Kemudian, pada sisi yang lain dan tidak kalah berbahaya-nya dengan
ideologi fundamentalis-radikal-puritan, adalah ideologi neoliberalisme,
sekularisme, kapitalisme. Ideologi ini mengalir dalam keseharian semua
lapisan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Neoliberalisme mengalir
seperti air tanpa bisa dihentikan pada sendi-sendi budaya (culture), agama
(religios), ekonomi dan sosial bangsa Indonesia. Pada dasarnya, liberalisme
merupakan gerakan pemikiran dibidang ekonomi yg dicetuskan oleh Adam
Smith dalam karya monumentalnya tahun 1976, The Wealth of Nations. Filsuf
moral asal Inggris itu, yang juga bapak mazhab ekonomi klasik atau yang
lebih
populer
disebut
dengan
perumus
kapitalisme
modern,
mempropagandakan pentingnya penghapusan intervensi negara atau
pemerintah dalam mekanisme ekonomi, Sebagai gantinya Smith,
menganjurkan agar pemerintah membiarkan mekanisme pasar bekerja
dengan logikanya sendiri, melakukan deregulasi, serta menghilangkan
segala bentuk hambatan (tarif dan non tarif) dan restriksi. Kompetisi dan
kekuatan individu yang bekerja dalam mekanisme pasar akan menciptakan
keteraturan ekonomi. Smith menggunakan teorinya tentang tangan-tangan
tersembunyi (invisible hand) yang menurutnya bakal mengatur dan
mengorganisir seluruh relasi dan kehidupan ekonomi dan juga mendorong
setiap individu untuk mencari sebanyak-banyaknya keuntungan ekonomi.
Potret sekilas dua ideologi diatas, menjadi ancaman dan momok tersendiri
bagi ideologi kesantrian yang mengedepankan sikap moderat (tawassut).
Moderatisme (wasathiyah) adalah paham yang selalu mencari jalan tengah
dari dua kecenderungan, tidak condong (ekstrem) kanan dan kiri. Oleh
karena itu wajar, apabila salah satu profesor di Jepang (Gus Mus, 2006)
memprediksi, paham tradisional moderat di Indonesia akan menjadi
mainstream ideologi dunia di tengah eskalasi dan massifikasi (meningkat
dan bertambahnya) dua ideologi dunia yang sama-sama menyeramkan.
Faham Aswaja menganut pola pikir jalan tengah, antara faham ekstrem aql
(rasional) dan ekstrem naql (skripturalis). Diwujudkan dengan pilihan sumber
pemikiran bagi para santri tidak hanya mengacu atas al-Quran dan Hadis
saja, tapi ditambah kemampuan akal untuk mencerna permasalahan serta
realitas yang terjadi secara empirik. Pandangan tersebut merujuk dari para
pemikir terdahulu sebagaimana yang dikembangkan Imam Abu Hasan alAsyari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi sebagai landasan teologis. Untuk
bidang fikih, menganut mazhab empat, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad bin Hambal.