Anda di halaman 1dari 15

A.

Pengertian Paradigma Pembangunan


Istilah Paradigma pada awalnya berkembang dalam ilmu pengetahuan terutama dalam
kaitannya dalam filsafat ilmu pengetahuan. Secara harfiah (etimologis) istilah mengandung arti
model, pola atau contoh. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, paradigma diartikan sebagai
seperangkat unsur bahasa yang sebagian bersifat tetap dan yang sebagian berubah-ubah.
Paradigma juga diartikan sebagai suatu gugusan sistem pemikiran.
Arti paradigma ditinjau dari asal usul beberapa bahasa diantaranya :
-

Menurut bahasa Inggris : paradigma berarti keadaan lingkungan


Menurut bahasa Yunani : paradigma yakni para yang berarti disamping, di sebelah

dandikenal sedangkan diegma suatu model, teladan, arketif dan diam


Menurut kamus psikologi : paradigma diartikan sebagai berikut :
1 Satu model atau pola untuk mendemonstrasikan semua fungsi yang memungkinkan dari
apayang tersajikan
2 Rencana riset berdasarkan konsep-konsep khusus, dan
3 Satu bentuk eksperimental
Menurut Thomas S. Khun, paradigma adalah asumsi-asumsi teoritis yang umum

(merupakan suatu sumber nilai), yang merupakan sumber hukum, metode, serta cara penerapan
dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri, dan karakter ilmu pengetahuan
tersebut.
Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Menurut
Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut menyatakan bahwa ilmu
pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma.
Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi
pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Istilah paradigma makin lama makin
berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang
politik, hukum, sosial dan ekonomi.
Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka
bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan. Sesuatu dijadikan
paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan
tujuan dari sebuah kegiatan. Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting
dalam melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia.
Istilah pembangunan menunjukan adanya pertumbuhan, perluasan ekspansi yang bertalian
dengan keadaan yang harus digali dan dibangun agar dicapai kemajuan dimasa yang akan

datang. Didalam proses pembangunan terdapat perubahan yang terus menerus diarahkan untuk
menuju kemajuan dan perbaikan ke arah tujuan yang diciptakan. Dengan kata lain, pembangunan
merupakan suatu proses perubahan yang direncanakan dan mencakup semua aspek kehidupan
untuk mewujudkan tujuan hidup.
Dari

uraian

di

atas

dapat

disimpulkan

bahwa

secara

umum paradigma

pembangunan adalah suatu model, pola yang merupakan sistem berfikir sebagai upaya untuk
melaksanakan perubahan yang direncanakan guna mewujudkan cita-cita kehidupan masyarakat
menuju hari esok yang lebih baik.
B. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan
Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka
bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan. Sesuatu dijadikan
paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan
tujuan dari sebuah kegiatan.
Kita tentunya tahu rumusan Pembukaan Undang Undang dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 alenia IV. Dalam rumusan tersebut dinyatakan bahwa tujuan negara Republik
Indonesia adalah melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia;
memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dengan
demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam melaksanakan segala hal dalam
kehidupan manusia. Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar pancasila secara
normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional

yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan
bangsa Indonesia atas Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional.
Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia
menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang monopluralis tersebut
mempunyai ciri-ciri, antara lain:

susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga

sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial

kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan.

Berdasarkan hal itu, Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia
dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan, berlandaskan kemampuan
nasional dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan
tantangan perkembangan global. Dalam pelaksanaanya, pembangunan nasional mengacu pada
kepribadian bangsa dan nilai nilai luhur yang universal untuk mewujudkan kehidupan bangsa
yang berdaulat, mandiri, berkeadilan, sejahtera, maju serta kokoh kekuatan moral dan etikanya.
Oleh sebab itu, untuk mencapai semua itu bangsa dan negara Indonesia harus menjadikan
pancasila sebagai paradigma pembangunan.
1.

Pancasila Sebagai Paradigma di Bidang Politik


Warga Indonesia sebagai warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik

bukan sekadar sebagai objek politik. Karena pancasila bertolak dari kodrat manusia maka
pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem politik
Indonesia

yang

bertolak

dari

manusia

sebagai

subyekharus

mampu

menempatkan

kekuasaantertinggi pada rakyat. Kekuasaan yang dimaksud adalah kekuasaan dari rakyat oleh
rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuaipancasila sebagai paradigma adalah
sistem politik demokrasi bukan otoriter.
Berdasarkan hal terebut, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan
yaitu terletak pada sila ke IV Pancasila. Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik
didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena itu,
secaraberturut-turut sistem politik Indonesia dikembangkan atas moral ketuhanan, moral
kemanusiaan,moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral keadilan. Perilaku politik baik dari
warga negara maupun penyelenggara negara dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga
menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral.
Perilaku politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negara dikembangkan atas
dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral.
Pancasila sebagai paradigma pengembangan sosial politik diartikan bahwa Pancasila bersifat
sosial-politik bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin diwujudkan dengan menggunakan nilainilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk implementasinya dapat dilihat secara berurutanterbalik:

Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya, agama,
dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari

Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan keputusan

Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep


mempertahankan persatuan

Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan
beradab

Tidak dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan kemanusiaan
(keadilan-keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.

Di era globalisasi informasi seperti sekarang ini, implementasi tersebut perlu direkonstruksi
kedalam pewujudan masyarakat-warga (civil society) yang mencakup masyarakat tradisional

(berbagai asal etnik, agama, dan golongan), masyarakat industrial, dan masyarakat purna
industrial. Dengan demikian, nilai-nilai sosial politik yang dijadikan moral baru masyarakat
informasi adalah:

nilai toleransi

nilai transparansi hukum dan kelembagaan

nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata)

bermoral berdasarkan konsensus

Selain itu, perwujudan pancasila dalam pengembangan kehidupan politik dapat dilakukan
dengan cara:
1) Mewujudkan tujuan negara demi peningkatan harkat dan martabat manusia indonesia.
2) Memposisikan rakyat Indonesia sebagai subjek dalam kehidupan politik, bukan hanya
sebagai objek politik penguasa semata
3) Sistem politik negara harus mendasarkan pada tuntutan hak dasar kemanusiaan, sehingga
sistem politik negara harus mampu menciptakan sistem yang menjamin perwujudan hak
asai manusia.
4) Para penyelenggara negara dan para politisi senantiasa memegang budi pekerti
ke,manusiaan serta memegang teguh cita-cita moral rakyat Indonesia
2.

Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan di Bidang Hukum


Indonesia adalah Negara hukum ini berarti hukum merupakan sarana utama untuk mengatur

kehidupannya. Hukum dalam hal ini harus diartikan dalam pengertian yang luas. Dalam konteks
Indonesia sebagai Negara hukum, hukum harus dijadikan sebagai saringan yang harus dilalui

oleh konsep apapun yang akan diterapkan pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan.
Akan tetapi diakui bahwa tidak semua hal dapat dicapai melalui saluran hukum formal, sekalipun
hukum formal adalah yang idealnya. Dalam hal ini terjadi proses interaksi saling tarik menarik
dan pengaruh mempengaruhi yang intensif antara hukum dan berbagai proses yang berlangsung
dalam masyarakat.
Dalam Politik Hukum nasional ditegaskan bahwa sasaran pembangunan hukum adalah
terbentuk dan berfungsinya system hukum nasional yang mantap bersumberkan Pancasila dan
UUD 1945, dengan memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku, yang mampu
menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan
dan kebenaran serta mampu mengamankan dan mendukung pembangunan nasional, yang
didukung oleh aparat hukum, sarana dan prasarana yang memadai serta masyarakat yang sadar
dan taat hukum.Dengan demikian terlihat bahwa pembangunan hukum mrupakan bagian integral
dari pembangunan nasional secara keseluruhan.
Bagi Indonesia dalam melakukan pembangunan diperlukan suatu perencanaanpembangunan,
dan prencanaan pembangunan itu perlu memanfaatkan hukum karena :
a. Hukum merupakan hasil penjelajahan ide dan pengalaman manusia dalam mengatur
hidupnya.
b. Hakekat pengadaan dan keberadaan hukum hukum dalam masyarakat;
c. Fungsi mengatur yang telah didukung oleh potensi dasar yang terkandung dalam
hukum yang melampaui fungsi mengatur, yaitu sebagai pembri kepastian, pengaman,
pelindung, dan penyeimbang yang sifatnya dapat tidak sekedar adaptif dan fleksibel,
melainkan juga prediktif dan antisipatif;
d. Dalam isu pembangunan global itu hukum telah dipercaya unuk mengemban misinya
yang paling baru yaitu sebagai sarana perubahan social atau sarana pembangunan.
3.

Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya


Pembangunan bidang sosial budaya harus dilaksanakan atas dasar kepentingan nasional

yaitu

terwujudnya

kehidupan

masyarakat

yang

demokratis,

aman,

tentram,

dan

damai.Pertimbangan ini menjadi sangat strategis manakala kita dihadapkan pada kenyataan

bahwa masyarakat Indonesia memiliki kepentingan yang beragam sesuai dengan kemajemukan
etnis, agama, ras, dan sistem nilai yang tercakup dalam kebudayaannya.
Pemikiran tersebut bukan berarti bahwa bangsa Indonesia harus steril dari pengaruh budaya
asing.Artinya, pengaruh budaya asing harus diterima apabila diperlukan dalam membangun
masyarakat Indonesia yang modern.Namun, perlu diingat bahwa masyarakat modern bukan
berarti masyarakat yang berbudaya barat, melainkan masyarakat yang tetap berpijak pada akar
budayanya.Nilai-nilai kehidupan yang telah lama hidup dalam masyarakat Indonesia dan
dianggap masih relevan dengan kebutuhan masyarakat modern harus tetap dipelihara dan
dikembangkan sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakatnya. Dengan kata lain,
nilai-nilai kehidupan yang telah mengakar harus menjadi dasar dan paradigma pembangunan
sosial budaya.
Bardasarkan pemikiran diatas maka tidak berlebihan apabila Pancasila merupakan satusatunya paradigma pembangunan bidang social budaya.Hal ini merupakan konsekuensi logis dari
kesepakatan bangsa Indonesia bahwa Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai kehidupan
masyarakat Indonesia.Baik buruknya perencanaan, proses dan hasil pembangunan bidang sosial
budaya harus diukur dengan Pancasila. Meskipun demikian, kita harus menyadari bahwa
penggunaan Pancasila sebagai paradigma pembangunan bidang sosial budaya bukan satusatunya jaminan akan tercapai keberhasilan secara optimal. Banyak factor yang dapat
mempengaruhi keberhasilan, seperti keyakinan bangsa Indonesia terhadap nilai-nilai Pancasila,
konsekuen tidaknya bangsa Indonesia melaksanakan pancasila, pengaruh nilai-nilai asing yang
terus masuk seiring dengan proses globalisasi.
Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan dan kehidupan social
berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka dihargai dan diterima sebagai warga
bangsa.

Dengan

demikian,

pembangunan

social

budaya

tidak

menciptakan

kesenjangan,kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan social. Paradigma barudalam


pembangunan nasional berupa paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dalam perencanaan
dan pelaksanaannya perlu diselenggarakan dengan menghormati hak budaya.
Hak budaya komuniti dapat sebagai perantara/penghubung/penengahnya komuniti-komuniti
yang terlibat, di samping hak negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak asasi individu
secara berimbang (Sila antara hak negara dan hak asasi individu.Paradigma ini dapat mengatasi
sistem perencanaan yang sentralistik dan yang mengabaikan kemajemukan masyarakat dan

keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Dengan demikian, era otonomi daerah tidak akan
mengarah pada otonomi suku bangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan lokal/daerah
dengan pembangunan regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga ia akan
menjamin keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam rangka memperkuat persatuan dan
kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI (Sila
Ketiga).
Apabila dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai
puncak-puncak kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi kebudayaan - kebudayaan di
daerah:
a.

Sila Pertama, menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun golongan sosial dan komuniti
setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha

b.

Esa;
Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara
Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun

c.

golongannya;
Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat
majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa yang

d.

berdaulat;
Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat
majemuk Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat
relevan untuk mengendalikan nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan

e.

perorangan;
Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang membangkitkan
semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
4. Pancasila sebagai paradigma pembangunan Hankam
Salah satu tujuan dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia adalah melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Untuk itu, pemerintah berkewajiban
membangun system pertahanan dan keamanan yang mampu mewujudkan tujuan atau cita-cita
tersebut.Namun, para pendiri negara menyadari bahwa tugas tersebut bukan pekerjaan yang

ringan.Oleh karena itu, tugas ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau
sekelompok orang saja, melainkn menjadi tanggung jawab seluruh rakyat Indonesia.
Atas pemikiran tersebut, pemerintah menyusun dan memperkenalkan sistem pertahanan
dan keamanan rakyat semesta (hankamrata).System ini pada dasarnya sesuai dengan nilai nilai
Pancasila, dimana pemerintah dan rakyat (baik perseorangan maupun kelompok) memiliki hak
dn kewajiban yang sama dalam usaha bela negara. Pancasila juga menganjurkan agar bangsa
Indonesia dapat hidu berdampingan secara damai : saling membantu, menolong, menjaga
perasaan orang atau kelompok lain, mengembangkan sikap saling menghargai dan menghormati
sehingga terbentuk kebersamaan dalam kesatuan dan persatuan.Pengembangan Hankam negara
tetap bertumpu dan berpegang pada pendekatan historis Sishankamrata.Sishankamrata yang kita
anut selama ini adalah sistem pertahanan dan keamanan negara yuang hakikatnya adalah
perlawanan rakyat semesta.Dalam arti bahwa kemampuan penangkalan yang diwujudkan oleh
sistem ini, sepenuhnya disandarkan kepada partisipasi, semangat dan tekat rakyat yang
diwujudkan dengan kemampuan bela negara yang dapat diandalkan.Kesemestaan harus dibina
sehingga seluruh kemampuan nasional dimungkinkan untuk dilibatkan guna menanggulangi
setiap bentuk ancaman, baik yang datang dari dalam maupun luar negeri. .
Seluruh wilayah merupakan tumpuan perlawanan dan segenap lingkungan harus dapat
didayagunakan untuk mendukung setiap bentuk dan kesemestaan, memang menuntut pemanduan
upaya lintas sektoral serta pemahaman dari semua pihak, baik yang berada di suprastruktur
politik maupun di infrastruktur politik.Corak perlawanan rakyat semesta tersebut dengan
sendirinya merupakan kebutuhan, baik konteks kesiapan menghadapi kontinjensi sosial yang
setiap saat bisa terjadi, maupun menghadapi kontijensi bidang hankam. Disamping itu TNI juga
mendapat embanan tugas bantuan yang meliputi : Pertama, membantu penyelenggaraan kegiatan
kemanusiaan. Kedua, memberikan bantuan kepada kepolisian atas permintaan. Ketiga,
membantu tugas pemeliharaan perdamaian dunia.
Meskipun MPR telah dapat menetapkan peran TNI, maka masih diperlukan payung hukum
yang menjadi dasar dari perubahan fungsi dan organisasi.Sebagaimana diketahui Tap MPR
merupakan

aturan

dasar

yang

melalui

undang-undang

dapat

berwujud Verbindliche

Rechtsnormen yang disertai paksaan dan hukuman.Tingkat pertama undang-undang merupakan

tempat selain untuk merinci aturan dasar yang terdapat dapam Tap MPR, juga untuk menjadikan
aturan dasar itu mempunyai kekuatan memaksa hukum bagi pelanggar-pelanggarnya
5.

Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Kehidupan Beragama


Tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa Indonesia mengalami adanya suatu kemunduran, yaitu

kehidupan beragama yang tidak berkemanusiaan. hal ini dapat kita lihat adanya suatu kenyataan
banyak terjadinya konflik sosial pada masalah-masalah SARA, terutama pada masalah agama,
sebagai contoh tragedi di Ambon, Poso, Medan, Mataram, Kupang, dan masih banyak lagi
daerah yang lain yang terlihat semakin melemahnya toleransi dalam kehidupan beragama
sehingga menyimpang dari asas kemanusiaan yang adil dan beradab.Pancasila telah memberikan
dasar-dasar nilai yang fundamental bagi umat bangsa untuk dapat hidup secara damai dalam
kehidupan beragama di negara Indonesia tercinta ini.
Sebagai makhluk Tuhan YME manusia wajib untuk beribadah kepada Tuhan YME
dimanapun mereka hidup. Akan tetapi Tuhan menghendaki kehidupan manusia yang penuh
kedamaian dengan hidup berdampingan, saling menghormati, meskipun Tuhan menciptakan
adanya perbedaan, berbangsa-bangsa, bergolong-golong, berkelompok, baik sosial, politik,
budaya maupun etnis tidak lain untuk kehidupan yang damai berdasar pada kemanusiaan.Dalam
Pokok Pikiran IV, negara menegaskan bahwa, Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, hal ini berarti bahwa kehidupan dalam negara
berdasar pada nilai-nilai ketuhanan, dengan memberikan kebebasan atas kehidupan beragama
atau dengan menjamin atas demokrasi dibidang agama. Setiap agama memiliki dasar-dasar
ajaran yang sesuai dengan keyakinan masing-masing dengan mendasarkan pergaulan kehidupan
dalam beragama atas nilai-nilai kemanusiaan yang beradab dan berdasar bahwa pemeluk agama
adalah bagian dari umat manusia di dunia.
Maka sudah seharusnya negara Indonesia mengembangkan kehidupan beragama ke arah
terciptanya kehidupan bersama yang penuh toleransi, saling menghargai berdasar pada nilai
kemanusiaan yang beradab.
Paradigma toleransi antar umat beragama guna terciptanya kerukunan umat beragama
perspektif Piagam Madinah pada intinya adalah seperti berikut:

1) Semua umat Islam, meskipun terdiri dari banyak suku merupakan satu komunitas
(ummatan wahidah).
2) Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara komunitas Islam dan
komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsip:

Bertentangga yang baik

Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama

Membela mereka yang teraniaya

Saling menasehati

Menghormati kebebasan beragama.

Lima prinsip tersebut mengisyaratkan:


1) Persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara tanpa diskriminasi yang
didasarkan atas suku dan agama;
2) Pemupukan semangat persahabatan dan saling berkonsultasi dalam menyelesaikan
masalah bersama serta saling membantu dalam menghadapi musuh bersama. Dalam
Analisis dan Interpretasi Sosiologis dari Agama (Ronald Robertson, ed.) misalnya,
mengatakan bahwa hubungan agama dan politik muncul sebagai masalah, hanya pada
bangsa-bangsa yang memiliki heterogenitas di bidang agama.
Hal ini didasarkan pada postulat bahwa homogenitas agama merupakan kondisi kesetabilan
politik. Sebab bila kepercayaan yang berlawanan bicara mengenai nilai-nilai tertinggi (ultimate
value) dan masuk ke arena politik, maka pertikaian akan mulai dan semakin jauh dari kompromi.
Dalam beberapa tahap dan kesempatan masyarakat Indonesia yang sejak semula bercirikan
majemuk banyak kita temukan upaya masyarakat yang mencoba untuk membina kerunan antar

masayarakat. Lahirnya lembaga-lembaga kehidupan sosial budaya seperti Pela di Maluku,


Mapalus di Sulawesi Utara, Rumah Bentang di Kalimantan Tengah dan Marga di
Tapanuli, Sumatera Utara, merupakan bukti-bukti kerukunan umat beragama dalam masyarakat.
Kedepan, guna memperkokoh kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia yang saat
ini sedang diuji kiranya perlu membangun dialog horizontal dan dialog Vertikal. Dialog
Horizontal adalah interaksi antar manusia yang dilandasi dialog untuk mencapai saling
pengertian, pengakuan akan eksistensi manusia, dan pengakuan akan sifat dasar manusia yang
indeterminis dan interdependen.
Identitas indeterminis adalah sikap dasar manusia yang menyebutkan bahwa posisi manusia
berada pada kemanusiaannya. Artinya, posisi manusia yang bukan sebagai benda mekanik,
melainkan sebagai manusia yang berkal budi, yang kreatif, yang berbudaya.
6.

Pancasila Sebagai Paradigma Perkembangan IPTEK


Pancasila bukan merupakan ideologi yang kaku dan tertutup, namun justru bersifat

reformatif, dinamis, dan antisipatif.Dengan demikian Pancasilan mampu menyesuaikan dengan


perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yaitu dengan tetap
memperhatikan dinamika aspirasi masyarakat.Kemampuan ini sesungguhnya tidak berarti
Pancasila itu dapat mengubah nilai-nilai dasar yang terkandung, tetapi lebih menekan pada
kemampuan dalam mengartikulasikan suatu nilai menjadi aktivitas nyata dalam pemecahan
masalah yang terjadi (inovasi teknologi canggih). Kekuatan suatu ideologi itu tergantung pada
kualitas dan dimensi yang ada pada ideologi itu sendiri (Alfian, 1992) Ada beberapa dimensi
penting sebuah ideologi, yaitu:
a.

Dimensi Reality.
Yaitu nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam ideologi tersebut secara riil berakar dalam

hidup masyarakat atau bangsanya, terutama karena nilai-nilai dasar tersebut bersumber dari
budaya dan pengalaman sejarahnya.
b.

Dimensi Idealisme.
Yaitu nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme yang memberi harapan

tentang masa depan yang lebih baik melalui pengalaman dalam praktik kehidupan bersama
dengan berbagai dimensinya.

c.

Dimensi Fleksibility.
Maksudnya

dimensi

pengembangan

Ideologi

tersebut

memiliki

kekuasaan

yang

memungkinkan dan merangsang perkembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan dengan


ideologi bersangkutan tanpa menghilangkan atau mengingkari hakikat atau jati diri yang
terkandung dalam nilai-nilai dasarnya.
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) pada hakekatnya merupakan hasil kreatifitas
rohani (jiwa) manusia.Atas dasar kreatifitas akalnya, manusia mengembangkan IPTEK untuk
mengolah kekayaan alam yang diciptakan Tuhan YME.
Tujuan dari IPTEK ialah untuk mewujudkan kesejahteraan dan peningkatan harkat dan
martabat manusia, maka IPTEK pada hakekatnya tidak bebas nilai, namun terikat nilai
nilai.Pancasila telah memberikan dasar nilai nilai dalam pengembangan IPTEK, yaitu
didasarkan moral ketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dengan memasuki kawasan IPTEK yang diletakan diatas Pancasila sebagai paradigmanya,
perlu dipahami dasar dan arah peranannya, yaitu :

a.

Aspek ontology, bahwa hakekat IPTEK merupakan aktivitas manusia yang tidak

mengenal titik henti dalam upayanya untuk mencari dan menentukan kebenaran dan kenyataan.
Ilmu Pengetahuan harus dipandang secara utuh, dalam dimensinya sebagai :
1.

Sebagai masyarakat, menunjukkan adanya suatu academic community yang dalam

hidup keseharian para warganya untuk terus menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
2.

Sebagai proses, menggambarkan suatu aktivitas masyarakat ilmiah yang melalui

abstraksi, spekulasi, imajinasi, refleksi, observasi, eksperimentasi, komparasi dan eksplorasi


mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan.
3.

Sebagai produk, adalah hasil yang diperoleh melalui proses, yang berwujud karya

karya ilmiah beserta implikasinya yang berwujud fisik ataupun non-fisik.


b.

Aspek Epistemologi, bahwa pancasila dengan nilainilai yang terkandung didalamnya

dijadikan metode berpikir.


c.

Aspek Askiologi, dengan menggunakan nilai-nilai yang terkandung didalam pancasila

sebagai metode berpikir, maka kemanfaatan dan efek pengembangan ilmu pengetahuan secara

negatif tidak bertentangan dengan ideal dari pancasila dan secara positif mendukung atau
mewujudkan nilai-nilai ideal pancasila.
Sila-sila pancasila yang harus menjadi sistem etika dalam pengembangan IPTEK:
1. Sila ketuhanan yang mahaesa mengkomplementasikan ilmu pengetahuan
mencipta, keseimbangan antara rasional dan irasional, antara akal dan kehendak.
Berdasarkan sila ini IPTEK tidak hanya memikirkan apa yang ditemukan
dibuktikan dan diciptakan tetapi juga dipertimbangkan maksud dan akibatnya
apakah merugikan manusia disekitarnya atau tidak. Pengolahan diimbangi dengan
melestarikan.
2. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab, memberikan dasar-dasar moralitas
bahwa manusia dalam mengembangkan IPTEK harus bersikap beradab karena
IPTEK adalah sebagai hasil budaya manusia yang beradab dan bermoral.Oleh
karena itu, pengembangan Iptek harus didasarkan pada hakikat tujuan demi
kesejahteraan umat manusia.Iptek bukan untuk kesombongan dan keserakahan
manusia.Namun, harus diabdikan demi peningkatan harkat dan martabat manusia.
3. Sila persatuan Indonesia mengkomplementasiakan universalitas dan
internasionalisme (kemanusiaan) dalam sila-sila yang lain. Pengembangan IPTEK
hendaknya dapat mengembangkan rasa nasionalisme, kebesaran bangsa serta
keluhuran bangsa sebagai bagian umat manusia di dunia.
4. Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
permusyawaratan
demokratis,

perwakilan

artinya

setip

mendasari
ilmuan

pengembangan

harus

memiliki

dalam

IPTEK

secara

kebebasan

untuk

mengembangkan IPTEK juga harus menghormati dan menghargai kebebasan


orang lain dan juga memiliki sikap yang terbuka untuk dikritik dikaji ulang
maupun di bandingkan dengan penemuan lainnya.
5. Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia mengkomplementasikan
pengembangan IPTEK haruslah menjaga keseimbangan keadilan dalam
kehidupan kemanusiaan yaitu keseimbangan keadilan dalam hubungannnya
dengan dirinya senndiri maupun dengan Tuhannya, manusia dengan manusia,
manusia dengan masyarakat bangsa dan negara, serta manusia dengan alam
lingkungannya.

Anda mungkin juga menyukai