Anda di halaman 1dari 16

KAJIAN SEMOITIKA PADA FASHION

I.

Pendahuluan
Seiring dengan perjalanan waktu, nilai-nilai dan sikap-sikap yang

mempengaruhi cara manusia berpakaian telah mengalami perubahan. Sekarang ini


kita telah terbiasa berpakaian dan menganggap pakaian sebagai bagian yang
integral dan diri dan kepribadian kita. Pakaian merupakan suatu benda yang
paling akrab dengan kita.
Pada dasarnaya pakaian yang dikenakan oleh manusia memiliki tiga fungsi
mendasar, yaitu memberikan kenyamanan, sopan-santun, dan pamer (display). Di
dalam kehidupan sehari-hari, manusia seringkali menangkap kesan pertama dari
orang-orang yang ditemuinya untuk pertama kali melalui pakaian atau lebih
dikenal dengan Fashion yang dikenakannya. Pandangan sekilas saja terhadap
penampilan seseorang akan mengkomunikasikan karakter, kedudukan, dan status
orang tersebut di masyarakat. Pakaian mempermudah orang-orang dalam
mengolah identitas diri mereka. Dengan menggenakan pakaian-pakaian tertentu,
seseorang akan dinilai sedemikan rupa, bahkan jika pada saat itu, dia sedang tidak
berusaha menyampaikan makna apapun terkait dengan apa yang dikenakan.
Fashion adalah salah satu bentuk komunikasi non-verbal. Misalnya
pakaian, sepatu dan aksesoris yang digunakan untuk menyampaikan pesan atau
untuk menjelaskan identitas diri. Fashion merupakan sebuah cara yang dapat
digunakan untuk menyembunyikan atau mengkomunikasikan status sosial
pemakainya. Dalam hal ini, fashion merupakan cara yang paling signifikan yang
bisa digunakan dalam mengkonstruksi, mengalami dan memahami relasi sosial
pada masyarakat.
Fashion menjadi bagian yang tidak dapat dilepaskan dari penampilan dan
gaya keseharian. Benda-benda seperti Baju, celana, sepatu, aksesoris-aksesoris
yang melekat pada tubuh bukanlah sekadar penutup tubuh dan hiasan, lebih dari
itu juga menjadi sebuah alat komunikasi untuk menyampaikan identitas pribadi.

Gaya dalam fashion menampilkan bermacam-macam tanda yang mejadi


budaya dan memiliki pesan tertentu. Istilah tanda ini diinterpretasikan sebagai
bahasa yang ingin dikomunikasikan pada orang lain. Karena pakaian bukan saja
menjadi sebuah benda mati, melainkan bagian dari sebuah artefak, yang
menyimpan berbagai informasi penting bagi orang lain. Pakaian merupakan
sebuah perangkat yang digunakan dalam kelompok masyarakat untuk saling
berkomunikasi, berekspresi, dan sering digunakan untuk penanda identitas
kultural. Fashion sebagai aspek komunikatif tidak hanya sebagai sebuah penanda
identitas kultural akan tetapi fashion juga dipergunakan sebagai simbol dan
cerminan budaya yang dibawa.
Pakaian sebagai cara mengekspresikan dan merefleksikan identitas kelas,
bahwa

manusia

yang

anggota

kelas

sosial

dan

mengomunikasikan

keanggotaannya melalui pakaian (Barnard, 2009:145). Secara semiologis tanda


denotatif dianggap sebuah penanda dan tanda konotatif dianggap sebagai sebuah
petanda. Pada tataran makna denotasi atau makna secara harfiah, fashion
dipahami melalui apa yang ditampilkan oleh citra yang secara faktual tampak,
bahan apa yang digunakan, waktu dan tempat pembuatannya, pemakaiannya, dan
sebagainya. Mereka dapat berbeda dari jenis kelamin, gender, usia, kelas sosial,
pekerjaan, dan ras. Perbedaan itu dapat menghasilkan dan mendorong perbedaan
konotasi bagi kata atau citra.
Manusia dapat mengetahui sesuatu hal dan berbicara tentang hal tersebut
hanya dengan bantuan tanda-tanda yaitu dengan mengganti apa yang ingin
disampaikan, dengan tanda-tanda yang sesuai. Dalam konteks ini, fashion dapat
menjadi seperangkat tanda yang dapat dibaca untuk mengetahui apa yang ingin
disampaikan oleh penggunanya, baik itu berupa identitas maupun ideologi.
Desain fashion yang dikenakan baik itu berupa jenis bahan, merek,
merupakan tanda-tanda yang tersusun dalam kode-kode sesuai dengan konteks
penggunaannya. Pemilihan desain pakaian yang dihubungkan dengan bahan dan
merek dari pakaian tersebut secara sistematik disusun untuk menyampaikan atau
mengkomunikasikan posisi sosial penggunanya. Sehingga komunikasi yang

terjadi bukan semata-mata melalui bahasa verbal namun dilakukan melalui pesanpesan dalam tanda.
II.

Pengertian Semiotika
Semiotika merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda. Konsep tanda

ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau
in absentia antara yang ditandai (signified) dan yang menandai (signifier). Tanda
adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau
petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah bunyi yang bermakna
atau coretan yang bermakna.
Semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion yang berati berarti tanda atau
sign dalam bahasa Inggris ini adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda yang
menjadi segala bentuk komunikasi yang mempunyai makna antara lain: kata
(bahasa), ekspresi wajah, isyarat tubuh, film, sign, serta karya sastra yang
mencangkup musik ataupun hasil kebudayaan dari manusia itu sendiri.
Menurut Roland Barthes (1915-1980), mengembangkan semiotika
menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi
adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada
realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah
tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di
dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.
Sedangkan menurut Charles Sanders Peirce, Teori segitiga makna atau
triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object,
dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap
oleh

panca

indera

manusia

dan

merupakan

sesuatu

yang

merujuk

(merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri
dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari
perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat).
Sedangkan acuan tanda ini disebut objek.Objek atau acuan tanda adalah konteks
sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.
Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang
menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna
yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.

III.

Pengertian Fashion
Secara etimologi kata fashion terkait kembali lewat bahasa Latin, factio,

yang artinya membuat atau melakukan, facere yang artinya membuat atau
melakukan. Karena itu, arti asli kata fashion mengacu pada kegiatan; fashion
merupakan sesuatu yang dilakukan seseorang, tak seperti dewasa ini, yang
memaknai fashion sebagai sesuatu yang dikenakan seseorang. Artian asli fashion
pun mengacu pada ide tentang fetish, facere pun menjadi akar kata fetish
(Barnard, 2011:11). Fashion dapat didefinisikan sebagai gaya atau kebiasaan yang
paling lazim dalam berpakaian.
Fashion merupakan salah satu hal penting yang tidak dapat dilepaskan dari
penampilan dan gaya keseharian. Benda-benda seperti baju dan aksesoris yang
dikenakan bukanlah sekadar penutup tubuh dan hiasan, lebih dari itu menjadi
sebuah alat komunikasi dalam menyampaikan identitas pribadi. Fashion adalah
bentuk dari komunikasi, karna fashion dapat merepresentasikan apa yang
seseorang lakukan melalui sebuah konteks layaknya kata-kata tertulis maupun
lisan. Fashion atau pakaian pada dasarnya adalah berfungsi sebagai penutup,
pelindung, kesopanan dan daya tarik namun tidak menutup kemunkinan peran
fashion adalah untuk sebagai identitas diri baik individual maupun kelompok.
IV.

Semiotika Pada Fashion


Edward T Hall pernah berkata, budaya adalah komunikasi dan

komunikasi adalah budaya. Komunikasi dan budaya adalah dua hal yang
memiliki hubungan timbal balik. Secara garis besar, komunikasi merupakan alat
yang mampu memelihara, menentukan dan mewariskan budaya. Norma, nilai dan
berbagai macam produk kebudayaan dipelihara dan kemudian diwariskan secara
horizontal dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya dan secara vertikal dari
satu generasi ke generasi. Sedangkan budaya adalah kesatuan yang menetapkan
atau memperbaharui norma-norma dalam berkomunikasi.

Sebuah kata dalam suatu bahasa adalah sebuah tanda, dan bahwa bahasa
berfungsi sebagai sistem tanda-tanda. Saussure menganalisis tanda dalam dua
bagian. Bagian suara sebagai penanda (signifier), dan bagian mental atau
konseptual sebagai yang ditandakan (signified). Tanda yang lazim menunjuk
benda-benda sendiri yang ditunjuk oleh tanda-tanda bahasa tidak mendapat
perhatian, yang ditandakan bukanlah benda melainkan pengertian tentang benda
yang terdapat dalam pikiran pembaca atau pendengar, ketika mengucapkan atau
mendengarkan penanda tertentu.
Tentu saja, komunikasi tidak hanya terbatas pada hubungan timbal
baliknya dengan budaya. Sebagai satu-satunya cara bertukar pesan dalam
kehidupan sosial, fungsi komunikasi begitu beragam dan penting. Sehingga dalam
perkembangannya, komunikasi menjadi sesuatu yang jauh lebih luas dan terus
dikembangkan.
Menurut Saussure signifier dan signified merupakan satu kesatuan yang
tak terpisahkan. Verbalitas tanda tak akan mempunyai arti apa-apa tanpa segi
mental tersebut, sedangkan segi mental mustahil bisa tertangkap oleh indera
seseorang apabila lepas dari aspek verbal bahasa. Kesatuan keduanya diibaratkan
Saussure menyerupai dua sisi sebuah mata uang. Sementara menurut Peirce,
sebuah tanda mengacu pada suatu acuan, dan refresentasi adalah fungsi utamanya.
Hal ini sesuai dengan definisi tanda itu sendiri, yaitu sebagai sesuatu yang
memiliki bentuk fisik, dan harus merujuk pada sesuatu yang lain dari tanda
tersebut. Dalam pengertian semiotik yang termasuk tanda adalah kata-kata, citra,
suara, bahasa tubuh atau gestur dan juga objek. Semiotika adalah suatu ilmu atau
metode analisis untuk mengkaji tanda.
Semiotika adalah sebuah upaya manusia dalam mempelajari tanda untuk
memaknai sesuatu yang dibawa oleh tanda-tanda tersebut. Memaknai berarti
bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek
itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem berstruktur dari
tanda (Barthes, 1988:179).

Untuk memahami komunikasi pada fashion, kita menggunakan dua


mazhab utama dalam studi komunikasi menurut John Fiske (1990). Kedua
mazhab tersebut adalah;
1. Mazhab Proses.
Dalam mazhab ini, komunikasi dilihat sebagai suatu proses dimana
seseorang menyatakan sesuatu kepada orang lain dengan menggunakan satu atau
lebih medium atau saluran dengan beberapa efeknya. Hal yang penting dalam
mazhab ini adalah maksud pengirim, efisiensi proses transmisi dan efeknya pada
penerima. Dalam hal ini, fashion adalah medium yang dipergunakan untuk saling
bertukar pesan. Dalam mazhab ini, maksud pengirim pesan sangat penting; hal
utama adalah pesan, yang diatas segalanya, mesti disusun berdasarkan prinsip
yang bisa diperoleh kembali atau ditemukan.
Efisiensi dan efektifitas proses transmisi juga penting; bila pesan tidak
sampai pada penerima atau sampai dalam bentuk yang berbeda atau terdistorsi,
maka salah satu bagian dari proses komunikasi, bisa jadi mediumnya, dianggap
mengandung kegagalan. Namun, mazhab ini memiliki masalah dikarenakan
alasan bahwa pemakai dan perancang atau penciptanya tidak mempunyai maksud
serupa dalam satu produk fashion yang sama. Selain itu, sedikit kemungkinan
bahwa penerima pesan akan menyimpulkan pesan yang sama.
2. Mazhab Semiotika
Mazhab ini proses pertukaran pesan dalam fashion dipandang sebagai
komunikasi di antara individu-individu yang pertama-tama membuatnya
menjadi anggota suatu kelompok budaya. Seperti pernyataan John Fiske,
semiotika merumuskan interaksi sosial sebagai tindakan yang mendasari
individu sebagai anggota dari masyarakat atau budaya tertentu (1990:2-3). Di
sini, ada dua hal yang jelas. Pertama, fashion bisa saja digunakan untuk
memahami dunia serta benda-benda dan manusia yang ada didalamnya, sehingga
fashion merupakan fenomena komunikatif. Kedua, ada sistem makna yang
terstruktur,

yakni

suatu

budaya

yang

memungkinkan

mengkonstruksi suatu identitas melalui sarana komunikasi.

individu

untuk

Dalam mazhab proses, makna dalam fashion telah ada sejak garmen yang
dimaksud dibuat. Makna adalah sesuatu yang dibentuk oleh perancang atau
pembuat. Sedangkan dalam mazhab semiotika, proses komunikasi yang terjadi
ketika fashion sampai kepada pembacalah yang memproduksi atau menghasilkan
makna. Maka, dalam hal ini, mazhab semiotika memusatkan perhatian pada
negosiasi makna dan bukannya penerimaan pesan (Barnard 1996:44).
Ketika berkomunikasi, manusia senantiasa menggunakan sesuatu untuk
mempresentasikan atau menjelaskan sesuatu yang lain. Tanda adalah alat yang
berfungsi sebagai perantara dalam berkomunikasi. Semiotika adalah salah satu
cara untuk mempelajari tanda, membaca tanda-tanda untuk membongkar
maknanya lebih jauh. Sangat jelas bahwa bentuk komunikasi yang terjadi melalui
fashion adalah komunikasi non verbal, karena dalam proses pertukaran makna
yang terjadi melalui fashion, makna dihasilkan melalui tanda dan simbol.
Salah satu ahli logika yang juga pendiri Semiotika dari Amerika Serikat,
Charles S. Pierce (Zeman, 1977) menjelaskan tanda sebagai berikut; Tanda adalah
sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau
kapasitas. Tanda menunjuk pada seseorang, yakni, menciptakan di benak orang
tersebut suatu tanda yang setara, atau barangkali suatu tanda yang lebih
berkembang.Tanda yang diciptakannya saya namakan interpretant dari tanda
pertama.Tanda itu menunjukkan sesuatu, yakni objeknya.
Interpretant yang dimaksud Pierce di sini adalah, sebuah konsep mental
yang dihasilkan tanda maupun pengalaman pengguna terhadap objek. Semiotika
adalah ilmu yang mempelajari tentang pertandaan. Ilmu ini mempelajari tanda dan
cara tanda-tanda tersebut bekerja. Dalam bukunya Cultural and Communication
Studies, John Fiske menjelaskan tiga bidang studi utama dalam Semiotika sebagai
ilmu. Tiga bidang tersebut adalah;
1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang
berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna,
cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam terkait dengan manusia yang

menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa


dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.
2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara
berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat
atau budaya atau untuk mengekploitasi saluran konunikasi yang tersedia
untuk mentransmisikannya.
3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya
bergantung pasa penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk
keberadaan dan bentuknya sendiri. Tanda adalah sesuatu yang bukan
dirinya sendiri, karena tanda akan selalu mengacu sesuatu di luar tanda itu
sendiri. Ia bertugas merepresentasikan dan bergantung pada pengenalan
dan pengetahuan pengguna dan pembacanya sehingga bisa disebut tanda.
Charles S. Pierce membagi tiga tipe tanda:
a. Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan sebagaimana yang
dikenali oleh pemakai tanda. Tanda yang hadir dengan mengambil bagian
dari karakter objek yang ditandai, sehingga ia memiliki keserupaan dengan
objek yang ditiru atau yang menjadi acuannya.
b. Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau eksistensial
antara representasi dan objeknya. Pada indeks, tanda dan objeknya
memiliki hubungan yang bersifat konkret, natural dan bersifat kasual. Satu
menjadi alasan kehadiran yang lainnya.
c. Simbol adalah tanda yang bersifat arbitrer dan konvesional. Di sini tanda
dan objek berhubungan berdasarkan kesepakatan dan aturan. Jadi tanda
yang digunakan untuk merepresentasikan objek adalah hasil dari
kesepakatan yang terjadi di kebudayaan yang menyepakatinya.
Relasi segitiga antara tanda, pengguna dan realitas ekstenal sebagai suatu
keharusan model untuk mengkaji makna. Peirce (Fiske, 1990:63), yang biasanya
dipandang sebagai pendiri tadisi semiotika Amerika, menjelaskan modelnya
secara sederhana:
Sebuah tanda (representamen) adalah sesuatu yang bagi seseorang
mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda
menunjuk pada seseorang, yakni, menciptakan di benak orang tersebut
suatu tanda yang setara, atau barangkali suatu tanda yang lebih

berkembang. Tanda yang diciptakannya saya namakan interpretant dari


tanda pertama. Tanda itu menunjukkan sesuatu, yakni objeknya.
Dalam relasi triadik ini, terdapat tiga konsep penting dalam pemikiran
Peirce, yakni ikon, indeks, dan simbol. Ikon menunjukkan kemiripan dengan
objeknya, misalnya sebuah peta adalah ikon; tanda visual umum yang ditempel di
pintu kamar kecil pria dan wanita adalah ikon. Indeks merupakan tanda yang
hubungan eksistensialnya langsung dengan objeknya, misalnya asap adalah indeks
dari api. Sedangkan simbol adalah tanda yang memiliki hubungan dengan
objeknya berdasarkan konvensi, kesepakatan, atau aturan, misalnya anggukan
kepala berarti setuju (Fiske, 1990: 70-71).
Selain Peirce yang juga merupakan pendiri semiotika adalah Ferdinand de
Saussure. Sebagai seorang ahli linguistik, Saussure, amat tetarik pada bahasa.
Berbeda dengan Peirce yang lebih memfokuskan pada kaitan antara tanda-tanda
dengan objek-nya, Saussure lebih menekankan perhatian pada tanda itu sendiri.
Saussure memperkenalkan istilah penanda dan petanda. Penanda adalah
citra tanda seperti yang kita persepsi tulisan di atas kertas atau suara di udara,
petanda adalah konsep mental yang diacukan petanda. Konsep mental ini secara
luas sama pada semua anggota kebudayaan yang sama yang menggunakan bahasa
yang sama (Fiske, 1990: 65).
Dalam fashion, proses komunikasi yang terjadi adalah melalui objek dan
citra. Dengan semiotika, tanda yang diterapkan objek dan citra pada pakaian dan
fashion didefinisikan. Maka dari itu, setelah pakaian adalah penanda, karena ia
merepresentasikan sesuatu yang lain, yaitu identitas orang yang mengenakannya.
Sebagai sesuatu yang terindrai melalui indra penglihatan, penafsiran makna
fashion adalah menggunakan semiotika visual. Dalam buku Semiotika Visual,
Kris Budiman menjelaskan bahwa bidang semiotika visual adalah studi semiotika
yang secara khusus melakukan penyelidikan terhadap jenis makna yang
disampaikan melalui indra penglihatan (visual senses).
Dalam bukunya Fashion as Communication, Malcolm Barnard membagi
dua bentuk pemaknaan dalam fashion, yaitu:

1. Pemaknaan Eksternal. Menurut Barnard, selain Perancang, Pemakai atau


Penonton dan Otoritas yang dijelaskannya, kritikus fashion, jurnalis dan
orang tua adalah bagian-bagian lain yang berperan dalam melakukan
proses pemaknaan secara eksternal dalam fashion.
Perancang. Di sini, jelas yang dimaksudkan adalah ide bahwa makna
adalah produk dari maksud sang perancang. Misalnya, pikiran, perasaan,
keyakinan dan hasrat Perancang atas dunia dan hal tersebut tentu
diekspresikan dan direfleksikan dalam pakaian yang diciptakannya.
Lebih lanjut Barnard menjelaskan bahwa ide ini merupakan ide yang
dipaksakan mengingat bahwa jika makna adalah produk dari pikiran
perancang, maka tidak akan ruang bagi penafsiran alternatif terhadap
produk fashion yang diciptakan. Sedangkan makna bukan semata-mata
produk perancang, dan sulit untuk dinyatakan apa yang dimaksud oleh

perancang.
Pemakai atau Penonton. Makna adalah apa yang berusaha dikatakan dari
pakaian yang dikenakan oleh sang pemakai, dan kemudian dimaknai
ulang oleh penonton. Menurut Barnard, pemaknaan oleh pemakai dan

penonton sering kali berbeda.


Otoritas. Pemaknaan ini lekat dengan seragam, yang tentu saja adalah
milik otoritas-ototritas, sepeti sekolah, militer dan pemerintah. Di sini,
makna yang lahir dalam fashion adalah makna-makna yang telah diatur
dan diputuskan oleh lembaga-lembaga tersebut. Barnard menjelaskan
bahwa makna tidak dapat didefiniskan atau dibangkitkan oleh otoritas
jika orang di luar lembaga tersebut mengkomunikasikan makna yang

berbeda dari maksud yang berusaha dicapai lembaga-lembaga tersebut.


2. Pemaknaan Internal. Barnard menjelaskan bahwa makna dalam fashion di
pemaknaan internal ini berada dalam bentuk, garis dan tekstur. Pemaknaan
ini mengandaikan bahwa ada sifat-sifat yang terkandung dalam garmen
dan fashion, dan orang hanya melihat untuk bisa memahami maknanya.
Lebih lanjut, Barnard menjelaskan bahwa pemaknaa internal ini akan
menemui masalah ketika ia dimaknai oleh orang yang tidak akrab dengan
budaya garmen yang tidak akrab dengannya. Makna bisa berada dalam
suatu budaya namun tidak dalam budaya lain.

Dalam fashion, denotasi sebagai signifikansi tahap pertama yang


dirumuskan Roland Barthes adalah tatanan penandaan yang paling awal terhadap
fashion yang dikenakan. Misalnya warna dan motif kain serta model pakaian
tersebut; ia bersifat faktual. Denotasi menunjukkan bahan pembuat, tempat dan
waktu pembuatan dan sebagainya (Barnard, 1996: 119). Sedangkan makna
konotasi adalah seperti yang dimaksud Malcolm Barnard (1996: 121) dalam
Fashion as Communication:
Konotasi dapat dijelaskan sebagai suatu kata atau citra yang membuat orang
berpikir atau merasa, atau sebagai asosiasi bahwa sebuah kata atau citra
untuk seseorang. Secara teknis, atau secara semiologis, tanda denotatif
(kesatuan penanda dan petanda), dianggap sebagai sebuah penanda. Petanda
dari penanda ini akan bervariasi bagi setiap orang, seperti halnya kata atau
citra akan memiliki perbedaan asosiasi, atau konotasi, bagi orang yang
berbeda sebab orang tersebut memang beda.
Denotasi dan konotasi adalah dua tingkatan makna, keduanya merupakan
konsep analitis. Konotasi dan denotasi digunakan untuk menganalisis dan
menjelaskan pengalaman, bukan untuk menemukan pengalaman. Kedua paham
ini dipahami secara bersamaan, tidak diterima secara bergantian atau bertahap
(Barthes 1996: 123-124).
V.

Icon Pada Fashion


Ikon adalah tanda yang dicirikan oleh persamaan (resembles) dengan

objek yang digambarkan. Tanda visual seperti fotografi atau film adalah ikon,
karena tanda yang ditampilkan mengacu pada persamaanya dengan objek. Sebuah
foto mobil adalah ikon dari objek yang bernama mobil, karena foto tersebut
berusaha menyamakan dengan objek yang diacunya. Gambar laki-laki dan
perempuan yang banyak dijumpai di toilet adalah juga merupakan contoh sebuah
ikon karena menirukan bentuk tubuh orang laki-laki mauupun perempuan.
Karena bentuknya sama/mirip dengan objek, ikon dapat diamati dengan cara
melihat. Icon yang tergambar dalam fashion memiliki makna tersendiri terhadap
gaya hidup dan gaya berpakaian yang digunakan. Icon yang terdapat pada fashion

dapat terlihat dari pengamatan langsung kepada objek yang ada. Pemaknaan icon
yang digunakan dalam fashion itu sendiri memiliki pesan-pesan tertentu dari
setiap icon, ataupun logo yang kenakan.
Penggunaan icon dalam fashian dapat dilihat pada komunitas Punk
memiliki pesan-pesan tertentu dari setiap icon, ataupun logo yang mereka
kenakan. Seperti komunitas Punk jalanan umumnya menggunakan jaket kumal,
rambut berwarna dan atribut-atribut tertentu yang memperlihatkan bahwa mereka
adalah komunitas yang anti terhadap kemapanan yang merupakan ideologi mereka
(Yusra Aini, 2016).
VI.

Simbol Pada Fashion


Simbol merupakan sebuah tanda yang ditentukan lewat konvensi,

persetujuan, atau aturan tertentu. Makna dari suatu simbol di sini ditentukan oleh
suatu persetujuan bersama, atau diterima oleh umum sebagai suatu kebenaran.
Simbol memiliki makna yang umum atau makna yang dipahami bersama oleh
suatu budaya. Meskipun sebagian besar simbol tersebut dikomuniaksikan secara
verbal tetapi beberapa di antaranya disalurkan melalui penglihatan, seperti gestur,
gerak (motion), dan objek. Pakaian dan hiasan tubuh lainnya merupakan objek
yang dipergunakan secara simbolik oleh manuisa dalam berinteraksi dengan
manusia lainnya. Penampilan seseorang menyampaikan makna simbolik kepada
orang lain yang melihatnya. Pesan yang diterima oleh orang lain tersebut tidak
selalu berupa pesan termaksud. Tingkat konsistensi antara dua pesan merupakan
ukuran dari efektifitas suatu interaksi. Di dalam suatu unit budaya yang homogen
hanya akan terjadi sedikit perbedaan saja. Meskipun demikian banyak komunikasi
silang budaya yang tidak efektif dapat terjadi karena pesan-pesan simboliknya
ditafsirkan secara tidak tepat.
Fashion khususnya pada pakaian memiliki beragam simbol dengan ciri
khas budaya atau agama yang memiliki ketentuan-ketentuan tersendiri, Contoh
umum yang dapat dilihat di kehidupan sehari-hari adalah bawah seseorang yang
memakai hijab mengenakan pakaian yang menutup aurat si pemakainya dan hal
ini telah di sepakati secara umum sebagai suatu kebenaran kebenarannya, Untuk

memahami makna dari simbol-simbol yang disampaikan oleh pakaian agar


seseorang mampu menunjukkan dirinya sedemikian rupa sehingga impresi (kesan)
yang diinginkan dapat diperoleh. Dalam situasi seperti itu seringkali kesan
pertama merupakan satu-satunya hal yang terbentuk. Untuk keperluan praktis
lainnya pakaian menjadi bagian yang intim dan tak terpisahkan dari ruang
pandang (perceptual field) tempat orang tersebut berada. Pakaian yang dikenakan oleh seseorang bisa menyampaikan isyarat tentang diri, peran, dan status si
pemakai, serta membantu memberikan pernyataan tentang keadaan seperti apa
orang tersebut dipandang.
VII. Fashion Sebagai Komunikasi
Fashion, pakaian, dan busana/ baju telah menjadi fenomena kultural ketika
ketiganya menunjukkan praktik-praktik penandaan. Melalui ketiganya, berproses
dengan caranya sendiri dialami dan dikomunikasikan tatanan sosial. Roach dan
Eicher menunjukkan, misalnya, bahwa fashion dan pakaian secara simbolis
mengikat satu komunitas (Roach & Eicher,1979:18). Hal ini menunjukkan bahwa
kesepakatan sosial atas apa yang akan dikenakan merupakan ikatan sosial itu
sendiri, yang pada gilirannya akan memperkuat ikatan sosial lainnya. Fungsi
mempersatukan dari fashion dan pakaian berlangsung untuk mengkomunikasikan
keanggotaan satu kelompok kultural baik kepada orang-orang yang menjadi
anggota kelompok tersebut maupun bukan. Perlindungan, kamuflase, kesopanan,
dan ketidaksopanan, semuanya mengkomunikasikan suatu posisi dalam dalam
suatu tatanan sosial dan kultural, baik pada anggota tatanan itu maupun yang
berada di luar tatanan itu.
Komunikasi

artifaktual

didefinisikan

sebagai

komunikasi

yang

berlangsung melalui pakaian, dan penataan pelbagai artefak, misalnya, pakaian,


dandanan, barang perhiasan, kancing baju, atau furnitur di rumah dan
penataannya,

ataupun

dekorasi

ruangan.

Karena

fashion

atau

pakaian

menyampaikan pesan-pesan nonverbal, ia termasuk komunikasi nonverbal.


Pakaian yang kita pakai bisa menampilkan pelbagai fungsi. Sebagai
bentuk komunikasi, pakaian bisa menyampaikan pesan artifaktual yang bersifat
nonverbal. Pakaian bisa melindungi kita dari cuaca buruk atau dalam olahraga

tertentu dari kemungkinan cedera. Pakaian juga mambantu kita mnyembunyikan


bagain-bagian tertentu dari tubuh kita dan karenanya pakaian memiliki suatu
fungsi kesopanan (modesty function).
Sebagai

bentuk

komunikasi

yang

berinteraksi

sosial

di

dalam

lingkungannya, dalam proses ini selalu terjadi produksi dan pertukaran makna
dimana pesan yang tersembunyi dibalik tanda-tanda tersebut diproduksi dan
dimaknai oleh penerimanya. Sebaliknya penerima pesan mempunyai kebebasan
penuh untuk menginterpertasikan pesan yang diterimanya dari pengirim pesan,
dalam hal ini adalah orang yang mengenakan faysen tertentu. Masalah yang
kemudian muncul adalah pada ranah pemaknaan yang akan sangat tergantung
pada pengalaman budaya dan pengetahuan si penerima pesan, dimana sangat
mungkin sekali berbeda dengan pengalaman budaya dan pengetahuan dari si
pengirim pesan. Ketidaksaman pengalaman budaya dan pengetahuan ini yang
sering kali menyebabkan perbedaaan antara makna yang dikirimkan dengan
makna yang diterima. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa makna menjadi
sebuah pengertian yang cair, tergantung pada lingkup budaya dimana pesan
tersebut disampaikan.
Lingkup budaya, atau dapat juga disebut sebagai konteks, harus selalu
dihubungkan dengan semua tanda yang digunakan atau yang dapat dibaca sebagai
teks. Teks dan konteks menjadi dua sisi yang tak boleh terpisahkan karena
keduanya menghasilkan makna. Dalam pengertian semiotik yang secara sejarah
banyak dipengaruhi oleh ilmu linguistik, teks dapat dibaca seperti membaca
bahasa. Selain membawa pesan, bahasa juga membawa ideologi, sehingga apa
yang nampak dari struktur bahasa diandaikan sebagai struktur dari masyarakat
yang mewadahi sebuah idelogi tertentu. Hal ini sesuai dengan pandangan teori
kritis, dimana ideologi melekat dalam seluruh proses sosial dan kultural, dan
bahasa menjadi ciri terpenting bagi bekerjanya sebuah ideologi. Kini, dengan
perkembangan teknologi informasi yang pesat, proses produksi dan pertukaran
teks, hingga interpertasi makna terjadi sangat cepat sehingga dipercaya bahwa
sekarang ini tidak lagi terdapat ideologi tunggal yang bermain dalam masyarakat

VIII. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas maka kesimpulan yang dapat kami buat adalah
sebagai berikut:
1. Semiotika merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda. Semiotika
berasal dari bahasa Yunani semeion yang berati berarti tanda atau sign
dalam bahasa Inggris ini adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda yang
menjadi segala bentuk komunikasi yang mempunyai makna antara lain:
kata (bahasa), ekspresi wajah, isyarat tubuh, film, sign, serta karya sastra
yang mencangkup musik ataupun hasil kebudayaan dari manusia itu
sendiri.
2. Secara etimologi kata fashion terkait kembali lewat bahasa Latin, factio,
yang artinya membuat atau melakukan, facere yang artinya membuat atau
melakukan. Karena itu, arti asli kata fashion mengacu pada kegiatan;
fashion merupakan sesuatu yang dilakukan seseorang, tak seperti dewasa
ini, yang memaknai fashion sebagai sesuatu yang dikenakan seseorang.
3. Fashion adalah salah satu bentuk komunikasi non-verbal. Misalnya
pakaian, sepatu dan aksesoris yang digunakan untuk menyampaikan pesan
atau untuk menjelaskan identitas diri. Fashion merupakan sebuah cara
yang dapat digunakan untuk menyembunyikan atau mengkomunikasikan
status sosial pemakainya. Dalam hal ini, fashion merupakan cara yang
paling signifikan yang bisa digunakan dalam mengkonstruksi, mengalami
dan memahami relasi sosial pada masyarakat.
4. Ikon adalah tanda yang dicirikan oleh persamaan (resembles) dengan
objek yang digambarkan. Kemudian, simbol merupakan sebuah tanda
yang ditentukan lewat konvensi, persetujuan, atau aturan tertentu. Dan
indeks adalah Indeks adalah hubungan langsung antara sebuah tanda dan
objek yang kedua-duanya dihubungkan. atau Indeks merupakan tanda
yang memiliki keterikatan eksistensi terhadap petandanya atau objeknya
atau sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang
mengisyaratkan penandanya.
5. Fashion, pakaian, dan busana/ baju telah menjadi fenomena kultural ketika
ketiganya menunjukkan praktik-praktik penandaan. Melalui ketiganya,
berproses dengan caranya sendiri dialami dan dikomunikasikan tatanan
sosial. Sebagai bentuk komunikasi yang berinteraksi sosial di dalam
lingkungannya, dalam proses ini selalu terjadi produksi dan pertukaran

makna dimana pesan yang tersembunyi dibalik tanda-tanda tersebut


diproduksi dan dimaknai oleh penerimanya.

Anda mungkin juga menyukai