Obat Tokolitik PDF
Obat Tokolitik PDF
Oleh :
Dr. Hadrians Kesuma Putra
Pembimbing :
Prof. Dr. H. A Kurdi Syamsuri, SpOG(K), MSEd
Pemandu :
Dr. H. Asrol Byrin, SpOG(K)
DAFTAR ISI
I.
II.
III.
IV.
V.
VI.
VII.
VIII.
IX.
X.
XI.
Halaman
PENDAHULUAN. 1
MEKANISME KERJA OBAT-OBAT TOKOLITIK 1
INDIKASI PENGGUNAAN TOKOLITIK.. 3
RASIONALISASI PENGGUNAAN TOKOLITIK.. 3
PERANAN BETA AGONIS SEBAGAI TOKOLITIK.................................... 5
PERANAN OAINS SEBAGAI TOKOLITIK... 10
PERANAN MAGNESIUM SULFAT... 14
PERANAN KALSIUM CHANNEL BLOCKER SEBAGAI TOKOLITIK..... 17
PERANAN ANTAGONIS OKSITOSIN SEBAGAI TOKOLITIK. 20
KESIMPULAN.................................................................................................. 23
RUJUKAN.........................................................................................................
24
DAFTAR GAMBAR
Mekanisme kerja obat-obat tokolitik.....................................
I. PENDAHULUAN
Kelahiran bayi prematur dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas perinatal, di
negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris persalinan prematur adalah
penyebab tertinggi angka morbiditas dan mortalitas perinatal, dimana komplikasi
yang diakibatkan oleh persalinan pretem lebih dari 10% dari seluruh kehamilan oleh
karena itu persalinan prematur merupakan hal yang patut mendapat perhatian khusus
mengenai penatalaksanaannya disamping upaya pencegahannya.1-11
Tujuan penanganan persalinan dan kelahiran prematur adalah untuk mencegah
dan menghentikan terjadinya kontraksi uterus dengan obat-obatan tokolitik sampai
kehamilan seaterm mungkin atau sampai janin mempunyai maturitas paru yang
dinggap cukup mampu untuk hidup di luar kandungan. Walaupun kemungkinan obat
tokolitik hanya berhasil sementara, tetapi penundaan ini penting untuk memberikan
kesempatan untuk pemberian kortikosteroid untuk merangsang pematangan paruparu.1-3,5
Pemberian tokolitik untuk mencegah terjadinya persalinan prematur menimbulkan
masalah seperti kapan saat memulai pemberian tokolitik, apakah tokolitik sudah dapat
diberikan begitu ada tanda-tanda terjadinya kontraksi uterus sebelum kehamilan
aterm walaupun belum dapat dibedakan apakah ini kontraksi yang memang suatu
kontraksi yang menandai suatu persalinan atau hanya kontraksi palsu.3,5,6
Dengan demikian pemakaian tokolitik masih merupakan jalan terbaik untuk
menunda persalinan prematur termasuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas
perinatal. Pemilihan obat-obatan tokolitik golongan mana yang akan digunakan
haruslah didasarkan pada efisiensi obat, keamanan terhadap ibu dan janin serta
pengetahuan yang jelas tentang suatu preparat yang akan digunakan.9,11
II. MEKANISME KERJA OBAT-OBAT TOKOLITIK
Berbagai macam obat telah digunakan untuk menekan kontraksi uterus, termasuk di
dalamnya agonis, calcium channel blockers, prostaglandin synthetase inhibitor,
magnesium sulfat, antagonis receptor oxytocin.1-3,8-13,15,17,21,24
Sub grup dari obat-obat tokolitik bekerja dengan cara yang berbeda-beda untuk
menghambat terjadinya kontraksi uterus, ini terjadi melalui mekanisme persalinan
yang spesifik (antagonis oksitosin, penghambat prostaglandin) atau melalui aksi non
spesifik pada kontraktilitas sel ( agonis, magnesium sulfat dan penghambat
kalsium).1
elektrolit, glukosa, magnesium dan tanda vital harus diawasi ketat. Tanda-tanda
klinis adanya edema pulmonal harus dilihat ada tidaknya setiap hari.
3. Keseimbangan cairan harus hati-hati diawasi untuk mencegah edema pulmonal,
yang merupakan satu dari komplikasi yang paling serius dan berbahaya dari terapi
tokolitik. Pasien dengan terapi intravena harus dibatasi cairannya untuk
mengindari overhidrasi. Sebagian besar kasus edema pulmonal bersifat
iatrogenik. Pembatasan cairan harus dilakukan dengan cermat. Cairan intra vena
harus berupa ringer laktat atau larutan normal saline. Intake oral dan intravena
total harus diawasi dengan cermat. Mengawasi intake cairan total akan
mengurangi resiko edema pulmonal.
4. Mengetahui kapan harus menghentikan tokolitik. Nyeri dada, nafas pendek,
adalah tanda-tanda klinis edema pulmonal, dan atau tekanan pada dada, harus
dianggap sebagai indikasi untuk menghentikan terapi. Ketika perlu dan
memungkinkan, rujuk pasien ke pusat kesehatan tersier jika ditemui kasus diluar
tempat tersebut.
5. Denyut nadi ibu harus diperiksa hati-hati, terutama pada pasien yang menerima
obat-obat -adrenergik agonis parenteral. Denyut nadi ibu bertahan pada >120
x/m merupakan hal yang berbahaya dan indikasi bahwa pasien menerima terlalu
banyak obat tokolitik dan berada dalam resiko yang signfikan. Namun, denyut
nadi yang kurang dari 80x/menit mengindikasikan bahwa pasien tidak
mengkonsumsi obatnya atau tidak cukup dosisnya, atau tidak lagi efektif.
6. Mereka yang merawat pasien-pasien ini harus sangat terbiasa dengan obat-obat
tokolitik dalam jumlah yang terbatas. Mekanisme aksi, farmakologi, dosis, dan
resiko harus dipahami dengan jelas tidak hanya oleh dokter dan bidan, namun
juga perawat yang menangani pasien.
7. Infeksi dan abruptio plasenta harus dipertimbangkan sebagai penyebab persalinan
prematur yang resisten atau tidak dapat dielakkan. Pada situasi ini, evaluasi
ultrasonografi yang rinci harus digunakan untuk memeriksa janin dan plasenta
serta mengevaluasi pematangan paru janin.
menyangkut obat yang digunakan, sehingga kita harus siap dengan kemungkinan
atonia uteri.
11. Jika pasien diberikan terapi tokolitik, maka juga diberikan kortikosteroid untuk
mempercepat pematangan paru janin.
12. Ketika perlu dilakukan tirah baring untuk antepartum yang lama dan rawat inap
untuk tokolitik, kenali stress yang akan dialami pasien. Pasien ini jauh dari
keluarga, rumah, pekerjaan dan gaya hidup. Tim perinatal memainkan peranan
penting dalam membantu pasien ini menghadapi dan beradaptasi terhadap aspek
psikososial dari perawatan yang diterimanya.
V. PERANAN AGONIS SEBAGAI TOKOLITIK
Agonis beta merupakan obat yang sering digunakan dan terbukti efektif menurunkan
terjadinya persalinan dalam 24, 48 jam dan 7 hari terapi dibanding plasebo. Agonis
adalah golongan tokolitik yang secara struktur sama dengan katekolamin endogen,
epinefrin dan nor-epinefrin. Obat ini bekerja dengan merangsang reseptor
adrenergik pada uterus. Isoxuprine adalah obat pertama dari golongan ini yang
digunakan sebagai tokolitik kurang lebih 45 tahun yang lalu.1,15
Terbutalin dan Ritodrin sekarang yang paling banyak digunakan sebagai tokolitik
pada golongan ini di Amerika Serikat dibandingkan dengan Hexoprenalin, Fenoterol,
Salbutamol dan lain-lain, tetapi hanya Ritodrin yang direkomendasikan oleh FDA
sebagai tokolitik dari golongan ini.1,6,8,11,15,16
A. Farmakokinetik
Metabolisme obat tokolitik dari golongan adrenergik agonis ini berbeda dengan
katekolamin endogen. Ritodrin dan Terbutalin dieksresi melalui urin setelah
dimetabolisme di hati.15
Ritodrin dan Terbutalin diketahui dapat menembus plasenta dengan cepat dan
menginduksi stimulasi Adrenergik pada fetus. Konsentrasi pada fetus 30% lebih
rendah dibanding dengan konsentrasi maternal setelah 2 jam pemberian secara intra
vena, tetapi menjadi sama setelah periode yang lebih lama. Pada pemberian yang
konstan melalui intravena Ritodrin dan Terbutalin akan mencapai dosis terapi dengan
waktu paruh 6-9 menit. Setelah pemberian intravena tidak dilanjutkan waktu
paruhnya meningkat mencapai 2,5 jam. Pada pemberian intramuskuler konsentrasi
optimal Ritodrin dicapai dalam waktu 10 menit dan menurun sebanyak 50% dalam 2
jam. Terbutalin secara cepat diabsorbsi dengan pemberian subkutan 0,25mg dengan
waktu paruh 7 menit. Pemberian oral Ritodrin pada jarak yang optimal akan terjadi
penurunan 20% dalam 4 jam pada konsentrasi plasma.15
B. Kontraindikasi dan Penggunaan Klinik
Obat tokolitik dari golongan Agonis ini dapat diberikan melalui parenteral atau
oral. Terapi pertama kali harus melalui intra vena yang didasarkan pada puls ibu,
tekanan darah dan aktivitas uterus. Berikut adalah kontraindikasi penggunaan
tokolitik golongan Adrenergik:6,10,11,15,17,18
Maternal :
Penyakit jantung
Hipertiroid
Fetal :
Gawat janin
Korioamnionitis
Janin mati
IUGR
Pemberian dosis obat haruslah mulai dari dosis terkecil dengan peningkatan setiap
15-30 menit sesuai dengan keperluan untuk menghambat kontraksi uterus. Denyut
nadi ibu tidak boleh lebih dari 130 x/m dan kita harus menyesuaikan dosis tokolitik
jika efek samping timbul.15
Ritodrin biasanya diberikan intravena dengan dosis awal 50-100g/m dan
ditingkatkan 50g/m setiap 15-20 menit sampai kontraksi uterus berhenti, dengan
dosis maksimum 350g/m. Beberapa peneliti telah menggunakan Ritodrin intra
muskuler dengan dosis 5-10 mg setiap 2-4 jam. Terapi oral yang dianjurkan adalah 10
mg setiap 2 jam atau 20 mg setiap 4 jam selama 24-48 jam dengan dosis tidak boleh
melebihi 120 mg/hari.8,15
Dosis Terbutalin dianjurkan 2,5g/m setiap 20 menit sampai kontraksi uterus
berhenti atau dosis maximum sebanyak 20 g/m tercapai. Terbutalin dapat diberikan
subkutan dengan dosis 250 g setiap 3 jam. Terapi oral sudah harus diberikan
sebanyak 2,5-5mg setiap 2-4 jam paling lambat dalam 24-48 jam.8,15
Setelah ancaman persalinan prematur dapat dihentikan sekurang-kurangnya 1
jam, tokolitik dapat diturunkan pada interval 20 menit sampai dosis efektif terendah
yang dicapai dan dipelihara selama 12 jam. 30 menit sebelum menghentikan
pemberian terapi intra vena terapi oral sudah harus diberikan dan diulang setiap 2-4
jam salama 24-48 jam.8,15
C. Efek-efek Terhadap Ibu
Efek-efek terhadap ibu dan komplikasi-komplikasi penggunaan terapi
adrenergik agonis banyak ditemukan dan lebih sering terjadi daripada efek-efek
terhadap fetus maupun neonatus. Terdapat informasi yang bertentangan apakah efekefek ini lebih sering terjadi pada penggunaan ritodrin atau terbutalin. Secara umum,
tidak ada perbedaan efek samping antara Ritodrin dengan terbutalin, kecuali bahwa
terbutalin oral menyebabkan perubahan signifikan pada toleransi glukosa ibu,
sedangkan ritodrin oral tidak menimbulkan efek demikian.15
Berikut adalah efek-efek maternal akibat terapi tokolitik dengan golongan Adrenergik agonis :1,8-11,15,16,19
Fisiologi :
Agitasi
Sakit kepala
Mual
Muntah
Demam
Halusinasi
Metabolik :
Hiperglisemia
Diabetik ketoasidosis
Hiperinsulinemia
Hiperlaktasidemia
Hipokalemia
Hipokalsemia
10
Jantung :
Edema pulmonum
Takikardi
Palpitasi
Hipotensi
Gagal jantung
Aritmia, dll
Takikardi
Aritmia
Gagal jantung
Hiperglisemia
Hiperinsulinemia
11
Neonatal :
Takikardi
Hipokalsemia
Hiperbilirubinemia
Hipoglikemi
Hipotensi
Aritmia
Belum ada laporan mengenai efek terhadap APGAR skor. Hal yang paling
penting, follow up jangka panjang pada anak-anak yang terpapar ritodrin tidak
menunjukkan efek buruk terhadap pertumbuhan.15
Penggunaan klinis beta-adrenergik secara luas selama 45 tahun belum
memastikan adanya efek-efek signifikan terhadap fetus dan neonatus.15
VI. PERANAN OBAT ANTI INFLAMASI NON STEROID SEBAGAI
TOKOLITIK
Prostaglandin sebagai salah satu pencetus proses persalinan (kontraksi uterus) yang
penting maka para peneliti menganggap bahwa prostaglandin synthetase inhibitor
dalam hal ini Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) dapat digunakan sebagai
tokolitik. Salah satu obat-obat golongan ini yang dapat dipakai tokolitik adalah
Indomethacin.1,8,10,11,19,20
A. Farmakokinetik
OAINS bekerja primer sebagai penghambat cyclooxygenase. Indomethacin
adalah obat dari golongan ini yang memiliki potensi untuk digunakan sebagai
tokolitik. Obat ini dimetabolisme di hati dan diekskresi melalui urin.19
Indomethacin secara cepat dapat menembus plasenta, dalam 2 jam kadar dalam
darah bayi 50% dari kadar dalam darah ibu dan akan menjadi sama dalam 6 jam.
Waktu paruh indomethacin pada fetus adalah 14,7 jam yang lebih lama dibanding
pada ibu yang hanya 2,2 jam, hal inilah yang dapat mengakibatkan gangguan hati ada
fetus.19
12
13
Waktu rata-rata pemulihan fungsi ginjal adalah 5 hari. Timbulnya insufisiensi ginjal
akut pada ibu mungkin berhubungan dengan kombinasi antara perubahan aliran darah
ginjal dengan adanya restriksi cairan.19
Indomethacin yang digunakan bersama-sama bloker menyebabkan hipertensi
yang berat pada ibu. Bagaimana mekanisme OAINS ini menyebabkan hipertensi tidak
diketahui, tetapi perlu hati-hati dan dihindari pemakaiannya pada wanita-wanita
dengan preeklampsi. Indomethacin juga bersifat antipiretik. Penggunaannya dapat
menutupi demam yang timbul akibat korioamnionitis subklinis. Perdarahan rektal
dapat terjadi akibat pemberian berulang indomethacin suppositoria, terapi oral setelah
dosis awal dapat mencegah efek samping tersebut pada ibu, sedangkan pemberian
sacara perrektal dapat mencegah efek samping pada system gastrointestinal pada ibu.
Pemberian indomethacin secara vaginal pada penderita dengan selaput ketuban yang
masih intak sudah dilakukan dan tidak menunjukkan timbulnya komplikasi. Cara
pemberian ini tidak dianjurkan terutama pada pasien dengan pecahnya ketuban
sebelum waktu. Bukti eksperimental pada binatang percobaan menunjukkan bahwa
indomethacin tidak berefek terhadap oksigenasi fetal atau aliran darah fetal-maternal.
Perfusi uteroplasenta juga tidak terganggu, demikian pula tekanan darah dan denyut
jantung ibu. Penggunaan indomethacin selama lebih dari 7 hari, berkaitan dengan
timbulnya depresi, pusing, dan psikosis dan sering sakit kepala.9,17,19
D. Efek Terhadap Janin dan Neonatus
Indomethacin telah ditemukan berkaitan dengan adanya morbiditas pada bayi
baru lahir, terutama jika terapi tokolitik tidak berhasil dan bayi dilahirkan prematur
atau obat digunakan lebih dari 2 hari. Laporan-laporan ini dan lainnya menunjukkan
bahwa bila terapi indomethacin ini melebihi 48 jam, maka terjadi peningkatan resiko
bagi
neonatus
untuk
mengalami
enterokolitis
nekrotikans,
perdarahan
14
15
1, 22
Celecoxib.
16
A. Farmakokinetik
Jumlah total magnesium dalam tubuh manusia adalah 24gr yang sebagian besar
terdapat pada tulang dan ruang intraseluler dan hanya 1% pada ekstraseluler.
Konsentrasi magnesium pada serum wanita normal berkisar antara 1,83 mEq/l dan
turun menjadi 1,39 mEq/l pada wanita hamil.5,11,23
Magnesium dikeluarkan dari tubuh melalui ginjal oleh karena itu konsentrasi
magnesium plasma ditentukan oleh jumlah pemberian melalui infus dan kecepatan
filtrasi glomerulus.23
MgSO4 mempunyai dua cara yang memungkinkannya bekerja sebagai tokolitik
yang pertama peningkatan kadar MgSO4 menurunkan pelepasan asetilkolin oleh
motor and plates pada neuromuskular junction sehingga mencegah masuknya
kalsium, cara yang kedua MgSO4 berperan sebagai antagonis kalsium pada sel dan
ekstrasel.9,11,16,23,25
B. Kontraindikasi dan Penggunaan Klinik
Intoksikasi MgSO4 dapat dihindari dengan memastikan bahwa pengeluaran urin
memadai, refleks patella ada dan tidak ada depresi pernapasan. Refleks patella
menghilang pada kadar 10 mEq/l (antara 9-13 mg/dl) dan pada kadar plasma lebih
dari 10 mEq/l akan timbul depresi pernapasan dan henti napas dapat terjadi pada
kadar plasma 12 mEq/l atau lebih. MgSO4 sebagai terapi tokolitik dimulai dengan
dosis awal 4-6 gr secara intravana yang diberikan selama 15-30 menit dan diikuti
dengan dosis 2-4 gr/jam selama 24 jam.5,8,9,23,25 selama terapi tokolitik dilakukan
konsentrasi serum ibu biasanya dipelihara antara 4-9 mg/dl.
Untuk meminimalisir atau mencegah terjadinya intoksikasi seperti hal di atas
maka perlunya disediakan kalsium glukonas 1 gr sebagai anti dotum dari
MgSO4.8,9,23,25
17
18
Henti nafas dapat muncul pada pasien dengan miastenia gravis dan diterapi
dengan magnesium sulfat. Karena resiko ini, pasien dengan miastenia gravis harusnya
tidak menerima baik magnesium sulfat atau -adrenergik agonis sebagai obat
tokolitik.9,10,18,23,25
D. Efek Terhadap Janin dan Neonatus
Sebagian besar, penggunaan terapi infus magnesium sulfat intravena hanya
memiliki resiko yang sedikit terhadap janin dan neonatus.23
Terapi tokolitik magnesium sulfat terbukti aman dan bermanfaat terhadap janin
dan ibu. Namun, perubahan tulang yang terlihat melalui rontgen terlihat pada
neonatus dari pasien yang menerima infus magnesium sulfat jangka panjang (lebih
dari 1 minggu). Perubahan-perubahan ini termasuk abnormalitas tulang secara
radiografi seperti perubahan dari tulang panjang, penipisan tulang parietal, dan
mineralisasi tulang yang abnormal.23
Laporan kasus telah menyatakan bahwa beberapa obat, ketika digunakan dengan
magnesium sulfat, dapat mengakibatkan komplikasi. Penggunaan magnesium sulfat
dengan gentamisin dan aminoglikosida lain telah menyebabkan potensiasi kelemahan
neuromuskuler, selain itu magnesium yang ditambah nifedipin dapat menyebabkan
efek hipotensif yang bermakna karena potensiasi nifedipin terhadap aksi
penghambatan neuromuskular dari magnesium.5,6,11,23
Ketika magnesium sulfat digunakan dengan hati-hati sebagai obat tokolitik, efek
sampingnya terhadap ibu, janin dan neonatus biasanya sedikit dan tidaklah serius atau
merusak.23
VIII. PERANAN CALCIUM CHANNEL BLOCKER (NIFEDIPINE) SEBAGAI
TOKOLITIK
Antagonis kalsium merupakan relaksan otot polos yang menghambat aktivitas uterus
dengan mengurangi influks kalsium melalui kanal kalsium yang bergantung pada
19
20
21
22
23
biaya yang dikeluarkan untuk waktu yang sama pemakaian ritodrin 40-80
poundsterling, dan 17-25 poundsterling untuk pemakaian nifedipin.1-3
C. Efek Samping
Efek samping yang dilaporkan sampai saat ini dan telah dibandingkan dengan
golongan beta agonis seperti nyeri dada (1% vs 5%), palpitasi (2% vs 16%), takikardi
(6% vs 76%), hipotensi (3% vs 6%), dyspneu (0,3% vs 7%), mual (12% vs 16%),
muntah ( 7% vs 22%) dan sakit kepala (10% vs 19%) serta satu kasus dengan edema
pulmonum yang mana wanita tersebut juga mendapat terapi tokolitik salbutamol
selama 7 hari dibandingkan dengan grup agonis terdapat 2 orang yang menderita
edema pulmonum.1-3
Insidensi terjadinya efek samping kardiovaskular pada pemakaian atosiban
dibandingkan ritodrin jauh lebih rendah (4% dibanding 84,8%, p<0,001). Rata-rata
penurunan nadi pada pemakaian atosiban, hanya sedikit dan tidak bermakna (dari 88
x/m, menjadi 84 x/m). Pada pemakaian ritodrin terdapat peningkatan nadi yang nyata
pada 6 jam pertama pemberian tokolitik (dari 87 x/m menjadi 117 x/m), sesudah
terapi selesai nadi menurun namun masih melebihi nadi awal (105 x /m, p<0,0001).
Pada pemakaian ritodrin dan atosiban tidak didapatkan kematian janin, kematian
neonatal yang terjadi pada keduanya sama, namun tidak disebabkan oleh efek dari
pemberian obat tetapi akibat imaturitas (<26 minggu). Kejadian bradikardia dan fetal
distress pada kedua kelompok sama, sedangkan denyut jantung janin pada kelompok
atosiban menurun tidak bermakna (dari 142 kali/menit menjadi 138 kali/menit), pada
ritodrin meningkat dari 142 kali/menit menjadi 155 kali/menit (p<0,0001).2,3
Antagonis oksitosin mempunyai efek inhibisi pada pengeluaran air susu pada
hewan menyusui. Akan tetapi, efek samping pada masa post partum hampir tidak ada
karena waktu paruhnya yang relatif pendek (16,4 + 2,2 menit pada wanita yang tidak
hamil) dan sifatnya yang reversibel. Pengaturan sentral reseptor-reseptor uterus yang
berhubungan dengan paparan jangka panjang terhadap atosiban belum diketahui.
Atosiban tidak mengubah sensitivitas miometrium kehamilan terhadap oksitosin.2,3
24
25
XI. RUJUKAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
Groom KM, Bennett PR. Tocolysis for the Treatment of Preterm Labour A Clinically Based
Review. The Obstetrician & Gynaecologist. 2004.
Sulistiari R. Atosiban Sebagai Tokolitik.: Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Gajah Mada. Yogyakarta
Draycott TJ, Mahmood TA, Fisk N, Marlow N, Tuffnel DJ, Wan Po. Tocolytic Drug for
Women in Preterm Labour: Clinical guidelines no. 1(B), Royal College of Obstetricians and
Gynecologists. 2002.
Ganla KM, Shroff SA, Desail S, Bhinde AG.A Prospective Comparison of Nifedipine and
Isoxsuprine for Tocolysis. Nowrosjee Wadia Maternity Hospital, Parel, Mumbai. Research
Article. 2000.
Winarta IM, Peranan Antagonis Kalsium Sebagai Tikolitik. Lab/SMF Ilmu Kebidanan dan
Penyakit Kandungan FK UNUD/RS Sanglah. Denpasar. 2002.
Cararach V, Palacio M, Martinez S, Deulofeu P, Sanchez M, Cobo T, Coll O. Nifedipine
versus Ritodrine for Suppression of Preterm Labor Comparison of Their Efficacy and
Secondary Effects. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology.
2006;127:205-08.
Boggess KA. Pathophysiology of Preterm Birth: Emerging Concepts of Maternal Infection.
Clin Perinatol. 2005;32:561-69.
Huddleston JF, Ramos LS, Huddleston KW. Acute Management of Preterm Labor. Clin
Perinatol. 2003;30:803-824
American Academy of Family Physician. Preterm Labor: Diagnosis and Treatment. 1998
American College of Obstetricians and Gynecologist. Physicians Insurance. Preterm
Labor.1995
Cunningham FG. Kelahiran Preterm. Obstetri Williams. Edisi 21, Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2006 : 763-808
Himpunan Kedokteran Fetomaternal. POGI. Persalinan Preterm. 2004 ; 364-83
Wani MP, Barakzai N, Graham I, Glyceryl Trinitrate vs Ritodrine for the Treatment of
Preterm Labor. International Journal of the Obstetrics & Gynecology and Reproductive.
2004;85:165-67.
Hill WC. Risk and Complication of Tocolysis. Clinical Obstetrics and Gynecology. 1995;
38:725-40
Boyle JG. Beta-Adrenergik Agonist. Clinical Obstetrics and Gynecology. 1995; 38:688-96
Hernandez DM, Rivera MJ, Ocampo AN, Palma JA, Lopez HS. Drug Therapy and Adverse
Drug Reactions to Terbutaline in Obstetric Patient: A Prospective Cohort Study in
Hospitalized Women. BMC Pregnancy and Childbirth. 2002.
Berkman ND, Thorp JM, Lohr KN, Carey TS, Hartmann KE, Gavin NI, Hasselblad V, Idicula
AE. Tocolytic Treatment for the Management of Preterm Labor: A Review of the Evidence.
Am J Obstet Gynecol. 2003;188:1648-59.
Management of Preterm Labor. URL: http://www.guideline.gov. Downloaded from National
Guideline Clearinghouse, February 12, 2006.
Gordon MC, Samuel P. Indomethacin. Clinical Obstetrics and Gynecology. 1995; 38:697-705
Suarez RD, Grobman WA, Parilla BV. Indomethacin Tocolysis and Intraventricular
Hemorrhage. Department of Obstetrics and Gynecology, Nothwestern Memorial Hospital.
Chicago, Illinois. 2001; 97:921-25.
NSW Pregnancy & Newborn Services Network. Protocol for Administration of Tocolytic
Agent for Threatened Preterm Labour. 2002.
Sakai M, Tanebe K, Sasaki Y, Momma K, Yoneda S, Saaito S. Evaluation of the Tocolytic
Effect of A Selective Cyclooxygenase-2 Inhibitor in A Mouse Model of LipopolysaccharideInduced Preterm Delivery. Molecular Human Reproduction. 2001;7:595-602.
Gordon MC, Iams JD. Magnesium Sulfat. Clinical Obstetrics and Gynecology. 1995; 38:70612
26
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
Tan TC, Devendra K, Tan LK, Tan HK. Tocolytic Treatment for the Management of Preterm
Labour: A Systematic Review. Singapore Med J. 2006.
American Medical Association. Terbutaline Pump and Tocolytic Therapy. 2005.
Dyson D, Ray D. Calcium Channel Blockers. Clinical Obstetrics and Gynecology. 1995;
38:713-21
Papatsonis NM, Lok AR, Bos JM, Geijn HP, Dekker GA. Calcium Channel Blockers in the
Management of Preterm Labor and Hypertension in Pregnancy. European Journal of
Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology. 2001;97:122-40.
Shubert PJ. Atosiban. Clinical Obstetrics and Gynecology. 1995; 38:722-24
Reinheimer TM, Bee WH, Resendez JC, Meyer JK, Haluska GJ, Chellman GJ. Barusiban A
New Higly Potent and Long-Acting Oxytocin Antagonist: Pharmacokinetic and
Pharmacodynamic Comparison with Atosiban an A Cynomolgus Monkey Model of Preterm
Labor. The Journal of Clinical Endocrinology & metabolism 90. 2005;4:2275-81.
Tosun F, Gonenc A, Simsek B. Comparison of the tocolytic Effects of Ritidrine and Ca++
Channel Blockers on Serum Oestradiol and Progesterone Levels. Department of
Biochemistry, Faculty of Pharmacy, Gazy University, Ankara-Turkey. Research Article.
2001.
Cunningham FG. Gangguan Hipertensi dalam Kehamilan. Obstetri Williams. Edisi 21,
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006 : 661-65.
27