Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A.

PENGERTIAN HADITS DAN ILMU HADITS

1.

Pengertian Hadits
Secara etimologis, hadits ialah al-jadid (yang baru) atau al-khabar (berita). Secara

terminologis, hadits berarti segala sesuatu yang diberitakan oleh Nabi Muhammad saw. baik
berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat dan hal-ihwal Nabi.

2.

Pengertian Ilmu Hadits


Ilmu hadits ialah ilmu tentag hadits. Ilmu ialah kumpulan pengetahuan yang tersusun

secara sistematis, dalam bidang atau disiplin teetentu, serta memiliki objek kajian yang jelas.
Ilmu musthalah menurut bahasa yaitu sesuatu yang telah disetujui. Menurut istilah yaitu ilmu
untuk mengetahui tentang apa yang telah dimufakati oleh para ahli hadits dan telah lazim
dpiergunakan dalam pembahasan diantara mereka.
Ada dua pembagian ilmu Hadits atau ilmu musthalah Hadits dalam arti luas (1)
Pembagiannya pada ilmu Hadits dan ilmu ushul al-Hadits, (2) pembagiannya pada ilmu
Riwayah dan dirayah.
Ilmu hadits riwayah membahas tentang proses periwayatan Hadits (bersifat deskriptif) ilmu
Hadits dirayah membicarakan kaidah tentang keadaan matan yang diriwayatkan, al-ihwal
rawi dan yang tercatat pada sanad

B.

URGENSI DAN RUANG LINGKUP STUDI HADITS


1.

Pentingnya mempelajari hadits dan ilmu hadits.


Hadits (sunnah) merupakan sumber bagi ajaran Islam. Karena ia merupakan salah satu

pokok syariat, yakni sebagai sumber syariat Islam yang kedua setelah al-quran.
Tadwin hadits sebagai proses periwayatan telah selesai pada abad III hijriah. Pentingnya
menggunakan kaidah atau criteria yang digunakan para Muhaditsin dalam menyeleksi Hadits.
Kaidah tersebut tersusun secara berkemabang pada ilmu Hadits dirayah, baik yang berkaitan
dengan rawi, sanad, maupun matan. Karena dengan memahami teori atau kaidah tersebut,

bukan saja kita tahu bagaimana para Muhadits dari kalangan mutaqaddimin menyeleksi
Hadits, dan siapapun dapat melanjutkan pengkajian kualitas Hadits dengan menggunakan
kaidah-kaidah yang tersusun dan petunjuk dari hasil karya muhaditsin terdahulu.

2.

Ruang lingkup pembahasan Hadits dan Ilmu Hadits


Hadits adalah perkataan (aqwal), perbuatan (afal), pernyataan (taqrir) dan sifat,

keadaan, himmah dan lain-lain yang diidhafatkan kepada Nabi SAW. Salah satu lingkup atau
objek pembahasan Hadits adalah al-ihwal hadits dalam criteria qauliyah, filiyah, taqririyah,
kauniyah dan hamiyah Nabi itu sendiri.
Pada periwayatan Hadits harus terdapat tiga unsur yakni:
1) Rawi ialah subjek periwayatan, rawi atau yang meriwayatkan Hadits.
2) Sanad atau thariq ialah jalan menghubungkan matan Hadits kepada Nabi Muhammad
SAW. Sanad ialah sandaran hadits, yakni referensi atau sumber yang memberitahukan
Hadits, yakni rangkaian para rawi keseluruhan yang meriwayatkan Hadits.
3) Matan adalah materi berita, yakni lafazh (teks) Haditsnya, berupa perkataan,
perbuatan atau taqrir, baik yang diidhafahkan kepada Nabi SAW, sahabat atau tabiin,
yang letaknya suatu Hadits pada penghujung sanad.

Ruang lingkup pembahasan mengenai Hadits harus juga sampai pada penelaahan mengenai
aspek-aspek dari materi isi kandungan tersebut. Adapun ruang lingkup pembahasan ilmu
Hadits atau ilmu musthalah Hadits pada garis besarnya meliputi ilmu Hadits Riwayah dan
ilmu Hadits Dirayah.
Manfaat mempelajari ilmu Hadits Riwayah ini ialah untuk menghindari adanya kemungkinan
salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Adapun obyek
ilmu Hadits Dirayah terutama ilmu musthalah yang khas, ialah meneliti kelakuan para
perawi, keadaan sanad dan keadaan marwi (matan)-nya.
Manfaat atau tujuan Ilmu Hadits ini adalah untuk menetapkan maqbul (dapat diterima) dan
mardud (ditolak)nya suatu hadits, dan selanjutnya yang maqbul untuk diamalkan, dan yang
mardud ditinggalkan.
Ruang lingkup ilmu Hadits ini yang dikaitkan dengan aspek rawi, matan dan sanad pada
Hadits, dari jenis-jenis ilmu Hadits yang banyak itu digolongkan kepada ilmu Hadits yang

berkaitan dengan rawi atau sanad, yang berkaitan dengan matan, dan yang berkaitan dengan
ketiganya (rawi, sanad, dan matan).
Cabang ilmu Hadits dari segi rawi dan sanad, antara lain: ilmu Rijal al-Hadits, ilmu Thahaqah
al-Ruwat, dan ilmu Jarh wa al-Tadil. Adapun cabang ilmu hadits dari segi matan, antara lain
ilmu gharib al-Hadits, ilmu Asbab Wurud al-Hadits, ilmu Nasikh mansukh, ilmu Talfiqal alhadits, ilmu fan al-mubhamat, dan ilmu tashhif wa al-tahrif.

BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS PRA-KODIFIKASI
A. Hadits pada Periode Pertama (Masa Rasulullah)
1. Masa Penyebaran Hadits
Rasulullah hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka bergaul secara
bebas dan mudah, tidak ada peraturan atau larangan yang memepersulit para sahabat untuk
bergaul dengan beliau. Segala perbuatan, ucapan, dan sifat Nabi bisa menjadi contoh yang
nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pada masa tersebut. Masyarakat menjadikan
nabi sebagai panutan dan pedoman dalam kehidupan mereka. Jika ada permasalahan baik
dalam Ibadah maupun dalam kehidupan duniawi, maka mereka akan bisa langsung bertanya
pada Nabi.
Kabilah-kabilah yang tinggal jauh di luar kota Madinah pun juga selalu berkonsultasi pada
Nabi dalam segala permasalahan mereka. Adakalanya mereka mengirim anggota mereka
untuk pergi mendatangi Nabi dan mempelajari hukum- hukum syariat agama. Dan ketika
mereka kembali ke kabilahnya, mereka segera menceritakan pelajaran (hadits Nabi) yang
baru mereka terima.
Selain itu, para pedagang dari kota Madinah juga sangat berperan dalam penyebaran hadits.
Setiap mereka pergi berdagang, sekaligus juga berdakwah untuk membagikan pengetahuan
yang mereka peroleh dari Nabi kepada orang-orang yang mereka temui.
Pada saat itu, penyebarluasan hadits sangat cepat. Hal tersebut berdasar perintah Rasulullah
pada para sahabat untuk menyebarkan apapun yang mereka ketahui dari beliau.
Karena boleh jadi, banyak orang yang menerima hadits (dari kamu) lebih memahami dari
pada (kamu sendiri) yang mendengar (langsung dariku). Perintah tersebut membawa
pengaruh yang sangat baik untuk menyebarkan hadits. Karena secara bertahap, seluruh
masyarakat muslim baik yang berada di Madinah maupun yang di luar Madinah akan segera
mengetahui hukumhukum agama yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Meskipun sebagian
dari mereka tidak memperoleh langsung dari Rasulullah, mereka akan memperoleh dari
saudarasaudara mereka yang mendengar langsung dari Rasulullah. Metode penyebaran
hadits tersebut berlanjut sampai Haji Wada dan wafatnya Rasulullah.

Faktor-faktor yang mendukung percepatan penyebaran hadits di masa Rasulullah :


a) Rasulullah sendiri rajin menyampaikan dakwahnya.
b) Karakter ajaran Islam sebagai ajaran baru telah membangkitkan semangat orang di
lingkungannya untuk selalu mempertanyakan kandungan ajaran agama ini,
selanjutnya secara otomatis tersebar ke orang lain secara berkesinambungan.
c) Peranan istri Rasulullah amat besar dalam penyiaran Islam, hadits termasuk di
dalamnya.

2. Penulisan Hadits dan Pelarangannya


Penyebaran hadits-hadits pada masa Rasulullah hanya disebarkan lewat mulut ke mulut
(secara lisan). Hal ini bukan hanya dikarenakan banyak sahabat yang tidak bisa menulis
hadits, tetapi juga karena Nabi melarang untuk menulis hadits. Beliau khawatir hadits akan
bercampur dengan ayat-ayat Al-Quran.
Menurut al-Baghdadi (w. 483 H), ada tiga buah hadits yang melarang penulisan hadits, yang
masing-masing diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri, Abu Hurairah, dan Zaid ib Tsabit.
Riwayatkanlah dari saya. Barangsiapa yang sengaja berbohong atas nama saya maka
bersiaplah (pada) tempatnya di neraka (HR. Muslim). Disini Nabi melarang para sahabat
menulis hadits, tetapi cukup dengan menghafalnya. Beliau membolehkan meriwayatkan
hadits dengan disertai ancaman bagi orang yang berbuat bohong. Dan hadits tersebut
merupakan satu satunya hadits yang shahih tentang larangan menulis hadits. Menurut Dr.
Muhammad Alawi al-Maliki, meskipun banyak hadits dan atsar yang semakna dengan hadits
larangan tersebut, semua hadits itu tidak lepas dari cacat yang menjadi pembicaraan di
kalangan para ahli hadits.
Adapun faktor-faktor utama dan terpenting yang menyebabkan Rasulullah melarang
penulisan dan pembukuan hadits adalah :
a) Khawatir terjadi kekaburan antara ayat-ayat al-Quran dan hadits Rasul bagi orangorang yang baru masuk Islam.
b) Takut berpegangan atau cenderung menulis hadits tanpa diucapkan atau ditelaah.
c) Khawatir orang-orang awam berpedoman pada hadits saja.
Nabi telah mengeluarkan izin menulis hadits secara khusus setelah peristiwa fathu Makkah.
Itupun hanya kepada sebagian sahabat yang sudah terpercaya. Dalam hadits yang
diriwayatkan Abu Hurairah disebutkan, bahwa ketika Rasulullah membuka kota Makkah,
beliau berpidato di depan orang banyak dan ketika itu ada seorang lelaki dari Yaman bernama

Abu Syah meminta agar dituliskan isi pidato tersebut untuknya. Kemudian Nabi
memerintahkan sahabat agar menuliskan untuk Abu Syah.

B. Hadits pada Periode Kedua (Masa Khulafa al-Rasyidin)


1. Masa Pemerintahan Abu Bakar dan Umar ibn Khattab
Setelah Rasulullah wafat, banyak sahabat yang berpindah ke kota-kota di luar Madinah.
Sehingga memudahkan untuk percepatan penyebaran hadits. Namun, dengan semakin
mudahnya para sahabat meriwayatkan hadits dirasa cukup membahayakan bagi otentisitas
hadits tersebut. Maka Khalifah Abu Bakar menerapkan peraturan yang membatasi
periwayatan hadits. Begitu juga dengan Khalifah Umar ibn al-Khattab. Dengan demikian
periode tersebut disebut dengan Masa Pembatasan Periwayatan Hadits. Pembatasan tersebut
dimaksudkan agar tidak banyak dari sahabat yang mempermudah penggunaan nama
Rasulullah dalam berbagai urusan, meskipun jujur dan dalam permasalahan yang umum.
Namun pembatasan tersebut tidak berarti bahwa kedua khalifah tersebut anti-periwayatan,
hanya saja beliau sangat selektif terhadap periwayatan hadits. Segala periwayatan yang
mengatasnamakan Rasulullah harus dengan mendatangkan saksi, seperti dalam permasalahan
tentang waris yang diriwayatkan oleh Imam Malik.
Abu Hurairah, sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits, pernah ditanya oleh Abu
Salamah, apakah ia banyak meriwayatkan hadits di masa Umar, lalu menjawab, Sekiranya
aku meriwayatkan hadits di masa Umar seperti aku meriwayatkannya kepadamu
(memperbanyaknya), niscaya Umar akan mencambukku dengan cambuknya.
Riwayat Abu Hurairah tersebut menunjukkan ketegasan Khalifah Umar dalam menerapkan
peraturan pembatasan riwayat hadits pada masa pemerintahannya. Namun di sisi lain, Umar
ibn Khattab bukanlah orang yang anti periwayatan hadits. Umar mengutus para ulama untuk
menyebarkan al-Quran dan hadits. Dalam sebuah riwayat, Umar berkata, Saya tidak
mengangkat penguasa daerah untuk memaki orang, memukul, apalagi merampas harta kalian.
Tetapi saya mengangkat mereka untuk mengajarkan al-Quran dan hadits kepada kamu
semua.

2. Masa Pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib
Secara umum, kebijakan pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib tentang
periwayatan tidak berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khlaifah sebelumnya.
Namun, langkah yang diterapkan tidaklah setegas langkah khalifah Umar ibn al-Khattab.

Dalam sebuah kesempatan, Utsman meminta para sahabat agar tidak meriwayatkan hadits
yang tidak mereka dengar pada zaman Abu Bakar dan Umar. Namun pada dasarnya,
periwayatan Hadits pada masa pemerintahan ini lebih banyak daripada pemerintahn
sebelumnya.
Keleluasaan periwayatan hadits tersebut juga disebabkan oleh karakteristik pribadi
Utsman yang lebih lunak jika dibandingkan dengan Umar Selain itu, wilayah kekuasaan
Islam yang semakin luas juga menyulitkan pemerintah untuk mengontrol pembatasan riwayat
secara maksimal.
Sedangkan pada masa Ali ibn Abi Thalib, situasi pemerintahan Islam telah berbeda
dengan masa-masa sebelumnya. Masa itu merupakan masa krisis dan fitnah dalam
masyarakat. Terjadinya peperangan antar beberapa kelompok kepentingan politik juga
mewarnai pemerintahan Ali. Secara tidak langsung, hal itu membawa dampak negatif dalam
periwayatan hadits. Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu melakukan
pemalsuan hadits. Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadits dapat dipercaya
riwayatnya.

3. Situasi Periwayatan Hadits


Dalam perkembangannya, periwayatan hadits yang dilakukan para sahabat berciri pada 2
tipologi periwayatan.
a. Dengan menggunakan lafal haduts asli, yaitu menurut lafal yang diterima dari
Rasulullah.
b. Hanya maknanya saja. Karena mereka sulit menghafal lafal redaksi hadits persis
dengan yang disabdakan Nabi.
Pada masa pembatasan periwayatan, para sahabat hanya meriwayatkan hadits jika ada
permasalahan hukum yang mendesak. Mereka tidak meriwayatkan hadits setiap saat, seperti
dalam khutbah. Sedangkan pada masa pembanyakan periwayatan, banyak dari sahabat yang
dengan sengaja menyebarkan hadits. Namun tetap dengan dalil dan saksi yang kuat. Bahkan
jika diperlukan, mereka rela melakukan perjalanan jauh hanya untuk mencari kebenaran
hadits yan diriwayatkannya.

C. Hadits pada Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil Tabiin Besar)


1. Masa Penyebarluasan Hadits
Sesudah masa Khulafa al-Rasyidin, timbullah usaha yang lebih sungguh untuk mencari
dan meriwayatkan hadits. Bahkan tatacara periwayatan hadits pun sudah dibakukan.
Pembakuan tatacara periwayatan hadits ini berkaitan erat dengan upaya ulama untuk
menyelamatkan hadits dari usaha-usaha pemalsuan hadits. Kegiatan periwayatan hadits pada
masa itu lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada periode Khulafa alRasyidin. Kalangan Tabiin telah semakin banyak yang aktif meriwayatkan hadits.
Meskipun masih banyak periwayat hadits yang berhati-hati dalam meriwayatkan hadits,
kehati-hatian pada masa itu sudah bukan lagi menjadi ciri khas yang paling menonjol. Karena
meskipun pembakuan tatacara periwayatan telah ditetapkan, luasnya wilayah Islam dan
kepentingan golongan memicu munculnya hadits-hadits palsu. Sejak timbul fitnah pada akhir
masa Utsman r.a, umat Islam terpecah-pecah dan masing-masing lebih mengunggulkan
golongannya. Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada periode ketiga, yakni pada masa
kekhalifahan Daulah Umayyah.
Seorang ulama Syiah, Ibnu Abil Hadid menulis dalam kitab Nahyu al-Balaghah,
Ketahuilah bahwa asal mulanya timbul hadits yang mengutamakan pribadi-pribadi (hadits
palsu) adalah dari golongan Syiah sendiri. Perbuatan mereka itu ditandingi oleh golongan
Sunnah (Jumhur/Pemerintah) yang bodoh-bodoh. Mereka juga membuat hadits hadits untuk
mengimbangi hadits golongan Syiah itu
Karena banyaknya hadits palsu yang beredar di masyarakat dikeluarkan oleh golongan
Syiah, Imam Malik menamai kota Iraq (pusat kaum Syiah) sebagai Pabrik Hadits Palsu.

BAB III
KEDUDUKAN HADITS DALAM SYARIAT ISLAM
A. HADITS SEBAGAI DASAR TASYRII
Yang dimaksud dengan tasyri adalah menetapkan ketentuan syariat Islam atau hukum
Islam. Hukum Islam adalah firman syari yang berhubungan dengan perbuatan orang
mukallaf, yang mengandung tuntutan, membolehkan sesuatu atau menjadikan sesuatu sebagai
syarat adanya yang lain.
Syariat adalah hokum yang ditetapkan Allah SWT untuk para hamba-Nya dengan
perantaraan Rasulullah SAW supaya para hamba melaksanakan dasar iman, baik hokum itu
mengenai amaliah lahiriah, maupun yang mengenai akhlak dan aqidah yang bersifat batiniah.
Hukum Islam meliputi : Hukum taklifi, dan hokum Wadhi. Dasar syariat dan hokum Islam
dalam arti pegangan, sumber atau mashdar perumusan perundang-undangan Islam adalah AlQuran, as-sunnah, dan ijtihad.
Hasil ijtihad Nabi SAW terus berlaku sampai ada nash yang menasakhkannya. sudah layak
sekali kalau peraturan-peraturan dan inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas
bimbingan ilham, maupun ijtihad beliau, ditempatkan sebagai sumber hokum.

B. FUNGSI HADITS SEBAGAI BAYAN AL-QURAN


Umat Islam mengambil hokum-hukum Islam dari al-Quran yang diterima dari Rasul
SAW. Memang banyak hokum dari al-Quran yang tidak dapat dijalankan bila tidak diperoleh
syarh atau penjelas yang berpautan dengan syarat-syarat, rukun-rukunnya, batal-batalnya dan
lain-lain dari Hadits Rasulullah.
Hadits adalah sumber yang kedua bagi hokum-hukum Islam, menerangkan segala yang
dikehendaki al-Quran, sebagai penjelas, penyerah, penafsir, pengqayid, pentakhsis dan yang
mempertanggungkan kepada yang bukan zhahirnya.

Menurut ulama ahl al-Ray (Abu Hanifah), bayan Taqrir adalah keterangan yang didatangkan
hadits untuk menambah kokoh apa yang diterangkan oleh al-Quran. Sedangkan bayan tafsir
adalah menerangkan apa yang kira-kira tak mudah diketahui pengertiannya, yang mujmal dan
musytarakfihi.

C. PANDANGAN PROBLEMATIK TENTANG HADITS


Pada abad II Hijriyah, muncul faham yang menyimpang dari garis khittah yang telah
dilalui oleh shahabat dan tabiin, yakni ada yang tidak mau menerima Hadits sebagai hujjah
dalam menetapkan hokum, atau bila tidak dibantu oleh al-Quran, ada pula yang tidak
menerima Hadits Ahad.
Tentang hukum menulis Hadits dan pemalsuan Hadits telah dibahas walaupun ada Hadits
Maqbul yang melarang menulis Hadits, namun ada Hadits lain yang Maqbul yang justru
memerintahkan menulis Hadits.
adapun ikhtilaf tentang penerima hadits dan atau Hadits Ahad sebagai dasar Tasyri dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa ahli Hadits Ahad merupakan hujjah yang dapat
dijadikan landasan amal walaupun bersifat zhan.
2. Ahmad, al-Mahasibi, al-Karasibi, Abu Sulaiman dan Malik berpendapat bahwa hadits
Ahad bisa qathI dan wajib diamalkan.
3. Kaum Rafidhah, al-Qasimi, ibn Dawud dan sebagian kaum Mutazilah mengingkari
hadits Ahad sebagai hujjah.
Dari lingkungan eksternal umat Islam, terdapat problema pandangan negative berupa
kritikan. Kritik tentang hadits dilakukan dan datang orientalis, yakni sarjana-sarjana Barat
yang mengadakan kegiatan dengan mempelajari segala sesuatu mengenai negeri-negeri
Timur, tentang kebudayaan, keagamaan, dan peradaban dari bangsa-bangsa di negeri Timur
tersebut, termasuk didalamnya atau terutama mengenai Islam, pemikiran-pemikiran Islam
dan peradabannya.
Orientalis Ignace Goldziher dan banyak orientalis lain sebelumnya, termasuk yang
berpandangan negative tentang hadits sebagaimana telah diungkapkan pada uraian diatas.
Mereka berpendapat, bahwa Hadits itu buatan kaum Muslimin yang hidup pada abad II dan
III Hijriyah, yang dibenarkan berasal dari masa hidup nabi SAW hanyalah al-Quran.
alasannya adalah bahwa masyarakat Islam sebelum abad II Hijriyah belum memiliki

kemampuan memahami dogma keagamaan, memelihara ritus dan mengembangkan doktrin


yang kompleks.
Umat Islam mesti berhati-hati dalam memahami tulisan dan pendapat orientalis tentang
hadits, dan melakukan pengkajian secara seksama agar dapat menghindarkan kesalahan
dalam berdalil dan menggunakan serta meletakan hadits sesuai dengan proporsi yang benar.

BAB IV
A. JENIS HADITS
Hadits ditinjau dari segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya perawi yang menjadi sumber
berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi dua macam, yakni hadits
mutawatir dan hadits ahad.

1. Hadits Mutawatir
a. Tarif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturutturut antara satu dengan yang lain. Sedangkan menurut istilah ialah suatu hasil hadis
tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan
mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta, suatu (hadits) yang diriwayatkan
sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut
seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada
setiap tingkatan. Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang
diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifatsifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan
oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita
secara dusta. Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah
diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi
Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan
hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam
sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits.
Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan
pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat
diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu. Apabila jumlah
yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian

banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah
secara mutawatir.
b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan
(daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar
merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain
dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak
didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits
mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk
berdusta.
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak
memungkinkan bersepakat dusta.
a) Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan
dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b) Ashabus Syafii menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah
para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c) Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan
ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji,
yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal
ayat 65).
d) Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang.
3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun
thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak
banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits
mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya.
Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya
hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar
mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat
perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana
dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus

menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri alMutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi alMutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).
C. Faedah Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya
secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qathi
(pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan
atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir. Dengan
demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadits mutawatir tentang
keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya
mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya
wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat
Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang
yang mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari
hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).
d. Pembagian Hadits Mutawatir
1. Hadits Mutawatir Lafzi
Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi yaitu suatu (hadits) yang sama
(mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya.
Pengertian lain hadits mutawatir lafzi adalah : Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi
lafaznya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi. Menurut Abu Bakar AlBazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi
dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.

2. Hadits mutawatir maknawi


Hadits mutawatir maknawi adalah : Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya,
tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum. Jadi hadis mutawatir
maknawi adalah hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi
hadis tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya. Hadits yang
semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan
redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, AlHakim dan Abu Daud yang Artinya : Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan
kedua pundak beliau.

3. Hadis Mutawatir Amali


Hadis Mutawatir Amali adalah : Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu
berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya
atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu. Di samping pembagian
hadis mutawatir sebagimana tersebut di atas, juga ulama yang membagi hadis mutawatir
menjadi 2 (dua) macam saja. Mereka memasukkan hadis mutawatir amali ke dalam
mutawatir maknawi. Oleh karenanya hadis mutawatir hanya dibagi menjadi mutawatir lafzi
dan mutawatir maknawi.

2. Hadis Ahad
a. Pengertian hadis ahad
Menurut Istilah ahli hadis, tarif hadis ahad antara laian adalah: Suatu hadis (khabar) yang
jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu
seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah
tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir:
Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut: Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul
syara-syarat mutawatir.
b. Faedah hadis ahad
Para ulama sependapat bahwa hadis ahad tidak Qati, sebagaimana hadis mutawatir.
Hadits ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan
sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa,
hadis tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadis tersebut
wajib untuk diamalkan sebagaimana hadis mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita
pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadis, ialah memeriksa Apakah hadis tersebut
maqbul atau mardud. Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita
tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya. Kemudian apabila telah
nyata bahwa hadis itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang
berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadis itu kita sebut
muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya
tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana
yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang
terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh. Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita
usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika

tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita dahulu. Walhasil, barulah dapat kita
dapat berhujjah dengan suatu hadis, sesudah nyata sahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau
mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.
B. DARI SEGI KUALITAS SANAD DAN MATAN HADIS
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah
rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan tinggirendahnya suatu hadis. Bila dua buah hadis menentukan keadaan rawi dan keadaan matan
yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari
hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang
rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi. Jika
dua buah hadis memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis yang
diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang
diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadis yang diriwayatkan oleh rawi
yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.
Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami)
pada waktu yang telah kami tentukan. Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat pulu
orang, bahkan ada yang membatasi cukup dengan empat orang pertimbangan bahwa saksi
zina itu ada empat orang.
Kata-kata (dari sejumlah rawi yng semisal dan seterusnya sampai akhir sanad)
mengecualikan hadis ahad yang pada sebagian tingkatannya terkadang diriwayatkan oleh
sejumlah rawi mutawatir.
Contoh hadis : artinya, Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya.
Awal hadis tersebut adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir.
Maka hadis yang demikian bukan termsuk hadis mutawatir. Kata-kata (dan sandaran mereka
adalah pancaindera) seperti sikap dan perkataan beliau yang dapat dilihat atau didengar
sabdanya. Misalnya para sahabat menyatakan; kami melihat Nabi SAW berbuat begini.
Dengan demikian mengecualikan masalah-masalah keyakinan yang disandarkan pada akal,
seperti pernyataan tentang keesaan firman Allah dan mengecualikan pernyataan-pernyataan
rasional murni, seperti pernyataan bahwa satu itu separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahwa
yang menjadi pertimbangan adalah akal bukan berita.

Bila dua hadis memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadis yang matannya
seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi tingkatannya dari
hadis

yang

matannya

buruk

atau

bertentangan

dengan

ayat-ayat

Al-quran.

Tingkatan{martabat) hadis ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar atau palsunya
hadis berasal dari Rasulullah.
Hadis yang tinggi tingkatannya berarti hadis yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi taraf
dugaan tentang benarnya hadis itu berasal Rasulullah SAW. Hadis yang rendah tingkatannya
berarti hadis yang rehdah taraf kepastiannya atau taraf dugaan tentang benarnya ia berasal
dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis menentukan tinggi rendahnya
kedudukan hadis sebagai sumber hukum atau sumber Islam.
Para ulama membagi hadis ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadis sahih, hadis hasan, dan
hadis daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan, jumlah rawi, keadaan rawi, dan
keadaan matan dalam menentukan pembagian hadis-hadis tersebut menjadi hadis sahih,
hasan, dan daif.

Hadis Sahih

Hadis sahih menurut bahasa berarti hadis yng bersih dari cacat, hadis yng benar berasal
dari Rasulullah SAW. Batasan hadis sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain : Hadis
sahih adalah hadis yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (alQuran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit. Keterangan lebih luas
mengenai hadis sahih diuraikan pada bab tersendiri.

Hadis Hasan

Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan
adalah : yang kami sebut hadis hasan dalam kitab kami adalah hadis yng sannadnya baik
menurut kami, yaitu setiap hadis yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat
rawi yang dicurigai berdusta, matan hadisnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang
lain pula yang sederajat. Hadis yang demikian kami sebut hadis hasan.

Hadis Daif

Hadis daif menurut bahasa berarti hadis yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan
yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah SAW.
Para ulama memberi batasan bagi hadis daif Artinya :

Hadis daif adalah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak
menghimpun sifat-sifat hadis hasan.
Jadi hadis daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih, melainkan juga tidak
memenuhi syarat-syarat hadis hasan. Pada hadis daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan
lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
C. DARI SEGI KEDUDUKAN DALAM HUJJAH
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hadis perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan
dan pembahasan yang seksama khususnya hadis ahad, karena hadis tersebut tidak mencapai
derajat mutawatir. Memang berbeda dengan hadis mutawatir yang memfaedahkan ilmu
darury, yaitu suatu keharusan menerima secara bulat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas,
hadis ahad ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi 2 (dua)
macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud.
o Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan.
Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadis Maqbul ialah: Hadis yang menunjuki suatu
keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang temasuk
dalam kategori hadis maqbul adalah:

Hadis sahih, baik yang lizatihu maupun yang ligairihi.


Hadis hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.

Kedua macam hadis tersebut di atas adalah hadis-hadis maqbul yang wajib diterima,
namun demikian para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua
hadis yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadis-hadis
yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan barn
yangjugaditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW.
Adapun hadis maqbul yang datang kemudian (yang menghapuskan)disebut dengan hadis
nasikh, sedangkan yang datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadis mansukh.
Disamping itu, terdapat pula hadis-hadis maqbul yang maknanya berlawanan antara satu
dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam hal ini hadis yang
kuat disebut dengan hadis rajih, sedangkan yang lemah disebut dengan hadis marjuh.

Apabila ditinjau dari segi kemakmurannya, maka hadis maqbul dapat dibagi menjadi 2 (dua)
yakni hadis maqbulun bihi dan hadis gairu mamulin bihi.

Hadis maqmulun bihi

Hadis maqmulun bihi adalah hadis yang dapat diamalkan apabila yang termasuk hadis ini
ialah:
Hadis muhkam, yaitu hadis yang tidak mempunyai perlawanan
Hadis mukhtalif, yaitu dua hadis yang pada lahimya saling berlawanan yang mungkin
dikompromikan dengan mudah
Hadis nasih
Hadis rajih.
Hadis gairo makmulinbihi
Hadis gairu makmulinbihi ialah hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan. Di antara hadishadis maqbul yang tidak dapat diamalkan ialah:
Hadis mutawaqaf, yaitu hadis muthalif yang tidak dapat dikompromikan, tidak
dapat ditansihkan dan tidak pula dapat ditarjihkan
Hadis mansuh
Hadis marjuh.
B. Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut urf
Muhaddisin, hadis mardud ialah : Hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan
adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya
dengan ketidakadaannya bersamaan.
Ada juga yang menarifkan hadis mardud adalah: Hadis yang tidak terdapat di dalamnya sifat
hadis Maqbun.
Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa jumhur ulama mewajibkan untuk
menerima hadis-hadis maqbul, maka sebaliknya setiap hadis yang mardud tidak boleh
diterima dan tidak boleh diamalkan (harus ditolak).
Jadi, hadis mardud adalah semua hadis yang telah dihukumi daif.
D. DARI SEGI PERKEMBANGAN SANADNYA
1. Hadis Muttasil
Hadis muttasil disebutjuga Hadis Mausul.

Hadis muttasil adalah hadis yang didengar oleh masing-masing rawinya dari rawi yang di
atasnya sampai kepada ujung sanadnya, baik hadis marfu maupun hadis mauquf.
Kata-kata hadis yang didengar olehnya mencakup pula hadis-hadis yang diriwayatkan
melalui cara lain yang telah diakui, seperti Al-Arz, Al-Mukatabah, dan Al-Ijasah, Al-Sahihah.
Dalam definisi di atas digunakan kata-kata yang didengar karena cara penerimaan
demikian ialah cara periwayatan yang paling banyak ditempuh. Mereka menjelaskan,
sehubungan dengan hadis Mu an an, bahwa para ulama Mutaakhirin menggunakan kata an
dalam menyampaikan hadis yang diterima melalui Al-Ijasah dan yang demikian tidaklah
menafikan hadis yang bersangkutan dari batas Hadis Muttasil.
Contoh Hadis Muttasil Marfu adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik; dari Nafi dari
Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: Orang yang tidak mengerjakan shalat Asar seakan-akan menimpakan bencana
kepada keluarga dan hartanya
Contoh hadis mutasil maukuf adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi bahwa ia
mendengar Abdullah bin Umar berkata yang Artinya:
Barang siapa yang mengutangi orang lain maka tidak boleh menentukan syarat lain kecuali
keharusan membayarnya.
Masing-masing hadis di atas adalah muttasil atau mausul, karena masing-masing rawinya
mendengarnya dari periwayat di atasnya, dari awal sampai akhir.
Adapun hadis Maqtu yakni hadis yang disandarkan kepada tabiin, bila sanadnya
bersambung. Tidak diperselisihkan bahwa hadis maqtu termasuk jenis Hadis muttasil; tetapi
jumhur mudaddisin berkata, Hadis maqtu tidak dapat disebut hadis mausul atau muttasil
secara mutlak, melainkan hendaknya disertai kata-kata yang membedakannya dengan Hadis
mausul sebelumnya. Oleh karena itu, mestinya dikatakan Hadis ini bersambung sampai
kepada Sayid bin Al-Musayyab dan sebagainya . Sebagian ulama membolehkan penyebutan
hadis maqtu sebagai hadis mausul atau muttasil secara mutlak tanpa batasan, diikutkan
kepada kedua hadis mausul di atas. Seakan-akan pendapat yang dikemukakan jumhur, yaitu
hadis yang berpangkal pada tabiin dinamai hadis maqtu. Secara etimologis hadis maqtu
adalah lawan Hadis mausul. Oleh karena itu, mereka membedakannya dengan
menyadarkannya kepada tabiin.

2. Hadis Munqati
Kata Al-Inqita (terputus) berasal dari kata Al-Qat (pemotongan) yang menurut bahasa berarti
memisahkan sesuatu dari yang lain. Dan kata inqita merupakan akibatnya, yakni terputus.
Kata inqita adalah lawan kata ittisal (bersambung) dan Al-Wasl. Yang dimaksud di sini
adalah gugurnya sebagaian rawi pada rangkaian sanad. Para ulama berbeda pendapat dalam
memahami istilah ini dengan perbedaan yang tajam. Menurut kami, hal ini dikarenakan
berkembangnya pemakaian istilah tersebut dari masa ulama mutaqaddimin sampai masa
ulama mutaakhirin.
Definisi Munqati yang paling utama adalah definisi yang dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu
Abdil Barr, yakni:
Hadis Munqati adalah setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan
kepada Nabi SAW, maupun disandarkan kepada yang lain.
Hadis yang tidak bersambung sanadnya adalah hadis yang pada sanadnya gugur seorang atau
beberapa orang rawi pada tingkatan (tabaqat) mana pun. Sehubungan dengan itu, penyusun
Al-Manzhumah Al-Baiquniyyah mengatakan:
Setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya bagaimanapun keadannya adalah termasuk
Hadis Munqati (terputus) persambungannya.
Demikianlah para ulama Mutaqaddimin mengklasifikasikan hadis, An-Nawawi berkata,
Klasifikasi tersebut adalah sahih dan dipilih oleh para fuqaha, Al-Khatib, Ibnu Abdil Barr,
dan Muhaddis lainnya. Dengan demikian, hadis munqati merupakan suatu judul yang
umum yangmencakup segala macam hadis yang terputus sanadnya.
Adapun ahli hadis Mutaakhirin menjadikan istilah tersebut sebagai berikut:
Artinya:
Hadis Munqati adalah hadis yang gugur salah seorang rawinya sebelum sahabat di satu
tempat atau beberapa tempat, dengan catatan bahwa rawi yang gugur pada setiap tempat tidak
lebih dari seorang dan tidak terjadi pada awal sanad.
Definisi ini menjadikan hadis munqati berbeda dengan hadis-hadis yang terputus sanadnya
yang lain. Dengan ketentuan Salah seorang rawinya defnisi ini tidak mencakup hadis
mudal; dengan kata-kata, Sebelum sahabat definisi ini tidak mencakup hadis mursal; dan

dengan penjelasan kata-kata Tidak pada awal sanad definisi ini tidak mencakup hadis
muallaq.
BAB V
PERIWAYATAN HADITS
A.

SISTEM PERIWAYATAN

Periwayatan hadits adalah proses penerimaan (naqal dan tahmmul) hadits oleh seorang rawi
dari gurunya, dan setelah di pahami, di hafal, dihayati, diamalkan (dhabith) di tulis ditadwin
(tahrir) dan di sampaikan pada orang lain sebagai murid (ada) dengan menyebutkan sumber
pemberitaan riwayah tersebut.
Esensi periwayatan adalah tahamul, naqal, dhabit, tahrir, dan ada al-hadits, atau disingkat
tahamul wa al-ada. Sistemperiwayatan sering di sebut kaifiyah tahamul wa al-ada, suatu
thariqah atau cara penerimaan dan penyampaian hadits.
Ada delapan macam kaifiyah tahamul wa al-ada atau sistem dan cara penerimaan dan
penyampain hadits, sebagai berikut :
1.

Samamin lafadz al-syakh, yakni mendengar sendiri dari perkataan gurunyah baik

secara dikte atau bukan.


2.

Al-qiraah ala al-syakh (ar-radh) yakni murid membaca hadits dihadapan gurunya.

3.

Ijazah, yaitu pemberian izin dari seseorang dari orang lain untuk meriwayatkan hadits

darinya atau dari kitab-kitabnya


4.

Munawalah, yaitu seseorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya

atau salinnan yang sudah di koreksinya untuk diriwayatkan.


5.

Mukatabah, yaitu seorang guru yang menulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk

menulis beberapa hadits kepada orang di tempat lain atau yang ada di hadapannya.
6.

Wijadah, yaitu memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak di riwayatka tidak sama

qiraah maupun selainnya, dari pemilik hadits atau pemilik tulisan tersebut.
7.

Wasiyah, yaitu pesan seseorang di kala akan meninggal atau berpergian dengan sebuah

kitab tulisan supaya diriwayatkan.

8.

Ilam, yaitu pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya

adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari seorang guru dengan tidak mengatakan
(menyuruh agar si murid meriwayatkannya).
B.

JENIS PERIWAYATAN HADITS

Dari proses periwayatan diketahui bahwa para rawi berbeda-beda keadaan pada waktu
menerima hadits dari gurunya, termasuk dari shahih hadits Nabi SAW selain dari keadaan
normal dan baik, mungkin dalam keadaan anak-anak, masih kafir, suka maksiat (fasik) atau
sedang dalam keadaan gila dan sebagainya.
Periwayatan hadits oleh orang-orang yang masih anak-anak, fasik, kafir, dan gila, sudah jelas
tidak bisa diterima. Suatu kegiatan sangat penting pada proses periwayatan hadits adalah
kegiatan isnad, yakni mengisnadkan hadits, mengarangkan sanad atau melacak sanad hadits.
Orang yang menerangkan hadits yang menyebut sumber berita atau sanadnya di sebut
musnid.
BAB VI
ILMU DAN KAIDAH HADITS
A.

ILMU DAN KAIDAH HADITS TENTANG RAWI DAN SANAD

1.

Ilmu rijal al-hadits : Thabaqah dan Tarikh Al-Ruwah

Ilmu rijal al-hadits adalah ilmu yang membahas tentang hal ihwal dan sejarah para rawi dari
kalangan sahabat, tabiin dan atba al-tabiin.
Ilmu tarikh al-ruwah adalah ilmu yang membahas tentang biografi para perawi yang
menjelaskan tentang nama dan gelar, tanggal dan tempat kelahiran, keturunaan, guru, murid,
jumlah hadits, yang diriwayatkan tempat dan waktu, dan lain-lain.
Rawi adalah yang menerima, memelihara dan menyampaikan kepada orang lain dengan
menyebutkan sumber pemberitaannya. Sedanglan thabakoh adalah pengelompokan para rawi
menurut alat pengikat tertentu, antara lain perjumpaan shuhbah atau peristiwa tertentu.
Sahabat adalah thabaqah pertama para rawi, yakni orang yang beriman yang hidup dan
bergaul bersama Rasulullah SAW dalam waktu yang relatif lama, setahun atau dua tahun, dan
wafat dalam keadaan muslim.

Sejalan dengan kriteria sahabat maka tabiin sebagai thabaqah ke dua adalah yang tidak
bertemu Nabi SAW hanya bertemu dan bergaul dengan sahabat, dan dalam keadaan beriman.
Orang yang hidup di zaman rasulullah SAW dalam keadaan Islam, namun tidak sempat
bertemu dan mendengarkan hdits, disebut muhadramin.
2.

Ilmu jarh wa al-Tadil

Ilmu jarh wa al-Tadil adalah ilmu tentang hal ihwal para rawi dalam hal mencatat
keaibannya dan memuji keadilannya.
Tadil artinya menganggap adil seorang rawi, yakni memuji rawi dengan sifat-sifat yang
membawa makbulnya riwayat. Al-jarh atau tarjih artinya mencatatkan, yakni menuturkan
sebab-sebab ke aiban rawi.
Syarat pentakhrij dan pentadil adalah : (1) berilmu, (2) takwa, (3) wara, (4) jujur, (5)
menjauhi fanatik golongan, (6) mengetahui sebab-sebab tadil dan tarjih (mufasar) jumlah
pentakhrij dan pentabil dalam periwayatan hadits harus berdiri dari dua orang menurut
goonag madinah, namun menurut pendapat sebagian ulama cukup seorang saja.
B.

ILMU DAN KAIDAH TENTANG MATAN

1.

Ilmu gharib al-hadits adalah ilmu yang menerangkan makna kaliamat yang terdapat

dalam matan hadits yang suka di ketahui maknanya dan yang kurang kepakai oleh umum.
Yang di bahas oleh ilmu ini adalah lafadz yang muskil dan susunana kalimat yang sukar di
pahami, tujuannya untuk menghindarkan penafsiran menduga-duga upaya para ulama
muhaditsin untuk menafsirkan keghariban matan antara lain :
1)

Mencari dan menelaah hadits yang sanadnya berlainan dengan yang bermatan gharib.

2)

Memperhatikan penjelasan dari sahabat yang meriwayatkan hadits atau sahabat lain

yang tidak meriwayatkan. Memperhatikan penjelasan dari rawi selain sahabat.


2.

Ilmu asbab wurud al-hadits dan tawarikh al-mutun ialah ilmu yang menerangkan sebab-

sebab Nabi SAW menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi SAW menuturkan ilmu ini
mempunyai kaitan erat dengan ilmu tarikh al-matan dan mempunyai kaidah seperti ilmu
asbab nuzul Al-Quran.

Manfaat mengetahui asbab al-wurud hadits antara lain untuk memahami dan menafsirkan
hadits serta mengetahui hikmah-hikmah yang berkaitan dengan wurudnya hadits, ada yang
sudah tercantum pada matan hadits itu sendiri, ada yang tercantum pada matan hadits lain.
3.

Ilmu nasih wa al-mansuh dan talfiq al hadits ialah ilmu yang menerangkan hadits-hadits

yang sudah di mansufkan dan yang mengasih kannya ilmu ini bermanfaat untuk pengamalan
hadits bila ada dua hadts makbul yang tanaqud yang tidak dapat di kompromikan atau di
jama.
Kaidah yang berkaitan dengan nasakh, antaralain berupa cara mengetahui nasakh, yakni
penjelasan dari rasulullah SAW sendiri, keterangan sahabat dan dari tarikh datangnya matan
yang di maksud. Ilmu ini juga di sebut ilmu mukhtalif al-hadits. Cara talfik al-hadits antara
lain mentakhsis hadits yang umum, mentakidkan hadits yang mutlaq.
C.
1.

ILMU DAN KAIDAH TENTANG SANAD DAN MATAN


Ilmu ilal al-hadits

Ilmu ilal al-Hadits adalah:


ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata yang dapat mencatatkan
hadits.
Jelasnya ilmu ini membahas tentang suatu illat yang berupa memustahilkan yang munqathi,
nerafakan yang mauquf, memasukan suatu hadits ke dalam hadits yang lain.
Diantara ulama yang menulis ilmu ini adalah ibn al-madini (234 H), ibn Abi hatim (327 H)
yakni kitab: ilal al-hadits.
2.

Ilmu fan al-mibhamat

Ilmu mubhamat adalah:


ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut namanya didalam matan atau
dalam sanad.
Di antara ulama yang menyusaun kitab fan al-mubhamat adalah al-khathib al-baghdadi.
Kiatab al-baghdai ini diikhtisar oleh nawawi dalam kitab al-isyarah ila bayani asma almubhamat. Penulis lain adalah al-asqalani menyusun kitab hidayah al-sari muqaddimah fath
al-barri.
3.

Ilmu tashhif wa al-tahrif

Ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah diubah titiknya (mushhaf) dan bentuknya
muharraf.
Diantara kitab ilmu ini adalah kitab: al-tashhif wa al-tahrif, susunan al-daruquthni (385 H)
dan abu ahmad al-askari (283 H).

Anda mungkin juga menyukai