Anda di halaman 1dari 4

IDEOLOGI TRANSNASIONALISME: TANTANGAN IKSABA

Oleh Mochammad Hisan


(Alumni PP Miftahul Ulum Banyuputih Kidul Tahun 2003)

Tepatnya pada hari minggu, 6 Maret 2016 bertempat di Aula Pondok


Pesantren Miftahul Ulum, Jl. Raya Banyuputih Kidul Lumajang, dilaksanakan
musyawarah pembentukan sekaligus pemilihan pengurus alumni santri
Pondok Pesantren Miftahul Ulum Banyuputih Kidul Kecamatan Jatiroto
Lumajang. Ikatan Alumni Santri dan Alumni Banyuputih yang selanjutnya
disingkat IKSABA disepakati sebagai satu-satunya organisasi (jamiyah) yang
menaungi seluruh alumni Pondok Banyuputih. Salah satu mandat yang
diamanatkan pada ketua terpilih, selain melengkapi kepengurusan pusat,
juga memberikan himbaun untuk membentuk kepengurusan di seluruh
Kabupaten/Kota yang tersebar diseluruh Indonesia.
Gayung-pun tersambut, tidak butuh waktu yang lama seluruh alumni
diseluruh pelosok Indonesia, khususnya di Jawa Timur, empat Kabupaten di
Pulau Madura, Kota Surabaya, Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Jember
yang menjadi bersemainya basis alumni Pondok Banyuputih Kidul
membentuk kepengurusan ditingkat Kabupaten hingga tingkat kecamatan
dan desa. Dengan metode-metode informal, para alumni memilih, menyusun
dan menetapkan kepengurusan di daerah mereka tinggal.
Kelahiran IKSABA tidak bisa dilepaskan dari berbagai tantangan dan
ancaman pada keber-agamaan kaum santri yang akhir-akhir ini dikepung
oleh berbagai kekuatan ideologi yang siap memunahkan tradisi kesantrian,
terutama pada ideologi islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Dalam
sambutannya, RKH Husni bin Zuhri Pengasuh Pondok Pesantren Miftahul
Ulum- menjelaskan bahwa dibentuknya wadah untuk alumni bukan
dimaksudkan sebagai ajang gengsi ataupun bersaing dengan pondok-pondok
yang lain, namun untuk menjaga dan melindungi para alumni pondok dari
berbagai macam gempuran ideologi transnasionalisme.
Ideologi Transnasional bukan semata sebuah istilah tanpa makna yang
penting. Ia kini dipahami sebagai sebuah istilah bagi gerakan politik
internasional yang berusaha mengubah tatanan dunia berdasarkan ideologi
keagamaan fundamentalistik, radikal dan sangat puritan. Istilah-istilah
tersebut dalam pengertian umum menunjuk pada cara pandang dan ideologi
yang berusaha mendirikan sebuah tatanan dunia baru yang didasarkan pada

kekuasaan atas nama Tuhan (hakimiyyah Allah) dan bersikap eksklusif.


Mereka menyebutnya Nizam Islami (Sistem Islam). Di dalamnya aturanaturan keagamaan (syariah)- tentu saja menurut tafsir mereka- dan tunggal
wajib diberlakukan bagi semua wilayah kekuasaannya yang mendunia.
Mereka menolak kekuasaan manusia. Menurut mereka aturan-aturan
manusia telah menyingkirkan kekuasaan Tuhan. Ideologi ini dengan begitu
menentang negara bangsa (nation state). Untuk mewujudkan impian
tersebut, mereka mengembangkan berbagai cara, termasuk memaksakan
kehendak melalui tindakan kekerasan, represi, teror, seraya mengingkari,
menafikan atau membidahkan keyakinan orang lain (the others), dan
mengkafirkan selain mereka, baik dari kalangan umat agama lain maupun
dalam internal Islam yang tidak sejalan dengan ideologi mereka. Gerakan
politik transnasional tidak ragu-ragu melakukan klaim kebenaran sepihak
atas nama agama atau Tuhan dan/atau melegalkan tindakan yang diluar
agama dengan klaim agama.
Hari ini dunia muslim terkesima dengan laju gerakan ini. Yang terakhir adalah
ISIS (Al-Daulah al-Islamiyyah fi al-Iraq wa al-Syam). Para penganut gerakan
fundamentalis-radikal-puritan itu selalu mengumandangkan jargon-jargon
general yang menghipnotis banyak orang awam, mengibarkan simbol-simbol
agama dan meneriakkan kalimat-kalimat suci ketuhanan. Pada saat yang
sama mereka mencaci maki dan menstigma orang/kelompok lain yang
berseberangan dengan pemikiran dan ideologi mereka. Yang berseberangan
dengan mereka dianggap yang lain (al-ghair atau minhum). Paling tidak
ada tiga kata yang selalu mereka stigmakan terhadap lawan-lawan
idologinya: Kafir, Musyrik dan Bidah. Dalam konteks masyarakat yang
tengah dihimpit kemiskinan, terbelakang dan tak berdaya, jargon-jargon
besar dan simbol-simbol yang suci tentu sangat menarik dan mempesona.
Manakala gerakan mereka memasuki mushalla, masjid atau surau di desadesa dan kampung-kampung miskin dan tak berdaya secara sosial-ekonomi,
maka para jamaah akan terbuai dengan klaim-klaim yang menjanjikan sorga
itu. Ya benar, benar !. Inilah yang ditunggu-tunggu. Ideologi-ideologi besar
dunia ; kapitalisme-liberalisme-sekularisme dirasakan mereka sebagai telah
menciptakan kesengsaraan mayoritas besar masyarakat dunia dan
menghancurkan moral. Demokrasi telah menciptakan kekacauan sosial.
Hak-hak Asasi Manusia, melawan Hak-Hak Tuhan. Demokrasi, Hak-Hak
Asasi Manusia, dan Gender, adalah produk-produk Kafir. Kita harus kembali
pada Ajaran Tuhan, ajaran Islam yang Kaffah dan mendirikan Khilafah
Islamiyah. Sistem Khilafah adalah jalan satu-satunya menyelesaikan
masalah. Begitulah kira-kira teriakan-teriakan para jamaah.

Kemudian, pada sisi yang lain dan tidak kalah berbahaya-nya dengan
ideologi fundamentalis-radikal-puritan, adalah ideologi neoliberalisme,
sekularisme, kapitalisme. Ideologi ini mengalir dalam keseharian semua
lapisan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Neoliberalisme mengalir
seperti air tanpa bisa dihentikan pada sendi-sendi budaya (culture), agama
(religios), ekonomi dan sosial bangsa Indonesia. Pada dasarnya, liberalisme
merupakan gerakan pemikiran dibidang ekonomi yg dicetuskan oleh Adam
Smith dalam karya monumentalnya tahun 1976, The Wealth of Nations. Filsuf
moral asal Inggris itu, yang juga bapak mazhab ekonomi klasik atau yang
lebih
populer
disebut
dengan
perumus
kapitalisme
modern,
mempropagandakan pentingnya penghapusan intervensi negara atau
pemerintah dalam mekanisme ekonomi, Sebagai gantinya Smith,
menganjurkan agar pemerintah membiarkan mekanisme pasar bekerja
dengan logikanya sendiri, melakukan deregulasi, serta menghilangkan
segala bentuk hambatan (tarif dan non tarif) dan restriksi. Kompetisi dan
kekuatan individu yang bekerja dalam mekanisme pasar akan menciptakan
keteraturan ekonomi. Smith menggunakan teorinya tentang tangan-tangan
tersembunyi (invisible hand) yang menurutnya bakal mengatur dan
mengorganisir seluruh relasi dan kehidupan ekonomi dan juga mendorong
setiap individu untuk mencari sebanyak-banyaknya keuntungan ekonomi.
Potret sekilas dua ideologi diatas, menjadi ancaman dan momok tersendiri
bagi ideologi kesantrian yang mengedepankan sikap moderat (tawassut).
Moderatisme (wasathiyah) adalah paham yang selalu mencari jalan tengah
dari dua kecenderungan, tidak condong (ekstrem) kanan dan kiri. Oleh
karena itu wajar, apabila salah satu profesor di Jepang (Gus Mus, 2006)
memprediksi, paham tradisional moderat di Indonesia akan menjadi
mainstream ideologi dunia di tengah eskalasi dan massifikasi (meningkat
dan bertambahnya) dua ideologi dunia yang sama-sama menyeramkan.
Faham Aswaja menganut pola pikir jalan tengah, antara faham ekstrem aql
(rasional) dan ekstrem naql (skripturalis). Diwujudkan dengan pilihan sumber
pemikiran bagi para santri tidak hanya mengacu atas al-Quran dan Hadis
saja, tapi ditambah kemampuan akal untuk mencerna permasalahan serta
realitas yang terjadi secara empirik. Pandangan tersebut merujuk dari para
pemikir terdahulu sebagaimana yang dikembangkan Imam Abu Hasan alAsyari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi sebagai landasan teologis. Untuk
bidang fikih, menganut mazhab empat, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad bin Hambal.

Moderatisme akan membawa orang pada watak yang fleksibel dan


akomodatif, termasuk dengan budaya lokal. Salah satu doktrin yang relevan
dalam hal itu adalah aladah muhakkamah, yakni suatu tradisi yang
berkembang di masyarakat menjadi landasan dan sumber penetapan
hukum. Kaidah tersebut dalam praktisnya mengakui budaya lokal dan
memberikan sinaran dan sentuhan keagamaan pada tradisi tersebut jika
bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam satu ritual budaya, ada nilai lokal
budaya dan universalitas ajaran Islam yang sudah bersinergi dan
terinternalisasi dalam budaya tersebut. Inilah Islam Ahlussunnah Wal Jamaah
yang berkarakter Nusantara.
Dalam konteks itu, kaidah aladah muhakkamah tersebut menjadi bukti
kepedulian Islam terhadap pelestarian budaya leluhur dengan strategi
islamisasi budaya. Bukan dengan penghapusan budaya lokal, dengan
memunculkan budaya murni Arab atau arabisasi yang berpotensi besar
ditolak warga setempat.
Salah satu faktor integrasi keislaman dan kebudayaan lokal tersebut adalah
Sunan Kali Jaga yang menggunakan wayang setelah dirombak seperlunya,
baik bentuk fisik wayang itu maupun lakonnya. Juga gamelan, yang dalam
gabungannya dengan unsur-unsur upacara Islam populer menghasilkan
tradisi Sekatenan di pusat-pusat kekuasaan Islam seperti Cirebon, Demak,
Yogyakarta, dan Solo.
Sebagai sebuah kesimpulan, Ideologi Islam transnasional baik dari barat
maupun timur yang sama-sama ekstrem, satu ekstrem kanan dan satunya
ekstrem kiri adalah hal yang sangat mengkhawatirkan Pengasuh PP Bakid
KH Husni Zuhri. Karenanya, kehadiran IKSABA diharapkan mampu
meminimalisir ancaman-ancaman yang datang dari ideology transnasionalisme sekaligus sebagai media perekat silaturrahim ideology
kesantrian. Semoga!

Anda mungkin juga menyukai