Jurnal Tata Kota Bekasi PDF

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 104



Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

Daftar Isi

Pengantar Redaksi

Rupa Ruang Kota Kita

Rupa Ruang Kota Kita

10

Rupa Ruang Kota Kita

10

Rupa Ruang Kota Kita

10

Rupa Ruang Kota Kita

10

Rupa Ruang Kota Kita

10

Rupa Ruang Kota Kita

10

Rupa Ruang Kota Kita

10

Rupa Ruang Kota Kita

10

Rupa Ruang Kota Kita

10

Rupa Ruang Kota Kita

10

Rupa Ruang Kota Kita

10

Rupa Ruang Kota Kita

10

Rupa Ruang Kota Kita

10

Rupa Ruang Kota Kita

10

Rupa Ruang Kota Kita

10

Rupa Ruang Kota Kita

10

Rupa Ruang Kota Kita

10

Rupa Ruang Kota Kita

10

Rupa Ruang Kota Kita

10

Rupa Ruang Kota Kita

10

Rupa Ruang Kota Kita

10

Rupa Ruang Kota Kita

10

Salam Tata Kota


Syukurlah, setelah melewati serangkaian diskusi
panjang, akhirnya Jurnal TataKota Bekasi edisi perdana
sampai di tangan Anda. Kami berharap jurnal ini selalu
ditunggu kehadiran Anda: dua bulan sekali.
Jurnal ini lahir dari ide sekelompok masyarakat yang
peduli terhadap masa depan Kota Bekasi. Persoalan
tata kota bukanlah persoalan sederhana. Bukan sebatas
berkaitan aspek materil. Di sana banyak aspek yang
sangat kompleks.
Pemilihan kata Jurnal sengaja kami pilih sebagai
identitas intelektualitas. Seluruh materi tulisannya
didasari dengan kajian ilimiah. Namun dikemas
menggunakan bahasa yang enak dibaca agar mudah
dipahami khalayak.
Edisi perdana kali ini mengangkat tema Revitalisasi
Ruang Publik. Tema ini kami pandang sangat relevan
dengan kondisi Kota Bekasi. Saat ini ruang publik seolah
kehilangan bentuk dan makna. Padahal keberadaannya
sangat penting bagi sebuah kota.
Jurnal ini menyuguhkan beberapa artikel. Mulai
dari definisi dan fungsi ruang publik, arah kebijakan
pembangunan Kota Bekasi, keterlibatan masyarakat
dalam pembangunan hingga sumbangan pemikiran
dari tokoh-tokoh intelektual yang konsen di bidang
ruang publik.
Kami berharap kehadiran jurnal ini mampu
merangsang gairah intelektual masyarakat Kota Bekasi.
Sehingga kita bisa sama-sama iuran gagasan dan
pemikiran untuk pembangunan Kota Bekasi.
Kami sadar bahwa media ini tidak lepas dari banyak
kekurangan dan kelemahan. Untuk itu sumbang saran
dan gagasan sangat kami butuhkan dari Anda. Selamat
membaca!

Salam Redaksi

Pemimpin Umum:
Ir. Koswara

Pemimpin Redaksi:
Denny Bratha,

Sekretaris Redaksi:
Farah

Design /Layout:
Ipank Farizi

Bagian Umum
Wahyu Aji

Pimpinan Perusahaan:
Warso Sunaryo

Dewan Redaksi
Respati Wasesa, Ichsanuddin

Marketing dan Sirkulasi:


Anggi Kusumah, Anggoro

Media Social Officer:


Adhitya Galuh Sasongko

Telp: (021) 82436656


Mail: jurnaltatakota@gmail.com

Revisi Alamat: Perum Bumi Bekasi Baru Utara Blok V/28 RT 002 RW 09 Kota Bekasi
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

Laporan Utama

Rupa Ruang Kota Kita

Rupa Ruang
Kota Kita


Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

Laporan Utama

Rupa Ruang Kota Kita

Ruang publik menjadi elemen penting


dalam sebuah kota. Ia ibarat wajah. Ruang
publik yang baik bisa membawa citra kota
yang baik pula. Namun, definisi ruang publik ternyata begitu luas. Sehingga perlu diurai terlebih dahulu mengenai itu sebelum
kita menjabarkan lebih jauh tentang kondisi
riil di lapangan.
Ada pendapat, ruang publik merupakan
ruang terbuka, sebagaimana taman-taman
di pusat kota. Pendapat yang lebih kritis
lagi: ruang publik adalah ruang demokratis. Di mana ada warga duduk berkumpul
mendiskusikan tema-tema relevan, maka
hadirlah ruang publik.
Stephen Carr, dari Cambridge University, dalam buku Publik Space (1993)
menulis, ruang publik ada beberapa tipe.
Antara lain taman umum (public parks),
meliputi; taman nasional, taman pusat
kota, taman lingkungan dan taman kecil.
Lapangan dan plasa (squares and plazas), meliputi; lapangan pusat kota dan
lapangan pengikat di gedung-gedung perkantoran. Ruang peringatan (memorial
space) yang dibangun untuk mengenang
peristiwa penting.
Kemudian pasar (markets) di ruas
jalan, biasanya bersifat temporer. Jalan (streets), meliputi; jalur transportasi
umum, pedestrian dan gang. Tempat bermain (playground) di lingkugan perumahan dan sekolah. Ruang komunitas (community open space) meliputi; lahan kosong di permukiman yang dimanfaatkan
warga untuk kepentingan bersama.
Ada juga jalan hijau dan jalan taman
(green ways and parkways), biasanya dipenuhi pepohonan. Atrium/pasar di dalam
ruang (atrium indoor market place) yang difungsikan area jalan di dalam pasar. Ruang
di lingkungan rumah (found/neighborhood
spaces) seperti kapling kosong. Terakhir,
Waterfront, seperti pelabuhan, pantai dan
bantaran sungai.
Filsuf dan sosiolog Jerman, Jurgen
Habermas yang masyhur itu mengatakan,
ruang publik memiliki peran penting dalam
proses demokrasi. Warga dapat menyatakan
opini, kepentingan dan mencurahkan kegelisahan-kegelisahan politisnya.
Pengamat perkotaan, Marco Kusumawijaya, dalam makalahnya berjudul Merawat
Khalayak dan Ruang Khalayak menguraikan, kalangan geografersebutan ahli geografi membedakan ruang publik (public
space) dan ranah publik (public sphere).

Ranah publik merujuk ruang politik,


tempat berlangsungnya pembahasan,
perdebatan dan pengambilan keputusan
bersama atas urusan umum. Sedangkan
ruang publik mengacu tempat fisik di mana
setiap warga bebas mengakses. Ruang
publik berbeda dengan ruang privat yang
memungkinkan si empunya menolak kehadiran orang lain.
Filsuf dan teoretisi politik Iris Marion
Young menyebut ruang publik ini dengan istilah embodied public space. Meski berbeda, ruang publik dan ranah publik bertalian
erat. Perencanaan dan penataan ruang
publik berdampak pada ruang dan kehidupan politik warga.
Young mengatakan, ruang publik,
bagaimana pun, adalah tempat setiap
orang punya akses, ruang terbuka sekaligus ruang keterbukaan (space of openness and exposure). Yang dimaksud Young
itu ruang-ruang fisik di mana warga benar
hadir, berjumpa, berinteraksi, bebas beraktivitas ataupun sekadar menikmati
rasa ruang tersebut.
Menurut Marco, di dalam kota, ruangruang publik semacam itu muncul melalui
berbagai bentuk. Ada ruang-ruang publik
yang sifatnya terbuka (outdoor) dan biasanya dicirikan dalam bentuk ruang fisikalnya. Ada pula yang sifatnya tertutup
(indoor). Ruang publik terbuka bisa berupa
alun-alun, jalan raya, trotoar, lapangan
olahraga, dan seterusnya. Museum adalah
salah satu contoh ruang publik tertutup.
Dari segi fungsi, kita melihat ada ruang publik untuk berlangsungnya kegiatan
sehari-hari, misalnya transportasi umum
dan jalan raya.Ada ruang publik untuk
kegiatan rekreatif, misalnya taman kota.
Ada ruang publik untuk kegiatan berkesenian, misalnya taman budaya. Di sisi lain,
kita juga bisa membedakan ruang publik
yang sifatnya legal-formal seperti Gedung
DPR dan ruang publik yang sifatnya informal seperti alun-alun.
Ciri kuat pada ruang publik adalah ruang
itu memungkinkan berlangsungnya aksi komunikatif antarwarga dengan berbagai ragam kepentingan, identitas, nilai, dan cara
berpikir mereka.
Meskipun secara aktual aksi komunikatif itu tidak atawa belum berlangsung,
bila ruang tersebut memungkinkan, terutama memang dirancang untuk memungkinkan berlangsungnya aksi komunikatif
antarwarga guna mematangkan kehidu-

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

pan bersama, maka ruang tersebut bisa


kita sebut ruang publik.
Ketika datang ke alun-alun kota, Anda
mungkin tidak kenal dengan orang yang
juga datang ke tempat tersebut. Tapi, alunalun sangat memungkinkan Anda dan oranglain bisa saling berinteraksi. Tiba-tiba, misalnya, Anda didatangi seorang pengemis. Si
pengemis mengeluh belum makan dan meminta uang. Anda kemudian memberikan
sedikit uang. Anda berarti telah berinteraksi
dengan seorang pengemis.
Sebagai ruang publik, alun-alun tidak
pernah memuat larangan terhadap siapa

l Plasa Alun-alun Kota Bekasi

pun, termasuk pengemis. Semua orang


boleh datang ke tempat tersebut. Mal tidak bisa dikatakan sebagai ruang publik
secara utuh karena tidak semua orang
bisa masuk. Artinya, mal tidak dirancang
untuk dijadikan sekadar tempat rekreasi
tanpa komersialisasi.
Di ruang publik, warga boleh melakukan
kegiatan apa pun, karena ruang publik hadir
sebagai wadah ekspresi. Dari mulai upacara
bendera, ritual keagamaan, olahraga, konser musik, demonstrasi, hingga kampanye.
Ruang publik juga menjadi area hijau dan
belakangan ini dimanfaatkan pula untuk
evakuasi bencana.
Ruang publik yang menarik akan se-

lalu dikunjungi warga. Para ahli tata ruang


berpendapat, esensi ruang publik ada tiga
macam. Pertama, ia memberikan arti bagi
warga (meaningful), kemudian tanggap
dan mengakomodir semua kepentingan
(responsiv) dan menerima kehadiran siapa
saja (demokratic).
Di Indonesia, pembangunan ruang-ruang publik belum mengakomodir mereka
yang memiliki kemampuan khusus atau
difabel. Bagi mereka, ini menyusahkan.
Seorang difabel netra akan kesulitan ketika berjalan di pedestrian yang buruk,
apalagi berlubang. Tentu juga sangat

membahayakan. Padahal Peraturan Menteri Pekerjaan Umum mewajibkan setiap


fasilitas publik aksesibel.
Di kota-kota besar, penataan pedestrian memang menjadi masalah serius.
Kalau tidak untuk berdagang, pedestrian
dijadikan tempat parkir liar mengingat
minimnya lahan untuk parkir kendaraan.
Di sinilah dibutuhkan peran pemerintah
untuk mengelola fasilitas publik agar berfungsi sebagaimana mestinya. Perlu terobosan kreatif, seperti memusatkan pedagang kaki lima dan tempat parkir.
Ruang Hijau untuk Publik
Undang-undang nomor 26 tahun 2007
tentang penataan ruang mendefinisikan ru-

ang publik lebih dekat dengan ruang terbuka hijau (RTH). Dalam pasal 29, RTH dibagi
menjadi dua: RTH Privat dan RTH Publik.
Masing-masing wilayah kota diwajibkan
menyediakan 30 persen dari total lahannya
untuk RTH. Proporsinya disesuaikan dengan sebaran penduduk.
Tetapi perlu diperhatikan pula bahwa
RTH tidak otomatis dapat dikategorikan
sebagai ruang publik. Ruang publik yang
baik harus dapat berfungsi dan dimanfaatkan warga untuk berkumpul, berinteraksi,
dan beraktivitas dengan aman dan nyaman.
Tanpa adanya aktivitas dan interaksi sosial
manusia di dalamnya, maka suatu ruang
publik telah gagal mengemban misinya. Lain
halnya dengan RTH, tidak ada pun aktivitas
manusia dan interaksi sosial di dalamnya,
tak jadi soal.
Meski demikian, RTH Publik sangat
memungkinkan terbentuk menjadi ruang
publik. Satu faktor yang perlu diperhatikan
adalah melibatkan peran serta masyarakat
di dalam penyediaan ruang publik. Meski
tidak menjanjikan nilai komersial, pemerintah dapat menawarkan kerja sama kepada
pihak swasta (public private partnership).
Dalam hal ini, misalnya, swasta dapat diberikan insentif menyediakan iklan di ruang publik. Namun, timbal baliknya, swasta
ikut membantu membangun fasilitas yang
harus disediakan dalam ruang publik.
Di Kota Bekasi, RTH Privat maupun Publik baru mencapai sekitar 11 persen dari total luas wilayah. Pemerintah menargetkan
6.700 hektare RTH atau 30 persen dari luas
wilayah sampai tahun 2032 mendatang. Proporsinya, 10 persen merupakan RTH Publik,
20 persen RTH Privat. Dalam Rencana Tata
Ruang dan Rencana Wilayah (RTRW) Kota
Bekasi 20 tahun ke depan disebutkan, RTH
yang dikembangkan tidak hanya berupa taman kota. Beberapa komponen RTH lainnya
juga direncanakan.
Keseluruhan komponen tersebut antara lain; sempadan sungai, jalur hijau sempadan jalan, hutan kota, taman pusat Bagian Wilayah Kota (BWK), taman lingkungan
(kecamatan, kelurahan atau perumahan),
taman rekreasi, tempat pemakaman umum
(TPU), lapangan olahraga atau lapangan
terbuka, pulau jalan, sempadan instalasi
berbahaya, sempadan kereta api.
Rencana tersebut disusun berdasarkan
analisis kondisi eksisting (yang sudah ada)
dan potensi lahan RTH di Kota Bekasi. RTH
sangat penting dikembangkan karena ber-

fungsi sebagai penyeimbang ekologi lingkungan dan pembangunan kota yang sedang berjalan. 11 komponen RTH tersebut
memiliki peran dan fungsi masing-masing.
Penghijauan di sempadan atau bantaran sungai, misalnya, bisa mengurangi
potensi banjir. Kota Bekasi merupakan
daerah yang memiliki banyak sungai. Jika
penghijauan ini dilakukan, luasan RTH
bisa meningkat. Bahkan sangat memungkinkan RTH di sempadan sungai ini dijadikan sarana rekreatif warga.
Pemenuhan target RTH 30 persen memang tidak bisa dilakukan sendirian oleh
pemerintah. Semua pihak mesti terlibat.
Maka, pengembangan RTH Privat juga menjadi perhatian serius. Lokasinya antara lain
bisa berupa pekarangan perumahan, pekarangan fasilitas pendidikan, halaman perkantoran. Masing-masing bangunan mesti
menyediakan 10 persen untuk ruang terbuka hijau dari luas lahan terbangun.
Perencanaan ruang publik seringkali
gagap dalam perawatan dan pengelolaannya. Banyak ruang-ruang kota tak berfungsi, baik yang kecil atau besar, yang belum
disentuh untuk pengembangan ruang publik. Persepsi warga terhadap pentingnya
ruang publik dalam pembangunan kota semestinya perlu ditingkatkan.
Barangkali Surabaya adalah kota yang
patut dicontoh. Di sana, pemerintah berani
merebut kembali lahan-lahan 14 stasiun
pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU)
yang berdiri di atas ruang terbuka hijau
(RTH). Lahan tersebut kemudian disulap
menjadi ruang publik.
Dalam wawancara khusus dengan jurnal ini, Walikota Bekasi Rahmat Effendi
menjelaskan wilayah terbangun di Kota
Bekasi tahun 2010 saja sudah lebih dari
60 persen. Sementara areal yang belum
terbangun umumnya sudah dikuasai
pengembang. Sehingga besar kemungkinan lahan tersebut akan berubah menjadi
lahan terbangun.
Sulitnya memenuhi target RTH memang
menjadi kendala utama kota-kota di Pulau
Jawa mengingat penduduknya yang padat.
Untuk melibatkan pihak swasta, beberapa
upaya telah dilakukan Pemerintah Kota
Bekasi. Salah satunya dengan diterbitkannya Perda tentang Fasilitas Sosial-Fasilitas
Umum (Fasos-Fasum). Perda tersebut mewajibkan pengembangperumahan, mal
maupun industrimenyediakan RTH.
Yang termasuk Fasos ialah fasilitas olah-

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

Laporan Utama

Rupa Ruang Kota Kita

Landmark Summarecon Bekasi / Foto: Miftah

Ruang publik yang


menarik akan selalu
dikunjungi warga. Para ahli
tata ruang berpendapat,
esensi ruang publik ada
tiga macam. Pertama,
ia memberikan arti bagi
warga (meaningful),
kemudian tanggap dan
mengakomodir semua
kepentingan (responsiv)
dan menerima kehadiran
siapa saja (demokratic).

10

raga, pendidikan, ibadah, kantor pemerintahan. Sedangkan Fasum antara lain berupa
jaringan jalan, saluran drainase serta taman
lingkungan. Umumnya, pengembang menyiapkan kavling-kavling kosong. Pemanfaatannya ditentukan kepentingan dan kesepakatan warga sekitar setelah disetujui
pemerintah.
Tetapi kalau yang di dalam perencanaannya taman, itu tidak bisa diubah jadi
bangunan. Harus tetap taman. Kita baru
punya RTH Publik 3 persen. Padahal RTH
Publik ini sangat penting keberadaannya sebagai sarana sosialisasi warga dan penjaga
ekologi lingkungan, kata Rahmat.
Menjadi pertanyaan besar ketika mal
dibangun begitu gencar, sementara taman kota jumlahnya masih tetap. Dalam
setahun ini saja, 7 mal berdiri. Ini belum termasuk perumahan dan industri.
Menurut Rahmat hal tersebut sangat
dilematis. Di satu sisi pemerintah beru-

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

saha menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya. Di sisi lain RTH juga tidak
kalah penting untuk ditingkatkan.
Yang bisa dilakukan ialah menguatkan
dan menerapkan regulasi tentang Tata Ruang sebaik-baiknya. Sehingga pembangunan infrastruktur kota dan pertumbuhan
RTH seimbang, katanya.
Mengembangkan Ruang Publik yang Estetik
Ditilik dari segi estetika ruang publik
sangat memengaruhi citra kota. Barangkali
kita perlu membayangkan kota impian. Estetika tidak terhenti di rumah-rumah saja.
Warga juga bisa merasakan keindahan ketika memasuki gerbang kota melintasi persimpangan, berjalan di pedestrian, atau
duduk di taman kota. Demikian dikatakan
Kepala Pusat Kajian Otonomi dan Pembangunan Daerah (Puskopda) Universitas Islam
45 Bekasi Haris Budiyono.
Haris kemudian menjabarkan gagasan

peneliti dari Amerika Serikat, Kevin Lynch,


yang menjadikan Imagine of The City sebagai judul bukunya. Lynch percaya, setiap
setiap orang selalu memiliki kesan terhadap
lingkungannya. Ada lima elemen dasar yang
menurut Lynch bisa menguatkan citra kota.
Antara lain Path, Node, Landmark District
dan Edge. Kelima elemen tersebut menurut
Haris adalah juga ruang publik.
Haris cenderung memandang ruang
publik sebagai tempat yang diharapkan
publik sehingga publik bangga terhadap
daerahnya. Maka menurutnya apa yang
disampaikan Lynch sangat relevan dengan
pembangunan Kota Bekasi.
Path yang berarti saluran gerak manusia bisa berupa pedestrian dan jalan umum
yang padat dengan aktivitas. Path bisa ditonjolkan di titik tertentu. Terutama di jalan utama yang aksesnya ke mana-mana
tidak susah. Di Kota Bekasi path memungkinkan dibangun di Jalan Ahmad Yani untuk
menguatkan citra kota. Jalan ini strategis:
menghubungkan gerbang tol, pusat bisnis
dan pusat pemerintahan. Pemerintah Kota
Bekasi mewacanakan Jalan Ahmad Yani sebagai percontohan penataan jalan terbaik.
Letak reklame ditata ulang, jembatan penyeberangan dan pedestrian diperlebar.
Kepala Dinas Tata Ruang Kota Bekasi
Koswara punya gagasan menarik tentang
pedestrian. Ia merencanakan sisi kanan dan
kiri Jalan Ahmad Yani diperlebar untuk jalur
pejalan kaki. Pagar perkantoran di sepanjang jalan tersebut dibongkar. Beberapa titik parkir dibangun. Dengan demikian area
yang biasanya untuk parkir kendaraan ditata
kembali untuk pejalan kaki. Di pedestrian ini
bisa dipercantik dengan pohon dan bangku
taman untuk menambah kesan asri.
Node atau persimpangan di banyak
daerah di Indonesia seringkali ditandangi
dengan tugu atau monomen. Di Yogyakarta sebuah tugu di persimpangan Jalan
Jenderal Sudirman dan Jalan Pangeran
Mangkubumi memunculkan citra sangat kuat. Ketika orang datang Yogyakarta
rasanya tak lengkap jika belum narsis di
tugu tersebut. Di Kota Bekasi persimpangan ini justru diduduki area komersial.
Sebut saja pusat perbelanjaan Bekasi Junction, Bekasi Cyber Park, Mega Bekasi Hypermall dan Metropolitan Mal. Wajar saja jika
kesan yang muncul ialah Bekasi merupakan
kota jasa atau bisnis.
Bagaimana dengan Landmark? Kota
Bekasi belum memiliki ikon yang kuat

berupa monumen atau penanda kota.


Landmark justru ditemui di beberapa perumahan. Summarecon, misalnya, memiliki
landmark segitiga terbalik. Dengan adanya
landmark tersebut warga kemudian berduyun-duyun datang. Belakangan Pemerintah Kota Bekasi mengadakan lomba membuat desain landmark. Desain tersebut rencananya diaplikasikan di pintu gerbang Tol
Bekasi Barat di Jalan Ahmad Yani.
Khusus Landmark Kota Bekasi dirundung beberapa peristiwa mengejutkan. Pada
tahun 2002 sebuah patung berbentuk ikan
lele di dekat Stasiun Bekasi dirobohkan
massa. Delapan tahun kemudian, 2010, di
Perumahan Harapan Indah, Patung Tiga
Mojang karya Nyoman Nuarta seharga
Rp2,5 miliar juga dibongkar massa. Mereka
menganggap kedua patung tersebut tidak
mencerminkan kebekasian.
Kemudian, District, ialah daerah atau
situs yang memiliki karakter unik dan kreatif. Jakarta punya Setu Babakan sebagai
pusat perkampungan budaya Betawi.
Kota Bekasi belum punya. Haris mengusulkan Distric di Kota Bekasi tidak mesti
sebuah situs. Bisa juga dibangun sentra
bisnis kuliner atau kerajinan tangan. Kota
Bekasi bahkan memungkinkan munculnya
budaya kontemporer. Karakteristik Bekasi
sebagai kota urban sangat memungkinkan
terjadinya pembauran budaya.
Ada pun Edge, atau titik pandang men-

arik dari luar, di Kota Bekasi belum banyak


terlihat. Untuk itu perlu dibangun sebuah
titik pandang yang menarik. Jakarta punya Monas, Bandung punya Gedung Sate,
Semarang punya Gedung Lawang Sewu.
Edge Kota Bekasi, diakui atau tidak, justru ada di Bekasi Square. Dari Jalan Tol,
orang tahu Bekasi melalui bangunan Bekasi
Square, kata Haris.
Menurut Haris ruang publik sangat
bisa direkayasa. Di antara beberapa ukuran kualitas tentang ruang publik, citra dan
identitas paling menentukan. Antara kota
satu dan lainnya tentu akan memunculkan
karakteristik berbeda. Untuk itu unsur budaya juga tidak bisa dilepaskan dari perencanaan kota.
Kota Bekasi lahir dalam kondisi yang
given. Artinya, infrastruktur sudah ada.
Sebut saja jalan tol dan irigasi Kalimalang.
Inilah yang membuat Bekasi seolah-olah kehilangan identitas. Kita perlu back to planing, merekayasa kota ini! kata Haris. ***
Rujukan:
Darmawan, Edy. (2007). Peranan Ruang Publik dalam Perancangan Kota (Urban Design). Semarang: Ilmu Arsitektur
Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
Kusumawijaya, Marco. (2011).
Merawat Khalayak dan Ruang Khalayak.
Jakarta: Yayasan Tifa.

Masjid Agung Al-Barkah / Foto: Respati

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

11

Laporan Utama

Revitalisasi Ruang Publik Kota Bekasi

Revitalisasi
Ruang Publik
Kota Bekasi

Kaki lima di GOR Bekasi / Foto: Brat

Ruang publik menjadi


wacana besar dalam konsep
pembangunan perkotaan.
Pembangunan di Kota
Bekasi sudah seharusnya
diimbangi terobosan baru
untuk mewujudkan lingkungan
hidup perkotaan yang lebih
berkualitas, layak huni dan
manusiawi.
12

Dengan luas sekitar 210, 49 km2 yang terdiri dari 12 kecamatan dan 56 kelurahan pembangunan di Kota Bekasi berlangsung pesat.
Saat ini saja jumlah lahan terbangun sudah
mencapai 52,09 persen. Kebanyakan berupa
perumahan. Sedangkan yang belum terbangun 48,91 persen. 11,4 persen di antaranya
merupakan ruang terbuka hijau (RTH). Sementara sisanya sudah dikuasai pengembang
perumahan.
Padahal idealnya komposisi RTH di sebuah daerah adalah 30 persen sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007. 30

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

persen tersebut dialokasikan untuk RTH Publik yang dimiliki dan dikelola pemerintah kota
untuk kepentingan masyarakat umum RTH
Privat pada lahan-lahan yang dimiliki swasta
atau masyarakat. Secara spesifik Pemerintah
Kota Bekasi tidak memisahkan RTH dan Ruang
Publik. Sehingga pembahasan mengenai ruang publik masih termasuk di dalam pembahasan ruang terbuka hijau.
Meski demikian baik RTH maupun ruang
publik dapat dibedakan berdasarkan jenis kegiatan, bentuk dan sifatnya. Ditinjau kegiatannya ada ruang terbuka aktif dan ruang terbuka

pasif. Ruang terbuka aktif adalah ruang terbuka yang mengandung unsur-unsur kegiatan
di dalamnya. Antara lain bermain, olahraga,
upacara dan berjalan-jalan. Ruang ini dapat
berupa plasa, lapangan dan tempat rekreasi.
Sedangkan ruang terbuka pasif adalah ruang
terbuka yang di dalamnya tidak mengandung
kegiatan manusia. Misalnya ruang yang difungsikan sebagai jarak rel kereta api.
Selanjutnya ruang terbuka yang ditinjau
dari bentuknya. Secara garis besar dibagi menjadi dua jenis yaitu berbentuk memanjang dan
berbentuk mencuat. Ruang terbuka
berbentuk memanjang mempunyai batas-batas pada sisi-sisinya. Misalnya jalan dan
sungaiini biasanya disebut sempadan. Ruang
terbuka berbentuk mencuat mempunyai batas-batas di sekelilingnya misalnya lapangan,
alun-alun atau bundaran. Sementara ditinjau
sifatnya ada ruang terbuka lingkungan dan
ruang terbuka bangunan. Ruang terbuka lingkungan terdapat pada suatu lingkungan dan sifatnya umum. Ada pun tata letak penyusunan
ruang-ruang terbuka dan ruang-ruang tertutupnya akan mempengaruhi keserasian lingkungan. Sedangkan ruang terbuka bangunan
dibatasi dinding bangunan dan lantai halaman
bangunan. Ruang terbuka ini bersifat umum
atau pribadi sesuai fungsi bangunannya.
Secara umum ruang publik kota dapat
dipahami sebagai bagian dari ruang kota
yang dapat dimanfaatkan warganya secara
tidak terkecuali (inclusive) untuk menyalurkan hasrat dasar sebagai mahluk sosial yang
membutuhkan interaksi. Terlebih bagi masyarakat perkotaan yang kebutuhan ruang
publiknya terasa lebih mendesak dibanding
wilayah perdesaan. Terutama karena di kota
ruang untuk beraktivitas masyarakat semakin
menyempit akibat pertumbuhan permukiman
dan berbagai peruntukan lainnya. Walaupun
secara umum ruang publik bisa diakses semua
manusia namun norma untuk tidak merugikan
kepentingan umum di dalamnya tetap dijaga.
Salah satu fungsi utama ruang publik ialah
sebagai wahana interaksi antarkomunitas untuk
berbagai tujuan baik individu maupun kelompok.
Dalam hal ini ruang publik merupakan bagian
dari sistem sosial masyarakat yang keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari dinamika sosial.
Di samping itu ruang publik berfungsi memberikan nilai tambah bagi lingkungan. Misalnya
dalam segi estetika kota, pengendalian pencemaran udara, pengendalian iklim mikro serta
memberikan image kota.
Penataan ruang publik kota sangat berpengaruh pada karakteristik warga kotanya. Hal ini

sesuai ungkapan bijak Winston Churchill We


shape our public spaces, and; Thereafter, our
public spaces shape us. Bila diterjemahkan ke
Bahasa Indonesia ungkapan itu bermakna Jika
kita memulai membentuk atau menata ruang
publik dengan baik maka ruang yang ditata itu
akan membentuk sikap dan perilaku kita dalam
berkehidupan.
Aspek Ruang Publik
Beranjak dari pemahaman tentang ruang
publik dan fungsinya setidaknya ada beberapa
aspek yang sepantasnya dapat dipenuhi ruang
publik. Pertama adalah aspek aksesibel tanpa terkecuali (accessible for all). Dimaksudkan bahwa ruang publik dapat dimanfaatkan
seluruh warga kota yang membutuhkan.
Namun pada kenyatannya fenomena yang
ada di Kota Bekasi justru banyak ruang publik
yang dikuasai sekelompok masyarakat. Seperti pemanfaatan pedestrian oleh pedagang
kaki lima atau pemanfaatan bahu jalan untuk
parkir liar. Ini sangat menghalangi warga kota
untuk memanfaatkan ruang publik tersebut.
Kevin Lynch dalam bukunya The Image of The

Tiang listrik di tengah trotoar jalan A. Yani yang rusak / Foto: Respati

City (1960) menyebutkan jalan, garis sepandan sungai dan pedistrian merupakan elemen
ruang publik.
Kondisi semacam ini mudah dijumpai di
Kota Bekasi. Di Jalan Ahmad Yani di depan
kantor Samsat deretan kendaraan setiap hari
memenuhi lajur lambat. Begitu juga di depan
Rumah Sakit Mitra Keluarga. Operasi yang
kerap digelar Dinas Perhubungan tidak membuat efek jera bagi pengguna kendaraan. Hal
sama terjadi di Jalan Juanda tepatnya di Pasar
Proyek, Terminal Bekasi, sepanjang wilayah
Ampera hingga pertigaan Bulak Kapal.
Pedestrian yang seharusnya bisa diman-

faatkan pejalan kaki juga dirampas lapaklapak pedagang kaki lima. Pedestrian Jalan
Juanda di perempatan Bulan-bulan setiap hari
penuh sesak dengan berbagai macam lapak
pegadang yang menjajakan aneka barang.
Selain itu bahu jalan juga digunakan parkir
kendaraan. Pemerintah Kota Bekasi terkesan
membiarkan keberadaan para pedagang yang
telah merampas hak pejalan kaki itu. Kemudian di Jalan Baru Kranji pedagang juga dengan leluasa menggelar lapaknya di bahu jalan
sehingga pada jam-jam sibuk menimbulkan
kemacetan.
Keberadaan pedestrian di jalan-jalan utama di Kota Bekasi tidak ditata dengan baik dan
tidak terawat. Banyak lubang dibiarkan menganga. Bahkan di tengah-tengah pedestrian
juga dimanfaatkan sebagai tempat menancapkan tiang listrik, reklame, pot bunga, sehingga menghilangkan fungsinya sebagai ruang publik.
Pemanfaatkan jalur hijau di sempadan sungai pun marak terjadi. Seperti di jalan utama
Perumahan Bumi Bekasi Baru Kecamatan Rawalumbu. Sepanjang jalan di tepian sungai berderet lapak-lapak semi permanen.
Aspek kedua ruang publik adalah universalitas. Dimaksudkan penyediaan ruang publik semestinya dapat mengakomodir berbagai
kelas, status dan kebutuhan masyarakat baik
kelas atas sampai bawah, normal sampai difabel, anak-anak sampai dewasa dan pria atau
wanita.
Namun fenomena yang muncul justru
menjamurnya pembangunan pola kontainer
(container development) yaitu bangunan yang
mampu menampung berbagai aktivitas sosial ekonomi secara sekaligus. Misalnya mal. Ini
cenderung hanya dapat dinikmati sekelompok
masyarakat menengah ke atas saja. Mal juga
tidak akan peduli dengan kaum difabel. Padahal semestinya bentuk container ini tidak selalu
berarti negatif sepanjang bisa menjawab secara
positif ruang di mana ia berada.
Ketua Dewan Pertimbangan Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Siswadi
mengatakan Pemkot Bekasi sampai saat ini
belum mengakomodir kebutuhan kaum difabel di ruang publik. Pedestrian di jalan-jalan
utama Kota Bekasi tidak bisa diakses untuk
kaum difabel. Termasuk taman kota, sarana
transportasi dan fasilitas layanan umum. Padahal penyediaan akses untuk kaum difabel di
ruang publik diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998.
Aspek ketiga adalah keberlanjutan fungsi
(functionability). Dimaksudkan ruang publik

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

13

Laporan Utama

Revitalisasi Ruang Publik Kota Bekasi

Garis sempadan sungai dijadikan parkiran di depan Mall Metropolitan / Foto: Mbot

dapat dijamin dan dirawat secara berkelanjutan sehingga terus berfungsi sebagaimana
yang diharapkan. Tidak hanya secara fisik
namun yang jauh lebih penting adalah aspek
fungsinya itu sendiri. Di Kota Bekasi beberapa pengembang perumahan besar menutup
akses tamannya untuk publik dengan alasan
keamanan (safety reason) maupun kenyamanan. Misalnya karena dikotori pengunjung.
Padahal sebelumnya taman tersebut dibuka
untuk umum.
Aspek keempat adalah kesesuaian fungsi.
Dimaksudkan ruang publik dijamin dapat dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya. Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya bahwa wujud ruang publik dapat berbentuk ruang terbuka hijau/taman,
fasilitas umum/sosial, pedestrian, dan lain sebagainya. Namun demikian dapat kita lihat secara
kasat mata terutama setelah krisis ekonomi banyak ruang publik tersebut telah beralih fungsi.
Sebagai contoh pedestrian dimanfaatkan untuk
pedagang kaki lima, badan jalan dimanfaatkan
untuk tempat parkir, dan lain sebagainya.
Praktik privatisasi ruang publik ini hampir
dilakukan semua pengelola gedung perkantoran, areal bisnis dan mal yang ada di Kota
Bekasi. Ruang publik disulap menjadi lahan
parkir komersial. Selain itu banyak ruang
publik milik pemerintah yang sudah tidak lagi
sesuai dengan fungsinya. Seperti kompleks
GOR Bekasi yang seharusnya bisa dimanfaatkan warga untuk berolahraga secara penuh
setiap Minggu tapi sebagian malah dikuasai
pedagang kaki lima. Kondisi serupa terjadi di
Lapangan Pondok Gede di mana kondisinya
tidak terawat karena hampir separuh luas lapangan dikuasai pedagang.

14

Revitalisasi
Keinginan menciptakan ruang publik yang
memenuhi berbagai aspek di atas ternyata bukan perkara mudah. Apalagi Kota Bekasi tidak
dirancang menjadi Kota Taman (Garden City)
yang mengedepankan ruang publik atau ruang
terbuka sebagai elemen utamanya. Saat ini ruang publik di Kota Bekasi semakin jauh dari gambaran sebagai tempat berinteraksi yang nyaman, memadai dan aman. Kalau tidak kotor dan
semrawut oleh pedagang kaki-lima ruang publik
di Kota Bekasi rawan tindak kriminal. Fasilitas
publik yang disediakan pun seringkali rusak akibat vandalisasi.
Untuk itu kita perlu Merevitaliasi Ruang
Publik di Kota Bekasi agar kembali kepada fungsinya. Keterlibatan masyarakat sangat penting
terutama dalam pemeliharaannya. Masyarakat
tidak hanya memiliki hak mendapatkan fasilitas
ruang publik namun juga sekaligus memiliki kewajiban memeliharanya.
Dengan keterlibatan masyarakat maka jaminan keberlanjutan fungsi ruang publik tersebut
semakin besar. Dalam konteks ini masyarakat
harus dipandang sebagai elemen vital: sebagai
elemen paling memahami hal-hal yang menjadi
kebutuhannya sehingga ruang publik tercipta
sesuai dengan kebutuhan. Pada gilirannya ini
mendorong tumbuhnya rasa memiliki.
Kedua, kemitraan dengan dunia usaha.
Walapun pemerintah memiliki tanggung jawab
menjamin tersedianya ruang publik namun
penyediaanya dapat diserahkan kepada dunia
usaha. Pemerintah dapat bertindak sebagai fasilitator dan regulator melalui berbagai perangkat
pengaturannya dan sekaligus sebagai pengawas
yang menjamin penyediaan fasilitas ruang publik

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

sesuai dengan kebutuhan warga kota.


Prinsip lain yang perlu diperhatikan untuk
menjamin tersedianya fasilitas ruang publik
ini adalah dengan menerapkan penegakan
hukum (law enforcement). Hukum mesti
ditegakkan tanpa pandang bulu agar pemanfaatan fasilitas umum untuk kepentingan pribadi tidak menjadi hal biasa.
Selanjutnya adalah pengendalian. Instrumen yang dapat digunakan sebagai landasan
penegakan hukum yaitu peraturan mintakat
(zoning regulations) yang juga ditetapkan
melalui Perda. Instrumen ini memungkinkan
peran kuat para ahli perencanaan kota, arsitektur-lanskap, lingkungan, dan sosial-budaya, untuk bersama-sama duduk dalam Komisi
Perencanaan Kota (Planning Commission).
Mereka bertugas memantau penyelenggaraan pengaturan zoning. Khususnya zoning yang
ditetapkan sebagai ruang-ruang publik.
Kemudian yang juga penting adalah keberpihakan penyediaan anggaran melalui APBD. Ini
untuk menjamin adanya pemihakan yang tegas
terhadap kelompok masyarakat menengah ke
bawah agar dapat memiliki akses dan alternatif
(choice) yang sama dengan kelompok lainnya.
Misalkan saja anggaran tersebut digunakan untuk membangun taman-taman kota.
Terakhir adalah penataan kelembagaan.
Selama ini ruang terbuka hijau di Kota Bekasi
pengelolaanya masih tumpang tindih. Taman
Alun-alun Bekasi dikelola Badan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Hutan Kota Bina Bangsa
dikelola Dinas Pemuda Olah Raga Kebudayaan
dan Pariwisata. Taman di pinggir jalan dikelola
Dinas Pertamanan Pemakaman Penerangan
Jalan Umum. Dalam satu ruang publik saja
seperti pedestrian ada banyak kepentingan.
Di sana ada pot-pot, tiang listrik, drainase dan
reklame. Penataan kelembagaan ini perlu dilakukan agar tidak ada konflik kepentingan sehingga fungsi utamanya tetap terjaga.
Pada akhirnya ruang publik yang baik tidak
hanya bergantung pada pemerintah semata.
Tapi juga sangat ditentukan adanya dukungan
dan kerjasama semua pihak.***
Rujukan
Makalah Seminar Menejemen Ruang Publik
Jakarta, Soenarno, 2012
Konsep Penataan dan Pengelolaan Ruang
Publik Pada Wilayah Perkotaan, Drs Oman Sukmana, 2007
Naskah Akademik Perda RTRW Kota Bekasi
2011-2031
Kajian Potensi dan Ruang Pengembangan Industri Kreatif di Kota Bekasi, Haris Budiyono, 2012

Taman, Nafas Kotaku


Taman Perumahan Kemang Pratama. Sekarang dipagar / Foto: Firman

Ketika kota berubah wajah


dengan gedung-gedung
menjulang tinggi, warga tetap
akan rindu dengan keramahan
alam. Seruan hijau
menggema di mana-mana.
Terutama di kota besar yang
sesak polusi. Maka wajarlah
jika kota yang dipuji-puji saat
ini adalah kota yang gencar
melakukan penghijauan. Salah
satunya dengan membangun
taman kota.

aman menjadi pilihan karena kota besar tak mungkin lagi membuka hutan sungguhan. Lahan sudah sangat terbatas. Bahkan boleh dibilang lahan untuk hunian saja jadi bahan rebutan. Imbasnya harga lahan semakin
mahal. Rumah murah pun mustahil didapat. Namun beruntunglah Undang Undang 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mewajibkan pemerintah daerah
menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) minimal 30% dari luas keseluruhannya.
Ini artinya peluang untuk menghijaukan kota masih ada.
Di Indonesia kota yang punya terobosan kreatif dalam membangun taman ialah Surabaya. Di sana pemerintah berani merebut kembali lahanlahan 14 stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) yang berdiri
di atas ruang terbuka hijau (RTH). Lahan tersebut kemudian disulap menjadi taman dan bisa diakses publik. Banyak pihak akhirnya mengacungkan
jempol kepada kota yang juga terkenal baik dalam menyediakan jalur bagi
pejalan kaki itu.
Taman merupakan elemen kota yang banyak fungsinya. Selain untuk keindahan
taman juga berfungsi sebagai tempat bermain, berolahraga, mendapatkan udara
segar, pemelihara ekosistem tertentu dan pelembut arsitektur kota. Bagi warga
kota taman merupakan pemeliharaan hubungan emosional dengan alam lingkungan dan arena bersosialisasi dengan warga lain dengan suasana santai. Singkatnya
taman bisa menjadi ruang publik.
Mengingat pentingnya taman bagi kota ES Savas dalam bukunya Privati-

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

15

Laporan Utama

Revitalisasi Ruang Publik Kota Bekasi

zation and Publik Private Partnership, (New


York-London, 2000), menempatkannya sebagai publik goods yakni natural resources
atau man made features yang dapat dinikmati
orang secara gratis. Pemerintah di negaranegara maju umumnya sangat serius memperhatikan aspek pertamanan.
Di New York, misalnya, salah satu program
pokok pemerintah kota adalah memelihara dan
mengembangkan taman untuk kepentingan
publik. Fokusnya ialah meningkatkan kualitas
kondisi area bermain, menambah dan memperbaiki pepohonan di ruang terbuka hijau, menyediakan tempat rekreasi dan hiburan, mengawasi
kebersihan dan keamanannya, dan sebagainya.
Yang menarik pengelolaan taman di New York
tidak semata-mata menjadi kewajiban dan
tanggung jawab pemerintah. Melainkan melalui
bentuk-bentuk kemitraan antara pemerintah
dan warga yang tinggal di sekitar taman.
Tingginya partisipasi warga tersebut tentu
berhubungan erat dengan tingkat kesadaran
mereka dalam masalah pertamanan. Terutama
fungsi taman bagi kehidupan publik. Hasil survei
Steven Cohen dan Bill Elmicke (1996) terhadap
warga New York menunjukkan 74 persen warga
kota berpendapat bahwa taman adalah kebutuhan hidup yang esensial. 17 persen menganggap taman sebagai elemen penting dan hanya
2,4 persen yang menyatakan tidak penting.
Di United Kingdom (U.K), Commission
for Architecture and the Built Environment
atau biasa disebut CABE, komisi independen
yang juga memperhatikan persoalan ruang
publik, punya hasil survei menarik. 87 persen
penduduk di wilayah perkotaan Inggris telah
mengunjungi taman kota mereka dalam satu
tahun terakhir. Hampir dua pertiga kota London terdiri atas ruang hijau dengan komposisi
23.9 persen taman privat dan 38.3 persen ruang hijau seperti taman pemakaman, perkebunan, taman publik, lapangan golf, lapangan
rumput, habitat alami, country park, cagar
alam, dan taman konservasi. Presentase ruang hijau terhadap penduduk adalah 1,24
hektar per 1.000 orang.
The Green Flag Award adalah standar na-

Taman Alun-alun Kota Bekasi / Foto: Respati

16

Data Taman DPPPJU Tahun 2012


sional untuk mengukur kualitas ruang terbuka
hijau di Inggris. The Green Flag Award pertama kali diselenggarakan tahun 1996 untuk
memilih dan menganugerahkan ruang terbuka
hijau terbaik di negara tersebut. Ada 8 kriteria
penilaian taman kota, yakni (1). Keramahan
(welcoming), (2). Kebersihan, keamanan, dan
keselamatan, (3). Kebersihan, (4). Kelestarian,
(5). Perawatan dan Konservasi, (6). Keterlibatan komunitas dan masyarakat, (7). Publikasi dan pemasaran, dan (8). Manajemen.
Taman di Kota Bekasi
Kota Bekasi memang bukan New York.
Namun melihat visi-misi pembangunan Kota
Bekasi jelas ada keinginan yang sama. Yaitu ingin membangun kota modern yang layak huni,
ramah lingkungan dan manusiawi. Hanya saja
implementasi keinginan tersebut berbeda.
Tentu saja banyak faktor yang mempengaruhi.
Dari mulai lemahnya kebijakan pemerintah
hingga minimnya kesadaran warga.Mari tengok beberapa taman di pusat Kota Bekasi.
Pertama ialah Taman Alun-alun Kota

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

Bekasi. Sejak dibuka untuk umum akhir tahun


lalu taman kota di Jalan Veteran Kota Bekasi
seluas 2 hektar ini tak pernah sepi. Tiap pagi
dan sore nampak anak-anak kecil menghabiskan waktu di taman bersama orangtuanya. Inilah taman yang tengah dibangga-banggakan
Pemerintah Kota Bekasi.
Sebelum memasuki gerbang pengunjung disambut gerombolan burung merpati.
Pemerintah Kota Bekasi sengaja menyediakan
sangkar yang dipasang di pohon. Merpatimerpati itu jinak. Berkeliaran hanya di area
taman saja. Tentu saja petugas harus berepotrepot membersihkan kotorannya.
Ada tiga jalur utama berupa trotoar. Warga bisa berjalan kaki atau naik sepeda untuk
mengitari taman. Bentuk jalurnya semacam
huruf O yang dihalangi garis-garis lurus di
dalamnya. Di tengah-tengah ada sebuah bangunan tempat untuk berteduh.
Fasilitas bermain anak juga disediakan seperti perosotan dan ayunan. Ada pula kolam
dan air mancur yang berisi berbagai jenis ikan.
Rindangnya pepohonan membuat taman kota

menjadi area paling mencolok di antara masjid,


rumah sakit dan kantor kepolisian. Semua fasilitas itu disediakan atas kerjasama pemerintah
dan swasta.
Kepala Bagian Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bekasi Dadang Hidayat
mengatakan beberapa area di taman kota akan
ditambahkan beberapa fasilitas rekreasi seperti flying fox dan outbond. Selain itu akan ada
papan catur permanen di belakang taman agar
bisa dimanfaatkan semua orang yang berkunjung. Toilet akan diperbagus.
Untuk mengantisipasi adanya perusakan
pihaknya menyiapkan penjaga sebanyak 10
orang bergantian setiap hari. Ada juga petugas kebersihan, petugas perawatan tanaman
dan petugas perawatan peralatan. Beberapa
motor pengangkut sampah juga disediakan.
Di sebelah selatan taman ada ruang terbuka berpaving. Area ini biasanya ramai malam
hari. Para pedagang berderet di pinggir jalan.
Pengunjung bisa duduk di atas tikar sambil
menikmati makanan. Hanya dibatasi pagar,
sebelahnya lagi, ada lapangan. Ini kerap digunakan untuk upacara dan olahraga. Lapangan
ini juga terhubung dengan taman kecil tempat
Tugu Resolusi Bekasi berdiri.
Walikota Bekasi Rahmat Effendi menginginkan taman kecil tersebut dipugar menjadi taman lalu lintas. Menurutnya taman lalu
lintas adalah miniatur kawasan tertib lalu lintas. Ia berharap ini bisa memenuhi kebutuhan
ruang rekreasi warga terutama anak-anak.
Yang juga tak kalah ramai ialah taman di
kompleks GOR Bekasi. Taman ini dinamai Hutan Kota Bina Bangsa. Terletak berada di bagian
utara Stadion Bekasi. Untuk mengaksesnya pengunjung bisa masuk melalui pintu utama di Jalan Ahmad Yani. Atau tepatnya sebelum Flyover
Noer Ali Summarecon. Setelah itu ada pintu gerbang khusus untuk memasuki area taman.
Luas taman ini kira-kira dua kali lebih besar dari Taman Alun-alun. Jenis tanaman di
sini juga berbeda. Kebanyakan merupakan
pohon dengan ukuran besar. Kesan pertama
pengunjung ketika memasuki taman ini cenderung akan sama: teduh dan alami. Wajar jika
taman ini juga dijadikan area untuk kemah.
Begitu memasuki pintu gerbang pengunjung disuguhi suasana patriotik. Monumen Perjuangan Rakyat Bekasi tegak berdiri.
Dibangun di era pemerintahan Bupati Abdul
Fatah tahun 1978. Monumen ini berbentuk
tugu lima buah setinggi 17 meter yang melambangkan Pancasila dan Hari Kemerdekaan. Di
belakangnya terdapat relief yang menggambarkan perjuangan Rakyat Bekasi dalam empat periode. Tugu ini berdiri di tengah-tengah
kolam.
Mengitari seluruh area taman kita sera-

sa menyusuri perkampungan di tengah hutan. Ada areal terbuka yang diperuntukkan


untuk aktivitas pengunjung. Ada pula bangku-bangku permanen. Setiap pagi taman ini
ramai. Bahkan ketika bukan hari libur. Siswa
sekolah memanfaatkannya secara rutin untuk olahraga. Bila sore hari para pemain
sepatu roda berlatih di lintasan yang berada
di area taman. Ibarat pemain sirkus mereka
pun ditonton para pengunjung.
Mari kita bertolak ke Bekasi bagian Timur. Di
sekitar Terminal Bekasi ada Taman Cut Mutia.
Taman ini berada di Jalan Cut Mutia tepatnya
di persimpangan terminal. Sepintas bentuknya
mirip segitiga. Mengerucut. Tidak terlalu luas
memang. Tapi dibanding taman-taman di simpang jalan lainnya ini yang paling luas. Pohonpohonnya tertata apik seperti taman di depan
perkantoran. Cara menanamnya pun sengaja
lebih tinggi dari area untuk beraktivitas.
Di tengah-tengah taman ada bundaran
air mancur. Pengunjung kerap duduk-duduk
di sekitar air mancur ini. Tempat-tempat untuk pohon yang berbentuk kotak-kotak justru menambah kesan artistik jalur taman.
Mengingat tempatnya di persimpangan jalan
agaknya taman ini sengaja dirancang hanya
untuk singgah. Tapi setidaknya taman ini menjadi semacam penanda masuk Kota Bekasi
dari arah Kabupaten Bekasi. Ada tugu menjulang yang memuat tulisan Kota Bekasi.
Pemerintah Kota Bekasi mengaku hanya
mengelola 9 taman yang seperti di Jalan Cut
Mutia. Antara lain taman pemisah Jalan Hasibuan Bekasi Timur. Taman pemisah jalan di
sepanjang Jalan KH Noer Alie. Taman pertigaan
Stasiun Bekasi. Taman di sepanjang Jalan Djuanda. Taman di sepanjang Jalan Ahmad Yani, termasuk di depan area perkantoran Pemerintah
Kota Bekasi. Kemudian di area pintu keluar Tol
Bekasi Timur dan di daerah Jakasampurna.
Sedangkan taman yang sekelas dengan di
GOR dan Alun-alun antara lain Taman Lapangan Multiguna Bekasi Timur, Taman Lapangan
Pondok Gede dan Taman Lapangan Mustikjaya. Ini belum termasuk taman-taman di kelurahan dan perumahan.
Masalah yang Harus Diatasi
Permasalahan serius yang belum terpecahkan ialah kebersihan. Hampir semua taman di
Kota Bekasi penuh sampah. Di samping perawatan yang terkesan tidak intens kesadaran
warga membuang sampah pada tempatnya juga
masih rendah. Taman di Jalan Veteran yang dijadikan andalan saja kebersihannya diragukan.
Sampah mudah ditemui di mana-mana.
Begitu pula di Hutan Kota Bina Bangsa.
Saluran drainase dipenuhi sampah sehingga
kerap menimbulkan genangan ketika banjir.

Sampah berserakan di Hutan Kota Bina Bangsa Bekasi / Foto: Imam

Kolam yang seharusnya bisa menjadi daya


tarik pengunjung justru terlihat kotor. Air
mancur di Taman Cut Mutia juga mengalami
hal sama. Tidak berjalan. Bahkan genangannya menimbulkan bau tidak sedap. Ini menandakan bahwa tidak ada perawatan yang intens
dari pihak pengelola taman.
Taman Lapangan Multiguna juga semakin
memprihatinkan. Rumput-rumput yang dulunya terawat dan bisa digunakan sebagai arena
pertandingan sepak bola kini semakin rusak.
Bahkan ketika turun hujan menjadi becek. Ini
terjadi lantaran fungsinya tidak termanajemen
dengan baik. Misalnya sering dijadikan tempat
konser musik dan kegiatan lainnya yang cenderung merusak vegetasi di dalamnya.
Yang lebih mengkhawatirkan ialah adanya mafia tanah. Mereka memanfaatkan tanah pemerintah untuk kepentingan pribadi.
Sebut saja Taman Lapangan Pondok Gede.
Di sekelilingnya berdiri bangunan-bangunan
semi permanen yang sebenarnya fungsinya
untuk kepentingan publik. Bahkan ada yang
warga mengklaim bahwa tanah tersebut miliknya sehingga menimbulkan sengketa.
Karena taman sangat penting bagi kehidupan warga kota sudah seharusnya upaya untuk mengembangkan dan merawatnya ditingkatkan. Pemerintah bisa menjalin kerja sama
dengan pihak swasta agar taman-taman tersebut tidak hanya punya lahan dan pohon saja.
Tapi juga ada fasilitas-fasilitas lain yang membuat orang tertarik mengunjungi. Pemerintah
juga harus mampu merawat taman yang ada
agar tidak beralih fungsi menjadi bangunan.
Sudah saatnya Kota Bekasi menerapkan
manajemen pertamanan yang benar-benar
profesional. Selain membangun dan merawat,
taman mesti menjadi pusat interaksi warga
yang nyaman dan aman.***
Rujukan:
Mokoginta, Lukman. (2006). Politik Kota
dan Hak Warga Kota. Jakarta: Kompas.
Narasoma, Giri. (2011). Ruang Publik
Hyde Park London. Majalah Ruang Edisi 6.

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

17

Laporan Utama Revitalisasi Ruang Publik Kota Bekasi

Ada
Makna
yang
Terlupa
Sinta, gadis tujuh tahun, nampak
heran melihat Tugu Kali Bekasi di
Jalan Juanda. Bentuk tugu yang
aneh. Di bawahnya dikeilingi
relief bernuansa patriotik.
Anak kecil itu menarik baju
sang ayah yang sedang asyik
tawar-menawar harga dengan
pedagang di trotoar. Ayah,
itu bangunan apa?. Ayahnya
gelagapan menjawab. Maklum,
tujuan dia ke situ hanya berburu
batu akik.

l Tugu Resolusi Bekasi Jalan Veteran Bekasi Selatan/ Foto: Miftah

18

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

Sejak Tugu Kali Bekasi dibangun area di sekitarnya tak


pernah sepi. Para pedagang memanfaatkan trotoar untuk
berjualan. Barang dagangan yang ada di sini cukup beragam. Selain batu akik ada bermacam handpone bekas,
keris, uang kuno, jam, kamera bekas, dan banyak lagi. Pohon-pohon besar menjadi daya tarik pejalan kaki untuk
berteduh sambil melihat-lihat barang. Akhirnya membeli.
Namun tak banyak orang mengetahui makna tugu
tersebut. Di tempat ini pernah terjadi pembantaian 90
tentara Jepang oleh Pejuang Bekasi pada 18 Agustus

1945. Tragedi Kali Bekasi membuat Soekarno bertandang. Ia menenangkan rakyat


supaya tidak meluas menjadi kerusuhan
rasial. Tempat ini kerap dikunjungi orangorang Jepang untuk ritual tabur bunga.
Belum ada penjelasan resmi dari Pemkot
Bekasi tentang filosofi bangunan tersebut.
Di sekitar Stasiun Kota Bekasi ada satu
lagi tugu yang menarik perhatian. Orang
menyebutnya Patung Lele. Kini bentuknya
berupa batangan lurus saja seperti jarum.
Di atasnya terdapat jam rusak. Sepintas
mirip Jam Gadang di Bukit Tinggi Padang.
Kondisinya cukup memprihatinkan. Lempengan-lempengan besi dibiarkan tak beraturan setelah papan iklan yang menempel dicopot.
Tugu ini terletak tepat di perempatan dekat stasiun. Orang tidak tahu apa
makna di balik bangunan ini. Dulu memang
berbentuk ikan lele serta memiliki filososi
tersendiri. Namun sebagian masyarakat
menolak kemudian ramai-ramai membongkarnya pada tahun 2002. Konon lele dianggap hewan rakus,pemakan kotoran.
Kondisi ini akhirnya mengundang pertanyaan banyak orang. Wina (32) misalnya, wanita yang tiap hari lewat tugu itu,
berkomentar, harusnya bisa seperti tugu di
Yogyakarta. Tempatnya di perempatan dan
menjadi ciri khas kota. Kalau begini tak ada
kesan keindahannya sama sekali.
Padahal di sebelah timur Patung Lele
ada taman kecil yang teduh. Bila ditata
dengan baik dan dipadu dengan ikon kota
pasti lebih apik. Sayangnya pagar yang
mengelilingi taman kota dipenuhi bendera
partai, spanduk berwajah politisi, serta baliho-baliho.Seolah-olah ruang publik telah
menjadi panggung narsisme.
Bertolak ke arah selatan dekat Masjid Al
Barkah ada sebuah tugu lagi yang memiliki
nilai sejarah tinggi. Ini merupakan monumen tonggak berdirinya Bekasi. Terletak di
Jalan Veteran depan Kodim 0507. Tugu Resolusibegitu
namanyaberbentuksegi
lima dengan tinggi 5,8 meter. Berdiri tegak
di tengah lapangan yang dikelilingi pagar
persegi lima setinggi satu meter. Dominasi
angka lima melambangkan dasar negara
Pancasila.
Di tugu ini pernah terjadi peristiwa penting. Pada 17 Januari 1950 ada rapat akbar
yang dipimpin KH. Noer Alie dan diikuti
40.000 warga Bekasi. Rapat akbar menghasilkan pernyataan bahwa rakyat Bekasi setia kepada Republik Indonesia. Rakyat berkeinginan

melepaskan diri dari Karisidenan Jatinegara.


Mandiri menjadi Kabupaten Bekasi. Namun
tak ada penanda apa. Wajar jika warga pun
acuh tak acuh.
Ada lagi monumen di Jalan Agus Salim.
Dibangun pada 13 Desember 1949 untuk
menandai pembumihangusan Bekasi oleh
tentara sekutu pada 13 Desember 1945 .
Monumen ini berbentuk tugu persegi empat
dengan tinggi 210 cm. Puncaknya atau disebut kepala tugu tingginya 75 cm. Kabarnya
dilengkapi dengan pecahan peluru, mortir,
granat tangan dan sepucuk pistol genggam
milik pejuang. Kondisi tugu saat ini cukup
memprihatinkan. Tidak terawat.
Di Kompleks GOR Bekasi berdiri Monumen Perjuangan Rakyat Bekasi. Ini dibangun
di era pemerintahan Bupati Abdul Fatah
tahun 1978. Monumen ini berbentuk tugu
lima buah setinggi 17 meter yang melambangkan Pancasila dan hari kemerdekaan.
Di belakangnya terdapat relief yang menggambarkan perjuangan rakyat Bekasi dalam
empat periode.
Mengukuhkan Identitas
Monumen erat hubungannya dengan
landmark atau penanda kota. Sebab monumen ditunjang sejumlah elemen yang mampu memberikan citra melalui seni bangun
arsitekturnya. Monumen bahkan seringkali dibangun di lokasi yang pada masa lalu
pernah terjadi peristiwa penting. Tugu Kali
Bekasi dan Tugu Resolusi Bekasi merupakan
contohnya.
Namun monumen dibangun tidak saja
untuk keperluan estetika kota saja. Lebih
dari itu monumen bisa menjadi mendium
warga kota merefleksikan nilai sosial budaya. Juga sebagai medium pewarisan
nilai tertentu yang dianggap penting dari
generasi satu ke generasi yang lain. Jika
nilai itu sampai kepada penerima maka
monumen telah berhasil membangkitkan
spirit warga kota.
Peneliti dari Amerika Serikat, Kevin
Lynch, dalam bukunya Imagine of The City,
mengemukakan bahwa setiap setiap orang
selalu memiliki kesan terhadap lingkungannya. Ada lima elemen dasar yang menurut
Lynch bisa menguatkan citra kota. Antara
lain Path, Node, Landmark, District dan
Edge. Kepala Pusat Kajian Otonomi dan
Pembangunan Daerah (Puskopda) Universitas Islam 45 Bekasi Haris Budiyono mencoba menjelaskan gagasan Lynch.
Menurut Haris monumen seringkali

l Tugu Kali Bekasi Jalan Juanda / Foto: Miftah

dibangun di persimpangan. Atau node


dalam istilah Lynch. Di persimpangan-persimpangan jalan itulah ingatan warga kota
kadang melekat. Maka jika monumen dihadirkan setiap yang lewat pastilah memperhatikan. Purwakarta adalah daerah yang
saat ini gencar membangun monumen di
tiap-tiap persimpangan. Efeknya kesan yang
muncul dalam ingatan publik ialah Purwakarta Kota Estetik.
Namun menurut Haris apalah arti sebuah penanda dalam kota jika tidak memiliki arti apa-apa bagi warganya. Apalagi tidak dibanggakan. Sebuah monumen adalah
ruang publik di mana setiap orang merasa
hadir di sana meski tidak secara fisik.Maka
konsep yang matang sangat dibutuhkan ketika membangun monumen. Ada unsur estetika tapi juga ada nilai sejarah dan budaya
di dalamnya.
Ketua Dewan Kesenian Kota Bekasi Ridwan Marhid menyesalkan kondisi monumenmonumen di kota ini. Ke depan ia berharap
monumen bersejarah di Kota Bekasi lebih
mudah diakses publik dan memiliki kesan
yang menarik. Contoh kecil ialah dengan menambahkan papan informasi di area monumen agar pengunjung tahu lebih banyak apa
yang melatarbelakangi dibangunnya monumen tersebut.***

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

19

Laporan Utama Revitalisasi Ruang Publik Kota Bekasi

Melihat Bekasi
Lebih Dekat

Permukiman padat Kota Bekasi / Foto: Dok. Distakot Bekasi

Kota Bekasi tidak bisa dilepaskan dari desain pembangunan nasional, provinsi dan kawasan. Kota Bekasi
berperan sebagai pengimbang (counter magnet) ibu kota mengingat letaknya yang berdekatan. Juga
merupakan perbatasan dua provinsi. Dalam struktur tata ruang makro tersebut Kota Bekasi diarahkan
pengembangannya sebagai pusat kegiatan bidang jasa, perdagangan, industri dan permukiman. Maka
kebijakan sangat penting dan berpengaruh dalam pembangunan Kota Bekasi ke depan.

20

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

Dengan luas sekitar 210, 49 km2 , Kota


Bekasi memiliki 12 kecamatan dan 56 kelurahan. Mustika Jaya merupakan wilayah terluas
(24,73 Km2) sedangkan Bekasi Timur terkecil
(13,49 Km2). Kota Bekasi dikepung Kabupaten
Bekasi sebelah utara dan timur, Kabupaten
Bogor di sebelah selatan, Jakarta Timur sebelah Barat.
Wilayah Kota Bekasi terletak pada ketinggian dan rata-rata kurang 25 m di atas permukaan air laut. Ketinggian kurang dari 25 meter
berada pada Kecamatan Bekasi Utara, Bekasi
Selatan, Bekasi Timur, dan Pondok Gede. Sedangkan ketinggian antara 25-100 meter di
atas permukaan air laut berada di Kecamatan
Bantargebang, Jatiasih dan Jatisampurna.
Keadaan morfologi wilayah Kota Bekasi relatif berawa, datar dan menyebar. Kemiringan lahannya bervariasi antara 0-2%. Jadi kota ini mustahil punya bukit. Dari peta aliran sungai di Kota
Bekasi berkelok-kelok dan bercabang.
Kondisi tanah kota Bekasi yang relatif datar menyebabkan adanya potensi bencana
berupa banjir. Ini belum lagi mempertimbangkan kondisi aliran air permukaan dan air tanah
Kota Bekasi. Maka sistem drainase yang bagus
adalah keharusan.
Ada beberapa daerah langganan banjir.
Antara lain sebagian Kelurahan Jatirahayu, Kelurahan Jatirasa, Kelurahan Jatimekar, Kelurahan Bojongmenteng, Kelurahan Jakasetia, Kelurahan Pekayon Jaya, Kelurahan Pengasinan,
Kelurahan Arenjaya, Kelurahan Bintarajaya,
Kelurahan Kotabaru, Kelurahan Durenjaya dan
Kelurahan Margajaya.
Lahan Semakin Terbatas
Perkembangan jumlah dan laju penduduk
Kota Bekasi yang sangat tinggi dihadapkan
pada keterbatasan lahan. Pada masa-masa
mendatang ini dapat menimbulkan permasalahan antara lain sulitnya warga mendapatkan lahan murah untuk rumah. Kualitas lingkungan hidup juga terancam karena ambang
batas kepadatan penduduk telah terlampaui
terutama di wilayah pusat kota.
Lokasi perumahan saat ini sebagian besar berada di Kecamatan Bekasi Timur, Bekasi
Barat, Bekasi Selatan dan Bekasi Utara. Lahan
tidak terbangun berada di wilayah selatan
Kota Bekasi seperti Kecamatan Jatiasih, Jatisampurna, Bantargebang dan Mustikajaya.
Dimanfaatkan untuk sawah, kebun campuran
maupun tegalan.
Karena pertumbuhan dan kegiatan ekonomi di Jakarta dan sekitarnya begitu pesat
maka kebutuhan lahan perumahan menjadi
lebih tinggi. Kota Bekasi salah satu wilayah
yang sangat diminati investor. Ini terlihat dari
izin lokasi perumahan yang masuk ke pemer-

intah. Izin lokasi perumahan sebagian besar


terdapat di wilayah selatan karena memang
masih ada lahan dan infrastrukturnya pun
relatif memadai.
Data Dinas Tata Kota Bekasi menyebutkan
alokasi lahan untuk perumahan tinggal 8 persen. Jika 8 persen itu sudah terbangun maka
tidak ada lagi lahan untuk perumahan. Sejak
tahun 1997 sampai 2011 sedikitnya ada 210
perumahan baru berdiri. Tahun 2012 ada 75
perumahan dan tahun 2013 ini sudah ada 13
perumahan yang dibangun. Jika dirata-rata 19
perumahan baru dibangun tiap tahunnya.
Keterbatasan lahan perlu diantisipasi
dengan penataan kawasan tersebut. Salah
satunya mengenalkan permukiman vertikal
dalam bentuk rumah susun atau apartemen.
Pengembangan pola-pola permukiman vertikal ini di samping dapat mengatasi keterbatasan lahan juga dapat menambah ruang
terbuka hijau di kawasan perkotaan. Sehingga

Karena pertumbuhan kegiatan


ekonomi di Jakarta dan sekitarnya
begitu pesat maka kebutuhan lahan
perumahan menjadi lebih tinggi.
Kota Bekasi salah satu wilayah yang
sangat diminati investor.

dapat meningkatkan kualitas lingkungan kawasan perkotaan. Dan yang terpenting harga
bisa terjangkau.
Dengan bangunan vertikal maka kepadatan
penduduk suatu kawasan dapat meningkat dengan pemenuhan kebutuhan akan ruang bagi
masing-masing orang tetap terpenuhi. Kebutuhan akan ruang untuk aktivitas lain juga tetap
terpenuhi. Seperti kegiatan perdagangan dan
jasa dapat dialokasikan di lantai dasar bangunan. Begitu pula dengan kebutuhan akan ruang
terbuka hijau dapat dipenuhi.
Pemerintah Kota Bekasi berencana mendirikan rumah-rumah vertikal ini di daerah yang
mudah menjangkau transportasi umum. Pertimbangannya, itu akan semakin meringankan penghuninya. Di pusat kota rumah vertikal dibangun
di Kelurahan Margahayu.
Di bagian utara dan tengah dibangun di
Bekasi Jaya, Aren Jaya, Duren Jaya, Kranji, Kota
Baru, Pekayon Jaya, Kayuringin Jaya, Sepanjang Jaya, Pengasinan, Medansatria, Harapan
Mulya, Jatiwaringin, Jaticempaka dan Jatirahayu. Kemudian di daerah Selatan dibangun di
Kelurahan Jatisampurna, Jatirangga, Jatikarya,
Bantargebang, Cikiwul dan Pedurenan.

Peluang Ekonomi
Tingkat penyerapan tenaga kerja dari sektor-sektor ekonomi Kota Bekasi masih rendah
sementara pencari kerja cukup besar. Ini pada
akhirnya dapat menimbulkan masalah pengangguran. Heterogenitas masyarakat baik
secara sosial-ekonomi maupun sosial-budaya
yang menuntut pemenuhan kebutuhan beragam pun belum terakomodasi dalam pemanfaatan ruang kota.
Penduduk Kota Bekasi terdiri dari penduduk asli dan migran. Para pendatang hadir
dan bekerja di Bekasi dan Jakarta. Penduduk
migran lebih banyak jumlahnya dibanding
dengan penduduk asli. Sebabnya perkembangan kegiatan di Jakarta menjadikan Kota Bekasi menjadi penyangga. Namun ini sebenarnya
berpeluang bagi Kota Bekasi untuk membuka
lapangan kerja.
Seperti di Jakarta jenis lapangan pekerjaan
di Kota Bekasi yang tepat adalah pekerjaan yang
memberikan kontribusi tinggi terhadap perekonomian daerah seperti industri pengolahan,
jasa, perdagangan, hotel, dan restoran. Sektorsektor inilah kini berpeluang di Kota Bekasi.
Berdasarkan Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) Kota Bekasi dari tahun 2005
hingga tahun 2011, sektor yang memberikan
kontribusi terbesar adalah sektor industri pengolahan khususnya industri nonmigas. Pada
tahun 2005 kontribusinya cenderung stabil
sekitar 47,1% dari total PDRB Kota Bekasi.
Sedangkan sektor lain yang juga memberikan
kontribusi besar tinggi setelah industri pengolahan adalah sektor perdagangan, hotel dan
restoran dengan peranan sekitar 28,%. Sektor
pengangkutan pada tahun 2010-2011 kontribusinya naik dari sekitar 4% menjadi sekitar
7%. Kemudian disusul sektor jasa, keuangan,
bangunan dan listrik. Yang kontribusinya sangat kecil hanya pertanian.
Meski demikian lahan di Kota Bekasi sangat terbatas sehinga diperlukan kebijakan yang
lebih progresif untuk mendukung pengembangan sektor yang berkontribusi tersebut tanpa
mengurangi ketersediaan ruang terbuka.
Kota Bekasi bagian utara saja semakin padat baik untuk industri maupun permukiman.
Melihat daya dukung lingkungan bangunan
berat dan perluasan industri janganlah dilakukan. Muka air tanah daerah ini berpotensi
turun. Kontur tanahnya lunak pula. Kegiatan
industri sebaiknya diarahkan ke wilayah Kota
Bekasi bagian selatan di sekitar Kecamatan
Bantargebang.
Menuju Industri yang Ramah
Secara umum kegiatan perdagangan dan
jasa yang berkembang di Kota Bekasi menempati lokasi di sepanjang jalan utama baik itu jalan

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

21

Laporan Utama Revitalisasi Ruang Publik Kota Bekasi

arteri maupun jalan kolektor. Kegiatan perdagangan dan jasa berkembang di pusat kota umumnya terpusat di Jalan Juanda, Jalan Ahmad
Yani, dan Jalan Sudirman, Jalan Kartini.
Melihat kecenderungan perkembangan
kota maka kawasan ini diharapkan dapat
menjadi Pusat Kota (Centre Business District). Untuk membentuk kegiatan pusat
kota dibutuhkan pengaturan jenis dan skala
kegiatan sehingga image yang terbentuk
bisa lebih utuh. Untuk itu pengaturan penggunaan ruang diarahkan dengan kriteria
tertentu agar dapat berdayaguna dan berhasilguna. Sayangnya sebagian besar kegiatan perdagangan dan jasa tersebut belum
menyediakan fasilitas parkir yang memadai
sehingga seringkali menimbulkan kemacetan arus lalu lintas.
Sementara kegiatan industri di Kota Bekasi
masih acak di beberapa lokasi-lokasi industri
seperti di Kelurahan Harapan Jaya, Medansatria, Kalibaru, dan Pejuang. Lokasi industri
juga berkembang di sekitar Kecamatan Bantargebang.
Yang menjadi permasalahan keberadaan
kegiatan industri ini kemudian bercampur
dengan kegiatan lain seperti perumahan atau
perdagangan dan jasa. Apabila tidak ditangani dan dikontrol dengan benar tentu dapat
mencemari lingkungan sekitar baik berupa
pencemaran suara, udara, ataupun limbah.
Untuk mencegah pencemaran maka kegiatan
industri penghasil limbah berbahaya perlu
dilengkapi fasilitas pengolahan limbah yang
baik. Ke depan perkembangan kegiatan industri ini mesti ramah lingkungan atau akrab
disebut clean industry.
Kondisi ruang terbuka hijau juga semakin
memprihatinkan. Ruang terbuka hijau berupa
lahan pertanian di sebagian Kecamatan Bantargebang, Jatisampurna, Medansatria saat
ini mulai terkikis digantikan dengan bangunan khususnya permukiman skala besar yang
dikembangkan swasta.
Jalur hijau seperti di sepanjang jalur
sungai, jalan utama kota dan jalur rel kereta
api, pun digeser bangunan, baik untuk kegiatan perdagangan, jasa, industri, pergudangan maupun perumahan. Kondisi ini
sangat menyulitkan pelebaran jalan apabila
dipandang perlu. Akhirnya jika terpaksa dilakukan pembebasan lahan tentu memakan
biaya besar.
Hilangnya ruang hijau di jalur hijau ini jika
tidak direspon serius bisa menimbulkan persoalan lebih gawat. Bantaran sungai di pusat Kota
Bekasi berganti menjadi daerah terbangun. Permasalahan akan muncul pada saat sungai meluap di musim hujan. Daerah dekat sungai di Kota
Bekasi dipastikan langganan banjir.
22

Pengembangan Jaringan Jalan


Berdasarkan Sistem Permukiman Nasional Kota Bekasi dalam lingkup regional telah
ditetapkan sebagai pusat permukiman. Guna
mendukung fungsi dan peran ini Kota Bekasi
perlu mempersiapkan pengembangan jaringan jalan primer baik jalan arteri maupun
jalan kolektor. Jalan arteri primer berfungsi
menghubungkan pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan wilayah. Sedangkan jalan
kolektor primer berfungsi menghubungkan
antarpusat kegiatan wilayah.
Akses jalan di dalam kawasan perumahan di
Kota Bekasi relatif bagus. Namun akses antarkawasan perumahan kurang memadai karena masih menggunakan jalan arteri maupun kolektor
yang melewati areal permukiman padat.
Saat ini jaringan jalan primer di Kota
Bekasi belum berfungsi maksimal. Untuk
itu pengembangan jaringan jalan primer di
masa mendatang harus dirancang sungguhsungguh. Ini perlu mempertimbangkan kondisi sistem jaringan jalan regional di luar Kota
Bekasi seperti Kabupaten Bekasi, Kabupaten
Bogor, dan DKI Jakarta.
Kondisi struktur jalan Kota Bekasi saat ini
menimbulkan berbagai permasalahan krusial.
Kota Bekasi memiliki struktur jalan dengan pola
terpusat dan berorientasi ke pusat kota. Jalan regional juga melintasi kawasan pusat kota.
Kita perlu membangun jalan alternatif untuk menghubungkan pusat-pusat kegiatan di
luar dan di dalam Kota Bekasi. Sehingga setiap
pergerakan baik eksternal-eksternal, eksternal-internal, maupun internal-internal, tidak
harus selalu melalui wilayah pusat kota yang
saat ini sudah ramai.
Pada umumnya kota-kota di negara berkembang memiliki segudang permasalahan transportasi akibat konsep pengembangan jaringan
jalan yang kurang baik. Kita lebih sering melakukan perbaikan jaringan jalan daripada mencoba
menyediakan jaringan jalan.
Beberapa rencana pembangunan jalan
regional strategis yang melintasi atau berada
di Kota Bekasi antara lain pembangunan Jalan
Tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) Jati AsihCikunir, Jalan Tol Layang Cawang-Bekasi, Jalan
Tol Jatiasih-Setu (Penghubung JORR 2 dan
JORR I), Jalan Tol JORR 2 dari Cibubur-Cileungsi-Setu-Babelan hingga JORR I di Cakung.
Kemudian pelebaran dan pembangunan
jalan baru di Jalan Raya Bekasi, meliputi Jalan
Pejuang-Kaliabang- Cikarang, pelebaran Jalan Siliwangi. Kemudian pembangunan jalur
Busway dari Setu-Jalan Siliwangi Tol Bekasi
Jakarta. Jalur double double track CikarangJakarta sepanjang jalur kereta api yang ada.
Pemerintah Kota Bekasi sendiri juga berencana membangun jalan tol dalam kota. Antara

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

lain Tol dari Bintara (terusan Jalan Ngurah Rai)


hingga Aren Jaya (Jalan Pahlawan). Jalan ini
dikembangkan untuk mengantisipasi rencana
Double Double Track Kereta Api dari Manggarai (Jakarta) ke Cikarang. Kemudian tol dari Jalan Ahmad Yani hingga Jalan Pejuang. Jalan ini
dikembangkan untuk melancarkan pergerakan
wilayah Bekasi utara dengan daerah selatan.
Untuk meminimalisasir kemacetan arus
lalu lintas yang terjadi akibat tingkat kepadatan kendaraan, terutama di persimpanganpersimpangan yang ada di jalan utama pusat
kota dan di persimpangan sebidang dengan
rel Kereta api, Kota Bekasi akan merealisasikan pengembangan interchange, baik berupa
flyover, skycross maupun underpass.
Yang direncanakan akan dibangun antara
lain Interchange Ahmad Yani, Flyover dari Jalan Pahlawan-Jalan Joyomartono, Flyover H.
Agus Salim, Interchange JORR Jalan Hankam
Raya, Interchange JORR Jalan Jatikramat.
Perlu Infrastruktur Memadai
Seperti dipaparkan di atas, penetapan sektor
permukiman sebagai salah satu sektor unggulan
di Kota Bekasi membawa konsekuensi pesatnya
pertumbuhan penduduk. Namun ketika permukiman-permukiman terbangun apakah sarana
dan prasarana bagi warga terpenuhi? Ternyata
masih banyak masalah.
Pelayanan kesehatan dan pendidikan belum
merata. Sekolah, rumah sakit, klinik maupun
puskesmas, masih terpusat di tengah kota. Padahal kedua bidang ini menjadi penjaga generasi
penerus bangsa. Kegiatan yang terpusat di satu
titik tentu membawa dampak keruwetan.
Kemudian yang perlu dipikirkan juga
adalah penyediaan sarana air bersih. Di masa
mendatang, pelayanan air bersih kota Bekasi
tidak dapat bergantung pada sumber air baku
dari Tarum Barat saja. Mengingat saluran tersebut terbatas kapasitasnya karena harus melayani DKI Jakarta.
Jaringan drainase pun mengalami kendala
dengan adanya sarana lain seperti jalur kereta
api, jalan tol dan jalan arteri. Prasarana transportasi yang membelah kota Bekasi dari Timur
ke Barat tentu mengganggu penyaluran air
limpasan hujan. Dan saat ini banjir telah akrab
dengan Kota Bekasi.
Seiring dengan bertambahnya penduduk
perlu juga diperhatikan permasalahan pengelolaan air limbah yang timbul di wilayah dengan
kepadatan tinggi. Pada daerah tersebut sistem
on-site yang menggunakan cubluk atau jamban
tangki septik tidak mungkin lagi dapat diterapkan. Dan di waktu bersamaan sistem prasarana
persampahan menghadapi banyak kendala. Ini
terutama disebabkan semakin sulitnya mencari
lahan untuk lokasi TPA.***

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

23

Laporan Utama Revitalisasi Ruang Publik Kota Bekasi

Sejenak
Menengok
Macet
Kemacetan menjadi pemandangan lazim di Kota Bekasi. Hampir semua
jalan utama di kota ini mengalami kemacetan. Apa penyebabnya?
Banyak faktor. Terutama karena kita warga kumuter. Suka mondarmandir.Bolak-balik dengan kendaraan pribadi.

Pergerakan komuter ini membebani


jalan penghubung Kota Bekasi-Jakarta.
Antara lain Jalan Sultan Agung, Jalan K. H
Noer Ali, Jalan Raya Jatiwaringin, dan Jalan Tol Bekasi-Jakarta. Saat ini saja jumlah kendaraanberbagai jenisdi Kota
Bekasi berkisar 500.000 unit. Tahun 2012,
70.715.032 kendaraan memasuki jalan tol
di Kota Bekasi. Jumlah ini terus meningkat
dari tahun ke tahun.
Pemerintah Kota Bekasi juga mencatat
penambahan titik kemacetan pada tahun
2013. Tahun 2011 hanya 11 titik, tahun
2012 naik menjadi 17 titik, kemudian menjadi 19 titik. Titik macet tersebut antara lain
di depan Metropolitan Mal, Jalan KH Noer
Ali depan Bekasi Cyber Park, Jalan Jenderal
Sudirman depan Grand Mall.
Kemudian sekitar Pintu Tol Bekasi
Timur, pintu keluar Tol Bekasi Barat, pintu
keluar Tol Jatiwaringin, simpang Harapan
Indah, simpang Pondok Ungu, simpang
Alexindo, Jalan Caman, Simpang Rumah
Sakit Bella Bekasi Timur, Jalan Perjuangan,
Jalan Juanda, simpang Kemang Pratama,
Jalan Siliwangi-Pendawa, simpang KomsenJatiasih, putaran Pasar Pondokgede, Super
Indo Giant Galaxy, dan Jalan Cut Mutia.
24

Pesatnya pembangunan perumahan


ternyata tidak dibarengi dengan pengembangan jaringan jalan primer, baik arteri
maupun kolektor. Sampai tahun 2012,
panjang jalan di Kota Bekasi mencapai
3.193,037 km dengan rincian 132,182 km
merupakan jalan primer dan 1.527,355 km
jalan sekunder. Sedangkan jalan lingkungan
yang terdapat di Kota Bekasi tahun 2012
adalah 1.533,50 km.
LOS (Level of Service) adalah salah satu
metode menilai kinerja jalan. Nilai LoS E
berarti arus tidak stabil, kecepatan rendah dan berbeda-beda, volume mendekati
kapasitas. Sedangkan nilai LoS F berarti
arus terhambat, kecepatan rendah, volume
di atas kapasitas, sering terjadi kemacetan
cukup lama.
Kapasitas jaringan jalan utama di Kota
Bekasi tidak mampu menampung volume
pergerakan. Nilai LoS menunjukkan E dan
F. LoS E berada di jalan-jalan utama pusat
kota, seperti Jalan Juanda, Ahmad Yani, dan
akses menuju Jakarta. Sedangkan LoS F berada pada akses menuju utara dan selatan.
Antara lain Jalan Perjuangan, Joyomartono
dan Pengasinan.
Kondisi ini diperparah dengan berjum-

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

l Kepadatan lalulintas simpang Tol Bekasi Barat / Foto: Miftah

lahnya kendaraan setiap tahunnya, saat ini


saja jumlah kendaraan berbagai jenis di Kota
Bekasi yang berkisar 500.000 unit. 260.000
di antaranya jenis motor. Kepadatan lalu
lintas terlihat pada volume kendaraan yang
masuk melalui gerbang tol di Kota Bekasi
tahun 2012 ada sebanyak 70.715.032 kendaraan. Jumlah ini meningkat sebesar 62,34
persen dibandingkan tahun yang lalu,dan
ini diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya.
Hal ini mengakibatkan perempatan
yang terdapat lampu lalu lintas. Kendaraan
pun terhambat dan akhirnya macet. Para
pengendara juga kerap menerabas rambu
sehingga menimbulkan kekacauan. Namun,
benarkah angkutan umum adalah solusi kemacetan?
***
Angkutan umum yang dominan dalam
pergerakan internal Kota Bekasi adalah
paratransit dan angkutan kota. Paratransit
yang dominan ialah ojeg. Masing-masing
angkutan umum tersebut memiliki permasalahan tersendiri.
Paratransit memang dibutuhkan untuk
melayani pergerakan yang tidak terjangkau
angkutan kota. Terutama bagi yang tidak
memiliki kendaraan pribadi. Namun, di sisi
lain, daya tampung paratransit sangat terbatas. Jalan pun terbebani lebih berat.
Ada pun isu krusial seputar angkutan
kota tidak terlepas dari keterbatasan kemampuan jalan. Trayek-trayek angkutan
kota di Kota Bekasi telah mencapai batas
yang ditentukan. Hal inilah yang menyebabkan sulitnya pengembangan angkutan kota
di Kota Bekasi. Menurut Kepala Dinas Perhubungan Kota Bekasi Supandi Budiman,
angkutan umum juga ternyata menyumbang 30 persen kemacetan. Data yang ada
menunjukan, tahun 2012 jumlah angkutan
kota sebanyak 3.762 unit yang melayani 34
trayek. Sedangkan mikrobus sebanyak 414
unit dan taksi sebanyak 6.875 unit.
Bagaimana mengatasinya? Jumlah armada harus ditentukan dan trayek diatur
lagi. Kualitas ditingkatkan. Ini demi kenyamanan penumpang. Sebab, angkutan kota
sering dicap ugal-ugalan dan tidak tertib.
Maka, pengaturan lalu lintas sangat penting. Antara lain menertibkan pedagang di
simpang jalan, mengatur jam operasional
angkutan berat, menata angkutan umum
paratransit, serta memperjelas trayek angkutan luar kota.
Sistem transportasi perkotaan merupak-

an sistem yang kompleks dan melibatkan


berbagai instansi atau lembaga. Lembaga
yang terkait dengan sistem transportasi di
Kota Bekasi dapat dikelompokkan menjadi
Lembaga Perencanaan, Lembaga Pelaksana
Teknis, dan Lembaga Pengawasan.
Sedangkan yang termasuk lembaga
pelaksana teknis antara lain Dinas Perhubungan, Dinas Bina Marga dan Tata Air,
Kepolisian, Perum Damri, PT. KAI, Asosiasi
Angkutan Umum, dan sebagainya. Bentuk
koordinasi kelembagaan antarlembaga terkait dalam sistem transportasi di Kota Bekasi dilakukan mulai dari tahap perencanaan
transportasi, pelaksanaan pembangunan
transportasi, hingga monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan.
Di samping bentuk koordinasi kelembagaan antarlembaga di lingkungan Pemerintah Kota Bekasi, mengingat sifat transportasi yang lintas wilayah, maka koordinasi kelembagaan juga perlu dilakukan.
Yaitu antarinstansi kabupaten/kota terkait,
dalam hal ini Pemerintah DKI Jakarta, Kabupaten Bogor dan Pemerintah Kabupaten
Bekasi, termasuk di lingkungan Provinsi
Jawa Barat.
***
Jumlah tempat parkir di Bekasi belum
mencukupi. Padahal ada dua jenis tempat parkir: di badan jalan (on-street parking) dan luar jalan (off-street parking. Dari
sisi pergerakan lalu lintas, keberadaan onstreet parking mengurangi kapasitas efektif
jalan dan menghambat arus lalu lintas. Ini
terlihat di semua jalan utama. Dinas Perhubungan mencatat, sedikitnya ada 70 titik
parkir liar di bahu-bahu jalan ini.
Penertiban terhadap on-street parking
di ruas-ruas jalan Kota Bekasi perlu segera
dilakukan. Hal ini mengingat kondisi ruasruas jalan Kota Bekasi yang digunakan onstreet parking tidak begitu lebar. Selain itu,
kegiatan on-street parking yang tidak tertib
akan menyebabkan penurunan kapasitas
efektif ruas jalannya sehingga pada akhirnya akan menimbulkan kemacetan.
Ada beberapa langkah menertibkan
on-street parking. On-street parking harus
ditentukan di beberapa titik saja. Kemudian dibatasi jam operasionalnya. Misal di
luar jam berangkat dan pulang kerja. Setiap
kendaraan juga dibatasi lama parkirnya.
Ruas jalan mesti dipasangi rambu, baik yang
boleh untuk parkir maupun tidak. Bagi yang
melanggar, kenakan sanksi. Manajemen
yang baik sangat menentukan keberhasilan

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

25

Laporan Utama Revitalisasi Ruang Publik Kota Bekasi

on-steet parking ini.


Namun, yang menjadi prioritas semestinya ialah pengadaan off-street parking.
Setiap bangunan wajib menyediakan lahan
parkir yang memadai. Solusi lain ialah membangun parkir bersama di beberapa titik.
Area parkir bersama ini hendaknya mudah
menjangkau transportasi umum. Di Stasiun
Bekasi, misalnya, lahan parkir sangat dibutuhkan. Warga yang hendak ke Jakarta tinggal menitipkan kendaraan di Stasiun. Kemudian ia naik KRL.
Kota Bekasi juga belum memiliki terminal yang representatif. Padahal jumlah
trayek maupun kendaraan angkutan kota
sangat banyak. Kondisi terminal tipe B di
Jalan Juandatidak layak akibat bercampur
dengan pasar. Jaringan jalan telah rusak sehingga mengakibatkan kemacetan di sekitar
akses keluar-masuk terminal ini.
Sedangkan di Pondokgede, yang selama
ini berfungsi sebagai terminal tipe C, ternyata
tidak ditemui fisik terminal. Kemacetan di daerah Pasar Pondokgede mengakibatkan akses
menuju Kota Jakarta terhambat. Permasalahan lainnya adalah tumbuhnya terminal-terminal bayangan. Terminal ini menggunakan
badan jalan. Jelas menggangu lalu lintas.
Kemacetan seringkali terjadi pula di jalan

depan stasiun. Stasiun yang ada di Kota Bekasi adalah Stasiun Bekasi dan Stasiun Kranji.
Stasiun Bekasi berada di pusat kota dengan
jaringan jalan yang relatif padat lalu lintas.
Pengaturan lalulintas di daerah ini perlu dilakukan, terutama menertibkan ojeg dan angkutan kota yang berhenti sembarangan.
Persoalan struktur jalan dan transportasi juga menjadi perhatian serius Pemkot
Bekasi. Ini terlihat dalam rencana penataan struktur jalan yang tertuang di Perda
RTRW 2011-2031. Penataan jalan diarahan
untuk memudahkan warga mengakses keluar atau menuju Kota Bekasi. Perencanaan
tentu menyesuaikan kebijakan DKI Jakarta,
Kota Depok, Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Bogor.
Pemerintah Kota Bekasi berencana
membuka jaringan jalan baru yang melintang baik dari arah utara-selatan maupun
barat-timur. Jaringan jalan ini dapat berupa
jaringan jalan raya ataupun jalan bebas
hambatan (jalan tol). Secara lebih detail,
rencana pengembangan meliputi rencana
pembangunan jalan regional, rencana pembangunan jalan tol dalam kota; rencana
pengembangan jaringan jalan internal; rencana penanganan persimpangan sebidang;
serta rencana penanganan parkir.

Berebut jalan di perempatan Jalan A. Yani / Foto: Miftah

26

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

Kepala Dinas Tata Kota Bekasi, Koswara,


menjelaskan dalam naskah akademik Perda
RTRW terdapat beberapa pembangunan
jalan regional strategis yang melintasi atau
berada di Kota Bekasi. Salah satu di antarnya
yang sudah selesai tahap pembangunan
dan dioperasikan adalah pembangunan Jalan Tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) Ruas
Jati Asih-Cikunir dan Jalan Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu. Keberadaan jalan
regional strategis tersebut secara langsung
mempengaruhi struktur penaataan jalan di
Kota Bekasi, jelas Koswara.
Pembangunan struktur jalan dalam kota
juga disiapkan. Untuk mengurai kemacetan
di pusat kota, flyover Summarecon telah
dibangun. Flyover ini menghubungkan Jalan
Ahmad Yani dan Jalan Pejuang. Dengan begitu, pergerakan warga Bekasi dari wilayah
utara ke selatan tidak terganggu dengan adanya rencana Double Double Track Kereta
Api. Frekuensi perjalanan kereta dari akan
ditambah, dari 238 kereta per hari menjadi
500 kereta per hari.
Yang direncanakan akan dibangun antara
lain Interchange Ahmad Yani, Flyover dari Jalan
Pahlawan-Jalan Joyomartono, Flyover H. Agus
Salim, Interchange JORR Jalan Hankam Raya,
Interchange JORR Jalan Jatikramat. ***

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

27

Laporan Utama

Kebijakan Pembangunan Kota

Bekasi penuh SESAK


Kota Bekasi semakin disesaki bangunan. Lahan yang tadinya belum terbangun mulai
berubah rupa menjadi permukiman, pabrik, pusat perbelanjaan dan perkantoran. Kota
Bekasi sangat diminati para investor. Saat ini saja Kota Bekasi baru memiliki sekitar
11% ruang terbuka hijau. 5% di antaranya disumbang dari kawasan lindung dan hutan
kota. Undang-undang mewajibkan setiap kota memenuhi 30 persen ruang terbuka
hijau. Nah, Perda RTRW Kota Bekasi 2011-2031 menjadi semacam panduan untuk
memastikan keseimbangan ruang tetap terjaga. Balance life harus diwujudkan. Sebab
jika peruntukan lahan tidak diatur dengan baik maka dikhawatirkan Kota Bekasi masa
depan menjadi menjadi belantara beton belaka.

28

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

29

Laporan Utama

Kebijakan Pembangunan Kota

Kebijakan

Penataan Ruang Kota Bekasi

Kota merupakan lambang peradaban kehidupan manusia, sebagai pertumbuhan ekonomi, sumber inovasi dan kreasi, pusat
kebudayaan, dan wahana untuk peningkatan kualitas hidup. Kota
adalah suatu lingkungan binaan manusia, merupakan hasil ciptarasa dan karsa manusia yang secara sengaja dibentuk atau tidak
sengaja terbentuk, mempunyai karakteristik tersendiri sesuai dengan daya dukung lingkungannya dan menjadi wadah bagi kegiatan
manusia dengan segala aspek kehidupan yang dinamis. Perkembangan kegiatan manusia di wilayah perkotaan akan mengarahkan
perkembangan tampilan fisik kota, baik secara luasan horizontal
maupun luasan vertikalnya yang pada akhirnya akan mempengaruhi lingkungan alam sekitarnya.
Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengabaikan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka.
Persyaratan minimum pembangunan berkelanjutan berupa terpeli-

30

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

haranya apa yang disebut dengan total natural capital stock pada
tingkat yang lama atau kalau bisa lebih tinggi dibanding dengan keadaan sekarang.
Untuk itu diperlukan sebuah perencanaan kota yang cermat
dan matang. Sesuai dengan amanat Undang-undang 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang. Setiap kota diwajibkan untuk memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail
Tata Ruang (RDTR). Kedua rencana tersebut merupakan dokumen
dilengkapi dengan penjelasan peta grafis mengenai segala hal/faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kota. Produk grafis
tersebut merupakan penjabaran dari naskah dokumen rancangan
yang memberikan gambaran visual secara dua dimensi tentang
penggunaan wilayah atau bagian ruang sesuai dengan fungsi dan
pemanfaatannya. Produk normatif dan grafis tersebut adalah
merupakan suatu upaya untuk pengerahan sumber-sumber daya
perkotaan, baik meliputi alam, ekonomi, dan manusia, untuk men-

capai tujuan pembangunan kota yang dicita-citakan.


Raperda RDTR Kota Bekasi 2011-2013 sudah diparpurnakan
pada tahun 2012, saat ini sedang menunggu pengesahan dari Gubernur Jawa Barat. RDTR merupakan operasionalisasi dari RTRW.
Dengan skala 1:5000, RDTR merupakan rencana tata ruang paling
detail, sehingga, dengan kedetailannya tersebut batasan fisik antara wilayah dan pemanfaatan lahan dapat dilihat dengan jelas. Salah
satu tujuan RDTR adalah sebagai alat pengendalian pemanfaatan
ruang terutama perizinan. Oleh karena itu, peraturan zonasi merupakan bagian tidak terpisahkan dari RDTR karena akan menjadi
acuan dalam hal perizinan yang diharapkan mampu menghilangkan
ranah abu-abu dalam penataan ruang.
Bagian Wilayah Pelayanan (BWP)
Raperda RDTR Kota Bekasi mengatur secara detail tentang beberapa elemen tata ruang, seperti misalnya; Zona Rawan Bencana,
Zona Lindung, Ruang Terbuka Hijau, Sistem Transportasi, Rencana
Jaringan Prasarana, Rencana Pengembangan Sarana Dan Prasarana
Transportasi, Rencana Pengembangan Transit Oriented Development (TOD), Rencana Pengembangan Sistem Perparkiran, Rencana
Pengembangan Jalur Pejalan Kaki, Rencana Pengembangan Jalur
Sepeda, Rencana Pengembangan Sarana Pelengkap Jalan, Rencana
Sistem Jaringan Energi atau Listrik, Rencana Sistem Jaringan Telekomunikasi, Rencana Sistem Jaringan Gas, Rencana Penyediaan Air
Bersih, Rencana Penanganan dan Pengelolaan Air Kotor atau Limbah, Rencana Sistem Persampahan, Rencana Pengembangan Jaringan Sistem Drainase, Rencana Jalur Evakuasi Bencana, Rencana
Sistem Pemadam Kebakaran, Prioritas pengembangan, Ketentuan
Peyediaan Sarana dan Prasarana, Ketentuan Penyediaan Prasarana
dan Sarana Dasar Minimal, Ketentuan Penyediaan Tempat Pemakaman Umum (TPU), Ketentuan Pemanfaatan Ruang, dan lainnya.
Tulisan ini dibatasi pada pembahasan Bagian Wilayan Pelayanan
(BWP) sebagai elemen paling penting dalam penataan ruang. Materi tulisan ini disarikan dari Raperda RDTR 2011-2031. Kota Bekasi
dibagi menjadi 5 BWP. BWP adalah Satuan zonasi pada kawasan
perkotaan yang dikelompokkan sesuai dengan kesamaan fungsi
adanya sesuai dengan kesamaan fungsi, adanya pusat tersendiri,
kemudahan aksesibilitas, dan batasan-batasan, baik fisik maupun
administrasi. Kelima BWP tersebut adalah;
1) BWP Pusat Kota dengan luas wilayah 6284,70 Ha, dikembangkan menjadi pusat aktivitas pemerintahan, sosial, ekonomi dan
rekreasi Kota Bekasi yang berwawasan Lingkungan, strategis
pertumbuhan ekonomi dan sebagai pusat kegiatan ekonomi
kota dan regional. BWP Pusat Kota meliputi; Kecamatan Bekasi
Barat (Kelurahan Bintara Jaya, Kelurahan Bintara, Kelurahan
Kranji, Kelurahan Kota Baru dan Kelurahan Jaka Sampurna).
Kecamatan Bekasi Timur (Kelurahan Margahayu, Kelurahan
Bekasi Jaya, Kelurahan Aren Jaya dan Kelurahan Duren Jaya).
Kecamatan Bekasi Selatan (Kelurahan Jaka Mulya, Kelurahan
Jaka Setia, Kelurahan Pekayon Jaya, Kelurahan Marga Jaya, Kelurahan Kayuringin Jaya), dan Kecamatan Rawalumbu (Kelurahan Bojong Menteng, Kelurahan Bojong Rawalumbu, Kelurahan
Sepanjang Jaya, Kelurahan Pengasinan).
Pengembangan Perumahan di kawasan BWP Pusat Kota diarahkan untuk bangunan dengan kepadatan tinggi (R2) dengan KDB

maksimal 70% dan KLB maksimal 2,1 dan Kepadatan Rendah (R4)
dengan KDB maksimal 30 %, KLB 0,9. Selain itu diprioritaskan untuk
pengembangan perumahan skala besar (Kasiba atau Lisiba) yang
dilakukan oleh pengembang diprioritaskan pada lahan yang telah
dikeluarkan izinnya. Pengembangan perumahan oleh pengembang
ini meliputi tiga tipe (jenis) perumahan dengan komposisi perbandingan 1 : 3 : 6 dan pengembangan perumahan skala besar ini di
arahkan untuk mengembangkan konsep pengembangan rumah
taman atau rumah kebun dengan ketentuan KDB maksimal 50%.
Selain itu juga diarahkan untuk hunian vertical yang tersebar di
beberapa sub Blok diantaranya; Kelurahan Margahayu, Kelurahan
Bekasi Jaya, Kelurahan Bojongrawalumbu dan Kecamatan Bojong
Menteng. Pengembangan perumahan di kawasan tersebut diwajibkan menyediakan prasarana, sarana dan utilitas yang memadai.
Persoalan yang ada di Pusat Kota adalah permukiman kumuh
sehingga perlu ada peremajaan, yang tersebar di Kelurahan Margahayu, Bintara, Kota Baru, Kelurahan Kranji, Sepanjang Jaya, Pengasinan, Bojong Rawalumbu, dan Bojong Menteng.
BWP Pusat Kota diprioritaskan menjadi Zona Perdagangan dan
Jasa, pengembangan Central Bussines District (CBD) yang ramah
lingkungan dengan menyediakan minimal 20 persen ruang terbuka
hijau (RTH) dan minimal 20 persen untuk prasarana, sarana dan
utilitas, dan menyediakan lahan resapan air atau tampungan air.
Pengembangan CBD diarahkan di kawasan Karang Kitri Kelurahan
Margahayu Bekasi Timur. Saat ini pembangunan CBD Karang Kitri
sudah mulai berjalan.
Pengembangan lain di BWP Pusat Kota adalah untuk Zona
Komersil skala pelayanan regional dan kota, yang berkembang
secara linier di sepanjang Kalimalang, Jalan Jendral Sudirman,
Jalan Kartini, Jalan Cut Mutia, Jalan Siliwangi Narogong, Jalan
Agus Salim, Jalan Pahlawan dan Jalan A.Yani. Sementara pembangunan pusat perbelanjaan modern (Mall, Super Mall, Shoping Centre, Hypermall) diarahkan ke wilayah Kelurahan Margahayu, Margajaya dan Kranji.
Pengembangan untuk Zona Industri di BWP Pusat Kota dibatasi
pada industri kecil dan menengah yang berwawasan lingkungan non
polutan. Dalam arti, industri yang tidak menguras air terutama air
tanah dalam, dan tidak menimbulkan gangguan lingkungan seperti
pencemaran udara, suara, limbah cair, dan limbah padat berbahaya
(B3). Pengembangan zona industri diarahkan ke wilayah Kecamatan
Rawalumbu koridor Jalan Siliwangi-Narogong, Jalan Cipendawa, Jalan Prapatan Bojong Menteng.
Di dalam BWP Pusat Kota nantinya akan diarahkan memiliki
Zona Pariwisata Perkotaan di kawasan CBD yang terletak di Karang
Kitri Kelurahan Kelurahan Margahayu, Wisata Alam di Situ Lumbu
di Kelurahan Bojong Rawalumbu Kecamatan Rawalumbu, Situ Gede
di Kelurahan Bojong Menteng, Situ Harapan Baru di Kota Baru, dan
Bumi Perkemahan Pramuka di Kelurahan Kayuringin. Sementara
Kompleks GOR dan Stadion Bekasi akan dikembangkan menjadi
Zona Pariwisata Olahraga.
2. BWP Bekasi Utara dengan luasan 3.436 Ha diarahkan menjadi
kawasan permukiman dan perdagangan yang berwawasan lingkungan. BWP Bekasi Utara terdiri atas 2 Kecamatan dan 10 kelurahan, meliputi Kecamatan Bekasi Utara (Kelurahan Harapan
Jaya, Kelurahan Kaliabang Tengah, Kelurahan Perwira, Kelurahan Harapan Baru, Kelurahan Teluk Pucung, Kelurahan Marga

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

31

Laporan Utama

Kebijakan Pembangunan Kota

Mulya) dan Kecamatan Medan Satria (Kelurahan Harapan Mulya, Kelurahan Kalibaru, Kelurahan Medan Satria, dan Kelurahan
Pejuang).
Pengembangan perumahan di BWP Bekasi Utara diarahkan
memiliki kepadatan tinggi (R2) dengan KDB maksimal 70% dan KLB
maksimal 2,1 dan diarahkan untuk lebih mengoptimalkan lahan-lahan kosong yang potensial untuk pengembangan perumahan yang
tersebar di BWP Bekasi Utara. Terutama di Kelurahan Harapan Mulya dan Kelurahan Margamulya. Tipe atau jenis rumah yang dapat
dikembangkan adalah Rumah Tunggal (R-1), Rumah Kopel (R-2),
Rumah deret (R-3), Rumah Townhous (R-4), Rumah susun (R-6)
dan (R-7), serta Rumah Kampung (R-8).
Sementara pengembangan hunian vertikal diarahkan pada
wilayah padat penduduk dan konsentrasi industry seperti di Kelurahan Harapan Jaya. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi perkembangan penduduk dan kegiatannya yang disebabkan oleh adanya
kegiatan industri.
Penataan kawasan kumuh di wilayah BWP Bekasi Utara tersebar di Kelurahan Medan Satria, Kelurahan Harapan Jaya, Kaliabang
Tengah dan di sepanjang bantaran sungai di wilayah sekitar.
Skenario pengembangan kawasan komersial diarahkan untuk
menata dan meningkatkan kawasan perdagangan dan jasa yang
berkembang secara linier di Jalan Sultan Agung, Jalan Sudirman
terdapat Kelurahan Harapan Mulya. Pembangunan pusat perbelanjaan modern (mall, super mall, shoping centre, hypermall) dialokasikan di Kelurahan Harapan Mulya dan Marga Mulya.
Untuk Zona Industri diarahkan pada pengembangan industri
yang sudah ada saat ini dan telah memiliki izin perluasan kawasannya. Dan melarang pemberian izin lokasi baru atau pengembangan atau perluasan bagi industri yang polutif dan lapar air. Selain
itu, diberlakukan aturan pengadaan ruang terbuka hijau sebagai
pembatas (Buffer) antara kawasan industry dan permukiman penduduk.
Pengembangan wilayah BWP Bekasi Utara juga termasuk penataan dan pengembangan olahraga/rekreasi berupa taman bermain
di setiap Kelurahan. Sedangkan lapangan terbuka akan dikembangkan di Kelurahan Kaliabang, Periwira, Teluk Pucung dan Marga Mulya. Pengembangan rekreasi berupa Danau Duta Harapan yang terdapat di Kelurahan Harapan Baru. Saat ini kondisi Danau tersebut
tidak terawat dengan baik dan kotor.
3. BWP Pondok Gede dengan luas wilayah 3525,48 Ha, diarahkan untuk menjadi kawasan perdagangan dan jasa dan pendidikan yang terpadu dan terstruktur. BWP Pondok Gede meliputi
3 Kecamatan dan 11 Kelurahan yaitu Kecamatan Pondok Gede
(Kelurahan Jatiwaringin, Kelurahan Jatibening, Kelurahan Jatibening Baru, Kelurahan Jaticempaka, Kelurahan Jatimakmur). Sebagian
Kecamatan Jatiasih (Kelurahan Jatikramat, Kelurahan Jatimekar,
Kelurahan Jatiasih, Kelurahan Jatirasa). Sebagian Kecamatan Jati
Asih (Kelurahan Jatirahayu dan Kelurahan Jatiwarna).
Skenario pengembangan zona perumahan di BWP Pondok Gede
diarahkan memiliki kepadatan tinggi (R2) KDB 70 %, KLB 2,1 dan kepadatan sedang (R-3) dengan KDB maksimal 50% dan KLB maksimal
1,5 dan pengembangnnya di arahkan untuk lebih mengoptimalkan
lahan-lahan kosong yang potensial untuk pengembangan perumahan yang tersebar di BWP Pondok Gede. Tipe atau jenis rumah yang
dapat dikembangkan di BWP Pondok Gede meliputi Rumah Tunggal

32

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

(R-1), Rumah Kopel ( R-2), Rumah deret (R-3), Rumah Townhouse


(R-4), Rumah susun (R-6) dan (R-7) serta Rumah Kampung (R-8).
Arahan Pengembangan untuk hunian kepadatan tinggi diarahkan
di bagian Utara BWP Pondok Gede yaitu di Kelurahan Jatiwangin, Jati
Cempaka (JTC) Kelurahan Jati Bening Baru, Kelurahan Jati Bening dan
Kelurahan Jati Makmur (JTM). Sedangkan untuk hunian kepadatan sedang diarahkan di Kecamatan Pondok Melati yaitu di Kelurahan Jati
Rahayu dan Jati Warna. Serta di Kecamatan Jati Asih di Kelurahan Jati
Mekar, Jati Kramat, Jati Asih dan Kelurahan Jati Rasa. Sementara itu,
penataan kawasan kumuh diarahkan pada perumahan tidak terstruktur yang berkembang di Kelurahan Jatiwarna.
Pengembangan rumah vertikal diarahkan pada wilayah padat
penduduk di Kelurahan Jatibening Jatirahayu. Rencana apartemen
swasta atau condominium dibatasi dengan ketinggian lantai 8 lantai bangunan , KDB 40% dan KLB 3,2, hal ini terkait dengan BWP
Pondok Gede yang berdekatan dengan Bandara Halim Perdana Kusumah, rencana pengembangannya di arahkan di Kelurahan Jatiwaringin dan Kelurahan Jati Cempaka.
Pengembangan Zona Perdagangan dan Jasa di BWP Pondok
Gede diarahkan untuk menata dan meningkatkan pasar modern
yang telah ada dan berkembang di Jatiwaringin menjadi pusat perbelanjaan modern melalui penataan parkir dan pedestrian.
Pembangunan Frontage di Jalan Cikunir sebagai kawasan perdagangan dan jasa skala regional di Kelurahan Jatiasih dan Kelurahan
Jatimekar. Selain itu juga dilakukan penataan Pasar Tradisional di
Pasar Kecapi Kelurahan Jatiwarna dan Pasar Jatiasih di Kelurahan
Jati Rasa.
Selain itu, penataan kawasan komersil yang sudah ada saat ini
diarahkan memiliki jalur pejalan kaki dan perparkiran. Seperti di
koridor Jalan Jatiwaringin-Jati Makmur-Jalan Hankam di Kelurahan
Jatiwaringin dan Kelurahan Jatirahayu. Koridor Jalan Jati AsihJalan
Jati RasaJalan Wibawa MuktiJalan Swatantra di Kelurahan Jatiasih dan Kelurahan Jatirasa. Koridor Jalan CamanJalan Dr Ratna di
Kelurahan Jatibening. Sementara pengembangan kawasan komersial campuran diarahkan di Kelurahan Jatiwaringin, Kelurahan Jati
Warna, dan Kelurahan Jatirahayu.
Untuk Kawasan pendidikan terpadu akan diarahkan di Kelurahan Jatiwaringin, Kelurahan Jaticempaka, Kelurahan Jatirahayu dan
Kelurahan Jatibening, dimana kawasan ini akan terdiri dari TK, SD,
SMP, SMA maupun Perguruan Tinggi atau akademi.
Zona khusus di BWP Pondok Gede adalah terdapatnya kawasan
militer yang merupakan Radar Angkatan Udara yang mendukung
kawasan strategis kepentingan pertahanan dam keamanan nasional. Zona lainnya yang terdapat di BWP Pondok Gede adalah zona
Bebas Keselamatan, Keamanan Operasional Penerbangan (KKOP)
Bandara Udara Halim Perdana Kusumah.
4. BWP Mustikajaya dengan luas wilayah 4525,21 Ha, diarahkan kawasan perdagangan dan jasa, permukiman skala
besar, dan kawasan industri. Meliputi 2 Kecamatan dan 8
Kelurahan yaitu Kecamatan Mustikajaya (Kelurahan Mustikajaya, Kelurahan Mustikasari, Kelurahan Pedurenan, Kelurahan Cimuning) dan Kecamatan Bantar Gebang (Kelurahan
Bantar Gebang, Kelurahan Cikiwul, Kelurahan Sumur Batu
dan Kelurahan Cikeuting Udik).
Rencana pengembangan zona perumahan pada BWP Mustikajaya diarahkan untuk hunian kepadatan sedang-tinggi (R3 dan R2)

dengan Konsep pengembangan rumah vertikal berada pada Kelurahan Bantar Gebang dan Cikiwul. Pengembangan perumahan diprioritaskan untuk pekerja industri yang terjangkau dan berdekatan
dengan lokasi industrinya.
Sedangkan untuk pengembangan zona perdagangan dan jasa
skala kota diarahkan di Kecamatan Bantar Gebang sepanjang Jalan
Narogong-Siliwangi Bantar Gebang dan Blok Cikiwul, dengan konsep pengembangan blok kawasan terpadu.
Pengembangan Zona Industri disiapkan di wilayah Kecamatan
Bantar Gebang yang meliputi Kelurahan Bantar Gebang, Cikiwul
serta Ciketing Udik. Sedangkan untuk Zona Perdangangan untuk
pengembangan Supermarket, Megamall dan Hypermall akan diarahkan di Jalan Narogong Siliwangi dan di Jalan Mustikajaya.
Arah pengembangan juga dilakukan untuk pembangunan taman
bermain dan lapangan terbuka di setiap Kelurahan. Zona khusus
di BWP Mustikajaya adalah terdapatnya zona khusus TPA Bantargebang dengan skala pelayanan Kota Bekasi dan DKI Jakarta.
5. BWP Jatisampurna dengan luas wilayah 3444,5 Ha diarahkan menjadi Kawasan Permukiman skala besar dan kawasan
perdagangan jasa yang nyaman yang berwawasan lingkungan
yang berkelanjutan. Meliputi 3 Kecamatan dan 9 kelurahan
yaitu Kecamatan Jatisampurna (Kelurahan Jatirangon, Kelurahan Jatiraden, Kelurahan Jatirangga, Kelurahan Jatisampurna, Kelurahan Jatikarya). Sebagian Kecamatan Pondok
Melati (Kelurahan Jati Melati, Kelurahan Jati Murni). Dan sebagian Kecamatan Jatiasih (Kelurahan Jati Luhur, Kelurahan
Jati Sari).
Rencana pengembangan zona perumahan pada BWP Jatisampurna diarahkan untuk pengembangan untuk hunian kepadatan
sedang-tinggi (R3-R2) dengan konsep pengembangan rumah vertikal berada pada Kelurahan Jatikarya, Kelurahan Jatisampurna,
Pengembangan rumah-rumah kapling besar diarahkan dengan KDB
40-50 % dan KLB 1,2-1,5 diarahkan ke bagian selatan BWP Jatisampurna. Rencana pengembangan tipe perumahan yang dapat dikembangkan di BWP Jatisampurna meliputi Rumah Tunggal (R-1),
Rumah Kopel ( R-2), Rumah Deret (R-3), Rumah Susun (R-6) dan
(R-7) serta Rumah Kampung (R-8).
Sedangkan untuk rencana pengembangan zona perdagangan
dan Jasa skala regional diarahkan di sepanjang Jalan Trans Yogie
yang menghubungkan Kota Bekasi dengan DKI Jakarta, Depok dan
Bogor, serta Jalan Hankam raya. Perdagangan dan jasa skala kota
dan kawasan diarahkan pada pusat pelayanan Kecamatan Jatisampurna, kelurahan Jatisampurna dan Kelurahan Jati Karya.
Untuk Zona Industri dibatasi perkembangannya pada jenis industri yang tidak mencemari lingkungan, tidak banyak menggunakan air, dan bukan industri kimia atau industri berat.
Kawasan Jatisampurna terdapat potensi wisata yaitu wisata air
yang terletak di Kecamatan Jatisampurna memiliki potensi wisata
dengan adanya Situ Rawa Pulo di Kelurahan Jati Karya dan Situ
Rawa Dolar di Kelurahan Jatimurni.
Pengembangan Zona khusus adalah Zona Budaya Karuhun yang
terdapat di Kelurahan Jatirahayu Kampung Kranggan Kecamatan
Jatisampurna yang berupa rumah tradisional masyarakat Bekasi
dan sekaligus aset budaya Kota Bekasi dengan luas 3 Ha. Zona Kawasan Cagar Budaya Gereja Kristen Pasundan di Kelurahan Jatimurni Kampung Sawah .

Izin Pemanfaatan Ruang


Persoalan yang kerap muncul dalam Pemanfaatan Ruang adalah
Perizinan. Ada beberapa jenis Perizinan dalam pemanfaatan ruang.
1. Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang bertujuan untuk memberikan
arahan pembangunan yang dimohon dari aspek tata ruang, aspek lingkungan, aspek teknis bangunan gedung, aspek ekonomi
dan sosial budaya sebagai pedoman pemberian izin pemanfaatan ruang lainnya. Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang diberikan oleh Walikota setelah mendapat pertimbangan teknis dari
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah.

Kegiatan yang memerlukan Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang adalah


minimal memenuhi salah satu kriteria berikut ini: a) Kegiatan yang
berdampak minimal pada fungsi pelayanan skala BWP (BWP) sesuai rencana tata ruang, b) kegiatan yang memiliki resiko terhadap
kelestarian dan keseimbangan lingkungan, c) kegiatan yang berdampak terhadap aktifitas perkotaan secara luas meliputi, lalu lintas, estetika kota, lingkungan hidup, sosial budaya, keamanan dan
ketertiban atau aktifitas perkotaan lainnya.

2. Izin Lingkungan ditujukan untuk mencegah terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan, memberikan jaminan kesehatan keselamatan dan menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Izin Lingkungan diberikan oleh Pejabat yang ditunjuk berdasarkan persetujuan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi
AMDAL atau UKL-UPL. Izin Lingkungan dapat diterbitkan bersamaan atau sesudah diterbitkannya IMB selama pertimbangan
teknisnya telah dipenuhi dalam rencana tapak.
3. Izin Lokasi Izin Lokasi diberikan sebagai persetujuan penguasaan lahan sesuai rencana tata ruang yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak. Izin Lokasi diberikan oleh Walikota
setelah mendapat Pertimbangan Teknik Pertanahan dari Kantor
Pertanahan Kota Bekasi.
4. Izin Peruntukan Penggunaan Lahan (IPPL) dan Rencana Tapak
ditujukan untuk : a) mengatur peruntukan lahan, b) mengatur fungsi bangunan yang dapat dibangun pada lokasi yang
bersangkutan, c) mengatur ketinggian maksimum bangunan
gedung yang diizinkan, d) mengatur jumlah lantai atau lapis
bangunan dibawah permukaan tanah dari KTB yang diizinkan,
e) mengatur KDB maksimum yang diizinkan, f) mengatur KLB
maksimum yang diizinkan, g) mengatur KDH minimum yang diwajibkan, h) mengatur KTB maksimum yang diizinkan.
Pemberian IPPL dilakukan terhadap permohonan yang memiliki
bukti penguasaan lahan yang berupa sertifikat hak, akta jual beli,
pelepasan hak, perjanjian sewa menyewa, dan bukti penguasaan
lain. Rencana pemanfaatan yang dimohonkan sesuai rencana peruntukan. Lahan tidak dalam keadaan sengketa.
Dalam pengajuan IPPL, harus disertai Rencana Tapak, untuk menjamin bahwa rencana tapak yang diajukan pemohon sesuai dengan
IPPL. Selain itu untuk menjamin penyediaan prasarana, sarana, dan
utilitas sesuai kebutuhan dan hasil kajian pertimbangan Peil Banjir,
Andal Lalin, Izin Lingkungan, dan Proteksi Damkar. Rencana Tapak ter-

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

33

Laporan Utama

Kebijakan Pembangunan Kota

diri dari : a) Rencana Induk (masterplan), adalah rencana umum yang


mengatur peletakan blok fungsi kegiatan pada satu kawasan, b) Rencana Perpetakan (siteplan), adalah rencana peletakan massa bangunan pada satu kavling atau persil yang dirancang dalam satu kesatuan
dengan prasarana, sarana dan utilitas.
5. Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Tujuan IMB adalah sebagai
pedoman teknis dalam mendirikan bangunan, agar desain,
pelaksanaan pembangunan, serta bangunannya sesuai dengan
rencana tata ruang yang berlaku, seperti Garis Sempadan (GS),
Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Lantai Bangunan
(KLB) dan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan(RTBL). Selain
itu untuk mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan gedung yang menjamin keandalan teknis bangunan gedung dari
segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan.
Dan guna mewujudkan kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung.
6. Izin Penggunaan Bangunan (IPB), adalah Izin Penggunaan Bangunan adalah izin yang diberikan untuk menggunakan bangunan setelah dinilai layak dari segi administrasi dan teknis. Izin
Penggunaan Bangunan bertujuan untuk menjamin keandalan
bangunan yang meliputi aspek keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan yang memenuhi persyaratan teknis
oleh kinerja bangunan.

34

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

IPB diterbitkan dengan ketentuan sebagai berikut :1) bangunan


telah selesai dibangun sesuai dengan IMB, 2) bangunan telah memperoleh Sertifikat Laik Fungsi (SLF) dari Pejabat yang ditunjuk, 3)
IPB yang diterbitkan berlaku selama penggunaannya sesuai dengan
IMB dan bangunan masih memenuhi persyaratan kelayakan menggunakan bangunan, 4) untuk bangunan yang memiliki IMB berjangka, IPB yang diterbitkan dapat ditinjau kembali setelah jangka
waktu IMB tersebut berakhir, 5) sebelum IPB diterbitkan, atas permohonan pemilik bangunan, dapat diterbitkan Izin Pendahuluan
Penggunaan Bangunan untuk sebagian atau seluruh bangunan
dengan masa berlaku paling lama 6 (enam) bulan.
Pelaksanaan Raperda RDTR ini tentu harus dikawal oleh
semua pihak, bukan hanya menjadi kewenangan Pemerintah
Daerah dan pengembang, tapi juga masyarakat. Terlebih masyarakat adalah pihak yang paling merasakan dampak dari perubahan tata ruang kota.
Masyarakat bisa ikut memberikan masukan terkait pelaksanaan rencana tata ruang yang sudah disepakati, dan melaporkan
pelanggaran tata ruang kepada instansi terkait, termasuk pengajuan keberatan terhadap keputusan pejabat yang berwenang
terhadap pembangunan yang dianggap tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Keterlibatan semua elemen tentu akan membawa dampak perubahan yang baik dalam perencanaan Kota Bekasi dalam 20 tahun
ke depan.***

BAGIAN WILAYAH PELAYANAN (BWP)


PUSAT KOTA MELIPUTI:
l Kec. Bekasi Barat terdiri dari
Kel. Kota Baru, Kranji, Bintara,
Jakasampurna, Bintara Jaya
l Kec. Bekasi Selatan terdiri dari
Kel. Pekayon Jaya, Jakamulya,
Kayuringin Jaya, Margajaya,
Jakasetia
l Kec. Bekasi Timur terdiri dari Kel.
Bekasi Jaya, Aren Jaya, Duren
Jaya, Margahayu
l Kec. Rawa Lumbu terdiri dari Kel.
Bojong Rawalumbu, Pengasinan,
Bojongmenteng, Sepanjang Jaya

Keterangan
BWP Pusat Kota
Pola Ruang

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

35

Laporan Utama

Kebijakan Pembangunan Kota

BWP PONDOKGEDE

l Kec. Pondokgede terdiri dari


Kel. Jaticempaka, Jatibening
Baru, Jatibening, Jatiwaringin,
Jatimakmur
l Kec. Pondok Melati terdiri dari
Kel. Jatiwarna, Jatirahayu
l Kec. Jatiasih terdiri dari Kel.
Jatikramat, Jatimekar, Jatiasih,
Jatirasa

36

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

BWP BEKASI UTARA

l Kec. Bekasi Utara terdiri dari Kel.


Kaliabang Tengah, Harapan Jaya,
Perwira, Teluk Pucung, Harapan
Baru, Margamulya
l Kec. Medan Satria terdiri dari Kel.
Pejuang, Medan Satria, Kalibaru,
Harapan Mulya

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

37

Laporan Utama

Kebijakan Pembangunan Kota

BWP Jatisampurna

l Kec. Jatisampurna terdiri dari


Kel. Jatisampurna, Jatirangga,
Jatiraden, Jatikarya, Jatiranggon
l Kec. Pondok Melati terdiri dari
Kel. Jatimelati, Jatimurni
l Kec. Jatiasih terdiri dari Kel.
Jatiluhur, Jatisari

38

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

BWP Mustika Jaya / Bantar Gebang

l Kec. Mustika Jaya terdiri dari Kel.


Mustikajaya, Mustikasari, Padurenan,
Cimuning
l Kec. Bantar Gebang terdiri dari Kel.
Bantargebang, Cikiwul, Ciketingudik,
Sumurbatu

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

39

Laporan Utama

Kebijakan Pembangunan Kota

Ketika
Banjir
Meneror

Masih ingat banjir besar pertengahan Januari lalu? Pusat perbelanjaan sekelas Mega Bekasi
Hypermall pun kelelep hingga 8 meter. Permukiman di bantaran Kali Bekasi tenggelam lebih dari 2
meter. Tanggul jebol di mana-mana. Ribuan orang terpaksa mengungsi. Tim SAR sibuk. Ya, banjir
telah meneror warga Kota Bekasi.

ihak manajemen Mega Bekasi ketika


itu melaporkan, kerugian akibat banjir
mencapai Rp 30 miliar. Sekitar 400 kios
di lantai dasar terendam banjir. Bank Rakyat
Indonesia (BRI) juga mengatakan ribuan nasabah gagal bertransaksi gara-gara banjir dan
mesti dialihkan ke cabang lain. Para pedagang
pun mengeluh. Aktivitas bisnis berhenti total
selama beberapa hari.
Pondok Gede Permai (PGP) adalah perumahan dengan banjir terparah. Sungai
Cikeas, anak Kali Bekasi, meluap dan membanjiri ratusan rumah. Tanggul di sungai
tersebut tidak kuat menahan derasnya banjir
kiriman dari Bogor. Akibat banjir ini, aktivitas
warga terhenti: orangtua tidak bekerja, anak-

40

anak libur sekolah.


Dinas Kesehatan menyebutkan, ribuan
warga menderita berbagai penyakit akibat
banjir. Gatal dan kutu air paling banyak. Kemudian gangguang saluran pernapasan, batuk
flu dan demam. Di Kelurahan Margajaya, tepatnya di bantaran Kali Bekasi, nampak mengungsi di tepi-tepi jalan. Namun, banyak pihak
turun tangan. Bahu membahu membantu korban banjir.
Tahun ini, titik banjir di Kota Bekasi meluas
dari 39 menjadi 49 titik, tersebar di 9 kecamatan.
Lokasi paling rawan adalah daerah perumahan.
9 kecamatan tersebut antara lain Kecamatan
Bekasi Selatan, Bekasi Utara, Bekasi Barat, Bekasi
Timur, Medansatria, Pondokgede, Jatiasih, Rawa-

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

lumbu dan Mustikjaya.


Dinas Bina Marga dan Tata Air Kota
Bekasi mencatat, ada 5 titik banjir yang kedalamannya 2 meter hingga 2,5 meter ketika
banjir Januari lalu. Antara lain Perumahan
Pondok Gede Permai (250 cm), Perumahan
Kemang IFI (200 cm), Komplek Perumahan
Dosen IKIP ( 250 cm) Kampung Pangkalan
Bambu Margajaya (250 cm), Kelurahan Teluk Pucung (250 cm).
***
Banjir memang menjadi masalah utama di
Kota Bekasi karena kontur tanahnya cenderung
rata dan dikepung sungai pula. Beberapa faktor
penyebab yang teridentifikasi antara lain adanya
faktor hambatan saluran air dari arah selatan ke

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

41

Laporan Utama

Kebijakan Pembangunan Kota

utara oleh jalan tol, Kalimalang dan jalur kereta


api . Gorong-goroang yang ada saat ini pun kapasitasnya sudah tidak memenuhi lagi.
Secara alamiah, saluran itu sendiri mengalami penggerusan karena sebagian material terbawa air, sehingga menyebabkan pendangkalan
dan sendimentasi. Inilah yang mengakibatkan
penyempitan saluran drainase.
Selain faktor hambatan dan faktor alamiah
tadi, faktor perilaku manusia juga menentukan.
Warga kerap membuang sampah sembarangan
ke saluran air, mendirikan bangunan yang tidak
mempertimbangkan garis sungai. Kemudian,
tata guna lahan yang berubah juga tidak dipertimbangkan dengan pembuatan saluran drainase yang memadai.
Perhitungan dan perancangan yang tepat
sangat diperlukan untuk mendapatkan dimensi
saluran yang ideal, ekonomis dan mampu menampung serta menyalurkan dengan cepat debit hujan. Beberapa kendala yang mungkin dihadapi secara teknis dalam menerapkan dimensi
ideal saluran adalah kondisi dan ketersediaan
lahan yang ada. Namun mengingat kerugian
materi dan jiwa akibat banjir, sebaiknya kendala
tersebut di atas dapat ditangkis.
Faktor teknis dan pemeliharanan dari
prasarana drainase yang dibangun juga perlu
diperhatikan. Untuk saluran tersier bahkan
sekunder yang melintasi perumahan ataupun
pertokoan, sebaiknya dibuat sebagai saluran
tertutup guna menghindari terjadinya pembuangan sampah oleh masyarakat.
Selain itu, penegakan hukum dalam hal pengaturan bantaran sungai, kebijakan pembangunan dengan skenario vertikal juga menjadi faktor
keberhasilan pengendalian banjir. Dan satu hal
lagi yang sangat penting adalah kerjasama dan
koordinasi dengan wilayah tetangga sebagai satu
kesatuan DAS. Karena batas DAS tidak dapat dipisahkan batas-batas administrasi.
Upaya membangun situ atau memanfaatkan situ yang telah ada sangat membantu
dalam hal pengendalian banjir. Dari hasil perhitungan hidrograf dalam RTRW Kota Bekasi yang
terbaru, beberapa situ di Kota Bekasi menunjukkan, koofisien air larian (C), yaitu perbandingan antara besarnya air larian terhadap besarnya curah hujan, di atas 1.
Di wilayah Bendung Cikeas, kali Cikeas dan
Cipendewa, Kali Bekasi, menunjukkan nilai
koofesien air larian sebesar 1.69. Nilai koefisien
air larian ini merepresentasikan secara implisit
luasan daerah terbangun. Semakin luas daerah
terbangun maka semakin besar nilai C- nya,
potensi terjadinya banjir juga makin besar. Di
sinilah pentingnya ruang terbuka hijau untuk

42

mengatasi banjir.
Secara teoritis, nilai C yang lebih besar dari
1 menunjukkan ada indikasi terjadinya banjir kiriman. Beberapa wilayah di Kota Bekasi
menunjukkan ada indikasi banjir kiriman dari
wilayah di luar kota Bekasi, yaitu dari DKI dan
Kabupaten Bogor atau Depok. Untuk itu, perlu berbagai upaya terpadu antara lain dengan
menerapkan subsidi silang antara daerah hulu
(sebagai daerah penyangga) dan daerah hilir.
Foto Udara
Pemerintah Kota Bekasi mengusulkan
pengadaan proyek foto udara untuk pemetaan banjir di seluruh wilayah setempat secara
detail. Pemerintah memandang ini penting.
Database yang dimiliki pemerintah daerah
saat ini hanya berdasarkanfotoudarayang
diambil pada 1998 dan citra satelit pada 2005.
Sehingga, bila dibandingkan perkembangan
dan permasalahan kota yang dihadapi saat ini,
informasi kota yang dimiliki masih jauh dari
kebutuhan perencanaan yang tepat.
Kepala Dinas Tata Kota Bekasi, Koswara
mencontohkan, data sistem jaringan drainase
yang belum didasarkan pada posisi topografi
yang sesuai. Perencanaan pengendalian banjir pun jadi kurang tepat sasaran. Bagaimana
mau bisa mengatasi banjir, kalau datanya hanya sebatas kisaran, kata dia.
Selain itu, ia mengatakan, perencanaan
pembangunan tidak akan efektif bila berdasarkan data yang diambil dari datafotoudarayang
usianya lebih dari 14 tahun. Karena kondisi geografis saat ini sudah jauh berubah. Databasenya
perlu updating lagi, kata Koswara.
Lebih lanjut, Koswara menjelaskan, skala
database infrastruktur yang dimiliki pemerintah kota juga belum dapat dijadikan dasar bagi
perencanaan teknis yang tepat. Itu membuat
perencanaan pembangunannya perlu alokasi
anggaran untuk biaya survei, pengukuran, dan
perencanaan. Anggarannya pun cukup besar.
Dengan demikian, sambung dia, kegiatan perencanaan pembangunan menjadi tidak effesien.
Dari pemetaan Kota Bekasi yang ada saat
ini, Koswara menambahkan, database-nya
hanya bisa dimanfaatkan untuk perencanaan
dan pengendalian ruang bersifat dua dimensi.
Skala dan jenis informasi yang dimiliki juga tidak dapat dipergunakan sebagai dasar untuk
perencanaan teknis.
Terutama, sambung dia, untuk perencanaan drainase. Itu karena interval kontur yang
ada adalah dua meter, sementara kondisi lahan di Kota Bekasi relatif datar dan memerlukan ketelitian dengan interval kontur minimal

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

50 sentimeter. Itu seperti perubahan bentang


alam yang tinggi akibat pembangunan, misalnya pembangunan JORR, maupun pusat-pusat
perdagangan, ujar Koswara.
Sementara anggaran yang diperlukan untuk pengambilanfotoudaradi Kota Bekasi
sebesar Rp 4,5 miliar. Dialokasikan untukfotoudarasebesar Rp 3 miliar, dan peta tematik sebesar Rp 1,5 miliar, anggarannya berasal
dari APBD tahun 2013.
Ia melanjutkan, untuk penataan ruang
pemerintah daerah sebenarnya mempunyai
empat opsi untuk pemetaan. Selainfotoudara, pemetaan juga bisa diambil dari peta geomorfologi, citra satelit, maupun pemetaan
langsung mengkur ke jalan. Kondisi yang
akurat dan mutahir tentang kondisi wilayah
tersebut dilakukan melalui pemetaan wilyah
yang dapat diperoleh dari berbagai sumber,
seperti peta bakkersland, data citra satelit,
datafotoudaraataupun pemetaan langsung
turun ke jalan. Menurut Koswara, peta ini pun
harus disiapkan secara detail agar diperoleh
gambaran yang tepat sehingga penanganan
dan pengelolaannya efektif.
Adapun Pemerintah Kota Bekasi memilihfotoudarakarena pemetaan sesuai dengan
amanat Undang-Undang Nomor 4 tahun 2011,
tentang Informasi Geospasial. Ketentuan itu
mewajibkan pemerintah menyediakan data
informasi rupa bumi atau peta dasar dengan
skala besar, yakni 1:1.000 meliputi seluruh
wilayah Indonesia.
Sementara dengan bakkersland skala
pemetaan yang didapat hanya 1:2.5000. Untuk
pemetaan Citra Satelit, skala maksimal yang didapat sekitar 1:5.000. Untuk pengukuran langsung ke jalan, sambung Koswara, pengerjaannya membutuhkan waktu yang sangat lama,
karena kondisi geografis Kota Bekasi merupakan
wilayah perkotaan. Bakal mengganggu aktivitas
kota dan pemerintahan, ujarnya.
Koswara membantah rencanafotoudarabaru diusulkan pascabencana banjir besar
yang menerjang sebagian wilayah setempat,
beberapa pekan lalu. Program ini sudah diusulkan sejak 2008, ujar dia.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, pengambilanfotoudarabukan hanya untuk penanganan
banjir. Melainkan sebagai langkah awal untuk
mempersiapkan semua rencana dan aplikasi
kegiatan pengelolaan pembangunan kota.
Selain itu juga untuk mengetahui informasi
akurat tentang kondisi wilayah, meliputi informasi geomorpologi, kondisi infrasruktur, lokasi
rawan bencana , kondisi jalur evakuasi, serta
kondisi pemanfaatan lahan.

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

43

Laporan Utama

Kebijakan Pembangunan Kota

Penanganan

Banjir
Di Kota Bekasi
Oleh: Ir. A. Koswara

Secara umum, penyebab banjir dapat diklasifikasikan


menjadi dua katagori. Pertama banjir yang disebabkan
gejala alam. Kedua disebabkan tindakan manusia.
Penyebab pertama tentu sulit diubah. Sedangkan yang
kedua masih bisa diupayakan.

ertumbuhan dan perkembangan


yang terjadi di Kota Bekasi mengakibatkan terjadinya kemerosotan kota (urban decay). Khususnya dalam tingkat pelayanan
sistem drainase baik mikro maupun makro.
Ini harus mendapat perhatian berbagai
pihak. Karenanya, pengetahuan mengenai
drainase perkotaan perlu disebarluaskan
dan dimasyarakatkan.
Permasalahan:
Kondisi topografis wilayah Kota Bekasi
memiliki karakteristik daerah datar. Sistem
drainase masih mengandalkan jaringan
drainase alam. Daerah Aliran Sungai (DAS)
yang melewati wilayah Kota Bekasi adalah
sebagai berikut : 1. DAS Kali Sunter; 2. DAS
Kali Cakung (Anak Kali Cakung, Kali Buaran,
Kali Jatikramat, Kali Cakung) ; 3. DAS Kali

44

Bekasi ( Kali Cikeas, Kali Cileungsi, Kali Bekasi, Kali Baru, Saluran Jatiluhur, Kali Bulevar
Raya, Kali Pekayon, Saluran Bumi Satria
Kencana, Saluran Rawa Tembaga, Saluran
Rawalumbu); 4. DAS Kali Sasakjarang.
4 DAS tersebut merupakan sistem
pembuang makro (utama). Sedangkan
lainnya merupakan saluran pembuang
sekunder. Sistem drainase kota Bekasi
saat ini mencakup wilayah seluas kurang
lebih 9.035 Ha. Atau kurang lebih 43 % dari
luas wilayah kota. Pembuangan limpasan
air hujan dari sumber daerah tangkapan
air ke saluran makro umumnya melalui
saluran pembuang sekunder seperti diuraikan di atas. Saat ini, saluran sekunder
yang ada banyak yang kurang terpelihara.
Selain itu terjadi pengendapan sedimen
dan hambatan pada bangunan goronggorong, siphon maupun jembatan. Teru-

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

tama yang melintas Kalimalang, Jalan Tol, Jalan Arteri


Jakarta-Bekasi dan Jalan Kereta Api.
Kejadian banjir besar pada tahun 1996, Februari tahun 2002, dan yang terakhir pada bulan Februari 2007,
dan terakhir Pertengahan Januari 2013, menunjukkan laju
debit banjir makin cepat. Muka air banjir dan kadar lumpur
yang terbawa arus aliran juga lebih tinggi. Hal tersebut
mengindikasikan kemungkinan terbukanya tanah permukaan di daerah tangkapan hujan (DAS) semakin luas. Sehingga kecenderungan tanah permukaan tererosi dan lajunya limpasan permukaan (run-off) akan semakin besar.
Selain itu, ada faktor perilaku masyarakat yang membuang sampah ke dalam saluran drainase. Juga pembangunan fisik yang tidak memperhatikan garis sempadan
saluran. Ini menyebabkan penyumbatan dan kerusakan
saluran drainase. Adanya pengembangan wilayah kota
yang mengubah tata guna lahan juga mengakibatkan bertambahnya debit air di saluran. Luapan/genangan terjadi
karena pertambahan debit tersebut tidak disertai dengan
perencanaan ulang saluran drainase eksisting.
Konsep Penanganan Banjir
Konsep penanganan banjir di Kota Bekasi meliputi dua
aspek. Yaitu Pengendalian Banjir (Flood Control) dan Pengamanan Banjir (Flood Protection). Dari 4 sistem pembuang
makro yang ada, 2 di antaranyaKali Sunter dan Kali Bekasisangat dipengaruhi kondisi di hulunya yang berada di
wilayah Kabupaten Bogor. Sehingga dalam penganganannya memerlukan kerjasama antarpemerintah daerah.

l Pusat perbelanjaan direndam banjir / Foto: Miftah

Ada dua pendekatan dalam penanganan banjir;


Pendekatan Struktural
1. Pendekatan pertama ialah pengendalian banjir pada
sistem pembuang makro Kali Bekasi ditujukan untuk
meminimalisir pengaruh banjir kiriman dari hulu yang
mengalir ke Kota Bekasi melalui Kali Bekasi dan anak
sungainya (Kali Cikeas dan Kali Cileungsi) dan Kali Sunter. Caranya dengan meningkatkan kapasitas kedua
sungai tersebut berupa normalisasi. Atau mereduksi
besarnya banjir dengan membangun waduk di daerah
hulunya. Berdasarkan kondisi topografi daerah hulu
Kali Cikeas dan Cileungsi, terdapat 3 lokasi potensi
waduk. 2 potensi berada di Sungai Citeuruepanak
Sungai Celuengsi di Desa Sumurbatu atau Desa
Hambalang ) Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor.
1 potensi lagi ada di Sungai Cileungsi, tepatnya di perbatasan Desa Tajur dan Desa Leuwikaret, perbatasan
Kecamatan Citeureup dan Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor.
2. Meningkatkan kapasitas saluran drainase sekunder
agar mampu mengalirkan debit banjir. Saluran
sekunder ini adalah : Anak Kali Cakung, Kali Buaran,
Kali Jatikramat dan Kali Cakung yang terletak di DAS
Cakung. Kemudian Kali Baru, Saluran Jatiluhur, Saluran
Bulevar Raya, Saluran Bumi Satria Kencana, Kali Pekayon dan Saluran Rawa Tembaga, Saluran Rawa Lumbu
yang semuanya berada di DAS Kali Bekasi. Terakhir, di

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

45

Laporan Utama

46

Kebijakan Pembangunan Kota

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

Kali Sasakjarang dan anak sungainya,


yang berada di DAS Sasakjarang.
3. Mengatasi masalah backwater dari
saluran makro ke saluran pembuang
sebagai upaya pengamanan saat banjir
dengan membangun pintu sorong atau
pintu klep. Bila diperlukan, bisa dikombinasi dengan pompa untuk mengatasi
masalah pembuangan air dari saluran
sekunder ketika muka air sungai makro
tinggi.
4. Meningkatkan kapasitas bangunan silang (gorong-gorong, siphon, jembatan) pada persilangan saluran drainase
dengan Jalan Tol Jakarta-Cikampek, Jalan Arteri Bekasi-Jakarta, Jalan Kereta
Api Jakarta-Cikampek, Saluran Irigasi
Tarum Barat dan Kalimalang. Peningkatan kapasitas bangunan ini dapat
dikombinasi dengan tampungan saluran yang mungkin dibuat di sebelah
hulu Jalan Tol.
5. Pengendalian debit banjir dengan metode penampungan sementara (re-

tensi) juga harus dilakukan pada sistem


saluran sekunder.

Hasil identifikasi di Kota Bekasi terdapat
19 lokasi yang berpotensi menjadi tampungan. Antara lain sebagai berikut :
1. DAS Kali Buaran (Komplek Kodam Jaya
Jatiwarna, Kampung Rawalele, Komplek Jatibening 2, Situ Jatibening);
2. DAS Kali Cakung ( Rawa Pulo, Wahana
Pondokgede dan Puri Gading, Komplek
Taman Permata Cikunir, Kali Jatikramat
di Perumahan Harapan Baru Regensi);
3. DAS Rawalumbu (Komplek Perumnas
4/Bumi Bekasi 3, Situ Rawalumbu, Saluran Rawalumbu Hulu) ;
4. DAS Kali Cikeas (Bendung Cikeas );
5. DAS Kali Baru ( Rawa Pasung, Situ
Uwong) ;
6. DAS Sasak Jarang (Kelurahanan Pengasinan, Taman Narogong, Desa Jatimulya, Tampungan Selatan Pondok Hijau
Permai);
7. DAS Bekasi (Rawagede, Cipendawa)

Pembuatan tampungan ini akan mereduksi


debit banjir puncak. Sehingga dapat mengurangi atau menurunkan risiko terjadinya
genangan di hilir tampungan tersebut.
Manfaat lain yang diperoleh adalah;
1. Peningkatan debit andalan untuk meningkatkan ketersediaan baku air minum;
2. Tampungan air akan memicu proses
pengisian kembali air tanah dalam
bentuk rembesan melalui dasar dan
dinding situ. Dalam jangka panjang,
ini bermanfaat untuk meningkatkan
ketersediaan air tanah. Juga mengurangi dampak umum dari pengambilan air tanah secara berlebihan
seperti penurunan muka tanah (land
subsidence) serta dampak negatif
ikutannya;
3. Pengembangan lokasi tampungan
dapat diintegrasikan dengan pengembangan kawasan lingkungan sekitarnya. Antara lain untuk pariwisata,

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

47

Laporan Utama

48

Kebijakan Pembangunan Kota

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

Keterangan Potensi Tampungan

perikanan darat, daerah hijau dan


sebagainya. Hal ini secara langsung
dapat meningkatkan kualitas hidup
masyarakat di sekitar lingkungan di
mana tampungan tersebut berada.
Pendekatan Non Struktural
Upaya pendekatan struktural memiliki
keterbatasan umur optimalnya apabila tidak
dibarengi upaya non struktural. Pendekatan
ini diperlukan untuk mempertahankan kapasitas drainase yang ada. Hal ini dilakukan
melalui :
1. Mengendalikan pemanfaatan lahan
sesuai peruntukan dan arahan RTRW
Kota Bekasi. Komitmen bersama diperlukan agar pengendalian pemanfaatan
lahan menjadi instrument penting dalam menjaga kemampuan daya dukung
lingkungan sehingga Kota Bekasi menjadi tempat ideal untuk ditempati.

2. Menetapkan Ruang Terbuka Hijau


(RTH) di Kota Bekasi sebagai kawasan
lindung yang berfungsi sebagai daerah
resapan air dan paru-paru kota. Saat
ini luasan lahan yang belum terbangun
di Kota Bekasi menunjukkan besaran
yang cukup kritis sebagai luasan ideal
bagi sebuah kota. Perlu upaya serius
mengantisipasi hal ini. Sehingga tuntutan kebutuhan pertumbuhan atau pengembangan kota tidak mengorbankan
daya dukung lingkungan.
3. Meningkatkan koordinasi dengan Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Bogor
untuk mengendalikan perubahan tata
guna lahan pada daerah hulu Kali Bekasi dan Kali Sunter.
4. Menetapkan kebijakan penggunaan
sumur resapan di permukiman sebagai
upaya mengurangi limpasan air hujan
pada saluaran drainase kota. Peng-

embangan sumur resapan baik secara


individu maupun secara komunal (daerah komplek perumahan). Apabila
ini berhasil dilakukan secara signifikan
akan mengurangi debit banjir local.
5. Penyuluhan dan pendidikan masyarakat agar mempunyai kesadaran untuk
mengubah perilaku dan kebiasaan
yang dapat menyebabkan terjadinya
limpasan.
6. Penyuluhan kepada masyarakat bagaimana hidup di daerah yang rentan
terhadap bahaya banjir sehingga kerugian akibat terjadinya banjir dapat ditekan seminimal mungkin.
7. Penetapan peil banjir pada kawasan yang rentan terhadap terjadinya
genangan atau banjir. Juga pengaturan pembangunan di daerah rawan
banjir sehingga dapat mempertahankan ruang untuk air.

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

49

Laporan Utama

Kebijakan Pembangunan Kota

Menyelamatkan
Fasos-Fasum Kota Bekasi
uran drainase dan taman.
Dalam site plan pembangunan perumahan biasanya pengembang hanya menyiapkan lahan kosong untuk dimanfaatkan sebagai
Fasos-Fasum. Pemanfaatan Fasos dibuat atas kesepakatan bersama
masyarakat sekitar dan disetujui pemerintah daerah. Sedangkan
Fasum tidak bisa diubah untuk pemanfaatan lain. Semisal jika sejak awal site plan menunjukkan lahan Fasum untuk ruang terbuka
hijau dan taman maka tidak boleh ada warga yang membuat bangunan di lahan itu.

Lahan Fasos Fasum perumahan yang sudah diserahkan ke Pemkot Bekasi/ Foto: Miftah

Abstrak
Prasarana, Sarana dan Ulititas (PSU) sebuah kota menuntut ketersediaan yang layak dan memadai. Maka perlu kebijakan pengelolaan Fasos-Fasum (Fasilitas Sosial-Fasilitas Umum) yang terintegrasi dan berkelanjutan. Apalagi di kota besar seperti Bekasi: laju
pertumbuhan penduduk tinggi, ketersediaan lahan terbatas dan
pembangunan berlangsung pesat.
Secara umum PSU dipisahkan menjadi dua katagori. Yakni Fasos
dan Fasum. Purwanto dalam makalahnya Analisis Kebijakan Dalam
Pengadaan Fasilitas Sosial dan Fasilitas Umum (2010) membedakan pengertian Fasos dan Fasum.
Fasos dipadankan pengertian dalam Bahasa Inggris sebagai
social atau public facility yang berarti sarana dan prasarana sosial . Diadakan untuk memfasilitasi upaya pemenuhan kepentingan-kepentingan sosial, pelaksanaan aktivitas sosial dan interaksi antarwarga. Singkat kata Fasos dibangun untuk memfasilitasi
aktualisasi kehidupan sosial warga. Misalnya sarana pendidikan,
ibadah, gedung pertemuan, tempat bermain, fasilitas olahraga,
dan lainnya.
Sedangkan Fasum dalam Bahasa Inggris diartikan sebagai
public utility. Secara umum Fasum dipahami sebagai sarana dan
prasarana yang diadakan untuk memudahkan kehidupan warga.
Penekanannya ialah manfaat. Contoh Fasum antara lain jalan, sal-

50

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

Perda PSU
Alokasi lahan PSU berdasarkan katagori pemanfaatan lahan
dan luasan yang ada di Kota Bekasi dijelaskan dalam Peraturan
Daerah Nomor 16 Tahun 2011 Kota Bekasi tentang Prasarana,
Sarana dan Utilitas Kawasan Perumahan, Perdagangan dan Industri oleh Pengembang. Setiap perumahan baru yang dibangun wajib mengalokasikan lahan untuk PSU dengan rumusan :
%PSU = (100 persen-Koefesien Dasar Bangunan) x Luas lahan
yang dimohon pengembang. Koefisien Dasar Bangunan (KDB)
adalah perbandingan luas lantai dasar bangunan dengan luas
semua lahan yang dimiliki.
Dalam satu areal perumahan baru pengembang wajib menyediakan lahan Prasana dan Utilitas maksimal 65 % (persen) dari
luas lahan yang disetujui untuk PSU perumahan tersebut. Yang
termasuk prasana di antaranya; jaringan jalan, jaringan saluran
pembuangan air hujan (drainase), tempat pembuangan sampah
sementara, dan lainnya. Sedangkan Utilitas antara lain; jaringan
listrik, jaringan telepon, jaringan gas, sarana pemadam kebakaran,
penerangan jalan umum dan jaringan transportasi (halte bus, sub
terminal dan jembatan penyebarangan orang)
Sedangkan untuk Sarana Lingkungan, pengembang wajib
mengalokasikan lahan 15 % (persen) dari luas lahan yang disetujui
untuk PSU kawasan perumahan. Sarana Lingkungan di antaranya;
perniagaan dan perbelanjaan, sarana layanan umum dan pemerintah, sarana pendidikan, kesehatan, peribadatan, rekreasi, olahraga,
sarana pemakaman, sarana permananan, ruang terbuka hijau dan
parkir. Khusus untuk Taman luasan yang ditentukan minimal 20 %
(persen) dari luas lahan yang disetujui untuk PSU.
Kawasan Bisnis (Central Bussines Distric) dengan luas di atas 5
hektar wajib menyediakan lahan PSU paling sedikit 40 % (persen)
dari keseluruhan luas lahan. Pembangunan kawasan perdagangan
dengan sistem deret atau blok luas 0,5-5 hektar wajib mengalokasikan PSU minimal 20 persen dari luas lahan. Pengembangan lahan
di bawah 0,5 hektar wajib memenuhi persyaratan tata bangunan
sesuai perundang-undangan yang berlaku.

FORMULASI LUASAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS


%PSU
%PSU

= (100 % - KDB) x L
= PU + S + Taman

%PUmax
= 65 % x PSU x L
%Smin
= 15% x PSU x L
%Tamanmin
= 20 % x PSU x L
atau sesuai desain yang disetujui
Keterangan :
PSU
L
PU
S
Taman
KDB

= Luasan lahan untuk prasarana, sarana dan utilitas


= Luasan lahan yang dimohon
= Luasan lahan prasarana dan Utilitas
= Luasan lahan sarana
= Luasan lahan taman
= Koefesien Dasar Bangunan

Selain diwajibkan menyediakan PSU pengembang juga memiliki


kewajiban menyediakan lahan Tempat Pemakaman Umum (TPU).
Pengembang Kawasan Perumahan Horizontal wajib menyerahkan
2 % (persen) luas lahan sesuai dengan rencana tapak yang disetujui
pemerintah daerah. Sedangkan pengembang Perumahan Vertical
atau Rumah Susun (Rusun) wajib menyerahkan lahan TPU maksimal 3.5 m2 per unit dan minimal 2 m2 per unitdisesuaikan dengan luasan tiap tipe. Pengembang Rumah Toko (Ruko) atau Rumah
Kantor (Rukan) minimal 5 unit wajib menyerahkan lahan TPU seluas
2 m2 per unit Ruko atau Rukan.
Pengembang dapat menyediakan TPU di dalam atau di luar perumahan. Pemerintah Kota Bekasi sudah menyediakan beberapa
lokasi TPU. Sesuai Rencana Detail Tata Ruang beberapa lokasi TPU
tersebut di antaranya; TPU Perwira Kecamatan Bekasi Utara seluas
12 hektar, TPU Pedurenan Kecamatan Mustikajaya seluas 22,4 hektar, TPU Sumur Batu Kecamatan Bantargebang seluas 47,92 hektar.
Selain itu bisa juga menggunakan TPU yang berasal dari wakaf yang
tersebar di setiap kecamatan.
Jika tidak bisa menyediakan lahan TPU pengembang bisa mengganti uang kompensasi kepada Pemerintah Daerah. Perumahan
horizontal nilai komspensasinya adalah 2 persen luas lahan yang
dikembangkan dikalikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah lokasi
TPU. Perumahan vertikal atau rusun kompensasinya adalah 3.5 m2
per unit dan minimal 2 m2 per unit dikalikan NJOP TPU. Nilai uang
yang diserahkan tersebut sudah termasuk biaya pengurusan sertifikat dan administrasi.
Sesuai aturan penyediaan lahan TPU harus diserahkan saat
pengajuan site plan (rencana tapak). Ini berlaku untuk kawasan perumahan horizontal. Sedangkan untuk perumahan vertikal diserahkan pada saat pengajuan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
TPU perumahan horizontal
TPU perumahan vertikal
TPU ruko dan atau rukan
(jumlah ruko/rukan minimal 5 unit)
Keterangan :
L
TPU

=2%XL
= 2 3.5 m2 per unit
= 2 m2 per unit

= Luasan Lahan yang dimohon


= Tempat Pemakaman Umum

Proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk perumahan diambil


dari proporsi luasan PSU. Dihitung minimal 15 % (persen) dari luas
lahan keseluruhan atau KDH 15 % (persen). Sementara untuk kawasan perdagangan dan kawasan industrI adalah seluas 20 % (persen) dari luas lahan keseluruhan atau KDH 20 % (persen) . Koefesien
Daerah Hijau (KDH) adalah angka prosentase perbandingan antara
luas ruang terbuka di luar bangunanyang diperuntukan bagi
pertamanan atau penghijauandengan luas tanah. Seluruh jenis
prasarana, sarana dan utilitas dan luasan lahan yang dipergunakan
untuk penyediaan PSU ditetapkan dalam surat keterangan rencana
induk atau rencana tapak.
FORMULASI LUASAN RTH
%RTH = RTHdlm + RTHluar = 15% x L
%RTH = %Taman + %TPU + % RTH pada PU + % RTH pada S
% RTH pada PU = PU x KDHPU
% RTH pada S = S x KDHS

Keterangan :
RTH
= Luasan lahan untuk RTH
RTHdlm = Luasan lahan RTH di dalam kawasan perumahan
RTHluar = Luasan lahan RTH di luar kawasan perumahan
KDHPU
= Koefisien Daerah Hijau pada prasarana dan utilitas yang disetujui
KDHs
= Koefisien Daerah Hijau pada sarana yang disetujui

Perda PSU tersebut mengatur tentang tata cara penyerahannya dengan sangat jelas. Perumahan horizontal menyerahkan PSU
secara bertahap. Tahap pertama adalah menyerahkan PSU 40 %
(persen) saat lahan terbangun dan terjual sudah mencapai 50 %
(persen). Jika pembangunan dan penjualan sudah mencapai 90 %
(persen) maka pengembang wajib menyerahkan 100 % (persen)
PSU. Penyerahan utilitas Penerangan Jalan Umum dilaksanakan
setelah kavling efektif terjual seluruhnya.
Sedangkan pengembang perumahan vertikal, perdagangan,
dan industri, PSU diserahkan dalam kondisi 100 persen terbangun
dan telah dipelihara selama enam bulan terhitung sejak selesainya
pembangunan. Proses penyerahan PSU tersebut dilakukan dengan
syarat dan tahapan yang diatur ketat dalam Perda PSU. Pemanfaatan PSU tersebut menjadi kewenangan Pemerintah Daerah sesuai kebutuhan pembangunan di wilayah setempat.
Tidak Terdata
Secara substansi Perda Nomor 16 Tahun 2011 memberikan landasan hukum Pemerintah Daerah dalam hal pengadaaan Fasos-Fasum. Namun dalam perjalanannya banyak pengembang yang tidak
menyerahkan lahan Fasos-Fasum kepada pemerintah daerah.
Pemerintah Kota Bekasi mencatat ada 20 perumahan dari 210
perumahan yang baru menyerahkan lahan Fasos-Fasum. Ada 60
perumahan yang sudah menyerahkan Fasos-Fasum namun tidak
didukung dengan kelengkapan dokumen Berita Acara Serah Terima
(BAST). Bahkan sebagian tidak dilengkapi sertifikat dan site plan.
Data Dinas Tata Kota Bekasi menunjukkan potensi lahan
terbangun berupa bangunan kavling, Fasos, jalan, saluran dan
taman seluas 1,696,85 Ha dengan total lahan efektif seluas
989,37 Ha. Sedangkan total PSU yang terdata seluas 707, 48 Ha.
Diperkirakan jumlah PSU yang tidak terdata masih ada sekitar
1218,77 Ha (13,42 %).

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

51

Laporan Utama

Kebijakan Pembangunan Kota

Padahal dalam aturannya ada sanksi tegas bagi pengembang


perumahan yang membande l. Baik sanksi administrasi maupun pidana. Sanksi administrasi berupa pelebelan daftar hitam
pengembang dan mempublikasikan di media. Bahkan menolak
pengajuan perizinan baru. Sedangkan sanksi administrasi adalah
ancaman pidana kurungan selama 6 bulan dan denda sebesar
Rp50.000.000.
Sebagian pengembang beralasan tidak diserahkannya PSU kepada
Pemeritah Daerah karena prosedur penyerahan Fasos-Fasum berbelitbelit. Alasan lain adalah faktor perawatan dan keberlanjutan. Artinya,
begitu Fasos-Fasum diserahkan, ternyata sebagian besar malah tidak
terawat. Itu banyak terjadi. Sementara ketika pengembang menyampaikan keluhan ke instansi berwenang tidak ditanggapi serius. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah Pemda benar-benar siap
menerima serah terima dari pengembang?
Persoalan lain pascapenyerahan aset adalah lemahnya pendataan, pengawasan dan pengelolaan Fasos-Fasum oleh Pemerintah Daerah. Ini menyebabkan banyak Fasos-Fasum milik Pemkot
Bekasi dikuasai perorangan atau kelompok serta diubah fungsinya

52

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

untuk sarana komersil. Sebut saja penyerobotan Fasos-Fasum Lapangan Pondokgede dan Lapangan Mekarsari Bekasi Timur dan beberapa lokasi lainnya. Lemahnya pengamanan membuat beberapa
aset milik Pemkot Bekasi berpindahtangan karena kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung.
Ketegasan Pemkot Bekasi
Walikota Bekasi Rahmat Effendi juga mengakui masih banyak
Fasos- Fasum perumahan yang belum diserahkan pengembang kepada Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi. Sejak Bekasi masih Kabupaten baru ada puluhan pengembang yang menyerahkan aset dari
ratusan pengembang yang ada. Malah ada beberapa perumahan
yang pengembangnya sudah tidak jelas rimbanya. Rahmat mengatakan itu karena kesalahan pencatatan administrasi di era pemerintahan sebelumnya yang belum sempurna. Contohnya tidak dokumen berita acara serah-terima, Warkah, site plan, dan lainnya.
Untuk itu Pemkot Bekasi terus berupaya mendata keberadaan
Fasos-Fasum tersebut. Termasuk mengecek kelengkapan administrasi dan verifikasi fisik di lapangan. Saat ini Pemkot Bekasi meran-

cang Perwal PSU. Di dalamnya diatur jelas tentang mekanisme,


syarat dan tahapan penyerahan Fasos-Fasum. Perwal PSU diharapkan akan memudahkan proses penyerahan PSU dari pengembang
ke Pemerintah Daerah. Sehingga keberadaan Fasos-Fasum terdata
dengan baik dan bisa dimanfaatkan bagi kepentingan publik.
Pemkot Bekasi juga akan menindak tegas alih fungsi Fasos-Fasum menjadi sarana komersil yang kini dikuasai sekelompok orang.
Walikota berjanji akan mengejar seluruh Fasos-Fasum yang merupakan aset milik pemerintah daerah. Dalam waktu dua tahun ke
depan seluruh aset ditargetkan sudah berhasil diambil alih. Pemkot Bekasi akan tegas dalam mengambil alih Fasos-Fasum yang belum diserahkan pengembang. Termasuk menertibkan Fasos-Fasum
yang beralih fungsi.
Jangka Panjang
Tujuan jangka panjang pengelolaan Fasos-Fasum adalah untuk
menghasilkan optimalisasi manfaat Fasos-Fasum secara berkelanjutan. Optimalisasi dalam pemanfaatan Fasos-Fasum akan terwujud
apabila pengelolaannya dapat menghasilkan efisiensi, social costs

yang rendah, dan pemerataan.


Optimalisasi pemanfaatan juga dapat diperoleh apabila pengelolaannya dapat mewujudkan perubahan-perubahan berdasarkan
pemahaman form utility (peningkatan manfaat karena perubahan
bentuk fisik dan fungsi dari fasilitas sosial dan fasilitas umum), place
utility (peningkatan manfaat karena perbedaan tempat atau perpindahan lokasi fasilitas sosial dan fasilitas umum), dan time utility
(peningkatan manfaat karena perubahan waktu di mana masyarakat semakin menyadari manfaat dari keberadaan fasilitas sosial
dan fasilitas umum). Pemanfaatan Fasos-Fasum bisa berlangsung
berkelanjutan apabila pengelolaannya menghasilkan upaya pemeliharaan, perbaikan, dan modifikasi bentuk fisik dan fungsi .
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut maka diperlukan
pemantauan (monitoring), evaluasi, pelaporan yang berlangsung
secara berkala. Ketiga proses ini berfungsi memastikan bahwa proses perencanaan, penataan, penyediaan, penyerahan, dan pengembangan dilakukan secara profesional dan mengikuti prosedur dan
tahapan proses secara konsisten. Serta memberikan umpan balik
positif bagi perbaikan kinerja pelayanan.

ALUR SERAH TERIMA ADMINISTRASI TPU OLEH PENGEMBANG


KEPADA PEMERINTAH DAERAH

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

53

Laporan Utama

Kebijakan Pembangunan Kota

ALUR SERAH TERIMA ADMINISTRASI PRASARANA,


SARANA DAN UTILITAS (PSU)

ALUR SERAH TERIMA FISIK PRASARANA,


SARANA DAN UTILITAS (PSU)

54

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

ALUR SERAH TERIMA ADMINISTRASI & FISIK PRASARANA,


SARANA DAN UTILITAS

ALUR SERAH TERIMA PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS (PSU)


YANG DITINGGALKAN PENGEMBANG

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

55

Laporan Utama

Kebijakan Pembangunan Kota

Imajinasi Tentang Kota


Dalam Perspektif Tokoh

Pernahkah kita berimajinasi tentang sebuah kota? Kota di mana kita merasa nyaman dan aman tinggal di
dalamnya. Gedung-gedung tinggi menjulang di kelilingi taman yang teduh. Bangunan dan perumahan tertata
apik. Jalan-jalan resik dan tertib diapit rimbun pepohonan. Taman hijau nan asri terhampar di setiap sudut
kota menggoda kita selalu mengunjunginya bersama keluarga dan kerabat. Fasilitas publik ramah bisa diakses
siapa pun. Kota bebas banjir dan polusi. Kota sehat dan kreatif tempat anak cucu kita tumbuh. Setidaknya itulah
Bekasi masa depan yang ingin dihadirkan dalam Peraturan Daerah Kota Bekasi tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) 2011-2031.

ungkin hanya sedikit


warga yang tahu wujud Bekasi tempo dulu
dan bagaimana Bekasi
masa depan. Pesatnya
urbanisasi dan pembangunan membuat
imajinasi dan persepsi orang tentang
Bekasi berapa puluh tahun ke depan berbeda-beda. Apalagi dengan sederet pengalaman ketidaknyamanan yang pernah
dialaminya. Ada yang membayangkan
Bekasi menjadi kota sejuta masalah dan
tidak nyaman dijadikan tempat tinggal.
Tapi ada juga yang melihat positif laju
pertumbuhan saat ini.
Walikota Bekasi Rahmat Effendi yang
lahir dan tumbuh di Kota Bekasi masih
mengingat betul bagaimana wajah Bekasi tempo dulu. Di rentang tahun 19701980an setiap pagi ia masih menikmati
pekatnya kabut yang membawa sejuknya
udara. Gunung Gede Pangrango dan
Gunung Salak masih bisa terlihat jelas.
Ia bahkan sempat menikmati jernihnya
air Kali Bekasi yang dihuni aneka jenis
ikan. Setiap berangkat sekolah berjalan
kaki ia melintasi bentangan persawahan
dan rawa. Tak ada kemacetan dan polusi
udara. Ia sempat merasakan semua keindahan itu. Namun saat Bekasi saat ini
digantikan gedung-gedung bertingkat,

56

perumahan dan pabrik.


Tapi pemandangan indah ketika saya
masih kecil itu sekarang sudah tidak ada
lagi. Saya kangen suasana kota seperti
dulu. Meskipun saya tidak bisa mengembalikannya tapi saya punya kewajiban
menata Kota Bekasi menjadi lebih baik,
nyaman, aman dan manusiawi dihuni,
kata Rahmat.
Menurut Rahmat pesatnya pembangunan Kota Bekasi harus dilihat positif. Meskipun harus diakui ada banyak
dampak negatif pembangunan tersebut.
Untuk itu perlu rumusan perencanaan
matang dan detail baik jangka pendek
maupun jangka panjang. Rumusan pembangunan secara komprehensif sudah dituangkan dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah (RPJPD).
Untuk panduan teknisnya termuat
dalam Perda RTRW 2011-2031. Di dalam
Perda inilah imajinasi tentang Kota Bekasi dirumuskan, kata Rahmat.
Rahmat mengakui membangun Kota
Bekasi tidak mudah. Mengingat banyaknya persoalan saat ini. Namun dia
optimis jika ada
niat kuat dan
tulus,
serta

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

dilakukan bersama masyarakat, seluruh


rencana tersebut bisa terealiasikan.
Contoh yang bisa kita lihat adalah
penataan koridor Jalan Ahmad Yani.
Sekarang ada Jembatan KH Noer Alie
Summarecon, Gedung Pemerintahan
10 lantai dan Stadion Bekasi. Dulu
masih dalam bentuk imajinasi. Tapi
sekarang mewujud. Kita sudah rencanakan semuanya. Tinggal komitmen
menjalankannya. Saya yakin dalam 1020 tahun ke depan wajah Kota Bekasi
berubah lebih baik, katanya.
***
Membayangkan Kota Bekasi
masa depan mungkin terasa
absurd bila melihat realitas hari ini. Persoalan kemacetan, kesemrawutan penataan
bangunan di jalan-jalan utama, minimnya
ketersediaan lahan
k h u s u s nya
untuk
Ru-

ang Terbuka Hijau (RTH), buruknya penataan sistem drainse, adalah sedikit contoh
yang bisa kita lihat dan rasakan.
Pesatnya pertumbuhan jumlah pendudukyang saat ini mencapai 2,7 juta
jiwajuga menjadi persoalan tersendiri bagi Kota Bekasi. Padahal ketika Kota
Bekasi baru berdiri sebagai kota mandiri
13 tahun silam jumlah penduduknya
belum 1 juta jiwa. Kota Bekasi menjadi
kota harapan bagi sebagian kaum urban
menggantungkan hidup dan mencari
peruntungan.
Kondisi itu berdampak terhadap pemanfaatan lahan. Data Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bappeda) Kota Bekasi menunjukkan
tahun 1998 luas kawasan terbangun
51,09 persen dari luas wilayah setempat atau sekitar 21.049 hektar. Namun
tahun 2005 luas kawasan terbangun
mencapai 67 persen lebih.
Luas ruang terbuka hijau di Kota Bekasi pun berkurang dari sekitar 4.133 hektar (tahun 2000) menjadi 4.099 hektar
(tahun 2005). Sejumlah situ atau rawa di
Kota Bekasi menghilang karena dibangun
kawasan niaga dan permukiman. Padahal
warga Kota Bekasi mendambakan hadirnya taman-taman kota yang dapat menjadi ruang publik atau tempat rekreasi.
Ruang terbuka juga sekaligus menjadi
kawasan resapan dan pengendali polusi.
Keberadaan situ atau rawa mengurangi
ancaman banjir dan menjadi tempat
cadangan air saat kemarau.
Kota Bekasi seolah tumbuh tanpa
perencanaan yang jelas. Banyak hal ang
sudah given. Itu imbas pembangunan
nasional dan pemekaran wilayah pada
tahun 1997. Kita tidak bisa mengubahnya
secara radikal. Tapi harus ditata perlahan, kata Ketua Pusat Kajian Otonomi
Daerah (Puskoda) Unisma
45 Bekasi, Haris
Budiyono.
H a r i s
menjelaskan hal
yang sud a h

given antara lain Jalan Tol Jakarta-Cikampek yang membelah Kota Bekasi, rel kereta api, irigasi Kalimalang, Jalan Inspeksi
Kalimalang (Jalan KH Noer Alie). Semua
itu adalah bagian penataan ruang nasional yang tidak bisa ditolak daerah.
Contoh rel kereta api yang membelah
pusat Kota Bekasi. Ini kan sudah ada dari
dulu dan akhirnya menimbulkan masalah
kemacetan. Kita tidak bisa memindahkan
rel kereta tersebut. Yang bisa dilakukan
menyesuaikan, membuat flyover, merekayasa arus lalu lintas, dan lainnya. Itu
salah satu contoh saja. Banyak contohcontoh lain yang menunjukkan persoalan
di Kota Bekasi ditimbulkan hal yang sudah
given tadi, kata Haris.
Namun Kota Bekasi juga memiliki potensi yang tidak dimiliki daerah lain. Dari
aspek geografis kota ini berbatasan langsung dengan Jakarta sehingga mendapat
imbas positif terutama ekonomi. Dari segi
fisik dasar sebagian besar wilayah Kota
Bekasi memiliki tingkat kemiringan yang
relatif datar (0-2%0). Kondisi topografi
yang datar itu secara teknis kerekayasaan
(technical enginering) memiliki potensi
sangat baik untuk segala kegiatan budidaya. Khususnya budidaya perkotaan dan
sarana pendukungnya. Meskipun berpotensi terjadi genangan jika hujan.
Berdasarkan hasil analisis kemampuan daya dukung lingkungan Kota Bekasi
termasuk kota yang dapat dikembangkan
dengan kendala sangat kecil. Secara garis
besar kawasan pengembangan berbagai
kegiatan perkotaan di Kota Bekasi cukup
sesuai kondisi geologi teknik. Kota Bekasi
masuk dalam zona kemampuan geologi
teknik menengah-tinggi.
Sementara dari aspek sosiokultur masyarakat Kota Bekasi mimiliki karakteristik
produktif (pekerja), masyarakatnya teroganisir, memiliki ragam seni dan budaya
(adaptif), intelektual dan dinamis. Ini
aset. Jika dikelola dengan baik bisa mendorong percepatan pembangunan Kota
Bekasi. Bahkan bisa membentuk kultur
kota yang kreatif, kata Haris.
***
Kepala Dinas Tata Ruang Kota Bekasi Koswara mengatakan Perda
RTRW merupakan

amanah UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penaataan Ruang. Penyusunan Perda tersebut memerlukan waktu panjang.
Dikerjakan sejak tahun 2008 dan baru
selesai tahun 2011. Penyusunan Perda
didasarkan kajian akademis, kajian teknis
yang komprehensif dan melibatkan partisipasi masyarakat.
Secara garis besar ada beberapa hal
yang menjadi fokus penataan ruang Kota
Bekasi. Di antaranya; Perwujudan Struktur Ruang. Terdiri dari perwujudan dan
pengembangan sistem pusat pelayanan
atau sistem perkotaan, transportasi, sistem utilitas dan prasarana lingkungan.
Perwujudan Pola Ruang terdiri dari Kawasan Lindung, Kawasan Budidaya dan
Kawasan Strategis. Tahapan pengembangan Kawasan Lindung terdiri dari rencana
kawasan perlindungan setempat dan kawasan yang memberikan perlindungan
terhadap kawasan bawahannya. Tahapan pengembangan Kawasan Budidaya
terdiri dari permukiman, perdagangan,
kawasan industri, dan pemanfaatan ruang kawasan terbuka hijau. Dalam tataran aplikasi Perda RTRW dibagi menjadi
4 tahapan pelaksanaan. Masing-masing
tahapan ialah 5 tahun. Ini diatur dalam
RPJMD dan RPJPD.
Visi Perda ini mewujudkan tata ruang
Kota Bekasi sebagai hunian dan usaha kreatif yang nyaman. Dengan peningkatan
kualitas lingkungan hidup yang berkelanjutan, kata ahli planologi jebolan Institut
Teknologi Bandung (ITB) tersebut.
***
Perda RTRW 2011-2013 mengatur
rencana struktur kota yang bertujuan
mewujudkan keserasian dan keseimbangan pusat-pusat pelayanan. Juga mengefektifkan kinerja sistem pusat-pusat
tersebut agar berkembang sesuai peran
dan fungsinya.
Perda RTRW 2000-2010 dinilai tidak
mampu lagi mengakomodir perkembangan Kota Bekasi sekarang. Seperti pengaturan kegiatan perdagangan dan jasa,
industri, perumahan, pusat pelayanan
pemerintah dan kawasan hija. Jika tidak
diatur secara tegas maka bisa menimbulkan dampak kerugian besar di masa
mendatang. Untuk itu Perda mengatur
pembagian Sistem Pusat Pelayanan
(SPP). Terdiri dari 1 (satu) Pusat Pelayanan Kota dan 4 (empat) Sub Pusat
Pelayanan Kota (SPPK).

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

57

Laporan Utama

Ruang Publik Untuk Publik

Taman perumahan Kemang Pratama sebelum dipagar / Foto: Firman

Ruang Publik untuk Publik


Ruang publik
khususnya dalam bentuk
ruang terbuka hijau
merupakan elemen
penting sebuah kota.
Namun keberadaannya
di kota-kota besar
seperti Bekasi sangat
minim. Bahkan ruang
tersebut tidak lagi milik
publik karena mulai
diambil alih sektor
privat.
58

Banyak perumahan-perumahan mahal membangun taman atau danau buatan. Tapi semua fasilitas itu disediakan
bukan untuk publik melainkan untuk
para penghuninya saja. Ia sekadar elemen marketing yang memiliki nilai jual
untuk ditawarkan kepada konsumen.
Sementara tempat berkumpul di mal
dalam bentuk cafe hanya bisa dinikmati
segmen tertentu saja. Maka mal tidak
bisa dikatakan sebagai ruang publik yang
utuh karena cenderung eksklusif.
Di sebuah perumahan mewah di bilangan Rawalumbu ada taman yang sangat rimbun dan hijau. Pohon-pohon besar meneduhkan. Rumput subur melapisi
seluruh permukaan taman. Aneka pohon
dan bunga membuat suasana semarak
dan sedap dipandang mata. Tapi warga
hanya bisa menikmati itu semua dari

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

balik pagar setinggi 1,5 meter. Taman tu


diperuntukkan untuk sekumpulan rusa
dan burung. Bukan untuk warga kota.
Hal sama terjadi di sebuah perumahan mewah yang baru dibangun di pusat Kota Bekasi. Taman dan jalur hijau
yang semestinya bisa dinikmati warga
justru dijaga petugas keamanan yang
menyebar di setiap sudut. Petugas
keamanan ini menghalau warga yang
ingin duduk-duduk di taman. Bahkan
sekadar numpang berfoto-foto saja tidak diperbolehkan.
Pemandangan seperti itu juga terjadi
di ruang-ruang publik milik pemerintah
kota. Taman kota di kompleks alun-alun
Bekasi, misalnya, di kelilingi pagar setinggi 1 meter. Meskipun bisa dinikmati
warga namun esensi ruang publik sebagai tempat yang membebaskan, tidak

Taman perumahan Kemang Pratama sesudah dipagar / Foto: Miftah

berjarak, justru berkebalikan. Seolah-olah


taman cukup menjadi pemanis kota saja.
Esensi Ruang Publik
Ruang publik dalam bentuk ruang terbuka
hijau sangat banyak manfaatnya. Warga bisa
berolahraga di pagi hari menghirup udara
segar. Atau sekadar datang untuk berkumpul
bersama teman-teman lalu berbincang secara
santai. Di ruang terbuka anak-anak kecil bisa
juga bergembira bermain jika ada sarana khusus untuk bermain. Jadi taman kota fungsinya
bukan hanya sebagai penghias saja.
Tengoklah kota-kota di Belanda seperti
Rotterdam, Den Haag dan Amsterdam. Di
sana kita dapat dengan mudah menjumpai
ruang publik yang ditata apik di tengah-tengah perumahan atau apartemen. Demikian
pula di Paris, Perancis. Kita bisa melihat ruang-ruang terbuka persis di depan warung
kopi (coffe shop/caf) di sepanjang Jalan
Boulevard Champs Elyses yang merupakan
jaringan utama menuju monumen Arc de
Triumph. Keadaan yang sama bisa ditemui
di Jerman, di Cologne. Kita bisa menemukan banyak ruang-ruang kosong berupa
lapangan rumput di mana masyarakat bisa

mengisi waktu luangnya.


Kota-kota di Asia seperti Singapura dengan Boulevard Orchard Road pun mengambil contoh ruang publik seperti Jalan Boulevard Champs Elyses. Hanoi, Vietnam, memiliki lima danau besar. Pinggirannya tertata taman yang sangat bersih dan terjaga.
Vietnam juga juga memiliki banyak pathway
yang lebarnya hingga 5 meter dan digunakan berkumpul banyak orang. Kemudian di
Musoleum Paman Ho, yang terlihat seperti
miniaturnya Tianamen di Negeri Cina, orang
tua-muda bersama anak-anaknya yang masih kecil tumpah-ruah di sana berlari dan
bermain layang-layang.
Seperti itulah seharusya taman kota sebagai bagian dari ruang publik. Tua-muda
kaya-miskin bisa berkumpul dalam suasana
gembira. Menurut Haryo Winarso dalam tulisannya Komersialiasi Ruang Kota taman
kota seharusnya bisa manusiawi: tempat
manusia merasa menjadi manusia setelah
seharian diperbudak waktu dan uang. Bukan taman yang hanya dinikmati anggota
masyarakat tertentu saja.
Sayangnya kenyamanan ruang publik
kini mulai dikalahkan dengan masuknya pe-

mikiran pasar yang kapitalistik dan menghilangkan ruang bebas itu hanya untuk kepentingan uang. Ruang kota telah tereduksi
nilai gunanya dan sempit maknanya. Hanya
dilihat sebagai faktor yang jika dipakai
sedemikian rupa dapat memberikan keuntungan finansial yang besar bagi investor.
Pertambahan penduduk di Kota
Bekasi yang terus meningkat menjadikan
ruang kota sanga terbatas. Sementara
permintaan terus menerus meningkat.
Akibatnya adalah benturan pada penggunaan ruangnya. Ruang kota dilihat sebagai
konsumsi karena begitu diperlukan masyarakat. Dilihat hanya sebagai komoditi
yang bisa diperjual-belikan.
Ketika ruang kota terkomersialisasi,
publik terpaksa mengeluarkan uang untuk
menikmatinya. Ruang dalam mal adalah
salah satu contohnya. Ia hanya dipakai publik ketika mal buka. Dalam keadaan seperti
itu kemungkinan besar kota-kota akan terdegradasi secara spasial. Ruang-ruang kota
akan diambil alih kepentingan pasar. Taman-taman tertutup milik privat.
Seperti digambarkan di mula, tamantaman dalam pengembangan perumahan

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

59

Laporan Utama

Ruang Publik Untuk Publik

baru dijual hanya sebagai daya tarik.Danau atau situ dibuat tertutup karena di sekelingnya dibangun perumahan yang mahal.
Ruang tersebut pun dinikmati oleh yang
membeli rumah di sekeliling danau saja.
Sementara masyarakat umum yang tetap
memerlukan ruang kota akan menginvasi
perempatan. Jika ini dibiarkan maka degradasi spasial akan segera terlihat. Ini bisa
menimbulkan kecemburuan yang membahayakan ketentraman kehidupan kota.
Keterlibatan Publik
Ruang publik memang untuk publik. Tapi
publik juga memiliki kewajiban ikut menjaga
ruang-ruang publik agar tetap lestari. Privatisasi ruang publik oleh beberapa pengembang
perumahan terjadi karena belum ada kesamaan persepsi dalam menjaga ruang publik.
Seperti contoh ruang publik di dua perumahan mewah yang disinggung di atas.
Awalnya taman itu dibuka bebas untuk warga. Sayangnya warga tidak sepenuhnya ikut

menjaga kelestariannya. Membuang sampah


sembarangan, merusak properti taman, bahkan menjadikannya sebagai tempat nongkrong dan bermesra-mesraan.
Faktor itu mungkin menjadi pertimbangan pengembang perumahan memasang
pagar dan menjaga aset mereka yang sudah dibangun dengan harga mahal. Para
pengembang juga menghindari stigma
negatif akibat penyalahgunaan fungsi ruang
publik tersebut. Namun bukan berarti kondisi semacam ini dibiarkan.
Pengelolaan taman sebagai ruang publik bukan hanya tanggung jawab pengembang dan pemerintah melainkan tanggung
jawab bersama. Perlu dibangun persepsi
yang sama dan didorong partisipasi publik.
Tingginya partisipasi publik tersebut tentu
berhubungan erat dengan tingkat kesadaran mereka tentang ruang publik. Terutama
fungsi ruang publik bagi publik.
Pemerintah wajib menyiapkan ruang-ruang kota yang baik dan bisa dinikmati seluruh

Ruang Publik beralih fungsi menjadi sarana komersil di depan Mall Metropolitan / Foto: Mbot

60

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

warga. Juga melakukan sosialisasi dan menjalin kemitraan dengan masyarakat yang tinggal
di sekitar ruang publik untuk bersama-sama
mengelola. Pemerintah harus tegas dan berkerjasama dengan pengembang swasta dalam
menciptakan ruang publik. Boleh saja swasta
menyediakan ruang publik tetapi tidak boleh
eksklusif.
Ruang publik adalah milik publik. Membebaskan publik dari segala bentuk perbedaaan. Ruang publik harus bisa diakses
gratis seluruh warga. Bukan hanya milik
segelintir orang yang memiliki uang untuk
menikmatinya.*** (dari berbagai sumber)
Daftar Pustaka

Haryo Winarso. 2010. Komersialisasi


Ruang Kota
Ir. James Siahaan, MA. 2010. Ruang
Publik: Antara Harapan dan Kenyataan.
Lukman F Mokoginta. 2002. Nasib
Taman Kota.

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

61

Laporan Utama

Ruang Publik Untuk Publik

Setiap anak butuh bermain. Dengan bermain


anak-anak menjadi riang gembira. Bermain
diyakini bisa mengembangkan kemampuan
kognitif, sosial, fisik dan emosional anak.
Namun kemudian muncul pertanyaan: Di
mana? Bermain apa? Tentu saja jawabannya
tidak simpel.

Di Mana
Taman
Bermain
Anak?
62

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

Arsitek Jepang, Mitsuru Senda, dalam bukunya Design


of Childrens Play Environment (1992) membahas tempat
bermain anak dengan sangat kritis. Katanya semua orang
menyadari bahwa bermain dibutuhkan anak. Akan tetapi
banyak orang tidak menyadari bahwa dibutuhkan juga
suatu tempat untuk aktivitas bermain tersebut.
Menurut Senda bermain adalah keharusan bagi
seorang anak. Atau minimal ini menjadi pusat kehidupan
mereka. Sebab anak-anak belajar, memeroleh teman,
dan mengasah kreativitas melalui bermain. Bermain
merupakan permulaan rutinitas dan kebiasaan. Karena
itulah kita harus menyediakan lingkungan yang baik di
mana anak bisa memerlihatkan kecerdasan mereka.

l Anak Bekasi tak punya tanah lapang. Bermain dekat bahaya / Foto: Firman

Aktivitas bermain anak membutuhkan lingkungan


yang mendukung dan memfasilitasi kegiatan ini. Lingkungan bermain yang baik membutuhkan waktu dan ruang
yang cukup untuk aktivitas anak. Senda mengatakan
bahwa lingkungan bermain anak terdiri atas empat elemen, yaitu: tempat bermain, waktu bermain, teman ber-

main, dan apa yang anak kerjakan.


Senda mengategorikan enam tipe ruang
yang dapat dijadikan lingkungan bermain bagi
anak, yaitu; (1). Nature Space; ruang yang dipenuhi pepohonan, air dan elemen alam lain
yang menjadi dasar utama dan terpenting
dalam pembentukan ruang bermain anak;(2).
Open Spaces; Ruang terbuka yang mengakomodasi kegiatan anak untuk aktif bergerak.
Kemudian (3). Road spaces; Ruang yang
terbentuk dari salah satu aktivitas anak yang
bertemu dan berhubungan dengan teman
seusianya; (4). Adventure Spaces: Ruang yang

membangkitkan imajinasi anak-anak yang


bermain melalui elemen- elemen ruangnya;
(5). Hideout Spaces; Ruang yang ada karena
setiap anak memiliki sisi mandiri dan rahasia
masing- masing yang tidak ingin diketahui
orang tua dan guru mereka; (6). Play structure

Spaces; Ruang yang biasanya menjadi media


bermain anak yang dilengkapi alat bermain.
Pendapat Senda lebih condong bahwa
tempat bermain anak yang baik ialah di ruang
terbuka. Namun persoalan yang muncul di kota
besar ialah justru minimnya ruang terbuka untuk bermain anak. Padahal bermain di ruang
terbuka lebih menguntungkan anak daripada
bermain di ruangan tertutup. Di Kota Bekasi permainan di ruang tertutup ini kebanyakan berada
di mal dan jenis permainannya pun elektrik.
Praktisi pendidikan anak dari Universitas
Islam 45 Bekasi Siti Hidayah menyebut keberadaan sarana bermain untuk anak akan
sangat memengaruhi pertumbuhan psikologis
anak. Sebab di ruang hijau anak belajar bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Konsep permainan di ruang terbuka berbeda dengan konsep permainan yang ada di
mal. Di mal anak dapat asyik bermain sendiri
dan hanya mengunakan kemampuan motorik
belaka, kaki, tangan dan mata. Sedangkan di
taman anak dapat mengembangkan kemampuan motorik sekaligus psikomotorik.
Penelitian, kata Siti menunjukkan, anak
yang minim kesempatan bermain secara
ekspresif, bebas dan aktif menjadi mudah
agresif, emosional, cepat putus asa dan kehilangan daya kreativitas. Di mal anak pun menikmati permainan secara pasif, susana hijau
tidak ada, hawa sejuk ditimbukan dari AC, cahaya dari sinar lampu. Secara kesehatan jelas
tidak baik untuk perkembangan anak.
Fenomena tersebut ditangkap Ketua
Komisi Nasional Anak Seto Mulyadi atau
akrab disapa Kak Seto. Menurut Kak Seto tempat bermain seperti di mal dan taman- taman
bermain komersial bukanlah sebuah konsep
yang ideal bagi sebuah kawasan ruang bermain anak. Kawasan itu sangat diskriminatif
karena hanya bisa diakses golongan yang
mampu secara ekonomi.
Kak Seto sependapat bahwa taman bermain
anak sebaiknya di ruang terbuka dan tidak komersial. Jika terpaksa berada di dalam ruangan maka
harus diusahakan ada keseimbangan dengan kegiatan di luar ruangan. Tempat bermain di ruang
terbuka dengan ayunan atau panjatan dari kayu,
misalnya, akan memberi kegembiraan dan tantangan kepada anak-anak. Fasilitas-fasilitas seperti itu sangat merangsang kecerdasan anak.
Perbanyak Taman Bermain
Mengingat setiap kelompok umur memiliki perilaku berbeda sesuai fase pertumbuhanya maka taman bermain anak harus juga
spesifik. Meski membutuhkan ruang terbuka

taman bermain tidak bisa disamakan dengan


ruang publik. Ruang publik tidak sepenuhnya
bisa dijadikan tempat anak bermain secara
nyaman karena bercampur dengan banyak
orang yang tidak seusia.
Taman bermain di Kota Bekasi masih sangat
minim. Kalau pun ada itu hanya terpusat di kota
seperti di Taman Alun-alun Bekasi. Padahal taman bermain harusnya lebih banyak berada di
daerah permukiman atau perumahan sehingga
mudah dijangkau anak-anak. Taman bermain
anak paling tidak diklasifikasikan menjadi dua
kelompok. Yakni anak usia 1-5 tahun dan usia
5-12 tahun. Di ruang publik anak usia 1-5 tahun
kerap dikalahkan anak-anak yang lebih besar.
Untuk itu Pemerintah Kota Bekasi harus mulai memikirkan penyediaan taman bermain anak
yang nyaman khususnya untuk kelompok usia
1-5 tahunmasa emas pertumbuhan. Masa
di mana anak mulai peka menerima berbagai
rangsangan. Masa peka ini merupakan masa
terjadinya kematangan fungsi fisik dan psikis
sehingga anak siap merespon stimulasi yang diberikan lingkungan.
Pemerintah daerah menurut Kak Seto
berkepentingan mewujudkan tempat bermain
anak. Kepentingan ini dilandasi keinginan
mewujudkan generasi unggul. Oleh karena itu
pemerintah harus memenuhi kebutuhan bermain anak-anak. Bermain bagi anak adalah
proses belajar. Kemudian pada proses belajar
ada proses mengasah potensi-potensi kecerdasan. Itulah pentingnya menyediakan fasilitas bermain untuk anak-anak.
Menyediakan fasilitas bermain anak juga
merupakan amanat Undang-undang Perlindungan Anak. Kementerian Perempuan dan
Perlindungan Anak juga mencanangkan program Kota Layak Anak. Program ini mensyaratkan adanya ruang-ruang terbuka yang bisa
dipakai anak-anak bermain. Konkritnya suatu
kota harus menyediakan minimal 5 persen
dari wilayahnya untuk ruang bermain anakanak. Namun ternyata 3 persen pun belum
ada. Kenyataan ini seharusnya bisa memacu
semangat para pimpinan daerah agar tidak
mendeskriminasi anak-anak. Menurut Kak
Seto pemerintah mesti menyediakan anggaran untuk anak dan memberikanpolitical will.
Namun tentunya menyediakan taman
bermain anak bukan tanggung jawab pemerintah saja. Maka pemerintah bisa saja menggandeng warga atau swasta. Salah satunya
dengan mengeluarkan kebijakan agar seluruh
pengembang perumahan menyediakan taman
bermain anak lengkap dengan fasilitas pendukungnya. Untuk permukiman taman bermain

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

63

Laporan Utama

Ruang Publik Untuk Publik

orang dewasa bertegur


sapa dan anak-anak bermain tanpa khawatir bahaya.
Pemerintah
Kota
Bekasi sebenarnya masih
berupaya mewujudkan
taman bermain anak.
Salah satunya dengan
membangun rumah pintar di beberapa Kelurahan. Yang sudah jadi ialah
di Kelurahan Kayuringin
Jaya. Rumah pintar ini
akan dikembangkan di
semua kelurahan.

bisa memanfaatkan Fasos/Fasum yang sudah


ada. Misalnya di halaman masjid, halaman
kantor RW atau kelurahan.
Penyediaan taman bermain juga bisa
dibuat di halaman sekolah dasar (SD). Sebab
kebanyakan saat ini halaman SD hanya digunakan untuk lapangan upacara dan olahraga.
Padahal siswa SD juga kelompok anak-anak
yang membutuhkan arena bermain dengan
jenis permainan yang mengasah keberanian,
kreativitas dan ketrampilan.
Ke depan model pembangunan fasilitas sosial maupun fasilitas umum sebaiknya jangan
eksklusif. Tempat ibadah yang selama ini dipagar
dibuka saja sehingga halamannya bisa dimanfaatkan untuk tempat bermain anak. Begitu pun
dengan lingkungan sekolahan, kantor kelurahan
maupun kantor kecamatan. Dengan begitu ruang-ruang yang selama ini dibiarkan kosong bisa
bermanfaat untuk anak-anak sekitar.
Pembangunan jalan-jalan di perumahan
juga perlu dipikirkan kemudahan akses bagi
pejalan kaki. Selama ini persepsi pengembang
tentang jalan perumahan ialah hanya untuk
diakses kendaraan bermotor. Padahal sebelum kendaraan bermotor menjadi lazim jalan
di dalam permukiman tak pernah hanya menjadi sekedar lorong untuk lewat. Selalu ada
kegiatan lain di dalamnya: orang berjual-beli,
64

Taman dan Fasilitas Bermain


Secara umum taman
bermain anak (Children
Playground) dapat diartikan sebagai tempat
yang dirancang bagi anakanak melakukan aktivitas
bermain dengan bebas
supaya memperoleh kegembiraan. Taman bermain adalah juga sarana
mengembangkan kemampuan kognitif, fisik,
sosial dan emosional anak. Taman tersebut diutamakan berada di ruang terbuka.
Ada enam kriteria dan indikator sebuah
taman bermain anak dikatakan baik. Antara
lain (1). Keselamatan; fasilitas bermain tidak
menimbulkan atau memungkinkan terjadinya
kecelakaan fatal; (2). Kesehatan; bebas gangguang kesehatan baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang; (3). Kenyamanan;
tidak ada gangguan secara fisik atau psikologis dari lingkungan sekitar; (4). Kemudahan;
semua fasilitas permainan mudah digunakan
dan dimengerti; (5). Keamanan; bebas dari tidak kejahatan; (6). Keindahan; menarik secara
visual sehingga citra taman bermain muncul
sangat kuat.
Ada pun komponen dalam taman bermain
anak yaitu; lokasi, tata letak, peralatan permainan, konstruksi, material atau bahan. Mari
kita urai komponen tersebut satu per satu.
Lokasi; penentuan lokasi taman bermain
anak selalu dihadapkan pada dua hal. Pertama,
anak tidak merasa terganggu dengan aktivitas
lain. Kedua, taman bermain anak juga tidak
mengganggu lokasi sekitar. Prinsip penentuan
lokasi ini juga didasari pertimbangan bahwa
pengguna taman bermain adalah anak-anak

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

yang belum memiliki kesadaran tinggi terhadap lingkungannya. Maka lokasi harus mudah
dijangkau dan tidak membahayakan anak.
Tata letak; mengatur zonasi aktivitas bermain aktif-pasif, kelompok umur dan jenis
permainan. Pemisahan ini perlu dilakukan untuk memastikan antarpermainan tidak saling
menggangu. Tata letak memungkinkan anak
bergerak bebas dan memilih jenis permainan.
Perlu ada area yang ternaungi sehingga anak
bisa berteduh. Area ternaungi ini juga bisa
menjadi ruang tunggu bagi orangtua yang
mendampingi.
Peralatan Permainan: peralatan merupakan komponen paling kompleks dan paling
penting dikendalikan karena anak-anak terkonsentrasi di sekitarnya. Kecelakaan kerap
terjadi di lokasi alat permainan. Maka perlu
beberapa upaya untuk menghindari risiko. Bagian bawah alat permainan mesti menggunakan alas yang tidak keras seperti pasir. Desain
tidak memungkinkan anak terjepit. Perlu ada
peralatan khusus untuk anak berkebutuhan
khusus.
Konstruksi: pengendalian komponen
konstruksi didasarkan pada persoalan beban kegiatan anak dengan sarana yang ada.
Ini perlu perhatian tersendiri. Kekuatan
konstruksi dalam perhitungan mesti lebih
besar dari daya tampung maksimal anak.
Peralatan harus berstandar bagus sehingga
ada ukuran mengenai beban, ketinggian dan
pondasi. Sambungan peralatan mainan harus meminimalisir tonjolan.
Material atau bahan: pengendalian bahan alat permainan didasarkan pada persoalan
sensitivitas tubuh anak terhadap benda-benda. Bahan alat permainan anak diutamakan
lebih halus namun tidak licin. Bahan juga tidak
mengandung zat yang berbahaya bagi anak.
Di area terbuka yang langsung terkena cahaya
matahari bahan peralatan sebaiknya tidak
mudah menghantarkan panas.
Kelima komponen ini memang mesti diuji
dengan enam kriteria yang disebut sebelumnya.
Terkesan sangat kompleks. Tapi itulah hal-hal
yang mesti diperhatikan betul dalam menyediakan taman bermain anak.
Rujukan:
Chairunnisa. (2011). Taman sebagai
Pendukung Aktivitas Bermain Anak dan
Berolahraga di Permukiman. Depok: Fakultas
Teknik Universitas Indonesia.
Baskara, Medha. (2009). Prinsip Pengendalian Perancangan Taman Bermain Anak di
Ruang Publik. Malang: Universitas Brawijaya.

Merindukan
Ruang Kultur Kota

Dibentuk akhir tahun 2011, Komunitas


Sastra Kalimalang kini kian eksis.
Bantaran Kalimalang di samping Kampus
Universitas Islam 45 (Unisma) disulap
menjadi surga. Tiap sore orang-orang
nampak ceria duduk-duduk di bantaran
kali sembari diskusi dan menikmati
kopi. Ada pula anak-anak kecil yang
berenang. Seolah-olah mereka hendak
berkata kepada pengendara mobil dan
motor, Hei, berhentilah sejenak. Mari
menikmati kota kita.

Teduhnya bantaran Kalimalang / Foto: Miftah

Sebelum dijamah Sastra Kalimalang bantaran kali tersebut


hanyalah semak-semak. Konon para pencopet kerap menyelinap di rerumputan sehabis beraksi di perempatan Jalan Cut
Mutia-Chairil Anwar. Dompet-dompet yang telah dikuras uangnya dibuang ke kali. Sementara si pelaku kabur entah ke mana.
Ketika malam pemuda-pemudi juga memanfaatkan ruang kosong itu untuk memadu kasih. Tak ada yang ditakuti. Tak ada
yang dirisihkan.
Namun kini dua saung berdiri tegak di bantaran kali. Satu
saung berfungsi sebagai taman bacaan. Satu lagi untuk sekolah nonformal bagi anak jalanan. Bantaran kali tak lagi kosong

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

65

Laporan Utama

Ruang Publik Untuk Publik

dan suram. Komunitas telah menjadi penjaga. Juga para mahasiswa


yang menjadikan area ini sebagai tempat berbincang. Tak jarang
lomba dayung tingkat provinsi juga diadakan di sini. Dan belakangan sebuah landmark bertuliskan Kota Bekasi juga dibangun di
bantaran Kalimalang.
Taman bacaan di pinggir kali tak pernah sepi. Anak-anak jalanan
sehabis mengamen kerap singgah. Ada yang membaca. Ada pula
yang sekadar tiduran sambil memainkan gitar mungil. Orang yang
habis pulang kerja sembari menunggu jemputan juga akhirnya ikut
duduk-duduk di saung. Buku-buku di taman bacaan ini memang
tidak komplit. Tapi yang membuat hebat ialah karena buku-buku
tersebut sumbangan dari warga. Tidak beli.
Setiap Senin dan Kamis sore puluhan anak jalanan mengikuti
sekolah nonformal di saung satunya lagi. Mereka belajar menghitung dan membaca. Yang mengajar ialah para mahasiswa jurusan
pendidikan Unisma. Jumat malam Sastra Kalimalang juga mengadakan dialog. Pesertanya siapa saja. Dari mulai akademisi, pejabat
pemerintahan, anggota dewan, mahasiswa hingga anak-anak jalanan. Budaya dialog ini dikembangkan agar ruang publik sebagai ru-

ang demokrasi bisa terbangun.


Selain taman bacaan, sekolah dan dialog, Sastra Kalimalang
membangun koperasi. Anggotanya ialah para pemilik usaha di bantaran kali. Ada pedagang makanan, pemilik kedai kopi, tukang tambal ban, tukang ojeg dan penjual buku. Sastra Kalimalang mengabarkan semua kegiatan itu melalui halaman khusus di koran Radar
Bekasi setiap minggunya. Mereka menerbitkan puisi-puisi, artikel,
cerpen dan lainnya.
Setiap tiga bulan sekali Sastra Kalimalang mengadakan Panggung Terapung. Sebuah panggung datar diapungkan di tengahtengah sungai. Semua sanggar kesenian di Bekasi diundang untuk
tampil. Juga para seniman kenamaan. Masyarakat bebas menonton. Ini adalah salah satu bentuk kampanye bersih kali melalui medium kesenian.
Pegiat Komunitas Sastra Kalimalang Irman Syah bahkan mengatakan bantaran sungai bukan saja telah menjelma sebagai ruang publik yang mudah diakses semua orang. Lebih dari itu ban-

66

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

taran kali meningkat menjadi ruang kultur. Apa itu ruang kultur?
Ruang yang diisi dengan kebudayaan. Ada manusia dan adab
di situ. Orang bisa saling menghormati tanpa harus ada aturan
tertulis, kata Irman.
Menurut Irman jika ruang kosong telah terisi maka muncul
kebutuhan manusia di dalamnya. Di bantaran Kalimalang yang
sudah dimanfaatkan banyak orang itu muncullah kebutuhan kenyamanan, kebersihan dan keindahan. Maka setiap hari anggota
komunitas berusaha membersihkan sampah yang berserakan.
Memangkas rumput dan menjadikan bantaran kali sebagai tempat kegiatan berkesenian.
Sekarang tidak ada lagi orang mesum di sini. Tak ada copet
yang lari ke sini. Tak ada pula pelajar tawuran yang melintas membawa senjata tajam ke mari. Itu berarti ruang yang terisi ini telah
memunculkan norma sendiri, katanya.
Irman mengatakan pemerintah bisa saja melarang semua aktivitas di bantaran Kalimalang dengan alasan kebersihan. Namun
meskipun bersih ruang tersebut akan kosong. Tidak ada aktivitas
manusia, tidak ada pedagang. Singkatnya tidak ada kebudayaan.
Ruang tersebut tidak lagi menjadi ruang publik dan ruang kultur. Di
sinilah pentingnya melibatkan masyarakat.
Taman kota tidak akan menjadi ruang kultural, misalnya, jika
masih dijaga ketat oleh satpam. Mungkin ini antisipasi agar tidak
terjadi perusakan. Namun setiap ruang publik mestinya dibiarkan
hidup oleh publik itu sendiri. Jadi penekanannya buka kepada larangan. Tapi ajakan. Kalau dilarang terus menerus warga semakin
brutal. Tapi kalau diajak untuk bersama-sama merawat pasti ruang
tersebut tetap lestari. Buat apa taman indah kalau tidak ada manusianya, kata Irman.
Ketika taman kota sebagai ruang publik penuh sampah, misalnya, ia tidak kehilangan makna ruang untuk interaksi. Tetapi taman kota yang penuh sampah itu belum bisa disebut ruang kultur.
Sebab masih ada kebiasaan-kebiasaan buruk yang merugikan banyak orang. Pemerintah bisa saja menyediakan ruang publik. Tapi
bagaimana publik mengisi dan menghidupi ruang itu, inilah yang
membutuhkan campur tangan semua pihak.
Perlu ada kesadaran pengguna ruang publik. Kesadaran ini
bisa dibangun melalui pendidikan di sekolah, keluarga dan lingkungan. Itulah pentingnya pengetahuan warga tentang identitas kotanya. Kebanggaan terhadap sebuah kota harus terus
dirawat. Ketika setiap warga bangga terhadap daerahnya maka
kemungkinan besar ruang kultur hadir di sana. Sebab setiap kebanggaan akan selalu membawa kasih sayang dan rasa memiliki, kata Irman.
Sementara dosen politik Unisma Bekasi Harun Alrasyid mengatakan bahwa wilayah Kota Bekasi dibelah oleh jalan tol, rel
kereta dan Kalimalang. Jadi Kalimalang tidak sekadar berfungsi
sebagai saluran irigasi. Kalimalang ialah ikon Kota Bekasi. Bicara
Kalimalang pastilah bicara Bekasi. Kegiatan Sastra Kalimalang
bisa menjadi program percontohan kali bersih bagi tempat-tempat lain di Indonesia.
Menurut Harun hadirnya Sastra Kalimalang membuktikan bahwa di Bekasi ternyata ada masyarakat madani. Masyarakat madani
ditandai dengan munculnya kelompok masyarakat yang mandiri,
berdaya guna dan tanpa bergantung pada siapa pun. Terbangunnya taman bacaan dan sekolah pinggir kali merupakan wujud kemandirian Sastra Kalimalang, jelas Harun.***

Kaum difabel dan


lansia sering terlewat
dan dilewatkan dalam
pembangunan kota. Di
Kota Bekasi ruang-ruang
publik belum dirancang
untuk memudahkan
mereka. Padahal Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum
nomor 30/PRT/M/2006
mengatur detail bagaimana
membangun ruang publik
yang ramah bagi kaum
difabel dan lansia.

Mereka
yang Dilewatkan...
Istilah difabel memang diperuntukkan sebagai pengganti kata penyandang cacat. Difabel merupakan akronim different ability.
Difabel lebih mengartikan para penyandang
cacat adalah manusia normal hanya saja
berbeda kebutuhan dalam mengakses
sarana dan prasana publik. Sementara
lansia adalah orang-orang yang berusia
lanjut. Lansia termasuk golongan yang
acapkali kesulitan mengakses fasilitas
publik.
Belakangan, misalnya, Pemerintah
Kota Bekasi melarang keras warga menyeberang jalan tanpa melalui jembatan
penyeberangan. Ini terutama diterapkan di
Jalan Ahmad Yani tepatnya di sekitar pintu
keluar Tol Bekasi Barat, Mega Bekasi Hypermall dan Metropolitan Mal, karena menyebabkan kemacetan. Garis penyeberangan
pun ditutup.
Bagi kaum difabel dan lansia ini tentu
menyulitkan. Salah satu alumnus Panti
Sosial Bina Netra Tan Miyat Indra Cipjaya
mengatakan penyandang difabel netra
sangat mengandalkan pendengaran
dan perabaan. Di Bekasi mereka kesulitan ketika menyeberang jalan. Di Jalan
Ahmad Yani menurut dia jembatan penyebarangannya sulit dijangkau. Tidak
gampang, katanya.
Jalur pejalan kaki di Bekasi juga masih buruk. Di beberapa jalan ditemui banyak trotoar rusak. Trotoar berlubang tidak
diberi tanda bahaya. Ini mengkhawatirkan.

Mereka dikalahkan di jalan raya (Vivanews/Fernando)

Bahkan tiang-tiang reklame terpasang tak


beraturan di badan trotoar. Saya berharap
pemerintah memperhatikan hal-hal kecil ini
yang sebenarnya sangat penting bagi kaum
difabel, kata Indra.

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

67

Laporan Utama

Ruang Publik Untuk Publik

Hal sama juga dialami kaum lansia yang


mengandalkan kursi roda. Bagaimana mungkin mereka bisa mengakses trotoar yang rusak
dan dikuasai pedagang kaki lima? Sementara
jalur sepeda atau jalur lambat tidak tersedia.
Kalau pun adaseperti jalur sepeda di Jalan
Ahmad Yani Bekasidiserobot kendaraan
bermotor untuk ngebut atau sekadar parkir.
Beberapa waktu lalu Walikota Bekasi
Rahmat Effendi mengatakan Jalan Ahmad
Yani akan dibikin sebagai jalan percontohan.
Tiang-tiang reklame yang tidak beraturan
akan dirapikan. Trotoar rusak akan dibetulkan. Bunga-bunga di pot permanen di tengah
jalan akan dipercantik. Tapi wacana tersebut
lebih mengacu tampilan. Bukan fungsi. Efektivitas dan efisiensi tidak diperhatikan.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
menekankan aksesibilitas. Dalam ketentuan umum peraturan tersebut aksesibilitas
diartikan kemudahan yang disediakan bagi
semua orang termasuk penyandang cacat
dan lansia guna mewujudkan kesamaan
kesempatan dalam segala aspek kehidupan
dan penghidupan.
Peraturan tersebut dibuat untuk acuan
pembangunan yang meliputi perencanaan
teknis dan pelaksanaan konstruksi. Kemudian acuan pemanfaatan bangunan dan
lingkungan yang ramah bagi semua orang.
Termasuk penyandang cacat dan lansia.
Tujuannya tentu untuk menjunjung kesamaan, kesetaraan, kedudukan hak dan kewajiban setiap warga negara. Selain itu peraturan
dirancang agar setiap kota bisa menyediakan
sarana yang memadai, terpadu dan inklusif.
Ini untuk membantu kaum difabel dan lansia
mencapai kemandirian dan kesejahteraan.
Bangunan yang dimaksudkan dalam Peraturan Menteri adalah semua bangunan, tapak
bangunan dan lingkungan luar bangunannya,
baik yang dimiliki pemerintah dan swasta,
maupun perorangan, yang memungkinkan dikunjungi atau digunakan semua orang termasuk penyandang cacat dan lansia. Bisa disimpulkan bangunan tersebut yaitu ruang publik.
Lebih detail Peraturan Menteri menyebut beberapa area. Fasilitas umum bisa
meliputi jalan, pedestrian, taman kota, lapangan, pemakaman, kebun binatang dan
lainnya. Kemudian bangunan fungsi hunian
seperti rumah susun, rumah flat, asrama,
panti asuhan, hotel, apartemen dan lainnya. Area fungsi keagamaan seperti masjid,
gereja, pura, vihara dan klenteng.
Ada juga bangunan fungsi usaha seperti gedung perkantoran, kantor pos, bank,

68

l Jembatan peyebrangan tidak bisa dilalui kaum difabel / Foto: Miftah

area perdagangan, gedung pabrik, perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi,


restoran, terminal, bandara, pelabuhan,
stasiun kereta api dan lainnya. Bangunan
fungsi sosial-budaya meliputi sekolah, museum, perpustakaan, pelayanan kesehatan,
tempat pertunjukan dan lainnya.
Isu aksesibilitas untuk kaum difabel berkaitan dengan tuntutan desain ruang publik yang
universal. Selain Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum tuntutan tersebut juga diatur secara
serius antara lain dalam; Resolusi PBB nomor
48 tahun 1993 tentang Peraturan Aksesibilitas, UU nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, UU nomor 39 tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia, Peraturan Pemerintah


nomor 43 tahun 1999 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Penyandang Cacat, dan
UU nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung dan Lingkungan.
Dinas Sosial Kota Bekasi menyebutkan
sedikitnya ada 1148 difabel yang tercatat.
Tersebar di 12 kecamatan. Penyandang difbel netra sebanyak 138 orang, difabel rungu
atau difabel wicara 7 orang, difabel tubuh
290 orang, difabell mental 477 dan dampak
penyakit kronis 172 orang. Itu baru yang
tercatat. Artinya fasilitas untuk kaum difabel ini mesti disediakan menyeluruh. Tidak
hanya di pusat-pusat kota saja. ***

l Trotoar tidak bisa dilalui kaum difabel / Foto: Miftah

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

Ruang Publik
dan Misi Kemanusiaan
Jurnal ini berkesempatan mewawancarai
Ketua Dewan Pertimbangan Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), Siswadi. Berikut hasil wawancara tersebut;
Menurut Anda, apakah fasilitas publik di
Kota Bekasi sudah mengakomodir kebutuhan
kaum difabel? Kalau belum, bisa disebutkan
apa saja contohnya?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut,
kami perlu menjelaskan dulu istilah yang digunakan. Sejak tahun 1997 negara telah secara
resmi menggunakan istilah Penyandang Cacat
dengan dibuatnya Undang Undang No.4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
Dalam perjalanannya Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI)sebelum PPDI,
redmeminta Presiden RI untuk mengganti kata
Penyandang Cacat. Karena kami aktif di organisasi internasional, Pemerintah RI menyetujui.
Melalui Menteri Sosial, Pemerintah RI menandatangani Konvensi Internasional Resolusi PBB
No. 61/106, tgl. 13 Desember 2006 Tentang
Perlindungan dan Peningkatan Hak Asasi & Martabat Penyandang Cacat pada 31 Maret 2007 di
Markas PBB, New York.
Istilah Penyandang Cacat dalam resolusi
tersebut mengalami perubahan menjadi People
with Disabilities (PwD). Terjemahan bebasnya:
Orang Dengan Kecacatan, di Indonesia tidak
menggunakan kata kecacatan tapi mengambil
kata disabilties menjadi Disabilitas. Juga tidak
menggunakan Orang Dengan tapi dengan kata
Penyandang. Dengan demikian istilah lengkap
menjadi Penyandang Diabilitas..
Istilah tersebut telah juga dikuatkan dengan Kesepakatan Organisasai Kecacatan Nasional dan stakeholders yang diselenggarakan
di Bandung, tahun 2010. Selanjutnya menjadi
istilah resmi dalam Undang-Undang No. 19
Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi
PBB Mengenai Peningkatan Hak & Martabat
Penyandang Disabilitas.
Kembali ke pertanyaan. Tentu secara jelas
dan tegas bahwa sebagian besar tidak mengakomodir kebutuhan kaum disabilitas. Con-

tohnya tentu sangat banyak. Kita ambil sampel


yang strategis ;1.Pendidikan belum ada yang
mengembangkan Pendidikan Inklusi atau pendidikan reguler/umum yang menyediakan fasilitas
fisik dan tenaga pendidik bagi anak berkebutuhan khusus; 2. Perkantoran layanan umum tidak
menyediakan aksesibilitas bagi disabilitas netra, daksa maupun tunarungu wicara; 3.Sarana
peribadatan juga sama, tidak menyediakan aksesibilitas bagi disabilitas netra, daksa maupun
tunarungu wicara; 4.Jalan Raya khususnya pada
trotoar yang semestinya bisa digunakan untuk
akses penyandang disabilitas, ternyata juga
tidak bisa dimanfaatkan. Demikian juga trafficlight juga tidak ramah bagi penyandang disabilitas netra; 5.Kantor perbankan, kelurahan dan
kecamatan, sarana transportasi umum hingga
taman kota, juga tidak ada yang aksesibel bagi
penyandang disabilitas.
Padahal pesan Peraturan Pemerintah No.43
Tahun 1998 tentang Usaha Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat menyatakan
tempat pemakaman umum pun harus aksesibel
bagi penyandang disabilitas.
Di Kota Bekasi, fasilitas apa saja yang
mendesak diperbaiki, terutama untuk kaum
difabel?
Yang mendesak diperbaiki tidak ada. Karena fasilitasnya juga tidak ada. Yang mendesak
diadakan adalah aksesibilitas yang mendukung
Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) bagi penyandang disabilitas Kota Bekasi.
Meliputi aksesibilitas pendidikan, kesehatan dan
pekerjaan. Untuk pekerjaan utamanya sebagai
wirausaha mengingat salah satu parameter yang
obyektif saat ini terhadap indikator keberhasilan
pemerintah adalah peningkatan IPM.
Selama ini, sudahkan kaum difabel dilibatkan dalam persoalan pembangunan fasilitas
publik?
Jika komunitas disabilitas bisa dilibatkan
dalam Musrenbang untuk sekadar menyampaikan aspirasi dan sumbang saran, Insya Allah, pengadaan dan pembangunan fasilitas

yang ada di Kota Bekasi dapat mengarah pada


kota yang ramah bagi penyandang disabilitas. Kota yang ramah kepada kaum disabilitas
adalah cermin kota yang peduli kemanusiaan.
Sebuah kota harus memiliki misi kemanusiaan.
Aksesibilitas bagi penyandang disabilitas itu
juga bermanfaat bagi lansia dan ibu hamil.
Menurut pandangan Anda, kota seperti apa
yang ramah kepada kaum difabel?
Kota yang menjamin tiadanya hambatan
fisik maupun nonfisik bagi aktivitas penyandang
disabilitas. Sehingga penyandang disabilitas bisa
mandiri sebagai anggota warga kota tanpa harus
terdiskriminasikan dan terpinggirkan. Sebagai
contoh nyata adalah Kota Tokyo yang menjamin
aktivitas penyandang disabilitas secara mandiri
untuk semua kegiatan.
Di Kota Bekasi, sudahkah kesadaran masyarakat menghormati kaum difabel terbangun?
Kesadaran yang muncul saat ini masih dalam
bentuk charitas atau belas kasihan. Dengan
kata lain diberi nasi bungkus saja sudah cukup.
Padahal peduli kepada penyandang disabilitas
bukan itu yang dimaksud.
Konsep yang berkembang saat ini baik
nasional maupun internasional adalah penghormatan dalam bentuk Hak Asasi. Artinya
penyandang disabilitas pun memiliki hak-hak
sebagaimana hak-hak warga nondisabilitas.
Secara detail dan terinci itu telah dinyatakan
dalam Pengesahan Konvensi pada Undang
Undang No. 19 Tahun 2011.
Dalam segi hukum perundang-undangan
untuk penyandang disabilitas relatif sudah
cukup baik. Masalahnya adalah pada implementasi di daerah otonom provinsi/kabupaten/kota. Oleh sebab itu ada baiknya kewenangan Pemerintah Daerah di bidang sosial
yang di dalamnya ada bagian penyandang disabilitas ditarik kembali saja sebagai kewenangan Pemerintah Pusat. Sebagaimana Sektor
Keuangan, Agama, Luar Negeri, Hukum, Pertahanan dan Keamanan.

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

69

Laporan Utama

Ruang Publik Untuk Publik

Urgensi Ruang Terbuka Hijau


Konsekuensi lahirnya Undangundang Nomor 26 2007
tentang Penataan Ruang adalah
penyediaan ruang terbuka hijau
(RTH) dalam rencana tata ruang
kota. Memang tidak mudah
menyediakan RTH jika melihat
realitas di kota besar saat ini.
Namun juga tidak menutup
kemungkinan untuk diadakan.

Undang-undang tersebut mewajibkan setiap


kota menyediakan minimal 30 persen wilayahnya
untuk RTH. 30 persen itu digunakan untuk RTH
Publik yang dimiliki dan dikelola pemerintah kota
dan digunakan untuk kepentingan masyarakat
umum. Juga untuk RTH Privat pada lahan-lahan
yang dimiliki swasta atau perorangan. Presentase
RTH Publik dan Privat disesuaikan sebaran penduduknya.
Undang-undang tersebut sangat tepat bagi
kota yang sedang giat membangun seperti Bekasi.
Apalagi keberadaan RTH dari tahun ke tahun terus
mengalami penyusutan akibat beralih fungsi menjadi area komersil seperti bangunan perumahan
dan pusat bisnis. Aturan itu menjawab tantangan
beragam persoalan kota. Namun sejauh mana
aturan tersebut bisa diwujudkan menjadi pertanyaan mendasar yang wajib dijawab seluruh elemen masyarakat.
Jumlah penduduk Kota Bekasi sekitar 2,7 jiwa.
Tingkat kepadatan penduduknya 11.089 jiwa/km2.
Pertumbuhannya sekitar 4.4% per tahun. Maka
keberadaan RTH jelas bukan sekadar sebagai estetika. Tetapi juga sarana yang mempunyai fungsi
sosial. Warga bisa saling berinteraksi dan menjadikannya tempat wisata murah.
RTH bagi Kota Bekasi sangat penting untuk
menjaga keseimbangan lingkungan hidup. RTH
bisa berfungsi melindungi bantaran sungai dan

70

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

menjadi kawasan resapan air tanah. RTH adalah paru-paru kota


yang menetralisir pencemaran udara akibat semakin bertambahnya jumlah kendaraan bermotor dan kegiatan industri.
Kesadaran pentingnya fungsi RTH bagi Kota Bekasi tersebut
dijabarkan dalam Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah
2011-2031. Dalam Perda tersebut jumlah RTH Kota Bekasi masih
jauh dari target 30 persen. Baru 11,4 persen atau sekitar 4.099
hektar. Padahal idealnya jumlah RTH secara keseluruhan di Kota
Bekasi harus berkisar 7.000 hektar.
Dalam Perda RTRW 2011 juga dijelaskan secara gamblang rencana pengembangan RTH sampai tahun 2031. RTH dalam Perda
tersebut bukan sebatas taman kota. Ada beberapa komponen lain
di antaranya; sempadan sungai, jalur hijau sempadan jalan, hutan kota, taman kota, taman pusat BWP, taman lingkungan (kecamatan, kelurahan, perumahan), taman rekreasi, tempat pemakaman umum (TPU), lapangan olahraga/lapangan terbuka, pulau
jalan, sempadan instalasi berbahaya dan sempadan kereta api.
Perda RTRW 2011 memerlihatkan kesungguhan Pemerintah
Kota Bekasi memenuhi target RTH 30 persen. Beberapa komponen
yang rencanakan adalah;
- Penghijauan di sepanjang sungai-sungai yang ada di Kota
Bekasi. RTH di bantaran sungai akan ditanami tumbuhan yang
mampu menghalangi luapan air.
- Jalur hijau sempadan jalan menyebar di seluruh jalan arteri
dan kolektor. Implementasinya dengan membuat RTH di median (tengah jalan) minimal 1,5 meter dan lebar sempadan
kanan-kiri minimal 1 meter. Penghijauan menggunakan jenis
pohon yang mampu mengurangi kadar pencemaran, menampung air hujan dan tidak menghalangi pandangan mata pengguna jalan.
- Hutan kota akan dikembangkan di beberapa lokasi yang memungkinkan. Pengembangan hutan kota memiliki fungsi ekologis tinggi dan fasilitas yang bisa dijadikan tempat interaksi
warga. Pemkot Bekasi menargetkan hutan kota minimal 0,25
persen dari luas wilayah.
- Taman Kota dibangun minimal 14,4 hektar yang menyebar
di beberapa lokasi di pusat kota. Pembangunan taman kota
dikerjakan dengan mengembangkan taman yang sudah ada
dan menambahkan fungsi kebutuhan interaksi warga. Beberapa taman yaitu Taman Alun-alun, Taman Cut Mutia, Taman GOR Bumi Perkemahan Bina Bangsa, Taman Multiguna,
Taman Pintu Tol Bekasi Timur dan lokasi lain yang potensial
untuk taman kota.
- Pembuatan taman kota juga diarahkan di enam bagian wilayah
pusat (BWP) dengan luasan minimal 14,4 hektar. Taman ini
nantinya menyatu lapangan olahraga, tempat bermain, tempat parkir dan bangunan yang bisa dijadikan aktivitas sosial
warga.
- Taman Kecamatan diwajibkan dibangun minimal 2 hektar di
setiap kecamatan atau total keseluruhan 24 hektar. Taman ini
merupakan lapangan hijau terbuka (termasuk lapangan olahraga dan dilengkapi fasilitas umum seperti WC umum dan kamar ganti)
- Di setiap kelurahan akan dibangun taman kelurahan/perumahan dengan luasan 9 hektar yang menyebar di 56 kelurahan se-

Kota Bekasi. Luas taman 620 meter persegi di masing-masing


kelurahan. Taman ini berfungsi sebagai area hijau dan tempat
warga berinteraksi.
- Setiap kelurahan wajib memiliki lapangan olahraga yang
dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang.

Pada RTRW 2011 tersebut pun mencantumkan bahwa kawasan hijau lindung dan kawasan hijau tidak dapat diubah fungsi karena untuk
Penyempurna Hijau Umum (dalam terminologi UU nomor 26/2007
adalah RTH publik). Dengan demikianwalaupun RTH saat ini masih
jauh dari target sebagaimana tercantum dalam UU nomor 26 tahun
2007namun bisa dikatakan bahwa komitmen menjaga ketersedian
RTH di Kota Bekasi sudah ada.
Sejauh ini pemenuhan RTH masih mengalami banyak kendala.
Misalnya banyak RTH beralih fungsi secara illegal menjadi wilayah
komersil, harga tanah melampaui NJOP (nilai jual obyek pajak),
kesadaran masyarakat dalam memelihara RTH rendah, pengendalian kewajiban penyediaan Fasos/ Fasum untuk RTH belum maksimal serta daya dukung datanya belum detail dan komprehensif.
Penyediaan RTH 30 persen akan terasa berat tanpa partisipasi
masyarakat. Untuk itu Perda RTRW 2011 mendorong partisipasi
masyarakat. Antara lain menekankan kewajiban pengembang menyediakan RTH sebagai bagian Fasos/Fasum sesuai aturan yang
ada. Selain itu pihak swasta diwajibkan menyediakan RTH di areal tempat usahanya masing-masing. Penyediaan RTH 30 persen
tentu bisa terwujud jika ada kemauan yang kuat semua pihak.***

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

71

Laporan Utama

Bersama Membangun Kota

Bersama
Membangun
Kota
Saat Flyover Summarecon di Jalan Ahmad Yani Bekasi
Selatan Kota Bekasi diresmikan, semua orang berdecak
kagum. Jembatan yang menghubungkan wilayah utara
dan selatan senilai Rp137 miliar itu dibangun swasta,
tapi manfaatnya bisa dinikmati seluruh warga kota.
Keterlibatan sektor swasta dalam pembangunan kota
sudah semestinya dioptimalkan. Tentunya dengan
melibatkan juga peran masyarakat.

Flyover Noer Ali Summarecon wujud kerjasama


sektor swasta dan Pemkot Bekasi. Flyover ini
dibangun oleh PT. Summarecon Agung Tbk
dan saat ini sudah diserahkan menjadi aset
Pemerintah Daerah. (Foto: Miftah)

72

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

Keterlibatan sektor swasta dalam pembangunan menjadi salah satu solusi mengatasi persoalan penyediaan sarana dan
prasarana publik yang layak. Minimnya anggaran Pemerintah Daerah dan sumber daya
manusia yang dimiliki tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah penduduk Kota
Bekasi yang mencapai rata-rata 4 persen
per tahun.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota
Bekasi menunjukan jumlah penduduk Kota
Bekasi dari tahun ke tahun terus mengalami
kenaikan. Dalam kurun tahun 2005 hingga
2012 penduduk Kota Bekasi bertambah
497.928 orang atau hampir setengah juta.
Tahun 2012 tercatat berjumlah 2.499.827
atau hampir 2,5 juta. Tiap tahun ratarata bertambah 71 ribu. Pemerintah Kota
Bekasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) menyebutkan lonjakan terbesar terjadi pada tahun 2007 ke
tahun 2008, yaitu dari 2.143.804 menjadi
2.238.717 penduduk. Naik sekitar 94.913
atau tumbuh 4,4 persen penduduk.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bekasi hanya berkisar di
angka Rp 3 triliun. Itu pun alokasi untuk
pembiayaan sektor publik baru di kisaran
54 persen (APBD 2013). Untuk sektor pembangunan infrastruktur hanya mendapat
alokasi sebesar 295 miliar. Bisa dibayangkan jika anggaran pemerintah daerah harus
tersedot untuk membiayai proyek-proyek
raksasa seperti pembangunan Jembatan
Summarecon, misalnya. Tentu mengakibat-

kan struktur pembiayaan pembangunan


timpang.
Kesenjangan jumlah anggaran daerah
dan jumlah penduduk tersebut berimplikasi
pada ketidakseimbangan ketersediaan sarana dan prasarana kota dalam memenuhi
hak dasar kebutuhan masyarakatnya. Kondisi ini apabila tidak segera ditangani dikhawatirkan akan menjadi faktor pemicu munculnya berbagai permasalahan perkotaaan
lainnya seperti berkembangnya slum area,
konflik sosial, penurunan kualitas lingkungan, tingginya angka kriminalitas dan sebagainya yang pada akhirnya dapat menghambat perkembangan kota.
Untuk menyiasati hal tersebut pemerintah daerah berupaya mencari solusi
pembiayaan pembangunan. Salah satunya
dengan mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pajak dan retribusi.
Pemkot Bekasi hanya bisa menaikkan PAD
di tahun 2013 menjadi Rp 871 miliar. Angka
tersebut tentu belum memandai dan tidak
sesuai harapan. Berkaitan dengan hal tersebut maka sudah sewajarnya apabila pemerintah lebih mengembangkan pendekatan
Kemitraan Pemerintah-Swasta (public-private partnership) untuk memenuhi ketersediaan sarana prasarana dasar perkotaan
dan peningkatan pelayanan kebutuhan
dasar masyarakat.
Pada hakikatnya pelibatan sektor swasta dalam pengembangan sarana prasarana
perkotaan akan memberikan keuntungan
baik bagi masyarakat, pemerintah maupun

swasta itu sendiri. Bagi sektor swasta keuntungan yang didapat dengan mekanisme ini
adalah profit penambahan nilai jual. Sedangkan bagi masyarakat adalah terpenuhinya kebutuhan dasar yang memadai. Ada
pun keuntungan bagi pemerintah adalah
mempermudah proses waktu penyediaan
serta meringankan beban pendanaan untuk memenuhi kebutuhan sarana prasarana perkotaan. Keuntungan lainnya yang
diperoleh pemerintah adalah terciptanya
transfer teknologi dan efesiensi manajerial dari pihak swasta yang dikombinasikan
dengan rasa tanggung jawab, kepedulian
terhadap lingkungan dan pengetahuan lokal serta dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
***
Dr Ronald W. McQuaid dalam makalahnya yang berjudul The Theory Of Patnersip-Why Have Partnership menjelaskan
beberapa definisi Kemitraan. Pertama, potensi sinergi dari beberapa bentuk sehingga
jumlahnya menjadi lebih besar daripada
bagian-bagian. Kedua, kemitraan kerjasama
berbagai pihak dalam sebuah program atau
proyek meskipun kadang masing-masing
pihak tidak terlibat dalam semua tahapan .
Ketiga, dalam kemitraan publik-swasta sektor publik tidak mengejar tujuan komersial
murni. Jadi kriteria kemitraan adalah adanya
kemitraan sosial (sehingga tidak termasuk
transaksi komersial murni).
Kemitraan melibatkan kerjasama yaitu
untuk bekerja atau bertindak bersama

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

73

Laporan Utama

Bersama Membangun Kota

Walikota Bekasi,
Rahmat Effendi
mengakui bahwa
peran sektor
swasta dalam
pembangunan
kota sangat
diperlukan. Rahmat
mengakui anggaran
pemerintah daerah
sangat minim jika
harus membiayai
seluruh proyek
infrastruktur

74

dan dalam kebijakan publik dapat didefinisikan


sebagai kerjasama antara orang-orang atau
organisasi di sektor publik atau swasta untuk
saling menguntungkan. Sementara definisi
lain yang serupa kemitraan swasta-publik sebagai tindakan yang bergantung pada kesepakatan pelaku di sektor publik dan swasta
dan yang juga memberikan kontribusi dalam
beberapa cara untuk meningkatkan perekonomian perkotaan dan kualitas hidup, meskipun
pendapat ini memiliki nilai konseptual yang terbatas. Ada juga pendapat lain yang mendefinisikan kerja kemitraan swasta-publik dalam regenerasi perkotaan sebagai mobilisasi koalisi
kepentingan yang diambil lebih dari satu sektor untuk menyiapkan dan mengawasi strategi
yang disepakati untuk regenerasi daerah yang
ditetapkan.
Dalam persfektif pembangunan ekonomi
kemitraan didefinisikan sebagai skema pembiayaan anggaran yang melibatkan satu atau
lebih suatu lembaga yang menekankan tujuan
bersama. Dalam cakupan lebih luas kemitraan
merupakan kolaborasi antara bisnis, organisasi

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

non-profit dan pemerintah. Pola semacam ini


sudah berjalan di negara-negara Uni Eropa.
Bahkan sudah dituangkan dalam kebijakan
khusus pembangunan.
Secara umum alasan mengapa peran serta
sektor swasta perlu dilibatkan dalam pengembangan sarana prasarana kota adalah; 1. Keterbatasan kemampuan pemerintah (sumber
daya keuangan, sumber daya manusia maupun manajemen pemerintahan); 2. Banyaknya bidang pelayanan perkotaan yang
belum sepenuhnya ditangani pemerintah,
sehingga untuk memenuhi kebutuhan yang
belum tertangani pemerintah, sektor swasta
dapat berperan tanpa harus mengambil alih
tanggung jawab pemerintah; 3. Swasta dapat
memberikan berbagai alternatif pilihan pelayanan
yang lebih luwes kepada konsumen; 4. Menciptakan persaingan dan mendorong pendekatan
yang bersifat kewiraswastaan dalam pembangunan nasional; 5. Peran serta swasta akan
mendorong terciptanya efisiensi operasional;
6. Semakin berkurangnya peran pemerintah
di masa datang ( fasilitator dan regulator) se-

mentara peran masyarakat dan swasta akan


semakin besar.
Dalam Kerjasama Pemerintah-Swasta
(KPS) terdapat beberapa bentuk kerjasama
pemerintah-swasta yang berkembang di
Indonesia, antara lain; 1. Built Operate dan
Transfer (BOT); 2. Konsesi; 3. Joint Ventures;
4. Community based provision; 5. Service
contrak. Setiap bentuk kerjasama tersebut
memiliki karakterisitik tersendiri baik dari
segi Kepemilikan Aset, Intensitas Regulatoritas, Sumber Investasi (Keuangan), Tenaga
Kerja maupun Waktu Persiapan Kontrak.
Keberhasilan kerjasama pemerintahswasta hanya dapat diraih dengan adanya pengertian antara pihak swasta dan
pemerintah. Untuk mencapai hal tersebut
maka upaya awal yang harus dilakukan
pemerintah adalah dengan menarik perhatian (minat) sektor swasta untuk berperan
mengembangkan sarana prasarana kota.
Direktur Pusat Kajian Otonomi Daerah
(Puskotda) Unisma Bekasi Haris Budiyono
menjelaskan pola kemitraan pemerintah
daerah dan swasta bisa dibangun antara
lain pemerintah mempromosikan sarana
dan prasarana yang hendak dikerjasamakan. Inisiatif ini bisa dilakukan dengan lebih
memfungsikan badan khusus yang memiliki
akses ke pihak swasta.
Dulu Kota Bekasi punya Bekasi Coorporate Social Responsibility (BCRS) yang
berperan menjadi penghubung antara
pemerintah daerah dan swasta. Lembaga
ini dibentuk untuk membantu swasta menyalurkan dana CSR dalam berbagai bentuk
pembangunan. Sudah sempat berjalan namun sekarang sudah vakum karena adanya
perbedaan pandangan. Ini saya sesalkan
juga, kata Haris saat ditemui di Kantor Puskoda awal November 2013 lalu.
Menurut Haris CSR tidak dimaknai sebatas pemberian bantuan untuk kegiatan
sosial kemasyarakatan. Tapi bisa juga untuk
pembiayaan pembangunan fasilitas infrastruktur seperti taman kota, pembangunan
atau perbaikan jalan dan drainase yang ada
di sekitar lokasi perusahaan dan lainnya.
Sehingga anggaran daerah bisa dialokasikan
ke sektor-sektor lain yang lebih penting.
Yang dilakukan BCSR pada waktu itu
adalah meminta beberapa perusahaan
membangun taman kota dan perbaikan
saluran air. Kuncinya adalah memberikan
gambaran yang rinci dan detail kepada pihak swasta terkait program yang akan dilakukan. Ini salah satu contoh program kecil

saja. Padahal banyak proyek-proyek besar


di Kota Bekasi yang bisa dikerjasamakan.
Haris juga menekankan pentingnya
prosedur (panduan) dasar bagi pelaksanaan
kerjasama pemerintah-swasta yang secara
garis besar terdiri dari empat tahapan. Pertama adalah persiapan proyek yang akan
dikerjasamakan. Kedua, analisa pemilihan
bentuk kerja sama pemerintah-swasta.
Ketiga, proses pelibatan partisipasi pihak
swasta. Keempat, membuat hubungan kerjasama yang kuat dan berkelanjutan.
Swasta juga butuh kepastian terkait
program kerjasama, prosedur, kemudahan akses perizinan, atau bentuk kerjasama yang saling mengguntungkan dan
bersifat jangka panjang.
Hal yang terpenting adalah keterlibatan
masyarakat dalam pembangunan. Selama
ini belum ada satu persepsi yang sama
antara pemerintah-swasta-masyarakat sehingga kerap terjadi miss communication.
Masyarakat harus diajak untuk duduk bersama dan dimintai sumbang saran terhadap
rencana pembangunan kota. Pola penjaringan aspirasi masyarakat melalui Musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan) dinilai belum mampu mengakomodir
seluruh masyarakat dan hanya berkutat
pada proyek-proyek pemerintah saja.
Masyarakat adalah bagian entitas terpenting dalam pembangunan sehingga
perlu diajak duduk bersama dan dimintai
sumbang sarannya. Pola dan metodenya
bisa beragam.
Walikota Bekasi Rahmat Effendi mengakui bahwa peran sektor swasta dalam
pembangunan kota sangat diperlukan. Anggaran pemerintah daerah sangat minim
jika harus membiayai seluruh proyek infrastruktur. Pemkot Bekasi sudah membuka
peluang kepada swasta dan memberikan
kemudahan askses perizinan yang mudah
dan cepat. Namun diakui bahwa keterlibatan swasta masih pada tataran investasi
modal yang berorientasi provit (komersil)
dan belum pada sumbangsih infrastruktur
dan penataan kota.
Penyumbang terbesar dalam pembangunan infrastruktur dan penataan kota
adalah investaasi di bidang properti. Beberapa proyek properti besar seperti Summarecon, Galaxy City, Harapan Indah, ISPI,
dianggap telah menyumbang ketersediaan
sarana dan prasarana kota.
Menurut Rahmat Effendi pemerintah
selalu menekankan agar proyek properti

menyelaraskan pembangunannya dengan


arah kebijakan pembangunan kota. Baik
itu infrastruktur jalan, drainase, penataan
landmark dan lainnya.
Sektor swasta memiliki tanggung jawab
untuk ikut membangun Kota Bekasi. Baik
dalam bentuk ketaatan pada kaidah aturan
dan perundang-undangan, maupun dalam
tataran sosial. Kita selalu minta kepada
para investor di Kota Bekasi agar orientasinya jangan melulu pada profit atau keuntungan saja, tapi juga harus turut berkontribusi
pada pembangunan kota yang manfaatnya
bisa dirasakan langsung masyarakat.
Setelah sukses dengan Flyover Summarecon, Pemkot Bekasi juga berencana
menggandeng pengembang Agung Podomoro Grup membangun Flyover melintasi Tol
Jakarta-Cikampek di wilayah Bekasi Selatan
senilai Rp35 miliar. Flyover ini diharapkan
dapat mengurai kemacetan di Jalan KH Noer
Alie. Saat ini masih dalam tahap kajian DED.
Selain itu, Pemkot Bekasi sudah menggandeng beberapa perusahaan untuk
membantu pembiayaan pendidikan, seperti pembangun 3 ruang kelas baru lengkap
dengan fasiltasnya senilai 1,7 miliar di salah
satu SMA Negeri, serta bantuan sarana dan
prasarana untuk beberapa sekolah mulai
dari tingkat TK, SD dan SMP. Program kemitraan tersebut sudah berjalan, polanya
kita berikan mereka proposal, kemudian
mereka bangun sendiri, setelah jadi diserahterimakan kepada Pemerintah daerah
secara resmi.
Terkait dengan pelibatan masyarakat
dalam pembangunan, selain menggunakan pola Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), Pemkot Bekasi
membentuk Badan Kekeluargaan Masyarakat (BKM) di 56 kelurahan. BKM tersebut
difasilitasi pemerintah dalam pembuatan
legalitas formalnya. BKM ini yang nantinya
mengeksekusi pengerjaan proyek pembangunannya. Pola ini efektif karena mendapat
dukungan langsung dari masyarakat.
Pembangunan Kota Bekasi tidak bisa
dilakukan sendiri oleh Pemkot Bekasi. Namun harus melibatkan sektor swasta dan
masyarakat. Sehingga ada sinergitas positif
lintassektoral Masyarakat adalah pelaku
pembangunan sehingga keterlibatannya
sangat penting. Walaupun kita akui banyak
program yang tidak bisa dilaksanakan sekaligus. Tapi harus dilakukan secara bertahap
sesuai dengan RPJMD, RPJPD, Renstra dan
Renja.***

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

75

Laporan Utama

Bersama Membangun Kota

Inspirasi

Kota Layak Huni


Ruang terbuka hijau
di kota-kota Besar di
Indonesiatermasuk
Bekasiterus mengalami
penyusutan. Terutama
karena lahan terbatas.
Sedangkan penduduknya
terus bertambah.
Penyediaan 30% ruang
terbuka hijau yang
diwajibkan undang-undang
pun menjadi beban
tersendiri bagi pemerintah
daerah. Saat ini saja Kota
Bekasi baru mengantongi
11 persen ruang terbuka
hijau. DKI Jakarta juga
demikian.

76

Kehadiran pengembang besar PT Summarecon Agung Tbk ke Kota Bekasi ternyata


membawa kejutan luar biasa. Lahan gersang seluas 240 hektar di Kota Bekasi disulap menjadi hunian yang nyaman dan
ramah lingkungan. Pedestrian tertata apik.
Suasana hijau bisa ditemui di mana-mana.
Bahkan ada ungkapan jika memasuki kawasan Summarecon Bekasi seperti masuk
ke dunia lain. Hunian idaman. Setidaknya
ini bisa menjadi model pembangunan bagi
Kota Bekasi ke depan.
Rel kereta api yang mungkin selama ini
menjadi penghalang akses warga dari arah
utara maupun selatan Kota Bekasi pun ditakhlukkan Summarecon. Flyover megah
sepanjang 1 kilometer dibangun. Bukan
saja untuk penghuni Summarecon namun
juga untuk penduduk Kota Bekasi. Fasilitas
yang menelan Rp 2 miliar dalam penggarapannya ini kemudian dihadiahkan kepada
Pemkot Bekasi sebagai aset daerah.
Bagaimana Summarecon bisa memban-

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

gun itu semua? Jurnal TataKota berkesempatan berbincang dengan Direktur Eksekutif Summarecon Bekasi, Adrianto Pitoyo
Adhi. Pria periang ini bercerita banyak hal
menarik tentang pembangunan sebuah
kota yang layak huni dan manusiawi bagi
warganya. Berikut wawancara kami:
Mengapa Summarecon memilih Bekasi?
Tanah Summarecon Bekasi sebetulnya
sudah dibebaskan sejak tahun 1980. Kami
biarkan di sana. Menunggu waktu paling bagus untuk mengembangkannya. Ketika kota
Bekasi sudah mulai matang dan bisnis properti membaik secara makro, mulai tahun 2009,
kami masuk dan mengembangkan.
Kota Summarecon Bekasi dikembangkan
menjadi sebuah kota modern
karena potensiKota Bekasi
sendiri luar biasa. AwalnyaKota Bekasi merupakan
kota satelit DKI Jakarta. Ini
disebut juga kota penyangga

atau hinterland. Dengan fungsi penyangga


biasanya muncul kantung-kantung komunitas masyarakat. Dan tumbuh menjadi
sebuah kota. Kalau pagi semua berangkat
ke Jakarta untuk bekerja. Malamnya kembali. Itu fungsi kota satelit.
Kemudian karena Jakarta sendiri berpotensi makin padat muncullah industri yang
ada di Bekasi. Bekasi kemudian berpenduduk banyak. Ini menjadi potensi bagi Summarecon. Maka Summarecon memutuskan
mengembangkan Bekasi. Tahun 2009 kami
mulai mengurus perizinan. PembangunanKota Summarecon Bekasi ditandai dimulainya
pembangunanFlyover Noer Ali.
Bisa dijelaskan seperti apa konsep
pembangunan Summarecon Bekasi dan
penyediaan ruang publiknya?
Saya selalu menyebut Kota Summarecon Bekasi. Karena kami membangun sebuah Township. Sebuah kawasan
berskala kota. Membangun township
berarti membangun masyarakat. Di sana
akan muncul apa yang disebut perilaku
dan aktivitas. Ada peradaban. Maka
township menjaga keseimbangan antara
kegiatan bisnis, hunian dan lingkungan.
Keseimbangan yang dimaksud salah
satunya yaitu ada fasilitas ruang terbuka hijau berupa taman. Setiap klaster
hunian yang kami bangun selalu dilengkapi club house. Setiap klaster luasnya 5
sampai 6 hektar dan berisi 200 sampai
300 rumah yang saat ini sudah dihuni
semua. Fungsi club house ialah sebagai

sarana interaksi warga, olahraga dan aktivitas sosial lain. Ruang terbuka hijau ini
adalah keharusan bagi development atau
pengembangan agar kehidupan menjadi
seimbang. Makanya balance life menjadi
misi Summarecon.
Bahkan jalur pedestrian yang hijau dan rimbun yang menghubungkan seluruh cluster di Summarecon
Bekasi dirancang sangat nyaman untuk para pejalan kaki. Sehingga untuk
mencapai lokasi lain di lingkungan Kota
Summarecon Bekasi warga penghuni
tidak harus selalu menggunakan kendaraan roda empat. Ini merupakan salah
satu upaya lain yang dilakukan Kota Summarecon Bekasi untuk menciptakan kawasan hunian modern yang tidak hanya
nyaman untuk ditinggali namun juga
bersih dan bebas polusi.
Summarecon Bekasi dikembangkan dengan konsep environmental
friendly atau kawasan yang berwawasan lingkungan. Salah satu
upaya yang dilakukan Summarecon
adalah pembangunan 3 buah danau
di Kota Summarecon Bekasi. Fungsi
utama 3 danau yang keberadaanya
saling berhubungan satu sama lain
ini adalah sebagai Retension Pound
atau Danau Pengendali Banjir. Seluruh Sistem Tata
Air dan Drainase di
Summarecon Bekasi
ditangani konsultan dari Belanda

mengingat reputasinya yang baik dalam


penanganan masalah tata air. Fungsi
penting lain dari 3 danau yang ukurannya
cukup besar ini adalah sebagai taman air
(water park).
Selain itu, untuk penanganan air
kotor atau limbah rumah tangga, Summarecon Bekasi akan mengolah limbah
tersebut ke dalam Instalasi Pengolahan
Limbah. Sehingga setelah melalui proses
tertentu air kotor tersebut akan menjadi
bersih kembali dan dapat dimanfaatkan
untuk penyiraman tanaman. Tentunya ini
merupakan bagian dari upaya pelestarian
lingkungan untuk menjaga bumi ini tetap
hijau dan lestari.
Berapa perbandingan ruang
terbangun dan penyediaan
ruang terbuka hijau?
Yang harus dipahami adalah ada dua
model ruang terbuka
hijau. Pertama ialah
ruah terbuka hijau
versi master plan
pemerintah. Kedua
adalah ruang terbuka
hijau sebagai konsep
pengembangan

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

77

Laporan Utama

Bersama Membangun Kota

kota. Model yang pertama berupa kewajiban pengembang menyediakan ruang terbuka hijau 30 persen. Kami tentu
sudah memenuhi karena dalam perencanana memang ruang-ruangnya sudah
dibagi. Tetapi tanpa ditetapkannya master
plan versi pemerintah kami tetap menyediakan ruang terbuka hijau untuk publik.
Sebab ini merupakan bagian dari konsep
pengembangan Kota Summarecon Bekasi
seperti saya sebutkan sebelumnya.
Namun ruang terbuka hijau di Kota
Summarecon Bekasi terkesan ekslusif.
Artinya hanya bisa dimanfaatkan penghuninya saja. Nah, apakah Summarecon
juga menyediakan ruang untuk masyarakat umum?
Jika kita merujuk konsep perkotaan
setiap fasilitas memiliki radius pelayanan. Sebagai contoh kami membangun
sekolah. Tentu tujuan utama kami agar
penghuni Kota Summarecon bisa sekolah
dengan akses yang mudah. Bukan untuk
melayani warga yang jauh tempat tinggalnya. Ini hanya contoh ekstrimnya. Sama
halnya ketika kami membangun taman.
Jadi kami berpatokan pada radius.
Pertama kali diresmikan, Flyover
Summarecon di samping kanan-kirinya
bebas untuk tempat dudu-duduk warga.
Bahkan warga duduk-duduk di sekitar
bundaran Summarecon. Namun sekarang tidak boleh. Kenapa?
Kami tidak melarang warga untuk
duduk-duduk di sana. Namun flyover
adalah ruang publik yang fungsinya sebagai akses kendaraan dan pejalan kaki.
Kalau dibiarkan saja itu sangat membayakan. Begitu juga di sekitar bundaran. Di
sana tidak ada tempat parkir sehingga
kendaraan yang diparkir di pinggir jalan
akan mengganggu fungsi utamanya sebagai fasilitas mobilisasi warga. Fenomena ini menunjukkan bahwa sebenarnya
pembangunan fasilitas ruang terbuka
hijau untuk publik di Kota Bekasi belum
merata. Sehingga warga terkonsentrasi di
beberapa titik termasuk di Summarecon.
Seperti disinggung sebelumnya Summarecon berupaya menyediakan ruang
terbuka hijau di setiap klaster. Bahwa itu
hanya dipakai untuk warga sekitar klaster
karena memang pada dasarnya sebuah taman memiliki radius pelayaan tertentu. Jika
misalnya orang sengaja pergi ke Lapangan
Monas hanya ingin menikmati taman, bisa

78

jadi di sekitar rumahnya sudah tidak ada


taman lagi. Yang ideal adalah bagaimana
orang bisa menikmati ruang terbuka hijau
di sekitar rumah tinggalnya.
Idealnya setiap daerah menyediakan
30 persen ruang terbuka hijau. Namun
30 persen bagi Kota Bekasi memang berat. Saat ini saja baru sekitar 11 persen.
Bagaimana pendapat Anda?
Pertama kita mesti menstrukturkan
kembali perencanaan kotanya. Di DKI
Jakarta sudah mulai ada langkah untuk
memenuhi target 30 persen ini. Beberapa
waktu lalu pemerintah di sana mengembalikan ruang terbuka hijau yang beralih fungsi menjadi permukiman kumuh.
Dengan penataan tersebut ruang terbuka
hijau bisa bertambah. Kota Bekasi pun
sekarang perlu menstrukturkan kembali
aturan-aturan yang harus diperhatikan
ketika orang membangun pengembangan. Porsi ruang terbuka hijau wajib ada.
Di Kota Bekasi saya lihat sangat padat.
Mungkin lapangan-lapangan sudah banyak warung dan bangunan komersial lain.
Ini mungkin bisa distrukturkan kembali.
Ditata lagi. Agar ruang terbuka hijau bisa
ada sehingga secara radius bisa meIayani
masyarakat sekitarnya. Idealnya orang
bisa menikmati fungsi sosial ruang terbuka hijau dengan berjalan kaki. Jadi intinya
mesti distrukturkan kembali.
Ada wacana Jalan Ahmad Yani ditata ulang. Pagar di depan pusat bisnis
dibongkar dan dijadikan jalur jalan kaki
seperti halnya yang diterapkan di Jalan
Sudirman-Thamrin di Jakarta. Menurut
Anda bagaimana?
Memang pada umumnya kota-kota
di Indonesia tidak memberikan fasilitas
yang baik kepada pejalan kaki. Di luar
negeri orang tidak naik mobil karena difasilitasi dengan pedestrian yang bagus
dan angkutan umum yang nyaman. Memang angkutan umum di Indonesia belum sebagus di luar. Tapi ketika kotanya
memberikan fasilitas pedestrian yang
baik maka sangat mungkin mengurangi
pemakaian kendaraan.Ide membongkar
pagar di sepanjang Jalan Ahmad Yani dan
menjadikannya pedestrian sangat bagus.
Saya sangat mendukung.
Mungkin banyak orang bilang: di Indonesia jalan kaki saja susah. Apalagi
udaranya panas. Angkutan umum tidak
ada yang baik. Ya, angkutan umum di
Jakarta, Bekasi dan kota-kota besar lain

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

di Indonesia belum baik. Ini kita anggap


satu persoalan tersendiri. Tapi kalau disediakan pedestrian yang baik saya yakin
orang akan jalan kaki jika memang jarak
tempuh tujuannya masih bisa dijangkau
tanpa kendaraan.
Buktinya di Singapura orang bisa
membudayakan jalan kaki. Lihatlah Boulevard Orchard Road. Jalan yang panjang
sekali. Tapi tidak ada orang naik angkutan karena fasilitas pedestriannya sangat
bagus. Dari toko ke toko orang bisa jalan
kaki dengan leluasa. Jika di Jalan Ahmad
Yani disediakan fasilitas yang baik maka
kita bisa jalan kaki di sepanjang jalan itu
seperti halnya di Singapura.Marilah kita
mendidik masyarakat Indonesia untuk
membudayakan berjalan kaki.
Pedestrian di Jalan Ahmad Yani akan
sangat indah jika terhubung dengan
pedestrian di Flyover KH Noer Ali Summarecon. Walaupun pedestrian di Kota
Summarecon tidak terlalu besar setidaknya fasilitas tersebut layak dan telah
kami sediakan. Yang terpenting kita menyediakan fasilitas dulu. Dengan begitu
orang akan berpikir, aduh jalan kaki kayaknya lebih enak daripada naik mobil.
Sambil jalan kan bisa sekalian lihat taman.
Sambil ngobrol. Yang pasti pedestrian
akan mengurangi kemacetan.
Namun anggaran pemerintah daerah terbatas sehingga menjadi kendala
untuk membuat fasilitas tadi. Menurut
Anda bagaimana menyinergiskan pemerintah dengan swasta dalam membangun
kota. Bisa diceritakan pengalaman Summarecon ketika membangun Flyover
Noer Ali?
Kami sangat menyadari pemerintahbaik pusat maupun kotaada
keterbatasan anggaran. Pembangunan
flyover sebenarnya berangkat dari keterbatasan anggaran pemerintah kota. Kalau
pemerintah mampu mungkin tidak perlu
menunggu Summarecon. Tapi ada atau
tidak adanya Summarecon flyover tetap
dibutuhkan warga. Sementara pemerintah pusat tidak turun. Flyover adalah bukti kerja sama yang baik antara pemerintah
kota dan swasta.
Kalau Summarecon Bekasi dikembangkan tanpaflyover itu tidak mungkin. Karena untuk mencapaiKota Summarecon Bekasi, kalau tidak lewatflyover, harus lewat Jalan Perjuangan yang
penuh perjuangan karena sangat macet.

Makanya kami memutuskan membangunflyoveryang sekaligus menjadi selling point dan poin utama untuk membuat
kota itu diminati orang.
Itu saja waktu flyover dibangun ada
banyak kecurigaan. Summarecon dicurigai
banyak mengambil untung. Bahkan ada
warga Bekasi yang selalu menanyakan kepada saya. Katanya, apa yang didapatkan
masyarakat. Saya balikkan saja pertanyaannya: dapatnya ya flyover itu. Nah, ini
kan sebuah kebingungan.
Summarecon Bekasi ini adalah produk
sebuahbrandyang bagus. Di lokasi yang
sebenarnya tidak bagus. Lokasinya, aduh.
Pertama kali saya ditugasi oleh manajemen
untuk memegang Summarecon Bekasi saya
pun bingung. Mulai dari mana ini? Tapi ketika kami garap serius dengan hati, tetap
kreatif, muncul ideflyover. Lokasi yang tidak
bagus menjadi bagus.
Kembali ke keterbatasan tadi. Sebetulnya pola yang terbaik adalah pemerintah bisa mengajak para pengusaha swasta
yang ada Bekasi untuk bisa membangun
fasilitas publik.
Dulu ada forum Bekasi Corporate Social Responsibility (BCSR). Fungsinya untuk mengelola CSR. Tapi sekarang sudah
tidak aktif lagi karena kabarnya di dalamnya banyak kepentingan segelintir orang.
Boleh Anda menanggapi?
Kepentingannya itu yang harus dihilangkan. Jangan ada kepentingan. Kepentingannya untuk masyarakat. Kalau
kepentingannya untuk masyarakayat pasti
sangat bermanfaat. Forum ini sebenarnya
perlu walaupun setiap perusahaan sudah
punya pengelolaan CSRnya sendiri.
Energi CSR perusahan-perusahaan di
Kota Bekasi bisa disatukan untuk bersama
membangun kota. Besar sekali potensinya. Misalkan diarahkan untuk membangun fasilitas pedestrian. Minimal di sekitar
perusahaan. Atau mungkin memfokuskan
di beberapa titik seperti Jalan Ahmad Yani
sebagai percontohan.
Ketika Summarecon datang dengan
ide flyover Pemerintah Kota Bekasi sangat
suport sekali. Kami mengurus izin
sangat mudah. Pemerintah kota sadar betul
bahwa flyover
san-

gat dibutuhkan warga. Maka ide itu pun


disambut baik. Bahkan masyarakat Kota
Bekasi sangat bangga ketika flyover sudah
jadi.
Kalau menurut Anda, apa yang perlu
dibenahi dari Kota Bekasi? Bagaimana
membuat Kota Bekasi menjadi kota
layak huni seperti yang juga diharapkan
Summarecon?
Kehadiran summarecon punya visi
dan misi membangun Kota Bekasi. Kami
sangat support kepada Pemerintah Kota
Bekasi. Ketika Summarecon sudah membangun lingkungan yang ideal harusnya
bisa dijadikan percontohan atau model.
Kami ingin menginspirasi Pemerintah
Kota Bekasi. Bekasi Baru paling tidak bisa
seperti Summarecon sekarang. Memang
tidak segampang membalikkan telapak
tangan.
Bagaimana membuat Kota Bekasi
layak huni tersebut? Karena jalan di kota
besar banyak yang semrawut maka yang
pertama sekali harus diperhatikan ialah
traffic. Traffic ini mesti ditata ulang. Distrukturkan kembali. Termasuk menata
jalur angkutan umum. Ide Walikota Bekasi
membuat Jalan Juanda dua arah dampaknya sangat bagus bagi lalu lintas. Jalur dua
arah itu diresmikan bersamaan flyover dibuka. Rekayasa lalu lintas ini sangat penting di kota yang tingkat kepadatan kendaraannya tinggi.
Yang kedua ialah memperbanyak jalur
pedestrian di Kota Bekasi sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya. Seperti disingkung di awal paling tidak pedestrian
bisa mengurangi penggunaan kendaraan
di jalan. Sebab kebutuhan mobilitas masyarakat akan tetap terakomodir mesti
tidak menggunakan kendaraan pribadi. Dengan demikian penataan traffic
akan semakin berhasil.

Ketiga ialah pembenahan ruang terbuka hijau untuk publik. Lahan terbuka
hijau milik pemerintah yang kini beralih
fungsi secara ilegal mesti ditata lagi. Pedagang kaki lima ditertibkan. Namun tidak
perlu digusur. Cukup dipindahkan saja
ke tempat lain. Setelah itu lahan-lahan
terebut dikembangkan kembali menjadi
taman agar masyarakat sekitar bisa memanfaatkannya untuk aktivitas sosial.
Yang terakhir namun penting adalah
bagaimana mendidik masyarakat Bekasi
menjadi masyarakat yang disiplin. Karena
jika kita bicara budaya masyarakat kita bicara
juga perilaku. Keberadaan bundaran Summarecon sebenarnya bisa menjadi ajang
mendidik masyarakat untuk berlalu lintas
yang baik. Namun nyatanya masih ada yang
menerabas ke mana-mana. Kami akhirnya
memberikan petunjuk yang lebih lengkap.
Nah ini adalah salah satu contoh mendidik
masyarakat. Memang tidak mudah.
Mengapa angkot tidak bisa masuk
Summarecon?
Sebelum ada Summarecon memang
tidak ada jalur. Jika ingin masuk maka
perlu izin baru. Nah kami sengaja belum
memasukkan. Sementara menggunakan
bus gratis. Saat ini kami sedang merancang
sistem transportasi yang tepat. Jadi bukannya tidak boleh masuk tapi memang kami
baru merancangnya. Dan untuk persoalan
sitem transportasi ini kami belum bisa bicara banyak. Masih dalam kajian. Lihat saja
nanti seperti apa hasilnya.
Apakah ada rencana meluaskan area
pengembangan?
Belum. Saat ini
kami masih fokus di
240 hektar.

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

79

Laporan Utama

Bersama Membangun Kota

Mencuri
Perhatian
Lewat
Landmark
Kota Bekasi nampaknya ingin mencuri perhatian warganya melalui landmark atau
penanda kota. Pertengahan tahun ini, lomba desain landmark digelar Dinas Tata Kota.
Hasilnya, tiga desain ditetapkan sebagai pemenang. Landmark tersebut dibangun pada
tahun 2014. Antara lain di pintu keluar Tol Bekasi Barat Jalan Ahmad Yani, Jalan KH Noer
Ali, Jalan Sultan Agung, Jalan Transyogi dan Jalan Juanda.

uara pertama dimenangkan Suria


Wiyadi dan Zulhadi Sahputra dengan
judul desain Landmark sebagai Ruang
Publik Kota. Juara kedua dimenangkan Isfandiari Ananta dengan konsep
sculpture landmark di pusat kota dan kubus
di perbatasan. Dan juara ketiga dimenangkan Affeto Bintang Yulian dengan judul desain Landmark Patriot Bekasi. Ketiganya
menerima penghargaan pada 17 Agustus
2013 di Kantor Walikota Bekasi.
Tiga pemenang telah menyisihkan tujuh nominator lain yang masuk dalam 10
besar. Antara lain Livie Sukma Taristania,
Kunto Hari Anggoro, Erlandi Senjaya, Muhammad Hanif Wicaksono, Paulus Timothy
bersama Carsent Muryadi dan Willi Agahari, Veira Meita Z bersama Nur Firdaus dan
Retno Wijayanti, serta Manggala BS Sianipar bersama Janice Krisanti dan Adrian I
Widiyantoro. Juara pertama mendapatkan
Rp 40.000.000, juara kedua Rp 20.000.000,
80

juara ketiga Rp 10.000.000 dan masing-masing nominator Rp 5.000.000.


Pemenang ditentukan melalui proses
penilaian juri pada Sabtu, 6 Juli 2013 dan
penjaringan penilaian Masyarakat padal
24 27 Juli 2013. Dewan juri berasal dari
disiplin ilmu yang beragam. Antara lain KH.
Abid Marzuki, M. Ed, Ir. A. Koswara, M.P, Ir.
Budi A. Sukada, GradHons Dip. (AA), IAI, Dr.
Ir. R.R. Dhian Damajani, M.T, Ir. Bambang
Eryudhawan, IAI, Ir. Haris Budiyono, M.T,
Drs. Abdul Khoir HS, M.Pd, Imanudin, S.E,
M.Si, Ariyanto Hendrata, S.Pd.
Landmark diartikan sebagai segala sesuatu
yang memudahkan untuk dikenali, dikenang,
dan dikagumi. Berkaitan dengan monumen,
bangunan, dan struktur lainnya. Landmark
yang dimaksud mempunyai nilai seni, filosofi,
karakter, dan cita-cita yang mencerminkan keberadaan, dinamika, dan orientasi futuristik,
baik bagi wilayah maupun warga kotanya.
Keberadaannya bagi warga Kota Bekasi

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

diharapkan dapat membangkitkan rasa bangga dan cinta kotanya, kata Kepala Dinas Tata
Kota Bekasi, Koeswara, yang juga menjadi juri.
Tema yang ditentukan antara lain: Patriotisme, Ihsan, Kreatif, Urban, Seni Budaya Lokal, Jasa Perdagangan, Flora Fauna.
Bentuk Landmark dapat berupa Huruf,
Relief, Patung, Simbol, atau gabungan dari
sebagian atau seluruh unsur bentuk. Ada 5
kriteria yang dipatok juri, yaitu kesesuaian
tema (30%), filosofi (20%), daya tarik (20%),
orisinalitas (20%) dan harmonisasi desain
dengan penempatan landmark (10%).
Menurut Koeswara, keunggulan pemenang pertama ialah mampu menggabungkan landmark dengan ruang publik
berupa jembatan penyeberangan. Selain
itu, landmark ini juga mampu menampung
reklame-reklame di bagian sampingnya.
Keberagaman fungsi inilah yang kemudian
landmark karya Suria dan Zulhadi ini memiliki daya tarik tersendiri.***

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

81

82

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

83

Laporan Utama

Menata Wajah Kota

Menata
Wajah Kota
Jalan Ahmad Yani Tanpa Pagar

Jalan adalah
bagian dari ruang
publik, bukan
hanya sebagai
jalur transportasi
bertemunya
aneka kendaraan.
Jalan juga
memiliki fungsi
sosial, tempat
berinteraksi
berbagai macam
kultur dan
kebudayaan.
Jalan juga
penanda sebuah
kota.

84

Kota adalah sebuah state of mind atau


dengan kata lain merupakan sesuatu dalam
pikiran kita. Tata ruang dan arsitektur semestinya bukan soal banguan semata melainkan
soal manusia.
Pada era demokrasi sekarang ini orang
bisa berbicara berbeda-beda, bahkan sampai ada yang merasa berhak memaksakan
kehendak-seamburadul apa pun kehendak
tersebut. Hal ini lah yang menjadi tantangan
para pemimpin zaman sekarang.
Bagi pemimpin yang ingin otentik, kelihatannya di zaman ini yang diperlukan bukanlah
common ground atau landasan bersama. Dan
yang tak kalah dibutuhkan kemungkinan adalah
sesuatu yang diambang hilang dari bangsa ini,
yakni common sense alias nalar sehat.
Estetika merupakan bagian dari arsitektur, akan tetapi selain estetika terdapat persoalan etik. Tidak satu pun dapat menjawab
saat muncul pertanyaan, adakah kemewahan sanggup menyelamatkan dunia berserta
kelangsungan hidup didalamnya. Zona nyaman sesungguhnya adalah persoalan berbagi, dan bukan comfort zone berlandaskan kapitalis global sedemikian rupa telah

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

mendapatkan banyak kritik selanjutnya yang


memperlihatkan ketimpangan dunia.
Arsitektur dan tata ruang kota jelas menjadi cermin dari ketidak-adilan sekarang.
Kota sebagai ruang berbagi pada umumnya
terbangun atas kekuasaan modal yang kemudian mengobrak-abrik kemungkinan keberlangsungan hidup atau disebut dengan istilah
sustainability. Sehingga, ketika keseimbangan alam goyah, maka akan berdampak serupa pada keseimbangan manusia.
Itulah sebabnya, individu sering mengenang tentang kota-kota dimasa lalu.
Kenangan,sebagai bagian dari nostalgia, memang bakal memunculkan segala hal yang
indah didalamnya. Hanya saja, kota kita di
masa lalu, boleh jadi memang lebih menyenangkan dibandingkan sekarang.
Beberapa kota-kota besar di dunia menghadirkan kenangan masa lalu tersebut dalam
penataan kota (colonial town) khususnya
penataan jalan utama. Jalan bukan hanya
sekedar jalur transportasi bertemunya aneka
kendaraan. Jalan adalah ruang publik yang
memiliki fungsi sosial, tempat berinteraksi
berbagai macam kultur dan kebudayaan. Ja-

l Foto Udara Jalan A. Yani diambil akhir Oktober 2013 / Dok: Distakot

lan juga penanda sebuah kota.


Kota-kota besar di dunia memiliki jalan-jalan utama yang meleburkan berbagai
aktivitas warganya. Jalan Boulevard Champ
Elyses di Paris Prancis misalnya, disepanjang jalan tersebut berjajar kedai-kedai kopi
tempat orang berkumpul menghilangkan
penat setelah seharian bekerja.
Jalan-jalan di Eropa dan Amerika telah
berkembang sebagai icon kota (image of
the city). Kota-kota di Asia seperti Singapura
dengan Boulevard Orchard Road mengambil contoh ruang publik seperti jalan boulevardnya Champs Elyses di atas. Orchard
Road telah menjadi icon kota Singapura dan
menjadipengangkat citra kota. Kita bisa
melihat bagaimana pemerintah Singapura
menciptakan harmonisasi antara kawasan

l Jalan A. Yani Kota Bekasi / Foto: Miftah

niaga internasional (kompleks Takasimaya), apartemen mewah, hotel


berbintang, serta restauran (shop/
cafe)dengan ruang publik (dalam
bentuk jaringan pejalan kaki/pedestrian). Semua orang berbaur tanpa
membeda-bedakan status sosial. Lantas dimanakah jalan seperti itu bisa
kita jumpai di Kota Bekasi?
Kepala Dinas Tata Kota Bekasi,
Koswara mengatakan, sejak asal
muasalnya jalan-jalan di Bekasi tidak
direncanakan menjadi sebuah bagian
dari struktur kota. Jalan utama di Bekasi
dibangun hanya untuk lintasan yang menghubungkan Jakarta menuju jalur Pantai
Utara Jawa, mulai dari Pologadung, Kranji
dan menyisir Rel Kereta Api sampai Kar-

awang. Bekasi sebelum tahun 1948 masih


berada di bawah administrasi Karisidenan
Jatinegara dengan pusat pemerintahan di
wilayah Jatinegara Jakarta Timur.
Jalan utama Bekasi tempo dulu saat
ini menjadi Jalan Jendral Sudirman dan Jalan Djuanda. Jalan tersebut menjadi akses
transportasi utama dari Pantura menuju
Jakarta melalui Pulogadung. Dan pusat
perekonomian dipusatkan di Jalan Djuanda
mulai dari Pasar Baru hingga Pasar Proyek,
jelas Koswara.
Maka tidak mengherankan jika site plan
Kota Bekasi tempo dulu tidak sama seperti kota-kota yang dirancang oleh Belanda
(Colonial Town). Kota yang dirancang dan
dibangun khusus oleh Belanda di era tahu
1914-1945 memiliki karaktristik yang khas.
Jalan Utama membelah pusat kota melintasi
Alun-alun, Keraton (Kantor Pemerintahan)
dan Masjid Agung. Gambaran yang hampir
bisa kita temukan di kota-kota sepanjang
jalur Pantura dan banyak kota lainnya. Kota
yang dirancang oleh arsitek sekaligus per-

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

85

Laporan Utama

Menata Wajah Kota

l Jalan A. Yani / Foto: Miftah

l Bahu Jalan A. Yani dijadikan parkir liar / Foto: Miftah

ancang kota Ir. Thomas Karsten, sehingga keberadaan alun-alun, keraton atau
masjid agung menjadi ciri yang sangat
kental (The Indonesian City, 1986).
Karena tidak direncanakan menjadi
sebuah kota. Saat Kabupaten Bekasi lahir
pusat pemerintahan dibangun di pertengahan Jalan Djuanda. Tidak berada satu
kompleks dengan Alun-alun dan Masjid
Agung (Al-Barkah), tambahnya.
Masa setelah itu adalah membangun jalan lingkar luar, untuk menghubungkan beberapa wilayah Bekasi.
Jalan lingkar luar tersebut dimulai dari
persimpangan Jalan Djuanda di dekat
kantor Pemkot Bekasi mengarah ke selatan -saat ini bernama Jalan Ahmad
Yani-. Mengubungkan pertigaan Pekayon-Rawapanjang-Jalan Cut Mutia hingga
bertemu kembali dengan Jalan Djuanda
di daerah Terminal Bekasi.
Jalan lingkar luar tersebut sekarang
berubah menjadi jalan-jalan protokol di
Kota Bekasi. Bahkan Jalan Ahmad Yani
tumbuh pesat melampaui jalan yang sudah ada sejak dulu, kata dia.
Dalam perkembangannya, Jalan Ahmad Yani saat ini menjadi jalan protokol
terbesar di Kota Bekasi. Dimana segala
macam aktivitas berlangsung di sepanjang
jalan tersebut. Namun sayang, Jalan Ahmad Yani sejauh ini hanya menjadi lintasan
kendaraan. Fungsi jalan sebagai ruang
publik dimana warga bisa saling berinteraksi terhalang oleh pagar-pagar gedung.
Pedistriannya (trotoar) juga sempit dan
tidak nyaman dilalui pejalan kaki.
Dari hasil foto udara pada akhir
Oktober 2013 lalu, sangat terlihat betapa semrawutnya Jalan Ahmad Yani.
Padahal jalan tersebut merupakan salah
satu ikon Kota Bekasi. Kita masih punya kesempatan untuk menatanya menjadi lebih baik, jelas alumnus Institute
Teknologi Bandung (ITB) itu.
Tanpa Pagar
Koswara mengusulan agar seluruh
gedung di sepanjang Jalan Ahmad Yani tidak menggunakan pagar penyekat antara
jalan gedung dan jalan raya. Hal ini bertujuan untuk memperluas ruang publik dan
memudahkan interaksi warga kota. Dilihat
kondisi eksisting, dari batas pagar sampai gedung masih ada space 8-10 meter.
Space ini adalah Fasum milik pemerintah
daerah, tapi oleh pengelola gedung dijadi-

86

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

kan tempat parkir. Nah, space inilah yang


bisa digunakan untuk pelebaran jalan dan
diubah menjadi pedstrian.
Pembongkaran pagar pembatas antargedung supaya orang bisa mengggunakan teras gedung untuk berjalan kaki
agar perpindahan dari gedung satu ke
gedung lain menjadi lebih mudah, jelas
Koswara.
Langkah ini bagian dari upaya penataan Kota Bekasi agar lebih harmonis dan manusiawi. Ia mengakui, saat
ini kondisi Kota Bekasi belum manusiawi
bagi warga. Hal ini disebabkan masih
minimnya ruang terbuka dan sarana interaksi antarwarga.
Saat ini lebar trotoar di Jalan Ahmad Yani hanya sekitar 1,5 meter, ini
sangat tidak layak. Jika dilebarkan 8-10
meter, maka akan terlihat sangat apik
dan manusiawi. Apalagi nanti dibangun
taman dan disediakan bangku-bangku,
warga bisa saling berinteraksi dan bersantai ria, kata dia.
Wacana ini, kata Koswara akan sejalan dengan rencana pembangunan Landmark di depan pintu tol Bekasi Barat. Sehingga orang yang masuk ke Kota Bekasi
melalui tol Barat-Jalan Ahmad Yani
akan bisa menikmati wajah Kota Bekasi.
Keberadaan Stadion Bekasi, Gedung
pemerintahaan 10 lantai dan Jembatan
Noer Ali Summarecon, membuat Kota
Bekasi tidak kalah megah dengan kotakota besar lain di Indonesia.
Rencana tersebut tentu menyisakan
beragam persoalan yang harus dijawab,
seperti misalnya masalah anggaran, keamanan gedung, tempat parkir kendaraan,
dan meyakinkan pengelola gedung untuk
mau membongkar pagar pembatas jalan.
Persoalan lain yang muncul akibat
rencana tersebut pasti ada solusinya.
Yang terpenting adalah membangun
persepsi bersama, bahwa kebutuhan ruang publik bagi warga kota adalah sangat penting, katanya.
Koswara mengaku sudah berdiskusi
Walikota Bekasi dan beberapa SKPD terkait. Dia berencana membuat kajian khusus terkait pelebaran Jalan Ahmad Yani
itu. Ini merupakan tantangan yang harus
kita jawab bersama. Jika kita mau Bekasi
menjadi kota yang modern, maka rencana
penataan Jalan Ahmad Yani menjadi sebuah tuntutan perkembangan yang harus
direalisasikan, pungkasnya.

Cerita Samar
di Balik Nama Jalan Raya
Di Kota Bekasi
banyak nama jalan
yang menggunakan
nama tokoh pejuang.
Namun anehnya
sejarah tokoh
tersebut samarsamar. Kebanyakan
warga yang ditanya
tentang sejarah tokoh
tersebut hanya bisa
menggelengkan
kepala sembari
berkata entah.

Julukan Kota Patriot yang disandang Kota


Bekasi terlihat jelas dari banyaknya nama tokoh pejuang sebagai nama jalan. Dari 37 jalan
protokol yang ada di Kota Bekasi 15 jalan mengunakan nama pejuang nasional. 11 jalan mengunakan nama tokoh pejuang local. 23 nama
menggunakan nama umum.
11 nama pejuang lokal tersebut ialah Mayor
Oking, KH. Abdurahman, KH. Mochtar Tabrani,
Sersan Hamjah, Letnan Marsaid, Sersan Aswan,
Sersan Sarbini, Letnan Arsad, Serma Marzuki,
Sersan Idris, Mayor Madmuin Hasibuan.
Tidak ada data pasti tentang kiprah 11 tokoh tersebut terhadap Bekasi. Kronologi menjadikan nama mereka sebagai nama jalan juga
masih gelap hingga saat ini. Pemberian nama
jalan sudah ada sejak masa pemerintahan Kabupaten Bekasisebelum pemekaran. Di Kota
Bekasi sendiri tidak ada dokumen yang memberi terang perihal tersebut.
Sejarawan Bekasi Ali Anwar mengatakan sejauh ini ia belum menemukan bukti otentik kiprah para pahlawan tersebut. Awal pemberian
nama jalan umumnya merupakan inisiatif tokoh
masyarakat setempat yang masih hidup. Misalnya nama pahlawan di jalan-jalan Kampung 200
Kelurahan Margajaya Kecamatan Bekasi Selatan
disematkan oleh Zakaria dan Abu Choirtokoh
setempatyang tidak lain adalah kawan seperjuangan. Pada perkembangannya nama-nama
jalan ini kemudian dikukuhkan Pemerintah Daerah Bekasi di era 1960-1970an.
Lalu siapakah sebenarnya 11 tokoh tersebut? Nama-nama itu saat ini hanya papan jalan
tanpa makna. Tidak ada kisah yang bisa dituturkan. Kalau pun ada hanya beberapa nama saja
yang masih bisa dilacak latar belakangnya. Itu
pun sepotong-sepotong dan masih perlu dikaji
lebih mendalam.
Mayor Madmuin Hasibuan, misalahnya, ialah salah seorang komandan angkatan laut asal
Sumatera Utara yang datang membantu perjuangan KH. Noer Ali di tahun 1945. Hasibuan
kemudian bergabung di Partai Masyumi dan
duduk sebagai Ketua DPRD pertama di Bekasi.
Makamnya saat ini berada di belakang Masjid
Al Barkah Bekasi. Mayor Oking menurut beber-

apa sumber merupakan pejuang yang bergerilya di daerah Bekasi, Bogor dan Sukabumi. Tidak heran jika di tiga kota tersebut ada Jalan
Mayor Oking. Namun biografi perjuangannya
masih samar.
KH. Abdurahman dan KH. Mochtar Tabrani
merupakan tokoh ulama se-zaman dengan KH.
Noer Ali. Keduanya konsen di ranah dakwah
dan pendidikan Islam. KH. Mochtar Tabrani
mendirikan Pondok Pesantren Annur sedangkan KH. Abdurahman mendirikan sekolah Madrasah di daerah Rawa Tembaga. Sebenarnya
masih ada KH. Muhajirin yang juga turut berjuang bersama KH. Noer Ali. Namun namanya
belum diabadikan menjadi nama jalan. Pelaku
sejarah Moh. Husen Kamaly bahkan mencatat
ada sekitar 80 orang tokoh pejuang yang tersebar diseluruh Bekasi.
Ketidakjelasan sejarah nama pejuang ini
tentu menimbulkan kerancuan. Ali Anwar menyarankan agar ada penelitian lebih lanjut
berkaitan tokoh-tokoh pejuang yang ada di
Bekasi. Sehingga kejelasan fakta sejarah bisa
terungkap. Sebab perlu ada identifikasi apakah
tokoh tersebut benar-benar pejuang atau hanya
seorang pecundang. Selain itu juga ada penghargaan kepada para ahli waris. Seharusnya ini
menjadi tugas Pemerintah Daerah, kata Ali.
Akademisi Universitas Islam 45 Bekasi Andi
Sopandi mengatakan bahwa sejauh ini penulisan sejarah Bekasi juga masih sebatas kronologi peristiwa. Belum menelaah kiprah para tokoh
di dalamnya. Penulisan biografi tokoh pejuang
perlu dilakukan namun harus hati-hati untuk
menghindari subyektivitas. Tokoh sejarah harus
dipahami sebagai orang yang memberi kontribusi dalam perubahan sosial politik.
Pemberian nama jalan yang diambil dari
nama tokoh sangat bergantung pada kekuatan ketokohan seseorang. Tapi juga tidak bisa
dilepaskan dari kekuatan politik di dalamnya.
Mungkin perlu diadakan semacam lokakarya
untuk mengidentifikasi para tokoh sejarah
Bekasi. Ini penting karena jalan merupakan ruang publik yang setiap hari dilalui warga, kata
Andi yang juga penulis buku Sejarah dan Budaya Bekasi***

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

87

Gagasan

Merawat Khalayak
dan RuangKhalayak
Oleh: Marco Kusumawijaya dan Mujtaba Hamdi

Hingga hari ini, kita masih terus melihat kebebasan berekspresi di masyarakat
kita belum mencapai gambaran yang kita cita-citakan. Catatan-catatan empiris
memperlihatkan betapa hak individu dan kelompok untuk mengungkapkan jatidiri,
keyakinan maupun daya kesenian mereka ke ruang khalayak masih menghadapi
hambatan dari aktor negara maupun nonnegara.

88

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

emerdekaan menikmati ruang khalayak yang diidealkan sebagai ruang bersama sering terhalang oleh
tindakan kelompok tertentu yang kerap didiamkan
dan bahkan didukung institusi negara. Kian terbukanya kran kebebasan tampaknya tak dinikmati
masyarakat secara seimbang dan merata. Kelompok tertentu
yang gencar menuangkan ekspresi di ruang khalayak sering,
langsung maupun tak langsung, menghalangi ruang dan hak
ekspresi kelompok yang lain. Penggunaan kekerasan merupakan salah satu masalah utama.
Kebebasan berekspresi juga menghadapi tantangan lain yang
tak kalah menggelisahkan. Terutama dalam ranah seni, kebebasan berekspresi kerap hanya berhenti pada ruang-ruang privat.
Seorang seniman menciptakan karya dalam ranah yang mungkin
memang sangat personal. Namun, ia sebenarnya selalu memaksudkan karya-karyanya untuk dinikmati khalayak, dengan satu
atau lain cara. Semua seniman, dengan kata lain, sesungguhnya
rindu kepada khalayak.
Masalahnya hari ini adalah karya-karya seni semakin tersudut
pada ruang-ruang privat para kolektor, sementara sebaliknya ruang-ruang khalayak, museum misalnya, kurang memberi ruang
apresiasi terhadap karya-karya seni. Jumlah museum kita tercatat
sebanyak 281, tersebar di berbagai wilayah. Namun, tidak saja
kondisi fisiknya memprihatinkan, pengelolaan ruang dan kuratorial museum pun sangat tidak memadai. Dalam konteks ini, penting dikatakan bahwa penguatan kebebasan berekspresi haruslah
dibarengi dengan penciptaan ruang-ruang yang memungkinkan
praktik kebebasan berekspresi tersebut berlangsung.
Menguatnya kesadaran kebebasan berekspresi ataupun gencarnya dorongan hak untuk berekspresi akan kerap menghadapi
jalan buntu ketika ruang khalayak yang menjadi wadahnya tak
tersedia, atau tersedia dengan kualitas dan kuantitas yang sama
sekali tak memadai.
Kebebasan bereskpresi itu ibarat ruh, sedangkan ruang khalayak adalah raganya. Tanpa raga, ruh akan gentayangan. Ruh
akan resah, bahkan frustasi, dan dampak lebih luasnya adalah
chaos, kekacauan. Sungguh tak salah mengatakan bahwa inilah
yang terjadi hari ini: betapa semangat, kesadaran, dan dorongan
kebebasan berekspresi meningkat begitu tinggi, sementara ruang
khalayak yang mewadahinya terus menyempit.
Ruang Khalayak, Keterbukaan, dan Interaksi Warga Ruang
khalayak yang bernilai penting bagi penggalakan demokrasi dan
masyarakat terbuka dapat mengambil bentuk ruang fisikal maupun nonfisikal. Kalangan geografer membedakan antara ruang
khalayak (public space) dan ranah khalayak (public sphere).
Ranah khalayak lebih dipahami sebagai ruang politik tempat
berlangsungnya pembahasan, perdebatan dan pengambilan
keputusan bersama atas urusan-urusan umum. Sementara, ruang
khalayak dimengerti sebagai tempat fisikal-material yang seluruh
warga memiliki hak untuk memasukinya. Ia berbeda dengan ruang pribadi milik perseorangan yang memungkinkan pemiliknya
menolak kehadiran orang lain yang tidak dikehendakinya.
Ruang khalayak sejatinya terbuka untuk digunakan oleh
semua. Bentuk dasarnya, sebagai contoh, adalah taman, jalan
umum, lapangan dan tempat-tempat yang biasa menjadi forum
permusyawaratan umum, misalnya pendopo, serta juga fasilitas
umum seperti stasiun dan kereta api atau bus angkutan umum
itu sendiri. Filsuf dan teoretisi politik Iris Marion Young menyebut
ruang khalayak fisikal ini dengan istilah embodied public space.
Meski terbedakan, ruang khalayak dan ranah khalayak memiliki

pertalian erat. Perencanaan dan penataan ruang khalayak akan


sangat berdampak pada ruang dan kehidupan politik warga.
Atas nama peraturan, aksi warga berkumpul dan menyuarakan
tuntutan tertentu di tempat terbuka sering terpaksa dibubarkan,
misalnya. Penetapan kebijakan atas ruang juga dapat meminggirkan kelompok masyarakat tertentu sehingga hak-hak politiknya
terhalangi. Public spaces are decisive, kata geografer dan kritikus kebudayaan Don Mitchell, for it is here that the desires and
needs of individuals and groups can be seen, and therefore recognized, resisted, or . . . wiped out. Sejumlah teoritisi politik tidak
melakukan pembedaan secara spesifik antara istilah public space
dan public sphere. Hannah Arendt, misalnya, menggunakan secara bergantian kedua istilah tersebut untuk mengacu ruang fisik
maupun nonfisik tempat kegiatan bersama dilakukan.
Hanya, berbeda dari prakarsa awal Jurgen Habermas tentang
public sphere sebagai ranah hal politik (the political) dibincangkan dan dipersaingkan secara rasional dan tak berpihak, Arendt
berpendapat ruang khalayak tak serta merta mengandaikan hal
politik. Hal sosial (the social), yang mengacu lebih pada hadirnya
individu-invididu secara bersama di ruang khalayak dalam fungsi
sosialnya semata, bagi Arendt, berbeda dari hal politik. Ruang
pribadi pun bisa menjadi ruang khalayak ketika di dalamnya berlangsung tindakan-tindakan yang memuat hal politik. Dalam hal
ini, Arendt menggambarkan dua model ruang khalayak, yakni
ruang agonistik (agonistic space) dan ruang asosiasional (associational space). Yang pertama berdasarkan pada kompetisi; individu-individu yang berpartisipasi di dalamnya bersaing untuk
memenangkan gagasan, pengakuan dan persetujuan. Ruang
macam ini memisahkan satu individu dengan individu lainnya.
Prosedur, tatacara, dan aturan bersaing biasanya secara formal
dipersyaratkan. Sedangkan yang kedua lebih mengacu pada kolaborasi; ruang tempat partisipan di dalamnya melakukan tindakan bersama. Ruang jenis ini bisa di mana pun. Demonstrasi
antikorupsi di pusat kota, obrolan di ruang tamu, aksi penghentian alihfungsi hutan di tengah belantara, misalnya, masuk
dalam pengertian asosiasional ini.
Di sini hubungan antar individu terjadi secara intensif tanpa prosedur dan tatacara yang baku. Diskusi mengenai ruang
khalayak bisa sangat luas dan kompleks, namun titik perhatian
di sini hanya akan dipusatkan pada embodied public space
dalam pengertian yang dikemukakan Young. Ini mengingat, di
antaranya, semakin pentingnya sudut pandang spasial dalam
ilmu-ilmu sosial untuk melihat isu-isu kebebasan, kesetaraan,
dan keadilan. Geografer politik Edward W. Soja, misalnya,
menegaskan, radical politics will revolve increasingly around
spatialised concepts of justice, democracy, citizenship, human
rights and especially the more concretised and grounded rights
of residents to a fair share of the resources and services that
agglomerations generate and provide.
Wacana khalayak, yang membincang dan menegosiasikan
kepentingan umum, memang dapat berlangsung di ruang elektronik, media cetak, atau dunia maya berbasis Internet yang pada
batas tertentu tak membutuhkan ruang fisik untuk bertatap muka
di antara peserta yang terlibat perbincangan. Namun, seiring dengan semakin kuatnya kecenderungan warga menarik diri dari interaksi di ruang fisik, demokrasi komunikatif yang terbuka berada
dalam bahaya. Tak heran jika Young mengingatkan, ruang khalayak bagaimana pun adalah tempat setiap orang punya akses, ruang terbuka sekaligus ruang keterbukaan (space of openness and
exposure). Yang dimaksudkan Young tak lain adalah ruang-ruang
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

89

Gagasan

fisik dimana anggota-anggota masyarakat konkrit hadir, berjumpa


satu sama lain, berinteraksi, bebas beraktivitas ataupun sekadar
menikmati rasa ruang tersebut.
Di dalam kota, ruang-ruang khalayak semacam itu muncul
dalam berbagai bentuk. Ada ruang-ruang khalayak yang sifatnya terbuka (outdoor) dan biasanya dicirikan dalam bentuk ruang fisikalnya, ada pula yang sifatnya tertutup (indoor). Ruang
khalayak terbuka meliputi taman kota, mall, alun-alun, jalan
raya, trotoar, lapangan olahraga, dan seterusnya. Sedangkan
museum adalah salah satu contoh ruang khalayak tertutup.
Dari segi fungsi, kita bisa melihat ada ruang khalayak untuk
berlangsungnya kegiatan sehati-hari, misalnya transportasi
umum, jalan raya, WC umum; ada ruang khalayak untuk kegiatan rekreatif, misalnya taman kota; ada ruang khalayak untuk
kegiatan berkesenian, misalnya museum, taman budaya. Di sisi
lain, kita juga bisa membedakan ruang khalayak yang sifatnya
legal-formal seperti halnya Gedung DPR, dan ruang khalayak
yang sifatnya informal, seperti alun-alun.
Dengan kata lain, ruang khalayak memiliki jenis yang beraneka dan fungsi yang bermacam-macam. Ciri yang senantiasa
dilekatkan pada ruang khalayak adalah bahwa ruang itu memungkinkan berlangsungnya aksi komunikatif antar berbagai anggota
masyarakat dengan berbagai ragam kepentingan, identitas, nilai,
dan cara berpikir mereka. Meskipun secara aktual aksi komunikatif itu tidak atau belum berlangsung, namun ketika ruang tersebut
memungkinkan, terutama memang dirancang untuk memungkinkan, berlangsungnya aksi komunikatif antar berbagai anggota
masyarakat demi mematangkan kehidupan bersama, maka ruang
tersebut bisa kita sebut ruang khalayak. Terciptanya ruang khalayak tak serta merta mengandaikan bahwa khalayak sudah terbentuk dengan sendirinya. Khalayak, yang mencakup keseluruhan
civil society dengan berbagai kelas sosial dan tingkat perhatian
yang berbeda-beda terhadap masalah bersama, tak otomatis terlibat, atau berkehendak untuk terlibat, dalam perbincangan satu
sama lain demi menghidupi ruang bersama.
Khalayak tak otomatis berhubungan satu sama lain. Interaksi sosial tak begitu saja berlangsung, bahkan di dalam ruang
yang paling terbuka sekalipun. Di jalan atau di kendaraan umum,
khalayak melangsungkan aktivitas, namun kerap tak saling berhubungan, bahkan tak jarang justru merasa asing satu sama
lain. Di mata Arendt, dalam keadaan semacam ini individu-individu sesungguhnya tidak sedang bertindak (act) melainkan
sekadar berkelakuan (merely behave), baik sebagai produsen
ekonomi, konsumen, atau sekadar penghuni kota. Membangun
ruang khalayak berarti pula mengaktivasi khalayak untuk terlibat
dalam penghidupan ruang bersama atau, dalam bahasa Arendt,
untuk bertindak. Ini segera dihadapkan pada tingkat kemauan
warga yang berbeda-beda. Sebagian anggota masyarakat mengalami kengganan untuk terlibat dalam ranah khalayak, semacam
public space phobia. Alasannya ada yang sungguh-sungguh personal. Namun pada sebagian warga, keengganan itu berakar pada
pengalaman sosial politik masa lalu. Ada semacam trauma bahwa
jika terlibat dalam urusan khalayak maka akan ada bahaya mengancam kehidupannya. Terhadap kenyaatan semacam ini, mengaktivasi khalayak memiliki arti memberikan dorongan sebesarbesarnya terhadap khalayak untuk tidak takut-takut terlibat dalam
penghidupan ruang bersama. Ruang khalayak tidaklah lepas dari
khalayak-nya. Khalayak sendiri penting untuk diyakinkan bahwa
mereka sendiri, anggota masyarakat sendiri, memiliki andil besar
menciptakan ruang yang aman dan nyaman bagi mereka sendiri,
90

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

dan itu hanya terjadi melalui keterlibatan dan perbincangan yang


terus-menerus.
Selain masalah phobia terhadap ruang khalayak, gejala sebaliknya, public space philia, juga mudah kita temui hari ini. Ada
anggota masyarakat yang begitu gemar menggunakan ruang
khalayak, padahal agenda yang mereka usung adalah memperluas ruang pribadi. Ini artinya keterlibatan khalayak di ruang
khalayak tak serta merta mengimplikasikan adanya kesadaran
bahwa ruang khalayak adalah ruang bersama, ruang dimana setiap agenda pribadi paling jauh hanya bisa ditawarkan dan dibincangkantak serta merta dimasukkan dan ditanamkan. Khalayak,
yang terlibat atau yang semestinya terlibat, berangkat dari nilai,
pandangan hidup, cara berpikir, ataupun cara bertindak-tutur
yang berbeda-beda. Keterlibatan dalam ruang khalayak artinya
juga merelakan diri untuk melakukan sensor-diri secara kritis agar
juga tidak menghambat arus pertukaran yang berimbang antar
anggota masyarakat yang berbeda-beda dalam ruang bersama.

l Bermusik di ruang publik bantaran Kalimalang / Foto: Miftah

Pendek kata, eksistensi khalayak tidak bisa taken for granted.


Khalayak memiliki ragam dan tingkatan berbeda-beda. Selain
membangunnya dengan mengaktivasi, harus pula dikembangkan kesadaran pada khalayak bahwa ruang khalayak adalah ruang bersama, dan bukan ekspansi dari ruang pribadi. Diperlukan
interaksi, perbincangan dan pertukaran yang sehat dan berimbang, agar status ruang bersama bisa bertahan dan berkembang terus menerus. Ancaman dan Tantangan: Pasar, Politik,
Identitas Penting juga membangun ruang khalayak yang sehari-hari di tengah ruang kota yang makin memuat banyak
orang ini. Ruang khalayak yang dimaksud bukanlah bangunanbangunan megah, lapangan-lapangan berkapasitas super dan
proyek-proyek massif lainnya. Menurut Saskia Sassen, ruangruang semacam itu lebih tepat disebut sekadar public-access
space ketimbang public space. Yang membuat ruang khalayak
menjadi bersifat khalayak adalah praktik dan interaksi warga di

dalamnya. Semata bisa diakses tidak membuat ruang itu berwatak


publik. Ruang khalayak mensyaratkan upaya penciptaan melalui
praktik sosial orang-orang yang menggunakannya. Mengutip kalimat Don Mitchell kembali, Public space is thus socially produced
through its use as public space.
Penciptaan ruang khalayak ini sungguh tak mudah. Menyaksikan kehidupan sehari-hari, segera bisa kita lihat ancaman dan
tantangan yang menghadang. Di kota-kota negeri kita, seperti
halnya kota-kota di negeri berkembang lainnya, ruang-ruang dan
bangunan-bangunan yang didirikan demi kemegahan kota, terutama demi melayani aktivitas pasar global, jauh lebih dominan
ketimbang yang dibangun untuk kehidupan warga kota sendiri.
Prasarana khalayak, misalnya, dianggap kurang prioritas. Padahal,
menurut Saskia Sassen, prasarana khalayak (public infrastructure)
ini sangat penting bagi hidupnya masyarakat kota yang terbuka. Ia
memungkinan terhubungnya warga kota satu sama lain dan berinteraksinya anggota masyarakat kota yang majemuk.

Prasarana khalayak, atau yang kita kenal di sini sebagai fasilitas


umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos), berperan sebagai alat
integrasi klasik yang esensial bagi suatu kota. Jika kita cermati,
pesan yang hendak disampaikan Sassen sesungguhnya sederhana.
Bangunlah dengan baik prasarana esensial kota, seperti angkutan
umum, ruang pejalan kaki (trotoar, ruang pedagang kakilima), ruang terbuka hijau, pasar, fasilitas kesenian, fasilitas olahraga, WC
umum. Baik bukan saja dalam pengertian sebagai alat fungsional, tapi juga sebagai prasarana sosialitas penduduk, interaksi warga. Dengan begitu, kota akan baik, beradab secara sosial-budaya,
bukan semata secara ekonomis dan teknis. Ruang khalayak yang
sehari-hari inilah yang ditekankan Sassen.
Sayangnya, prasyarat dasar ruang khalayak, yakni ketersediaan
dan aksesibilitas, bukan saja jauh dari terpenuhi. Gencarnya arus
komersialisasi, gejala personalisasi dan sektarianisasi pun telah
membawa dampak serius pada ruang-ruang khalayak perkotaan

yang sudah ada sebelumnya. Perihal ketersediaan ruang, kita


bisa lihat, menghadapi persoalan serius. Ruang-ruang terbuka
di perkotaan tidak saja kurang secara kuantitas, lebih dari itu
ruang-ruang yang ada dihilangkan atau dialihfungsikan. Dalam
analisis Don Mitchell, ruang-ruang itu banyak bergeser dari representational spaces ke representations of space. Yang pertama
mengacu pada ruang yang hidup oleh praktik orang-orang yang
ada di dalamnya secara lepas, interaktif, tanpa ada tata disiplin
atau rancangan dari pihak otoritas resmi. Sementara yang kedua
menunjuk pada ruang yang dirancang sebagai perwujudan dari
otoritas resmi yang lebih mengedepankan displin, tatanan, dan
kepatuhan. Dengan kata lain, ruang-ruang terbuka yang hidup secara sosial banyak dialihfungsikan menjadi bangunan atau ruang
yang berdisiplinatas kuasa pasar maupun kuasa negara.
Kaki-lima adalah contoh yang paling mudah ditunjuk. Sebenarnya juga soal keseluruhan ruang jalan. Kita sering melihat bahwa
ketika jalan diperlebar maka itu sering berarti aspalnya yang diperlebar, sedangkan trotoar menyempit. Ini fundamental dari perspektif ruang sosial: ruang aspal adalah pasif, meskipun kelihatannya sibuk. Ruang kaki-lima-lah yang aktif secara sosial. Masalah
aksesabilitas ruang pun tidak kalah runyamnya. Ruang yang paling
terbuka sekalipun masih sering kita lihat tidak memiliki aksesabilitas yang baik. Tingkat kenyamanan satu ruang terbuka bisa jadi sudah baik, namun yang bisa mengaksesnya hanya kelompok sosial
tertentu yang memiliki kemampuan ekonomi memadai.
Lebih dari itu, ruang-ruang khalayak masih sangat sedikit yang
menyediakan kesempatan akses bagi kelompok berkemampuan
fisik berbeda, kaum difabel. Padahal, ruang khalayak yang baik
mensyaratkan mungkinnya diakses oleh berbagai anggota masyarakat dengan beragam kemampuan fisiknya. Prinsip yang disebut keadilan desain (just design) harus diberlakukan bagi ruang
khalayak. Tanpa hal ini, inklusi keanekaragaman kelompok sosial
dalam perjumpaan khalayak, yang diidealkan menjadi karakter
mutlak masyarakat terbuka, akan sulit terjadi. Masalah ketersediaan dan aksesibitas ruang khalayak itu tentu, seperti kita singgung
di atas, tidak berdiri sendiri. Tampak bahwa persoalan tersebut
berlangsung seiring dengan peristiwa yang menandai gejala global
hari ini: arus komersialisasi.
Saskia Sassen menunjukkan dengan sangat jitu bagaimana
derasnya arus pasar global telah menyebabkan apa yang ia sebut
marketization of public functions. Fungsi-fungsi publik ini membawa implikasi hak warga. Ketika hal tersebut dimarketisasi, hak
warga akan mudah terampas. Logika ketersediaan dan aksesibilitas dalam konteks marketisasi, dengan demikian, lebih didasarkan
pada asas konsumen ketimbang hak warga. Di negeri kita sendiri,
gejala ini mudah kita lihat. Terbebaskannya ruang khalayak kita
dari otoritarianisme politik, ternyata tidak serta merta membuatnya terbebaskan dari monopoli pemodal. Ini tidak saja terjadi
pada ruang khalayak nonmaterial macam media massa, namun
juga ruang khalayak fisikal konkrit. Kita bisa lihat maraknya mallmall yang bahkan menggusur keberadaan ruang-ruang khalayak
yang ada sebelumnya yang kadang justru lebih hidup, interaktif,
dan setara. Kita juga saksikan terus menyusutnya pasar tradisional
akibat ekspansi kapital yang nyaris tak dikendalikan.
Gejala kedua yang perlu kita wasdapai adalah personalisasi.
Kecenderungan penguasa politik menggunakan ruang khalayak
ini sebagai wadah ekspresi personal jelas menghilangkan nilai kepublikan (publicness) itu sendiri. Contoh yang masih segar dalam
ingatan kita ialah bagaimana sebuah lagu pribadi dilantunkan di
ruang khalayak, bahkan dalam sebuah momen kenegaraan.
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

91

Gagasan

Tindakan tersebut tidak ada hubungannya dengan urusan khalayak. Parahnya, khalayak diasumsikan menyetujui tindakan tersebut meski tanpa melalui proses perbincangan dan proses politik
apa pun. Gejala semacam ini tidak saja mengacaukan makna kepublikan, melainkan juga dapat mengkerdilkan ruang khalayak itu
menjadi sekadar ruang keluarga. Ancaman lain adalah sektarianisasi. Ini tidak terkait dengan fasilitas sosial yang memang ditujukan sebagai wadah aktifitas kelompok agama atau kepercayaan
tertentu, semisal tempat beribadah. Sektarisanisasi timbul ketika
ruang khalayak, yang sesungguhnya menjadi arena komunikasi
berbagai kelompok dengan kepercayaan berbeda-beda, dikuasai oleh sekelompok kepercayaan tertentu tanpa melalui proses
konsensual yang memadai. Pola penguasaan bisa sangat langsung
dan agresif melalui aksi massa yang segera menegasikan aktifitas
khalayak lain di ruang tersebut. Pola lain bisa melalui penataan
dan pengalihfungsian ruang. Contoh paling nyata dari pola terakhir ini adalah penataan alun-alun kota Bandung menjadi halaman
Masjid Raya Bandung. Alun-alun yang semula merupakan arena
khalayak tanpa sekat identitas kepercayaan berubah menjadi ruang peribadatan kelompok kepercayaan tertentu. Proses-proses
ini oleh Richard Sennett disebut initimisasi dan berkecenderungan membuat khalayak lain menyingkir karena risih. Ruang
Khalayak dan Identitas Budaya Jika penggunaan ruang khalayak
sebagai ekspresi identitas tertentu boleh disebut merupakan wujud sektarianisasi, pertanyaannya, apakah berarti ruang khalayak
harus netral dari identitas budaya apapun? Ini penting dijawab
terutama ketika, di zaman yang mengutuk penyeragaman budaya
ini, setiap kota atau setiap teritori tertentu diharapkan dapat menampilkan ciri khas budayanya.
Orang datang ke Bali berharap dapat menyaksikan suasana
ruang yang berbeda dari Yogyakarta atau Banda Aceh, misalnya.
Dengan demikian, ada hal yang perlu dipertimbangkan: sejauhmana ekspresi identitas budaya di ruang khalayak dinilai sektarian
atau tidak sektarian? Pertama-tama memang perlu kita tengok
lebih dulu watak dari identitas budaya itu sendiri. Identitas budaya tidaklah berasal dari individu secara pribadi dan eksklusif, sebaliknya ia merupakan suatu proses kolektif. Cara yang lebih tepat
untuk melihat identitas budaya adalah dengan logika relasi (relational logic), bukan logika substansi (substantive logic). Identitas
dikatakan identitas ketika ia diletakkan dalam relasi perbedaanya dengan yang lain. Kesadaran akan identitas budaya terbentuk
melalui proses interaksi antara individu dan invididu lainnya, juga
antara individu dan lingkungannya. Ini artinya, identitas budaya
bukan suatu resultan yang stabil, yang tetap, tak bergerak, namun
ia berkembang, tidak saja secara historis, dari satu masa ke masa
lainnya, tapi juga secara spasial, dari satu ruang ke ruang lain. Lebih jauh, lantaran identitas budaya tidak bersifat tertutup, ia pun
menyerap budaya lain, selain juga menawarkan diri kepada budaya-budaya lain. Melihat watak identitas budaya semacam ini, kita
bisa katakan bahwa ruang khalayak itu sendiri, yakni tempat interaksi sosial berlangsung, sesungguhnya tidak netral dari identitas
budaya. Ruang khalayak bahkan kadang merupakan arena proses
pembentukan identitas budaya itu sendiri terjadi. Karena itu, yang
menjadi persoalan bukanlah semata apakah suatu identitas budaya masuk ke ranah khalayak, namun apakah terjadi perbincangan,
interaksi, aksi komunikasi, yang sehat dan setara di sana. Ruang
bersama boleh berisi ragam identitas apa saja. Terpenting, ia, kata
Hannah Arendt, perlu dilihat sebagai meja tempat berbincang;
meja yang memisahkan sekaligus menghubungkan individu-individu yang mengelilinginya.
92

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

Karakter, simbol, dan ekspresi hanya muncul dan terbentuk di


antara meja perbincangan dan interaksi mereka yang terlibat, dan
bukan diklaim di luarnya. Ketika ruang khalayak diklaim secara a
priori sebagai ruang eksklusif identitas budaya tertentu, tanpa melalui perbincangan khalayak, atau tanpa membuka kemungkinan
dibincangkan kembali, maka di sanalah eksistensi ruang khalayak
terancam. Kata kuncinya, dengan demikian, adalah perbincangan
dan interaksi. Pluralisasi ruang khalayak sebagai sebuah strategi
perluasan pilihan ruang bagi khalayak itu penting. Namun plural
saja tidak cukup jika tanpa adanya hubungan, interaksi. Justru kita
perlu waspada dengan klaim menguatnya toleransi jika yang dimaksud adalah masing-masing kelompok budaya ada dalam kurungan identitasnya masing-masing tanpa saling berinteraksi. Kita
sudah harus melewati pemikiran multikulturalisme, dan perlu
masuk ke dalam pemikiran interkulturalisme. Kita bukan hanya
perlu menghormati keberagaman, tetapi juga secara aktif dan terbuka belajar dari orang lain yang berbeda dari kita. Konsekuensi
dari interkulturalisme adalah sikap yang bukan hanya membiarkan yang lain berbeda, tetapi juga terlibat dalam interaksi secara
aktif dengan yang lain. Kreativitas muncul dari interaksi aktif
demikian. Setiap orang mengambil dan memberi, dan kemudian
membawa pulang ke ruang pribadinya sesuatu yang lain lagi, hasil percampuran pemberian dan penerimaan itu. Posisi semacam
ini mengimplikasikan bahwa identitas budaya harus diletakkan di
antara yang partikular dan yang universal. Ia tidak sepenuhnya
partikularyang tak mungkin dipahami orang lain, sekaligus tidak sepenuhnya universalyang tidak bersentuhan dengan pengalaman historis konkrit. Setiap unsur identitas budaya paling
jauh hanya bisa dianggap, meminjam istilah Mohammed Arkoun,
universalizable. Ia paling banter hanya bisa ditawarkan kepada
dunia, kepada ruang khalayak, kepada kemanusiaan dalam arti
seluas-luasnya. Atribut budaya (nilai, simbol, karya kesenian) tidak serta merta bisa diklaim universal, tapi bisa mengandung kemungkinan diterima sebagai universal melalui proses penawaran
dan interaksi. Pihak yang diberi tawaran, baik sebagai orang per
orang maupun sebagai suatu kelompok budaya, dapat memprosesnya secara bebas.
Hadirnya suatu karya seni ke ruang khalayak, sebutlah patung
sebagai contoh yang mengemuka belakangan, pun musti dianggap sebagai sebuah tawaran, bukan pendudukan ruang, apalagi
ancaman. Sebagai sebuah tawaran, karya seni yang hadir di ruang khalayak bisa diapresiasi ataupun digugat. Kontestasi yang
terjadi sekaligus merupakan bagian proses pematangan ruang
khalayak itu sendiri. Tentu upaya penggugatan, kontestasi, oleh
pihak penerima musti berlandaskan kesadaran sebagai anggota
khalayak yang terlibat dalam penghidupan ruang bersama, bukan
kesadaran otoritatif atas ruang yang atas nama apa pun (agama,
nasionalisme, keresahan masyarakat) berkehendak menggusur
kehadiran yang beda, yang lain, atau yang asing. Jika yang terakhir terjadidan sayangnya ini yang kerap terjadimaka ruang
khalayak akan kembali tertutup oleh nafas sektarianisme. Hubungan yang cair kembali terbekukan. Kemungkinan akan munculnya
tawaran-tawaran baru yang kreatif menjadi terkunci mati. Di sisi
lain, pengaju tawaran, sebagai pemberi karya personal (atau komunal) ke ruang khalayak, penting mempertimbangkan kepekaan
terhadap situasi kultural khalayak penerima, atau calon penerima,
yang beragam. Ini berarti proses self-censorship menjadi niscaya.
Self-censorship tidak dalam pengertian negatif tentu saja, tidak
dalam pengertian penyumbatan hak untuk berekspresi. Namun,
karena kebebasan berekspresi di ruang khalayak tidaklah dimak-

sudkan sebagai ekspresi itu sendiri, melainkan sebagai upaya


untuk menghidupi ruang khalayak, untuk berinteraksi dengan
keberagaman, maka harus ada kesamaan yang memungkinkan
komunikasi berlangsung. Yang personal, yang komunal, harus menyensor diri agar setidaknya sebagian dari bahasa, simbol, tanda,
yang digunakan pada taraf tertentu berada pada posisi sama dengan khalayak penerima. Hanya dengan demikian komunikasi bisa
berlangsung.
Tentu saja self-censorship itu musti disertai dengan sikap
kritis. Sikap kritis ke dalam maupun ke luar. Sikap kritis ke dalam
mengimplikasikan bahwa kreasi kultural yang diproduksi bukanlah
suatu kebenaran mutlak yang khalayak harus menyaksikan. Ia juga
bisa menyimpan kesalahan, bahkan kontradiksi dalam dirinya. Ia
mungkin juga hanya bisa disaksikan oleh segelintir kalangan khalayak yang berada dalam kerangka kultural tertentu. Sedangkan
sikap kritis ke luar mengimplikasikan pemahaman bahwa situasi
kultural khalayak di luar sana bukanlah hal yang statis, yang inheren membawa nilai tertentu yang tak berubah dari waktu ke
waktu. Esensialisasi nilai ruang khalayak, atau nilai yang dikandung khalayak penerima, hanya akan membawa kita kembali pada
pembekuan, penghilangan dinamisasi ruang khalayak. Peran
Negara Untuk mengekspresikan identitas budayanya yang khas
di ruang khalayak, warga dituntut untuk menawarkannya melalui
proses perbincangan terbuka. Lantas, bagaimana dengan negara?
Apakah negara sertamerta dianggap mewakili khalayak sehingga
sah untuk mengambil kata putus dalam proses komunikasi di ruang khalayak? Secara legal-formal, sebagian besar ruang khalayak
fisikal memang milik negara, semisal alun-alun, taman kota, atau
museum. Asumsi kepemilikan negara dan wakil khalayak itu
kerap memunculkan masalah. Pertama, negara kerap merancang
tata ruang, meletakkan produk budaya, atau menggelar event kebudayaan yang kental warna budaya dominan di arena khalayak,
yang kerapkali terjadi tanpa perbincangan khalayak yang memadai sebelumya.
Padahal, khalayak yang berangkat dari anekaragam budaya
belum tentu menyepakati keputusan negara. Terkesan seolah
konsensus sudah terjadi, hanya karena negara secara legal-formal
memiliki ruang-ruang tersebut. Kedua, kita juga sering menyaksikan, negara melakukan sensor atas suatu karya budaya, atau
menghalangi hadirnya suatu karya budaya di ruang khalayak, juga
tanpa proses perbincangan yang terbuka. Negara begitu saja mengasumsikan mewakili khalayak dalam melakukan hal tersebut,
meski tanpa memberi ruang bagi khalayak sendiri untuk memproses perbincangan mengenai isu tersebut. Ketiga, negara terlihat begitu mudah menyerahkan ruang khalayak kepada pemodal
yang berakibat pada berubahnya fungsi bahkan hilangnya ruang
khalayak. Pendek kata, negara sendiri telah menjadi aktor komersialisasi, sektarianisasi, dan personalisasi ruang khalayak, dengan
satu atau lain cara. Melihat persoalan tersebut, agaknya terlalu
naif jika kita memposisikan negara sebagai pemecah masalah
bagi menyempitnya ruang khalayak. Negara adalah bagian dari
masalah itu sendiri. Namun, gagalnya negara, jika boleh disebut
demikian, tak serta merta menghilangkan kewajibannya memenuhi hak-hak warga. Peran gerakan masyarakat sipil hanyalah
sampai pada mendorong negara menjalankan, bukan mengambil
alih, kewajiban-kewajibannya.
Menurut Young, tak mungkin civil society menggantikan peran
negara. Hanya institusi negara yang memiliki sumberdaya cukup
untuk memfasilitasi koordinasi sosial antar kelompok dan warga
dalam skala besar. Dan sesungguhnya, hanya institusi negara pula

yang memiliki kekuatan yang mampu membatasi gerak perusahaan-perusahaan privat untuk menguasai ruang khalayak. Dalam
kapasitas semacam itu, hanya negara yang bisa mengambil peran
sebagai pengelola tata komunikasi di ruang khalayak antar kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda. Ini jelas sangat krusial.
Jika negara tak menyediakan tata komunikasi yang memungkinkan
khalayak yang plural berperan serta dalam interaksi maka situasi
chaos akan sangat mudah terjadi. Lebih dari itu, jika kemudian
untuk menghindari chaos tersebut, negara mengambil kata putus
tanpa perbincangan khalayak maka yang terjadi adalah kebekuan
ruang khalayak, jika bukan bentuk tertentu otoritarianisme.
Contoh yang paling mudah ditemukan hari ini adalah penutupan tempat ibadah, penyensoran karya budaya (buku, film,
pertunjukan seni, dll), atau pun pembubaran event kultural/intelektual. Dengan negara menyediakan tata komunikasi yang memadai, potensi-potensi yang memungkinkan lahirnya chaos bisa
ditransformasikan menjadi gerak pertukaran yang produktif di
arena khalayak. Lebih fundamental dari itu, negara sesungguhnya berperan menyediakan ruang khalayak dengan kuantitas dan
kualitas yang cukup sekaligus dengan aksesibilitas yang baik.
Seperti sempat disinggung di atas, ruang-ruang khalayak kita
dalam berbagai bentuk dan tingkatannya tidak saja kurang secara kuantitas, namun juga buruk dari segi aksesibilitas. Negara,
dengan segala kapasitas dan otoritasnya, punya peran penting
menyediakan infrastruktur khalayak tersebut. Tak sekadar pengadaan ruang fisik, negara juga harus menyediakan perangkatperangkat yang memungkinkan pertukaran di ruang khalayak
berfungsi optimal. Negara harus menyediakan, misalnya, kurator
pada tiap museum. Penampungan, penyediaan dan penyebaran
informasi juga harus dilakukan sehingga memampukan khalayak
berinteraksi secara dinamis. Penutup Musti diakui bahwa yang
disampaikan dalam tulisan ini kental dengan karakter urban.
Masih perlu eksplorasi lebih lanjut mengenai karakter ruang dan
komunikasi khalayak di kawasan rural. Namun demikian, boleh dikatakan bahwa, dalam banyak segi, yang diuraikan dalam tulisan
ini mencerminkan ancaman riil dan tantangan ke depan pembangunan ruang khalayak dalam rangka penyediaan wadah bagi kebebasan berekspresi di negeri kita.
Ruang-ruang khalayak konkrit barangkali berbeda antara kawasan urban dan rural. Namun, unsur-unsur, pola, dan dinamika percakapan khalayak memiliki kecenderungan yang tak jauh berbeda,
apalagi dengan keterlibatan negara dan gejala umum yang dihadapi,
yakni komersialisasi, sektarianisasi dan personalisasi. Betapapun,
yang terpenting diperhatikan kemudian, seiring dan setelah berbagai
upaya melampaui berbagai tantangan tersebut adalah sejauhmana
hubungan-hubungan terbuka yang produktif tercipta sehingga mampu menyumbang bagi kesejahteraan ekonomi dan emansipasi sosial mereka yang terlibat dalam hubungan-hubungan itu. Mencipta,
membangun, merawat dan meruwat khalayak serta ruang khalayak
bukanlah pekerjaan sekali jadi, melainkan terus-menerus. Tantangan
dan kekuatan perusak selalu akan ada terus. Tetapi pekerjaan ini harus terus dilakukan, sebab ia adalah tubuh dari masyarakat-warga,
yang tanpanya akan berhenti mengada.
*Marco Kusumawijaya, Direktur Rujak Center for Urban
Studies. **Mujtaba Hamdi, peneliti kebudayaan Tankinaya
Institute, Depok. Penulis berterima kasih kepada Felencia Hutabarat untuk diskusi mengenai kesenian dan ruang public.
* Disampaikan untuk diskusi bertajuk Masyarakat Terbuka (Yayasan Tifa, Jakarta).
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

93

Gagasan

Ruang Publik Hijau

Jalur hijau Perumahan Kemang Pratama / Foto: Miftah

ada umumnya perkembangan


kota sebagaimana terjadi di
beberapa
negaratermasuk
Indonesiadidasari proses perencanaan yang awal mulanya
bertujuan menyejahterakan kehidupan masyarakatnya. Namun dalam implementasi
pelaksanaannya ditemukan banyak hal yang
kerap tidak sesuai perencanaan.
Maka tidak salah apabila sebagian masyarakat berpendapat bahwa perkembangan kota saat ini cenderung menimbulkan
banyak persoalan. Di antaranya problem
kemacetan lalu lintas, polusi udara dan
kebisingan akibat padatnya lalu lintas pada
jam-jam tertentuditandai dengan banyaknya masyarakat golongan menengah
atas yang tinggal di pinggiran kota. Fenomena ini selanjutnya menumbuh-kembangkan
daerah sekitar kota menjadi kota baru.
Pada perkembangannya juga memunculkan
dampak serupa.
Selain persoalan di atas, masalah perubahan fungsi lahan juga terjadi. Hal ini
tercermin dari semakin minimnya lahan-lahan terbuka yang tadinya berfungsi sebagai
ruang publik. Akibat keterbatasan lahan
maka pemerintah dan sebagian masyarakat
94

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

mengakuisisi lahan-lahan terbukayang


berfungsi sebagai fasilitas umummenjadi
lahan terbangun. Kasus-kasus semacam ini
banyak terjadi di beberapa kota besar. Termasuk Indonesia.
Persentase ruang terbuka hijau di
kota-kota tujuan urban seperti Jakarta dan
sekitarnya masih belum memenuhi luasan
idealnya. Padahal kita menyadari bahwa
keberadaan ruang terbuka hijau sangat bermanfaat untuk stabilitas sistem lingkungan
yang dapat menjauhkan manusia dari berbagai bencana merugikan seperti banjir, keterbatasan air bersih, gangguan kesehatan
dan lain sebagainya.
Di samping minimnya lahan penghijauan dengan beberapa persoalan lingkungannya, perubahan fungsi lahan di dalam kota
secara masif tersebut juga menimbulkan
dampak terbatasnya sarana bermain anak.
Kecenderungan ini mulai muncul semenjak Economic Booming beberapa tahun
lalu yang mengakibatkan melonjaknya laju
urbanisasi di kota besar dan sekitarnya di
Indonesia.
Dampak kepadatan pendudukyang ditandai dengan pesatnya angka urban populationselanjutnya menjadikan lahan memiliki

nilai ekonomis tinggi. Setiap jengkal lahan


yang ada sangat berharga bagi kebutuhan
hidup: aspek ekonomi semata. Pandangan serupa ini nampaknya juga dianut para pengembang. Sehingga banyak kawasan hunian dan
perumahan dibangun namun seringkali mengabaikan ruang terbuka yang dapat digunakan sebagai fasilitas umum dan sosial. Padahal
ruang terbuka hijau yang ramah dan kondusif
juga sangat mendukung syarat fasilitas tempat bermain anak.
Kondisi memprihatinkan itu menjadi
perhatian dunia internasional. Dalam
catatan perhitungan PBB tahun 2005 diperkirakan separuh anak-anak yang tinggal
di kota akan semakin kehilangan tempat
bermainnya. Fakta ini tergambar melalui
anak-anak yang bermain di lingkungan yang
bukan semestinya menjadi tempat mereka
bermain. Misalnya bantaran sungai (kali),
lahan pinggiran rel kereta api, atau jalan
raya yang padat lalu lintas.
Lingkungan Hidup Menjadi Perhatian
Kondisi obyektif di atas nampaknya
mulai disadari pemerintah dan sebagian
kalangan masyarakat seiring dengan isu
pemanasan global dan krisis iklim dewasa
ini. Pemerintah dan pihak terkait mulai menyadari tentang munculnya kecenderungan
sehat dan serba hijau. Sehingga mereka
mulai memberi penekanan kuat pada aspek lingkungan hidup. Hal ini terlihat dari
munculnya fenomena kebijakan yang hadir.
Yaitu menekankan bangunan inisiatif dan
kemitraan swasta, serta partisipasi masyarakat terhadap keberadaan ruang terbuka hijau. Ruang publik hijau pun menjadi
keniscayaan.
Segenap program kegiatan yang menyertai di dalamnya itu memiliki substansi tentang
urgensi ruang publik dan penataan kembali
kota dalam perencanaan multipartisipatif.
Termasuk peran para akademisi dan swasta
dalam mengembangkan kawasan hunian
yang berwawasan lingkungan agar lebih manusiawi dan berkeadilan. Para pegiat bidang
ini tampak memberikan porsi cukup besar untuk ruang terbuka dan pepohonan. Mereka
menyambut isu pentingnya aspek lingkungan
dan pemahaman bahwa lingkungan hidup
merupakan jawaban bagi kian rusaknya alam
sekitar serta tidak bersahabatnya kualitas
udara di kota-kota besar.
Kebijakan pemerintah terkait penyediaan ruang publik perkotaan dan pengembangan kawasan hunian dan perumahan
oleh swasta yang berwawasan lingkun-

gan akhirnya menjadi tren pembangunan


saat ini. Bahkan, sedemikian pentingnya
soal kawasan dan lingkungan yang ramah
anak, pemerintah mengakomodirnya di
dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak pasal 11. Di situ disebutkan bahwa setiap anak berhak beristirahat dan memanfaatkan waktu luang,
bergaul bersama anak sebaya, bermain,
berekreasi dan berkreasi sesuai minat,
bakat dan tingkat kecerdasannya untuk pengembangan diri. Di samping itu,
agar hak tersebut terpenuhi, pada Pasal
56 juga disebutkan bahwa pemerintah
dalam menyelenggarakan pemeliharaan
dan perawatan wajib mengupayakan dan
membantu anak, sehingga mereka dapat;
1). Bebas berserikat dan berkumpul; 2).
Bebas bersitirahat, bermain, berkreasi,
berekreasi dan berkarya seni budaya dan,
; 3). Memeroleh sarana bermain yang
memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan.
Melalui Keputusan Menteri Pekerjaan
Umum No. 378/KPTS/1987, secara kuantitatif pemerintah juga membuat standar luasan
minimum yang harus dipenuhi dari luas lahan
sebagai area wajib hijau dalam prasyarat
lingkungan. Dan terakhir, seiring dengan beberapa isu penting Internasional dewasa ini,
penyediaan ruang terbuka hijau 30 persen
(dari luas wilayah keseluruhan) merupakan
besaran standar yang tidak bisa ditawar lagi
(Kompas, 30 November 2007). Hal ini merupakan prasyarat bagi perencanaan pengembangan kawasan hunian yang memiliki kualitas, berkesinambungan serta dapat menjawab
semua tantangan dan permasalahan yang ada
pada pemukiman penduduk di perkotaan.
Konsep Community Garden
Realitas persoalan di atas juga menjadi
keprihatinan di kalangan masyarakat. Selanjutnya memunculkan beragam aksi, inisiatif
dan partisipasi yang bertujuan untuk lebih
peduli kepada lingkungan dan perkotaan.
Salah satu gerakan yang gaungnya merambat cukup cepat sekarang ini ialah program
urban farming oleh komunitas Indonesia
Berkebun. Implementasi program urban
farming yaitu memanfaatkan lahan tidur di
kawasan perkotaan yang dikonversi menjadi lahan pertanian/perkebunan produktif
hijau oleh masyarakat dan komunitas. Dengan demikian, lahan tersebut bisa memberikan manfaat bagi masyarakat di dalamnya.
Sebagaimana disebutkan dalam situsnya,

komunitas ini terdiri dari orang-orang yang berasal dari berbagai profesi. Mereka bergabung
untuk mewujudkan cita-cita yang dapat mengatasi masalah lingkungan dan perkotaan.
Masalah itu antara lain; 1). Rusaknya lingkungan karena pembuangan sampah dan limbah
yang sembarangan; 2). Menurunnya kualitas
kota baik secara estetika, kurangnya ruang
hijau, dan ruang publik terutama untuk anakanak bermain; 3). Ancaman krisis sumber
makanan di masa depan.
Semangat positif Indonesia Berkebun
mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat dan berkembang hingga hampir ke
seluruh kota/kabupaten di Indonesia wilayah
Barat. Mereka pun didukung Menteri Pertanian Republik Indonesia. Bahkan meraih
penghargaan Web-Heroes dari salah perusahaan Internasional, Google. Inc. (http:/indonesiaberkebun.org, 2013). Akankah semangat
posistf program kegiatan tersebut berkelanjutan dan mendapat daya dukung kuat berupa
kebijakan dan rencana tata ruang perkotaan?
Tentu perlu kajian mendalam dengan tinjauan
multiaspek dan banyak referensi agar konsep
program tersebut terpakai dalam sistem perencanaan kota.
Dalam konteks internasional, konsep
ini dikenal dengan istilah Community Garden. Implementasinya juga erat berkaitan
kaitannya dengan tema pembangunan
berkelanjutan atau sustainability dan ketahanan pangan. Ia telah terimplementasikan di Amerika Serikat dan Canada, kemudian diikuti Inggris, Spanyol, Mali di Afrika
Barat, Australia dan Taiwan di Asia. Community Garden terbukti memiliki nilai sosial
yang positif dan dapat menghasilkan beragam manfaat. Mulai gizi yang baik, pendidikan bagi generasi dan para penggunanya,
meningkatkan kemudahan, keamanan dan
perlindungan terhadap lingkungan sekitar
hingga manfaat ekonomis.
Meskipun terdapat banyak manfaat,
para perencana perkotaan di setiap negara
tersebut belum seluruhnya memiliki perhatian terhadap konsep Community Garden
ini melalui kebijakan perencanaan yang
detail. Kecuali Amerika Serikat dan Canada
yang memang cukup progresif di beberapa
kota dan negara bagian di dalamnya (Introduction, Planning Strategis to Support Community Garden, 2009). Lantas, bagaimana
dengan kota-kota dan kabupaten-kabupaten di Indonesia?
*) Ir. Ichasanudin, Pemerhati Masalah
Perkotaan, tinggal di Kota Bekasi

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

95

Wawancara Eksklusif

Saya Ingin Membangun

Kota Bekasi
Pembangunan
Kota Bekasi sangat
bergantung dengan
kemauan kuat para
pemangku kebijakan.
Pada edisi ini kami
mendapat kesempatan
mewawancarai
Walikota Bekasi
Rahmat Effendi. Kami
menanyakan seputar
masalah perencanaan
pembangunan Kota
Bekasi ke depan.
Berikut hasil wawancara
tersebut;

96

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

Perda Rencana Tata Ruang Kota Bekasi disahkan pada tahun


2011 lalu. Bisa dijelaskan garis besar arah perubahan tata ruang
Kota Bekasi yang ada dalam Perda tersebut ?
Ada perubahan Perda RTRW sebelumnya. Dulu Kota Bekasi
dibagi dalam 4 BWK (Bagian Wilayah Kota) dalam perencanaannya.
Maka dalam RTRW tahun 2011-2031 ini struktur ruang Kota Bekasi
dibagi dalam 5 wilayah pengembangan. Yaitu Pusat Pelayanan Kota
(PPK) dan didukung empat sub pusat pelayanan primer lainnya atau
disebut Sub Pusat Pelayanan Kota (SPPK).
Keempat SPPK tersebut adalah Pondok Gede, Jatisampurna ,
Bantar Gebang dan Bekasi Utara. Di samping itu telah ditetapkan
3 kawasan strategis kota. Yakni kawasan strategis pusat kota, kawasan strategis Jatisampurna dan kawasan strategis MustikajayaBantargebang.
Bisa dijelaskan sedikit zonasi pengembangan wilayah berdasarkan Perda RTRW
Kota Bekasi?
Berbicara zonasi secara luas di dalam
Rencana Tata Ruang Kota yang ada kita telah
menetapkan beberapa zona. Antara lain Zona
Industri di wilayah Bantargebang , Zona Perdagangan dan Jasa di sekitar pusat kota dan
Zona Permukiman dengan Kepadatan Tinggi
di bagian utara Kota Bekasi, Zona Permukiman
dengan Kepadatan Sedang di pusat kota dan
Zona Permukiman dengan Kepadatan Rendah
di bagian selatan Kota Bekasi.
Namun demikian dalam pengendalian
pemanfaatan ruang kita juga sedang menyusun peraturan zonasi atau zoning regulation.
Itu nanti lebih mengatur peruntukan ruang
sesuai dengan arahan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang ada.

nan yang baru tentu harus tunduk dengan rencana yang ada saat ini.
Pembangunan Kota Bekasi saat ini lebih terpusat di wilayah
Selatan, Timur, Barat. Sementara wilayah pinggiran nyaris tidak
tersentuh. Bagaimana upaya Pemkot Bekasi memeratakan pembangunan?

Dalam perencanaan pembangunan memang kita memisahkan ke dalam 3 kategori wilayah pengembangan. Ada wilayah
yang didorong pertumbuhannya karena memang masih tertinggal. Ada yang dikendalikan dengan ketat karena sudah melampaui daya dukung dan daya tampung ruang. Ada juga yang masih dibiarkan sesuai dengan mekanisme pasar selama masih ada
kesesuaian dengan rencana yang ada dan masih dalam daya dukung lingkungan.
Namun demikian para pengembang atau
investor akan lebih memilih wilayah yang telah
didukung infrastruktur pendukung kota yang
memadai daripada membuka wilayah baru
yang belum ada sarananya. Sehingga terlihat
bahwa perkembangan kota kurang merata.
Banyak upaya. Antara lain kita juga telah
mencang Perda Insentif dan Disinsentif yang
Fasos dan fasum
salah satunya adalah untuk mengarahkan
perumahan akan
pengembangan pembangunan ini. Pengemresmi menjadi
bang yang membangun pada wilayah yang
baru akan diberikan insentif. Sedangkan yang
asset pemerintah
membangunan di daerah yang padat dan lodaerah setelah
kasi daya dukung ruangnya sudah kurang mediadakan verifikasi
madai akan dikenakan disinsentif. Dengan
kebijakan ini diharapkan pembangunan akan
oleh tim verifikasi
bisa lebih diarahkan secara merata.

Fasos Fasum dan


dibuatkan berita
acara serah terima
dari pengembang
kepada
pemerintah.

Meskipun diatur soal zonasi dalam Perda


RTRW, pada praktiknya banyak bangunan
yang tidak tepat peruntukannya? Bagaimana Pemkot Bekasi mengatasi persoalan ini?

Rencana Tata Ruang Kota dibuat untuk jangka waktu tertentu. RTRW Kota Bekasi 2000-2010 mengatur rencana
tata ruang dalam kurun 10 tahun. Sementara sesuai Undang-undang RTRW Kota Bekasi yang baru adalah perencanaan untuk 20
tahun ke depan yakni tahun 2011-2031.
Rencana tata ruang dibuat untuk mengantisipasi dan mengakomodasi setiap perkembangan kota yang ada sesuai dengan dinamika pertumbuhan atau pengaruh pembangunan eksternal kota
di sekitarnya.
Boleh jadi bangunan yang eksisting sekarang ada yang terlihat melanggar atau tidak sesuai dengan rencana tata ruang saat
ini karena dibuat berdasarkan RTRW yang lalu. Berarti sudah tidak
valid lagi. Untuk hal semacam ini tentu akan segera dilakukan penyesuaian dengan rencana yang berlalu.
RTRW itu sifatnya rencana ke depan. Sehingga untuk pembangu-

Bagaimana arah pembangunan jangka panjang Kota Bekasi ke depan? Bisa


dijelaskan?

Kota Bekasi relatif tidak memiliki Sumber


Daya Alam memadai. Maka pembangunan
jangka panjang ke depan kita lebih menitikberatkan pada potensi Sumber Daya Manusianya.
Sehingga aktivitas pembangunan lebih mengarah ke sektor pelayanan dan jasa yang lebih
dikukung Sumber Daya Manusia ketimbang Sumber Daya Alam.
Ini terlihat dari visi rencana jangka panjang Kota Bekasi 20052025 yaitu Bekasi Kota Kreatif yang Ikhsan. Artinya kita akan lebih
menitikberatkan pada pembangunan Sumber Daya Manusia yang
kreatif dalam menciptakan setiap kegiatan pembanguannya.
Pembangunan Kota Bekasi bergerak sangat cepat. Berapa
persen pertumbuhan pembangunan di Kota Bekasi dalam setiap
tahun? Bisa dijelaskan segmentasi pertumbuhannya?
Secara pembangunan fisik kita bisa melihat pertumbuhannya.
Terlebih sarana perumahan dan perdagangan seperti mal dan ruko.
Ini berkorelasi secara signfikan juga terhadap petumbuhan ekonomi Kota Bekasi yang lebih dari 6,5 % per tahunnya. Seperti kita

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

97

Wawancara Eksklusif

lihat, salah satu penyumbang PAD terbesar adalah dari sektor


hotel dan restoran. Kalau bicara segmentasi pertumbuhan
pembangunan memang lebih ke pembangunan perumahan
dan perdagangan. Dan ini bervariasi baik untuk pemenuhan
segmen pasar golongan ekonomi menengah ke bawah maupun ekonomi menengah ke atas.
Pembangunan tentu berkaitan erat dengan ketersediaan lahan. Bisa dijelaskan berapa presentase lahan terbangun dan lahan belum terbangun (Ruang Terbuka Hijau) di
Kota Bekasi?
Seperti diketahui Kota Bekasi ini terbentuk dari wilayah
kota yang sudah terbangun sejak pemisahan dari Kabupaten
Bekasi. Jadi kita memang mendapatkan wilayah yang sudah
cukup padat. Berdasarkan data yang ada wilayah terbangun
di Kota Bekasi tahun 2010 saja sudah lebih dari 60 persen.
Sementara areal yang belum terbangun itu pun umumnya
sudah dikuasai pengembang. Ssehingga tidak bisa dijamin itu
tidak akan terkonversi menjadi lahan terbangun lainnya.
Apakah jumlah RTH di Kota Bekasi sudah sesuai dengan
aturan Undang-undang Tata Ruang ? Jika belum, apa yang
akan dilakukan Pemkot Bekasi dalam penyediaan RTH yang
sesuai dengan Undang-undang?
Sesuai Undang-undang memang kita harus memiliki RTH
30 persen untuk RTH Publik dan Privat. Hal ini menjadi kendala utama di setiap kota terutama yang ada di Pulau Jawa
yang lahannya sudah sangat padat. Kota Bekasi saat ini baru
memiliki RTH 11,4 % dan untuk meningkatkan secara drastis
tentu tidaklah mudah. Selain faktor pendanaan karena harga
lahan di Kota Bekasi sangat tinggi juga padatnya bangunan.
Untuk penataannya akan memerlukan upaya yang ekstra. Sementara DKI Jakarta saja saat ini RTHnya baru 14 persen.
Beberapa upaya telah dilakukan dengan diterbitkannya Perda tentang Fasos Fasum. Perda ini lebih mewajibkan
pengembang yang akan membangun di Kota Bekasi memenuhi penyediaan RTH yang cukup sesuai ketentuan Perda.
Ini berlaku juga untuk pengembang mal dan juga industrI.
Dari jumlah RTH yang ada berapa persen yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan publik (taman dan ruang publik
lainnya).Apa upaya pemerintah untuk menjaga keseimbangan ruang terbuka hijau?
RTH Publik Kota Bekasi masih sangat sedikit. Kurang dari
3 persen. Di antaranya ada yang berbentuk taman kota seperi
di Alun-alun, hutan kota Bina Bangsa di kompleks Stadion dan
beberapa taman-taman yang ada di median atau sempadan
jalan seperti taman Cut Meutia. Untuk sarana yang ada tentu
akan selalu dijaga keberadaannya selama tidak berbenturan
dengan kepentingan lain yang lebih penting. Di samping
berupaya mengambalikan fungsi GSS dan GSB yang sebelumnya memang sudah RTH.
Di Kota Bekasi banyak sekali perumahan. Namun ke-

98

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

l Walikota Bekasi Rahmat Effendi sidak drainase rusak / Foto: Dimas

beradaan Fasos Fasum-nya lebih banyak dialihfungsikan


menjadi bangunan. Jarang sekali yang dijadikan ruang
publik. Ada berapa jumlah Fasos-fasum perumahan yang
sudah dan belum diserahkan kepada Pemkot Bekasi dan
bagaimana kondisi eksistingnya saat ini?
Kita harus bisa mendefinisikan dulu apa itu Fasos Fasum.
Yang masuk dalam kategori Fasilitas Sosial (Fasos) di lingkungan perumahan adalah berupa fasilitas olahraga, pendidikan,
ibadah, kantor pemerintahan, dan sebagainya. Umumnya
pengembang dalam pembangunan perumahan baru menyiapkan kavling-kavling kosongnya saja. Dan pemanfaatannya
biasanya ditentukan kepentingan dan kesepakatan masyarakat di sekitarnya setelah disetujui pemerintah. Sehingga
banyak lahan perumahah yang statusnya Fasos yang asalnya
telihat lahan terbuka kemudian dibangun masjid, sekolah,
lapangan futsal dan lainya. Menurut aturannya, hal itu memang masih sesuai.
Sementara yang masuk Fasiitas umum (Fasum) dalam
lingkungan perumahan adalah berupa jaringan jalan, saluran
drainase, jaringan utilitas dan taman. Jadi kalau yang di dalam

site plannya taman tidak bisa diubah jadi bangunan. Harus


tetap taman atau RTH. Sementara kalau yang statusnya Fasos, meskipun awalnya lahan terbuka, bisa dibangun. Sebab
peruntukannya memang untuk sarana sosial seperti sarana
pendidikan, peribadatan, olahraga, dan sebagainya.
Sementara ini jumlah Fasos Fasum perumahan yang
sudah diserahterimakan baru sekitar 50 persen.
Kenapa banyak fasos-fasum yang belum diserahkan
ke Pemkot Bekasi dan malah berubah menjadi bangunan
komersial. Kenapa hal ini bisa terjadi? Dan apa langkah
pemerintah daerah untuk mengambil kembali fasos-fasum ini?
Fasos dan Fasum perumahan akan resmi menjadi aset
pemerintah daerah setelah diadakan verifikasi oleh tim
verifikasi Fasos Fasum. Dan nanti dibuatkan berita acara
serah terima dari pengembang kepada pemerintah.
Selama sarana belum diserahterimakan kepada pemer-

intah, penguasaan sepenuhnya masih pada pengembang.


Namun untuk mengubah atau memindahkan Fasos-Fasum
yang telah direncanakan sesuai site plan tentu ada tata cara
dan aturannya. Apakah bisa diubah atau tidak walaupun secara kepemilikan masih hak dari pengembang. Tapi pengaturan ruang menjadi tanggung jawab Dinas Tata Kota.
Apa arti pentingnya ruang publik dalam pembangunan Kota Bekasi?
Ruang publik tentu sangat penting. Baik keberadaannya sebagai sarana sosialisasi bagi masyarakat mapun sebagai penyeimbang pelestarian lingkungan. Terutama pengendalian iklim dan pemanasan global.
Banyak kritik kepada Pemkot Bekasi terkait konsep
pembangunan yang dinilai banyak menyalahi aturan.
Seperti bangunan di atas lahan resapan (jalur hijau),
mengabaikan aturan garis sempadan bangunan (GSB),

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

99

Wawancara Eksklusif

Amdal dan Andalalin, sehingga menimbulkan efek masalah


domino. Bagaimana tanggapan Anda?
Secara umum permasalahan yang dihadapi pemerintah Kota Bekasi adalah lebih cepatnya pembangunan yang
dilakukan masyarakat dan swasta ketimbang pembangunan infrastruktur kota yang dibangun pemerintah. Sehingga pertumbuhan pembangunan perumahan, mal, rumah
sakit, hotel dan sarana lainnya yang membutuhkan dukungan infrastruktur penunjang seperti jalan, saluran drainase, saluran air minum dan sarana persampahan tidak
seimbang dengan kemampuan anggaran pemerintah yang
ada dengan kebutuhan yang dibutuhkan para pengembang dan investor.
Swasta tentu hanya akan memikirkan pembangunan di
area yang dimiliki dan dikuasanya. Sementara pemerintah
selalu ketinggalan menyediakan prasarana kota yang sebanding dengan pertumbuhan. Maka timbullah permasalahan kemacetan, banjir, dan sebagainya.
Pertumbungan bangunan bertingkat di Kota Bekasi sangat pesat. Dalam tahun 2013 ini saja ada sedikitnya 7 Mall
dibangun (belum termasuk perumahan dan pabrik). Di sisi
lain Pemkot Bekasi tidak pernah menambah jumlah taman
kota. Sehingga muncul istilah Kota Ramah Mal. Bagaimana tanggapan Anda?
Dilematis.. Di satu sisi pembangunan mal, industri, ruko
dan sebagainya itu berkontribusi posistif terhadap penciptaan lapangan kerja dan peningkatan ekonomi masyarakat.
Dan tidak dipungkiri bahwa sarana tersebut menjadi sarana
penunjang kebutuhan masyarakat. Sementara keberadaan
RTH juga sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang
nyaman dan asri.
Yang bisa dilakukan adalah membuat regulasi yang kuat
agar ada keseimbangan antara pertumbuhan pembangunan
infrastruktur kota dengan pertumbuhan RTH.
Pembangunan Kota Bekasi yang tidak terkonsep juga
dituding sebagai salah satu penyebab munculnya masalahmasalah perkotaan seperti banjir, kemacetan, pencemaran
lingkungan, perkampungan kumuh, kriminalitas dan lainnya. Bagaimana Anda menjelaskan hal ini?
Seperti dikemukakan di atas, timpangnya laju pertumbuhan pebangunan yang dilaksanakan swasta dan masyarakat
tidak seimbang dengan kemampuan pemerintah menyediakan infrastruktur kota penunjangnya. Sehingga ini menyebabkan terlampauinya daya dukung infrastruktur yang ada
seperti jalan dan saluran,oleh kebutuhan yang ditimbulkan
pembanguann yang ada. Kita hampir tidak pernah membangun jalan baru atau membuat saluran drainase baru. Paling
memperbaiki dan meningkatkan kualitasnya. Sementara
kapasitasnya kan tetap. Sehingga penambahan kebutuhan
yang diakibatkan pembangun bangunan-bangunan tadi belum bisa diantisipasi.

100 Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

Selama ini banyak keluhan dari masyarakat terkait pengurusan perizinan mendirikan bangunan. Bisa dijelaskan
alur pembuatan perizinan, biaya dan kemudahan yang ditawarkan Pemkot Bekasi?
Perizinan harusnya menjadi alat pengendali pemanfaatan
ruang. Sebelum suatu izin dikeluarkan sebaiknya dilakukan
kajian yang komprehensif untuk setiap dampak ke depan.
Masyarakat umumnya menilai pengurusan izin yang baik itu
yang cepat, mudah dan murah.
Kalau suatu pengurusan izin itu lama, saya yakin karena
ada persyaratan yang belum dipenuhi atau ada hal yang perlu
dikaji lebih dalam dan memerlukan waktu lebih lama. Atau
perlu ada pengetesan dan pengukuran lain. Misal kekuatan
daya dukung tanah untuk IMB (Izin Mendirikan Bangunan)
yang kompleks . Maka itu tentu akan ada biaya lain untuk halhal tadi. Dan ini akan menjadi terasa lebih mahal.
Jadi untuk izin yang semacam apa yang bisa dilakukan
secara cepat dan mana yang bisa lebih lama tentu sangat
bervariasi. Tapi tujuannya adalah untuk kebaikan bersama.
Tapi kalau ada perizinan yang bisa dilakukan secara sederhana namun dibuat lama tentu wajar untuk dikeluhkan. Secara
umum memang di BBPT telah membuat SOP lama pengurusan perijinan selama 12 hari kerja.
Apa strategi Pemkot Bekasi mengakomodir aspirasi masyarakat dalam pembangunan kota dan sinergitas dengan
sektor swasta? Bisa dijelaskan polanya kerjasamanya seperti apa?
Pemerintah Kota Bekasi telah memiliki dokumen rencana pembangunan jangka panjang, jangka menengah
dan tahunan. Semua dilakukan dengan memberikan peluang kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi. Dalam
perencanaan ada kesempatan Musrenbang. Pada saat
implementasi kita bisa melihat dokumen perencanaan secara terbuka apa yang bisa dilaksanakan yang sesuai dengan rencana pembangunan yang ada. Jadi semua aspirasi
masyarakat itu diberikan peluang,asal sesuai jadwal waktu
dan mekanisme yang ada.
Proyek apa yang sudah dikerjakan di Kota Bekasi dengan pola kerjasama sektor swasta?
Ada banyak proyek yang dilaksanakan secara kerja sama
dengan masyarakat dan swasta. Seperti revitaliasi pasar, Flyover Noer Alie Summarecon, program P3BK, Sanima (pembangunan sarana sanitasi) dan banyak lainnya.
Menurut Bapak apa yang masih perlu dibenahi dari
Kota Bekasi? Dan apa harapan Anda ke depan?
Banyak regulasi yang harus disesuaikan dengan perkembangan dan pertumbuhan kota. Memberikan peran yang
lebih banyak kepada swata dan masyarakat dalam pembangunan.

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014 101

Catatan Redaksi

Sampah
Ruang Publik
Oleh: Denny Bratha

i Yogyakarta ada sekumpulan orang yang menamakan diri Komunitas Reresik Sampah
Visual. Digawangi Sumbo Tinarbuko, Dosen Komunikasi Visual ISI Yogyakarta, komunitas ini rajin membersihkan sampah visual di ruang publik.
Sampah visual dalam persfektif komunitas ini adalah aktivitas pemasangan iklan komersil,
sosial dan politik secara serampangan. Sampah visual ini menjarah trotoar, taman kota, jembatan, tembok, pagar, halte bus, dinding flyover, tiang lampu penerangan jalan, tiang rambu
lalu-lintas, tiang listrik, tiang telpon dan sebagainya. Batang pohon yang berjajar teduh di sepanjang jalan pun dihajar secara anarkis menggunakan paku.
Kegelisahan para relawan Komunitas Reresik Sampah Visual harusnya juga muncul di Bekasi.
Kondisi yang nyaris sama mudah kita saksikan di area-area milik publik. Ruang publik dikuasai
merk dagang, caleg dan partai politik.
Sejauh ini promosi dan kampanye melalui media luar ruang masih dianggap paling efektif oleh
pelaku bisnis komersil, caleg dan partai politik. Pemasangan spanduk, umbul-umbul, banner, baliho
dan stiker di ruang publik dinilai mampu memprosikan citra dan memengaruhi warga.
Tengoklah bagaimana sampah visual khususnya sampah visual politikdikemas sedemikian rupa untuk menjerat calon pemilih: dilengkapi foto dengan senyum paling manis dan sederet
janji politik. Bahkan ruang publik menjadi wilayah yang diperebutkan setiap caleg dan parpol.
Mereka berebut mematok tempat strategis. Berlomba ukuran dan jumlah. Tak mengherankan
jika titik strategis nampak penuh sesak sampah politik.
Alih-alih memengaruhi pemilih yang terjadi justru sebaliknya. Masyarakat terganggu dengan
sampah visual tersebut. Gaya kampanye macam ini akhirnya malah cenderung menjatuhkan
martabat, citra dan nama baik caleg maupun partai politik sendiri.
Bagaimana mungkin para calon wakil rakyat tersebut mampu memperjuangkan dan melindungi rakyatnya jika tempat yang harusnya bisa dinikmati rakyat dirusak sampah visual mereka.
Bagaimana mungkin rakyat akan memilih calon yang hanya bisa mengotori ruang publik dengan
sampah dan cuma bisa mesem-mesem di gambar. Padahal rakyat butuh calon pemimpin yang
mau melebur dan bergerak bersama.
Mungkin para caleg dan tim suksesnya perlu melakukan terobosan baru. Memikirkan kembali
kampanye yang mengedepankan aspek edukasi politik dengan menampilkan iklan yang komunikatif,
nyeni, berbudaya dan merakyat. Aturan mengenai pemasangan alat peraga ini harus dipatuhi benarbenar. Alangkah lebih baik jika tidak menggunakan gaya kampanye yang merusak itu.
Gerakan Komunitas Reresik Sampah Visual di Yogyakarta sebenarnya adalah jawaban permasalahan ruang publik hari ini. Ketika para pelaku politik tidak lagi menghargai publiksedangkan pemerintah kurang tenaga membersihkan sampah merekamaka saatnya warga turun
tangan bersih-bersih sampah visual yang sudah mengotori ruang kota.
Ruang publik adalah milik publik. Tidak boleh dikuasai segelintir kelompok yang memiliki
kepentingan politis maupun ekonomis. Ruang publik harus bebas dari intervensi jenis apa pun
dan menjamin kemerdekaan setiap orang.(berbagai sumber)***

102 Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014

Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014 103

Anda mungkin juga menyukai