Disusun oleh:
ERWIN SIMBOLON, ST.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................................ i
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................vi
DAFTAR TABEL..................................................................................................... ix
BAB I ........................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .......................................................................................................1
1.1
Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2
1.3
1.4
Batasan Makalah............................................................................................ 3
1.5
1.6
BAB II.......................................................................................................................... 6
DASAR TEORI ........................................................................................................... 6
2.1
2.1.1
2.2
2.2.1
2.2.2
2.2.2.1
2.3
2.3.1
2.4
Metode Numerik................................................................................... 15
Tahap Persiapan........................................................................................... 23
3.2
Studi Klasifikasi Massa Batuan, Tipe Keruntuhan Massa Batuan dan Metode
Analisa Stabilitas Terowongan .................................................................... 23
3.3
3.4
Pengumpulan Data....................................................................................... 24
3.5
3.6
3.7
BAB IV ...................................................................................................................... 26
PEMBAHASAN ........................................................................................................ 26
4.1
4.1.1
Fisiografi............................................................................................... 26
4.1.2
Stratigrafi Regional............................................................................... 29
4.1.2.1
4.1.2.2
4.1.2.3
4.1.2.4
4.1.2.5
4.1.2.6
4.1.2.7
4.1.3
4.2
4.2.1
4.2.2
4.2.3
Kekuatan Batuan................................................................................... 38
ii
4.2.4
4.3
4.4
4.4.1
4.4.1.1
4.4.1.2
4.4.1.3
4.4.1.4
4.4.1.5
4.4.1.6
4.4.1.7
4.5
4.6
Pembahasan Hasil........................................................................................ 64
4.5.1.1
4.5.1.2
4.6.1
Perbandingan Mutu............................................................................... 67
4.6.2
Perbandingan Waktu............................................................................. 69
4.6.3
4.7
BAB V ....................................................................................................................... 72
iii
5.2
Pengukuran Risiko....................................................................................... 73
5.3
Penanganan Risiko....................................................................................... 75
5.4
BAB VI ...................................................................................................................... 80
SISTEM MANAJEMEN WIKA DAN PROSEDUR LINGKUP KERJA................ 80
6.1
6.1.1.2
6.1.2
6.1.3
6.1.3.1
6.1.3.2
6.1.3.3
6.1.4
6.2
Pengelolaan Manajemen....................................................................... 83
6.1.4.1
6.1.4.2
6.1.4.3
6.2.1
Tujuan ................................................................................................... 84
6.2.2
Definisi ................................................................................................. 84
6.2.3
Ketentuan Umum.................................................................................. 85
6.2.4
Rekaman ............................................................................................... 86
6.2.5
6.3
6.3.1
Tujuan ................................................................................................... 87
6.3.2
Definisi ................................................................................................. 88
6.3.3
Ketentuan Umum.................................................................................. 88
6.3.4
BAB VII..................................................................................................................... 91
PENUTUP.................................................................................................................. 91
7.1
Ringkasan .................................................................................................... 91
7.2
Kesimpulan .................................................................................................. 92
7.3
Saran ............................................................................................................ 93
DAFTAR GAMBAR
vi
viii
DAFTAR TABEL
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Struktur utama Bendungan Jatigede terdiri dari : tubuh bendungan (dam), terowongan
pengelak (diversion tunnel), bangunan pelimpah (spillway), saluran pemasukan air (irrigation
inlet), saluran pengeluaran air (irrigation outlet), dan saluran pembawa air (power waterway).
PT. Wijaya Karya (Persero) Tbk yang merupakan bagian dari CIC (Consortium of Indonesia
Contractor) yang tergabung dalam Sinohydro-JO-CIC dalam proyek ini melaksanakan
konstruksi bangunan pelimpah (spillway) dan saluran pembawa air (power waterway).
Saat ini PT Wijaya Karya juga akan melaksanakan pembangunan drainage gallery
tunnel yang berfungsi untuk mengalirkan rembesan-rembesan air yang berasal dari bendungan.
Sebelum tahapan konstruksi diperlukan studi komprehensif tentang terowongan untuk
membangun terowongan dengan stabilitas yang cukup. Tidak jarang dijumpai kegagalan pada
terowongan dan gangguan pada lingkungan sekitarnya. Sehingga masih dibutuhkan
pemahaman lebih mendalam akan kondisi tanah, kondisi geologi, aspek-aspek perubahan gaya
dan tegangan yang terjadi di dalam tanah, batuan akibat penggalian atau pembuatan
terowongan.
Pada proses konstruksinya, penggalian terowongan menyebabkan deformasi
danredistribusi dari tegangan awal pada massa batuan. Dalam beberapa kasus, tegangan
yangterjadi akibat penggalian terowongan meningkat melebihi kekuatan tanah di
sekitarterowongan. Pada kondisi ini akan terjadi keruntuhan pada permukaan galian
terowongan.Oleh karena itu diperlukan suatu sistem perkuatan untuk mencegah keruntuhan
dan untukmembatasi deformasi yang akan terjadi.
Berbagai hal diatas haruslah disadari oleh ahli geologi teknik. Karena ahli geologi
teknik memegang peranan yang sangat penting dalam konstruksi terowongan, mulai dari
perencanaan(design), pemilihan bahan, dan penentuan metode pekerjaan yang sesuai dengan
kondisi dilapangan. Sehingga dapat direncanakan struktur terowongan yang cukup kuat
untukmenahan beban dari atas dan beban akibat bangunan sekitar tanpa mengganggu
bangunanatau struktur di sekitar terowongan itu sendiri pada saat proses konstruksinya.
1.2
Lokasi Proyek
Lokasi proyek terletak di Desa Cijeunjing, Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang,
Provinsi Jawa Barat. Tujuan dari pembangunan proyek ini untuk mencegah meluasnya lahan
kritis di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk Cisanggarung. Bendumgam ini
juga berfungsi sebagai penyediaan sarana dan prasarana pariwisata guna membuka kesempatan
kerja bagi masyarakat dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Sumedang,
menyuplai air baku untuk air minum 3500 liter per detik untuk masyarakat di Kabupaten
Cirebon, Indramayu dan kawasan Balongan, meningkatkan produksi padi di Daerah Irigasi
(DI) Rentang seluas 90.00 ha yang berlokasi di daerah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan
sekitarnya, serta pengendalian pencemaran dan intrusi air laut. Lokasi drainage tunnel berada
di depan tubuh bendungan Jatigede. Sebagian besar drainage tunnel berada di tubuh depan
tubuh bendungan bagian kanan hanya bagian outlet yang berada di bagian kiri.
Terowongan
Drainage Gallery
1.3
Rumusan Makalah
Hal yang akan diselesaikan dalam makalah ini yaitu bagaimana perbandingan desain
1.4
Batasan Makalah
Dalam makalah ini, untuk menganalisa kestabilan terowongan akan dibatasi oleh
perkuatan
yang
dibandingkan
adalah
lining
pipa
beton
dan
terowongan drainage gallery Bendungan Jatigede dengan sistem perkuatan yang direncanakan.
Secara umum tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
Sebagai salah satu syarat kelulusan program PPCP;
Membandingkan
desain
perkuatan
lining
pipa
beton
dan
1.6
BAB I: PENDAHULUAN
Pada Bab ini akan dijelaskan mengenai Latar Belakang dari penulisan makalah ini,
Rumusan Makalah, Batasan Makalah, Tujuan Penulisan Makalah, Manfaat Penulisan Makalah
dan Sistematika Penulisan Makalah.
DAFTAR PUSTAKA
Bagian ini akan menjabarkan sumber-sumber referensi atau literatur yang digunakan
dalam penulisan makalah ini.
BAB II
DASAR TEORI
2.1
suatu proyek konstruksi, dimana sangat sedikit informasi yang tersedia tentang massa batuan
dan tegangan serta karakteristik hidrogeologi massa batuan tersebut. Namun klasifikasi massa
batuan tidak dimaksudkan dan tidak dapat menggantikan pekerjaan desain rinci, sebab untuk
desain rinci diperlukan informasi yang lebih lengkap lagi tentang tegangan insitu, sifat massa
batuan dan arah penggalian yang biasanya belum tersedia pada tahap awal proyek (Hoek, dkk.,
1995). Secara sederhana klasifikasi ini digunakan sebagai sebuah check list untuk memastikan
apakah seluruh informasi penting mengenai massa batuan sudah dimasukkan kedalam desain.
Jika semua informasi ini telah tersedia, maka klasifikasi massa batuan dapat dimodifikasi dan
disesuaikan dengan kondisi spesifiklapangan.
Dalam menggunakan klasifikasi massa batuan, sangat direkomendasikan untuk tidak
hanya menggunakan satu metode klasifikasi saja, tetapi juga menggunakan metode klasifikasi
lainnya yang dapat digunakan sebagai pembanding atas hasil yang diperoleh dari tiapmetode.
Menurut Bieniawski (1989), tujuan dari klasifikasi massa batuanadalah:
Membagi formasi massa batuan yang khusus ke dalam kelompok yang mempunyai
perilaku sama, yaitu kelas massa batuan dengan berbagaikualitas;
Memberikan dasar umum untuk komunikasi diantara para insinyur dan geologis
Sistem klasifikasi yang akan digunakan pada makalah ini sistem klasifikasi Geological
Strength Index karena parameter-parameter yang akan digunakan dalam pemodelan numerik
diperoleh dari sistem klasifikasi ini
2.2
sangat penting. Kekuatan dapat diestimasi menggunakan kriteria keruntuhan batuan. Terdapat
4 kriteria keruntuhan klasik yang sudah diaplikasikan pada batuan, yaitu :
Kriteria Coulumb
Mohrs envelope
Kriteria Mohr-Coulumb
9
untuk batuan utuh dan massa batuan yang digunakan saat ini dan sudah digunakan untuk jangka
waktu yang lama pada material selain batuan.
Referensi paling awal pada kriteria keruntuhan untuk tujuan rekayasa adalah kriteria
Coulumb, yang dipublikasikan tahun 1773. Kriteria ini bertahan sampai 1964, hingga kriteria
keruntuhan empiris untuk batuan utuh pertama kali diperkenalkan (Fairhurst, 1964 dan Hobbs,
1964). Kriteria ini berasal dari uji triaxial pada conto batuan kecil. Kriteria keruntuhan massa
batuan yang pertama diperkenalkan tahun 1980 (Hoek dan Brown, 1980), berdasar pada
pengalaman dari kriteria keruntuhan batuan utuh. Pada bab ini akan dideskripsikan kriteria
keruntuhan batuan utuh dan massa batuan klasik yang paling terkenal.
dimana c = kohesi per satuan area, a = area bidang geser, N = gaya normal terhadap bidang
geser dan = koefisien geser dalam internal.
Tahun 1982, Otto Mohr menyajikan metode grafis detail untuk mendeskripsikan
kondisi tegangan pada 1 titik. Lingkaran keruntuhan Mohr ditentukan berdasarkan ekperimen
uji triaxial pada tegangan keliling yang berbeda-beda. Untuk menghasilkan selubung Mohr,
perlu dilakukan beberapa pengujian pada level tegangan yang berbeda-beda. Ketika retak,
setiap pasangan
dan
terhadap lingkaran Mohr yang disebut dengan selubung Mohr (Mohr envelope) (Gambar 2.9).
Teori Mohr menyatakan bahwa keruntuhan muncul ketika badan lingkaran Mohr menyentuh
atau melampaui selubung keruntuhan pada 1 titik.
10
berikut ini.
dimana nilai (
=(
, ) sudah dihitung, kohesi rata-rata (c) dan sudut geser dalam () dapat
dimana,
= kohesi
= tegangan normal pada bidang geser
=(
11
dan
uniaxial. Kriteria Mohr-Coulumb adalah linear tetapi kuat tarik sering disertakan karena batuan
tidak dapat mempertahankan tegangan tarik yang besar (Gambar 2.10).
Nilai sudut geser dalam () dan kohesi (c) dapat dihitung mengunakan persamaan di
bawah ini.
sin =
, c=
Hubungan antara tegangan normal dan geser diketahui dari hasil eksperimen dan
biasanya menunjukkan perilaku non-linear dan tidak linear seperti prediksi kriteria
Mohr-Coulumb.
dimana
jika
) 8 (
)=0
+3
0atau
jika
+3
merupakan kuat tarik uniaxial material. Teori Griffith tidak menemukan aplikasi
praktis dalam mekanika batuan karena hanya valid untuk material brittle, dimana keruntuhan
muncul tanpa pembentukan zona plastis yang merupakan keruntuhan tipikal besi maupun
material yang lain.
) =
1
3
=(
dimana :
+ (
Development / comments
Hobbs (1964)
Murrel (1965)
Hoek (1968)
+1
Fairhurst (1964)
1+
)/2dan
Yoshida (1990)
)/2
13
adalah konstanta
=
=
1+
.
Comments:
2002 version
2001 version
Ramamurthy, (1995)
dan
. Kriteria keruntuhan massa batuan berasal dari uji triaxial terhadap conto
batuan kecil.
Keterangan:
dan
a
nilai
exp
14
dengan :
= disturbance factor
dan
= +
+1
Menurut persamaan ini, hubungan antara tegangan prinsipal efektif saat contoh batuan
runtuh ditentukan oleh dua konstanta, yaitu kuat tekan uniaksial dan nilai konstanta m. Di
bawah ini terdapat nilai konstanta m untuk beberapa jenis batuan (Tabel 2.28).
2.3
15
dimana :
[ ]{ } = { }
[K]
{D}
{R}
{ } = [ ]{ }
Persamaan 2.1
dengan :
[ ]=
1
0
0
0
2(1 )
Persamaan 2.2
Persamaan 2.3
{ } = [ ]{ }
Persamaan 2.4
jika diketahui { } adalah displacement satu nodal pada koordinat lokal maka :
dimana :
{ }=[ ]
=(
1
0
0
0
Persamaan 2.5
hubungan antara diplacement pada tiap-tiap nodal dengan gaya luar dapat dituliskan sebagai
berikut :
Jika {u} menyatakan general displacement dan {q} menyatakan displacement titik nodal,
maka terdapat hubungan antara keduanya sebagai berikut :
{ } = [ ]{ }
Persamaan 2.6
Persamaan 2.7
{ } = [ ][ ]
Persamaan 2.9
{ } = [ ]{ }
Persamaan 2.8
dimana [B] adalah regangan yang terjadi pada sembarang titik dalam elemen akibat satu
satuan peralihan titik nodal. Substitutsi persamaan 2.9 ke persamaan 2.1 menghasilkan :
{ } = [ ][ ]{ }
Persamaan 2.10
Persamaan 2.11
]{ } = { } + [ [ ] { }
} = [ [ ] { }
[ ] = [ [ ] [ ]
Persamaan 2.12
Persamaan 2.13
Persamaan 2.14
[ ]{ } = { } + {
dimana {
Persamaan 2.15
} adalah gaya nodal ekivalen akibat bekerjanya gaya badan. Jika gaya badan tidak
Persamaan 2.16
Adapun program yang akan digunakan untuk menganalisa deformasi dan stabilitas
dalam bidang geologi teknik dengan menggunakan elemen hingga yaitu program PHASE2.
2.4
diperkenalkan oleh Terzaghi. Skema pembebanan pada terowongan lingkaran ditunjukkan oleh
gambar 2.3.
+2
45
1 + 2 tan 45
2
2
b = lebar terowongan
m = tinggi terowongan
= sudut geser dalam
d = diameter terowongan
18
=
dimana :
Pv
= tekanan vertikal
= kohesi
= kontanta
= tinggi overburden
1
K 0.25 7 E h (0.001 )
z
dimana :
Eh
z
= Modulus Elastisitas
= kedalaman atap terowongan dari permukaan
19
Gambar 2. 4 (a) Kondisi tegangan pada kondisi awal (b) Kondisi akibat transfer tegangan
(Szechy, 1973)
Akumulasi tegangan ini bernilai maksimum di sisi galian (spring line), dengan nilai dua
kali tegangan awal. Pada Gambar 2.12, r adalah jarak titik tinjau dari pusat galian dan a adalah
jari-jari terowongan. Tegangan maksimum berada pada lokasi r/a = 1. Tegangan tersebut
berkurang secara proporsional terhadap pertambahan jarak, kemudian menjadi konstan sebesar
nilai awal pada lokasi kurang lebih r/a = 4 dari pusat galian terowongan.
20
Tegangan radial (
Tegangan tangensial (
Tegangan geser (
dan
21
BAB III
METODOLOGI
Metode yang digunakan
kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif yaitu melaksanakan pengamatan lapangan dan
interpretasi hasil pemodelan numerik. Metoda kuantitatif yaitu melakukan perhitungan dan
analisa seperti analisa massa batuan terhadap hasil pengukuran dan pengamatan batuan di
lapangan.
Metode penelitian yang dilakukan adalah melakukan studi literatur, pengamatan di
lapangan dan pengolahan data hasil pengamatan. Adapun tahap - tahap penelitian yang
dilakukan adalah:
Tahap persiapan;
Studi pustaka klasifikasi massa batuan, tipe keruntuhan massa batuan dan analisa
numerik;
Pengumpulan data;
Manajemen resiko.
Adapun diagram alir tahap-tahap penelitian dapat dilihat pada gambar 3.1, sedangkan
penjabaran mengenai tahap tahap penelitian yang dilakukan dijelaskan seperti di bawah ini.
22
Tahap Persiapan
Kelancaran suatu kegiatan, sebagian besar ditentukan selama tahap persiapan.
Persiapan ini meliputi hal-hal yang sangat mendasar sebelum melakukan penelitian. Tahap
persiapan berisi tentang identifikasi masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini dan
merangkum tujuan akhir yang akan dicapai dari hasil penelitian ini. Dalam tahap ini penulis
akan menyusun proposal dan melengkapi persyaratan-persyaratan yang dibutuhkan dengan
mengumpulkan data-data literatur yang membahas mengenai klasifikasi dan tipe keruntuhan
massa batuan, metode analisa stabilitas galian terowongan.
3.2
Studi Klasifikasi Massa Batuan, Tipe Keruntuhan Massa Batuan dan Metode
Analisa Stabilitas Terowongan
Studi pustaka bertujuan untuk mempelajari konsep dasar klasifikasi massa batuan, tipe
keruntuhan massa batuan dan metode analisa stabilitas terowongan. Data literatur diambil dari
studi referensi (text book), paper-paper dan materi kuliah yang membahas klasifikasi massa
batuan, tipe keruntuhan massa batuan dan metode analisa stabilitas terowongan. Pada tahap ini
akan dipelajari mengenai jenis-jenis klasifikasi massa batuan, tipe keruntuhan massa batuan
23
berdasarkan karakteristik massa batuan. Pada tahap ini juga akan dipelajari mengenai cara
interpretasi pola distribusi tegangan dan perpindahan-perpindahan yang terjadi akibat
penggalian terowongan.
3.3
Geologi umum terdiri dari geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi yang terdapat pada
daerah penelitian. Tahapan ini harus dilakukan karena akan dijadikan sebagai dasar
pengumpulan data dan analisa struktur geologi yang ada di daerah penelitian. Ketika geologi
umum daerah penelitian sudah diketahui maka akan diketahui kemungkinan struktur geologi
yang ada di daerah penelitian, sehingga dalam tahapan pengumpulan data dilakukan dengan
efektif dan efisien.
3.4
Pengumpulan Data
Data yang akan dikumpulkan terdiri dari data inti batuan, singkapan batuan dan
laboratorium. Data inti dan singkapan batuan terdiri dari data jenis batuan, rekahan, bidang
perlapisan, kondisi air tanah, dan kondisi pelapukan. Data-data inti dan singkapan batuan dapat
diukur menggunakan peralatan geologi standar berupa handheld GPS, kompas geologi dan
palu geologi. Handheld GPS digunakan untuk mengetahui lokasi pengukuran inti dan
singkapan batuan. Palu geologi digunakan untuk mengetahui tingkat pelapukan dan kekerasan
batuan secara relatif sedangkan kompas geologi digunakan untuk mengukur kedudukan
struktur bidang berupa perlapisan batuan dan rekahan serta struktur garis berupa gores garis
pada patahan dan kelurusan sungai.
3.5
yang ada di sekitar galian terowongan drainage gallery sedangkan analisa keruntuhan
dilakukan tipe keruntuhan massa batuan yang terjadi di sekitar galian terowongan. Selanjutnya
akan dilakukan analisa stabilitas terowongan untuk mengetahui perilaku massa batuan di
sekitar terowongan apabila dilakukan proses penggalian. Analisa dilakukan setelah semua data
sudah dikumpulkan. Data singkapan batuan dan kelurusan punggungan digunakan sebagai
pertimbangan untuk melakukan interpretasi pola rekahan yang berkembang di sekitar galian
terowongan. Selanjutnya data inti batuan digunakan untuk melakukan perhitungan klasifikasi
massa batuan. Dalam pengeboran inti batuan akan diambil beberapa conto batuan yang
24
3.6
Manajemen Resiko
Untuk mencapai tujuan dari penulisan makalah ini akan dihadapi berbagai resiko yang
mungkin terjadi. Pada tahapan ini, penulis akan melakukan analisa terhadap kemungkinan
resiko yang terjadi dan mengelompokkan resiko tersebut berdasarkan penyebabnya. Penulis
akan mencoba memitigasi kemungkinan-kemungkinan resiko tersebut sehingga dapat tercapai
tujuan dari penulisan makalah ini.
3.7
manajemen yang ada di dalam lingkup perusahaan. Penulisan makalah harus bergerak dari visi
misi perusahaan. Selain itu, dalam pengerjaan harus memiliki alur yang jelas dan sesuai dengan
prosedur yang dimiliki perusahaan
25
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1
Geologi Regional
4.1.1 Fisiografi
Menurut van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat
dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung dan
Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat (Gambar4.1). Martodjojo (1984) memberikan penamaan
Blok Jakarta-Cirebon untuk Zona Dataran Pantai Jakarta sedangkan Zona Bogor dan Zona
Bandung disebut Blok Bogor karena keduanya menurut sejarah geologi tidak dapat dipisahkan.
Cekungan Bogor berupa graben dengan daerah depresi tidak menerus sepanjang sumbu tengah
Jawa, dan barisan punggungan di bagian utara yang menghubungkan cekungan dengan paparan
Sunda.
Gambar 4. 1Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984)
Zona Dataran Pantai Jakarta umumnya memiliki morfologi yang datar, pada umumnya
ditutupi oleh endapan sungai, dan sebagian lagi oleh lahar endapan gunungapi muda. Zona
Bandung dicirikan oleh beberapa tinggian yangterdiri dari endapan sedimen tua yang muncul
diantara endapan volkanik. Sebagai contoh adalah Gn. Tampomas di Sumedang, Gn. Walat di
Sukabumi dan Rajamandala di daerah Padalarang. Menurut van Bemmelen (1949), Zona
Bandung merupakan puncak antiklin Jawa Barat berumur Plistosen yang kemudian runtuh
26
setelah mengalami pengangkatan. Zona Pegunungan Selatan dipelajari secara mendalam oleh
Pannekoek (Pannekoek, 1946 dalam Darman & Sidi, 2000), dan membaginya menjadi 19
morfologi dan menekankan pentingnya dua generasi morfologi yaitu morfologi Pra-Miosen
Akhir, dan morfologi Resen. Kedua satuan morfologi ini dibatasi oleh ketidakselarasan.
Zona Bogor, tempat lokasi penelitian berada, umumnya memiliki morfologi berbukitbukit, memanjang dengan arah barat-timur dari kota Bogor. Pada daerah sebelah timur
Purwakarta, perbukitan ini membelok ke selatan, membentuk lekukan disekitar Kadipaten. van
Bemmelen (1949) menamakan perbukitan ini sebagai antiklinorium. Dapat diperkirakan bahwa
antiklinorium ini berhubungan dengan barisan anjakan-lipatan dari sistem Sesar Naik Baribis.
Sedangkan pada beberapa daerah, intrusi telah membentuk relief yang lebih terjal.
27
lokal akibat adanya lereng terjal di sebelah selatan cekungan. Fasies tersebut dinamakan
dengan Anggota Cikandung (Martodjojo, 1984), yang terbentuk pada tahap akhir dari proses
pendangkalan Cekungan Bogor. Pada Kala Pliosen Cekungan Bogor telah berubah menjadi
darat yang kemudian diendapkan Formasi Citalang. Darisejarah geologi regional tersebut,
dapat disimpulkan sedimentasi daerah penelitian dipengaruhi oleh Mandala Cekungan Bogor
dan Mandala Paparan Kontinen.
Gambar 4. 5Stratigrafi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984)
Satuan-satuan yang ada di daerah penelitian diteliti oleh Sudjatmiko (1972) secara lebih
rinci yang merupakan acuan penulis untu menetukan umur satuan yang ditemukan di daerah
penelitian.
Bagian atas formasi ini tersusun oleh perselingan antara batupasir dengan batu lempung
pada bagian bawah kemudian diatasnya berubah menjadi batupasir dengan sisipan batu
batulempung (Matodjojo, 1984). Terdapatnya sekuen Bouma (1963) serta bioturbasi. Satuan
ini dinamakan Cimanuk Serie I (Koolhoven, 1935 op. cit. Martodjojo, 1984). Batupasir
umumnya halus-kasar membentuk lapisan 5-30 cm, pada beberapa tempat mencapai 2.5 m.
Terlihat adanya struktur parallel laminasi, graded bedding.Umur formasi ini Miosen AkhirPliosen. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dalam (zona batial-neritik dangkal).
Anggota Jatigede
Terdiri dari perselingan breksi dengan batupasir dan sisipan batulempung. Fragmen
breksi (ukuran butir kerikil-bongkah) terdiri dari batuan beku (andesit), batupasir dan kadangkadang koral dengan massa dasar pasir. Breksi semakin keatas semakin tebal bahkan tebalnya
mencapai 25-200 cm kemudian menipis kembali. Lempung pada bagian bawah berwarna abuabu, konkoidal perlapisan kurang baik dan ditemukan sisipan lanau dan batupasir setebal 5-20
cm serta kaya akan fosil foraminifera planktonik. Perselingan batu lempung dengan batupasir
berkisar antara 5-20 m.
31
lempeng yaitu lempeng Eurasia yang relatif lebih statis, lempeng Samudra Pasifik yang
bergerak relatif ke arah baratlaut dan lempeng Indo-Australia yang relatif bergerak ke arah
utara (Hamilton, 1979). Berdasarkan rekonstruksi geodinamika (Katili, 1975 dalam Hamilton,
1979), subduksi lempeng Australia ke bawah lempeng Eurasia yang aktif pada Eosen telah
menghasilkan pola penyebaran batuan volkanik Tersier di Pulau Jawa. Selain terjadi
pembentukan gunung api berarah barat-timur, terbentuk juga suatu cekungan tengah busur dan
kemudian cekungan belakang busur di Jawa Barat bagian Utara. Cekungan belakang busur ini
secara progresif semakin berpindah ke arah utara sejalan dengan perpindahan jalur gunung api
selama Tersier hingga Kuarter (Soeria-Atmadja, dkk., 1994).
Pulunggono dan Martodjojo (1994), menyebutkan terdapat 4 pola struktur dominan yang
berkembang di Pulau Jawa, diantaranya adalah (Gambar 2.3):
4 Pola Meratus berarah timur laut-barat daya (NE-SW) terbentuk pada 80 sampai 53
juta tahun yang lalu (Kapur Akhir Eosen Awal), sangat dominan di daerah lepas
pantai Jawa Barat dan menerus hingga ke Banten.
5 Pola Sunda berarah utara-selatan (N-S) terbentuk 53 sampai 32 juta tahun yang lalu
(Eosen Awal Oligosen Awal).
6 Pola Struktur Sumatera, berarah baratlaut-tenggara, sejajar dengan arah sumbu
panjang Pulau Sumatera. Pola ini tidak terlalu dominan di Daerah Jawa Barat. Pola
ini mungkin hanya melibatkan batuan dasar dan ditafsirkan sebagai kelanjutan dari
jejak tektonik tua di Pulau Sumatra (Asikin, 1997).
7 Pola Jawa berarah barat-timur (E-W) terbentuk sejak 32 juta tahun yang lalu,
merupakan pola struktur yang paling muda, memotong dan merelokasi Pola Struktur
Meratus dan Pola Struktur Sunda.
33
Perbedaan pola struktur ini diakibatkan perubahan tatanan tektonik yang dipengaruhi
oleh evolusi jalur subduksi yang diantaranya disebabkan oleh perubahan kemiringan lempeng
yang menunjam, perubahan kedalaman zona Benioff dan perubahan arah subduksi. Aktifitas
Tersier Pulau Jawa terjadi dalam satu periode menerus Sejak Eosen Akhir hingga Pliosen
Akhir, mulai dari empat puluh dua juta tahun lalu di daerah Pacitan sampai tiga puluh dua juta
tahun lalu di daerah Karangkobar. Dari perubahan afinitas magmatik yang terjadi selama masa
tersebut dapat disimpulkan bahwa jalur magmatik telah bergeser dari selatan Pulau Jawa ke
arah lebih utara dan kemudian kembali ke arah selatan yang ditandai dengan jalur gunung api
Resen.
Struktur geologi yang berkembang di Jawa bagian barat secara umum memiliki pola
struktur utama diantaranya yaitu: 1) Sesar Cimandiri berarah barat daya-timur laut, Sesar Naik
Rajamandala serta sesar-sesar lainnya di Purwakarta. Arah ini sering dikenal dengan arah
Meratus yaitu arah yang mengikuti pola busurKapur (Katili, 1975 dalam Hamilton, 1979), 2)
Sesar Baribis berarah barat laut - tenggara dan sesar-sesar di Gn.Walat, serta 3) arah utaraselatan berupa kelurusan Ciletuh-P.Seribu, dilepas pantai utara Jawa Barat yang merupakan
pola sesar utama. Sesar-sesar utama berarah utara-selatan di Laut Jawa dan di Cekungan Sunda
telah terbukti sebagai komponen struktur yang mengontrol perkembangan cekungan berumur
Paleogen di daerah tersebut.
34
CH
Hardness
Very Hard
Hard
Acceptable
Hard
Drilling
Core
Conditions
Weathering
Grade
Stiff long
cylindrical
core
Very Fresh
Stiff long
cylindrical
core
Fresh
Stiff
cylindrical
core
Slightly
weathered to
fresh
35
CM
CL
Medium
Hard
Soft
Very soft
Moderately
hard
cylindrical
core
Sligthly
weathered
Moderately
weathered
Clayey to
silty
materials
with soft rock
fragments
Highly
weathered to
completely
Description
Overburden, talus deposit, clayey silt tanah, with rock fragments.
VOLCANIC BRECCIA, Moderately Weathered,., highly jointed. Average RQD 10% 60% The rock in this part of the hole is fairly sound. Predominantly horizontal breaks,
2 cm spacing to 20 cm
VOLCANIC BRECCIA, max core length 20 cm, RQD: 20 80%
Depth of 22 26 m: DRAINAGE TUNNEL location
RockClass
none
CL
CM
20.0-27.0
FAULT ZONE at 20 to 23.5 m.
D class rock, soft, brown stained, oxydation.
36
Kondisi geologi detail drainage tunnel pada bagian tengah, setelah melakukan
observasi inti batuan pada BH-3 ditunjukkan pada tabel 4.3.
Tabel 4. 3Deskripsi Pengeboran Batuan Inti BH-3 (50 m)
Depth (m)
0.0 - 5.0
5.0 15.0
15.0 25.0
25.0 45.0
45.0 50.0
Description
Top tanah, slope wash, clayey with some weathered fragment
CLAYSTONE, soft rock, sheared crushed. Core in length 0 5 cm for claystone,
Alternating CLAYSTONE, SILTSTONE, grey color. Claystone fairly soft,
sandstone medium hard. Red stained limonite. RQD: 10 70%
Core in length 5 30 cm in sandstone.
VOLCANIC BRECCIA (VB), Moderately Weathered, grey color, fragments of
andesite, calcite veins. 20 - horizontal joints, clean, max core length 30 cm.
RQD: 50% - 90%.
VOLCANIC BRECCIA (VB), Moderately Weathered, grey color, fragments of
andesite, calcite veins. 20 - horizontal joints, clean, max core length 30 cm.
RQD: 50% - 90%.
Depth of 45 50 m: DRAINAGE TUNNEL location
RockClass
None
D
CL
CM
CM
Kondisi geologi detail drainage tunnel pada bagian tengah, setelah melakukan
observasi inti batuan pada BH-2 ditunjukkan pada tabel 4.4.
Tabel 4. 4Deskripsi Pengeboran Batuan Inti BH-2 (55 m)
Depth(m)
0.0 -1.0
01.0 35.0
35.0 50.0
50.0 - 55
Description
Overburden/slopewash deposits or talus deposits, clayey silt tanah, with rock
fragments (andesit boulders).
Alternating CLAYSTONE, SILTSTONE, grey color. Claystone fairly soft,
sandstone medium hard. Red stained limonite. RQD: 10 70%
Core in length 5 30 cm in sandstone.
VOLCANIC BRECCIA (VB), Moderately Weathered, grey color, fragments of
andesite, calcite veins. 20 - horizontal joints, clean, max core length 30 cm.
RQD: 50% - 60%.
VolcanicBreccia, medium hard, slightly weathered, CM class rock, Max core
length: 50 cm; RQD: 80% - 90%
DRAINAGE TUNNEL LOCATION
RockClass
None
D - CL
CM
CM
Kondisi geologi detail drainage tunnel pada bagian akhir, setelah melakukan observasi
inti batuan pada BH-1 ditunjukkan pada tabel 4.5.
37
55.0 60.0
Description
Top tanah, slope wash, clayey with some weathered fragment
Rock Class
None
D - CL
CL
BH 2/ BH-3 (middle)
Depth (m)
RQD %
50 - 55
50 - 90 (fair)
BH 1 (end)
Depth (m)
RQD %
55 - 60
50-70 (fair)
Berdasarkan Deere (1960) massa batuan dengan nilai RQD 20% adalah batuan kualitas
buruk dan menempati bagian inlet dan sebagian besar 80% adalah kualitas cukup kecuali pada
zona sesar untuk BH-1 sampai BH-4 adalah kualitas buruk, dengan pendekatan kondisi massa
batuan adalah hancur, sangat berlapis dan pecah-pecah. Estimasi properti mekanik masingmasing kelas batuan ditunjukkan pada tabel 4.7.
Tabel 4. 7Estimasi Properti Fisika-Mekanik Tiap Kelas Batuan
Class
Modulus of
Deformation
(kgf/cm2)
CH
CM
CL
D
20,000
8,000
4,000
2,000
Modulus
of
Elasticity
(kgf/cm2)
60,000
24,000
12,000
6,000
Shear Strength
Int. Friction
Cohesion
angle
2
(kgf/cm )
()
20
45
10
35
8
30
5
28
Seismic Velocity
(km/sec)
Qu
(kgf/cm2)
2.5
1.8
1.5
1.2
> 500
100 - 500
40 - 100
20 - 40
pada BH-2 menunjukkan nilai antara 93,087 kg/cm2 sampai 509,803 kg/cm2 dengan nilai ratarata 74,767 dan dikategorikan sebagai kelas batuan CM. Deere dan Miller mendeskripsikan
batuan ini sebagai batuan dengan kekuatan sangat rendah. Conto batuan dari BH-3 dan BH-4
menunjukkan nilau UCS 124,773 dan 115,508 dan dikategorikan sebagai kelas batuan CM.
Conto batuan dari BH-3 dan BH-4 merupakan batuan dengan kekuatan sangat rendah.
Klasifikasi lengkap dari Deere dan Miller ditunjukkan pada tabel 4.8.
Nilaiunconfined compression test (UCS) yang diambil dari beberapa conto batuan tidak
mencerminkan kekuatan massa batuan, karena kehadiran rekahan mengubah properti enjiniring
massa batuan secara drastis. Selain kekuatan batuan utuh yang besar, terdapat efek yang
dominan dari anisotropi massa batuan seperti kehadiran diskontinuitas. Rekahan sangat
beragam mulai dari sebuah tekstur pada batuan sampai pada patahan utama pada massa batuan.
Perhatian terhadap rekahan secara detail sangat penting untuk batuan terowongan. Pergerakan
blok-blok batuan biasanya sepanjang rekahan.
39
4.3
Setelah melakukan kalkulasi dan interpretasi berdasarkan data yang tersedia, nilai GSI
untuk masing-masing segmen terowongan ditunjukkan pada tabel 4.9.
40
Section
Lithology
WG
RQD (%)
UCS (Mpa)
GSI
0+00 - 0+20
0+20 - 0+180
0+180 - 0+190
0+190 - 0+380
0+380 - 0+400
0+400 - 0+590
0+590 - 0+600
Batulempung
Breksi Vulkanik
Breksi Vulkanik
Breksi Vulkanik
Breksi Vulkanik
Breksi Vulkanik
Breksi Vulkanik
Cukup Lapuk
Agak Lapuk
Cukup Lapuk
Agak Lapuk
Cukup Lapuk
Agak Lapuk
Cukup Lapuk
56
50-90
66
50-90
50-60
75-90
20
4.669240264
7.33213801
7.33213801
7.33213801
7.33213801
12.2360514
11.32746528
44
75
60
75
44
84
25
4.4
mi
20
20
20
20
20
20
4
D
0
0
0
0
0
0
0
Em (MPa)
1924.995
5046.612
3473.515
5046.612
2331.970
10140.706
1576.340
pemodelan
terhadap
masing-masing
segmen
terowongan
menggunakan
metode
41
0.504
V (MPa)
0.207304
H (MPa)
0+20 - 0+180
0.924
0.156497
0.144661
0+180 - 0+190
0.746
0.26052
0.194416
0+190 - 0+380
0.974
0.16377
0.159547
0+380 - 0+400
0.634
0.327317
0.207674
0+400 - 0+590
1.949
0.067343
0.131258
0+590 - 0+600
0.734
0.461005
0.338567
0.104431
Diameter luar
= 3,06 m
Diameter dalam
= 2,6 m
Spasi
= 2,5 m
Beton
= K600
Baja
= fy 400
42
4.4.1.1 Perbandingan Skema Perkuatan dengan Lining dan RB+S pada Segmen 1 (STA
0+05)
Segmen 1 memiliki kualitas massa batuan yang buruk karena dekat dengan zona lemah
dan area galian terowongan tepat pada batuan yang lebih lemah. Segmen 1 juga berada pada
area dengan tegangan insitu vertikal paling besar karena memiliki overburden paling besar.
Segmen 1 berada di STA 0+05 dekat dengan posisi pengeboran BH-1.
STA 0+0
Segmen 1
43
sebelum dan
44
memiliki distribusi di
sekitar dinding galian terowongan dan perlapisan batuan yang dekat dengan galian terowongan.
Penyebaran distribusi
adalah 0,49 Mpa dan berada di bagian lantai terowongan. Setelah dilakukan pemasangan
perkuatan, baik dengan perkuatan rock bolt + shotcrete maupun lining
kiri terowongan tepat pada bagian perlapisan batuan.
sebesar 1,33 MPa sedangkan pada perkuatan lining sebesar 1,32 MPa.
45
4.4.1.2 Perbandingan Skema Perkuatan dengan Lining dan RB+S pada Segmen 2 (STA
0+100)
Segmen 2 memiliki kualitas massa batuan yang bagus karena tidak berada dalam zona
lemah. Area galian terowongan segmen 2 juga berada pada litologi yang relatif lebih bagus
yaitu pada breksi vulkanik. Segmen 2 berada di STA 0+100 berada di antara pengeboran BH1 dan BH-2.
46
STA 0+200
Segmen 2
sebelum dan
memiliki distribusi di
hampir di seluruh permukaan galian terowongan, namun bagian atap dan dinding terowongan
masih relatif lebih dominan. Penyebaran distribusi
perlapisan batuan yang bertindak sebagai zona lemah. Sebelum dipasang perkuatan
terbesar
di sekitar terowongan adalah 0,97 Mpa dan berada di bagian lantai terowongan. Setelah
dilakukan pemasangan perkuatan, baik dengan perkuatan rock bolt + shotcrete maupun
lining
terbesar berada di sisi kiri terowongan tepat pada bagian perlapisan batuan.
dengan
perkuatan rock bolt + shotcrete sebesar 1,33 MPa sedangkan pada perkuatan lining sebesar
1,32 MPa.
48
posisi dan kedudukan perlapisan batuan yang bertindak sebagai zona lemah.
4.4.1.3 Perbandingan Skema Perkuatan dengan Lining dan RB+S pada Segmen 3 (STA
0+182)
Segmen 3 memiliki kualitas massa batuan yang buruk karena berada pada zona lemah.
Segmen 3 berada di STA 0+182 dekat dengan posisi pengeboran BH-2. Gambar 4.19
menunjukkan penampang melintang yang mencakup segmen 3 dan posisi pengeboran BH-2.
49
STA 0+200
Segmen 3
segmen3
50
sebelum dan
memiliki distribusi di
sekitar dinding galian terowongan dan sepanjang zona lemah yang dekat dengan galian
terowongan. Penyebaran distribusi
Sebelum dipasang perkuatan
bagian lantai terowongan. Setelah dilakukan pemasangan perkuatan, baik dengan perkuatan
rock bolt + shotcrete maupun lining
dengan
perkuatan rock bolt + shotcrete sebesar 1,83 MPa sedangkan pada perkuatan lining sebesar
1,78 MPa.
51
posisi dan kedudukan perlapisan batuan yang bertindak sebagai zona lemah.
4.4.1.4 PerbandinganSkema Perkuatan dengan Lining dan RB+S pada Segmen4 (STA
0+250)
Segmen 4 memiliki kualitas massa batuan yang relatif baik karena berada pada breksi
yaitu batuan yang memiliki kualitas massa batuan cukup baik . Segmen 4 berada di STA 0+250
dekat dengan posisi pengeboran BH-2. Gambar 4.22 menunjukkan penampang melintang yang
mencakup segmen 4 dan posisi pengeboran BH-2.
52
STA 0+200
Segmen 4
segmen4
53
sebelum dan
memiliki distribusi di
sekitar dinding galian terowongan dan lantai terowongan. Sebelum dipasang perkuatan
terbesar di sekitar terowongan adalah 1.48 Mpa dan berada di bagian lantai terowongan.
Setelah dilakukan pemasangan perkuatan, baik dengan perkuatan rock bolt + shotcrete maupun
lining
bolt + shotcrete sebesar 1,58 MPa sedangkan pada perkuatan lining sebesar 1,57 MPa.
54
posisi dan kedudukan perlapisan batuan yang bertindak sebagai zona lemah.
4.4.1.5 PerbandinganSkema Perkuatan dengan Lining dan RB+S pada Segmen 5 (STA
0+400)
Segmen 5 memiliki kualitas massa batuan yang relatif baik karena berada pada breksi
yaitu batuan yang memiliki kualitas massa batuan cukup baik . Segmen 5 berada di STA 0+400
dekat dengan posisi pengeboran BH-3. Gambar 4.26 menunjukkan penampang melintang yang
mencakup segmen 5 dan posisi pengeboran BH-3.
55
STA 0+400
Segmen 5
segmen5
56
sebelum dan
memiliki distribusi di
sekitar dinding galian terowongan dan lantai terowongan. Sebelum dipasang perkuatan
terbesar di sekitar terowongan adalah 2,27 MPa dan berada di bagian lantai terowongan.
Setelah dilakukan pemasangan perkuatan, baik dengan perkuatan rock bolt + shotcrete maupun
lining
masing-masing perkuatan.
57
4.4.1.6 Perbandingan Skema Perkuatan dengan Lining dan RB+S pada Segmen 6 (STA
0+410)
Segmen 6 memiliki kualitas massa batuan yang relatif baik karena berada pada breksi
yaitu batuan yang memiliki kualitas massa batuan cukup baik . Segmen 6 berada di STA 0+410
dekat dengan posisi pengeboran BH-3. Gambar 4.30 menunjukkan penampang melintang yang
mencakup segmen 6 dan posisi pengeboran BH-3.
58
STA 0+400
Segmen 6
segmen6
59
sebelum dan
memiliki distribusi di
terbesar di sekitar
terowongan adalah 2,56 MPa dan berada di bagian lantai terowongan. Setelah dilakukan
pemasangan perkuatan, baik dengan perkuatan rock bolt + shotcrete maupun lining
terbesar
berada di bagian atap dan lantai terowongan dengan perkuatan rock bolt + shotcrete sebesar
2,93 MPa sedangkan pada perkuatan lining sebesar 2,87 MPa.
60
kedudukan perlapisan batuan yang bertindak sebagai zona lemah. Sebelum dipasang perkuatan
total dispalcement berada di atap terowongan. Hal ini berbeda dengan total displacement
setelah dipasang perkuatan dimana distribusinya berada di dinding kiri terowongan. Hal ini
disebabkan sebelum dipasang perkuatan tegangan terinduksi lebih berperan pada total
displacement sedangkan setelah dipasang perkuatan tegangan terinduksi dapat diakomodir oleh
perkuatan dan zona lemah perlapisan lebih berperan pada distribusi total displacement.
4.4.1.7 PerbandinganSkema Perkuatan dengan Lining dan RB+S pada Segmen7 (STA
0+625)
Segmen 7 memiliki kualitas massa batuan yang relatif baik karena berada pada breksi
yaitu batuan yang memiliki kualitas massa batuan cukup baik . Segmen 7 berada di STA
0+600tepat pada posisi pengeboran BH-4. Gambar 4.34 menunjukkan penampang melintang
yang mencakup segmen 7 dan posisi pengeboran BH-4.
61
STA 0+600
Segmen 7
segmen7
sebelum dan
62
memiliki distribusi di
adalah 0,84 MPa dan berada di bagian lantai terowongan. Setelah dilakukan pemasangan
perkuatan, baik dengan perkuatan rock bolt + shotcrete maupun lining,
terbesar berada di
bagian dinding terowongan dengan perkuatan rock bolt + shotcrete sebesar 0,86 MPa
sedangkan pada perkuatan lining sebesar 0,84 MPa.
dengan perpindahan sebesar 4,087 m. Setelah dipasang perkuatan perpindahan menjadi lebih
kecil baik dengan perkuatan rock bolt + shotcrete (0,00454 m) maupun dengan perkuatan lining
(0,00431 m). Arah displacement relatif ke arah galian terowongan. Sama halnya dengan
penyebaran distribusi total displacement dipengaruhi oleh posisi dan kedudukan perlapisan
batuan yang bertindak sebagai zona lemah. Sebelum dipasang
perkuatan total
4.5
Pembahasan Hasil
Pembahasan hasil yang ditinjau menggunakan metode numerik meliputi perubahan
distribusi tegangan jika dibandingkan dengan tegangan insitu dan total displacement.
Perubahan distribusi tegangan diakibatkan oleh proses penggalian terowongan. Komponen
tegangan berdasarkan perhitungan menggunakan metode numerik merupakan komponen
tegangan prinsipal. Tegangan prinsipal terdiri dari tegangan prinsipal terbesar( ), terkecil ( )
dan menengah( ). Pada pembahasan makalah ini tegangan menengah tidak dibahas karena
tidak terlalu mempengaruhi proses perhitungan.
Skema perkuatan lining pipa beton menggunakan pipa dengan tebal 0.23 m pada setiap
segmen terowongan sedangkan skema perkuatan shotcrete+rockbolt+wiremesh menggunakan
perkuatan yang berbeda-beda di setiap segmen. Skema lining pipa beton menggunakan pipa
tipikal karena metode pemasangan adalah menggunakan mekanis dan pipa beton di desain
untuk mampu bertahan pada segmen dengan kondisi batuan terburuk. Skema perkuatan
shotcrete+rockbolt+wiremesh menggunakan kombinasi perkuatan yang berbeda-beda untuk
setiap segmen karena perkuatan disesuaikan dengan kondisi batuan yang terdapat pada masingmasing
segmen.
Hal
ini
juga
dapat
dilakukan
karena
skema
perkuatan
64
Segmen Section
1
2
3
4
5
6
7
0+00 0+20
0+20 0+180
0+180 0+190
0+190 0+380
0+380 0+400
0+400 0+590
0+590 0+625
Shotcrete
di sekitar dinding
. Pola
distribusi tegangan prinsipal semua segmen juga hampir sama, kecuali pada area yang memiliki
zona lemah yang bersinggungan langsung dengan permukaan galian terowongan. Zona lemah
pada terowongan drainage gallery berupa bisa perlapisan dan zona rekahan. Pada umumnya
yang berada di sekitar zona lemah relatif lebih besar.
Jika dibandingkan besar tegangan prinsipal sebelum dan sesudah dilakukan penggalian
memiliki perbedaan yang jelas. Besar
65
Tabel 4. 13Besar
Segme
n
0,9
0,97
3
4
5
Perkuatan Lining
Sigma 1TD (m)
AE (Mpa)
1,32
0,01
1,43
2,269
1,76
0,00138
1,66
0,00124
0,97
1,3
3,814
1,83
0,00217
1,78
0,00193
0,87
0,86
1,48
2,27
1,21
0,044
1,58
1,8
0,00103
0,00056
1,57
1,8
0,001
0,00056
1,43
2,56
0,309
2,93
0,00222
2,87
0,00222
0,48
0,84
4,087
0,86
0,00454
0,84
0,00431
BE : Before Excavation
Perkuatan RB+S
Sigma 1TD (m)
AE (Mpa)
1,33
0,01
AE : After Excavation
TD : Total Displacement
dengan menggunakan program phase2 adalah valid karena hasil perhitugan manual dengan
pemodelan hampir sama. Resume perhitungan manual terdapat pada tabel 4.13. Nilai
dispacement minus menandakan bahwa pergerakan terjadi ke arah dalam terowongan
Insitu Stress
Displacement(m)
(Mpa)
0.207304
(Mpa)
0.104431
0.59
-4.07
0.156497
0.144661
1.41
-2.284
0.26052
0.194416
1.39
-3.578
0.16377
0.159547
1.57
-1.269
Sebelum dilakukan pemasangan perkuatan baik total displacement yang terjadi sangat
besar. Distribusi total displacement pada umumnya berada di atap dan lantai terowongan, akan
tetapi di bagian atap terowongan cenderung lebih banyak dan lebih besar dibandingkan dengan
di bagian lantai terowongan.
66
Setelah dilakukan pemasangan perkuatan baik rock bolt + shotcrete maupun liningtotal
displacement yang terjadi relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan sebelum dilakukan
pemasangan lining. Perbedaan besar total displacement sebelum dan sudah dilakukan
pemasangan lining cukup signifikan. Distribusi total displacement pada umumnya berada di
atap dan lantai terowongan, akan tetapi di bagian atap terowongan cenderung lebih banyak dan
lebih besar dibandingkan dengan di bagian lantai terowongan. Resume besar total displacement
pada masing masing terowongan dapat dilihat pada tabel 4.12.
Geometri distribusi total displacement yang terjadi pada umumnya dipengaruhi oleh
zona lemah yang ada yaitu bidang perlapisan dan zona rekahan. Pada zona lemah distribusi
total displacement cenderung lebih banyak dan lebih besar. Perbedaan kualitas massa batuan
juga mempengaruhi besar total displacement yang terjadi. Pada massa batuan yang lebih lemah
yaitu batulempung total displacement jauh lebih besar dibandingkan dengan breksi. Peraturan
Pelaksanaan Terowongan di Jepang memberikan syarat displacement nol dalam satuan
centimenter. Dengan demikian total displacement yang terjadi setelah pemasangan lining
masuk dalam kategori layak.
4.6
kestabilan dapat dibandingkan berdasarkan tiga kategori, yaitu perbandingan mutu, waktu, dan
biaya.
4.6.1 Perbandingan Mutu
Pada pemodelan numerik dapat dilakukan analisa terhadap skema perkuatan yang
berbeda-beda. Pada proyek pembangunan terowongan drainage gallery, skema perkuatan yang
direncanakan adalah pemasangan lining dengan spesifikas beton K600 dan baja fy 400.
Sehingga akan dilakukan perbandingan kualitas terowongan dengan perkuatan rock bolt +
shotcrete dengan lining berdasarkan distribusi
berbeda. Sama halnya dengan total displacement yang terjadi, tidak ada perbedaan yang
67
mencolok antara dan besar dan distribusinya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kualitas
perkuatan rock bolt + shotcrete dan lining adalah setara. Perbandingan distribusi/besar
tegangan dan total displacement dapat dengan jelas dilihat pada tabel 4.15.
Pemilihan perkuatan tersebut dilakukan berdasarkan try dan error masing-masing tipe
perkuatan yang ada. Setelah dilakukan percobaan pada pemodelan numerik penggunaan skema
perkuatan dengan kombinasi rock bolt, shotcrete dan wiremesh menghasilkan terowongan
yang stabil dan aman. Tabel 4.14 menunjukkan resume dari percobaan masing-masing tipe
perkuatan.
Tabel 4. 15Resume percobaan masing-masing tipe perkuatan
Seg
me
n
Perkuatan
RB+S
Sigma
1-AE
(Mpa)
1,33
1,76
1,83
1,58
1,76
1,83
1,58
Perkuatan Pipa
Sigm
a 1AE
(Mpa)
TD
(m)
0,012
83
0,001
38
0,002
17
0,001
03
0,001
38
0,002
17
0,001
03
1,32
1,66
1,78
1,57
1,66
1,78
1,57
TD
(m)
0,012
26
0,001
24
0,001
93
0,001
0,001
24
0,001
93
0,001
Perkuatan
Rock Bolt
Sigma
1-AE
(Mpa)
TD
(m)
1,01
43
0,77
29
0,86
11
0,56
92
0,77
29
0,86
11
0,56
92
1,89
2,37
2,93
2,55
2,37
2,93
2,55
Perkuatan
Shotcrete
Sigma
1-AE
(Mpa)
TD
(m)
0,84
91
0,51
67
0,60
87
0,37
21
0,51
67
0,60
87
0,37
21
1,49
1,91
2,11
1,74
1,91
2,11
1,74
Perkuatan
Wiremesh
Sigma
1-AE
(Mpa)
TD
(m)
1,07
52
0,81
2
0,95
91
0,70
66
0,81
2
0,95
91
0,70
66
2,03
2,38
2,95
2,81
2,38
2,95
2,81
Perkuatan
Steel Ribs
Sigma
1-AE
(Mpa)
1,45
1,89
1,99
1,73
1,89
1,99
1,73
TD
(m)
0,68
14
0,38
19
0,59
05
0,20
9
0,38
19
0,59
05
0,20
9
Perkuatan Lining
Segmen
Sigma 1-AE (Mpa)
TD (m)
TD (m)
1,33
0,01283
1,32
0,01226
1,76
0,00138
1,66
0,00124
1,83
0,00217
1,78
0,00193
1,58
0,00103
1,57
0,001
1,8
0,00056
1,8
0,00056
2,93
0,00222
2,87
0,00222
0,86
0,00454
0,84
0,00431
AE : After Excavation
TD : Total Displacement
68
Uraian
Pemasangan Perkuatan
Segmen 7
Pemasangan Perkuatan
Segmen 6
Pemasangan Perkuatan
Segmen 5
Pemasangan Perkuatan
Segmen 4
Pemasangan Perkuatan
Segmen 3
Pemasangan Perkuatan
Segmen 2
Pemasangan Perkuatan
Segmen 1
Total
Durasi (Bulan)
Durasi
(Hari) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
10
158
19
158
10
133
19
508
Uraian
Pemasangan Perkuatan
Segmen 7
Pemasangan Perkuatan
Segmen 6
Pemasangan Perkuatan
Segmen 5
Pemasangan Perkuatan
Segmen 4
Pemasangan Perkuatan
Segmen 3
Pemasangan Perkuatan
Segmen 2
Pemasangan Perkuatan
Segmen 1
Total
Durasi (Bulan)
Durasi
(hari) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
5
44
3
50
5
53
7
167
69
Satuan Volume
m3
1597.48
m3
1531.45
m3
379.05
Sub Total
bulan
Total
17
Harga Satuan
Rp148,681
Rp7,725
Rp2,896,875
Jumlah
Rp237,514,180
Rp11,830,438
Rp1,098,064,466
Rp1,365,113,206
Jumlah
Rp600,000,000 Rp10,200,000,000
Rp11,565,113,206
4.7
Rp600,000,000
Jumlah
Rp21,216,195,000
Rp30,217,601
Rp21,246,412,601
Jumlah
Rp3,600,000,000
Rp24,846,412,601
yang lebih tinggi yang dapat meminimalisir terjadinya keruntuhan tidak terduga pada proses
penggalian terowongan. Secara tidak langsung kondisi ini akan menekan terjadinya kerugian
akibat keruntuhan yang tidak terduga.
70
71
BAB V
MANAJEMEN RISIKO
Risiko (risk) adalah probabilitas terjadinya peristiwa yang membawa akibat yang tidak
dikehendaki atas hal yang ingin dicapai PT Wijaya Karya (Persero)Tbk yang telah dirumuskan
di dalam tujuan, strategi, sasaran dan atau rencana hasil kegiatan. Risiko dapat bersifat positif
maupun negatif. Besarnya risiko dapat diketahui dari besaran tingkat risiko (risk level), yaitu
tinggi atau rendahnya risiko yang diukur berdasarkan seberapa besar akibat negatif yang
ditimbulkan bila suatu risiko terjadi dan seberapa besar probabilitas terjadinya suatu risiko.
Setiap risiko yang mungkin terjadi harus dapat dimitigasikan secara baik dengan menggunakan
prosedur yang jelas.
Di PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, manajemen risiko (risk management) merupakan
suatu proses manajemen, pengorganisasian dan budaya di PT Wijaya Karya (Persero) Tbk yang
diarahkan terhadap analisis risiko dan tanggapan serta perlakuan atas risiko, yang di dalamnya
termasuk mengoptimalkan tingkat probabilitas dan konsekuensi atas suatu kejadian yang
bersifat merugikan dalam mencapai suatu proyek. Terdapat tiga tahapan di dalam manajemen
risiko untuk dapat mengetahui dan mengorganisasi suatu kejadian yang mungkin terjadi baik
itu bersifat positif maupun negatif, di antaranya adalah identifikasi risiko, pengukuran risiko,
dan penanganan risiko.
5.1
Identifiksi Risiko
Identifikasi risiko harus diterapkan terhadap seluruh ruang lingkup manajemen risiko.
Terdapat beberapa hal yang harus dilakukan terhadap setiap kegiatan, tujuan, strategi, sasaran
dan atau rencana hasil kegiatan tersebut, yaitu identifikasi risiko untuk mengenai peristiwa
yang dapat terjadi, analisis besarnya akibat negatif yang ditimbulkannya bila peristiwa itu
terjadi, dan besarnya probabilitas terjadinya peristiwa itu.
Identifikasi risiko dapat mencakup risiko-risiko yang berasal dari sumber internal
maupun eksternal dari PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. Identifikasi risiko dapat dilakukan
dengan memanfaatkan berbagai sumber informasi dan teknik, seperti rekaman (recording),
praktek dan pengalaman pihak lain di perusahaan sejenis atau yang relevan, studi literatur,
wawancara dengan pakar terkait, pembuatan mode dan lain sebagainya.
72
5.2
Pengukuran Risiko
Setelah risiko diidentifikasi, tahap yang harus dilakukan selanjutnya adalah melakukan
pengukuran risiko. Pengukuran risiko dilakukan dengan cara menetapkan tinggi atau
rendahnya risiko yang diukur berdasarkan seberapa besar akibat negatif yang ditimbulkan bila
suatu risiko terjadi dan seberapa besar probabilitas terjadinya suatu risiko. Penentuan
probabilitas suatu risiko sangat bersifat subjektif (berdasarkan pengalaman). Hal ini membuat
sangat sulit menentukan probabilitas suatu risiko bila risiko tersebut sangat atau jarang terjadi
ataupun risiko tersebut dapat terjadi dalam suatu pekerjaan baru. Oleh karena itu diperlukan
identifikasi
dan
pendugaan
yang
baik
sehingga
dapat
memprioritaskan
dan
Untuk dapat memutuskan ke dalam tingkat mana suatu risiko harus digolongkan, maka
sebelumnya perlu ditentukan:
Akibat yang ditimbulkan bila suatu risiko terjadi dibagi ke dalam 4 (empat) rating
berikut (berurutan mulai dari yang tertinggi):
Malapetaka;
Sangat Berat;
Berat;
Tidak Berat.
Probabilitas terjadinya suatu risiko yang dapat menimbulkan akibat yang diuraikan dari
rating di atas dibagi ke dalam 4 (empat) rating berikut (berurutan mulai dari yang tertinggi):
Malapetaka;
Sangat Berat;
Berat;
Tidak Berat.
73
Analisis risiko harus didasarkan pada suatu Matriks Analisis Risiko seperti yang
ditampilkan pada Tabel 5.1.
Akibat / consequence
Berat
Sangat Berat
2
3
E
8
T
12
12
Probabilitas/
Probability
Tidak Berat
1
Malapetaka
4
E
16
Kriteria untuk masing-masing rating (rating akibat risiko dan rating probabilitas
terjadinya risiko) yang disebutkan pada Tabel 5.1 akan dibagi menjadi dua bagian,yaitu kriteria
rating probabilitas yang ditampilkan pada Tabel 5.2 dan kriteria rating akibat negatif yang
berhubungan dengan biaya yang akan ditampilkan pada Tabel 5.3.
PROBABILITAS
RISIKO
Departemen Sipil
Umum
Tidak Berat
Berat
Sangat Berat
Malapetaka
Terjadi sekali
setahun
Terjadi
setiap tiga
bulan
Terjadi setiap
enam bulan
Terjadi
setiap bulan
Ada
kemungkinan
tidak terjadi
Mungkin
terjadi
Kemungkinan
kecil terjadi
Hampir
dispastikan
akan terjadi
Sd- 10%
30-50%
10% - 30%
50%
74
Kecil
Sedang
Besar
Sangat Besar
Masih bisa
diterima
Harus ada
mitigasi
Mitigasi
Strategi
Eskalasi
<1%
1 - 2%
2-5%
5%
AKIBAT RISIKO
Financial - %
cost overrun
from
investment
Deperetemen
Sipil Umum
Biaya yang melampaui anggaran pada Tabel 5.3 dapat dihitung sebagai berikut:
Risiko sebelum mitigasi, adalah prediksi biaya yang timbul bila risiko terjadi
dibandingkan dengan anggaran biaya item yang ditinjau;
Risiko setelah mitigasi, adalah biaya yang timbul untuk mitigasi ditambah sisa
risiko yang timbul dibandingkan dengan anggaran biaya untuk item yang ditinjau.
Dalam memperkirakan besarnya akibat negatif yang dapat ditimbulkan (bila risiko
terjadi)
dan
memperkirakan
besarnya
probabilitas
terjadinya
risiko,
perlu
juga
mempertimbangkan faktor positif yang ada di dalam kondisi PT Wijaya Karya (Persero) Tbk
sekarang ini untuk mengendalikan risiko itu. Bila hal ini terkendala oleh ketidakcukupan data
atau masalah lain, perkiraan tentang besarnya probabilitas terjadinya risiko dapat ditetapkan
berdasarkan estimasi subjektif yang mencerminkan tingkat keyakinan para peserta Rapat
Analisis Risiko.
5.3
Penanganan Risiko
Setelah tingkatan risiko diketahui, kegiatan yang harus dilakukan selanjutnya adalah
melakukan penanganan risiko dengan menentukan tingkatan kemungkinan risiko yang dapat
terjadi. Terdapat beberapa kategori yang menunjukkan tingkatan kemungkinan risiko yang
terjadi beserta dampaknya, di antaranya adalah:
a. High probability, high impact. Risiko jenis ini umumnya dihindari ataupun
dipindahkan;
b. Low probability, high impact. Respon paling tepat untuk tipe risiko ini adalah
dihindari. Jika risiko masih terjadi, maka lakukan mitigasi risiko
sertakembangkan contingency plan;
75
5.4
terowongan, yaitu:
Agar nilai biaya untuk pengendalian risiko dapat diketahui, terlebih dahulu perlu
dilakukan perhitungan mitigasi biaya pengendalian risiko. Perhitungan mitigasi biaya risiko
meliputi perhitungan risiko biaya sebelum dan setelah dilaksanakan mitigasi. Analisis
perhitungan biaya mitigasi risiko per kemungkinan risiko yang terjadi tercantum dalam
formulir registrasi risiko seperti yang ditampilkan pada Tabel 5.4.
76
Area
Kategori
Proyek
Proyek
Proyek
Subkategori
Risiko
Penyebab
Perancangan
Adanya zona
Risiko
lemah berupa
perancangan yang
Kesalahan dalam
sesar dan
timbul dari
menentukan jenis dan perlapisan
pengukuran dan
skema perkuatan
batuan yang
penyelidikan
tidak
teridentifikasi
Perancangan
Perancangan
Akibat
Malapa
etaka
Risiko
Kesalahan
Kesalahan dalam
perancangan yang
dalam
Terjadi keruntuhan
menghitung tegangan
timbul dari
menggunakan sehingga diperlukan review
dan total
pengukuran dan
parameter
desain ulang
displacement
penyelidikan
masukan
685.100.000
Sangat
Besar
Sedang
Kesalahan
bekisting,
Pembengkakan pada
kesalahan
volume dan biaya shotcrete
penempatan
shotcrete
274.516.117
Besar
Sedang
Kesalahan
perhitungan volume
shotcrete
1.061.987.755
RTL
Biaya
Kontrol
Eksisting
Tingkat Efektifitas
Kontrol
RTL
Pemetaan
geologi secara
komprehensif
50.000.000
10.237.164
Prosedur
Survei dan
Investigasi
Good
Prosedur
Survei dan
Investigasi
Good
Analisa hasil
pengeboran dan
laboratorium dan
penambahan titik
pengeboran
20.000.000
68.510.000
Prosedur
Survei dan
Investigasi
Good
Prosedur
Design and
Build
Good
Analisa volume
shotcrete, kontrol
selama
pelaksanaan
20.000.000
27.451.612
Prosedur
Design and
Build
Good
Prioritas 3
Good
Prosedur
Survei dan
Investigasi
Prioritas 2
Kecil
Score
( c = a x Prioritas 1
b)
Biaya Risiko
Kontrol
Eksisting
Evaluasi
Akibat
(b)
102.371.639
Rincian, ketelitian
dan kesesuaian
spesifikasi
Probilitas
(a)
90.000.000 106.198.776
Biaya
143.320.294
890.630.000
356.870.951
Batas Waktu
dalam
melakukan
RTL proaktif
Penanggungjawab
Responsible
Person
Accountable
Person
Tim Enjiniring
s.d akhir
kontrak
s.d akhir
kontrak
Tim Enjiniring
s.d akhir
kontrak
1.390.821.246
77
Tabel 5. 5Analisis perhitungan biaya mitigasi risiko perkuatan lining pipa beton
Analisa
No
Area
Kategori
Proyek
Perancangan
Proyek
Konstruksi
Subkategori
Risiko
Penyebab
Akibat
Risiko
perancangan yang
Kesalahan dalam
Kesalahan dalam
timbul dari
menghitung tegangan menggunakan parameter
pengukuran dan dan total displacement
masukan
penyelidikan
Terjadinya waste yang
Kelayakan metode
banyak dan kesalahan
konstruksi dan
dalam menentukan
keselamatan
campuran grouting
RTL
Prosedur Survei
Good
dan Investigasi
Prosedur Survei
dan Investigasi,
Good
Prosedur Design
and Build
Pemetaan geologi
(batuan) sepanjang
terowongan secara
komprehensif dan
menganalisa campuran
grouting
Biaya
20.000.000
30.000.000
Evaluasi
Score
Priorita Priorita Priorita
(c=ax
s1
s2
s3
b)
685.100.000
Sangat
Besar
Sedang
Pembengkakan biaya
grouting dan diperlukan
review desain terhadap
campuran grouting
245.326.402
Besar
Ringan
930.426.402
Akibat
(b)
Terjadi keruntuhan
sehingga alat/mesin
ekskavasi terjepit
Biaya Risiko
Kontrol
Eksisting
Probilitas
(a)
Sisa Resiko
Kontrol
Eksisting
Biaya
Batas Waktu
dalam melakukan
RTL proaktif
Penanggungjawab
Responsible
Person
Accountable
Person
68.510.000
Prosedur
Survei dan
Investigasi
Good
890.630.000
Kasie
Enjiniring
Manajer Proyek
49.065.280
Prosedur
Survei dan
Investigasi,
Prosedur
Design and
Build
Good
318.924.323
Tim Enjiniring
Kasie
Enjiniring
Manajer Proyek
50.000.000 117.575.280
1.209.554.323
78
Selanjutnya akan dihitung risiko terhadap 2 skema yang terpilih. Perbandingan antara
2 skema yang dipilih setelah ditambahkan biaya risiko ditunjukkan oleh tabel 5.6.
Tabel 5. 6Perbandingan biaya 2 skema perkuatan ditambahkan dengan biaya risiko
Skema Shotcrete +
Skema Lining Pipa
Rockbolt + Wiremesh
Beton
Rp
1.365.113.206 Rp 21.246.412.601
A. BIAYA LANGSUNG
2 Biaya Material
1.365.113.206 Rp
21.246.412.601
Rp
10.200.000.000 Rp
10.200.000.000 Rp
3.600.000.000
3.600.000.000
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
50.000.000
10.237.164
20.000.000 Rp
68.510.000 Rp
20.000.000
68.510.000
20.000.000
27.451.612
Rp
Rp
196.198.776 Rp
11.761.311.981 Rp
30.000.000
49.065.280
167.575.280
25.013.987.882
79
BAB VI
SISTEM MANAJEMEN WIKA DAN PROSEDUR LINGKUP KERJA
6.1
(WIKA) memiliki sistem manajemen tersendiri dalam menjalankan setiap pekerjaan yang
ditangani. Sistem tersebut dikenal sebagai Sistem Manajemen WIKA atau SMW. Sistem
Manajemen WIKA terdiri dari beberapa aspek manajemen.
salah
satu
perusahaan
terbaik
di
bidang
EPC
(Engineering
Menyediakan produk dan jasa yang unggul dan terpadu di bidang EPC dan
Investasi untuk Infrastruktur, Gedung Bertingkat, Energi, Industrial Plant, Industri
Beton dan Properti;
2.
3.
Menjalankan praktik etika bisnis untuk menjadi warga usaha yang baik dan
memelihara keberlanjutan perusahaan;
4.
5.
2.
3.
4.
5.
6.
Team Work: Sinergi, kerja sama intra dan lintas unit kerja;
80
7.
Pedoman SMW yang memuat kebijakan SMW, sasaran, organisasi dan ringkasan
kelompok proses (Context Diagram);
2.
3.
Terdapat dua garis besar kebijakan Sistem Manajemen WIKA yang dicanangkan
Manajemen Puncak, yaitu:
1.
2.
Sasaran dari kebijakan SHE WIKA adalah zero accident, efisiensi penggunaan sumber
daya, dan pencegahan environment incident.
Sistem Manajemen WIKA dibagi ke dalam beberapa bagian, yaitu:
1.
2.
3.
4.
81
2.
3.
4.
6.
7.
8.
82
risiko, strategi dan melakukan mitigasi risiko. Hal ini diatur dalam Prosedur Manajemen
Pengamanan WIKA-PEM-PM-07.01.
83
6.2
6.2.1 Tujuan
Untuk mendapatkan data dan informasi yang cukup dan akurat dari segala aspek yang
berpengaruh terhadap Perolehan kontrak, desain, dan pelaksanaan proyek.
6.2.2 Definisi
1. Survei adalah suatu kegiatan peninjauan ke lapangan (site) calon lokasi proyek untuk
mengetahui kondisi dan aspek-aspek teknis dan non teknis dengan tujuan untuk
84
mendapatkan data yang diperlukan dan berpengaruh terhadap proses desain dan
pelaksanaan;
2. Investigasi adalah kegiatan survei yang memerlukan penelaahan dan pengolahan
lebih lanjut (seperti kegiatan laboratorium) untuk mendapatkan informasi yang
dibutuhkan dalam proses Perolehan kontrak desain dan pelaksanaan;
3. Data adalah segala informasi yang mencakup kondisi teknis dan non teknis hasil dari
kegiatan survei;
4. Pelaksana Survei adalah Tim Survei yang ditetapkan oleh GM atau Manajer Divisi;
5. SBU (Unit Bisnis Strategis) adalah klasifikasi bidang usaha yang menjadi core bisnis
perusahaan.
85
6.2.4 Rekaman
1. Laporan
Berupa data softcopy, hardcopy yang berisi teks, gambar sketsa, foto, sampel
media yang akan diuji dengan disertakan penjelasan tertulis dari Tim Survei;
2. Hasil Uji
Berupa informasi hasil uji lengkap dari Laboratorium baik berupa hardcopy dan
atau softcopy, dengan disertakan penjelasan tertulis baik dari pihak Laboratorium
ataupun dari Tim Survei;
3. Laporan Survei memuat:
- Perencanaan Survei;
- Hal-hal yang spesifik dan berbeda dari yang direncanakan;
- Data, informasi, dan penjelasan;
- Kesimpulan Umum / Khusus, atau Rekomendasi / Saran yang perlu disampaikan;
4. Laporan Investigasi
Sesuai dengan prosedur / IK masing-masing SBU atau standar dari pihak
Konsultan Spesialis yang melakukan Investigasi.
86
6.3
6.3.1 Tujuan
Memberikan pedoman pelaksanaan review Desain inter-disiplin dan menerangkan
beberapa meeting untuk review Desain dan safety multi-disiplin.
87
6.3.2 Definisi
1. Inter-disiplin : antara disiplin satu dengan disiplin lainnya;
2. Comment : tanggapan hasil pelaksanaan review/cek;
3. Change Request : permintaan perubahan terhadap Desain;
4. Workflow : tata kerja.
89
90
BAB VII
PENUTUP
7.1
Ringkasan
Setelah melakukan penulisan mengenai analisa stabilitas terowongan di proyek
Terowongan drainage gallery tediri dari breksi, batulempung dan tanah di bagian
atas. Zona lemah yang ada di sekitar terowongan adalah perlapisan batuan dan sesar
turun.
Hasil perhitungan manual dengan syarat spasi longitudinal dan transversal rock
bolt sebesar 0.75 m pada skema shotcrete + rockbolt + wiremesh adalah :
Segmen
1
2
3
4
5
6
7
Shotcrete
t (m)
Rock Bolt
sc (m)
si (m)
L (m)
d (m)
0,4716052
0,75
0,75
0,011351
0,2794788
0,75
0,75
0,069189
0,3439242
0,75
0,75
0,073101
0,2794788
0,75
0,75
0,089792
0,4282595
0,75
0,75
0,061723
0,1964097
0,75
0,75
0,0167
0,5213879
0,75
0,75
0,057318
Hasil perhitungan manual pada skema linig pipa beton adalah adalah :
Segmen
1
2
3
4
5
6
7
t (m)
0,2291
0,2273
0,2258
0,2251
0,2277
0,2275
0,2287
n
8
8
8
8
8
8
8
D (mm)
15
14
15
14
15
14
15
91
Rock Bolts
L=5 m, d=18 mm, s=1 m, di
atap dan dinding
L=4 m, d=18 mm, s=1.5 m, di
atap dan dinding
L=4 m, d=18 mm, s=1.5 m, di
atap
L=4 m, d=18 mm, s=1.5 m, di
atap dan dinding
L=4 m, d=18 mm, s=1.5 m, di
atap
L=4 m, d=18 mm, s=1.5 m,
dinding
L=4 m, d=18 mm, s=1.5 m, di
lantai
Shotcrete
S1=15 cm dan
S2=25 cm
S1=5 cm dan
S2=10 cm
S1=10 cm dan
S2=15 cm
S1=5 cm dan
S2=10 cm
S1=10 cm dan
S2=15 cm
S1=10 cm dan
S2=15 cm
S1=10 cm dan
S2=15 cm
Wiremesh
L=200 mm,
d=7 mm
Skema perkuatan lining pipa beton dengan menggunakan pemodelan numerik pada
phase2 adalah pipa beton setebal 23 cm.
Metode Lining
Mutu
Tegangan
Total Displacement
1,76
0,00138
1,66
0,00124
Waktu
17 bulan
6 bulan
Biaya + Risiko
Rp11.987.564.817
Rp25.370.477.882
Uraian
7.2
Kesimpulan
Setelah melakukan penulisan mengenai analisa stabilitas terowongan di proyek
Hasil perbandingan analisa biaya, mutu dan waktu melalui pemodelan numerik
menunjukkan bahwa skema perkuatan shotcrete + rockbolt + wiremesh lebih
murah dengan total biaya material sebesar Rp1.365.113.206 dan risiko sebesar
Rp196.198.776 sedangkan skema perkuatan lining pipa beton membutuhkan total
biaya material sebesar Rp21.216.412.601 dan risiko sebesar Rp167.575.280.
7.3
Saran
Setelah melakukan penulisan mengenai analisa stabilitas terowongan di proyek
terowongan drainage gallery bendungan Jatigede, dapat diberikan beberapa saran, yaitu:
93
DAFTAR PUSTAKA
Bieniawski, Z.T., (1989). Engineering Rock Mass Classifications. Canada: John Wiley & Sons.
Brady, B.H.G., and Brown, E.T., (1993). Rock Mechanics for Underground Mining. London:
Chapman & Hall, Second Edition.
Djuhaeni & Martodjojo S., 1989, Stratigrafi Daerah Majalengka dan hubungannya
dengan
Tatanama
Satuan
Litostratigrafi
di
Cekungan
Bogor,
Geologi
94
LAMPIRAN
PETROGRAFI
No.
DEPTH (m)
ID
Natural
Natural Saturat.
Density
Water
Content
gr/cm
gr/cm
Absorpt/
Dry
Deg. Of
Porosity
Ap.
TRUE
Void
UNCONFINED
COMPRESSIVE
STRENGTH
Spec.
Spec.
Ratio
Natural
Gravity
Gravity
gr/cm
SOUNDNESS
E (Axial)
NaSO4
kg/cm
kg/cm
LITHOLOGY
From
To
BH.1
52,00
52,30
CLAYSTONE
1,347
9,17
1,769
43,31
1,234
21,17
53,45
1,2341
2,6508
1,148
42,062
4,83E+03
BH.1
55,00
55,40
CLAYSTONE
1,409
8,24
1,821
39,83
1,302
20,68
51,86
1,3020
2,7045
1,077
39,830
5,20E+03
BH.1
58,00
58,40
CLAYSTONE
1,629
6,92
1,952
28,12
1,523
24,60
42,83
1,5233
2,6647
0,749
60,947
3,98E+03
BH.2
50,00
2,319
8,41
2,366
10,60
2,140
79,31
22,69
2,1395
2,7673
0,293
93,087
8,23E+03
BH.2
54,00
2,084
6,34
2,213
12,92
1,960
49,06
25,32
1,9602
2,6247
0,339
56,447
3,87E+03
BH.2
55,50
2,316
6,67
2,373
9,31
2,171
71,62
20,22
2,1708
2,7209
0,253
509,803
6,38E+04
BH.3
47,70
2,340
5,97
2,399
8,64
2,209
69,16
19,07
2,2086
2,7291
0,236
124,773
1,11E+04
BH.4
24,60
2,276
6,46
2,335
9,23
2,138
70,00
19,72
2,1381
2,6634
0,246
115,508
1,00E+04
0.0 - 7.0 m:
5
5
10
10
15
15
20
20
25
top soil
25
30
30
35
35
40
40
45
45
50
50
ROOF DRAINAGE TUNNEL
CLAYSTONE,
CL class, soft rock, calcite veins.
RQD: 10% up to 60%,
55
55
CLAYSTONE,
CL class, soft rock.
RQD: 50% up to 70%,
60
VOLVCANIC
BRECCIA,
CM class, medium hard.
RQD: 80% up to 90%,
DRAINAGE TUNNEL
LOCATION:
VOLVCANIC BRECCIA,
CM class, medium hard, calcite
veins.
RQD: 75% up to 90%,
DRAINAGE TUNNEL
LOCATION:
VOLVCANIC BRECCIA,
CM partly CL class, medium
hard, calcite veins.
RQD: 20% up to 80%,
FAULT ZONE at 20 to 23.5 m.
D class rock, soft, brown
stained, oxydation.
FAULT ZONE at
26.7 to 27 m
1
2
Perhitungan Biaya dengan skema perkuatan Rock Bolt, Wire Mesh, Shotcrete
Segmen 7
Uraian
Satuan Volume
Harga Satuan
Jumlah
Rock Bolt
m
32,71
Rp148.681
Rp4.863.108
Shotcrete
m3
21,62
Rp2.896.875
Rp62.627.251
SubTotal
Rp70.048.425
1
2
Uraian
Rock Bolt
Shotcrete
Segmen 6
Satuan Volume
Harga Satuan
Jumlah
m
497,17
Rp148.681
Rp73.919.237
m3
100,41
Rp2.896.875
Rp290.868.788
Sub Total
Rp368.773.456
1
2
Uraian
Rock Bolt
Shotcrete
Segmen 5
Satuan Volume
Harga Satuan
Jumlah
m
52,33
Rp148.681
Rp7.780.972
m3
28,83
Rp2.896.875
Rp83.503.001
Total
Rp96.400.107
No Uraian
1 Rock Bolt
2 Shotcrete
Segmen 4
Satuan Volume
Harga Satuan
Jumlah
m
497,17
Rp148.681
Rp73.919.237
m3
100,41
Rp2.896.875
Rp290.868.788
Sub Total
Rp368.773.456
No Uraian
1 Rock Bolt
2 Shotcrete
Segmen 3
Satuan Volume
Harga Satuan
Jumlah
m
26,17
Rp148.681
Rp3.890.486
m3
14,41
Rp2.896.875
Rp41.751.501
Sub Total
Rp48.200.054
No Uraian
1 Rock Bolt
2 Shotcrete
No Uraian
1 Rock Bolt
2 Shotcrete
Segmen 2
Satuan Volume
Harga Satuan
Jumlah
m
418,67
Rp148.681
Rp62.247.779
m3
84,55
Rp2.896.875
Rp244.942.137
Sub Total
Rp310.546.068
Segmen 1
Satuan Volume
Harga Satuan
Jumlah
m
73,27
Rp148.681
Rp10.893.361
m3
28,83
Rp2.896.875
Rp83.503.001
Sub Total
Rp102.371.639
Total
Rp1.365.113.206
1
2
4
5
Shotcrete Layer
Pertama
0,17
CRD Turun
Drilling + Rock
Bolt + Grouting
Shotcrete Layer
Kedua
0,04
24
1,00
0,17
35
1,46
233,33
9,72
Bulan
1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 0
Segmen 7
Segmen 6
1
2
Shotcrete Layer
Pertama
0,13
CRD Turun
Drilling + Rock
Bolt + Grouting
Shotcrete Layer
Kedua
0,04
22
0,92
0,13
30
1,25
3800,00
158,33
4
5
Segmen 5
1
1
1
2
1
3
1
4
1
5
1
6
1
7
1
2
4
5
Shotcrete Layer
Pertama
0,17
CRD Turun
Drilling + Rock
Bolt + Grouting
Shotcrete Layer
Kedua
0,04
24
1,00
0,17
35
1,46
466,67
19,44
Segmen 4
1
2
Shotcrete Layer
Pertama
0,13
CRD Turun
Drilling + Rock
Bolt + Grouting
Shotcrete Layer
Kedua
0,04
22
0,92
0,13
30
1,25
3800,00
158,33
4
5
Segmen 3
1
2
4
5
Shotcrete Layer
Pertama
0,17
CRD Turun
Drilling + Rock
Bolt + Grouting
Shotcrete Layer
Kedua
0,04
24
1,00
0,17
35
1,46
233,33
9,72
Segmen 2
1
2
Shotcrete Layer
Pertama
0,13
CRD Turun
Drilling + Rock
Bolt + Grouting
Shotcrete Layer
Kedua
0,04
22
0,92
0,13
30
1,25
3200,00
133,33
4
5
Segmen 1
1
2
4
5
Shotcrete Layer
Pertama
CRD Turun
Drilling + Rock
Bolt + Grouting
Shotcrete Layer
Kedua
0,17
0,04
24
1,00
0,17
35
1,46
466,67
19,44
Total Keseluruhan
12200,00
508,33
Jumlah
(Pipa)
Pemasangan
Pipa
1 +Additive(1 hari 250
dapat dipasang
1-2 pipa)
Bulan
Total
(hari)
167
1 2 3 4 5 6
Perhitungan Biaya Material Skema Rock Bolts + Shotcrete hasil perhitungan manual
Perhitungan biaya dengan skema perkuatan Rock Bolts dan Shotcrete hasil perhitungan manual
Segmen 7
No
Uraian
Satuan
Volume
Harga Satuan Jumlah
1
Rock Bolt
m3
2,14
Rp148.681
Rp317.625
2
Shotcrete
m3
11,46 Rp2.896.875
Rp33.207.100
SubTotal
Rp33.524.724
No
1
2
Uraian
Rock Bolt
Shotcrete
Segmen 6
Satuan
Volume
Harga Satuan Jumlah
m3
32,47
Rp148.681
Rp4.827.895
m3
174,24 Rp2.896.875
Rp504.747.916
Sub Total
Rp509.575.811
No
1
2
Uraian
Rock Bolt
Shotcrete
Segmen 5
Satuan
Volume
m3
m3
Sub Total
No
1
2
Uraian
Rock Bolt
Shotcrete
Segmen 4
Satuan
Volume
Harga Satuan Jumlah
m3
32,47
Rp148.681
Rp4.827.895
m3
174,24 Rp2.896.875
Rp504.747.916
Sub Total
Rp509.575.811
No
1
2
Uraian
Rock Bolt
Shotcrete
Segmen 3
Satuan
Volume
m3
m3
Sub Total
Uraian
Rock Bolt
Shotcrete
Segmen 2
Satuan
Volume
Harga Satuan Jumlah
m3
27,34
Rp148.681
Rp4.065.596
m3
146,73 Rp2.896.875
Rp425.050.876
Sub Total
Rp429.116.473
No
1
3
Segmen 1
Satuan
Volume
m3
m3
Sub Total
Total
No
1
3
Uraian
Rock Bolt
Shotcrete
No
1
2
3,42
18,34
CALCULATION SHEET
Title :
Rev :
Date :
3
30-Mar-16
Section
Lithology
0+00 - Batulempun
0+20
g
0+20 Breksi
0+180
Vulkanik
0+180 Breksi
0+190
Vulkanik
0+190 Breksi
0+380
Vulkanik
0+380 Breksi
0+400
Vulkanik
0+400 Breksi
0+590
Vulkanik
0+590 Breksi
0+625
Vulkanik
WG
Cukup
Lapuk
Agak
Lapuk
Cukup
Lapuk
Agak
Lapuk
Cukup
Lapuk
Agak
Lapuk
Cukup
Lapuk
RQD (%)
UCS
(Mpa)
56
4,669
50-90
7,332
66
7,332
50-90
7,332
50-60
7,332
75-90
12,236
20
11,327
mb
2,707
8,190
4,793
8,190
2,707
11,294
0,275
s
0,0020
0,0622
0,0117
0,0622
0,0020
0,1690
0,0002
Segmen
1
2
3
4
5
6
7
GSI
44
75
60
75
44
84
25
mi
20
20
20
20
20
20
4
D
0
0
0
0
0
0
0
H
55,72
53,38
51,31
50,99
44,03
43,61
22,01
h
31,87802
25,61348
26,79748
24,46668
25,19004
19,95761
17,29536
GSI Parameter
a
sigma cm
0,5
0,197
0,5
1,824
0,5
0,785
0,5
1,824
0,5
0,310
0,5
5,027
0,5
0,135
h=a x H
k
3,055
4,343
3,666
4,343
3,055
4,775
1,620
sigma
0,043
0,879
0,251
0,879
0,067
3,226
0,008
30,451
38,734
34,847
38,734
30,451
40,819
13,680
c
0,012
0,211
0,066
0,211
0,019
0,738
0,003
Em
1924,995
5046,612
3473,515
5046,612
2331,970
10140,706
1576,340
CALCULATION SHEET
Title :
Pv dan Ph
Segmen
1
2
3
4
5
6
7
R
3,06
3,06
3,06
3,06
3,06
3,06
3,06
y
0,0143392
0,0222185
0,0222185
0,0222185
0,0222185
0,0222185
0,0222185
K
0,5037561
0,924369
0,7462595
0,9742163
0,6344743
1,94908
0,7344097
a
0,2103
0,1565
0,26084
0,16378
0,33211
0,06734
0,58196
b
0,94561
0,99567
0,98241
0,99579
0,94515
0,99989
0,771
Pv (MPa)
0,206168714
0,155825032
0,256249691
0,163087119
0,313894301
0,067335723
0,448692423
1
0,14952 0,0135347 892,810
2
0,14993 0,0310476 2542,249
3
0,22374 0,0227943 1678,767
4
0,16098 0,0310476 2542,249
5
0,25653 0,0163962 1082,685
6
0,09929 0,0623874 5147,425
7
0,38911 0,0110833 730,456
Rs
333,617
117,163
177,426
117,163
275,109
57,8652
407,768
N (MN)
0,451
0,445
0,669
0,478
0,772
0,286
1,178
M (MN-m)
0,333617157
0,117162619
0,177425803
0,117162619
0,275109255
0,057865158
0,407767968
Rev :
Date :
Ph (MPa)
0,103859
0,14404
0,191229
0,158882
0,199158
0,131243
0,329524
I (m)
4,1761194
4,1759426
4,1757954
4,1757267
4,1759819
4,1759623
4,1760801
t (m)
0,2291
0,2273
0,2258
0,2251
0,2277
0,2275
0,2287
2
24 + 0.0454 4
Segmen
1
2
3
4
5
6
7
1 m
n
8
8
8
8
8
8
8
Ab(mm2)
162,5
150
162,5
150
162,5
150
162,5
3. SPESIFIKASI SHOTCRETE+ROCKBOLT+WIREMESH
3.1 Shotcrete
3.2 Rockbolt
3.3 Wiremesh
D
15
14
15
14
15
14
15
Selimut beton =
s(mm)
111
112
111
112
111
112
111
50 mm
1 +
=
1+
3
30-Mar-16
CALCULATION SHEET
Title :
Rev :
Date :
3
30-Mar-16
3.4 Perhitungan
( + + )
100% =
x100%
( + + )
= .
Q=
Tbf =
vsc =
Segmen
1
2
3
4
5
6
7
u
PSF
0,003268
0,000405
0,000631
0,000327
0,000183
0,000725
0,001408
0,41
0,31
0,51
0,33
0,63
0,13
0,90
0,018
0,28
0,25
40,240326
Prb
0,17
0,17
0,50
0,17
0,50
0,17
0,70
asumsi
w=
0,2
MPa
MPa
tsc
0,47
0,28
0,34
0,28
0,43
0,20
0,52
atau
Eb =
207
sc =
0,75
si =
0,75
83,04309 -23,28342045
Psc
Pwm
0,34
-0,10
0,29
-0,15
0,31
-0,29
0,29
-0,13
0,33
-0,20
0,27
-0,30
0,36
-0,16
MPa
m
MPa
SF =
d=
2
18
360
mm
MPa
==>
==>
==>
==>
==>
==>
==>
d=
0,007
L=
Wiremesh
Segmen
1
2
3
4
5
6
7
kwm
2,51
15,30
16,16
19,85
68,24
3,69
12,67
A
-0,00081605
-0,00123588
-0,00249565
-0,00111242
-0,00170709
-0,00255168
-0,00132687
d
#NUM!
#NUM!
#NUM!
#NUM!
#NUM!
#NUM!
#NUM!
w
#NUM!
#NUM!
#NUM!
#NUM!
#NUM!
#NUM!
#NUM!
Shotcrete
Segmen
1
2
3
4
5
6
7
ksc
103,24
629,30
664,89
816,70
2806,99
151,89
521,33
asumsi
db =
0,018
atau
Rockbolt
Segmen
1
2
3
4
5
6
7
krb
12,55
15,30
16,16
19,85
17,06
14,77
12,67
db
0,011
0,014
0,015
0,018
0,015
0,013
0,011
L
9,727
7,904
7,458
5,993
7,044
8,201
9,628
4. KESIMPULAN
4.1 Skema Lining Pipa Beton
Mutu Beton =
Manual
Segmen
1
2
3
4
5
6
7
t (m)
0,2291
0,2273
0,2258
0,2251
0,2277
0,2275
0,2287
n
8
8
8
8
8
8
8
D (mm)
15
14
15
14
15
14
15
K600
Pemodelan
Segmen
1
2
3
4
5
6
7
Mutu Baja =
t (m)
0,23
0,23
0,23
0,23
0,23
0,23
0,23
fy400
Ec =
fy =
21000
2
30
MPa
MPa
MPa
CALCULATION SHEET
Title :
Shotcrete
t (m)
sc (m)
0,47
0,28
0,34
0,28
0,43
0,20
0,52
0,75
0,75
0,75
0,75
0,75
0,75
0,75
Rock Bolt
si (m)
L (m)
0,75
0,75
0,75
0,75
0,75
0,75
0,75
Pemodelan
Segmen
Rock Bolts
L=5 m, d=18 mm, s=1 m, di atap dan dinding
1
L=4 m, d=18 mm, s=1.5 m, di atap dan dinding
2
L=4 m, d=18 mm, s=1.5 m, di atap
3
L=4 m, d=18 mm, s=1.5 m, di atap dan dinding
4
L=4 m, d=18 mm, s=1.5 m, di atap
5
L=4 m, d=18 mm, s=1.5 m, dinding
6
L=4 m, d=18 mm, s=1.5 m, di lantai
7
8
8
8
8
8
8
8
d (m)
0,011
0,014
0,015
0,018
0,015
0,013
0,011
Shotcrete
S1=15 cm dan S2=25 cm
S1=5 cm dan S2=10 cm
S1=10 cm dan S2=15 cm
S1=5 cm dan S2=10 cm
S1=10 cm dan S2=15 cm
S1=10 cm dan S2=15 cm
S1=10 cm dan S2=15 cm
Wiremesh
L=200 mm, d=7 mm
Rev :
Date :
3
30-Mar-16