Dermatitis Atopik
Dermatitis Atopik
DERMATITIS ATOPIK
1.1 DEFINISI
Dermatitis atopik adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,
disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak,
sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi
pada keluarga atau penderita (dermatitis atopi, rhinitis alergika, asma bronkhiale,
dan konjungtivitis alergika).
Kata atopi pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah
yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai
kepekaan dalam keluarganya. Misalnya : asma bronchial, rhinitis alergika,
dermatitis atopi, dan konjungtivitis alergika1.
1.2 SINONIM
Banyak istilah dermatitis atopik lain yang digunakan, misalnya : ekzema
konstitusional, fleksural eczema, disseminated neurodermatitis, prurigo basiler1.
1.3 EPIDEMIOLOGI
Oleh karena definisi secara klinis tidak ada yang tepat maka untuk
menginterpretasikan hasil penelitian epidemiologi harus berhati-hati. Berbagai
penelitian menyatakan bahwa prevalensi D.A makin meningkat sehingga
merupakan masalah kesehatan besar. Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia
dan Negara industri lain, prevalensi D.A pada anak mencapai 10-20%, sedangkan
pada kira-kira 1-3 %. Di negara agraris, misalnya Cina,Eropa Timur, Asia Tengah,
prevalensi D.A jauh lebih rendah. Wanita lebih banyak menderita D.A daripada
pria dengan rasio 1,3:1. Berbagai faktor lingkungan berpengaruh terhadap
prevalensi D.A misalnya jumlah keluarga kecil,pendidikan ibu makin tinggi,
penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan meningkatnya
penggunakan antibiotik, berpotensi menaikan jumlah penderita D.A.
Berbagai kemokin ditemukan pada lesi kulit D.A. yang dapat menarik selsel, misalnya eosinofil, limfosit T, dan monosit, masuk ke dalam kulit.
Pada D.A. kronis, ekspresi IL-5 akan mempertahankan eosinofil hidup
lebih lama dan menggiatkan fungsinya, sedangkan peningkatan ekspresi GM-SCF
mempertahankan hidup dan fungsi monosit, sel Langerhans, dan eosinofil.
Produksi TNF-a dan IFN-y pada D.A. memicu kronisitas dan keparahan
dermatitis. Stimulasi TNF-a dan IFN-y pada keritinosit epidermal akan
meningkatkan jumlah RANTES (regulated on activation, normal T cell expressed
and secreted). Garukan kronis dapat menginduksi terlepasnya TNF-a dan sitokin
proinflamasi yang lain dari epidermis, sehingga mempercepat timbulnya
peradangan di kulit D.A.
IL-4 meningkatkan perkembangan TH2, sedangkan IL-12 yang diproduksi
oleh makrofag, sel berdendrit,atau eosinofil, menginduksi TH1. Subunit reseptor
IL-12RP2 diekpresi pada TH1 tidak pada TH2. Sedangkan ekspresi IL-12RP2
dihambat oleh IL-4, tetapi sebaliknya diinduksi oleh IL-12, IFN-a, dan IFN-y. IL4 juga menghambat produksi IFN-y dan menekan deferensiasi sel TH1. Sel mas
dan basofil juga merupakan sumber sitokin tipe TH2, sehingga ekspresi IL-4 oleh
sel T, sel mas/basofilpada D.A. akan merangsang perkembangan sel TH2.
Sel mononuklear penderita D.A. meningkatkan aktivitas enzim cyclicadenosine monophosphate (CAMP) phosphodiesterase (PDE), yang akan
meningkatkan sintesis IgE oleh sel B dan produksi IL-4 oleh sel T. Produksi IgE
dan IL-4 secara in vitro dapat diturunkan oleh penghambat PDE (PDEinhibitor).
Sekresi IL-10 dan PGE2 dari monosit juga meningkat; kedua produk ini
menghambat IFN-y yang dihasilkan oleh sel T.
Sel Langerhans (SL) pada kulit penderita D.A. adalah abnormal, dapat
secara langsung menstimulasi sel TH tanpa adanya antigen; secara selektif dapat
mengaktivasi sel TH menjadi fenotip TH2. SL yang mengandung IgE
meningkat;sel ini mampu mempresentasikan alergen tungau debu rumah (D.
pteronyssinus) kepada sel T. SL yang mengandung IgE setelah menangkap
allergen akan mengaktifkan sel TH2 memori di kulit atopi, juga bermigrasi ke
kelenjar getah bening setempat untuk menstimulasi sel T nai've sehingga jumlah
sel TH2 bertambah banyak.
SL pada kulit normal mempunyai tiga macam reseptor untuk IgE, yaitu
FceRII, FceRII (CD23), dan IgE-binding protein. Reseptor FceRI mempunyai
afinitas kuat untuk mengikat IgE. IgE terikat pada SL melalui reseptor spesifik
FceRI pada permukaan SL. Pada orang normal dan penderita alergi saluran napas
kadar ekpresi FceRI di permukaan SLnya rendah, sedangkan di lesi ekzematosa
D.A. tinggi. Ada korelasi antara ekspresi permukaan FceRI dan kadar IgE dalam
serum. Selain pada SL, reseptor IgE dengan afinitas tinggi (FceRI) juga
ditemukan pada permukaan sel mas dan monosit.
Kadar seramid pada kulit penderita D.A. berkurang sehingga kehilangan
air (transepidermal water loss=TEWL) melalui epidermis dipermudah. Hal ini
mempercepat absorbsi antigen ke dalam kulit. Sebagaimana diketahui bahwa
sensitisasi epikutan terhadap alergen menimbulkan respons TH2 yang lebih tinggi
daripada melalui sistemik atau jalan udara, maka kulit yang terganggu fungsi
sawarnya merupakan tempat yang sensitif1.
Respons Sistemik
Jumlah IFN-y yang dihasilkan oleh sel mononuklear darah tepi penderita
D.A. menurun, sedangkan konsentrasi IgE dalam serum meningkat. IFN-y
menghambat sintesis IgE, proliferasi sel TH2 dan ekspresi reseptor IL-4 pada sel
T. Sel T spesifik untuk alergen di darah tepi meningkat dan memproduksi IL-4,
IL-5, IL-13 dan sedikit IFN-y. IL-4 dan IL-13 merupakan sitokin yang
menginduksi transkripsi pada ekson C sehingga terjadi pembentukan IgE. IL-4
dan IL-13 juga menginduksi ekspresi molekul adesi permukaan pembuluh darah,
misalnya VCAM-1 (vascular cell adhesion molecular-1), infiltrasi eosinofil, dan
menurunkan fungsi sel TH1.
Sel monosit di darah tepi penderita D.A. diaktivasi, mempunyai insidens
apoptosis spontan rendah, tidak responsif terhadap induksi apoptosis IL-4.
Hambatan apoptosis ini disebabkan oleh meningkatnya produksi GM-CSF oleh
monosit yang beredar pada D.A.
meningkat.
Pelepasan histamin dari basofil meningkat.
Respons hipersensitivitas lambat terganggu.
Eosinofilia.
Sekresi IL-4, IL-5, dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat.
Sekresi IFN-y oleh sel TH1 menurun.
Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat.
Kadar CAMP-phosphodiesterase monosit meningkat, disertai peningkatan IL10 dan PGE21.
2.
Sosioekonomi: lebih banyak ditemukam pada status sosial yang lebih tinggi
dibandingkan dengan status sosial yang lebih rendah. Hal tersebut dapat
diterangkan dengan teori higiene.
3.
4.
Laktasi: makin lama mendapat air susu ibu makin kecil kemungkinan untuk
mendapat
dermatitis
atopik.
Hal
tersebut
perlu
dicermati
karena
6.
D.A. dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu: D.A. infantil (terjadi pada usia
2 bulan sampai 2 tahun; D.A. anak (2 sampai 10 tahun); dan D.A. pada remaja
dan dewasa1.
D.A. infantil (usia 2 bulan sampai 2 tahun)
D.A. paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan, biasanya
setelah usia 2 bulan. Lesi mulai di muka (dahi, pipi) berupa eritema, papulovesikel yang halus, karena gatal digosok, pecah, eksudatif, dan akhirnya terbentuk
krusta. Lesi kemudian meluas ke tempat lain yaitu ke skalp, leher, pergelangan
tangan, lengan dan tungkai. Bila anak mulai merangkak, lesi ditemukan di lutut.
Biasanya anak mulai menggaruk setelah berumur 2 bulan. Rasa gatal yang timbul
sangat mengganggu sehingga anak gelisah, susah tidur, dan sering menangis. Pada
umumnya lesi D.A. infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat
mengalami infeksi. Lesi dapat meluas generalisata bahkan, walaupun jarang,
dapat terjadi eritroderma. Lambat laun lesi menjadi kronis dan residif.
Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi. Pada sebagian besar
penderita sembuh setelah usia 2 tahun, mungkin juga sebelumnya, sebagian lagi
berlanjut menjadi bentuk anak. Pada saat itu penderita tidak lagi mengalami
eksaserbasi, bila makan makanan yang sebelumnya menyebabkan kambuh
penyakitnya.
Larangan makan atau minuman yang mengandung susu sapi pada bayi
masih ada silang pendapat. Ada yang melaporkan bahwa kelainan secara dramatis
membaik setelah makanan tersebut dihentikan, sebaliknya ada pula yang
mendapatkan tidak ada perbedaan1.
D.A. pada anak (usia 2 sampai 10 tahun)
Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantil, atau timbul sendiri (de novo).
Lesi lebih kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul, likenifikasi, dan
sedikit skuama. Letak kelainan kulit di lipat siku, lipat lutut, pergelangan tangan
bagian fleksor, kelopak mata, leher, jarang di muka. Rasa gatal menyebabkan
penderita sering menggaruk; dapat terjadi erosi, likenifikasi, mungkin juga
biasa timbul pada wanita muda setelah melahirkan anak pertama, ketika sering
terpajan sabun dan air sebagai pemicunya.
Berbagai kelainan dapat menyertai DA, misalnya: hipedinearis palmaris,
xerosis kutis, iktiosis, pomfoliks, pitiriasis alba, keratosis pilaris, lipatan Dennie
Morgan, penipisan alis bagian luar (tanda Hertoghe), keilitis, katarak subkapsular
anterior, lidah geografik, liken spinulosus, dan keratokonus (bentuk kornea yang
abnormal). Selain itu penderita D.A. cenderung mudah mengalami kontak
urtikaria, reaksi anafilaksis terhadap obat, gigitan atau sengatan serangga1.
1.7 DIAGNOSIS
Diagnosis D.A. didasarkan kriteria yang disusun oleh Hanifin dan Rajka
yang diperbaiki oleh kelompok kerja dari Inggris yang dikoordinasi oleh Williams
(1994)1.
Kriteria mayor
-
Pruritus
Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak
Dermatitis di fleksura pada dewasa
Dermatitis kronis atau residif
Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya
Kriteria minor
Xerosis
Infeksi kulit (khususnya oleh S.aureus dan virus herpes simpleks)
Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki
lktiosis/hipediniar palmads/keratosis pilaris
Pitiriasis alba
Dermatitis di papila mame
White dermographism dan delayed blanch response
Keilitis
Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
Konjungtivitis berulang
Keratokonus
Katarak subkapsular anterior
Orbita menjadi gelap
Muka pucat atau eritem
Gatal bila berkeringat
10
Diagnosis D.A. harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor.
Untuk bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu:
Tiga kriteria mayor berupa:
-
Harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau dari laporan orang
11
12
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Tidak ada hasil laboratorium yang spesifik yang dapat dipergunakan untuk
menegakkan diagnosis dermatitis atopik. Hasil yang dapat ditemukan pada
dermatitis atopik, misalnya kenaikkan kadar IgE dalam serum, mengurangnya
jumlah sel-T ( terutama T-supresor) dan imunitas seluler, jumlah eosinofil
dalah darah relatif meningkat3.
2. Dermatografisme putih
Penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan tiga respon yakni berturutturut akan terlihat: Garis merah ditempat penggoresan selama 15 detik, warna
merah disekitarnya selama beberapa detik, edema timbul setelah beberapa
menit. Penggoresan pada penderita yang atopi akan bereaksi belainan. Garis
merah tidak disusul warna kemerahan, tetapi kepucatan selama 2 detik sampai
5 menit, sedangkan edema tidak timbul. Keadaan ini disebut dermatografisme
putih3.
Gambaran klinis
13
Seboroik dermatitis
Psoriasis
Neurodermatitis
Contact dermatitis
Skabies
Sistemik
Dermatitis herpetiforme
Dermatofita
Immmunodefisiensi
disorder
14
1.9 PENATALAKSANAAN
Kulit penderita D.A. cenderung lebih rentan terhadap bahan iritan, oleh
karena itu penting untuk mengidentifikasi kemudian menyingkirkan faktor yang
memperberat dan memicu siklus gatal-garuk, misalnya sabun dan deterjen;
kontak dengan bahan kimia, pakaian kasar, pajanan terhadap panas atau dingin
yang ekstrim. Bila memakai sabun hendaknya yang berdaya larut minimal
terhadap lemak dan mempunyai pH netral. Pakaian baru sebaiknya dicuci terlebih
dahulu sebelum dipakai untuk membersihkan formaldehid atau bahan kimia
tambahan. Mencuci pakaian dengan deterjen harus dibilas dengan baik, sebab sisa
deterjen dapat bersifat iritan. Kalau selesai berenang harus segera mandi untuk
membilas klorin yang biasanya digunakan pada kolam renang. Stres psikik juga
dapat menyebabkan eksaserbasi DA.
Acapkali serangan dermatitis pada bayi dan anak dipicu oleh iritasi dari
luar, misalnya terlalu sering dimandikan; menggosok terlalu kuat; pakaian terlalu
tebal, ketat atau kotor; kebersihan kurang terutama di daerah popok; infeksi lokal;
iritasi oleh kencing atau feses; bahkan juga medicated baby oil. Pada bayi penting
diperhatikan kebersihan daerah bokong dan genitalia; popok segera diganti, bila
basah atau kotor. Upaya pertama adalah melindungi daerah yang terkena terhadap
garukan agar tidak memperparah penyakitnya. Usahakan tidak memakai pakaian
yang bersifat iritan (misalnya wol, atau sintetik), bahan katun lebih baik. Kulit
anak/bayi dijaga tetap tertutup pakaian untuk menghindari pajanan iritan atau
trauma garukan.
Mandi dengan pembersih yang mengandung pelembab; hindari pembersih
antibakterial karena berisiko menginduksi resistensi1.
PENGOBATAN TOPIKAL
Hidrasi kulit. Kulit penderita D.A. kering dan fungsi sawarnya berkurang,
mudah retak sehingga mempermudah masuknya mikroorganisme patogen, bahan
iritan dan alergen. Pada kulit yang demikian perlu diberikan pelembab, misalnya
krim hidrofilik urea 10%; dapat pula ditambahkan hidrokortison 1% di dalamnya.
Bila memakai pelembab yang mengandung asam laktat, konsentrasinya jangan
15
lebih dari 5%, karena dapat mengiritasi bila dermatitisnya masih aktif. Setelah
mandi kulit dilap, kemudian memakai emolien agar kulit tetap lembab. Emolien
dipakai beberapa kali sehari, karena lama kerja maksimum 6 jam.
Kortikosteroid topikal. Pengobatan D.A. dengan kortikosteroid topikal
adalah yang paling sering digunakan sebagai anti-inflamasi lesi kulit. Namun
demikian harus waspada karena dapat terjadi efek samping yang tidak diinginkan.
Pada bayi digunakan salap steroid berpotensi rendah, misalnya
hidrokortison 1 %-2.5%. Pada anak dan dewasa dipakai steroid berpotensi
menengah, misalnya triamsinolon, kecuali pada muka digunakan steroid
berpotensi lebih rendah. Kortikosteroid berpotensi rendah juga dipakai di daerah
genitalia dan intertriginosa, jangan digunakan yang berpotensi kuat, misalnya
fluorinated glucocorticoid. Bila aktivitas penyakit telah terkontrol, dipakai secara
intermiten, umumnya 2 kali seminggu, untuk menjaga agar tidak cepat kambuh;
sebaiknya dengan kortikosteroid yang potensinya paling rendah.
Pada lesi akut yang basah dikompres dahulu sebelum digunakan steroid,
misalnya dengan larutan Burowi, atau dengan larutan permanganas kalikus
1:50001.
Imunomodulator topikal
Takrolimus. Takrolimus (FK-506), suatu penghambat calcineurin, dapat
diberikan dalam bentuk salap 0,03% untuk anak usia 2-15 tahun; untuk dewasa
0,03% dan 0,1%. Takrolimus menghambat aktivasi sel yang terlibat dalam D.A.
yaitu: sel Langerhans, sel T, sel mas, dan keratinosit. Pada pengobatan jangka
panjang dengan salep takrolimus, koloni S. aureus menurun. Tidak ditemukan
efek samping kecuali rasa seperti terbakar setempat. Tidak menyebabkan atrofi
kulit seperti pada pemakaian kortikosteroid; dapat digunakan di muka dan kelopak
mata.
Pimekrolimus. Dikenal juga dengan ASM 81, suatu senyawa askomisin
yaitu imunomodulator golongan makrolaktam, yang pertama ditemukan dari hasil
fermentasi Streptomyces hygroscopicus var. ascomyceticus. Cara kerja sangat
mirip siklosporin dan takrolimus yang dihasilkan dari Streptomyces tsuku-baensis,
16
walaupun ketiganya berbeda dalam struktur kimianya, yaitu bekerja sebagai prodrug, yang baru menjadi aktif bila terikat pada reseptor sitosolik imunofilin.
Reseptor imunofilin untuk askomisin ialah makrofilin-12. Ikatan askomisin pada
makrofilin-12 dalam sitoplasma sel T, akan menghambat calcineurin (suatu
molekul yang dibutuhkan untuk inisiasi transkripsi gen sitokin), sehingga
produksi sitokin TH1 ( IFN-y dan IL-2) dan TH2 ( IL-4 dan IL-10) dihambat.
Askomisin juga menghambat aktivasi sel mas. Askomisin menghasilkan efek
imunomodulator lebih selektif dalam menghambat fase elisitasi dermatitis kontak
alergik, tetapi respons imun primer tidak terganggu bila diberikan secara sistemik,
tidak seperti takrolimus dan siklosporin.
Derivat askomisin yang digunakan ialah krim SDZ ASM 981 konsentrasi
1%, mempunyai efektivitas sama dengan krim klobetasol-17- propionat 0.05%
(steroid superpoten), tidak menyebabkan atrofi kulit (setidaknya selama 4
minggu), aman pada anak dan dapat dipakai pada kulit sensitif misalnya pada
muka dan lipatan. Cara pemakaian dioleskan 2 kali sehari.
Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari
2 tahun. Penderita yang diobati dengan pimekrolimus dan takrolimus dinasehati
untuk memakai pelindung matahari karena ada dugaan bahwa kedua obat tersebut
berpotensi menimbulkan kanker kulit.
Preparat ter. Preparat ter mempunyai efek antipruritus dan anti-inflamasi
pada kulit. Dipakai pada lesi kronis, jangan pada lesi akut. Sediaan dalam bentuk
salap hidrofilik, misainya yang mengandung likuor karbonis detergen 5% sampai
10 %, atau crude coal tar 1 % sampai 5%.
Antihistamin. Pengobatan D.A. dengan antihistamin topikal tidak
dianjurkan karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Dilaporkan
bahwa aplikasi topikal krim doksepin 5% dalam jangka pendek (satu minggu),
dapat mengurangi gatal tanpa terjadi sensitisasi. Tetapi perlu diperhatikan, bila
dipakai pada area yang luas akan menimbulkan efek samping sedatif1.
17
PENGOBATAN SISTEMIK
Kortikosteroid.
Kortikosteroid
sistemik
hanya
digunakan
untuk
18
kambuh lagi. Efek samping yang mungkin timbal yaitu peningkatan kreatinin
dalam serum, atau bahkan terjadi penurunan fungsi ginjal dan hipertensi1.
TERAPI SINAR (phototherapy)
Untuk
D.A.
yang
berat
dan
luas
dapat
digunakan
PUVA
19
Pelembab, edukasi
Terapi pemeliharaan
Intervensi psikologis
Untuk penyakit persisen dan atau sering kambuh
Pada tanda dini rekurensi gunakan penghambat kalsineurin topikal untuk mencegah progresivitas penyakit Pimekrolim
antihistamin
Penggunaan penghambat kalsineurin topikal jangka waktu lama untuk pemeliharaan
kortikosteroid topikal secara intermiten
20
KOMPLIKASI
Infeksi sekunder5.
PROGNOSIS
Sulit meramalkan prognosis D.A. pada seseorang. Prognosis lebih buruk
bila kedua orang tuanya menderita DA. Ada kecenderungan perbaikan spontan
pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada masa remaja. Sebagian kasus
menetap pada usia di atas 30 tahun. Penyembuhan spontan D.A. yang diderita
sejak bayi pernah dilaporkan terjadi setelah umur 5 tahun sebesar 40-60%,
terutama kalau penyakitnya ringan. Sebelumnya juga ada yang melaporkan bahwa
84% D.A. anak berlangsung sampai masa remaja. Ada pula laporan, D.A. pada
anak yang diikuti sejak bayi hingga remaja, 20% menghilang, dan 65 % berkurang
gejalanya. Lebih dari separo D.A. remaja yang telah diobati kambuh kembali
setelah dewasa.
Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang balk D.A. yaitu:
-
asma bronkial atau hay fever. Penderita atopi mempunyai risiko menderita
dermatitis kontak iritan akibat kerja di tangan1.
21