah Dua Bank Sampah

menciptakan benda-benda hias dan barang-barang


bermanfaat seperti bingkai foto, taman gantung,
dan pot. Banyak peserta yang bersemangat, mereka
terinspirasi untuk membuat kerajinan tangan dan
memelihara lingkungan.

Meski pertumbuhan kegiatan di Tomang terhambat


oleh masalah seperti lahan yang terbatas untuk
pemrosesan sampah, baik Eko maupun Asep tetap
menunjukkan jiwa perintis mereka. Mereka percaya
pada visi untuk mengajak lebih banyak warga Tomang
aktif berpartisipasi dalam mengelola sampah rumah
tangga mereka dan bersikap peduli lingkungan.
Bukan hanya mereka yang meyakini hal itu, masih
banyak yang lain. Sebagai pengakuan atas upaya
mereka, Tomang mendapat peringkat kedua dalam
kategori kota sehat di acara tingkat provinsi tahun
2010. Tomang juga menjadi juara dua dalam acara
kejuaraan bank sampah yang disponsori Jakarta
Green and Clean tahun 2011. Program biogas mereka
mendapat penghargaan Hadiah Mandiri Kotaku dalam
kontes lingkungan hidup yang disponsori oleh Bank
Mandiri dan lembaga media Indopos. Penghargaan
semacam ini tidak hanya mendorong para pelopor
yang memiliki visi di Tomang untuk terus maju, tapi
juga merintis jalan untuk diikuti komunitas lain.

Prakarsa Compendium | Jilid 2

Tentang Penulis:
Eleonora Bergita (Gite) adalah Senior Programme Officer
dan Event Manager IndII. Ia penulis dan penyelenggara acara
dengan pengalaman lebih dari 10 tahun di bidang jurnalistik
dan penyelenggaraan acara. Pengalamannya antara lain pernah
bekerja dengan LSM dari Jerman, sebuah majalah Indonesia,
dan perusahaan humas. Gite merupakan lulusan Universitas
Indonesia, jurusan Sastra Jerman.

Manajemen Persampahan dalam Angka

Manajemen
Persampahan
dalam angka
80,000

Produksi sampah per hari dari 230 kota di Indonesia pada tahun 2011.

ton

2.5

Rata-rata sampah yang dihasilkan penduduk Indonesia per orang per hari. Ini
berarti 625 juta liter sampah dari populasi 250 juta penduduk Indonesia.

liter

Rp 3.1
triliun

Rp 420

Anggaran belanja Direktorat Jenderal Cipta Karya untuk pengelolaan


sampah di Indonesia pada tahun 2013, termasuk pembuatan pengaturan,
pengembangan, pengawasan, dan pelaksanaan program-program air limbah
dan persampahan.

Dana Alokasi Khusus Pemerintah Indonesia per tahun yang dialokasikan


untuk sanitasi.

Miliar

460
54
120

Jumlah Tempat Pembuangan Akhir sampah di Indonesia pada tahun 2012


dengan total kapasitas sekitar 23.204 ton sampah per hari.

Jumlah tempat pemrosesan akhir sampah di Indonesia yang diharapkan bisa


digunakan hingga lebih dari tahun 2020.

Jumlah bank sampah yang terdapat di wilayah Jakarta pada tahun 2013.
(Lihat artikel pada halaman 309.)

315

316

Pandangan Para Ahli

Pandangan Para Ahli


Pertanyaan:

Bagaimana pandangan Anda mengenai upaya yang dilakukan oleh institusi


Anda dalam memberikan kontribusi terhadap pencapaian tujuan pengelolaan
sampah secara umum?

Ir. R. Laisa Wahanudin, M.Med.Sc (PH)


Kepala Sub Direktorat Persampahan dan Drainase Bappenas
Kontribusi Bappenas terhadap pengembangan pengelolaan sampah secara strategis didasarkan pada UU no.
18/2008 tentang Pengelolaan Sampah. Bappenas ikut berperan dalam penentuan fokus kebijakan manajemen
persampahan. Prioritasnya meliputi: mendukung regionalisasi di tingkat Pemerintah Daerah (Pemda); berfokus
pada kota metropolitan dan kota-kota besar; mengembangkan kebijakan strategis dalam manajemen persampahan;
menetapkan target untuk disertakan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN); menetapkan roadmap pengelolaan sampah berdasarkan hasil
kegiatan pemetaan; dan mengusulkan sumber-sumber pembiayaan alternatif. Berdasarkan prioritas-prioritas
tersebut, kementerian-kementerian teknis dapat menyusun rencana strategis dan rencana tindak masing-masing
dalam manajemen persampahan.
Bappenas juga memfasilitasi, melakukan koordinasi, memantau dan mengevaluasi manajemen informasi para
pemangku kepentingan melalui kelompok kerja air minum dan penyehatan lingkungan. Salah satu terobosan
yang telah kami lakukan adalah mendorong Pemda untuk menciptakan dokumen perencanaan yang baik, dengan
memiliki strategi sanitasi mereka sendiri yang disertakan dalam program percepatan pembangunan sanitasi
perumahan.

Capt. H. Josrizal Zain, SE, MM


Direktur Eksekutif, AKKOPSI

Aliansi Kabupaten Kota Peduli Sanitasi Indonesia (AKKOPSI), merupakan lembaga koordinasi yang memungkinkan
kepala-kepala Pemda saling mendukung dalam memperkuat dan memelihara komitmen pembangunan sanitasi.
AKKOPSI juga merupakan forum bagi Pemda untuk saling berbagi pengalaman dan pembelajaran. Peran utama
AKKOPSI adalah sebagai mediator dalam dialog antara Pemda, Pemerintah Pusat dan lembaga-lembaga donor,
untuk meningkatkan sinergi dan kerjasama antar pemangku kepentingan.

Manajemen Persampahan

Terkait pengelolaan sampah, kontribusi AKKOPSI termasuk memfasilitasi pertukaran informasi mengenai berbagai
pendekatan pengelolaan sampah. Pertukaran informasi dilakukan melalui forum-forum rutin AKKOPSI seperti City
Sanitation Summit yang diselenggarakan setahun sekali, dan forum pembelajaran horizontal (horizontal learning)
antar Kepala Pemda. Untuk forum antar Kepala Pemda, AKKOPSI juga berkontribusi dalam advokasi langsung,
promosi kebijakan, serta pendekatan baru untuk pengelolaan sampah.

Joseph Hwang, M.Sc.


Direktur Produksi, PT Gikoko Kogyo Indonesia
Investasi Gikoko pada Tempat Pemrosesan Akhir berukuran sedang mendorong perhatian terhadap pentingnya
melembagakan standar manajemen dan operasional untuk pembuangan sampah ke fasilitas pembuangan akhir.
Para ahli dari bank pembangunan dan konsultan pada awalnya lebih mengkhawatirkan dan berkonsentrasi pada
jumlah sampah yang dapat dikumpulkan dalam suatu kota, tetapi Gikoko menyadari bahwa alokasi anggaran untuk
pengelolaan sampah dari pemerintah sangat diperlukan untuk menangani pembuangan sampah secara aman di
Tempat Pemrosesan Akhir. Sampah harus dipadatkan dan dibuat stabil untuk mengurangi risiko tanah longsor.
Dengan menyusun Panduan Standar Operasional bersama Bank Dunia, Gikoko menunjukkan bahwa sampah yang
pada awalnya merupakan beban bagi lingkungan dapat diubah menjadi manfaat, sebagai bahan dasar bagi produksi
gas alam dan pembangkit tenaga listrik yang memiliki daya saing. Hal ini sebagai pembuka jalan untuk replikasi
proyek serupa dengan kerjasama antara penyedia teknologi sektor swasta dan pemerintah untuk berkontribusi
terhadap tujuan untuk mencapai Tempat Pemrosesan Akhir Terpadu (sanitary landfill) yang juga merupakan
fasilitas daur ulang yang layak dari segi pembiayaan.

317

Prakarsa Infrastruktur Indonesia adalah proyek yang didanai oleh


Pemerintah Australia dan dirancang untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi di Indonesia dengan meningkatkan relevansi, kualitas, dan jumlah
investasi infrastruktur. Proyek ini dijalankan oleh SMEC di bawah kontrak
dengan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT ). IndII bekerja
sama dengan para mitra dari pihak Pemerintah Indonesia di Bappenas,
Kementerian Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian,
Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Pekerjaan Umum.

Anda mungkin juga menyukai